Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN
NOMOR 3 TAHUN 2023
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI PASURUAN,
|
|
|
|
|
|
Menimbang |
|||||
a.
|
bahwa untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, daerah harus didukung dengan sumber-sumber keuangan agar dapat menjadi daerah yang mandiri untuk mewujudkan otonomi daerah yang mensejahterakan masyarakat;
|
||||
b.
|
bahwa dalam rangka mewujudkan cita-cita otonomi daerah yakni kesejahteraan rakyat diperlukan dukungan pembiayaan yang salah satunya dilakukan melalui desentralisasi fiskal dengan memberikan hak keuangan kepada daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah;
|
||||
c.
|
bahwa sesuai dengan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, seluruh ketentuan terkait dengan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dalam satu Peraturan Daerah;
|
||||
d.
|
bahwa kondisi di Kabupaten Pasuruan, belum terdapat Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam satu Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam huruf c;
|
||||
e.
|
bahwa dengan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Mengingat |
|||||
1.
|
Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
||||
2.
|
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1950 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 9);
|
||||
3.
|
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
|
||||
4.
|
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
|
||||
5.
|
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6845);
|
||||
6.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 Tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881).
|
||||
|
|
|
|
|
|
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN PASURUAN
dan
BUPATI PASURUAN
|
|||||
|
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
|||||
Menetapkan |
|||||
PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
|
|||||
|
|
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
|||||
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
|
|||||
1.
|
Daerah adalah Kabupaten Pasuruan.
|
||||
2.
|
Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Pasuruan.
|
||||
3.
|
Bupati adalah Bupati Pasuruan.
|
||||
4.
|
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Pasuruan.
|
||||
5.
|
Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BUMD adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Daerah.
|
||||
6.
|
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan peraturan Daerah.
|
||||
7.
|
Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut Perda adalah Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan.
|
||||
8.
|
Peraturan Bupati adalah Peraturan Bupati Pasuruan.
|
||||
9.
|
Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disingkat PAD adalah pendapatan Daerah yang diperoleh dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
|
||||
10.
|
Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
|
||||
11.
|
Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
|
||||
12.
|
Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak.
|
||||
13.
|
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
14.
|
Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
|
||||
15.
|
Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu.
|
||||
16.
|
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, BUMD, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
|
||||
17.
|
Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat PKB adalah Pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor.
|
||||
18.
|
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disingkat BBNKB adalah Pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar-menukar, hibah, waris q.n, atau pemasukan ke dalam badan usaha.
|
||||
19.
|
Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan.
|
||||
20.
|
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah Pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan.
|
||||
21.
|
Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.
|
||||
22.
|
Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
|
||||
23.
|
Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
|
||||
24.
|
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan.
|
||||
25.
|
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
|
||||
26.
|
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta Bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan Bangunan.
|
||||
27.
|
Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
|
||||
28.
|
Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan jasa tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir.
|
||||
29.
|
Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.
|
||||
30.
|
Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan Makanan dan/atau Minuman dengan dipungut bayaran.
|
||||
31.
|
Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
|
||||
32.
|
Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
|
||||
33.
|
Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor.
|
||||
34.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
|
||||
35.
|
Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame.
|
||||
36.
|
Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
|
||||
37.
|
Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
|
||||
38.
|
Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
|
||||
39.
|
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah Pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
|
||||
40.
|
Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara.
|
||||
41.
|
Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
|
||||
42.
|
Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
43.
|
Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
44.
|
Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Opsen Pajak MBLB adalah Opsen yang dikenakan oleh provinsi atas pokok Pajak MBLB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
45.
|
Masa Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Bupati paling lama 3 (tiga) bulan kalender, yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang.
|
||||
46.
|
Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
||||
47.
|
Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan perpajakan daerah.
|
||||
48.
|
Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
|
||||
49.
|
Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
|
||||
50.
|
Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
|
||||
51.
|
Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban Daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang serta segala bentuk kekayaan yang dapat dijadikan milik Daerah berhubung dengan hak dan kewajiban Daerah tersebut.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB II
PAJAK DAERAH
Bagian Kesatu
Jenis Pajak
Pasal 2 |
|||||
(1)
|
Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah terdiri atas:
|
||||
|
a.
|
PBB-P2;
|
|||
|
b.
|
BPHTB;
|
|||
|
c.
|
PBJT atas:
|
|||
|
|
1.
|
Makanan dan/atau Minuman;
|
||
|
|
2.
|
Tenaga Listrik;
|
||
|
|
3.
|
Jasa Perhotelan;
|
||
|
|
4.
|
Jasa Parkir;
|
||
|
|
5.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
||
|
d.
|
Pajak Reklame;
|
|||
|
e.
|
PAT;
|
|||
|
f.
|
Pajak MBLB;
|
|||
|
g.
|
Opsen PKB; dan
|
|||
|
h.
|
Opsen BBNKB.
|
|||
(2)
|
Pajak Sarang Burung Walet tidak dipungut oleh Pemerintah Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 3 |
|||||
(1)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati terdiri atas:
|
||||
|
a.
|
PBB-P2;
|
|||
|
b.
|
Pajak Reklame;
|
|||
|
c.
|
PAT;
|
|||
|
d.
|
Opsen PKB; dan
|
|||
|
e.
|
Opsen BBNKB.
|
|||
(2)
|
Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
|
||||
|
a.
|
BPHTB;
|
|||
|
b.
|
PBJT atas:
|
|||
|
|
1.
|
makanan dan/atau minuman;
|
||
|
|
2.
|
tenaga listrik;
|
||
|
|
3.
|
jasa perhotelan;
|
||
|
|
4.
|
jasa parkir;
|
||
|
|
5.
|
jasa kesenian dan hiburan.
|
||
|
c.
|
Pajak MBLB.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
PBB-P2
Pasal 4 |
|||||
(1)
|
Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
|
||||
(2)
|
Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.
|
||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
|
||||
|
a.
|
Bumi dan/atau Bangunan kantor pemerintah pusat, kantor Pemerintahan Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
|
|||
|
b.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
|
|||
|
c.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
|
|||
|
d.
|
Bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
|
|||
|
e.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
|
|||
|
f.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang keuangan negara;
|
|||
|
g.
|
Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis;
|
|||
|
h.
|
Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Bupati; dan
|
|||
|
i.
|
Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh pemerintah pusat.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 5 |
|||||
(1)
|
Subjek Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
|
||||
(2)
|
Wajib Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 6 |
|||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBB-P2 merupakan NJOP.
|
||||
(2)
|
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
|
||||
(3)
|
NJOP tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
|
||||
(4)
|
Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di Daerah, NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
|
||||
(5)
|
NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan Daerah.
|
||||
(6)
|
Besaran NJOP ditetapkan oleh Bupati.
|
||||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati yang berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang keuangan negara mengenai penilaian PBB-P2.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 7 |
|||||
(1)
|
NJOP yang digunakan untuk perhitungan PBB-P2 sebagaimana dalam Pasal 6 ayat (1) ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3).
|
||||
(2)
|
Besaran persentase NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelompok objek PBB-P2 ditentukan dengan mempertimbangkan, meliputi:
|
||||
|
a.
|
kenaikan NJOP hasil penilaian;
|
|||
|
b.
|
bentuk pemanfaatan objek Pajak; dan/atau
|
|||
|
c.
|
Klasterisasi NJOP di Daerah.
|
|||
(3)
|
Ketentuan mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 8 |
|||||
(1)
|
Tarif PBB-P2 ditetapkan sebesar:
|
||||
|
a.
|
untuk NJOP sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sebesar 0,1% (nol koma satu persen);
|
|||
|
b.
|
untuk NJOP di atas Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sampai dengan Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) sebesar 0,125% (nol koma seratus dua puluh lima persen);
|
|||
|
c.
|
untuk NJOP di atas Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) sebesar 0,150% (nol koma seratus lima puluh persen);
|
|||
|
d.
|
untuk NJOP di atas Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sebesar 0,175% (nol koma seratus tujuh puluh lima persen);
|
|||
|
e.
|
untuk NJOP di atas Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sebesar 0,2% (nol koma dua persen);
|
|||
(2)
|
Tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan sebesar 0,08% (nol koma nol delapan persen).
