Quick Guide
Hide Quick Guide
    Aktifkan Mode Highlight
    Premium
    File Lampiran
    Peraturan Terkait
    IDN
    ENG
    Fitur Terjemahan
    Premium
    Terjemahan Dokumen
    Ini Belum Tersedia
    Bagikan
    Tambahkan ke My Favorites
    Download as PDF
    Download Document
    Premium
    Status : Berlaku

    PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
    NOMOR 62 TAHUN 2023

     
    TENTANG

    PERENCANAAN ANGGARAN, PELAKSANAAN ANGGARAN, SERTA AKUNTANSI DAN PELAPORAN KEUANGAN

    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
    MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
     
     
     
     
     
     

    Menimbang

    a.
    bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 131 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, Pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2022 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, Pasal 7 ayat (2), Pasal 8 ayat (7), Pasal 10 ayat (4), Pasal 11 ayat (2), Pasal 14 ayat (4), Pasal 18 ayat (6), Pasal 19 ayat (5), Pasal 23, Pasal 24 ayat (2), Pasal 25 ayat (7), Pasal 34, Pasal 38, Pasal 40 ayat (6), Pasal 41 ayat (9), Pasal 42 ayat (2), Pasal 43 ayat (6), Pasal 44 ayat (2), dan Pasal 47 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran, dan Pasal 9 Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2020 tentang Pemberian Penghargaan dan/atau Pengenaan Sanksi kepada Kementerian Negara/Lembaga dan Pemerintah Daerah, perlu mengatur ketentuan mengenai rencana kerja anggaran kementerian negara/lembaga dan bendahara umum negara, monitoring dan evaluasi anggaran, serta tata cara pemberian penghargaan dan/atau sanksi kepada kementerian negara/lembaga dan pemerintah daerah;
    b.
    bahwa untuk melaksanakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang lebih tertib, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dan untuk menyusun dan menyajikan laporan keuangan pemerintah pusat sesuai dengan prinsip akuntansi dalam penerapan standar akuntansi pemerintahan, serta berdasarkan kewenangan Menteri Keuangan selaku bendahara umum negara untuk menetapkan kebijakan dan pelaksanaan anggaran negara dan menetapkan sistem akuntansi dan pelaporan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a dan huruf o Undang­-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, perlu mengatur ketentuan mengenai pelaksanaan anggaran, serta pelaporan dan pertanggungjawaban anggaran;
    c.
    bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perencanaan Anggaran, Pelaksanaan Anggaran, serta Akuntansi dan Pelaporan Keuangan;
     
     
     
     
     
     

    Mengingat

    1.
    Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2.
    Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
    3.
    Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 103, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5423) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2018 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 229, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6267);
    4.
    Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2022 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6794);
    5.
    Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6850);
    6.
    Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2020 tentang Pemberian Penghargaan dan/atau Pengenaan Sanksi kepada Kementerian Negara/Lembaga dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 74);
    7.
    Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
    8.
    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1031) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.01/2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 954);
     
     
     
     
     
     
    MEMUTUSKAN:

    Menetapkan

    PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERENCANAAN ANGGARAN, PELAKSANAAN ANGGARAN, SERTA AKUNTANSI DAN PELAPORAN KEUANGAN.
     
     
     
     
     
     
    BAB I
    KETENTUAN UMUM
     

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
    1.
    Rencana Kerja dan Anggaran yang selanjutnya disingkat RKA adalah dokumen rencana keuangan tahunan yang mencakup rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga, rencana kerja dan anggaran Otorita Ibu Kota Nusantara, dan rencana kerja dan anggaran bendahara umum negara.
    2.
    Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disingkat RKA-K/L adalah dokumen rencana keuangan tahunan yang memuat rincian kegiatan, anggaran, dan target kinerja dari masing­-masing kementerian negara/lembaga, yang disusun menurut bagian anggaran kementerian negara/lembaga.
    3.
    Rencana Kerja dan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKA-BUN adalah dokumen rencana keuangan tahunan dari bendahara umum negara yang memuat rincian kegiatan, anggaran, dan target kinerja dari pembantu pengguna anggaran bendahara umum negara, yang disusun· menurut bagian anggaran bendahara umum negara.
    4.
    Kinerja adalah prestasi kerja berupa keluaran dari suatu kegiatan atau hasil dari suatu program dengan kuantitas dan kualitas terukur.
    5.
    Standar Biaya adalah satuan biaya yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal (chief financial officer) yang digunakan sebagai acuan perhitungan kebutuhan anggaran dalam penyusunan RKA dan pelaksanaan anggaran.
    6.
    Bagian Anggaran adalah kelompok anggaran negara menurut nomenklatur kementerian negara/lembaga dan bendahara umum negara dalam menjalankan fungsi belanja Pemerintah Pusat, transfer ke daerah, dan pembiayaan.
    7.
    Bagian Anggaran Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disingkat BA K/L adalah Bagian Anggaran yang menampung belanja Pemerintah Pusat yang pagu anggarannya dialokasikan pada kementerian negara/lembaga.
    8.
    Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BA BUN adalah Bagian Anggaran yang tidak dikelompokkan dalam Bagian Anggaran kementerian negara/lembaga.
    9.
    Belanja Negara adalah kewajiban Pemerintah Pusat yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih yang terdiri atas belanja Pemerintah Pusat dan transfer ke daerah.
    10.
    Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
    11.
    Klasifikasi Organisasi adalah pengelompokkan alokasi sesuai dengan struktur organisasi kementerian negara/lembaga dan bendahara umum negara.
    12.
    Klasifikasi Fungsi adalah pengelompokkan alokasi sesuai fungsi kepemerintahan yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan pembangunan nasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara.
    13.
    Klasifikasi Jenis Belanja adalah pengelompokkan Belanja Negara berdasarkan jenis belanja dan transfer ke daerah.
    14.
    Klasifikasi Pembiayaan adalah pengelompokkan pengeluaran pembiayaan berdasarkan Jenis pengeluaran pembiayaan.
    15.
    Belanja Pegawai adalah kompensasi terhadap pegawai, baik dalam bentuk uang atau barang, yang harus dibayarkan kepada pegawai pemerintah dalam maupun luar negeri baik kepada pejabat negara, pegawai negeri sipil, dan pegawai yang dipekerjakan oleh Pemerintah yang belum berstatus pegawai negeri sipil sebagai imbalan atas pekerjaan yang telah dilaksanakan dalam rangka untuk mendukung tugas fungsi unit organisasi pemerintah selama periode tertentu, kecuali pekerjaan yang berkaitan dengan pembentukan modal.
    16.
    Belanja Barang dan Jasa adalah pengeluaran untuk menampung pembelian barang dan jasa yang habis pakai untuk memproduksi barang dan jasa yang dipasarkan maupun yang tidak dipasarkan serta pengadaan barang yang dimaksudkan untuk diserahkan atau dijual kepada masyarakat dan belanja perjalanan.
    17.
    Belanja Modal adalah pengeluaran anggaran dalam rangka memperoleh atau menambah aset tetap dan/atau aset lainnya yang memberi manfaat ekonomis lebih dari satu periode akuntansi (12 (dua belas) bulan) serta melebihi batasan nilai minimum kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan Pemerintah.
    18.
    Belanja Bantuan Sosial adalah pengeluaran berupa transfer uang, barang atau jasa yang diberikan oleh Pemerintah kepada masyarakat miskin atau tidak mampu guna melindungi masyarakat dari kemungkinan terjadinya risiko sosial, meningkatkan kemampuan ekonomi dan/atau kesejahteraan masyarakat.
    19.
    Pemberian Pinjaman adalah pinjaman Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, lembaga, dan/atau badan lainnya yang harus dibayar kembali dengan ketentuan dan persyaratan tertentu.
    20.
    Menteri/Pimpinan Lembaga adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan pada kementerian negara/lembaga yang bersangkutan.
    21.
    Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat BUN adalah pejabat yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi bendahara umum negara.
    22.
    Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat PA adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran kementerian negara/lembaga.
    23.
    Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat PPA BUN adalah unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran yang berasal dari Bagian Anggaran BUN.
    24.
    Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kuasa dari PA untuk melaksanakan sebagian kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran pada kementerian negara/lembaga yang bersangkutan.
    25.
    Kementerian Negara yang selanjutnya disebut Kementerian adalah perangkat Pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
    26.
    Lembaga adalah organisasi nonkementerian negara dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang­-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya.
    27.
    Direktorat Anggaran Bidang adalah unit eselon II di lingkungan Direktorat Jenderal Anggaran yang terdiri dari Direktorat Anggaran Bidang Perekonomian dan Kemaritiman, Direktorat Anggaran Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, dan/atau Direktorat Anggaran Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan, dan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara.
    28.
    Satuan Kerja yang selanjutnya disebut Satker adalah unit organisasi lini Kementerian/Lembaga atau unit organisasi Pemerintah Daerah yang melaksanakan kegiatan Kementerian/Lembaga dan memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran.
    29.
    Satuan Kerja Bagian Anggaran BUN yang selanjutnya disebut Satker BUN adalah unit organisasi lini BUN yang melaksanakan kegiatan BUN dan memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran BUN.
    30.
    Program RKA-K/L dan RKA-BUN yang selanjutnya disebut Program adalah penjabaran kebijakan beserta rencana penerapannya yang dimiliki Kementerian/Lembaga dan BUN untuk mengatasi suatu masalah strategis dalam mencapai hasil (outcome) tertentu sesuai dengan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga dan fungsi BUN dimaksud serta visi dan misi Presiden.
    31.
    Kegiatan RKA-K/L dan RKA-BUN yang selanjutnya disebut Kegiatan adalah suatu aktivitas yang dilaksanakan untuk menghasilkan keluaran dalam mendukung terwujudnya sasaran Program.
    32.
    Keluaran adalah barang atau jasa yang merupakan hasil akhir dari pelaksanaan Kegiatan dalam mendukung pencapaian sasaran pembangunan nasional.
    33.
    Klasifikasi Rincian Output yang selanjutnya disingkat KRO adalah kumpulan atas rincian output yang disusun dengan mengelompokkan muatan rincian output yang sejenis atau serumpun berdasarkan sektor/bidang/jenis tertentu secara sistematis.
    34.
    Rincian Output yang selanjutnya disingkat RO merupakan Keluaran riil yang dihasilkan oleh unit kerja Kementerian/Lembaga yang berfokus pada isu tertentu serta berkaitan langsung dengan tugas dan fungsi unit kerja tersebut dalam mendukung pencapaian sasaran Kegiatan yang telah ditetapkan.
    35.
    Sistem Informasi adalah sistem yang dibangun, dikelola, dan/atau dikembangkan oleh Kementerian Keuangan guna memfasilitasi proses perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan, pelaporan dan pertanggungjawaban, dan/atau monitoring dan evaluasi anggaran yang merupakan bagian dari sistem pengelolaan keuangan negara.
    36.
    Belanja Berkualitas adalah belanja yang direncanakan dan dilaksanakan dengan prinsip efisiensi, efektivitas, prioritas, transparansi, dan akuntabilitas.
    37.
    Aparat Pengawasan Intern Pemerintah Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disingkat APIP K/L adalah Inspektorat Jenderal/Inspektorat Utama/Inspektorat atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern yang bertanggung jawab langsung kepada Menteri/Pimpinan Lembaga.
    38.
    Pinjaman Luar Negeri yang selanjutnya disingkat PLN adalah setiap pembiayaan melalui utang yang diperoleh Pemerintah dari pemberi pinjaman luar negeri yang diikat oleh suatu perjanjian pinjaman dan tidak berbentuk surat berharga negara, yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu.
    39.
    Pinjaman Dalam Negeri yang selanjutnya disingkat PDN adalah setiap pinjaman oleh Pemerintah yang diperoleh dari pemberi pinjaman dalam negeri yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu sesuai dengan masa berlakunya.
    40.
    Hibah Pemerintah yang selanjutnya disebut Hibah adalah setiap penerimaan negara dalam bentuk devisa, devisa yang dirupiahkan, rupiah, barang, jasa dan/atau surat berharga yang diperoleh dari pemberi hibah yang tidak perlu dibayar kembali, yang berasal dari dalam negeri atau luar negeri.
    41.
    Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disingkat SBSN atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.
    42.
    Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah pungutan yang dibayar oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang menjadi penerimaan Pemerintah Pusat di luar penerimaan perpajakan dan hibah dan dikelola dalam mekanisme APBN.
    43.
    Rupiah Murni Pendamping yang selanjutnya disingkat RMP adalah dana rupiah murni yang harus disediakan Pemerintah untuk mendampingi pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
    44.
    Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
    45.
    Badan Layanan Umum yang selanjutnya disebut BLU adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.
    46.
    Rencana Pembangunan Tahunan Kementerian/Lembaga atau Rencana Kerja Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disebut Renja K/L adalah dokumen perencanaan Kementerian/Lembaga untuk periode 1 (satu) tahun.
    47.
    Indikasi Kebutuhan Dana Pengeluaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Indikasi Kebutuhan Dana BUN adalah indikasi dana dalam rangka untuk pemenuhan kewajiban Pemerintah yang penganggarannya hanya ditampung pada BA BUN.
    48.
    Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat TKD adalah dana yang bersumber dari APBN dan merupakan bagian dari Belanja Negara yang dialokasikan dan disalurkan kepada daerah untuk dikelola oleh daerah dalam rangka mendanai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.
    49.
    Dana Alokasi Khusus yang selanjutnya disingkat DAK adalah bagian dari TKD yang dialokasikan dengan tujuan untuk mendanai program, kegiatan, dan/atau kebijakan tertentu yang menjadi prioritas nasional dan membantu operasionalisasi layanan publik, yang penggunaannya telah ditentukan oleh Pemerintah.
    50.
    Dana Alokasi Khusus Fisik yang selanjutnya disebut DAK Fisik adalah bagian dari TKD yang dialokasikan untuk mendukung pembangunan/pengadaan sarana dan prasarana layanan publik daerah dalam rangka mencapai prioritas nasional, mempercepat pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan layanan publik, dan/atau mendorong pertumbuhan perekonomian daerah.
    51.
    Dana Alokasi Khusus Nonfisik yang selanjutnya disebut DAK Nonfisik adalah DAK yang dialokasikan untuk membantu operasionalisasi layanan publik Daerah yang penggunaannya telah ditentukan oleh Pemerintah.
    52.
    Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh Kementerian dan penyelenggara pemerintahan daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan dan menyejahterakan masyarakat.
    53.
    Dekonsentrasi Kepada Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Dekonsentrasi Kepada GWPP adalah pelimpahan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
    54.
    Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat yang selanjutnya disingkat GWPP adalah penyelenggara Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat di daerah berdasarkan asas dekonsentrasi dan dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenang GWPP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    55.
    Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah provinsi.
    56.
    Bantuan Pemerintah adalah bantuan yang tidak memenuhi kriteria bantuan sosial yang diberikan oleh Pemerintah kepada perseorangan, kelompok masyarakat atau lembaga pemerintah/nonpemerintah.
    57.
    Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang­-undangan.
    58.
    Standar Biaya Masukan yang selanjutnya disingkat SBM adalah standar biaya yang digunakan sebagai masukan (input) untuk menyusun rincian biaya dalam suatu Keluaran.
    59.
    Standar Biaya Keluaran yang selanjutnya disingkat SBK adalah indeks biaya yang ditetapkan untuk menghasilkan 1 (satu) volume keluaran.
    60.
    Standar Struktur Biaya yang selanjutnya disingkat SSB adalah batasan besaran atau persentase komposisi biaya dalam 1 (satu) Keluaran.
    61.
    Non-Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut Non-ASN adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, melaksanakan tugas dan fungsi instansi pemerintah, diangkat oleh pejabat yang berwenang sebagai pegawai pada instansi pemerintah berdasarkan surat keputusan/perjanjian kerja/kontrak kerja untuk jangka waktu tertentu dan dibiayai dari APBN.
    62.
    Rencana Bisnis dan Anggaran BLU yang selanjutnya disebut RBA adalah dokumen perencanaan bisnis dan penganggaran yang berisi program, kegiatan, target kinerja, dan anggaran suatu BLU.
    63.
    Standar Biaya Keluaran Umum yang selanjutnya disingkat SBKU adalah SBK yang berlaku untuk beberapa/seluruh Kementerian/Lembaga.
    64.
    Standar Biaya Keluaran Khusus yang selanjutnya disingkat SBKK adalah SBK yang berlaku untuk 1 (satu) Kementerian/Lembaga.
    65.
    Arah Kebijakan adalah penjabaran urusan pemerintahan dan/atau prioritas pembangunan sesuai dengan visi dan misi Presiden yang rumusannya mencerminkan bidang urusan tertentu dalam pemerintahan yang menjadi tanggung jawab Kementerian/Lembaga, berisi satu atau beberapa program untuk mencapai sasaran strategis penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan indikator kinerja yang terukur.
    66.
    Prakiraan Maju adalah perhitungan kebutuhan dana untuk tahun anggaran berikutnya dari tahun yang direncanakan guna memastikan kesinambungan Program dan Kegiatan yang telah disetujui dan menjadi dasar penyusunan anggaran tahun berikutnya.
    67.
    Angka Dasar adalah indikasi pagu Prakiraan Maju dari Kegiatan-Kegiatan yang berulang dan/atau Kegiatan­ Kegiatan tahun jamak berdasarkan kebijakan yang telah ditetapkan dan menjadi acuan penyusunan pagu indikatif dari tahun anggaran yang direncanakan.
    68.
    Rencana Strategis Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disingkat Renstra K/L adalah dokumen perencanaan Kementerian/Lembaga untuk periode 5 (lima) tahun.
    69.
    Pagu Indikatif Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disebut Pagu Indikatif K/L adalah indikasi pagu anggaran yang akan dialokasikan kepada Kementerian/Lembaga sebagai pedoman dalam penyusunan Renja K/L.
    70.
    Pagu Anggaran Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disebut Pagu Anggaran K/L adalah batas tertinggi anggaran yang dialokasikan kepada Kementerian/Lembaga untuk penyusunan RKA-K/L.
    71.
    Kerangka Anggaran Jangka Menengah yang selanjutnya disingkat KAJM adalah rencana APBN jangka menengah yang memuat kerangka pendapatan, belanja, dan pembiayaan untuk menjaga kesinambungan dan disiplin fiskal Pemerintah.
    72.
    Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang selanjutnya disingkat RPJMN adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional untuk periode 5 (lima) tahun.
    73.
    Alokasi Anggaran Kementerian/Lembaga yang selanjutnya disebut Alokasi Anggaran K/L adalah batas tertinggi anggaran pengeluaran yang dialokasikan kepada Kementerian/Lembaga berdasarkan hasil pembahasan rancangan APBN yang dituangkan dalam hasil kesepakatan pembahasan rancangan APBN antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat.
    74.
    Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran yang selanjutnya disingkat DIPA adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang digunakan sebagai acuan pengguna anggaran dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan sebagai pelaksanaan APBN.
    75.
    DIPA Petikan adalah DIPA per Satker yang dicetak secara otomatis melalui sistem, yang berisi mengenai informasi Kinerja, rincian pengeluaran, rencana penarikan dana dan perkiraan penerimaan, dan catatan, yang berfungsi sebagai dasar dalam pelaksanaan kegiatan Satker.
    76.
    Petunjuk Operasional Kegiatan yang selanjutnya disingkat POK adalah dokumen yang memuat uraian rencana kerja dan biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan kegiatan, disusun oleh KPA sebagai penjabaran lebih lanjut dari DIPA.
    77.
    Kuasa Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Kuasa BUN adalah pejabat yang diangkat oleh BUN untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan APBN dalam wilayah kerja yang ditetapkan.
    78.
    Pagu Indikatif Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Pagu Indikatif BUN adalah indikasi dana yang akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan BUN.
    79.
    Pagu Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Pagu Anggaran BUN adalah batas tertinggi anggaran yang dialokasikan kepada BUN sebagai dasar penyusunan RKA-BUN.
    80.
    Alokasi Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Alokasi Anggaran BUN adalah batas tertinggi anggaran pengeluaran yang dialokasikan kepada Menteri Keuangan sebagai BUN berdasarkan hasil pembahasan rancangan APBN yang dituangkan dalam hasil kesepakatan pembahasan rancangan APBN antara Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat.
    81.
    Kuasa Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat KPA BUN adalah pejabat pada Satker dari masing-masing PPA BUN baik di kantor pusat maupun kantor daerah atau Satker di Kementerian/Lembaga yang memperoleh penugasan dari Menteri Keuangan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari BA BUN.
    82.
    Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKA Satker BUN adalah dokumen perencanaan anggaran BA BUN yang memuat rincian kebutuhan dana baik yang berbentuk anggaran belanja maupun pembiayaan dalam rangka pemenuhan kewajiban Pemerintah Pusat dan TKD tahunan yang disusun oleh KPA BUN.
    83.
    Pemimpin Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Pemimpin PPA BUN adalah pejabat eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan yang bertanggung jawab atas program BA BUN dan bertindak untuk menandatangani daftar isian pelaksanaan anggaran BUN.
    84.
    Daftar Hasil Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat DHP RKA-BUN adalah dokumen hasil penelaahan RKA­-BUN yang memuat alokasi anggaran menurut unit organisasi, fungsi, dan Program yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Anggaran atau pejabat yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Anggaran.
    85.
    Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat DIPA BUN adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh KPABUN.
    86.
    Tunggakan adalah tagihan atas pekerjaan/penugasan yang telah diselesaikan dan telah tersedia alokasi anggarannya tetapi belum dibayarkan sampai dengan berakhirnya tahun anggaran berkenaan.
    87.
    Surat Penetapan Pergeseran Anggaran Belanja Antarsubbagian Anggaran pada Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat SPP BA BUN adalah dokumen alokasi anggaran yang ditetapkan dalam rangka pergeseran anggaran belanja antarsubbagian anggaran pada BA BUN untuk suatu kegiatan.
    88.
    Surat Penetapan Satuan Anggaran Bagian Anggaran yang selanjutnya disingkat SP SABA adalah dokumen alokasi anggaran yang ditetapkan untuk suatu kegiatan, yang dilakukan pergeseran anggaran belanjanya dari BA BUN Belanja Lainnya ke BA K/L.
    89.
    Mitra Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Mitra PPA BUN adalah Direktorat Anggaran Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan, dan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara selaku unit eselon II di lingkungan Direktorat Jenderal Anggaran yang bertugas sebagai mitra penganggaran PPA BUN.
    90.
    Penyesuaian Belanja Negara adalah melakukan pengutamaan penggunaan anggaran yang disesuaikan secara otomatis (automatic adjustment), realokasi anggaran, pemotongan anggaran belanja negara, dan/atau pergeseran anggaran antar-Program.
    91.
    Revisi Anggaran adalah perubahan RKA berupa penyesuaian rincian anggaran dan/atau informasi Kinerja yang telah ditetapkan berdasarkan Undang­-Undang mengenai APBN, termasuk revisi atas DIPA yang telah disahkan pada tahun anggaran berkenaan.
    92.
    Laporan Hasil Reviu yang selanjutnya disingkat LHR adalah laporan yang disusun pada tingkatan unit akuntansi tertentu sebagai gabungan dari catatan hasil reviu dan ikhtisar hasil reviu unit akuntansi di bawahnya.
    93.
    Unit Pendukung PPA BUN Belanja Lainnya adalah Direktorat Anggaran Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan, dan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara selaku unit eselon II di lingkungan Direktorat Jenderal Anggaran yang bertugas sebagai unit Pembantu Pemimpin PPA BUN Belanja Lainnya.
    94.
    Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan.
    95.
    Lanjutan Pelaksanaan Kegiatan/Proyek Pinjaman Luar Negeri dan/atau Pinjaman Dalam Negeri yang selanjutnya disebut Lanjutan Pelaksanaan Kegiatan Pinjaman adalah penggunaan kembali sisa pagu anggaran satu tahun anggaran sebelumnya yang bersumber dari PLN dan/atau PDN sepanjang masih terdapat sisa alokasi komitmen PLN dan/atau PDN serta masih dalam masa penarikan.
    96.
    Percepatan Pelaksanaan Kegiatan/Proyek Pinjaman Luar Negeri dan/atau Pinjaman Dalam Negeri yang selanjutnya disebut Percepatan Pelaksanaan Kegiatan Pinjaman adalah tambahan pagu anggaran yang berasal dari sisa komitmen PLN dan/atau PDN yang belum ditarik untuk memenuhi kebutuhan pendanaan kegiatan untuk percepatan penyelesaian pekerjaan dan/atau memenuhi kebutuhan anggaran yang belum tersedia pada tahun anggaran berkenaan.
    97.
    Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut dengan Pengadaan Barang/Jasa adalah kegiatan untuk memperoleh barang/jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satker Perangkat Daerah/Institusi yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh barang/jasa.
    98.
    Penerusan Hibah adalah hibah yang diterima oleh Pemerintah yang diterushibahkan atau diterus pinjamkan kepada Pemerintah Daerah atau dipinjamkan kepada Badan Usaha Milik Negara sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai tata cara penerimaan hibah sepanjang diatur dalam perjanjian hibah.
    99.
    Lanjutan Pelaksanaan Kegiatan/Proyek Hibah Luar Negeri dan/atau Hibah Dalam Negeri yang selanjutnya disebut Lanjutan Pelaksanaan Kegiatan Hibah adalah penggunaan kembali sisa pagu anggaran satu tahun anggaran sebelumnya yang bersumber dari hibah luar negeri dan/atau hibah dalam negeri sepanjang masih terdapat sisa alokasi komitmen hibah luar negeri dan/atau hibah dalam negeri serta masih dalam masa penarikan.
    100.
    Percepatan Pelaksanaan Kegiatan/Proyek Hibah Luar Negeri dan/atau Hibah Dalam Negeri yang selanjutnya disebut Percepatan Pelaksanaan Kegiatan Hibah adalah tambahan pagu anggaran yang berasal dari sisa komitmen hibah luar negeri dan/atau hibah dalam negeri yang belum ditarik untuk memenuhi kebutuhan pendanaan kegiatan untuk percepatan penyelesaian pekerjaan dan/atau memenuhi kebutuhan anggaran yang belum tersedia pada tahun anggaran berkenaan.
    101.
    Pemberi Hibah adalah pihak yang berasal dari dalam negeri atau luar negeri yang memberikan Hibah kepada Pemerintah.
    102.
    Sisa Anggaran Kontraktual adalah selisih lebih antara alokasi anggaran rincian Keluaran (output) yang tercantum dalam DIPA dengan nilai kontrak Pengadaan Barang/Jasa untuk menghasilkan rincian Keluaran (output) sesuai dengan volume rincian Keluaran (output) yang ditetapkan dalam DIPA.
    103.
    Belanja Operasional adalah anggaran yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan sebuah Satker dalam melaksanakan tugas dan fungsinya berupa belanja pegawai operasional dan belanja barang operasional.
    104.
    Swakelola adalah cara memperoleh barang/jasa yang dikerjakan sendiri oleh Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah, Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah lain, organisasi kemasyarakatan, atau kelompok masyarakat.
    105.
    Rumusan Informasi Kinerja adalah rumusan yang ditetapkan sebagai acuan dalam pelaksanaan Program dan Kegiatan termasuk sasaran Kinerja yang akan dicapai serta indikator sebagai alat ukur pencapaian kinerja meliputi rumusan Program, hasil (outcome), Kegiatan, Keluaran (output), indikator Kinerja utama, dan indikator Kinerja kegiatan.
    106.
    Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang melaksanakan kewenangan PA/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban APBN.
    107.
    Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran.
    108.
    Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingkat PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan.
    109.
    Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, membayarkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan Belanja Negara dalam pelaksanaan APBN pada kantor/Satker Kementerian/Lembaga.
    110.
    Surat Perintah Membayar Langsung yang selanjutnya disingkat SPM-LS adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA dalam rangka pembayaran tagihan kepada penerima hak/Bendahara Pengeluaran.
    111.
    Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara.
    112.
    Pengelola Basis Data Kepegawaian yang selanjutnya disingkat PBDK adalah pejabat atau pegawai yang ditunjuk oleh kepala Satker untuk diberi tugas dan tanggung jawab dalam mengelola data kepegawaian pada aplikasi kepegawaian Satker.
    113.
    Petugas Pengelolaan Administrasi Belanja Pegawai yang selanjutnya disingkat PPABP adalah pembantu KPA yang diberi tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan administrasi Belanja Pegawai.
    114.
    Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA.
    115.
    Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disingkat SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh KPPN selaku Kuasa BUN untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM.
    116.
    Kontrak Pengadaan Barang/Jasa yang selanjutnya disebut Kontrak adalah perjanjian tertulis antara PA/KPA/PPK dengan Penyedia Barang/Jasa atau pelaksana Swakelola.
    117.
    Kas Negara adalah tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku BUN untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara.
    118.
    Penyedia Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut Penyedia adalah pelaku usaha yang menyediakan barang/jasa berdasarkan Kontrak.
    119.
    Uang Makan adalah uang yang diberikan kepada Pegawai ASN berdasarkan tarif dan dihitung secara harian untuk keperluan makan Pegawai ASN.
    120.
    Pembayaran Langsung yang selanjutnya disebut Pembayaran LS adalah pembayaran yang dilakukan langsung kepada Bendahara Pengeluaran/penerima hak lainnya atas dasar perjanjian kerja, surat keputusan, surat tugas atau surat perintah kerja lainnya melalui penerbitan SPM-LS.
    121.
    Bank/Pos Penyalur adalah bank/pos mitra kerja sebagai tempat dibukanya rekening atas nama Satker untuk menampung dana Belanja Bantuan Sosial/Bantuan Pemerintah yang akan disalurkan kepada penerima bantuan sosial/Bantuan Pemerintah.
    122.
    Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat UP adalah uang muka kerja dalam jumlah tertentu yang diberikan kepada Bendahara Pengeluaran untuk membiayai kegiatan operasional sehari-hari Satker atau membiayai pengeluaran yang menurut sifat dan tujuannya tidak mungkin dilakukan melalui mekanisme Pembayaran LS.
    123.
    Surat Perintah Membayar Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPM-UP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan UP.
    124.
    Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat TUP adalah uang muka yang diberikan kepada Bendahara Pengeluaran untuk kebutuhan yang sangat mendesak dalam 1 (satu) bulan melebihi UP yang telah ditetapkan.
    125.
    Surat Permintaan Pembayaran Langsung yang selanjutnya disingkat SPP-LS adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK dalam rangka pembayaran tagihan kepada penerima hak/Bendahara Pengeluaran.
    126.
    Surat Permintaan Pembayaran Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPP-UP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pembayaran UP.
    127.
    Surat Permintaan Pembayaran Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPP-TUP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pembayaran TUP.
    128.
    Surat Permintaan Pembayaran Penggantian Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPP-GUP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi pertanggungjawaban dan permintaan kembali pembayaran UP.
    129.
    Surat Permintaan Pembayaran Penggantian Uang Persediaan Nihil yang selanjutnya disebut SPP-GUP Nihil adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi pertanggungjawaban UP.
    130.
    Surat Permintaan Pembayaran Pertanggungjawaban Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPP-PTUP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK, yang berisi permintaan pertanggungjawaban atas TUP.
    131.
    Surat Perintah Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPBy adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK atas nama KPA yang berguna untuk mengeluarkan uang persediaan yang dikelola oleh Bendahara Pengeluaran kepada pihak yang dituju.
    132.
    Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas informasi elektronik yang dilekatkan, terasosiasi, atau terkait dengan informasi elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik.
    133.
    Surat Perintah Membayar Penggantian Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPM-GUP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM dengan membebani DIPA, yang dananya dipergunakan untuk menggantikan UP yang telah dipakai.
    134.
    Surat Perintah Membayar Penggantian Uang Persediaan Nihil yang selanjutnya disebut SPM-GUP Nihil adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM sebagai pertanggungjawaban UP yang membebani DIPA.
    135.
    Surat Perintah Membayar Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPM-TUP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan TUP.
    136.
    Surat Perintah Membayar Pertanggungjawaban Tambahan Uang Persediaan yang selanjutnya disingkat SPM-PTUP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM sebagai pertanggungjawaban atas TUP yang membebani DIPA.
     
     
     
     
     
     
    BAB II
    PENDEKATAN PENYUSUNAN RKA

    Bagian Kesatu
    Pedoman Pendekatan Penyusunan RKA, Klasifikasi Anggaran, Bagian Anggaran, Satker, dan Struktur Anggaran
     

    Pasal 2

    (1)
    Penyusunan RKA harus menggunakan pendekatan:
     
    a.
    kerangka pengeluaran jangka menengah;
     
    b.
    penganggaran terpadu; dan
     
    c.
    penganggaran berbasis Kinerja.
    (2)
    RKA disusun secara sistematis dan dirinci menurut klasifikasi anggaran.
    (3)
    Penyusunan RKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menggunakan instrumen:
     
    a.
    indikator Kinerja;
     
    b.
    Standar Biaya; dan
     
    c.
    evaluasi Kinerja.
    (4)
    Dalam hal RKA-BUN disusun berdasarkan kebutuhan dan karakteristik BA BUN, penyusunan RKA-BUN dapat menggunakan pendekatan dan instrumen yang dikecualikan dari pendekatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan instrumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
     
     
     
     
     
     

    Pasal 3

    (1)
    Klasifikasi anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), merupakan pengelompokkan anggaran Belanja Negara untuk penyusunan dan penyajian informasi APBN yang meliputi:
     
    a.
    Klasifikasi Organisasi;
     
    b.
    Klasifikasi Fungsi; dan
     
    c.
    Klasifikasi Jenis Belanja.
    (2)
    Selain klasifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyusunan RKA-BUN dapat menggunakan Klasifikasi Pembiayaan.
    (3)
    Klasifikasi Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
     
    a.
    pembiayaan utang;
     
    b.
    pembiayaan investasi;
     
    c.
    Pemberian Pinjaman;
     
    d.
    kewajiban penjaminan; dan/atau
     
    e.
    pembiayaan lainnya.
    (4)
    Kodefikasi segmen akun untuk Klasifikasi Pembiayaan menggunakan kodefikasi segmen akun yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai bagan akun standar.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 4

    (1)
    Menteri/Pimpinan Lembaga selaku PA dan Menteri Keuangan selaku PA BUN menyusun RKA atas Bagian Anggaran yang dikuasainya.
    (2)
    Dalam rangka penyusunan RKA-BUN, Menteri Keuangan selaku PA BUN menetapkan unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan selaku PPA BUN.
    (3)
    Penyusunan RKA berdasarkan Klasifikasi Organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, dilakukan secara hierarki berdasarkan pengelompokkan struktur pengelolaan anggaran menurut Bagian Anggaran dan Satker.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 5

    (1)
    Bagian Anggaran diberikan kepada:
     
    a.
    Kementerian yang dibentuk berdasarkan amanat Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, atau Peraturan Presiden; dan
     
    b.
    Lembaga yang dibentuk berdasarkan amanat Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, atau Peraturan Presiden, yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
     
     
    1.
    Pimpinan Lembaga bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden;
     
     
    2.
    memiliki entitas/unit yang melaksanakan fungsi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pelaporan, dan akuntansi dalam struktur organisasi yang ditetapkan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi;
     
     
    3.
    bukan lembaga ad hoc;
     
     
    4.
    Pimpinan Lembaga/Sekretaris Lembaga telah ditetapkan sebagai PA yang mendapat kuasa dari Presiden untuk mengelola keuangan negara dari Lembaga yang dipimpinnya, minimal selama 2 (dua) tahun; dan
     
     
    5.
    mendapatkan rekomendasi persetujuan dari Direktorat Anggaran Bidang.
    (2)
    Rekomendasi persetujuan dari Direktorat Anggaran Bidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 5, diberikan berdasarkan analisis atas:
     
    a.
    pemenuhan ketentuan sebagaimana diatur pada ayat (1) huruf b angka 1 sampai dengan angka 4;
     
    b.
    efisiensi alokasi anggaran yang dikelola;
     
    c.
    capaian Kinerja anggaran unit organisasi dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terakhir memiliki nilai sangat baik; dan
     
    d.
    rancangan informasi Kinerja yang diusulkan.
    (3)
    Berdasarkan hasil analisis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Anggaran Bidang atas nama Direktur Jenderal Anggaran menyampaikan persetujuan/penolakan atas usulan permohonan Bagian Anggaran kepada Lembaga yang mengajukan permohonan Bagian Anggaran.
    (4)
    Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b belum terpenuhi, maka Lembaga yang mengajukan permohonan Bagian Anggaran dapat menjadi Satker pada Kementerian yang relevan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 6

    (1)
    Satker melaksanakan Kegiatan Kementerian/Lembaga dan memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran.
    (2)
    Satker sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
     
    a.
    merupakan bagian dari struktur organisasi Kementerian/Lembaga yang ditetapkan melalui surat keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi terkait kelembagaan;
     
    b.
    diberikan penugasan dan tanggung jawab untuk mengelola Kegiatan dan alokasi Kegiatan;
     
    c.
    memiliki unit yang melaksanakan fungsi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pelaporan, dan akuntansi, yang ditetapkan dalam struktur organisasi dan tata kerja; dan
     
    d.
    memenuhi ketentuan karakteristik dan lokasi Satker sebagai berikut:
     
     
    1.
    lokasi Satker yang bersangkutan berada pada provinsi/kabupaten/kota yang berbeda dengan unit eselon I/setara dalam hal karakteristik tugas/kegiatan yang ditangani bersifat sama dengan unit eselon I/setara; atau
     
     
    2.
    lokasi Satker yang bersangkutan dapat berada pada provinsi/kabupaten/kota yang sama dengan unit eselon I/setara dalam hal karakteristik tugas/kegiatan yang ditangani bersifat spesifik dan berbeda dengan unit eselon I/setara.
    (3)
    Pembentukan Satker baru dapat diusulkan dengan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
    (4)
    Dalam hal Satker baru yang diusulkan merupakan Satker dengan jenis/karakteristik tertentu atau mendapatkan penugasan khusus dari PA/KPA unit eselon I Satker yang bersangkutan, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
     
    a.
    memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b sampai dengan huruf d;
     
    b.
    adanya surat keputusan Menteri/Pimpinan Lembaga tentang penetapan Satker; dan
     
    c.
    mengacu pada ketentuan peraturan perundang­ undangan yang terkait pengelolaan sesuai jenis/karakteristik Satker tersebut.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 7

    (1)
    Struktur RKA memuat:
     
    a.
    rincian anggaran; dan
     
    b.
    informasi Kinerja.
    (2)
    Rincian anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, paling sedikit disusun menurut:
     
    a.
    Program;
     
    b.
    Kegiatan;
     
    c.
    Keluaran; dan
     
    d.
    sumber pendanaan.
    (3)
    Informasi Kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, memuat paling sedikit:
     
    a.
    hasil;
     
    b.
    Keluaran; dan
     
    c.
    indikator Kinerja.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 8

    (1)
    Struktur RKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, dituangkan dalam format RKA yang paling sedikit memuat informasi sebagai berikut:
     
    a.
    nama unit organisasi;
     
    b.
    fungsi;
     
    c.
    informasi Kinerja yang menyajikan hasil, Keluaran, dan indikator kinerjanya meliputi:
     
     
    1.
    sasaran strategis dan indikator Kinerja sasaran strategis;
     
     
    2.
    Program beserta sasaran dan indikator Kinerja Program;
     
     
    3.
    Kegiatan beserta sasaran dan indikator Kinerja Kegiatan; dan
     
     
    4.
    Keluaran yang disertai dengan volume, harga satuan, dan jumlah biaya; dan
     
    d.
    target Kinerja dan rincian alokasi anggaran dijabarkan dalam:
     
     
    1.
    rincian alokasi pada level Program, Kegiatan, dan Keluaran;
     
     
    2.
    Prakiraan Maju 3 (tiga) tahun kedepan;
     
     
    3.
    jenis belanja;
     
     
    4.
    sumber pendanaan; dan
     
     
    5.
    rincian rencana pendapatan.
    (2)
    Keluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 4, terdiri dari KRO dan RO.
    (3)
    RO sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat lokasi kegiatan yang mencerminkan informasi lokasi dihasilkannya RO dan/atau lokasi penerima manfaat (beneficiaries) RO.
    (4)
    Lokasi kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas:
     
    a.
    lokasi wilayah administratif; dan
     
    b.
    lokasi khusus lainnya yang merujuk pada referensi rincian spesifik lokasi RO pada bidang tertentu.
     

    Pasal 9

    Fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b dirumuskan pada level Kementerian/Lembaga atau BA BUN mengacu pada Klasifikasi Fungsi sesuai dengan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga atau BA BUN.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 10

    (1)
    Program sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c angka 2 mengacu pada:
     
    a.
    daftar Program yang ditetapkan oleh Kementerian Keuangan dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional untuk penyusunan RKA­ K/L; dan
     
    b.
    Program Kementerian/Lembaga yang relevan dengan Kegiatan/Keluaran dari Satker BUN untuk penyusunan RKA-BUN.
    (2)
    Dalam hal tidak terdapat Program Kementerian/Lembaga yang relevan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, penyusunan RKA-BUN menggunakan Program tersendiri sesuai dengan fungsi Menteri Keuangan selaku BUN.
    (3)
    Program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat bersifat lintas antarsubbagian anggaran dalam BA BUN atau lintas antar BA BUN dengan BA K/L.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 11

    (1)
    Jenis belanja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf d angka 3, mengacu pada Klasifikasi Jenis Belanja sesuai dengan tujuan penggunaan jenis belanja dan transfer ke daerah yang menjadi kewenangan Kementerian/Lembaga atau BUN, yang terdiri atas:
     
    a.
    jenis belanja pada Kementerian/Lembaga berupa:
     
     
    1.
    Belanja Pegawai;
     
     
    2.
    Belanja Barang dan Jasa;
     
     
    3.
    Belanja Modal; dan
     
     
    4.
    Belanja Bantuan Sosial; dan
     
    b.
    jenis belanja pada BA BUN berupa:
     
     
    1.
    Belanja Pegawai;
     
     
    2.
    Belanja Barang dan Jasa;
     
     
    3.
    belanja pembayaran kewajiban utang;
     
     
    4.
    belanja subsidi;
     
     
    5.
    belanja hibah;
     
     
    6.
    Belanja Bantuan Sosial;
     
     
    7.
    belanja lain-lain; dan
     
     
    8.
    transfer ke daerah.
    (2)
    Penggunaan jenis belanja dan transfer ke daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai dengan kodefikasi segmen akun yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai bagan akun standar.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 12

    (1)
    Ketentuan mengenai:
     
    a.
    daftar nomenklatur dan kode BA K/L dan PPA BUN;
     
    b.
    Klasifikasi Organisasi, Klasifikasi Fungsi, dan Klasifikasi Jenis Belanja; dan
     
    c.
    SBM, SBK, dan SSB,
     
    tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
    (2)
    Perubahan atas nomenklatur dan/atau penambahan kode BA K/L dan/atau PPA BUN berdasarkan Klasifikasi Organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Anggaran.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 13

    (1)
    RKA-K/L disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam tata cara penyusunan RKA-K/L dalam Lampiran II dan RKA-BUN disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam tata cara penyusunan RKA-BUN dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
    (2)
    Penyusunan RKA-K/L dan RKA-BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Sistem Informasi.
    (3)
    Dalam hal terdapat perubahan format RKA-K/L atau RKA-BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perubahan format RKA-K/L dan/atau RKA-BUN ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Anggaran atas nama Menteri Keuangan.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Kaidah Penganggaran dalam Penyusunan RKA

    Paragraf 1
    Umum
     

    Pasal 14

    Penyusunan RKA memperhatikan kaidah penganggaran yang meliputi:
    a.
    prinsip Belanja Berkualitas;
    b.
    pemenuhan alokasi dasar;
    c.
    pembatasan alokasi untuk belanja tertentu;
    d.
    pengalokasian anggaran untuk kegiatan yang didanai dari sumber dana tertentu;
    e.
    penandaan anggaran (budget tagging);
    f.
    penajaman Program, Kegiatan, dan Keluaran;
    g.
    sinkronisasi antara belanja Pemerintah Pusat dan TKD;
    h.
    kebijakan penganggaran yang ditetapkan pada tahun berkenaan;
    i.
    pengalokasian anggaran yang akan diserahkan menjadi penyertaan modal negara pada Badan Usaha Milik Negara;
    j.
    pengalokasian anggaran untuk pelaksanaan:
     
    1.
    Dekonsentrasi Kepada GWPP dan Tugas Pembantuan;
     
    2.
    Bantuan Pemerintah;
     
    3.
    Belanja Bantuan Sosial;
     
    4.
    kontrak tahun jamak; dan
     
    5.
    kerjasama Pemerintah dan badan usaha melalui pembayaran ketersediaan layanan/availability payment; dan
    k.
    Standar Biaya.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Prinsip Belanja Berkualitas
     

    Pasal 15

    (1)
    Prinsip Belanja Berkualitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a, meliputi:
     
    a.
    efisiensi;
     
    b.
    efektivitas;
     
    c.
    prioritas;
     
    d.
    transparansi; dan
     
    e.
    akuntabilitas.
    (2)
    Prinsip efisiensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan dengan memastikan pengalokasian anggaran untuk menghasilkan Keluaran yang direncanakan dengan mengacu pada ketentuan terkait Standar Biaya.
    (3)
    Prinsip efektivitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilakukan dengan memperhatikan ketepatan dan relevansi antara Keluaran yang dihasilkan dengan sasaran Program dan sasaran strategis.
    (4)
    Prinsip prioritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
    (5)
    Prinsip transparansi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, dilakukan dengan menyediakan informasi yang dibutuhkan dalam proses penyusunan anggaran kepada pihak yang terkait sesuai dengan kewenangannya dan menyediakan ringkasan informasi bagi publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (6)
    Prinsip akuntabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, dilakukan dengan memastikan alokasi anggaran yang dituangkan dalam RKA memenuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai kewenangannya.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Pemenuhan Alokasi Dasar dan Pembatasan Alokasi untuk Belanja Tertentu
     

    Pasal 16

    (1)
    Pemenuhan alokasi dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b, paling sedikit untuk:
     
    a.
    kebutuhan anggaran untuk biaya operasional Satker yang mendasar, yaitu:
     
     
    1.
    pembayaran gaji dan tunjangan;
     
     
    2.
    operasional dan pemeliharaan kantor; dan
     
     
    3.
    operasional dan pemeliharaan sarana dan prasarana teknologi informasi dan komunikasi;
     
    b.
    penyediaan dana untuk pelaksanaan pelayanan publik;
     
    c.
    kebutuhan dana pendamping untuk kegiatan yang anggarannya bersumber dari pinjaman dan/atau Hibah;
     
    d.
    kebutuhan anggaran untuk Kegiatan atau Keluaran berlanjut, penyelesaian pekerjaan tahun sebelumnya, dan penyelesaian kewajiban kepada pihak ketiga;
     
    e.
    penyediaan dana untuk penyelesaian Tunggakan; dan/atau
     
    f.
    penyediaan dana untuk program prioritas nasional/kegiatan prioritas/proyek prioritas/major project.
    (2)
    Penyediaan dana untuk penyelesaian Tunggakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    untuk jumlah Tunggakan per tagihan dengan nilai sampai dengan Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), harus dilampiri surat pernyataan dari KPA;
     
    b.
    untuk jumlah Tunggakan per tagihan di atas Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) sampai dengan Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah), harus dilampiri hasil reviu dari APIP K/L; dan/atau
     
    c.
    untuk jumlah Tunggakan per tagihan di atas Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah), harus dilampiri hasil audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
    (3)
    Dalam hal Tunggakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sudah dilakukan audit oleh pihak pemeriksa yang berwenang, hasil audit dari pihak pemeriksa yang berwenang tersebut digunakan sebagai dokumen pendukung pengganti surat pernyataan dari KPA atau pengganti hasil reviu dari APIP K/L atau audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 17

    (1)
    Pembatasan alokasi untuk belanja tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf c, paling sedikit untuk:
     
    a.
    pembatasan proporsi pagu akun tertentu dan proporsi komponen utama/pendukung sesuai kebijakan Menteri Keuangan; dan/atau
     
    b.
    pembatasan kegiatan tertentu, antara lain:
     
     
    1.
    penyelenggaraan rapat, seminar, lokakarya, dan sejenisnya yang dilaksanakan di luar kantor;
     
     
    2.
    pembangunan gedung baru yang sifatnya tidak langsung menunjang pelaksanaan tugas dan fungsi Satker;
     
     
    3.
    pengadaan kendaraan bermotor;
     
     
    4.
    penggunaan produk impor; atau
     
     
    5.
    asuransi barang milik negara tertentu.
    (2)
    Penyelenggaraan rapat, seminar, lokakarya, dan sejenisnya yang dilaksanakan di luar kantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 1, dibatasi kecuali untuk hal-hal yang sangat penting dan pelaksanaannya dilakukan secara sederhana.
    (3)
    Pembangunan gedung baru yang sifatnya tidak langsung menunjang pelaksanaan tugas dan fungsi Satker sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 2, dibatasi kecuali untuk gedung yang bersifat pelayanan umum khususnya dalam bidang pendidikan, kesehatan, penegakan hukum, dan gedung/bangunan khusus dalam bidang ilmu pengetahuan, serta penanggulangan narkotika.
    (4)
    Pengadaan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 3 dibatasi, kecuali untuk:
     
    a.
    kendaraan fungsional antara lain ambulans untuk rumah sakit, kendaraan tahanan, atau kendaraan roda dua untuk petugas lapangan;
     
    b.
    kendaraan untuk Satker baru yang sudah ada ketetapan/persetujuan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dan/atau peraturan perundang-undangan pembentukan Satker baru;
     
    c.
    penggantian kendaraan dinas yang secara teknis tidak dapat dimanfaatkan lagi atau yang memerlukan biaya pemeliharaan yang tinggi; atau
     
    d.
    kendaraan untuk keperluan antar jemput pegawai.
    (5)
    Penggunaan produk impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 4 dibatasi dengan mengoptimalkan penggunaan produk dalam negeri.
    (6)
    Asuransi barang milik negara tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 5, diprioritaskan untuk barang milik negara di daerah rawan bencana, dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara, yang pelaksanaannya mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai pengasuransian barang milik negara.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Pengalokasian Anggaran untuk Kegiatan yang Didanai dari Sumber Dana Tertentu
     

    Pasal 18

    Pengalokasian anggaran untuk kegiatan yang didanai dari sumber dana tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf d, merupakan pengalokasian anggaran yang bersumber dari:
    a.
    PLN;
    b.
    PDN;
    c.
    Hibah;
    d.
    SBSN; atau
    e.
    PNBP.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 19

    (1)
    Pengalokasian anggaran untuk kegiatan/proyek yang bersumber dari PLN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a, mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pengadaan pinjaman luar negeri dan penerimaan hibah.
    (2)
    Kegiatan/proyek yang bersumber dari PLN dilakukan berdasarkan perjanjian PLN yang:
     
    a.
    telah ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dengan lender (on-going);
     
    b.
    direncanakan akan dinegosiasikan pada tahun berjalan; atau
     
    c.
    belum ditandatangani dan/atau belum dapat dipastikan akan ditandatangani sebelum tahun berjalan yang direncanakan dimulai (pipe line), dalam rangka penanggulangan bencana alam.
    (3)
    Dalam rangka pengalokasian anggaran untuk kegiatan/proyek yang bersumber dari PLN, Kementerian/Lembaga mengalokasikan RMP dan local cost sesuai ketentuan yang termuat dalam naskah perjanjian PLN, minutes of negotiation, atau dokumen perencanaan pinjaman lainnya.
    (4)
    Pengalokasian anggaran untuk kegiatan/proyek yang bersumber dari PLN dan pengalokasian RMP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengikuti ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    mencantumkan akun belanja atas transaksi berdasarkan naskah perjanjian PLN sesuai dengan kategori pembiayaan yang diperbolehkan oleh lender;
     
    b.
    mencantumkan kode kantor bayar sebagai berikut:
     
     
    1.
    kode KPPN Khusus Pinjaman dan Hibah (140) untuk transaksi PLN dalam valuta asing dan tata cara penarikannya menggunakan mekanisme pembayaran langsung (direct payment) dan letter of credit; dan/atau
     
