Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Premium
Terjemahan Dokumen
Ini Belum Tersedia
Ini Belum Tersedia
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Sudah tidak berlaku karena diganti/dicabut
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
|
||||
Menimbang |
||||
a.
|
bahwa berdasarkan Pasal 11 ayat (4) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2007, pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas melalui pelabuhan dan bandar udara yang ditunjuk dan berada di bawah pengawasan pabean diberikan pembebasan bea masuk, pembebasan pajak pertambahan nilai, pembebasan pajak penjualan atas barang mewah, dan pembebasan cukai;
|
|||
b.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 115A ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 dan Pasal 16B ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan, dan Cukai serta Pengawasan atas Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari serta Berada di Kawasan yang telah Ditunjuk sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas;
|
|||
|
||||
Mengingat |
||||
1.
|
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
|||
2.
|
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740);
|
|||
3.
|
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
|
|||
4.
|
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3986);
|
|||
5.
|
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
|
|||
6.
|
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3613) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4755);
|
|||
7.
|
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4053) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4775);
|
|||
|
|
|||
MEMUTUSKAN:
|
||||
Menetapkan |
||||
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERLAKUAN KEPABEANAN, PERPAJAKAN, DAN CUKAI SERTA PENGAWASAN ATAS PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BARANG KE DAN DARI SERTA BERADA DI KAWASAN YANG TELAH DITUNJUK SEBAGAI KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS.
|
||||
|
||||
BAB I
KETENTUAN UMUM
|
||||
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
|
||||
1.
|
Undang-Undang Kepabeanan adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
|
|||
2.
|
Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
|
|||
3.
|
Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan.
|
|||
4.
|
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, yang selanjutnya disebut Kawasan Bebas, adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari Daerah Pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan cukai.
|
|||
5.
|
Kawasan Pabean adalah kawasan dengan batas-batas tertentu di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang ditetapkan untuk lalu-lintas barang yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||
6.
|
Pemberitahuan Pabean adalah pernyataan yang dibuat oleh Orang dalam rangka melaksanakan kewajiban pabean dalam bentuk dan syarat yang ditetapkan dalam Undang-Undang Kepabeanan.
|
|||
7.
|
Kewajiban Pabean adalah semua kegiatan di bidang kepabeanan yang wajib dilakukan untuk memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang Kepabeanan.
|
|||
8.
|
Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya Kewajiban Pabean sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Kepabeanan.
|
|||
9.
|
Tempat Penimbunan Sementara adalah bangunan dan/atau lapangan atau tempat lain yang disamakan dengan itu di Kawasan Pabean untuk menimbun barang, sementara menunggu pemuatan atau pengeluarannya.
|
|||
10.
|
Badan Pengusahaan Kawasan adalah Badan Pengusahaan, Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
|
|||
11.
|
Dewan Kawasan adalah Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang ditetapkan oleh Presiden yang mempunyai tugas dan wewenang menetapkan kebijaksanaan umum, membina, mengawasi dan mengkoordinasikan kegiatan Badan Pengusahaan Kawasan.
|
|||
12.
|
Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disebut dengan PPN adalah Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
|
|||
13.
|
Orang adalah orang perseorangan atau badan hukum.
|
|||
|
|
|||
Pasal 2 |
||||
(1)
|
Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||
(2)
|
Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas wajib dilakukan di pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk oleh Badan Pengusahaan Kawasan setelah mendapat persetujuan Menteri Perhubungan.
|
|||
(3)
|
Untuk kepentingan pengawasan dan pelayanan, Menteri menetapkan Kantor Pabean dan Kawasan Pabean di pelabuhan dan bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
|||
(4)
|
Pemenuhan Kewajiban Pabean dilakukan di Kantor Pabean dengan menggunakan Pemberitahuan Pabean.
|
|||
(5)
|
Pemberitahuan Pabean disampaikan kepada pejabat bea dan cukai di Kantor Pabean.
|
|||
(6)
|
Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas yang tidak melalui pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenai sanksi di bidang kepabeanan.
|
|||
|
|
|||
Pasal 3 |
||||
(1)
|
Pemasukan barang dari luar Daerah Pabean ke Kawasan Bebas hanya dapat dilakukan oleh pengusaha yang telah mendapat izin usaha dari Badan Pengusahaan Kawasan.
|
|||
(2)
|
Pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat memasukkan barang ke Kawasan Bebas yang berhubungan dengan kegiatan usahanya.
|
|||
(3)
|
Jumlah dan jenis barang yang berhubungan dengan kegiatan usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Badan Pengusahaan Kawasan.
|
|||
(4)
|
Pemasukan barang konsumsi untuk kebutuhan penduduk dari luar Daerah Pabean ke Kawasan Bebas, hanya dapat dilakukan oleh pengusaha yang telah mendapatkan izin dari Badan Pengusahaan Kawasan, dalam jumlah dan jenis yang ditetapkan oleh Badan Pengusahaan Kawasan.
