Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Premium
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
|
||||
|
|
|
|
|
Menimbang |
||||
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 47 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari Kawasan yang Telah Ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas;
|
||||
|
|
|
|
|
Mengingat |
||||
1.
|
Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
|||
2.
|
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
|
|||
3.
|
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
|
|||
4.
|
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
|
|||
5.
|
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
|
|||
6.
|
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3613) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4755);
|
|||
7.
|
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4053);
|
|||
8.
|
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 252, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4054);
|
|||
9.
|
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
|
|||
10.
|
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
|
|||
11.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6653);
|
|||
12.
|
Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
|
|||
13.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1862) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.01/2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1745).
|
|||
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
||||
Menetapkan |
||||
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BARANG KE DAN DARI KAWASAN YANG TELAH DITETAPKAN SEBAGAI KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS.
|
||||
|
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
||||
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
|
||||
1.
|
Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat tertentu di zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan.
|
|||
2.
|
Kawasan yang Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut Kawasan Bebas adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari Daerah Pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan cukai.
|
|||
3.
|
Kawasan Pabean adalah kawasan dengan batas-batas tertentu di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang ditetapkan untuk lalu lintas barang yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||
4.
|
Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undang-Undang Cukai.
|
|||
5.
|
Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disingkat PPN adalah Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
|
|||
6.
|
Tempat Penimbunan Sementara yang selanjutnya disingkat TPS adalah bangunan dan/atau lapangan atau tempat lain yang disamakan dengan itu di Kawasan Pabean untuk menimbun barang sementara menunggu pemuatan atau pengeluarannya.
|
|||
7.
|
Tempat Lain yang Diperlakukan Sama Dengan TPS adalah bangunan dan/atau lapangan atau tempat lain yang disamakan dengan itu di luar Kawasan Pabean untuk menimbun barang sementara menunggu pemuatan atau pengeluarannya.
|
|||
8.
|
Tempat Lain adalah tempat di Kawasan Bebas selain pelabuhan laut dan bandar udara yang ditunjuk, yang dipergunakan untuk kegiatan bongkar barang dari luar daerah pabean, tempat lain dalam Daerah Pabean, Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus, dan/atau kegiatan muat barang yang akan dikeluarkan ke luar Daerah Pabean, tempat lain dalam Daerah Pabean, Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus.
|
|||
9.
|
Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya Kewajiban Pabean sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Kepabeanan.
|
|||
10.
|
Kewajiban Pabean adalah semua kegiatan di bidang kepabeanan yang wajib dilakukan untuk memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang Kepabeanan.
|
|||
11.
|
Orang adalah orang perseorangan atau badan usaha atau badan hukum.
|
|||
12.
|
Pemberitahuan Pabean adalah pernyataan yang dibuat oleh Orang dalam rangka melaksanakan kewajiban pabean dalam bentuk dan syarat yang ditetapkan dalam Undang-Undang Kepabeanan.
|
|||
13.
|
Formulir Free Trade Zone yang selanjutnya disebut Formulir FTZ adalah formulir yang berbentuk surat keterangan pengeluaran kendaraan bermotor dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean dengan melunasi bea masuk, PPN, dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 22.
|
|||
14.
|
Dokumen Pengiriman Barang atau Consignment Note yang selanjutnya disebut Consignment Note adalah dokumen dengan kode CN-22/CN-23 atau dokumen sejenis yang merupakan dokumen perjanjian pengiriman barang antara pengirim barang dengan Penyelenggara Pos untuk mengirimkan barang kiriman kepada penerima barang.
|
|||
15.
|
Manifes adalah daftar barang niaga yang diangkut oleh sarana pengangkut melalui laut, udara, dan darat.
|
|||
16.
|
Manifes Kedatangan Sarana Pengangkut atau Inward Manifest yang selanjutnya disebut Inward Manifest adalah daftar barang niaga yang diangkut oleh Sarana Pengangkut melalui laut, udara, dan darat pada saat memasuki Kawasan Pabean atau Tempat Lain setelah mendapat izin Kepala Kantor Pabean yang mengawasi tempat tersebut.
|
|||
17.
|
Manifes Keberangkatan Sarana Pengangkut atau Outward Manifest yang selanjutnya disebut Outward Manifest adalah daftar barang niaga yang diangkut oleh Sarana Pengangkut melalui laut, udara, dan darat pada saat meninggalkan Kawasan Pabean atau Tempat Lain setelah mendapat izin Kepala Kantor Pabean yang mengawasi tempat tersebut.
|
|||
18.
|
Rencana Kedatangan Sarana Pengangkut yang selanjutnya disingkat RKSP adalah pemberitahuan tentang rencana kedatangan Sarana Pengangkut yang disampaikan oleh Pengangkut ke Kantor Pabean.
|
|||
19.
|
Dokumen Pelengkap Pabean adalah semua dokumen yang digunakan sebagai pelengkap pemberitahuan pabean, misalnya invoice, packing list, bill of lading/airway bill, manifes, Consignment Note, dokumen pemenuhan ketentuan larangan atau pembatasan, dan/atau dokumen lainnya yang dipersyaratkan.
|
|||
20.
|
Pertukaran Data Elektronik yang selanjutnya disingkat PDE adalah alir informasi bisnis antar aplikasi dan organisasi secara elektronik, yang terintegrasi dengan menggunakan standar yang disepakati bersama, termasuk komunikasi atau penyampaian informasi melalui media berbasis laman internet (web-based).
|
|||
21.
|
Sistem Komputer Pelayanan yang selanjutnya disingkat SKP adalah sistem komputer yang digunakan oleh Kantor Pabean dalam rangka pengawasan dan pelayanan kepabeanan.
|
|||
22.
|
Akses Kepabeanan adalah akses yang diberikan kepada pengguna Jasa untuk berhubungan dengan sistem pelayanan kepabeanan baik yang menggunakan teknologi informasi maupun manual.
|
|||
23.
|
Pengolahan adalah kegiatan mengolah barang dan/atau bahan baku dengan atau tanpa bahan penolong menjadi barang baru yaitu barang hasil produksi dengan nilai tambah yang lebih tinggi, termasuk perubahan sifat dan fungsinya.
|
|||
24.
|
Barang Kiriman adalah barang yang dikirim melalui penyelenggara pos sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pos.
|
|||
25.
|
Sarana Pengangkut adalah kendaraan/angkutan melalui laut, udara, atau darat yang dipakai untuk mengangkut barang, kendaraan yang mengangkut barang, dan/atau orang.
|
|||
26.
|
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
|
|||
27.
|
Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut Dewan Kawasan adalah dewan yang dibentuk untuk menetapkan kebijakan umum, membina, mengawasi, dan mengoordinasikan kegiatan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
|
|||
28.
|
Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut Badan Pengusahaan Kawasan adalah Badan yang dibentuk untuk melaksanakan pengelolaan, pengembangan, dan pembangunan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
|
|||
29.
|
Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan.
|
|||
30.
|
Penyelenggara Pos adalah badan usaha yang menyelenggarakan pos.
|
|||
31.
|
Penyelenggara Pos yang Ditunjuk adalah penyelenggara pos yang ditugaskan oleh pemerintah untuk memberikan layanan internasional sebagaimana diatur dalam Perhimpunan Pos Dunia (Universal Postal Union).
|
|||
32.
|
Perusahaan Jasa Titipan yang selanjutnya disingkat PJT adalah Penyelenggara Pos yang memperoleh Izin usaha dari instansi terkait untuk melaksanakan layanan surat, dokumen, dan paket sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pos.
|
|||
33.
|
Penumpang adalah setiap orang yang melintasi perbatasan wilayah negara atau Kawasan Bebas dengan menggunakan Sarana Pengangkut tetapi bukan awak Sarana Pengangkut dan bukan pelintas batas.
|
|||
34.
|
Awak Sarana Pengangkut adalah setiap orang yang karena pekerjaannya harus berada dalam Sarana Pengangkut dan datang dan/atau berangkat bersama Sarana Pengangkut.
|
|||
35.
|
Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanaan yang selanjutnya disingkat PPJK adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pengurusan pemenuhan kewajiban pabean untuk dan atas kuasa pengusaha di Kawasan Bebas.
|
|||
36.
|
Pengangkut Kontraktual (Non-Vessel Operator Common Carrier) yang selanjutnya disebut Pengangkut Kontraktual adalah badan usaha jasa pengurusan transportasi yang melakukan negosiasi kontrak dan kegiatan lain yang diperlukan untuk terlaksananya pengiriman dan penerimaan barang melalui transportasi darat, laut, dan udara, dan mengkonsolidasikan muatan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 2 |
||||
(1)
|
Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas wajib dilakukan di pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk.
|
|||
(2)
|
Pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan pelabuhan atau bandar udara yang telah mendapatkan izin dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan dan telah mendapatkan penetapan sebagai Kawasan Pabean.
|
|||
(3)
|
Dalam hal pelabuhan atau bandar udara belum mendapatkan izin dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pelabuhan atau bandar udara yang telah mendapatkan penetapan sebagai Kawasan Pabean oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai atas nama Menteri.
|
|||
(4)
|
Penetapan Kawasan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan berdasarkan:
|
|||
|
a.
|
permohonan dari pengelola pelabuhan laut, bandar udara, atau Tempat Lain yang diajukan kepada Menteri melalui Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai; atau
|
||
|
b.
|
usulan dari:
|
||
|
|
1.
|
Kepala Kantor Pabean yang mengawasi pelabuhan laut, bandar udara, atau Tempat Lain, dalam hal ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas nama Menteri; atau
|
|
|
|
2.
|
kepala bidang yang tugas dan fungsinya di bidang pelayanan pabean, dalam hal ditetapkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai atas nama Menteri.
|
|
(5)
|
Tata cara penetapan pelabuhan dan bandar udara sebagai Kawasan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kawasan pabean.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 3 |
||||
(1)
|
Barang yang telah dimasukkan atau akan dikeluarkan ke dan dari pelabuhan laut atau bandar udara yang ditunjuk dan telah mendapatkan penetapan sebagai Kawasan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) atau ayat (3), berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||
(2)
|
Barang selain barang yang akan dimasukkan ke atau dikeluarkan dari Kawasan Bebas dilarang dimasukkan dan/atau ditimbun di Kawasan Pabean, kecuali untuk:
|
|||
|
a.
|
tujuan pengangkutan selanjutnya;
|
||
|
b.
|
kegiatan operasional dalam Kawasan Pabean; atau
|
||
|
c.
|
tujuan lainnya berdasarkan pertimbangan Kepala Kantor Pabean yang mengawasi Kawasan Pabean.
|
||
(3)
|
Termasuk dalam barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Sarana Pengangkut untuk kepentingan perbaikan Kawasan Bebas.
|
|||
(4)
|
Tata cara kegiatan operasional dalam Kawasan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kawasan pabean.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB II
KEDATANGAN DAN KEBERANGKATAN SARANA PENGANGKUT
Pasal 4 |
||||
(1)
|
Pengangkut merupakan Orang atau kuasanya di Kawasan Bebas yang:
|
|||
|
a.
|
bertanggung jawab atas pengoperasian Sarana Pengangkut yang mengangkut barang, kendaraan yang mengangkut barang, dan/atau orang; dan/atau
|
||
|
b.
|
berwenang melaksanakan kontrak pengangkutan dan menerbitkan dokumen pengangkutan barang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perhubungan.
|
||
(2)
|
Pengangkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
operator Sarana Pengangkut atau kuasanya;
|
||
|
b.
|
Pengangkut Kontraktual (Non Vessel Operator Common Carrier); dan/atau
|
||
|
c.
|
Penyelenggara Pos.
|
||
(3)
|
Pengangkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas pemberitahuan pabean yang diajukannya.
|
|||
(4)
|
Pengangkut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus terhubung dengan ekosistem logistik Kawasan Bebas sebagai bagian dari Ekosistem Logistik Nasional (National Logistic Ecosystem/NLE) yang diwajibkan pemerintah untuk percepatan logistik nasional.
|
|||
(5)
|
Ekosistem logistik sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyerahan pemberitahuan rencana kedatangan Sarana Pengangkut, manifes kedatangan Sarana Pengangkut, dan manifes keberangkatan Sarana Pengangkut.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 5 |
||||
(1)
|
Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a yang Sarana Pengangkutnya akan datang melalui laut dan udara dari:
|
|||
|
a.
|
luar Daerah Pabean;
|
||
|
b.
|
Kawasan Bebas lain; atau
|
||
|
c.
|
tempat lain dalam Daerah Pabean,
|
||
|
wajib menyerahkan pemberitahuan berupa RKSP kepada Pejabat Bea dan Cukai di setiap Kantor Pabean yang akan disinggahi.
|
|||
(2)
|
Pemberitahuan RKSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah diterima di Kantor Pabean diberikan nomor pendaftaran.
|
|||
(3)
|
Penyerahan RKSP untuk Sarana Pengangkut yang datang melalui laut dan udara dari Kawasan Bebas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b atau dari tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan mengenai penyerahan RKSP untuk Sarana Pengangkut yang datang melalui laut dan udara dari luar Daerah Pabean.
|
|||
(4)
|
Tata cara penyerahan pemberitahuan berupa RKSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyerahan pemberitahuan rencana kedatangan Sarana Pengangkut, manifes kedatangan Sarana Pengangkut, dan manifes keberangkatan Sarana Pengangkut.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 6 |
||||
(1)
|
Pemberitahuan RKSP yang telah mendapatkan nomor pendaftaran di Kantor Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) merupakan pendahuluan Inward Manifest yang diajukan oleh Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a.
|
|||
(2)
|
Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a yang Sarana Pengangkutnya melalui darat dan Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b dan huruf c yang Sarana Pengangkutnya datang dari:
|
|||
|
a.
|
luar Daerah Pabean;
|
||
|
b.
|
Kawasan Bebas lain; atau
|
||
|
c.
|
tempat lain dalam Daerah Pabean,
|
||
|
wajib menyerahkan pemberitahuan Inward Manifest dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris ke Kantor Pabean kedatangan.
|
|||
(3)
|
Pemberitahuan Inward Manifest sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Pengangkut sesuai dengan dokumen pengangkutan yang diterbitkannya.
|
|||
(4)
|
Pengangkut yang telah menyampaikan pemberitahuan RKSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan:
|
|||
|
a.
|
akan melakukan kegiatan pembongkaran;
|
||
|
b.
|
tidak melakukan kegiatan pembongkaran tetapi akan dilakukan kegiatan pemuatan; atau
|
||
|
c.
|
tidak melakukan kegiatan pembongkaran dan/atau pemuatan, serta:
|
||
|
|
1.
|
lego jangkar atau sandar lebih dari 24 (dua puluh empat) jam sejak kedatangan, untuk Sarana Pengangkut melalui laut; atau
|
|
|
|
2.
|
mendarat lebih dari 8 (delapan) jam sejak kedatangan, untuk Sarana Pengangkut melalui udara,
|
|
|
wajib menyerahkan pemberitahuan Inward Manifest kepada Kantor Pabean kedatangan.
|
|||
(5)
|
Penyerahan pemberitahuan Inward Manifest sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilakukan dengan menambahkan waktu kedatangan Sarana Pengangkut pada pemberitahuan RKSP yang merupakan pendahuluan pemberitahuan Inward Manifest.
|
|||
(6)
|
Pendahuluan pemberitahuan Inward Manifest yang telah mendapatkan data waktu kedatangan Sarana Pengangkut sebagaimana dimaksud pada ayat (5), merupakan Inward Manifest akhir dan diberikan nomor pendaftaran Inward Manifest.
|
|||
(7)
|
Inward Manifest sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah diterima dan mendapat nomor dan tanggal pendaftaran di Kantor Pabean kedatangan merupakan persetujuan pembongkaran barang.
|
|||
(8)
|
Penyerahan pemberitahuan Inward Manifest untuk Sarana Pengangkut yang datang dari:
|
|||
|
a.
|
Kawasan Bebas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b; atau
|
||
|
b.
|
tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c,
|
||
|
dilakukan sesuai dengan ketentuan mengenai penyerahan pemberitahuan Inward Manifest yang datang dari luar Daerah Pabean.
|
|||
(9)
|
Tata cara penyerahan pemberitahuan Inward Manifest dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyerahan pemberitahuan rencana kedatangan Sarana Pengangkut, manifes kedatangan Sarana Pengangkut, dan manifes keberangkatan Sarana Pengangkut.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 7 |
||||
(1)
|
Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) yang Sarana Pengangkutnya akan berangkat menuju:
|
|||
|
a.
|
luar Daerah Pabean;
|
||
|
b.
|
Kawasan Bebas lain; atau
|
||
|
c.
|
tempat lain dalam Daerah Pabean,
|
||
|
wajib menyerahkan pemberitahuan Outward Manifest dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris ke Kantor Pabean keberangkatan.
|
|||
(2)
|
Kewajiban menyerahkan pemberitahuan Outward Manifest sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lambat sebelum keberangkatan Sarana Pengangkut.
|
|||
(3)
|
Penyerahan pemberitahuan Outward Manifest untuk Sarana Pengangkut yang akan berangkat menuju Kawasan Bebas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b atau menuju tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dilakukan sebagaimana penyerahan pemberitahuan Outward Manifest yang akan berangkat menuju luar Daerah Pabean.