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 9 |
|||||
(1)
|
Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) atau Pasal 8 ayat (2).
|
||||
(2)
|
Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau Bangunan.
|
||||
(3)
|
Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
|
||||
(4)
|
Wilayah pemungutan PBB-P2 yang terutang merupakan wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2.
|
||||
(5)
|
Termasuk dalam wilayah pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan wilayah Daerah tempat Bumi dan/atau Bangunan berikut berada:
|
||||
|
a.
|
laut pedalaman dan perairan darat serta bangunan di atasnya, dan
|
|||
|
b.
|
bangunan yang berada di luar laut pedalaman dan perairan darat yang konstruksi tekniknya terhubung dengan bangunan yang berada di daratan, kecuali pipa dan kabel bawah laut.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
BPHTB
Pasal 10 |
|||||
(1)
|
Objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
||||
(2)
|
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||
|
a.
|
pemindahan hak karena:
|
|||
|
|
1.
|
jual beli;
|
||
|
|
2.
|
tukar-menukar;
|
||
|
|
3.
|
hibah;
|
||
|
|
4.
|
hibah wasiat;
|
||
|
|
5.
|
waris;
|
||
|
|
6.
|
pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
|
||
|
|
7.
|
pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
|
||
|
|
8.
|
penunjukan pembeli dalam lelang;
|
||
|
|
9.
|
pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
|
||
|
|
10.
|
penggabungan usaha;
|
||
|
|
11.
|
peleburan usaha;
|
||
|
|
12.
|
pemekaran usaha; atau
|
||
|
|
13.
|
hadiah; dan
|
||
|
b.
|
pemberian hak baru karena:
|
|||
|
|
1.
|
kelanjutan pelepasan hak; atau
|
||
|
|
2.
|
di luar pelepasan hak.
|
||
(3)
|
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||
|
a.
|
hak milik;
|
|||
|
b.
|
hak guna usaha;
|
|||
|
c.
|
hak guna bangunan;
|
|||
|
d.
|
hak pakai;
|
|||
|
e.
|
hak milik atas satuan rumah susun; dan
|
|||
|
f.
|
hak pengelolaan.
|
|||
(4)
|
Yang dikecualikan dari objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
|
||||
|
a.
|
untuk kantor pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, Pemerintahan Daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
|
|||
|
b.
|
oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
|
|||
|
c.
|
untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan keuangan negara;
|
|||
|
d.
|
untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
|
|||
|
e.
|
oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
|
|||
|
f.
|
oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
|
|||
|
g.
|
oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
|
|||
|
h.
|
untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(5)
|
Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf h yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Bupati.
|
||||
(6)
|
Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 11 |
|||||
(1)
|
Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
||||
(2)
|
Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 12 |
|||||
(1)
|
Dasar pengenaan BPHTB adalah nilai perolehan objek pajak.
|
||||
(2)
|
Nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
|
||||
|
a.
|
harga transaksi untuk jual beli;
|
|||
|
b.
|
nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan
|
|||
|
c.
|
harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
|
|||
(3)
|
Dalam hal nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
|
||||
(4)
|
Besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB.
|
||||
(5)
|
Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 13 |
|||||
Tarif BPHTB ditetapkan 5% (lima persen).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 14 |
|||||
(1)
|
Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) setelah dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) atau Pasal 12 ayat (5) dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
|
||||
(2)
|
Saat terutangnya BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya perolehan tanah dan/atau Bangunan dengan ketentuan:
|
||||
|
a.
|
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
|
|||
|
b.
|
pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
|
|||
|
c.
|
pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan waris;
|
|||
|
d.
|
pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
|
|||
|
e.
|
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
|
|||
|
f.
|
pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; dan
|
|||
|
g.
|
pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
|
|||
(3)
|
Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, maka saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli.
|
||||
(4)
|
Wilayah pemungutan BPHTB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 15 |
|||||
(1)
|
Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
|
||||
(2)
|
Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara hanya dapat menandatangani risalah lelang perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
|
||||
(3)
|
Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
|
||||
(4)
|
Dalam hal perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan bukan merupakan objek BPHTB, Bupati dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 16 |
|||||
(1)
|
Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris wajib:
|
||||
|
a.
|
meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan; dan
|
|||
|
b.
|
melaporkan pembuatan akta atas tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bupati paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
|
|||
(2)
|
Dalam hal Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi administratif berupa:
|
||||
|
a.
|
denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan/atau
|
|||
|
b.
|
denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||
(3)
|
Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara wajib:
|
||||
|
a.
|
meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani risalah lelang; dan
|
|||
|
b.
|
melaporkan risalah lelang kepada Bupati paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
|
|||
(4)
|
Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(5)
|
Tata cara pelaporan bagi pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 17 |
|||||
(1)
|
Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
|
||||
(2)
|
Kepala kantor bidang pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
PBJT
Pasal 18 |
|||||
Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi:
|
|||||
a.
|
Makanan dan/atau Minuman;
|
||||
b.
|
Tenaga Listrik;
|
||||
c.
|
Jasa Perhotelan;
|
||||
d.
|
Jasa Parkir; dan
|
||||
e.
|
Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 19 |
|||||
(1)
|
Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
|
||||
|
a.
|
restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian Makanan dan/atau Minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
|
|||
|
b.
|
penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
|
|||
|
|
1.
|
proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
|
||
|
|
2.
|
penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
|
||
|
|
3.
|
penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
|
||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
|
||||
|
a.
|
dengan peredaran usaha tidak melebihi Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) per bulan.
|
|||
|
b.
|
dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual Makanan dan/atau Minuman;
|
|||
|
c.
|
dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman; atau
|
|||
|
d.
|
disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 20 |
|||||
(1)
|
Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf b adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
|
||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
|
||||
|
a.
|
konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, Pemerintah Daerah, dan penyelenggara negara lainnya;
|
|||
|
b.
|
konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing berdasarkan asas timbal balik;
|
|||
|
c.
|
konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan
|
|||
|
d.
|
konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 21 |
|||||
(1)
|
Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia jasa perhotelan seperti:
|
||||
|
a.
|
hotel;
|
|||
|
b.
|
hostel;
|
|||
|
c.
|
vila;
|
|||
|
d.
|
pondok wisata;
|
|||
|
e.
|
motel;
|
|||
|
f.
|
losmen;
|
|||
|
g.
|
wisma pariwisata;
|
|||
|
h.
|
pesanggrahan;
|
|||
|
i.
|
rumah penginapan/guest house/bungalo/resort/cottage;
|
|||
|
j.
|
tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
|
|||
|
k.
|
glamping.
|
|||
(1)
|
Yang dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||
|
a.
|
jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, atau Pemerintah Daerah;
|
|||
|
b.
|
jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
|
|||
|
c.
|
jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
|
|||
|
d.
