Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Premium
Terjemahan Dokumen
Ini Belum Tersedia
Ini Belum Tersedia
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Beberapa kali diubah
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
|
|||
|
|
||
Menimbang |
|||
a.
|
bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban warga negara, karena itu menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan bagi setiap warga negara yang merupakan sarana peran serta dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional;
|
||
b.
|
bahwa sistem perpajakan yang merupakan dasar pelaksanaan pemungutan pajak negara yang selama ini berlaku tidak sesuai lagi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi dan kehidupan sosial masyarakat Indonesia, baik dalam segi kegotongroyongan nasional maupun dalam laju pembangunan yang telah tercapai;
|
||
c.
|
bahwa sistem perpajakan, khususnya yang tertuang dalam ketentuan-ketentuan pajak tidak langsung yang berlaku selama ini belum dapat menggerakkan peran serta semua lapisan pengusaha kena pajak dalam meningkatkan pendapatan negara yang sangat diperlukan guna mewujudkan kelangsungan pembiayaan negara dan kelangsungan pembangunan yang berdasarkan pada asas-asas pembangunan nasional;
|
||
d.
|
bahwa sistem pajak penjualan yang berlaku dewasa ini sudah tidak sesuai lagi sebagai sarana yang dapat menunjang kebutuhan tersebut di atas;
|
||
e.
|
bahwa oleh karena itu dipandang perlu untuk mengatur kembali sistem pajak penjualan dengan sistem pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah dengan Undang-Undang;
|
||
|
|
||
Mengingat |
|||
1.
|
Pasal 5 ayat (1) juncto pasal 20 ayat (1) dan pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
|
||
2.
|
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1983 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Republik Indonesia;
|
||
3.
|
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262);
|
||
4.
|
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 326);
|
||
|
|
||
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA |
|||
|
|
||
MEMUTUSKAN:
|
|||
Dengan mencabut:
|
|||
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1953 tentang penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1951 tentang Pemungutan Pajak Penjualan (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 94) sebagai Undang-Undang (Lembaran Negara Tahun 1953 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Nomor 489) sebagaimana beberapa kali diubah dan ditambah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1968 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang pajak Penjualan 1951 (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 14, tambahan lembaran Negara Nomor 2847);
|
|||
|
|
||
Menetapkan |
|||
UNDANG-UNDANG TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH.
|
|||
|
|
||
BAB I
KETENTUAN UMUM Pasal 1 |
|||
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
|||
a.
|
Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang di dalamnya berlaku peraturan perundang-undangan Pabean;
|
||
b.
|
Barang adalah barang berwujud yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak;
|
||
c.
|
Barang Kena Pajak adalah barang sebagaimana dimaksud pada huruf b sebagai hasil proses pengolahan (pabrikasi) yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang ini;
|
||
d.
|
Penyerahan Barang Kena Pajak:
|
||
|
1)
|
Yang termasuk dalam pengertian Penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
|
|
|
|
a)
|
Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;
|
|
|
b)
|
pengalihan Barang Kena Pajak oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan perjanjian leasing;
|
|
|
c)
|
pengalihan hasil produksi dalam keadaan bergerak;
|
|
|
d)
|
penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
|
|
|
e)
|
pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma;
|
|
|
f)
|
persediaan Barang Kena Pajak yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan;
|
|
2)
|
Yang tidak termasuk dalam pengertian Penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
|
|
|
|
a)
|
penyerahan Barang kena Pajak kepada makelar sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
|
|
|
b)
|
Penyerahan barang kena Pajak untuk jaminan hutang-piutang;
|
|
|
c)
|
Pemindahtanganan sebagian atau seluruh perusahaan.
|
e.
|
Jasa adalah semua kegiatan usaha dan pemberian pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, atau hak tersedia untuk dipakai;
|
||
f.
|
Jasa Kena Pajak adalah jasa sebagaimana dimaksud pada huruf e yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang ini;
|
||
g.
|
Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah kegiatan melaksanakan pemberian Jasa Kena Pajak yang dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya termasuk Jasa Kena Pajak yang dilakukan untuk kepentingan sendiri;
|
||
h.
|
Impor adalah semua kegiatan memasukkan barang ke dalam Daerah Pabean;
|
||
i.
|
Ekspor adalah semua kegiatan mengeluarkan barang ke luar Daerah Pabean;
|
||
j.
|
Perdagangan adalah kegiatan usaha membeli dan menjual barang tanpa mengubah bentuk atau sifatnya;
|
||
k.
|
Pengusaha adalah orang atau badan dalam bentuk apapun yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, atau melakukan usaha jasa;
|
||
l.
|
Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha sebagaimana dimaksud pada huruf k yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
|
||
|
Tidak termasuk dalam pengertian Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha kecil yang batasan dan ukurannya ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Keuangan;
|
||
m.
|
Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk atau sifat suatu barang dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau mempunyai daya guna baru termasuk membuat, memasak, merakit, mencampur, mengemas, membotolkan, dan menambang atau menyuruh orang atau badan lain melakukan kegiatan itu.
|
||
|
Yang tidak termasuk dalam pengertian Menghasilkan ialah:
|
||
|
1)
|
menanam atau memetik hasil pertanian atau memelihara hewan;
|
|
|
2)
|
menangkap atau memelihara ikan;
|
|
|
3)
|
mengeringkan atau menggarami makanan;
|
|
|
4)
|
membungkus atau mengepak yang lazimnya terjadi dalam usaha perdagangan besar atau eceran;
|
|
|
5)
|
menyediakan makanan dan minuman di restoran, rumah penginapan, atau yang dilaksanakan oleh usaha katering.
|
|
n.
|
Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian yang diminta atau yang seharusnya diminta oleh penjual atau pemberi Jasa atau Nilai Impor yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terhutang;
|
||
o.
|
Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan barang, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-Undang ini, potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak, dan harga Barang yang dikembalikan;
|
||
p.
|
Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pemberi Jasa karena penyerahan Jasa, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak;
|
||
q.
|
Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Pabean untuk Impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-Undang ini;
|
||
r.
|
Pembeli adalah orang atau badan yang menerima penyerahan Barang Kena Pajak;
|
||
s.
|
Penerima Jasa adalah orang atau badan yang menerima penyerahan Jasa Kena Pajak;
|
||
t.
|
Faktur Pajak adalah bukti pemungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak atau Direktorat Jenderal Bea dan Cukai pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak atau pada saat Impor Barang Kena Pajak;
|
||
u.