|
|||
(4)
|
Tata cara penyerahan pemberitahuan Outward Manifest sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyerahan pemberitahuan rencana kedatangan Sarana Pengangkut, Manifes Kedatangan Sarana Pengangkut, dan Manifes Keberangkatan Sarana Pengangkut.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 8 |
||||
(1)
|
Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a yang Sarana Pengangkutnya datang dari atau akan berangkat ke luar Daerah Pabean, wajib menyerahkan pemberitahuan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean paling lambat pada saat kedatangan Sarana Pengangkut.
|
|||
(2)
|
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
daftar penumpang, untuk Sarana Pengangkut melalui laut, darat, dan udara;
|
||
|
b.
|
daftar Awak Sarana Pengangkut;
|
||
|
c.
|
daftar bekal Sarana Pengangkut;
|
||
|
d.
|
daftar perlengkapan/inventaris Sarana Pengangkut;
|
||
|
e.
|
rencana penyimpanan (stowage plan) atau rencana pemuatan (bay plan), untuk Sarana Pengangkut melalui laut;
|
||
|
f.
|
daftar senjata api dan amunisi; dan
|
||
|
g.
|
daftar obat-obatan termasuk narkotika yang digunakan untuk kepentingan pengobatan.
|
||
(3)
|
Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a yang Sarana Pengangkutnya datang dari atau akan berangkat ke tempat lain dalam Daerah Pabean, Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus, wajib menyerahkan pemberitahuan dalam Bahasa Indonesia kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean paling lambat pada saat kedatangan Sarana Pengangkut.
|
|||
(4)
|
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
|
|||
|
a.
|
daftar penumpang dan/atau kendaraan yang mengangkut barang;
|
||
|
b.
|
daftar Awak Sarana Pengangkut; dan
|
||
|
c.
|
daftar bekal Sarana Pengangkut.
|
||
(5)
|
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diajukan dalam bentuk:
|
|||
|
a.
|
data elektronik; atau
|
||
|
b.
|
dalam bentuk tulisan di atas formulir, dalam hal:
|
||
|
|
1.
|
Kantor Pabean yang bersangkutan belum menerapkan sistem PDE; atau
|
|
|
|
2.
|
sistem PDE yang terdapat pada Kantor Pabean yang bersangkutan tidak dapat beroperasi paling cepat 1 (satu) jam.
|
|
(6)
|
Tata cara penyerahan daftar penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a untuk Sarana Pengangkut melalui udara, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyampaian data penumpang atas kedatangan atau keberangkatan Sarana Pengangkut udara ke atau dari Daerah Pabean.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 9 |
||||
(1)
|
Pemberitahuan RKSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Inward Manifest sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), dan Outward Manifest sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), disampaikan ke Kantor Pabean dalam bentuk:
|
|||
|
a.
|
data elektronik, untuk Kantor Pabean yang telah menerapkan sistem PDE; atau
|
||
|
b.
|
tulisan di atas formulir, dalam hal telah ditetapkan:
|
||
|
|
1.
|
pelayanan secara kahar secara nasional yang disebabkan sistem PDE kepabeanan di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tidak dapat beroperasi; atau
|
|
|
|
2.
|
waktu pelayanan keadaan kahar secara lokal oleh Kepala Kantor Pabean dengan mempertimbangkan urgensi atau jumlah barang atau dokumen.
|
|
(2)
|
Pemberitahuan RKSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Inward Manifest sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), dan Outward Manifest sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), dapat dilakukan perbaikan atau pembatalan.
|
|||
(3)
|
Pengangkut dapat dikenakan sanksi atas penyampaian Pemberitahuan RKSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Inward Manifest sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), dan Outward Manifest sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), yang tidak sesuai ketentuan.
|
|||
(4)
|
Tata cara perbaikan atau pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyerahan pemberitahuan rencana kedatangan Sarana Pengangkut, Manifes Kedatangan Sarana Pengangkut, dan Manifes Keberangkatan Sarana Pengangkut.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB III
PEMBONGKARAN, PENIMBUNAN, DAN PEMUATAN BARANG
Bagian Kesatu Pembongkaran Pasal 10 |
||||
(1)
|
Barang yang diangkut oleh Sarana Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), wajib dibongkar di:
|
|||
|
a.
|
Kawasan Pabean; atau
|
||
|
b.
|
Tempat Lain setelah mendapat izin Kepala Kantor Pabean.
|
||
(2)
|
Pembongkaran barang di Tempat Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat diberikan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
barang yang dibongkar bersifat khusus dengan memperhatikan sifat, ukuran, dan/atau bentuknya yang menyebabkan tidak dapat dibongkar di Kawasan Pabean;
|
||
|
b.
|
barang angkut lanjut;
|
||
|
c.
|
adanya kendala teknis di Kawasan Pabean seperti tidak tersedianya alat untuk melakukan pembongkaran atau alat untuk melakukan pembongkaran dalam kondisi rusak sehingga tidak dapat dilakukan pembongkaran; atau
|
||
|
d.
|
terdapat kongesti yang dinyatakan secara tertulis oleh pengelola pelabuhan yang ditunjuk.
|
||
(3)
|
Pembongkaran barang sebagaimana dimaksud ayat (1), dapat dilakukan langsung ke Sarana Pengangkut lainnya tanpa dilakukan penimbunan, dalam hal:
|
|||
|
a.
|
barang yang dibongkar mempunyai bentuk, sifat, dan karakteristik tertentu yang secara teknis tidak memungkinkan untuk ditimbun di TPS; atau
|
||
|
b.
|
telah mendapatkan persetujuan pengeluaran barang.
|
||
(4)
|
Pembongkaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa barang cair, gas, atau barang curah lainnya, dapat dilakukan melalui:
|
|||
|
a.
|
jalur pipa;
|
||
|
b.
|
sabuk konveyor (conveyor belt); dan/atau
|
||
|
c.
|
alat pembongkaran lain,
|
||
|
yang dihubungkan dari Sarana Pengangkut laut ke Sarana Pengangkut darat dan/atau tempat penimbunan.
|
|||
(5)
|
Pembongkaran barang di Tempat Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan di luar pelabuhan dari Sarana Pengangkut laut ke Sarana Pengangkut laut lainnya, dalam hal:
|
|||
|
a.
|
Sarana Pengangkut awal tidak dapat sandar langsung ke dermaga pelabuhan; dan/atau
|
||
|
b.
|
barang untuk diangkut lanjut,
|
||
|
dan telah mendapat persetujuan pembongkaran barang.
|
|||
(6)
|
Izin pembongkaran di Tempat Lain oleh Kepala Kantor Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan setelah mendapatkan rekomendasi dari Badan Pengusahaan Kawasan.
|
|||
(7)
|
Rekomendasi dari Badan Pengusahaan Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak diperlukan dalam hal Sarana Pengangkut dalam keadaan darurat.
|
|||
(8)
|
Pembongkaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan setelah Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a menyerahkan Inward Manifest dan telah mendapatkan nomor dan tanggal pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (7).
|
|||
(9)
|
Tata cara pembongkaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pembongkaran dan penimbunan barang impor.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 11 |
||||
(1)
|
Pejabat Bea dan Cukai dapat melakukan pengawasan terhadap pembongkaran barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) secara selektif berdasarkan manajemen risiko.
|
|||
(2)
|
Manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh SKP atau Pejabat Bea dan Cukai.
|
|||
(3)
|
Pejabat Bea dan Cukai yang melakukan pengawasan terhadap pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat laporan pengawasan pembongkaran.
|
|||
(4)
|
Tata cara pengawasan pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pelaporan pengawasan pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pembongkaran dan penimbunan barang impor.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Penimbunan Pasal 12 |
||||
(1)
|
Barang yang dibongkar di Kawasan Pabean atau Tempat Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) yang belum diselesaikan kewajiban pabeannya dapat ditimbun di:
|
|||
|
a.
|
TPS; atau
|
||
|
b.
|
Tempat Lain yang Diperlakukan Sama dengan TPS setelah mendapat izin Kepala Kantor Pabean.
|
||
(2)
|
Barang yang telah diberitahukan untuk dikeluarkan dari Kawasan Bebas sementara menunggu pemuatannya, dapat ditimbun di:
|
|||
|
a.
|
TPS; atau
|
||
|
b.
|
Tempat Lain yang Diperlakukan Sama dengan TPS setelah mendapat izin Kepala Kantor Pabean.
|
||
(3)
|
Penimbunan di Tempat Lain yang Diperlakukan Sama dengan TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2) huruf b dapat diberikan dalam hal:
|
|||
|
a.
|
barang yang dibongkar atau akan dimuat bersifat khusus dengan memperhatikan sifat, ukuran, dan/atau bentuknya sehingga tidak dapat ditimbun di TPS;
|
||
|
b.
|
adanya kendala teknis di TPS seperti tidak tersedianya alat untuk melakukan penimbunan atau alat untuk melakukan penimbunan dalam kondisi rusak sehingga tidak dapat dilakukan penimbunan;
|
||
|
c.
|
terjadi kongesti yang dinyatakan secara tertulis oleh pengusaha TPS;
|
||
|
d.
|
tidak tersedianya TPS di tempat pembongkaran atau pemuatan; atau
|
||
|
e.
|
penimbunan barang dari luar Daerah Pabean, Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus, atau tempat lain dalam Daerah Pabean yang akan dimasukkan ke atau dikeluarkan dari Kawasan Bebas, dilakukan oleh pengusaha di Kawasan Bebas yang telah ditetapkan sebagai pengusaha yang mendapatkan perlakuan tertentu di bidang kepabeanan.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 13 |
||||
(1)
|
Barang yang dibongkar di Kawasan Pabean atau Tempat Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dapat ditimbun di Sarana Pengangkut laut di luar pelabuhan, dalam hal:
|
|||
|
a.
|
mempunyai bentuk, sifat, dan karakteristik tertentu;
|
||
|
b.
|
telah mendapat persetujuan pembongkaran barang; dan/atau
|
||
|
c.
|
barang untuk diangkut lanjut.
|
||
(2)
|
Untuk kepentingan pengawasan kepabeanan, Sarana Pengangkut laut di luar pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan sebagai TPS.
|
|||
(3)
|
Jangka waktu penimbunan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Kantor Pabean dengan mempertimbangkan permohonan pengusaha dan berdasarkan manajemen risiko.
|
|||
(4)
|
Penetapan Sarana Pengangkut laut di luar pelabuhan sebagai TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan permohonan dari pengusaha tempat penimbunan atau pengusaha Sarana Pengangkut laut di luar pelabuhan dengan dilampiri:
|
|||
|
a.
|
salinan perizinan berusaha di Kawasan Bebas;
|
||
|
b.
|
izin usaha penimbunan dan/atau pergudangan dari Badan Pengusahaan Kawasan;
|
||
|
c.
|
bukti kepemilikan atas tempat penimbunan atau penguasaan atas tempat penimbunan paling singkat 2 (dua) tahun;
|
||
|
d.
|
rekomendasi dari Penyelenggara Pelabuhan Laut, kecuali terminal khusus;
|
||
|
e.
|
gambar denah lokasi dan tata ruang yang meliputi:
|
||
|
|
1.
|
tempat penimbunan barang;
|
|
|
|
2.
|
ruang kerja Pejabat Bea dan Cukai; dan/atau
|
|
|
|
3.
|
tempat lain yang menunjang kegiatan pengelolaan TPS;
|
|
|
f.
|
daftar peralatan dan fasilitas penunjang kegiatan usaha yang dimiliki dan surat pernyataan kesanggupan untuk menyediakan peralatan dan fasilitas yang memadai yang disesuaikan dengan volume kegiatan;
|
||
|
g.
|
data mengenai profil perusahaan;
|
||
|
h.
|
surat pernyataan mengenai kesanggupan melunasi bea masuk, sanksi administrasi berupa denda, dan/atau perpajakan, dalam hal terdapat kewajiban pelunasan oleh pengusaha tempat penimbunan atau pengusaha Sarana Pengangkut laut; dan
|
||
|
i.
|
surat keterangan dari pengelola Sarana Pengangkut laut tentang penggunaan Sarana Pengangkut laut, dalam hal pengusaha tempat penimbunan bukan pengelola Sarana Pengangkut laut.
|
||
(5)
|
Dalam hal Sarana Pengangkut laut di luar pelabuhan yang telah ditetapkan sebagai TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dikarenakan:
|
|||
|
a.
|
keputusan pemerintah; atau
|
||
|
b.
|
keperluan perbaikan ke Pelabuhan,
|
||
|
akan melakukan pergerakan atau perpindahan yang mengakibatkan perubahan lokasi atau posisi Sarana Pengangkut, wajib mendapatkan persetujuan dari Kepala Kantor Pabean berdasarkan permohonan dari pengusaha TPS.
|
|||
(6)
|
Dalam hal keadaan darurat, Sarana Pengangkut laut di luar pelabuhan yang telah ditetapkan sebagai TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat melakukan pergerakan atau perpindahan yang mengakibatkan perubahan lokasi atau posisi terlebih dahulu dan disertai kewajiban untuk:
|
|||
|
a.
|
melaporkan keadaan darurat tersebut pada kesempatan pertama ke Kantor Pabean terdekat, dengan menggunakan alat komunikasi yang tersedia; dan
|
||
|
b.
|
melaporkan dengan segera jumlah barang muatan Sarana Pengangkut ke Kantor Pabean terdekat.
|
||
(7)
|
Dalam hal Sarana Pengangkut laut di luar pelabuhan yang telah ditetapkan sebagai TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan pergerakan atau perpindahan yang mengakibatkan perubahan lokasi atau posisi tanpa persetujuan dari Kepala Kantor Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Sarana Pengangkut laut dikenakan sanksi berupa pemblokiran Akses Kepabeanan pengusaha di Kawasan Bebas atas kegiatan pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari Luar Daerah Pabean.
|
|||
(8)
|
Berdasarkan pemblokiran Akses Kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Kepala Kantor Pabean dapat mengusulkan pembekuan perizinan berusaha kepada Badan Pengusahaan Kawasan.
|
|||
(9)
|
Tata cara penetapan TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai Kawasan Pabean dan TPS.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 14 |
||||
(1)
|
Pejabat Bea dan Cukai dapat melakukan pengawasan terhadap penimbunan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 13 ayat (1) secara selektif berdasarkan manajemen risiko.
|
|||
(2)
|
Manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh SKP atau Pejabat Bea dan Cukai.
|
|||
(3)
|
Pejabat Bea dan Cukai yang melakukan pengawasan terhadap penimbunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat laporan pengawasan penimbunan.
|
|||
(4)
|
Tata cara pengawasan penimbunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pelaporan pengawasan penimbunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pembongkaran dan penimbunan barang impor.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Pemuatan Pasal 15 |
||||
(1)
|
Pemuatan barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas wajib dilakukan di Kawasan Pabean atau dalam hal tertentu dapat dimuat di Tempat Lain dengan izin Kepala Kantor Pabean.
|
|||
(2)
|
Izin pemuatan di Tempat Lain oleh Kepala Kantor Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah mendapatkan rekomendasi dari Badan Pengusahaan Kawasan.
|
|||
(3)
|
Pemuatan barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke dalam Sarana Pengangkut dilaksanakan setelah mendapat persetujuan dari Pejabat Bea dan Cukai dan/atau SKP.
|
|||
(4)
|
Tata cara pemuatan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 16 |
||||
(1)
|
Pengusaha menyampaikan permohonan perizinan untuk:
|
|||
|
a.
|
pembongkaran di Tempat Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf b;
|
||
|
b.
|
penimbunan di Tempat Lain yang Diperlakukan Sama dengan TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b dan ayat (2) huruf b;
|
||
|
c.
|
penimbunan di sarana pengangkut laut di luar pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1); dan/atau
|
||
|
d.
|
pemuatan di Tempat Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1),
|
||
|
ke Kantor Pabean dalam bentuk data elektronik melalui SKP.
|
|||
(2)
|
Permohonan perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan dalam bentuk tulisan di atas formulir atau dalam bentuk data elektronik melalui media penyimpanan data elektronik atau surat elektronik, dalam hal:
|
|||
|
a.
|
Kantor Pabean yang bersangkutan belum menerapkan SKP; atau
|
||
|
b.
|
SKP yang terdapat pada Kantor Pabean yang bersangkutan tidak dapat beroperasi paling cepat 1 (satu) jam.
|
||
(3)
|
Persetujuan atas permohonan perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan secara periodik untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB IV
KETENTUAN PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BARANG KE DAN DARI KAWASAN BEBAS
Pasal 17 |
||||
(1)
|
Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas hanya dapat dilakukan oleh pengusaha yang telah mendapat perizinan berusaha dari Badan Pengusahaan Kawasan.
|
|||
(2)
|
Perizinan berusaha dari Badan Pengusahaan Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
|||
|
a.
|
izin pemasukan barang konsumsi untuk kebutuhan penduduk di Kawasan Bebas; atau
|
||
|
b.
|
izin pemasukan dan pengeluaran barang selain barang konsumsi untuk kebutuhan penduduk di Kawasan Bebas.
|
||
(3)
|
Pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya dapat memasukkan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean sesuai dengan perizinan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan yang berhubungan dengan kegiatan usahanya.
|
|||
(4)
|
Pemasukan barang konsumsi untuk kebutuhan penduduk di Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean, hanya dapat dilakukan oleh pengusaha yang telah mendapatkan perizinan berusaha dari Badan Pengusahaan Kawasan, dalam jumlah dan jenis yang ditetapkan oleh Badan Pengusahaan Kawasan.