     
    2.
    kode KPPN sesuai dengan lokasi kegiatan dimana proyek yang bersumber dari PLN dilaksanakan dan tata cara penarikannya menggunakan mekanisme rekening khusus;
     
    c.
    mencantumkan sumber dana sesuai dengan naskah perjanjian PLN;
     
    d.
    mencantumkan tata cara penarikan PLN sesuai dengan naskah perjanjian PLN atau dokumen lain yang telah disetujui oleh lender;
     
    e.
    mencantumkan kode register PLN yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko;
     
    f.
    mencantumkan persentase/porsi pembiayaan yang dibiayai oleh lender sesuai dengan naskah perjanjian PLN atau dokumen lain yang telah disetujui oleh lender; dan
     
    g.
    mencantumkan cara menghitung besaran porsi PLN yang dibiayai oleh lender dengan mengacu pada buku petunjuk pengadaan barang jasa (procurement guidelines) masing-masing lender dan ketentuan perpajakan dan bea masuk yang berlaku.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 20

    (1)
    Pengalokasian anggaran untuk kegiatan/proyek yang bersumber dari PDN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf b, mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pengadaan dan penerusan pinjaman dalam negeri oleh pemerintah.
    (2)
    Pengalokasian anggaran yang bersumber dari PDN mengikuti ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    Kementerian/Lembaga menyusun rencana kegiatan yang bersumber dari PDN dengan berpedoman pada daftar prioritas kegiatan yang bersumber dari PDN;
     
    b.
    mencantumkan sumber dana sesuai dengan naskah perjanjian PDN;
     
    c.
    mencantumkan kode register PDN yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko; dan
     
    d.
    melampirkan naskah perjanjian PDN yang disusun mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara penarikan pinjaman dalam negeri.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 21

    (1)
    Pengalokasian anggaran untuk kegiatan/proyek yang bersumber dari Hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf c, mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai hibah.
    (2)
    Pengalokasian anggaran untuk kegiatan/proyek yang bersumber dari Hibah digunakan untuk mendukung:
     
    a.
    program pembangunan nasional; dan/atau
     
    b.
    program lain yang tercantum dalam daftar rencana kegiatan Hibah.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 22

    (1)
    Pengalokasian anggaran untuk kegiatan/proyek yang bersumber dari SBSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf d, mengacu pada daftar prioritas proyek yang bersumber dari SBSN yang ditetapkan oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
    (2)
    Pengalokasian anggaran yang bersumber dari SBSN mengikuti ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    mencantumkan sumber dana SBSN; dan
     
    b.
    mencantumkan kode register SBSN yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 23

    (1)
    Pengalokasian anggaran untuk Kegiatan yang bersumber dari PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf e, berasal dari:
     
    a.
    PNBP Kementerian/Lembaga;
     
    b.
    PNBP BUN yang berasal dari pelaksanaan kewenangan Menteri Keuangan selaku BUN; atau
     
    c.
    PNBP Satker BLU.
    (2)
    Pengalokasian anggaran untuk Kegiatan yang bersumber dari PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengacu pada:
     
    a.
    ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan PNBP; dan
     
    b.
    surat Menteri Keuangan mengenai persetujuan penggunaan sebagian dana yang berasal dari PNBP.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 24

    (1)
    Pengalokasian anggaran yang bersumber dari PNBP Satker BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    mengacu pada ketentuan peraturan perundang­ undangan mengenai pengelolaan keuangan BLU;
     
    b.
    penyusunan informasi Kinerja Satker BLU mengikuti ketentuan penyusunan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8;
     
    c.
    melampirkan RBA; dan
     
    d.
    mencantumkan estimasi saldo awal dan penetapan ambang batas pada kertas kerja RKA Satker BLU.
    (2)
    RBA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, disampaikan kepada Direktorat Jenderal Anggaran untuk ditelaah bersama-sama dalam penelaahan RKA.
    (3)
    Dalam penelaahan RBA sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktorat Jenderal Anggaran dapat melibatkan Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 25

    (1)
    Pengalokasian anggaran yang bersumber dari PNBP Satker BLU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c, khusus untuk Satker BLU yang mengelola dana kerjasama pembangunan internasional, dilakukan untuk pemberian hibah kepada pemerintah asing/lembaga asing.
    (2)
    Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan pada sub BA BUN Hibah.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Penandaan Anggaran (
    Budget Tagging)
     

    Pasal 26

    Penandaan anggaran (budget tagging) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf e, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
    a.
    penandaan anggaran (budget tagging) dilakukan pada level RO sesuai dengan kategori yang telah ditentukan;
    b.
    penandaan anggaran (budget tagging) dilakukan berdasarkan kesepakatan dalam pertemuan 3 (tiga) pihak (trilateral meeting) antara Kementerian/Lembaga, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, pada saat penyusunan dan penelaahan Renja K/L;
    c.
    rekap penandaan anggaran (budget tagging) yang dilakukan pada saat penyusunan dan penelaahan Renja K/L, menjadi salah satu dokumen pendukung dalam penyusunan RKA-K/L; dan
    d.
    ketepatan penandaan anggaran (budget tagging) akan dilakukan melalui penilaian kembali pada saat penyusunan dan penelaahan RKA-K/L.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Penajaman Program, Kegiatan, dan Keluaran
     

    Pasal 27

    (1)
    Penajaman Program, Kegiatan, dan Keluaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf f, dapat dilakukan oleh Menteri Keuangan setelah penyusunan Renja K/L berdasarkan kebutuhan.
    (2)
    Penajaman Program, Kegiatan, dan Keluaran dapat berupa:
     
    a.
    penguatan relevansi antara Program, Kegiatan, dan Keluaran dengan sasaran strategis dan sasaran Program;
     
    b.
    perbaikan/penyempurnaan rumusan indikator Kinerja pada level Program, Kegiatan, dan Keluaran; atau
     
    c.
    penambahan usulan Program, Kegiatan, dan/atau Keluaran baru sesuai dengan perkembangan penelaahan anggaran.
    (3)
    Ketentuan mengenai penajaman Program, Kegiatan, dan Keluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat dilakukan oleh Menteri Keuangan selaku BUN setelah penyesuaian Indikasi Kebutuhan Dana BUN berdasarkan kebutuhan.
    (4)
    Hasil penajaman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), digunakan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga sebagai acuan dalam penyusunan RKA-K/L dan digunakan oleh PPA BUN sebagai acuan dalam penyusunan RKA-BUN.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 7
    Sinkronisasi antara Belanja Pemerintah Pusat dan TKD
     

    Pasal 28

    (1)
    Sinkronisasi terhadap belanja Pemerintah Pusat dan TKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf g, dilakukan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga paling sedikit dengan TKD yang penggunaannya telah ditentukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    TKD yang penggunaannya telah ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit terhadap DAK Fisik.
    (3)
    Belanja Kementerian/Lembaga yang disinkronisasi dengan belanja TKD mencakup belanja Satker pusat/kantor pusat, Satker vertikal/kantor daerah, Satker Dekonsentrasi, Satker Tugas Pembantuan, serta belanja Bantuan Pemerintah.
    (4)
    Sinkronisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan di level Program, Kegiatan, Keluaran, dan/atau lokasi berupa wilayah administratif pemerintahan (pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, desa) dan lokasi khusus yang meliputi lokasi berdasarkan referensi spesifik pada bidang tertentu.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 29

    (1)
    Sinkronisasi belanja Kementerian/Lembaga dengan DAK Fisik dilakukan dengan memprioritaskan alokasi belanja Kementerian/Lembaga untuk mendukung pembangunan/pengadaan sarana dan prasarana layanan publik daerah di lokasi yang didanai oleh DAK Fisik.
    (2)
    Sinkronisasi belanja Kementerian/Lembaga dengan DAK Nonfisik dilakukan dengan memprioritaskan alokasi belanja Kementerian/Lembaga untuk mendukung operasionalisasi layanan publik daerah di lokasi yang didanai oleh DAK Nonfisik.
    (3)
    Dalam hal penugasan, belanja Pemerintah Pusat dapat dialokasikan untuk mendanai urusan Pemerintah Daerah untuk penuntasan target pembangunan daerah.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 30

    (1)
    Sinkronisasi belanja Kementerian/Lembaga dengan TKD lainnya yang ditentukan penggunaannya untuk bidang tertentu dilakukan di level Program.
    (2)
    Sinkronisasi belanja Kementerian/Lembaga dengan TKD lainnya yang ditentukan penggunaannya dilakukan dengan memprioritaskan alokasi belanja Kementerian/Lembaga untuk mendukung bidang­-bidang yang didanai dari TKD lainnya yang ditentukan penggunaannya.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 8
    Kebijakan Penganggaran yang Ditetapkan pada Tahun Berkenaan
     

    Pasal 31

    Kebijakan penganggaran yang ditetapkan pada tahun berkenaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf h, merupakan pokok-pokok kebijakan anggaran dan hal-hal khusus dalam penyusunan RKA tahun yang direncanakan yang tercantum dalam penetapan pagu indikatif, pagu anggaran, alokasi anggaran, dan peraturan perundang­-undangan mengenai kebijakan penganggaran tahun yang direncanakan.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 9
    Pengalokasian Anggaran yang Diserahkan Menjadi Penyertaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara
     

    Pasal 32

    (1)
    Pengalokasian anggaran yang akan diserahkan menjadi penyertaan modal negara pada Badan Usaha Milik Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf i, merupakan pengalokasian anggaran pada Kementerian/Lembaga yang akan diperhitungkan sebagai penyertaan modal negara pada Badan Usaha Milik Negara.
    (2)
    Ketentuan mengenai pengalokasian anggaran yang akan diserahkan menjadi penyertaan modal negara pada Badan Usaha Milik Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik negara.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 10
    Pengalokasian Anggaran untuk Pelaksanaan Dekonsentrasi Kepada GWPP dan Tugas Pembantuan
     

    Pasal 33

    Pengalokasian anggaran untuk pelaksanaan Dekonsentrasi Kepada GWPP dan Tugas Pembantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf j angka 1, dilaksanakan sesuai dengan:
    a.
    ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai keuangan negara;
    b.
    sinergi kebijakan fiskal nasional; dan
    c.
    sinergi pendanaan pelaksanaan Urusan Pemerintahan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 34

    (1)
    Pengalokasian anggaran untuk pelaksanaan Dekonsentrasi Kepada GWPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, merupakan alokasi anggaran yang diberikan kepada GWPP.
    (2)
    Pengalokasian anggaran Dekonsentrasi Kepada GWPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), digunakan untuk mendanai:
     
    a.
    pembinaan dan pengawasan umum dan teknis terhadap:
     
     
    1.
    penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota; dan
     
     
    2.
    Tugas Pembantuan yang dilaksanakan oleh daerah kabupaten/kota; dan
     
    b.
    pelaksanaan tugas dan wewenang GWPP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Pembinaan dan pengawasan umum dan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
    (4)
    Pengalokasian anggaran Dekonsentrasi Kepada GWPP untuk mendanai pelaksanaan urusan pembinaan dan pengawasan umum dan teknis Pemerintah Pusat terhadap Tugas Pembantuan yang dilaksanakan oleh daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a angka 2, dilakukan dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara.
    (5)
    Pelaksanaan Dekonsentrasi Kepada GWPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan:
     
    a.
    lebih efektif dan efisien dilaksanakan oleh GWPP;
     
    b.
    daerah memiliki pelaksana yang lingkup tugas dan fungsinya sama dengan Urusan Pemerintahan yang didekonsentrasikan;
     
    c.
    daerah memiliki sarana dan prasarana serta personel untuk menyelenggarakan Dekonsentrasi; dan
     
    d.
    tidak memerlukan biaya pendamping dari daerah.
    (6)
    Dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi Kepada GWPP, Menteri/Pimpinan Lembaga:
     
    a.
    memberitahukan indikasi program dan kegiatan yang akan didekonsentrasikan untuk tahun anggaran berikutnya kepada GWPP paling lambat pertengahan bulan Juni dan/atau setelah ditetapkannya pagu anggaran;
     
    b.
    melakukan koordinasi penyusunan RKA Satker sebagai bagian penyusunan RKA-K/L;
     
    c.
    menetapkan Peraturan Menteri/Pimpinan Lembaga, yang paling sedikit mengatur mengenai:
     
     
    1.
    program dan kegiatan yang akan didekonsentrasikan sebagai dasar pelimpahan bagi GWPP; dan
     
     
    2.
    mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban atas pelaksanaan program dan kegiatan yang didekonsentrasikan,
     
     
    paling lambat bulan November sebelum tahun pelaksanaan Dekonsentrasi Kepada GWPP; dan
     
    d.
    menyampaikan Peraturan Menteri/Pimpinan Lembaga sebagaimana dimaksud pada huruf c kepada daerah penerima dana Dekonsentrasi Kepada GWPP, dengan tembusan kepada Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 35

    (1)
    Pengalokasian anggaran untuk pelaksanaan Tugas Pembantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 merupakan alokasi atas penugasan sebagian Urusan Pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangannya kepada daerah provinsi dan/atau daerah kabupaten/kota berdasarkan asas Tugas Pembantuan.
    (2)
    Pelaksanaan Tugas Pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi ketentuan:
     
    a.
    lebih efektif dan efisien dilaksanakan oleh daerah provinsi dan/atau daerah kabupaten/kota;
     
    b.
    daerah memiliki perangkat daerah yang lingkup tugas dan fungsinya sama dengan Urusan Pemerintahan yang ditugaspembantuankan;
     
    c.
    daerah provinsi dan/atau daerah kabupaten/kota memiliki sarana dan prasarana serta personel untuk menyelenggarakan Tugas Pembantuan;
     
    d.
    tidak memerlukan biaya pendamping dari daerah;
     
    e.
    memperhatikan karakteristik daerah;
     
    f.
    bukan merupakan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34; dan
     
    g.
    bukan untuk Urusan Pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan daerah.
    (3)
    Dalam rangka pelaksanaan Tugas Pembantuan kepada Gubernur/Bupati/Walikota selaku kepala daerah, Menteri/Pimpinan Lembaga:
     
    a.
    memberitahukan indikasi program dan kegiatan yang akan ditugaskan untuk tahun anggaran berikutnya kepada Gubernur/Bupati/Walikota selaku kepala daerah, paling lambat pertengahan bulan Juni dan/atau setelah ditetapkannya pagu anggaran;
     
    b.
    melakukan koordinasi penyusunan RKA Satker sebagai bagian penyusunan RKA-K/L;
     
    c.
    menetapkan Peraturan Menteri/Pimpinan Lembaga, paling sedikit mengatur mengenai:
     
     
    1.
    program dan kegiatan yang akan ditugaskan sebagai dasar penugasan bagi Gubernur/Bupati/Walikota selaku kepala daerah; dan
     
     
    2.
    mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban atas pelaksanaan program dan kegiatan yang ditugaskan,
     
     
    paling lambat bulan Desember sebelum tahun pelaksanaan Tugas Pembantuan; dan
     
    d.
    menyampaikan Peraturan Menteri/Pimpinan Lembaga sebagaimana dimaksud pada huruf c kepada daerah penerima dana Tugas Pembantuan, dengan tembusan kepada Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 36

    (1)
    Barang yang dibeli atau diperoleh dari pelaksanaan Dekonsentrasi Kepada GWPP dan Tugas Pembantuan merupakan barang milik negara dan dikelola serta dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik negara.
    (2)
    Barang milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai penunjang penyelenggaraan Dekonsentrasi Kepada GWPP dan Tugas Pembantuan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 37

    Untuk mendukung pelaksanaan Dekonsentrasi Kepada GWPP dan Tugas Pembantuan, Kementerian/Lembaga harus memperhitungkan kebutuhan anggaran di dalam RKA-K/L/DIPA untuk memenuhi:
    a.
    biaya operasional dan pemeliharaan atas barang hasil pelaksanaan Dekonsentrasi Kepada GWPP dan Tugas Pembantuan yang belum dihibahkan;
    b.
    honorarium pejabat pengelola keuangan dana Dekonsentrasi Kepada GWPP dan/atau dana Tugas Pembantuan; dan
    c.
    biaya lainnya dalam rangka pencapaian target pelaksanaan kegiatan Dekonsentrasi Kepada GWPP dan/atau Tugas Pembantuan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 38

    Pengalokasian anggaran untuk pelaksanaan Dekonsentrasi Kepada GWPP dan Tugas Pembantuan tidak dapat dilakukan dalam hal pelaksanaan kegiatan sejenis pada tahun anggaran sebelumnya, organisasi perangkat daerah penerima dana dimaksud:
    a.
    tidak memenuhi target kinerja pelaksanaan kegiatan yang telah ditetapkan;
    b.
    tidak menyampaikan laporan keuangan dan barang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan;
    c.
    melakukan penyimpangan sesuai hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Inspektorat Jenderal Kementerian/Lembaga yang bersangkutan atau aparat pemeriksa fungsional lainnya; dan/atau
    d.
    tidak bersedia menerima hibah terhadap barang milik negara yang disetujui untuk diterima.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 39

    Dalam hal terdapat PNBP pada pelaksanaan dana Dekonsentrasi Kepada GWPP dan/atau dana Tugas Pembantuan, PNBP dimaksud wajib disetorkan ke rekening kas umum negara sesuai ketentuan peraturan perundang­ undangan mengenai PNBP.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 11
    Pengalokasian Anggaran untuk Pelaksanaan Bantuan Pemerintah
     

    Pasal 40

    (1)
    Pengalokasian anggaran untuk pelaksanaan Bantuan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf j angka 2, dilaksanakan dengan memenuhi syarat:
     
    a.
    sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang mengamanatkan Pemerintah memberikan bantuan;
     
    b.
    mendapat penugasan Presiden; dan/atau
     
    c.
    tercantum dalam RKP.
    (2)
    Bantuan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan dalam bentuk:
     
    a.
    uang;
     
    b.
    barang; dan/atau
     
    c.
    jasa.
    (3)
    Bantuan Pemerintah, diberikan kepada:
     
    a.
    perseorangan non-Pegawai ASN/prajurit TNI/anggota POLRI, kecuali diatur tersendiri dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
     
    b.
    kelompok masyarakat; dan/atau
     
    c.
    Lembaga pemerintah/nonpemerintah.
    (4)
    Pengalokasian anggaran untuk pelaksanaan Bantuan Pemerintah dilaksanakan sesuai dengan akun peruntukannya.
    (5)
    Pengalokasian anggaran Bantuan Pemerintah berupa barang yang akan diserahkan kepada masyarakat atau Pemerintah Daerah dan berbasis proposal, dilengkapi dengan surat pernyataan pejabat eselon I yang menyatakan bahwa alokasi tersebut telah berdasarkan proposal yang diterima.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 12
    Pengalokasian Anggaran untuk Pelaksanaan Belanja Bantuan Sosial
     

    Pasal 41

    Pengalokasian anggaran untuk pelaksanaan Belanja Bantuan Sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf j angka 3, diberikan kepada masyarakat miskin atau tidak mampu, untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan terjadinya risiko sosial, meningkatkan kemampuan ekonomi, dan/atau kesejahteraan masyarakat.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 42

    (1)
    Pengalokasian Belanja Bantuan Sosial dilakukan oleh Kementerian/Lembaga yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan mempunyai tugas dan fungsi melaksanakan program perlindungan sosial, rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, penanggulangan kemiskinan dan pelayanan dasar, dan penanggulangan bencana.
    (2)
    Besaran alokasi Belanja Bantuan Sosial ditentukan berdasarkan target/sasaran dan besaran bantuan per target/sasaran.
    (3)
    Biaya penyaluran bantuan sosial dialokasikan secara efektif dan efisien dengan mempertimbangkan:
     
    a.
    besaran alokasi Belanja Bantuan Sosial;
     
    b.
    jangka waktu penyaluran;
     
    c.
    jumlah penerima bantuan sosial; dan
     
    d.
    sebaran wilayah penerima bantuan sosial.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 43

    (1)
    Anggaran Belanja Bantuan Sosial disusun oleh Kementerian/Lembaga dengan memperhatikan:
     
    a.
    tujuan penggunaan bantuan sosial yang menjadi target Kinerja Kementerian/Lembaga;
     
    b.
    pemberi bantuan sosial;
     
    c.
    penerima bantuan sosial; dan
     
    d.
    bentuk bantuan sosial yang disalurkan.
    (2)
    Tujuan penggunaan bantuan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:
     
    a.
    perlindungan sosial, yang bertujuan untuk mencegah dan menangani risiko dari guncangan kerentanan sosial seseorang, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat agar kelangsungan hidupnya dapat dipenuhi sesuai kebutuhan dasar minimal;
     
    b.
    rehabilitasi sosial, yang bertujuan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan seseorang yang mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara waJar;
     
    c.
    jaminan sosial, yang merupakan skema yang melembaga untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak;
     
    d.
    pemberdayaan sosial, yang merupakan semua upaya yang diarahkan untuk menjadikan warga negara yang mengalami masalah sosial mempunyai daya, sehingga mampu memenuhi kebutuhan dasarnya;
     
    e.
    penanggulangan kemiskinan, yang merupakan kebijakan, program, dan kegiatan yang dilakukan terhadap orang, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat yang tidak mempunyai atau mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak dapat memenuhi kebutuhan yang layak bagi kemanusiaan; dan/atau
     
    f.
    penanggulangan bencana, yang merupakan serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
    (3)
    Pemberi bantuan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, merupakan Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1).
    (4)
    Penerima bantuan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, adalah perorangan, keluarga, kelompok, masyarakat miskin, tidak mampu, dan/atau yang mengalami keadaan yang tidak stabil sebagai akibat dari situasi krisis sosial, ekonomi, politik, bencana, dan/atau fenomena alam agar dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum.
    (5)
    Bentuk bantuan sosial yang disalurkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, terdiri atas:
     
    a.
    uang;
     
    b.
    barang; dan/atau
     
    c.
    Jasa.
    (6)
    Pemberian bantuan sosial dapat dilakukan melalui lembaga nonpemerintah di bidang pendidikan, kesehatan, keagamaan, dan bidang lain yang berperan untuk melindungi perorangan, keluarga, kelompok, masyarakat miskin, tidak mampu, dan/atau yang mengalami keadaan yang tidak stabil sebagai akibat dari situasi krisis sosial, ekonomi, politik, bencana, dan/atau fenomena alam agar dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum.
    (7)
    Belanja Bantuan Sosial yang diberikan oleh pemberi bantuan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada penerima bantuan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (4), tidak untuk:
     
    a.
    dikembalikan kepada pemberi bantuan sosial; atau
     
    b.
    diambil hasilnya oleh pemberi bantuan sosial.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 13
    Pengalokasian Anggaran untuk Pelaksanaan Kontrak Tahun Jamak
     

    Pasal 44

    (1)
    Pengalokasian anggaran untuk pelaksanaan kontrak tahun jamak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf j angka 4, dapat dilakukan untuk pekerjaan yang:
     
    a.
    penyelesaiannya lebih dari 12 (dua belas) bulan atau lebih dari 1 (satu) tahun anggaran; atau
     
    b.
    memberikan manfaat lebih apabila dikontrakkan untuk jangka waktu lebih dari 1 (satu) tahun anggaran dan paling lama 3 (tiga) tahun anggaran.
    (2)
    Pekerjaan yang penyelesaiannya lebih dari 1 (satu) tahun anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, termasuk untuk:
     
    a.
    pekerjaan yang penyelesaiannya direncanakan kurang dari 12 (dua belas) bulan, tetapi membebani lebih dari 1 (satu) tahun anggaran; atau
     
    b.
    pekerjaan yang semula direncanakan dilakukan secara tahun tunggal menjadi tahun jamak sebagai akibat dari suatu keadaan kahar sehingga kewajiban yang telah ditentukan dalam kontrak tidak dapat dipenuhi.
    (3)
    Pekerjaan yang dapat dilakukan dengan kontrak tahun jamak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
     
    a.
    pekerjaan konstruksi; dan/atau
     
    b.
    pekerjaan nonkonstruksi.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 45

    (1)
    Kontrak tahun jamak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1), dilakukan setelah mendapat persetujuan dari:
     
    a.
    Menteri/Pimpinan Lembaga/PA bersangkutan; atau
     
    b.
    Menteri Keuangan.
    (2)
    Kontrak tahun jamak yang sebagian atau seluruhnya dibiayai dengan PLN, PDN, dan/atau Hibah, dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    (3)
    Persetujuan kontrak tahun jamak oleh Menteri/Pimpinan Lembaga/PA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diberikan untuk:
     
    a.
    pekerjaan konstruksi dengan nilai sampai dengan Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah); atau
     
    b.
    pekerjaan nonkonstruksi dengan nilai sampai dengan Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
    (4)
    Persetujuan kontrak tahun jamak oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, diberikan untuk:
     
    a.
    pekerjaan konstruksi dengan nilai di atas Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah);
     
    b.
    pekerjaan nonkonstruksi dengan nilai di atas Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah); atau
     
    c.
    kontrak tahun jamak yang dibiayai dengan SBSN, termasuk untuk lanjutan kegiatan di tahun berikutnya dan rekomposisi pendanaan antar tahun.
    (5)
    Dalam hal pekerjaan yang direncanakan dengan mekanisme kontrak tahun jamak belum diajukan persetujuannya kepada Menteri/Pimpinan Lembaga/PA atau Menteri Keuangan, nilai pekerjaan tahun yang direncanakan dan rincian alokasi Prakiraan Maju sesuai perkiraan masa penyelesaian pekerjaan harus dicantumkan dalam RKA-K/L.
    (6)
    Ketentuan mengenai mekanisme persetujuan kontrak tahun jamak mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai kontrak tahun jamak.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 14
    Pengalokasian Anggaran untuk Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Melalui Pembayaran Ketersediaan Layanan/
    Availability Payment
     

    Pasal 46

    (1)
    Pengalokasian anggaran untuk pelaksanaan kerjasama Pemerintah dan badan usaha melalui pembayaran ketersediaan layanan/availability payment sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf j angka 5, hanya dapat dialokasikan untuk kegiatan/proyek pembangunan infrastruktur yang telah disepakati oleh Menteri/Pimpinan Lembaga dan Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Anggaran dan Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko berdasarkan surat konfirmasi final.
    (2)
    Pengalokasian anggaran dengan skema kerjasama Pemerintah dan badan usaha melalui pembayaran ketersediaan layanan/availability payment berupa dana pembayaran atas ketersediaan layanan dari kegiatan/proyek pembangunan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dialokasikan setelah layanan tersebut tersedia dan dijalankan.
    (3)
    Alokasi anggaran kerjasama Pemerintah dan badan usaha melalui pembayaran ketersediaan layanan/availability payment sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dituangkan dalam RKA disertai dengan Prakiraan Maju.
    (4)
    Menteri/Pimpinan Lembaga harus memastikan kesinambungan pembayaran atas ketersediaan layanan pada kegiatan/proyek kerjasama Pemerintah dan badan usaha melalui pembayaran ketersediaan layanan/availability payment tersebut dengan mengalokasikan anggaran setiap tahun selama masa penyediaan layanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Standar Biaya

    Paragraf  1
    Umum
     

    Pasal 47

    (1)
    Standar Biaya yang digunakan dalam menyusun RKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b, terdiri atas:
     
    a.
    SBM;
     
    b.
    SBK; dan
     
    c.
    SSB.
    (2)
    Dalam rangka penyusunan RKA-BUN, Standar Biaya dapat digunakan untuk kebutuhan tertentu sesuai dengan karakteristik BA BUN.
    (3)
    Standar Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah berkoordinasi dengan Kementerian/Lembaga.
    (4)
    Standar Biaya berlaku untuk seluruh penyusunan perhitungan biaya yang dananya bersumber dari:
     
    a.
    rupiah murni;
     
    b.
    PNBP;
     
    c.
    PNBP Satker BLU;
     
    d.
    SBSN; atau
     
    e.
    pinjaman/Hibah, kecuali diatur tersendiri dalam naskah perjanjian pinjaman/Hibah.
    (5)
    PA/KPA bertanggung jawab atas kesesuaian penggunaan, kebenaran formil dan materiil Standar Biaya.
    (6)
    Pengawasan atas penggunaan Standar Biaya, dilakukan oleh APIP K/L sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (7)
    Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran dan/atau Kementerian/Lembaga melaksanakan monitoring dan evaluasi penerapan Standar Biaya sesuai dengan kewenangannya.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    SBM
     

    Pasal 48

    (1)
    SBM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) huruf a, berlaku untuk:
     
    a.
    beberapa/seluruh Kementerian/Lembaga; atau
     
    b.
    1 (satu) Kementerian/Lembaga.
    (2)
    SBM yang berlaku untuk 1 (satu) Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat ditetapkan oleh Menteri Keuangan atas usulan Menteri/Pimpinan Lembaga atau pejabat yang berwenang atas nama Menteri/Pimpinan Lembaga, dengan mempertimbangkan:
     
    a.
    tuntutan peningkatan kualitas pelayanan publik tertentu;
     
    b.
    adanya kekhususan satuan biaya yang dimiliki oleh Kementerian/Lembaga;
     
    c.
    pelaksanaan kegiatan yang dilakukan di daerah terpencil, daerah perbatasan, dan pulau terluar; dan/atau
     
    d.
    penyelenggaraan kegiatan perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.
    (3)
    SBM meliputi:
     
    a.
    satuan biaya honorarium;
     
    b.
    satuan biaya fasilitas;
     
    c.
    satuan biaya perjalanan dinas;
     
    d.
    satuan biaya pemeliharaan;
     
    e.
    satuan biaya barang dan jasa; dan
     
    f.
    satuan biaya bantuan.
    (4)
    Penggunaan SBM bersifat:
     
    a.
    batas tertinggi; atau
     
    b.
    dapat dilampaui.
    (5)
    Sifat batas tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, merupakan besaran biaya yang tidak dapat dilampaui.
    (6)
    Sifat dapat dilampaui sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, dapat dilakukan dalam pelaksanaan anggaran dengan mempertimbangkan:
     
    a.
    harga pasar; dan
     
    b.
    prinsip ekonomis, efisien, dan efektif.
    (7)
    SBM disusun dengan menggunakan pendekatan:
     
    a.
    evaluasi pekerjaan dengan faktor pom (job evaluation point factor);
     
    b.
    biaya penggantian (replacement cost);
     
    c.
    pembandingan (benchmarking);
     
    d.
    penghitungan lembur (overtime payment);
     
    e.
    survei; dan/atau
     
    f.
    pendekatan lainnya sesuai kebutuhan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 49

    (1)
    Satuan biaya selain yang diatur dalam SBM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1), dapat menggunakan:
     
    a.
    harga pasar; dan
     
    b.
    satuan harga yang ditetapkan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga/instansi teknis yang berwenang.
    (2)
    Penggunaan satuan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikecualikan terhadap satuan biaya yang menambah penghasilan dan/atau fasilitas bagi pejabat negara, prajurit TNI/anggota POLRI, ASN dan Non-ASN yang dipekerjakan untuk melaksanakan tugas rutin Kementerian/Lembaga.
    (3)
    Penggunaan satuan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menambah penghasilan dan/atau fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus mendapat persetujuan Menteri Keuangan.
    (4)
    Satuan biaya yang menambah penghasilan dan/atau fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), antara lain untuk:
     
    a.
    honorarium bagi pejabat negara, prajurit TNI/anggota POLRI, ASN atas pelaksanaan tugas tertentu yang membutuhkan upaya yang lebih besar;
     
    b.
    honorarium bagi Non-ASN yang ditugaskan atas amanat Undang-Undang/Peraturan Pemerintah/Peraturan Presiden dan yang hak keuangannya belum diatur; dan/atau
     
    c.
    fasilitas tambahan bagi pejabat negara, prajurit TNI/anggota POLRI, ASN, dan non-ASN, yang diamanatkan dalam Undang-Undang/Peraturan Pemerintah/Peraturan Presiden.
    (5)
    Honorarium bagi pejabat negara, prajurit TNI/anggota POLRI, ASN atas pelaksanaan tugas tertentu yang membutuhkan upaya yang lebih besar sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, paling lama selama 3 (tiga) tahun.
    (6)
    Dalam hal honorarium sebagaimana dimaksud pada ayat (5), telah berlaku selama 3 (tiga) tahun berturut-turut, Kementerian/Lembaga melakukan evaluasi terhadap urgensi dan efektivitas keberadaan tugas tertentu tersebut untuk dipertimbangkan menjadi tugas dan fungsi suatu unit organisasi.
    (7)
    Satuan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diusulkan Menteri/Pimpinan Lembaga atau pejabat yang berwenang atas nama Menteri/Pimpinan Lembaga kepada Menteri Keuangan.
    (8)
    Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), disertai kajian yang memuat:
     
    a.
    latar belakang;
     
    b.
    dasar hukum;
     
    c.
    relevansi satuan biaya dengan keluaran yang ingin dicapai;
     
    d.
    waktu penerapan satuan biaya;
     
    e.
    kepada siapa satuan biaya diterapkan;
     
    f.
    alasan diperlukan satuan biaya;
     
    g.
    dasar perhitungan atau justifikasi besaran satuan biaya;
     
    h.
    dampak anggaran atas penerapan satuan biaya;
     
    i.
    kesimpulan; dan
     
    j.
    data dukung.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 50

    (1)
    Dalam rangka penyusunan RBA, pemimpin Satker BLU dapat menetapkan Standar Biaya yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
     
    a.
    untuk kegiatan yang sumber dananya berasal dari PNBP Satker BLU;
     
    b.
    dapat menjadi bagian dari komponen biaya tarif layanan; dan
     
    c.
    mempertimbangkan harga pasar.
    (2)
    Penggunaan Standar Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikecualikan untuk satuan biaya berupa:
     
    a.
    satuan biaya yang menambah penghasilan dan/atau fasilitas di luar komponen remunerasi bagi dewan pengawas, pejabat pengelola, dan pegawai Satker BLU;
     
    b.
    satuan biaya yang menambah penghasilan dan/atau fasilitas bagi ASN yang melaksanakan tugas tambahan pada Satker BLU; dan
     
    c.
    satuan biaya perjalanan dinas dalam negeri dan luar negeri.
    (3)
    Penggunaan satuan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b, harus mendapat persetujuan Menteri Keuangan dengan kriteria sebagai berikut:
     
    a.
    penghasilan tambahan bagi ASN, dewan pengawas, pejabat pengelola, dan pegawai Satker BLU yang melaksanakan tugas tambahan berdasarkan amanat dari Undang-Undang/Peraturan Pemerintah/Peraturan Presiden; dan/atau
     
    b.
    fasilitas tambahan bagi ASN, dewan pengawas, pejabat pengelola, dan pegawai Satker BLU, berdasarkan amanat dari Undang-Undang/Peraturan Pemerintah/Peraturan Presiden.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    SBK
     

    Pasal 51

    (1)
    SBK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) huruf b, terdiri atas:
     
    a.
    SBKU; dan
     
    b.
    SBKK.
    (2)
    Penggunaan SBK bersifat batas tertinggi yang tidak dapat dilampaui.
    (3)
    Dalam hal Kementerian/Lembaga membutuhkan besaran biaya yang melampaui besaran SBK yang telah ditetapkan Menteri Keuangan, harus mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Anggaran.
    (4)
    Pelampauan besaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dapat disetujui dengan mempertimbangkan:
     
    a.
    harga pasar;
     
    b.
    prinsip ekonomis, efisien, dan efektif; dan/atau
     
    c.
    perubahan tahapan.
    (5)
    Pelampauan besaran yang telah mendapat persetujuan Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dapat ditindaklanjuti oleh Kementerian/Lembaga dengan melakukan Revisi Anggaran.
    (6)
    SBK disusun dengan menghitung biaya yang dibutuhkan dari seluruh tahapan dalam proses pencapaian Keluaran.
    (7)
    Keluaran yang dapat diusulkan menjadi SBK sebagaimana dimaksud pada ayat (6), merupakan Keluaran yang bersifat berulang.
    (8)
    Penyusunan SBK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memedomani SBM dan SSB.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 52

    (1)
    SBKU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a, disusun oleh Direktorat Jenderal Anggaran melalui identifikasi Keluaran sejenis pada beberapa atau seluruh Kementerian/Lembaga.
    (2)
    SBKK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b, disusun oleh Kementerian/Lembaga dan/atau Direktorat Jenderal Anggaran melalui identifikasi Keluaran pada 1 (satu) Kementerian/Lembaga.
    (3)
    SBKK yang disusun oleh Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diusulkan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga atau pejabat yang berwenang atas nama Menteri/Pimpinan Lembaga kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Anggaran.
    (4)
    Berdasarkan usulan SBKK sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran bersama Kementerian/Lembaga melakukan penelaahan atas usulan SBKK.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    SSB
     

    Pasal 53

    (1)
    SSB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) huruf c, merupakan batasan besaran atau persentase komposisi biaya, yang terdiri atas:
     
    a.
    biaya utama; dan
     
    b.
    biaya pendukung.
    (2)
    Biaya utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, merupakan biaya yang berpengaruh secara langsung terhadap Keluaran.
    (3)
    Biaya pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, merupakan biaya yang tidak berpengaruh secara langsung terhadap Keluaran.
    (4)
    SSB se bagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku untuk seluruh Kementerian/Lembaga.
     
     
     
     
     
     
    BAB III
    TATA CARA PENYUSUNAN RKA-K/L

    Bagian Kesatu
    Pra Penyusunan RKA-K/L
     

    Pasal 54

    (1)
    Berdasarkan tema, sasaran, Arah Kebijakan, dan prioritas pembangunan nasional, Kementerian/Lembaga menyusun usulan:
     
    a.
    Kegiatan dan Keluaran berlanjut; atau
     
    b.
    Keluaran baru.
    (2)
    Menteri Keuangan bersama dengan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional melakukan penilaian kelayakan atas usulan Kegiatan dan Keluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    (3)
    Tata cara pengusulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penilaian kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), menjadi bagian tidak terpisahkan dari penyusunan dan penelaahan Renja K/L dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 55

    (1)
    Kementerian/Lembaga melakukan pengguliran Prakiraan Maju tahun berkenaan sebagai penyusunan Angka Dasar tahun yang direncanakan dengan menggunakan Sistem Informasi.
    (2)
    Angka Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dimutakhirkan dengan parameter ekonomi dan non ekonomi.
    (3)
    Parameter ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terdiri atas:
     
    a.
    kurs; dan
     
    b.
    inflasi.
    (4)
    Parameter non ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terdiri atas:
     
    a.
    capaian Keluaran dan realisasi anggaran tahun sebelumnya;
     
    b.
    perubahan volume;
     
    c.
    kebijakan PNBP; dan
     
    d.
    koreksi kesalahan pencantuman volume/perhitungan alokasi.
    (5)
    Angka Dasar yang telah dimutakhirkan disampaikan oleh Kementerian/Lembaga kepada Kementerian Keuangan dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
    (6)
    Menteri Keuangan dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional bersama-sama melakukan tinjau ulang Angka Dasar yang disampaikan oleh Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
    (7)
    Hasil tinjau ulang Angka Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan hasil penilaian kelayakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2), digunakan sebagai bahan penyusunan Pagu Indikatif K/L.
    (8)
    Pagu Indikatif K/L sebagaimana dimaksud pada ayat (7), disampaikan kepada Kementerian/Lembaga melalui surat bersama Menteri Keuangan dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional tentang Pagu Indikatif K/L.
    (9)
    Pedoman tinjau ulang Angka Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 56

    (1)
    Kementerian/Lembaga menyusun rancangan Renja K/L mengacu pada Renstra K/L, rancangan awal RKP, dan Pagu Indikatif K/L sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (8).
    (2)
    Dalam hal terdapat Program lintas Kementerian/Lembaga, penyusunan rancangan Renja K/L sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh seluruh Kementerian/Lembaga yang terlibat pada Program lintas dimaksud.
    (3)
    Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Menteri Keuangan dan Menteri/Pimpinan Lembaga melakukan pertemuan 3 (tiga) pihak dalam rangka penelaahan rancangan Renja K/L.
    (4)
    Rancangan Renja K/L hasil penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), digunakan sebagai bahan penyempurnaan rancangan awal RKP dan bahan pembicaraan pendahuluan rancangan APBN.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 57

    (1)
    Bersamaan dengan penyusunan rancangan Renja K/L sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, Kementerian/Lembaga menyusun rancangan RKA-K/L secara berjenjang dari level Satker, level unit eselon I, dan level Kementerian/Lembaga.
    (2)
    Penyusunan rancangan RKA-K/L sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada level Satker dilengkapi dengan kertas kerja Satker yang memuat rincian belanja.
    (3)
    Rancangan RKA-K/L sebagaimana dimaksud pada ayat (1), digunakan sebagai referensi penyusunan RKA-K/L.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Penyusunan RKA-K/L Berdasarkan Pagu Anggaran K/L
     

    Pasal 58

    (1)
    RKA-K/L disusun berdasarkan RKP, Renja K/L, Pagu Anggaran K/L, dan Standar Biaya.
    (2)
    Penyusunan RKA-K/L sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memperhatikan rancangan RKA-K/L sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57.
    (3)
    RKA-K/L sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disusun sesuai dengan muatan dalam format RKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan rincian alokasi berdasarkan:
     
    a.
    Angka Dasar; dan
     
    b.
    Kegiatan/Keluaran baru.
    (4)
    Dalam hal terdapat perubahan Angka Dasar dan/atau usulan Kegiatan/Keluaran baru yang termuat dalam RKA-K/L sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka pengalokasian anggarannya harus dilengkapi dengan dokumen pendukung antara lain berupa kerangka acuan kerja, rincian anggaran biaya, dan dokumen terkait lainnya.
    (5)
    Penyusunan RKA-K/L sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disertai Prakiraan Maju 3 (tiga) tahun ke depan yang mengacu pada KAJM.
    (6)
    Penyusunan RKA-K/L sebagaimana dimaksud pada ayat (1), juga mempertimbangkan rencana kebutuhan barang milik negara hasil penelaahan dalam hal usulan anggaran berkaitan dengan pengadaan barang milik negara yang menjadi objek perencanaan kebutuhan barang milik negara dan/atau pemeliharaan barang milik negara sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai perencanaan kebutuhan barang milik negara dan/atau pemeliharaan barang milik negara.
    (7)
    Pedoman umum, tata cara mengenai penyusunan RKA­-K/L, dan standardisasi penggunaan KRO tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
    (8)
    Perubahan atas standardisasi penggunaan KRO sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini, dapat ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Anggaran atas nama Menteri Keuangan.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Penelitian dan Reviu RKA-K/L
     

    Pasal 59

    (1)
    Dalam rangka meningkatkan kualitas perencanaan penganggaran Kementerian/Lembaga, terhadap RKA­-K/L yang telah disusun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dilakukan penelitian dan reviu dengan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    penelitian RKA-K/L dilakukan oleh Sekretariat Jenderal/Sekretariat Utama/Sekretariat c.q. Biro Perencanaan/Unit Perencanaan Kementerian/Lembaga; dan
     
    b.
    reviu RKA-K/L dilakukan oleh APIP K/L.
    (2)
    Dalam melakukan reviu RKA-K/L sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, APIP K/L menggunakan pendekatan prinsip risiko, meliputi:
     
    a.
    area kegiatan termasuk prioritas nasional, major project, dan proyek strategis lainnya berdasarkan RPJMN dan RKP;
     
    b.
    belanja modal dengan nilai material dan berisiko tinggi berdasarkan hasil analisis risiko APIP K/L;
     
    c.
    tugas atau fungsi baru di organisasi yang bersangkutan;
     
    d.
    berpotensi dan/atau pernah menjadi temuan pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan yang dapat mempengaruhi simpulan/opini; atau
     
    e.
    rekomendasi khusus untuk dilakukan revm berdasarkan hasil penelitian RKA-K/L oleh Sekretariat Jenderal/Sekretariat Utama/Sekretariat c.q. Biro Perencanaan/Unit Perencanaan Kementerian/Lembaga.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 60

    (1)
    Penelitian RKA-K/L oleh Sekretariat Jenderal/Sekretariat Utama/Sekretariat c.q. Biro Perencanaan/Unit Perencanaan Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf a, dilakukan melalui verifikasi atas kelengkapan dan kebenaran dokumen yang dipersyaratkan serta kepatuhan dalam penerapan kaidah penganggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
    (2)
    Verifikasi dan kepatuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), difokuskan untuk meneliti:
     
    a.
    konsistensi pencantuman sasaran Kinerja dalam RKA-K/L dengan sasaran Kinerja dalam Renja K/L dan RKP;
     
    b.
    kesesuaian total pagu dalam RKA-K/L dengan Pagu Anggaran K/L;
     
    c.
    kesesuaian sumber dana dalam RKA-K/L dengan sumber dana yang ditetapkan dalam Pagu Anggaran K/L;
     
    d.
    kepatuhan dan ketepatan dalam penandaan anggaran (budget tagging) sesuai dengan kategori pada semua Keluaran yang dihasilkan; dan
     
    e.
    kelengkapan dokumen pendukung RKA-K/L antara lain RKA Satker, kerangka acuan kerja, rincian anggaran biaya, dan dokumen pendukung terkait lainnya.
    (3)
    Hasil penelitian RKA-K/L sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan kepada:
     
    a.
    unit eselon I yang memiliki alokasi anggaran dan sebagai penanggung jawab Program, untuk dilakukan perbaikan atau penyesuaian apabila diperlukan; dan
     
    b.
    APIP K/L.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 61

    (1)
    Reviu RKA-K/L oleh APIP K/L sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) huruf b, dilakukan dengan tujuan memberikan keyakinan terbatas (limited assurance) dan memastikan kepatuhan penerapan kaidah penganggaran.
    (2)
    Reviu RKA-K/L oleh APIP K/L sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
     
    a.
    kelayakan anggaran dikaitkan dengan SBM, SBK, dan SSB yang ditetapkan;
     
    b.
    kepatuhan dalam penerapan kaidah penganggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14;
     
    c.
    kepatuhan mencantumkan penandaan anggaran (budget tagging) sesuai dengan kategori pada semua Keluaran yang dihasilkan;
     
    d.
    kelengkapan dokumen pendukung RKA-K/L antara lain RKA Satker, kerangka acuan kerja, rincian anggaran biaya, dan dokumen pendukung terkait lainnya;
     
    e.
    kelayakan dan kesesuaian rincian anggaran yang digunakan untuk mendanai inisiatif baru dan/atau rincian anggaran Angka Dasar yang mengalami perubahan; dan
     
    f.
    memastikan pelaksanaan/pengalokasian tematik tertentu sesuai penugasan.
    (3)
    Hasil reviu RKA-K/L sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan kepada:
     
    a.
    unit eselon I yang memiliki alokasi anggaran dan sebagai penanggung jawab Program, untuk dilakukan perbaikan atau penyesuaian apabila diperlukan; dan
     
    b.
    Sekretariat Jenderal/Sekretariat Utama/Sekretariat c.q. Biro Perencanaan/Unit Perencanaan Kementerian/Lembaga.
     

    Pasal 62

    (1)
    Penelitian RKA-K/L oleh Sekretariat Jenderal/Sekretariat Utama/Sekretariat c.q. Biro Perencanaan/Unit Perencanaan Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, dapat dilakukan bersamaan dengan reviu RKA-K/L oleh APIP K/L sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61.
    (2)
    Sebagai tindak lanjut penelitian dan reviu RKA-K/L, Sekretariat Jenderal/Sekretariat Utama/Sekretariat c.q. Biro Perencanaan/Unit Perencanaan Kementerian/Lembaga dapat memberikan tanda "@" pada RKA-K/L yang selanjutnya akan menjadi catatan di halaman IV DIPA.
    (3)
    APIP K/L dapat berkoordinasi dengan Sekretariat Jenderal/Sekretariat Utama/Sekretariat c.q. Biro Perencanaan/Unit Perencanaan Kementerian/Lembaga dan APIP K/L lain dalam melakukan reviu RKA K/L.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 63

    Unit eselon I yang memiliki alokasi anggaran dan sebagai penanggung jawab Program, melakukan perbaikan atau penyesuaian RKA-K/L berdasarkan:
    a.
    hasil penelitian RKA-K/L oleh Sekretariat Jenderal/Sekretariat Utama/Sekretariat c.q. Biro Perencanaan/Unit Kementerian/Lembaga; dan
    b.
    hasil reviu RKA-K/L oleh APIP K/L.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 64

    RKA-K/L yang telah diperbaiki atau disesuaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63, dihimpun dan ditandatangani oleh Menteri/Pimpinan Lembaga.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 65

    (1)
    Tata cara reviu RKA-K/L oleh APIP K/L sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61, tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
    (2)
    Untuk memastikan pelaksanaan/pengalokasian tematik tertentu sesuai penugasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) huruf f, APIP K/L dapat mengembangkan tata cara reviu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Penelaahan RKA-K/L Berdasarkan Pagu Anggaran K/L
     

    Pasal 66

    Menteri/Pimpinan Lembaga menyampaikan RKA-K/L sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 kepada Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran dilengkapi dengan:
    a.
    surat pengantar RKA-K/L yang ditandatangani oleh Menteri/Pimpinan Lembaga atau pejabat yang ditunjuk;
    b.
    daftar rincian Pagu Anggaran K/L per Satker/unit eselon I;
    c.
    surat tugas penelaahan; dan
    d.
    dokumen pendukung terkait lainnya, untuk dilakukan penelaahan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 67

    (1)
    Penelaahan RKA-K/L sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 dilakukan secara terintegrasi yang dikoordinasikan oleh Kementerian Keuangan.
    (2)
    Penelaahan RKA-K/L dilakukan untuk menelaah:
     
    a.
    kesesuaian antara RKA-K/L dengan kebijakan efisiensi dan efektivitas belanja Kementerian/Lembaga;
     
    b.
    kesesuaian pencapaian sasaran RKA-K/L dengan Renja K/L dan RKP termasuk Prakiraan Maju untuk 3 (tiga) tahun ke depan;
     
    c.
    kepatuhan penandaan anggaran (budget tagging) pada level RO;
     
    d.
    kepatuhan dalam penerapan kaidah penganggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; dan
     
    e.
    alokasi anggaran yang perlu diberikan catatan khusus.
    (3)
    Penelaahan RKA-K/L sebagaimana dimaksud pada ayat (2), memperhatikan sinkronisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29 dan Pasal 30, dan dilaksanakan oleh:
     
    a.
    Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional terhadap kesesuaian pencapaian sasaran RKA-K/L dengan Renja K/L dan RKP; dan
     
    b.
    Menteri Keuangan terhadap kesesuaian RKA-K/L dengan efisiensi dan efektivitas belanja Kementerian/Lembaga.
    (4)
    Penelaahan RKA-K/L sebagaimana dimaksud pada ayat (1), difokuskan pada rincian anggaran usulan Kegiatan dan Keluaran baru.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 68

    (1)
    Dalam hal penelaahan RKA-K/L sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 membutuhkan penyesuaian, ditindaklanjuti oleh Kementerian/Lembaga, antara lain dengan:
     
    a.
    perubahan informasi Kinerja;
     
    b.
    penempatan alokasi anggaran dalam rincian output cadangan;
     
    c.
    pemblokiran anggaran; dan/atau
     
    d.
    pemberian catatan hal-hal khusus.
    (2)
    Penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan memutakhirkan RKA-K/L beserta kelengkapan data dukung dalam Sistem Informasi sebagai bahan penyusunan rancangan Undang-Undang mengenai APBN, nota keuangan, dan himpunan RKA-K/L.
    (3)
    Hasil penelaahan RKA-K/L termasuk penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dituangkan dalam catatan hasil penelaahan yang ditandatangani oleh pejabat eselon II dari Kementerian/Lembaga, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 69

    Perubahan informasi Kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf a, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
    a.
    perubahan yang berkaitan dengan rumusan Keluaran, indikator, jenis, volume, dan satuan Keluaran, dapat dilakukan dengan ketentuan:
     
    1.
    telah disepakati dalam proses penelaahan;
     
    2.
    tidak mengubah Keluaran prioritas nasional;
     
    3.
    relevan dengan Kegiatan dan indikator Kinerja Kegiatan yang ditetapkan;
     
    4.
    adanya perubahan tugas dan fungsi pada unit yang bersangkutan;
     
    5.
    menyesuaikan dengan kebijakan penganggaran yang ditetapkan pada tahun berkenaan; dan/atau
     
    6.
    adanya tambahan penugasan; dan
    b.
    perubahan yang berkaitan dengan rumusan di luar Keluaran seperti sasaran strategis, Program, sasaran Program, indikator Kinerja Program, Kegiatan, sasaran Kegiatan, dan indikator Kinerja Kegiatan, dapat dilakukan dengan ketentuan telah disepakati dalam proses penelaahan RKA-K/L dan merupakan akibat dari:
     
    1.
    adanya reorganisasi yang mengakibatkan perubahan tugas dan fungsi serta struktur organisasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
     
    2.
    perubahan yang diusulkan telah disepakati dalam trilateral meeting baik yang dilakukan bersamaan dengan penelaahan RKA-K/L atau trilateral meeting yang dilaksanakan terpisah;
     
    3.
    menyesuaikan dengan kebijakan penganggaran yang ditetapkan pada tahun berkenaan; dan/atau
     
    4.
    telah mendapat persetujuan komisi terkait di Dewan Perwakilan Rakyat.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 70

    (1)
    Penempatan alokasi anggaran dalam rincian output cadangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf b, dikompilasi pada level Program yang sama di tingkat unit eselon I.
    (2)
    Penempatan alokasi anggaran dalam rincian output cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), digunakan untuk menampung alokasi anggaran yang tidak efisien yang meliputi:
     
    a.
    alokasi anggaran untuk Kegiatan/Keluaran yang bukan merupakan tugas dan fungsi unit dan belum ada dasar hukumnya;
     
    b.
    alokasi anggaran untuk Kegiatan/Keluaran yang sama dengan satu tahun anggaran sebelumnya namun alokasi anggarannya berlebih;
     
    c.
    alokasi anggaran untuk Kegiatan/Keluaran kebijakan baru yang sejenis dengan Kegiatan/Keluaran yang sudah ada, namun alokasi anggarannya berlebih;
     
    d.
    alokasi anggaran untuk komponen/detail yang tidak berkaitan langsung dengan pencapaian Keluaran;
     
    e.
    alokasi anggaran untuk komponen/detail yang alokasinya berlebih; dan/atau
     
    f.
    alokasi anggaran yang belum jelas peruntukannya dan/atau Kegiatan yang belum pernah dianggarkan sebelumnya (unallocated).
    (3)
    Alokasi anggaran dalam rincian output cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan atas usulan pejabat eselon I Kementerian/Lembaga kepada Kementerian Keuangan melalui mekanisme revisi DIPA.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 71

    Pemblokiran anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf c, dilakukan terhadap alokasi anggaran yang:
    a.
    belum memiliki dasar hukum pengalokasiannya;
    b.
    belum memiliki naskah perjanjian PLN, PDN, atau Hibah dan nomor register;
    c.
    masih terpusat dan belum didistribusikan ke Satker-Satker daerah;
    d.
    masih memerlukan hasil reviu/audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan;
    e.
    belum mendapatkan persetujuan komisi terkait di Dewan Perwakilan Rakyat;
    f.
    menindaklanjuti kebijakan Pemerintah mengenai pemotongan anggaran terhadap alokasi anggaran atau pagu APBN/APBN Perubahan;
    g.
    belum memiliki RBA untuk Satker BLU;
    h.
    tidak dilengkapi data dan/atau dokumen pendukung terkait yang diperlukan; dan/atau
    i.
    belum memiliki rencana kebutuhan barang milik negara hasil penelaahan dalam hal usulan anggaran berkaitan dengan pengadaan barang milik negara yang menjadi objek perencanaan kebutuhan barang milik negara dan/atau pemeliharaan barang milik negara sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai perencanaan kebutuhan barang milik negara dan/atau pemeliharaan barang milik negara.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 72

    Pemberian catatan hal-hal khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf d, dilakukan terhadap:
    a.
    alokasi anggaran yang digunakan untuk pengesahan kegiatan yang dilanjutkan di tahun berikutnya;
    b.
    Tunggakan tahun yang lalu;
    c.
    pencantuman volume pembangunan gedung negara dan pengadaan kendaraan bermotor; atau
    d.
    pelaksanaan kegiatan/Keluaran dengan mekanisme kerjasama Pemerintah dan badan usaha melalui pembayaran ketersediaan layanan/availability payment pada tahun pertama oleh pihak ketiga, dan waktu mulai dialokasikannya dana dalam RKA-K/L untuk pembayaran ketersediaan jasa layanan. 
     
