Quick Guide
Hide Quick Guide
    Aktifkan Mode Highlight
    Premium
    File Lampiran
    Peraturan Terkait
    IDN
    ENG
    Fitur Terjemahan
    Premium
    Terjemahan Dokumen
    Ini Belum Tersedia
    Bagikan
    Tambahkan ke My Favorites
    Download as PDF
    Download Document
    Premium
    Status : Berlaku

    PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
    NOMOR 91 TAHUN 2023

     
    TENTANG

    PENGELOLAAN DANA BAGI HASIL PERKEBUNAN SAWIT

    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
    MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
     
     
     
     
     
     

    Menimbang

    bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2023 tentang Dana Bagi Hasil Perkebunan Sawit, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pengelolaan Dana Bagi Hasil Perkebunan Sawit;
     
     
     
     
     
     

    Mengingat

    1.
    Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2.
    Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
    3.
    Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2023 tentang Dana Bagi Hasil Perkebunan Sawit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6884);
    4.
    Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
    5.
    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1031) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.01/2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 954);
    6.
    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 62 Tahun 2023 tentang Perencanaan Anggaran Pelaksanaan Anggaran, serta Akuntansi dan Pelaporan Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 472);
     
     
     
     
     
     
    MEMUTUSKAN:

    Menetapkan

    PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGELOLAAN DANA BAGI HASIL PERKEBUNAN SAWIT.
     
     
     
     
     
     
    BAB I
    KETENTUAN UMUM
     

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
    1.
    Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas­ batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
    2.
    Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
    3.
    Pemerintah Daerah adalah kepala Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
    4.
    Kepala Daerah adalah gubernur bagi Daerah provinsi atau bupati bagi Daerah kabupaten atau wali kota bagi Daerah kota.
    5.
    Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
    6.
    Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan peraturan Daerah.
    7.
    Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat dengan TKD adalah dana yang bersumber dari APBN dan merupakan bagian dari belanja negara yang dialokasikan dan disalurkan kepada Daerah untuk dikelola oleh Daerah dalam rangka mendanai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
    8.
    Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah bagian dari TKD yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan tertentu dalam APBN dan kinerja tertentu. yang dibagikan kepada Daerah penghasil dengan tujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara Pemerintah dan Daerah, serta kepada Daerah lain nonpenghasil dalam rangka menanggulangi eksternalitas negatif dan/atau meningkatkan pemerataan dalam satu wilayah.
    9.
    Dana Bagi Hasil Perkebunan Sawit yang selanjutnya disebut DBH Sawit adalah DBH yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan dari bea keluar dan pungutan ekspor atas kelapa sawit, minyak kelapa sawit mentah, dan/atau produk turunannya.
    10.
    Rancangan Kegiatan dan Penganggaran Dana Bagi Hasil Perkebunan Sawit yang selanjutnya disebut RKP DBH Sawit adalah rencana kegiatan dan penganggaran yang dapat dibiayai oleh DBH Sawit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan diselaraskan dengan program kerja Pemerintah Daerah pada tahun anggaran berjalan.
    11.
    Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi bendahara umum negara.
    12.
    Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran kementerian negara/lembaga.
    13.
    Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari Bagian Anggaran BUN.
    14.
    Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BA BUN adalah bagian anggaran yang tidak dikelompokkan dalam bagian anggaran kementerian negara/lembaga.
    15.
    Pemimpin Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Pemimpin PPA BUN adalah pejabat eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang bertanggung jawab atas program BA BUN dan bertindak untuk menandatangani daftar isian pelaksanaan anggaran BUN.
    16.
    Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat KPA BUN adalah pejabat pada satuan kerja dari masing-masing PPA BUN baik di kantor pusat maupun kantor daerah atau satuan kerja di kementerian negara/lembaga yang memperoleh penugasan dari Menteri Keuangan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN.
    17.
    Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat DIPA BUN adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh KPA BUN.
    18.
    Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKA Satker BUN adalah dokumen perencanaan anggaran BA BUN yang memuat rincian kebutuhan dana baik yang berbentuk anggaran belanja maupun pembiayaan dalam rangka pemenuhan kewajiban Pemerintah dan TKD tahunan yang disusun oleh KPA BUN.
    19.
    Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Bendahara Umum Negara TKD untuk DBH Sawit yang selanjutnya disebut RKA Satker BUN TKD untuk DBH Sawit adalah dokumen perencanaan anggaran BA BUN yang memuat rincian kebutuhan DBH Sawit tahunan yang disusun oleh KPA BUN Pengelolaan DBH Sawit.
    20.
    Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
    21.
    Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh pejabat pembuat komitmen yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara.
    22.
    Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh pejabat penandatangan surat perintah membayar atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA.
    23.
    Kurang Bayar Dana Bagi Hasil Perkebunan Sawit yang selanjutnya disebut Kurang Bayar DBH Sawit adalah selisih kurang antara DBH Sawit yang dihitung berdasarkan realisasi rampung penerimaan negara dengan DBH Sawit yang telah disalurkan ke Daerah atau DBH Sawit yang dihitung berdasarkan prognosis realisasi penerimaan negara pada satu tahun anggaran tertentu.
    24.
    Lebih Bayar Dana Bagi Hasil Perkebunan Sawit yang selanjutnya disebut Lebih Bayar DBH Sawit adalah selisih lebih antara DBH Sawit yang dihitung berdasarkan realisasi rampung penerimaan negara dengan DBH Sawit yang telah disalurkan ke Daerah atau DBH Sawit yang dihitung berdasarkan prognosis realisasi penerimaan negara pada satu tahun anggaran tertentu.
    25.
    Sisa DBH Sawit adalah selisih lebih antara DBH Sawit yang telah disalurkan oleh Pemerintah kepada Pemerintah Daerah dengan realisasi penggunaan DBH Sawit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan selama satu periode tahun anggaran dan/atau beberapa tahun anggaran.
    26.
    Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
    27.
    Indikasi Kebutuhan Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Indikasi Kebutuhan Dana BUN adalah indikasi dana dalam rangka untuk pemenuhan kewajiban Pemerintah yang penganggarannya hanya ditampung pada BA BUN.
    28.
    Indikasi Kebutuhan Dana BUN untuk DBH Sawit adalah indikasi dana yang perlu dianggarkan dalam rangka pelaksanaan DBH Sawit.
    29.
    Arsip Data Komputer yang selanjutnya disingkat ADK adalah arsip data dalam bentuk softcopy yang disimpan dalam media penyimpanan digital.
    30.
    Sistem Informasi Keuangan Daerah yang selanjutnya disingkat SIKD adalah suatu sistem yang mendokumentasikan, mengadministrasikan, serta mengolah data pengelolaan keuangan Daerah dan data terkait lainnya menjadi informasi yang disajikan kepada masyarakat dan sebagai bahan pengambilan keputusan dalam rangka perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan pertanggungjawaban Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 2

