Hide
Sumber Peraturan | Tanggal Berlaku | |
---|---|---|
*) | UU 11 Tahun 1994 | 1 Jan 1995 |
**) | UU 18 Tahun 2000 | 1 Jan 2001 |
***) | UU 42 Tahun 2009 | 1 Jan 2010 |
****) | UU 11 Tahun 2020 | 2 Nov 2020 |
UU PPN Konsolidasi setelah UU Cipta Kerja
Susunan dalam Satu Naskah dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
Penjelasan Umum
Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi. Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sangat dipengaruhi oleh perkembangan transaksi bisnis serta pola konsumsi masyarakat yang merupakan objek dari Pajak Pertambahan Nilai. Perkembangan ekonomi yang sangat dinamis baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional terus menciptakan jenis serta pola transaksi bisnis yang baru. Sebagai contoh, di bidang jasa, banyak timbul transaksi jasa baru atau modifikasi dari transaksi sebelumnya yang pengenaan Pajak Pertambahan Nilainya belum diatur dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Dalam rangka menjawab perubahan yang sangat cepat tersebut, perlu dilakukan pembaruan dan penyempurnaan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Pembaruan (reformasi) sistem pajak konsumsi telah dilakukan pada tahun 1983 dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Langkah pembaruan dan penyempurnaan terus dilakukan secara konsisten pada tahun 1994 dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 dan terakhir tahun 2000 dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000. Perubahan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai ini bertujuan sebagai berikut.
Perubahan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai ini bertujuan sebagai berikut. | |
1. | Meningkatkan kepastian hukum dan keadilan bagi pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. |
Perkembangan transaksi bisnis, terutama jasa, telah menciptakan jenis dan pola transaksi baru yang perlu ditegaskan lebih lanjut pengenaannya dalam UndangUndang Pajak Pertambahan Nilai. | |
2. | Menyederhanakan sistem Pajak Pertambahan Nilai. |
Penyederhanaan sistem Pajak Pertambahan Nilai dilakukan dengan mengubah atau menyempurnakan ketentuan dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang menyulitkan Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. | |
3. | Mengurangi biaya kepatuhan. |
Penyederhanaan sistem Pajak Pertambahan Nilai diharapkan pula dapat mengurangi biaya, baik biaya administrasi bagi Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan hak dan kewajibannya maupun biaya pengawasan yang dikeluarkan oleh Pemerintah dalam rangka mengawasi kepatuhan Wajib Pajak. | |
4. | Meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. |
Tercapainya tujuan tersebut diharapkan dapat meningkatkan tingkat kepatuhan sukarela Wajib Pajak. Tingkat kepatuhan sukarela yang tinggi diharapkan dapat meningkatkan penerimaan pajak yang tercermin dengan naiknya rasio pajak (tax ratio). | |
5. | Tidak mengganggu penerimaan Pajak Pertambahan Nilai. |
Di samping tujuan di atas, fungsi pajak sebagai sumber penerimaan negara tetap menjadi pertimbangan. | |
6. | Mengurangi distorsi dan peningkatan kegiatan ekonomi. |
KETENTUAN UMUM
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
|
1.
|
Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang yang mengatur mengenai kepabeanan. ***)
|
2.
|
Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud. **)
|
3.
|
Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini. ***)
|
4.
|
Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak. ***)
|
5.
|
Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan. ***)
|
6.
|
Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini. ***)
|
7.
|
Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak. ***)
|
8.
|
Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. **)
|
9.
|
Impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean. **)
|
10.
|
Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. ***)
|
11.
|
Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud adalah setiap kegiatan mengeluarkan Barang Kena Pajak Berwujud dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean. ***)
|
12.
|
Perdagangan adalah kegiatan usaha membeli dan menjual, termasuk kegiatan tukar-menukar barang, tanpa mengubah bentuk atau sifatnya. **)
|
13.
|
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. ***)
|
14.
|
Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean. ***)
|
15.
|
Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini. ***)
|
16.
|
Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk dan/atau sifat suatu barang dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau mempunyai daya guna baru atau kegiatan mengolah sumber daya alam, termasuk menyuruh orang pribadi atau badan lain melakukan kegiatan tersebut. ***)
|
17.
|
Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang. ***)
|
18.
|
Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak. **)
|
19.
|
Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. ***)
|
20.
|
Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut menurut Undang-Undang ini. ***)
|
21.
|
Pembeli adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar harga Barang Kena Pajak tersebut. **)
|
22.
|
Penerima Jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar Penggantian atas Jasa Kena Pajak tersebut. **)
|
23.
|
Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak. ***)
|
24.
|
Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak. ***)
|
25.
|
Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak. ***)
|
26.
|
Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir. **)
|
27.
|
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendahara pemerintah, badan, atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendahara pemerintah, badan, atau instansi pemerintah tersebut. ***)
|
28.
|
Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari dalam Daerah Pabean di luar Daerah Pabean. ***)
|
29.
|
Ekspor Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak ke luar Daerah Pabean. ***)
|
(1)
|
Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
|
|
|
a.
|
penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;
|
|
b.
|
pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing);
|
|
c.
|
penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
|
|
d.
|
pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak;
|
|
e.
|
Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan;
|
|
f.
|
penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antarcabang;
|
|
g.
|
dihapus; dan
|
|
h.
|
penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak. ****)
|
(2)
|
Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
|
|
|
a.
|
penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
|
|
b.
|
penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang;
|
|
c.
|
penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan pemusatan tempat pajak terutang;
|
|
d.
|
pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, serta pengalihan Barang Kena Pajak untuk tujuan setoran modal pengganti saham, dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak; dan
|
|
e.
|
Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c. ****)
|
a. | Pengusaha Kena Pajak kepada Pengusaha Kena Pajak lainnya, tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak sehingga tidak ada Pajak Pertambahan Nilai yang terutang; |
b. | Pengusaha yang belum atau tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak sehingga terdapat Pajak Pertambahan Nilai yang terutang namun tidak dipungut oleh pengusaha tersebut karena belum atau tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; atau |
c.
|
Pengusaha Kena Pajak kepada pengusaha yang belum atau tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak sehingga terdapat Pajak Pertambahan Nilai yang terutang yang harus dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak. Dalam hal Barang Kena Pajak yang dialihkan berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan maka Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan atas pengalihan Barang Kena Pajak tersebut dilakukan sesuai ketentuan yang mengatur mengenai penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan.
|
SE-04/PJ.51/2002 | PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH ATAS PEMAKAIAN SENDIRI DAN/ATAU PEMBERIAN CUMA-CUMA BARANG KENA PAJAK DAN/ATAU JASA KENA PAJAK |
SE-09/PJ.51/2003 | STATUS TEMPAT KEGIATAN YANG SEMATA-MATA MELAKUKAN PEMBELIAN ATAU PENGUMPULAN BAHAN BAKU |
SE-129/PJ/2010 | PERLAKUAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS TRANSAKSI SEWA GUNA USAHA DENGAN HAK OPSI DAN TRANSAKSI PENJUALAN DAN PENYEWAGUNAUSAHAAN KEMBALI |
1169/KMK.01/1991 | KEGIATAN SEWA GUNA USAHA (LEASING) |
(1)
|
Dalam hal Harga Jual atau Penggantian dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka Harga Jual atau Penggantian dihitung atas dasar harga pasar wajar pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak itu dilakukan. *)
|
|
(2)
|
Hubungan istimewa dianggap ada apabila:
|
|
|
a.
|
Pengusaha mempunyai penyertaan langsung atau tidak langsung sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih kepada Pengusaha lain, atau hubungan antara Pengusaha dengan penyertaan 25% (dua puluh lima persen) atau lebih pada dua Pengusaha atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Pengusaha atau lebih yang disebut terakhir; atau
|
|
b.
|
Pengusaha menguasai Pengusaha lainnya atau dua atau lebih Pengusaha berada di bawah penguasaan Pengusaha yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
|
|
c.
|
Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat dan/atau kesamping satu derajat. *)
|
-
|
faktur kepemilikan atau penyertaan;
|
-
|
adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi.
|
a)
|
Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan kepemilikan yang berupa penyertaan modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih, baik secara langsung ataupun tidak langsung.