|
|||
|
|
|||
Pasal 4 |
||||
(1)
|
Pengusaha di Kawasan Bebas tidak perlu dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
|
|||
(2)
|
Penyerahan barang di dalam Kawasan Bebas dibebaskan dari pengenaan PPN.
|
|||
|
|
|||
Pasal 5 |
||||
Pemasukan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 diberikan pembebasan bea masuk, pembebasan PPN, tidak dipungut Pajak Penghasilan Pasal 22, dan/atau pembebasan cukai.
|
||||
|
||||
Pasal 6 |
||||
(1)
|
Pemasukan barang yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3:
|
|||
|
a.
|
dipungut bea masuk, PPN dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 22;
|
||
|
b.
|
dikeluarkan kembali;
|
||
|
c.
|
dihibahkan kepada negara; atau
|
||
|
d.
|
dimusnahkan.
|
||
(2)
|
Pengeluaran kembali atau pemusnahan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf d dilakukan di bawah pengawasan Badan Pengusahaan Kawasan dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sesuai dengan ketentuan di bidang kepabeanan.
|
|||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran bea masuk, PPN dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 22, serta tata cara pengeluaran kembali dan pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri.
|
|||
|
|
|||
Pasal 7 |
||||
(1)
|
Terhadap barang yang dimasukkan dari luar Daerah Pabean ke Kawasan Bebas dilakukan pemeriksaan pabean.
|
|||
(2)
|
Pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penelitian dokumen dan pemeriksaan fisik barang.
|
|||
(3)
|
Pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara selektif.
|
|||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri.
|
|||
|
|
|||
Pasal 8 |
||||
(1)
|
Terhadap barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean dilakuken penelitian dokumen.
|
|||
(2)
|
Dalam hal tertentu, barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean dapat dilakukan pemeriksaan fisik.
|
|||
(3)
|
Ketentuan mengenai tata cara penelitian dokumen dan pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
|
|||
|
|
|||
BAB II
PENGANGKUTAN DAN PEMBONGKARAN BARANG Bagian Kesatu Kedatangan Sarana Pengangkut
|
||||
(1)
|
Pengangkut yang sarana pengangkutnya akan datang dari:
|
|||
|
a.
|
luar Daerah Pabean;
|
||
|
b.
|
kawasan Bebas lainnya; atau
|
||
|
c.
|
dalam Daerah Pabean,
|
||
|
wajib memberitahukan rencana kedatangan sarana pengangkut ke Kantor Pabean tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3).
|
|||
(2)
|
Pemberitahuan rencana kedatangan sarana pengangkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:
|
|||
|
a.
|
sebelum kedatangan untuk sarana pengangkut laut dan udara; atau
|
||
|
b.
|
pada saat kedatangan untuk sarana pengangkut darat.
|
||
(3)
|
Pengangkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang sarana pengangkutnya memasuki Kawasan Bebas wajib mencantumkan barang yang diangkutnya dalam manifesnya.
|
|||
(4)
|
Pengangkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang sarana pengangkutnya datang dari luar Daerah Pabean, dari Kawasan Bebas atau datang dari dalam Daerah Pabean dengan mengangkut barang wajib menyerahkan Pemberitahuan Pabean mengenai barang yang diangkutnya sebelum melakukan pembongkaran.
|
|||
(5)
|
Dalam hal tidak segera dilakukan pembongkaran, kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan:
|
|||
|
a.
|
paling lambat 24 (dua puluh empat) jam sejak kedatangan sarana pengangkut, untuk sarana pengangkut yang melalui laut;
|
||
|
b.
|
paling lambat 8 (delapan) jam sejak kedatangan sarana pengangkut, untuk sarana pengangkut yang melalui udara; atau
|
||
|
c.
|
pada saat kedatangan sarana pengangkut, untuk sarana pengangkut yang melalui darat.
|
||
(6)
|
Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dikecualikan bagi pengangkut yang berlabuh paling lama 24 (dua puluh empat) jam dan tidak melakukan pembongkaran barang.
|
|||
(7)
|
Dalam hal sarana pengangkut dalam keadaan darurat, pengangkut dapat membongkar barang impor terlebih dahulu dan wajib:
|
|||
|
a.
|
melaporkan keadaan darurat tersebut ke Kantor Pabean terdekat pada kesempatan pertama; dan
|
||
|
b.
|
menyerahkan pemberitahuan pabean paling lambat 72 (tujuh puluh dua) jam sesudah pembongkaran.
|
||
(8)
|
Pengangkut yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
|
|||
(9)
|
Pengangkut yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5), atau ayat (7) dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rpl0.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
|
|||
|
|
|||
Bagian Kedua
Keberangkatan Sarana Pengangkut
|
||||
(1)
|
Pengangkut yang sarana pengangkutnya akan berangkat dari Kawasan Bebas menuju:
|
|||
|
a.
|
ke luar Daerah Pabean;
|
||
|
b.
|
ke Kawasan Bebas lainnya; atau
|
||
|
c.
|
ke dalam Daerah Pabean,
|
||
|
Wajib menyerahkan Pemberitahuan Pabean atas barang yang diangkutnya sebelum keberangkatan sarana pengangkut.