    Pengelolaan DBH Sawit yang diatur dalam Peraturan Menteri ini meliputi:
    a.
    penganggaran;
    b.
    pengalokasian;
    c.
    penggunaan;
    d.
    penyaluran; dan
    e.
    pemantauan dan evaluasi.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 3

    (1)
    DBH Sawit merupakan bagian dari TKD.
    (2)
    DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari penerimaan negara atas:
     
    a.
    bea keluar yang dikenakan atas kelapa sawit, minyak kelapa sawit mentah, dan/atau produk turunannya berdasarkan Peraturan Menteri mengenai penetapan besaran tarif bea keluar; dan
     
    b.
    pungutan ekspor yang dikenakan atas kelapa sawit, minyak kelapa sawit mentah, dan/atau produk turunannya berdasarkan Peraturan Menteri mengenai penetapan besaran tarif pungutan ekspor.
    (3)
    Pagu DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling rendah sebesar 4% (empat persen) dari penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
    (4)
    Pemerintah dapat menetapkan alokasi minimum DBH Sawit.
    (5)
    Dalam hal ditetapkan alokasi minimum DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pemerintah dapat menggunakan sumber penerimaan lain yang dilaksanakan dengan mekanisme APBN.
     
     
     
     
     
     
    BAB II
    PEJABAT PERBENDAHARAAN NEGARA PENGELOLAAN DBH SAWIT
     

    Pasal 4

    (1)
    Dalam rangka pengelolaan DBH Sawit, Menteri selaku PA BUN Pengelolaan TKD menetapkan:
     
    a.
    Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai Pemimpin PPA BUN Pengelolaan TKD;
     
    b.
    Direktur Dana Transfer Umum sebagai KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum;
     
    c.
    Direktur Pelaksanaan Anggaran sebagai koordinator KPA BUN Penyaluran TKD; dan
     
    d.
    Kepala KPPN sebagai KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum.
    (2)
    Kepala KPPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan Kepala KPPN yang wilayah kerjanya meliputi Daerah provinsi/kabupaten/kota penerima alokasi DBH Sawit.
    (3)
    Dalam hal pejabat yang ditetapkan sebagai KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berhalangan, Menteri menunjuk Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai pelaksana tugas KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum.
    (4)
    Dalam hal pejabat yang ditetapkan sebagai KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d berhalangan, Menteri menunjuk pejabat pelaksana tugas/pelaksana harian Kepala KPPN sebagai pelaksana tugas KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum.
    (5)
    Keadaan berhalangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) merupakan suatu keadaan yang menyebabkan pejabat definitif yang ditetapkan sebagai KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum dan Kepala KPPN selaku KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum:
     
    a.
    tidak terisi dan menimbulkan lowongan jabatan; atau
     
    b.
    masih terisi namun pejabat definitif yang ditetapkan sebagai KPA BUN tidak dapat melaksanakan tugas melebihi 5 (lima) hari kerja.
    (6)
    Penunjukan:
     
    a.
    Sekretaris Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan sebagai pelaksana tugas KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3); dan/atau
     
    b.
    pejabat pelaksana tugas/pelaksana harian Kepala KPPN sebagai pelaksana tugas KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
     
    berakhir dalam hal Direktur Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan/atau Kepala KPPN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d telah terisi kembali oleh pejabat definitif dan/atau dapat melaksanakan tugas kembali sebagai KPA BUN.
    (7)
    Pejabat pelaksana tugas KPA BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) memiliki kewenangan dan tanggung jawab yang sama dengan KPA BUN.
    (8)
    Pemimpin PPA BUN Pengelolaan TKD dapat mengusulkan penggantian KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum kepada Menteri.
    (9)
    Penggantian KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (8) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 5

    (1)
    KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:
     
    a.
    mengajukan usulan Indikasi Kebutuhan Dana BUN TKD untuk DBH Sawit kepada Pemimpin PPA BUN Pengelolaan TKD yang dilengkapi dengan dokumen pendukung;
     
    b.
    menyusun RKA Satker BUN TKD untuk DBH Sawit beserta dokumen pendukung yang berasal dari pihak terkait;
     
    c.
    menyampaikan RKA Satker BUN TKD untuk DBH Sawit beserta dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam huruf b kepada Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan untuk direviu;
     
    d.
    menandatangani RKA Satker BUN TKD untuk DBH Sawit yang telah direviu oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan dan menyampaikannya kepada Pemimpin PPA BUN Pengelolaan TKD;
     
    e.
    menyusun DIPA BUN TKD untuk DBH Sawit;
     
    f.
    menyusun dan/atau menyampaikan rekomendasi penyaluran, penghentian penyaluran, dan/atau penyaluran kembali TKD untuk DBH Sawit kepada KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum melalui koordinator KPA BUN Penyaluran TKD; dan/atau
     
    g.
    menyampaikan rencana penyaluran DBH Sawit kepada KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum.
    (2)
    Koordinator KPA BUN Penyaluran TKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:
     
    a.
    menyampaikan laporan realisasi penyaluran DBH Sawit kepada PPA BUN Pengelolaan TKD melalui aplikasi yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan;
     
    b.
    menyusun proyeksi penyaluran DBH Sawit sampai dengan akhir tahun berdasarkan rekapitulasi laporan dari KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum melalui aplikasi Cash Planning Information Network; dan
     
    c.
    menyusun dan menyampaikan konsolidasi laporan keuangan atas pelaksanaan anggaran kepada PPA BUN Pengelolaan TKD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut:
     
    a.
    menetapkan pejabat pembuat komitmen dan pejabat penandatangan SPM;
     
    b.
    melakukan penatausahaan dokumen yang berkaitan dengan penyaluran DBH Sawit;
     
    c.
    menyusun dan menyampaikan laporan keuangan atas pelaksanaan anggaran kepada PPA BUN Pengelolaan TKD melalui koordinator KPA BUN Penyaluran TKD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
     
    d.
    melakukan verifikasi terhadap rekomendasi penyaluran dan pengenaan pemotongan penyaluran, penundaan penyaluran, penghentian penyaluran, dan penyaluran kembali DBH Sawit;
     
    e.
    melaksanakan penyaluran dan/atau penyaluran kembali DBH Sawit berdasarkan rekomendasi penyaluran yang diterbitkan oleh KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum;
     
    f.
    menyusun dan menyampaikan laporan realisasi penyaluran DBH Sawit kepada PPA BUN Pengelolaan TKD melalui koordinator KPA BUN Penyaluran TKD menggunakan aplikasi online monitoring sistem perbendaharaan anggaran negara dalam rangka pertanggungjawaban penyaluran DBH Sawit; dan
     
    g.
    melakukan pengisian dan menyampaikan capaian kinerja penyaluran DBH Sawit melalui aplikasi sistem monitoring dan evaluasi kinerja terpadu bendahara umum negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Penyaluran DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e menggunakan aplikasi yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 6