     
     
     
     
     

    Pasal 73

    (1)
    Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Anggaran menghimpun RKA-K/L Pagu Anggaran K/L hasil penelaahan menjadi himpunan RKA-K/L untuk selanjutnya digunakan sebagai salah satu dasar penyusunan rancangan Undang-Undang mengenai APBN beserta nota keuangan.
    (2)
    Rancangan Undang-Undang mengenai APBN, nota keuangan, dan himpunan RKA-K/L sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat paling lambat minggu kedua bulan Agustus untuk dilakukan pembahasan.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Penyesuaian, Penelitian, Reviu dan Penelaahan RKA-K/L Berdasarkan Alokasi Anggaran K/L
     

    Pasal 74

    (1)
    Berdasarkan hasil kesepakatan pembahasan rancangan Undang-Undang mengenai APBN beserta nota keuangan dengan Dewan Perwakilan Rakyat, Menteri Keuangan menyampaikan Alokasi Anggaran K/L hasil kesepakatan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga.
    (2)
    Menteri/Pimpinan Lembaga melakukan penyesuaian RKA-K/L dengan Alokasi Anggaran K/L hasil kesepakatan pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
     
     
     
     
     
     

    Pasal 75

    (1)
    Dalam hal Alokasi Anggaran K/L sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) tidak mengakibatkan perubahan RKA-K/L Pagu Anggaran K/L yang telah dibahas dan disetujui oleh pimpinan komisi terkait di Dewan Perwakilan Rakyat, Menteri/Pimpinan Lembaga menyampaikan RKA-K/L berdasarkan Alokasi Anggaran K/L tersebut kepada Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran dilengkapi dengan lembar persetujuan pimpinan komisi terkait di Dewan Perwakilan Rakyat dan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66.
    (2)
    Dalam hal Alokasi Anggaran K/L sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) mengakibatkan perubahan RKA-K/L Pagu Anggaran K/L yang telah dibahas dan disetujui oleh pimpinan komisi terkait di Dewan Perwakilan Rakyat, Menteri/Pimpinan Lembaga menyesuaikan RKA-K/L Pagu Anggaran K/L menjadi RKA-K/L Alokasi Anggaran K/L, dilengkapi dengan lembar persetujuan komisi terkait di Dewan Perwakilan Rakyat dan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66.
    (3)
    Perubahan Pagu Anggaran K/L sebagaimana dimaksud pada ayat (2), meliputi:
     
    a.
    perubahan besaran pagu Kementerian/Lembaga yang antara lain disebabkan:
     
     
    1.
    adanya tambahan alokasi anggaran untuk mendanai usulan Kegiatan dan Keluaran baru; atau
     
     
    2.
    adanya tambahan alokasi anggaran yang berasal dari hasil pembahasan dengan komisi terkait di Dewan Perwakilan Rakyat; dan/atau
     
    b.
    perubahan pagu antar Program.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 76

    (1)
    Terhadap hasil penyesuaian RKA-K/L sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dilakukan penelitian, reviu, dan penelaahan RKA-K/L Alokasi Anggaran K/L.
    (2)
    Ketentuan mengenai penelitian dan reviu RKA-K/L berdasarkan Pagu Anggaran K/L sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dan Pasal 61, berlaku mutatis mutandis terhadap penelitian dan reviu RKA-K/L berdasarkan Alokasi Anggaran K/L sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    (3)
    Penelaahan RKA-K/L Alokasi Anggaran K/L sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh:
     
    a.
    Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional terhadap ketepatan sasaran RKA-K/L hasil pembahasan Dewan Perwakilan Rakyat dengan sasaran RKP; dan
     
    b.
    Menteri Keuangan terhadap kesesuaian RKA-K/L hasil pembahasan Dewan Perwakilan Rakyat dengan kebijakan efisiensi dan efektivitas belanja negara.
    (4)
    RKA-K/L Alokasi Anggaran K/L yang telah ditelaah menjadi bahan penyusunan Daftar Hasil Penelaahan RKA-K/L.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 77

    (1)
    Daftar Hasil Penelaahan RKA-K/L Alokasi Anggaran K/L sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (4), ditetapkan oleh Direktur Anggaran Bidang selaku mitra Kementerian/Lembaga atas nama Menteri Keuangan paling lambat minggu ketiga bulan November.
    (2)
    Daftar Hasil Penelaahan RKA-K/L Alokasi Anggaran K/L sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menjadi salah satu dasar penyusunan Peraturan Presiden mengenai rincian APBN.
    (3)
    Rincian APBN termasuk di dalamnya rincian alokasi Kementerian/Lembaga tercantum dalam Peraturan Presiden mengenai rincian APBN.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    Tata Cara Penyusunan dan Pengesahan DIPA Kementerian/Lembaga
     

    Pasal 78

    (1)
    Penyusunan DIPA Kementerian/Lembaga dilaksanakan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga dengan berpedoman pada rincian APBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (3).
    (2)
    DIPA Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan hasil penelaahan RKA-K/L sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76.
    (3)
    DIPA Kementerian/Lembaga berlaku sebagai dasar pelaksanaan pengeluaran negara setelah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan selaku BUN.
    (4)
    DIPA Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku untuk masa 1 (satu) tahun anggaran.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 79

    DIPA Kementerian/Lembaga terdiri atas:
    a.
    DIPA Induk; dan
    b.
    DIPA Petikan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 80

    (1)
    DIPA Induk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 huruf a terdiri atas:
     
    a.
    lembar surat pengesahan DIPA Induk yang paling sedikit memuat:
     
     
    1.
    dasar hukum penerbitan DIPA Induk;
     
     
    2.
    identitas unit dan pagu DIPA Induk; dan
     
     
    3.
    pernyataan syarat dan ketentuan (disclaimer);
     
    b.
    halaman I memuat informasi Kinerja dan anggaran Program;
     
    c.
    halaman II memuat rincian alokasi anggaran per Satker; dan
     
    d.
    halaman III memuat rencana penarikan dana dan perkiraan penerimaan.
    (2)
    Lembar surat pengesahan DIPA Induk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilengkapi dengan:
     
    a.
    tanda tangan pejabat yang mengesahkan DIPA Induk; dan
     
    b.
    kode pengaman berupa digital stamp.
    (3)
    Halaman I, halaman II, dan halaman III DIPA Induk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d, dilengkapi dengan:
     
    a.
    tanda tangan pejabat eselon I yang merupakan penanggung jawab pelaksanaan Program dan memiliki alokasi anggaran; dan
     
    b.
    kode pengaman berupa digital stamp.
    (4)
    Pernyataan syarat dan ketentuan (disclaimer) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3, meliputi hal-hal sebagai berikut:
     
    a.
    DIPA Induk yang telah disahkan lebih lanjut dituangkan ke dalam DIPA Petikan untuk masing-masing Satker;
     
    b.
    pengesahan DIPA Induk sekaligus merupakan pengesahan DIPA Petikan;
     
    c.
    DIPA Induk tidak berfungsi sebagai dasar pelaksanaan kegiatan atau dasar pencairan dana/pengesahan bagi BUN/Kuasa BUN;
     
    d.
    rencana penarikan dana dan perkiraan penerimaan yang tercantum dalam halaman III DIPA Induk merupakan akumulasi rencana penarikan dana dan perkiraan penerimaan dari seluruh Satker;
     
    e.
    tanggung jawab terhadap kebenaran alokasi yang tertuang dalam DIPA Induk sepenuhnya berada pada PA/pejabat eselon I; dan
     
    f.
    DIPA Induk berlaku sejak tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 81

    (1)
    DIPA Petikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 huruf b, terdiri atas:
     
    a.
    lembar surat pengesahan DIPA Petikan yang paling sedikit memuat:
     
     
    1.
    dasar hukum penerbitan DIPA Petikan;
     
     
    2.
    identitas dan pagu Satker; dan
     
     
    3.
    pernyataan syarat dan ketentuan (disclaimer);
     
    b.
    halaman I memuat informasi Kinerja dan sumber dana yang terdiri atas:
     
     
    1.
    halaman IA mengenai informasi Kinerja; dan
     
     
    2.
    halaman IB mengenai sumber dana;
     
    c.
    halaman II memuat rincian pengeluaran;
     
    d.
    halaman III memuat rencana penarikan dana dan perkiraan penerimaan; dan
     
    e.
    halaman IV memuat informasi dan penjelasan terkait blokir dan catatan khusus yang terdiri atas:
     
     
    1.
    halaman IVA mengenai alokasi anggaran yang diblokir sesuai hasil penelaahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf c dan Pasal 71; dan
     
     
    2.
    halaman IVB mengenai alokasi anggaran yang diberi catatan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) huruf d dan Pasal 72.
    (2)
    Lembar surat pengesahan, halaman I, halaman II, halaman III, dan halaman IV DIPA Petikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilengkapi dengan kode pengaman berupa digital stamp.
    (3)
    Pernyataan syarat dan ketentuan (disclaimer) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3, meliputi hal-hal sebagai berikut:
     
    a.
    DIPA Petikan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari DIPA Induk;
     
    b.
    DIPA Petikan dicetak secara otomatis dengan menggunakan Sistem Informasi yang dilengkapi dengan kode pengaman berupa digital stamp sebagai pengganti tanda tangan pengesahan (otentifikasi);
     
    c.
    DIPA Petikan berfungsi sebagai dasar pelaksanaan Kegiatan Satker dan pencairan dana/pengesahan bagi BUN/Kuasa BUN;
     
    d.
    rencana penarikan dana dan perkiraan penerimaan yang tercantum dalam halaman III DIPA Petikan diisi sesuai dengan rencana pelaksanaan Kegiatan;
     
    e.
    tanggung jawab terhadap penggunaan dana yang tertuang dalam DIPA Petikan sepenuhnya berada pada PA/KPA;
     
    f.
    dalam hal terdapat perbedaan data antara DIPA Petikan dengan Sistem Informasi, maka yang berlaku adalah data yang terdapat di dalam Sistem Informasi berdasarkan bukti-bukti yang ada; dan
     
    g.
    DIPA Petikan berlaku sejak tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 82

    (1)
    Pejabat penandatangan DIPA Induk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (3) huruf a, meneliti kebenaran substansi DIPA Induk.
    (2)
    DIPA Induk yang telah diteliti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditandatangani oleh pejabat penandatangan DIPA Induk dan disampaikan kepada Direktur Jenderal Anggaran.
    (3)
    Direktur Jenderal Anggaran atas nama Menteri Keuangan mengesahkan DIPA untuk BA K/L dengan menandatangani lembar surat pengesahan DIPA Induk.
    (4)
    Berdasarkan pengesahan DIPA Induk, DIPA Petikan untuk masing-masing Satker dicetak secara otomatis dengan menggunakan Sistem Informasi yang dilengkapi dengan kode pengaman berupa digital stamp sebagai pengganti tanda pengesahan (otentifikasi).
    (5)
    Dalam rangka pelaksanaan anggaran, KPA menyusun POK berdasarkan DIPA Petikan yang diterima.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 83

    Petunjuk teknis mengenai penyusunan, penelaahan, pengesahan, dan format DIPA Kementerian/Lembaga tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 84

    Ketentuan mengenai tata cara penyusunan dan penelaahan RKA-K/L dan pengesahan untuk DIPA Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 sampai dengan Pasal 83 berlaku mutatis mutandis terhadap tata cara penyusunan dan penelaahan RKA-K/L dan pengesahan DIPA Kementerian/Lembaga berdasarkan perubahan APBN.
     
     
     
     
     
     
    BAB IV
    TATA CARA PENYUSUNAN RKA-BUN

    Bagian Kesatu
    Indikasi Kebutuhan Dana Bendahara Umum Negara
     

    Pasal 85

    (1)
    Dalam rangka penyusunan RKA-BUN, pada awal tahun anggaran, PPA BUN melakukan:
     
    a.
    evaluasi Kinerja BA BUN;
     
    b.
    penyusunan indikator Kinerja dalam penganggaran BA BUN; dan
     
    c.
    penyusunan Indikasi Kebutuhan Dana BUN.
    (2)
    Indikasi Kebutuhan Dana BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, digunakan dalam rangka perencanaan anggaran untuk pelaksanaan fungsi BUN.
    (3)
    Pelaksanaan fungsi BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas pengelolaan subbagian anggaran BUN;
     
    a.
    utang;
     
    b.
    hibah;
     
    c.
    investasi pemerintah;
     
    d.
    pemberian pinjaman;
     
    e.
    TKD;
     
    f.
    subsidi;
     
    g.
    belanja lainnya; dan
     
    h.
    transaksi khusus.
    (4)
    PA BUN dapat berkoordinasi dengan Menteri/Pimpinan Lembaga atau pihak lain terkait untuk menyusun Indikasi Kebutuhan Dana BUN untuk tahun anggaran yang direncanakan dengan berpedoman pada:
     
    a.
    Prakiraan Maju;
     
    b.
    evaluasi Kinerja BA BUN;
     
    c.
    indikator Kinerja; dan
     
    d.
    rencana strategis yang telah disusun.
    (5)
    Indikasi Kebutuhan Dana BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (4), merupakan indikasi dana untuk memenuhi program Pemerintah yang dianggarkan pada BA BUN.
    (6)
    Penyusunan Indikasi Kebutuhan Dana BUN dengan memperhatikan:
     
    a.
    Prakiraan Maju;
     
    b.
    hasil evaluasi atas Kinerja BA BUN tahun sebelumnya; dan
     
    c.
    aspek lainnya sesuai dengan karakteristik masing-masing BA BUN.
    (7)
    Indikasi Kebutuhan Dana BUN yang telah disusun sebagaimana dimaksud pada ayat (6), disampaikan oleh PPA BUN kepada Direktorat Jenderal Anggaran sebagai bahan penyusunan resource envelope dan Pagu Indikatif BUN.
    (8)
    Dalam hal terdapat Program atau Kegiatan yang belum pernah dilaksanakan pada tahun anggaran sebelumnya, Indikasi Kebutuhan Dana BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, disusun dengan memperhatikan kebijakan Pemerintah dan/atau arahan Presiden/Wakil Presiden.
    (9)
    Direktorat Jenderal Anggaran menghimpun dan menilai Indikasi Kebutuhan Dana BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (7) berdasarkan kapasitas fiskal.
    (10)
    Indikasi Kebutuhan Dana BUN yang telah dihimpun dan dinilai sebagaimana dimaksud pada ayat (9), disampaikan kepada Menteri Keuangan sebagai dasar untuk menetapkan Pagu Indikatif BUN dalam bentuk surat penetapan paling lambat minggu terakhir bulan Maret.
    (11)
    Menteri Keuangan menetapkan Pagu Indikatif BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (10), berdasarkan:
     
    a.
    arahan Presiden;
     
    b.
    hasil tinjau ulang Angka Dasar;
     
    c.
    Indikasi Kebutuhan Dana BUN yang sudah disusun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c; dan/atau
     
    d.
    kapasitas fiskal dengan memperhatikan rancangan awal RKP.
    (12)
    Berdasarkan Pagu Indikatif BUN yang ditetapkan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (11), PPA BUN melakukan penyesuaian Indikasi Kebutuhan Dana BUN dan disampaikan kepada Direktorat Jenderal Anggaran untuk diteliti sesuai Pagu Indikatif BUN.
    (13)
    Indikasi Kebutuhan Dana BUN yang telah diteliti sebagaimana dimaksud pada ayat (12), dihimpun oleh Direktorat Jenderal Anggaran dan disampaikan kepada Menteri Keuangan untuk digunakan sebagai salah satu pedoman dalam penetapan Pagu Anggaran BUN.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Penyusunan RKA-BUN Berdasarkan Pagu Anggaran BUN
     

    Pasal 86

    (1)
    Menteri Keuangan menetapkan Pagu Anggaran BUN dengan berpedoman pada:
     
    a.
    arahan Presiden;
     
    b.
    hasil pembicaraan pendahuluan mengenai rancangan APBN antara Pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat; dan
     
    c.
    RKP,
     
    melalui surat Menteri Keuangan.
    (2)
    Penetapan Pagu Anggaran BUN oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus juga memperhatikan hasil sidang kabinet dan Pagu Indikatif BUN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (10).
    (3)
    Surat Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan oleh Direktorat Jenderal Anggaran kepada masing-masing PPA BUN paling lambat akhir bulan Juni.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 87

    (1)
    Berdasarkan penetapan Pagu Anggaran BUN, PPA BUN menyusun rincian Pagu Anggaran BUN untuk masing-masing KPA BUN yang berada dibawahnya.
    (2)
    Berdasarkan rincian Pagu Anggaran BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPA BUN menyusun RKA Satker BUN, sesuai dengan pedoman umum perencanaan, penelaahan, dan penetapan alokasi anggaran BA BUN dan tata cara penyusunan RKA-BUN, dengan dilengkapi dokumen pendukung.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Reviu RKA Satker BUN
     

    Pasal 88

    (1)
    Untuk meningkatkan kualitas RKA-BUN, Menteri Keuangan selaku BUN menugaskan APIP K/L dari Kementerian/Lembaga yang memperoleh penugasan selaku KPA BUN untuk melakukan reviu RKA Satker BUN.
    (2)
    Reviu RKA Satker BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    RKA Satker BUN yang telah ditandatangani oleh KPA BUN disampaikan kepada APIP K/L untuk direviu dengan dilampiri dokumen pendukung sebagai berikut:
     
     
    1.
    kerangka acuan kerja; dan
     
     
    2.
    dokumen pendukung lainnya yang relevan dan dapat dipertanggungjawabkan;
     
    b.
    reviu RKA Satker BUN oleh APIP K/L sebagaimana dimaksud pada huruf a, dilakukan melalui verifikasi atas kelengkapan dan kesesuaian RKA Satker BUN dengan dokumen pendukung;
     
    c.
    pelaksanaan reviu RKA Satker BUN mengacu pada pedoman mengenai reviu RKA Satker BUN oleh APIP K/L;
     
    d.
    dalam hal diperlukan perbaikan RKA Satker BUN berdasarkan hasil reviu sebagaimana dimaksud pada huruf a, RKA Satker BUN disampaikan kembali oleh APIP K/L kepada KPA BUN untuk dilakukan penyesuaian;
     
    e.
    untuk pelaksanaan reviu RKA Satker BUN sebagaimana dimaksud pada huruf b, APIP K/L dapat melakukan koordinasi dengan APIP K/L lainnya; dan
     
    f.
    APIP K/L dapat mengembangkan langkah-langkah reviu dalam pedoman reviu RKA Satker BUN sebagaimana dimaksud pada huruf c sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan masing-masing BA BUN.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Penyusunan RKA-BUN
     

    Pasal 89

    (1)
    KPA BUN menyampaikan RKA Satker BUN yang telah direviu oleh APIP K/L sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (2) beserta dokumen pendukung kepada PPA BUN untuk diteliti dan digunakan sebagai dasar penyusunan RKA-BUN. 
    (2)
    Penyusunan RKA-BUN dengan menggunakan pendekatan kerangka pengeluaran jangka menengah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a mengikuti ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    mengacu pada KAJM;
     
    b.
    dilakukan terhadap Program dan Kegiatan BA BUN yang terprogram dan/atau terukur sesuai karakteristik masing-masing BA BUN; dan
     
    c.
    tidak dilakukan terhadap dana cadangan.
    (3)
    RKA-BUN disusun sesuai dengan pedoman umum perencanaan, penelaahan dan penetapan alokasi anggaran BA BUN dan tata cara penyusunan RKA-BUN dengan dilengkapi dokumen pendukung.
    (4)
    RKA-BUN ditandatangani oleh masing-masing Pemimpin PPA BUN yang bertanggung jawab atas BA BUN yang dikelolanya, termasuk untuk sub BA BUN yang memiliki lebih dari 1 (satu) PPA BUN.
    (5)
    Dalam hal KPA BUN belum menyampaikan RKA Satker BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai batas waktu yang ditetapkan, PPA BUN dapat menyusun RKA-BUN berdasarkan Pagu Anggaran BUN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1).
     
     
     
     
     
     

    Pasal 90

    RKA-BUN TKD disusun sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai pengelolaan TKD.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 91

    RKA-BUN Transaksi Khusus disusun oleh masing-masing PPA BUN Transaksi Khusus sesuai dengan jenis transaksi khusus yang dikelolanya.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 92

    RKA-BUN untuk alokasi BA BUN terkait dana cadangan dan penyertaan modal negara dapat disusun setelah nota keuangan disampaikan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan/atau setelah Undang-Undang mengenai APBN tahun anggaran berkenaan ditetapkan.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Penelaahan RKA-BUN
     

    Pasal 93

    (1)
    RKA-BUN yang telah ditandatangani oleh masing-masing Pemimpin PPA BUN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (4) disampaikan oleh PPA BUN kepada Direktorat Jenderal Anggaran untuk ditelaah bersama PPA BUN.
    (2)
    RKA-BUN hasil penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihimpun oleh Direktorat Jenderal Anggaran dan disampaikan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Anggaran untuk digunakan sebagai bahan penyusunan nota keuangan dan rancangan Undang-Undang mengenai APBN.
    (3)
    Penelaahan RKA-BUN mengacu pada pedoman mengenai tata cara penelaahan RKA-BUN.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 94

    (1)
    Menteri Keuangan dapat memutakhirkan penetapan Pagu Anggaran BUN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1) dalam hal terdapat perubahan berdasarkan:
     
    a.
    Arah Kebijakan yang ditetapkan oleh Presiden;
     
    b.
    prioritas anggaran;
     
    c.
    hasil sidang kabinet; dan/atau
     
    d.
    hasil rapat kerja pembahasan antara Pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
    (2)
    Direktorat Jenderal Anggaran menyampaikan pemutakhiran penetapan Pagu Anggaran BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada masing-masing PPA BUN.
    (3)
    Dalam hal pemutakhiran penetapan Pagu Anggaran BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan perubahan RKA-BUN, PPA BUN menyampaikan Pagu Anggaran BUN yang telah dimutakhirkan kepada masing-masing KPA BUN untuk dilakukan penyesuaian RKA Satker BUN.
    (4)
    KPA BUN menyampaikan hasil penyesuaian RKA Satker BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada PPA BUN untuk diteliti dan dihimpun menjadi RKA-BUN.
    (5)
    Masing-masing Pemimpin PPA BUN menandatangani RKA-BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang dikelolanya dan menyampaikan kepada Direktorat Jenderal Anggaran untuk ditelaah.
    (6)
    Hasil penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dihimpun oleh Direktorat Jenderal Anggaran selaku Mitra PPA BUN dan disampaikan kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Anggaran.
    (7)
    Dalam hal pemutakhiran Pagu Anggaran BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengakibatkan perubahan RKA-BUN, Direktorat Jenderal Anggaran tetap menggunakan RKA-BUN berdasarkan hasil penelaahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1).
    (8)
    Hasil penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan RKA-BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (7), digunakan oleh Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Anggaran sebagai bahan rapat kerja pembahasan rancangan Undang-Undang mengenai APBN.
    (9)
    RKA Satker BUN yang telah disesuaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan dokumen pendukungnya, disampaikan oleh KPA BUN kepada APIP K/L untuk direviu bersamaan dengan reviu RKA Satker BUN berdasarkan Alokasi Anggaran BUN.
    (10)
    Ketentuan mengenai tata cara penyusunan RKA-BUN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (3) berlaku mutatis mutandis dalam penyusunan RKA-BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4).
    (11)
    Ketentuan mengenai tata cara penelaahan RKA-BUN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) berlaku mutatis mutandis dalam penelaahan RKA-BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
    (12)
    Ketentuan mengenai pedoman reviu RKA Satker BUN oleh APIP K/L sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (2) huruf c dan huruf f berlaku mutatis mutandis dalam reviu RKA-BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (9).
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    Penyesuaian RKA-BUN Berdasarkan Alokasi Anggaran BUN
     

    Pasal 95

    (1)
    Berdasarkan hasil rapat kerja pembahasan rancangan Undang-Undang mengenai APBN antara Pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat, Menteri Keuangan menetapkan Alokasi Anggaran BUN paling lambat akhir bulan November.
    (2)
    Direktorat Jenderal Anggaran menyampaikan penetapan Alokasi Anggaran BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada masing-masing PPA BUN.
    (3)
    Dalam hal Alokasi Anggaran BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan perubahan RKA-BUN, PPA BUN menyampaikan RKA Satker BUN kepada masing-masing KPA BUN untuk disesuaikan.
    (4)
    Dalam hal penyesuaian RKA Satker BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan untuk mendanai Kegiatan/Keluaran baru termasuk tambahan anggaran BA BUN yang berasal dari hasil pembahasan dengan komisi terkait di Dewan Perwakilan Rakyat, RKA Satker BUN dilengkapi dengan dokumen pendukung.
    (5)
    RKA Satker BUN yang telah disesuaikan disampaikan oleh KPA BUN kepada APIP K/L untuk direviu.
    (6)
    Ketentuan mengenai reviu RKA Satker BUN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (2) huruf c dan huruf f berlaku mutatis mutandis dalam reviu RKA-BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
    (7)
    RKA Satker BUN yang telah direviu oleh APIP K/L beserta dokumen pendukungnya disampaikan oleh KPA BUN kepada PPA BUN untuk diteliti dan dihimpun menjadi RKA-BUN.
    (8)
    RKA-BUN yang telah diteliti dan dihimpun disampaikan oleh PPA BUN kepada Direktorat Jenderal Anggaran untuk dilakukan penelaahan.
    (9)
    Ketentuan mengenai tata cara penelaahan RKA-BUN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (3) berlaku mutatis mutandis dalam penelaahan RKA-BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (8).
    (10)
    Berdasarkan hasil penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (8), Direktur Jenderal Anggaran menetapkan DHP RKA-BUN.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 96

    (1)
    Dalam hal Alokasi Anggaran BUN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) tidak mengakibatkan perubahan RKA-BUN, PPA BUN menyampaikan kembali RKA-BUN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (5) beserta data dukung yang disampaikan pada saat pengusulan RKA-BUN berdasar Pagu Anggaran BUN kepada Direktur Jenderal Anggaran.
    (2)
    Direktorat Jenderal Anggaran meneliti RKA-BUN dan data dukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk memastikan bahwa tidak terdapat perubahan atas RKA-BUN dan data dukung tersebut.
    (3)
    Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak terdapat perubahan atas RKA-BUN dan data dukung, Direktorat Jenderal Anggaran menetapkan DHP RKA-BUN.
    (4)
    Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdapat perubahan atas RKA-BUN dan data dukung, Direktorat Jenderal Anggaran menyampaikan kembali RKA-BUN kepada PPA BUN untuk disesuaikan.
    (5)
    Ketentuan mengenai penyesuaian RKA-BUN berdasarkan Alokasi Anggaran BUN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95, berlaku mutatis mutandis dalam penyesuaian RKA-BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
    (6)
    Kesimpulan rapat kerja pembahasan rancangan Undang-Undang mengenai APBN antara Pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) dan DHP RKA-BUN yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (10) dan Pasal 96 ayat (3) digunakan sebagai dasar penyusunan Peraturan Presiden mengenai rincian APBN.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketujuh
    Koordinator PPA BUN
     

    Pasal 97

    (1)
    Direktorat Jenderal Anggaran merupakan koordinator PPA BUN dalam perencanaan, penelaahan, dan penetapan alokasi anggaran BA BUN.
    (2)
    Sebagai koordinator PPA BUN, Direktorat Jenderal Anggaran mengoordinasikan seluruh PPA BUN dalam penyusunan RKA-BUN, penyusunan Indikasi Kebutuhan Dana BUN, penyusunan RKA-BUN berdasarkan Pagu Anggaran BUN, dan penyesuaian RKA-BUN berdasarkan Alokasi Anggaran BUN. 
    (3)
    Sebagai koordinator PPA BUN, Direktorat Jenderal Anggaran dapat menetapkan batas akhir waktu penyampaian dan/atau penyelesaian dokumen perencanaan dan penelaahan alokasi anggaran BA BUN dan pengesahan DIPA BUN.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedelapan
    Tata Cara Penyusunan dan Pengesahan DIPA BUN
     

    Pasal 98

    (1)
    Dalam rangka pelaksanaan APBN, KPA BUN menyusun DIPA BUN menurut Satker BUN yang dikuasainya.
    (2)
    DIPA BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan:
     
    a.
    Peraturan Presiden mengenai rincian APBN; dan
     
    b.
    DHP RKA-BUN.
    (3)
    DIPA BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak termasuk untuk DIPA BUN TKD.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 99

    (1)
    DIPA BUN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) terdiri atas:
     
    a.
    lembar surat pengesahan DIPA BUN;
     
    b.
    halaman I memuat informasi Kinerja dan sumber dana, yang terdiri atas:
     
     
    1.
    halaman IA mengenai informasi Kinerja; dan
     
     
    2.
    halaman IB mengenai sumber dana;
     
    c.
    halaman II memuat rincian pengeluaran dan rincian penerimaan, yang terdiri atas:
     
     
    1.
    halaman IIA mengenai rincian pengeluaran; dan
     
     
    2.
    halaman IIB mengenai rincian penerimaan;
     
    d.
    halaman III memuat rencana penarikan dana dan perkiraan penerimaan; dan
     
    e.
    halaman IV memuat blokir dan catatan yang terdiri atas:
     
     
    1.
    halaman IVA mengenai blokir; dan
     
     
    2.
    halaman IVB mengenai catatan.
    (2)
    Lembar surat pengesahan DIPA BUN memuat antara lain:
     
    a.
    dasar hukum penerbitan DIPA BUN;
     
    b.
    identitas dan pagu Satker;
     
    c.
    pernyataan syarat dan ketentuan (disclaimer);
     
    d.
    tanda tangan pejabat yang mengesahkan DIPA BUN; dan
     
    e.
    kode pengaman berupa digital stamp.
    (3)
    Halaman I, halaman II, halaman III, dan halaman IV DIPA BUN dilengkapi dengan:
     
    a.
    tanda tangan Pemimpin PPA BUN; dan
     
    b.
    kode pengaman berupa digital stamp.
    (4)
    Pernyataan syarat dan ketentuan (disclaimer) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, meliputi hal-hal sebagai berikut:
     
    a.
    DIPA BUN dicetak secara otomatis dengan menggunakan Sistem Informasi yang dilengkapi dengan kode pengaman berupa digital stamp dan ditandatangani oleh Pemimpin PPA BUN;
     
    b.
    DIPA BUN berfungsi sebagai dasar pelaksanaan kegiatan Satker dan pencairan dana/pengesahan bagi BUN/Kuasa BUN;
     
    c.
    rencana penarikan dana dan perkiraan penerimaan yang tercantum dalam halaman III DIPA BUN diisi sesuai dengan rencana pelaksanaan kegiatan;
     
    d.
    dalam hal terdapat perbedaan data antara DIPA BUN dengan Sistem Informasi maka data yang berlaku adalah data yang terdapat dalam Sistem Informasi;
     
    e.
    KPA DIPA BUN tercantum dalam halaman IA;
     
    f.
    KPA BUN wajib menyampaikan laporan keuangan kepada Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris Badan/Pejabat yang ditetapkan sebagai entitas pelaporan, yang selanjutnya disampaikan kepada Pemimpin PPA BUN atau koordinator penyusunan laporan pertanggungjawaban pengelolaan BA BUN; dan
     
    g.
    DIPA BUN berlaku sejak tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember.
    (5)
    Catatan dalam halaman IV DIPA BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e memuat informasi mengenai:
     
    a.
    alokasi anggaran yang masih harus dilengkapi dengan dokumen pendukung yang relevan sebagai dasar pengalokasian anggaran, antara lain:
     
     
    1.
    peraturan perundang-undangan;
     
     
    2.
    reviu APIP K/L; atau
     
     
    3.
    persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat;
     
    b.
    alokasi anggaran untuk beberapa akun tertentu yang merupakan batas tertinggi;
     
    c.
    Tunggakan tahun anggaran yang lalu; dan/atau
     
    d.
    alokasi anggaran yang digunakan dalam rangka pengesahan.
    (6)
    Dalam rangka pelaksanaan anggaran, KPA BUN dapat menyusun POK berdasarkan DIPA BUN sesuai karakteristik masing-masing BA BUN.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 100

    (1)
    DIPA BUN TKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (3), terdiri atas:
     
    a.
    DIPA Induk; dan
     
    b.
    DIPA Petikan.
    (2)
    DIPA Induk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, terdiri atas:
     
    a.
    lembar surat pengesahan DIPA Induk;
     
    b.
    halaman I memuat informasi Kinerja dan anggaran Program;
     
    c.
    halaman II memuat rincian alokasi anggaran per Satker; dan
     
    d.
    halaman III memuat rencana penarikan dana dan perkiraan penerimaan.
    (3)
    DIPA Petikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
     
    a.
    lembar surat pengesahan DIPA Petikan;
     
    b.
    halaman I memuat informasi Kinerja dan sumber dana yang terdiri atas:
     
     
    1.
    halaman IA mengenai informasi Kinerja; dan
     
     
    2.
    halaman IB mengenai sumber dana;
     
    c.
    halaman II memuat rincian pengeluaran dan rincian penerimaan, yang terdiri atas:
     
     
    1.
    halaman IIA mengenai rincian pengeluaran; dan
     
     
    2.
    halaman IIB mengenai rincian penerimaan;
     
    d.
    halaman III memuat rencana penarikan dana dan perkiraan penerimaan; dan
     
    e.
    halaman IV memuat blokir dan catatan yang terdiri atas:
     
     
    1.
    halaman IVA mengenai blokir; dan
     
     
    2.
    halaman IVB mengenai catatan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 101

    Dokumen perencanaan, penelaahan, dan penetapan Alokasi Anggaran BUN, dan pengesahan DIPA BUN dapat ditandatangani secara elektronik oleh masing-masing pihak sesuai kewenangannya.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 102

    (1)
    Pemimpin PPA BUN meneliti kebenaran substansi DIPA BUN yang disusun oleh KPA BUN berdasarkan DHP RKA-BUN.
    (2)
    DIPA BUN yang telah ditandatangani oleh Pemimpin PPA BUN disampaikan kepada Direktur Jenderal Anggaran untuk dilakukan validasi berdasarkan Peraturan Presiden mengenai rincian APBN.
    (3)
    Berdasarkan hasil validasi atas DIPA BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri Keuangan mengesahkan DIPA BUN.
    (4)
    Pengesahan DIPA BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilaksanakan oleh Direktur Jenderal Anggaran atas nama Menteri Keuangan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 103

    (1)
    Penetapan Alokasi Anggaran BUN tertentu yang penggunaannya belum dapat ditetapkan pada saat ditetapkannya Undang-Undang mengenai APBN, dapat dilakukan pada tahun anggaran berjalan.
    (2)
    Dalam rangka menjaga tata kelola dalam penetapan Alokasi Anggaran BUN tertentu pada tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), usulan permintaan anggaran yang disampaikan oleh Kementerian/Lembaga dan/atau oleh Satker BA BUN harus terlebih dahulu disampaikan kepada APIP K/L untuk di reviu.
    (3)
    Ketentuan mengenai reviu RKA-BUN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (2) huruf c dan huruf f berlaku mutatis mutandis dalam reviu usulan permintaan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
     
     
     
     
     
     

    Pasal 104

    Dalam hal terjadi pergeseran anggaran belanja antarsubbagian anggaran dalam BA BUN, reviu APIP K/L dilakukan hanya pada saat usulan awal penggunaan dana BA BUN, yaitu sebelum dilakukan pergeseran anggaran BA BUN.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 105

    (1)
    Proses perencanaan, penelaahan, dan penetapan alokasi anggaran BA BUN untuk kegiatan tertentu, dapat dilakukan melampaui ketentuan waktu dan mekanisme yang telah diatur dalam Peraturan Menteri ini, setelah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan.
    (2)
    BA BUN untuk kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
     
    a.
    sub BA BUN Investasi Pemerintah untuk pos cadangan, penyertaan modal negara kepada Badan Usaha Milik Negara, dan penyertaan modal negara kepada organisasi/lembaga keuangan internasional; 
     
    b.
    sub BA BUN Belanja Lainnya untuk pos cadangan dan kebutuhan dana BUN lainnya;
     
    c.
    sub BA BUN Transaksi Khusus untuk pos kontribusi dukungan kelayakan dan kontribusi kepada lembaga internasional; dan 
     
    d.
    BA BUN yang belum ditetapkan pengelompokkannya.
    (3)
    DHP RKA-BUN yang ditetapkan dalam rangka pengalokasian anggaran untuk kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menjadi dasar penyusunan dan pengesahan DIPA BUN.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 106

    (1)
    Ketentuan mengenai:
     
    a.
    pedoman umum perencanaan, penelaahan, dan penetapan alokasi anggaran BA BUN;
     
    b.
    kerangka pengeluaran jangka menengah BA BUN;
     
    c.
    daftar KRO BUN;
     
    d.
    tata cara penyusunan RKA Satker BUN dan RKA-BUN; 
     
    e.
    pedoman reviu RKA-BUN oleh APIP K/L;
     
    f.
    tata cara penelaahan RKA-BUN; dan
     
    g.
    petunjuk penyusunan dan pengesahan DIPA BUN, tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
    (2)
    Perubahan atas daftar KRO BUN sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini, dapat ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Anggaran atas nama Menteri Keuangan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 107

    Ketentuan mengenai tata cara penyusunan dan penelaahan Alokasi Anggaran BUN dan pengesahan DIPA BUN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 sampai dengan Pasal 98 berlaku mutatis mutandis terhadap tata cara penyusunan dan penelaahan Alokasi Anggaran BUN dan pengesahan DIPA BUN berdasarkan perubahan APBN.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesembilan
    Penggunaan dan Pengalokasian BA BUN pada Tahun Anggaran Berjalan

    Paragraf 1
    Penggunaan Anggaran BA BUN
     

    Pasal 108

    (1)
    Menteri Keuangan selaku PA BUN berwenang menetapkan penggunaan anggaran BA BUN pada tahun anggaran berjalan.
    (2)
    Penggunaan anggaran BA BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
     
    a.
    pergeseran anggaran antarsubbagian anggaran dalam BA BUN;
     
    b.
    pergeseran anggaran dari BA BUN Belanja Lainnya ke BA K/L; atau
     
    c.
    penerbitan DIPA BUN yang berasal dari BA BUN Belanja Lainnya.
    (3)
    Pergeseran anggaran antarsubbagian anggaran dalam BA BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dilakukan melalui:
     
    a.
    penerbitan SPP BA BUN, dalam hal sumber alokasi pergeseran berasal dari alokasi yang belum disahkan dalam DIPA BUN tahun anggaran berkenaan; atau
     
    b.
    perubahan surat Menteri Keuangan tentang penetapan alokasi BA BUN, dalam hal sumber alokasi pergeseran berasal dari alokasi yang sudah disahkan dalam DIPA BUN tahun anggaran berkenaan.
    (4)
    Pergeseran anggaran dari sub BA BUN Belanja Lainnya ke BA K/L sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dilakukan melalui penerbitan SP SABA.
    (5)
    Penerbitan DIPA BUN yang berasal dari sub BA BUN Belanja Lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, dikecualikan untuk yang bersumber dari alokasi cadangan keperluan mendesak.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 109

    (1)
    SPP BA BUN atau revisi surat Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (3) menjadi dasar:
     
    a.
    revisi DIPA BUN; atau
     
    b.
    penerbitan DIPA BUN.
    (2)
    SP SABA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (4) menjadi dasar revisi DIPA Kementerian/Lembaga atau penerbitan DIPA Kementerian/Lembaga.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 110

    (1)
    Pergeseran anggaran antarsubbagian anggaran dalam BA BUN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (2) huruf a, merupakan pergeseran anggaran belanja antarsubbagian anggaran dalam BA BUN untuk keperluan tertentu.
    (2)
    Pergeseran anggaran antarsubbagian anggaran dalam BA BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dari:
     
    a.
    sub BA BUN Belanja Lainnya ke:
     
     
    1.
    sub BA BUN Hibah;
     
     
    2.
    sub BA BUN TKD;
     
     
    3.
    sub BA BUN Subsidi; dan/atau
     
     
    4.
    sub BA BUN Transaksi Khusus;
     
    b.
    sub BA BUN Utang ke sub BA BUN Belanja Lainnya; dan
     
    c.
    sub BA BUN Subsidi ke sub BA BUN Belanja Lainnya.
    (3)
    Pergeseran anggaran antarsubbagian anggaran dalam BA BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a angka 1, dilakukan untuk pemberian hibah kepada pemerintah asing/lembaga asing untuk tujuan kemanusiaan dan tujuan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Pergeseran anggaran antarsubbagian anggaran dalam BA BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a angka 2, dilakukan untuk:
     
    a.
    kurang bayar TKD;
     
    b.
    penambahan alokasi anggaran TKD untuk kegiatan prioritas berdasarkan arahan Presiden atau Menteri; dan/atau
     
    c.
    pemberian hibah kepada Pemerintah Daerah untuk rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana.
    (5)
    Pergeseran anggaran antarsubbagian anggaran dalam BA BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a angka 3, dilakukan untuk keperluan penambahan alokasi subsidi.
    (6)
    Pergeseran anggaran antarsubbagian anggaran dalam BA BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a angka 4 dilakukan untuk:
     
    a.
    mendanai kontribusi non reguler untuk kepentingan hubungan internasional, trust fund, dan pengeluaran yang terkait dengan perjanjian hukum internasional;
     
    b.
    Viability Gap Fund (VGF) dan Project Development Fund (PDF) yang telah dialokasikan anggarannya pada sub BA BUN Belanja Lainnya; dan
     
    c.
    kekurangan pembayaran iuran jaminan kesehatan penerima penghasilan dari Pemerintah Pusat, manfaat pensiun, jasa perbendaharaan dan pembiayaan pengelolaan BUN, iuran wajib pegawai program jaminan kecelakaan kerja, iuran wajib pegawai program jaminan kematian, jaminan kesehatan menteri dan pejabat tertentu dan jaminan kesehatan utama yang telah dialokasikan anggarannya pada sub BA BUN Belanja Lainnya, dan kebijakan lainnya sepanjang diatur dalam Undang-Undang mengenai APBN.
    (7)
    Pergeseran anggaran antarsubbagian anggaran dalam BA BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c dilakukan untuk keperluan menambah alokasi belanja pada sub BA BUN Belanja Lainnya.
    (8)
    Pergeseran anggaran antarsubbagian anggaran dalam BA BUN dan peruntukan pergeseran anggaran selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (7) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Mekanisme Pergeseran Anggaran Antarsubbagian Anggaran dalam BA BUN Melalui SPP BA BUN yang Mengakibatkan Penerbitan DIPA BUN
     

    Pasal 111

    Mekanisme pergeseran anggaran antarsubbagian anggaran dalam BA BUN melalui SPP BA BUN yang mengakibatkan penerbitan DIPA BUN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) huruf b dilakukan melalui usulan tambahan anggaran dengan tahapan dan ketentuan sebagai berikut:
    a.
    Menteri/Pimpinan Lembaga atau PA BUN menyampaikan usulan tambahan anggaran kepada Menteri Keuangan dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Anggaran dengan melampirkan:
     
    1.
    dasar hukum pengalokasian anggaran;
     
    2.
    kerangka acuan kerja;
     
    3.
    rincian anggaran belanja; dan
     
    4.
    dokumen pendukung terkait lainnya;
    b.
    usulan tambahan anggaran sebagaimana dimaksud pada huruf a sesuai dengan peruntukan pergeseran anggaran antarsubbagian anggaran dalam BA BUN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (2) sampai dengan ayat (7) dan/atau yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan;
    c.
    berdasarkan usulan tambahan anggaran sebagaimana dimaksud pada huruf a, Direktur Jenderal Anggaran melakukan penelaahan yang dikoordinir oleh Mitra PPA BUN bersama dengan para pihak yang terkait, paling sedikit dengan melibatkan unsur dari PPA BUN selaku pemilik alokasi anggaran BUN dan PPA BUN selaku pengusul tambahan anggaran BUN;
    d.
    dalam hal diperlukan, penelaahan sebagaimana dimaksud pada huruf c dapat melibatkan Kementerian/Lembaga pengusul tambahan anggaran BUN;
    e.
    berdasarkan hasil penelaahan sebagaimana dimaksud pada huruf c, Mitra PPA BUN menyusun penilaian awal dan berita acara penelaahan untuk selanjutnya disampaikan kepada Pemimpin PPA BUN selaku pemilik alokasi anggaran;
    f.
    Pemimpin PPA BUN selaku pemilik alokasi anggaran BUN menyusun penilaian akhir dan rekomendasi atas usulan tambahan anggaran dimaksud dengan mempertimbangkan penilaian awal dan berita acara penelaahan yang disampaikan oleh Mitra PPA BUN sebagaimana dimaksud pada huruf e;
    g.
    berdasarkan penilaian akhir dan rekomendasi yang telah disusun sebagaimana dimaksud pada huruf f, Pemimpin PPA BUN selaku pemilik alokasi anggaran BUN menyampaikan usulan tambahan dan pergeseran anggaran antarsubbagian anggaran dalam BA BUN kepada Menteri Keuangan untuk mendapat persetujuan;
    h.
    Pemimpin PPA BUN selaku pemilik alokasi anggaran BUN:
     
    1.
    mengusulkan penerbitan SPP BA BUN kepada Direktur Jenderal Anggaran dalam hal usulan tambahan dan pergeseran anggaran mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan; atau
     
    2.
    menyampaikan surat penolakan/pengembalian usulan tambahan anggaran kepada Menteri/Pimpinan Lembaga atau Menteri selaku PA BUN yang mengajukan usulan tambahan anggaran, dalam hal usulan tambahan dan pergeseran anggaran tidak mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan;
    i.
    berdasarkan usulan penerbitan SPP BA BUN sebagaimana dimaksud pada huruf h angka 1, Direktur Jenderal Anggaran atas nama Menteri Keuangan menerbitkan SPP BA BUN; dan
    j.
    SPP BA BUN sebagaimana dimaksud pada huruf i, menjadi dasar penerbitan DIPA BUN dan dicatat sebagai realisasi pagu pada alokasi cadangan yang dilakukan pergeseran.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Mekanisme Pergeseran Anggaran Antarsubbagian Anggaran dalam BA BUN Melalui Revisi Surat Menteri Keuangan yang Mengakibatkan Penerbitan DIPA BUN
     

    Pasal 112

    (1)
    Pergeseran anggaran antarsubbagian anggaran dalam BA BUN dapat dilakukan melalui mekanisme revisi surat Menteri Keuangan mengenai penetapan alokasi BA BUN.
    (2)
    Revisi surat Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kebijakan Penyesuaian Belanja Negara dan/atau kebijakan Pemerintah lainnya.
    (3)
    Berdasarkan penetapan revisi surat Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Anggaran menyampaikan rencana tindak lanjut kebijakan Penyesuaian Belanja Negara dan/atau kebijakan Pemerintah lainnya kepada Menteri Keuangan.
    (4)
    Penetapan revisi surat Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), menjadi dasar penerbitan DIPA BUN.
    (5)
    Kebijakan Penyesuaian Belanja Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan kebijakan Pemerintah yang diatur dalam Undang-Undang mengenai APBN tahun anggaran berkenaan.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Pengalokasian dan Penggunaan Anggaran BA BUN Belanja Lainnya
     

    Pasal 113

    (1)
    Alokasi anggaran BA BUN Belanja Lainnya ditetapkan dalam APBN dan/atau APBN Perubahan.
    (2)
    Alokasi anggaran BA BUN Belanja Lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan kepada Pemimpin PPA BUN Belanja Lainnya melalui surat Menteri Keuangan mengenai penetapan alokasi anggaran BA BUN.
    (3)
    Alokasi anggaran BA BUN Belanja Lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat dilakukan perubahan berupa:
     
    a.
    perubahan total pagu; dan/atau
     
    b.
    perubahan rincian yang tidak mengubah pagu.
    (4)
    Perubahan alokasi anggaran BA BUN Belanja Lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dapat dilakukan sebagai tindak lanjut dari penyesuaian pagu berupa:
     
    a.
    pergeseran anggaran antarsubbagian anggaran dalam BA BUN; dan/atau
     
    b.
    pergeseran anggaran dalam subbagian anggaran BA BUN.
    (5)
    Berdasarkan perubahan alokasi anggaran sub BA BUN Belanja Lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilakukan revisi surat Menteri Keuangan mengenai penetapan alokasi anggaran BA BUN.
    (6)
    Perubahan rincian yang tidak mengubah pagu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, berupa pergeseran anggaran dalam subbagian anggaran BUN yang telah disetujui oleh Menteri Keuangan, ditetapkan melalui surat Menteri Keuangan yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Anggaran atas nama Menteri Keuangan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 114