|
Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak pada waktu pembelian Barang Kena Pajak, penerimaan Jasa Kena Pajak, atau impor Barang Kena Pajak;
|
||
v.
|
Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
|
||
w.
|
Masa Pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan satu bulan takwim, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
|
||
|
|
||
Pasal 2 |
|||
(1)
|
Dalam hal Harga Jual atau Penggantian dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka Harga Jual atau Penggantian dihitung atas dasar harga pasar wajar pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak itu dilakukan.
|
||
(2)
|
Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dianggap ada apabila:
|
||
|
a.
|
dua atau lebih pengusaha, langsung atau tidak langsung berada di bawah pemilikan atau penguasaan Pengusaha yang sama, atau
|
|
|
b.
|
Pengusaha yang satu menyertakan modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih dari jumlah modal pada Pengusaha yang lain, atau hubungan antara Pengusaha yang menyertakan modalnya sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih pada dua pihak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua pihak atau lebih yang disebutkan terakhir.
|
|
|
|
||
BAB II
PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK Pasal 3 |
|||
(1)
|
Pengusaha yang berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf a dan d dikenakan pajak, wajib melaporkan usahanya kepada Direktorat Jenderal Pajak di tempat Pengusaha itu bertempat tinggal atau berkedudukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak dalam jangka waktu yang ditentukan dengan Peraturan Pemerintah.
|
||
(2)
|
Orang atau badan yang mengekspor barang dan/atau menyerahkan Barang Kena Pajak di Daerah Pabean kepada Pengusaha Kena Pajak, dapat memilih untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak di tempat orang atau badan itu bertempat tinggal atau berkedudukan.
|
||
(3)
|
Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan Surat Keputusan Pengukuhan.
|
||
(4)
|
Pengusaha Kena Pajak yang tidak melaporkan usahanya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), wajib menyetor pajak yang terhutang dengan sanksi berupa denda administrasi sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
|
||
|
|
||
BAB III
OBYEK PAJAK DAN KEWAJIBAN PENCATATAN Pasal 4 |
|||
(1)
|
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:
|
||
|
a.
|
penyerahan Barang Kena Pajak yang dilakukan di Daerah Pabean dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan oleh Pengusaha yang:
|
|
|
|
1)
|
menghasilkan Barang Kena Pajak tersebut;
|
|
|
2)
|
mengimpor Barang kena Pajak tersebut;
|
|
|
3)
|
mempunyai hubungan istimewa dengan Pengusaha yang dimaksud pada huruf a angka 1) dan angka 2);
|
|
|
4)
|
bertindak sebagai penyalur utama atau agen utama dari Pengusaha yang dimaksud pada huruf a angka 1) dan angka 2);
|
|
|
5)
|
menjadi pemegang hak atau pemegang hak menggunakan paten dan merek dagang dari Barang kena Pajak tersebut;
|
|
b.
|
penyerahan Barang Kena Pajak kepada Pengusaha Kena Pajak yang dilakukan di Daerah Pabean dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan oleh Pengusaha yang memilih untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak;
|
|
|
c.
|
impor Barang Kena Pajak;
|
|
|
d.
|
penyerahan Jasa Kena Pajak.
|
|
(2)
|
Dengan Peraturan Pemerintah:
|
||
|
a.
|
Pajak Pertambahan Nilai dapat diberlakukan terhadap semua penyerahan Barang Kena Pajak yang dilakukan di Daerah Pabean oleh pedagang besar atau pedagang eceran dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya;
|
|
|
b.
|
diatur penyerahan jenis-jenis jasa yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
|
|
|
|
||
Pasal 5 |
|||
(1)
|
Disamping pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dikenakan juga Pajak Penjualan atas Barang Mewah terhadap:
|
||
|
a.
|
penyerahan Barang Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha yang menghasilkan Barang Mewah di Daerah Pabean dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya;
|
|
|
b.
|
impor Barang Mewah.
|
|
(2)
|
Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan hanya satu kali pada waktu penyerahan oleh Pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor.
|
||
|
|
||
Pasal 6 |
|||
(1)
|
Setiap Pengusaha Kena Pajak diwajibkan mencatat semua jumlah harga perolehan dan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dalam pembukuan perusahaan.
|
||
(2)
|
Pada catatan dalam pembukuan itu harus dicantumkan secara terpisah dan jelas, jumlah harga perolehan dan penyerahan Barang atau Jasa yang terhutang pajak, yang tidak terhutang pajak, yang dikenakan tarif 0% (nol persen), dan yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
|
||
(3)
|
Pengusaha yang berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 memilih dikenakan pajak dengan pedoman Norma Penghitungan, sepanjang terhutang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, wajib membuat catatan nilai peredaran bruto secara teratur, yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai itu.
|
||
|
|
||
BAB IV
TARIF PAJAK DAN CARA MENGHITUNG PAJAK Pasal 7 |
|||
(1)
|
Tarif Pajak Pertambahan Nilai berjumlah 10% (sepuluh persen).
|
||
(2)
|
Atas ekspor Barang dikenakan pajak dengan tarif 0% (nol persen).
|
||
(3)
|
Dengan Peraturan Pemerintah, tarif pajak sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) dapat diubah menjadi serendah-rendahnya 5% (lima persen) dan setinggi-tingginya 15% (lima belas persen).
|
||
|
|
||
Pasal 8 |
|||
(1)
|
Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah 10% (sepuluh persen) dan 20% (dua puluh persen).
|
||
(2)
|
Atas ekspor Barang Mewah dikenakan pajak dengan tarif 0% (nol persen).
|
||
(3)
|
Dengan Peraturan Pemerintah tarif pajak sebagaimana ditentukan pada ayat (1) dapat diubah menjadi setinggi-tingginya 35% (tiga puluh lima persen).
|
||
(4)
|
Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan kelompok Barang yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
|
||
(5)
|
Macam dan jenis Barang yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah menurut ayat (4) diatur oleh Menteri Keuangan.
|
||
|
|
||
Pasal 9 |
|||
(1)
|
Pajak Pertambahan Nilai yang terhutang dalam suatu Masa Pajak dihitung dengan mengalikan tarif sebagaimana diatur dalam Pasal 7 dengan Dasar Pengenaan Pajak.
|
||
(2)
|
Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk masa yang sama.
|
||
(3)
|
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, maka selisihnya merupakan pajak yang harus dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak.
|
||
(4)
|
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan lebih besar daripada Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat dikompensasikan dengan pajak terhutang dalam Masa Pajak berikutnya, atau dapat dikembalikan.