|
|||
(2)
|
Pengangkut yang sarana pengangkutnya menuju ke luar Daerah Pabean, Kawasan Bebas lainnya, atau Daerah Pabean wajib mencantumkan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam manifesnya.
|
|||
(3)
|
Pengangkut yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
|
|||
|
|
|||
Bagian Ketiga
Pembongkaran
|
||||
(1)
|
Barang yang diangkut sarana pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) wajib dibongkar di Kawasan Pabean di pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
|
|||
(2)
|
Pembongkaran barang di luar Kawasan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penyelundupan dan dikenai sanksi di bidang kepabeanan.
|
|||
(3)
|
Pengangkut yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi jumlah barang yang dibongkar kurang dari yang diberitahukan dalam Pemberitahuan Pabean dan tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi di luar kemampuannya, wajib membayar bea masuk atas barang yang kurang dibongkar dan dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
|
|||
(4)
|
Pengangkut yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi jumlah barang yang dibongkar lebih banyak dari yang diberitahukan dalam Pemberitahuan Pabean dan tidak dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut terjadi di luar kemampuannya, dikenai sanksi administrasi berupa denda paling sedikit Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
|
|||
(5)
|
Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sementara menunggu pengeluarannya dari Kawasan Pabean, dapat ditimbun di Tempat Penimbunan Sementara.
|
|||
|
|
|||
BAB III
PEMASUKAN BARANG DARI LUAR DAERAH PABEAN KE KAWASAN BEBAS DAN PENGELUARAN BARANG DARI KAWASAN BEBAS KE LUAR DAERAH PABEAN Bagian Kesatu
Pemasukan barang dari luar Daerah Pabean ke Kawasan Bebas
|
||||
(1)
|
Barang asal luar Daerah Pabean yang akan dimasukkan ke Bebas wajib diberitahukan dengan Pemberitahuan Pabean oleh pengusaha ke Kantor Pabean.
|
|||
(2)
|
Barang asal luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikeluarkan dari Kawasan Pabean setelah dipenuhinya Kewajiban Pabean.
|
|||
(3)
|
Orang yang mengeluarkan barang dari Kawasan Pabean setelah memenuhi semua ketentuan tetapi belum mendapat persetujuan pengeluaran dari pejabat bea dan cukai, dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
|
|||
(4)
|
Barang asal luar Daerah Pabean yang dibawa oleh penumpang atau awak sarana pengangkut ke Kawasan Bebas pada saat kedatangannya wajib diberitahukan kepada pejabat bea dan cukai.
|
|||
(5)
|
Barang asal luar Daerah Pabean yang dikirim melalui pos atau jasa titipan hanya dapat dikeluarkan atas persetujuan pejabat bea dan cukai.
|
|||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengeluaran barang asal luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri.
|
|||
|
|
|||
Bagian kedua
Pengeluaran Barang dari Kawasan Bebas ke Luar Daerah Pabean
|
||||
(1)
|
Barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean wajib diberitahukan dengan Pemberitahuan Pabean oleh pengusaha ke Kantor Pabean.
|
|||
(2)
|
Dalam hal barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean merupakan barang yang dikenai bea keluar, bea keluar wajib dibayar paling lambat pada saat Pemberitahuan Pabean didaftarkan ke Kantor Pabean.
|
|||
(3)
|
Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperlukan terhadap barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman sampai dengan batas nilai pabean dan/atau jumlah tertentu.
|
|||
(4)
|
Pemuatan barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan di Kawasan Pabean di pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
|
|||
(5)
|
Barang yang telah diberitahukan untuk dikeluarkan dari kawasan bebas ke luar daerah pabean, sementara menunggu pemuatannya, dapat ditimbun di Tempat Penimbunan Sementara.
|
|||
(6)
|
Barang yang telah diberitahukan untuk dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika pengeluarannya dibatalkan wajib dilaporkan kepada pejabat bea dan cukai.
|
|||
(7)
|
Pengusaha yang tidak melaporkan pembatalan pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
|
|||
(8)
|
Pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean yang merupakan barang yang dikenai bea keluar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai bea keluar.
|
|||
(9)
|
Pemuatan barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas yang dilakukan di luar Kawasan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan penyelundupan dan dikenai sanksi di bidang kepabeanan.
|
|||
(10)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengeluaran barang ke luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri.
|
|||
|
|
|||
BAB IV
PEMASUKAN BARANG DARI TEMPAT LAIN DALAM DAERAH PABEAN KE KAWASAN BEBAS DAN PENGELUARAN BARANG DARI KAWASAN BEBAS KE TEMPAT LAIN DALAM DAERAH PABEAN Bagian Kesatu
Pemasukan Barang dari Tempat Lain Dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas dan Perlakuan Perpajakan
|
||||
(1)
|
Pemasukan barang dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas melalui pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), tidak dipungut PPN dan/atau tidak dikenakan cukai.
|
|||
(2)
|
Pemasukan barang dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas yang tidak melalui pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), dipungut PPN dari/atau cukai.
