Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Premium
Terjemahan Dokumen
Ini Belum Tersedia
Ini Belum Tersedia
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Perubahan atau penyempurnaan
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
|
||||
|
|
|||
Menimbang |
||||
a.
|
bahwa ketentuan mengenai keberatan di bidang kepabeanan dan cukai telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.04/2010 tentang Keberatan di Bidang Kepabeanan dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 114/PMK.04/2008 tentang Keberatan di Bidang Cukai;
|
|||
b.
|
bahwa untuk menjamin terciptanya kepastian hukum dan rasa keadilan bagi pengguna jasa di bidang kepabeanan dan cukai, perlu mengatur kembali ketentuan mengenai keberatan di bidang kepabeanan dan cukai;
|
|||
c.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 93 ayat (6), Pasal 93A ayat (8), dan Pasal 94 ayat (6) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, ketentuan. Pasal 41 ayat (8) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, dan ketentuan Pasal 15 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2008 tentang Pengenaan Bea Keluar terhadap Barang Ekspor, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Keberatan di Bidang Kepabeanan dan Cukai;
|
|||
|
|
|||
Mengingat |
||||
1.
|
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
|
|||
2.
|
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3613) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4755);
|
|||
3.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2008 tentang Pengenaan Bea Keluar terhadap Barang Ekspor (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4886);
|
|||
|
|
|||
MEMUTUSKAN:
|
||||
Menetapkan |
||||
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG KEBERATAN DI BIDANG KEPABEANAN DAN CUKAI.
|
||||
|
||||
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
||||
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
|
||||
1.
|
Undang-Undang Kepabeanan adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
|
|||
2.
|
Undang-Undang Cukai adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
|
|||
3.
|
Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang selanjutnya disebut Kantor Bea dan Cukai adalah Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai atau Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai.
|
|||
4.
|
Kantor Wilayah adalah Kantor Wilayah pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||
5.
|
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||
6.
|
Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan dan Undang-Undang Cukai.
|
|||
7.
|
Orang adalah orang pribadi atau badan hukum.
|
|||
|
|
|||
Pasal 2 |
||||
(1)
|
Orang dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal atas penetapan yang dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai mengenai:
|
|||
|
a.
|
tarif dan/atau nilai pabean untuk penghitungan bea masuk yang mengakibatkan kekurangan pembayaran;
|
||
|
b.
|
selain tarif dan/atau nilai pabean untuk penghitungan bea masuk;
|
||
|
c.
|
pengenaan sanksi administrasi berupa denda; atau
|
||
|
d.
|
pengenaan bea keluar.
|
||
(2)
|
Penetapan yang dapat diajukan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, merupakan penetapan di bidang kepabeanan antara lain berupa:
|
|||
|
a.
|
Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPTNP);
|
||
|
b.
|
Surat Penetapan Pembayaran Bea Masuk, Cukai, dan/atau Pajak (SPPBMCP) atas impor barang kiriman; atau
|
||
|
c.
|
Surat Penetapan Pabean (SPP).
|
||
(3)
|
Penetapan yang dapat diajukan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, merupakan penetapan di bidang kepabeanan antara lain berupa:
|
|||
|
a.
|
Surat Penetapan Pabean (SPP); atau
|
||
|
b.
|
Surat Penetapan Barang Larangan dan Pembatasan (SPBL).
|
||
(4)
|
Penetapan yang dapat diajukan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, berupa Surat Penetapan Sanksi administrasi (SPSA).
|
|||
(5)
|
Penetapan yang dapat diajukan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, berupa Surat Penetapan Perhitungan Bea Keluar (SPPBK).
|
|||
|
|
|||
Pasal 3 |
||||
(1)
|
Orang dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal atas penetapan yang dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai yang mengakibatkan:
|
|||
|
a.
|
kekurangan cukai; dan/atau
|
||
|
b.
|
pengenaan sanksi administrasi berupa denda.
|
||
(2)
|
Penetapan oleh Pejabat Bea dan Cukai yang mengakibatkan kekurangan cukai dan/atau pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa surat tagihan di bidang cukai (STCK-1).