|
|||
(5)
|
Perizinan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dimiliki oleh 1 (satu) pengusaha untuk 1 (satu) perizinan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 18 |
||||
(1)
|
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) terhadap pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas atas:
|
|||
|
a.
|
barang perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbal balik
|
||
|
b.
|
barang untuk keperluan badan internasional beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia;
|
||
|
c.
|
barang kiriman hadiah/hibah untuk keperluan ibadah untuk umum, amal, sosial, kebudayaan, atau untuk kepentingan penanggulangan bencana alam;
|
||
|
d.
|
barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
|
||
|
e.
|
persenjataan, amunisi, perlengkapan militer dan kepolisian, termasuk suku cadang yang diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara;
|
||
|
f.
|
barang contoh yang tidak untuk diperdagangkan;
|
||
|
g.
|
peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah;
|
||
|
h.
|
barang pindahan;
|
||
|
i.
|
barang pribadi penumpang, awak Sarana Pengangkut, pelintas batas;
|
||
|
j.
|
Barang Kiriman;
|
||
|
k.
|
obat-obatan yang dimasukkan dengan menggunakan anggaran pemerintah yang diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat;
|
||
|
l.
|
bahan terapi manusia, pengelompokan darah, dan bahan penjenisan jaringan;
|
||
|
m.
|
peralatan dan bahan yang digunakan untuk mencegah pencemaran lingkungan;
|
||
|
n.
|
barang oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang ditujukan untuk kepentingan umum;
|
||
|
o.
|
barang untuk keperluan olahraga yang dimasukkan oleh induk organisasi olahraga nasional;
|
||
|
p.
|
barang untuk keperluan museum kebun binatang, dan tempat lain semacam itu yang terbuka untuk umum serta barang untuk konservasi alam;
|
||
|
q.
|
buku ilmu pengetahuan; dan
|
||
|
r.
|
barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat lainnya.
|
||
(2)
|
Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan dokumen pendukung yang menjelaskan peruntukkan barang dimaksud.
|
|||
(3)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan untuk pemasukan dan pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i, huruf j, dan huruf q.
|
|||
(4)
|
Tata cara pemberian pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atas barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf j, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemasukan dan pengeluaran Barang Kiriman ke dan dari Kawasan Bebas.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 19 |
||||
(1)
|
Pemasukan barang konsumsi untuk kebutuhan penduduk di Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4) sepanjang yang telah ditetapkan jumlah dan jenisnya oleh Badan Pengusahaan Kawasan, pengawasan dan pengadministrasiannya dilakukan oleh Badan Pengusahaan Kawasan.
|
|||
(2)
|
Pemasukan barang dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas, sepanjang menyangkut pemberian fasilitas PPN tidak dipungut, pengawasan dan pengadministrasiannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB V
PENGELUARAN BARANG DARI KAWASAN PABEAN ATAU TEMPAT LAIN ATAS BARANG YANG TELAH SELESAI DIBONGKAR DARI SARANA PENGANGKUT
Bagian Kesatu Pengeluaran Barang Dari Kawasan Pabean Atau Tempat Lain Pasal 20 |
||||
Barang yang dibongkar di Kawasan Pabean atau Tempat Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a atau yang ditimbun di tempat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b, dapat dikeluarkan dari Kawasan Pabean setelah dipenuhinya Kewajiban Pabean untuk:
|
||||
a.
|
dimasukkan ke Kawasan Bebas;
|
|||
b.
|
diangkut lanjut;
|
|||
c.
|
diangkut ke TPS di Kawasan Pabean lain; atau
|
|||
d.
|
dikeluarkan kembali ke luar Daerah Pabean.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pengeluaran Barang Dari Kawasan Pabean Atau Tempat Lain Untuk Dimasukkan Ke Kawasan Bebas Pasal 21 |
||||
(1)
|
Barang yang dikeluarkan dari Kawasan Pabean atau Tempat Lain dengan tujuan untuk dimasukkan ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a, dapat berupa barang yang diperuntukkan untuk:
|
|||
|
a.
|
penjualan;
|
||
|
b.
|
pemakaian langsung;
|
||
|
C.
|
penimbunan (logistik);
|
||
|
d.
|
Pengolahan;
|
||
|
e.
|
pengerjaan proyek;
|
||
|
f.
|
pekerjaan subkontrak;
|
||
|
g.
|
pemasukan kembali barang:
|
||
|
|
1.
|
yang dikeluarkan untuk tujuan tertentu dalam jangka waktu tertentu ke tempat lain dalam Daerah Pabean;
|
|
|
|
2.
|
yang mendapat fasilitas pembebasan bea masuk untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi yang termasuk dalam barang yang mendapatkan cost recovery dan gross split, yang dikeluarkan ke tempat lain dalam Daerah Pabean;
|
|
|
|
3.
|
yang dikeluarkan ke luar Daerah Pabean;
|
|
|
|
4.
|
subkontrak;
|
|
|
|
5.
|
pinjaman;
|
|
|
|
6.
|
perbaikan; atau
|
|
|
|
7.
|
yang dikeluarkan sementara dalam jangka waktu tertentu ke luar Daerah Pabean dengan dokumen carnet;
|
|
|
h.
|
peragaan, pameran, atau demonstrasi;
|
||
|
i.
|
perbaikan, pengujian atau kalibrasi;
|
||
|
j.
|
pemasukan sementara dengan carnet; atau
|
||
|
k.
|
kegiatan lainnya.
|
||
(2)
|
Terhadap barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dimiliki oleh:
|
|||
|
a.
|
perusahaan di Kawasan Bebas;
|
||
|
b.
|
perusahaan di luar Daerah Pabean;
|
||
|
c.
|
perusahaan di Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus;
|
||
|
d.
|
perusahaan di tempat lain dalam Daerah Pabean; atau
|
||
|
e.
|
Orang selain sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf d.
|
||
(3)
|
Tata cara pemasukan sementara dengan dokumen carnet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g angka 7 dan huruf j, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Impor sementara dengan menggunakan dokumen carnet atau ekspor yang dimaksudkan untuk diimpor kembali dalam jangka waktu tertentu dengan menggunakan dokumen carnet.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 22 |
||||
(1)
|
Terhadap pengeluaran barang dari Kawasan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a atau Tempat Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b dengan tujuan untuk dimasukkan ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a, wajib disampaikan dengan Pemberitahuan Pabean ke Kantor Pabean.
|
|||
(2)
|
Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
|||
|
a.
|
Pemberitahuan Pabean pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari:
|
||
|
|
1.
|
luar Daerah Pabean; atau
|
|
|
|
2.
|
tempat lain dalam Daerah Pabean; atau
|
|
|
b.
|
Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari:
|
||
|
|
1.
|
Kawasan Bebas lain;
|
|
|
|
2.
|
tempat penimbunan berikat; atau
|
|
|
|
3.
|
kawasan ekonomi khusus.
|
|
(3)
|
Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan Pemberitahuan Pabean yang telah mendapatkan nomor dan tanggal pendaftaran dari Kantor Pabean asal.
|
|||
(4)
|
Tata cara penyampaian Pemberitahuan Pabean untuk pengeluaran barang dari tempat penimbunan berikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 2 atau kawasan ekonomi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 3, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tempat penimbunan berikat atau kawasan ekonomi khusus.
|
|||
(5)
|
Ketentuan mengenai kewajiban untuk menyampaikan Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak berlaku untuk:
|
|||
|
a.
|
barang pribadi penumpang;
|
||
|
b.
|
awak Sarana Pengangkut;
|
||
|
c.
|
barang pribadi pelintas batas; atau
|
||
|
d.
|
Barang Kiriman,
|
||
|
sampai dengan batas nilai pabean dan/atau jumlah tertentu.
|
|||
(6)
|
Penentuan batas nilai pabean dan/atau jumlah tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
|
|||
(7)
|
Tata cara penyampaian Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemberitahuan pabean dalam rangka pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 23 |
||||
Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) huruf a, disampaikan oleh pengusaha atau PPJK yang akan mengeluarkan barang dari Kawasan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a atau dari Tempat Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b untuk dimasukkan ke Kawasan Bebas, dengan mendasarkan pada:
|
||||
a.
|
Dokumen Pelengkap Pabean, dengan menghitung sendiri bea masuk, bea masuk anti dumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan/atau bea masuk pembalasan, cukai, dan/atau pajak yang dibebaskan, untuk Pemberitahuan Pabean pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) huruf a; atau
|
|||
b.
|
invoice/faktur penjualan, packing list, kontrak jual beli, faktur pajak dan dokumen pelengkap lainnya, untuk Pemberitahuan Pabean pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) huruf a angka 2.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 24 |
||||
(1)
|
Dalam hal pengeluaran atas barang dari Kawasan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a atau Tempat Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b dengan tujuan untuk dimasukkan ke Kawasan Bebas terdapat selisih kurang (eksep) dalam Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2), penyelesaian barang yang kurang tersebut dilakukan dengan menggunakan Pemberitahuan Pabean semula dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB).
|
|||
(2)
|
Dalam hal barang yang terdapat selisih kurang (eksep) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didatangkan lebih dari 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal penerbitan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengusaha harus mengajukan:
|
|||
|
a.
|
surat pemberitahuan kepada Kepala Kantor Pabean; dan
|
||
|
b.
|
Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) yang baru.
|
||
(3)
|
Tata cara pemasukan barang yang terdapat selisih kurang (eksep) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Pengeluaran Barang Dari Kawasan Pabean Atau Tempat Lain Untuk Angkut Lanjut Pasal 25 |
||||
(1)
|
Barang yang dibongkar di Kawasan Pabean atau Tempat Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dapat dikeluarkan untuk diangkut lanjut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b, ke:
|
|||
|
a.
|
luar Daerah Pabean;
|
||
|
b.
|
Kawasan Bebas lain;
|
||
|
c.
|
tempat penimbunan berikat;
|
||
|
d.
|
kawasan ekonomi khusus; atau
|
||
|
e.
|
tempat lain dalam Daerah Pabean,
|
||
|
sebagaimana tercantum dalam bill of lading, airway bill, atau dokumen perjanjian pengangkutan barang lainnya.
|
|||
(2)
|
Untuk pemasukan barang ke Kawasan Pabean untuk diangkut lanjut, wajib diberitahukan dengan Inward Manifest.
|
|||
(3)
|
Untuk pengeluaran barang dari Kawasan Pabean untuk diangkut lanjut, wajib disampaikan dengan Outward Manifest.
|
|||
(4)
|
Atas kegiatan angkut lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) menyampaikan pemberitahuan ke Kantor Pabean.
|
|||
(5)
|
Outward Manifest sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan ke Kantor Pabean sebelum keberangkatan Sarana Pengangkut.
|
|||
(6)
|
Tata cara angkut lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Pengeluaran Barang Dari Kawasan Pabean Atau Tempat Lain Untuk Diangkut Ke TPS Di Kawasan Pabean Lainnya Pasal 26 |
||||
(1)
|
Barang yang dibongkar di Kawasan Pabean atau Tempat Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dapat dikeluarkan untuk diangkut ke:
|
|||
|
a.
|
TPS di Kawasan Pabean lainnya di Kawasan Bebas;
|
||
|
b.
|
TPS di Kawasan Pabean lainnya di Kawasan Bebas lain; atau
|
||
|
c.
|
TPS di Kawasan Pabean lainnya di tempat lain dalam Daerah Pabean.
|
||
(2)
|
Atas pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib menyampaikan Pemberitahuan Pabean untuk pengeluaran barang dari Kawasan Pabean di Kawasan Bebas untuk diangkut ke TPS di Kawasan Pabean lainnya.
|
|||
(3)
|
Terhadap pengeluaran barang asal luar Daerah Pabean yang akan diangkut ke TPS di Kawasan Pabean lainnya di tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, wajib menyerahkan jaminan sebesar bea masuk, Cukai, PPN, dan Pajak Penghasilan Pasal 22, kepada Kantor Pabean yang mengawasi Kawasan Pabean tempat pembongkaran barang.
|
|||
(4)
|
Pengeluaran barang untuk diangkut ke TPS di Kawasan Pabean lainnya di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan dalam hal:
|
|||
|
a.
|
barang karena sifatnya membutuhkan sarana dan prasarana penyimpanan atau penumpukan yang khusus dan tidak tersedia di gudang atau lapangan penumpukan barang di TPS asal;
|
||
|
b.
|
gudang atau lapangan penumpukan barang di tempat penimbunan asal berdasarkan pertimbangan Kepala Kantor Pabean dapat terjadi stagnasi/kongesti;
|
||
|
c.
|
tidak tersedia TPS di Kawasan Pabean yang bersangkutan;
|
||
|
d.
|
barang yang dimuat dalam 1 (satu) master bill of lading/airway bill yang ditujukan kepada perusahaan jasa pengurusan transportasi (freight forwarder) dan/atau penyelenggara pos yang berkedudukan di TPS lain;
|
||
|
e.
|
barang yang dimuat dalam kantong pos yang akan diselesaikan kewajiban pabeannya melalui TPS lain yang khusus digunakan untuk layanan pos; atau
|
||
|
f.
|
keadaan memaksa (force majeure).
|
||
(5)
|
Pengeluaran barang untuk diangkut ke TPS di Kawasan Pabean lainnya di Kawasan Bebas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b atau ke TPS di Kawasan Pabean lainnya di tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dilakukan dalam hal pemilik barang (consignee) dalam dokumen pengangkutan barang yang dibongkar di Kawasan Pabean atau Tempat Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) merupakan pengusaha yang berada di Kawasan Bebas lain atau di tempat lain dalam Daerah Pabean.
|
|||
(6)
|
Tata cara penyampaian Pemberitahuan Pabean untuk pengeluaran barang dari Kawasan Pabean di Kawasan Bebas untuk diangkut ke TPS di Kawasan Pabean lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemberitahuan pabean dalam rangka pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.
|
|||
(7)
|
Tata cara pengeluaran barang dari Kawasan Pabean atau Tempat Lain untuk diangkut ke TPS di Kawasan Pabean lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Pengeluaran Barang Dari Kawasan Pabean Atau Tempat Lain Untuk Dikeluarkan Kembali Ke Luar Daerah Pabean Pasal 27 |
||||
(1)
|
Barang yang dibongkar di Kawasan Pabean atau Tempat Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dapat dikeluarkan kembali ke luar Daerah Pabean.
|
|||
(2)
|
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal:
|
|||
|
a.
|
barang tersebut sudah dikeluarkan dari Kawasan Pabean dengan tujuan dimasukkan ke Kawasan Bebas;
|
||
|
b.
|
terdapat ketentuan peraturan perundang-undangan yang menetapkan lain atas barang yang karena suatu ketentuan pemerintah tidak boleh dimasukkan ke Kawasan Bebas; atau
|
||
|
c.
|
telah diajukan Pemberitahuan Pabean pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) huruf a angka 1 dan telah dilakukan pemeriksaan fisik barang dengan basil kedapatan jumlah dan/atau jenis barang tidak sesuai.
|
||
(3)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dikecualikan terhadap barang yang berasal dari luar Daerah Pabean yang merupakan barang:
|
|||
|
a.
|
berpotensi mengganggu atau merusak kesehatan manusia, kesehatan hewan, kesehatan tumbuhan, dan/atau lingkungan; dan/atau
|
||
|
b.
|
yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk dikeluarkan kembali ke luar Daerah Pabean.
|
||
(4)
|
Tata cara pengeluaran barang dari Kawasan Pabean atau Tempat Lain untuk dikeluarkan kembali ke luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VI
PEMASUKAN BARANG KE KAWASAN PABEAN ATAU TEMPAT LAIN UNTUK DIKELUARKAN DARI KAWASAN BEBAS
Bagian Kesatu Pemasukan Barang Ke Kawasan Pabean Atau Tempat Lain Untuk Dikeluarkan Dari Kawasan Bebas Pasal 28 |
||||
(1)
|
Barang yang dimasukkan ke Kawasan Pabean atau Tempat Lain, setelah dipenuhinya Kewajiban Pabean dapat dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke:
|
|||
|
a.
|
luar Daerah Pabean;
|
||
|
b.
|
Kawasan Bebas lain;
|
||
|
c.
|
tempat penimbunan berikat;
|
||
|
d.
|
kawasan ekonomi khusus; atau
|
||
|
e.
|
tempat lain dalam Daerah Pabean.
|
||
(2)
|
Barang yang dikeluarkan dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud ayat (1), dapat berupa barang untuk:
|
|||
|
a.
|
penjualan;
|
||
|
b.
|
penimbunan (logistik);
|
||
|
c.
|
Pengolahan;
|
||
|
d.
|
pengerjaan proyek;
|
||
|
e.
|
pekerjaan subkontrak;
|
||
|
f.
|
pengeluaran kembali barang:
|
||
|
|
1.
|
subkontrak;
|
|
|
|
2.
|
pinjaman; atau
|
|
|
|
3.
|
perbaikan;
|
|
|
g.
|
tujuan tertentu dalam jangka waktu tertentu ke tempat lain dalam Daerah Pabean;
|
||
|
h.
|
pengeluaran dalam rangka fasilitas pembebasan bea masuk untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi yang termasuk dalam barang yang mendapatkan cost recovery dan gross split, yang dikeluarkan ke tempat lain dalam Daerah Pabean;
|
||
|
i.
|
peragaan, pameran, atau demonstrasi;
|
||
|
j.
|
perbaikan, rekondisi, pengujian atau kalibrasi;
|
||
|
k.