|
||
(5)
|
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak disamping melakukan penyerahan kena pajak juga melakukan penyerahan tidak kena pajak, sepanjang bagian penyerahan kena pajak itu dapat diketahui dengan pasti dari catatan dalam pembukuan, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan hanya sebesar Pajak Masukan yang telah dibayar pada waktu perolehan atau pengimporan Barang Kena Pajak yang diserahkan kepada Pengusaha Kena Pajak, atau yang dipakai untuk menghasilkan Barang Kena Pajak.
|
||
(6)
|
Dalam hal bagian penyerahan kena pajak maupun bagian penyerahan tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak dapat diketahui dengan pasti, Menteri Keuangan dapat menetapkan suatu pedoman penghitungan jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk bagian penyerahan kena pajak.
|
||
(7)
|
Pengusaha yang berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 memilih dikenakan pajak dengan pedoman Norma Penghitungan, sepanjang terhutang Pajak Pertambahan Nilai, dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang telah dibayar terhadap Pajak Keluaran yang harus dipungut, dengan mempergunakan pedoman penghitungan kredit Pajak Masukan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
|
||
(8)
|
Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan menurut cara yang diatur dalam ayat (2) bagi pengeluaran untuk:
|
||
|
a.
|
pembelian Barang atau Jasa sebelum Pengusaha dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak;
|
|
|
b.
|
pembelian Barang dan pengeluaran biaya lain yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan proses menghasilkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
|
|
|
c.
|
pembelian dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon, van, dan kombi.
|
|
|
|
||
Pasal 10 |
|||
(1)
|
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terhutang dalam suatu Masa Pajak dihitung dengan mengalikan tarif sebagaimana diatur dalam Pasal 8, dengan Dasar Pengenaan Pajak.
|
||
(2)
|
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sudah dibayar pada waktu perolehan atau Impor Barang Mewah, tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 7.
|
||
(3)
|
Pengusaha Kena Pajak yang mengekspor Barang Mewah dapat meminta kembali pajak yang dibayar pada waktu perolehan Barang Mewah yang diekspor itu.
|
||
|
|
||
BAB V
SAAT DAN TEMPAT PAJAK TERHUTANG DAN LAPORAN PENGHITUNGAN PAJAK Pasal 11 |
|||
(1)
|
Pajak yang terhutang dalam Masa Pajak terjadi pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, atau pada saat impor Barang Kena Pajak.
|
||
(2)
|
Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, maka pajak yang terhutang dalam Masa Pajak terjadi pada saat pembayaran.
|
||
|
|
||
Pasal 12 |
|||
(1)
|
Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, terhutang pajak di tempat tinggal atau kedudukan mereka dan/atau di tempat usaha dilakukan.
|
||
(2)
|
Atas permohonan tertulis dari Pengusaha Kena Pajak yang mempunyai lebih dari satu tempat usaha, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan salah satu tempat usaha sebagai tempat pajak terhutang.
|
||
(3)
|
Dalam hal Impor, pajak terhutang di tempat Barang Kena Pajak dimasukkan dan dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
||
|
|
||
Pasal 13 |
|||
(1)
|
Setiap Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak.
|
||
(2)
|
Apabila pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, Faktur Pajak dibuat pada saat pembayaran.
|
||
(3)
|
Menyimpang dari ayat (1) dan ayat (2), Pengusaha Kena Pajak dapat diizinkan oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membuat satu Faktur Pajak meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama sebulan takwim setelah akhir bulan takwim yang bersangkutan.
|
||
(4)
|
Pengusaha yang berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf b dikenakan pajak, hanya membuat Faktur Pajak semata-mata untuk Penyerahan Barang Kena Pajak kepada Pengusaha Kena Pajak.
|
||
(5)
|
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai membuat Faktur Pajak untuk setiap pemungutan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3).
|
||
(6)
|
Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan catatan tentang penyerahan yang dikenakan pajak menurut Undang-Undang ini yang meliputi:
|
||
|
a.
|
Nama, Alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak Pengusaha yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
|
|
|
b.
|
Nama, Alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
|
|
|
c.
|
Macam, jenis, kuantum, harga satuan, dan Jumlah Harga Jual atau Penggantian;
|
|
|
d.
|
Pajak Pertambahan Nilai Yang dipungut;
|
|
|
e.
|
Pajak Penjualan atas barang Mewah yang dipungut;
|
|
|
f.
|
Tanggal Penyerahan.
|
|
(7)
|
Bentuk, ukuran, pengadaan, serta tata cara penyampaian Faktur Pajak diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.
|
||
(8)
|
Pengusaha Kena Pajak yang tidak membuat atau tidak mengisi selengkapnya Faktur Pajak menurut ketentuan sebagaimana diatur dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (6) dikenakan sanksi berupa denda administrasi sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
|
||
|
|
||
Pasal 14 |
|||
(1)
|
Orang atau Badan yang tidak dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak dilarang membuat Faktur Pajak.
|
||
(2)
|
Dalam hal Faktur Pajak telah dibuat, maka orang atau badan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus menyetorkan jumlah pajak yang tercantum dalam Faktur Pajak kepada Kas Negara dan dikenakan sanksi berupa denda administrasi sebesar 2% (dua persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
|
||
|
|
||
Pasal 15 |
|||
(1)
|
Pengusaha Kena Pajak wajib melaporkan penghitungan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 kepada Direktorat Jenderal Pajak dalam jangka waktu 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa.
|
||
(2)
|
Keterangan dan dokumen yang harus dicantumkan dan/atau dilampirkan pada Surat Pemberitahuan Masa ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
|
||
(3)
|
Surat Pemberitahuan Masa dianggap tidak dimasukkan jika Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan, atau tidak sepenuhnya melaksanakan ketentuan sebagaimana diatur dalam ayat (1) dan ayat (2).
|
||
|
|
||
Pasal 16 |
|||
(1)
|
Atas permohonan tertulis Pengusaha Kena Pajak, kelebihan pembayaran pajak yang belum dikompensasikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4), pengembaliannya dilakukan dalam jangka waktu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, atau dalam jangka waktu lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
|
||
(2)
|
Kelebihan pembayaran pajak atas Barang yang diekspor dikembalikan dalam jangka waktu satu bulan.
|
||
|
|
||
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 17 |
|||
Hal-hal yang menyangkut pengertian, tata cara pemungutan sanksi administrasi dan sanksi pidana berkenaan dengan pelaksanaan Undang-Undang ini, yang secara khusus belum diatur dalam Undang-Undang ini, berlaku ketentuan dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan serta peraturan perundang-undangan lainnya.