|
|||
|
|
|||
BAB II
PENGAJUAN KEBERATAN
Bagian Kesatu
Persyaratan Pengajuan Keberatan
Pasal 4 |
||||
(1)
|
Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 ayat (1) harus diajukan. kepada Direktur Jenderal secara tertulis dengan surat keberatan yang menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran Huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
|||
(2)
|
Terhadap 1 (satu) penetapan hanya dapat diajukan 1 (satu) kali keberatan dalam 1 (satu) pengajuan surat keberatan.
|
|||
(3)
|
Surat keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
|
||
|
b.
|
diajukan dengan menyebutkan alasan keberatan;
|
||
|
c.
|
ditandatangani oleh Orang yang berhak yaitu:
|
||
|
|
1.
|
orang pribadi; atau
|
|
|
|
2.
|
orang yang namanya tercantum dalam akta perusahaan, dalam hal diajukan oleh badan hukum;
|
|
|
d.
|
dilampiri bukti penerimaan jaminan atau bukti pelunasan sebesar tagihan yang harus dibayar;
|
||
|
e.
|
dilampiri fotokopi penetapan Pejabat Bea dan Cukai yang diajukan keberatan; dan
|
||
|
f.
|
dilampiri surat kuasa khusus, dalam hal ditandatangani oleh bukan Orang yang berhak sebagaimana dimaksud pada huruf c.
|
||
(4)
|
Surat keberatan disampaikan secara langsung melalui:
|
|||
|
a.
|
Kantor Bea dan Cukai yang menerbitkan penetapan atau tempat diselesaikannya kewajiban kepabeanan; atau
|
||
|
b.
|
Pejabat Bea dan Cukai yang menerbitkan penetapan, dalam hal penetapan Pejabat Bea dan Cukai diterbitkan oleh selain Kantor Bea dan Cukai dan tidak mengakibatkan tagihan bea masuk, bea keluar, cukai, dan/atau sanksi administrasi berupa denda.
|
||
(5)
|
Atas penyampaian surat dimaksud pada ayat (4), keberatan sebagaimana Pejabat Bea dan Cukai memberikan tanda terima berkas pengajuan keberatan.
|
|||
(6)
|
Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilampiri dengan data dan/atau bukti yang mendukung alasan pengajuan keberatan.
|
|||
(7)
|
Dalam hal surat keberatan tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan/atau huruf e, Orang yang mengajukan keberatan dapat melakukan perbaikan atas surat keberatan dan menyampaikan kembali sebelum jangka waktu pengajuan keberatan terlampaui.
|
|||
(8)
|
Dalam hal surat keberatan dilakukan perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), keberatan dianggap diajukan pada saat dilakukan pengajuan kembali.
|
|||
(9)
|
Pengajuan keberatan dinyatakan diterima secara lengkap apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
|
|||
|
|
|||
Bagian Kedua
Jaminan atas Keberatan di Bidang Kepabeanan
Pasal 5 |
||||
(1)
|
Orang yang mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), wajib menyerahkan jaminan sebesar tagihan yang harus dibayar.
|
|||
(2)
|
Bentuk dari jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai jaminan di bidang kepabeanan.
|
|||
(3)
|
Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memiliki masa penjaminan selama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal tanda terima berkas pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5) dan memiliki masa pengajuan klaim jaminan selama 30 (tiga puluh) hari.
|
|||
(4)
|
Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak wajib diserahkan dan bukti penerimaan jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf d, tidak wajib dilampirkan dalam hal:
|
|||
|
a.
|
barang impor belum dikeluarkan dari kawasan pabean;
|
||
|
b.
|
tagihan telah dilunasi; atau
|
||
|
c.
|
penetapan Pejabat Bea dan Cukai tidak menimbulkan kekurangan pembayaran.
|
||
|
|
|
||
Pasal 6 |
||||
(1)
|
Barang impor yang belum dikeluarkan dari kawasan pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) huruf a dan tidak wajib diserahkan jaminan harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
masih berada di kawasan pabean;
|
||
|
b.
|
belum diterbitkan persetujuan pengeluaran barang oleh Pejabat Bea dan Cukai;
|
||
|
c.
|
hanya digunakan untuk pengajuan keberatan atas penetapan Pejabat Bea dan Cukai terhadap importasi barang tersebut; dan
|
||
|
d.
|
bukan merupakan barang yang bersifat peka waktu, tidak tahan lama, merusak, dan/atau berbahaya.
|
||
(2)
|
Untuk memastikan pemenuhan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Bea dan Cukai melakukan pemeriksaan administratif, pemeriksaan fisik, dan penyegelan.