Contoh:
Kalau PT. A mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT. B, pemilikan saham oleh PT. A merupakan penyertaan langsung. Selanjutnya apabila PT. B tersebut mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT. C, maka PT. A sebagai pemegang saham PT. B secara tidak langsung mempunyai penyertaan pada PT. C sebesar 25% (dua puluh lima persen). Dalam hal demikian, antara PT. A, PT. B dan PT. C dianggap terdapat hubungan istimewa. Apabila PT. A juga memiliki 25% (dua puluh lima persen) saham PT. D, maka antara PT. B, PT. C dan PT. D dianggap terdapat hubungan istimewa. Hubungan kepemilikan seperti tersebut diatas juga dapat terjadi antara orang pribadi dan badan.
|
|
|
b)
|
Hubungan antara pengusaha seperti digambarkan pada huruf a dapat juga terjadi karena penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi, kendatipun tidak terdapat hubungan kepemilikan.
Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan berada di bawah penguasaan pengusaha yang sama. Demikian juga hubungan antara beberapa perusahaan yang berada dalam penguasaan pengusahan yang sama tersebut.
|
|
|
c)
|
Yang dimaksud dengan hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat adalah ayah, ibu, dan anak, sedangkan hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan ke samping satu derajat adalah kakak dan adik.
Yang dimaksud dengan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat adalah mertua dan anak tiri, sedangkan hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan ke samping satu derajat adalah ipar.
Apabila antara suami istri mempunyai perjanjian pemisahan harta dan penghasilan, maka hubungan antara suami istri tersebut termasuk dalam pengertian hubungan istimewa menurut Undang-Undang ini.
|
SE-18/PJ.53/1995 | PENGERTIAN HUBUNGAN ISTIMEWA (SERI PPN 16-95) |
PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK
Dihapus. *)
|
KEWAJIBAN MELAPORKAN USAHA DAN KEWAJIBAN MEMUNGUT, MENYETOR DAN MELAPORKAN PAJAK YANG TERUTANG
(1)
|
Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan huruf h, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang. ***)
|
(1a)
|
Pengusaha kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. ***)
|
(2)
|
Pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). ***)
|
(3)
|
Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d dan/atau yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang yang penghitungan dan tata caranya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. ***)
|
a. |
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
|
b. | memungut pajak yang terutang; |
c. | menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan yang dapat dikreditkan serta menyetorkan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang; dan |
d. | melaporkan penghitungan pajak. |
SE-17/PJ.52/2005 | PETUNJUK PELAKSANAAN PENCABUTAN SECARA JABATAN PENGUKUHAN SEBAGAI PENGUSAHA KENA PAJAK YANG TIDAK MEMENUHI SYARAT LAGI SEBAGAI PENGUSAHA KENA PAJAK |
SE-147/PJ/2010 | PENJELASAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 40/PMK.03/2010 TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN, PEMUNGUTAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PEMANFAATAN BARANG KENA PAJAK TIDAK BERWUJUD DAN/ATAU JASA KENA PAJAK DARI LUAR DAERAH PABEAN |
SE-130/PJ/2010 | PENEGASAN PERLAKUAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK DAN HAK ATAS BARANG KENA PAJAK YANG BERADA DI LUAR DAERAH PABEAN |
PER-04/PJ/2020 | PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN ADMINISTRASI NOMOR POKOK WAJIB PAJAK, SERTIFIKAT ELEKTRONIK, DAN PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK |
SE-27/PJ/2020 | PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-04/PJ/2020 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN ADMINISTRASI NOMOR POKOK WAJIB PAJAK, SERTIFIKAT ELEKTRONIK, DAN PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK |
197/PMK.03/2013 | PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 68/PMK.03/2010 TENTANG BATASAN PENGUSAHA KECIL PAJAK PERTAMBAHAN NILAI |
40/PMK.03/2010 | TATA CARA PENGHITUNGAN, PEMUNGUTAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PEMANFAATAN BARANG KENA PAJAK TIDAK BERWUJUD DAN/ATAU JASA KENA PAJAK DARI LUAR DAERAH PABEAN. |
68/PMK.03/2010 | BATASAN PENGUSAHA KECIL PAJAK PERTAMBAHAN NILAI |
PER-12/PJ/2014 | TATA CARA PENCABUTAN PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK SECARA JABATAN ATAS PENGUSAHA KECIL PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TAHUN 2014 |
OBJEK PAJAK
(1)
|
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:
|
|
|
a.
|
penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
|
|
b.
|
impor Barang Kena Pajak;
|
|
c.
|
penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
|
|
d.
|
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
|
|
e.
|
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
|
|
f.
|
ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
|
|
g.
|
ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan
|
|
h.
|
ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak. ***)
|
(2)
|
Ketentuan mengenai batasan kegiatan dan jenis Jasa Kena Pajak yang atas ekspornya dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. ***)
|
a.
|
barang berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak;
|
b.
|
barang tidak berwujud yang diserahkan merupakan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;
|
c.
|
penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
|
d.
|
penyerahan dilakukan dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaannya.
|
a.
|
jasa yang diserahkan merupakan Jasa Kena Pajak;
|
b.
|
penyerahan dilakukan di dalam Daerah Pabean; dan
|
c.
|
penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
|
1.
|
penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya;
|
|
2.
|
penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah;
|
|
3.
|
pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial;
|
|
4.
|
pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3, berupa:
|
|
|
a)
|
penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;
|
|
b)
|
penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa; dan
|
|
c)
|
penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi;
|
5.
|
penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio; dan
|
|
6.
|
pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.
|
KEP-168/PJ/2002 | PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PENYERAHAN EMAS PERHIASAN OLEH PENGUSAHA TOKO EMAS PERHIASAN |
SE-22/PJ.51/2002 | PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PENYERAHAN TANAH DAN/ATAU BANGUNAN OLEH PENGUSAHA BIDANG REAL ESTAT DAN INDUSTRIAL ESTAT |
SE-11/PJ.53/2003 | PERLAKUAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS JASA PENYELENGGARA KEGIATAN (EVENT ORGANIZER) |
SE-147/PJ/2010 | PENJELASAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 40/PMK.03/2010 TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN, PEMUNGUTAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PEMANFAATAN BARANG KENA PAJAK TIDAK BERWUJUD DAN/ATAU JASA KENA PAJAK DARI LUAR DAERAH PABEAN |
SE-130/PJ/2010 | PENEGASAN PERLAKUAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK DAN HAK ATAS BARANG KENA PAJAK YANG BERADA DI LUAR DAERAH PABEAN |
SE-145/PJ/2010 | PERLAKUAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS JASA PERDAGANGAN |
32/PMK.010/2019 | BATASAN KEGIATAN DAN JENIS JASA KENA PAJAK YANG ATAS EKSPORNYA DIKENAI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI |
PER-32/PJ/2016 | PENCABUTAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP-153/PJ/2002 TENTANG PENETAPAN BENTUK, UKURAN, WARNA, ISI, DAN TEKS STIKER LUNAS PAJAK PERTAMBAHAN NILAI, DAN DASAR PENGENAAN PAJAK UNTUK MENGHITUNG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PENYERAHAN PRODUK REKAMAN GAMBAR DAN PENUNJUKAN ASOSIASI YANG MEMBERIKAN REKOMENDASI UNTUK PENEBUSAN STIKER LUNAS PAJAK PERTAMBAHAN NILAI SERTA TATA CARA PENEBUSAN DAN PELAPORANNYA SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-5/PJ/2008 DAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP-81/PJ/2004 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PENYERAHAN PRODUK REKAMAN SUARA SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-4/PJ/2008 |
9 TAHUN 2021 | PERLAKUAN PERPAJAKAN UNTUK MENDUKUNG KEMUDAHAN BERUSAHA |
40/PMK.03/2010 | TATA CARA PENGHITUNGAN, PEMUNGUTAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PEMANFAATAN BARANG KENA PAJAK TIDAK BERWUJUD DAN/ATAU JASA KENA PAJAK DARI LUAR DAERAH PABEAN. |
(1)
|
Dihapus. ***)
|
|
(2)
|
Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut:
|
|
|
a.
|
barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, tidak termasuk hasil pertambangan batu bara;
|
|
b.
|
barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
|
|
c.
|
makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan
|
|
d.
|
uang, emas batangan, dan surat berharga. ****)
|
(3)
|
Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut:
|
|
|
a.
|
jasa pelayanan kesehatan medis;
|
|
b.
|
jasa pelayanan sosial;
|
|
c.
|
jasa pengiriman surat dengan perangko;
|
|
d.
|
jasa keuangan;
|
|
e.
|
jasa asuransi;
|
|
f.
|
jasa keagamaan;
|
|
g.
|
jasa pendidikan;
|
|
h.
|
jasa kesenian dan hiburan;
|
|
i.
|
jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;
|
|
j.
|
jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;
|
|
k.
|
jasa tenaga kerja;
|
|
l.