    PPA BUN Pengelolaan TKD, KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum, koordinator KPA BUN Penyaluran TKD, dan KPA BUN Penyaluran Dana Transfer Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) tidak bertanggung jawab secara formil dan materiil atas pelaksanaan kegiatan dan penggunaan DBH Sawit oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
    BAB III
    PENGANGGARAN DBH SAWIT
     

    Pasal 7

    (1)
    KPA BUN Pengelolaan Dana Transfer Umum mengajukan usulan Indikasi Kebutuhan Dana DBH Sawit kepada Pemimpin PPA BUN Pengelolaan TKD.
    (2)
    Berdasarkan usulan Indikasi Kebutuhan Dana DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemimpin PPA BUN Pengelolaan TKD menyusun Indikasi Kebutuhan Dana DBH Sawit.
    (3)
    Pemimpin PPA BUN Pengelolaan TKD menyampaikan Indikasi Kebutuhan Dana DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Direktur Jenderal Anggaran paling lambat bulan Februari tahun anggaran sebelumnya.
    (4)
    Indikasi Kebutuhan Dana DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun dengan memperhatikan minimal:
     
    a.
    penerimaan bea keluar dan pungutan ekspor yang dibagihasilkan pada tahun anggaran sebelumnya; dan/atau
     
    b.
    Kurang Bayar/Lebih Bayar DBH Sawit tahun-tahun sebelumnya.
    (5)
    Penyusunan dan penyampaian Indikasi Kebutuhan Dana DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) berpedoman pada Peraturan Menteri mengenai perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, serta akuntansi dan pelaporan keuangan.
     
     
     
     
     
     
    BAB IV
    PENGALOKASIAN DBH SAWIT

    Bagian Kesatu
    Penyediaan Data Penerimaan Sawit yang Dibagihasilkan
     

    Pasal 8

    (1)
    Berdasarkan Indikasi Kebutuhan Dana DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan permohonan penyampaian data berupa:
     
    a.
    realisasi penerimaan bea keluar, kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
     
    b.
    realisasi penerimaan pungutan ekspor, kepada Direktorat Jenderal Anggaran;
     
    c.
    luas lahan perkebunan sawit tahun sebelumnya, data produktivitas lahan sawit tahun sebelumnya yang dirinci menurut kabupaten/kota, dan data tingkat kemiskinan menurut provinsi dan kabupaten/kota, kepada Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pertanian;
     
    d.
    daftar daerah yang telah memiliki rencana aksi daerah kelapa sawit berkelanjutan, kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian; dan
     
    e.
    batas wilayah menurut kabupaten/kota, kepada Kementerian Dalam Negeri.
    (2)
    Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menyampaikan data realisasi penerimaan bea keluar 1 (satu) tahun sebelumnya.
    (3)
    Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Direktorat Jenderal Anggaran menyampaikan data realisasi penerimaan pungutan ekspor 1 (satu) tahun sebelumnya.
    (4)
    Dalam hal realisasi penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) belum tersedia, dapat digunakan perkiraan realisasi penerimaan sampai dengan akhir tahun anggaran.
    (5)
    Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pertanian menyampaikan data berupa data luas lahan perkebunan sawit tahun sebelumnya, data produktivitas lahan sawit tahun sebelumnya yang dirinci menurut kabupaten/kota, dan data tingkat kemiskinan menurut provinsi dan kabupaten/kota, sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing pihak.
    (6)
    Dalam hal data tahun sebelumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) belum tersedia, digunakan data tahun terakhir yang tersedia.
    (7)
    Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyampaikan daftar Daerah yang telah memiliki rencana aksi daerah kelapa sawit berkelanjutan.
    (8)
    Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, Kementerian Dalam Negeri menyampaikan data batas wilayah menurut kabupaten/kota.
    (9)
    Data sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (5), ayat (7), dan ayat (8) disampaikan kepada Kementerian Keuangan c.q Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan paling lambat minggu kedua bulan September tahun anggaran sebelumnya.
    (10)
    Dalam hal data sebagaimana dimaksud pada ayat (9) belum diterima sampai dengan minggu kedua bulan September tahun anggaran sebelumnya, dapat digunakan data yang disampaikan pada tahun-tahun anggaran sebelumnya.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Perhitungan Alokasi DBH Sawit Menurut Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota
     

    Pasal 9

    Data penerimaan bea keluar dan penerimaan pungutan ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) atau data perkiraan realisasi penerimaan sampai dengan akhir tahun anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) digunakan untuk menghitung pagu DBH Sawit yang dibagihasilkan kepada Daerah provinsi dan kabupaten/kota.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 10

    (1)
    Pagu DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 digunakan untuk menghitung besaran rincian alokasi DBH Sawit yang dibagikan kepada provinsi/kabupaten/kota dengan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    50% (lima puluh persen) dari pagu DBH Sawit dialokasikan berdasarkan luas lahan perkebunan sawit; dan
     
    b.
    50% (lima puluh persen) dari pagu DBH Sawit dialokasikan berdasarkan produktivitas lahan sawit.
    (2)
    Perhitungan alokasi DBH Sawit berdasarkan indikator luas lahan perkebunan sawit per kabupaten/kota penghasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan secara proporsional terhadap luas lahan perkebunan sawit secara nasional.
    (3)
    Perhitungan alokasi DBH Sawit berdasarkan indikator produktivitas lahan sawit per kabupaten/kota penghasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan sesuai nilai produktivitas dengan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    kategori sangat rendah, yaitu Daerah yang memiliki produktivitas kurang dari 1.000 kg/ha (seribu kilogram per hektar) mendapatkan nilai produktivitas 10% (sepuluh persen);
     
    b.
    kategori rendah, yaitu Daerah yang memiliki produktivitas 1.000 kg/ha (seribu kilogram per hektar) sampai dengan kurang dari 2.000 kg/ha (dua ribu kilogram per hektar) mendapatkan nilai produktivitas 15% (lima belas persen);
     