|
|||
(3)
|
Dalam hal pengajuan keberatan tidak disertai kewajiban untuk menyerahkan jaminan karena barang impor belum dikeluarkan dari kawasan pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) huruf a, importir harus membuat surat pernyataan yang menyatakan bahwa:
|
|||
|
a.
|
barang impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dikeluarkan dari kawasan pabean;
|
||
|
b.
|
barang impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkaitan dengan keberatan yang diajukan; dan
|
||
|
c.
|
importir menanggung seluruh risiko dan biaya yang timbul selama masa penimbunan.
|
||
(4)
|
Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dibuat sesuai dengan contoh format tercantum dalam Lampiran Huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
|||
|
|
|||
Bagian Ketiga
Jaminan atas Keberatan di Bidang Cukai
Pasal 7 |
||||
(1)
|
Orang yang mengajukan-keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) wajib menyerahkan jaminan sebesar kekurangan cukai dan/atau sanksi administrasi berupa denda yang ditetapkan.
|
|||
(2)
|
Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
jaminan tunai;
|
||
|
b.
|
jaminan bank; atau
|
||
|
c.
|
jaminan perusahaan asuransi.
|
||
(3)
|
Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki masa penjaminan selama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal tanda terima berkas pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5) dan memiliki masa pengajuan klaim jaminan selama 30 (tiga puluh) hari.
|
|||
|
|
|||
Pasal 8 |
||||
(1)
|
Jaminan tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a berupa uang tunai yang diserahkan Orang yang mengajukan keberatan pada Kantor Bea dan Cukai.
|
|||
(2)
|
Jaminan tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disimpan pada rekening khusus jaminan Kantor Bea dan Cukai.
|
|||
(3)
|
Penyerahan jaminan tunai dilakukan dengan cara:
|
|||
|
a.
|
menyerahkan uang tunai kepada bendahara penerimaan di Kantor Bea dan Cukai; dan/atau
|
||
|
b.
|
menyerahkan bukti pengkreditan rekening khusus jaminan Kantor Bea dan Cukai kepada bendahara penerimaan di Kantor Bea dan Cukai.
|
||
(4)
|
Atas setiap uang tunai yang diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, bendahara penerimaan di Kantor Bea dan Cukai harus menyimpan ke rekening khusus jaminan Kantor Bea dan Cukai paling lambat pada hari kerja berikutnya.
|
|||
(5)
|
Pembukaan rekening khusus jaminan di Kantor Bea dan Cukai dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan rekening milik kementerian negara/lembaga/kantor/satuan kerja.
|
|||
(6)
|
Jaminan tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan untuk 1 (satu) pengajuan keberatan.
|
|||
|
|
|||
Pasal 9 |
||||
(1)
|
Jaminan bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b, berupa warkat yang diterbitkan oleh bank devisa persepsi sebagai penjamin atau surety yang mengakibatkan kewajiban bank devisa persepsi untuk melakukan pembayaran kekurangan cukai dan/atau sanksi administrasi berupa denda kepada Direktur Jenderal atau Pejabat Bea dan Cukai.
|
|||
(2)
|
Jaminan bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya dapat digunakan untuk 1 (satu) pengajuan keberatan.
|
|||
|
|
|||
Pasal 10 |
||||
(1)
|
Jaminan dari perusahaan asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c, diserahkan dalam bentuk Excise Bond.
|
|||
(2)
|
Excise Bond sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa sertifikat yang memberikan jaminan pembayaran kewajiban cukai dan/atau sanksi administrasi berupa denda kepada Direktur Jenderal atau Pejabat Bea dan Cukai.
|
|||
(3)
|
Excise Bond sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh penjamin atau surety yang termasuk dalam daftar perusahaan asuransi umum yang memiliki izin usaha di Indonesia untuk memasarkan produk Excise Bond yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
(4)
|
Excise Bond sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya dapat digunakan untuk 1 (satu) pengajuan keberatan.
|
|||
|
|
|||
Bagian Keempat
Jangka Waktu Pengajuan Keberatan
Pasal 11 |
||||
(1)
|
Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), diajukan dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal penetapan.
|
|||
(2)
|
Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), diajukan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya surat tagihan.
|
|||
(3)
|
Apabila keberatan tidak diajukan dalam jangka waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), hak Orang untuk mengajukan keberatan menjadi gugur dan penetapan Pejabat Bea dan Cukai dianggap diterima.