|
|||
|
|
||
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN Pasal 18 |
|||
(1)
|
Dengan berlakunya Undang-Undang ini:
|
||
|
a.
|
semua Penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dan Impor Barang Kena Pajak yang telah dilakukan sebelum Undang-Undang ini berlaku, tetap terhutang pajak menurut Undang-Undang Pajak Penjualan 1951;
|
|
|
b.
|
selama peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini belum dikeluarkan, maka peraturan pelaksanaan yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini yang belum dicabut dan diganti dinyatakan masih berlaku.
|
|
(2)
|
Ketentuan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.
|
||
|
|
||
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP Pasal 19 |
|||
Hal-hal yang belum diatur dalam Undang-Undang ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
|
|||
|
|
||
Pasal 20 |
|||
Undang-Undang ini dapat disebut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.
|
|||
|
|
||
Pasal 21 |
|||
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1984.
|
|||
|
|
||
Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
|
|||
|
|||
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 31 Desember 1983 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd.
SOEHARTO Diundangkan di Jakarta,
pada tanggal 31 Desember 1983 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd.
SUDHARMONO, S.H. |
|||
|
|||
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1983 NOMOR 51
|
|||
|
PENJELASANATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG
PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
I.
|
UMUM
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Pembangunan nasional yang berlandaskan Garis-garis Besar Haluan Negara, yang telah dan akan terus dilaksanakan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 telah mengakibatkan tidak saja keadaan kehidupan ekonomi dan sosial yang lebih baik bagi seluruh rakyat Indonesia, tetapi juga menimbulkan dorongan dan tuntutan untuk mengadakan modernisasi di segala bidang kehidupan masyarakat.
Untuk mencapai tujuan pembangunan nasional tersebut di atas diperlukan investasi dalam jumlah besar, yang pelaksanaannya harus berlandaskan kemampuan sendiri. Oleh karena itu sudah waktunya diletakkan suatu landasan yang dapat lebih menjamin tersedianya dana itu dari sumber-sumber di dalam negeri sebagai pencerminan kegotongroyongan nasional dalam usaha melepaskan diri dari ketergantungan pada sumber luar negeri, sehingga bantuan luar negeri hanya merupakan pelengkap yang makin lama makin kecil peranannya. Disamping itu diperlukan usaha yang sungguh-sungguh untuk mengerahkan dana-dana investasi yang bersumber pada tabungan masyarakat, tabungan Pemerintah, serta penerimaan devisa yang berasal dari ekspor, sehingga pada akhirnya mampu membiayai sendiri seluruh pembangunan nasional. Sistem perpajakan yang berlaku dewasa ini, khususnya Pajak Penjualan 1951, tidak lagi memadai untuk menampung kegiatan masyarakat dan belum mencapai sasaran kebutuhan pembangunan, antara lain untuk meningkatkan penerimaan negara, mendorong ekspor, dan pemerataan pembebanan pajak. Dalam rangka itulah dengan dilandasi pertimbangan yang seksama tentang kemampuan rakyat, rasa keadilan dan kebutuhan pembangunan serta untuk mendorong dan meningkatkan daya saing komoditi ekspor non minyak di pasaran luar negeri, dengan dukungan kondisi dan kemampuan aparat perpajakan yang terus berkembang, pajak penjualan dengan sistem pengenaan pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah ini diberlakukan untuk menggantikan pajak penjualan yang sekarang berlaku. Dengan mengingat pada sistemnya, Undang-Undang ini dapat disebut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah untuk memperlihatkan bahwa dua macam pajak yang diatur disini merupakan satu kesatuan sebagai pajak atas konsumsi di dalam negeri. Pajak Penjualan atas Barang Mewah dipungut satu kali pada sumbernya yaitu pada tingkat pabrikan, atau pada waktu impor. Pajak Pertambahan Nilai dapat dipungut beberapa kali pada berbagai mata rantai jalur perusahaan. Kendatipun dipungut beberapa kali, tetapi karena pengenaannya hanya terhadap pertambahan nilai yang timbul pada setiap penyerahan barang atau jasa pada jalur perusahaan berikutnya, maka beban pajak ini pada akhirnya tidaklah lebih berat. Pertambahan nilai itu sendiri timbul karena dipakainya faktor-faktor produksi di setiap jalur perusahaan dalam menyiapkan, menghasilkan, menyalurkan, dan memperdagangkan barang atau pemberian pelayanan jasa kepada para konsumen. Semua biaya untuk mendapatkan dan mempertahankan laba termasuk bunga modal, sewa tanah, upah kerja, dan laba pengusaha adalah merupakan unsur pertambahan nilai yang menjadi dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Tarif yang berlaku atas Penyerahan Barang dan Jasa Kena Pajak dibuat lebih sederhana dengan menerapkan tarif seragam, artinya, satu macam tarif untuk semua jenis Barang Kena Pajak. Dengan demikian pelaksanaannya menjadi lebih mudah, tidak memerlukan daftar penggolongan barang dengan tarif yang berbeda. Atas barang mewah, selain dikenakan Pajak Pertambahan Nilai juga dikenakan Pajak Penjualan sebagai suatu upaya nyata untuk menegakkan keadilan dalam pembebanan pajak yang sekaligus pula merupakan upaya untuk mengurangi pola konsumsi tinggi yang tidak produktif dalam masyarakat. Sebaliknya atas semua barang yang merupakan hasil pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan dan hasil agraria lainnya yang tidak diproses, bukan merupakan sasaran pengenaan pajak. Selanjutnya atas ekspor barang dikenakan pajak dengan tarif 0% (nol persen) atau dengan kata lain, dibebaskan dari pajak, bahkan Pajak Pertambahan Nilai yang telah termasuk dalam harga barang yang diekspor, dapat dikembalikan. Pembebasan dan pengembalian pajak yang telah dibayar atas barang yang diekspor ini adalah sesuai dengan prinsip pengenaan pajak atas konsumsi (pemakaian umum) barang dan jasa di dalam negeri atau di dalam Daerah Pabean. Karenanya atas barang yang tidak dikonsumsi di dalam negeri (diekspor), tidak dikenakan pajak. Dasar pertimbangan lain adalah agar dalam harga barang yang diekspor itu tidak termasuk beban pajak sehingga dengan demikian membantu menekan harga pokok barang ekspor dan meningkatkan daya saingnya di pasaran internasional. Sebaliknya atas