Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Premium
Terjemahan Dokumen
Ini Belum Tersedia
Ini Belum Tersedia
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Beberapa kali diubah
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
|
||||
Menimbang |
||||
bahwa dalam rangka memberikan penegasan mengenai tata cara penetapan tarif, nilai pabean, dan sanksi administrasi di lapangan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 51/PMK.04/2008 tentang Tata Cara Penetapan Tarif, Nilai Pabean, Dan Sanksi Administrasi, Serta Penetapan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Atau Pejabat Bea dan Cukai;
|
||||
|
||||
Mengingat |
||||
1.
|
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
|
|||
2.
|
Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
|
|||
3.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 51/PMK.04/2008 tentang Tata Cara Penetapan Tarif, Nilai Pabean, dan Sanksi Administrasi, serta Penetapan Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau Pejabat Bea dan Cukai;
|
|||
|
|
|||
MEMUTUSKAN:
|
||||
Menetapkan |
||||
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 51/PMK.04/2008 TENTANG TATA CARA PENETAPAN TARIF, NILAI PABEAN, DAN SANKSI ADMINISTRASI, SERTA PENETAPAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI ATAU PEJABAT BEA DAN CUKAI.
|
||||
|
||||
|
||||
Pasal I |
||||
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 51/PMK.04/2008 tentang Tata Cara Penetapan Tarif, Nilai Pabean, Dan Sanksi Administrasi, Serta Penetapan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai Atau Pejabat Bea Dan Cukai diubah sebagai berikut:
|
||||
1.
|
Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 2 disisipkan 1 (satu) ayat, yaitu ayat (1a), dan ayat (3) diubah sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:
|
|||
|
|
|||
|
Pasal 2
|
|||
|
(1)
|
Pejabat bea dan cukai dapat menetapkan tarif atas barang impor yang diberitahukan dalam pemberitahuan pabean impor.
|
||
|
(1a)
|
Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya dilakukan dalam hal tarif yang diberitahukan berbeda dengan hasil penelitian.
|
||
|
(2)
|
Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pendaftaran pemberitahuan pabean impor.
|
||
|
(3)
|
Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak ada penetapan, tarif yang diberitahukan dalam pemberitahuan pabean impor dianggap diterima.
|
||
|
(4)
|
Apabila penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk, Importir wajib melunasi kekurangan pembayaran bea masuk dan pajak dalam rangka impor, tanpa dikenakan sanksi administrasi berupa denda.
|
||
|
|
|||
2.
|
Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 3 disisipkan 1 (satu) ayat, yaitu ayat (1a) sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:
|
|||
|
|
|||
|
Pasal 3
|
|||
|
(1)
|
Pejabat bea dan cukai dapat menetapkan nilai pabean atas barang impor yang diberitahukan dalam pemberitahuan pabean impor.
|
||
|
(1a)
|
Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya dilakukan dalam hal nilai pabean yang diberitahukan berbeda dengan hasil penelitian.
|
||
|
(2)
|
Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pendaftaran pemberitahuan pabean impor.
|
||
|
(3)
|
Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak ada penetapan, nilai pabean yang diberitahukan dalam pemberitahuan pabean impor dianggap diterima.
|
||
|
(4)
|
Apabila penetapan nilai pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk, Importir wajib melunasi kekurangan pembayaran bea masuk dan pajak dalam rangka impor, serta dikenakan sanksi administrasi berupa denda paling sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang kurang dibayar dan paling banyak 1000% (seribu persen) dari bea masuk yang kurang dibayar.
|
||
|
|
|||
3.
|
Ketentuan Pasal 4 ayat (1) diubah sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:
|
|||
|
|
|||
|
Pasal 4
|
|||
|
(1)
|
Untuk kepentingan penetapan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan/atau nilai pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, pejabat bea dan cukai dapat melakukan pemeriksaan fisik atas barang impor setelah pemberitahuan pabean impor disampaikan.
|
||
|
(2)
|
Dalam hal hasil pemeriksaan fisik terdapat perbedaan jenis dan/atau jumlah barang dengan pemberitahuan pabean impor, pejabat bea dan cukai melakukan penetapan tarif dan/atau nilai pabean sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik.
|
||
|
(3)
|
Dalam hal penetapan tarif dan/atau nilai pabean sebagai akibat perbedaan jenis dan/atau jumlah barang yang mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk, Importir wajib melunasi kekurangan pembayaran bea masuk, dan pajak dalam rangka impor, serta dikenakan sanksi administrasi berupa denda paling sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang kurang dibayar dan paling banyak 1000% (seribu persen) dari bea masuk yang kurang dibayar.