|
|||
(4)
|
Dalam hal jatuh tempo pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bertepatan dengan hari libur, pengajuan permohonan keberatan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
|
|||
(5)
|
Tanggal diterimanya surat tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu:
|
|||
|
a.
|
tanggal stempel pos pengiriman, faksimile, atau media antar lainnya; atau
|
||
|
b.
|
tanggal pada saat surat tagihan diterima secara langsung, dalam hal dikirimkan secara langsung.
|
||
(6)
|
Dalam hal surat tagihan yang sama dikirimkan lebih dari 1 (satu) kali, tanggal diterimanya surat tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah tanggal yang terjadi lebih dahulu antara:
|
|||
|
a.
|
tanggal stempel pos pengiriman, faksimile, atau media antar lainnya; atau
|
||
|
b.
|
tanggal pada saat surat tagihan diterima secara langsung, dalam hal dikirimkan secara langsung.
|
||
|
|
|
||
Pasal 12 |
||||
(1)
|
Sebelum mengajukan keberatan, Orang dapat meminta penjelasan secara tertulis mengenai hal yang menjadi dasar penetapan kepada Kepala Kantor Bea dan Cukai yang menerbitkan penetapan.
|
|||
(2)
|
Permintaan penjelasan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disampaikan dalam jangka waktu:
|
|||
|
a.
|
paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal surat penetapan, untuk maksud pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1); atau
|
||
|
b.
|
paling lambat 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya surat tagihan, untuk maksud pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
|
||
(3)
|
Kepala Kantor Bea dan Cukai atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk memberikan penjelasan secara tertulis mengenai dasar penetapan dalam jangka waktu:
|
|||
|
a.
|
paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya surat permintaan penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a; atau
|
||
|
b.
|
paling lambat 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya surat permintaan penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b.
|
||
(4)
|
Dalam hal permintaan penjelasan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melebihi jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Kantor Bea dan Cukai atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk tidak memberikan penjelasan secara tertulis.
|
|||
(5)
|
Permintaan penjelasan oleh Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pemberian penjelasan oleh Kepala Kantor Bea dan Cukai atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mempengaruhi jangka waktu pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
|
|||
|
|
|||
Pasal 13 |
||||
(1)
|
Atas pengajuan keberatan, Pejabat Bea dan Cukai melakukan penelitian terhadap:
|
|||
|
a.
|
pemenuhan kelengkapan persyaratan pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3); dan
|
||
|
b.
|
pemenuhan ketentuan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
|
||
(2)
|
Dalam hal kelengkapan persyaratan pengajuan keberatan dan ketentuan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terpenuhi, berkas pengajuan keberatan diteruskan kepada Direktur Jenderal paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak berkas pengajuan keberatan diterima secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (9).
|
|||
(3)
|
Dalam hal keberatan diajukan tidak secara lengkap dan jangka waktu pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 belum terlampaui, Pejabat Bea dan Cukai mengembalikan berkas pengajuan keberatan kepada Orang yang mengajukan keberatan paling lambat pada hari kerja berikutnya dengan disertai alasan pengembalian.
|
|||
(4)
|
Dalam hal keberatan diajukan tidak secara lengkap namun hari kerja berikutnya telah melampaui jangka waktu pengaJuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, atas keberatan yang diajukan tidak secara lengkap tersebut tetap diteruskan kepada Direktur Jenderal dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak berkas pengajuan keberatan diterima.
|
|||
|
|
|||
BAB III
PENCABUTAN PENGAJUAN KEBERATAN
Pasal 14 |
||||
(1)
|
Orang dapat mengajukan permohonan pencabutan pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada Direktur Jenderal sepanjang Direktur Jenderal belum memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan pencabutan.
|
|||
(2)
|
Permohonan pencabutan pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menyampaikan permohonan pencabutan pengajuan keberatan dan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran Huruf C. yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;
|
||
|
b.
|
ditandatangani oleh Orang yang berhak yaitu:
|
||
|
|
1.
|
orang pribadi; atau
|
|
|
|
2.
|
orang yang namanya tercantum dalam akta perusahaan, dalam hal diajukan oleh badan hukum;
|
|
|
c.