impor barang dikenakan pajak yang sama dengan produksi barang dalam negeri. Semua orang atau badan yang menghasilkan, mengimpor, memperdagangkan barang atau memberikan jasa dapat dikenakan pajak. Namun demikian Undang-Undang memberikan pengaturan untuk mengenakan pajak atas penyerahan barang oleh pengusaha yang menjadi agen atau penyalur dan/atau pedagang eceran serta jasa-jasa tertentu bila berdasarkan pertimbangan kepentingan pembangunan nasional, kesiapan pelaksanaannya telah dicapai. Pengusaha kecil yang menghasilkan dan menjual barang atau memberikan jasa dibebaskan dari pengenaan pajak. Jadi hanya pengusaha yang menghasilkan (pabrikan) dan memperdagangkan barang yang tergolong besar saja yang dikenakan pajak. Dengan demikian dalam Undang-Undang ini telah diatur secara tegas dan jelas tentang Pengusaha, Barang, Jasa dan Penyerahan Barang atau Penyerahan Jasa yang dikenakan pajak. Atas Penyerahan Barang atau Jasa wajib dibuat Faktur Pajak sebagai bukti transaksi Penyerahan Barang yang terhutang pajak. Faktur Pajak ini merupakan ciri khas dari Pajak Pertambahan Nilai, karena Faktur Pajak ini merupakan bukti pungutan yang bagi Pengusaha yang dipungut dapat diperhitungkan (dikreditkan) dengan jumlah pajak yang terhutang. Kebijaksanaan khusus mengenai pajak yang dapat dikreditkan diberlakukan terhadap Pengusaha yang disamping menyerahkan Barang kepada Pengusaha Kena Pajak juga menyerahkan Barang kepada orang atau badan lainnya yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, serta terhadap Pengusaha yang dikenakan pajak dengan pedoman norma penghitungan Pajak Masukan atas Penyerahan Barang. Dengan demikian efek berganda dari pungutan pajak dapat dihilangkan karena Pengusaha hanya diharuskan membayar selisih antara pajak yang harus dipungut dan jumlah pajak yang telah dibayarnya. Efek berganda hanya terjadi pada Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan hal ini dilakukan secara sadar untuk menegakkan prinsip keadilan dalam pembebanan pajak. Disamping itu Undang-Undang ini mengandung unsur mendidik dan membina kesadaran serta tanggung jawab Pengusaha dengan memberikan kepercayaan untuk memungut dan menyetorkan sendiri pajak yang terhutang kepada negara. Dalam rangka ini pulalah hendaknya dilihat ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan seperti pemeriksaan, ketetapan pajak, ketetapan pajak tambahan, sanksi administrasi dan pidana, serta perlindungan terhadap hak-hak pengusaha dengan memberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan dan banding kepada Badan Peradilan Pajak yang dewasa ini disebut Majelis Pertimbangan Pajak yang diatur dalam Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Dalam kaitan inilah Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan harus dilihat sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan Undang-Undang tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah ini, karena Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan memuat ketentuan tentang prosedur atau tata cara pelaksanaan dan sanksi perpajakan sebagai pelengkap ketentuan-ketentuan material yang dimuat dalam Undang-Undang tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah ini. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
II.
|
PASAL DEMI PASAL
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Pasal 1
Huruf a
Wilayah Republik Indonesia yang tidak termasuk dalam Daerah Pabean adalah pelabuhan bebas, bonded area, dan daerah lain yang ditetapkan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Huruf b
Barang yang dimaksud di sini adalah barang bergerak dan barang tidak bergerak yang berwujud sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Huruf c
Barang yang kena pajak adalah Barang sebagai hasil pabrikasi.
Barang yang bukan berasal dari hasil pabrikasi, misalnya barang hasil pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan, dan hasil agraria lainnya yang tidak diolah lebih lanjut, tidak termasuk dalam pengertian Barang Kena Pajak.
Huruf d
Huruf e
Semua kegiatan pelayanan dan pekerjaan jasa, antara lain jasa angkutan, borongan, persewaan barang bergerak, persewaan barang tidak bergerak, hiburan, biro perjalanan, perhotelan, jasa notaris, pengacara, akuntan, konsultan, kantor administrasi, dan komisioner, termasuk dalam pengertian Jasa.
Huruf f
Jasa Kena Pajak diartikan sebagai Jasa yang dikenakan pajak berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf d dan ayat (2) huruf b.
Huruf g
Lihat penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf d dan ayat (2) huruf b.
Huruf h
Kegiatan memasukkan barang dari pelabuhan bebas atau bonded area ke Daerah Pabean termasuk pula dalam pengertian Impor.
Huruf I
Kegiatan mengeluarkan barang dari Daerah Pabean ke pelabuhan bebas atau bonded area termasuk pula dalam pengertian Ekspor.
Huruf j
Dalam pengertian Perdagangan termasuk kegiatan tukar-menukar barang.
Huruf k
Pengusaha dapat berbentuk usaha perorangan atau badan yang terdiri dari Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, Badan Usaha Milik Negara dan Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, Persekutuan, Perseroan, atau Perkumpulan Lainnya, Firma, Kongsi, Perkumpulan Koperasi, Yayasan atau Lembaga, dan Bentuk Usaha Tetap.
Orang atau badan tersebut melakukan kegiatan:
Untuk menjaga kemungkinan penafsiran yang sangat luas, maka pengertian Pengusaha dibatasi pada orang atau badan yang melakukan kegiatan tersebut di atas dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya. Bila unsur ini tidak dipenuhi maka orang atau badan dimaksud tidak merupakan Pengusaha.
Huruf l
Pengertian "dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang ini" adalah dikenakan pajak berdasarkan Pasal 4 dan Pasal 5. Pada dasarnya semua Pengusaha Kena Pajak dikenakan pajak, akan tetapi Undang-Undang ini memberikan pengecualian terhadap Pengusaha Kena Pajak yang tergolong sebagai pengusaha kecil meskipun melakukan Penyerahan Barang Kena Pajak. Pembebasan ini bertujuan untuk mendorong pengembangan pengusaha kecil.
Huruf m
Perubahan bentuk atau sifat Barang terjadi karena adanya atau dilakukannya suatu proses pengolahan yang menggunakan satu faktor produksi atau lebih, termasuk kegiatan:
dan kegiatan lain yang dapat dipersamakan dengan kegiatan itu, atau menyuruh orang atau badan lain melakukan kegiatan-kegiatan tersebut.