    (1)
    Menteri Keuangan selaku PA BUN berwenang menetapkan penggunaan anggaran sub BA BUN Belanja Lainnya pada tahun anggaran berjalan sebagaimana ditetapkan pada Undang-Undang mengenai APBN.
    (2)
    Alokasi anggaran sub BA BUN Belanja Lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1), menurut jenis belanja terdiri atas:
     
    a.
    Belanja Pegawai;
     
    b.
    Belanja Bantuan Sosial; dan
     
    c.
    belanja lain-lain.
    (3)
    Penetapan Menteri Keuangan untuk penggunaan anggaran sub BA BUN Belanja Lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf c, dilaksanakan berdasarkan usulan Menteri/Pimpinan Lembaga kepada Menteri Keuangan.
    (4)
    Penetapan Menteri Keuangan untuk penggunaan anggaran sub BA BUN Belanja Lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dilaksanakan berdasarkan usulan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana kepada Menteri Keuangan.
    (5)
    Alokasi anggaran sub BA BUN Belanja Lainnya jenis Belanja Pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, digunakan untuk menampung cadangan anggaran gaji dalam rangka tambahan pegawai baru, honorarium, dan belanja pegawai lainnya sepanjang telah ditetapkan pada Undang-Undang mengenai APBN tahun anggaran berkenaan.
    (6)
    Alokasi anggaran sub BA BUN Belanja Lainnya jenis Belanja Bantuan Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, digunakan untuk menampung cadangan tambahan dana tanggap darurat/siap pakai dan bantuan penanggulangan pascabencana di daerah.
    (7)
    Alokasi anggaran sub BA BUN Belanja Lainnya jenis belanja lain-lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, digunakan untuk menampung:
     
    a.
    alokasi cadangan keperluan mendesak; dan
     
    b.
    alokasi untuk pengeluaran lainnya.
    (8)
    Penggunaan anggaran sub BA BUN Belanja Lainnya jenis belanja lain-lain untuk alokasi cadangan keperluan mendesak sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a, digunakan untuk membiayai kegiatan yang diusulkan oleh Kementerian/Lembaga yang memenuhi kriteria mendesak yang memenuhi unsur sebagai berikut:
     
    a.
    kriteria umum, kegiatan yang diusulkan oleh Kementerian/Lembaga harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
     
     
    1.
    kegiatan tidak direncanakan pada proses penyusunan anggaran Kementerian/Lembaga atau kegiatan sudah ada pada DIPA Kementerian/Lembaga namun alokasinya tidak cukup tersedia;
     
     
    2.
    kebutuhan alokasi kegiatan tidak memungkinkan untuk dipenuhi melalui realokasi anggaran antarprogram maupun antarkegiatan;
     
     
    3.
    kegiatan yang diusulkan tidak untuk pemenuhan belanja barang operasional Kementerian/Lembaga, kecuali karena adanya penambahan pegawai baru/Satker baru;
     
     
    4.
    kegiatan yang diusulkan tidak termasuk dalam kebijakan penghematan/pencadangan anggaran belanja Kementerian/Lembaga;
     
     
    5.
    kegiatan yang diusulkan bukan merupakan kegiatan yang telah mendapat tambahan anggaran dari sub BA BUN Belanja Lainnya pada tahun anggaran sebelumnya; dan
     
     
    6.
    kegiatan yang diusulkan tidak memungkinkan untuk diajukan melalui Undang-Undang mengenai APBN; dan
     
    b.
    kriteria khusus, kegiatan yang diusulkan oleh Kementerian/Lembaga harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
     
     
    1.
    dalam hal usulan kegiatan merupakan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan atau direktif Presiden yang belum dialokasikan pada DIPA Kementerian/Lembaga, maka harus dilampirkan:
     
     
     
    a)
    peraturan perundang-undangan atau ketetapan Presiden yang menjadi dasar hukum;
     
     
     
    b)
    risalah sidang/rapat terbatas kabinet yang memuat direktif Presiden yang diterbitkan oleh Sekretariat Kabinet; atau
     
     
     
    c)
    surat pernyataan Menteri/Pimpinan Lembaga yang menyatakan bahwa kegiatan tersebut merupakan arahan langsung Presiden kepada Menteri/Pimpinan Lembaga, dan selanjutnya disampaikan kepada Menteri Keuangan dengan ditembuskan kepada Sekretaris Kabinet;
     
     
    2.
    dalam hal kegiatan yang diusulkan merupakan akibat dari keadaan kahar, maka dilampirkan surat pernyataan keadaan kahar yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang menetapkan keadaan kahar; atau
     
     
    3.
    dalam hal kegiatan yang diusulkan merupakan kewenangan Pemerintah Pusat yang:
     
     
     
    a)
    bersifat tidak terduga; dan
     
     
     
    b)
    berdampak besar dari segi politik, ekonomi, sosial, dan keamanan, dilampirkan surat pernyataan yang ditandatangani oleh pejabat eselon I, yang menjelaskan dampak risiko besar yang terjadi jika kegiatan tersebut tidak dipenuhi.
    (9)
    Dalam hal terdapat direktif Presiden atau prioritas Kementerian/Lembaga yang bersifat strategis, mendesak dan/atau berdampak luas bagi kepentingan negara dan/atau masyarakat umum sehingga menyebabkan perlu dilakukannya penambahan anggaran, penetapan penggunaan anggaran sub BA BUN Belanja Lainnya jenis belanja lain-lain cadangan keperluan mendesak oleh Menteri Keuangan dilaksanakan melalui usulan Menteri/Pimpinan Lembaga kepada Menteri Keuangan.
    (10)
    Alokasi untuk pengeluaran lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf b, terdiri atas:
     
    a.
    alokasi terprogram, dialokasikan berdasarkan penilaian atas Indikasi Kebutuhan Dana BUN dan Angka Dasar; dan
     
    b.
    alokasi tidak terprogram, berupa cadangan anggaran yang pengalokasiannya tidak melalui Indikasi Kebutuhan Dana BUN, dan penggunaanya diatur sebagai berikut:
     
     
    1.
    cadangan risiko fiskal, merupakan cadangan anggaran yang bersifat antisipatif yang berfungsi sebagai bantalan fiskal akibat perubahan asumsi dasar ekonomi makro dan/atau kebijakan pemerintah;
     
     
    2.
    cadangan anggaran untuk memenuhi mandatory spending sesuai dengan peraturan perundang-undangan yakni penyesuaian anggaran pendidikan dan anggaran kesehatan digunakan untuk memenuhi keperluan di bidang pendidikan dan kesehatan; dan
     
     
    3.
    cadangan anggaran digunakan untuk membiayai kegiatan yang sesuai dengan nama peruntukannya.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 115

    (1)
    Kementerian/Lembaga dapat menyampaikan usulan tambahan anggaran kepada Menteri Keuangan setelah Kementerian/Lembaga melakukan optimalisasi anggaran untuk kegiatan yang diusulkan pada DIPA Kementerian/Lembaga.
    (2)
    Hasil optimalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam surat pernyataan hasil optimalisasi dan disampaikan sebagai kelengkapan dalam menyampaikan usulan tambahan anggaran.
    (3)
    Jumlah kebutuhan anggaran yang diusulkan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga kepada Menteri Keuangan adalah jumlah total kebutuhan anggaran yang diperlukan oleh Kementerian/Lembaga setelah dikurangi jumlah hasil optimalisasi sebagaimana dimaksud ayat (2). 
    (4)
    Proses Revisi Anggaran atas hasil optimalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilakukan secara simultan dengan penetapan revisi atas SP SABA yang diterbitkan atas usulan tambahan anggaran.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 116

    (1)
    Usulan penggunaan anggaran sub BA BUN Belanja Lainnya kepada Menteri Keuangan dari Menteri/Pimpinan Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (3) atau dari Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (4), terlebih dahulu disampaikan kepada APIP K/L untuk direviu.
    (2)
    Hasil reviu APIP K/L sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam LHR APIP K/L sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Mekanisme Pergeseran Anggaran dari Sub BA BUN Belanja Lainnya ke Subbagian Anggaran Lainnya dalam BA BUN yang Mengakibatkan Penerbitan DIPA BUN
     

    Pasal 117

    (1)
    Penggunaan anggaran yang akan dilakukan melalui penerbitan SPP BA BUN yang berasal dari sub BA BUN Belanja Lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (2) huruf a dilakukan untuk memenuhi usulan tambahan anggaran.
    (2)
    Penerbitan SPP BA BUN dilakukan dengan tahapan dan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    PPA BUN subbagian anggaran selaku penanggung jawab Program menyampaikan usulan tambahan anggaran kepada Pemimpin PPA BUN Belanja Lainnya selaku penanggung jawab Program subbagian anggaran BUN Belanja Lainnya;
     
    b.
    dalam hal tambahan anggaran digunakan untuk kebutuhan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana di daerah, usulan disampaikan oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana kepada Menteri Keuangan;
     
    c.
    usulan permintaan tambahan sebagaimana dimaksud pada huruf a atau huruf b, dilampiri dengan:
     
     
    1.
    dasar hukum pengalokasian anggaran;
     
     
    2.
    kerangka acuan kerja;
     
     
    3.
    rincian anggaran belanja;
     
     
    4.
    surat pernyataan telah dilakukan penelitian;
     
     
    5.
    LHR APIP K/L;
     
     
    6.
    realisasi kinerja anggaran atas tambahan anggaran dari sub BA BUN Belanja Lainnya yang diterima pada tahun sebelumnya dan/atau tahap sebelumnya pada tahun berjalan; dan
     
     
    7.
    dokumen pendukung lainnya dalam hal diperlukan,
     
    d.
    dokumen sebagaimana dimaksud pada huruf c angka 2, angka 3, angka 4, dan angka 6 untuk usulan penggunaan anggaran yang berasal dari:
     
     
    1.
    PPA BUN ditandatangani oleh KPA BUN; atau
     
     
    2.
    Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana ditandatangani oleh pimpinan unit eselon I yang bertanggung jawab terhadap kegiatan yang diusulkan;
     
    e.
    dalam hal usulan tambahan anggaran sebagaimana dimaksud pada huruf c diajukan untuk kegiatan yang telah dilaksanakan pada tahun sebelumnya/tahun-tahun sebelumnya dan/atau tahun berjalan, dilampiri dengan hasil reviu dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan atau hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan;
     
    f.
    PPA BUN atau Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana bertanggung jawab:
     
     
    1.
    terhadap kebenaran dokumen yang disampaikan sebagaimana dimaksud pada huruf c; dan
     
     
    2.
    atas substansi usulan kegiatan, volume kegiatan, dan satuan biaya yang digunakan pada usulan penggunaan anggaran;
     
    g.
    berdasarkan usulan tambahan anggaran sebagaimana dimaksud pada huruf a atau huruf b, Direktur Jenderal Anggaran selaku Pemimpin PPA BUN Belanja Lainnya melakukan penelitian secara bersama-sama dengan pihak-pihak terkait, setelah dokumen sebagaimana dimaksud pada huruf c diterima dengan lengkap dan benar;
     
    h.
    dalam hal berdasarkan hasil penelitian usulan tambahan anggaran sebagaimana dimaksud pada huruf g masih diperlukan tambahan dokumen lainnya, PPA BUN atau Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana diminta menyampaikan kekurangan dokumen dimaksud paling lambat 2 (dua) hari kerja terhitung setelah penelitian dilakukan;
     
    i.
    hasil penelitian usulan tambahan anggaran dituangkan dalam berita acara penelitian yang disusun sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;
     
    j.
    dalam hal berdasarkan hasil penelitian usulan sebagaimana dimaksud pada huruf g tidak disetujui, maka:
     
     
    1.
    Pemimpin PPA BUN Belanja Lainnya menyampaikan surat penolakan ke PPA BUN pengusul/Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana;
     
     
    2.
    Pemimpin PPA BUN Belanja Lainnya atas nama Menteri Keuangan menyampaikan surat penolakan ke PPA BUN pengusul/Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana; atau
     
     
    3.
    Menteri Keuangan menyampaikan surat penolakan usulan ke PPA BUN pengusul/Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana;
     
    k.
    dalam hal berdasarkan hasil penelitian usulan sebagaimana dimaksud pada huruf g disetujui namun alokasi anggarannya kurang/belum tersedia maka terlebih dahulu dilakukan pergeseran dalam sub BA BUN Belanja Lainnya;
     
    l.
    dalam rangka pergeseran sub BA BUN Belanja Lainnya sebagaimana dimaksud huruf k, Direktur Jenderal Anggaran mengajukan kepada Menteri Keuangan berupa:
     
     
    1.
    izin penggunaan anggaran sub BA BUN Belanja Lainnya;
     
     
    2.
    izin pergeseran dalam sub BA BUN Belanja Lainnya; dan
     
     
    3.
    izin pergeseran dari sub BA BUN Belanja Lainnya ke subbagian anggaran BUN yang lainnya;
     
    m.
    berdasarkan persetujuan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud huruf 1 angka 2, Direktur Jenderal Anggaran menetapkan revisi surat Menteri Keuangan terkait alokasi anggaran sub BA BUN Belanja Lainnya atas nama Menteri Keuangan;
     
    n.
    dalam hal berdasarkan hasil penelitian usulan sebagaimana dimaksud pada huruf g disetujui dan alokasi anggarannya sudah tersedia maka Direktur Jenderal Anggaran mengajukan kepada Menteri Keuangan berupa:
     
     
    1.
    izin penggunaan anggaran sub BA BUN Belanja Lainnya; dan
     
     
    2.
    izin pergeseran dari subbagian anggaran BUN Belanja Lainnya ke subbagian anggaran BUN yang lainnya;
     
    o.
    berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada huruf g, dokumen yang dilampirkan sebagaimana dimaksud pada huruf c dan huruf h, serta surat Menteri Keuangan terkait alokasi anggaran, Direktur Anggaran Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan, dan BA BUN atas nama Direktur Jenderal Anggaran selaku Pemimpin PPA BUN Belanja Lainnya menyampaikan:
     
     
    1.
    usulan penerbitan SPP BA BUN dari sub BA BUN Belanja Lainnya ke subbagian anggaran BUN yang lainnya kepada Direktur Jenderal Anggaran dalam hal Menteri Keuangan memberikan persetujuan atas permohonan izin penggunaan dan pergeseran anggaran sebagaimana dimaksud pada huruf 1 atau huruf n; atau
     
     
    2.
    surat penolakan usulan tambahan anggaran kepada PPA BUN atau Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana, dalam hal Menteri Keuangan tidak memberikan persetujuan atas permohonan izin penggunaan dan pergeseran anggaran sebagaimana dimaksud pada huruf 1 atau huruf n;
     
    p.
    usulan penerbitan SPP BA BUN sebagaimana dimaksud pada huruf o angka 1 dilampiri dengan:
     
     
    1.
    nota dinas usulan permohonan izin penggunaan dan pergeseran anggaran yang disampaikan kepada Menteri Keuangan berikut dengan persetujuan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada huruf 1 atau huruf n; dan
     
     
    2.
    berita acara penelitian sebagaimana dimaksud pada huruf I;
     
    q.
    berdasarkan usulan penerbitan SPP BA BUN sebagaimana dimaksud pada huruf o angka 1, Direktur Jenderal Anggaran atas nama Menteri Keuangan menerbitkan SPP BA BUN;
     
    r.
    SPP BA BUN sebagaimana dimaksud pada huruf q disusun sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;
     
    s.
    SPP BA BUN sebagaimana dimaksud pada huruf q menjadi dasar pergeseran anggaran antarsubbagian anggaran dalam BA BUN dan disampaikan kepada Pemimpin PPA BUN terkait, dengan tembusan kepada Menteri Keuangan, Direktur Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Direktorat Jenderal Anggaran, dan Direktur Akuntansi dan Pelaporan Keuangan-Direktorat Jenderal Perbendaharaan;
     
    t.
    berdasarkan SPP BA BUN sebagaimana dimaksud pada huruf q, Pemimpin PPA BUN terkait sebagai penerima alokasi anggaran menyusun dan menyampaikan RKA-BUN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 dalam rangka penyusunan dan pengesahan DIPA BUN;
     
    u.
    penyusunan dan pengesahan DIPA BUN sebagaimana dimaksud pada huruf t, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini; dan
     
    v.
    SPP BA BUN sebagaimana dimaksud pada huruf q, dicatat sebagai realisasi pagu atas alokasi cadangan yang dilakukan pergeseran.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Mekanisme Pergeseran Anggaran dari Sub BA BUN Belanja Lainnya Ke BA K/L yang Mengakibatkan Penerbitan DIPA Kementerian/Lembaga
     

    Pasal 118

    (1)
    Pergeseran anggaran dari sub BA BUN Belanja Lainnya ke BA K/L sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (2) huruf b dilakukan untuk memberikan tambahan anggaran ke BA K/L.
    (2)
    Mekanisme pergeseran anggaran dari sub BA BUN Belanja Lainnya ke BA K/L dilakukan dengan tahapan dan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    usulan tambahan anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (3) dan ayat (4), disampaikan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga kepada Menteri Keuangan dengan menggunakan Sistem Informasi;
     
    b.
    usulan tambahan anggaran sebagaimana dimaksud pada huruf a disampaikan kepada Direktorat Jenderal Anggaran disertai dengan dokumen sebagai berikut:
     
     
    1.
    data melalui Sistem Informasi;
     
     
    2.
    kerangka acuan kerja;
     
     
    3.
    rincian anggaran belanja;
     
     
    4.
    surat pernyataan optimalisasi/cost sharing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 ayat (2) dalam hal usulan tambahan anggaran berkaitan dengan penggunaan cadangan belanja pegawai dan/atau cadangan keperluan mendesak;
     
     
    5.
    surat pernyataan kesanggupan menyerap anggaran dan melaksanakan kegiatan pada tahun berjalan disusun sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;
     
     
    6.
    LHR APIP K/L;
     
     
    7.
    rincian distribusi alokasi usulan tambahan anggaran per Program unit/provinsi/Satker disusun sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;
     
     
    8.
    realisasi kinerja anggaran atas tambahan anggaran dari sub BA BUN Belanja Lainnya yang diterima pada tahun sebelumnya dan/atau tahap sebelumnya pada tahun berjalan, sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;
     
     
    9.
    surat pernyataan bahwa telah dilakukan penelitian kelengkapan dokumen pendukung;
     
     
    10.
    surat usulan Revisi Anggaran yang ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/pejabat eselon I Kementerian/Lembaga;
     
     
    11.
    surat pernyataan pejabat eselon I; dan
     
     
    12.
    dokumen pendukung lainnya dalam hal diperlukan;
     
    c.
    dokumen sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 2, angka 3, angka 4, angka 5, angka 7 dan angka 8 ditandatangani oleh pejabat setingkat eselon I yang bertanggung jawab terhadap kegiatan yang diusulkan;
     
    d.
    dokumen sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 9 ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris Kementerian/Lembaga;
     
    e.
    dalam hal usulan tambahan anggaran sebagaimana dimaksud pada huruf a diajukan untuk kegiatan yang telah dilaksanakan pada tahun/tahun-tahun sebelumnya dan/atau tahun berjalan, usulan penggunaan anggaran dilampiri dengan hasil reviu dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, atau hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan; dan
     
    f.
    dokumen sebagaimana dimaksud pada huruf b angka 1, angka 2, angka 3, angka 6, angka 7, angka 8, dan angka 12 disusun berdasarkan kaidah-kaidah perencanaan dan penganggaran.
    (3)
    Direktorat Jenderal Anggaran melakukan penelaahan terhadap usulan tambahan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima lengkap.
    (4)
    Dalam hal usulan tambahan anggaran belum dilengkapi dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Anggaran menyampaikan surat pemberitahuan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga agar segera menyampaikan kelengkapan dokumen pendukung dalam waktu 2 (dua) hari kerja sejak disampaikannya surat pemberitahuan.
    (5)
    Dalam hal setelah 2 (dua) hari kerja sejak disampaikannya surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Menteri/Pimpinan Lembaga belum melengkapi dokumen pendukung, usulan tambahan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembalikan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga melalui surat Direktur Jenderal Anggaran atas nama Menteri Keuangan dengan tembusan kepada Menteri Keuangan.
    (6)
    Penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara terkoordinasi antara Direktorat Jenderal Anggaran dan Kementerian/Lembaga pengusul.
    (7)
    Dalam hal berdasarkan hasil penelaahan usulan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdapat kekurangan dokumen pendukung di luar dokumen yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Kementerian/Lembaga menyampaikan kekurangan dokumen pendukung-paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah penelaahan dilakukan.
    (8)
    Berdasarkan hasil penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Jenderal Anggaran dapat menyetujui atau tidak menyetujui atas seluruh/sebagian usulan tambahan anggaran.
    (9)
    Dalam hal Menteri Keuangan telah memberikan persetujuan penggunaan anggaran sub BA BUN Belanja Lainnya, Direktorat Anggaran Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan, dan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara atas nama Direktur Jenderal Anggaran selaku Pemimpin PPA BUN Belanja Lainnya:
     
    a.
    menyampaikan permintaan penyesuaian data dengan menggunakan Sistem Informasi dan/atau dokumen pendukung lainnya kepada Kementerian/Lembaga dalam hal nilai dan kegiatan yang mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan berbeda dengan yang diusulkan oleh Kementerian/Lembaga dengan ditembuskan kepada Direktorat Jenderal Anggaran; atau
     
    b.
    melanjutkan proses usulan penggunaan anggaran melalui pergeseran anggaran dari sub BA BUN Belanja Lainnya ke BA K/L dalam hal nilai dan kegiatan yang mendapat persetujuan tidak ada perbedaan dengan yang diusulkan oleh Kementerian/Lembaga.
    (10)
    Kementerian/Lembaga menyampaikan kembali penyesuaian data yang telah diperbaiki melalui Sistem Informasi dan/atau dokumen pendukung lainnya kepada Direktur Jenderal Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf a paling lambat 2 (dua) hari kerja.
    (11)
    Direktur Jenderal Anggaran atas nama Menteri Keuangan menerbitkan SP SABA yang disampaikan kepada Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/pejabat eselon I Kementerian/Lembaga, dengan ditembuskan kepada Menteri Keuangan, Direktur Jenderal Anggaran c.q. Direktorat Anggaran Bidang selaku mitra Kementerian/Lembaga dan Direktorat Anggaran Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan, dan Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara selaku Unit Pendukung PPA BUN Belanja Lainnya, paling lambat 1 (satu) hari kerja terhitung sejak usulan pergeseran anggaran diterima lengkap dari Pemimpin PPA BUN Belanja Lainnya.
    (12)
    Data dalam Sistem Informasi merupakan satu kesatuan dengan dokumen SP SABA yang telah diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (11).
    (13)
    Anggaran belanja yang dilakukan pergeseran dari sub BA BUN Belanja Lainnya ke BA K/L melalui penerbitan SP SABA digunakan untuk membiayai kegiatan yang dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga yang telah mempunyai Bagian Anggaran.
    (14)
    Anggaran belanja yang dilakukan pergeseran dari sub BA BUN Belanja Lainnya ke BA K/L melalui penerbitan S P SABA tidak diperkenankan untuk:
     
    a.
    dihitung dalam pemenuhan target kebijakan penghematan belanja Kementerian/Lembaga; dan
     
    b.
    dilakukan pergeseran anggaran antar RO.
    (15)
    Menteri/Pimpinan Lembaga bertanggung jawab:
     
    a.
    atas substansi usulan kegiatan, volume kegiatan, dan satuan biaya yang digunakan pada usulan penggunaan anggaran;
     
    b.
    terhadap kebenaran dokumen yang disampaikan pada usulan tambahan anggaran; dan
     
    c.
    secara formal dan materiil atas pelaksanaan kegiatan yang dananya bersumber dari sub BA BUN Belanja Lainnya yang telah dilakukan pergeseran melalui penerbitan SP SABA.
    (16)
    Berdasarkan SP SABA sebagaimana dimaksud pada ayat (11), Direktorat Jenderal Anggaran menetapkan revisi DIPA Kementerian/Lembaga.
    (17)
    Dalam hal Menteri Keuangan tidak memberikan persetujuan seluruhnya, Direktur Jenderal Anggaran selaku Pemimpin PPA BUN Belanja Lainnya atas nama Menteri Keuangan menyampaikan surat penolakan usulan tambahan anggaran dimaksud kepada Menteri/Pimpinan Lembaga, dengan tembusan kepada Menteri Keuangan.
    (18)
    Tahapan lebih rinci atas mekanisme pergeseran dari sub BA BUN Belanja Lainnya ke BA K/L dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Lampiran IV huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 7
    Penggunaan Anggaran Sub BA BUN Belanja Lainnya Melalui Penerbitan DIPA BUN
     

    Pasal 119

    (1)
    Penggunaan anggaran yang akan dilakukan melalui penerbitan DIPA BUN yang berasal dari sub BA BUN Belanja Lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (2) huruf c dilakukan untuk memenuhi usulan tambahan anggaran. 
    (2)
    Mekanisme usulan tambahan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tahapan dan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    KPA BUN menyampaikan usulan tambahan anggaran kepada Direktur Jenderal Anggaran selaku Pemimpin PPA BUN Belanja Lainnya dengan tembusan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga pengusul dengan melampirkan dokumen pendukung berupa:
     
     
    1.
    dasar hukum pengalokasian anggaran;
     
     
    2.
    kerangka acuan kerja ditandatangani KPA BUN;
     
     
    3.
    rincian anggaran belanja ditandatangani KPA BUN;
     
     
    4.
    LHR APIP K/L; dan
     
     
    5.
    dokumen pendukung lainnya dalam hal diperlukan;
     
    b.
    berdasarkan usulan tambahan anggaran dan dokumen sebagaimana dimaksud pada huruf a, dilakukan penelitian atas usulan tambahan anggaran sub BA BUN Belanja Lainnya yang dikoordinasikan oleh Unit Pendukung PPA BUN Belanja Lainnya;
     
    c.
    penelitian sebagaimana dimaksud pada huruf b, dilakukan bersama-sama dengan pihak terkait, setelah dokumen sebagaimana huruf a angka 1 sampai dengan angka 5 diterima dengan lengkap dan benar;
     
    d.
    berdasarkan hasil penelitian huruf c, Direktur Jenderal Anggaran selaku Pemimpin PPA BUN menyampaikan:
     
     
    1.
    surat pemberitahuan alokasi anggaran kepada KPA BUN dan permintaan penyampaian RKA Satker BUN dalam hal usulan tambahan anggaran disetujui; atau
     
     
    2.
    surat penolakan kepada KPA BUN dalam hal usulan tambahan anggaran tidak dapat disetujui;
     
    e.
    dalam hal berdasarkan hasil penelitian usulan disetujui namun alokasi anggarannya kurang/belum tersedia maka terlebih dahulu dilakukan pergeseran dalam sub BA BUN Belanja Lainnya;
     
    f.
    dalam rangka pergeseran dalam sub BA BUN Belanja Lainnya sebagaimana dimaksud huruf e, Direktur Jenderal Anggaran mengajukan izin pergeseran dan penggunaan kepada Menteri Keuangan;
     
    g.
    berdasarkan persetujuan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud huruf f, Direktur Jenderal Anggaran menetapkan revisi surat Menteri Keuangan terkait alokasi anggaran sub BA BUN Belanja Lainnya atas nama Menteri Keuangan;
     
    h.
    berdasarkan revisi surat Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada huruf g, Direktur Jenderal Anggaran selaku Pemimpin PPA BUN menyampaikan pemberitahuan alokasi anggaran serta permintaan penyampaian RKA Satker BUN kepada KPA BUN; dan
     
    i.
    dalam hal Menteri Keuangan tidak menyetujui permohonan izin pergeseran dan penggunaan seluruhnya sebagaimana dimaksud pada huruf f, Direktur Jenderal Anggaran selaku Pemimpin PPA BUN menyampaikan surat penolakan usulan tambahan anggaran dimaksud kepada KPA BUN dengan tembusan kepada Menteri Keuangan dan Menteri/Pimpinan Lembaga pengusul.
    (3)
    Berdasarkan pemberitahuan alokasi anggaran dan permintaan penyampaian RKA Satker BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d angka 1 atau pada ayat (2) huruf h, KPA BUN menyampaikan usulan RKA Satker BUN kepada Direktur Jenderal Anggaran selaku Pemimpin PPA BUN Belanja Lainnya dengan tembusan kepada Menteri/Pimpinan Lembaga pengusul dengan melampirkan dokumen pendukung berupa:
     
    a.
    dasar hukum pengalokasian anggaran;
     
    b.
    RKA Satker BUN ditandatangani oleh KPA BUN;
     
    c.
    kerangka acuan kerja ditandatangani KPA BUN;
     
    d.
    rincian anggaran belanja ditandatangani KPA BUN;
     
    e.
    LHR APIP K/L; dan
     
    f.
    dokumen pendukung lainnya dalam hal diperlukan.
    (4)
    Berdasarkan usulan RKA Satker BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Unit Pendukung PPA BUN Belanja Lainnya melakukan penelitian, setelah dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah diterima dengan lengkap dan benar.
    (5)
    Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Direktur Jenderal Anggaran selaku Pemimpin PPA BUN Belanja Lainnya:
     
    a.
    mengajukan izin penggunaan anggaran sub BA BUN Belanja Lainnya kepada Menteri Keuangan dalam hal penyampaian RKA Satker BUN berdasarkan pemberitahuan alokasi anggaran dan permintaan penyampaian RKA Satker BUN sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf d angka 1; atau
     
    b.
    menyusun dan menyampaikan RKA-BUN kepada Direktur Jenderal Anggaran dalam hal penyampaian RKA Satker BUN berdasarkan pemberitahuan alokasi anggaran dan permintaan penyampaian RKA Satker BUN sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf h.
    (6)
    Berdasarkan permohonan izin penggunaan anggaran sub BA BUN Belanja Lainnya kepada Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a, Direktur Jenderal Anggaran selaku Pemimpin PPA BUN melakukan:
     
    a.
    menyusun dan menyampaikan RKA-BUN kepada Direktur Jenderal Anggaran dalam hal Menteri Keuangan memberikan persetujuan atas permohonan izin penggunaan anggaran sub BA BUN Belanja Lainnya; atau
     
    b.
    menyampaikan surat penolakan usulan tambahan anggaran dimaksud kepada KPA BUN dengan tembusan kepada Menteri Keuangan dan Menteri/Pimpinan Lembaga pengusul, dalam hal Menteri Keuangan tidak memberikan persetujuan atas permohonan izin penggunaan anggaran sub BA BUN Belanja Lainnya.
    (7)
    Ketentuan penyusunan dan pengesahan DIPA BUN dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     
    BAB V
    REVISI ANGGARAN

    Bagian Kesatu
    Umum
     

    Pasal 120

    (1)
    Revisi Anggaran dapat berupa:
     
    a.
    Revisi Anggaran dalam hal pagu anggaran berubah;
     
    b.
    Revisi Anggaran dalam hal pagu anggaran tetap; dan/atau
     
    c.
    revisi administrasi.
    (2)
    Revisi Anggaran dalam hal pagu anggaran berubah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, merupakan perubahan anggaran termasuk rinciannya yang disebabkan oleh penambahan atau pengurangan pagu belanja BA K/L dan/atau BA BUN.
    (3)
    Revisi Anggaran dalam hal pagu anggaran tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, merupakan perubahan rincian belanja BA K/L dan/atau BA BUN yang dilakukan dengan pergeseran rincian anggaran dalam 1 (satu) BA K/L atau BA BUN yang tidak menyebabkan penambahan atau pengurangan pagu belanja dan pagu pengeluaran pembiayaan.
    (4)
    Revisi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, meliputi revisi yang disebabkan oleh perbaikan/ralat/koreksi administrasi, perubahan rumusan yang tidak terkait dengan anggaran, pembukaan blokir, dan/atau revisi lainnya yang ditetapkan sebagai revisi administrasi.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 121

    Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 berlaku dalam hal terdapat:
    a.
    penyesuaian APBN pada tahun berjalan;
    b.
    perubahan kebijakan Pemerintah, termasuk perubahan sebagai akibat kebijakan Penyesuaian Belanja Negara;
    c.
    perubahan kebijakan Kementerian/Lembaga dalam pencapaian target dan sasaran sesuai tugas dan fungsinya;
    d.
    hasil pengendalian dan pemantauan; dan/atau
    e.
    perubahan informasi anggaran dalam RKA-K/L, RKA-BUN, dan/atau DIPA Kementerian/Lembaga/DIPA BUN.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 122

    Revisi Anggaran dapat dilakukan setelah DIPA Petikan dan/atau DIPA BUN ditetapkan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 123

    (1)
    Untuk pengendalian dan pengamanan belanja negara, Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal dapat melakukan pembatasan Revisi Anggaran.
    (2)
    Pembatasan Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
     
    a.
    memperhatikan pencapaian kinerja Kementerian/Lembaga; dan
     
    b.
    larangan penambahan alokasi anggaran atas Program/Kegiatan/KRO/RO yang termasuk dalam kebijakan Penyesuaian Belanja Negara.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Kewenangan Revisi Anggaran
     

    Pasal 124

    (1)
    Revisi Anggaran ditetapkan oleh:
     
    a.
    Menteri/Pimpinan Lembaga selaku PA untuk:
     
     
    1.
    perubahan RKA yang tidak menyebabkan perubahan DIPA berupa perubahan POK; dan/atau
     
     
    2.
    perubahan RKA untuk jenis revisi/substansi tertentu yang menyebabkan perubahan DIPA dengan mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan; dan
     
    b.
    Menteri Keuangan untuk perubahan RKA dan revisi administrasi yang menyebabkan perubahan DIPA.
    (2)
    Kewenangan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan oleh:
     
    a.
    Direktorat Jenderal Anggaran untuk menetapkan usulan Revisi Anggaran yang memerlukan penelaahan, dan/atau Revisi Anggaran berupa pengesahan; dan
     
    b.
    Direktorat Jenderal Perbendaharaan untuk menetapkan usulan Revisi Anggaran berupa pengesahan, dengan ketentuan sebagai berikut:
     
     
    1.
    Direktorat Pelaksanaan Anggaran Direktorat Jenderal Perbendaharaan berwenang menetapkan usulan Revisi Anggaran antar Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan; dan
     
     
    2.
    Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan berwenang menetapkan usulan Revisi Anggaran dalam satu wilayah.
    (3)
    Kementerian/Lembaga mengajukan usulan pengesahan DIPA atas penetapan perubahan RKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 2 melalui Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan atau Direktorat Pelaksanaan Anggaran-Direktorat Jenderal Perbendaharaan sebelum pelaksanaan kegiatan yang terdampak dari revisi yang dilakukan.
    (4)
    Penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan terhadap:
     
    a.
    penerapan kebijakan efisiensi belanja negara, berupa penilaian atas relevansi antara Kegiatan, KRO, RO termasuk volumenya, dan akun dengan alokasi anggarannya; dan
     
    b.
    penerapan kebijakan efektivitas belanja negara yang meliputi:
     
     
    1.
    relevansi akun/detail dengan RO berdasarkan pendekatan kerangka berpikir logis;
     
     
    2.
    relevansi antara KRO/RO dengan sasaran Kegiatan dan sasaran Program; dan
     
     
    3.
    kesesuaian pencapaian sasaran RKA-K/L dengan Renja K/L.
    (5)
    Revisi Anggaran berupa pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berlaku untuk proses revisi antara lain:
     
    a.
    penyediaan alokasi belanja modal atas pengadaan tanah dalam rangka proyek strategis nasional yang dilakukan oleh Lembaga Manajemen Aset Negara yang dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pendanaan pengadaan tanah bagi proyek strategis nasional oleh Lembaga Manajemen Aset Negara;
     
    b.
    penyediaan alokasi anggaran pengeluaran pembiayaan dalam rangka pengesahan atas penggunaan dana cadangan investasi Pemerintah dalam rangka pemulihan ekonomi nasional sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai investasi Pemerintah dalam rangka pemulihan ekonomi nasional;
     
    c.
    perubahan anggaran pada DIPA Kementerian/Lembaga berupa pergeseran anggaran sub BA BUN Belanja Lainnya ke BA K/L beserta revisi administrasi berupa pencantuman pada catatan halaman IVB DIPA;
     
    d.
    Revisi Anggaran pada DIPA BA BUN Hibah dalam rangka pengesahan atas pemberian hibah kepada pemerintah asing/lembaga asing;
     
    e.
    penyediaan alokasi belanja dalam rangka kegiatan rehabilitasi mangrove yang dilakukan oleh Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup yang dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pengelolaan dana rehabilitasi mangrove; dan/atau
     
    f.
    revisi administrasi berupa pembukaan blokir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 ayat (4) karena dokumen sebagai dasar pengalokasian anggaran telah dilengkapi.
    (6)
    Dalam hal usulan Revisi Anggaran memuat substansi yang meliputi kewenangan Direktorat Pelaksanaan Anggaran-Direktorat Jenderal Perbendaharaan dan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan, proses penetapannya dilakukan oleh Direktorat Pelaksanaan Anggaran-Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
    (7)
    Dalam hal usulan Revisi Anggaran memuat substansi yang meliputi kewenangan Direktorat Jenderal Anggaran dan Direktorat Jenderal Perbendaharaan, proses penetapannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Anggaran.
    (8)
    Rincian kewenangan Direktorat Jenderal Anggaran, Direktorat Jenderal Perbendaharaan, dan Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tercantum dalam Lampiran IV huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Tema Revisi Anggaran

    Paragraf 1
    Revisi Anggaran Terkait PNBP
     

    Pasal 125

    Revisi Anggaran yang bersumber dari PNBP berupa:
    a.
    Revisi Anggaran belanja; dan
    b.
    Revisi Anggaran pendapatan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 126

    (1)
    Revisi Anggaran belanja yang bersumber dari PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 huruf a yang dapat digunakan oleh Kementerian/Lembaga atau BUN berupa:
     
    a.
    perubahan anggaran belanja; atau
     
    b.
    pergeseran anggaran belanja.
    (2)
    Revisi Anggaran belanja yang bersumber dari PNBP berupa perubahan anggaran belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a bersifat:
     
    a.
    menambah pagu anggaran; atau
     
    b.
    mengurangi alokasi anggaran.
    (3)
    Perubahan anggaran belanja yang bersifat menambah pagu anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan dalam hal:
     
    a.
    adanya peraturan perundang-undangan mengenai jenis dan tarif atas jenis PNBP baru;
     
    b.
    adanya Satker PNBP baru;
     
    c.
    adanya persetujuan penggunaan PNBP baru atau peningkatan persetujuan penggunaan PNBP oleh Menteri Keuangan;
     
    d.
    adanya perkiraan kenaikan PNBP berdasarkan surat pernyataan KPA untuk menambah volume RO;
     
    e.
    adanya peningkatan target PNBP (yang dapat digunakan) dalam perubahan APBN, termasuk perubahan postur APBN, dari target PNBP yang ditetapkan dalam APBN;
     
    f.
    penggunaan penerimaan klaim asuransi barang milik negara dalam rangka pengadaan barang milik negara yang dipertanggungkan;
     
    g.
    perubahan anggaran belanja yang bersumber dari perhitungan PNBP tahun anggaran sebelumnya yang belum digunakan khusus untuk Otorita Ibu Kota Nusantara;
     
    h.
    penggunaan kelebihan realisasi penerimaan atas target PNBP;
     
    i.
    revisi pagu anggaran untuk Kementerian/Lembaga atau Satker yang belum memiliki target PNBP dalam DIPA di awal tahun anggaran berkenaan;
     
    j.
    Revisi Anggaran yang bersumber dari PNBP BLU, termasuk penetapan status BLU suatu Satker dan/atau penggunaan saldo kas untuk BLU bersangkutan maupun untuk BLU lainnya; dan/atau
     
    k.
    pagu penggunaan dana PNBP belum dialokasikan sampai dengan batas tertinggi persetujuan penggunaan dana PNBP.
    (4)
    Perubahan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf k tetap mengacu pada batas tertinggi persetujuan penggunaan dana PNBP.
    (5)
    Perubahan anggaran belanja yang bersifat mengurangi alokasi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b yang dapat digunakan oleh BUN atau Kementerian/Lembaga termasuk oleh Satker BLU dilakukan sebagai akibat dari:
     
    a.
    penurunan proyeksi PNBP yang mempengaruhi pencapaian target PNBP yang tercantum dalam APBN tahun anggaran berkenaan atau APBN Perubahan tahun anggaran berkenaan sebagai akibat dari adanya perubahan kebijakan Pemerintah atau hal-hal yang terjadi di luar kehendak para pihak dan tidak dapat diperkirakan sebelumnya, putusan pengadilan, atau alasan lain yang dapat dipertanggungjawabkan;
     
    b.
    penurunan besaran persetujuan penggunaan PNBP oleh Menteri Keuangan;
     
    c.
    adanya pencabutan status pengelolaan keuangan BLU pada suatu Satker;
     
    d.
    adanya persetujuan atas permohonan keringanan PNBP yang diajukan oleh wajib bayar dalam bentuk pengurangan atau pembebasan atas PNBP terutang; dan/atau
     
    e.
    adanya penurunan target PNBP yang dapat digunakan dalam APBN Perubahan, termasuk perubahan postur APBN, dari target PNBP yang ditetapkan dalam APBN.
    (6)
    Perubahan anggaran belanja yang bersumber dari PNBP diikuti dengan perubahan rincian dalam RKA-K/L.
    (7)
    Revisi Anggaran pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 huruf b pada Kementerian/Lembaga atau BUN berupa perubahan target PNBP yang disebabkan adanya perubahan postur APBN tanpa mengubah pagu belanja.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 127

    (1)
    Besaran tambahan pagu yang berasal dari perkiraan kenaikan PNBP atau kelebihan realisasi penerimaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (3) huruf d dan huruf h dihitung:
     
    a.
    paling tinggi sebesar 7,5% (tujuh koma lima persen) dari tambahan perkiraan kenaikan PNBP atau kelebihan realisasi PNBP; atau
     
    b.
    lebih dari 7,5% (tujuh koma lima persen) dari tambahan perkiraan kenaikan PNBP atau kelebihan realisasi PNBP dalam APBN, setelah berkonsultasi dengan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat.
    (2)
    Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk PNBP yang diperoleh dari:
     
    a.
    layanan pendidikan dan pelatihan;
     
    b.
    layanan kesehatan;
     
    c.
    layanan selain pendidikan/pelatihan/kesehatan yang membutuhkan biaya untuk pelaksanaan layanan berkenaan;
     
    d.
    penggunaan dan pemanfaatan barang milik negara;
     
    e.
    pengelolaan dana; dan
     
    f.
    Satker BLU.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 128

    (1)
    Dalam hal terdapat sisa klaim asuransi barang milik negara tahun anggaran sebelumnya yang telah dibukukan sebagai PNBP, sisa klaim asuransi barang milik negara dimaksud dapat diperhitungkan sebagai dasar penambahan alokasi anggaran belanja yang bersumber dari rupiah murni dalam rangka pengadaan barang milik negara yang dipertanggungkan.
    (2)
    Penambahan alokasi anggaran belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mendapat konfirmasi dari Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak Kementerian/Lembaga atau Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak Sumber Daya Alam dan Kekayaan Negara Dipisahkan-Direktorat Jenderal Anggaran.
    (3)
    Penambahan alokasi anggaran belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan sepanjang pengelolaan klaim asuransi barang milik negara belum dikelola oleh unit pengelola Dana Bersama Penanggulangan Bencana.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 129

    (1)
    Perubahan anggaran belanja yang bersumber dari PNBP BUN yang bersifat menambah pagu anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (2) huruf a hanya diperkenankan karena adanya persetujuan penggunaan PNBP baru atau peningkatan besaran persetujuan penggunaan PNBP oleh Menteri Keuangan.
    (2)
    Perubahan anggaran belanja yang bersumber dari PNBP BUN yang bersifat mengurangi pagu anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (2) huruf b dapat disebabkan adanya penurunan besaran persetujuan penggunaan PNBP oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (5) huruf b.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 130

    (1)
    Revisi Anggaran belanja yang bersumber dari PNBP berupa pergeseran anggaran belanja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (1) huruf b dalam hal pagu anggaran tetap dapat dilakukan:
     
    a.
    antar-Program dan/atau antar-unit eselon I;
     
    b.
    antar-KRO dan/atau dalam 1 (satu) KRO; dan/atau
     
    c.
    dalam 1 (satu) KRO dalam 1 (satu) Satker sepanjang tidak mengubah volume RO, jenis belanja, dan sumber dana.
    (2)
    Pembagian kewenangan terkait pergeseran anggaran belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran IV huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Revisi Anggaran Terkait Pinjaman
     

    Pasal 131

    (1)
    Revisi Anggaran yang bersumber dari PLN dan/atau PDN, berupa:
     
    a.
    perubahan anggaran; atau
     
    b.
    pergeseran anggaran.
    (2)
    Revisi Anggaran yang bersumber dari PLN dan/atau PDN berupa perubahan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a bersifat:
     
    a.
    menambah pagu anggaran; atau
     
    b.
    mengurangi alokasi anggaran.
    (3)
    Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap:
     
    a.
    pagu anggaran pada BA K/L;
     
    b.
    pagu anggaran belanja BA BUN untuk pinjaman yang diterushibahkan; dan/atau
     
    c.
    pagu anggaran pengeluaran pembiayaan pada BA BUN untuk Pemberian Pinjaman termasuk pinjaman yang diteruspinjamkan.
    (4)
    Perubahan anggaran yang bersifat menambah pagu anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat dilakukan dalam hal:
     
    a.
    Lanjutan Pelaksanaan Kegiatan Pinjaman, termasuk pinjaman yang diteruspinjamkan dan pinjaman yang diterushibahkan;
     
    b.
    Percepatan Pelaksanaan Kegiatan Pinjaman, termasuk pinjaman yang diteruspinjamkan dan pinjaman yang diterushibahkan;
     
    c.
    penambahan pagu anggaran yang bersumber dari PLN akibat selisih kurs, termasuk pinjaman yang diteruspinjamkan dan pinjaman yang diterushibahkan;
     
    d.
    tambahan PLN dan/atau PDN baru setelah Undang-Undang mengenai APBN tahun anggaran berkenaan ditetapkan, termasuk pinjaman yang diteruspinjamkan dan pinjaman yang diterushibahkan; dan/atau
     
    e.
    pengesahan atas pengeluaran kegiatan/proyek 1 (satu) tahun dan/atau tahun-tahun anggaran sebelumnya yang bersumber dari PLN dan/atau PDN, termasuk yang telah closing date.
    (5)
    Penambahan pagu anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c merupakan penyesuaian besaran nilai rupiah dalam DIPA yang dihitung berdasarkan nilai valuta asing yang sama dan kurs mengikuti realisasi kurs yang digunakan saat transaksi dan dituangkan dalam aplikasi penarikan pinjaman luar negeri (withdrawal application).
    (6)
    Perubahan anggaran yang bersifat mengurangi alokasi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat dilakukan dalam hal:
     
    a.
    kegiatan/proyek yang didanai dari PLN dan/atau PDN yang:
     
     
    1.
    masa berlaku perjanjian pinjamannya telah berakhir; dan/atau
     
     
    2.
    target kinerjanya yang tercantum dalam perjanjian pinjaman telah tercapai;
     
    b.
    pemberi pinjaman melakukan pembatalan seluruhnya atau pembatalan sebagian atas komitmen PLN dan/atau PDN yang tercantum dalam perjanjian pinjaman;
     
    c.
    kegiatan/proyek yang didanai dari PLN dan/atau PDN yang tidak dapat dilaksanakan sebagai akibat dari keadaan bencana; dan/atau
     
    d.
    perjanjian PLN dan/atau PDN untuk kegiatan/proyek yang belum ditandatangani sampai dengan batas akhir penerimaan usulan dan penyampaian pengesahan Revisi Anggaran untuk PLN dan/atau PDN.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 132

    (1)
    Revisi Anggaran terkait kegiatan/proyek yang bersumber dari PLN diikuti dengan perubahan rincian RKA dan/atau perubahan RMP.
    (2)
    Dalam hal alokasi kegiatan/proyek yang bersumber dari PLN yang telah ditandatangani perjanjian pinjamannya tidak memerlukan lagi RMP, dana RMP yang telah dialokasikan untuk kegiatan/proyek dalam DIPA tahun anggaran berkenaan yang berlebih dapat digunakan/direalokasi untuk mendanai RMP pada kegiatan/proyek PLN yang tercantum dalam DIPA tahun anggaran berkenaan.
    (3)
    Alokasi RMP kegiatan/proyek yang bersumber dari PLN yang perjanjian pinjamannya belum ditandatangani dapat digunakan/direalokasi ke kegiatan/proyek yang bersumber dari PLN lain setelah mendapat konfirmasi dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko terkait perkembangan penyiapan kegiatan/proyek dalam forum penelaahan.
    (4)
    Realokasi RMP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan untuk:
     
    a.
    memenuhi kebutuhan RMP kegiatan/proyek yang bersumber dari PLN lain yang telah ditandatangani perjanjian pinjamannya; dan/atau
     
    b.
    kegiatan/proyek yang bersumber dari PLN lain yang telah diterbitkan daftar kegiatannya oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pengadaan pinjaman.
    (5)
    Usulan Revisi Anggaran berupa realokasi RMP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilengkapi dengan pernyataan tanggung jawab mutlak oleh pejabat eselon I pengguna anggaran yang paling sedikit memuat:
     
    a.
    daftar prioritas kegiatan/proyek PLN yang akan dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga pada tahun anggaran berjalan;
     
    b.
    status Pengadaan Barang/Jasa dari kegiatan/proyek dibiayai dengan PLN pada tahun anggaran berjalan; dan
     
    c.
    usulan pemanfaatan alokasi RMP untuk setiap kegiatan/proyek PLN pada tahun anggaran berjalan.
    (6)
    Dalam hal terdapat alokasi RMP kegiatan/proyek PLN untuk pembayaran uang muka kontrak yang tidak terserap pada tahun anggaran sebelumnya, dapat diajukan usulan Revisi Anggaran lanjutan RMP untuk pembayaran uang muka kontrak kegiatan/proyek PLN yang sama.
    (7)
    Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dilakukan sepanjang diatur dalam Undang-Undang mengenai APBN tahun anggaran berkenaan.
    (8)
    Revisi Anggaran lanjutan RMP sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dilakukan dalam hal perjanjian PLN ditandatangani paling lambat tanggal 31 Desember tahun anggaran sebelumnya.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 133

    Revisi Anggaran Belanja yang bersumber dari PLN dan/atau PDN berupa pergeseran anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (1) huruf b dilakukan:
    a.
    sepanjang dalam 1 (satu) nomor register pinjaman yang sama; dan
    b.
    sesuai dengan naskah perjanjian pinjaman atau dokumen yang dipersamakan.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Revisi Anggaran Terkait Hibah
     