|
jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
|
|||
|
e.
|
jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 22 |
|||||
(1)
|
Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf d meliputi:
|
||||
|
a.
|
penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
|
|||
|
b.
|
pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet).
|
|||
(2)
|
Yang dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||
|
a.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah;
|
|||
|
b.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri; dan
|
|||
|
c.
|
jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 23 |
|||||
(1)
|
Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf e meliputi:
|
||||
|
a.
|
tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
|
|||
|
b.
|
pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
|
|||
|
c.
|
kontes kecantikan;
|
|||
|
d.
|
kontes binaraga;
|
|||
|
e.
|
pameran;
|
|||
|
f.
|
pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
|
|||
|
g.
|
pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
|
|||
|
h.
|
permainan ketangkasan;
|
|||
|
i.
|
olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
|
|||
|
j.
|
rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
|
|||
|
k.
|
panti pijat dan pijat refleksi; dan
|
|||
|
l.
|
diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
|
|||
(2)
|
Yang dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
|
||||
|
a.
|
promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran; dan/atau
|
|||
|
b.
|
kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 24 |
|||||
(1)
|
Subjek Pajak PBJT adalah konsumen barang dan jasa tertentu.
|
||||
(2)
|
Wajib Pajak PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 25 |
|||||
(1)
|
Dasar pengenaan PBJT merupakan jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu, meliputi:
|
||||
|
a.
|
jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
|
|||
|
b.
|
nilai jual Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
|
|||
|
c.
|
jumlah pembayaran kepada penyedia Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
|
|||
|
d.
|
jumlah pembayaran kepada penyedia atau penyelenggara tempat parkir dan/atau penyedia layanan memarkirkan kendaraan untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
|
|||
|
e.
|
jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Kesenian dan Hiburan.
|
|||
(2)
|
Dalam hal pembayaran menggunakan voucher atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut.
|
||||
(3)
|
Dalam hal tidak terdapat pembayaran, dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 26 |
|||||
(1)
|
Nilai jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:
|
||||
|
a.
|
Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran; dan
|
|||
|
b.
|
Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri.
|
|||
(2)
|
Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dihitung berdasarkan:
|
||||
|
a.
|
jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pascabayar; dan
|
|||
|
b.
|
jumlah pembelian tenaga listrik untuk prabayar.
|
|||
(3)
|
Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan:
|
||||
|
a.
|
kapasitas tersedia;
|
|||
|
b.
|
tingkat penggunaan listrik;
|
|||
|
c.
|
jangka waktu pemakaian listrik; dan
|
|||
|
d.
|
harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah.
|
|||
(4)
|
Nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan ketentuan tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3), penyedia Tenaga Listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan Pemungutan PBJT atas tenaga listrik untuk penggunaan tenaga listrik yang dijual atau diserahkan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 27 |
|||||
(1)
|
Tarif PBJT ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
|
||||
(2)
|
Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan sebesar 40% (empat puluh persen).
|
||||
(3)
|
Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
|
||||
|
a.
|
konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, ditetapkan sebesar 3% (tiga persen); dan
|
|||
|
b.
|
konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen).
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 28 |
|||||
(1)
|
Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27.
|
||||
(2)
|
Saat terutang PBJT ditetapkan pada saat:
|
||||
|
a.
|
pembayaran/penyerahan atas Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
|
|||
|
b.
|
konsumsi/pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
|
|||
|
c.
|
pembayaran/penyerahan atas jasa perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
|
|||
|
d.
|
pembayaran/penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
|
|||
|
e.
|
pembayaran/penyerahan atas jasa kesenian dan hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
|
|||
(3)
|
Wilayah pemungutan PBJT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Pajak Reklame
Pasal 29 |
|||||
(1)
|
Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.
|
||||
(2)
|
Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||
|
a.
|
Reklame papan/billboard/videotron/megatron;
|
|||
|
b.
|
Reklame kain;
|
|||
|
c.
|
Reklame melekat/stiker;
|
|||
|
d.
|
Reklame selebaran;
|
|||
|
e.
|
Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
|
|||
|
f.
|
Reklame udara;
|
|||
|
g.
|
Reklame apung;
|
|||
|
h.
|
Reklame film/slide; dan
|
|||
|
i.
|
Reklame peragaan.
|
|||
(3)
|
Yang dikecualikan dari objek Pajak Reklame adalah:
|
||||
|
a.
|
penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
|
|||
|
b.
|
label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
|
|||
|
c.
|
nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklamenya diatur dalam Peraturan Bupati dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
|
|||
|
d.
|
Reklame yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi atau Pemerintah Daerah; dan
|
|||
|
e.
|
Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 30 |
|||||
(1)
|
Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
|
||||
(2)
|
Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 31 |
|||||
(1)
|
Dasar Pengenaan Pajak Reklame merupakan nilai sewa Reklame.
|
||||
(2)
|
Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
|
||||
(3)
|
Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame.
|
||||
(4)
|
Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
|
||||
(5)
|
Perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 32 |
|||||
Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 33 |
|||||
(1)
|
Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
|
||||
(2)
|
Saat terutang Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan reklame.
|
||||
(3)
|
Wilayah pemungutan Pajak Reklame yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penyelenggaraan reklame.
|
||||
(4)
|
Khusus untuk reklame berjalan, wilayah pemungutan Pajak Reklame yang terutang adalah wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara reklame terdaftar.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
PAT
Pasal 34 |
|||||
(1)
|
Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
||||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek PAT adalah pengambilan untuk:
|
||||
|
a.
|
keperluan dasar rumah tangga;
|
|||
|
b.
|
pengairan pertanian rakyat;
|
|||
|
c.
|
perikanan rakyat;
|
|||
|
d.
|
peternakan rakyat;
|
|||
|
e.
|
keperluan keagamaan; dan
|
|||
|
f.
|
kepentingan penyelenggaraan pemerintahan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 35 |
|||||
(1)
|
Subjek PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
||||
(2)
|
Wajib PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 36 |
|||||
(1)
|
Dasar pengenaan PAT merupakan nilai perolehan Air Tanah.
|
||||
(2)
|
Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
|
||||
(3)
|
Harga air baku ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
|
||||
(4)
|
Bobot Air Tanah dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor-faktor berikut:
|
||||
|
a.
|
jenis sumber air;
|
|||
|
b.
|
lokasi sumber air;
|
|||
|
c.
|
tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
|
|||
|
d.
|
volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
|
|||
|
e.
|
kualitas air; dan
|
|||
|
f.
|
tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
|
|||
(5)
|
Penetapan nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati dengan berpedoman pada Peraturan Gubernur yang mengatur mengenai penetapan nilai perolehan Air Tanah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 37 |
|||||
Tarif PAT ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 38 |
|||||
(1)
|
Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37.
|
||||
(2)
|
Saat terutang PAT ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
|
||||
(3)
|
Wilayah pemungutan PAT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketujuh
Pajak MBLB
Pasal 39 |
|||||
(1)
|
Objek Pajak MBLB adalah kegiatan pengambilan MBLB yang meliputi:
|
||||
|
a.
|
asbes;
|
|||
|
b.
|
batu tulis;
|
|||
|
c.
|
batu setengah permata;
|
|||
|
d.
|
batu kapur;
|
|||
|
e.
|
batu apung;
|
|||
|
f.
|
batu permata;
|
|||
|
g.
|
bentonit;
|
|||
|
h.
|
dolomit;
|
|||
|
i.
|
feldspar;
|
|||
|
j.