|
|||
(3)
|
Pemasukan barang dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas, sepanjang menyangkut pemberian fasilitas PPN tidak dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengawasan dan pengadministrasiannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
|
|||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemasukan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengawasan dan pengadministrasian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri.
|
|||
|
|
|||
Bagian Kedua
Pengeluaran Barang dari Kawasan Bebas ke Tempat Lain Dalam Daerah Pabean dan Perlakuan Perpajakan
|
||||
(1)
|
Barang asal luar Daerah Pabean yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke lain dalam Daerah Pabean wajib dilunasi bea masuk, PPN, Pajak Penghasilan Pasal 22, dan/atau cukai.
|
|||
(2)
|
Barang asal Kawasan Bebas dan tempat lain dalam Daerah Pabean yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean, wajib dilunasi PPN dan/atau cukai.
|
|||
(3)
|
Pelunasan PPN atas pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Orang yang mengeluarkan barang.
|
|||
(4)
|
Tata cara pelunasan PPN atas pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur dengan atau berdasarkan peraturan Menteri.
|
|||
(5)
|
Tata cara pelunasan cukai atas pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang cukai.
|
|||
|
|
|||
Pasal 16 |
||||
(1)
|
Barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean wajib diberitahukan dengan Pemberitahuan Pabean oleh pengusaha ke Kantor Pabean.
|
|||
(2)
|
Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diwajibkan terhadap barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, dan barang kiriman sampai dengan batas nilai pabean dari/atau jumlah tertentu.
|
|||
(3)
|
Pemuatan barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan di Kawasan Pabean.
|
|||
(4)
|
Barang yang telah diberitahukan untuk dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean, sementara menunggu pemuatannya, dapat ditimbun di Tempat Penimbunan Sementara.
|
|||
(5)
|
Barang yang telah diberitahukan untuk dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika pengeluarannya dibatalkan wajib dilaporkan kepada pejabat bea dan cukai.
|
|||
(6)
|
Pengusaha yang tidak melaporkan pembatalan pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke tempat lain Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
|
|||
(7)
|
Dalam hal barang yang dibatalkan untuk dikeluarkan ke tempat lain dalam Daerah Pabean tidak dilaporkan pembatalan pengeluarannya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), disamping harus membayar sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6), juga diwajibkan untuk melunasi bea masuk, PPN, Pajak Penghasilan Pasal 22, dan/atau cukai.
|
|||
(8)
|
Dalam hal barang yang dibatalkan untuk dikeluarkan ke tempat lain dalam Daerah Pabean tidak dilaporkan pembatalan pengeluarannya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan barang sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2), disamping harus membayar sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6), juga diwajibkan untuk melunasi PPN dan/atau cukai.
|
|||
(9)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengeluaran barang ke tempat lain dalam Daerah Pabean diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri.
|
|||
|
|
|||
BAB V
PEMASUKAN BARANG DARI KAWASAN BEBAS LAINNYA KE KAWASAN BEBAS DAN PENGELUARAN BARANG DARI KAWASAN BEBAS KE KAWASAN BEBAS LAINNYA Bagian Kesatu
Pemasukan Barang dari Kawasan Bebas Lainnya ke Kawasan Bebas
|
||||
Pemasukan barang dari Kawasan Bebas lainnya ke Kawasan Bebas diberikan pembebasan bea masuk, pembebasan PPN, tidak dipungut Pajak Penghasilan Pasal 22, dan/atau pembebasan cukai.
|
||||
|
||||
Pasal 18 |
||||
(1)
|
Barang dari Kawasan Bebas lainnya yang dibongkar di Kawasan Pabean sebagaimana dimaksud pada Pasal 11 ayat (1) dapat dikeluarkan dari Kawasan Pabean setelah dipenuhinya Kewajiban Pabean.
|
|||
(2)
|
Orang yang mengeluarkan barang dari Kawasan Pabean setelah memenuhi semua ketentuan tetapi belum mendapat persetujuan pengeluaran dari pejabat bea dan cukai, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).
|
|||
(3)
|
Penumpang atau awak sarana pengangkut yang membawa barang dari Kawasan Bebas lainnya, dikecualikan dari pemenuhan Kewajiban Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemasukan barang dari Kawasan Bebas lainnya ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri.
|
|||
|
|
|||
Bagian Kedua
Pemasukan Barang dari Tempat Penimbunan Berikat ke Kawasan Bebas dan Pengeluaran Barang dari Kawasan Bebas ke Tempat Penimbunan Berikat
|
||||
(1)
|
Pemasukan barang dari Tempat Penimbunan Berikat ke Kawasan Bebas diberikan pembebasan bea masuk, tidak dipungut PPN, tidak dipungut Pajak Penghasilan Pasal 22, dan/atau pembebasan cukai.
|
|||
(2)
|
Pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke Tempat Penimbunan Berikat, berlaku ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
dalam hal barang merupakan barang asal luar Daerah Pabean, diberikan penangguhan bea masuk, pembebasan PPN, tidak dipungut Pajak Penghasilan Pasal 22, dan/atau pembebasan cukai;
|
||
|
b.