|
disampaikan ke Kantor Bea dan Cukai tempat keberatan diajukan, dan disampaikan tembusan kepada Kepala Kantor Wilayah yang membawahi Kantor Bea dan Cukai tempat keberatan diajukan;
|
||
|
d.
|
dilampiri dengan dokumen berupa:
|
||
|
|
1.
|
fotokopi surat keberatan; dan
|
|
|
|
2.
|
fotokopi tanda terima pengajuan berkas keberatan; dan
|
|
|
e.
|
dalam hal ditandatangani oleh bukan Orang yang berhak sebagaimana dimaksud dalam huruf b, dilampiri dengan surat kuasa khusus.
|
||
(3)
|
Terhadap permohonan pencabutan pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal memberikan persetujuan atau penolakan.
|
|||
(4)
|
Dalam hal permohonan pencabutan pengajuan keberatan disetujui oleh Direktur Jenderal dan telah diterbitkan surat persetujuan pencabutan pengajuan keberatan, keberatan tidak dapat diajukan kembali dan Orang yang mengajukan keberatan harus melunasi kekurangan pembayaran bea masuk, bea keluar, cukai, dan/atau sanksi administrasi berupa denda.
|
|||
|
|
|||
BAB IV
PENYELESAIAN KEBERATAN
Pasal 15 |
||||
(1)
|
Dalam proses penyelesaian keberatan, Direktur Jenderal dapat:
|
|||
|
a.
|
meminjam buku, catatan, data, dan/atau informasi dalam bentuk salinan cetak dan/atau salinan elektronik kepada Orang yang mengajukan keberatan terkait dengan materi yang disengketakan dengan menyampaikan surat permintaan peminjaman buku, catatan, data, dan/atau informasi;
|
||
|
b.
|
meminta Orang yang mengajukan keberatan untuk memberikan bukti dan keterangan terkait dengan materi yang disengketakan dengan menyampaikan surat permintaan bukti dan keterangan;
|
||
|
c.
|
meminta keterangan atau bukti terkait dengan materi yang disengketakan kepada pihak ketiga yang mempunyai hubungan hukum dengan Orang yang mengajukan keberatan dengan menyampaikan surat permintaan data dan keterangan kepada pihak ketiga;
|
||
|
d.
|
meninjau tempat Orang yang mengajukan keberatan, termasuk tempat lain yang diperlukan; dan/atau
|
||
|
e.
|
melakukan pembahasan atas hal-hal yang diperlukan dengan memanggil Orang yang mengajukan keberatan dengan menyampaikan surat panggilan.
|
||
(2)
|
Orang harus memenuhi permintaan peminjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, permintaan bukti dan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dan/atau permintaan keterangan atau bukti terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c.
|
|||
(3)
|
Peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan/atau pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, dituangkan dalam berita acara peninjauan dan/atau risalah pembahasan.
|
|||
(4)
|
Risalah pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat hal antara lain:
|
|||
|
a.
|
resume alasan pengajuan keberatan;
|
||
|
b.
|
daftar buku, catatan, data, dan/atau informasi yang diajukan oleh Orang yang mengajukan keberatan;
|
||
|
c.
|
pernyataan Orang yang mengajukan keberatan bahwa tidak ada perubahan permohonan dan alasan pengajuan keberatannya;
|
||
|
d.
|
pernyataan Orang yang mengajukan keberatan bahwa buku, catatan, data, dan/atau informasi, baik asli maupun salinannya yang telah ditunjukkan dan/atau diserahkan yaitu sah dan otentik; dan/atau
|
||
|
e.
|
pernyataan Orang yang mengajukan keberatan bahwa keterangan yang diberikan dalam rangka pengajuan keberatan yaitu benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
|
||
(5)
|
Dalam hal Orang yang mengajukan keberatan tidak memenuhi sebagian atau seluruhnya permintaan peminjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan/atau permintaan bukti dan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Orang yang mengajukan keberatan menandatangani berita acara penolakan disertai alasan.
|
|||
|
|
|||
Pasal 16Orang yang mengajukan keberatan dapat menyampaikan tambahan alasan, penjelasan atau bukti, dan/atau data pendukung secara tertulis kepada Direktur Jenderal atas kehendak sendiri dengan ketentuan:
|
||||
a.
|
diajukan dalam jangka waktu paling lama 40 (empat puluh) hari terhitung sejak tanggal tanda terima berkas pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5); dan
|
|||
b.