|
garam batu (halite);
|
|||
|
k.
|
grafit;
|
|||
|
l.
|
granit/andesit;
|
|||
|
m.
|
gips;
|
|||
|
n.
|
kalsit;
|
|||
|
o.
|
kaolin;
|
|||
|
p.
|
leusit;
|
|||
|
q.
|
magnesit;
|
|||
|
r.
|
mika;
|
|||
|
s.
|
marmer;
|
|||
|
t.
|
nitrat;
|
|||
|
u.
|
obsidian;
|
|||
|
v.
|
oker;
|
|||
|
w.
|
pasir dan kerikil;
|
|||
|
x.
|
pasir kuarsa;
|
|||
|
y.
|
perlit;
|
|||
|
z.
|
fosfat;
|
|||
|
aa.
|
talk;
|
|||
|
bb.
|
tanah serap (fullers earth);
|
|||
|
cc.
|
tanah diatom;
|
|||
|
dd.
|
tanah liat;
|
|||
|
ee.
|
tawas (alum);
|
|||
|
ff.
|
tras;
|
|||
|
gg.
|
yarosit;
|
|||
|
hh.
|
zeolit;
|
|||
|
ii.
|
basal;
|
|||
|
jj.
|
trakhit;
|
|||
|
kk.
|
belerang;
|
|||
|
ll.
|
MBLB ikutan dalam suatu pertambangan mineral; dan
|
|||
|
mm.
|
MBLB lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(2)
|
Yang dikecualikan dari objek Pajak MBLB, meliputi pengambilan MBLB:
|
||||
|
a.
|
untuk keperluan rumah tangga dan tidak diperjualbelikan/dipindahtangankan; dan
|
|||
|
b.
|
untuk keperluan pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel, penanaman pipa, dan sejenisnya yang tidak mengubah fungsi permukaan tanah.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 40 |
|||||
(1)
|
Subjek Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
|
||||
(2)
|
Wajib Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 41 |
|||||
(1)
|
Dasar pengenaan Pajak MBLB merupakan nilai jual hasil pengambilan MBLB.
|
||||
(2)
|
Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian volume/tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan tiap-tiap jenis MBLB.
|
||||
(3)
|
Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan harga jual rata-rata tiap-tiap jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di Daerah.
|
||||
(4)
|
Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Bupati dengan berpedoman pada nilai jual yang ditetapkan oleh Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batu bara.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 42 |
|||||
Tarif Pajak MBLB ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen)
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 43 |
|||||
(1)
|
Besaran pokok Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dengan tarif Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42.
|
||||
(2)
|
Saat terutang Pajak MBLB ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan MBLB di mulut tambang.
|
||||
(3)
|
Wilayah pemungutan Pajak MBLB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedelapan
Opsen PKB
Pasal 44 |
|||||
Opsen PKB dikenakan atas Pajak terutang dari PKB.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 45 |
|||||
(1)
|
Wajib Pajak Opsen PKB merupakan Wajib PKB.
|
||||
(2)
|
Pemungutan Opsen PKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari PKB.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 46 |
|||||
Dasar pengenaan untuk Opsen PKB merupakan PKB terutang.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 47 |
|||||
Tarif Opsen PKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 48 |
|||||
(1)
|
Besaran pokok Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47.
|
||||
(2)
|
Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.
|
||||
(3)
|
Wilayah pemungutan Opsen PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kesembilan
Opsen BBNKB
Pasal 49 |
|||||
Opsen BBNKB dikenakan atas Pajak terutang dari BBNKB.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 50 |
|||||
(1)
|
Wajib Pajak Opsen BBNKB merupakan Wajib Pajak BBNKB.
|
||||
(2)
|
Pemungutan Opsen BBNKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari BBNKB.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 51 |
|||||
Dasar pengenaan untuk Opsen BBNKB merupakan BBNKB terutang.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 52 |
|||||
Tarif Opsen BBNKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 53 |
|||||
(1)
|
Besaran pokok Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud pada Pasal 51 dengan tarif sebagaimana dimaksud pada Pasal 52.
|
||||
(2)
|
Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.
|
||||
(3)
|
Wilayah pemungutan Opsen BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kesepuluh
Masa Pajak dan Tahun Pajak
Pasal 54 |
|||||
(1)
|
Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam satu kurun waktu tertentu dalam masa Pajak, dalam tahun Pajak, atau dalam Bagian tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
|
||||
(2)
|
Masa Pajak berlaku untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), kecuali untuk BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a.
|
||||
(3)
|
Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender, yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang.
|
||||
(4)
|
Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai Masa Pajak, Tahun Pajak, dan Bagian Tahun Pajak diatur dengan Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kesebelas
Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak Untuk Kegiatan Yang Telah Ditentukan
Pasal 55 |
|||||
(1)
|
Hasil penerimaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
|
||||
(2)
|
Hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b angka 2, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk penyediaan penerangan jalan umum.
|
||||
(3)
|
Kegiatan penyediaan penerangan jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum serta pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan jalan umum.
|
||||
(4)
|
Hasil penerimaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pencegahan, penanggulangan dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam Daerah yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas air tanah, meliputi namun tidak terbatas pada:
|
||||
|
a.
|
penanaman pohon;
|
|||
|
b.
|
pembuatan lubang atau sumur resapan;
|
|||
|
c.
|
pelestarian hutan atau pepohonan; dan
|
|||
|
d.
|
pengelolaan limbah.
|
|||
|
|
|
|
|
|
BAB III
RETRIBUSI DAERAH
Bagian Kesatu
Jenis Retribusi
Pasal 56 |
|||||
Jenis Retribusi terdiri atas:
|
|||||
a.
|
Retribusi Jasa Umum;
|
||||
b.
|
Retribusi Jasa Usaha; dan
|
||||
c.
|
Retribusi Perizinan Tertentu.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Retribusi Jasa Umum
Pasal 57 |
|||||
(1)
|
Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf a meliputi:
|
||||
|
a.
|
pelayanan kesehatan;
|
|||
|
b.
|
pelayanan kebersihan;
|
|||
|
c.
|
pelayanan parkir di tepi jalan umum; dan
|
|||
|
d.
|
pelayanan pasar.
|
|||
(2)
|
Pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan masing-masing sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
||||
(4)
|
Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Bupati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
|||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
|||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
|||
(6)
|
Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja.
|
||||
(7)
|
Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
||||
(8)
|
Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Umum.
|
||||
(9)
|
Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 58 |
|||||
Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan kesehatan di puskesmas, puskesmas keliling, puskesmas pembantu, balai pengobatan, rumah sakit umum daerah, dan tempat pelayanan Kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 59 |
|||||
(1)
|
Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
|
||||
|
a.
|
Pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pengolahan sementara;
|
|||
|
b.
|
Pengumpulan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi penampungan sementara ke lokasi pengolahan atau pemrosesan akhir sampah;
|
|||
|
c.
|
penyediaan lokasi pengolahan atau pemrosesan akhir sampah.
|
|||
|
d.
|
penyediaan dan/atau penyedotan kakus; dan
|
|||
|
e.
|
pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan industri.
|
|||
(2)
|
Dikecualikan dari pelayanan kebersihan adalah pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 60 |
|||||
Pelayanan parkir di tepi jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 61 |
|||||
Pelayanan pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan fasilitas pasar tradisional/sederhana berupa pelataran, los, dan kios yang dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 62 |
|||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
||||
|
a.
|
pelayanan kesehatan diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu layanan;
|
|||
|
b.