|
pengeluaran sementara dalam jangka waktu tertentu ke luar Daerah Pabean dengan dokumen carnet;
|
||
|
l.
|
bekal Sarana Pengangkut; atau
|
||
|
m.
|
kegiatan lainnya.
|
||
(3)
|
Tata cara pengeluaran sementara dalam jangka waktu tertentu ke luar Daerah Pabean dengan dokumen carnet sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf k, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai impor sementara dengan menggunakan dokumen carnet atau ekspor yang dimaksudkan untuk diimpor kembali dalam jangka waktu tertentu dengan menggunakan dokumen carnet.
|
|||
(4)
|
Terhadap barang konsumsi untuk kebutuhan penduduk di Kawasan Bebas yang berasal dari luar Daerah Pabean dan mendapatkan penetapan jumlah dan jenis oleh Badan Pengusahaan Kawasan, tidak dapat dikeluarkan dari Kawasan Bebas.
|
|||
(5)
|
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), atas pengeluaran barang konsumsi berupa barang kiriman, barang penumpang, atau barang awak Sarana Pengangkut dalam jumlah dan/atau nilai tertentu berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan cukai.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 29 |
||||
(1)
|
Atas pengeluaran barang dari Kawasan Bebas berupa bekal Sarana Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) huruf l, dapat dilakukan untuk Sarana Pengangkut yang:
|
|||
|
a.
|
bersandar di pelabuhan/di bandar udara;
|
||
|
b.
|
lego jangkar di perairan koordinat Kawasan Bebas; atau
|
||
|
c.
|
lego jangkar di luar perairan koordinat Kawasan Bebas.
|
||
(2)
|
Pengeluaran barang dari Kawasan Bebas berupa bekal Sarana Pengangkut untuk Sarana Pengangkut yang lego jangkar di luar perairan koordinat Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dapat diberikan dalam hal:
|
|||
|
a.
|
telah mendapat persetujuan Kepala Kantor Pabean berdasarkan permohonan oleh pengusaha penyedia bekal Sarana Pengangkut yang memiliki perizinan berusaha;
|
||
|
b.
|
Sarana Pengangkut yang akan mengangkut bekal Sarana Pengangkut ke Sarana Pengangkut tujuan wajib terdaftar di Kantor Pabean dan memiliki automatic identification system (AIS) yang berfungsi selama pengangkutan barang berupa bekal Sarana Pengangkut ke Sarana Pengangkut tujuan; dan
|
||
|
c.
|
Sarana Pengangkut tujuan berbendera asing dan lego jangkar di perairan internasional.
|
||
(3)
|
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, memuat paling sedikit informasi mengenai jumlah, jenis dan/atau nilai barang berupa bekal Sarana Pengangkut, identitas Sarana Pengangkut yang akan mengangkut bekal Sarana Pengangkut, identitas Sarana Pengangkut tujuan, dan bukti pendukung.
|
|||
(4)
|
Jumlah dan/atau nilai barang berupa bekal Sarana Pengangkut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Kepala Kantor Pabean dengan mempertimbangkan manajemen risiko.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 30 |
||||
(1)
|
Pemasukan barang ke Kawasan Pabean atau Tempat Lain dengan tujuan untuk dikeluarkan dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), wajib disampaikan dengan Pemberitahuan Pabean ke Kantor Pabean.
|
|||
(2)
|
Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke:
|
|||
|
a.
|
luar Daerah Pabean;
|
||
|
b.
|
Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus; atau
|
||
|
c.
|
tempat lain dalam Daerah Pabean.
|
||
(3)
|
Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh pengusaha atau PPJK yang akan memasukkan barang ke Kawasan Pabean atau Tempat Lain dengan tujuan untuk dikeluarkan dari Kawasan Bebas, dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
untuk Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, penyampaian dilakukan dengan menghitung sendiri bea keluar yang seharusnya dibayar jika pengeluaran barang tersebut dikenakan bea keluar;
|
||
|
b.
|
untuk Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, penyampaian mendasarkan pada Dokumen Pelengkap Pabean dengan menghitung sendiri bea masuk, bea masuk anti dumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan/atau bea masuk pembalasan, cukai, dan pajak yang seharusnya dibebaskan atau ditangguhkan; atau
|
||
|
c.
|
untuk Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf c, penyampaian mendasarkan pada Dokumen Pelengkap Pabean dengan menghitung sendiri bea masuk, bea masuk anti dumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan/atau bea masuk pembalasan, cukai, dan pajak yang seharusnya dibayar.
|
||
(4)
|
Kewajiban untuk memberitahukan dengan Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku juga atas pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean berupa:
|
|||
|
a.
|
barang yang pada saat pemasukan ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean telah diberitahukan sebagai barang pemasukan sementara;
|
||
|
b.
|
barang yang akan dimasukkan kembali ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean, sehingga pada saat pemasukan kembali ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean dapat diperlakukan sebagai barang dimasukkan kembali; atau
|
||
|
c.
|
barang yang dikenakan bea keluar melebihi batas pengecualian pengenaan bea keluar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
(5)
|
Ketentuan mengenai kewajiban untuk menyampaikan Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak berlaku untuk:
|
|||
|
a.
|
barang pribadi penumpang, awak Sarana Pengangkut, barang pribadi pelintas batas, atau Barang Kiriman sampai dengan batas nilai pabean dan/atau jumlah tertentu; atau
|
||
|
b.
|
pengeluaran barang berupa bekal Sarana Pengangkut sebagaimana dimaksud Pasal 29, sepanjang terdapat persetujuan dari Kepala Kantor Pabean.
|
||
(6)
|
Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah diberikan nomor dan tanggal oleh Pejabat Bea dan Cukai, merupakan persetujuan untuk pemasukan barang ke Kawasan Pabean.
|
|||
(7)
|
Tata cara penyampaian Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemberitahuan pabean dalam rangka pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 31 |
||||
(1)
|
Penyampaian Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2), dilampiri dengan Pemberitahuan Pabean pemasukan barang ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2).
|
|||
(2)
|
Dalam hal penyampaian Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) tidak dilampiri dengan:
|
|||
|
a.
|
Pemberitahuan Pabean pemasukan barang ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2); dan/atau
|
||
|
b.
|
dokumen pendukung atau bukti cetak data elektronik yang membuktikan bahwa barang sepenuhnya berasal dari Kawasan Bebas atau berasal dari tempat lain dalam Daerah Pabean,
|
||
|
terhadap barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, kawasan ekonomi khusus, atau ke tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, diperlakukan sebagai barang yang berasal dari luar Daerah Pabean.
|
|||
(3)
|
Dikecualikan dari diperlakukan sebagai barang yang berasal dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan fisik kedapatan bahwa barang sepenuhnya berasal dari Kawasan Bebas atau berasal dari tempat lain dalam Daerah Pabean.
|
|||
(4)
|
Dalam hal barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf e berupa barang hasil produksi di Kawasan Bebas, penyampaian Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dapat dilampiri dengan:
|
|||
|
a.
|
Pemberitahuan Pabean pemasukan barang ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2); dan/atau
|
||
|
b.
|
konversi penggunaan barang atau bahan baku dalam proses produksi yang dilakukannya, atas barang atau bahan baku yang berasal dari luar Daerah Pabean.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 32 |
||||
(1)
|
Barang yang dimasukkan ke Kawasan Pabean atau Tempat Lain dengan tujuan untuk dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf e, dapat dilakukan pengeluaran sebagian (parsial).
|
|||
(2)
|
Pengeluaran sebagian (parsial) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
|
|||
|
a.
|
terdapat barang yang terkena ketentuan pembatasan diberitahukan dengan benar dalam dokumen pemberitahuan pabean tetapi belum memenuhi persyaratan pengeluaran barang dari Kawasan Bebas; dan/atau
|
||
|
b.
|
terdapat kendala pengiriman dari pengusaha dengan memberitahukan kepada Kepala Kantor Pabean.
|
||
(3)
|
Penyelesaian barang yang telah dikeluarkan sebagian (parsial) dilakukan dengan menggunakan Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) huruf c semula dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB).
|
|||
(4)
|
Dalam hal sisa barang yang dilakukan pengeluaran sebagian (parsial) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan dalam jangka waktu lebih dari 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal penerbitan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB) sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pengusaha harus mengajukan:
|
|||
|
a.
|
surat pemberitahuan kepada Kepala Kantor Pabean; dan
|
||
|
b.
|
Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) huruf c, yang baru.
|
||
(5)
|
Tata cara pengeluaran sebagian (parsial) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 33 |
||||
(1)
|
Barang yang dimasukkan ke Kawasan Pabean atau Tempat Lain dengan tujuan untuk dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf a yang merupakan:
|
|||
|
a.
|
barang asal Kawasan Bebas dan/atau tempat lain dalam Daerah Pabean; dan
|
||
|
b.
|
barang yang dikenakan bea keluar,
|
||
|
diperlakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai bea keluar.
|
|||
(2)
|
Pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui pelabuhan muat ekspor di Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, Kawasan ekonomi khusus, atau tempat lain dalam daerah pabean:
|
|||
|
a.
|
setelah diselesaikan kewajiban pabeannya; dan
|
||
|
b.
|
diangkut dengan Sarana Pengangkut dalam negeri yang merupakan bagian dari angkutan multimoda.
|
||
(3)
|
Tata cara pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai ekspor.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 34 |
||||
(1)
|
Barang yang telah mendapatkan persetujuan pengeluaran barang dari Kawasan Pabean atau Tempat Lain untuk dikeluarkan ke:
|
|||
|
a.
|
tempat penimbunan berikat;
|
||
|
b.
|
kawasan ekonomi khusus; atau
|
||
|
c.
|
tempat lain dalam Daerah Pabean,
|
||
|
hanya dapat dikeluarkan untuk dimuat ke Sarana Pengangkut yang berangkat ke luar dari Kawasan Bebas.
|
|||
(2)
|
Dalam hal pengangkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui darat, berlaku ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
Pejabat Bea dan Cukai melekatkan tanda pengaman pada kemasan/peti kemas sebelum barang dikeluarkan dari Kawasan Pabean atau Tempat Lain sebagai pengaman barang dari Kawasan Pabean atau Tempat Lain, sampai dengan:
|
||
|
|
1.
|
Kawasan Pabean tempat barang dimuat ke Sarana Pengangkut udara atau laut yang akan mengangkut barang ke luar dari Kawasan Bebas;
|
|
|
|
2.
|
Kawasan Pabean tempat Sarana Pengangkut darat meninggalkan Kawasan Bebas; atau
|
|
|
|
3.
|
barang yang diimpor untuk ditimbun di tempat penimbunan berikat selesai dimasukkan ke tempat penimbunan berikat; dan
|
|
|
b.
|
persetujuan pengeluaran barang untuk dikeluarkan:
|
||
|
|
1.
|
ke tempat penimbunan berikat;
|
|
|
|
2.
|
ke kawasan ekonomi khusus; atau
|
|
|
|
3.
|
ke tempat lain dalam Daerah Pabean,
|
|
|
|
berfungsi juga sebagai persetujuan pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Pabean tempat pengeluaran barang dari Kawasan Bebas.
|
||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pemasukan Barang Ke Kawasan Pabean Atau Tempat Lain Untuk Dikeluarkan Dari Kawasan Bebas Untuk Tujuan Tertentu Dalam Jangka Waktu Tertentu Ke Tempat Lain Dalam Daerah Pabean Pasal 35 |
||||
(1)
|
Barang asal luar Daerah Pabean dapat. dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf e untuk tujuan tertentu dalam jangka waktu tertentu setelah mendapat persetujuan dari Kepala Kantor Pabean berdasarkan permohonan dari pengusaha.
|
|||
(2)
|
Pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan terhadap barang yang berhubungan dengan:
|
|||
|
a.
|
kegiatan usahanya berupa mesin atau peralatan untuk:
|
||
|
|
1.
|
kepentingan produksi atau pengerjaan proyek infrastruktur;
|
|
|
|
2.
|
diperbaiki, direkondisi, dikalibrasi, dan/atau diuji; dan/atau
|
|
|
|
3.
|
keperluan peragaan atau demonstrasi; atau
|
|
|
b.
|
kegiatan lain, antara lain:
|
||
|
|
1.
|
barang untuk keperluan pertunjukan umum, olah raga, dan/atau perlombaan;
|
|
|
|
2.
|
barang untuk keperluan penanggulangan bencana alam, kebakaran, kerusakan lingkungan, gangguan keamanan atau ketertiban, untuk tujuan kemanusiaan, atau sosial;
|
|
|
|
3.
|
barang keperluan pemerintah pusat atau pemerintah daerah; atau
|
|
|
|
4.
|
barang untuk keperluan kegiatan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
|
|
(3)
|
Terhadap pengeluaran barang yang berhubungan dengan kegiatan usahanya berupa mesin atau peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a angka 1, pengusaha wajib:
|
|||
|
a.
|
membayar bea masuk sebesar 2% (dua persen) untuk setiap bulan atau bagian dari bulan, dikalikan jumlah bulan jangka waktu pengeluaran, dikalikan jumlah bea masuk yang seharusnya dibayar; dan
|
||
|
b.
|
menyerahkan jaminan sebesar selisih antara bea masuk yang seharusnya dibayar dengan yang telah dibayar ditambah dengan PPN, dan Pajak Penghasilan Pasal 22.
|
||
(4)
|
Terhadap pengeluaran barang berupa mesin atau peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a angka 2 dan angka 3, atau barang untuk kegiatan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, pengusaha wajib menyerahkan jaminan sebesar bea masuk yang seharusnya dibayar, ditambah dengan PPN, dan Pajak Penghasilan Pasal 22.
|
|||
(5)
|
Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dan ayat (4), wajib diserahkan sebelum. mendapat nomor Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf e.
|
|||
(6)
|
Kepala Kantor Pabean menetapkan bentuk jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berdasarkan manajemen risiko.
|
|||
(7)
|
Pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang sehingga menjadi paling lama 3 (tiga) tahun, dimulai sejak tanggal Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf e.
|
|||
(8)
|
Pejabat Bea dan Cukai memberikan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7), dengan mempertimbangkan bukti pendukung yang menyebutkan tentang jangka waktu pengeluaran barang untuk tujuan tertentu dalam jangka waktu tertentu dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean.
|
|||
(9)
|
Tata cara penyerahan jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (4) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai jaminan dalam rangka kepabeanan.
|
|||
(10)
|
Tata cara pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean untuk tujuan tertentu dalam jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai impor sementara.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 36 |
||||
(1)
|
Terhadap barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), pengusaha harus menyampaikan Pemberitahuan Pabean pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) huruf a angka 2 dan/atau surat pemberitahuan atas pemasukan barang kembali ke Kawasan Bebas, atas barang yang akan dimasukan kembali sebelum berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (7).
|
|||
(2)
|
Realisasi pemasukan kembali atas barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (7).
|
|||
(3)
|
Terhadap pemasukan kembali barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pemeriksaan fisik.
|
|||
(4)
|
Tata cara pemasukan kembali barang yang telah dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean untuk tujuan tertentu dalam jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai impor sementara.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 37 |
||||
(1)
|
Pengusaha yang terlambat memasukkan kembali barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar berdasarkan penetapan Kepala Kantor Pabean.
|
|||
(2)
|
Terlambat memasukkan kembali barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
pengusaha tidak menyampaikan Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) huruf a angka 2 dan/atau surat pemberitahuan atas pemasukan barang kembali ke Kawasan Bebas sampai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (7); atau
|
||
|
b.
|
pengusaha menyampaikan Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) huruf a angka 2 dan/atau surat pemberitahuan atas pemasukan barang kembali ke Kawasan Bebas sebelum berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (7), tetapi realisasi pemasukan kembali atas barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) melebihi jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2).
|
||
(3)
|
Dalam hal barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) tidak akan dimasukkan kembali ke Kawasan Bebas, pengusaha mengajukan permohonan untuk tidak memasukkan kembali barang yang telah dikeluarkan dari Kawasan Bebas kepada Kepala Kantor Pabean tempat pengeluaran barang.
|
|||
(4)
|
Dalam hal barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) merupakan barang yang terkena ketentuan pembatasan, perizinan impor wajib dipenuhi sebelum pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diajukan.
|
|||
(5)
|
Terhadap barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) yang telah mendapat keputusan mengenai tidak memasukkan kembali barang, pengusaha wajib membayar bea masuk dan/atau pajak dalam rangka impor yang terutang serta sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar dengan menggunakan Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (7), semula.
|
|||
(6)
|
Tata cara penyampaian permohonan keterlambatan pemasukan kembali ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau tidak dimasukkan kembali ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai impor sementara.