    c.
    kategori sedang, yaitu Daerah yang memiliki produktivitas 2.000 kg/ha (dua ribu kilogram per hektar) sampai dengan kurang dari 3.000 kg/ha (tiga ribu kilogram per hektar) mendapatkan nilai produktivitas 20% (dua puluh persen);
     
    d.
    kategori tinggi, yaitu Daerah yang memiliki produktivitas 3.000 kg/ha (tiga ribu kilogram per hektar) sampai dengan kurang dari 4.000 kg/ha (empat ribu) mendapatkan nilai produktivitas 25% (dua puluh lima persen); dan
     
    e.
    kategori sangat tinggi, yaitu Daerah yang memiliki produktivitas lebih dari atau sama dengan 4.000 kg/ha (empat ribu kilogram per hektar) mendapatkan nilai produktivitas 30% (tiga puluh persen).
    (4)
    Perhitungan alokasi DBH Sawit berdasarkan indikator produktivitas perkebunan sawit per kabupaten/kota penghasil sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara proporsional terhadap total nilai produktivitas secara nasional.
    (5)
    Dalam hal data produktivitas lahan sawit tidak tersedia untuk suatu kabupaten/kota penghasil, penghitungan DBH Sawit untuk kabupaten/kota tersebut dilakukan berdasarkan rata-rata produktivitas lahan sawit di provinsi yang bersangkutan.
    (6)
    Dalam hal data rata-rata produktivitas lahan sawit di provinsi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak tersedia, kabupaten/kota penghasil sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dimasukkan dalam nilai produktivitas dengan kategori sangat rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 11

    (1)
    Alokasi DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dibagikan kepada:
     
    a.
    provinsi yang bersangkutan sebesar 20% (dua puluh persen);
     
    b.
    kabupaten/kota penghasil sebesar 60% (enam puluh persen); dan
     
    c.
    kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil sebesar 20% (dua puluh persen).
    (2)
    Pembagian besaran persentase alokasi DBH Sawit kepada kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dilakukan berdasarkan tingkat eksternalitas negatif yang dialami masing-masing Daerah.
    (3)
    Perhitungan eksternalitas negatif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh kementerian negara/lembaga terkait sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing.
    (4)
    Dalam hal perhitungan eksternalitas negatif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum tersedia, besaran persentase alokasi DBH Sawit dibagikan secara merata kepada seluruh kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil.
    (5)
    Data batas wilayah untuk menentukan kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bersumber dari Kementerian Dalam Negeri.
    (6)
    Dalam bal suatu kabupaten/kota merupakan kabupaten/kota penghasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, alokasi untuk kabupaten/kota tersebut dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    alokasi DBH sawit yang disalurkan merupakan alokasi terbesar antara alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (1) huruf c; dan
     
    b.
    alokasi DBH sawit terkecil antara alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (1) huruf c tidak disalurkan dan menjadi akumulasi sisa alokasi DBH Sawit.
    (7)
    Akumulasi sisa alokasi DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b seprovinsi dialokasikan secara merata kepada kabupaten/kota penghasil dan/atau kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil dalam provinsi yang sama.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 12

    (1)
    Alokasi DBH Sawit dihitung sebagai berikut:
     
    a.
    berdasarkan persentase bagi hasil dan penetapan Daerah penghasil; dan
     
    b.
    berdasarkan kinerja Pemerintah Daerah.
    (2)
    Alokasi DBH Sawit berdasarkan persentase bagi hasil dan penetapan Daerah penghasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan sebesar 90% (sembilan puluh persen) dari alokasi DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1).
    (3)
    Alokasi DBH Sawit berdasarkan kinerja Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang selanjutnya disebut alokasi kinerja ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen) dari alokasi DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1).
    (4)
    Alokasi kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan kepada provinsi dan kabupaten/kota yang mencapai tingkat kinerja tertentu.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 13

    (1)
    Alokasi kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) dihitung berdasarkan indikator:
     
    a.
    penurunan tingkat kemiskinan; dan/atau
     
    b.
    ketersediaan rencana aksi daerah kelapa sawit berkelanjutan.
    (2)
    Perhitungan alokasi kinerja berdasarkan indikator penurunan tingkat kemiskinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    bagi provinsi yang bersangkutan dan kabupaten/kota penghasil menggunakan indikator penurunan tingkat kemiskinan dengan bobot sebesar 50% (lima puluh persen) dan indikator ketersediaan rencana aksi daerah kelapa sawit berkelanjutan dengan bobot sebesar 50%(lima puluh persen); dan
     
    b.
    bagi kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil menggunakan indikator penurunan tingkat kemiskinan.
    (3)
    Penurunan tingkat kemiskinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan persentase penurunan tingkat kemiskinan 1 (satu) tahun sebelumnya dibandingkan dengan tingkat kemiskinan 2 (dua) tahun sebelumnya.
    (4)
    Penurunan tingkat kemiskinan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diurutkan mulai dari nilai terendah hingga nilai tertinggi dan dikelompokkan menjadi 5 (lima) kategori dengan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    kategori sangat rendah terdiri atas provinsi dan kabupaten/kota dengan penurunan tingkat kemiskinan pada urutan 20% (dua puluh persen) terbawah secara nasional;
     
    b.
    kategori rendah terdiri atas provinsi dan kabupaten/kota dengan penurunan tingkat kemiskinan pada urutan lebih dari 20% (dua puluh persen) sampai dengan 40% (empat puluh persen) terbawah secara nasional;
     
    c.
    kategori sedang terdiri atas provinsi dan kabupaten/kota dengan penurunan tingkat kemiskinan pada urutan lebih dari 40% (empat puluh persen) sampai dengan 60% (enam puluh persen) terbawah secara nasional;
     
    d.
    kategori tinggi terdiri atas provinsi dan kabupaten/kota dengan penurunan tingkat kemiskinan pada urutan lebih dari 60% (enam puluh persen) sampai dengan 80% (delapan puluh persen) terbawah secara nasional; dan
     
    e.
    kategori sangat tinggi terdiri atas provinsi dan kabupaten/kota dengan penurunan tingkat kemiskinan pada urutan lebih dari 80%(delapan puluh persen) sampai dengan 100% (seratus persen) secara nasional.
    (5)
    Berdasarkan kategori penurunan tingkat kemiskinan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), alokasi kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dihitung dengan ketentuan sebagai berikut:
       
     
    Kategori Penurunan Tingkat Kemiskinan
    Persentase terhadap alokasi kinerja pada pasal 12 ayat (3)
    Provinsi
    Kabupaten/Kota penghasil
    Kabupaten/Kota berbatasan
    Sangat rendah
    10%
    10%
    20%
    Rendah
    20%
    20%
    40%
    Sedang
    30%
    30%
    60%
    Tinggi
    40%
    40%
    80%
    Sangat Tinggi
    50%
    50%
    100%
       