|
pelayanan kebersihan diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, volume dan/atau jenis sampah/limbah kakus/limbah cair;
|
|||
|
c.
|
pelayanan parkir di tepi jalan umum diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi layanan dan/atau jangka waktu pemakaian tempat parkir; dan
|
|||
|
d.
|
pelayanan pasar diukur berdasarkan frekuensi layanan, jangka waktu pemakaian fasilitas pasar dan/atau jenis pemakaian fasilitas pasar.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 63 |
|||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
|
||||
(2)
|
Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasi dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
|
||||
(3)
|
Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa, penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya.
|
||||
(4)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 64 |
|||||
(1)
|
Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dengan tarif Retribusi.
|
||||
(2)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
||||
(3)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
||||
(4)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Umum.
|
||||
(5)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Retribusi Jasa Usaha
Pasal 65 |
|||||
(1)
|
Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf b meliputi:
|
||||
|
a.
|
penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
|
|||
|
b.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
|||
|
c.
|
pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
|
|||
|
d.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
|
|||
|
e.
|
pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(2)
|
Penyediaan atau pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa atau pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(3)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
|
||||
(4)
|
Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(5)
|
Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
|
|||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
|||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
|||
(6)
|
Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Bupati ditetapkan.
|
||||
(7)
|
Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
||||
(8)
|
Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Usaha.
|
||||
(9)
|
Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas jenis pelayanan Jasa Usaha.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 66 |
|||||
Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa:
|
|||||
a.
|
fasilitas pasar grosir;
|
||||
b.
|
fasilitas pasar/pertokoan yang dikontrakkan; serta
|
||||
c.
|
tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan/diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 67 |
|||||
Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf b merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 68 |
|||||
Pelayanan rumah pemotongan hewan ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf c merupakan pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak, termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 69 |
|||||
Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf d merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 70 |
|||||
(1)
|
Pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf e termasuk pemanfaatan barang milik daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik daerah.
|
||||
(2)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||
|
a.
|
sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
|
|||
|
b.
|
kerja sama pemanfaatan;
|
|||
|
c.
|
bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
|
|||
|
d.
|
kerja sama penyediaan infrastruktur.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 71 |
|||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
||||
|
a.
|
penyediaan tempat kegiatan usaha diukur berdasarkan luas tempat usaha, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas pasar grosir, pertokoan, dan/atau tempat usaha lainnya;
|
|||
|
b.
|
penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus parkir di luar badan jalan;
|
|||
|
c.
|
pelayanan rumah pemotongan hewan ternak diukur berdasarkan jenis hewan ternak, jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas rumah potong hewan;
|
|||
|
d.
|
pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olah raga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga; dan
|
|||
|
e.
|
pemanfaatan aset Daerah diukur berdasarkan jenis pemanfaatan aset, jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemanfaatan aset Daerah.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 72 |
|||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha untuk memperoleh keuntungan yang layak.
|
||||
(2)
|
Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
|
||||
(3)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 73 |
|||||
(1)
|
Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dengan tarif Retribusi.
|
||||
(2)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
||||
(3)
|
Khusus untuk pemanfaatan barang milik Daerah berupa:
|
||||
|
a.
|
sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
|
|||
|
b.
|
kerja sama pemanfaatan;
|
|||
|
c.
|
bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
|
|||
|
d.
|
kerja sama penyediaan infrastruktur,
|
|||
|
tata cara penghitungan tarifnya diatur sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
||||
(4)
|
Pengaturan lebih lanjut mengenai bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan penghitungan besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
|
||||
(5)
|
Penetapan Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah.
|
||||
(6)
|
Bentuk pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
||||
|
a.
|
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
|
|||
|
b.
|
tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
|
|||
|
c.
|
tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
|
|||
(7)
|
Pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
|
||||
(8)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
||||
(9)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Usaha.
|
||||
(10)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Retribusi Perizinan Tertentu
Pasal 74 |
|||||
(1)
|
Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf c meliputi:
|
||||
|
a.
|
persetujuan bangunan gedung; dan
|
|||
|
b.
|
penggunaan tenaga kerja asing;
|
|||
(2)
|
Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(3)
|
Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan perizinan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
|
||||
(4)
|
Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
|
||||
(5)
|
Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 75 |
|||||
(1)
|
Pelayanan persetujuan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf a meliputi penerbitan PBG dan SLF oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(2)
|
Penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan layanan konsultasi pemenuhan standar teknis, penerbitan PBG, inspeksi bangunan gedung, penerbitan SLF dan SBKBG, serta pencetakan plakat SLF.
|
||||
(3)
|
Penerbitan PBG dan SLF tersebut diberikan untuk permohonan persetujuan:
|
||||
|
a.
|
pembangunan baru;
|
|||
|
b.
|
bangunan gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki PBG dan/atau SLF;
|
|||
|
c.
|
PBG perubahan untuk:
|
|||
|
|
1.
|
perubahan fungsi Bangunan Gedung;
|
||
|
|
2.
|
perubahan lapis Bangunan Gedung;
|
||
|
|
3.
|
perubahan luas Bangunan Gedung;
|
||
|
|
4.
|
perubahan tampak Bangunan Gedung;
|
||
|
|
5.
|
perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada Bangunan Gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan;
|
||
|
|
6.
|
perkuatan Bangunan Gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
|
||
|
|
7.
|
perlindungan dan/atau pengembangan Bangunan Gedung cagar budaya; atau
|
||
|
|
8.
|
perbaikan Bangunan Gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
|
||
|
d.
|
PBG perubahan tidak diperlukan untuk pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan perawatan.
|
|||
(4)
|
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pemberian izin persetujuan bangunan milik pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, Pemerintah Daerah, dan Bangunan yang memiliki fungsi keagamaan atau peribadatan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 76 |
|||||
(1)
|
Pelayanan penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
||||
(2)
|
Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penggunaan tenaga kerja asing oleh instansi pemerintah pusat, instansi pemerintah daerah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 77 |
|||||
(1)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
|
||||
(2)
|
Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
||||
|
a.
|
pelayanan persetujuan bangunan gedung diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan layanan; dan
|
|||
|
b.
|
pelayanan penggunaan tenaga kerja asing diukur berdasarkan frekuensi penyediaan layanan dan/atau jangka waktu layanan.
|
|||
(3)
|
Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:
|
||||
|
a.
|
formula untuk Bangunan Gedung, meliputi:
|
|||
|
|
1.
|
Luas Total Lantai;
|
||
|
|
2.
|
Indeks Lokalitas;
|
||
|
|
3.
|
Indeks Terintegrasi;
|
||
|
|
4.
|
Indeks Bangunan Gedung Terbangun, dan
|
||
|
b.
|
formula untuk Prasarana Bangunan Gedung, meliputi:
|
|||
|
|
1.
|
Volume;
|
||
|
|
2.
|
Indeks Prasarana Bangunan Gedung; dan
|
||
|
|
3.
|
Indeks Bangunan Gedung Terbangun.
|
||
|
|
|
|
|
|
Pasal 78 |
|||||
(1)
|
Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
|
||||
(2)
|
Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
|
||||
(3)
|
Pelayanan persetujuan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1), biaya penyelenggaraan pelayanan memperhatikan pada rincian layanan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai bangunan gedung.
|
||||
(4)
|
Pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1), biaya penyelenggaraan pemberian izin memperhatikan pada rincian layanan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 79 |
|||||
(1)
|
Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 dengan tarif Retribusi.