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Pemasukan Barang Yang Mendapat Fasilitas Pembebasan Bea Masuk Untuk Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi Yang Termasuk Dalam Barang Yang Mendapatkan Cost Recovery Dan Gross Split Ke Kawasan Pabean Atau Tempat Lain Untuk Dikeluarkan Dari Kawasan Bebas Ke Tempat Lain Dalam Daerah Pabean Pasal 38 |
||||
(1)
|
Barang asal luar Daerah Pabean dapat dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf e untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi.
|
|||
(2)
|
Barang untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan barang yang:
|
|||
|
a.
|
mendapat fasilitas pembebasan;
|
||
|
b.
|
termasuk dalam barang yang mendapatkan cost recovery dan gross split; dan
|
||
|
c.
|
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan mengharuskan untuk dikeluarkan kembali ke luar Daerah Pabean.
|
||
(3)
|
Terhadap pengeluaran barang untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengusaha wajib melampirkan Keputusan Menteri mengenai pemberian pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor atas impor barang untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi pada saat penyampaian Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) huruf c.
|
|||
(4)
|
Terhadap barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat diselesaikan kewajiban untuk dikeluarkan kembali ke luar Daerah Pabean dengan dimasukkan kembali ke Kawasan Bebas dengan menyampaikan Pemberitahuan Pabean pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) huruf a angka 2.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Konsolidasi Pasal 39 |
||||
(1)
|
Terhadap barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean, Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, kawasan ekonomi khusus, atau tempat lain dalam Daerah Pabean, dapat dilakukan konsolidasi di TPS atau Tempat Lain yang diperlakukan sama dengan TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2).
|
|||
(2)
|
Terhadap barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan konsolidasi dalam hal barang tersebut telah:
|
|||
|
a.
|
disampaikan Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) huruf b dan huruf c; dan
|
||
|
b.
|
mendapatkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB) yang merupakan persetujuan pemuatan barang ke atas Sarana Pengangkut yang akan keluar dari Kawasan Bebas, atau Nota Pelayanan Pengeluaran Barang (NPPB).
|
||
(3)
|
Pihak yang melakukan konsolidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yakni konsolidator yang merupakan pengusaha yang telah mendapat persetujuan sebagai pihak yang melakukan konsolidasi barang dari Kepala Kantor Pabean.
|
|||
(4)
|
Konsolidator sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memberitahukan konsolidasi barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas dalam pemberitahuan konsolidasi barang dan menyampaikannya ke Kantor Pabean pemuatan.
|
|||
(5)
|
Pemberitahuan konsolidasi barang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan pemberitahuan yang dibuat oleh pihak yang melakukan konsolidasi yang berisi daftar seluruh Pemberitahuan Pabean dan Nota Persetujuan Pengeluaran Barang yang ada dalam 1 (satu) peti kemas.
|
|||
(6)
|
Tata cara konsolidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VII
PERLAKUAN TERTENTU DI BIDANG KEPABEANAN ATAS PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BARANG KE DAN DARI KAWASAN BEBAS
Pasal 40 |
||||
(1)
|
Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dapat diberikan perlakuan tertentu di bidang kepabeanan dalam melakukan pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas.
|
|||
(2)
|
Pengusaha yang dapat diberikan perlakuan tertentu di bidang kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pengusaha yang telah:
|
|||
|
a.
|
mendapat pengakuan sebagai operator ekonomi bersertifikat (authorized economic operator); atau
|
||
|
b.
|
ditetapkan sebagai Mitra Utama Kepabeanan (MITA Kepabeanan).
|
||
(3)
|
Pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), termasuk pengusaha perusahaan di Kawasan Bebas yang merupakan cabang dari perusahaan di luar Kawasan Bebas yang mendapat pengakuan sebagai operator ekonomi bersertifikat (authorized economic operator) atau ditetapkan sebagai Mitra Utama Kepabeanan (MITA Kepabeanan).
|
|||
(4)
|
Perlakuan tertentu di bidang kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan berdasarkan permohonan pengusaha sesuai dengan manajemen risiko.
|
|||
(5)
|
Tata cara pemberian perlakuan tertentu di bidang kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta penetapan sebagai operator ekonomi bersertifikat (authorized economic operator) dan Mitra Utama Kepabeanan (MITA Kepabeanan) sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai operator ekonomi bersertifikat (authorized economic operator) dan Mitra Utama Kepabeanan (MITA Kepabeanan).
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VIII
PENYAMPAIAN PEMBERITAHUAN PABEAN DAN DOKUMEN PELENGKAP PABEAN
Pasal 41 |
||||
(1)
|
Dokumen berupa:
|
|||
|
a.
|
Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) dan Pasal 30 ayat (2); dan
|
||
|
b.
|
Dokumen Pelengkap Pabean,
|
||
|
wajib disampaikan pengusaha ke Kantor Pabean untuk setiap pemasukan atau pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas.
|
|||
(2)
|
Pemberitahuan Pabean dan Dokumen Pelengkap Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam bentuk data elektronik melalui sistem PDE kepabeanan.
|
|||
(3)
|
Penyampaian Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan dalam bentuk tulisan di atas formulir, dalam hal telah ditetapkan waktu pelayanan keadaan kahar:
|
|||
|
a.
|
secara nasional yang disebabkan sistem PDE kepabeanan di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tidak dapat beroperasi; atau
|
||
|
b.
|
secara lokal oleh Kepala Kantor Pabean dengan mempertimbangkan urgensi atau jumlah barang atau dokumen.
|
||
(4)
|
Dokumen Pelengkap Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat disampaikan dalam bentuk hardcopy dalam hal Kepala Kantor menetapkan lain dengan mempertimbangkan keterbatasan sistem PDE kepabeanan.
|
|||
(5)
|
Selain dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengusaha wajib menyampaikan dokumen bukti pembayaran bea masuk, Cukai, dan/atau pajak dalam rangka impor atau bukti pembayaran bea keluar, atas pengeluaran barang dari Kawasan Bebas.
|
|||
(6)
|
Penyampaian bukti pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak diperlukan dalam hal pembayaran bea masuk, cukai, pajak, dan/atau bea keluar dilakukan melalui sistem pembayaran yang terintegrasi dengan sistem PDE kepabeanan di Kantor Pabean.
|
|||
(7)
|
Sistem PDE kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat terhubung dengan sistem Indonesia National Single Window (INSW) dan/atau ekosistem logistik Kawasan Bebas sebagai bagian dari ekosistem logistik nasional (National Logistic Ecosystem/NLE) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4).
|
|||
(8)
|
Tata cara penyampaian Dokumen Pelengkap Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa surat keterangan asal (certificate of origin) untuk kepentingan pemberian tarif preferensi, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pengenaan tarif bea masuk atas barang impor berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 42 |
||||
(1)
|
Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf a dapat dilakukan perubahan atau pembatalan.
|
|||
(2)
|
Tata cara perubahan atau pembatalan Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemberitahuan pabean dalam rangka pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 43 |
||||
(1)
|
Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) ayat huruf a dapat disampaikan ke Kantor Pabean secara berkala setelah mendapat persetujuan Kepala Kantor Pabean atas pemasukan atau pengeluaran barang yang dilakukan oleh:
|
|||
|
a.
|
pengusaha yang telah ditetapkan sebagai pengusaha yang:
|
||
|
|
1.
|
mendapat pengakuan sebagai operator ekonomi bersertifikat (authorized economic operator) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) huruf a; atau
|
|
|
|
2.
|
telah ditetapkan sebagai Mitra Utama Kepabeanan (MITA Kepabeanan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) huruf b; atau
|
|
|
b.
|
pengusaha selain huruf a yang memasukkan atau mengeluarkan barang dengan memenuhi ketentuan sebagai berikut:
|
||
|
|
1.
|
telah memenuhi ketentuan pembatasan, dalam hal barang dimasukkan ke atau akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas wajib memenuhi ketentuan pembatasan;
|
|
|
|
2.
|
jumlah barang yang dimasukkan ke atau atau akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas dapat diukur dengan alat ukur yang berada di bawah pengawasan Kantor Pabean; dan
|
|
|
|
3.
|
jenis barang yang dimasukkan ke atau akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas melalui pipa atau transmisi, atau yang pembongkaran atau pemuatannya melalui pipa atau transmisi, tidak berubah-ubah.
|
|
(2)
|
Untuk penyampaian Pemberitahuan Pabean secara berkala atas pengeluaran barang asal luar Daerah Pabean ke tempat lain dalam Daerah Pabean, selain harus mendapat persetujuan Kepala Kantor Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengusaha harus menyerahkan jaminan.
|
|||
(3)
|
Kepala Kantor Pabean menetapkan bentuk jaminan yang harus diserahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan manajemen risiko.
|
|||
(4)
|
Bentuk jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai jaminan dalam rangka kepabeanan.
|
|||
(5)
|
Tata cara penyampaian Pemberitahuan Pabean secara berkala dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB IX
PEMERIKSAAN PABEAN
Pasal 44 |
||||
(1)
|
Dalam rangka pengawasan terhadap pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas, dapat dilakukan pemeriksaan pabean dengan tetap menjamin kelancaran arus barang.
|
|||
(2)
|
Pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penelitian dokumen dan pemeriksaan fisik.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kesatu
Penelitian Dokumen Pasal 45 |
||||
(1)
|
Terhadap barang yang akan:
|
|||
|
a.
|
dimasukkan ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a dari:
|
||
|
|
1.
|
luar Daerah Pabean;
|
|
|
|
2.
|
Kawasan Bebas lain;
|
|
|
|
3.
|
tempat penimbunan berikat; atau
|
|
|
|
4.
|
kawasan ekonomi khusus; atau
|
|
|
b.
|
dikeluarkan dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1),
|
||
|
dilakukan penelitian dokumen.
|
|||
(2)
|
Penelitian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara selektif berdasarkan manajemen risiko.
|
|||
(3)
|
Dikecualikan dari penelitian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap pemasukan barang ke Kawasan Bebas yang dilakukan dari:
|
|||
|
a.
|
tempat lain dalam Daerah Pabean; dan
|
||
|
b.
|
luar daerah pabean berupa barang konsumsi untuk kebutuhan penduduk di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a.
|
||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pemeriksaan Fisik Pasal 46 |
||||
(1)
|
Terhadap barang yang akan:
|
|||
|
a.
|
dimasukkan ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a; atau
|
||
|
b.
|
dikeluarkan dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1),
|
||
|
dapat dilakukan pemeriksaan fisik.
|
|||
(2)
|
Pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara selektif berdasarkan manajemen risiko atau nota hasil intelijen.
|
|||
(3)
|
Dalam hal informasi intelijen diperoleh setelah dilakukan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2), unit pengawasan dapat menerbitkan nota hasil intelijen.
|
|||
(4)
|
Terhadap barang yang diterbitkan nota hasil intelijen sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilakukan pemeriksaan fisik.
|
|||
(5)
|
Pemeriksaan fisik atas pemasukan dari luar Daerah Pabean ke Kawasan Bebas berupa barang konsumsi untuk kebutuhan penduduk di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a hanya dilakukan berdasarkan nota hasil intelijen.
|
|||
(6)
|
Pejabat Bea dan Cukai membubuhkan paraf pada kemasan barang yang telah diperiksa dan bertanggung jawab terhadap jumlah dan jenis barang yang dilakukan pemeriksaan fisik dan tidak bertanggung jawab terhadap barang yang tidak dilakukan pemeriksaan fisik.
|
|||
(7)
|
Terhadap barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas yang pemeriksaan fisiknya dilakukan di luar Kawasan Pabean, harus dilakukan pengawasan stuffing dan penyegelan pada peti kemas atau kemasan barang.
|
|||
(8)
|
Tata cara pemeriksaan fisik dan penyelesaian atas hasil pemeriksaan fisik dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Penelitian Tarif Dan Nilai Pabean Pasal 47 |
||||
(1)
|
Pejabat Bea dan Cukai melakukan penelitian dan penetapan terhadap tarif dan nilai pabean yang diberitahukan atas:
|
|||
|
a.
|
Pemberitahuan Pabean pemasukan barang ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud Pasal 22 ayat (2) huruf a angka 1; dan
|
||
|
b.
|
Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud Pasal 30 ayat (2),
|
||
|
yang telah mendapatkan nomor dan tanggal pendaftaran.
|
|||
(2)
|
Penelitian tarif dan nilai pabean atas Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pendaftaran Pemberitahuan Pabean.
|
|||
(3)
|
Penelitian tarif dan penetapan nilai pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan terhadap pemasukan barang ke dan/atau pengeluaran barang dari Kawasan Bebas yang dilakukan oleh:
|
|||
|
a.
|
pengusaha yang telah mendapat pengakuan sebagai operator ekonomi bersertifikat (authorized economic operator) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) huruf a;
|
||
|
b.
|
pengusaha yang telah ditetapkan sebagai Mitra Utama Kepabeanan (MITA Kepabeanan) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) huruf b;
|
||
|
c.
|
pengusaha produsen dengan kategori risiko rendah;
|
||
|
d.
|
pengusaha yang mendapatkan fasilitas dari Badan Koordinasi Penanaman Modal;
|
||
|
e.
|
pengusaha yang mendapatkan fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) Pembebasan;
|
||
|
f.
|
pengusaha yang mendapatkan fasilitas pembebasan dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; dan
|
||
|
g.
|
instansi Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang mengimpor secara langsung.
|
||
(4)
|
Penelitian dan penetapan tarif dan nilai pabean oleh Pejabat Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan terhadap Pemberitahuan Pabean atau pemberitahuan yang diajukan pengusaha, instansi pemerintah pusat, atau pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), apabila terdapat informasi atau petunjuk yang dapat dipertanggungjawabkan dari unit pada Direktorat Jenderal Bea dan. Cukai dan/atau instansi di luar Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||
(5)
|
Atas penelitian dan penetapan tarif dan nilai pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan penetapan kembali yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai:
|
|||
|
a.
|
penelitian ulang;
|
||
|
b.
|
audit kepabeanan; dan/atau
|
||
|
c.
|
mekanisme penetapan kembali tarif dan nilai pabean lainnya.
|
||
(6)
|
Tata cara penelitian dokumen dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Manajemen Risiko Dalam Pemeriksaan Pabean Pasal 48 |
||||
Manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) dan Pasal 46 ayat (2) dilakukan dalam bentuk penjaluran dengan mempertimbangkan:
|
||||
a.
|
profil operator ekonomi;
|
|||
b.
|
profil komoditi;
|
|||
c.
|
data informasi dari SKP dan/atau pertukaran data dengan instansi lain; dan/atau
|
|||
d.
|
informasi intelijen, baik yang berasal dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Direktorat Jenderal Pajak, atau instansi/lembaga teknis lain.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB X
PEMERIKSAAN FISIK ATAS PEMASUKAN BARANG ASAL TEMPAT LAIN DALAM DAERAH PABEAN KE KAWASAN BEBAS DALAM RANGKA PEMBERIAN FASILITAS PERPAJAKAN BERUPA PPN TIDAK DIPUNGUT
Pasal 49 |
||||
(1)
|
Dalam rangka pemberian fasilitas perpajakan berupa PPN tidak dipungut atas barang yang dimasukkan ke Kawasan Bebas dari tempat lain dalam Daerah Pabean, pengajuan Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) huruf a angka 2 dilampiri dengan faktur pajak yang digunakan pada penyerahan barang kena pajak yang mendapat fasilitas PPN tidak dipungut.
|
|||
(2)
|
Faktur pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya dapat digunakan untuk 1 (satu) Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) huruf a angka 2.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 50 |
||||
(1)
|
Dalam rangka pemberian fasilitas perpajakan berupa PPN tidak dipungut atas barang yang dimasukkan ke Kawasan Bebas dari tempat lain dalam Daerah Pabean, dapat dilakukan pemeriksaan fisik.
|
|||
(2)
|
Pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan:
|
|||
|
a.
|
manajemen risiko;
|
||
|
b.
|
nota intelijen di bidang perpajakan; atau
|
||
|
c.
|
nota hasil intelijen (NHI) di bidang kepabeanan dan cukai.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 51 |
||||
(1)
|
Pemeriksaan fisik berdasarkan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf a dilakukan secara bersama-sama oleh Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||
(2)
|
Hasil pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dinyatakan dalam laporan hasil pemeriksaan Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) huruf a angka 2 oleh pegawai pada Direktorat Jenderal Pajak dan ditandatangani secara bersama oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak dan pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 52 |
||||
Pemeriksaan fisik berdasarkan nota intelijen di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf b dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 53 |
||||
(1)
|
Pemeriksaan fisik berdasarkan Nota Hasil Intelijen (NHI) di bidang kepabeanan dan Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf c dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||
(2)
|
Hasil pemeriksaan fisik berdasarkan Nota Hasil Intelijen (NHI) di bidang kepabeanan dan cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk mendapat penanganan lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
|||
(3)
|
Tata cara pemeriksaan fisik berdasarkan Nota Hasil Intelijen (NHI) di bidang kepabeanan dan Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 54 |
||||
(1)
|
Pemeriksaan fisik berdasarkan manajemen risiko dan nota intelijen perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf a dan huruf b dilakukan di tempat penyimpanan barang milik pengusaha.
|
|||
(2)
|
Pemeriksaan fisik berdasarkan nota hasil intelijen (NHI) di bidang kepabeanan dan cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf c dilakukan di tempat penyimpanan barang milik pengusaha atau di Kawasan Pabean.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 55 |
||||
(1)
|
Terhadap barang asal tempat lain dalam Daerah Pabean yang dimasukan ke Kawasan Bebas yang akan dilakukan pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), Pejabat Bea dan Cukai melekatkan tanda pengaman saat pengeluaran barang dari Kawasan Pabean atau Tempat Lain setelah barang mendapat Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB).
|
|||
(2)
|
Tanda pengaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 56 |
||||
(1)
|
Penerapan manajemen risiko dalam rangka melaksanakan pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf a dilakukan berdasarkan profil risiko yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak.
|
|||
(2)
|
Profil risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diakses oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam rangka pemutakhiran data.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 57 |
||||
Tata cara:
|
||||
a.