|
jasa perhotelan;
|
|
m.
|
jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum;
|
|
n.
|
jasa penyediaan tempat parkir;
|
|
o.
|
jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;
|
|
p.
|
jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan
|
|
q.
|
jasa boga atau katering. ***)
|
a.
|
minyak mentah (crude oil);
|
b.
|
gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat;
|
c.
|
panas bumi;
|
d.
|
asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonit, dolomit, felspar (feldspar), garam batu (halite), grafit, granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, fosfat (phospat), talk, tanah serap (fullers earth), tanah diatome, tanah liat, tawas (alum), tras, yarosif, zeolit, basal, dan trakkit;
|
e. | batubara sebelum diproses menjadi briket batubara; dan |
f.
|
bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, serta bijih bauksit.
|
a. |
beras;
|
b.
|
gabah;
|
c.
|
jagung;
|
d.
|
sagu;
|
e.
|
kedelai;
|
f.
|
garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium;
|
g.
|
daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus;
|
h.
|
telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas;
|
i.
|
susu, yaitu susu perah baik yang telah melalui proses didinginkan maupun dipanaskan, tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya, dan/atau dikemas atau tidak dikemas;
|
j.
|
buah-buahan, yaitu buah-buahan segar yang dipetik, baik yang telah melalui proses dicuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau tidak dikemas; dan
|
k.
|
sayur-sayuran, yaitu sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dan/atau disimpan pada suhu rendah, termasuk sayuran segar yang dicacah.
|
1.
|
jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi;
|
2.
|
jasa dokter hewan;
|
3.
|
jasa ahli kesehatan seperti ahli akupunktur, ahli gigi, ahli gizi, dan ahli fisioterapi;
|
4.
|
jasa kebidanan dan dukun bayi;
|
5.
|
jasa paramedis dan perawat;
|
6.
|
jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan sanatorium;
|
7.
|
jasa psikolog dan psikiater; dan
|
8.
|
jasa pengobatan alternatif, termasuk yang dilakukan oleh paranormal.
|
1. | jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo; |
2. | jasa pemadam kebakaran; |
3. | jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan; |
4. | jasa lembaga rehabilitasi; |
5. | jasa penyediaan rumah duka atau jasa pemakaman, termasuk krematorium; dan |
6. | jasa di bidang olahraga kecuali yang bersifat komersial. |
1.
|
jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu;
|
|
2.
|
jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana kepada pihak lain dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya;
|
|
3.
|
jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, berupa:
|
|
|
a)
|
sewa guna usaha dengan hak opsi;
|
|
b)
|
anjak piutang;
|
|
c)
|
usaha kartu kredit; dan/atau
|
|
d)
|
pembiayaan konsumen;
|
4.
|
jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai syariah dan fidusia; dan
|
|
5.
|
jasa penjaminan.
|
1.
|
jasa pelayanan rumah ibadah;
|
|
2.
|
jasa pemberian khotbah atau dakwah;
|
|
3.
|
jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan; dan
|
|
4.
|
jasa lainnya di bidang keagamaan.
|
1.
|
jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesional; dan
|
|
2.
|
jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah.
|
1.
|
jasa tenaga kerja;
|
|
2.
|
jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggung jawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut; dan
|
|
3.
|
jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja.
|
1.
|
jasa penyewaan kamar, termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap; dan
|
|
2.
|
jasa penyewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel.
|
SE-119/PJ/2010 | PERLAKUAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PENYERAHAN JASA ANGKUTAN UMUM DI JALAN |
92/PMK.03/2020 | KRITERIA DAN/ATAU RINCIAN JASA KEAGAMAAN YANG TIDAK DIKENAI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI |
99/PMK.010/2020 | KRITERIA DAN/ATAU RINCIAN BARANG KEBUTUHAN POKOK YANG TIDAK DIKENAI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI |
122/PMK.03/2012 | KRITERIA JASA PENYEDIAAN TEMPAT PARKIR YANG TERMASUK DALAM JENIS JASA YANG TIDAK DIKENAI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI |
SE-47/PJ/2012 | PEDOMAN DAN PENJELASAN MENGENAI JASA TENAGA KERJA YANG TIDAK DIKENAI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI |
252/PMK.011/2012 | GAS BUMI YANG TERMASUK DALAM JENIS BARANG YANG TIDAK DIKENAI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI. |
SE-38/PJ/2012 | PENYAMPAIAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 82/PMK.03/2012 TENTANG KRITERIA DAN/ATAU RINCIAN JASA YANG DISEDIAKAN OLEH PEMERINTAH DALAM RANGKA MENJALANKAN PEMERINTAHAN SECARA UMUM YANG TIDAK DIKENAI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI |
82/PMK.03/2012 | KRITERIA DAN/ATAU RINCIAN JASA YANG DISEDIAKAN OLEH PEMERINTAH DALAM RANGKA MENJALANKAN PEMERINTAHAN SECARA UMUM YANG TIDAK DIKENAI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI |
93/PMK.03/2012 | PENYERAHAN JASA PENGIRIMAN SURAT DENGAN PRANGKO YANG TIDAK DIKENAI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI |
(1)
|
Di samping pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dikenai juga Pajak Penjualan atas Barang Mewah terhadap:
|
|
|
a.
|
penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang tersebut di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya; dan
|
b.
|
impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah. ***)
|
|
(2)
|
Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan hanya 1 (satu) kali pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah oleh pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah. ***)
|
a.
|
perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dan konsumen yang berpenghasilan tinggi;
|
b.
|
perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena Pajak yang tergolong mewah;
|
c.
|
perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional; dan
|
d.
|
perlu untuk mengamankan penerimaan negara.
|
1.
|
barang yang bukan merupakan barang kebutuhan pokok;
|
2.
|
barang yang dikonsumsi oleh masyarakat tertentu;
|
3.
|
barang yang pada umumnya dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; dan/atau
|
4.
|
barang yang dikonsumsi untuk menunjukkan status.
|
a. | merakit, yaitu menggabungkan bagian-bagian lepas dari suatu barang menjadi barang setengah jadi atau barang jadi, seperti merakit mobil, barang elektronik, dan perabot rumah tangga; |
b. | memasak, yaitu mengolah barang dengan cara memanaskan baik dicampur bahan lain maupun tidak; |
c. | mencampur, yaitu mempersatukan dua atau lebih unsur (zat) untuk menghasilkan satu atau lebih barang lain; |
d. | mengemas, yaitu menempatkan suatu barang ke dalam suatu benda untuk melindunginya dari kerusakan dan/atau untuk meningkatkan pemasarannya; dan |
e. | membotolkan, yaitu memasukkan minuman atau benda cair ke dalam botol yang ditutup menurut cara tertentu; |
a. | penyerahan oleh pabrikan atau produsen Barang Kena Pajak yang tergolong mewah; atau |
b. | impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah. |
9 TAHUN 2021 | PERLAKUAN PERPAJAKAN UNTUK MENDUKUNG KEMUDAHAN BERUSAHA |
(1)
|
Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak yang dikembalikan dapat dikurangkan dari Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian Barang Kena Pajak tersebut. ***)
|
(2)
|
Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Jasa Kena Pajak yang dibatalkan, baik seluruhnya maupun sebagian, dapat dikurangkan dari Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dalam Masa Pajak terjadinya pembatalan tersebut. ***)
|
(3)
|
Ketentuan mengenai tata cara pengurangan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengurangan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. ***)
|
a.
|
Pajak Masukan dari Pengusaha Kena Pajak pembeli, dalam hal Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan telah dikreditkan;
|
b.
|
biaya atau harta bagi Pengusaha Kena Pajak pembeli, dalam hal pajak atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan tersebut tidak dikreditkan dan telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut; atau
|
c.
|
biaya atau harta bagi pembeli yang bukan Pengusaha Kena Pajak dalam hal pajak atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan tersebut telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut.
|
a.
|
Pajak Masukan dari Pengusaha Kena Pajak penerima Jasa Kena Pajak, dalam hal Pajak Masukan atas Jasa Kena Pajak yang dibatalkan telah dikreditkan;
|
b.
|
biaya atau harta bagi Pengusaha Kena Pajak penerima Jasa Kena Pajak, dalam hal Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Kena Pajak yang dibatalkan tersebut tidak dikreditkan dan telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut; atau
|
c.
|
biaya atau harta bagi penerima Jasa Kena Pajak yang bukan Pengusaha Kena Pajak dalam hal Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Kena Pajak yang dibatalkan tersebut telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut.