|
||||
(2)
|
Khusus untuk Retribusi Perizinan Tertentu atas pelayanan persetujuan bangunan gedung, besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas penyediaan pelayanan persetujuan bangunan gedung dengan harga satuan Retribusi persetujuan bangunan gedung.
|
||||
(3)
|
Harga satuan Retribusi persetujuan bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
|
||||
|
a.
|
SHST untuk Bangunan Gedung; atau
|
|||
|
b.
|
HSPBG untuk Prasarana Bangunan Gedung.
|
|||
(4)
|
Tarif Retribusi merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi yang terutang.
|
||||
(5)
|
Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang keuangan untuk kepentingan perpajakan.
|
||||
(6)
|
Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
|
||||
(7)
|
Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
|
||||
(8)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Perizinan Tertentu.
|
||||
(9)
|
Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) khusus pelayanan persetujuan bangunan gedung hanya dilakukan terhadap besaran harga atau indeks dalam tabel HSBGN atau SHST dan Indeks Lokalitas.
|
||||
(10)
|
Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) khusus pelayanan penggunaan tenaga kerja asing berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
|
||||
(11)
|
Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (9) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Pemanfaatan Penerimaan Retribusi
Pasal 80 |
|||||
(1)
|
Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
|
||||
(2)
|
Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
|
||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB IV
TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
Bagian Kesatu
Pemungutan Pajak
Pasal 81 |
|||||
(1)
|
Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) wajib mendaftarkan diri dan/atau objek Pajaknya kepada Bupati atau Pejabat yang ditunjuk.
|
||||
(2)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk melakukan pendataan Wajib Pajak dan/atau objek Pajak untuk memperoleh, melengkapi, dan menatausahakan data objek Pajak dan/atau Wajib Pajak, termasuk informasi geografis objek Pajak untuk keperluan administrasi perpajakan daerah.
|
||||
(3)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi SKPD dan SPPT.
|
||||
(4)
|
Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi SPTPD.
|
||||
(5)
|
Khusus untuk BPHTB, SSPD dipersamakan sebagai SPTPD.
|
||||
(6)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2).
|
||||
(7)
|
Utang Pajak sebagaimana tercantum dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SPKDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding merupakan dasar Penagihan Pajak.
|
||||
(8)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Pajak diatur dalam Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pemungutan Retribusi
Pasal 82 |
|||||
(1)
|
Besaran Retribusi terutang ditetapkan dengan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik.
|
||||
(2)
|
Dokumen lain yang dipersamakan dapat berupa karcis, kupon, kartu langganan, tagihan BLUD, dan surat pemberitahuan pembayaran dari aplikasi pelayanan atau perizinan elektronik.
|
||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Retribusi diatur dalam Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Kedaluwarsa Penagihan Pajak dan Retribusi
Pasal 83 |
|||||
(1)
|
Hak untuk melakukan Penagihan Pajak menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya Pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan daerah.
|
||||
(2)
|
Dalam hal saat terutang Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati berbeda dengan saat penetapan SKPD atau SPPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (3), jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak saat penetapan SKPD atau SPPT.
|
||||
(3)
|
Kedaluwarsa Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
|
||||
|
a.
|
diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau
|
|||
|
b.
|
ada pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak langsung.
|
|||
(4)
|
Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Teguran dan/atau Surat Paksa tersebut.
|
||||
(5)
|
Pengakuan Utang Pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai Utang Pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
|
||||
(6)
|
Pengakuan Utang Pajak secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.
|
||||
(7)
|
Dalam hal ada pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal pengakuan tersebut.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 84 |
|||||
(1)
|
Hak untuk melakukan Penagihan Retribusi menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak saat terutangnya Retribusi, kecuali jika Wajib Retribusi melakukan tindak pidana di bidang Retribusi.
|
||||
(2)
|
Kedaluwarsa Penagihan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh jika:
|
||||
|
a.
|
diterbitkan Surat Teguran; atau
|
|||
|
b.
|
ada pengakuan utang Retribusi dari Wajib Retribusi, baik langsung maupun tidak langsung.
|
|||
(3)
|
Dalam hal diterbitkan Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal diterimanya Surat Teguran tersebut.
|
||||
(4)
|
Pengakuan utang Retribusi secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan Wajib Retribusi dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang Retribusi dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
|
||||
(5)
|
Pengakuan utang Retribusi secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Retribusi.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Penghapusan Piutang Pajak Dan Retribusi
Pasal 85 |
|||||
(1)
|
Bupati melakukan pengelolaan piutang Pajak untuk menentukan prioritas Penagihan Pajak.
|
||||
(2)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk memerintahkan jurusita Pajak untuk melakukan Penagihan Pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(3)
|
Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan Penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
|
||||
(4)
|
Piutang Pajak yang dihapuskan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam Keputusan Bupati.
|
||||
(5)
|
Keputusan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan setelah Penagihan telah dilakukan sampai dengan batas waktu kedaluwarsa Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) atau ayat (2), dibuktikan dengan dokumen-dokumen pelaksanaan Penagihan.
|
||||
(6)
|
Penetapan Keputusan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan mempertimbangkan hasil koordinasi dengan aparat pengawas internal pemerintah Daerah.
|
||||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang pajak diatur dalam Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 86 |
|||||
(1)
|
Piutang Retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan Penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
|
||||
(2)
|
Bupati menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
||||
(3)
|
Tata cara penghapusan piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa diatur dengan Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB V
PENGURANGAN, KERINGANAN, PEMBEBASAN, PENGHAPUSAN ATAU PENUNDAAN ATAS POKOK PAJAK/RETRIBUSI
Pasal 87 |
|||||
(1)
|
Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Bupati dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah.
|
||||
(2)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
|
||||
(3)
|
Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Bupati berdasarkan pertimbangan, meliputi:
|
||||
|
a.
|
kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
|
|||
|
b.
|
kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
|
|||
|
c.
|
untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
|
|||
|
d.
|
untuk mendukung kebijakan Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
|
|||
|
e.
|
untuk mendukung kebijakan pemerintah pusat dalam mencapai program prioritas nasional.
|
|||
(4)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati dan diberitahukan kepada DPRD.
|
||||
(5)
|
Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disertai dengan pertimbangan Bupati dalam memberikan insentif fiskal.
|
||||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dengan Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 88 |
|||||
(1)
|
Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
|
||||
(2)
|
Pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
|
||||
(3)
|
Kondisi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kemampuan membayar Wajib Pajak atau tingkat likuiditas Wajib Pajak.
|
||||
(4)
|
Kondisi objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak dari golongan tertentu, nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu, dan objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan.
|
||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya diatur dengan Peraturan Bupati.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB VI
KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK
Pasal 89 |
|||||
(1)
|
Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
||||
(2)
|
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
|
||||
(3)
|
Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
|
||||
|
a.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
|
|||
|
b.
|
Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Bupati untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
|
|||
(4)
|
Untuk kepentingan Daerah, Bupati berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
|
||||
(5)
|
Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Bupati dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
|
||||
(6)
|
Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB VII
SANKSI
Bagian Kesatu
Sanksi Pidana
Pasal 90 |
|||||
(1)
|
Wajib Pajak yang karena kealpaannya mengisi SSPD BPHTB dan/atau SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(2)
|
Wajib Pajak yang dengan sengaja mengisi SSPD BPHTB dan/atau SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana penjara atau pidana denda sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 91 |
|||||
Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 92 |
|||||
Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajiban membayar atas layanan yang digunakan/dinikmati, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak 3 (tiga) kali dari jumlah Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 93 |
|||||
Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan kerahasiaan data Wajib Pajak, diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 94 |
|||||
Sanksi pidana berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 92, dan Pasal 93 merupakan pendapatan negara.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Sanksi Administratif
Pasal 95 |
|||||
(1)
|
Dalam hal Wajib Pajak atau Wajib Retribusi tidak memenuhi kewajibannya, dikenakan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan Pajak atau Retribusi.