|
dalam hal barang merupakan barang asal Kawasan Bebas atau barang asal dalam Daerah Pabean, diberikan pembebasan PPN dan/atau cukai.
|
||
(3)
|
Ketentuan mengenai pemasukan barang dari Tempat Penimbunan Berikat ke Kawasan Bebas dan pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke Tempat Penimbunan Berikat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
|
|||
|
|
|||
Pasal 20 |
||||
(1)
|
Barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke Kawasan Bebas lainnya dan Tempat Penimbunan Berikat wajib diberitahukan dengan Pemberitahuan Pabean oleh pengusaha ke Kantor Pabean.
|
|||
(2)
|
Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperlukan terhadap barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, dan barang kiriman sampai dengan batas nilai pabean dan/atau jumlah tertentu.
|
|||
(3)
|
Pemuatan barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan di Kawasan Pabean.
|
|||
(4)
|
Barang yang telah diberitahukan untuk dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke Kawasan Bebas lainnya dan Tempat Penimbunan Berikat, sementara menunggu pemuatannya, dapat ditimbun di Tempat Penimbunan Sementara.
|
|||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri.
|
|||
|
|
|||
BAB VI
PEMBERITAHUAN PABEAN
|
||||
(1)
|
Pemberitahuan Pabean dapat disampaikan dalam bentuk tulisan di atas formulir atau dalam bentuk data elektronik.
|
|||
(2)
|
Tulisan di atas formulir atau data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan alat bukti yang sah menurut Undang-Undang Kepabeanan.
|
|||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara tentang penyampaian Pemberitahuan Pabean yang meliputi:
|
|||
|
a.
|
bentuk, isi, dan keabsahan Pemberitahuan Pabean dan buku catatan pabean;
|
||
|
b.
|
pendaftaran, penyampaian dan penyerahan Pemberitahuan Pabean;
|
||
|
c.
|
penelitian, perubahan, penambahan, dan pembatalan Pemberitahuan Pabean dan catatan pabean;
|
||
|
d.
|
pendistribusian dan penatausahaan Pemberitahuan Pabean dan buku cacatan pabean; dan
|
||
|
e.
|
penggunaan dokumen pelengkap pabean,
|
||
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri. | ||||
|
||||
Pasal 22 |
||||
(1)
|
Pengurusan Pemberitahuan Pabean wajib dilakukan oleh pengangkut dan pengusaha yang telah mendapat izin usaha dari Badan Pengusahaan Kawasan.
|
|||
(2)
|
Dalam hal pengurusan Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan sendiri, pengusaha menguasakannya kepada pengusaha pengurusan jasa kepabeanan.
|
|||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengurusan Pemberitahuan Pabean diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri.
|
|||
|
|
|||
BAB VII
PERLAKUAN PPN ATAS PENYERAHAN ATAU PEMANFAATAN BARANG KENA PAJAK TIDAK BERWUJUD DAN/ATAU JASA KENA PAJAK
|
||||
(1)
|
Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Kawasan Bebas, dibebaskan dari pengenaan PPN.
|
|||
(2)
|
Penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak di dalam Kawasan Bebas dibebaskan dari pengenaan PPN.
|
|||
(3)
|
Penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Kawasan Bebas ke Kawasan Bebas lainnya dibebaskan dari pengenaan PPN.
|
|||
(4)
|
Penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean dikenakan PPN.
|
|||
(5)
|
Penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas, tidak dipungut PPN.
|
|||
(6)
|
Penyerahan Jasa Kena Pajak dan/atau Barang Kena Pajak tidak berwujud dari Tempat Penimbunan Berikat ke Kawasan Bebas, tidak dipungut PPN.
|
|||
(7)
|
Penyerahan Jasa Kena Pajak dan/atau Barang Kena Pajak tidak berwujud dari Kawasan Bebas ke Tempat Penimbunan Berikat, dipungut PPN.
|
|||
(8)
|
Ketentuan mengenai tata cara pelunasan PPN atas penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (7) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri.
|
|||
|
|
|||
BAB VIII
KETENTUAN LARANGAN DAN PEMBATASAN
|
||||
(1)
|
Untuk kepentingan pengawasan terhadap pelaksanaan ketentuan larangan dan pembatasan, instansi teknis yang menetapkan peraturan larangan dan/atau pembatasan atas pemasukan dan pengeluaran barang ke atau dari Kawasan Bebas wajib memberitahukan kepada Menteri.
|
|||
(2)
|
Semua barang yang dilarang atau dibatasi yang tidak memenuhi syarat untuk dimasukkan dari luar daerah pabean atau dikeluarkan ke luar daerah pabean atau ke tempat lain dalam daerah pabean, jika telah diberitahukan dengan pemberitahuan pabean, atas permintaan pengusaha yang diberi izin usaha Badan Pengusahaan Kawasan:
|
|||
|
a.
|
dibatalkan pengeluarannya dari Kawasan Bebas;
|
||
|
b.