Ketentuan ini mengatur pula kegiatan tertentu yang hasilnya tidak dikenakan pajak menurut Undang-Undang ini seperti tersebut pada angka 1) sampai dengan angka 5) yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Semua biaya seperti biaya pemasangan, asuransi, biaya bantuan teknik, biaya pemeliharaan, biaya pengiriman, komisi, biaya garansi, bunga, dan biaya lain sepanjang berkaitan dengan penyerahan Barang, merupakan unsur Harga Jual yang dikenakan pajak.
Yang dapat dikurangkan dari Harga Jual adalah:
Huruf p
Cukup jelas.
Huruf q
Nilai Impor yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak adalah Harga Patokan Impor (HPI) atau Cost Insurance and Freight (CIF) sebagai dasar penghitungan bea masuk ditambah dengan semua biaya dan pungutan lain menurut ketentuan peraturan perundang-undangan Pabean.
Huruf r
Pengertian Pembeli dalam Undang-Undang ini lebih luas dari pengertian pembeli pada umumnya, karena di dalamnya termasuk orang atau badan yang menerima atau dianggap menerima Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf d.
Huruf s
Cukup jelas.
Huruf t
Cukup jelas.
Huruf u
Pembeli, Penerima Jasa atau Importir wajib membayar Pajak Pertambahan Nilai dan menerima bukti pungutan pajak pada saat menerima Penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak atau pada saat Impor Barang Kena Pajak. Pajak yang dibayar inilah yang dinamakan Pajak Masukan.
Huruf v
Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai. Pajak yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak inilah yang dinamakan Pajak Keluaran.
Huruf w
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian bagi Pengusaha Kena Pajak bahwa pajak terhutang atas seluruh penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan selama satu bulan takwim. Namun demikian, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menentukan Masa Pajak lain dari satu bulan takwim guna memudahkan instansi lain yang membantu pemungutan pajak, misalnya dalam hal Impor.
Pasal 2
Ayat (1)
Pengaruh hubungan istimewa seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang ini ialah adanya kemungkinan harga yang ditekan lebih rendah dari harga pasar. Dalam hal ini Direktur Jenderal Pajak mempunyai kewenangan melakukan penyesuaian Harga Jual atau Penggantian yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak dengan harga pasar wajar yang berlaku di pasaran bebas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan pemilikan dalam ayat ini, menyangkut bidang permodalan, sedangkan penguasaan berhubungan dengan bidang manajemen, termasuk hubungan kekeluargaan antara para pihak yang bersangkutan.
Kata langsung di sini diartikan bahwa seluruh atau sebagian modal atau manajemen dari dua perusahaan atau lebih yang terlibat dalam Penyerahan Barang (penjual dan pembeli) dimiliki dan dilaksanakan oleh Pengusaha yang sama atau di bawah penguasaan Pengusaha yang sama. Kata tidak langsung diartikan bila pemilikan dan penguasaan itu diperoleh karena adanya hubungan keluarga antara Pengusaha dengan pemilik modal atau pelaksana manajemen dari perusahaan-perusahaan tersebut, misalnya bila seluruh atau sebagian modal atau manajemen berada di tangan istri, anak, atau keluarga lainnya dari Pengusaha;
Huruf b
Penyertaan modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) dihitung dari modal saham atau modal ditempatkan atau modal disetor. Bila salah satu hasil hitungan itu menunjukkan penyertaan modal berjumlah 25% (dua puluh lima persen) atau lebih, maka dianggap telah ada hubungan istimewa.
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Orang atau badan yang mengekspor Barang dan/atau yang menyerahkan Barang di Daerah Pabean kepada Pengusaha Kena Pajak tidak wajib melaporkan usahanya. Akan tetapi bila berdasarkan beberapa pertimbangan, misalnya untuk dapat mengkreditkan atau meminta kembali Pajak Masukan, orang atau badan tersebut dapat memilih atau meminta untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
Ayat (3)
Surat Keputusan Pengukuhan yang dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak tidak merupakan dasar untuk menentukan mulai saat terhutangnya pajak, tetapi hanya merupakan sarana administrasi dan pengawasan bagi aparatur perpajakan, sebab saat pajak terhutang ditentukan oleh adanya obyek yang dikenakan pajak.
Ayat (4)
Bila Pengusaha Kena Pajak tidak melaporkan usahanya, maka ia dianggap telah melanggar kewajibannya dengan iktikad tidak baik dan melalaikan kepercayaan yang telah diberikan kepadanya. Karena itu sudah sewajarnya atas pelanggaran tersebut selain harus menyetor pajak yang terhutang, Pengusaha Kena Pajak juga dikenakan sanksi berupa denda administrasi sebesar 2% (dua persen) dari seluruh Dasar Pengenaan Pajak yang timbul sebelum Pengusaha dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Penyerahan Barang yang terhutang pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Golongan Pengusaha Kena Pajak yang terhutang pajak adalah sebagai berikut:
Huruf b
Pengusaha yang memilih untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak hanya terhutang pajak atas Penyerahan Barang Kena Pajak yang dilakukan kepada Pabrikan atau Pengusaha Kena Pajak lainnya;
Huruf c
Pajak juga dipungut pada saat Impor Barang. Pemungutan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Berbeda dengan Penyerahan Barang Kena Pajak tersebut pada huruf a dan b, maka siapa pun yang memasukkan Barang Kena Pajak ke dalam Daerah Pabean tanpa memperhatikan apakah dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya atau tidak, tetap dikenakan pajak;
Huruf d
Pada dasarnya semua Jasa dapat dikenakan pajak. Meskipun demikian Jasa di bidang pendidikan, sosial, agama, dan kesehatan yang diselenggarakan untuk kepentingan umum dan tidak semata-mata mencari laba, tidak dimaksudkan untuk dikenakan pajak dalam rangka melindungi kepentingan umum.
Ayat (2)
Huruf a
Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, Pemerintah diberi wewenang untuk memperluas pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Barang Kena Pajak oleh pedagang besar, agen atau penyalur, dan pedagang eceran besar umpamanya super market;
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan disamping Pajak Pertambahan Nilai, artinya penyerahan atau Impor Barang Mewah dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dan sebagai tambahannya juga dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dikenakan terhadap semua penyerahan Barang Mewah melainkan hanya atas penyerahan yang dilakukan oleh:
Ayat (2)
Pengertian umum dari Pajak Masukan hanya berlaku pada Pajak Pertambahan Nilai, dan tidak dikenal pada Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Oleh karena itu Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terhutang. Dengan demikian prinsip pemungutannya hanya satu kali saja, yaitu pada waktu:
Penyerahan pada tingkat berikutnya tidak lagi dikenakan pajak.