|
||||
(2)
|
Besaran sanksi administratif Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan atas jumlah Pajak yang kurang dibayar.
|
||||
(3)
|
Besaran sanksi administratif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan atas jumlah Retribusi yang kurang dibayar.
|
||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 96 |
|||||
Ketentuan mengenai Pajak MBLB, Opsen PKB, dan Opsen BBNKB, mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2025.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 97 |
|||||
Pada saat Peraturan Daerah ini berlaku terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini ditetapkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak dan Retribusi yang ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 98 |
|||||
Pada saat Peraturan Daerah ini berlaku:
|
|||||
a.
|
Peraturan pelaksana Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 11 Tahun 2002 tentang Retribusi Tempat Pelelangan Ikan Di Kabupaten Pasuruan (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2002 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 42) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2009 Nomor 16);
|
||||
b.
|
Peraturan pelaksana Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 7 Tahun 2008 tentang Retribusi Pelayanan Rumah Potong Hewan (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2008 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 246);
|
||||
c.
|
Peraturan pelaksana Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 10 Tahun 2010 tentang Retribusi Tempat Rekreasi dan Olah Raga (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2010 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 230);
|
||||
d.
|
Peraturan pelaksana Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 11 Tahun 2010 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2010 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 231):
|
||||
e.
|
Peraturan pelaksana Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2011 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 233) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 1 Tahun 2018 (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2018 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 304);
|
||||
f.
|
Peraturan pelaksana Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 4 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 237);
|
||||
g.
|
Peraturan pelaksana Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 5 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan Dan Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk Dan Akta Catatan Sipil (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 238);
|
||||
h.
|
Peraturan pelaksana Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 6 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 239);
|
||||
i.
|
Peraturan pelaksana Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 7 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Pasar (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 240);
|
||||
j.
|
Peraturan pelaksana Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 8 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 241);
|
||||
k.
|
Peraturan pelaksana Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 9 Tahun 2012 tentang Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 Nomor 9, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 242);
|
||||
l.
|
Peraturan pelaksana Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 10 Tahun 2012 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 243);
|
||||
m.
|
Peraturan pelaksana Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 12 Tahun 2012 tentang Retribusi Terminal (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 Nomor 12, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 244);
|
||||
n.
|
Peraturan pelaksana Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 13 Tahun 2012 tentang Retribusi Tempat Khusus Parkir (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 Nomor 13, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 245);
|
||||
o.
|
Peraturan pelaksana Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 14 Tahun 2012 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 Nomor 14, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 246);
|
||||
p.
|
Peraturan pelaksana Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 16 Tahun 2012 tentang Retribusi Izin Gangguan (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 Nomor 16, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 248);
|
||||
q.
|
Peraturan pelaksana Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 17 Tahun 2012 tentang Retribusi Izin Trayek (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 Nomor 17, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 249);
|
||||
r.
|
Peraturan pelaksana Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 8 Tahun 2013 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2013 Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2013 Nomor 264);
|
||||
s.
|
Peraturan pelaksana Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 9 Tahun 2013 tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2013 Nomor 9, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2013 Nomor 265);
|
||||
t.
|
Peraturan pelaksana Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 10 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Retribusi Tempat Khusus Parkir (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2013 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2013 Nomor 266);
|
||||
u.
|
Peraturan pelaksana Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 11 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Retribusi Pelayanan Pasar (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2013 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2013 Nomor 267);
|
||||
v.
|
Peraturan pelaksana Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 12 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Dan Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2013 Nomor 13, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2013 Nomor 268);
|
||||
w.
|
Peraturan pelaksana Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 13 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Retribusi Izin Trayek (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2013 Nomor 13, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2013 Nomor 269);
|
||||
x.
|
Peraturan pelaksana Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 2 Tahun 2014 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan di UPTD Kesehatan Puskesmas dan UPTD Kesehatan Laboratorium Kesehatan Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2014 Nomor 2);
|
||||
y.
|
Peraturan pelaksana Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 11 Tahun 2014 tentang Retribusi Pelayanan Pemakaman (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2014 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2014 Nomor 276);
|
||||
z.
|
Peraturan pelaksana Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 1 Tahun 2015 Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan Dan Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk Dan Akta Catatan Sipil (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2015 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2015 Nomor 277);
|
||||
aa.
|
Peraturan pelaksana Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 13 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Retribusi Tempat Rekreasi Dan Olahraga (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2016 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2016 Nomor 284);
|
||||
bb.
|
Peraturan pelaksana Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 18 Tahun 2016 tentang Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2016 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 292);
|
||||
cc.
|
Peraturan pelaksana Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 1 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2018 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 304);
|
||||
dd.
|
Peraturan pelaksana Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 10 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Dan Retribusi Pelayanan Kesehatan Pada Rumah Sakit Umum Daerah Grati Kabupaten Pasuruan (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2018 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 312);
|
||||
ee.
|
Peraturan pelaksana Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Retribusi Pelayanan Di UPTD Kesehatan Puskesmas dan UPTD Kesehatan Laboratorium Kesehatan Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2019 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 320);
|
||||
ff.
|
Peraturan pelaksana Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 3 Tahun 2020 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan Kelas III Pada Rumah Sakit Umum Daerah Bangil Kabupaten Pasuruan (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2020 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 328);
|
||||
gg.
|
Peraturan pelaksana Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 2 Tahun 2022 tentang Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2022 Nomor 2).