    Pasal 134

    (1)
    Revisi Anggaran yang bersumber dari Hibah termasuk Penerusan Hibah, yaitu berupa:
     
    a.
    perubahan anggaran; atau
     
    b.
    pergeseran anggaran.
    (2)
    Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:
     
    a.
    pagu anggaran belanja pada BA K/L; dan
     
    b.
    pagu anggaran belanja dan/atau pengeluaran pembiayaan pada BA BUN.
    (3)
    Revisi Anggaran yang bersumber dari Hibah termasuk Penerusan Hibah berupa perubahan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a bersifat:
     
    a.
    menambah pagu anggaran; atau
     
    b.
    mengurangi alokasi anggaran.
    (4)
    Belanja dan/atau pengeluaran pembiayaan yang bersumber dari Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa hibah yang penarikannya melalui Kuasa BUN atau tidak melalui Kuasa BUN sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara penarikan pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
    (5)
    Perubahan anggaran yang bersifat menambah pagu anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dapat dilakukan dalam hal:
     
    a.
    Lanjutan Pelaksanaan Kegiatan Hibah, termasuk Penerusan Hibah;
     
    b.
    Percepatan Pelaksanaan Kegiatan Hibah, termasuk Penerusan Hibah;
     
    c.
    penambahan pagu anggaran yang bersumber dari hibah luar negeri akibat selisih kurs, termasuk Penerusan Hibah;
     
    d.
    penambahan hibah luar negeri dan/atau hibah dalam negeri baru setelah Undang-Undang mengenai APBN tahun anggaran berkenaan ditetapkan; dan/atau
     
    e.
    pengesahan atas pengeluaran kegiatan/proyek 1 (satu) tahun dan/atau tahun-tahun anggaran sebelumnya yang bersumber dari hibah luar negeri dan/atau hibah dalam negeri, termasuk yang telah closing date.
    (6)
    Penambahan pagu anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c merupakan penyesuaian besaran nilai rupiah dalam DIPA yang dihitung berdasarkan nilai valuta asing yang sama dan kurs mengikuti realisasi kurs yang digunakan saat transaksi dan dituangkan dalam aplikasi penarikan hibah luar negeri (withdrawal application).
    (7)
    Perubahan anggaran yang bersifat mengurangi alokasi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat dilakukan dalam hal:
     
    a.
    kegiatan/proyek yang didanai dari Hibah yang:
     
     
    1.
    masa berlaku perjanjian hibahnya telah berakhir; dan/atau
     
     
    2
    target kinerja yang tercantum dalam perjanjian hibah telah tercapai;
     
    b.
    Pemberi Hibah melakukan pembatalan keseluruhan atau pembatalan sebagian atas komitmen Hibah yang tercantum dalam perjanjian hibah oleh Pemberi Hibah atau dokumen lain yang dipersamakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penerimaan hibah;
     
    c.
    kegiatan/proyek yang didanai dari Hibah yang tidak dapat dilaksanakan sebagai akibat dari keadaan bencana; dan/atau
     
    d.
    perjanjian Hibah untuk kegiatan/proyek yang belum ditandatangani sampai dengan batas akhir penerimaan usulan dan penyampaian pengesahan Revisi Anggaran untuk Hibah.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 135

    Tata cara pencatatan dan pelaporan untuk penambahan penerimaan Hibah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai pengelolaan hibah.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 136

    (1)
    Revisi Anggaran terkait kegiatan/proyek yang bersumber dari Hibah diikuti dengan perubahan rincian RKA dan/atau perubahan RMP.
    (2)
    Dalam hal alokasi kegiatan/proyek yang bersumber dari Hibah tidak memerlukan lagi RMP, dana RMP yang telah dialokasikan untuk kegiatan/proyek dalam DIPA tahun anggaran berkenaan yang berlebih dapat digunakan/direalokasi untuk mendanai RMP pada kegiatan/proyek yang bersumber dari Hibah yang tercantum dalam DIPA tahun anggaran berkenaan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 137

    Revisi Anggaran Belanja yang bersumber dari Hibah berupa pergeseran anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (1) huruf b dilakukan:
    a.
    sepanjang dalam 1 (satu) nomor register hibah yang sama; dan
    b.
    sesuai dengan naskah perjanjian hibah atau dokumen yang dipersamakan.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Revisi Anggaran Terkait SBSN
     

    Pasal 138

    (1)
    Revisi Anggaran yang bersumber dari SBSN dapat berupa:
     
    a.
    perubahan anggaran yang bersifat menambah pagu anggaran SBSN;
     
    b.
    pergeseran anggaran yang tidak bersifat menambah pagu anggaran SBSN pada Kementerian/Lembaga bersangkutan; dan/atau
     
    c.
    revisi administrasi.
    (2)
    Perubahan anggaran yang bersifat menambah pagu anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dilakukan dalam rangka:
     
    a.
    lanjutan pelaksanaan kegiatan/proyek SBSN tahun anggaran sebelumnya; dan/atau
     
    b.
    penggunaan sisa dana penerbitan SBSN untuk pembiayaan kegiatan/proyek Kementerian/Lembaga yang tidak terserap pada tahun anggaran sebelumnya.
    (3)
    Selain perubahan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2), khusus untuk kegiatan/proyek Ibu Kota Nusantara, perubahan anggaran yang bersifat menambah pagu anggaran SBSN dapat pula dilakukan melalui pengurangan pagu rupiah murni dalam 1 (satu) unit eselon I dan/atau antarunit eselon I dalam Kementerian/Lembaga bersangkutan yang dilakukan dengan ketentuan:
     
    a.
    pemenuhan alokasi kegiatan/proyek prioritas baru sesuai arahan Presiden atau hasil keputusan sidang kabinet dan/atau ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
     
    b.
    kegiatan/proyek prioritas baru sebagaimana dimaksud pada huruf a harus terlebih dahulu melalui perubahan daftar prioritas proyek SBSN; dan
     
    c.
    proses Revisi Anggaran untuk pemenuhan alokasi kegiatan/proyek prioritas baru sebagaimana dimaksud pada huruf a dilakukan dalam 1 (satu) Program dalam Kementerian/Lembaga bersangkutan.
    (4)
    Pergeseran anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan:
     
    a.
    dalam 1 (satu) unit eselon I; dan/atau
     
    b.
    antarunit eselon I;
    (5)
    Pergeseran anggaran dalam 1 (satu) unit eselon I sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dilakukan dalam rangka:
     
    a.
    pembayaran Tunggakan kegiatan/proyek SBSN sesuai hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan yang bersumber dari Sisa Anggaran Kontraktual;
     
    b.
    rekomposisi pendanaan antar-tahun anggaran untuk percepatan kegiatan/proyek SBSN; dan/atau
     
    c.
    pemanfaatan Sisa Anggaran Kontraktual untuk kegiatan/proyek SBSN yang sama dan/atau antar kegiatan/proyek SBSN.
    (6)
    Pergeseran anggaran SBSN antarunit eselon I sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dilakukan dengan ketentuan:
     
    a.
    pemenuhan alokasi kegiatan/proyek SBSN baru pada tahun anggaran berkenaan dilakukan melalui:
     
     
    1.
    pemanfaatan sisa dana SBSN dan/atau Sisa Anggaran Kontraktual SBSN tanpa menambah total alokasi SBSN pada tahun anggaran berkenaan; dan/atau
     
     
    2.
    pemanfaatan alokasi anggaran kegiatan/proyek tahun berkenaan yang pelaksanaannya ditunda atau diperpanjang ke tahun anggaran berikutnya;
     
    b.
    kegiatan/proyek SBSN baru sebagaimana dimaksud pada huruf a merupakan prioritas kegiatan/proyek sesuai arahan Presiden atau hasil keputusan sidang kabinet dan/atau ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­ undangan; dan
     
    c.
    proses Revisi Anggaran dilakukan dengan ketentuan hanya dapat dilakukan dalam 1 (satu) Program dalam Kementerian/Lembaga bersangkutan dan terlebih dahulu dilakukan perubahan daftar prioritas kegiatan/proyek SBSN.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 139

    (1)
    Perubahan anggaran dalam rangka lanjutan pelaksanaan kegiatan/proyek SBSN tahun anggaran sebelumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (2) huruf a dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    dilampiri dokumen berita acara rekonsiliasi pagu dana lanjutan dari kegiatan/proyek tahun anggaran sebelumnya yang merupakan hasil rekonsiliasi antara Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Direktorat Jenderal Perbendaharaan, dan Kementerian/Lembaga terkait;
     
    b.
    pagu dana lanjutan yang tertuang dalam berita acara rekonsiliasi merupakan batas tertinggi yang dapat dialokasikan dalam dokumen anggaran; dan
     
    c.
    proses Revisi Anggaran dilakukan tanpa disertai perubahan daftar prioritas kegiatan/proyek SBSN untuk tahun anggaran berkenaan.
    (2)
    Khusus untuk kegiatan/proyek kontrak tahun jamak yang pada tahun anggaran sebelumnya merupakan tahun terakhir, proses perubahan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah:
     
    a.
    pembahasan bersama 3 (tiga) pihak (trilateral meeting) Kementerian/Lembaga, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional dan Kementerian Keuangan; dan
     
    b.
    perpanjangan izin kontrak tahun jamak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang­-undangan mengenai kontrak tahun jamak.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 140

    Pergeseran anggaran dalam rangka pembayaran Tunggakan kegiatan/proyek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (5) huruf a dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
    a.
    pergeseran anggaran antar-kegiatan/proyek atau antar-Satker dilakukan dengan merealokasi Sisa Anggaran Kontraktual pada kegiatan/proyek atau Satker lain ke kegiatan/proyek atau Satker yang memiliki Tunggakan;
    b.
    pergeseran anggaran sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan dengan syarat:
     
    1.
    menggunakan Sisa Anggaran Kontraktual kegiatan/proyek dari unit eselon I bersangkutan pada tahun anggaran berkenaan; dan
     
    2.
    nilai Tunggakan yang dibayarkan sesuai hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan;
    c.
    besaran nilai anggaran hasil pergeseran dituangkan dalam DIPA Petikan yang memiliki Tunggakan dan menggunakan kode register SBSN yang tersedia pada unit eselon I bersangkutan untuk tahun anggaran berkenaan;
    d.
    dalam hal pergeseran anggaran melibatkan lebih dari 1 (satu) kegiatan/proyek atau Satker yang memiliki Sisa Anggaran Kontraktual, maka dapat disertai dengan proses mutasi dana antar-rekening khusus atau perubahan data register SBSN; dan
    e.
    proses Revisi Anggaran dapat dilakukan tanpa adanya perubahan daftar prioritas kegiatan/proyek SBSN.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 141

    (1)
    Pergeseran anggaran dalam rangka rekomposisi pendanaan antar-tahun anggaran untuk percepatan kegiatan/proyek SBSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (5) huruf b dapat dilakukan melalui:
     
    a.
    peminjaman pagu;
     
    b.
    pemanfaatan Sisa Anggaran Kontraktual; dan/atau
     
    c.
    pemanfaatan sisa dana SBSN pada Kementerian/Lembaga yang bersangkutan.
    (2)
    Pergeseran anggaran dalam rangka rekomposisi pendanaan antar-tahun anggaran untuk percepatan kegiatan/proyek SBSN melalui peminjaman pagu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    merupakan percepatan dari kegiatan/proyek SBSN kontrak tahun jamak tahun anggaran berikutnya ke kegiatan/proyek SBSN kontrak tahun jamak tahun anggaran berkenaan;
     
    b.
    alokasi anggarannya bersumber dari penundaan pelaksanaan kegiatan/proyek SBSN kontrak tahun jamak lain dari tahun anggaran berkenaan ke tahun anggaran berikutnya;
     
    c.
    tidak berlaku untuk kegiatan/proyek SBSN kontrak tahun jamak periode tahun terakhir baik untuk meminjam maupun dipinjam pagunya;
     
    d.
    tidak berlaku untuk kegiatan/proyek yang belum mendapatkan alokasi anggaran SBSN sebelumnya;
     
    e.
    tidak menyebabkan penambahan jumlah penerbitan SBSN pada tahun anggaran berkenaan dan tahun anggaran berikutnya;
     
    f.
    telah disepakati dalam forum pembahasan antara Kementerian Keuangan, Kementerian/Lembaga terkait, dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional;
     
    g.
    proses Revisi Anggaran dapat dilakukan tanpa adanya perubahan daftar prioritas kegiatan/proyek SBSN, dengan terlebih dahulu dilakukan pembahasan bersama 3 (tiga) pihak (trilateral meeting) Kementerian/Lembaga, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional dan Kementerian Keuangan;
     
    h.
    merupakan pergeseran anggaran dari RO/KRO kegiatan/proyek kontrak tahunjamak ke RO/KRO kegiatan/proyek kontrak tahun jamak lainnya;
     
    i.
    unit eselon I yang melakukan peminjaman pagu wajib melakukan proses transaksi pengembalian pagu pada tahun anggaran berikutnya; dan
     
    j.
    pengembalian pagu sebagaimana dimaksud pada huruf i dilakukan melalui mekanisme Revisi Anggaran berupa pengembalian pagu anggaran atas peminjaman pagu anggaran tahun anggaran sebelumnya, dengan terlebih dahulu melalui pembahasan bersama 3 (tiga) pihak (trilateral meeting) Kementerian/Lembaga, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional dan Kementerian Keuangan, dan dapat dilakukan tanpa adanya perubahan daftar prioritas kegiatan/proyek SBSN.
    (3)
    Pergeseran anggaran dalam rangka rekomposisi melalui pemanfaatan Sisa Anggaran Kontraktual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    merupakan percepatan dari kegiatan/proyek SBSN kontrak tahun jamak tahun anggaran berikutnya ke kegiatan/proyek SBSN kontrak tahun jamak tahun anggaran berkenaan;
     
    b.
    menggunakan dana Sisa Anggaran Kontraktual kegiatan/proyek yang lain termasuk Sisa Anggaran Kontraktual dari kegiatan/proyek SBSN kontrak tahun jamak tahun anggaran terakhir atau Sisa Anggaran Kontraktual tahun tunggal;
     
    c.
    tidak menyebabkan penambahan jumlah penerbitan SBSN pada tahun anggaran berkenaan dan tahun anggaran berikutnya;
     
    d.
    tidak berlaku untuk kegiatan/proyek yang belum mendapatkan alokasi anggaran SBSN sebelumnya;
     
    e.
    diproses setelah terlebih dahulu dilakukan pembahasan antara Kementerian Keuangan, Kementerian/Lembaga terkait, dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional; dan
     
    f.
    merupakan pergeseran anggaran dari RO/KRO kegiatan/proyek ke RO/KRO kegiatan/proyek lainnya.
    (4)
    Pergeseran anggaran dari RO/KRO kegiatan/proyek ke RO/KRO kegiatan/proyek lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf f dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    dalam hal Sisa Anggaran Kontraktual kegiatan/proyek kontrak tahun tunggal digunakan untuk percepatan pelaksanaan kegiatan/proyek kontrak tahun jamak yang belum atau telah dialokasikan pada tahun anggaran berkenaan dan/atau untuk percepatan pelaksanaan kegiatan/proyek yang semula direncanakan akan dilaksanakan dengan jenis kontrak tahun tunggal pada tahun anggaran berikutnya, maka:
     
     
    1.
    kegiatan/proyek yang dipercepat harus sudah masuk dalam daftar prioritas kegiatan/proyek SBSN tahun anggaran berikutnya; dan
     
     
    2.
    terlebih dahulu dilakukan perubahan daftar prioritas kegiatan/proyek SBSN dan/atau rincian daftar prioritas kegiatan/proyek SBSN tahun anggaran berkenaan; atau
     
    b.
    dalam hal Sisa Anggaran Kontraktual kegiatan/proyek kontrak tahun jamak digunakan untuk percepatan pelaksanaan kegiatan/proyek kontrak tahun jamak yang semula direncanakan akan dilaksanakan pada tahun anggaran berikutnya atau yang telah dialokasikan pada tahun anggaran berkenaan dan/atau untuk percepatan pelaksanaan kegiatan/proyek yang semula direncanakan akan dilaksanakan dengan jenis kontrak tahun tunggal pada tahun anggaran berikutnya, maka:
     
     
    1.
    kegiatan/proyek yang dipercepat harus sudah masuk dalam daftar prioritas kegiatan/proyek SBSN tahun anggaran berikutnya; dan
     
     
    2.
    terlebih dahulu dilakukan perubahan daftar prioritas kegiatan/proyek SBSN dan/atau rincian daftar prioritas kegiatan/proyek SBSN tahun anggaran berkenaan.
    (5)
    Pergeseran anggaran dalam rangka rekomposisi pendanaan antar-tahun anggaran untuk percepatan kegiatan/proyek SBSN melalui pemanfaatan sisa dana SBSN pada Kementerian/Lembaga yang bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    merupakan percepatan dari kegiatan/proyek SBSN kontrak tahun jamak tahun anggaran berikutnya ke tahun anggaran berkenaan;
     
    b.
    alokasi anggarannya bersumber dari sisa dana kegiatan/proyek SBSN kontrak tahun tunggal atau kontrak jamak tahun anggaran terakhir Kementerian/Lembaga bersangkutan;
     
    c.
    tidak berlaku untuk kegiatan/proyek SBSN kontrak tahun jamak periode tahun terakhir pada tahun anggaran berkenaan;
     
    d.
    pemanfaatan sisa dana SBSN pada Kementerian/Lembaga yang bersangkutan dapat dilakukan antar unit eselon I dalam 1 (satu) Kementerian/Lembaga;
     
    e.
    tidak menyebabkan penambahan alokasi SBSN pada Kementerian/Lembaga bersangkutan pada tahun anggaran berkenaan dan tahun anggaran berikutnya;
     
    f.
    tidak menyebabkan penambahan jumlah penerbitan SBSN pada tahun anggaran berkenaan dan tahun anggaran berikutnya;
     
    g.
    tidak berlaku untuk kegiatan/proyek yang belum tertuang dalam daftar prioritas kegiatan/proyek SBSN atau belum mendapatkan alokasi anggaran SBSN pada tahun anggaran berkenaan;
     
    h.
    Revisi Anggaran dilakukan dengan terlebih dahulu melalui pembahasan bersama 3 (tiga) pihak (trilateral meeting) antara Kementerian/Lembaga, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional dan Kementerian Keuangan; dan
     
    i.
    merupakan pergeseran anggaran dari RO/KRO kegiatan/proyek ke RO/KRO kegiatan/proyek lainnya.
    (6)
    Pergeseran anggaran dari RO/KRO kegiatan/proyek ke RO/KRO kegiatan/proyek lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf i dilakukan dalam hal sisa dana SBSN pada Kementerian/Lembaga yang bersangkutan akan digunakan untuk percepatan pelaksanaan kegiatan/proyek kontrak tahun jamak yang belum atau telah dialokasikan pada tahun anggaran berkenaan dan/atau untuk percepatan pelaksanaan kegiatan/proyek yang semula direncanakan akan dilaksanakan dengan jenis kontrak tahun tunggal pada tahun anggaran berikutnya, maka:
     
    a.
    kegiatan/proyek yang dipercepat harus sudah masuk dalam daftar prioritas kegiatan/proyek SBSN tahun berikutnya; dan
     
    b.
    terlebih dahulu dilakukan perubahan daftar prioritas kegiatan/proyek SBSN dan/atau rincian daftar prioritas kegiatan/proyek SBSN tahun anggaran berkenaan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 142

    (1)
    Pergeseran anggaran dalam rangka pemanfaatan Sisa Anggaran Kontraktual untuk kegiatan/proyek SBSN yang sama dan/atau antar-kegiatan/proyek SBSN dalam 1 (satu) unit eselon I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (5) huruf c dapat dilakukan untuk:
     
    a.
    pekerjaan tambah (contract change order);
     
    b.
    optimalisasi sisa anggaran;
     
    c.
    percepatan pembiayaan;
     
    d.
    percepatan pelaksanaan kegiatan/proyek kontrak tahun jamak;
     
    e.
    penyesuaian harga atau eskalasi khusus yang disebabkan perubahan kebijakan perpajakan atau kenaikan harga bahan bakar minyak; dan/atau
     
    f.
    perbaikan cacat mutu dan/atau penanganan situasi darurat (force majeure).
    (2)
    Pemanfaatan Sisa Anggaran Kontraktual melalui pekerjaan tambah (contract change order) sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (1) huruf a dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    pemanfaatan Sisa Anggaran Kontraktual paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen) dari masing­ masing kontrak paket pengadaan;
     
    b.
    terdapat pergeseran anggaran antarkomponen dan/atau antarkegiatan/proyek; dan
     
    c.
    dalam hal terdapat perubahan ruang lingkup/komponen utama kegiatan/proyek, harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
    (3)
    Pemanfaatan Sisa Anggaran Kontraktual yang dilakukan melalui optimalisasi sisa anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    sumber dana untuk pelaksanaan optimalisasi dapat berasal dari:
     
     
    1.
    seluruh Sisa Anggaran Kontraktual yang tersedia, termasuk dari sisa anggaran untuk keperluan pekerjaan tambah (contract change order) yang tidak digunakan; dan/atau
     
     
    2.
    sisa dana SBSN kegiatan/proyek lain;
     
    b.
    pemanfaatan dapat dilakukan untuk kegiatan/proyek bersangkutan atau pada kegiatan/proyek lain;
     
    c.
    dilakukan melalui pergeseran anggaran berupa:
     
     
    1.
    antarkomponen dalam kegiatan/proyek yang sama;
     
     
    2.
    antarkegiatan/proyek; atau
     
     
    3.
    antarjenis kontrak tahun tunggal dan kontrak tahun jamak terakhir;
     
    d.
    perlu mendapatkan persetujuan dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dalam hal:
     
     
    1.
    terdapat perubahan ruang lingkup/komponen utama kegiatan/proyek; dan
     
     
    2.
    nilai optimalisasi melebihi batas paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen) dari total nilai kontrak pada masing-masing paket pengadaan;
     
    e.
    tidak perlu mendapatkan persetujuan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dalam hal:
     
     
    1.
    tidak melebihi batas paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen) dari total nilai kontrak pada masing-masing paket pengadaan;
     
     
    2.
    digunakan untuk penambahan kegiatan/proyek atau komponen penunjang dari ruang lingkup berdasarkan penetapan oleh KPA dan dilengkapi dengan pernyataan tanggung jawab mutlak dari KPA; dan
     
     
    3.
    terlebih dahulu dilakukan reviu oleh APIP K/L;
     
    f.
    tidak dapat digunakan untuk kegiatan/proyek yang belum mendapatkan alokasi anggaran SBSN sebelumnya, kecuali:
     
     
    1.
    kegiatan/proyek yang merupakan arahan langsung Presiden dan/atau keputusan sidang kabinet; dan/atau
     
     
    2.
    ditetapkan melalui perubahan daftar prioritas kegiatan/proyek SBSN setelah terlebih dahulu melalui pembahasan Kementerian Keuangan, Kementerian/Lembaga terkait, dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional; dan
     
    g.
    dapat digunakan untuk kegiatan/proyek yang dialihkan dari sumber dana rupiah murni ke SBSN sebagai bagian dari pelaksanaan kebijakan pemotongan dan/atau penghematan anggaran, dengan ketentuan:
     
     
    1.
    kegiatan/proyek yang akan dialihkan ke SBSN memenuhi kriteria dan persyaratan untuk pembiayaan kegiatan/proyek melalui SBSN;
     
     
    2.
    kegiatan/proyek belum ada realisasi anggaran dengan sumber dana rupiah murni pada saat dialihkan ke SBSN;
     
     
    3.
    ditetapkan melalui perubahan daftar prioritas kegiatan/proyek SBSN atau rincian daftar prioritas kegiatan/proyek SBSN setelah terlebih dahulu melalui pembahasan Kementerian Keuangan, Kementerian/Lembaga terkait, dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional;
     
     
    4.
    tidak menambah pagu/alokasi kegiatan/proyek SBSN secara keseluruhan; dan
     
     
    5.
    diprioritaskan untuk kegiatan/proyek yang siap untuk dilaksanakan pada tahun anggaran berkenaan.
    (4)
    Pemanfaatan Sisa Anggaran Kontraktual yang dilakukan melalui optimalisasi sisa anggaran sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (1) huruf b dapat dilaksanakan oleh KPA melalui revisi POK sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah dengan ketentuan:
     
    a.
    sumber dana berasal dari seluruh Sisa Anggaran Kontraktual yang tersedia, termasuk dari sisa anggaran untuk keperluan pekerjaan tambah (contract change order) yang tidak digunakan;
     
    b.
    pemanfaatan hanya dipergunakan untuk peningkatan kualitas kegiatan/proyek bersangkutan;
     
    c.
    pergeseran anggaran dalam jenis belanja dan komponen yang sama;
     
    d.
    nilai optimalisasi tidak melebihi batas paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen) dari total nilai kontrak pada masing-masing paket pengadaan;
     
    e.
    digunakan untuk penambahan kegiatan/proyek atau komponen penunjang dari ruang lingkup; dan
     
    f.
    terlebih dahulu dilakukan reviu oleh APIP K/L.
    (5)
    Pemanfaatan Sisa Anggaran Kontraktual melalui percepatan pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (1) huruf c dapat dilaksanakan melalui Revisi Anggaran dengan ketentuan:
     
    a.
    kegiatan/proyek yang dapat dilakukan percepatan pembiayaan meliputi:
     
     
    1.
    kegiatan/proyek yang sudah dituangkan dalam daftar prioritas kegiatan/proyek SBSN dan/atau pagu anggaran pada tahun anggaran berikutnya untuk dipercepat pelaksanaannya di tahun anggaran berkenaan; dan
     
     
    2.
    jenis kegiatan/proyek yang dapat dilakukan percepatan pembiayaan dapat berupa kegiatan/proyek kontrak tahun jamak atau kegiatan/proyek kontrak tahun tunggal; dan
     
    b.
    perlu dilakukan perubahan daftar prioritas kegiatan/proyek SBSN tahun anggaran berkenaan.
    (6)
    Pemanfaatan Sisa Anggaran Kontraktual untuk percepatan pelaksanaan kegiatan/proyek kontrak tahun jamak sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (1) huruf d dapat dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    kegiatan/proyek yang dapat dilakukan percepatan pembiayaan meliputi:
     
     
    1.
    merupakan percepatan dari kegiatan/proyek SBSN kontrak tahun jamak tahun anggaran berikutnya ke tahun anggaran berkenaan; dan
     
     
    2.
    tidak berlaku untuk kegiatan/proyek SBSN kontrak tahun jamak periode tahun terakhir pada tahun anggaran berkenaan; dan
     
    b.
    dapat dilakukan tanpa disertai perubahan daftar prioritas kegiatan/proyek SBSN tahun anggaran berkenaan.
    (7)
    Pemanfaatan Sisa Anggaran Kontraktual dalam rangka penyesuaian harga atau eskalasi khusus sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (1) huruf e dapat dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    pemanfaatan Sisa Anggaran Kontraktual dapat digunakan untuk:
     
     
    1.
    kegiatan/proyek jenis kontrak tahun jamak atau proyek kontrak tahun tunggal yang sedang dilaksanakan pada tahun anggaran berkenaan; dan
     
     
    2.
    kegiatan/proyek memerlukan penyesuaian harga atau eskalasi khusus yang disebabkan adanya penyesuaian kebijakan perpajakan atau kenaikan harga bahan bakar minyak yang terjadi pada tahun anggaran berkenaan;
     
    b.
    pergeseran anggaran disertai surat pernyataan tanggung jawab mutlak dari KPA dan dilengkapi dengan dokumen administratif yang diterbitkan oleh pihak yang berwenang terkait penyesuaian kebijakan perpajakan dan kenaikan harga bahan bakar minyak;
     
    c.
    dalam hal proses penyesuaian harga atau eskalasi khusus tersebut menyebabkan kenaikan nilai izin kontrak tahun jamak maka perlu disertai dengan usulan penambahan nilai izin kontrak tahun jamak;
     
    d.
    pemanfaatan dapat dilakukan untuk kegiatan/proyek bersangkutan atau pada kegiatan/proyek lain sepanjang dalam 1 (satu) unit eselon I;
     
    e.
    tidak perlu dilakukan perubahan daftar prioritas kegiatan/proyek SBSN tahun anggaran berkenaan dalam hal nilai alokasi kegiatan/proyek setelah pergeseran anggaran tidak melampaui nilai daftar prioritas kegiatan/proyek SBSN kegiatan/proyek bersangkutan; dan/atau
     
    f.
    pemanfaatan sisa anggaran kontraktual dalam rangka penyesuaian harga atau eskalasi selain karena penyesuaian kebijakan perpajakan atau kenaikan harga bahan bakar minyak dilakukan dengan mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan, dan proses pergeseran anggarannya dilakukan dengan ketentuan:
     
     
    1.
    nilai kewajiban pembayaran yang dapat dibayarkan sesuai hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan;
     
     
    2.
    dalam hal diperlukan, terlebih dahulu dilakukan penambahan pagu dan/atau nilai izin kontrak tahun jamak;
     
     
    3.
    diproses setelah terlebih dahulu dilakukan pembahasan bersama 3 (tiga) pihak (trilateral meeting) antara Kementerian Keuangan, Kementerian/Lembaga terkait, dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional; dan
     
     
    4.
    proses Pergeseran Anggaran dapat dilakukan tanpa adanya perubahan daftar prioritas kegiatan/proyek SBSN.
    (8)
    Pemanfaatan Sisa Anggaran Kontraktual dalam rangka perbaikan cacat mutu dan/atau penanganan situasi darurat (force majeure) sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (1) huruf f dapat dilaksanakan melalui Revisi Anggaran dengan ketentuan:
     
    a.
    pemanfaatan Sisa Anggaran Kontraktual dapat digunakan untuk kegiatan/proyek jenis kontrak tahun jamak atau kegiatan/proyek kontrak tahun tunggal yang sedang dilaksanakan pada tahun anggaran berkenaan;
     
    b.
    kegiatan/proyek memerlukan perbaikan mutu yang disebabkan karena situasi darurat (force majeure) antara lain:
     
     
    1.
    adanya kerusakan dan/atau penurunan mutu/kualitas konstruksi antara lain akibat dari gempa bumi, tanah longsor, dan banjir; dan/atau
     
     
    2.
    adanya situasi darurat (force majeure) yang memerlukan penanganan lebih lanjut agar tidak berdampak pada proses konstruksi dan/atau pencapaian target RO;
     
    c.
    pergeseran anggaran dilakukan dengan terlebih dahulu adanya proses audit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan dan disertai surat pernyataan tanggung jawab mutlak dari KPA;
     
    d.
    dalam hal kegiatan/proyek kontrak tahun jamak mengalami kenaikan nilai izin kontrak tahun jamak maka perlu disertai dengan usulan penambahan nilai izin kontrak tahun jamak;
     
    e.
    pemanfaatan dapat dilakukan untuk kegiatan/proyek bersangkutan atau pada kegiatan/proyek lain; dan/atau
     
    f.
    tidak perlu dilakukan perubahan daftar prioritas kegiatan/proyek SBSN tahun anggaran berkenaan dalam hal nilai alokasi kegiatan/proyek tidak melampaui nilai daftar prioritas kegiatan/proyek SBSN kegiatan/proyek bersangkutan.
    (9)
    Pergeseran Anggaran dalam rangka pemanfaatan Sisa Anggaran Kontraktual untuk kegiatan/proyek SBSN dalam rangka percepatan pembiayaan, percepatan pelaksanaan kegiatan/proyek kontrak tahun jamak, penyesuaian harga atau eskalasi khusus yang disebabkan perubahan kebijakan perpajakan atau kenaikan harga bahan bakar minyak, dan perbaikan cacat mutu dan/atau penanganan situasi darurat (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (5) sampm dengan ayat (8) dilakukan dengan ketentuan:
     
    a.
    sumber dana dapat berasal dari:
     
     
    1.
    seluruh Sisa Anggaran Kontraktual yang tersedia, termasuk dari sisa anggaran untuk keperluan pekerjaan tambah (contract change order) yang tidak digunakan; dan/atau
     
     
    2.
    sisa dana SBSN kegiatan/proyek lain;
     
    b.
    dapat dilakukan melalui pergeseran anggaran berupa:
     
     
    1.
    antarkomponen dalam kegiatan/proyek yang sama;
     
     
    2.
    antarkegiatan/proyek; atau
     
     
    3.
    antarjenis kontrak tahun tunggal dan kontrak tahun jamak terakhir;
     
    c.
    tidak menyebabkan penambahan alokasi SBSN pada Kementerian/Lembaga bersangkutan pada tahun anggaran berkenaan dan tahun anggaran berikutnya;
     
    d.
    tidak menyebabkan penambahan jumlah penerbitan SBSN pada tahun anggaran berkenaan dan tahun anggaran berikutnya;
     
    e.
    tidak berlaku untuk kegiatan/proyek yang belum dicantumkan dalam daftar prioritas kegiatan/proyek SBSN dan/atau belum mendapatkan alokasi anggaran SBSN sebelumnya; dan
     
    f.
    pergeseran anggaran dilakukan dengan terlebih dahulu melalui pembahasan bersama 3 (tiga) pihak (trilateral meeting) an tara Kementerian/Lembaga, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional dan Kementerian Keuangan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 143

    (1)
    Revisi administrasi terkait SBSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (1) huruf c dapat berupa:
     
    a.
    perubahan atau penambahan nomor register SBSN;
     
    b.
    ralat nomor register SBSN;
     
    c.
    perubahan atau penambahan cara penarikan SBSN; dan/atau
     
    d.
    ralat cara penarikan SBSN.
    (2)
    Revisi administrasi terkait perubahan atau penambahan nomor register SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    lingkup perubahan atau penambahan nomor register SBSN meliputi:
     
     
    1.
    perubahan kegiatan/proyek dari semula kontrak tahun tunggal menjadi kontrak tahun jamak atau sebaliknya; dan/atau
     
     
    2.
    adanya penambahan kegiatan/proyek baru baik kontrak tahun tunggal maupun kontrak tahun jamak;
     
    b.
    dalam hal perubahan kegiatan/proyek dari semula kontrak tahun tunggal menjadi kontrak tahun jamak, revisi administrasi dilakukan setelah terbitnya surat persetujuan kontrak tahun jamak;
     
    c.
    diproses setelah terlebih dahulu dilakukan pembahasan antara Direktorat Jenderal Anggaran, Direktorat J enderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, dan Kementerian/Lembaga; dan
     
    d.
    unit eselon I mengajukan proses perubahan atau penambahan nomor register SBSN kepada Direktorat Jenderal Anggaran dengan melampirkan dokumen sumber dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko mengenai penetapan nomor register SBSN.
    (3)
    Revisi administrasi terkait ralat nomor register SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    ralat nomor register SBSN terkait kesalahan pencantuman nomor register SBSN dalam DIPA meliputi:
     
     
    1.
    semula menggunakan nomor register sementara (dummy) menjadi nomor register yang seharusnya; atau
     
     
    2.
    semula nomor register lainnya menjadi nomor register yang seharusnya; dan
     
    b.
    ralat nomor register SBSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan oleh KPA dan ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Revisi Anggaran Terkait Belanja Operasional
     

    Pasal 144

    (1)
    Revisi Anggaran terkait Belanja Operasional dilakukan untuk memenuhi:
     
    a.
    kekurangan Belanja Operasional; dan
     
    b.
    memenuhi kekurangan selain Belanja Operasional.
    (2)
    Belanja Operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
     
    a.
    belanja pegawai operasional; dan
     
    b.
    belanja barang operasional.
    (3)
    Belanja pegawai operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a termasuk untuk pemenuhan selisih kurs untuk belanja pegawai di luar negeri.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 145

    (1)
    Revisi Anggaran untuk memenuhi kekurangan Belanja Operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 ayat (1) huruf a dilakukan melalui pergeseran anggaran dalam 1 (satu) unit eselon I yang sama atau antarunit eselon I dalam Kementerian/Lembaga yang sama, termasuk yang berasal dari pemanfaatan Sisa Anggaran Kontraktual/Swakelola RO Prioritas Nasional.
    (2)
    Pergeseran anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui pergeseran:
     
    a.
    antarakun dalam RO yang sama atau antar-RO;
     
    b.
    antar-RO dalam KRO yang sama atau antar-KRO;
     
    c.
    antar-KRO dalam Program yang sama atau antar­ Program; dan/atau
     
    d.
    anggaran dari sub BA BUN Belanja Lainnya ke BA K/L sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 146

    (1)
    Revisi Anggaran untuk memenuhi kekurangan selain Belanja Operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 ayat (1) huruf b dilakukan melalui pergeseran anggaran dari Belanja Operasional ke selain Belanja Operasional.
    (2)
    Khusus untuk pergeseran anggaran dari belanja pegawai operasional ke selain belanja pegawai operasional dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    pergeseran dapat diusulkan sepanjang tidak mengakibatkan belanja pegawai operasional pada Satker bersangkutan menjadi minus di akhir tahun;
     
    b.
    Kementerian/Lembaga menyampaikan usulan pergeseran anggaran dari belanja pegawai operasional ke selain belanja pegawai operasional kepada Kementerian Keuangan dilampiri surat persetujuan dari Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama Kementerian/Lembaga; dan
     
    c.
    surat persetujuan sebagaimana dimaksud pada huruf b, paling sedikit menyatakan bahwa:
     
     
    1.
    alokasi belanja pegawai operasional pada tingkat Kementerian/Lembaga telah terpenuhi sampai dengan akhir tahun; dan
     
     
    2.
    dalam hal terjadi kekurangan belanja pegawai operasional akan segera dipenuhi melalui pergeseran alokasi anggaran pada Kementerian/Lembaga yang bersangkutan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 147

    Dalam hal terjadi pagu minus belanja pegawai operasional pada tahun anggaran berkenaan, Satker memprioritaskan penyelesaiannya dengan melakukan pergeseran alokasi anggaran dalam 1 (satu) Satker dan/atau antar-Satker dalam 1 (satu) unit eselon I dan/atau antarunit eselon I dalam 1 (satu) Kementerian/Lembaga.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Revisi Anggaran Terkait BA BUN
     

    Pasal 148

    (1)
    Revisi Anggaran terkait BA BUN dilakukan melalui:
     
    a.
    perubahan anggaran BA BUN; dan
     
    b.
    pergeseran anggaran BA BUN.
    (2)
    Perubahan anggaran BA BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
     
    a.
    perubahan alokasi anggaran program subsidi;
     
    b.
    perubahan alokasi anggaran kewajiban yang timbul dari penggunaan dana Saldo Anggaran Lebih, Penarikan Pinjaman Tunai, dan/atau penerbitan surat berharga negara sebagai akibat tambahan pembiayaan;
     
    c.
    perubahan alokasi anggaran pembayaran bunga utang;
     
    d.
    perubahan alokasi anggaran pembayaran cicilan/pelunasan pokok utang;
     
    e.
    perubahan alokasi anggaran kewajiban penjaminan Pemerintah;
     
    f.
    perubahan anggaran belanja yang bersumber dari hibah, termasuk hibah yang diterushibahkan;
     
    g.
    perubahan anggaran belanja dalam rangka penanggulangan bencana;
     
    h.
    perubahan anggaran belanja yang bersumber dari PLN;
     
    i.
    perubahan pagu anggaran TKD;
     
    j.
    perubahan pembayaran investasi pada organisasi/lembaga keuangan internasional/badan usaha internasional sebagai akibat dari perubahan kurs;
     
    k.
    perubahan anggaran BA BUN sebagai akibat pergeseran anggaran dari BA K/L ke sub BA BUN Belanja Lainnya;
     
    l.
    perubahan anggaran BA BUN sebagai akibat pergeseran anggaran dari sub BA BUN Belanja Lainnya ke BA K/L;
     
    m.
    perubahan anggaran BA BUN sebagai akibat penambahan alokasi pembiayaan investasi pada BLU yang bersumber dari kas BLU;
     
    n.
    perubahan anggaran BA BUN sebagai akibat pengesahan atas pendapatan/belanja/pembiayaan anggaran untuk sub BA BUN yang telah dilakukan pada tahun anggaran sebelumnya;
     
    o.
    perubahan anggaran program transaksi khusus terkait pembayaran klaim Zoss limit yang bersumber dari Cadangan Penjaminan Pemerintah; dan/atau
     
    p.
    perubahan anggaran dalam rangka penggunaan anggaran dalam BA BUN yang belum dialokasikan dalam DIPA BUN.
    (3)
    Revisi Anggaran berupa pergeseran anggaran BA BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam rangka:
     
    a.
    pemenuhan alokasi anggaran pada program subsidi;
     
    b.
    pemenuhan kurang salur/kurang bayar subsidi dan TKD;
     
    c.
    pemenuhan kekurangan alokasi anggaran untuk belanja hibah ke luar negeri sebagai akibat adanya selisih kurs;
     
    d.
    pergeseran anggaran pembayaran kewajiban utang sebagai dampak dari perubahan komposisi instrumen pembiayaan utang;
     
    e.
    pemenuhan kewajiban negara sebagai akibat dari keikutsertaan sebagai anggota organisasi internasional;
     
    f.
    penggunaan anggaran dalam BA BUN yang belum dialokasikan dalam DIPA BUN;
     
    g.
    pemberian hibah kepada pemerintah asing/lembaga asing dalam hal sumber dari PNBP BLU Lembaga Dana Kerja Sama Pembangunan Internasional tidak mencukupi;
     
    h.
    pergeseran anggaran yang berakibat pada perubahan alokasi anggaran cadangan kompensasi dalam program belanja lainnya; dan/atau
     
    i.
    pergeseran anggaran antarsubbagian anggaran BA BUN lainnya sepanjang telah diatur peruntukan pergeserannya.
    (4)
    Revisi Anggaran berupa perubahan/pergeseran anggaran BA BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan sesuai dengan peruntukan dan mempertahankan persentase anggaran pendidikan dan anggaran kesehatan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 149

    (1)
    Revisi Anggaran terkait BA BUN khusus untuk pemenuhan kebutuhan belanja subsidi dapat dipenuhi pada tahun anggaran berkenaan melalui pergeseran alokasi dalam sub BA BUN Subsidi.
    (2)
    Pergeseran alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk subsidi jenis yang sama, berasal dari:
     
    a.
    kelebihan alokasi subsidi pada tahun anggaran berkenaan yang disebabkan karena adanya perubahan asumsi dasar ekonomi makro dan/atau parameter penyusun alokasi subsidi;
     
    b.
    perubahan peruntukan atas alokasi yang tidak dapat dilaksanakan akibat diblokir dan/atau kebijakan Pemerintah dan/atau keadaan force majeure yang mengakibatkan alokasi subsidi tahun anggaran berkenaan tidak dapat terserap; dan/atau
     
    c.
    optimalisasi atas sisa alokasi pada subsidi reguler yang disebabkan oleh adanya efisiensi anggaran.
    (3)
    Pergeseran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sepanjang tidak mengubah jumlah alokasi pada subsidi jenis tersebut dan telah dilakukan reviu APIP K/L.
    (4)
    Subsidi jenis yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain digunakan untuk pembayaran tunggakan yang berasal dari alokasi subsidi tahun berjalan.
    (5)
    Dalam hal sisa alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan untuk memenuhi kebutuhan subsidijenis yang berbeda, pergeseran dapat diusulkan setelah mendapat izin dari Menteri Keuangan selaku PA BUN.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 7
    Revisi Anggaran Terkait Tunggakan
     

    Pasal 150

    (1)
    Revisi Anggaran terkait Tunggakan dilakukan untuk memenuhi pembayaran Tunggakan melalui pergeseran anggaran.
    (2)
    Alokasi Anggaran pembayaran Tunggakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan pada DIPA tahun anggaran berkenaan.
    (3)
    Pergeseran anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    setiap Tunggakan harus dicantumkan dalam catatan-catatan terpisah per akun dalam halaman IVB DIPA pada setiap alokasi yang ditetapkan untuk mendanai suatu kegiatan per DIPA per Satker;
     
    b.
    dalam hal kolom yang terdapat dalam Sistem Informasi untuk mencantumkan catatan semua Tunggakan tidak mencukupi, rincian detail tagihan per akun dapat disampaikan dalam lembaran terpisah, yang ditetapkan oleh KPA;
     
    c.
    dalam hal jumlah Tunggakan per tagihan, nilainya:
     
     
    1.
    sampai dengan Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), harus dilampiri surat pernyataan dari KPA;
     
     
    2.
    di atas Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) sampai dengan Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah), harus dilampiri hasil reviu dari APIP K/L; dan/atau
     
     
    3.
    di atas Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah), harus dilampiri hasil audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan;
     
    d.
    dalam hal Tunggakan sudah dilakukan audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan, usulan pergeseran anggaran dapat dilampiri hasil audit dari Badan Pemeriksa Keuangan tersebut sebagai dokumen pendukung pengganti surat pernyataan dari KPA atau pengganti hasil reviu dari APIP K/L atau audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan; dan
     
    e.
    dalam hal terdapat perbedaan angka antara Tunggakan yang tercantum dalam halaman IVB DIPA dengan hasil reviu/audit, maka angka yang digunakan adalah angka hasil reviu/audit.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 8
    Revisi Anggaran Terkait RO Prioritas Nasional
     

    Pasal 151

    (1)
    Kementerian/Lembaga dapat mengusulkan Revisi Anggaran berupa:
     
    a.
    perubahan RO Prioritas Nasional; dan/atau
     
    b.
    pergeseran anggaran RO Prioritas Nasional.
    (2)
    Perubahan dan/atau pergeseran anggaran RO Prioritas Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) perlu mendapat persetujuan Direktorat Jenderal Anggaran-Kementerian Keuangan dan Deputi Mitra Kerja-Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
    (3)
    Dalam hal perubahan dan/atau pergeseran anggaran RO Prioritas Nasional terkait dengan:
     
    a.
    penambahan target dan/atau alokasi RO Prioritas Nasional yang anggarannya bersumber dari hibah yang penarikannya tidak melalui Kuasa BUN dan/atau PNBP termasuk PNBP BLU;
     
    b.
    pergeseran anggaran dalam 1 (satu) RO Prioritas Nasional;
     
    c.
    pemanfaatan Sisa Anggaran Kontraktual/Swakelola RO Prioritas Nasional; dan/atau
     
    d.
    ralat administratif nomenklatur,
     
    dilakukan berdasarkan kewenangan sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini, tanpa memerlukan persetujuan dari Direktorat Jenderal Anggaran-Kementerian Keuangan dan Deputi Mitra Kerja-Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
    (4)
    Perubahan dan/atau pergeseran RO Prioritas Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) kecuali pergeseran anggaran dalam 1 (satu) RO prioritas nasional dilampiri dengan surat pernyataan persetujuan perubahan dan/atau pergeseran anggaran RO Prioritas Nasional dari Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/pejabat eselon I Kementerian/Lembaga penanggung jawab Program, disertai dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
    (5)
    Kementerian/Lembaga melakukan pemutakhiran Renja K/L setelah usulan perubahan dan/atau pergeseran RO Prioritas Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kementerian Keuangan.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 9
    Revisi Anggaran Terkait RO Cadangan
     

    Pasal 152

    (1)
    Kementerian/Lembaga dapat mengusulkan Revisi Anggaran berupa pergeseran anggaran dari RO Cadangan ke RO lainnya untuk mendanai kegiatan yang bersifat mendesak, darurat, atau yang tidak dapat ditunda.
    (2)
    Usulan revisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh pejabat eselon I Kementerian/Lembaga kepada Direktorat Jenderal Anggaran, sepanjang telah mendapat persetujuan pejabat eselon I penanggung jawab Program.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 10
    Revisi Anggaran Terkait Penanganan Bencana Non-Alam
     

    Pasal 153

    (1)
    Revisi Anggaran untuk penanganan bencana non-alam merupakan Revisi Anggaran yang dilakukan dalam rangka penyediaan alokasi anggaran untuk penanganan bencana non-alam.
    (2)
    Alokasi anggaran untuk penyediaan alokasi anggaran untuk penanganan bencana non-alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui mekanisme pergeseran anggaran dari sub BA BUN Belanja Lainnya ke BA K/L atau pergeseran anggaran dalam 1 (satu) Kementerian/Lembaga.
    (3)
    Alokasi anggaran untuk penanganan bencana non­ alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperkenankan untuk dilakukan pergeseran ke alokasi anggaran selain untuk penanganan bencana non-alam.
    (4)
    Dalam hal Revisi Anggaran untuk penanganan bencana non-alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk dalam kategori Belanja Operasional, kewenangan revisinya mengikuti ketentuan Revisi Anggaran dalam rangka pemenuhan Belanja Operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 11
    Revisi Anggaran Terkait Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
     

    Pasal 154

    (1)
    Revisi Anggaran yang disampaikan ke Direktorat Jenderal Anggaran dapat diproses dengan/atau tanpa memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
    (2)
    Revisi Anggaran yang memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan kewenangan hak anggaran Dewan Perwakilan Rakyat yang ditetapkan atau memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
    (3)
    Revisi Anggaran yang memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris Kementerian/Lembaga menyampaikan usulan Revisi Anggaran kepada Ketua Komisi mitra Kementerian/Lembaga atau Ketua Badan Anggaran-Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapat persetujuan; dan
     
    b.
    berdasarkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada huruf a, Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/pejabat eselon I Kementerian/Lembaga mengajukan usulan Revisi Anggaran kepada Direktur Jenderal Anggaran.
    (4)
    Revisi Anggaran yang memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan oleh Pemerintah tanpa memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat sepanjang telah diatur dalam Undang-Undang mengenai APBN tahun anggaran berkenaan.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 12
    Revisi Rumusan Informasi Kinerja
     

    Pasal 155

    (1)
    Revisi Rumusan Informasi Kinerja dilakukan dalam basis data RKA-K/L dan/atau DIPA Kementerian/Lembaga atau RKA-BUN dan/atau DIPA BUN.
    (2)
    Revisi Rumusan Informasi Kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal terdapat:
     
    a.
    perubahan struktur organisasi beserta tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga, dan penambahan penugasan;
     
    b.
    perubahan kebijakan penganggaran yang ditetapkan Pemerintah; dan/atau
     
    c.
    penyempurnaan Rumusan Informasi Kinerja penganggaran dalam RKA-K/L dan/atau DIPA Kementerian/Lembaga atau RKA-BUN dan/atau DIPA BUN.
    (3)
    Revisi Rumusan Informasi Kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa perubahan dan/atau penambahan:
     
    a.
    sasaran strategis beserta indikatornya;
     
    b.
    rumusan Program dan/atau sasaran Program beserta indikatornya;
     
    c.
    rumusan Kegiatan, sasaran Kegiatan beserta indikatornya, dan/atau fungsi/subfungsi;
     
    d.
    rumusan KRO beserta indikatornya, RO beserta indikatornya, dan/atau satuannya; dan/atau
     
    e.
    rumusan komponen untuk menghasilkan RO.
    (4)
    Revisi Rumusan Informasi Kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh pejabat eselon I Kementerian/Lembaga atau Pemimpin PPA BUN kepada Direktorat Anggaran Bidang selaku mitra Kementerian/Lembaga Direktorat Jenderal Anggaran.
    (5)
    Usulan revisi Rumusan Informasi Kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sepanjang:
     
    a.
    tidak mengubah substansi;
     
    b.
    sesuai dengan kebijakan penganggaran terkini; dan/atau
     
    c.
    untuk melengkapi basis data RKA-K/L dan/atau DIPA Kementerian/Lembaga atau RDP BUN dan/atau DIPA BUN yang dibutuhkan untuk keperluan pengendalian dan pemantauan pelaksanaan anggaran.
    (6)
    Dalam hal revisi Rumusan Informasi Kinerja terkait Program/Kegiatan baru, revisi Rumusan Informasi Kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah diterbitkan kode Program/Kegiatan baru.
    (7)
    Revisi Rumusan Informasi Kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Sistem Informasi.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 13
    Revisi Anggaran terkait Pemberian Hibah kepada Pemerintah Asing/Lembaga Asing
     

    Pasal 156

    (1)
    Revisi Anggaran sub BA BUN Hibah yang bersumber dari PNBP yang berasal dari pendapatan BLU berupa:
     
    a.
    perubahan anggaran; atau
     
    b.
    pergeseran anggaran.
    (2)
    Perubahan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a bersifat:
     
    a.
    menambah pagu anggaran; atau
     
    b.
    mengurangi pagu anggaran.
    (3)
    Perubahan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan perubahan DIPA tanpa merevisi surat Menteri Keuangan mengenai penetapan Alokasi Anggaran BUN.
    (4)
    Pergeseran anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dalam rangka realokasi anggaran dari kegiatan pemberian Hibah yang tidak dapat dilaksanakan dan/atau optimalisasi kegiatan yang sudah selesai dilaksanakan ke kegiatan pemberian Hibah lainnya.
    (5)
    Perubahan anggaran yang bersifat menambah pagu anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan dalam hal:
     
    a.
    terdapat perubahan pada daftar rencana pemberian hibah; dan/atau
     
    b.
    terdapat pemberian hibah kepada Pemerintah/Lembaga Asing di luar daftar rencana pemberian hibah yang bersifat tidak terencana.
    (6)
    Perubahan anggaran yang bersifat menambah pagu anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan dengan memperhatikan PNBP yang berasal dari pendapatan BLU.
    (7)
    Perubahan anggaran yang bersifat mengurangi pagu anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan dalam hal terjadi pembatalan pemberian hibah.
    (8)
    Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan mekanisme Revisi Anggaran BA BUN di Direktorat Jenderal Anggaran.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 14
    Kebijakan Penyesuaian Belanja Negara dan Kebijakan Pemerintah Lainnya
     