Pasal 6
Ayat (1)
Terselenggaranya pencatatan semua jumlah harga perolehan dan Penyerahan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak serta segala hal ihwal yang berhubungan dengannya, merupakan pencerminan teraturnya pembukuan sehingga Dasar Pengenaan Pajak dapat ditentukan dengan mudah dan benar.
Ayat (2)
Hal-hal yang diwajibkan untuk dicatat ditentukan pada ayat ini, antara lain:
Ayat (3)
Yang harus dicatat oleh Pengusaha yang berdasarkan Undang-Undang Tentang Pajak Penghasilan dikenakan pajak dengan pedoman Norma Penghitungan, hanyalah nilai peredaran bruto setiap bulan yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak.
Pasal 7
Ayat (1)
Secara umum tarif Pajak Pertambahan Nilai yang berlaku adalah 10% (sepuluh persen). Pada saat berlakunya Undang-Undang ini pengenaan pajak masih pada tingkat Penyerahan Barang oleh Pabrikan atau Importir, sehingga tarif efektif yang menjadi beban konsumen tidak akan mencapai 10% (sepuluh persen) dari harga eceran, sebab Pertambahan Nilai yang terjadi dalam sektor perdagangan belum dikenakan pajak ini.
Ayat (2)
Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang di dalam negeri, maka Barang yang diekspor atau dikonsumsi di luar negeri tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Oleh karenanya Barang yang diekspor dikenakan tarif 0% (nol persen). Dengan tarif 0% (nol persen) ini Pajak Masukan yang telah dibayar Eksportir pada waktu Perolehan Barang yang diekspor tersebut dapat diminta pengembaliannya. Dengan demikian dalam harga barang yang diekspor tersebut tidak ada lagi unsur Pajak Pertambahan Nilai.
Ayat (3)
Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, Pemerintah diberi wewenang untuk mengubah tarif pajak menjadi serendah-rendahnya 5% (lima persen) dan setinggi-tingginya 15% (lima belas persen). Perubahan tarif ini tidak boleh meninggalkan prinsip tarif tunggal, artinya harus diberlakukan tarif yang sama untuk semua Penyerahan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak.
Pasal 8
Ayat (1)
Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah terdiri dari dua macam, yaitu 10% (sepuluh persen) dan 20% (dua puluh persen).
Pajak Penjualan tersebut dikenakan sebagai tambahan dari Pajak Pertambahan Nilai, dan bukan sebagai pengganti dari pajak tersebut.
Oleh karena itu Pajak Penjualan atas Barang Mewah dipungut bersama-sama dengan Pajak Pertambahan Nilai.
Perbedaan tarif 10% (sepuluh persen) dan 20% (dua puluh persen) diberlakukan berdasarkan kenyataan adanya perbedaan pada tingkat kemewahan dari Barang-barang yang bersangkutan.
Ayat (2)
Lihat penjelasan Pasal 7 ayat (2).
Ayat (3)
Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan peningkatan kebutuhan dana pembangunan, pemerataan beban pajak, dan pengendalian pola konsumsi mewah, Pemerintah diberi wewenang untuk mengubah tarif pajak menjadi setinggi-tingginya 35% (tiga puluh lima persen).
Ayat (4)
Pemerintah diberi wewenang untuk menetapkan kelompok barang-barang tertentu yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan Tarif 10% (sepuluh persen) atau 20% (dua puluh persen).
Ayat (5)
Macam dan jenis Barang yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang pengelompokkannya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah berdasarkan ketentuan pada ayat (4), akan diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.
Pasal 9
Ayat (1)
Cara menghitung pajak yang terhutang adalah dengan mengalikan jumlah Harga Jual, Penggantian atau Nilai Impor dengan tarif pajak sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1). Pajak yang terhutang ini merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak.
Ayat (2)
Pajak Masukan yang telah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak pada waktu perolehan atau Impor Barang Kena Pajak atau penerimaan Jasa Kena Pajak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang dipungut Pengusaha Kena Pajak pada waktu menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak. Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran tersebut di atas dilakukan dalam Masa Pajak yang sama.
Ayat (3)
Selisih yang dimaksud dalam ayat ini harus disetor ke Kas Negara menurut ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan.
Ayat (4)
Selisih yang dimaksud dalam ayat ini adalah hak Pengusaha Kena Pajak yang dapat dikompensasikan atau diminta kembali.
Ayat (5)
Pengusaha Kena Pajak dalam satu Masa Pajak dapat melakukan 2 (dua) macam penyerahan, yaitu penyerahan kena pajak dan penyerahan tidak kena pajak. Dalam hal demikian, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan hanya Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan kena pajak, yang harus dapat diketahui dengan pasti dari catatan dalam pembukuan Pengusaha Kena Pajak.
Ayat (6)
Dalam hal pencatatan Pajak Masukan di dalam pembukuan Pengusaha Kena Pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, maka cara pengkreditan Pajak Masukan dihitung berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Pedoman tersebut dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan kepastian kepada Pengusaha Kena Pajak.
Ayat (7)
Bagi Pengusaha Kena Pajak dimaksud dalam ayat ini, cara pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran, ditentukan dengan suatu pedoman penghitungan kredit Pajak Masukan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Pedoman ini selain diperlukan karena golongan Pengusaha Kena Pajak ini hanya diwajibkan membuat catatan peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3), juga dimaksudkan untuk membantu golongan Pengusaha Kena Pajak tersebut, agar dapat mengkreditkan Pajak Masukannya meskipun golongan Pengusaha Kena Pajak ini tidak mempunyai bukti pungutan Pajak Masukan.
Ayat (8)
Pajak Masukan pada dasarnya dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran, akan tetapi khusus untuk pengeluaran yang dimaksud dalam ayat ini, Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan.
Huruf a
Pajak Masukan hanya dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang telah dikukuhkan menurut ketentuan dalam Pasal 3;
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cara menghitung Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terhutang adalah dengan mengalikan Harga Jual atau Nilai Impor dengan tarif pajak sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 8.
Ayat (2)
Berbeda dengan Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut beberapa kali, Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan satu kali saja pada tingkat Pabrikan atau pada waktu Impor. Karenanya Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar, tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Pertambahan Nilai pada waktu penyerahan berikutnya.