|
||||
dinyatakan tetap berlaku sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 99 |
|||||
(1)
|
Pada saat Peraturan Daerah ini berlaku:
|
||||
|
a.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 11 Tahun 2002 tentang Retribusi Tempat Pelelangan Ikan Di Kabupaten Pasuruan (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2002 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 42) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2009 Nomor 16);
|
|||
|
b.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 7 Tahun 2008 tentang Retribusi Pelayanan Rumah Potong Hewan (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2008 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 246);
|
|||
|
c.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 10 Tahun 2010 tentang Retribusi Tempat Rekreasi dan Olah Raga (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2010 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 230);
|
|||
|
d.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 11 Tahun 2010 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2010 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 231):
|
|||
|
e.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2011 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 233) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 1 Tahun 2018 (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2018 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 304) kecuali Pasal 43 sampai dengan Pasal 50 tetap berlaku;
|
|||
|
f.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 4 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 237);
|
|||
|
g.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 5 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan Dan Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk Dan Akta Catatan Sipil (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 238);
|
|||
|
h.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 6 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 239);
|
|||
|
i.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 7 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Pasar (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 240);
|
|||
|
j.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 8 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 241);
|
|||
|
k.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 9 Tahun 2012 tentang Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 Nomor 9, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 242);
|
|||
|
l.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 10 Tahun 2012 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 243);
|
|||
|
m.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 12 Tahun 2012 tentang Retribusi Terminal (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 Nomor 12, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 244);
|
|||
|
n.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 13 Tahun 2012 tentang Retribusi Tempat Khusus Parkir (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 Nomor 13, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 245);
|
|||
|
o.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 14 Tahun 2012 tentang Retribusi Rumah Potong Hewan (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 Nomor 14, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 246);
|
|||
|
p.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 16 Tahun 2012 tentang Retribusi Izin Gangguan (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 Nomor 16, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 248);
|
|||
|
q.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 17 Tahun 2012 tentang Retribusi Izin Trayek (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 Nomor 17, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 249);
|
|||
|
r.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 8 Tahun 2013 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2013 Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2013 Nomor 264);
|
|||
|
s.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 9 Tahun 2013 tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2013 Nomor 9, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2013 Nomor 265);
|
|||
|
t.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 10 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Retribusi Tempat Khusus Parkir (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2013 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2013 Nomor 266);
|
|||
|
u.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 11 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Retribusi Pelayanan Pasar (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2013 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2013 Nomor 267);
|
|||
|
v.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 12 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Dan Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2013 Nomor 13, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2013 Nomor 268);
|
|||
|
w.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 13 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 17 Tahun 2012 Tentang Retribusi Izin Trayek (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2013 Nomor 13, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2013 Nomor 269);
|
|||
|
x.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 2 Tahun 2014 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan di UPTD Kesehatan Puskesmas dan UPTD Kesehatan Laboratorium Kesehatan Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2014 Nomor 2);
|
|||
|
y.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 11 Tahun 2014 tentang Retribusi Pelayanan Pemakaman (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2014 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2014 Nomor 276);
|
|||
|
z.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 1 Tahun 2015 Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Administrasi Kependudukan Dan Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk Dan Akta Catatan Sipil (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2015 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2015 Nomor 277);
|
|||
|
aa.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 13 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Retribusi Tempat Rekreasi Dan Olahraga (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2016 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2016 Nomor 284);
|
|||
|
bb.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 18 Tahun 2016 tentang Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2016 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 292);
|
|||
|
cc.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 1 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2018 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 304);
|
|||
|
dd.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 10 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Dan Retribusi Pelayanan Kesehatan Pada Rumah Sakit Umum Daerah Grati Kabupaten Pasuruan (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2018 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 312);
|
|||
|
ee.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 4 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Retribusi Pelayanan Di UPTD Kesehatan Puskesmas dan UPTD Kesehatan Laboratorium Kesehatan Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2019 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 320);
|
|||
|
ff.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 3 Tahun 2020 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan Kelas III Pada Rumah Sakit Umum Daerah Bangil Kabupaten Pasuruan (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2020 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 328);
|
|||
|
gg.
|
Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 2 Tahun 2022 tentang Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan Tahun 2022 Nomor 2).
|
|||
|
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
||||
(2)
|
Ketentuan dalam Pasal 43 sampai dengan Pasal 50 Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 1 Tahun 2018 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku pada tanggal 5 Januari 2025.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 100 |
|||||
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2024.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Pasuruan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Pasuruan
pada tanggal 28 Desember 2023
Pj. BUPATI PASURUAN,
ttd.
ANDRIYANTO
Diundangkan di Pasuruan
pada tanggal 28 Desember 2023
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN PASURUAN,
ttd.
YUDHA TRIWIDYA SASONGKO
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN TAHUN 2023 NOMOR 3
|
|||||
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN
NOMOR 3 TAHUN 2023
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
|
|
|
|
|
|
||||||||||||
I.
|
UMUM
|
||||||||||||||||
|
Dalam pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah dituntut untuk dapat mandiri secara fiskal. Kemandirian ini dapat dilihat melalui berbagai aspek salah satunya adalah besarnya rasio pendapat asli daerah jika dibandingkan dengan dana transfer yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintahan Daerah. Salah satu komponen di dalam pendapatan asli daerah adalah Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Regulasi di tingkat pusat khususnya di sektor pajak daerah dan retribusi daerah telah mengalami dinamika. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang telah berlaku kurang lebih 12 (dua belas) tahun dicabut dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD). Dalam Pasal 94 UU HKPD memberikan amanat bahwa Pemerintah Daerah diwajibkan untuk segera melakukan penyesuaian peraturan daerah di sektor pajak daerah dan retribusi daerah menjadi 1 (satu) perda sesuai dengan amanat UU HKPD. Hal ini merupakan perbedaan yang cukup mendasar jika dibandingkan dengan undang-undang pajak daerah dan retribusi daerah sebelumnya.
UU HKPD juga melakukan perubahan di sisi objek pajak daerah dan retribusi daerah. Selain itu UU HKPD memberikan mandat kepada Pemerintah Daerah untuk dapat menggali potensi yang ada di Daerah sehingga dapat meningkatkan local taxing power sebagai bentuk usaha untuk menuju daerah yang mandiri secara fiskal.
|
||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||
I.
|
PASAL DEMI PASAL
|
||||||||||||||||
|
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Contoh pertimbangan berdasarkan kenaikan NJOP hasil penilaian misal, dalam hal Pemerintah Daerah melakukan pemuktahiran NJOP dan menyebabkan kenaikan NJOP yang sangat signifikan, maka dapat diberikan persentase dasar pengenaan PBB-P2 yang dapat disesuaikan secara bertahap.
Huruf b
Contoh pertimbangan berdasarkan bentuk pemanfaatan objek pajak misal, objek pajak yang digunakan semata-mata untuk tempat tinggal, persentase dasar pengenaan PBB-P2-nya akan lebih rendah dibandingkan dengan objek pajak yang digunakan untuk keperluan komersial.
Huruf c
Contoh pertimbangan berdasarkan klasterisasi NJOP dalam Daerah misal, Pemerintah Daerah dapat menyusun klasterisasi sebagai berikut:
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Contoh pemungutan PBB-P2 atas Tol A yang membentang dari daratan yang berada di Kota X hingga daratan yang berada di Kabupaten Y dan melintasi wilayah perairan laut diantara dua kota/kabupaten tersebut, atas bumi dan/atau bangunan Tol A dapat dipungut PBB-P2 oleh Kota X dan Kabupaten Y. Wilayah pemungutan PBB-P2 atas Tol A dibagi dua sesuai batas administratif Kota X dan Kabupaten Y dimaksud sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak” adalah surat keputusan pemberian hak baru yang menyebabkan terjadinya perubahan nama.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Ketentuan mengenai penerbitan surat keterangan bukan objek BPHTB bertujuan untuk memberikan kepastian bagi pejabat pembuat akta tanah/notaris, kepala kantor lelang negara, dan kepala kantor bidang pertanahan, bahwa suatu perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan bukan merupakan objek BPHTB. Sebagai contoh, Bupati atau pejabat dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Ayat (1)
Pada prinsipnya saat terutangnya Pajak terjadi pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai Pajak. Namun, untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak dapat terjadi pada:
Yang dimaksud dengan “syarat subjektif” adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek Pajak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Yang dimaksud dengan “syarat objektif” adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai objek Pajak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 55
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum dalam ayat ini termasuk pembayaran ketersediaan layanan atas penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum yang disediakan melalui skema pembiayaan kerjasama antara pemerintah dan badan usaha.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Yang dimaksud dengan “tempat khusus parkir di luar badan jalan” adalah tempat khusus parkir di luar ruang milik jalan. Contoh tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah adalah tempat parkir yang disediakan di gedung atau bangunan yang dimiliki atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti pada rumah sakit, pasar, sarana rekreasi dan/atau sarana umum lainnya milik Pemerintah Daerah.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Yang dimaksud dengan “pemanfaatan barang milik daerah” adalah pendayagunaan barang milik daerah yang tidak digunakan untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi OPD dan/atau optimalisasi barang milik daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
|
||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||
TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 346
|