|
penyusunan laporan hasil pemeriksaan dan penyelesaian hasil pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2);
|
|||
b.
|
pemeriksaan fisik berdasarkan Nota Hasil Intelijen (NHI) di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52;
|
|||
c.
|
pelaksanaan pemeriksaan fisik di tempat penyimpanan barang milik pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1); dan
|
|||
d.
|
pelekatan tanda pengaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2),
|
|||
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan di Kawasan Bebas.
|
||||
|
|
|
|
|
BAB XI
PENGHITUNGAN BEA MASUK, CUKAI, DAN PAJAK
Bagian Kesatu Nilai Pabean Pasal 58 |
||||
(1)
|
Nilai pabean untuk penghitungan bea masuk dan pajak dalam rangka pemasukan barang dari luar Daerah Pabean ke Kawasan Bebas yakni nilai transaksi dari barang yang bersangkutan.
|
|||
(2)
|
Nilai pabean untuk penghitungan bea masuk dan pajak dalam rangka pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus, yakni nilai pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada saat barang asal luar Daerah Pabean dimasukkan ke Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus.
|
|||
(3)
|
Nilai pabean untuk penghitungan bea masuk dan pajak penghasilan Pasal 22 dalam rangka pengeluaran barang dari Kawasan Bebas berupa:
|
|||
|
a.
|
barang dan/atau bahan baku dari luar Daerah Pabean yang tanpa dilakukan Pengolahan di Kawasan Bebas, menggunakan nilai pabean pada saat barang asal luar Daerah Pabean dimasukkan ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2);
|
||
|
b.
|
barang hasil produksi di Kawasan Bebas, menggunakan:
|
||
|
|
1.
|
nilai pabean pemasukan barang asal luar Daerah Pabean ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dalam hal menggunakan konversi penggunaan barang dan/atau bahan baku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (4) huruf b; atau
|
|
|
|
2.
|
harga jual pada saat pengeluaran barang hasil produksi di Kawasan Bebas dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean; dan
|
|
|
c.
|
barang selain huruf a dan huruf b berupa:
|
||
|
|
1.
|
sisa dari proses produksi di Kawasan Bebas yang berupa waste atau scrap; atau
|
|
|
|
2.
|
barang modal yang dimusnahkan dengan cara perusakan dengan menghilangkan fungsi utamanya dan masih memiliki nilai ekonomis,
|
|
|
menggunakan harga jual pada saat pengeluaran dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean.
|
|||
(4)
|
Dalam hal nilai pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi, nilai pabean ditentukan secara hierarki berdasarkan nilai transaksi barang identik, nilai transaksi barang serupa, metode deduksi, metode komputasi, atau tata cara yang wajar dan konsisten.
|
|||
(5)
|
Tata cara penentuan nilai pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 59 |
||||
(1)
|
Nilai transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2) merupakan harga yang sebenarnya dibayar atau yang seharusnya dibayar oleh pembeli kepada penjual atas barang yang dijual untuk dimasukkan ke Kawasan Bebas ditambah dengan biaya-biaya dan/atau nilai-nilai yang harus ditambahkan pada nilai transaksi sepanjang biaya-biaya dan/atau nilai-nilai tersebut belum termasuk dalam harga yang sebenarnya dibayar atau yang seharusnya dibayar.
|
|||
(2)
|
Dalam hal harga yang seharusnya dibayar dan/atau biaya biaya dan/atau nilai-nilai yang harus ditambahkan pada nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dapat ditentukan nilainya pada saat pengajuan Pemberitahuan Pabean untuk pengeluaran dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean, pengusaha dapat melakukan deklarasi inisiatif (voluntary declaration) dan/atau pembayaran inisiatif (voluntary payment).
|
|||
(3)
|
Tata cara penentuan nilai transaksi atau biaya-biaya dan/atau nilai-nilai yang harus ditambahkan pada nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), serta deklarasi inisiatif (voluntary declaration) dan/atau pembayaran inisiatif (voluntary payment) sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai deklarasi inisiatif (voluntary declaration) dan pembayaran inisiatif (voluntary payment).
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Klasifikasi Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Barang Dalam Rangka Pemasukan Dan Pengeluaran Ke Dan Dari Kawasan Bebas Pasal 60 |
||||
(1)
|
Klasifikasi dan pembebanan tarif bea masuk untuk penghitungan bea masuk, bea keluar dan pajak dalam rangka pemasukan dan pengeluaran ke dan dari Kawasan Bebas berpedoman pada Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI).
|
|||
(2)
|
Dalam hal terjadi perubahan ketentuap yang mengatur mengenai sistem klasifikasi dan pembebanan tarif bea masuk yang berbeda dengan Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI), berlaku ketentuan mengenai perubahan sistem klasifikasi dan pembebanan tarif bea masuk dimaksud.
|
|||
(3)
|
Ketentuan mengenai sistem klasifikasi dan pembebanan tarif bea masuk berlaku pada saat Pemberitahuan Pabean mendapat nomor dan tanggal pendaftaran di Kantor Pabean.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 61 |
||||
(1)
|
Tarif preferensi dapat diberikan kepada pengusaha atas pengeluaran barang hasil produksi di Kawasan Bebas yang menggunakan bahan baku dan/atau bahan penolong asal luar Daerah Pabean dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean.
|
|||
(2)
|
Tata cara pengenaan tarif preferensi di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan. sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pengenaan tarif bea masuk atas barang impor berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Dasar Penghitungan Pungutan Negara Pasal 62 |
||||
(1)
|
Penghitungan pungutan negara atas pengeluaran barang dan/atau bahan baku asal luar Daerah Pabean yang tanpa dilakukan Pengolahan di Kawasan Bebas, dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
bea masuk dihitung berdasarkan:
|
||
|
|
1.
|
klasifikasi dan nilai pabean yang berlaku pada saat barang dan/atau bahan baku dimasukkan dari luar daerah pabean ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada Pasal 47 ayat (1) huruf a; dan
|
|
|
|
2.
|
pembebanan yang berlaku pada saat pemberitahuan pabean untuk pengeluaran barang dan/atau bahan baku dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean didaftarkan;
|
|
|
b.
|
Cukai dihitung berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Cukai;
|
||
|
c.
|
PPN dihitung berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan di Kawasan Bebas; dan/atau
|
||
|
d.
|
Pajak Penghasilan Pasal 22 dihitung berdasarkan tarif yang berlaku dari nilai pabean sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 1 ditambah dengan bea masuk pada saat barang dan/atau bahan baku dimasukkan ke Kawasan Bebas.
|
||
(2)
|
Dasar penghitungan pungutan negara atas pengeluaran barang atau bahan baku asal luar Daerah Pabean yang tanpa dilakukan Pengolahan di Kawasan Bebas ke Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
bea masuk dihitung berdasarkan:
|
||
|
|
1.
|
klasifikasi dan nilai pabean yang berlaku pada saat barang dan/atau bahan baku dimasukkan dari luar daerah pabean ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada Pasal 47 ayat (1); dan
|
|
|
|
2.
|
pembebanan yang berlaku pada saat Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dan/atau bahan baku dari Kawasan Bebas ke Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus didaftarkan;
|
|
|
b.
|
Cukai dihitung berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Cukai;
|
||
|
c.
|
PPN dihitung berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan di Kawasan Bebas; dan/atau
|
||
|
d.
|
pajak penghasilan Pasal 22 dihitung berdasarkan tarif yang berlaku dari nilai pabean sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 1 ditambah dengan bea masuk pada saat barang dan/atau bahan baku dimasukkan ke Kawasan Bebas.
|
||
(3)
|
Bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan ayat (2) huruf d, termasuk bea masuk anti dumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan/atau bea masuk pembalasan.
|
|||
(4)
|
Dalam hal pada saat pemasukan barang dan/atau bahan baku asal luar Daerah Pabean ke Kawasan Bebas dibebaskan dari pengenaan bea masuk anti dumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan/atau bea masuk pembalasan, saat pengeluaran barang dan/atau bahan baku asal luar Daerah Pabean yang tan.pa dilakukan Pengolahan di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipungut bea masuk anti dumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan/atau bea masuk pembalasan.
|
|||
(5)
|
Pemungutan bea masuk anti dumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan/atau bea masuk pembalasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilakukan berdasarkan tarif yang berlaku pada saat pengeluaran barang dan/atau bahan baku dari Kawasan Bebas.
|
|||
(6)
|
Dikecualikan dari pemungutan bea masuk anti dumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan/atau bea masuk pembalasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), jika bahan baku asal luar Daerah Pabean:
|
|||
|
a.
|
telah dilakukan Pengolahan sehingga menjadi barang yang baru berupa barang hasil produksi di Kawasan Bebas, dan/atau menjadi bagian dari barang hasil produksi Kawasan Bebas; atau
|
||
|
b.
|
dipergunakan untuk keperluan memperbaiki barang lain dan menjadi bagian dari barang yang dilakukan perbaikan tersebut.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 63 |
||||
(1)
|
Penghitungan pungutan negara atas barang hasil produksi Kawasan Bebas yang dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
bea masuk dihitung berdasarkan:
|
||
|
|
1.
|
harga jual pada saat barang hasil produksi Kawasan Bebas dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean;
|
|
|
|
2.
|
klasifikasi barang hasil produksi Kawasan Bebas yang dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean; dan
|
|
|
|
3.
|
pembebanan yang berlaku pada saat pemberitahuan pabean untuk pengeluaran barang hasil produksi Kawasan Bebas dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean didaftarkan;
|
|
|
b.
|
Cukai dihitung berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Cukai;
|
||
|
c.
|
PPN dihitung berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan di Kawasan Bebas; dan/atau
|
||
|
d.
|
Pajak Penghasilan Pasal 22 dihitung berdasarkan tarif yang berlaku dari harga jual ditambah dengan bea masuk pada saat barang hasil produksi Kawasan Bebas dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean.
|
||
(2)
|
Atas barang hasil produksi Kawasan Bebas yang dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean dapat dikecualikan dari ketentuan penghitungan pungutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
barang hasil produksi Kawasan Bebas dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean oleh pengusaha yang memiliki konversi penggunaan barang atau bahan baku asal luar Daerah Pabean yang jelas, terukur, dan konsisten; dan
|
||
|
b.
|
pada saat pemasukan ke Kawasan Bebas sudah terjadi transaksi jual beli.
|
||
(3)
|
Penghitungan pungutan negara atas barang hasil produksi Kawasan Bebas yang dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
bea masuk dihitung berdasarkan:
|
||
|
|
1.
|
klasifikasi dan nilai pabean yang berlaku pada saat barang dan/atau bahan baku dimasukkan dari luar daerah pabean ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada Pasal 47 ayat (1) huruf a; dan
|
|
|
|
2.
|
pembebanan yang berlaku pada saat pemberitahuan pabean untuk pengeluaran barang hasil produksi Kawasan Bebas, dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean didaftarkan;
|
|
|
b.
|
Cukai dihitung berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Cukai;
|
||
|
c.
|
PPN dihitung berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan di Kawasan Bebas; dan/atau
|
||
|
d.
|
Pajak Penghasilan Pasal 22 dihitung berdasarkan tarif yang berlaku dari nilai pabean ditambah dengan bea masuk sebagaimana dimaksud huruf a pada saat barang dan/atau bahan baku dimasukkan dari luar Daerah Pabean ke Kawasan Bebas.
|
||
(4)
|
Dalam hal pembebanan tarif bea masuk untuk bahan baku lebih tinggi dari pembebanan tarif bea masuk untuk barang hasil produksi Kawasan Bebas, dasar yang digunakan untuk menghitung besarnya pengenaan bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yaitu pembebanan tarif bea masuk barang hasil produksi Kawasan Bebas yang berlaku pada saat dikeluarkan dari Kawasan Bebas.
|
|||
(5)
|
Penghitungan pungutan negara atas pengeluaran bahan baku asal luar Daerah Pabean yang dipergunakan untuk keperluan memperbaiki barang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (6) huruf b dilaksanakan sesuai dengan penghitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
|
|||
(6)
|
Penghitungan pungutan negara atas pengeluaran barang hasil produksi di Kawasan Bebas ke Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus dilaksanakan sesuai dengan penghitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (3).
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 64 |
||||
(1)
|
Terhadap:
|
|||
|
a.
|
harga jual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) huruf a angka 1;
|
||
|
b.
|
konversi penggunaan barang atau bahan baku asal luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) huruf a, ayat (5), dan ayat (6); dan/atau
|
||
|
c.
|
transaksi jual beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) huruf b,
|
||
|
dapat dilakukan pengujian oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai, atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk, secara periodik .dan berdasarkan manajemen risiko.
|
|||
(2)
|
Untuk kepentingan pengawasan dan pengamanan penerimaan negara, pengujian terhadap konversi penggunaan barang atau bahan baku dan transaksi jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan bersama dengan Direktorat Jenderal Pajak.
|
|||
(3)
|
Dalam hal hasil pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) ditemukan pelanggaran yang bersifat administratif, pelanggaran dimaksud ditindaklanjuti dengan pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(4)
|
Dalam hal hasil pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) terdapat kesengajaan serta terdapat dugaan adanya tindak pidana kepabeanan, dilakukan penanganan lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Nilai Dasar Penghitungan Bea Masuk (NDPBM) Pasal 65 |
||||
(1)
|
Untuk penghitungan bea masuk, Cukai untuk pemasukan barang kena cukai dari luar Daerah Pabean yang pelunasan cukainya dengan pembayaran, dan Pajak Penghasilan Pasal 22, dipergunakan Nilai Dasar Penghitungan Bea Masuk (NDPBM) yang berlaku pada saat Pemberitahuan Pabean didaftarkan ke Kantor Pabean.
|
|||
(2)
|
Pemberitahuan Pabean yang didaftarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Pemberitahuan Pabean yang telah diisi secara lengkap dan benar, dan telah diterima oleh Pejabat Bea dan Cukai atau SKP di Kantor Pabean.
|
|||
(3)
|
Tata cara penghitungan Nilai Dasar Penghitungan Bea Masuk (NDPBM) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai nilai tukar mata uang yang digunakan untuk perhitungan dan pembayaran bea masuk.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Pembayaran Bea Masuk, Bea Keluar, Cukai, Pajak Penghasilan Pasal 22, dan/atau Sanksi Administrasi Berupa Denda Pasal 66 |
||||
(1)
|
Pengusaha melakukan pembayaran bea masuk, bea keluar, PPN, Pajak Penghasilan Pasal 22, Cukai, dan/atau sanksi administrasi berupa denda berdasarkan:
|
|||
|
a.
|
Pemberitahuan Pabean yang dibuat oleh Pengusaha dan telah diajukan ke Kantor Pabean;
|
||
|
b.
|
dokumen Cukai; dan/atau
|
||
|
c.
|
surat penetapan.
|
||
(2)
|
Untuk melakukan pembayaran bea masuk, bea keluar, PPN, Pajak Penghasilan Pasal 22, Cukai, dan/atau sanksi administrasi berupa denda, SKP atau Pejabat Bea dan Cukai menerbitkan kode billing.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 67 |
||||
(1)
|
Pembayaran bea masuk dan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) dapat dilakukan dengan cara pembayaran tunai atau berkala.
|
|||
(2)
|
Pembayaran bea keluar, Cukai, dan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) dilakukan dengan cara pembayaran tunai.
|
|||
(3)
|
Pembayaran bea masuk dan Pajak Penghasilan Pasal 22 secara berkala hanya dapat dilakukan dengan persetujuan Kepala Kantor Pabean berdasarkan permohonan pengusaha untuk:
|
|||
|
a.
|
pengeluaran barang yang dilakukan oleh pengusaha yang:
|
||
|
|
1.
|
termasuk kategori berisiko rendah;
|
|
|
|
2.
|
kegiatan pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean rutin dan frekuensinya tinggi; dan
|
|
|
|
3.
|
menyerahkan jaminan; atau
|
|
|
b.
|
pengeluaran barang yang dilakukan oleh pengusaha yang diberikan perlakuan tertentu di bidang kepabeanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) setelah diserahkan jaminan.
|
||
(4)
|
Pembayaran tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan paling lambat pada saat Pemberitahuan Pabean didaftarkan.
|
|||
(5)
|
Tata cara pembayaran bea masuk, bea keluar, Cukai, Pajak Penghasilan Pasal 22, dan/atau sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan, perpajakan, dan/atau cukai.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
Keberatan Pasal 68 |
||||
(1)
|
Orang atau pengusaha dapat mengajukan keberatan secara tertulis atas penetapan yang dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai mengenai:
|
|||
|
a.
|
tarif dan/atau nilai pabean untuk penghitungan bea masuk yang mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk, cukai, PPN, dan pajak penghasilan Pasal 22;
|
||
|
b.
|
selain tarif dan/atau nilai pabean untuk penghitungan bea masuk;
|
||
|
c.
|
pengenaan sanksi administrasi berupa denda; atau
|
||
|
d.
|
penetapan bea keluar.
|
||
(2)
|
Tata cara pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai keberatan di bidang kepabeanan dan Cukai.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XII
AUDIT KEPABEANAN DAN AUDIT CUKAI
Pasal 69 |
||||
(1)
|
Audit kepabeanan dan/atau audit Cukai dilakukan terhadap Orang yang bertindak sebagai:
|
|||
|
a.