    (6)
    Alokasi kinerja berdasarkan indikator ketersediaan rencana aksi daerah kelapa sawit berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    provinsi dan kabupaten/kota penghasil yang tersedia rencana aksi daerah kelapa sawit berkelanjutan dihitung sebesar 50% (lima puluh persen) dari alokasi kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3); dan
     
    b.
    provinsi dan kabupaten/kota penghasil yang tidak tersedia rencana aksi daerah kelapa sawit berkelanjutan dihitung sebesar 0% (nol persen) dari alokasi kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3).
    (7)
    Selisih lebih atas penghitungan alokasi kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (6) dapat digunakan untuk:
     
    a.
    perubahan alokasi DBH;
     
    b.
    penyelesaian Kurang Bayar DBH; dan/atau
     
    c.
    penetapan alokasi minimum.
    (8)
    Alokasi minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf c merupakan batas terendah alokasi DBH Sawit untuk provinsi dan kabupaten/kota.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 14

    (1)
    Hasil penghitungan alokasi DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan/atau alokasi minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (8) disampaikan dalam pembahasan Nota Keuangan dan/atau Rancangan Undang-Undang mengenai APBN antara Pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat untuk disetujui menjadi pagu DBH Sawit.
    (2)
    Berdasarkan pagu DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan alokasi DBH Sawit menurut Daerah provinsi dan kabupaten/kota.
    (3)
    Berdasarkan alokasi DBH Sawit menurut Daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan informasi alokasi DBH Sawit melalui portal (website) Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.
    (4)
    Alokasi DBH Sawit menurut Daerah provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Peraturan Presiden mengenai rincian APBN.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Perhitungan dan Penetapan Perubahan Alokasi DBH Sawit
     

    Pasal 15

    (1)
    Perubahan alokasi DBH Sawit dapat dilakukan dalam hal terdapat:
     
    a.
    perubahan APBN; dan/atau
     
    b.
    perubahan realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan dalam tahun berjalan.
    (2)
    Dalam hal dilakukan perubahan alokasi DBH Sawit, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penghitungan perubahan alokasi DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menurut provinsi dan kabupaten/kota secara proporsional berdasarkan data alokasi DBH Sawit dalam APBN tahun anggaran berjalan.
    (3)
    Perubahan alokasi menurut provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
    BAB V
    PENGGUNAAN DBH SAWIT

    Bagian Kesatu
    Kegiatan yang Didanai DBH Sawit
     

    Pasal 16

    (1)
    DBH Sawit digunakan untuk membiayai kegiatan:
     
    a.
    pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan; dan/atau
     
    b.
    kegiatan lainnya yang ditetapkan oleh Menteri.
    (2)
    Pemenuhan pendanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disinergikan dengan jenis pendanaan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berlokasi di luar area perkebunan, terdiri atas:
     
    a.
    penanganan jalan, meliputi:
     
     
    1)
    rekonstruksi/peningkatan struktur;
     
     
    2)
    pemeliharaan berkala; dan/atau
     
     
    3)
    pemeliharaan rutin; dan/atau
     
    b.
    penanganan jembatan, meliputi:
     
     
    1)
    rehabilitasi/pemeliharaan berkala jembatan;
     
     
    2)
    penggantian jembatan; dan/atau
     
     
    3)
    pembangunan jembatan.
    (4)
    Penanganan jalan yang didanai menggunakan DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    merupakan jalan kewenangan Pemerintah Daerah yang tercantum dalam Surat Keputusan Kepala Daerah tentang Penetapan Status Jalan Daerah;
     
    b.
    diprioritaskan untuk jalan yang menjadi jalur logistik pengangkutan sawit; dan/atau
     
    c.
    diprioritaskan untuk jalan yang telah dilakukan survei kondisi jalan minimal 1 (satu) tahun sebelum pengusulan.
    (5)
    Kegiatan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
     
    a.
    pendataan perkebunan sawit rakyat;
     
    b.
    penyusunan rencana aksi daerah kelapa sawit berkelanjutan;
     
    c.
    pembinaan dan pendampingan untuk sertifikasi indonesian sustainable palm oil;
     
    d.
    rehabilitasi hutan dan lahan; dan
     
    e.
    perlindungan sosial bagi pekerja perkebunan sawit yang belum terdaftar sebagai peserta program jaminan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­ undangan.
    (6)
    Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a termasuk kegiatan penunjang yang terdiri atas:
     
    a.
    pengadaan jasa konsultan pengawas kegiatan kontraktual; dan/atau
     
    b.
    perjalanan dinas ke dan/atau dari lokasi kegiatan dalam rangka perencanaan, pengendalian, dan pengawasan.
    (7)
    Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b termasuk kegiatan penunjang yang terdiri atas:
     
    a.
    pemberian honorarium fasilitator kegiatan DBH Sawit yang dilakukan secara swakelola;
     
    b.
    penyewaan sarana dan prasarana pendukung;
     
    c.
    pembahasan rencana kegiatan di Pemerintah Daerah; dan/atau
     
    d.
    perjalanan dinas ke dan/atau dari lokasi kegiatan dalam rangka perencanaan, pengendalian, dan pengawasan.
    (8)
    Pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan sebagaimana pada ayat (3) dan pemenuhan ketentuan penanganan jalan yang didanai menggunakan DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dengan memperhatikan capaian keluaran, kebutuhan, dan ketersediaan anggaran di Daerah.
    (9)
    Kegiatan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a dan huruf c berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian dengan memperhatikan capaian keluaran, kebutuhan, dan ketersediaan anggaran di Daerah.
    (10)
    Kegiatan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri.
    (11)
    Kegiatan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf d berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan dengan memperhatikan capaian keluaran, kebutuhan, dan ketersediaan anggaran di Daerah.
    (12)
    Pelaksanaan kegiatan perlindungan sosial bagi pekerja perkebunan sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf e ditetapkan dalam Peraturan Kepala Daerah minimal dengan mempertimbangkan kriteria penerima bantuan, besaran bantuan, jangka waktu pemberian bantuan, dan kondisi pemberian bantuan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 17