Ayat (3)
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar pada waktu perolehan, dapat diminta kembali apabila Barang Mewah itu diekspor. Selanjutnya lihat penjelasan Pasal 7 ayat (2).Pasal 11 Ayat (1) Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai menganut prinsip dasar akrual, artinya pajak terhutang pada saat Penyerahan Barang Kena Pajak atau Penyerahan Jasa Kena Pajak atau Impor Barang Kena Pajak, meskipun atas penyerahan tersebut belum atau belum sepenuhnya diterima pembayarannya.
Pasal 11
Ayat (1)
Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai menganut prinsip dasar akrual, artinya pajak pada saat Penyerahan Barang Kena Pajak atau Penyerahan Jasa Kena Pajak atau Barang Kena Pajak, meskipun atas penyerahan tersebut belum atau belum diterima pembayarannya.
Ayat (2)
Berbeda dengan ketentuan sebagaimana diatur pada ayat (1), maka dalam hal pembayaran diterima sebelum Penyerahan Barang Kena Pajak atau Penyerahan Jasa Kena Pajak, terhutang pada saat penerimaan pembayaran tersebut.
Pasal 12
Ayat (1)
Ketentuan ini memberikan penegasan mengenai tempat pajak terhutang yang akan menentukan pula wilayah pemungutan pajak.
Ayat (2)
Bila Pengusaha Kena Pajak terhutang pajak pada lebih dari satu tempat, sedangkan administrasi penjualan dan keuangan dipusatkan pada suatu tempat, maka untuk memudahkan Pengusaha Kena Pajak tersebut memenuhi kewajiban perpajakan, Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan tertulis untuk memilih tempat pajak terhutang.
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian seperlunya memberikan keputusan atas permohonan ini. Apabila permohonan tersebut ditolak, berlaku ketentuan seperti diatur pada ayat (1).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Pembuatan Faktur Pajak bersifat wajib bagi setiap Pengusaha Kena Pajak, karena Faktur Pajak adalah bukti yang menjadi sarana pelaksanaan cara kerja (mekanisme) pengkreditan Pajak Pertambahan Nilai.
Ayat (2)
Lihat penjelasan Pasal 11 ayat (2).
Ayat (3)
Untuk setiap Penyerahan Barang Kena Pajak atau Penyerahan Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak harus dibuat satu Faktur Pajak. Pembuatan satu Faktur Pajak yang meliputi semua Penyerahan Barang Kena Pajak atau Penyerahan Jasa Kena Pajak yang terjadi selama satu bulan takwim kepada pembeli yang sama (langganan tetap) dimaksudkan untuk meringankan beban administrasi pengusaha tersebut. Pembuatan satu Faktur Pajak tersebut baru dilakukan atas izin Direktur Pajak.
Ayat (4)
Pengusaha yang memilih untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak tidak membuat Faktur Pajak atas Penyerahan Barang Kena Pajak yang dilakukannya kepada bukan Pengusaha Kena Pajak.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menyeragamkan bentuk, ukuran, pengadaan, dan tata cara penyampaian Faktur Pajak.
Ayat (8)
Pengusaha Kena Pajak yang wajib membuat Faktur Pajak, tetapi tidak melaksanakannya atau tidak selengkapnya mengisi Faktur Pajak, dianggap telah melakukan pelanggaran dan dikenakan sanksi berupa denda administrasi.
Pasal 14
Ayat (1)
Faktur Pajak hanya boleh dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak. Larangan membuat Faktur Pajak oleh bukan Pengusaha Kena Pajak dimaksudkan untuk melindungi Pembeli dari pemungutan pajak yang tidak semestinya.
Ayat (2)
Bila Pengusaha yang belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak melanggar ketentuan ayat (1) maka Pengusaha tersebut dikenakan sanksi administrasi dan diwajibkan pula menyetorkan jumlah pajak yang telah dibuat Faktur Pajaknya itu ke Kas Negara.
Pasal 15
Ayat (1)
Laporan penghitungan pajak harus disampaikan selambat-lambatnya 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan. Dalam hal hari kedua puluh adalah hari libur, maka laporan harus dimasukkan paling lambat pada hari kerja berikutnya.
Ayat (2)
Catatan dan dokumen yang berkenaan dengan Impor, Penyerahan Barang Kena Pajak dan Penyerahan Jasa Kena Pajak, misalnya Faktur Pajak, Daftar rekapitulasi Faktur Pajak, dokumen ekspor, dan lain-lain yang harus dicantumkan atau dilampirkan pada Surat Pemberitahuan Masa ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Ayat (3)
Laporan ini bersifat wajib. Dalam hal ketentuan ayat (1) dan ayat (2) dilanggar, maka laporan dianggap tidak dimasukkan dan dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan.
Pasal 16
Ayat (1)
Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan. Disamping ketentuan tersebut di atas, oleh Menteri Keuangan ditetapkan jangka waktu lain, misalnya pengembalian pajak atas perolehan barang modal.
Ayat (2)
Permohonan pengembalian pajak yang diajukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang mengekspor Barang Kena Pajak (eksportir) harus dilengkapi dengan bukti-bukti/dokumen Ekspor yang bersangkutan.
Pasal 17
Hal-hal yang menyangkut ketentuan mengenai pengertian tata cara pemungutan dan sanksi, misalnya wewenang melakukan pemeriksaan, penetapan, penagihan, pembayaran, keberatan, banding, dan sanksi baik administrasi maupun pidana, diatur dalam Undang-Undang Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan serta peraturan perundang-undangan lainnya.
Ketentuan ini mengenai sanksi dalam Undang-Undang Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah diatur dalam Pasal 3 ayat (4), Pasal 13 ayat (8), dan Pasal 14 ayat (2).
Pasal 18
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Semua peraturan pelaksanaan yang ada, yang dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Pajak Penjualan 1951, yang tidak bertentangan dengan isi dan maksud Undang-Undang ini, masih tetap berlaku selama belum dicabut dan diganti dengan peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan berdasarkan Undang-Undang ini.
Ayat (2)
Ketentuan ayat (2) ini dimaksudkan untuk mengatasi kesulitan yang timbul dalam masa peralihan sebagai akibat berlakunya Undang-Undang Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan tidak diberlakukannya lagi Undang-Undang Pajak Penjualan 1951, terhadap obyek pengenaan yang sama, seperti:
Dalam hal ini Menteri Keuangan diberi wewenang menetapkan peraturan pelaksanaan yang lain dari ketentuan tersebut pada ayat (1), untuk mengurangi ketidakadilan dalam pembebanan pajak dan memperlancar pelaksanaan Undang-Undang ini.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3264
|