|
dikeluarkan kembali ke luar daerah pabean; atau
|
||
|
c.
|
dimusnahkan di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan Badan Pengusahaan Kawasan,
|
||
kecuali terhadap barang dimaksud ditetapkan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan. | ||||
(3)
|
Barang yang dilarang atau dibatasi untuk:
|
|||
|
a.
|
dimasukkan dari luar daerah pabean; atau
|
||
|
b.
|
dikeluarkan ke luar daerah pabean atau ke tempat lain dalam daerah pabean,
|
||
yang tidak diberitahukan atau diberitahukan secara tidak benar ditetapkan sebagai barang yang dikuasai negara, kecuali terhadap barang dimaksud ditetapkan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan. | ||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengawasan dan penatausahaan barang-barang yang dilarang dan/atau dibatasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri.
|
|||
|
|
|||
BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
|
||||
Dalam melaksanakan tugas berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan lain yang pelaksanaannya dibebankan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, pejabat bea dan cukai untuk mengamankan hak-hak negara memiliki kewenangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan cukai.
|
||||
|
||||
Pasal 26 |
||||
Ketentuan mengenai tata cara pemberian informasi kepada Dewan Kawasan dan/atau Badan Pengusahaan Kawasan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri.
|
||||
|
||||
Pasal 27 |
||||
Ketentuan lainnya yang berkaitan dengan pemasukan barang ke Kawasan Bebas atau pengeluaran barang dari Kawasan Bebas menggunakan ketentuan dalam Undang-Undang Kepabeanan.
|
||||
|
||||
Pasal 28 |
||||
Ketentuan mengenai sanksi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan perpajakan tetap berlaku di Kawasan Bebas.
|
||||
|
||||
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
|
||||
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, peraturan pelaksanaan dari:
|
||||
(1) |
Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1995 tentang Perlakuan Perpajakan Dalam Rangka Kegiatan Konstruksi dan Kegiatan Operasi Pembangunan Proyek Pengembangan Pulau Bintan dan Pulau Karimun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3604); dan
|
|||
(2) |
Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2003 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah di Kawasan Berikat (Bonded Zone) Daerah Industri Pulau Batam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4252) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2003 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah di Kawasan Berikat (Bonded Zone) Daerah Industri Pulau Batam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4514),
|
|||
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diatur dengan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
|
||||
|
||||
Pasal 30 |
||||
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
|
||||
(1) |
Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1995 tentang Perlakuan Perpajakan Dalam Rangka Kegiatan Konstruksi dan Kegiatan Operasi Pembangunan Proyek Pengembangan Pulau Bintan dan Pulau Karimun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3604); dan
|
|||
(2) |
Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2003 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah di Kawasan Berikat (Bonded Zone) Daerah Industri Pulau Batam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4252) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2003 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah di Kawasan Berikat (Bonded Zone) Daerah Industri Pulau Batam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4514),
|
|||
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
||||
|
||||
Pasal 31 |
||||
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
|
||||
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
|
||||
|
||||
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 16 Januari 2009 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 16 Januari 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 15
|
||||
PENJELASANATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 2009
TENTANG
PERLAKUAN KEPABEANAN, PERPAJAKAN, DAN CUKAI SERTA PENGAWASAN ATAS PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BARANG KE DAN DARI SERTA BERADA DI KAWASAN YANG TELAH DITUNJUK SEBAGAI KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
I. | UMUM | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Dalam rangka mendorong kegiatan lalu lintas perdagangan internasional yang mendatangkan devisa bagi negara dan dalam rangka meningkatkan penanaman modal baik asing maupun dalam negeri serta memperluas lapangan kerja, telah diatur pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang menjadi Undang-Undang.
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas merupakan suatu kawasan dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari Daerah Pabean sehingga sepanjang menyangkut bea masuk, cukai, PPN diperlakukan sama dengan di luar Daerah Pabean yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Untuk mewujudkan tujuan pembentukan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, diperlukan pengaturan mengenai perlakuan perpajakan termasuk pemberian fasilitas PPN dan PPnBM dalam kerangka Pasal 16B Undang-Undang Nomor Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan pemasukan atau pengeluaran barang ke dan dari serta berada di kawasan yang telah ditunjuk sebagai daerah perdagangan bebas dan/atau pelabuhan bebas. Pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean diberlakukan semua ketentuan di bidang impor dan pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean diberlakukan semua ketentuan di bidang ekspor. Atas pemasukan barang dari luar Daerah Pabean ke Kawasan Bebas dan pemasukan dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas berlaku seluruh ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
II. | PASAL DEMI PASAL | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Untuk menjaga agar semua barang yang dimasukkan ke atau yang dikeluarkan dari Kawasan Bebas memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan, pemenuhan Kewajiban Pabean ditetapkan hanya dapat dilakukan di Kantor Pabean.