|
belum diterbitkan Keputusan Direktur Jenderal mengenai keberatan dimaksud.
|
|||
|
|
|||
BAB V
KEPUTUSAN KEBERATAN
Pasal 17 |
||||
Direktur Jenderal memutuskan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal tanda terima berkas pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5).
|
||||
Pasal 18 |
||||
(1)
|
Keputusan atas keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dapat berupa:
|
|||
|
a.
|
mengabulkan seluruhnya;
|
||
|
b.
|
menolak seluruhnya atau sebagian; atau
|
||
|
c.
|
menetapkan lain.
|
||
(2)
|
Keputusan atas keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dapat berupa:
|
|||
|
a.
|
mengabulkan seluruhnya atau sebagian;
|
||
|
b.
|
menolak; atau
|
||
|
c.
|
menetapkan lain.
|
||
(3)
|
Keputusan berupa menetapkan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf c, dapat lebih tinggi atau lebih rendah daripada penetapan Pejabat Bea dan Cukai.
|
|||
(4)
|
Keputusan atas keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dituangkan dalam bentuk Keputusan Direktur Jenderal mengenai keberatan.
|
|||
(5)
|
Keputusan Direktur Jenderal mengenai keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berfungsi sebagai:
|
|||
|
a.
|
penetapan Direktur Jenderal;
|
||
|
b.
|
pemberitahuan; dan/atau
|
||
|
c.
|
penagihan kepada Orang yang mengajukan keberatan, dalam hal mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk, bea keluar, cukai, sanksi administrasi berupa denda, dan/atau pajak dalam rangka impor.
|
||
|
|
|
||
Pasal 19 |
||||
(1)
|
Apabila Direktur Jenderal tidak memutuskan keberatan dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, keberatan dianggap dikabulkan.
|
|||
(2)
|
Dalam hal pengajuan keberatan dianggap dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal mengenai keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4).
|
|||
|
|
|||
Pasal 20 |
||||
(1)
|
Keputusan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) dikirimkan kepada Orang yang mengajukan keberatan paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung setelah tanggal ditetapkan.
|
|||
(2)
|
Pengiriman Keputusan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dinyatakan dengan:
|
|||
|
|
tanda terima surat, dalam hal disampaikan secara langsung; b. bukti pengiriman surat, dalam hal dikirim melalui pos, ekspedisi, atau kurir; atau c. bukti pengiriman lainnya.
|
||
|
|
|
||
|
|
|
||
BAB VI
AKIBAT DAN UPAYA ATAS KEPUTUSAN KEBERATAN
Bagian Pertama
Penanganan Jaminan Keberatan di Bidang Kepabeanan
Pasal 21 |
||||
(1)
|
Terhadap keputusan atas keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a dan Pasal 19 ayat (1) yang mengabulkan permohonan keberatan, Keputusan Direktur Jenderal mengenai keberatan digunakan sebagai dasar untuk:
|
|||
|
a.
|
pengembalian atas kelebihan pembayaran;
|
||
|
b.
|
pengembalian jaminan; dan/atau
|
||
|
c.
|
proses pengeluaran barang dari kawasan pabean.
|
||
(2)
|
Terhadap keputusan atas keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b atau huruf c, yang menetapkan lebih rendah dari yang diberitahukan dalam pemberitahuan pabean, Keputusan Direktur Jenderal mengenai keberatan digunakan sebagai dasar untuk:
|
|||
|
a.
|
pengembalian atas kelebihan pembayaran;
|
||
|
b.
|
pengembalian jaminan; dan/atau
|
||
|
c.
|
proses pengeluaran barang dari kawasan pabean.
|
||
(3)
|
Terhadap keputusan atas keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b atau huruf c, yang menetapkan lebih tinggi dari yang diberitahukan dalam pemberitahuan pabean, Keputusan Direktur Jenderal mengenai keberatan digunakan sebagai dasar untuk:
|
|||
|
a.
|
pencairan jaminan; dan/atau
|
||
|
b.
|
pelunasan, yang dilakukan dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal ditetapkannya Keputusan Direktur Jenderal mengenai keberatan.
|
||
(4)
|
Terhadap keputusan atas keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) terkait penetapan selain tarif dan/atau nilai pabean untuk penghitungan bea masuk, Keputusan Direktur Jenderal mengenai keberatan digunakan sebagai dasar untuk:
|
|||
|
a.