|
SE-131/PJ/2010 | PENEGASAN PERLAKUAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH ATAS PENGEMBALIAN BARANG KENA PAJAK ATAU PEMBATALAN JASA KENA PAJAK YANG FAKTUR PAJAK ATAS PENYERAHANNYA TIDAK MENCANTUMKAN IDENTITAS PEMBELI ATAU PENERIMA JASA |
Dihapus. **)
|
TARIF PAJAK DAN CARA MENGHITUNG PAJAK
(1) | Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen). *) | |
(2) |
Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:
|
|
|
a.
|
ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
|
|
b.
|
ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan
|
c. |
ekspor Jasa Kena Pajak. ***)
|
|
(3) |
Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah. ***)
|
a. | Barang Kena Pajak Berwujud yang diekspor; |
b. | Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari dalam Daerah Pabean yang dimanfaatkan di luar Daerah Pabean; atau |
c. | Jasa Kena Pajak yang diekspor termasuk Jasa Kena Pajak yang diserahkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan dan melakukan ekspor Barang Kena Pajak atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar Daerah Pabean, |
(1)
|
Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah ditetapkan paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen). ***)
|
(2)
|
Ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dikenai pajak dengan tarif 0% (nol persen). ***)
|
(3)
|
Ketentuan mengenai kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. ***)
|
(4)
|
Ketentuan mengenai jenis barang yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***)
|
86/PMK.010/2019 | PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 35/PMK.010/2017 TENTANG JENIS BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH SELAIN KENDARAAN BERMOTOR YANG DIKENAI PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH |
73 TAHUN 2019 | BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH BERUPA KENDARAAN BERMOTOR YANG DIKENAI PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH |
(1)
|
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dengan Dasar Pengenaan Pajak yang meliputi Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain. ***)
|
(2)
|
Ketentuan mengenai nilai lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***)
|
a.
|
Pengusaha Kena Pajak A menjual tunai Barang Kena Pajak dengan Harga Jual Rp25.000.000,00.
|
|
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 10% x Rp25.000.000,00 = Rp2.500.000,00
|
|
Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp2.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak A.
|
b.
|
Pengusaha Kena Pajak B melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan memperoleh Penggantian Rp20.000.000,00.
|
|
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 10% x Rp20.000.000,00 = Rp2.000.000,00.
|
|
Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp2.000.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak B.
|
c.
|
Seseorang mengimpor Barang Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dengan Nilai Impor Rp15.000.000,00.
|
|
Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai = 10% x Rp15.000.000,00 = Rp1.500.000,00.
|
d.
|
Pengusaha Kena Pajak D melakukan ekspor Barang Kena Pajak dengan Nilai Ekspor Rp10.000.000,00.
|
|
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 0% x Rp10.000.000,00 = Rp0,00.
|
|
Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp0,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran.
|
a.
|
Harga Jual, Nilai Penggantian, Nilai Impor, dan Nilai Ekspor sukar ditetapkan; dan/atau
|
b.
|
penyerahan Barang Kena Pajak yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak, seperti air minum dan listrik.
|
56/PMK.03/2015 | PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 75/PMK.03/2010 TENTANG NILAI LAIN SEBAGAI DASAR PENGENAAN PAJAK |
121/PMK.03/2015 | PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 75/PMK.03/2010 TENTANG NILAI LAIN SEBAGAI DASAR PENGENAAN PAJAK |
207/PMK.010/2016 | PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 174/PMK.03/2015 TENTANG TATA CARA PENGHITUNGAN DAN PEMUNGUTAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PENYERAHAN HASIL TEMBAKAU |
174/PMK.03/2015 | TATA CARA PENGHITUNGAN DAN PEMUNGUTAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PENYERAHAN HASIL TEMBAKAU |
89/PMK.010/2020 | NILAI LAIN SEBAGAI DASAR PENGENAAN PAJAK ATAS PENYERAHAN BARANG HASIL PERTANIAN TERTENTU |
9 TAHUN 2021 | PERLAKUAN PERPAJAKAN UNTUK MENDUKUNG KEMUDAHAN BERUSAHA |
SE-33/PJ/2013 | PERLAKUAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PENYERAHAN JASA PENGURUSAN TRANSPORTASI (FREIGHT FORWARDING) YANG DI DALAM TAGIHANNYA TERDAPAT BIAYA TRANSPORTASI (FREIGHT CHARGES) |
102/PMK.011/2011 | NILAI LAIN SEBAGAI DASAR PENGENAAN PAJAK ATAS PEMANFAATAN BARANG KENA PAJAK TIDAK BERWUJUD DARI LUAR DAERAH PABEAN DI DALAM DAERAH PABEAN BERUPA FILM CERITA IMPOR DAN PENYERAHAN FILM CERITA IMPOR, SERTA DASAR PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 ATAS KEGIATAN IMPOR FILM CERITA IMPOR |
30/PMK.03/2014 | PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PENYERAHAN EMAS PERHIASAN. |
38/PMK.011/2013 | PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 75/PMK.03/2010 TENTANG NILAI LAIN SEBAGAI DASAR PENGENAAN PAJAK |
(1)
|
Dihapus. ***)
|
||
(2)
|
Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama. ***)
|
||
(2a)
|
Bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan/atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, serta pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah pabean dapat dikreditkan sepanjang memenuhi ketentuan pengkreditan sesuai dengan Undang-Undang ini. ****)
|
||
(2b)
|
Pajak Masukan yang dikreditkan harus menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9). ***)
|
||
(3)
|
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor oleh Pengusaha Kena Pajak. ***)
|
||
(4)
|
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya. ***)
|
||
(4a)
|
Atas kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diajukan permohonan pengembalian pada akhir tahun buku. ***)
|
||
(4b)
|
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (4a), atas kelebihan Pajak Masukan dapat diajukan permohonan pengembalian pada setiap Masa Pajak oleh:
|
||
|
a.
|
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
|
|
|
b.
|
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai;
|
|
|
c.
|
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang Pajak Pertambahan Nilainya tidak dipungut;
|
|
|
d.
|
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;
|
|
|
e.
|
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Jasa Kena Pajak; dan/atau
|
|
|
f.
|
Dihapus. ****)
|
|
(4c)
|
Pengembalian kelebihan Pajak Masukan kepada Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4b) huruf a sampai dengan huruf e, yang mempunyai kriteria sebagai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah, dilakukan dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya. ***)
|
||
(4d)
|
Ketentuan mengenai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah yang diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4c) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. ***)
|
||
(4e)
|
Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4c) dan menerbitkan surat ketetapan pajak setelah melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak. ***)
|
||
(4f)
|
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4e), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah kekurangan pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya. ***)
|
||
(5)
|
Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak. ***)
|
||
(6)
|
Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. ***)
|
||
(6a)
|
Apabila sampai dengan jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak Masa Pajak pengkreditan pertama kali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) Pengusaha Kena Pajak belum melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan/atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak terkait dengan Pajak Masukan tersebut, Pajak Masukan yang telah dikreditkan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan. ****)
|
||
(6b)
|
Dihapus. ****)
|
||
(6c)
|
Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6a) bagi sektor usaha tertentu dapat ditetapkan lebih dari 3 (tiga) tahun. ****)
|
||
(6d)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6a) berlaku juga bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pembubaran (pengakhiran) usaha, melakukan pencabutan Pengusaha Kena Pajak, atau dilakukan pencabutan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak Masa Pajak pengkreditan pertama kali Pajak Masukan. ****)
|
||
(6e)
|
Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud pada ayat (6a):
|
||
|
a.
|
wajib dibayar kembali ke kas negara oleh Pengusaha Kena Pajak, dalam hal Pengusaha Kena Pajak:
|
|
|
|
1.
|
telah menerima pengembalian kelebihan pembayaran pajak atas Pajak Masukan dimaksud; dan/atau
|
|
|
2.
|
telah mengkreditkan Pajak Masukan dimaksud dengan Pajak Keluaran yang terutang dalam suatu Masa Pajak; dan/atau
|
|
b.
|
tidak dapat dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya dan tidak dapat diajukan permohonan pengembalian, setelah jangka waktu 3 (tiga) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (6a) berakhir atau pada saat pembubaran (pengakhiran) usaha, atau pencabutan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6d) oleh Pengusaha Kena Pajak, dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan kompensasi atas kelebihan pembayaran pajak dimaksud. ****)
|
|
(6f)
|
Pembayaran kembali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (6e) huruf a dilakukan paling lambat:
|
||
|
a.
|
akhir bulan berikutnya setelah tanggal berakhirnya jangka waktu 3 (tiga) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (6a);
|
|
|
b.