|
pengusaha yang memasukkan dan/atau mengeluarkan barang ke dan dari Kawasan Bebas, pengusaha TPS, PPJK, atau pengusaha pengangkutan sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan; dan/atau
|
||
|
b.
|
pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, penyalur, dan pengguna barang kena cukai yang mendapatkan fasilitas pembebasan cukai sesuai dengan Undang-Undang Cukai.
|
||
(2)
|
Audit kepabeanan dan/atau audit Cukai bertujuan untuk menguji tingkat kepatuhan Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas pelaksanaan pemenuhan ketentuan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan/atau Cukai.
|
|||
(3)
|
Audit kepabeanan dan/atau audit Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat melibatkan instansi teknis atau Badan Pengusahaan Kawasan.
|
|||
(4)
|
Tata cara pelaksanaan audit kepabeanan dan/atau audit Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai audit kepabeanan dan audit Cukai.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XIII
KETENTUAN LARANGAN DAN PEMBATASAN
Pasal 70 |
||||
(1)
|
Ketentuan mengenai larangan diberlakukan terhadap:
|
|||
|
a.
|
pemasukan barang dari luar Daerah Pabean ke Kawasan Bebas; dan
|
||
|
b.
|
pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean.
|
||
(2)
|
Atas pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean belum diberlakukan ketentuan pembatasan, kecuali atas pemasukan barang untuk kepentingan perlindungan konsumen atas barang yang diedarkan di Kawasan Bebas, kesehatan, keamanan, dan lingkungan hidup.
|
|||
(3)
|
Ketentuan pembatasan diberlakukan atas pengeluaran barang:
|
|||
|
a.
|
asal tempat lain dalam Daerah Pabean atau yang sepenuhnya diperoleh di Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean; dan
|
||
|
b.
|
dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean.
|
||
(4)
|
Terhadap ketentuan pembatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat dikecualikan berdasarkan penetapan Dewan Kawasan.
|
|||
(5)
|
Ketentuan pembatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dikecualikan atas:
|
|||
|
a.
|
pengeluaran kembali barang asal tempat lain dalam Daerah Pabean ke tempat lain dalam Daerah Pabean;
|
||
|
b.
|
pengeluaran barang yang sepenuhnya diperoleh di Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean;
|
||
|
c.
|
pengeluaran barang hasil produksi di Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean atau ke tempat lain dalam Daerah Pabean; atau
|
||
|
d.
|
barang dari luar Daerah Pabean yang pada saat pemasukan ke Kawasan Bebas telah dilakukan pemenuhan ketentuan pembatasan.
|
||
(6)
|
Tata cara pemasukan barang ke Kawasan Bebas Sabang dari luar Daerah Pabean yang terkena ketentuan pembatasan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 71 |
||||
(1)
|
Ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) dan ketentuan pembatasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan oleh instansi teknis.
|
|||
(2)
|
Menteri teknis/pimpinan lembaga pemerintah non kementerian harus menyampaikan ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) dan ketentuan pembatasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2) dan (3) kepada Menteri.
|
|||
(3)
|
Pengecualian ketentuan pembatasan yang ditetapkan oleh Dewan Kawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (4) harus disampaikan oleh Ketua Dewan Kawasan kepada Menteri.
|
|||
(4)
|
Tata cara pengawasan pemenuhan ketentuan larangan dan pembatasan yang telah disampaikan kepada Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kepabeanan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 72 |
||||
(1)
|
Pemenuhan kewajiban ketentuan pembatasan atas pemasukan barang ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2) dan pengeluaran barang dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (3) dapat dilakukan oleh:
|
|||
|
a.
|
pengusaha di Kawasan Bebas; atau
|
||
|
b.
|
pengusaha di tempat lain dalam Daerah Pabean yang memiliki barang sebagaimana dalam Pasal 21 ayat 2 huruf d, atau yang menerima barang.
|
||
(2)
|
Pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas perizinan ketentuan pembatasan yang disampaikan dalam Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) atau pemberitahuan lainnya.
|
|||
(3)
|
Pengawasan terhadap pemenuhan ketentuan larangan atau pembatasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 dilakukan berdasarkan pemberitahuan yang disampaikan oleh pengusaha dengan manajemen risiko sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XIV
KENDARAAN BERMOTOR
Pasal 73 |
||||
(1)
|
Kendaraan bermotor dapat dimasukkan ke Kawasan Bebas dari:
|
|||
|
a.
|
luar Daerah Pabean;
|
||
|
b.
|
Tempat Penimbunan Berikat;
|
||
|
c.
|
Kawasan Bebas lain;
|
||
|
d.
|
Kawasan Ekonomi Khusus; atau
|
||
|
e.
|
tempat lain dalam Daerah Pabean.
|
||
(2)
|
Jumlah dan jenis kendaraan bermotor yang dimasukkan ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean ditetapkan oleh Badan Pengusahaan Kawasan.
|
|||
(3)
|
Kendaraan bermotor dapat dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke:
|
|||
|
a.
|
luar Daerah Pabean;
|
||
|
b.
|
Kawasan Bebas lain; atau
|
||
|
c.
|
tempat lain dalam Daerah Pabean.
|
||
(4)
|
Pengeluaran kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dilakukan terhadap kendaraan bermotor asal tempat penimbunan berikat, kawasan ekonomi khusus, tempat lain dalam Daerah Pabean, atau hasil produksi Kawasan Bebas.
|
|||
(5)
|
Kendaraan bermotor asal luar Daerah Pabean tidak dapat dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean.
|
|||
(6)
|
Pemasukan kendaraan bermotor dari luar Daerah Pabean ke Kawasan Bebas yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 wajib dikeluarkan kembali ke luar Daerah Pabean.
|
|||
(7)
|
Tata cara pemberian layanan pemasukan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengeluaran kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 74 |
||||
(1)
|
Terhadap kendaraan bermotor yang dimasukkan ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) diterbitkan surat keterangan pemasukan kendaraan bermotor.
|
|||
(2)
|
Penerbitan surat keterangan pemasukan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan atas:
|
|||
|
a.
|
kendaraan yang telah diregistrasi dan identifikasi oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia;
|
||
|
b.
|
kendaraan yang telah mendapat surat keterangan pemasukan kendaraan bermotor .dari tempat lain dalam Daerah Pabean Indonesia (dalam bentuk form A atau form B);
|
||
|
c.
|
kendaraan yang diproduksi di tempat lain dalam Daerah Pabean selain Kawasan Berikat, KEK, atau Kawasan lain yang mendapat fasilitas fiskal; dan
|
||
|
d.
|
kendaraan yang dimasukkan sementara untuk tujuan tertentu dengan izin Kepala Kantor Pabean.
|
||
(3)
|
Terhadap pengeluaran kendaraan bermotor dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean diterbitkan Formulir FTZ.
|
|||
(4)
|
Formulir FTZ sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diterbitkan untuk kendaraan bermotor hasil produksi Kawasan Bebas.
|
|||
(5)
|
Surat keterangan pemasukan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan untuk setiap unit kendaraan bermotor yang dimasukkan ke Kawasan Bebas dan Formulir FTZ sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan untuk setiap unit kendaraan bermotor produksi Kawasan Bebas yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas.
|
|||
(6)
|
Penyampaian permohonan dan penerbitan surat keterangan pemasukan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Formulir FTZ sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dapat dilakukan dalam bentuk data elektronik atau tulisan di atas formulir.
|
|||
(7)
|
Tata cara penerbitan surat keterangan pemasukan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Formulir FTZ sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilaksanakan dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 75 |
||||
(1)
|
Terhadap kendaraan bermotor sebagai Sarana Pengangkut berupa angkutan darat asal tempat lain dalam Daerah Pabean yang:
|
|||
|
a.
|
dimasukkan ke Kawasan Bebas dengan tujuan untuk dikeluarkan kembali dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean; dan
|
||
|
b.
|
dikeluarkan kembali dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean,
|
||
|
dikecualikan dari kewajiban penerbitan surat keterangan pemasukan kendaraan bermotor atau Formulir FTZ.
|
|||
(2)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam hal kendaraan bermotor sebagai Sarana Pengangkut berupa angkutan darat telah memiliki registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor dari Kepolisian Negara Republik Indonesia di tempat lain dalam Daerah Pabean.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XV
BARANG YANG DIBAWA OLEH PENUMPANG DAN AWAK SARANA PENGANGKUT
Pasal 76 |
||||
(1)
|
Barang yang dibawa oleh penumpang atau awak Sarana Pengangkut terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
barang pribadi penumpang atau barang pribadi awak Sarana Pengangkut yang digunakan/dipakai untuk keperluan pribadi termasuk sisa perbekalan (personal use); dan/atau
|
||
|
b.
|
barang penumpang atau barang awak Sarana Pengangkut selain yang digunakan/dipakai untuk keperluan pribadi (non personal use).
|
||
(2)
|
Barang pribadi penumpang atau barang pribadi awak Sarana Pengangkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas barang yang diperoleh dari:
|
|||
|
a.
|
luar Daerah Pabean, yang tidak akan dibawa kembali ke luar Daerah Pabean;
|
||
|
b.
|
Kawasan Bebas atau tempat lain dalam Daerah Pabean, yang tidak akan dibawa kembali ke Kawasan Bebas atau tempat lain dalam Daerah Pabean;
|
||
|
c.
|
luar Daerah Pabean, yang akan digunakan selama berada di Kawasan Bebas dan akan dibawa kembali pada saat Penumpang atau Awak Sarana Pengangkut meninggalkan Kawasan Bebas; atau
|
||
|
d.
|
Kawasan Bebas, yang akan digunakan selama berada di luar Daerah Pabean atau tempat lain dalam Daerah Pabean dan akan dibawa kembali pada saat Penumpang atau Awak Sarana Pengangkut menuju ke Kawasan Bebas.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 77 |
||||
(1)
|
Terhadap pemasukan barang bawaan pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf a ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean, diberikan pembebasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.
|
|||
(2)
|
Terhadap pemasukan barang bawaan pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf a berupa barang kena cukai ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean, diberikan pembebasan sampai dengan jumlah tertentu.
|
|||
(3)
|
Terhadap barang bawaan pribadi berupa barang kena cukai dari luar Daerah Pabean yang melebihi jumlah tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), atas kelebihan jumlah tersebut langsung dimusnahkan oleh Pejabat Bea dan Cukai dengan atau tanpa disaksikan penumpang atau awak Sarana Pengangkut yang bersangkutan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 78 |
||||
(1)
|
Terhadap pengeluaran barang bawaan pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf a dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean, diberikan pembebasan sampai dengan nilai tertentu.
|
|||
(2)
|
Terhadap pengeluaran barang bawaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf b dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean, berlaku ketentuan pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf e.
|
|||
(3)
|
Terhadap barang bawaan Penumpang atau Awak Sarana Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) asal tempat lain dalam Daerah Pabean yang dibawa oleh penumpang atau awak Sarana Pengangkut yang akan melanjutkan kembali perjalanan melalui Kawasan Bebas ke Kawasan Bebas lain atau tempat lain dalam Daerah Pabean, tidak dipungut bea masuk dan pajak dalam rangka pengeluaran barang dari Kawasan Bebas.
|
|||
(4)
|
Terhadap pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penumpang atau awak Sarana Pengangkut memberitahukan kepada Pejabat Bea dan Cukai disertai dengan bukti-bukti.
|
|||
(5)
|
Terhadap barang bawaan penumpang atau awak Sarana Pengangkut berupa barang konsumsi dalam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (5), diberitahukan kepada Pejabat Bea dan Cukai.
|
|||
(6)
|
Untuk kepentingan pengawasan, Pejabat Bea dan Cukai berwenang melakukan pemeriksaan atas pengeluaran barang konsumsi sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
|
|||
(7)
|
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan berdasarkan:
|
|||
|
a.
|
penilaian risiko; dan/atau
|
||
|
b.
|
sistem analisis informasi penumpang, awak Sarana Pengangkut, atau barang kiriman.
|
||
(8)
|
Terhadap barang penumpang, atau barang awak Sarana Pengangkut yang:
|
|||
|
a.
|
tidak diberitahukan sebagaimana dimaksud pada ayat (5);
|
||
|
b.
|
diberitahukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) namun kedapatan jumlah dan/atau jenis tidak sesuai; dan/atau
|
||
|
c.
|
melebihi jumlah dan/atau nilai tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (5),
|
||
|
dilakukan penindakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan cukai.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 79 |
||||
(1)
|
Barang bawaan penumpang atau awak Sarana Pengangkut yang akan meninggalkan Kawasan Bebas menuju luar Daerah Pabean berupa:
|
|||
|
a.
|
perhiasan emas, perhiasan mutiara, dan perhiasan bernilai tinggi yang termasuk dalam kategori jenis barang yang tercantum dalam BAB 71 Buku Tarif Kepabeanan Indonesia;
|
||
|
b.
|
barang yang akan dibawa kembali ke dalam Daerah Pabean;
|
||
|
c.
|
uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain dengan nilai paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta Rupiah) atau mata uang asing yang nilainya setara dengan itu; dan/atau
|
||
|
d.
|
barang ekspor yang dikenakan bea keluar,
|
||
diberitahukan kepada Pejabat Bea dan Cukai, | ||||
(2)
|
Atas barang bawaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, wajib diberitahukan dengan menyampaikan Pemberitahuan Pabean dan mengisi formulir pembawaan uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 80 |
||||
(1)
|
Tata cara:
|
|||
|
a.
|
pemberitahuan barang bawaan penumpang atau awak Sarana Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1);
|
||
|
b.
|
pemberian pembebasan sampai dengan jumlah tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 77 ayat (2); dan
|
||
|
c.
|
pemberian pembebasan sampai dengan nilai tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1),
|
||
|
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai ketentuan ekspor dan impor barang yang dibawa oleh penumpang dan awak Sarana Pengangkut.
|
|||
(2)
|
Tata cara pemasukan dan pengeluaran barang penumpang atau awak Sarana Pengangkut ke dan dari Kawasan Bebas, dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XVI
BARANG KIRIMAN
Pasal 81 |
||||
(1)
|
Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas dapat dilakukan melalui Barang Kiriman.
|
|||
(2)
|
Pemasukan dan pengeluaran barang melalui Barang Kiriman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Penyelenggara Pos.
|
|||
(3)
|
Penyelenggara Pos sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
Penyelenggara Pos Yang Ditunjuk; dan
|
||
|
b.
|
PJT.
|
||
(4)
|
Barang Kiriman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dimasukkan ke Kawasan Bebas dari atau dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke:
|
|||
|
a.
|
luar Daerah Pabean;
|
||
|
b.
|
Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus; atau
|
||
|
c.
|
tempat lain dalam Daerah Pabean.
|
||
(5)
|
Pemasukan Barang Kiriman ke atau pengeluaran Barang Kiriman dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib diberitahukan dengan:
|
|||
|
a.
|
Consignment Note oleh Penyelenggara Pos, dalam hal Barang Kiriman memiliki nilai pabean sampai dengan nilai tertentu; atau
|
||
|
b.
|
Pemberitahuan Pabean pemasukan barang ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) huruf a angka 1 atau Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) oleh pengusaha atau kuasanya, dalam hal Barang Kiriman memiliki nilai pabean:
|
||
|
|
1.
|
sampai dengan nilai tertentu sebagaimana dimaksud pada huruf a; atau
|
|
|
|
2.
|
melebihi nilai tertentu sebagaimana dimaksud pada huruf a.
|
|
(6)
|
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan dalam bentuk data elektronik melalui sistem PDE kepabeanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2).
|
|||
(7)
|
Orang atau pengusaha yang memasukkan atau mengeluarkan barang melalui Barang Kiriman bertanggung jawab atas pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), pemenuhan kewajiban pabean serta pemenuhan ketentuan pembatasan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 82 |
||||
(1)
|
Pemasukan Barang Kiriman ke Kawasan Bebas dari:
|
|||
|
a.
|
luar Daerah Pabean;
|
||
|
b.
|
Kawasan Bebas lain;
|
||
|
c.
|
tempat penimbunan berikat; atau
|
||
|
d.
|
kawasan ekonomi khusus,
|
||
|
diberikan pembebasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.
|
|||
(2)
|
Pemasukan Barang Kiriman berupa barang kena cukai dari luar Daerah Pabean ke Kawasan Bebas, diberikan pembebasan bea masuk, pajak dalam rangka impor, dan cukai untuk setiap alamat penerima kiriman sampai dengan jumlah tertentu.
|
|||
(3)
|
Pengeluaran Barang Kiriman asal luar Daerah Pabean dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean, dapat diberikan pembebasan bea masuk sampai dengan nilai tertentu.
|
|||
(4)
|
Pengeluaran Barang Kiriman asal luar Daerah Pabean dari Kawasan Bebas ke tempat penimbunan berikat atau kawasan ekonomi khusus, diberikan perlakuan kepabeanan sesuai ketentuan peraturan perundangundangan mengenai tempat penimbunan berikat atau kawasan ekonomi khusus.
|
|||
(5)
|
Pengeluaran Barang Kiriman yang:
|
|||
|
a.
|
berasal tempat lain dalam Daerah Pabean;
|
||
|
b.
|
sepenuhnya berasal dari Kawasan Bebas; atau
|
||
|
c.
|
hasil produksi industri lokal di Kawasan Bebas,
|
||
|
dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean dipungut PPN.
|
|||
(6)
|
Terhadap barang kiriman berupa barang konsumsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (5), diberitahukan kepada Pejabat Bea dan Cukai.