    (1)
    Penggunaan DBH Sawit untuk kegiatan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) minimal 80% (delapan puluh persen) dari alokasi DBH Sawit per Daerah provinsi dan kabupaten/kota.
    (2)
    Penggunaan DBH Sawit untuk kegiatan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5) paling tinggi 20% (dua puluh persen) dari alokasi DBH Sawit per Daerah provinsi dan kabupaten/kota.
    (3)
    Kegiatan penunjang dalam DBH Sawit untuk kegiatan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (6) dan DBH Sawit untuk kegiatan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (7) paling tinggi 10% (sepuluh persen) dari alokasi DBH Sawit untuk masing-masing kegiatan.
    (4)
    Dalam hal ketersediaan anggaran untuk kegiatan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melebihi kebutuhan, Pemerintah Daerah dapat mengalihkan kelebihan anggaran tersebut untuk:
     
    a.
    kegiatan pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3); dan/atau
     
    b.
    kegiatan lain sesuai dengan prioritas dan kebutuhan Daerah.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 18

    (1)
    Besaran biaya yang dibutuhkan dalam rangka pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 mengacu pada standar biaya di Daerah yang ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan berpedoman pada Peraturan Presiden mengenai standar harga satuan regional.
    (2)
    Dalam pelaksanaan kegiatan DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Kepala Daerah membentuk sekretariat atau menunjuk koordinator pengelola kegiatan DBH Sawit dalam rangka koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kegiatan DBH Sawit di wilayahnya.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    RKP DBH Perkebunan Sawit
     

    Pasal 19

    (1)
    Berdasarkan Peraturan Presiden mengenai rincian APBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4), Daerah provinsi dan kabupaten/kota penerima alokasi DBH Sawit menganggarkan DBH Sawit dalam APBD.
    (2)
    Dalam rangka penganggaran DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Daerah menyusun RKP DBH Sawit yang berisi kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.
    (3)
    RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) minimal memuat:
     
    a.
    perkiraan pagu alokasi DBH Sawit;
     
    b.
    rincian dan lokasi kegiatan;
     
    c.
    target keluaran kegiatan;
     
    d.
    rincian pendanaan kegiatan; dan
     
    e.
    penganggaran kembali sisa DBH Sawit yang masih terdapat di rekening kas umum Daerah dalam hal Daerah masih memiliki sisa DBH Sawit.
    (4)
    RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disesuaikan dengan klasifikasi, kodefikasi, dan nomenklatur perencanaan pembangunan dan keuangan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­ undangan.
    (5)
    RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibahas bersama dengan kementerian negara/lembaga Pemerintah terkait paling lambat bulan November pada tahun anggaran sebelumnya.
    (6)
    Pemerintah provinsi mengoordinasikan pembahasan penyusunan RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dengan kabupaten/kota di wilayahnya dan kementerian negara/lembaga terkait.
    (7)
    Hasil pembahasan RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dituangkan dalam berita acara hasil pembahasan yang ditandatangani oleh perwakilan dari:
     
    a.
    Pemerintah dan provinsi untuk RKP DBH Sawit provinsi; atau
     
    b.
    Pemerintah, kabupaten/kota, dan provinsi untuk RKP DBH Sawit kabupaten/kota.
    (8)
    Berdasarkan berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Kepala Daerah menetapkan RKP DBH Sawit dalam APBD.
    (9)
    Kepala Daerah bertanggung jawab secara formal dan materiil atas kegiatan DBH Sawit yang tercantum dalam RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
     
     
     
     
     
     
    BAB VI
    PENYALURAN, PENUNDAAN PENYALURAN, PENYALURAN KEMBALI, DAN PENGHENTIAN PENYALURAN
     

    Pasal 20

    (1)
    Penyaluran DBH Sawit dilakukan dengan pemindahbukuan dari rekening kas umum negara ke rekening kas umum Daerah.
    (2)
    Jumlah DBH Sawit yang disalurkan ke rekening kas umum Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan alokasi yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden mengenai rincian APBN.
    (3)
    Penyaluran DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara bertahap, dengan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    tahap I sebesar 50% (lima puluh persen) dari alokasi paling lambat bulan Mei tahun anggaran berjalan; dan
     
    b.
    tahap II sebesar 50% (lima puluh persen) dari alokasi paling lambat bulan Oktober tahun anggaran berjalan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 21

    (1)
    Dalam rangka penyaluran DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Gubernur menyusun laporan realisasi penggunaan DBH Sawit yang terdiri atas:
     
    a.
    laporan realisasi penggunaan tahun anggaran sebelumnya;
     
    b.
    laporan realisasi penggunaan semester I tahun anggaran berjalan;
     
    c.
    laporan konsolidasi realisasi penggunaan tahun anggaran sebelumnya untuk provinsi dan kabupaten/kota di wilayahnya; dan
     
    d.
    laporan konsolidasi realisasi penggunaan semester I tahun anggaran berjalan untuk provinsi dan kabupaten/kota di wilayahnya.
    (2)
    Dalam rangka penyaluran DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Bupati/Wali kota menyusun laporan realisasi penggunaan DBH Sawit yang terdiri atas:
     
    a.
    laporan realisasi penggunaan tahun anggaran sebelumnya; dan
     
    b.
    laporan realisasi penggunaan semester I tahun anggaran berjalan.
    (3)
    Laporan realisasi penggunaan DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan kepada:
     
    a.
    Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan;
     
    b.
    Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat c.q. Sekretaris Jenderal;
     
    c.
    Menteri Pertanian c.q. Direktur Jenderal Perkebunan;
     
    d.
    Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan c.q. Sekretaris Jenderal dan Direktorat Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan; dan
     
    e.
    Menteri Dalam Negeri c.q. Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 22

    (1)
    Penyaluran DBH Sawit tahap I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) huruf a dilakukan setelah Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menerima syarat salur berupa:
     
    a.
    laporan realisasi penggunaan DBH Sawit tahun anggaran sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a dan laporan konsolidasi realisasi penggunaan tahun anggaran sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c bagi provinsi;
     
    b.
    laporan realisasi penggunaan DBH Sawit tahun anggaran sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a bagi kabupaten/kota; dan
     
    c.
    RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) bagi provinsi dan kabupaten/kota,
     
    paling lambat tanggal 30 April tahun anggaran berjalan.
    (2)
    Penyaluran DBH Sawit tahap II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) huruf b dilakukan setelah Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menerima syarat salur berupa:
     
    a.
    laporan realisasi penggunaan DBH Sawit semester pertama tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf b dan laporan konsolidasi realisasi penggunaan semester pertama tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf d bagi provinsi; dan
     
    b.
    laporan realisasi penggunaan DBH Sawit semester pertama tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) huruf b bagi kabupaten/kota,
     
    paling lambat tanggal 30 September tahun anggaran berjalan.
    (3)
    Dalam hal tanggal 30 April dan 30 September bertepatan dengan hari libur atau hari yang diliburkan, batas waktu penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) pada hari kerja berikutnya.
    (4)
    Surat penyampaian syarat salur DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditandatangani oleh kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 23