|
akhir bulan berikutnya setelah tanggal berakhirnya jangka waktu bagi sektor usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (6c); atau
|
|
|
c.
|
akhir bulan berikutnya setelah tanggal pembubaran (pengakhiran) usaha atau pencabutan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6d). ****)
|
|
(6g)
|
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan kewajiban pembayaran kembali sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6f), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atas jumlah pajak yang seharusnya dibayar kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (6e) huruf a oleh Pengusaha Kena Pajak ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya. ****)
|
||
(7)
|
Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang peredaran usahanya dalam 1 (satu) tahun tidak melebihi jumlah tertentu, kecuali Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (7a), dapat dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan. ***)
|
||
(7a)
|
Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan. ***)
|
||
(7b)
|
Ketentuan mengenai peredaran usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (7), kegiatan usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (7a), dan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (7a) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***)
|
||
(8)
|
Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk:
|
||
|
a.
|
dihapus;
|
|
|
b.
|
perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
|
|
|
c.
|
perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;
|
|
|
d.
|
dihapus;
|
|
|
e.
|
dihapus;
|
|
|
f.
|
perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
|
|
|
g.
|
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);
|
|
|
h.
|
dihapus;
|
|
|
i.
|
dihapus; dan
|
|
|
j.
|
dihapus; ****)
|
|
(9)
|
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan Masa Pajak setelah berakhirnya Masa Pajak saat Faktur Pajak dibuat sepanjang belum dibebankan sebagai biaya atau belum ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak serta memenuhi ketentuan pengkreditan sesuai dengan Undang-Undang ini. ****)
|
||
(9a)
|
Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak serta pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak dengan menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan sebesar 80% (delapan puluh persen) dari Pajak Keluaran yang seharusnya dipungut. ****)
|
||
(9b)
|
Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, serta pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang diberitahukan dan/atau ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak sepanjang memenuhi ketentuan pengkreditan sesuai dengan Undang-Undang ini. ****)
|
||
(9c) |
Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, serta pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak sebesar jumlah pokok Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam ketetapan pajak dengan ketentuan ketetapan pajak dimaksud telah dilakukan pelunasan dan tidak dilakukan upaya hukum serta memenuhi ketentuan pengkreditan sesuai dengan Undang-Undang ini. ****)
|
||
(10)
|
Dihapus. **)
|
||
(11)
|
Dihapus. **)
|
||
(12)
|
Dihapus. **)
|
||
(13)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai:
|
||
|
a.
|
kriteria belum melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan/atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2a);
|
|
|
b.
|
penghitungan dan tata cara pengembalian kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4a), ayat (4b), dan ayat (4c);
|
|
|
c.
|
penentuan sektor usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (6c);
|
|
|
d.
|
tata cara pembayaran kembali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (6e) huruf a; dan
|
|
|
e.
|
tata cara pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (9a), ayat (9b), dan ayat (9c)
|
|
|
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ****)
|
||
(14)
|
Dalam hal terjadi pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang dialihkan yang belum dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang mengalihkan dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menerima pengalihan, sepanjang Faktur Pajaknya diterima setelah terjadinya pengalihan dan Pajak Masukan tersebut belum dibebankan sebagai biaya atau dikapitalisasi. ****)
|
a.
|
penyerahan yang terutang pajak = Rp25.000.000,00
|
|
Pajak Keluaran = Rp2.500.000,00
|
b.
|
penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai = Rp5.000.000,00
|
|
Pajak Keluaran = nihil
|
c.
|
penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai = Rp5.000.000,00
|
|
Pajak Keluaran = nihil
|
a.
|
Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan penyerahan yang terutang pajak = Rp1.500.000,00
|
b.
|
Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan penyerahan yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai = Rp300.000,00
|
c.
|
Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai = Rp500.000,00
|
a.
|
penyerahan yang terutang pajak = Rp35.000.000,00
|
|
Pajak Keluaran = Rp3.500.000,00
|
b.
|
penyerahan yang tidak terutang pajak = Rp15.000.000,00
|
|
Pajak Keluaran = nihil
|
SE-47/PJ/2008 | PENCABUTAN SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK DAN SURAT PENEGASAN TENTANG PENGGUNAAN METODE Q.Q. PADA FAKTUR PAJAK STANDAR |
PER-58/PJ/2010 | BENTUK DAN UKURAN FORMULIR SERTA TATA CARA PENGISIAN KETERANGAN PADA FAKTUR PAJAK BAGI PENGUSAHA KENA PAJAK PEDAGANG ECERAN |
248/PMK.010/2015 | PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 162/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PENERBITAN SURAT KETERANGAN BEBAS PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH KEPADA PERWAKILAN NEGARA ASING DAN BADAN INTERNASIONAL SERTA PEJABATNYA |
PER-40/PJ/2015 | TATA CARA PEMUNGUTAN DAN PENYETORAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PEMBAYARAN SUBSIDI JENIS BAHAN BAKAR MINYAK TERTENTU MINYAK SOLAR |
33/PMK.03/2018 | PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 162/PMK.03/2014 TENTANG TATA CARA PENERBITAN SURAT KETERANGAN BEBAS PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH KEPADA PERWAKILAN NEGARA ASING DAN BADAN INTERNASIONAL SERTA PEJABATNYA |
39/PMK.03/2018 | TATA CARA PENGEMBALIAN PENDAHULUAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK |
PER-15/PJ/2018 | PENETAPAN WAJIB PAJAK KRITERIA TERTENTU ATAU PENGUSAHA KENA PAJAK BERISIKO RENDAH DAN PERLAKUAN ATAS SELISIH KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK YANG BELUM DIKEMBALIKAN DALAM SURAT KEPUTUSAN PENGEMBALIAN PENDAHULUAN KELEBIHAN PAJAK |
PER-02/PJ/2019 | TATA CARA PENYAMPAIAN, PENERIMAAN, DAN PENGOLAHAN SURAT PEMBERITAHUAN |
PER-13/PJ/2019 | DOKUMEN TERTENTU YANG KEDUDUKANNYA DIPERSAMAKAN DENGAN FAKTUR PAJAK |
117/PMK.03/2019 | PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 39/PMK.03/2018 TENTANG TATA CARA PENGEMBALIAN PENDAHULUAN KELEBIHAN PEMBAYARAN PAJAK |
(1)
|
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dengan Dasar Pengenaan Pajak. **)
|
(2)
|
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang sudah dibayar pada waktu perolehan atau impor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah, tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Pertambahan Nilai maupun Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang dipungut berdasarkan Undang-Undang ini. *)
|
(3)
|
Pengusaha Kena Pajak yang mengekspor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah dapat meminta kembali Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang telah dibayar pada waktu perolehan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang diekspor tersebut. **)
|
-
|
Dasar Pengenaan Pajak = Rp5.000.000,00
|
-
|
Pajak Pertambahan Nilai:
|
|
10% x Rp5.000.000,00 = Rp500.000,00
|
-
|
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah:
|
|
20% x Rp5.000.000,00 = Rp1.000.000,00
|
-
|
Dasar Pengenaan Pajak = Rp50.000.000,00
|
-
|
Pajak Pertambahan Nilai:
|
|
10% x Rp50.000.000,00 = Rp5.000.000,00
|
-
|
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah:
|
|
35% x Rp50.000.000,00 = Rp17.500.000,00
|
SAAT DAN TEMPAT TERUTANG DAN LAPORAN PENGHITUNGAN PAJAK
(1)
|
Terutangnya pajak terjadi pada saat:
|
||
|
a.
|
penyerahan Barang Kena Pajak;
|
|
|
b.
|
impor Barang Kena Pajak;
|
|
|
c.
|
penyerahan Jasa Kena Pajak;
|
|
|
d.
|
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean;
|
|
|
e.
|
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean;
|
|
|
f.
|
ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
|
|
|
g.
|
ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; atau
|
|
|
h.