    Pasal 157

    (1)
    Menteri Keuangan dapat melakukan penyesuaian belanja pada tahun anggaran berkenaan.
    (2)
    Penyesuaian belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal terdapat:
     
    a.
    kebijakan Penyesuaian Belanja Negara; dan/atau
     
    b.
    kebijakan Pemerintah lainnya.
    (3)
    Kebijakan Penyesuaian Belanja Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan kebijakan Pemerintah yang diatur dalam Undang-undang mengenai APBN tahun anggaran berkenaan.
    (4)
    Kebijakan Penyesuaian Belanja Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat berupa:
     
    a.
    pengutamaan penggunaan anggaran yang disesuaikan secara otomatis (automatic adjustment), berupa pencadangan anggaran pada DIPA Kementerian/Lembaga;
     
    b.
    pergeseran anggaran berupa realokasi blokir anggaran dari BA K/L ke sub BA BUN Belanja Lainnya;
     
    c.
    pemotongan anggaran Belanja Negara; dan/atau
     
    d.
    penyesuaian pagu.
    (5)
    Kebijakan Pemerintah lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan kebijakan penganggaran sebagai tindak lanjut antara lain dari:
     
    a.
    kebijakan hasil pengendalian dan pemantauan yang dilakukan oleh Menteri Keuangan terhadap belanja Kementerian/Lembaga dan belanja BA BUN;
     
    b.
    peraturan perundang-perundangan; dan/atau
     
    c.
    direktif Presiden.
    (6)
    Kebijakan Pemerintah lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan melalui:
     
    a.
    pencadangan atau pemblokiran anggaran; dan/atau
     
    b.
    pergeseran anggaran dalam bentuk:
     
     
    1.
    pergeseran anggaran antar BA K/L;
     
     
    2.
    pergeseran anggaran dari BA K/L ke sub BA BUN Belanja Lainnya;
     
     
    3.
    pemanfaatan dan pergeseran anggaran antarsubbagian anggaran dalam BA BUN untuk belanja yang belum ada/kurang tersedia alokasinya; dan/atau
     
     
    4.
    pergeseran anggaran dalam subbagian anggaran BA BUN.
    (7)
    Pergeseran anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan ayat (6) huruf b dilakukan dengan meminta kepada Kementerian/Lembaga mengusulkan Revisi Anggaran untuk:
     
    a.
    direalokasi ke DIPA Kementerian/Lembaga lainnya mengikuti mekanisme Revisi Anggaran antar Kementerian/Lembaga; atau
     
    b.
    direalokasi ke BA BUN atas alokasi yang sudah dicadangkan mengikuti mekanisme Revisi Anggaran dari BA K/L ke BA BUN.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 158

    (1)
    Pengutamaan penggunaan anggaran yang disesuaikan secara otomatis (automatic adjustment) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat (4) huruf a dan pencadangan atau pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat (6) huruf a dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    Kementerian/Lembaga melakukan pencadangan anggaran dalam jumlah tertentu dan menyampaikan usulan pencadangan kepada Menteri Keuangan; atau
     
    b.
    Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran melakukan pemblokiran DIPA Kementerian/Lembaga secara otomatis melalui Sistem Informasi.
    (2)
    Dalam hal Kementerian/Lembaga tidak menyampaikan usulan pencadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Menteri Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran melakukan pemblokiran DIPA Kementerian/Lembaga secara otomatis melalui Sistem Informasi.
    (3)
    Pemblokiran DIPA Kementerian/Lembaga secara otomatis melalui sistem sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2) dengan mempertimbangkan hasil pengendalian dan pemantauan.
    (4)
    Pemblokiran DIPA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan pada saat DIPA ditetapkan atau pada saat tahun anggaran berkenaan.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 15
    Revisi Anggaran DIPA Kementerian/Lembaga dan DIPA BUN yang Bersumber dari BA BUN
     

    Pasal 159

    (1)
    Revisi Anggaran DIPA Kementerian/Lembaga yang bersumber dari BA BUN dan DIPA BUN dapat dilakukan dalam hal:
     
    a.
    RO atas kegiatan yang didanai dari SP SABA atau SPP BA BUN telah tercapai dan terdapat sisa anggaran; atau
     
    b.
    RO atas kegiatan yang didanai dari SP SABA atau SPP BA BUN tidak tercapai sebagian atau seluruhnya, dan masih terdapat sisa anggaran yang tidak digunakan.
    (2)
    Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan:
     
    a.
    melakukan revisi sisa anggaran sepanjang menambah volume RO yang sama; dan/atau
     
    b.
    melakukan revisi sisa anggaran untuk dikembalikan ke sub BA BUN Belanja Lainnya.
    (3)
    Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat dilakukan dengan melakukan revisi terhadap sisa anggaran yang tidak digunakan untuk dikembalikan ke BA BUN sepanjang terdapat:
     
    a.
    faktor eksternal di luar kewenangan atau kuasa Kementerian/Lembaga yang bersangkutan;
     
    b.
    perubahan kebijakan Pemerintah yang diputuskan rendah dalam rapat koordinasi antar-menteri; dan/atau
     
    c.
    force majeure/keadaan kahar.
    (4)
    Pengembalian sisa anggaran yang tidak digunakan ke BA BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat dilakukan dalam hal sisa anggaran yang akan dikembalikan ke BA BUN, pendanaannya bersumber dari alokasi cadangan keperluan mendesak.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Pergeseran Anggaran pada BA BUN

    Paragraf 1
    Mekanisme Pergeseran Anggaran Antar Subbagian Anggaran dalam BA BUN Melalui SPP BA BUN yang Mengakibatkan Revisi DIPA BUN
     

    Pasal 160

    (1)
    Ketentuan mengenai mekanisme pergeseran anggaran antarsubbagian anggaran dalam BA BUN melalui SPP BA BUN yang mengakibatkan penerbitan DIPA BUN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 berlaku secara mutatis mutandis terhadap mekanisme pergeseran anggaran antarsubbagian anggaran dalam BA BUN melalui SPP BA BUN yang mengakibatkan revisi DIPA BUN.
    (2)
    Berdasarkan SPP BA BUN yang telah diterbitkan, Pemimpin PPA BUN penerima alokasi anggaran, mengajukan usulan revisi DIPA BUN.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Mekanisme Pergeseran Anggaran Antar Subbagian Anggaran dalam BA BUN Melalui Revisi Surat Menteri Keuangan yang Mengakibatkan Revisi DIPA BUN
     

    Pasal 161

    (1)
    Ketentuan mengenai mekanisme pergeseran anggaran antarsubbagian anggaran dalam BA BUN melalui revisi surat Menteri Keuangan yang mengakibatkan penerbitan DIPA BUN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 berlaku secara mutatis mutandis terhadap mekanisme pergeseran anggaran antarsubbagian anggaran dalam BA BUN melalui revisi surat Menteri Keuangan yang mengakibatkan revisi DIPA BUN.
    (2)
    Berdasarkan revisi surat Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah diterbitkan, Pemimpin PPA BUN penerima alokasi anggaran mengajukan usulan revisi DIPA BUN.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Mekanisme Pergeseran Anggaran dari Subbagian Anggaran BUN Belanja Lainnya ke Subbagian Anggaran lainnya dalam BA BUN yang Mengakibatkan Revisi DIPA BUN
     

    Pasal 162

    (1)
    Ketentuan mengenai mekanisme pergeseran anggaran dari subbagian anggaran BUN Belanja Lainnya ke subbagian anggaran lainnya dalam BA BUN yang mengakibatkan penerbitan DIPA BUN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 berlaku secara mutatis mutandis terhadap mekanisme pergeseran anggaran dari subbagian anggaran BUN Belanja Lainnya ke subbagian anggaran lainnya dalam BA BUN yang mengakibatkan revisi DIPA BUN.
    (2)
    Berdasarkan SPP BA BUN yang telah diterbitkan, PPA BUN penerima alokasi anggaran mengajukan usulan revisi DIPA BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Mekanisme Pergeseran Anggaran dari Sub BA BUN Belanja Lainnya ke BA K/L yang Mengakibatkan Revisi DIPA Kementerian/Lembaga
     

    Pasal 163

    (1)
    Ketentuan mengenai mekanisme pergeseran anggaran dari sub BA BUN Belanja Lainnya ke BA K/L yang mengakibatkan penerbitan DIPA Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 berlaku secara mutatis mutandis terhadap mekanisme pergeseran anggaran dari sub BA BUN Belanja Lainnya melalui SP SABA ke BA K/L yang mengakibatkan revisi DIPA Kementerian/Lembaga.
    (2)
    Pergeseran Anggaran dari BA BUN ke BA K/L melalui SP SABA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.
    (3)
    Dalam hal pergeseran anggaran dari sub BA BUN Belanja Lainnya ke BA K/L sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk pemberian penghargaan berupa insentif kepada Kementerian/Lembaga, Keputusan Menteri Keuangan mengenai penetapan Kementerian/Lembaga yang diberikan penghargaan dan/atau dikenai sanksi diakui sebagai bentuk persetujuan Menteri Keuangan atas pergeseran anggaran dari sub BA BUN Belanja Lainnya ke BA K/L.
    (4)
    Berdasarkan penerbitan SP SABA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diterima dari Direktorat Anggaran Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan, dan BA BUN selaku Mitra PPA BUN, Direktorat Anggaran Bidang selaku mitra Kementerian/Lembaga menetapkan revisi DIPA Kementerian/Lembaga.
    (5)
    Revisi DIPA Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditindaklanjuti dengan penyesuaian data dalam Sistem Informasi yang memuat tambahan alokasi anggaran dari SPSABA yang ditandai dengan kode berupa "Penambahan dari SP SABA" dan dicatat dalam halaman IVB DIPA.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Penggunaan Anggaran Sub BA BUN Belanja Lainnya Melalui Revisi DIPA BUN Belanja Lainnya
     

    Pasal 164

    (1)
    Ketentuan mengenai mekanisme penggunaan anggaran sub BA BUN Belanja Lainnya melalui penerbitan DIPA BUN Belanja Lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 berlaku secara mutatis mutandis terhadap mekanisme penggunaan anggaran sub BA BUN Belanja Lainnya melalui revisi DIPA BUN Belanja Lainnya.
    (2)
    Berdasarkan izin penggunaan anggaran sub BA BUN Belanja Lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (6) huruf a, Pemimpin PPA BUN mengajukan usulan revisi DIPA BUN.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Mekanisme Revisi Anggaran

    Paragraf 1
    Mekanisme Revisi Anggaran di Direktorat Jenderal Anggaran
     

    Pasal 165

    (1)
    Mekanisme Revisi Anggaran pada Direktorat Jenderal Anggaran untuk BA K/L dilakukan dengan tahapan dan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    KPA menyampaikan surat usulan Revisi Anggaran kepada Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/pejabat eselon I Kementerian/Lembaga dengan melampirkan dokumen pendukung berupa:
     
     
    1.
    data dalam Sistem Informasi; dan
     
     
    2.
    dokumen pendukung terkait lainnya.
     
    b.
    Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/pejabat eselon I Kementerian/Lembaga melakukan penelitian atas usulan Revisi Anggaran dan kelengkapan dokumen pendukung usulan Revisi Anggaran yang disampaikan oleh KPA;
     
    c.
    dalam hal usulan revisi berkaitan dengan:
     
     
    1.
    Revisi Anggaran dalam hal pagu anggaran berubah;
     
     
    2.
    Revisi Anggaran antar Program yang berdampak pada pengurangan volume Keluaran (RO), kecuali dalam rangka pemenuhan Belanja Operasional;
     
     
    3.
    Revisi Anggaran dalam rangka reorganisasi dan/atau restrukturisasi Kementerian/Lembaga; dan/atau
     
     
    4.
    Revisi Anggaran dalam hal terdapat Program/Kegiatan/KRO/RO baru,
     
     
    usulan Revisi Anggaran terlebih dahulu disampaikan Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/pejabat eselon I Kementerian/Lembaga kepada APIP K/L untuk dilakukan reviu atas kesesuaian dokumen pendukung dengan kaidah perencanaan dan penganggaran;
     
    d.
    hasil reviu yang dilakukan oleh APIP K/L sebagaimana dimaksud pada huruf c dituangkan dalam LHR APIP K/L;
     
    e.
    berdasarkan hasil penelitian atas usulan Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada huruf b dan/atau LHR APIP K/L sebagaimana dimaksud pada huruf d, Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/pejabat eselon I Kementerian/Lembaga menandatangani dan menyampaikan surat usulan Revisi Anggaran kepada Direktur Jenderal Anggaran melalui Sistem Informasi dengan mengunggah salinan digital atau hasil pindaian dokumen pendukung sebagai berikut:
     
     
    1.
    data dalam Sistem Informasi;
     
     
    2.
    surat pernyataan pejabat eselon I yang menyatakan bahwa:
     
     
     
    a)
    usulan Revisi Anggaran yang disampaikan oleh KPA· telah disetujui oleh pejabat eselon I;
     
     
     
    b)
    usulan Revisi Anggaran yang disampaikan beserta dokumen persyaratannya telah dilakukan penelitian kelengkapan dokumennya oleh Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/pejabat eselon I Kementerian/Lembaga; dan
     
     
     
    c)
    Menteri/Pimpinan Lembaga telah menyetujui usulan dalam hal usulan Revisi Anggaran berkaitan dengan pergeseran anggaran antar-Program, kecuali dalam rangka pemenuhan Belanja Operasional;
     
     
    3.
    LHR APIP K/L sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d;
     
     
    4.
    rencana kebutuhan barang milik negara hasil penelaahan perubahan dalam hal usulan Revisi Anggaran berkaitan dengan pengadaan barang milik negara yang menjadi objek perencanaan kebutuhan barang milik negara sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai perencanaan kebutuhan barang milik negara berupa:
     
     
     
    a)
    penambahan barang milik negara baru yang belum tercantum di dalam rencana kebutuhan barang milik negara; dan/atau
     
     
     
    b)
    perubahan objek dan/atau spesifikasi barang milik negara yang tercantum dalam rencana kebutuhan barang milik negara;
     
     
    5.
    rekomendasi (clearance) dari Kementerian Komunikasi dan Informatika dan/atau Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dalam hal Kementerian/Lembaga bersangkutan mengajukan usulan Revisi Anggaran berkaitan dengan belanja teknologi informasi komunikasi;
     
     
    6.
    dalam hal usulan Revisi Anggaran terkait dengan akun 526 berupa barang yang akan diserahkan kepada masyarakat/Pemerintah Daerah dan pengalokasiannya didasarkan pada usulan proposal, maka usulan Revisi Anggaran dilengkapi dengan surat pernyataan dari pejabat eselon I yang menyatakan bahwa pengalokasian didukung proposal dari masyarakat/Pemerintah Daerah penerima barang yang isinya memuat kesanggupan menerima barang yang akan diserahkan oleh Kementerian/Lembaga; dan
     
     
    7.
    dokumen pendukung terkait lainnya; dan
     
    f.
    dokumen asli atas salinan digital atau hasil pindaian dokumen sebagaimana dimaksud pada huruf e angka 2 sampai dengan angka 7 diarsipkan oleh Kementerian/Lembaga yang bersangkutan.
    (2)
    Dalam hal usulan Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Revisi Anggaran yang memerlukan penelaahan, pejabat eselon III di unit terkait atas nama Direktur Anggaran Bidang selaku mitra Kementerian/Lembaga menetapkan dan menyampaikan undangan kepada Kepala Biro Perencanaan/Keuangan/Sekretaris Direktorat Jenderal/pejabat eselon II dengan tembusan kepada Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/pejabat eselon I Kementerian/Lembaga, dan pimpinan unit-unit terkait dalam hal diperlukan, untuk melakukan penelaahan atas usulan Revisi Anggaran melalui komunikasi daring dan/atau luring.
    (3)
    Dalam hal usulan Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkait dengan perubahan pagu anggaran PNBP, proses penelaahannya melibatkan Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak Kementerian/Lembaga atau Direktorat Penerimaan Negara Bukan Pajak Sumber Daya Alam dan Kekayaan Negara Dipisahkan-Direktorat Jenderal Anggaran untuk dimintakan konfirmasi atas batas maksimal PNBP yang dapat digunakan sebagai belanja dan/atau informasi kinerja pencapaian PNBP pada Kementerian/Lembaga pengusul.
    (4)
    Hasil konfirmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan sebagai bahan pertimbangan bagi Direktorat Anggaran Bidang selaku mitra Kementerian/Lembaga dalam proses penyelesaian usulan Revisi Anggaran.
    (5)
    Dalam hal usulan Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkait dengan pinjaman, hibah, dan/atau SBSN, termasuk RMP, maka proses penelaahannya melibatkan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko.
    (6)
    Dalam hal usulan Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkait dengan hibah ke daerah, maka proses penelaahannya melibatkan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.
    (7)
    Dalam hal usulan Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkait dengan belanja K/L yang berbasis spasial/kewilayahan, maka proses penelaahannya dapat melibatkan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.
    (8)
    Dalam hal usulan Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkait dengan RO Prioritas Nasional, maka proses penelaahannya melibatkan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
    (9)
    Hasil penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dituangkan dalam berita acara penelaahan yang disepakati oleh Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran, Kementerian/Lembaga terkait, dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
    (10)
    Dalam hal perwakilan dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional tidak hadir pada saat penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (8), maka penelaahan dapat dilanjutkan dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dinyatakan menyepakati hasil penelaahan.
    (11)
    Dalam hal usulan Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e berdasarkan hasil penelaahan dapat dipertimbangkan untuk ditetapkan seluruhnya atau sebagian, Direktur Anggaran Bidang selaku mitra Kementerian/Lembaga atas nama Direktur Jenderal Anggaran melakukan penetapan melalui surat pengesahan Revisi Anggaran.
    (12)
    Dalam hal usulan Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e berdasarkan hasil penelaahan tidak dapat dipertimbangkan untuk ditetapkan seluruhnya, Direktur Anggaran Bidang selaku mitra Kementerian/Lembaga atas nama Direktur Jenderal Anggaran menyampaikan surat penolakan usulan Revisi Anggaran.
    (13)
    Dalam hal berdasarkan hasil penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdapat dokumen pendukung yang harus dilengkapi, Kementerian/Lembaga menyampaikan kelengkapan dokumen pendukung paling lama 2 (dua) hari kerja setelah penelaahan.
    (14)
    Dalam hal perbaikan kelengkapan dokumen pendukung belum disampaikan sampai batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (13), Direktur Anggaran Bidang selaku mitra Kementerian/Lembaga atas nama Direktur Jenderal Anggaran mengembalikan surat usulan Revisi Anggaran melalui Sistem Informasi.
    (15)
    Surat usulan Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, LHR APIP K/L sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, dan surat pengesahan Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (11) disusun sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
    (16)
    Proses penetapan atau penolakan usulan Revisi Anggaran pada Direktorat Jenderal Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (11) atau ayat (12) diselesaikan paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak penelaahan selesai dilakukan, dan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan data dalam Sistem Informasi diterima dengan lengkap dan benar.
    (17)
    Dalam hal proses Revisi Anggaran pada Direktorat Jenderal Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berupa pengesahan, diselesaikan paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung setelah usulan Revisi Anggaran diterima di Sistem Informasi, dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan data dalam Sistem Informasi diterima dengan lengkap dan benar.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 166

    (1)
    Mekanisme usulan pengembalian anggaran ke sub BA BUN Belanja Lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 ayat (2) huruf b dilakukan dengan tahapan dan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    usulan disampaikan kepada Menteri Keuangan oleh:
     
     
    1.
    Pimpinan unit eselon I Kementerian/Lembaga pengusul atas nama Menteri/Pimpinan Lembaga; atau
     
     
    2.
    Pemimpin PPA BUN pengusul dengan terlebih dahulu melakukan penelitian atas usulan Revisi Anggaran dan kelengkapan dokumen yang disampaikan oleh KPA BUN; dan
     
    b.
    usulan pengembalian anggaran sebagaimana dimaksud pada huruf a dilampiri dengan dokumen pendukung berupa:
     
     
    1.
    LHR APIP K/L sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;
     
     
    2.
    surat penjelasan dari eselon I atas nama Menteri/Pimpinan Lembaga yang menjelaskan:
     
     
     
    a)
    ketercapaian target volume RO dalam hal usulan pengembalian disebabkan karena target volume RO telah tercapai; atau
     
     
     
    b)
    kendala eksternal dalam hal usulan pengembalian disebabkan karena target volume RO tidak tercapai; dan
     
     
    3.
    notulensi hasil rapat koordinasi antar Menteri mengenai perubahan kebijakan Pemerintah yang menyebabkan target volume RO tidak tercapai dan/atau surat dari pejabat yang berwenang dalam hal target volume RO tidak tercapai karena force majeure atau keadaan kahar.
    (2)
    Berdasarkan usulan pengembalian anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
     
    a.
    Direktorat Anggaran Bidang selaku mitra Kementerian/Lembaga mengkoordinasikan penelaahan dengan melibatkan Unit Pendukung PPA BUN Belanja Lainnya, Mitra PPA BUN, dan Pimpinan unit eselon I Kementerian/Lembaga pengusul, dalam hal usulan pengembalian anggaran berasal dari SP SABA; atau
     
    b.
    Mitra PPA BUN mengkoordinasikan penelaahan dengan melibatkan Unit Pendukung PPA BUN Belanja Lainnya, PPA BUN penanggung jawab program Subbagian anggaran BUN terkait, Pemimpin PPA BUN pengusul, KPA BUN yang terkait, dan dapat melibatkan pihak lain yang diperlukan,
     
    paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah usulan pengembalian anggaran diterima dengan lengkap dan benar.
    (3)
    Dalam hal Pimpinan unit eselon I Kementerian/Lembaga pengusul atau KPA BUN yang terkait belum melengkapi dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 2 (dua) hari kerja sejak surat usulan diterima, Direktorat Anggaran Bidang selaku mitra Kementerian/Lembaga atau Mitra PPA BUN menyampaikan surat pemberitahuan kepada Pimpinan unit eselon I Kementerian/Lembaga pengusul atau KPA BUN yang terkait agar segera menyampaikan kelengkapan dokumen pendukung.
    (4)
    Dalam hal setelah 2 (dua) hari kerja terhitung sejak surat pemberitahuan disampaikan, Pimpinan unit eselon I Kementerian/Lembaga pengusul atau KPA BUN yang terkait belum menyampaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktorat Anggaran Bidang selaku mitra Kementerian/Lembaga atau Mitra PPA BUN menyampaikan penolakan usulan pengembalian anggaran kepada Pimpinan unit eselon I Kementerian/Lembaga pengusul atau KPA BUN yang terkait melalui surat Direktur Jenderal Anggaran.
    (5)
    Berdasarkan hasil penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktorat Anggaran Bidang selaku mitra Kementerian/Lembaga atau Mitra PPA BUN menyusun berita acara penelaahan sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
    (6)
    Berdasarkan berita acara penelaahan yang telah disusun sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktorat Anggaran Bidang selaku mitra Kementerian/Lembaga atau Mitra PPA BUN melakukan penilaian awal.
    (7)
    Direktorat Anggaran Bidang selaku mitra Kementerian/Lembaga atau Mitra PPA BUN menyampaikan hasil penilaian awal sebagaimana dimaksud pada ayat (6) kepada Direktur Jenderal Anggaran untuk mendapatkan rekomendasi berupa disposisi atau arahan paling lama 2 (dua) hari kerja setelah penelaahan.
    (8)
    Dalam hal usulan pengembalian anggaran sebagian/seluruhnya mendapatkan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) untuk disetujui, Direktorat Anggaran Bidang selaku mitra Kementerian/Lembaga atau Mitra PPA BUN menyampaikan nota dinas kepada Unit Pendukung PPA BUN Belanja Lainnya dengan dilampiri hasil pertilaian dan berita acara penelaahan, dalam waktu 1 (satu) hari kerja setelah disposisi atau arahan diterima dari Direktur Jenderal Anggaran.
    (9)
    Dalam hal usulan pengembalian anggaran mendapat rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) seluruhnya tidak disetujui/ditolak, Direktorat Anggaran Bidang selaku mitra Kementerian/Lembaga atau Mitra PPA BUN menyampaikan surat penolakan usulan pengembalian anggaran kepada Pimpinan unit eselon I Kementerian/Lembaga atau KPA BUN yang menyampaikan usulan pengembalian anggaran melalui surat Direktur Jenderal Anggaran.
    (10)
    Berdasarkan arahan dari Direktur Jenderal Anggaran dan hasil penilaian yang disampaikan oleh Direktorat Anggaran Bidang selaku mitra Kementerian/Lembaga atau Mitra PPA BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Direktur Anggaran Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan, dan BA BUN atas nama Direktur Jenderal Anggaran selaku Pemimpin PPA BUN Belanja Lainnya menyampaikan usulan revisi SP SABA/SPP BA BUN dalam rangka pengembalian anggaran ke sub BA BUN Belanja Lainnya kepada Direktur Jenderal Anggaran dalam waktu 1 (satu) hari kerja.
    (11)
    Berdasarkan usulan revisi SP SABA/SPP BA BUN, Direktur Jenderal Anggaran menerbitkan Revisi SP SABA/SPP BA BUN dalam rangka pengembalian anggaran ke sub BA BUN Belanja Lainnya, disampaikan kepada Pimpinan unit eselon I Kementerian/Lembaga atau Pemimpin PPA BUN selaku pengusul ditembuskan kepada Direktorat Anggaran Bidang selaku mitra Kementerian/Lembaga dan Unit Pendukung PPA BUN Belanja Lainnya dalam waktu 1 (satu) hari kerja.
    (12)
    Revisi SP SABA/SPP BA BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (11) disusun sesuai dengan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
    (13)
    Dokumen Revisi SP SABA/SPP BA BUN dalam rangka pengembalian anggaran ke sub BA BUN Belanja Lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (11) merupakan satu kesatuan dokumen dengan dokumen SP SABA/SPP BA BUN hal terkait yang telah diterbitkan sebelumnya.
    (14)
    Revisi SP SABA/SPP BA BUN dalam rangka pengembalian anggaran ke sub BA BUN Belanja Lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (11) merupakan:
     
    a.
    dasar pengajuan Revisi Anggaran yang bersifat mengurangi pagu DIPA Kementerian/Lembaga atau DIPA BUN sebesar alokasi yang dikembalikan kepada sub BA BUN Belanja Lainnya; dan
     
    b.
    dasar penambahan alokasi anggaran pada sub BA BUN Belanja Lainnya sebesar alokasi yang dikembalikan.
    (15)
    Mekanisme Revisi Anggaran DIPA Kementerian/Lembaga atau Revisi Anggaran DIPA BUN untuk pengembalian anggaran yang berasal dari SP SABA/SPP BA BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (14) huruf a dilakukan sesuai dengan ketentuan terkait mekanisme Revisi Anggaran DIPA Kementerian/Lembaga dan mekanisme Revisi Anggaran DIPA BUN.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 167

    (1)
    Revisi Anggaran pada Direktorat Jenderal Anggaran untuk anggaran BA BUN terbagi dalam 2 (dua) jenis yaitu:
     
    a.
    Revisi Anggaran dalam hal pagu anggaran berubah; dan/atau
     
    b.
    Revisi Anggaran dalam hal pagu anggaran tetap yang memerlukan penelaahan.
    (2)
    Mekanisme Revisi Anggaran untuk anggaran BA BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
     
    a.
    usulan Revisi Anggaran terlebih dahulu disampaikan oleh KPA BUN kepada APIP K/L untuk dilakukan reviu atas kesesuaian dokumen pendukung dengan kaidah perencanaan dan penganggaran dan dituangkan dalam LHR APIP K/L;
     
    b.
    KPA BUN menandatangani dan menyampaikan surat usulan Revisi Anggaran kepada Pemimpin PPA BUN dengan melampirkan dokumen pendukung sebagai berikut:
     
     
    1.
    data dalam Sistem Informasi;
     
     
    2.
    kerangka acuan kerja dan rincian anggaran biaya usulan Revisi Anggaran;
     
     
    3.
    LHR APIP K/L sebagaimana dimaksud pada huruf a, kecuali yang berasal dari SPP BA BUN Belanja Lainnya dapat menggunakan LHR APIP K/L saat proses pengusulan tambahan anggaran dari sub BA BUN Belanja Lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (2) huruf c angka 5; dan
     
     
    4.
    dokumen pendukung lainnya dalam hal diperlukan, sesuai dengan substansi Revisi Anggaran;
     
    c.
    Pemimpin PPA BUN meneliti usulan Revisi Anggaran dan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada huruf b;
     
    d.
    dalam proses penelitian sebagaimana dimaksud pada huruf c, Pemimpin PPA BUN dapat meminta tambahan dokumen pendukung terkait lainnya yang diperlukan; dan
     
    e.
    berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada huruf c, Pemimpin PPA BUN menyampaikan surat usulan Revisi Anggaran kepada Direktur Jenderal Anggaran dengan melampirkan dokumen pendukung berupa:
     
     
    1.
    data dalam Sistem Informasi;
     
     
    2.
    LHR APIP K/L sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 3; dan
     
     
    3.
    dokumen pendukung lainnya dalam hal diperlukan, sesuai dengan substansi Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada huruf d.
    (3)
    Berdasarkan surat usulan Revisi Anggaran dari Pemimpin PPA BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e, pejabat eselon III terkait atas nama Direktur Anggaran Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan dan BA BUN-Direktorat Jenderal Anggaran menetapkan dan menyampaikan undangan penelaahan kepada Pemimpin PPA BUN.
    (4)
    Direktorat Jenderal Anggaran melakukan penelaahan atas usulan Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e bersama-sama dengan PPA BUN melalui komunikasi secara luring maupun daring.
    (5)
    Dalam melakukan penelaahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Direktorat Jenderal Anggaran dapat meminta tambahan dokumen pendukung.
    (6)
    Dalam hal usulan Revisi Anggaran BA BUN terkait pinjaman dan/atau hibah, proses penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) melibatkan Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko.
    (7)
    Berdasarkan hasil penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Direktur Jenderal Anggaran dapat menyetujui atau tidak menyetujui usulan Revisi Anggaran.
    (8)
    Dalam hal usulan Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e disetujui, Direktur Anggaran Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan, dan BA BUN-Direktorat Jenderal Anggaran atas nama Direktur Jenderal Anggaran menerbitkan surat pengesahan Revisi Anggaran.
    (9)
    Dalam hal usulan Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e disetujui dan menyebabkan perubahan jumlah anggaran atau menyebabkan perubahan catatan halaman IVA DIPA BUN, Direktur Anggaran Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan, dan BA BUN-Direktorat Jenderal Anggaran atas nama Direktur Jenderal Anggaran terlebih dahulu menetapkan revisi DHP RKA­ BUN sebelum menerbitkan surat pengesahan Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (8).
    (10)
    Dalam hal usulan Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e tidak dapat disetujui, Direktur Anggaran Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan, dan BA BUN-Direktorat Jenderal Anggaran atas nama Direktur Jenderal Anggaran menetapkan surat penolakan usulan Revisi Anggaran.
    (11)
    Surat usulan Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf e disusun sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
    (12)
    Proses persetujuan atau tidak disetujuinya Revisi Anggaran pada Direktorat Jenderal Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (8), ayat (9), atau ayat (10) diselesaikan paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak penelaahan selesai dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dan/atau ayat (5) diterima dengan lengkap dan benar dalam Sistem Informasi.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 168

    (1)
    Mekanisme Revisi Anggaran pada DIPA BUN berdasarkan SPP BA BUN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 dan Pasal 162 atau revisi surat Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161, dilakukan dengan tahapan dan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    Pemimpin PPA BUN menyampaikan usulan Revisi Anggaran kepada Direktur Jenderal Anggaran melalui Sistem Informasi dengan mengunggah salinan digital atau hasil pindaian berupa:
     
     
    1.
    dokumen SPP BA BUN atau revisi surat Menteri Keuangan; dan
     
     
    2.
    data dalam Sistem Informasi;
     
    b.
    usulan Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada huruf a diajukan paling lama 2 (dua) hari kerja setelah SPPBA BUN atau revisi surat Menteri Keuangan diterbitkan; dan
     
    c.
    berdasarkan usulan Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada huruf a, Mitra PPA BUN melakukan penelaahan bersama dengan PPA BUN, sesuai dengan substansi dan kebutuhan.
    (2)
    Dalam hal usulan Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat ditetapkan dan menyebabkan perubahan pada DIPA BUN, Direktur Anggaran Bidang Politik, Hukum, Pertahanan dan Keamanan, dan BA BUN atas nama Direktur Jenderal Anggaran menetapkan:
     
    a.
    DHPRKA-BUN; dan
     
    b.
    Surat Pengesahan Revisi Anggaran.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Mekanisme Revisi Anggaran antar Kementerian/Lembaga
     

    Pasal 169

    (1)
    Mekanisme Revisi Anggaran antar Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat (6) huruf b angka 1 dilakukan melalui mekanisme pergeseran anggaran antar Kementerian/Lembaga dengan tahapan dan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    Menteri/Pimpinan Lembaga (penerima atau pemberi alokasi) menyampaikan surat permohonan persetujuan pergeseran anggaran antar Kementerian/Lembaga kepada Menteri Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran yang paling sedikit memuat besaran anggaran yang diusulkan untuk dilakukan pergeseran;
     
    b.
    berdasarkan usulan Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada huruf a, Direktur Anggaran Bidang selaku mitra Kementerian/Lembaga atas nama Direktur Jenderal Anggaran menyampaikan surat undangan kepada Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/pejabat eselon I Kementerian/Lembaga pengusul revisi (penerima atau pemberi tambahan alokasi anggaran), dan Deputi Mitra Kerja-Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional untuk melakukan pembahasan awal terkait rencana Revisi Anggaran yang hasilnya dituangkan dalam berita acara;
     
    c.
    dalam hal perwakilan dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional tidak hadir pada saat pembahasan sebagaimana dimaksud pada huruf b, maka pembahasan tetap dilanjutkan dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dinyatakan menyepakati hasil pembahasan;
     
    d.
    berdasarkan berita acara sebagaimana dimaksud pada huruf b, Menteri Keuangan menerbitkan surat persetujuan perubahan Alokasi Anggaran Kementerian/Lembaga terkait sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;
     
    e.
    surat persetujuan sebagaimana dimaksud pada huruf d diusulkan oleh Direktorat Anggaran Bidang selaku mitra Kementerian/Lembaga penerima tambahan alokasi anggaran;
     
    f.
    berdasarkan surat persetujuan sebagaimana dimaksud pada huruf d, KPA Kementerian/Lembaga penerima tambahan alokasi anggaran menyampaikan surat usulan Revisi Anggaran kepada Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/pejabat eselon I Kementerian/Lembaga dengan melampirkan dokumen pendukung berupa:
     
     
    1.
    data dalam Sistem Informasi; dan
     
     
    2.
    dokumen pendukung terkait lainnya dalam hal diperlukan, sesuai dengan substansi Revisi Anggaran.
     
    g.
    Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/pejabat eselon I Kementerian/Lembaga melakukan penelitian atas usulan Revisi Anggaran dan kelengkapan dokumen usulan Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada huruf f;
     
    h.
    usulan Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada huruf f terlebih dahulu disampaikan oleh Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/pejabat eselon I Kementerian/Lembaga kepada APIP K/L untuk dilakukan reviu atas kesesuaian dokumen pendukung dengan kaidah perencanaan dan penganggaran;
     
    i.
    hasil reviu yang dilakukan oleh APIP K/L sebagaimana dimaksud pada huruf h dituangkan dalam LHR APIP K/L;
     
    j.
    berdasarkan hasil penelitian atas usulan Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud ada huruf g dan LHR APIP K/L sebagaimana dimaksud pada huruf i, Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/pejabat eselon I Kementerian/Lembaga menandatangani dan menyampaikan surat usulan Revisi Anggaran kepada Direktur Jenderal Anggaran melalui Sistem Informasi dengan mengunggah salinan digital atau hasil pindaian dokumen pendukung sebagai berikut:
     
     
    1.
    data dalam Sistem Informasi;
     
     
    2.
    surat pernyataan pejabat eselon I yang menyatakan bahwa:
     
     
     
    a)
    usulan Revisi Anggaran yang disampaikan oleh KPA telah disetujui oleh pejabat eselon I; dan
     
     
     
    b)
    usulan Revisi Anggaran yang disampaikan beserta dokumen persyaratannya telah dilakukan penelitian kelengkapan dokumennya oleh Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/pejabat eselon I Kementerian/Lembaga;
     
     
    3.
    LHR APIP K/L sebagaimana dimaksud pada huruf i; dan
     
     
    4.
    dokumen pendukung terkait lainnya dalam hal diperlukan, sesuai dengan substansi Revisi Anggaran; dan
     
    k.
    dokumen asli atas salinan digital atau hasil pindaian dokumen sebagaimana dimaksud pada huruf j angka 2 sampai dengan angka 4 diarsipkan oleh Kementerian/Lembaga yang bersangkutan.
    (2)
    Dalam hal usulan Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Revisi Anggaran yang memerlukan penelaahan, pejabat eselon III di unit terkait atas nama Direktur Anggaran Bidang selaku mitra Kementerian/Lembaga menetapkan dan menyampaikan undangan kepada Kepala Biro Perencanaan/Keuangan/Sekretaris Direktorat Jenderal/pejabat eselon II dengan tembusan kepada Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/pejabat eselon I Kementerian/Lembaga, dan pimpinan unit-unit terkait dalam hal diperlukan, untuk melakukan penelaahan atas usulan Revisi Anggaran melalui komunikasi secara luring dan/atau daring.
    (3)
    Dalam hal usulan Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f berdasarkan hasil penelaahan dapat dipertimbangkan untuk ditetapkan seluruhnya atau sebagian, Direktur Anggaran Bidang selaku mitra Kementerian/Lembaga atas nama Direktur Jenderal Anggaran melakukan penetapan melalui surat pengesahan Revisi Anggaran.
    (4)
    Dalam hal usulan Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f berdasarkan hasil penelaahan tidak dapat dipertimbangkan untuk ditetapkan seluruhnya, Direktur Anggaran Bidang selaku mitra Kementerian/Lembaga atas nama Direktur Jenderal Anggaran menyampaikan surat penolakan usulan Revisi Anggaran.
    (5)
    Surat usulan Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f, LHR APIP K/L sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i, dan surat pengesahan Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disusun sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
    (6)
    Proses penetapan atau penolakan usulan Revisi Anggaran pada Direktorat Jenderal Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4) diselesaikan paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak penelaahan selesai dilakukan dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf j dan data dalam Sistem Informasi diterima dengan lengkap dan benar.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Mekanisme Revisi Anggaran dari BA K/L ke Sub BA BUN Belanja Lainnya
     

    Pasal 170

    (1)
    Mekanisme Revisi Anggaran untuk pergeseran anggaran dari BA K/L ke sub BA BUN Belanja Lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat (4) huruf b dan ayat (6) huruf b angka 2, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/pejabat eselon I Kementerian/Lembaga mengajukan usulan Revisi Anggaran kepada Direktur Jenderal Anggaran;
     
    b.
    Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada huruf a, dilakukan termasuk untuk alokasi anggaran hasil pencadangan anggaran pada DIPA Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158; dan
     
    c.
    Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada huruf a dilakukan oleh Direktur Anggaran Bidang selaku mitra Kementerian/Lembaga sesuai mekanisme Revisi Anggaran untuk BA K/L sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165.
    (2)
    Dalam hal Kementerian/Lembaga tidak menyampaikan usulan Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Menteri Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran dapat melakukan revisi penyesuaian DIPA Kementerian/Lembaga sebesar alokasi pencadangan anggaran pada DIPA Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158.
    (3)
    Berdasarkan hasil penyelesaian Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Direktur Anggaran Bidang selaku mitra Kementerian/Lembaga menyampaikan laporan penyelesaian revisi DIPA kepada Direktur Jenderal Anggaran dengan tembusan Mitra PPA BUN.
    (4)
    Berdasarkan laporan penyelesaian revisi DIPA sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Jenderal Anggaran menyampaikan usulan penambahan anggaran pada sub BA BUN Belanja Lainnya kepada Menteri Keuangan.
    (5)
    Usulan penambahan anggaran pada sub BA BUN Belanja Lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa usulan revisi surat Menteri Keuangan mengenai penetapan alokasi BA BUN.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Mekanisme Revisi Anggaran pada Direktorat Jenderal Perbendaharaan
     

    Pasal 171

    (1)
    Mekanisme Revisi Anggaran pada Direktorat Pelaksanaan Anggaran Direktorat Jenderal Perbendaharaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (2) huruf b angka 1 dilakukan dengan tahapan dan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    KPA menyampaikan surat usulan Revisi Anggaran kepada Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/pejabat eselon I Kementerian/Lembaga dengan melampirkan dokumen pendukung sebagai berikut:
     
     
    1.
    data dalam Sistem Informasi;
     
     
    2.
    surat persetujuan pejabat eselon I berkaitan dengan pergeseran anggaran antar-Satker dan/atau antar-Kegiatan;
     
     
    3.
    rekomendasi (clearance) dari Kementerian Komunikasi dan Informatika dan/atau Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dalam hal Kementerian/Lembaga bersangkutan mengajukan usulan Revisi Anggaran berkaitan dengan belanja teknologi informasi komunikasi;
     
     
    4.
    surat pernyataan pejabat eselon I yang menyatakan bahwa alokasi tersebut telah berdasarkan proposal yang diterima dalam hal usulan Revisi Anggaran terkait dengan akun 526 berupa barang yang akan diserahkan kepada masyarakat/Pemerintah Daerah dan pengalokasiannya didasarkan pada usulan proposal;
     
     
    5.
    rencana kebutuhan barang milik negara hasil penelaahan perubahan dalam hal usulan Revisi Anggaran berkaitan dengan penambahan volume barang milik negara yang menjadi objek perencanaan kebutuhan barang milik negara sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai perencanaan kebutuhan barang milik negara dalam hal penambahan volume barang milik negara melebihi jumlah volume barang milik negara yang tercantum dalam rencana kebutuhan barang milik negara; dan
     
     
    6.
    dokumen pendukung lainnya dalam hal diperlukan, sesuai dengan substansi Revisi Anggaran;
     
    b.
    Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/pejabat eselon I Kementerian/Lembaga/Pemimpin PPA BUN meneliti usulan Revisi Anggaran dan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada huruf a;
     
    c.
    Berdasarkan hasil penelitian atas usulan Revisi Anggaran, Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/pejabat eselon I Kementerian/Lembaga menandatangani dan menyampaikan surat usulan Revisi Anggaran kepada Direktur Pelaksanaan Anggaran Direktorat Jenderal Perbendaharaan melalui Sistem Informasi dengan mengunggah salinan digital atau hasil pindaian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; dan
     
    d.
    Dokumen asli atas salinan digital atau hasil pindaian dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf c diarsipkan oleh Kementerian/Lembaga yang bersangkutan.
    (2)
    Direktorat Pelaksanaan Anggaran-Direktorat Jenderal Perbendaharaan meneliti usulan Revisi Anggaran dan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c.
    (3)
    Dalam hal usulan Revisi Anggaran yang disampaikan belum dilengkapi dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, Direktorat Pelaksanaan Anggaran-Direktorat Jenderal Perbendaharaan mengembalikan surat usulan Revisi Anggaran kepada Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/pejabat eselon I Kementerian/Lembaga melalui Sistem Informasi.
    (4)
    Dalam hal usulan Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berdasarkan hasil penelitian Direktorat Pelaksanaan Anggaran-Direktorat Jenderal Perbendaharaan dapat dipertimbangkan untuk ditetapkan, Direktur Pelaksanaan Anggaran Direktorat Jenderal Perbendaharaan menetapkan surat pengesahan Revisi Anggaran.
    (5)
    Dalam hal usulan Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berdasarkan hasil penelitian Direktorat Pelaksanaan Anggaran-Direktorat Jenderal Perbendaharaan tidak dapat dipertimbangkan untuk ditetapkan, Direktur Pelaksanaan Anggaran Direktorat Jenderal Perbendaharaan menetapkan surat penolakan usulan Revisi Anggaran.
    (6)
    Proses Revisi Anggaran pada Direktorat Pelaksanaan Anggaran-Direktorat Jenderal Perbendaharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau ayat (5) diselesaikan paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diterima dengan lengkap dan benar serta notifikasi dari Sistem Informasi telah tercetak.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 172

    (1)
    Mekanisme Revisi Anggaran pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (2) huruf b angka 2 dilakukan dengan tahapan dan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    KPA/KPA BUN menandatangani dan menyampaikan surat usulan Revisi Anggaran kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan dengan mengunggah salinan digital atau hasil pindaian dokumen pendukung sebagai berikut:
     
     
    1.
    data dalam Sistem Informasi;
     
     
    2.
    surat persetujuan pejabat eselon I dalam hal usulan Revisi Anggaran berkaitan dengan antara lain:
     
     
     
    a)
    pergeseran anggaran yang mengakibatkan penambahan Kegiatan baru untuk Satker yang bersangkutan pada DIPA Petikan Satker;
     
     
     
    b)
    pergeseran anggaran antar-Satker; dan/atau
     
     
     
    c)
    pergeseran antar-Kegiatan;
     
     
    3.
    rekomendasi (clearance) dari Kementerian Komunikasi dan Informatika dan/atau Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dalam hal Kementerian/Lembaga bersangkutan mengajukan usulan Revisi Anggaran berkaitan dengan belanja teknologi informasi komunikasi; dan
     
     
    4.
    dokumen pendukung terkait lainnya; dan
     
    b.
    dokumen asli atas salinan digital atau hasil pindaian dokumen sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 2 sampai dengan angka 4 diarsipkan oleh Kementerian/Lembaga yang bersangkutan.
    (2)
    Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan meneliti usulan Revisi Anggaran dan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
    (3)
    Dalam hal usulan Revisi Anggaran yang disampaikan belum dilengkapi dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan mengembalikan surat usulan Revisi Anggaran melalui Sistem Informasi.
    (4)
    Dalam hal usulan Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berdasarkan hasil penelitian Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan dapat dipertimbangkan untuk ditetapkan, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan menetapkan surat pengesahan Revisi Anggaran.
    (5)
    Dalam hal usulan Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berdasarkan hasil penelitian Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan tidak dapat dipertimbangkan untuk ditetapkan, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan menetapkan surat penolakan Revisi Anggaran.
    (6)
    Proses Revisi Anggaran pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau ayat (5) diselesaikan paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diterima dengan lengkap dan benar serta notifikasi dari Sistem Informasi telah tercetak.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Mekanisme Revisi Anggaran pada Kementerian/Lembaga yang Tidak Mengakibatkan Perubahan DIPA
     

    Pasal 173

    (1)
    KPA dapat melakukan Revisi Anggaran dalam 1 (satu) Satker berupa:
     
    a.
    pergeseran anggaran dalam 1 (satu) KRO dalam 1 (satu) Kegiatan; dan/atau
     
    b.
    penambahan/perubahan akun beserta alokasi anggarannya dalam 1 (satu) RO.
    (2)
    KPA BUN dapat melakukan Revisi Anggaran dalam 1 (satu) RO dalam 1 (satu) Satker sepanjang tidak mengubah rincian alokasi anggaran BUN yang ditetapkan Menteri Keuangan.
    (3)
    Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) dilakukan sepanjang:
     
    a.
    tidak mengubah sumber dana, pagu anggaran Satker, satuan dan volume RO, dan jenis belanja; dan
     
    b.
    dilakukan dengan memperhatikan hasil reviu APIP K/L atas RKA-K/L atau RKA-BUN tahun anggaran berkenaan.
    (4)
    Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melakukan pemutakhiran data POK yang ditetapkan oleh KPA atau KPA BUN, serta mengubah data RKA-K/L atau RKA-BUN berkenaan dengan menggunakan Sistem Informasi.
    (5)
    Untuk melakukan pemutakhiran data POK sebagaimana dimaksud pada ayat (4), KPA atau KPA BUN melakukan pengunggahan dan persetujuan atas usulan revisi POK melalui Sistem Informasi.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Mekanisme Revisi Anggaran pada Kementerian/Lembaga yang Mengakibatkan Perubahan DIPA
     

    Pasal 174

    (1)
    Mekanisme Revisi Anggaran pada Kementerian/Lembaga yang menyebabkan perubahan DIPA dilakukan dengan tahapan dan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    Kementerian/Lembaga dapat melakukan Revisi Anggaran dalam 1 (satu) Satker atau antar-Satker yang menyebabkan perubahan DIPA dalam rangka:
     
     
    1.
    pemenuhan Belanja Operasional, termasuk penyelesaian pagu minus belanja pegawai operasional;
     
     
    2.
    pemenuhan kebutuhan selisih kurs sepanjang bukan yang berasal dari sumber dana PLN atau hibah luar negeri;
     
     
    3.
    pemanfaatan Sisa Anggaran Kontraktual dan/atau Swakelola untuk menambah volume RO yang sama dan/atau RO yang lain, termasuk sisa RO Prioritas Nasional dan untuk pemenuhan Belanja Operasional;
     
     
    4.
    ralat karena kesalahan aplikasi berupa tidak berfungsinya sebagian atau seluruh fungsi matematis Sistem Informasi;
     
     
    5.
    ralat kode akun dalam rangka penerapan kebijakan akuntansi;
     
     
    6.
    ralat cara penarikan pinjaman/hibah luar negeri dan/atau pinjaman/hibah dalam negeri, termasuk Pemberian Pinjaman, pinjaman yang diterushibahkan, dan/atau Penerusan Hibah setelah mendapat persetujuan dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko;
     
     
    7.
    ralat cara penarikan SBSN setelah mendapat persetujuan dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko;
     
     
    8.
    ralat nomor register pembiayaan kegiatan/proyek SBSN setelah mendapat persetujuan dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko;
     
     
    9.
    ralat nomor register pinjaman dan/atau hibah luar negeri setelah mendapat persetujuan dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko;
     
     
    10.
    penyelesaian Tunggakan yang sumber dananya dari rupiah murni atau PNBP BLU;
     
     
    11.
    pergeseran anggaran dalam 1 (satu) RO Prioritas Nasional dalam 1 (satu) Satker dan 1 (satu) jenis belanja sepanjang tidak mengubah lokasi; dan/atau
     
     
    12.
    pergeseran anggaran sebagai akibat perubahan besaran SBKU berupa standar biaya keluaran sosialisasi dan standar biaya keluaran kehumasan dan informasi melampaui batas tertinggi yang telah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran;
     
    b.
    Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada huruf a dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
     
     
    1.
    dalam hal Revisi Anggaran dilakukan dalam 1 (satu) Satker, maka Revisi Anggaran dilakukan oleh KPA;
     
     
    2.
    dalam hal Revisi Anggaran dilakukan antar­ Satker dalam 1 (satu) unit eselon I, maka KPA mengusulkan Revisi Anggaran dimaksud kepada pejabat eselon I Kementerian/Lembaga; dan
     
     
    3.
    dalam hal Revisi Anggaran dilakukan antar­ Satker antarunit eselon I, maka KPA mengusulkan Revisi Anggaran dimaksud kepada pejabat eselon I untuk selanjutnya diusulkan kepada Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris Kementerian/Lembaga;
     
    c.
    Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada huruf b dilakukan dengan mengubah data RKA­ K/L dengan menggunakan Sistem Informasi setelah dokumen pendukung dipenuhi;
     
    d.
    dokumen sebagaimana dimaksud pada huruf c disimpan oleh KPA;
     
    e.
    perubahan sebagaimana dimaksud pada huruf c ditetapkan dalam surat pemberitahuan perubahan RKA sesuai format yang diunduh dari Sistem Informasi sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;
     
    f.
    penetapan surat pemberitahuan perubahan RKA sebagaimana dimaksud pada huruf e dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
     
     
    1.
    dalam hal Revisi Anggaran dilakukan dalam lingkup 1 (satu) Satker, penetapan dilakukan oleh KPA;
     
     
    2.
    dalam hal Revisi Anggaran dilakukan antar­ Satker dalam 1 (satu) unit eselon I, penetapan dilakukan oleh pejabat eselon I yang membawahi Satker berkenaan; dan
     