Penegasan bahwa pemenuhan Kewajiban Pabean dilakukan di Kantor Pabean maksudnya yaitu jika kedapatan barang dibongkar atau dimuat di suatu tempat yang tidak ditunjuk sebagai Kantor Pabean berarti terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Peraturan Pemerintah ini.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “sanksi di bidang kepabeanan” adalah sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 dan Pasal 102A Undang-Undang Kepabeanan.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Termasuk dalam pengertian bea masuk adalah bea masuk anti dumping, bea masuk tindakan pengamanan, dan bea masuk tindakan pembalasan.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Untuk memperoleh data dan penilaian yang tepat mengenai Pemberitahuan Pabean yang diajukan terhadap barang yang akan dimasukkan ke Kawasan Bebas dilakukan pemeriksaan pabean dalam bentuk penelitian terhadap dokumen dan pemeriksaan atas fisik barang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pemeriksaan pabean dilakukan secara selektif dengan mempertimbangkan kepentingan pengawasan pemasukan barang ke Kawasan Bebas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam rangka mendorong ekspor, terutama dalam kaitannya dengan upaya untuk meningkatkan daya saing barang ekspor Indonesia di pasar dunia, diperlukan suatu kecepatan dan kepastian bagi pengusaha. Dengan demikian, pemeriksaan pabean dalam bentuk pemeriksaan fisik atas barang yang dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean harus diupayakan seminimal mungkin sehingga hanya dilakukan penelitian terhadap dokumennya.
Ayat (3)
Untuk memperoleh data dan penilaian yang tepat mengenai Pemberitahuan Pabean yang diajukan, pasal ini memberikan kewenangan kepada Menteri untuk dalam hal-hal tertentu dapat menetapkan ketentuan tentang pemeriksaan fisik atas barang ekspor.
Pasal 9
Ayat (1)
Ketentuan ini mengatur kewajiban bagi pengangkut untuk memberitahukan rencana kedatangan sarana pengangkutnya sebelum sarana pengangkut tiba di Kawasan Pabean, baik terhadap sarana pengangkut yang melakukan kegiatannya secara reguler (liner) maupun sarana pengangkut yang tidak secara teratur berada di Kawasan Pabean (tramper). Hal ini dimaksudkan untuk lebih meningkatkan pengawasan pabean atas barang impor dan/atau barang ekspor.
Yang dimaksud dengan “kedatangan sarana pengangkut” yaitu:
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “manifes” yaitu daftar barang niaga yang dimuat dalam sarana pengangkut.
Ayat (4)
Pemberitahuan Pabean pada ayat ini berisi informasi tentang semua barang niaga yang diangkut dengan sarana pengangkut, baik barang impor, barang ekspor, maupun barang asal Daerah Pabean yang diangkut ke tempat lain dalam Daerah Pabean melalui luar Daerah Pabean.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Ketentuan mengenai berlabuh pada ayat ini dihitung sejak kedatangan sarana pengangkut sebagaimana dimaksud pada penjelasan ayat (1).
Ayat (7)
Pada dasarnya barang impor hanya dapat dibongkar setelah diajukan Pemberitahuan Pabean tentang kedatangan sarana pengangkut. Akan tetapi, jika sarana pengangkut mengalami keadaan darurat seperti mengalami kebakaran, kerusakan mesin yang tidak dapat diperbaiki, terjebak dalam cuaca buruk, atau hal lain yang terjadi di luar kemampuan manusia dapat diadakan pengecualian dengan melakukan pembongkaran tanpa memberitahukan terlebih dahulu tentang kedatangan sarana pengangkut.
Huruf a
Melaporkan keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini dapat dilakukan dengan menggunakan radio panggil, telepon, atau faksimile.
Yang dimaksud dengan “Kantor Pabean terdekat” yaitu Kantor Pabean yang paling mudah dicapai.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “sanksi di bidang kepabeanan” adalah sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 Undang-Undang Kepabeanan.
Ayat (3)
Kewajiban pada ayat ini yang harus dilakukan oleh pengangkut atau kuasanya yaitu memberitahukan kedatangan sarana pengangkut dengan Pemberitahuan Pabean kepada pejabat bea dan cukai dan dokumen tersebut harus memuat atau berisi semua barang yang diangkut di dalam sarana pengangkut tersebut, baik berupa barang dagangan maupun bekal kapal. Apabila jumlah barang yang dibongkar kurang dari jumlah yang diberitahukan dalam Pemberitahuan Pabean, pengangkut berdasarkan ketentuan pada ayat ini dianggap telah memasukkan barang impor tersebut ke peredaran bebas sehingga selain wajib membayar bea masuk atas barang yang kurang dibongkar tersebut, juga dikenai sanksi administrasi berupa denda, jika yang bersangkutan tidak dapat membuktikan bahwa kekurangan barang yang dibongkar tersebut bukan karena kesalahannya.
Dalam hal barang yang diangkut dalam kemasan, yang dimaksud dengan jumlah barang yaitu jumlah kemasan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Ketentuan ini dimaksudkan bahwa penimbunan barang di tempat penimbunan sementara bukan merupakan keharusan karena penimbunan tersebut hanya dilakukan dalam hal barang tidak dapat dikeluarkan dengan segera.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “dikeluarkan” yaitu, pengeluaran barang dari Kawasan Pabean ke Kawasan Bebas, tempat lain dalam Daerah Pabean, maupun ke luar Daerah Pabean.