|
pengembalian atas kelebihan pembayaran;
|
||
|
b.
|
pencairan jaminan;
|
||
|
c.
|
pengembalian jaminan;
|
||
|
d.
|
pelunasan, yang dilakukan dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari sejak tanggal Keputusan Direktur Jenderal mengenai keberatan; dan/atau
|
||
|
e.
|
pelaksanaan atau pembatalan penetapan Pejabat Bea dan Cukai.
|
||
(5)
|
Terhadap keputusan atas keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) terkait penetapan sanksi administrasi berupa denda, Keputusan Direktur Jenderal mengenai keberatan digunakan sebagai dasar untuk:
|
|||
|
a.
|
pengembalian atas kelebihan pembayaran;
|
||
|
b.
|
pencairan jaminan;
|
||
|
c.
|
pengembalian jaminan; dan/atau
|
||
|
d.
|
pelunasan, yang dilakukan dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari sejak tanggal ditetapkannya Keputusan Direktur Jenderal mengenai keberatan.
|
||
(6)
|
Pengembalian atas kelebihan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, ayat (2) huruf a, ayat (4) huruf a, dan ayat (5) huruf a dapat berupa:
|
|||
|
a.
|
bea masuk, bea keluar, dan/atau sanksi administrasi berupa denda; dan/atau
|
||
|
b.
|
pajak dalam rangka impor sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
||
(7)
|
Dalam hal keputusan keberatan menjadi dasar pencairan jaminan, Direktur Jenderal atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk mengajukan klaim jaminan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal Keputusan Direktur Jenderal mengenai keberatan.
|
|||
|
|
|||
Bagian Kedua
Penanganan Jaminan Keberatan Di Bidang Cukai
Pasal 22 |
||||
(1)
|
Dalam hal keberatan dikabulkan seluruhnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf a atau dianggap dikabulkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), jaminan dikembalikan kepada Orang yang mengajukan keberatan setelah Orang yang mengajukan keberatan mengajukan permohonan pengembalian jaminan.
|
|||
(2)
|
Dalam hal keberatan dikabulkan sebagian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf a, jaminan dikembalikan sesuai dengan jumlah kekurangan cukai dan/atau sanksi administrasi berupa denda yang keberatannya dikabulkan setelah Orang yang mengajukan keberatan mengajukan permohonan pengembalian jaminan.
|
|||
(3)
|
Dalam hal jaminan yang diserahkan berupa jaminan tunai, Orang yang mengajukan keberatan harus mengambil jaminan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal Keputusan Direktur Jenderal mengenai keberatan dikabulkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf a atau dianggap dikabulkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1).
|
|||
(4)
|
Dalam hal Orang yang mengajukan keberatan tidak mengambil jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal Keputusan Direktur Jenderal mengenai keberatan dikabulkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf a atau dianggap dikabulkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), atas penyerahan jaminan tidak diberikan bunga.
|
|||
(5)
|
Dalam hal keberatan ditolak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf b, jaminan dicairkan untuk membayar kekurangan cukai dan/atau sanksi administrasi berupa denda yang ditetapkan.
|
|||
(6)
|
) Dalam hal keberatan ditetapkan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf c dan tagihan kekurangan cukai dan/atau sanksi administrasi berupa denda lebih tinggi daripada jumlah tagihan yang diajukan keberatan, jaminan dicairkan dan Orang yang mengajukan keberatan wajib melunasi kekurangan cukai dan/atau sanksi administrasi berupa denda.
|
|||
(7)
|
Dalam hal keberatan ditetapkan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf c dan tagihan kekurangan cukai dan/atau sanksi administrasi berupa denda lebih rendah daripada jumlah tagihan yang diajukan keberatan, Jaminan dikembalikan sesuai dengan jumlah kekurangan cukai dan/atau sanksi administrasi berupa denda yang keberatannya dikabulkan setelah Orang yang mengajukan keberatan mengajukan permohonan pengembalian jaminan.
|
|||
(8)
|
Dalam hal Keputusan Direktur Jenderal mengenai keberatan menjadi dasar pencairan jaminan bank atau jaminan asuransi, Direktur Jenderal atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk mengajukan klaim jaminan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal Keputusan Direktur Jenderal mengenai keberatan.