     
    3.
    dalam hal Revisi Anggaran dilakukan antar­ Satker antarunit eselon I, penetapan dilakukan oleh Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris Kementerian/Lembaga; dan
     
    g.
    KPA atau Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/pejabat eselon I Kementerian/Lembaga menandatangani dan menyampaikan surat pemberitahuan perubahan RKA kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan atau Direktur Pelaksanaan Anggaran-Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
    (2)
    Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan atau Direktorat Pelaksanaan Anggaran-Direktorat Jenderal Perbendaharaan meneliti kesesuaian antara surat pemberitahuan perubahan RKA dengan kewenangan Kementerian/Lembaga.
    (3)
    Dalam hal usulan Revisi Anggaran yang disampaikan telah sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, maka:
     
    a.
    pengesahan perubahan DIPA dilakukan di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan untuk Revisi Anggaran dalam dalam 1 (satu) Satker dan antar-Satker dalam 1 (satu) Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan; atau
     
    b.
    pengesahan perubahan DIPA dilakukan di Direktorat Pelaksanaan Anggaran-Direktorat Jenderal Perbendaharaan untuk Revisi Anggaran antar-Satker antar-Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan dan revisi antarunit eselon I Kementerian/Lembaga.
    (4)
    Dalam hal usulan Revisi Anggaran yang disampaikan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan atau Direktur Pelaksanaan Anggaran-Direktorat Jenderal Perbendaharaan menetapkan surat penolakan Revisi Anggaran.
    (5)
    Proses penelitian, pengesahan, dan penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dilakukan melalui Sistem Informasi.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    Batas Akhir Penerimaan Usulan dan Penyampaian Pengesahan Revisi Anggaran
     

    Pasal 175

    (1)
    Batas akhir penerimaan usulan Revisi Anggaran reguler ditetapkan sebagai berikut:
     
    a.
    tanggal 31 Oktober tahun anggaran berkenaan, untuk Revisi Anggaran pada Direktorat Jenderal Anggaran; dan
     
    b.
    tanggal 30 November tahun anggaran berkenaan, untuk Revisi Anggaran pada Direktorat Jenderal Perbendaharaan, termasuk revisi administrasi SBSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143.
    (2)
    Batas akhir penerimaan usulan Revisi Anggaran berupa revisi lanjutan RMP pada DIPA tahun anggaran sebelumnya yang tidak terserap untuk pembayaran uang muka kontrak kegiatan/proyek yang dibiayai dari PLN oleh Direktorat Jenderal Anggaran paling lambat tanggal 31 Januari tahun anggaran berkenaan.
    (3)
    Batas akhir penerimaan usulan Revisi Anggaran berupa perubahan anggaran belanja dalam rangka lanjutan pelaksanaan kegiatan/proyek SBSN tahun anggaran sebelumnya untuk kontrak tahun tunggal oleh Direktorat Jenderal Anggaran paling lambat tanggal 15 Februari tahun anggaran berkenaan.
    (4)
    Dalam hal Revisi Anggaran dilakukan berupa perubahan anggaran belanja dalam rangka lanjutan pelaksanaan kegiatan/proyek SBSN tahun anggaran sebelumnya untuk kontrak tahun jamak, batas akhir penerimaan usulan Revisi Anggaran oleh Direktorat Jenderal Anggaran paling lambat tanggal 31 Maret tahun anggaran berkenaan.
    (5)
    Batas akhir penerimaan usulan Revisi Anggaran terkait penggunaan RO Cadangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 oleh Direktorat Jenderal Anggaran paling lambat tanggal 7 April tahun anggaran berkenaan.
    (6)
    Batas akhir penerimaan usulan pengembalian anggaran ke sub BA BUN Belanja Lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 166 oleh Direktorat Jenderal Anggaran paling lambat tanggal 30 September tahun anggaran berkenaan.
    (7)
    Batas akhir penerimaan usulan pergeseran anggaran dari sub BA BUN Belanja Lainnya ke BA K/L (SP SABA) dalam rangka pemberian penghargaan kepada Kementerian/Lembaga oleh Direktorat Jenderal Anggaran paling lambat tanggal 31 Oktober tahun anggaran berkenaan.
    (8)
    Dalam hal Revisi Anggaran dilakukan berupa:
     
    a.
    pergeseran anggaran dari BA K/L ke sub BA BUN Belanja Lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170; dan
     
    b.
    pengesahan atas penyediaan alokasi belanja dalam rangka kegiatan rehabilitasi mangrove yang dilakukan oleh Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup dimaksud dalam Pasal 124 ayat (5) huruf e, batas akhir penerimaan usulan Revisi Anggaran oleh Direktorat Jenderal Anggaran paling lambat tanggal 30 November tahun anggaran berkenaan.
    (9)
    Dalam hal Revisi Anggaran dilakukan berupa:
     
    a.
    pergeseran anggaran untuk belanja pegawai, termasuk gaji untuk pegawai non-Aparatur Sipil Negara;
     
    b.
    berkaitan dengan kegiatan yang dananya bersumber dari PNBP termasuk penggunaan dana penerimaan klaim asuransi dalam rangka asuransi barang milik negara, PLN, Hibah, dan/atau PDN;
     
    c.
    Revisi Anggaran terkait pinjaman/hibah baru, penyesuaian kurs penarikan pinjaman/hibah, dan RMP PLN;
     
    d.
    berkaitan dengan kegiatan Kementerian/Lembaga yang merupakan tindak lanjut dari hasil sidang kabinet yang ditetapkan setelah terbitnya Undang­ Undang tentang perubahan atas Undang-Undang mengenai APBN tahun anggaran berkenaan;
     
    e.
    kegiatan-kegiatan yang membutuhkan data/dokumen yang harus mendapat persetujuan dari unit eksternal Kementerian/Lembaga seperti persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, basil audit internal Pemerintah oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, dan/atau revisi administrasi pembukaan blokir;
     
    f.
    pergeseran anggaran dalam rangka rekomposisi pendanaan antar-tahun anggaran untuk percepatan kegiatan/proyek SBSN, pergeseran anggaran belanja dalam rangka pemanfaatan Sisa Anggaran Kontraktual pada satu kegiatan/proyek SBSN dan/atau antar-kegiatan/proyek SBSN dalam satu unit eselon I; dan/atau
     
    g.
    revisi Rumusan Informasi Kinerja berupa perubahan referensi RKA-K/L dan/atau DIPA Kementerian/Lembaga, termasuk untuk keperluan pengendalian dan pemantauan serta evaluasi kinerja anggaran,
     
    batas akhir penerimaan usulan Revisi Anggaran oleh Direktorat Jenderal Anggaran paling lambat tanggal 15 Desember tahun anggaran berkenaan.
    (10)
    Dalam hal Revisi Anggaran dilakukan berupa:
     
    a.
    untuk pelaksanaan kegiatan yang memerlukan persetujuan Menteri Keuangan;
     
    b.
    mensyaratkan adanya peraturan perundangan­ undangan di atas Peraturan Menteri ini untuk pencairan anggaran;
     
    c.
    usulan penerbitan SPP BA BUN/SP SABA;
     
    d.
    pergeseran anggaran untuk penanggulangan bencana;
     
    e.
    pengesahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (5) kecuali pengesahan belanja modal atas pengadaan tanah dalam rangka proyek strategis nasional yang dilakukan oleh Lembaga Manajemen Aset Negara dan revisi administrasi pembukaan blokir karena dokumen sebagai dasar pengalokasian anggaran telah dilengkapi; dan/atau
     
    f.
    DIPA BUN untuk selain keperluan Lembaga yang belum memiliki Bagian Anggaran,
     
    batas akhir penerimaan usulan Revisi Anggaran oleh Direktorat Jenderal Anggaran paling lambat tanggal 27 Desember tahun anggaran berkenaan.
    (11)
    Batas akhir penerimaan usulan Revisi Anggaran terkait pengesahan belanja modal atas pengadaan tanah dalam rangka proyek strategis nasional yang dilaksanakan oleh Lembaga Manajemen Aset Negara oleh Direktorat Jenderal Anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (5) huruf a mengikuti ketentuan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pendanaan pengadaan tanah bagi proyek strategis nasional oleh Lembaga Manajemen Aset Negara.
    (12)
    Batas akhir penerimaan usulan Revisi Anggaran terkait pengesahan atas pendapatan/belanja/pembiayaan anggaran untuk sub BA BUN yang telah dilakukan pada tahun anggaran sebelumnya oleh Direktorat Jenderal Anggaran paling lambat sampai batas akhir penyusunan laporan keuangan Pemerintah Pusat.
    (13)
    Dalam hal Revisi Anggaran dilakukan untuk pengesahan anggaran belanja yang dibiayai dari penggunaan kelebihan realisasi atas target PNBP yang dapat digunakan kembali sesuai ketentuan, yang telah direncanakan dalam APBN tahun anggaran berkenaan untuk Satker penghasil PNBP yang bersangkutan sepanjang dalam 1 (satu) Program yang sama, batas akhir penerimaan usulan Revisi Anggaran oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan paling lambat tanggal 15 Desember tahun anggaran berkenaan.
    (14)
    Dalam hal Revisi Anggaran dilakukan untuk:
     
    a.
    pengesahan anggaran belanja yang dibiayai dari hibah yang penarikannya tidak melalui Kuasa BUN;
     
    b.
    pengesahan atas pengeluaran Kegiatan/RO yang dananya bersumber dari pinjaman/hibah luar negeri melalui mekanisme pembayaran langsung dan letter of credit;
     
    c.
    Revisi administrasi; dan/atau
     
    d.
    Pemutakhiran data berkaitan dengan revisi POK oleh KPA yang mengakibatkan perubahan halaman III DIPA,
     
    batas akhir penerimaan usulan Revisi Anggaran dan penyelesaiannya oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan paling lambat tanggal 27 Desember tahun anggaran berkenaan.
    (15)
    Dalam hal Revisi Anggaran dilakukan untuk penyelesaian pagu minus belanja pegawai, batas akhir penerimaan usulan Revisi Anggaran oleh Direktorat Jenderal Anggaran atau Direktorat Jenderal Perbendaharaan paling lambat tanggal 31 Desember tahun anggaran berkenaan.
    (16)
    Dalam hal Revisi Anggaran terkait dengan penyesuaian administratif dan penyusunan laporan keuangan Pemerintah Pusat, usulan Revisi Anggaran dapat disampaikan melewati tahun anggaran berkenaan dan penetapan batas akhir penerimaan usulan Revisi Anggaran serta kewenangan pengesahannya dilakukan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan.
    (17)
    Pada saat penerimaan usulan Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (16), seluruh dokumen telah diterima dengan lengkap dan benar.
    (18)
    Dalam hal batas akhir penyampaian usulan Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (16) merupakan hari libur atau bagian dari kebijakan cuti bersama yang ditetapkan oleh Pemerintah, maka batas akhir penyampaian usulan Revisi Anggaran dimajukan menjadi hari kerja terakhir sebelum hari libur atau cuti bersama.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 176

    (1)
    Pengesahan Revisi Anggaran yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Anggaran disampaikan kepada Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/pejabat eselon I Kementerian/Lembaga/Pemimpin PPA BUN yang bersangkutan dan Direktur Jenderal Perbendaharaan c.q. Direktur Sistem Perbendaharaan dan Direktur Pelaksanaan Anggaran dengan tembusan kepada:
     
    a.
    Menteri/Pimpinan Lembaga;
     
    b.
    Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional c.q. mitra kerja Kementerian/Lembaga dalam hal Revisi Anggaran terkait RO Prioritas Nasional;
     
    c.
    Ketua Badan Pemeriksa Keuangan;
     
    d.
    Gubernur dalam hal pelaksanaan Kegiatan dekonsentrasi dan/atau tugas pembantuan;
     
    e.
    pejabat eselon I Kementerian/Lembaga, dalam hal Revisi Anggaran melibatkan unit eselon I lain pada Kementerian/Lembaga tersebut;
     
    f.
    Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dalam hal usulan Revisi Anggaran terkait pinjaman, hibah, dan/atau SBSN, termasuk RMP;
     
    g.
    Direktur Akuntansi dan Pelaporan Keuangan-Direktorat Jenderal Perbendaharaan; dan/atau
     
    h.
    Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan terkait.
    (2)
    Pengesahan Revisi Anggaran yang ditetapkan oleh Direktur Pelaksanaan Anggaran atau Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan disampaikan kepada KPA dan/atau KPA BUN yang bersangkutan dan Kepala Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara terkait dengan tembusan kepada:
     
    a.
    Menteri/Pimpinan Lembaga;
     
    b.
    Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional c.q. mitra kerja Kementerian/Lembaga dalam hal Revisi Anggaran terkait RO Prioritas Nasional;
     
    c.
    Ketua Badan Pemeriksa Keuangan;
     
    d.
    Gubernur dalam hal pelaksanaan Kegiatan dekonsentrasi dan/atau tugas pembantuan;
     
    e.
    Direktur Jenderal Anggaran; dan/atau
     
    f.
    Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dalam hal usulan Revisi Anggaran terkait pinjaman, hibah, dan/atau SBSN, termasuk RMP.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 177

    (1)
    Revisi Anggaran dilaporkan Pemerintah dalam APBN Perubahan tahun anggaran berkenaan dan/atau Laporan Keuangan Pemerintah Pusat tahun anggaran berkenaan.
    (2)
    Revisi Anggaran yang dilaporkan dalam APBN Perubahan tahun anggaran berkenaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Revisi Anggaran yang dilakukan sebelum rancangan Undang-Undang mengenai perubahan atas Undang-Undang mengenai APBN tahun anggaran berkenaan diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
    (3)
    Revisi Anggaran yang dilaporkan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat tahun anggaran berkenaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan seluruh Revisi Anggaran yang dilakukan sepanjang tahun anggaran berkenaan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 178

    Untuk memperoleh data yang akurat, Direktorat Jenderal Anggaran dan Direktorat Jenderal Perbendaharaan melakukan pemutakhiran data anggaran (rekonsiliasi) berdasarkan revisi DIPA yang telah disahkan paling sedikit setiap 2 (dua) bulan sekali.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 179

    (1)
    Dalam hal terdapat direktif Presiden/Wakil Presiden dan/atau prioritas Kementerian/Lembaga yang bersifat penting dan mendesak untuk dilaksanakan sehingga menyebabkan perlu dilakukannya Revisi Anggaran, yang melewati batas waktu usulan revisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175, usulan Revisi Anggaran dapat diproses setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.
    (2)
    Usulan Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga/PA BUN kepada Menteri Keuangan disertai dengan dokumen pendukung yang relevan.
    (3)
    Usulan Revisi Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus mempertimbangkan perkiraan realisasi pencapaian KRO/RO yang dihasilkan sampai dengan berakhirnya tahun anggaran berkenaan.
     
     
     
     
     
     
    BAB VI
    TATA CARA PEMBAYARAN DALAM RANGKA PELAKSANAAN ANGGARAN

    Bagian Kesatu
    DIPA
     

    Pasal 180

    (1)
    DIPA berlaku sebagai dasar pelaksanaan pengeluaran negara setelah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan selaku BUN.
    (2)
    Anggaran yang dialokasikan dalam DIPA merupakan batas pengeluaran tertinggi yang tidak dapat dilampaui.
    (3)
    Tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban DIPA tidak dapat dilakukan dalam hal anggaran tidak tersedia atau tidak cukup tersedia.
    (4)
    Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pembayaran gaji dan tunjangan yang melekat pada gaji dapat melampaui alokasi anggaran dalam DIPA.
    (5)
    Pembayaran gaji dan tunjangan yang melekat pada gaji sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dapat dilakukan mendahului Revisi Anggaran.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Pejabat Perbendaharaan Negara
     

    Pasal 181

    (1)
    Menteri/Pimpinan Lembaga atau pejabat lainnya (ad interim) selaku penyelenggara urusan tertentu dalam pemerintahan bertindak sebagai PA atas Bagian Anggaran yang disediakan untuk penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi tugas dan kewenangannya tersebut.
    (2)
    Menteri/Pimpinan Lembaga atau pejabat lainnya (ad interim) selaku PA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab secara formal dan materiil kepada Presiden atas pelaksanaan kebijakan anggaran Kementerian/Lembaga yang dikuasainya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Tanggung jawab formal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan tanggung jawab atas pengelolaan keuangan Kementerian/Lembaga yang dipimpinnya.
    (4)
    Tanggung jawab materiil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan tanggung jawab atas penggunaan anggaran dan hasil yang dicapai atas beban anggaran negara.
    (5)
    PA memiliki tugas dan wewenang:
     
    a.
    menyusun DIPA;
     
    b.
    merinci Bagian Anggaran yang dikelolanya ke masing-masing Satker;
     
    c.
    menetapkan kepala Satker atau pejabat lain sebagai KPA;
     
    d.
    menetapkan pejabat perbendaharaan lainnya; dan
     
    e.
    menyampaikan laporan pertanggungjawaban penggunaan anggaran yang dikelolanya.
    (6)
    Tugas dan kewenangan PA sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf d dilimpahkan kepada KPA.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 182

    (1)
    PA menetapkan kepala Satker sebagai KPA.
    (2)
    PA dapat menetapkan pejabat lain selain kepala Satker sebagai KPA dalam hal:
     
    a.
    Satker dipimpin oleh pejabat yang bersifat komisioner;
     
    b.
    Satker dipimpin oleh pejabat eselon I atau setingkat eselon I;
     
    c.
    Satker yang dibentuk berdasarkan penugasan khusus;
     
    d.
    Satker yang pimpinannya mempunyai tugas fungsional; dan
     
    e.
    Satker Lembaga Negara.
    (3)
    Penetapan KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bersifat ex officio.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 183

    (1)
    Dalam hal kepala Satker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182 ayat (1) atau pejabat lain selain kepala Satker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182 ayat (2) berhalangan, Menteri/Pimpinan Lembaga dapat menetapkan pejabat definitif sebagai pejabat pelaksana tugas KPA dengan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    merupakan pejabat 1 (satu) tingkat di bawah kepala Satker atau pejabat lain selain kepala Satker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182 yang mempunyai tugas dan fungsi terkait urusan keuangan/umum/rumah tangga/tata usaha/kepegawaian/perlengkapan yang tidak menjabat sebagai PPK yang berkedudukan pada Satker berkenaan;
     
    b.
    merupakan pejabat 2 (dua) tingkat di bawah kepala Satker atau pejabat lain selain kepala Satker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182 yang mempunyai tugas dan fungsi terkait urusan keuangan yang tidak menjabat sebagai PPK yang berkedudukan pada Satker berkenaan, dalam hal pejabat sebagaimana dimaksud pada huruf a berhalangan atau menjabat sebagai PPK; atau
     
    c.
    merupakan pejabat pelaksana tugas kepala Satker atau pejabat lain selain kepala Satker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182, dalam hal pejabat sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b berhalangan atau menjabat sebagai PPK.
    (2)
    Keadaan berhalangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan suatu keadaan yang menyebabkan pejabat yang ditetapkan sebagai KPA atau pejabat yang ditetapkan sebagai pelaksana tugas KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
     
    a.
    tidak terisi dan menimbulkan lowongan jabatan; dan/atau
     
    b.
    masih terisi namun pejabat definitif yang ditetapkan sebagai KPA tidak dapat melaksanakan tugas melebihi 45 (empat puluh lima) hari kalender.
    (3)
    Pejabat pelaksana tugas KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki kewenangan dan tanggung jawab yang sama dengan KPA.
    (4)
    Penetapan pelaksana tugas KPA berakhir dalam hal:
     
    a.
    KPA telah terisi kembali oleh kepala Satker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182 ayat (1) atau pejabat lain selain kepala Satker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182 ayat (2) yang berstatus definitif; dan/atau
     
    b.
    kepala Satker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182 ayat (1) atau pejabat lain selain kepala Satker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182 ayat (2) dapat melaksanakan tugas kembali sebagai KPA.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 184

    (1)
    Penetapan KPA tidak terikat tahun anggaran.
    (2)
    Dalam hal satker dilikuidasi dan/atau tidak teralokasi anggaran dalam DIPA pada tahun anggaran berikutnya, penetapan KPA berakhir.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 185

    (1)
    Penetapan KPA atas pelaksanaan dana urusan bersama dilakukan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga atas usul Gubernur/Bupati/Walikota.
    (2)
    Penetapan KPA atas pelaksanaan dana Dekonsentrasi Kepada GWPP dilakukan oleh Gubernur selaku pihak yang dilimpahi sebagian urusan Pemerintah yang menjadi kewenangan Kementerian/Lembaga.
    (3)
    Penetapan KPA atas pelaksanaan Tugas Pembantuan dilakukan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga atas usul Gubernur/Bupati/Walikota.
    (4)
    Dalam rangka percepatan pelaksanaan anggaran, Menteri/Pimpinan Lembaga dapat mendelegasikan penetapan KPA atas pelaksanaan urusan bersama dan Tugas Pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) kepada Gubernur/Bupati/Walikota.
    (5)
    Penetapan KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) paling lambat sebelum DIPA disahkan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 186

    (1)
    KPA bertanggung jawab secara formal dan materiil kepada PA atas pelaksanaan kegiatan yang berada dalam penguasaannya.
    (2)
    Tanggung jawab formal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan wewenang KPA.
    (3)
    Tanggung jawab materiil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tanggung jawab atas penggunaan anggaran dan keluaran yang dihasilkan atas beban anggaran negara.
    (4)
    Dalam rangka pelaksanaan anggaran, KPA memiliki tugas dan wewenang:
     
    a.
    menyusun DIPA;
     
    b.
    menetapkan PPK dan PPSPM;
     
    c.
    menetapkan panitia/pejabat yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan dan anggaran;
     
    d.
    menetapkan rencana pelaksanaan kegiatan dan rencana pencairan dana;
     
    e.
    melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja negara;
     
    f.
    melakukan pengujian tagihan dan perintah pembayaran atas beban anggaran negara;
     
    g.
    memberikan supervisi, konsultasi, dan pengendalian pelaksanaan kegiatan dan anggaran;
     
    h.
    mengawasi penatausahaan dokumen dan transaksi yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan dan anggaran; dan
     
    i.
    menyusun laporan keuangan dan kinerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 187

    (1)
    Untuk 1 (satu) DIPA, KPA menetapkan:
     
    a.
    1 (satu) atau lebih PPK; dan
     
    b.
    1 (satu) PPSPM.
    (2)
    KPA dapat menetapkan PPK lebih dari 1 (satu) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dengan pertimbangan:
     
    a.
    kompleksitas kegiatan dalam DIPA;
     
    b.
    besarnya alokasi anggaran dalam DIPA; dan/atau
     
    c.
    lokasi kegiatan/kondisi geografis.
    (3)
    PPK dan PPSPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pegawai/pejabat berstatus sebagai PNS, prajurit TNI, atau anggota POLRI.
    (4)
    PPK dan PPSPM tidak dapat saling merangkap.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 188

    (1)
    PPK melaksanakan kewenangan KPA untuk melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja negara.
    (2)
    Dalam rangka melakukan tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja negara, PPK memiliki tugas dan wewenang:
     
    a.
    menyusun rencana pelaksanaan kegiatan dan rencana penarikan dana;
     
    b.
    menerbitkan surat penunjukan Penyedia;
     
    c.
    membuat, menandatangani, dan melaksanakan perjanjian dengan Penyedia;
     
    d.
    melaksanakan kegiatan Swakelola;
     
    e.
    memberitahukan kepada Kuasa BUN atas perjanjian yang dilakukannya;
     
    f.
    mengendalikan pelaksanaan perikatan;
     
    g.
    menguji dan menandatangani surat bukti mengenai hak tagih kepada negara;
     
    h.
    membuat dan menandatangani SPP atau dokumen lain yang dipersamakan dengan SPP;
     
    i.
    melaporkan pelaksanaan/penyelesaian kegiatan kepada KPA;
     
    j.
    menyerahkan hasil pekerjaan pelaksanaan kegiatan kepada KPA dengan berita acara penyerahan;
     
    k.
    menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen pelaksanaan kegiatan;
     
    l.
    menerbitkan dan menyampaikan SPP ke PPSPM;
     
    m.
    menyampaikan rencana penarikan dana kepada KPPN; dan
     
    n.
    melaksanakan tugas dan wewenang lainnya yang berkaitan dengan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja negara.
    (3)
    PPK bertanggung jawab terhadap:
     
    a.
    kebenaran materiil dan akibat yang timbul dari penggunaan bukti mengenai hak tagih kepada negara;
     
    b.
    kebenaran data supplier dan data Kontrak;
     
    c.
    kesesuaian barang/jasa yang diterima dengan spesifikasi teknis dan volume yang telah ditetapkan; dan
     
    d.
    penyelesaian pengujian tagihan dan penerbitan SPP sesuai dengan norma waktu yang ditentukan.
    (4)
    Dalam rangka kelancaran pembuatan komitmen, pengujian tagihan, dan penerbitan permintaan pembayaran, PPK:
     
    a.
    melaporkan kepada KPA atas perjanjian/perikatan yang dilakukannya; dan
     
    b.
    menyampaikan data supplier dan data Kontrak atas perjanjian/perikatan kepada KPPN dalam hal pembayaran dilakukan melalui mekanisme SPM­ LS.
    (5)
    Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf g dilakukan dengan menguji kebenaran materiil dan keabsahan surat-surat bukti mengenai hak tagih kepada negara.
    (6)
    Tugas dan wewenang lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf n meliputi:
     
    a.
    menetapkan rencana pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa;
     
    b.
    memastikan telah terpenuhinya kewajiban pembayaran kepada negara oleh pihak yang mempunyai hak tagih kepada negara;
     
    c.
    mengajukan permintaan pembayaran atas tagihan berdasarkan prestasi kegiatan;
     
    d.
    memastikan ketepatan jangka waktu penyelesaian tagihan kepada negara; dan
     
    e.
    menetapkan besaran uang muka yang akan dibayarkan kepada Penyedia.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 189

    (1)
    Untuk membantu PPK dalam mengelola administrasi belanja pegawai dapat diangkat:
     
    a.
    PPABP oleh KPA; dan/atau
     
    b.
    PBDK oleh kepala Satker.
    (2)
    PPABP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diutamakan pejabat fungsional di bidang pengelolaan keuangan negara.
    (3)
    Pengangkatan PBDK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, khusus untuk Satker yang telah memiliki interkoneksi antara aplikasi kepegawaian dengan aplikasi gaji.
    (4)
    Pengangkatan PPABP dan PBDK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan kegiatan.
    (5)
    PPABP memiliki tugas dan wewenang yang berhubungan dengan pengelolaan administrasi belanja pegawai.
    (6)
    PBDK memiliki tugas dan wewenang yang berhubungan dengan pengelolaan administrasi kepegawaian untuk pembayaran belanja pegawai melalui interkoneksi antara aplikasi kepegawaian dengan aplikasi gaji.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 190

    (1)
    PPSPM melaksanakan kewenangan KPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 186 ayat (4) huruf f, dalam rangka melakukan pengujian tagihan dan perintah pembayaran atas beban anggaran negara.
    (2)
    Dalam rangka melakukan pengujian tagihan dan perintah pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PPSPM memiliki tugas dan wewenang:
     
    a.
    menguji kebenaran SPP atau dokumen lain yang dipersamakan dengan SPP beserta dokumen pendukung;
     
    b.
    menolak dan mengembalikan SPP, apabila tidak memenuhi persyaratan untuk dibayarkan;
     
    c.
    membebankan tagihan pada akun yang telah disediakan;
     
    d.
    menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen hak tagih;
     
    e.
    melakukan pemantauan atas ketersediaan pagu anggaran, realisasi belanja, dan penggunaan UP/TUP;
     
    f.
    memperhitungkan kewajiban penerima hak tagihan apabila penerima hak tagihan masih memiliki kewajiban kepada negara;
     
    g.
    menerbitkan dan menyampaikan SPM atau dokumen lain yang dipersamakan dengan SPM ke KPPN;
     
    h.
    menyampaikan laporan atas pelaksanaan pengujian dan perintah pembayaran kepada KPA secara periodik; dan
     
    i.
    melaksanakan tugas dan wewenang lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan pengujian dan perintah pembayaran.
    (3)
    PPSPM bertanggung jawab terhadap:
     
    a.
    kebenaran administrasi, kelengkapan administrasi, dan keabsahan administrasi dokumen hak tagih yang menjadi dasar penerbitan SPM;
     
    b.
    kebenaran dan keabsahan atas SPM;
     
    c.
    akibat yang timbul dari pengujian SPP dan/atau penerbitan SPM; dan
     
    d.
    ketepatan waktu penerbitan SPM dan penyampaian SPM kepada KPPN.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 191

    (1)
    Dalam hal terdapat kebutuhan organisasi dan diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, KPA dapat menetapkan pejabat di luar Satker berkenaan sebagai PPK dan/atau PPSPM dengan ketentuan:
     
    a.
    untuk PPK, telah memiliki sertifikat kompetensi PPK sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara penilaian kompetensi bagi PPK dan PPSPM pada Satker pengelola APBN; dan
     
    b.
    untuk PPSPM, telah memiliki sertifikat kompetensi PPSPM sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara penilaian kompetensi bagi PPK dan PPSPM pada Satker pengelola APBN.
    (2)
    Penetapan pejabat di luar Satker berkenaan sebagai PPK dan/atau PPSPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah KPA Satker berkenaan berkoordinasi dengan Satker tempat pegawai yang akan ditetapkan sebagai PPK dan/atau PPSPM berkedudukan.
    (3)
    KPA menyampaikan laporan penetapan pejabat di luar Satker berkenaan sebagai PPK dan/atau PPSPM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Direktur Jenderal Perbendaharaan c.q. Direktur Pelaksanaan Anggaran paling lama 5 (lima) hari kerja sejak surat keputusan penetapan ditandatangani.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 192

    (1)
    Untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran belanja, Menteri/Pimpinan Lembaga dapat mengangkat Bendahara Pengeluaran di setiap Satker.
    (2)
    Untuk kelancaran pelaksanaan kegiatan, Menteri/Pimpinan Lembaga dapat mengangkat 1 (satu) atau lebih Bendahara Pengeluaran pembantu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Kewenangan mengangkat Bendahara Pengeluaran, atau bendahara pengeluaran pembantu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat didelegasikan kepada kepala Satker.
    (4)
    Bendahara Pengeluaran atau bendahara pengeluaran pembantu tidak dapat dirangkap oleh KPA, PPK, atau PPSPM.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 193

    (1)
    Penetapan PPK, PPSPM, Bendahara Pengeluaran, dan bendahara pengeluaran pembantu tidak terikat periode tahun anggaran.
    (2)
    Dalam hal PPK dan/atau PPSPM berhalangan melaksanakan tugasnya, KPA dapat menetapkan PPK dan/atau PPSPM pengganti dengan surat keputusan.
    (3)
    Dalam hal Bendahara Pengeluaran, dan/atau bendahara pengeluaran pembantu berhalangan, kepala Satker dapat menetapkan Bendahara Pengeluaran, dan/atau bendahara pengeluaran pembantu pengganti dengan surat keputusan.
    (4)
    Dalam hal penetapan KPA berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (2), penunjukkan PPK dan PPSPM secara otomatis berakhir.
    (5)
    PPK dan PPSPM yang berakhir penetapannya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus menyelesaikan seluruh administrasi keuangan yang menjadi tanggung jawabnya pada saat menjadi PPK atau PPSPM.
    (6)
    KPA/kepala Satker menyampaikan surat keputusan penetapan KPA, PPK, PPSPM, Bendahara Pengeluaran, bendahara pengeluaran pembantu dan pejabat pengganti kepada:
     
    a.
    Kepala KPPN selaku Kuasa BUN;
     
    b.
    PPSPM;
     
    c.
    PPK;
     
    d.
    Bendahara Pengeluaran; dan
     
    e.
    bendahara pengeluaran pembantu.
    (7)
    Dalam hal terjadi pergantian KPA, PPK, PPSPM, Bendahara Pengeluaran, dan/atau bendahara pengeluaran pembantu di awal tahun atau dalam tahun anggaran berjalan, KPA/kepala Satker menyampaikan pemberitahuan ke KPPN.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 194

    (1)
    Dalam rangka menjaga tata kelola dalam pelaksanaan APBN, pejabat perbendaharaan harus memenuhi standar kompetensi.
    (2)
    Direktur Jenderal Perbendaharaan melakukan pembinaan dan pengembangan standar kompetensi pejabat perbendaharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    (3)
    Standar kompetensi bagi KPA, PPK, dan PPSPM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai standar kompetensi kerja khusus bagi KPA, PPK, dan PPSPM.
    (4)
    Standar kompetensi bagi Bendahara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan bukti pemenuhan kompetensi diberikan berupa sertifikat Bendahara dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara sertifikasi bendahara pada Satker pengelola APBN.
    (5)
    Pemenuhan kompetensi bagi PPK dan PPSPM dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat kompetensi sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara penilaian kompetensi bagi PPK dan PPSPM pada Satker pengelola APBN.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Menteri Keuangan Selaku BUN
     

    Pasal 195

    (1)
    Menteri Keuangan selaku BUN mengangkat Kuasa BUN untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran dalam wilayah kerja yang telah ditetapkan.
    (2)
    Menteri Keuangan selaku BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengangkat:
     
    a.
    Direktur Jenderal Perbendaharaan sebagai Kuasa BUN pusat; dan
     
    b.
    Kepala KPPN sebagai Kuasa BUN daerah.
    (3)
    Kepala KPPN selaku Kuasa BUN daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b memiliki wilayah kerja, yang ditetapkan dengan mempertimbangkan:
     
    a.
    wilayah geografis; dan/atau
     
    b.
    beban kerja.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 196

    (1)
    Kuasa BUN pusat bertanggung jawab terhadap ketersediaan dana dalam rangka pencairan dana atas beban DIPA.
    (2)
    Kuasa BUN daerah bertanggung jawab terhadap:
     
    a.
    kesesuaian penerima pembayaran berdasarkan perintah pembayaran dari PPSPM; dan
     
    b.
    ketepatan waktu penerbitan SP2D.
    (3)
    Dalam rangka melaksanakan tugas kebendaharaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 195 ayat (1), Kuasa BUN memiliki wewenang paling sedikit:
     
    a.
    Kuasa BUN pusat:
     
     
    1.
    melaksanakan penerimaan dan pengeluaran Kas Negara dalam rangka pengendalian pelaksanaan anggaran negara;
     
     
    2.
    melakukan pembayaran tagihan pihak ketiga sebagai pengeluaran anggaran; dan
     
     
    3.
    melakukan penyusunan laporan keuangan tingkat Kuasa BUN pusat; dan
     
    b.
    Kuasa BUN daerah:
     
     
    1.
    melakukan pengujian atas SPM yang diajukan oleh Satker;
     
     
    2.
    melakukan penerbitan SP2D atas beban rekening Kas Negara; dan
     
     
    3.
    melakukan penyusunan laporan keuangan tingkat Kuasa BUN daerah.
    (4)
    Untuk kelancaran pengujian atas SPM dan penerbitan SP2D sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b angka 1 dan angka 2, Kuasa BUN daerah memiliki tugas:
     
    a.
    melaksanakan standar operasional prosedur pengujian SPM dan penerbitan SP2D;
     
    b.
    memastikan Satker menggunakan sistem dan prosedur pembayaran yang telah distandardisasi oleh BUN;
     
    c.
    memastikan Satker menyampaikan rencana penarikan dana yang tepat waktu dan akurat;
     
    d.
    melakukan pengendalian pelaksanaan anggaran dalam rangka manajemen kas; dan
     
    e.
    memantau pencairan anggaran kepada penerima pembayaran.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Pejabat Fungsional di Bidang Pengelolaan Keuangan Negara
     

    Pasal 197

    (1)
    Pejabat/pegawai yang akan ditetapkan/diangkat sebagai:
     
    a.
    PPK;
     
    b.
    PPSPM;
     
    c.
    Bendahara Pengeluaran;
     
    d.
    bendahara penerimaan; atau
     
    e.
    bendahara pengeluaran pembantu,
     
    diprioritaskan berasal dari pejabat fungsional di bidang pengelolaan keuangan negara yang dibina oleh Kementerian Keuangan.
    (2)
    Pejabat fungsional di bidang pengelolaan keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki sertifikat kompetensi PPK, sertifikat kompetensi PPSPM, atau sertifikat bendahara sesuai dengan jenis penetapan/pengangkatannya masmg­ masing.
    (3)
    Dalam hal tidak terdapat pejabat fungsional di bidang pengelolaan keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat ditetapkan sebagai PPK atau PPSPM, KPA menetapkan:
     
    a.
    pejabat/pegawai yang memiliki sertifikat kompetensi PPK sebagai PPK; dan
     
    b.
    pejabat/pegawai yang memiliki sertifikat kompetensi PPSPM sebagai PPSPM.
    (4)
    Dalam hal tidak terdapat pejabat fungsional di bidang pengelolaan keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat ditetapkan sebagai Bendahara Pengeluaran, bendahara penerimaan, atau bendahara pengeluaran pembantu, kepala Satker mengangkat pejabat/pegawai yang memiliki sertifikat bendahara sebagai Bendahara Pengeluaran, bendahara penerimaan, atau bendahara pengeluaran pembantu.
    (5)
    Kepemilikan sertifikat kompetensi PPK dan sertifikat kompetensi PPSPM sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara penilaian kompetensi bagi PPK dan PPSPM pada Satker pengelola APBN.
    (6)
    Kepemilikan sertifikat Bendahara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara sertifikasi bendahara pada Satker pengelola APBN.
     
    Bagian Kelima
    Komitmen

    Paragraf 1
    Pembuatan Komitmen
     

    Pasal 198

    (1)
    Pelaksanaan kegiatan dan penggunaan anggaran pada DIPA yang mengakibatkan belanja negara, dilakukan melalui pembuatan komitmen.
    (2)
    Komitmen merupakan dasar timbulnya hak tagih kepada negara atas beban DIPA.
    (3)
    Komitmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
     
    a.
    penetapan keputusan; atau
     
    b.
    Kontrak untuk Pengadaan Barang/Jasa.
    (4)
    Anggaran yang sudah terikat dengan komitmen tidak dapat digunakan untuk kebutuhan lain.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 199

    (1)
    Komitmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 198 ayat (3) huruf a dibuat dalam bentuk penetapan keputusan pejabat yang berwenang.
    (2)
    Pejabat berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
     
    a.
    pejabat pembina kepegawaian;
     
    b.
    KPA;
     
    c.
    PPK; atau
     
    d.
    pejabat berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Komitmen dalam bentuk penetapan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa:
     
    a.
    surat keputusan;
     
    b.
    surat perintah;
     
    c.
    surat tugas;
     
    d.
    surat keterangan; dan/atau
     
    e.
    surat perjalanan dinas.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 200

    Komitmen dalam bentuk Kontrak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 198 ayat (3) huruf b dapat berupa:
    a.
    bukti pembelian/pembayaran;
    b.
    kuitansi;
    c.
    surat perintah kerja;
    d.
    surat perjanjian; dan/atau
    e.
    surat/bukti pesanan,
    sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 201

    (1)
    Bukti pembelian/pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 200 huruf a diterbitkan oleh Penyedia.
    (2)
    Bukti pembelian/pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
     
    a.
    tanggal pembelian/pembayaran;
     
    b.
    nama Penyedia;
     
    c.
    uraian barang/jasa yang dibeli/dibayar;
     
    d.
    kuantitas barang/jasa yang dibeli/dibayar; dan
     
    e.
    jumlah pembayaran.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 202

    (1)
    Kuitansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 200 huruf b diterbitkan dan ditandatangani paling kurang oleh PPK dan Penyedia.
    (2)
    Kuitansi paling sedikit memuat:
     
    a.
    tanggal pembelian/pembayaran;
     
    b.
    nama Penyedia;
     
    c.
    uraian barang/jasa yang dibeli/dibayar;
     
    d.
    kuantitas barang/jasa yang dibeli/dibayar; dan
     
    e.
    jumlah pembayaran.
    (3)
    Kuitansi diterbitkan sebagai pengganti Bukti Pembelian/Pembayaran dalam hal:
     
    a.
    Penyedia tidak menerbitkan bukti pembelian pembayaran; dan/atau
     
    b.
    bukti pembelian/pembayaran dari Penyedia tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 201 ayat (2).
     
     
     
     
     
     

    Pasal 203

    (1)
    Surat perintah kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 200 huruf c diterbitkan dan ditandatangani oleh PPK dan Penyedia.
    (2)
    Surat perintah kerja berisi perintah pelaksanaan pekerjaan kepada Penyedia yang paling sedikit memuat:
     
    a.
    nama dan kode Satker;
     
    b.
    nomor dan tanggal surat perintah kerja;
     
    c.
    nama PPK;
     
    d.
    uraian barang/jasa;
     
    e.
    nama Penyedia;
     
    f.
    hak dan kewajiban para pihak;
     
    g.
    jangka waktu pelaksanaan pekerjaan; dan
     
    h.
    nilai Kontrak.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 204

    (1)
    Surat perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 200 huruf d ditandatangani oleh PPK dan Penyedia.
    (2)
    Surat Perjanjian berisi kesepakatan para pihak mengenai pekerjaan yang paling sedikit memuat:
     
    a.
    nama dan kode Satker;
     
    b.
    nomor dan tanggal Surat Perjanjian;
     
    c.
    nama PPK;
     
    d.
    uraian barang/jasa;
     
    e.
    nama Penyedia;
     
    f.
    hak dan kewajiban para pihak;
     
    g.
    jangka waktu pelaksanaan pekerjaan; dan
     
    h.
    nilai kontrak.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 205

    (1)
    Surat/bukti pesanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 200 huruf e dibuat oleh PPK dan ditujukan kepada Penyedia dengan tujuan untuk memesan barang/jasa melalui e-purchasing sesuai dengan ketentuan yang berlaku peraturan perundang­ undangan.
    (2)
    Surat/bukti pesanan paling sedikit memuat:
     
    a.
    nama pemesan;
     
    b.
    nama Penyedia;
     
    c.
    barang/jasa yang dipesan;
     
    d.
    spesifikasi teknis barang; dan
     
    e.
    jumlah pembayaran.
    (3)
    Penggunaan surat/bukti pesanan untuk Pengadaan Barang/Jasa dapat ditindaklanjuti dengan surat perintah kerja atau surat perjanjian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 206

    Ketentuan mengenai batasan nominal pembayaran dengan komitmen dalam bentuk Kontrak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 200 berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Penatausahaan Data Kontrak dan Data
    Supplier
     

    Pasal 207

    (1)
    PPK melakukan pendaftaran Kontrak ke KPPN atas data Kontrak dan data supplier penerima pembayaran.
    (2)
    Pendaftaran Kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah Kontrak ditandatangani.
    (3)
    Dalam hal terdapat perubahan/adendum atas Kontrak yang telah didaftarkan, PPK menyampaikan data perubahan/adendum Kontrak ke KPPN paling lama 5 (lima) hari kerja setelah penandatanganan perubahan/adendum Kontrak.
    (4)
    Ketentuan mengenai tata cara pendaftaran data Kontrak dan data supplier sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai pelaksanaan sistem perbendaharaan dan anggaran negara dan Peraturan Menteri Keuangan mengenai pelaksanaan sistem SAKTI.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    Pengajuan Tagihan kepada Negara

    Paragraf 1
    Ketentuan Tagihan
     

    Pasal 208

    (1)
    Pengajuan tagihan dilakukan berdasarkan atas komitmen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 198 ayat (3) dan bukti-bukti yang sah untuk memperoleh pembayaran, meliputi:
     
    a.
    prestasi pekerjaan/pengeluaran riil;
     
    b.
    daftar perhitungan/nominatif penerima pembayaran untuk yang lebih dari 1 (satu) penerima;
     
    c.
    penyelesaian kewajiban perpajakan dan/atau kewajiban kepada negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan; dan/atau
     
    d.
    persyaratan lainnya.
    (2)
    Prestasi pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat berbentuk:
     
    a.
    berita acara penyelesaian pekerjaan;
     
    b.
    berita acara serah terima pekerjaan/barang;
     
    c.
    berita acara pembayaran;
     
    d.
    berita acara kemajuan pekerjaan; dan/atau
     
    e.
    bukti penyelesaian pekerjaan lainnya,
     
    sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­ undangan mengenai pengadaan barang dan jasa pemerintah.
    (3)
    Persyaratan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, dapat berbentuk:
     
    a.
    pembayaran belanja pegawai:
     
     
    1.
    daftar perhitungan gaji pegawai yang ditandatangani oleh PPABP, Bendahara Pengeluaran, dan KPA/PPK;
     
     
    2.
    daftar perhitungan tunjangan kinerja untuk pembayaran tunjangan kinerja;
     
     
    3.
    daftar perhitungan Uang Makan untuk pembayaran Uang Makan;
     
     
    4.
    daftar perhitungan uang lembur untuk pembayaran uang lembur; dan
     
     
    5.
    persyaratan lain sebagaimana diatur dalam ketentuan mengenai pembayaran belanja pegawai; dan
     
    b.
    pembayaran belanja barang, belanja modal, bantuan sosial, dan belanja lainnya:
     
     
    1.
    surat tagihan penggunaan daya dan jasa yang sah untuk pembayaran langganan daya dan Jasa;
     
     
    2.
    daftar perhitungan/nominatif perjalanan dinas dan dokumen pendukungnya untuk pembayaran perjalanan dinas;
     
     
    3.
    Jamman dalam hal barang/jasa belum diterima;
     
     
    4.
    pembayaran pengadaan tanah:
     
     
     
    a)
    berita acara pelepasan hak atas tanah atau penyerahan tanah;
     
     
     
    b)
    surat pelepasan hak adat (apabila diperlukan);
     
     
     
    c)
    pernyataan dari pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang disengketakan bahwa pengadilan negeri tersebut dapat menerima uang penitipan ganti kerugian, dalam hal tanah sengketa; dan
     
     
     
    d)
    persyaratan lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan tanah;dan
     
     
    5.
    persyaratan lainnya sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai pembayaran belanja barang, belanja modal, bantuan sosial, dan belanja lainnya.
    (4)
    Pengajuan tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk tagihan pembayaran atas Pengadaan Barang/Jasa diajukan oleh Penyedia paling lama 5 (lima) hari kerja setelah timbulnya hak tagih kepada negara.
    (5)
    Dalam hal Penyedia belum mengajukan tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), PPK menyampaikan pemberitahuan kepada Penyedia untuk mengajukan tagihan.
    (6)
    Pengajuan tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan secara elektronik dengan ketentuan:
     
    a.
    telah dilakukan interkoneksi sistem yang digunakan dalam proses pengajuan tagihan; dan/atau
     
    b.
    PPK dapat memastikan kebenaran dan keabsahan tagihan.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Mekanisme Pembayaran Tagihan
     

    Pasal 209

    Pembayaran tagihan dapat dilakukan melalui mekanisme:
    a.
    Pembayaran LS; atau
    b.
    UP.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 210

    (1)
    Prinsip utama pembayaran dilakukan dengan mekanisme Pembayaran LS kepada penerima hak pembayaran.
    (2)
    Pembayaran LS digunakan untuk pembayaran kepada:
     
    a.
    aparatur negara;
     
    b.
    Penyedia; dan/atau
     
    c.
    pihak lain.
    (3)
    Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c meliputi perseorangan, kelompok masyarakat, lembaga pemerintah, lembaga nonpemerintah, organisasi internasional, dan/atau badan usaha.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 211

    (1)
    Dalam hal tidak dapat dilakukan Pembayaran LS kepada penerima hak pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 ayat (2), Pembayaran LS dapat dilakukan melalui:
     
    a.
    Bendahara Pengeluaran; atau
     
    b.
    Bank/Pos/Lembaga keuangan bukan bank.
    (2)
    Pembayaran LS melalui Bendahara Pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat dilakukan untuk pembayaran:
     
    a.
    honorarium dan perjalanan dinas atas dasar komitmen berupa penetapan keputusan; dan
     
    b.
    belanja pegawai kepada pegawai negeri, pejabat negara, dan/atau pejabat lainnya setelah mendapat persetujuan dari Kuasa BUN.
    (3)
    Pembayaran LS melalui Bank/Pos/lembaga keuangan bukan bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat dilakukan antara lain untuk belanja bantuan sosial dan belanja bantuan pemerintah, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 212

    (1)
    Mekanisme UP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 huruf b dapat digunakan untuk membayar pengeluaran operasional Satker atau pengeluaran lain yang tidak dapat dilakukan dengan mekanisme Pembayaran LS.
    (2)
    Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan untuk jenis belanja:
     
    a.
    belanja barang;
     
    b.
    belanja modal; dan
     
    c.
    belanja lain-lain.
    (3)
    UP yang diajukan berupa:
     
    a.
    UP tunai; dan/atau
     
    b.
    UP kartu kredit pemerintah.
    (4)
    UP tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a merupakan UP yang diberikan dalam bentuk uang tunai kepada Bendahara Pengeluaran/bendahara pengeluaran pembantu melalui rekening Bendahara Pengeluaran/bendahara pengeluaran pembantu.
    (5)
    UP kartu kredit pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan uang muka kerja yang diberikan dalam bentuk batasan belanja (limit) kredit kepada Bendahara Pengeluaran/bendahara pengeluaran pembantu.
    (6)
    Besaran UP yang dikelola Satker sesuai dengan kebutuhan UP Satker dalam 1 (satu) bulan paling banyak 1/12 (satu per dua belas) dari pagu jenis belanja yang dapat dibayarkan melalui UP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk masing-masing sumber dana dalam DIPA.
    (7)
    Besaran UP sebagaimana dimaksud pada ayat (6), paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
    (8)
    Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan atas permintaan KPA, dapat memberikan persetujuan UP melampaui besaran sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7), dengan mempertimbangkan:
     
    a.
    frekuensi penggantian UP tahun yang lalu lebih dari rata-rata 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan selama 1 (satu) tahun; dan
     
    b.
    perhitungan kebutuhan penggunaan UP dalam 1 (satu) bulan.
    (9)
    Satker mengajukan revolving UP tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan.
    (10)
    Revolving UP sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dapat dilakukan setelah digunakan paling sedikit 50% (lima puluh persen).
     