Ayat (3)
Pengeluaran barang pada ayat ini dilakukan tanpa bermaksud untuk mengelakkan pembayaran bea masuk, karena telah diajukan Pemberitahuan Pabean dan bea masuknya telah dilunasi, akan tetapi karena pengeluarannya tanpa persetujuan pejabat bea dan cukai, atas pelanggaran tersebut dikenai sanksi administrasi berupa denda.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “penumpang” yaitu setiap orang yang melintasi perbatasan wilayah negara dengan menggunakan sarana pengangkut, tetapi bukan awak sarana pengangkut dan bukan pelintas batas.
Yang dimaksud dengan “awak sarana pengangkut” yaitu setiap orang yang karena sifat pekerjaannya harus berada dalam sarana pengangkut dan datang bersama sarana pengangkut.
Yang dimaksud dengan “diberitahukan” yaitu menyampaikan pemberitahuan secara lisan atau tertulis.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “persetujuan pejabat bea dan cukai” yaitu penetapan pejabat bea dan cukai yang menyatakan bahwa barang tersebut telah dipenuhi Kewajiban Pabean berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Pemberitahuan pada ayat ini dimaksudkan sebagai sarana untuk melakukan pengawasan terhadap barang yang akan dikeluarkan dari Daerah Pabean.
Yang dimaksud dengan “pengusaha” yaitu pengusaha yang telah mendapatkan izin usaha dari Badan Pengusahaan Kawasan.
Ayat (2)
Pengenaan bea keluar pada ayat ini dimaksudkan untuk melindungi kepentingan nasional, bukan untuk membebani daya saing komoditi ekspor di pasar internasional.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “dibatalkan” yaitu dibatalkan seluruhnya atau sebagian.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Yang dimaksud dengan “sanksi di bidang kepabeanan” adalah sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102A Undang-Undang Kepabeanan.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Fasilitas PPN tidak dipungut hanya diberikan apabila Barang Kena Pajak tersebut benar-benar telah masuk di Kawasan Bebas melalui pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk dan dibuktikan dengan dokumen kepabeanan yang telah diendorse/disetujui oleh pejabat Direktorat Jenderal Pajak.
Yang dimaksud dengan “tempat lain dalam Daerah Pabean” adalah Daerah Pabean selain Kawasan Bebas dan Tempat Penimbunan Berikat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup Jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
PPN yang terutang wajib dilunasi oleh Orang yang mengeluarkan barang, sebelum barang dikeluarkan dari Kawasan Bebas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Pemberitahuan Pabean pada ayat ini dimaksudkan agar kewajiban pembayaran bea masuk, PPN, cukai, dan Pajak Penghasilan Pasal 22 serta ketentuan larangan dan pembatasan atas barang asal luar Daerah Pabean telah dipenuhi sebelum keluar dari Kawasan Bebas menuju tempat lain dalam Daerah Pabean.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penumpang” yaitu setiap orang yang melintasi perbatasan wilayah Kawasan Bebas dengan menggunakan sarana pengangkut, tetapi bukan awak sarana pengangkut dan bukan pelintas batas.
Yang dimaksud dengan “awak sarana pengangkut” yaitu setiap orang yang karena sifat pekerjaannya harus berada dalam sarana pengangkut dan datang bersama sarana pengangkut.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “dibatalkan” yaitu dibatalkan seluruhnya atau sebagian.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Data elektronik (softcopy) yaitu informasi atau rangkaian informasi yang disusun dan/atau dihimpun untuk kegunaan khusus yang diterima, direkam, dikirim, disimpan, diproses, diambil kembali, atau diproduksi secara elektronik dengan menggunakan komputer atau perangkat pengolah data elektronik, optikal, atau cara lain yang sejenis.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pada dasarnya Peraturan Pemerintah ini menganut prinsip bahwa semua pemilik barang dapat menyelesaikan kewajiban pabean. Mengingat tidak semua pemilik barang mengetahui atau menguasai ketentuan tata laksana kepabeanan atau karena suatu hal tidak dapat menyelesaikan sendiri kewajiban pabean, ayat ini memberi kemungkinan pemberian kuasa penyelesaian kewajiban pabean kepada pengusaha pengurusan jasa kepabeanan yang terdaftar di Kantor Pabean.
Pengusaha pengurusan jasa kepabeanan sebelumnya telah ada dan di dalam praktik sehari-hari dikenal dengan nama Ekspedisi Muatan Kapal Laut (EMKL), Ekspedisi Muatan Kapal Udara atau Ekspedisi Muatan Pesawat Udara (EMKU/EMPU), atau pengusaha jasa transportasi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Kewenangan pejabat bea dan cukai sebagaimana diatur dalam Undang-Undang yaitu kewenangan pejabat bea dan cukai untuk:
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Yang dimaksud dengan “ketentuan lainnya" adalah ketentuan mengenai:
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4970 |