|
ekspor Jasa Kena Pajak. ***)
|
|
(2)
|
Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran. ***)
|
||
(3)
|
Dihapus. **)
|
||
(4)
|
Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan saat lain sebagai saat terutangnya pajak dalam hal saat terutangnya pajak sukar ditetapkan atau terjadi perubahan ketentuan yang dapat menimbulkan ketidakadilan. **)
|
||
(5)
|
Dihapus. **)
|
PER-8/PJ/2010 | SAAT TERUTANGNYA PAJAK PENJUALAN BARANG MEWAH ATAS PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH DARI PUSAT KE CABANG ATAU SEBALIKNYA DAN PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH ANTAR CABANG |
PER-04/PJ/2020 | PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN ADMINISTRASI NOMOR POKOK WAJIB PAJAK, SERTIFIKAT ELEKTRONIK, DAN PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK |
PER-08/PJ/2013 | PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-24/PJ/2012 TENTANG BENTUK, UKURAN, TATA CARA PENGISIAN KETERANGAN, PROSEDUR PEMBERITAHUAN DALAM RANGKA PEMBUATAN, TATA CARA PEMBETULAN ATAU PENGGANTIAN, DAN TATA CARA PEMBATALAN FAKTUR PAJAK |
PER-17/PJ/2014 | PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-24/PJ/2012 TENTANG BENTUK, UKURAN, TATA CARA PENGISIAN KETERANGAN, PROSEDUR PEMBERITAHUAN DALAM RANGKA PEMBUATAN, TATA CARA PEMBETULAN ATAU PENGGANTIAN, DAN TATA CARA PEMBATALAN FAKTUR PAJAK |
PER-24/PJ/2012 | BENTUK, UKURAN, TATA CARA PENGISIAN KETERANGAN, PROSEDUR PEMBERITAHUAN DALAM RANGKA PEMBUATAN, TATA CARA PEMBETULAN ATAU PENGGANTIAN, DAN TATA CARA PEMBATALAN FAKTUR PAJAK |
(1)
|
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan/atau huruf h terutang pajak di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan atau tempat lain selain tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan yang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak. ***)
|
(2)
|
Atas pemberitahuan secara tertulis dari Pengusaha Kena Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan 1 (satu) tempat atau lebih sebagai tempat pajak terutang. ***)
|
(3)
|
Dalam hal impor, terutangnya pajak terjadi di tempat Barang Kena Pajak dimasukkan dan dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. *)
|
(4)
|
Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d dan huruf e terutang pajak di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha. ***)
|
PER-8/PJ/2010 | SAAT TERUTANGNYA PAJAK PENJUALAN BARANG MEWAH ATAS PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH DARI PUSAT KE CABANG ATAU SEBALIKNYA DAN PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK YANG TERGOLONG MEWAH ANTAR CABANG |
PER-4/PJ/2010 | TEMPAT LAIN SELAIN TEMPAT TINGGAL ATAU TEMPAT KEDUDUKAN DAN/ATAU TEMPAT KEGIATAN USAHA DILAKUKAN SEBAGAI TEMPAT TERUTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH |
PER-04/PJ/2020 | PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN ADMINISTRASI NOMOR POKOK WAJIB PAJAK, SERTIFIKAT ELEKTRONIK, DAN PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK |
PER-11/PJ/2020 | PENETAPAN SATU TEMPAT ATAU LEBIH SEBAGAI TEMPAT PEMUSATAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI TERUTANG |
PER-08/PJ/2013 | PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-24/PJ/2012 TENTANG BENTUK, UKURAN, TATA CARA PENGISIAN KETERANGAN, PROSEDUR PEMBERITAHUAN DALAM RANGKA PEMBUATAN, TATA CARA PEMBETULAN ATAU PENGGANTIAN, DAN TATA CARA PEMBATALAN FAKTUR PAJAK |
PER-17/PJ/2014 | PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-24/PJ/2012 TENTANG BENTUK, UKURAN, TATA CARA PENGISIAN KETERANGAN, PROSEDUR PEMBERITAHUAN DALAM RANGKA PEMBUATAN, TATA CARA PEMBETULAN ATAU PENGGANTIAN, DAN TATA CARA PEMBATALAN FAKTUR PAJAK |
PER-24/PJ/2012 | BENTUK, UKURAN, TATA CARA PENGISIAN KETERANGAN, PROSEDUR PEMBERITAHUAN DALAM RANGKA PEMBUATAN, TATA CARA PEMBETULAN ATAU PENGGANTIAN, DAN TATA CARA PEMBATALAN FAKTUR PAJAK |
(1)
|
Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap:
|
||
|
a.
|
penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a atau huruf f dan/atau Pasal 16D;
|
|
|
b.
|
penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c;
|
|
|
c.
|
ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g; dan/atau
|
|
|
d.
|
ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf h. ***)
|
|
(1a)
|
Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat pada:
|
||
|
a.
|
saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
|
|
|
b.
|
saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
|
|
|
c.
|
saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
|
|
|
d.
|
saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***)
|
|
(2)
|
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengusaha Kena Pajak dapat membuat 1 (satu) Faktur Pajak meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama 1 (satu) bulan kalender. ***)
|
||
(2a)
|
Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan. ***)
|
||
(3)
|
Dihapus. ***)
|
||
(4)
|
Dihapus. ***)
|
||
(5)
|
Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:
|
||
|
a.
|
nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
|
|
|
b.
|
identitas pembeli Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang meliputi:
|
|
|
|
1.
|
nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak atau nomor induk kependudukan atau nomor paspor bagi subjek pajak luar negeri orang pribadi; atau
|
|
|
2.
|
nama dan alamat, dalam hal pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak merupakan subjek pajak luar negeri badan atau bukan merupakan subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan;
|
|
c.
|
jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
|
|
|
d.
|
Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
|
|
|
e.
|
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
|
|
|
f.
|
kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
|
|
|
g.
|
nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak. ****)
|
|
(5a)
|
Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran dapat membuat Faktur Pajak tanpa mencantumkan keterangan mengenai identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual dalam hal melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pembeli dengan karakteristik konsumen akhir yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan. ****)
|
||
(6)
|
Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak. ***)
|
||
(7)
|
Dihapus. ***)
|
||
(8)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Faktur Pajak dan tata cara pembetulan atau penggantian Faktur Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***)
|
||
(9)
|
Faktur Pajak harus memenuhi persyaratan formal dan material. ***)
|
a.
|
faktur penjualan yang digunakan oleh pengusaha telah dikenal oleh masyarakat luas, seperti kuitansi pembayaran telepon dan tiket pesawat udara;
|
b.
|
untuk adanya bukti pungutan pajak harus ada Faktur Pajak, sedangkan pihak yang seharusnya membuat Faktur Pajak, yaitu pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, berada di luar Daerah Pabean, misalnya, dalam hal pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, Surat Setoran Pajak dapat ditetapkan sebagai Faktur Pajak; dan
|
c.
|
terdapat dokumen tertentu yang digunakan dalam hal impor atau ekspor Barang Kena Pajak Berwujud.