     
     
     
     
     

    Pasal 213

    (1)
    Kepala KPPN menyampaikan surat pemberitahuan kepada KPA, dalam hal 2 (dua) bulan sejak SP2D-UP untuk keseluruhan UP Satker diterbitkan belum dilakukan pengajuan penggantian UP.
    (2)
    Dalam hal setelah 1 (satu) bulan sejak disampaikan surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dilakukan pengajuan penggantian UP, Kepala KPPN memotong UP sebesar 25% (dua puluh lima persen) dengan cara menyampaikan surat pemberitahuan kepada KPA untuk memperhitungkan potongan UP dalam SPM dan/atau menyetorkan ke Kas Negara.
    (3)
    Dalam hal 1 (satu) bulan setelah surat pemberitahuan pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) KPA tidak memperhitungkan potongan UP dalam SPM dan/atau menyetorkan ke Kas Negara, Kepala KPPN memotong UP sebesar 50% (lima puluh persen) dengan cara menyampaikan surat pemberitahuan kepada KPA untuk memperhitungkan potongan UP dalam SPM dan/atau menyetorkan ke Kas Negara.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 214

    (1)
    UP dapat digunakan untuk pembayaran secara tunai dan nontunai.
    (2)
    Pembayaran dengan UP kepada setiap penerima hak pembayaran paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
    (3)
    Batasan besaran pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikecualikan untuk:
     
    a.
    pembayaran honorarium;
     
    b.
    perjalanan dinas;
     
    c.
    kegiatan di luar negeri;
     
    d.
    kegiatan kepresidenan/wakil presiden;
     
    e.
    kegiatan yang menyangkut rahasia negara/intelijen;
     
    f.
    Pengadaan Barang/Jasa Penyedia di luar negeri;
     
    g.
    iuran organisasi internasional;
     
    h.
    kegiatan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
     
    i.
    penanganan terorisme;
     
    j.
    pengadaan alat utama sistem senjata TNI/alat peralatan pertahanan dan keamanan; dan
     
    k.
    penanganan bencana.
    (4)
    Pembayaran dengan UP kepada setiap penerima hak dengan nilai melebihi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk kegiatan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan Direktur Jenderal Perbendaharaan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 215

    (1)
    Dalam hal UP pada Bendahara Pengeluaran tidak cukup tersedia untuk membiayai pengeluaran yang sifatnya mendesak/tidak dapat ditunda, KPA dapat mengajukan permohonan persetujuan TUP kepada Kepala KPPN.
    (2)
    Permohonan persetujuan TUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Kepala KPPN disertai dengan rincian rencana penggunaan TUP.
    (3)
    Kepala KPPN dapat menyetujui atau menolak untuk keseluruhan atau sebagian permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
     
     
     
     
     
     

    Pasal 216

    (1)
    TUP harus dipertanggungjawabkan seluruhnya dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal SP2D diterbitkan dan dapat dilakukan secara bertahap.
    (2)
    Sisa TUP yang tidak habis digunakan harus disetor ke Kas Negara paling lama 2 (dua) hari kerja setelah batas waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal SP2D diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    (3)
    Dalam hal selama 1 (satu) bulan sejak SP2D TUP diterbitkan belum dilakukan pertanggungjawaban TUP, Kepala KPPN menyampaikan surat teguran kepada KPA.
    (4)
    Untuk perpanjangan pertanggungjawaban TUP melampaui 1 (satu) bulan, KPA mengajukan permohonan persetujuan kepada Kepala KPPN.
    (5)
    Kepala KPPN dapat memberikan persetujuan perpanjangan pertanggungjawaban TUP sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan pertimbangan:
     
    a.
    KPA harus mempertanggungjawabkan TUP yang telah dipergunakan; dan
     
    b.
    KPA menyampaikan pernyataan kesanggupan untuk mempertanggungjawabkan sisa TUP tidak lebih dari 1 (satu) bulan berikutnya.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketujuh
    Pengujian dan Penyelesaian Tagihan

    Paragraf 1
    Pengujian Tagihan dan Penerbitan Surat Permintaan Pembayaran Langsung
     

    Pasal 217

    (1)
    Dalam rangka penyelesaian tagihan, PPK melakukan pengujian materiil terhadap kebenaran tagihan beserta kelengkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (1).
    (2)
    Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara elektronik terhadap:
     
    a.
    kelengkapan dokumen tagihan;
     
    b.
    kebenaran data pihak yang berhak menerima pembayaran atas beban APBN; dan
     
    c.
    kebenaran perhitungan tagihan termasuk memperhitungkan kewajiban penerima pembayaran kepada negara.
    (3)
    Dalam hal tagihan beserta kelengkapannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan tidak dalam bentuk elektronik, pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara manual.
    (4)
    Selain pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), PPK melakukan pengujian:
     
    a.
    kesesuaian spesifikasi teknis dan volume barang/jasa sebagaimana yang tercantum dalam perjanjian/Kontrak dengan barang/jasa yang diserahkan oleh Penyedia;
     
    b.
    kesesuaian spesifikasi teknis dan volume barang/jasa sebagaimana yang tercantum pada dokumen serah terima barang/jasa dengan dokumen perjanjian/Kontrak;
     
    c.
    kebenaran, keabsahan serta akibat yang timbul dari penggunaan surat bukti mengenai hak tagih kepada negara; dan
     
    d.
    ketepatan jangka waktu penyelesaian pekerjaan sebagaimana yang tercantum pada dokumen serah terima barang/jasa dengan dokumen perjanjian/Kontrak.
    (5)
    Dalam hal terdapat keterlambatan penyelesaian pekerjaan, PPK memperhitungkan denda sesuai dengan ketentuan pengenaan denda yang dicantumkan dalam Kontrak Pengadaan Barang/Jasa.
    (6)
    Dalam hal pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memenuhi ketentuan, PPK menerbitkan SPP-LS.
    (7)
    Dalam hal berdasarkan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tagihan tidak memenuhi ketentuan, PPK menolak tagihan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 218

    PPK menerbitkan dan menyampaikan SPP-LS beserta kelengkapan tagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 kepada PPSPM dengan ketentuan:
    a.
    paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah persyaratan diterima secara lengkap dan benar untuk pembayaran kepada aparatur negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 ayat (2) huruf a;
    b.
    paling lama 5 (lima) hari kerja setelah tagihan dari Penyedia atau pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 ayat (2) huruf b dan huruf c diterima secara lengkap dan benar; dan/atau
    c.
    paling lambat tanggal 10 (sepuluh) sebelum bulan pembayaran atau hari kerja sebelumnya dalam hal tanggal 10 (sepuluh) merupakan hari libur atau hari yang dinyatakan libur, untuk pembayaran gaji induk/bulanan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 219

    (1)
    KPA menyampaikan permohonan persetujuan besaran UP per sumber dana kepada KPPN berdasarkan proyeksi kebutuhan UP Satker sebagaimana dimaksud dalam Pasal 212 ayat (6).
    (2)
    Dalam hal UP Satker dikelola oleh beberapa bendahara pengeluaran pembantu, permohonan KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai daftar rincian yang menyatakan jumlah UP yang dikelola oleh masing­ masing bendahara pengeluaran pembantu.
    (3)
    Berdasarkan permohonan persetujuan kebutuhan UP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPPN memberikan persetujuan besaran UP Satker.
    (4)
    Berdasarkan persetujuan besaran UP Satker dari KPPN sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bendahara Pengeluaran mengajukan SPP-UP kepada PPK.
    (5)
    PPK menerbitkan SPP-UP dan disampaikan kepada PPSPM paling lama 2 (dua) hari kerja setelah pengajuan SPP-UP dari Bendahara Pengeluaran.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 220

    (1)
    Dalam rangka pembayaran dengan mekanisme UP, PPK melakukan pengujian materiil terhadap kebenaran tagihan beserta kelengkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (1).
    (2)
    Tata cara pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 217 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) berlaku mutatis mutandis terhadap pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    (3)
    Dalam hal berdasarkan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memenuhi persyaratan, PPK menerbitkan SPBy yang disampaikan kepada Bendahara Pengeluaran/bendahara pengeluaran pembantu.
    (4)
    Dalam hal UP digunakan untuk uang muka, PPK menerbitkan SPBy disertai dengan:
     
    a.
    rencana pelaksanaan kegiatan/pembayaran; dan
     
    b.
    rincian kebutuhan dana.
    (5)
    Uang muka sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan secara tunai atau nontunai.
    (6)
    Berdasarkan SPBy yang disampaikan PPK, Bendahara Pengeluaran/bendahara pengeluaran pembantu melakukan pengujian yang meliputi:
     
    a.
    meneliti kelengkapan perintah pembayaran yang diterbitkan oleh PPK;
     
    b.
    pemeriksaan kebenaran atas hak tagih, meliputi:
     
     
    1.
    kebenaran data pihak yang berhak menerima pembayaran atas beban APBN; dan
     
     
    2.
    nilai tagihan yang harus dibayar; dan
     
     
    3.
    jadwal waktu pembayaran;
     
    c.
    menguji ketersediaan dana yang bersangkutan;
     
    d.
    pemeriksaan kesesuaian pencapaian keluaran antara spesifikasi teknis yang disebutkan dalam penerimaan barang/jasa dan spesifikasi teknis yang disebutkan dalam dokumen perjanjian/Kontrak; dan
     
    e.
    pemeriksaan dan pengujian ketepatan penggunaan klasifikasi anggaran.
    (7)
    Apabila SPBy telah memenuhi persyaratan, Bendahara Pengeluaran/bendahara pengeluaran pembantu melakukan pembayaran dengan UP.
    (8)
    Dalam hal SPBy tidak memenuhi persyaratan untuk dibayarkan, Bendahara Pengeluaran/bendahara pengeluaran pembantu mengembalikan tagihan/mengembalikan SPBy.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 221

    (1)
    Penerima uang muka mempertanggungjawabkan uang muka kepada Bendahara Pengeluaran disertai dengan bukti pengeluaran yang sah paling lama 5 (lima) hari kerja setelah pelaksanaan kegiatan selesai.
    (2)
    Dalam hal sampai batas paling lama 5 (lima) hari kerja setelah pelaksanaan kegiatan selesai, penerima uang muka kerja belum menyampaikan bukti pengeluaran yang sah, Bendahara Pengeluaran/bendahara pengeluaran pembantu menyampaikan permintaan tertulis agar penerima uang muka kerja segera mempertanggungjawabkan uang muka kerja dengan tembusan kepada PPK.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 222

    (1)
    Bendahara Pengeluaran mengajukan penggantian (revolving) UP kepada PPK sepanjang dana yang dapat dibayarkan dengan UP masih tersedia dalam DIPA.
    (2)
    Masing-masing bendahara pengeluaran pembantu mengajukan penggantian (revolving) UP melalui Bendahara Pengeluaran.
    (3)
    Pengajuan penggantian UP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan SPBy dan kelengkapannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (1).
    (4)
    Berdasarkan pengajuan penggantian UP sebagaimana dimaksud pada ayat (3), PPK menerbitkan:
     
    a.
    SPP GUP untuk pengisian kembali UP; atau
     
    b.
    SPP GUP Nihil untuk pengesahan/pertanggungjawaban UP,
     
    disertai dengan kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
    (5)
    SPP GUP/GUP Nihil diterbitkan dan disampaikan kepada PPSPM paling lama 5 (lima) hari kerja setelah bukti-bukti pendukung diterima secara lengkap dan benar.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 223

    (1)
    Berdasarkan persetujuan pemberian TUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (3), Bendahara Pengeluaran mengajukan SPP-TUP kepada PPK.
    (2)
    PPK menerbitkan SPP-TUP dan disampaikan oleh PPK kepada PPSPM paling lama 2 (dua) hari kerja setelah pengajuan SPP-TUP dari Bendahara Pengeluaran.
    (3)
    Tata cara penggunaan UP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 dan Pasal 220 berlaku mutatis mutandis terhadap tata cara penggunaan TUP.
    (4)
    Untuk mengesahkan/mempertanggungjawabkan TUP, PPK menerbitkan SPP-PTUP.
    (5)
    SPP-PTUP diterbitkan dan disampaikan oleh PPK kepada PPSPM paling lama 5 (lima) hari kerja sebelum batas akhir pertanggungjawaban TUP.
    (6)
    SPP-PTUP disertai dengan SPBy dan kelengkapannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (1).
     
     
     
     
     
     

    Pasal 224

    (1)
    PPK menerbitkan SPP-LS/UP/TUP/GUP/GUP Nihil/PTUP dan SPBy dengan sistem aplikasi yang dikelola oleh Kementerian Keuangan.
    (2)
    Pengesahan SPP-LS/UP/TUP/GUP/GUP Nihil/PTUP dan SPBy sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan Tanda Tangan Elektronik tersertifikasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Pengujian SPP dan Penerbitan SPM
     

    Pasal 225

    (1)
    Dalam rangka penyelesaian tagihan, PPSPM melakukan pengujian formal atas SPP beserta kelengkapannya yang disampaikan dari PPK.
    (2)
    Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara elektronik meliputi:
     
    a.
    kelengkapan dokumen pendukung SPP;
     
    b.
    kebenaran dan keabsahan Tanda Tangan Elektronik PPK;
     
    c.
    kebenaran pengisian format SPP;
     
    d.
    ketersediaan pagu sesuai bagan akun standar pada SPP dengan DIPA/POK/RKA Satker;
     
    e.
    kebenaran formal bukti yang menjadi persyaratan/kelengkapan pembayaran;
     
    f.
    kebenaran perhitungan tagihan serta kewajiban di bidang perpajakan dari pihak yang mempunyai hak tagih;
     
    g.
    kepastian telah terpenuhinya kewajiban pembayaran kepada negara oleh pihak yang mempunyai hak tagih kepada negara;
     
    h.
    kesesuaian prestasi pekerjaan dengan ketentuan pembayaran dalam perjanjian/Kontrak; dan
     
    i.
    ketersediaan pagu sesuai bagan akun standar pada SPP dengan DIPA/POK/RKA Satker;
    (3)
    Dalam hal kelengkapan SPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan tidak secara elektronik, pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelengkapan SPP dilakukan secara manual.
    (4)
    Dalam hal berdasarkan hasil pengujian SPP beserta kelengkapannya telah memenuhi ketentuan, PPSPM menerbitkan SPM-LS/UP/GUP/GUP Nihil/TUP/PTUP.
    (5)
    Dalam hal berdasarkan hasil pengujian SPP beserta kelengkapannya tidak memenuhi ketentuan, PPSPM menolak SPP.
    (6)
    Jangka waktu pengujian SPP beserta kelengkapannya sejak diterima secara lengkap dan benar sampai dengan penerbitan SPM oleh PPSPM diatur dengan ketentuan:
     
    a.
    paling lama 2 (dua) hari kerja untuk penerbitan SPM-UP/TUP;
     
    b.
    paling lama 4 (empat) hari kerja untuk penerbitan SPM-GUP/GUP Nihil;
     
    c.
    paling lama 3 (tiga) hari kerja untuk penerbitan SPM-PTUP;
     
    d.
    paling lama 5 (lima) hari kerja untuk penerbitan SPM-LS; dan
     
    e.
    paling lambat tanggal 15 (lima belas) sebelum bulan pembayaran atau hari kerja sebelumnya dalam hal tanggal 15 (lima belas) merupakan hari libur atau hari yang dinyatakan libur, untuk pembayaran gaji induk/bulanan.
    (7)
    Dalam hal PPSPM menolak SPP, PPSPM harus menyatakan secara tertulis alasan penolakan/pengembalian paling lama 2 (dua) hari kerja setelah diterimanya SPP.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 226

    (1)
    PPSPM menerbitkan SPM-LS/UP/TUP/GUP/GUP Nihil/PTUP menggunakan sistem aplikasi yang dikelola oleh Kementerian Keuangan.
    (2)
    Pengesahan SPM-LS/UP/TUP/GUP/GUP Nihil/PTUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan menggunakan Tanda Tangan Elektronik tersertifikasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­ undangan.
    (3)
    SPM-LS/UP/TUP/GUP/GUP Nihil/PTUP yang telah disahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikirim secara sistem ke KPPN paling lama 2 (dua) hari kerja setelah pengesahan.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Pengujian SPM dan Penerbitan SP2D
     

    Pasal 227

    (1)
    Dalam pencairan anggaran belanja negara, KPPN melakukan penelitian dan pengujian secara elektronik atas SPM yang disampaikan oleh PPSPM.
    (2)
    Penelitian SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi penelitian terhadap:
     
    a.
    kelengkapan SPM; dan
     
    b.
    kebenaran SPM meliputi:
     
     
    1.
    kebenaran dan keabsahan Tanda Tangan Elektronik pada SPM;
     
     
    2.
    kesesuaian penulisan/pengisian jumlah angka dan huruf pada SPM; dan
     
     
    3.
    kebenaran penulisan dalam SPM, termasuk tidak boleh terdapat cacat dalam penulisan.
    (3)
    Pengujian SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
     
    a.
    menguji kebenaran perhitungan angka atas beban APBN yang tercantum dalam SPM, yaitu kebenaran jumlah belanja/pengeluaran dikurangi dengan jumlah potongan/penerimaan dengan jumlah bersih dalam SPM;
     
    b.
    menguji ketersediaan dana pada kegiatan/output/jenis belanja dalam DIPA dengan yang dicantumkan pada SPM;
     
    c.
    menguji kesesuaian tagihan dengan data perjanjian/Kontrak atau perubahan data pegawai yang telah disampaikan kepada KPPN; dan
     
    d.
    menguji persyaratan pencairan dana.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 228

    (1)
    Penelitian dan pengujian secara elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 227 ayat (1) dilakukan terhadap data/informasi pada sistem aplikasi.
    (2)
    Dalam hal berdasarkan penelitian dan pengujian secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SPM memenuhi ketentuan, KPPN menerbitkan SP2D.
    (3)
    Dalam hal berdasarkan penelitian dan pengujian secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SPM tidak memenuhi ketentuan, KPPN menolak SPM.
    (4)
    Penerbitan SP2D dilakukan sesuai dengan prosedur standar operasional dan norma waktu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 229

    Koreksi/ralat/pembatalan atas SPP dan SPM yang telah mendapatkan penerbitan SP2D hanya dapat dilakukan sepanjang tidak mengakibatkan:
    a.
    perubahan jumlah uang pada SPP, SPM, dan SP2D;
    b.
    sisa pagu anggaran pada DIPA menjadi minus; atau
    c.
    perubahan kode Bagian Anggaran, eselon I, dan Satker.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedelapan
    Pengawasan dan Pengendalian Internal
     

    Pasal 230

    (1)
    Menteri/Pimpinan Lembaga menyelenggarakan pengawasan dan pengendalian internal terhadap pelaksanaan anggaran Satker di lingkungan Kementerian/Lembaga masing-masing.
    (2)
    Pengawasan dan pengendalian internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesembilan
    Tanda Tangan Elektronik
     

    Pasal 231

    Dalam rangka mempersiapkan sistem aplikasi dan Tanda Tangan Elektronik tersertifikasi, Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perbendaharaan dapat menetapkan penahapan implementasi pembayaran dengan sistem aplikasi dan Tanda Tangan Elektronik tersertifikasi.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesepuluh
    Tata Cara Pembayaran atas Beban BA Bendahara Umum
     

    Pasal 232

    Ketentuan mengenai tata cara pembayaran atas beban BA BUN dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pencairan anggaran pendapatan dan belanja negara bagian atas beban anggaran BUN pada kantor pelayanan perbendaharaan negara dan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai pelaksanaan anggaran pada masing-masing Sub BA BUN.
     
     
     
     
     
     
    BAB VII
    AKUNTANSI DAN PELAPORAN KEUANGAN

    Bagian Kesatu
    Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat
     

    Pasal 233

    (1)
    Akuntansi dan pelaporan keuangan di lingkungan Pemerintah Pusat dilaksanakan berdasarkan Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat.
    (2)
    Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan rangkaian sistematik dari prosedur, penyelenggara, peralatan, dan elemen lain untuk mewujudkan fungsi akuntansi sejak pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran sampai dengan pelaporan posisi keuangan dan operasi keuangan pada Pemerintah Pusat.
    (3)
    Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintahan berdasarkan Peraturan Pemerintah mengenai standar akuntansi pemerintahan dan kebijakan akuntansi.
    (4)
    Kebijakan akuntansi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai kebijakan akuntansi Pemerintah Pusat.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 234

    (1)
    Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat dilaksanakan dalam rangka menghasilkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat.
    (2)
    Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Sistem Akuntansi Bendahara Umum Negara dan Sistem Akuntansi Instansi.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Sistem Akuntansi Bendahara Umum Negara
     

    Pasal 235

    (1)
    Sistem Akuntansi Bendahara Umum Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 234 ayat (2) dilaksanakan dan dikoordinasikan oleh Menteri Keuangan selaku BUN.
    (2)
    Sistem Akuntansi Bendahara Umum Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memproses transaksi keuangan dan/atau barang yang dikelola oleh BUN.
    (3)
    Sistem Akuntansi Bendahara Umum Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
     
    a.
    Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pusat;
     
    b.
    Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Utang Pemerintah;
     
    c.
    Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Hibah;
     
    d.
    Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Investasi Pemerintah;
     
    e.
    Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pengelolaan Pemberian Pinjaman;
     
    f.
    Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Transfer ke Daerah;
     
    g.
    Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Belanja Subsidi dan Belanja Lain-lain;
     
    h.
    Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Transaksi Khusus;dan
     
    i.
    Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Badan Lainnya.
    (4)
    Sistem Akuntansi Bendahara Umum Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam rangka menghasilkan Laporan Keuangan BUN.
    (5)
    Laporan Keuangan BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas:
     
    a.
    Laporan Arus Kas;
     
    b.
    Laporan Operasional;
     
    c.
    Laporan Perubahan Ekuitas;
     
    d.
    Neraca;
     
    e.
    Laporan Realisasi Anggaran;
     
    f.
    Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih; dan
     
    g.
    Catatan atas Laporan Keuangan.
    (6)
    Laporan Keuangan BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan oleh unit akuntansi BUN kepada Menteri Keuangan.
    (7)
    Laporan Keuangan BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (4) digunakan dalam penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat.
    (8)
    Pelaporan Keuangan BUN didukung dengan penerapan Pengendalian Internal atas Pelaporan Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (9)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai Sistem Akuntansi Bendahara Umum Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai sistem akuntansi BUN.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Sistem Akuntansi Instansi
     

    Pasal 236

    (1)
    Sistem Akuntansi Instansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 234 ayat (2) dilaksanakan oleh setiap Kementerian/Lembaga.
    (2)
    Sistem Akuntansi Instansi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memproses data transaksi keuangan dan transaksi barang.
    (3)
    Sistem Akuntansi Instansi dilaksanakan dalam rangka menghasilkan Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga.
    (4)
    Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas:
     
    a.
    Laporan Realisasi Anggaran;
     
    b.
    Laporan Operasional;
     
    c.
    Laporan Perubahan Ekuitas;
     
    d.
    Neraca; dan
     
    e.
    Catatan Atas Laporan Keuangan.
    (5)
    Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Menteri Keuangan bersamaan dengan Laporan Kinerja.
    (6)
    Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (4) digunakan dalam penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat.
    (7)
    Pelaporan Keuangan Kementerian/Lembaga didukung dengan penerapan Pengendalian Internal atas Pelaporan Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (8)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai Sistem Akuntansi Instansi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai sistem akuntansi dan pelaporan keuangan instansi.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Laporan Keuangan Pemerintah Pusat
     

    Pasal 237

    (1)
    Menteri Keuangan selaku pengelola fiskal menyusun Laporan Keuangan Pemerintah Pusat untuk memenuhi pertanggungjawaban pelaksanaan APBN paling kurang setiap periode semester I dan tahunan.
    (2)
    Laporan Keuangan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
     
    a.
    Laporan Realisasi Anggaran;
     
    b.
    Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih;
     
    c.
    Neraca;
     
    d.
    Laporan Operasional;
     
    e.
    Laporan Arus Kas;
     
    f.
    Laporan Perubahan Ekuitas; dan
     
    g.
    Catatan Atas Laporan Keuangan.
    (3)
    Laporan Keuangan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun berdasarkan konsolidasi dari Laporan Keuangan BUN dan Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga.
    (4)
    Laporan Keuangan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilampiri Ikhtisar Laporan Keuangan Perusahaan Negara, Ikhtisar Laporan Keuangan Badan Lainnya, dan Laporan Kinerja Pemerintah Pusat.
    (5)
    Laporan Keuangan Pemerintah Pusat dengan status belum diperiksa (unaudited) disampaikan oleh Menteri Keuangan kepada Presiden untuk selanjutnya disampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan selambat-lambatnya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
    (6)
    Menteri Keuangan atas nama Pemerintah memberikan tanggapan dan melakukan penyesuaian terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat dengan status belum diperiksa (unaudited) sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan serta koreksi lain berdasarkan Standar Akuntansi Pemerintah.
    (7)
    Laporan Keuangan Pemerintah Pusat dengan status belum diperiksa (unaudited) dan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat setelah penyesuaian (audited) mengungkapkan capaian kinerja.
    (8)
    Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat didukung dengan penerapan Pengendalian Internal atas Pelaporan Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (9)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan dan penyampaian Laporan Keuangan Pemerintah Pusat berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai sistem akuntansi pemerintah pusat.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Reviu dan Pernyataan Tanggung Jawab
     

    Pasal 238

    (1)
    Dalam rangka meyakinkan kehandalan informasi yang disajikan dalam laporan keuangan, perlu dilakukan reviu atas laporan keuangan.
    (2)
    Reviu atas laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
     
    a.
    reviu Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga dilaksanakan oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah pada Kementerian/Lembaga yang bersangkutan;
     
    b.
    reviu Laporan Keuangan BUN dilaksanakan oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan selaku BUN; dan
     
    c.
    reviu Laporan Keuangan Pemerintah Pusat dilaksanakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan.
    (3)
    Hasil reviu atas laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan ke dalam pernyataan telah direviu.
    (4)
    Pernyataan telah direviu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi bagian dari Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga, Laporan Keuangan BUN dan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat periode semesteran dan tahunan.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai reviu atas laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai standar reviu.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 239

    (1)
    Menteri/Pimpinan Lembaga/PA, KPA, penanggung jawab unit akuntansi lingkup BUN dan Menteri Keuangan atas nama Pemerintah Pusat membuat pernyataan tanggung jawab atas laporan keuangan yang disampaikan.
    (2)
    Pernyataan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat pernyataan bahwa pengelolaan APBN telah diselenggarakan berdasarkan sistem pengendalian intern yang memadai dan akuntansi keuangan telah disusun sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pernyataan tanggung jawab keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan mengenai sistem akuntansi pemerintah pusat.
     
     
     
     
     
     
    BAB VIII
    PENGENDALIAN DAN PEMANTAUAN SERTA EVALUASI KINERJA ANGGARAN

    Bagian Kesatu
    Pengendalian dan Pemantauan

    Paragraf 1
    Umum
     

    Pasal 240

    (1)
    Pengendalian dan pemantauan kinerja anggaran dilakukan terhadap:
     
    a.
    belanja Kementerian/Lembaga; dan
     
    b.
    belanja BA BUN.
    (2)
    Pengendalian dan pemantauan kinerja anggaran terhadap belanja Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh:
     
    a.
    Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara dan/atau Pengelola Fiskal; dan
     
    b.
    Menteri/Pimpinan Lembaga selaku PA.
    (3)
    Pengendalian dan pemantauan kinerja anggaran terhadap belanja BA BUN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara dan/atau Pengelola Fiskal.
    (4)
    Pengendalian dan pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:
     
    a.
    berkala dan menyeluruh sesuai dengan periode aktivitasnya; dan
     
    b.
    sepanJang proses dalam siklus pelaksanaan anggaran setelah pengesahan dokumen pelaksanaan anggaran.
    (5)
    Hasil pengendalian dan pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digunakan untuk:
     
    a.
    memastikan pelaksanaan Program dan Kegiatan sesuai dengan yang direncanakan;
     
    b.
    bahan pertimbangan penyusunan kebijakan tahun berjalan;
     
    c.
    pengendalian belanja negara; dan/atau
     
    d.
    peningkatan efisiensi dan efektivitas anggaran belanja.
    (6)
    Berdasarkan hasil pengendalian dan pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri Keuangan dapat melakukan penyesuaian belanja Kementerian/Lembaga melalui mekanisme perubahan RKA-K/L dan/atau penyesuaian belanja BUN melalui mekanisme perubahan RKA-BUN.
    (7)
    Penyesuaian belanja Kementerian/Lembaga melalui mekanisme perubahan RKA-K/L dan/atau penyesuaian belanja BUN melalui mekanisme perubahan RKA-BUN dilakukan melalui Revisi Anggaran sebagaimana diatur dalam BAB V tentang Revisi Anggaran.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 241

    Pengendalian dan pemantauan kinerja anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 ayat (1) dilakukan terhadap:
    a.
    perencanaan anggaran; dan
    b.
    pelaksanaan anggaran.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Pengendalian dan Pemantauan Kinerja Anggaran Terhadap Perencanaan Anggaran
     

    Pasal 242

    (1)
    Pengendalian dan pemantauan kinerja anggaran terhadap perencanaan anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241 huruf a terdiri atas:
     
    a.
    kualitas informasi Kinerja; dan
     
    b.
    kepatuhan terhadap regulasi perencanaan anggaran.
    (2)
    Kualitas informasi Kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan kualitas informasi Kinerja anggaran yang tercantum dalam dokumen RKA-K/L dan/atau RKA-BUN, termasuk ketersediaan dan relevansinya dengan dinamika perkembangan keadaan termasuk perubahan kebijakan Pemerintah.
    (3)
    Regulasi perencanaan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi regulasi mengenai:
     
    a.
    Standar Biaya;
     
    b.
    pembatasan alokasi untuk belanja tertentu;
     
    c.
    pengalokasian anggaran untuk kegiatan yang didanai dari sumber dana tertentu;
     
    d.
    penandaan anggaran (budget tagging);
     
    e.
    sinkronisasi antara belanja Pemerintah Pusat dan TKD; dan/atau
     
    f.
    kebijakan penganggaran yang ditetapkan pada tahun berkenaan.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai teknis pelaksanaan pengendalian dan pemantauan kinerja anggaran terhadap perencanaan anggaran ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Pengendalian dan Pemantauan Kinerja Anggaran Terhadap Pelaksanaan Anggaran
     

    Pasal 243

    (1)
    Pengendalian dan pemantauan kinerja anggaran terhadap pelaksanaan anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241 huruf b terdiri atas:
     
    a.
    kualitas pelaksanaan anggaran; dan
     
    b.
    kepatuhan terhadap regulasi pelaksanaan anggaran.
    (2)
    Kualitas pelaksanaan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan kesiapan pelaksanaan anggaran, perkembangan realisasi anggaran, capaian Keluaran, dan kendala yang dihadapi.
    (3)
    Regulasi pelaksanaan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi regulasi mengenai:
     
    a.
    pelaksanaan anggaran; dan
     
    b.
    pengelolaan keuangan,
     
    pada tingkat Kementerian/Lembaga, unit eselon I, dan/atau Satker.
    (4)
    Pengendalian dan pemantauan kinerja anggaran terhadap pelaksanaan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan melalui aktivitas monitoring dan evaluasi pelaksanaan anggaran.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai teknis pelaksanaan pengendalian dan pemantauan kinerja anggaran terhadap pelaksanaan anggaran ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Evaluasi Kinerja Anggaran

    Paragraf 1
    Umum
     

    Pasal 244

    (1)
    Evaluasi kinerja anggaran dilakukan terhadap· belanja/pengeluaran:
     
    a.
    Kementerian/Lembaga; dan
     
    b.
    BUN.
    (2)
    Evaluasi kinerja anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:
     
    a.
    Menteri Keuangan selaku BUN dan/atau pengelola fiskal;
     
    b.
    Menteri/Pimpinan Lembaga selaku PA; dan
     
    c.
    KPABUN.
    (3)
    Evaluasi kinerja anggaran yang dilakukan oleh Menteri Keuangan selaku BUN dan/atau pengelola fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, merupakan instrumen penganggaran berbasis kinerja untuk pelaksanaan:
     
    a.
    fungsi akuntabilitas; dan
     
    b.
    fungsi peningkatan kualitas.
    (4)
    Fungsi akuntabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, bertujuan untuk membuktikan dan mempertanggungjawabkan secara profesional kepada pemangku kepentingan atas penggunaan anggaran belanja Kementerian/Lembaga dan belanja BUN.
    (5)
    Fungsi peningkatan kualitas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, bertujuan untuk mengukur efektivitas dan efisiensi, serta mengidentifikasi faktor­ faktor pendukung dan kendala atas pelaksanaan RKA untuk peningkatan kinerja anggaran dan bahan masukan penyusunan kebijakan.
    (6)
    Evaluasi kinerja anggaran oleh Menteri Keuangan selaku BUN dan/atau pengelola fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat melibatkan:
     
    a.
    Kementerian/Lembaga;
     
    b.
    Koordinator PPA BUN;
     
    c.
    PPA BUN; dan/atau
     
    d.
    pihak lainnya, antara lain akademisi, pakar, praktisi, dan lembaga internasional.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 245

    Evaluasi kinerja anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 ayat (1) dilakukan terhadap:
    a.
    perencanaan anggaran; dan
    b.
    pelaksanaan anggaran.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Evaluasi Kinerja Anggaran Terhadap Perencanaan Anggaran
     

    Pasal 246

    (1)
    Evaluasi kinerja anggaran atas perencanaan anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 huruf a dilakukan melalui rangkaian aktivitas sebagai berikut:
     
    a.
    penilaian kinerja perencanaan anggaran; dan
     
    b.
    evaluasi kinerja tematik.
    (2)
    Penilaian kinerja perencanaan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk Kementerian/Lembaga dilakukan terhadap:
     
    a.
    kinerja anggaran tingkat Kementerian/Lembaga;
     
    b.
    kinerja anggaran tingkat unit eselon I; dan
     
    c.
    kinerja anggaran tingkat Satker.
    (3)
    Penilaian kinerja perencanaan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk BUN dilakukan terhadap:
     
    a.
    kinerja anggaran tingkat BA BUN;
     
    b.
    kinerja anggaran tingkat Sub BA BUN;
     
    c.
    kinerja anggaran tingkat PPA BUN; dan
     
    d.
    kinerja anggaran tingkat Satker BUN.
    (4)
    Penilaian kinerja perencanaan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan mengukur:
     
    a.
    efektivitas penggunaan anggaran; dan
     
    b.
    efisiensi penggunaan anggaran.
    (5)
    Efektivitas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a diukur berdasarkan capaian Keluaran dan hasil/outcome.
    (6)
    Indikator yang digunakan untuk mengukur efektivitas penggunaan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a meliputi:
     
    a.
    capaian RO dikaitkan dengan sasaran Program dan sasaran strategis;
     
    b.
    capaian indikator Kinerja Program; dan
     
    c.
    capaian indikator Kinerja sasaran strategis.
    (7)
    Efisiensi penggunaan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b berkaitan dengan hubungan antara sumber daya yang digunakan dan Keluaran yang diperoleh dalam hal kuantitas, kualitas, dan waktu.
    (8)
    Evaluasi kinerja anggaran tematik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan evaluasi kinerja anggaran sesuai kebutuhan dan kebijakan untuk tujuan tertentu.
    (9)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai teknis pelaksanaan evaluasi kinerja anggaran atas perencanaan anggaran ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Evaluasi Kinerja Anggaran Terhadap Pelaksanaan Anggaran
     

    Pasal 247

    (1)
    Evaluasi kinerja anggaran atas pelaksanaan anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 huruf b dilakukan melalui mekanisme monitoring dan evaluasi atas pelaksanaan belanja Kementerian/Lembaga dengan rangkaian aktivitas sebagai berikut:
     
    a.
    penilaian kinerja pelaksanaan anggaran; dan
     
    b.
    reviu atau telaah untuk masukan kebijakan pelaksanaan anggaran.
    (2)
    Penilaian kinerja pelaksanaan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk Kementerian/Lembaga dilakukan terhadap:
     
    a.
    kinerja anggaran tingkat Kementerian/Lembaga;
     
    b.
    kinerja anggaran tingkat unit eselon I; dan
     
    c.
    kinerja anggaran tingkat Satker.
    (3)
    Penilaian kinerja pelaksanaan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan metode pengukuran secara kuantitatif dalam rangka peningkatan tata kelola pelaksanaan anggaran dan peningkatan kualitas belanja pemerintah.
    (4)
    Reviu atau telaah untuk masukan kebijakan pelaksanaan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi kegiatan:
     
    a.
    reviu belanja pemerintah; dan
     
    b.
    telaah makro belanja pemerintah.
    (5)
    Reviu belanja pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a merupakan analisis terhadap aspek efektif, efisien, dan ekonomis (value for money) belanja pemerintah dan aspek perkembangan serta kendala operasional, termasuk evaluasi terhadap kebijakan teknis pelaksanaan anggaran.
    (6)
    Telaah makro belanja pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b merupakan analisis atas efektivitas kebijakan fiskal terhadap pencapaian tujuan makroekonomi pada konteks regional.
    (7)
    Telaah makro belanja pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dilakukan melalui penyusunan kajian fiskal regional.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 248

    (1)
    Dalam melakukan evaluasi kinerja anggaran atas pelaksanaan anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 247 ayat (1) digunakan indikator kinerja pelaksanaan anggaran yang paling sedikit terdiri atas 3 (tiga) aspek, yaitu:
     
    a.
    kualitas perencanaan pelaksanaan anggaran;
     
    b.
    kualitas implementasi pelaksanaan anggaran; dan
     
    c.
    kualitas hasil pelaksanaan anggaran.
    (2)
    Aspek kualitas perencanaan pelaksanaan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan penilaian terhadap kesesuaian antara:
     
    a.
    pelaksanaan anggaran; dan
     
    b.
    alokasi anggaran dan rencana penarikan dana yang ditetapkan dalam DIPA.
    (3)
    Aspek kualitas implementasi pelaksanaan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan penilaian terhadap kemampuan Satker dalam merealisasikan anggaran yang telah ditetapkan pada DIPA.
    (4)
    Aspek kualitas hasil pelaksanaan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan penilaian terhadap kemampuan Satker dalam pencapaian Keluaran sebagaimana ditetapkan pada DIPA.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai teknis pelaksanaan evaluasi kinerja anggaran atas pelaksanaan anggaran ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan.
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Hasil Evaluasi Kinerja Anggaran
     

    Pasal 249

    (1)
    Hasil evaluasi kinerja anggaran digunakan sebagai salah satu dasar untuk:
     
    a.
    penyusunan tema, sasaran, arah kebijakan, dan prioritas pembangunan tahunan yang direncanakan;
     
    b.
    penyusunan dan/atau tinjau ulang angka dasar; dan/atau
     
    c.
    penyusunan alokasi anggaran tahun yang direncanakan dan/atau penyesuaian anggaran tahun berjalan.
    (2)
    Hasil evaluasi kinerja anggaran yang digunakan sebagai salah satu dasar penyusunan tema, sasaran, arah kebijakan, dan prioritas pembangunan tahunan yang direncanakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, merupakan hasil evaluasi kinerja anggaran atas outcome dan Keluaran yang bersifat strategis dan prioritas.
    (3)
    Hasil evaluasi kinerja anggaran yang digunakan sebagai salah satu dasar penyusunan tinjau ulang angka dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, merupakan hasil evaluasi kinerja anggaran atas keluaran yang sifatnya berulang.
    (4)
    Hasil evaluasi kinerja anggaran sebagai salah satu dasar penyusunan alokasi anggaran tahun yang direncanakan dan/atau penyesuaian anggaran tahun berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, digunakan untuk menentukan kelayakan anggaran atas Keluaran.
    (5)
    Evaluasi kinerja anggaran berupa penilaian kinerja anggaran perencanaan anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 246 ayat (1) huruf a untuk Kementerian/Lembaga dan penilaian kinerja pelaksanaan anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 247 ayat (1) huruf a menghasilkan nilai kinerja anggaran Kementerian/Lembaga.
    (6)
    Evaluasi kinerja anggaran berupa penilaian kinerja anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 246 ayat (1) huruf a untuk BUN menghasilkan nilai kinerja anggaran BUN.
    (7)
    Nilai kinerja anggaran Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan hasil penjumlahan dari:
     
    a.
    50% (lima puluh persen) dari nilai kinerja atas perencanaan anggaran; dan
     
    b.
    50% (lima puluh persen) dari nilai kinerja atas pelaksanaan anggaran.
    (8)
    Hasil penjumlahan nilai kinerja anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dikelompokan ke dalam kategori sebagai berikut:
     
    a.
    nilai kinerja anggaran lebih dari 90 (sembilan puluh) dikategorikan dengan sangat baik;
     
    b.
    nilai kinerja anggaran lebih dari 80 (delapan puluh) sampai dengan 90 (sembilan puluh) dikategorikan dengan baik;
     
    c.
    nilai kinerja anggaran lebih dari 60 (enam puluh) sampai dengan 80 (delapan puluh) dikategorikan dengan cukup;
     
    d.
    nilai kinerja anggaran lebih dari 50 (lima puluh) sampai dengan 60 (enam puluh) dikategorikan dengan kurang; dan
     
    e.
    nilai kinerja anggaran sampai dengan 50 (lima puluh) dikategorikan dengan sangat kurang.
    (9)
    Nilai kinerja anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (8) untuk belanja Kementerian/Lembaga selain sebagai dasar penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga merupakan dasar pelaksanaan pemberian penghargaan atau pengenaan sanksi.
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Data dan Informasi
     

    Pasal 250

    Data dan informasi yang diperlukan dalam pengendalian dan pemantauan serta evaluasi kinerja anggaran diperoleh melalui sistem monitoring yang dikelola Kementerian Keuangan.
     
     
     
     
     
     
    BAB IX
    PEMBERIAN PENGHARGAAN DAN/ATAU PENGENAAN SANKSI KEPADA KEMENTERIAN/LEMBAGA
     

    Pasal 251

    (1)
    Untuk meningkatkan kinerja anggaran Kementerian/Lembaga, kepada Kementerian/Lembaga dapat diberikan penghargaan dan/atau dikenai sanksi.
    (2)
    Pemberian penghargaan dan/atau pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri Keuangan dan didasarkan pada tahun anggaran berkenaan berdasarkan hasil penilaian kinerja tahun anggaran sebelumnya.
    (3)
    Penilaian kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhitungkan capaian atas:
     
    a.
    indikator Kinerja anggaran; dan
     
    b.
    pengelolaan anggaran.
    (4)
    Capaian atas indikator kinerja anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a merupakan nilai kinerja anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 ayat (7).
    (5)
    Capaian atas pengelolaan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan nilai kontribusi Kementerian/Lembaga terhadap sasaran/kebijakan tertentu yang diprioritaskan pemerintah, meliputi:
     
    a.
    aspek implementasi;
     
    b.
    aspek manfaat; dan/atau
     
    c.
    aspek konteks.
    (6)
    Capaian atas pengelolaan anggaran pada aspek implementasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a merupakan hasil penilaian terhadap Kementerian/Lembaga dalam mengimplementasikan kebijakan anggaran, dalam hal ini kinerja pengelolaan PNBP dan/atau variabel lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Anggaran.
    (7)
    Capaian atas pengelolaan anggaran pada aspek manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b merupakan hasil penilaian terhadap upaya Kementerian/Lembaga dalam mendorong kemanfaatan atas penggunaan anggaran, dalam hal ini peningkatan penggunaan produk dalam negeri.
    (8)
    Capaian atas pengelolaan anggaran pada aspek konteks sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c merupakan hasil penilaian terhadap upaya Kementerian/Lembaga dalam sinkronisasi belanja Pemerintah Pusat dan TKD.
    (9)
    Penilaian terhadap kinerja pengelolaan PNBP Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan oleh Kementerian Keuangan.
    (10)
    Penilaian terhadap upaya Kementerian/Lembaga dalam peningkatan penggunaan produk dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan oleh Kementerian Perindustrian.
    (11)
    Penilaian terhadap upaya Kementerian/Lembaga dalam sinkronisasi belanja Pemerintah Pusat dan TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilakukan oleh Kementerian Keuangan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 252

    (1)
    Pemberian penghargaan kepada Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 251 ayat (1) dapat berupa:
     
    a.
    piagam/trofi penghargaan;
     
    b.
    publikasi pada media massa nasional; dan/atau
     
    c.
    insentif.
    (2)
    Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dapat berupa:
     
    a.
    tambahan anggaran kegiatan pada tahun anggaran berjalan;
     
    b.
    tambahan anggaran kegiatan pada tahun anggaran berikutnya; atau
     
    c.
    bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (2), digunakan untuk mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga, termasuk untuk membiayai pengembangan kapasitas pegawai.
    (4)
    Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilaksanakan dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 253

    (1)
    Pemberian penghargaan kepada Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 252 dilakukan dengan mempertimbangkan hasil penilaian kinerja percepatan pelaksanaan berusaha Kementerian/Lembaga yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal.
    (2)
    Hasil penilaian kinerja percepatan pelaksanaan berusaha Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikategorikan menjadi:
     
    a.
    sangat baik;
     
    b.
    baik; dan
     
    c.
    kurang baik.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 254

    (1)
    Bentuk penghargaan berupa piagam/trofi penghargaan dan/atau publikasi pada media massa nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 252 ayat (1) huruf a dan huruf b dapat diberikan kepada Kementerian/Lembaga yang memperoleh nilai kinerja anggaran sangat baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 ayat (8) huruf a.
    (2)
    Kementerian/Lembaga dapat dinominasikan untuk diberikan penghargaan dalam bentuk insentif dengan syarat memperoleh:
     
    a.
    nilai kinerja anggaran; dan
     
    b.
    nilai kinerja anggaran percepatan pelaksanaan berusaha bagi Kementerian/Lembaga yang memiliki tugas dan fungsi di bidang percepatan pelaksanaan berusaha,
     
    pada kategori sangat baik.
    (3)
    Bentuk penghargaan berupa insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 252 ayat (1) huruf c dapat diberikan kepada 3 (tiga) Kementerian/Lembaga yang meraih nilai kontribusi tertinggi terhadap sasaran/kebijakan tertentu yang diprioritaskan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 251 ayat (5).
     
     
     
     
     
     

    Pasal 255

    (1)
    Kementerian/Lembaga yang memperoleh nilai kinerja anggaran dan/atau kontribusi terhadap sasaran/kebijakan tertentu yang diprioritaskan Pemerintah dalam kategori kurang dan sangat kurang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 ayat (8) huruf d dan huruf e, dikenai sanksi.
    (2)
    Kementerian/Lembaga yang memperoleh nilai kinerja percepatan pelaksanaan berusaha dalam kategori kurang baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 253 ayat (2) huruf c dapat dipertimbangkan untuk dikenai sanksi.
    (3)
    Pengenaan sanksi kepada Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat berupa:
     
    a.
    teguran tertulis;
     
    b.
    publikasi pada media massa nasional; dan/atau
     
    c.
    disinsentif anggaran.
    (4)
    Pengenaan sanksi berupa teguran tertulis kepada Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dituangkan dalam surat Menteri Keuangan.
    (5)
    Pengenaan sanksi berupa publikasi pada media massa nasional kepada Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat dilakukan melalui publikasi pada media cetak atau media digital dalam skala nasional.
    (6)
    Pengenaan sanksi berupa disinsentif anggaran kepada Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, dapat berupa:
     
    a.
    pengurangan anggaran;
     
    b.
    pemberian catatan pada DIPA (self blocking anggaran); dan/atau
     
    c.
    penajaman/pengutamaan penggunaan alokasi anggaran untuk kegiatan tertentu (refocusing anggaran).
    (7)
    Disinsentif anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak dapat mengurangi alokasi anggaran untuk:
     
    a.
    gaji dan tunjangan;
     
    b.
    prioritas nasional; dan
     
    c.
    pelayanan kepada masyarakat.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 256

    (1)
    Berdasarkan hasil penilaian dan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 251, Pasal 252, Pasal 253, Pasal 254, dan Pasal 255, Direktur Jenderal Anggaran mengusulkan Kementerian/Lembaga yang akan diberikan penghargaan dan/atau dikenai sanksi kepada Menteri Keuangan.
    (2)
    Berdasarkan usulan Direktur Jenderal Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan menetapkan:
     
    a.
    Kementerian/Lembaga yang diberikan penghargaan dan/atau dikenai sanksi;
     
    b.
    bentuk penghargaan dan/atau sanksi; dan/atau
     
    c.
    besaran penghargaan dan/atau sanksi dalam hal penghargaan berupa insentif dan sanksi berupa disinsentif anggaran,
     
    dengan Keputusan Menteri Keuangan.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 257

    Pemenuhan alokasi anggaran untuk pemberian penghargaan kepada Kementerian/Lembaga berupa insentif dapat dilakukan melalui mekanisme:
    a.
    pergeseran anggaran dari sub BA BUN Belanja Lainnya ke BA K/L sebagaimana dimaksud dalam Pasal 163;
    b.
    perubahan APBN tahun anggaran berkenaan; atau
    c.
    pengalokasian anggaran dalam APBN tahun anggaran berikutnya.
     
     
     
     
     
     
    BAB X
    KETENTUAN PERALIHAN
     

    Pasal 258

    Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
    a.
    tata cara penandatanganan, pengujian tanda tangan, dan penyampaian SPP dan SPM yang belum dapat diterapkan melalui tanda tangan elektronik tersertifikasi, dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran dalam rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 1191) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 178/PMK.05/2018 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran dalam rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1736);
    b.
    ketentuan mengenai monitoring dan evaluasi pelaksanaan anggaran sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 195/PMK.05/2018 tentang Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Kementerian Negara/Lembaga (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1840) masih tetap berlaku sampai dengan akhir tahun 2023;
    c.
    penyelesaian terhadap pergeseran anggaran yang diusulkan sebelum Peraturan Menteri ini berlaku, dilaksanakan berdasarkan mekanisme pergeseran anggaran yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 127/PMK.02/2020 tentang Tata Cara Penggunaan dan Pergeseran Anggaran pada Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pengelolaan Belanja Lainnya (BA 999.08) (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1034) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.02/2021 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 127/PMK.02/2020 tentang Tata Cara Penggunaan dan Pergeseran Anggaran pada Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pengelolaan Belanja Lainnya (BA 999.08) (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 201);
    d.
    ketentuan mengenai pengukuran dan evaluasi kinerja anggaran atas pelaksanaan RKA-K/L sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.02/2021 tentang Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Anggaran atas Pelaksanaan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 200) masih tetap berlaku sampai dengan akhir tahun 2023;
    e.
    penyelesaian terhadap Revisi Anggaran yang diusulkan sebelum Peraturan Menteri ini berlaku dilaksanakan berdasarkan mekanisme revisi yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.02/2021 tentang Revisi Anggaran (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1429); dan
    f.
    ketentuan mengenai evaluasi kinerja anggaran atas penggunaan dana BUN sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 204/PMK.02/2021 tentang Evaluasi Kinerja Anggaran atas Penggunaan Dana Bendahara Umum Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1468) masih tetap berlaku sampai dengan akhir tahun 2023.
     
     
     
     
     
     
    BAB XI
    KETENTUAN PENUTUP
     

    Pasal 259

    Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
    a.
    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156/PMK.07/2008 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 248/PMK.07/2010 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 156/PMK.07/2008 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 660);
    b.
    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.02/2013 tentang Pedoman Standar Biaya, Standar Struktur Biaya, dan Indeksasi dalam Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 537) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 232/PMK.02/2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.02/2013 tentang Pedoman Standar Biaya, Standar Struktur Biaya, dan Indeksasi dalam Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1680);
    c.
    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 177/PMK.05/2017 tentang Pelaksanaan Piloting Penerapan Tanda Tangan Elektronik dan Penyampaian Dokumen Elektronik Melalui Aplikasi Surat Perintah Membayar Elektronik (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1702);
    d.
    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/PMK.02/2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Penelaahan, dan Penetapan Alokasi Anggaran Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara, dan Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Bendahara Umum Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1775) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.02/2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/PMK.02/2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Penelaahan, dan Penetapan Alokasi Anggaran Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara, dan Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Bendahara Umum Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 808);
    e.
    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.02/2018 tentang Klasifikasi Anggaran (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1173) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187/PMK.02/2019 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.02/2018 tentang Klasifikasi Anggaran (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1627);
    f.
    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 195/PMK.05/2018 tentang Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Anggaran Belanja Kementerian Negara/Lembaga (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1840);
    g.
    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 208/PMK.02/2019 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dan Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1703);
    h.
    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 127/PMK.02/2020 tentang Tata Cara Penggunaan dan Pergeseran Anggaran pada Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pengelolaan Belanja Lainnya (BA 999.08) (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1034) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.02/2021 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 127/PMK.02/2020 tentang Tata Cara Penggunaan dan Pergeseran Anggaran pada Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pengelolaan Belanja Lainnya (BA 999.08) (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 201);
    i.
    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 2/PMK.02/2021 tentang Tata Cara Pemberian Penghargaan dan/atau Pengenaan Sanksi atas Kinerja Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 nomor 28);
    j.
    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22/PMK.02/2021 tentang Pengukuran dan Evaluasi Kinerja Anggaran atas Pelaksanaan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 200);
    k.
    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.02/2021 tentang Tata Cara Revisi Anggaran (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1429);
    l.
    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 204/PMK.02/2021 tentang Evaluasi Kinerja Anggaran atas Penggunaan Dana Bendahara Umum Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1468); dan
    m.
    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.05/2022 tentang Tata Cara Pembayaran dalam rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 1333),
    dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 260

    Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 242 ayat (4), Pasal 243 ayat (5), Pasal 246 ayat (9) dan Pasal 248 ayat (5) ditetapkan paling lambat bulan Januari 2024.
     
     
     
     
     
     

    Pasal 261

    Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
     
     
     
     
     
     
    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
     
     
     
     
     
     
    Ditetapkan di Jakarta
    pada tanggal 20 Juni 2023
    MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
    ttd.
    SRI MULYANI INDRAWATI

    Diundangkan di Jakarta
    pada tanggal 23 Juni 2023
    DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
    KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
    ttd.
    ASEP N. MULYANA

    BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2023 NOMOR 472

    Peraturan Menteri Keuangan 62 TAHUN 2023 - Perpajakan DDTC