    (1)
    Dalam hal syarat salur tahap I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) tidak diterima sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1), Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat melakukan penundaan penyaluran tahap I terhadap DBH Sawit.
    (2)
    Dalam hal RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf c tidak memenuhi kesesuaian proporsi alokasi kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan/atau tidak memenuhi ketentuan dalam peraturan perundang-undangan, Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat melakukan penundaan penyaluran sebesar 15% (lima belas persen) dari nilai penyaluran tahap I terhadap DBH Sawit.
    (3)
    Dalam hal syarat salur tahap II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) tidak diterima sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2), Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat melakukan penundaan penyaluran tahap II terhadap DBH Sawit.
    (4)
    Dalam hal laporan realisasi penggunaan DBH Sawit semester pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) tidak memenuhi kesesuaian proporsi alokasi kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat melakukan penundaan penyaluran sebesar 15% (lima belas persen) dari nilai penyaluran tahap II terhadap DBH Sawit.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 24

    (1)
    Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimban gan Keuangan melakukan penyaluran kembali DBH Sawit tahap I yang ditunda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dalam hal:
     
    a.
    Daerah telah menyampaikan syarat salur tahap I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1); dan/atau
     
    b.
    Daerah telah menyampaikan perbaikan RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) yang menunjukkan kesesuaian proporsi alokasi kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.
    (2)
    Penyaluran kembali DBH Sawit tahap I yang ditunda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling cepat bulan Juni tahun anggaran berjalan.
    (3)
    Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penyaluran kembali DBH Sawit tahap II yang ditunda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dalam hal:
     
    a.
    Daerah telah menyampaikan syarat salur tahap II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3); dan/atau
     
    b.
    Daerah telah menyampaikan perbaikan laporan realisasi penggunaan DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4) yang menunjukkan kesesuaian proporsi alokasi kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.
    (4)
    Penyaluran kembali DBH Sawit tahap II yang ditunda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling cepat bulan November tahun anggaran berjalan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 25

    (1)
    Dalam hal:
     
    a.
    laporan syarat salur tahap I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf a; dan/atau
     
    b.
    perbaikan RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf b,
     
    belum diterima sampai dengan tanggal 15 November tahun anggaran berjalan, Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat melakukan penghentian penyaluran DBH Sawit tahap I yang ditunda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1).
    (2)
    Dalam hal:
     
    a.
    laporan syarat salur tahap II sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf a; dan/atau
     
    b.
    perbaikan laporan realisasi penggunaan DBH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf b,
     
    belum diterima sampai dengan tanggal 15 November tahun anggaran berjalan, Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat melakukan penghentian penyaluran DBH Sawit tahap II yang ditunda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3).
    (3)
    Dalam hal tanggal 15 November bertepatan dengan hari libur atau hari yang diliburkan, batas waktu penerimaan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) jatuh pada hari kerja berikutnya.
    (4)
    Dalam hal laporan realisasi penggunaan DBH Sawit tahun anggaran sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a dan huruf b tidak memenuhi kesesuaian proporsi alokasi kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat melakukan penghentian penyaluran DBH Sawit tahap I sebesar 15% (lima belas persen) dari nilai penyaluran tahap I terhadap DBH Sawit.
    (5)
    Penghentian penyaluran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Menteri yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan atas nama Menteri.
     
     
     
     
     
     
    BAB VII
    PEMANTAUAN DAN EVALUASI

    Bagian Kesatu
    Mekanisme Pemantauan dan Evaluasi
     

    Pasal 26

    (1)
    Gubernur melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap alokasi, penggunaan anggaran, pemanfaatan dan teknis pelaksanaan kegiatan yang didanai dari DBH Sawit oleh pemerintah kabupaten/kota di wilayahnya.
    (2)
    Gubernur menyampaikan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta rekomendasi tindak lanjut kepada:
     
    a.
    Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan;
     
    b.
    Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat c.q. Sekretaris Jenderal;
     
    c.
    Menteri Pertanian c.q. Direktur Jenderal Perkebunan;
     
    d.
    Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan c.q. Sekretaris Jenderal dan Direktur Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan; dan
     
    e.
    Menteri Dalam Negeri c.q. Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah.
    (3)
    Hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dalam bentuk ADK (softcopy) dan dokumen hardcopy (pindai Format Dokumen Portabel (Portable Document Format/PDF)).
    (4)
    Penyampaian dalam bentuk ADK dan pindai Format Dokumen Portabel (Portable Document Format/PDF) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan melalui aplikasi pada SIKD.
    (5)
    Dalam hal aplikasi pada SIKD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) belum tersedia, penyampaian hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikirimkan melalui surat elektronik (e-mail) resmi Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan dan/atau media lain yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.
    (6)
    Kementerian Keuangan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Kementerian Dalam Negeri melakukan pemantauan dan evaluasi realisasi penggunaan DBH Sawit berdasarkan:
     
    a.
    laporan realisasi penggunaan DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) untuk provinsi;
     
    b.
    laporan konsolidasi realisasi penggunaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c dan huruf d dan laporan realisasi penggunaan DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) untuk kabupaten dan kota; dan/atau
     
    c.
    pengamatan langsung di lapangan,
     
    sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing.
    (7)
    Pemantauan dan evaluasi penggunaan DBH Sawit oleh Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan. meliputi:
     
    a.
    kepatuhan penyampaian laporan;
     
    b.
    besaran penganggaran untuk masing-masing kegiatan;
     
    c.
    kesesuaian capaian keluaran antara RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dengan laporan realisasi penggunaan DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2); dan
     
    d.
    besaran Sisa DBH Sawit yang masih terdapat di rekening kas umum Daerah.
    (8)
    Dalam melaksanakan pemantauan dan evaluasi realisasi penggunaan DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan dapat berkoordinasi dengan pemerintah provinsi dan/atau instansi/unit terkait.
    (9)
    Berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Menteri dapat mengenakan sanksi penundaan dan/atau penghentian penyaluran DBH atas alokasi dan/atau penggunaan DBH Sawit yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Sisa DBH Sawit
     

    Pasal 27

    (1)
    Untuk menghitung besaran Sisa DBH Sawit yang masih terdapat di rekening kas umum Daerah setelah tahun anggaran berakhir, Pemerintah Daerah melakukan rekonsiliasi perhitungan Sisa DBH Sawit dengan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan yang dituangkan dalam berita acara rekonsiliasi.
    (2)
    Gubernur dapat mengoordinasikan pelaksanaan rekonsiliasi perhitungan Sisa DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    (3)
    Pelaksanaan rekonsiliasi Sisa DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) dilaksanakan paling lambat bulan April tahun anggaran berikutnya.
    (4)
    Dalam hal rekonsiliasi perhitungan Sisa DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) tidak dilaksanakan, Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menghitung Sisa DBH Sawit berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (6).
    (5)
    Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan menyampaikan surat pemberitahuan Sisa DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) kepada Kepala Daerah paling cepat bulan Mei tahun anggaran berikutnya.
    (6)
    Berdasarkan surat pemberitahuan Sisa DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Pemerintah Daerah menganggarkan kembali Sisa DBH Sawit pada tahun anggaran berjalan dan/atau tahun anggaran berikutnya untuk mendanai kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.
     