|
||
|
|
|||
4.
|
Ketentuan Pasal 5 ayat (1) diubah sehingga Pasal 5 berbunyi sebagai berikut:
|
|||
|
|
|||
|
Pasal 5
|
|||
|
(1)
|
Penetapan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, penetapan nilai pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, dan penetapan tarif dan/atau nilai pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, yang mengakibatkan kekurangan atau kelebihan pembayaran bea masuk dan/atau pajak dalam rangka impor dituangkan dalam Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPTNP).
|
||
|
(2)
|
Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPTNP) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berfungsi sebagai:
|
||
|
|
a.
|
penetapan pejabat bea dan cukai;
|
|
|
|
b.
|
pemberitahuan; dan
|
|
|
|
c.
|
penagihan kepada Importir.
|
|
|
|
|||
5.
|
Ketentuan Pasal 6 ayat (2) diubah dan di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat, yaitu ayat (2a) sehingga Pasal 6 berbunyi sebagai berikut:
|
|||
|
|
|||
|
Pasal 6
|
|||
|
(1)
|
Pejabat bea dan cukai dapat menetapkan tarif dan/atau nilai pabean selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4.
|
||
|
(2)
|
Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dalam melaksanakan ketentuan Pasal 8A ayat (2), Pasal IDA ayat (3), Pasal 43 ayat (3), Pasal 45 ayat (4), dan Pasal 86A Undang-Undang Kepabeanan.
|
||
|
(2a)
|
Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan dalam pengenaan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (5) Undang-Undang Kepabeanan, dilaksanakan dalam hal penetapan, dilakukan lebih dari 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pendaftaran pemberitahuan pabean impor.
|
||
|
(3)
|
Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam Surat Penetapan Pabean (SPP).
|
||
|
(4)
|
Surat Penetapan Pabean (SPP) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berfungsi sebagai:
|
||
|
|
a.
|
penetapan pejabat bea dan cukai;
|
|
|
|
b.
|
pemberitahuan; dan
|
|
|
|
c.
|
penagihan kepada orang.
|
|
|
|
|||
6.
|
Ketentuan Pasal 8 ayat (1) diubah sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai berikut:
|
|||
|
Pasal 8
|
|||
|
(1)
|
Pejabat bea dan cukai menetapkan pengenaan sanksi administrasi berupa denda atas pelanggaran yang hanya mengakibatkan kewajiban membayar sanksi administrasi sesuai ketentuan Pasal 7 A ayat (7), Pasal 7 A ayat (8), Pasal 8A ayat (3), Pasal 8C ayat (3), Pasal 8C ayat (4), Pasal 9A ayat (3), Pasal IDA ayat (4), Pasal IDA ayat (8), Pasal 10B ayat (6), Pasal 10D ayat (5), Pasal 10D ayat (6), Pasal 11A ayat (6), Pasal 45 ayat (3), Pasal 52 ayat (1), Pasal 52 ayat (2), Pasal 81 ayat (3), Pasal 82 ayat (3) huruf b, Pasal 86 ayat (2), Pasal 89 ayat (4), Pasal 90 ayat (4), dan Pasal 91 ayat (4) Undang-Undang Kepabeanan.
|
||
|
(2)
|
Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dituangkan dalam Surat Penetapan Sanksi Administrasi (SPSA).
|
||
|
(3)
|
Surat Penetapan Sanksi Administrasi (SPSA) sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berfungsi sebagai:
|
||
|
|
a.
|
penetapan pejabat bea dan cukai;
|
|
|
|
b.
|
pemberitahuan; dan
|
|
|
|
c.
|
penagihan kepada orang.
|
|
|
|
|||
7.
|
Ketentuan Pasal 10 ayat (2) dan ayat (4) diubah sehingga Pasal 10 berbunyi sebagai berikut:
|
|||
|
|
|||
|
Pasal 10
|
|||
|
(1)
|
Direktur Jenderal dapat menetapkan kembali tarif dan/atau nilai pabean dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal pendaftaran pemberitahuan pabean impor.
|
||
|
(2)
|
Penetapan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan apabila hasil dari penelitian ulang atau pelaksanaan audit kepabeanan mengenai tarif dari/atau nilai pabean berbeda dengan yang diberitahukan dalam pemberitahuan pabean impor dan mengakibatkan kekurangan atau kelebihan pembayaran bea masuk dan/atau pajak dalam rangka impor.