|
|||
|
|
|||
Pasal 23 |
||||
(1)
|
Dalam hal penjamin atau surety sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (3) tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7), Direktur Jenderal atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk menerbitkan surat teguran atau surat peringatan dalam jangka waktu 12 (dua belas) hari kerja terhitung sejak tanggal pengiriman surat pencairan jaminan.
|
|||
(2)
|
Atas kewajiban pembayaran cukai dan/atau sanksi administrasi berupa denda, apabila setelah lewat waktu 21 (dua puluh satu) hari terhitung sejak tanggal diterbitkannya surat teguran atau surat peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penjamin atau surety belum memenuhi kewajibannya, Pejabat Bea dan Cukai harus menerbitkan surat paksa untuk penagihan piutang cukai dan/atau sanksi administrasi berupa denda.
|
|||
|
|
|||
Bagian Ketiga
Konfirmasi Penyelesaian Keberatan
Pasal 24 |
||||
(1)
|
Orang yang mengajukan keberatan dapat mengajukan pertanyaan secara tertulis terkait status penyelesaian keberatan kepada Direktur Jenderal, dalam hal Keputusan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) belum diterima dalam jangka waktu paling lama 70 (tujuh puluh) hari terhitung sejak tanggal tanda terima berkas pengajuan keberatan.
|
|||
(2)
|
Atas pertanyaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal menyampaikan jawaban secara tertulis tentang status penyelesaian keberatan yang bersangkutan.
|
|||
|
|
|||
Bagian Keempat
Banding Atas Keputusan Keberatan
Pasal 25 |
||||
Orang yang berkeberatan terhadap Keputusan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) dapat mengajukan banding kepada Pengadilan Pajak dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal Keputusan Direktur Jenderal mengenai keberatan.
|
||||
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 26 |
||||
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku: | ||||
1.
|
keberatan di bidang kepabeanan yang diajukan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, diproses berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.04/2010 tentang Keberatan di Bidang Kepabeanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 591); dan
|
|||
2.
|
keberatan di bidang cukai yang diajukan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, diproses berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 114/PMK.04/2008 tentang Keberatan di Bidang Cukai.
|
|||
|
|
|||
BAB VIII
PENUTUP
Pasal 27 |
||||
Ketentuan lebih lanjut mengenai petunjuk pelaksanaan: | ||||
1.
|
pengajuan permohonan keberatan;
|
|||
2.
|
pencabutan pengajuan keberatan;
|
|||
3.
|
penyelesaian keberatan;
|
|||
4.
|
keputusan Direktur Jenderal mengenai keberatan; dan
|
|||
5.
|
akibat dan upaya atas keputusan keberatan,
|
|||
diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.
|
||||
|
||||
Pasal 28 |
||||
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
|
||||
1.
|
Pasal 9, Pasal 12, dan Pasal 14 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 51/PMK.04/2008 tentang Tata Cara Penetapan Tarif, Nilai Pabean, dan Sanksi Administrasi, serta Penetapan Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau Pejabat Bea dan Cukai sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan:
|
|||
|
a.
|
Nomor 147/PMK.04/2009 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 286); dan
|
||
|
b.
|
Nomor 122/PMK.04/2011 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 463);
|
||
2.
|
Pasal 24 sampai dengan Pasal 28 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 214/PMK.04/2008 tentang Pemungutan Bea Keluar sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan:
|
|||
|
a.
|
Nomor 146/PMK.04/2014 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 966); dan
|
||
|
b.
|
Nomor 86/PMK.04/2016 (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 790);
|
||
3.
|
Pasal 28 ayat (4) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 160/PMK.04/2010 tentang Nilai Pabean untuk Penghitungan Bea Masuk, serta Penetapan Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau Pejabat Bea dan Cukai (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 433) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.04/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 160/PMK.04/2010 tentang Nilai Pabean untuk Penghitungan Bea Masuk, serta Penetapan Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau Pejabat Bea dan Cukai (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 364);
|
|||
4.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 114/PMK.04/2008 tentang Keberatan di Bidang Cukai; dan
|
|||
5.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.04/2010 tentang Keberatan di Bidang Kepabeanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 591),
|
|||
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
||||
|
||||
Pasal 29 |
||||
Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.
|
||||
|
||||
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
|
||||
|
|
|||
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 April 2017
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
SRI MULYANI INDRAWATI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 April 2017
DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
WIDODO EKATJAHJANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 570
|