|
KEP-224/PJ/2014 | PENETAPAN PENGUSAHA KENA PAJAK YANG DIWAJIBKAN MEMBUAT FAKTUR PAJAK BERBENTUK ELEKTRONIK |
KEP-08/PJ/2015 | PENETAPAN PENGUSAHA KENA PAJAK YANG DIWAJIBKAN MEMBUAT FAKTUR PAJAK BERBENTUK ELEKTRONIK |
KEP-33/PJ/2015 | PENETAPAN PENGUSAHA KENA PAJAK YANG DIWAJIBKAN MEMBUAT FAKTUR PAJAK BERBENTUK ELEKTRONIK |
KEP-62/PJ/2015 | PENETAPAN PENGUSAHA KENA PAJAK YANG DIWAJIBKAN MEMBUAT FAKTUR PAJAK BERBENTUK ELEKTRONIK |
SE-26/PJ/2015 | PENEGASAN PENGGUNAAN NOMOR SERI FAKTUR PAJAK DAN TATA CARA PEMBUATAN FAKTUR PAJAK |
KEP-94/PJ/2015 | PENETAPAN PENGUSAHA KENA PAJAK YANG DIWAJIBKAN MEMBUAT FAKTUR PAJAK BERBENTUK ELEKTRONIK |
KEP-96/PJ/2015 | PENETAPAN PENGUSAHA KENA PAJAK YANG DIWAJIBKAN MEMBUAT FAKTUR PAJAK BERBENTUK ELEKTRONIK |
62/PMK.03/2015 | NILAI LAIN SEBAGAI DASAR PENGENAAN PAJAK DAN SAAT LAIN PEMBUATAN FAKTUR PAJAK ATAS PENYERAHAN PUPUK TERTENTU UNTUK SEKTOR PERTANIAN |
SE-69/PJ/2015 | PROSEDUR PEMBERIAN DAN PENCABUTAN SERTIFIKAT ELEKTRONIK |
KEP-124/PJ/2015 | PENETAPAN PENGUSAHA KENA PAJAK YANG DIWAJIBKAN MEMBUAT FAKTUR PAJAK BERBENTUK ELEKTRONIK |
(1)
|
Orang pribadi atau badan yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dilarang membuat Faktur Pajak. *)
|
(2)
|
Dalam hal Faktur Pajak telah dibuat, maka orang pribadi atau badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyetorkan jumlah pajak yang tercantum dalam Faktur Pajak ke Kas Negara. *)
|
Dihapus. *)
|
(1)
|
Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai oleh Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) harus dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan. ***)
|
(2)
|
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak. ***)
|
Dihapus. *)
|
KETENTUAN KHUSUS
(1)
|
Pajak yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai. **)
|
(2)
|
Tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan pajak oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan. **)
|
KEP-382/PJ/2002 | PEDOMAN PELAKSANAAN PEMUNGUTAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH BAGI PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PENGUSAHA KENA PAJAK REKANAN |
231/PMK.03/2019 | TATA CARA PENDAFTARAN DAN PENGHAPUSAN NOMOR POKOK WAJIB PAJAK, PENGUKUHAN DAN PENCABUTAN PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK, SERTA PEMOTONGAN DAN/ATAU PEMUNGUTAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK BAGI INSTANSI PEMERINTAH |
48/PMK.03/2020 | TATA CARA PENUNJUKAN PEMUNGUT, PEMUNGUTAN, DAN PENYETORAN, SERTA PELAPORAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PEMANFAATAN BARANG KENA PAJAK TIDAK BERWUJUD DAN/ATAU JASA KENA PAJAK DARI LUAR DAERAH PABEAN DI DALAM DAERAH PABEAN MELALUI PERDAGANGAN MELALUI SISTEM ELEKTRONIK |
PER-12/PJ/2020 | BATASAN KRITERIA TERTENTU PEMUNGUT SERTA PENUNJUKAN PEMUNGUT, PEMUNGUTAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PEMANFAATAN BARANG KENA PAJAK TIDAK BERWUJUD DAN/ATAU JASA KENA PAJAK DARI LUAR DAERAH PABEAN DI DALAM DAERAH PABEAN MELALUI PERDAGANGAN MELALUI SISTEM ELEKTRONIK |
SE-44/PJ/2020 | PETUNJUK PELAKSANAAN ATAS PENUNJUKAN PEMUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PEMANFAATAN BARANG KENA PAJAK TIDAK BERWUJUD DAN/ATAU JASA KENA PAJAK DARI LUAR DAERAH PABEAN DI DALAM DAERAH PABEAN MELALUI PERDAGANGAN MELALUI SISTEM ELEKTRONIK |
136/PMK.03/2012 | PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 85/PMK.03/2012 TENTANG PENUNJUKAN BADAN USAHA MILIK NEGARA UNTUK MEMUNGUT, MENYETOR, DAN MELAPORKAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH, SERTA TATA CARA PEMUNGUTAN, PENYETORAN, DAN PELAPORANNYA. |
73/PMK.03/2010 | PENUNJUKAN KONTRAKTOR KONTRAK KERJA SAMA PENGUSAHAAN MINYAK DAN GAS BUMI DAN KONTRAKTOR ATAU PEMEGANG KUASA/PEMEGANG IZIN PENGUSAHAAN SUMBER DAYA PANAS BUMI UNTUK MEMUNGUT, MENYETOR, DAN MELAPORKAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH, SERTA TATA CARA PEMUNGUTAN, PENYETORAN, DAN PELAPORANNYA |
85/PMK.03/2012 | PENUNJUKAN BADAN USAHA MILIK NEGARA UNTUK MEMUNGUT, MENYETOR, DAN MELAPORKAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH, SERTA TATA CARA PEMUNGUTAN, PENYETORAN, DAN PELAPORANNYA |
(1)
|
Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk:
|
|
|
a.
|
kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;
|
|
b.
|
penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;
|
|
c.
|
impor Barang Kena Pajak tertentu;
|
|
d.
|
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; dan
|
|
e.
|
pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean,
|
|
diatur dengan Peraturan Pemerintah. ***)
|
|
(2)
|
Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai dapat dikreditkan. ***)
|
|
(3)
|
Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan. ***)
|
a.
|
mendorong ekspor yang merupakan prioritas nasional di Tempat Penimbunan Berikat atau untuk mengembangkan wilayah dalam Daerah Pabean yang dibentuk khusus untuk maksud tersebut;
|
b.
|
menampung kemungkinan perjanjian dengan negara lain dalam bidang perdagangan dan investasi, konvensi internasional yang telah diratifikasi, serta kelaziman internasional lainnya;
|
c.
|
mendorong peningkatan kesehatan masyarakat melalui pengadaan vaksin yang diperlukan dalam rangka program imunisasi nasional;
|
d.
|
menjamin tersedianya peralatan Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Republik Indonesia (TNI/POLRI) yang memadai untuk melindungi wilayah Republik Indonesia dari ancaman eksternal maupun internal;
|
e.
|
menjamin tersedianya data batas dan foto udara wilayah Republik Indonesia yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk mendukung pertahanan nasional;
|
f.
|
meningkatkan pendidikan dan kecerdasan bangsa dengan membantu tersedianya buku pelajaran umum, kitab suci, dan buku pelajaran agama dengan harga yang relatif terjangkau masyarakat;
|
g.
|
mendorong pembangunan tempat ibadah;
|
h.
|
menjamin tersedianya perumahan yang harganya terjangkau oleh masyarakat lapisan bawah, yaitu rumah sederhana, rumah sangat sederhana, dan rumah susun sederhana;
|
i.
|
mendorong pengembangan armada nasional di bidang angkutan darat, air, dan udara;
|
j.
|
mendorong pembangunan nasional dengan membantu tersedianya barang yang bersifat strategis, seperti bahan baku kerajinan perak;
|
k.
|
menjamin terlaksananya proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah dan/atau dana pinjaman luar negeri;
|
l.
|
mengakomodasi kelaziman internasional dalam importasi Barang Kena Pajak tertentu yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk;
|
m.
|
membantu tersedianya Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang diperlukan dalam rangka penanganan bencana alam yang ditetapkan sebagai bencana alam nasional;
|
n.
|
menjamin tersedianya air bersih dan listrik yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat; dan/atau
|
o.
|
menjamin tersedianya angkutan umum di udara untuk mendorong kelancaran perpindahan arus barang dan orang di daerah tertentu yang tidak tersedia sarana transportasi lainnya yang memadai, yang perbandingan antara volume barang dan orang yang harus dipindahkan dengan sarana transportasi yang tersedia sangat tinggi.
|
267/PMK.010/2015 | KRITERIA DAN/ATAU RINCIAN TERNAK, BAHAN PAKAN UNTUK PEMBUATAN PAKAN TERNAK DAN PAKAN IKAN YANG ATAS IMPOR DAN/ATAU PENYERAHANNYA DIBEBASKAN DARI PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI |
269/PMK.010/2015 | BATASAN HARGA JUAL UNIT HUNIAN RUMAH SUSUN SEDERHANA MILIK DAN PENGHASILAN BAGI ORANG PRIBADI YANG MEMPEROLEH UNIT HUNIAN RUMAH SUSUN SEDERHANA MILIK |
268/PMK.03/2015 | TATA CARA PEMBERIAN FASILITAS DIBEBASKAN DARI PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS IMPOR DAN/ATAU PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK TERTENTU YANG BERSIFAT STRATEGIS DAN TATA CARA PEMBAYARAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG KENA PAJAK TERTENTU YANG BERSIFAT STRATEGIS YANG TELAH DIBEBASKAN SERTA PENGENAAN SANKSI |
74 TAHUN 2015 | PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERLAKUAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS PENYERAHAN JASA KEPELABUHANAN TERTENTU KEPADA PERUSAHAAN ANGKUTAN LAUT YANG MELAKUKAN KEGIATAN ANGKUTAN LAUT LUAR NEGERI |
5/PMK.010/2016 | PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 267/PMK.010/2015 TENTANG KRITERIA DAN/ATAU RINCIAN TERNAK, BAHAN PAKAN UNTUK PEMBUATAN PAKAN TERNAK DAN PAKAN IKAN YANG ATAS IMPOR DAN/ATAU PENYERAHANNYA DIBEBASKAN DARI PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI |
SE-32/PJ/2016 | PROSEDUR PELAKSANAAN DAN ADMINISTRASI PEMBERIAN FASILITAS DIBEBASKAN DARI PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS IMPOR DAN/ATAU PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK TERTENTU YANG BERSIFAT STRATEGIS |
105/PMK.010/2016 | PEMBERIAN FASILITAS PERPAJAKAN DAN KEPABEANAN BAGI PERUSAHAAN INDUSTRI DI KAWASAN INDUSTRI DAN PERUSAHAAN KAWASAN INDUSTRI |
177/PMK.04/2016 | PEMBEBASAN BEA MASUK DAN TIDAK DIPUNGUT PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH ATAS IMPOR BARANG DAN/ATAU BAHAN, DAN/ATAU MESIN YANG DILAKUKAN OLEH INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH DENGAN TUJUAN EKSPOR |
131/PMK.04/2018 | KAWASAN BERIKAT |
85 TAHUN 2015 | PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG TEMPAT PENIMBUNAN BERIKAT |
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan. **)
|
163/PMK.03/2012 | BATASAN DAN TATA CARA PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS KEGIATAN MEMBANGUN SENDIRI. |
17/PMK.03/2010 | PERLAKUAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS KEGIATAN MEMBANGUN SENDIRI PASCABENCANA ALAM DI WILAYAH PROVINSI SUMATERA BARAT DAN SEBAGIAN PROVINSI JAMBI |
PER-25/PJ/2012 | PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-23/PJ/2012 TENTANG TATA CARA PENETAPAN SECARA JABATAN ATAS JUMLAH BIAYA YANG DIKELUARKAN DAN/ATAU YANG DIBAYARKAN UNTUK MEMBANGUN BANGUNAN DALAM RANGKA KEGIATAN MEMBANGUN SENDIRI |
PER-23/PJ/2012 | TATA CARA PENETAPAN SECARA JABATAN ATAS JUMLAH BIAYA YANG DIKELUARKAN DAN/ATAU YANG DIBAYARKAN UNTUK MEMBANGUN BANGUNAN DALAM RANGKA KEGIATAN MEMBANGUN SENDIRI |
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c. ***)
|
(1)
|
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sudah dibayar atas pembelian Barang Kena Pajak yang dibawa ke luar Daerah Pabean oleh orang pribadi pemegang paspor luar negeri dapat diminta kembali. ***)
|
|
(2)
|
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dapat diminta kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:
|
|
|
a.