     
     
     
     
     
    BAB VIII
    PERHITUNGAN DAN PENETAPAN ALOKASI KURANG BAYAR/LEBIH BAYAR DBH SAWIT
     

    Pasal 28

    (1)
    Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan melakukan penghitungan alokasi Kurang Bayar/Lebih Bayar DBH Sawit berdasarkan:
     
    a.
    data realisasi penerimaan bea keluar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a; dan
     
    b.
    data realisasi penerimaan pungutan ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b.
    (2)
    Direktur Jenderal Bea dan Cukai menyampaikan data realisasi penerimaan bea keluar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lama 1 (satu) bulan setelah laporan hasil pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan kepada Menteri.
    (3)
    Direktur Jenderal Anggaran menyampaikan data realisasi penerimaan pungutan ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lama 1 (satu) bulan setelah laporan hasil pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan kepada Menteri.
    (4)
    Penghitungan alokasi DBH Sawit berdasarkan realisasi penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan Direktorat Jenderal Anggaran.
    (5)
    Dalam hal alokasi DBH Sawit berdasarkan realisasi penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih besar dari DBH Sawit yang telah disalurkan ke rekening kas umum Daerah, terdapat Kurang Bayar DBH Sawit.
    (6)
    Dalam hal alokasi DBH Sawit berdasarkan realisasi penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih kecil dari DBH Sawit yang telah disalurkan ke rekening kas umum Daerah, terdapat Lebih Bayar DBH Sawit.
    (7)
    Penetapan alokasi Kurang Bayar dan/atau Lebih Bayar DBH Sawit mempertimbangkan:
     
    a.
    alokasi minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (8); dan/atau
     
    b.
    penghentian salur DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.
    (8)
    Alokasi Kurang Bayar DBH dan Lebih Bayar DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menurut Daerah provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan dengan Peraturan Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­ undangan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 29

    (1)
    Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit menyetorkan penerimaan negara yang berasal dari pungutan ekspor tahun anggaran sebelumnya yang menjadi realisasi DBH Sawit.
    (2)
    Penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dari rekening Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit ke rekening kas umum negara melalui bank persepsi/pos persepsi.
    (3)
    Dalam rangka penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan persentase pagu DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) sesuai dengan mekanisme anggaran pendapatan dan belanja negara.
    (4)
    Penyetoran penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 1 (satu) bulan setelah laporan hasil pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan kepada Menteri.
    (5)
    Besaran penyetoran oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit dihitung berdasarkan perkalian antara persentase pagu DBH sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan realisasi penerimaan negara yang berasal dari pungutan ekspor yang menjadi realisasi DBH Sawit sesuai dengan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
    (6)
    Tata cara penyetoran penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai sistem penerimaan negara secara elektronik.
     
     
     
     
     
     
    BAB IX
    PENYALURAN DBH SAWIT TAHUN 2023
     

    Pasal 30

    Penyaluran DBH Sawit tahun anggaran 2023 dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
    a.
    Kepala Daerah provinsi dan kabupaten/kota menyusun RKP DBH Sawit tahun anggaran 2023 sebagai dasar penggunaan dan penyaluran DBH Sawit.
    b.
    Penyaluran DBH Sawit tahun anggaran 2023 dilakukan secara sekaligus bagi Daerah provinsi dan kabupaten/kota yang telah menyampaikan RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada huruf a kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan.
    c.
    Penyampaian RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada huruf b dilakukan paling lambat tanggal 30 November 2023.
    d.
    Dalam hal tanggal 30 November 2023 bertepatan dengan hari libur atau hari yang diliburkan, batas waktu penerimaan sebagaimana dimaksud pada huruf c dilakukan pada hari kerja berikutnya.
    e.
    Dalam hal Daerah provinsi dan kabupaten/kota tidak menyampaikan RKP DBH Sawit sampai dengan tanggal 30 November 2023 sebagaimana dimaksud pada huruf c atau hari kerja berikutnya sebagaimana dimaksud pada huruf d:
     
    1.
    penyaluran DBH Sawit dilakukan secara sekaligus paling lambat 27 Desember 2023; dan
     
    2.
    seluruh DBH Sawit yang disalurkan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dianggarkan dalam APBD tahun anggaran 2024 dan RKP DBH Sawit tahun anggaran 2024.
     
     
     
     
     
     
    BAB X
    KETENTUAN LAIN-LAIN
     

    Pasal 31

    Penyaluran DBH Sawit Tahun Anggaran 2023 bersumber dari rupiah murni.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 32

    (1)
    Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit mulai melakukan penyetoran penerimaan negara yang berasal dari pungutan ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun Anggaran 2024 yang telah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
    (2)
    Penyetoran penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat 1 (satu) bulan setelah laporan hasil pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun Anggaran 2024 disampaikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan kepada Menteri.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 33

    Ketentuan mengenai:
    a.
    rincian kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16;
    b.
    format RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19;
    c.
    format laporan realisasi penggunaan DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a dan huruf b dan Pasal 21 ayat (2);
    d.
    format laporan konsolidasi realisasi penggunaan DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c dan huruf d; dan
    e.
    rincian DBH Sawit tahun anggaran 2023 menurut Daerah provinsi dan kabupaten/kota,
    tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     
    BAB XI
    KETENTUAN PENUTUP
     

    Pasal 34

    Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
     
     
     
     
     
     
    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
     
     
     
     
     
     
    Ditetapkan di Jakarta
    pada tanggal 8 September 2023
    MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
    ttd.
    SRI MULYANI INDRAWATI

    Diundangkan di Jakarta
    pada tanggal 11 September 2023
    DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
    KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
    ttd.
    ASEP N. MULYANA

    BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2023 NOMOR 715 

    Peraturan Menteri Keuangan 91 TAHUN 2023 - Perpajakan DDTC