|
||
|
(3)
|
Dalam hal penetapan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2), mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk dan pajak dalam rangka impor sebagai akibat dari kesalahan nilai transaksi yang diberitahukan, selain wajib membayar kekurangan bea masuk dan pajak dalam rangka impor, Importir yang dikenai penetapan kembali dikenakan sanksi administrasi berupa denda paling sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang kurang dibayar dan paling banyak 1000% (seribu persen) dari bea masuk yang kurang dibayar.
|
||
|
(4)
|
Penetapan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan kekurangan atau kelebihan pembayaran bea masuk dan/atau pajak dalam rangka impor, dituangkan dalam Surat Penetapan Kembali Tarif dari/atau Nilai Pabean (SPKTNP).
|
||
|
(5)
|
Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berfungsi sebagai:
|
||
|
|
a.
|
penetapan Direktur Jenderal;
|
|
|
|
b.
|
pemberitahuan; dan
|
|
|
|
c.
|
penagihan kepada Importir.
|
|
|
|
|||
8.
|
Ketentuan Pasal 11 dihapus.
|
|||
|
|
|||
9.
|
Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga Pasal 12 berbunyi sebagai berikut:
|
|||
|
|
|||
|
Pasal 12
|
|||
|
Atas keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, Direktur Jenderal memutuskan keberatan tersebut dengan menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal.
|
|||
|
|
|||
10.
|
Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga Pasal 13 berbunyi sebagai berikut:
|
|||
|
|
|||
|
Pasal 13
|
|||
|
Orang yang berkeberatan terhadap penetapan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 12, dapat mengajukan banding hanya kepada badan peradilan pajak.
|
|||
|
|
|||
11.
|
Ketentuan Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) diubah sehingga Pasal 14 berbunyi sebagai berikut:
|
|||
|
|
|||
|
Pasal 14
|
|||
|
(1)
|
Surat penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (3), dan Pasal 8 ayat (2), disampaikan kepada orang yang bersangkutan melalui:
|
||
|
|
a.
|
media elektronik bagi kantor pabean yang menggunakan sistem Pertukaran Data Elektronik (PDE) pada tanggal penetapan; atau
|
|
|
|
b.
|
PT Pos Indonesia, jasa pengiriman lainnya, atau media lainnya, bagi kantor pabean yang tidak memiliki sarana media elektronik dan/atau dalam hal pengiriman surat penetapan melalui media elektronik tidak memungkinkan, paling lama pada hari kerja berikutnya sejak tanggal penerbitan surat penetapan.
|
|
|
(2)
|
Surat Penetapan Kembali Tarif dari/atau Nilai Pabean (SPKTNP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4), dikirimkan kepada Importir dan kepala kantor pabean, paling lama pada hari kerja berikutnya sejak tanggal keputusan.
|
||
|
(3)
|
Salinan Keputusan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, dikirimkan kepada orang yang mengajukan keberatan dan kepala kantor pabean, paling lama pada hari kerja berikutnya sejak tanggal keputusan.
|
||
|
(4)
|
Surat penetapan yang disampaikan melalui media elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, merupakan alat bukti yang sah.
|
||
|
|
|||
12.
|
Ketentuan Pasal 15 ayat (2) diubah sehingga Pasal 15 berbunyi sebagai berikut:
|
|||
|
|
|||
|
Pasal 15
|
|||
|
(1)
|
Kekurangan pembayaran bea masuk, cukai, pajak dalam rangka impor, dan/atau sanksi administrasi berupa denda yang tercantum dalam surat penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (3), dan Pasal 8 ayat (2), wajib dibayar paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan.
|
||
|
(2)
|
Kekurangan atau kewajiban pembayaran bea masuk, cukai, pajak dalam rangka impor, dan/atau sanksi administrasi berupa denda dalam Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) dan Keputusan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, wajib dibayar paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP) dan Keputusan Direktur Jenderal.
|
||
|
|
|||
13.
|
Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga Pasal 17 berbunyi sebagai berikut:
|
|||
|
|
|||
|
Pasal 17
|
|||
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan isi Surat Penetapan, Surat Keputusan, Surat Teguran, Surat Paksa, dan Surat Pemberitahuan Piutang Pajak Dalam Rangka Impor yang diperlukan dalam pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan ini, diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.
|
|||
|
|
|||
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
|
||||
|
|
|||
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
|
||||
|
|
|||
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 4 September 2009 MENTERI KEUANGAN, SRI MULYANI INDRAWATI
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 4 September 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA ANDI MATTALATTA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 286
|