|
nilai Pajak Pertambahan Nilai paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan dapat disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah;
|
|
b.
|
pembelian Barang Kena Pajak dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum keberangkatan ke luar Daerah Pabean; dan
|
|
c.
|
Faktur Pajak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5), kecuali pada kolom Nomor Pokok Wajib Pajak dan alamat pembeli diisi dengan nomor paspor dan alamat lengkap di negara yang menerbitkan paspor atas penjualan kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri yang tidak mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak. ***)
|
(3)
|
Permintaan kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat orang pribadi pemegang paspor luar negeri meninggalkan Indonesia dan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Direktorat Jenderal Pajak di bandar udara yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. ***)
|
|
(4)
|
Dokumen yang harus ditunjukkan pada saat meminta kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah:
|
|
|
a.
|
paspor;
|
|
b.
|
pas naik (boarding pass) untuk keberangkatan orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke luar Daerah Pabean; dan
|
|
c.
|
Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c. ***)
|
(5)
|
Ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian permintaan kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. ***)
|
SE-56/PJ/2010 | PENJELASAN MENGENAI PENGGUNAAN FAKTUR PAJAK LAMA |
SE-57/PJ/2010 | TATA CARA PENGAJUAN UANG PERSEDIAAN, PENGGANTIAN UANG PERSEDIAAN, DAN PEMBAYARAN PENGEMBALIAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG BAWAAN ORANG PRIBADI PEMEGANG PASPOR LUAR NEGERI |
120/PMK.03/2019 | TATA CARA PENGAJUAN DAN PENYELESAIAN PERMINTAAN KEMBALI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG BAWAAN ORANG PRIBADI PEMEGANG PASPOR LUAR NEGERI |
PER-17/PJ/2019 | TATA CARA PENDAFTARAN DAN KEWAJIBAN PENGUSAHA KENA PAJAK TOKO RETAIL YANG BERPARTISIPASI DALAM SKEMA PENGEMBALIAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI KEPADA TURIS ASING |
SE-39/PJ/2013 | TATA CARA PENGEMBALIAN DAN PENGELOLAAN ADMINISTRASI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI KEPADA ORANG PRIBADI PEMEGANG PASPOR LUAR NEGERI |
141/KMK.03/2010 | PENETAPAN BANDAR UDARA YANG MEMBERIKAN PELAYANAN PERMINTAAN KEMBALI PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG BAWAAN ORANG PRIBADI PEMEGANG PASPOR LUAR NEGERI. |
Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar. ***)
|
KETENTUAN LAIN-LAIN
Hal-hal yang menyangkut pengertian dan tata cara pemungutan berkenaan dengan pelaksanaan Undang-Undang ini, yang secara khusus belum diatur dalam Undang-Undang ini, berlaku ketentuan dalam Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan serta peraturan perundang-undangan lainnya. *)
|
KETENTUAN PERALIHAN
(1)
|
Dengan berlakunya undang-undang ini:
|
|
|
a.
|
semua penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dan impor Barang Kena Pajak yang telah dilakukan sebelum Undang-Undang ini berlaku, tetap terutang pajak menurut Undang-Undang Pajak Penjualan 1951;
|
|
b.
|
selama peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini belum dikeluarkan, maka peraturan pelaksanaan yang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini yang belum dicabut dan diganti dinyatakan masih berlaku.
|
(2)
|
Ketentuan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.
|
-
|
kontrak jangka panjang atau kontrak yang masa berlakunya meliputi dua masa undang-undang seperti tersebut di atas;
|
-
|
sisa Harga Jual atau Penggantian yang belum dibayar;
|
-
|
persediaan Barang yang belum ada Pajak Masukannya.
|
KETENTUAN PENUTUP
Hal-hal yang belum diatur dalam Undang-Undang ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
|
142/PMK.010/2015 | PERUBAHAN KEEMPAT ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 231/KMK.03/2001 TENTANG PERLAKUAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH ATAS IMPOR BARANG KENA PAJAK YANG DIBEBASKAN DARI PUNGUTAN BEA MASUK |
171/PMK.03/2017 | PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 62/PMK.03/2012 TENTANG TATA CARA PENGAWASAN, PENGADMINISTRASIAN, PEMBAYARAN, SERTA PELUNASAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN/ATAU PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH ATAS PENGELUARAN DAN/ATAU PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK DAN/ATAU JASA KENA PAJAK DARI KAWASAN BEBAS KE TEMPAT LAIN DALAM DAERAH PABEAN DAN PEMASUKAN DAN/ATAU PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK DAN/ATAU JASA KENA PAJAK DARI TEMPAT LAIN DALAM DAERAH PABEAN KE KAWASAN BEBAS |
196/PMK.010/2016 | PERUBAHAN KELIMA ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 231/KMK.03/2001 TENTANG PERLAKUAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH ATAS IMPOR BARANG KENA PAJAK YANG DIBEBASKAN DARI PUNGUTAN BEA MASUK |
137/PMK.010/2018 | PERUBAHAN KEENAM ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 231/KMK.03/2001 TENTANG PERLAKUAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH ATAS IMPOR BARANG KENA PAJAK YANG DIBEBASKAN DARI PUNGUTAN BEA MASUK |
81/PMK.010/2019 | BATASAN RUMAH UMUM, PONDOK BORO, ASRAMA MAHASISWA DAN PELAJAR, SERTA PERUMAHAN LAINNYA, YANG ATAS PENYERAHANNYA DIBEBASKAN DARI PENGENAAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI |
119/PMK.02/2019 | TATA CARA PEMBAYARAN KEMBALI (REIMBURSEMENT) PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAU PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH ATAS PEROLEHAN BARANG KENA PAJAK DAN/ATAU JASA KENA PAJAK KEPADA KONTRAKTOR DALAM KEGIATAN USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI |
198/PMK.010/2019 | PERUBAHAN KETUJUH ATAS KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 231/KMK.03/2001 TENTANG PERLAKUAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH ATAS IMPOR BARANG KENA PAJAK YANG DIBEBASKAN DARI PUNGUTAN BEA MASUK |
125/PMK.010/2020 | PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS IMPOR DAN/ATAU PENYERAHAN KERTAS KORAN DAN/ATAU KERTAS MAJALAH YANG DITANGGUNG PEMERINTAH TAHUN ANGGARAN 2020 |
9 TAHUN 2021 | PERLAKUAN PERPAJAKAN UNTUK MENDUKUNG KEMUDAHAN BERUSAHA |
231/KMK.03/2001 | PERLAKUAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH ATAS IMPOR BARANG KENA PAJAK YANG DIBEBASKAN DARI PUNGUTAN BEA MASUK |
Undang-undang ini dapat disebut Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.
|
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1984.
|