|
|||
(7)
|
Untuk kepentingan pengawasan, Pejabat Bea dan Cukai berwenang melakukan pemeriksaan atas pengeluaran barang konsumsi sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
|
|||
(8)
|
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan berdasarkan:
|
|||
|
a.
|
penilaian risiko; dan/atau
|
||
|
b.
|
sistem analisis informasi penumpang, awak Sarana Pengangkut atau barang kiriman.
|
||
(9)
|
Terhadap kiriman yang:
|
|||
|
a.
|
tidak diberitahukan sebagaimana dimaksud pada ayat (6);
|
||
|
b.
|
diberitahukan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) namun kedapatan jumlah dan/atau jenis tidak sesuai; dan/atau
|
||
|
c.
|
melebihi jumlah dan/atau nilai tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (5),
|
||
|
dilakukan penindakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan Cukai.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 83 |
||||
(1)
|
Dalam hal Barang Kiriman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (4) wajib memenuhi ketentuan pembatasan di bidang impor, Pejabat Bea dan Cukai yang menangani Barang Kiriman dan/atau SKP memberitahukan kepada Pengusaha dan/atau Penyelenggara Pos agar menyampaikan Dokumen Pelengkap Pabean pemenuhan kewajiban ketentuan pembatasan dalam bentuk data elektronik melalui sistem PDE kepabeanan.
|
|||
(2)
|
Penyampaian Dokumen Pelengkap Pabean, penyelesaian atas tagihan surat penetapan pembayaran bea masuk, cukai, pendapatan pajak (SPPBMCP), dan/atau pemenuhan kewajiban ketentuan pembatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan sebelum pengeluaran barang.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 84 |
||||
(1)
|
Terhadap pengeluaran Barang Kiriman asal luar Daerah Pabean dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean dilakukan penelitian dan ditetapkan tarif dan nilai pabeannya.
|
|||
(2)
|
Terhadap pengeluaran Barang Kiriman dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean dapat dilakukan pemeriksaan fisik secara selektif berdasarkan manajemen risiko.
|
|||
(3)
|
Penetapan tarif dan nilai pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai yang menangani Barang Kiriman dan/atau SKP dengan menerbitkan Surat Penetapan Pembayaran Bea Masuk, Cukai, dan/atau Pajak (SPPBMCP).
|
|||
(4)
|
Terhadap penetapan tarif dan nilai pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pejabat yang menangani pelayanan Barang Kiriman menerbitkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB) setelah pengirim Barang Kiriman melunasi bea masuk dan pajak dalam rangka pengeluaran barang ke tempat lain dalam Daerah Pabean.
|
|||
(5)
|
Penghitungan pungutan negara atas pengeluaran barang kiriman dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
bea masuk dihitung berdasarkan:
|
||
|
|
1.
|
harga jual pada saat barang kiriman dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean; dan
|
|
|
|
2.
|
klasifikasi dan pembebanan atas barang kiriman yang dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean;
|
|
|
b.
|
Cukai harus sudah dilunasi;
|
||
|
c.
|
Penyampaian Dokumen Pelengkap Pabean, penyelesaian atas tagihan surat penetapan pembayaran bea masuk, cukai, pendapatan pajak (SPPBMCP), dan/atau pemenuhan kewajiban ketentuan pembatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan sebelum pengeluaran barang.
|
||
|
d.
|
Pajak Penghasilan Pasal 22 dihitung berdasarkan tarif yang berlaku dari nilai pabean sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 1 ditambah dengan bea masuk pada saat barang dikeluarkan dari Kawasan Bebas.
|
||
(6)
|
Penyelenggara Pos dapat mengajukan permohonan pembatalan pemasukan dan/atau pengeluaran barang kiriman serta pembatalan Consignment Note sepanjang belum dilakukan penetapan tarif dan nilai pabean.
|
|||
(7)
|
Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau Pejabat Bea dan Cukai dapat melakukan penetapan kembali tarif dan nilai pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas penetapan Surat Penetapan Pembayaran Bea Masuk, Cukai, dan/atau Pajak (SPPBMCP) sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
|
|||
(8)
|
Penetapan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai:
|
|||
|
a.
|
penelitian ulang;
|
||
|
b.
|
audit kepabeanan; dan/atau
|
||
|
c.
|
mekanisme penetapan kembali tarif dan nilai pabean lainnya.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 85 |
||||
(1)
|
Dalam rangka percepatan serta peningkatan pelayanan dan pengawasan kepabeanan atas pemasukan barang ke atau pengeluaran barang dari Kawasan Bebas melalui barang kiriman, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dapat melakukan kemitraan dengan pihak lain.
|
|||
(2)
|
Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
|
|||
|
a.
|
pihak penyedia pasar (marketplace), baik secara elektronik maupun non elektronik, yang barangnya dimasukkan ke Kawasan Bebas atau dikeluarkan dari Kawasan Bebas melalui barang kiriman;
|
||
|
b.
|
pihak penjual dan/atau pemasok atas pemasukan barang ke atau pengeluaran barang dari Kawasan Bebas melalui barang kiriman; dan/atau
|
||
|
c.
|
pihak lain, selain sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, yang terkait dengan pemasukan barang ke atau pengeluaran barang dari Kawasan Bebas melalui barang kiriman.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 86 |
||||
(1)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai:
|
|||
|
a.
|
Penyelenggara Pos sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (2);
|
||
|
b.
|
Consignment Note sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (5) huruf a;
|
||
|
c.
|
nilai tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (5);
|
||
|
d.
|
pembebasan bea masuk, pajak dalam rangka impor, dan cukai sampai dengan jumlah tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (2);
|
||
|
e.
|
pembebasan bea masuk sampai dengan nilai tertentu sebagaimana dimaksud dalam pasal 82 ayat (3);
|
||
|
f.
|
penetapan tarif dan nilai pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) dan ayat (3);
|
||
|
g.
|
klasifikasi dan pembebanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (5) huruf a angka 2;
|
||
|
h.
|
Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (5) huruf d; dan
|
||
|
i.
|
kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (1),
|
||
|
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai ketentuan impor barang kiriman.
|
|||
(2)
|
Tata cara pemasukan dan pengeluaran barang melalui Barang Kiriman, dilaksanakan dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XVII
NOMOR INDUK BERUSAHA DAN AKSES KEPABEANAN
Pasal 87 |
||||
(1)
|
Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) wajib memiliki nomor induk berusaha yang juga berlaku sebagai akses kepabeanan.
|
|||
(2)
|
Tata cara untuk memperoleh nomor induk berusaha dan akses kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyederhanaan registrasi kepabeanan.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XVIII
KEMASAN YANG DIPAKAI BERULANG-ULANG (RETURNABLE PACKAGE)
Pasal 88 |
||||
(1)
|
Pemasukan dan/atau pengeluaran kemasan yang dipakai berulang-ulang (returnable package) ke atau dari Kawasan Bebas dapat dilakukan oleh pengusaha setelah mendapat izin dari Kepala Kantor Pabean.
|
|||
(2)
|
Kemasan yang dipakai berulang-ulang (returnable package) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kemasan yang berasal dari luar Daerah Pabean atau dari tempat lain dalam Daerah Pabean, yang digunakan atau akan digunakan dalam rangka pengangkutan dan/atau pengemasan barang ke dan/atau dari Kawasan Bebas secara berulang-ulang.
|
|||
(3)
|
Izin dari Kepala Kantor Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan sepanjang memenuhi persyaratan:
|
|||
|
a.
|
tidak akan habis dipakai secara fungsi maupun bentuk;
|
||
|
b.
|
tidak mengalami perubahan bentuk secara hakiki;
|
||
|
c.
|
saat dimasukkan ke Kawasan Bebas dapat diidentifikasikan sebagai barang yang sama/identik saat dikeluarkan, atau pada saat dikeluarkan dari Kawasan Bebas dapat diidentifikasi sebagai barang yang sama/identik saat dimasukkan kembali; dan
|
||
|
d.
|
tujuan penggunaan returnable package jelas.
|
||
(4)
|
Terhadap pemasukan dan pengeluaran kemasan yang dipakai berulang-ulang (returnable package) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dikecualikan dari ketentuan menyerahkan Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) dan Pasal 30 ayat (2).
|
|||
(5)
|
Penyampaian permohonan, pemberian izin, dan pelayanan pemasukan dan pengeluaran kemasan yang dipakai berulang-ulang (returnable package) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk data elektronik atau tulisan di atas formulir.
|
|||
(6)
|
Tata cara pemasukan dan/atau pengeluaran penggunaan kemasan yang dipakai berulang-ulang (returnable package) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XIX
TEKNOLOGI INFORMASI UNTUK PENGELOLAAN PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BARANG (IT INVENTORY)
Pasal 89 |
||||
(1)
|
Teknologi informasi untuk pengelolaan pemasukan dan pengeluaran barang (IT Inventory) harus dimiliki dan didayagunakan oleh:
|
|||
|
a.
|
pengusaha TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2);
|
||
|
b.
|
pengusaha penimbunan (logistik) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c dan Pasal 28 ayat (2) huruf b; atau
|
||
|
c.
|
pengusaha yang mengeluarkan barang berupa bekal Sarana Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) huruf l.
|
||
(2)
|
Teknologi informasi untuk pengelolaan pemasukan dan pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa subsistem dari sistem informasi akuntansi yang akan menghasilkan informasi laporan terkait pemasukan dan pengeluaran barang.
|
|||
(3)
|
Teknologi informasi untuk pengelolaan pemasukan dan pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus:
|
|||
|
a.
|
dapat diakses oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta Direktorat Jenderal Pajak; dan
|
||
|
b.
|
diberitahukan oleh pengusaha sebagaimana dimaksud ayat (1) kepada Kepala Kantor Pabean berupa pernyataan memiliki dan mendayagunakan teknologi informasi untuk pengelolaan pemasukan dan pengeluaran barang.
|
||
(4)
|
Teknologi informasi untuk pengelolaan pemasukan dan pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memenuhi kriteria:
|
|||
|
a.
|
mampu mencatat pemasukan dan pengeluaran barang, penyesuaian (adjustment), yang disesuaikan dengan jenis kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan elemen data paling sedikit sebagai berikut:
|
||
|
|
1.
|
data pemasukan barang:
|
|
|
|
|
a)
|
nomor dokumen bukti penerimaan barang;
|
|
|
|
b)
|
tanggal penerimaan barang;
|
|
|
|
c)
|
pengirim barang (berasal dari eksternal);
|
|
|
|
d)
|
kode barang;
|
|
|
|
e)
|
uraian barang;
|
|
|
|
f)
|
jumlah;
|
|
|
|
g)
|
satuan;
|
|
|
|
h)
|
nilai; dan
|
|
|
|
i)
|
jenis, nomor, dan tanggal dokumen pemasukan ke Kawasan Bebas;
|
|
|
2.
|
data pengeluaran barang:
|
|
|
|
|
a)
|
nomor dokumen bukti pengeluaran barang;
|
|
|
|
b)
|
tanggal pengeluaran barang;
|
|
|
|
c)
|
pengirim barang (berasal dari eksternal);
|
|
|
|
d)
|
kode barang;
|
|
|
|
e)
|
uraian barang;
|
|
|
|
f)
|
jumlah;
|
|
|
|
g)
|
satuan;
|
|
|
|
h)
|
nilai; dan
|
|
|
|
i)
|
jenis, nomor, dan tanggal dokumen pengeluaran dari Kawasan Bebas; dan
|
|
|
3.
|
data penyesuaian (adjustment):
|
|
|
|
|
a)
|
tanggal penyesuaian (adjustment);
|
|
|
|
b)
|
kode barang;
|
|
|
|
c)
|
uraian barang;
|
|
|
|
d)
|
jumlah;
|
|
|
|
e)
|
satuan; dan
|
|
|
|
f)
|
nilai.
|
|
b.
|
pencatatan dan/atau pembukuan mampu menggambarkan keterkaitan dengan dokumen kepabeanan dan/atau cukai;
|
||
|
c.
|
pencatatan dan/atau pembukuan dilakukan secara kontinu dan langsung setiap ada perubahan berupa pemasukan dan pengeluaran barang beserta dokumen pendukung, maupun berkala dengan jangka waktu sesuai sistem pengendalian internal pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
|
||
|
d.
|
mampu membuat dan menyampaikan data yang menggambarkan pemasukan dan pengeluaran barang yang mendapatkan fasilitas kepabeanan, cukai, dan/atau perpajakan; dan
|
||
|
e.
|
mampu menampilkan data, riwayat aktivitas, dan pemasukan dan pengeluaran barang minimal dalam waktu 2 (dua) tahun periode sebelumnya.
|
||
(5)
|
Teknologi informasi untuk pengelolaan pemasukan dan pengeluaran barang (IT Inventory) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dimiliki dan didayagunakan oleh pengusaha sebelum melakukan kegiatan pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas, atau paling lambat 6 (enam) bulan sejak Peraturan Menteri ini mulai berlaku.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XX
SANKSI
Pasal 90 |
||||
(1)
|
Barang yang dimasukkan ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dikenakan sanksi berupa:
|
|||
|
a.
|
dikeluarkan kembali;
|
||
|
b.
|
dihibahkan; atau
|
||
|
c.
|
dimusnahkan.
|
||
(2)
|
Terhadap pengusaha yang melakukan pemasukan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi berupa:
|
|||
|
a.
|
pembekuan peerizinan berusaha oleh Badan Pengusahaan Kawasan; dan/atau
|
||
|
b.
|
pemblokiran akses kepabeanan sebagai pengusaha di Kawasan Bebas atas kegiatan pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari Luar Daerah Pabean.
|
||
(3)
|
Sanksi berupa pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat dilakukan berdasarkan:
|
|||
|
a.
|
tindakan mandiri dari Kantor Pabean; atau
|
||
|
b.
|
rekomendasi dari Badan Pengusahaan Kawasan.
|
||
(4)
|
Atas pemblokiran Akses Kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dapat dilakukan pembukaan pemblokiran berdasarkan rekomendasi unit internal yang merekomendasikan pemblokiran setelah terpenuhinya sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||
(5)
|
Atas pemblokiran akses dimaksud pada ayat (2) kepabeanan sebagaimana huruf b yang dilakukan berdasarkan rekomendasi dari Badan Pengusahaan Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, dapat dilakukan pembukaan pemblokiran berdasarkan rekomendasi Badan Pengusahaan Kawasan.
|
|||
(6)
|
Pengeluaran kembali atau pemusnahan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf c dilakukan dan dibiayai oleh pengusaha di Kawasan Bebas yang memasukkan barang ke Kawasan Bebas dengan di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||
(7)
|
Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan dengan pernyataan hibah dari pengusaha kepada negara melalui Kepala Kantor Pabean.
|
|||
(8)
|
Kepala Kantor Pabean berdasarkan surat pernyataan hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (7) menetapkan barang tersebut menjadi barang yang menjadi milik negara.
|
|||
(9)
|
Tata cara mengenai:
|
|||
|
a.
|
pembekuan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a; dan
|
||
|
b.
|
penyampaian rekomendasi dari Badan Pengusahaan Kawasan untuk:
|
||
|
|
1.
|
pemblokiran akses kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b; dan
|
|
|
|
2.
|
pembukaan pemblokiran dimaksud pada ayat (4),
|
|
|
dilaksanakan sesuai dengan peraturan Kepala Badan Pengusahaan Kawasan.
|
|||
(10)
|
Tata cara pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan pemblokiran berdasarkan tindakan mandiri Kantor Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyederhanaan registrasi kepabeanan.
|
|||
(11)
|
Penyelesaian barang milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyelesaian terhadap barang yang dinyatakan tidak dikuasai, barang yang dikuasai negara, dan barang yang menjadi milik negara.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 91 |
||||
(1)
|
Barang yang dilarang atau dibatasi untuk dimasukkan dari luar Daerah Pabean ke Kawasan Bebas atau dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean, yang telah diberitahukan dengan Pemberitahuan Pabean atau telah diajukan pemberitahuan/dokumen penyelesaian kewajiban pabean, atas permintaan pengusaha yang telah mendapatkan izin usaha dari Badan Pengusahaan Kawasan:
|
|||
|
a.
|
dikeluarkan kembali ke luar Daerah Pabean;
|
||
|
b.
|
dibatalkan pengeluarannya dari Kawasan Bebas; atau
|
||
|
c.
|
dimusnahkan di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai,
|
||
|
kecuali terhadap barang dimaksud ditetapkan lain berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(2)
|
Barang yang dilarang atau dibatasi untuk:
|
|||
|
a.
|
dimasukkan ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean; atau
|
||
|
b.
|
dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean atau tempat lain dalam Daerah Pabean,
|
||
|
yang tidak diberitahukan atau diberitahukan secara tidak benar ditetapkan sebagai barang yang dikuasai negara, kecuali terhadap barang dimaksud ditetapkan lain berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Pengawasan dan penatausahaan barang yang dilarang atau dibatasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kepabeanan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 92 |
||||
(1)
|
Pembongkaran barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) yang dilakukan di:
|
|||
|
a.
|
luar Kawasan Pabean; atau
|
||
|
b.
|
Tempat Lain tanpa izin Kepala Kantor Pabean,
|
||
|
dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90.
|
|||
(2)
|
Pemuatan barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) yang dilakukan di:
|
|||
|
a.
|
luar Kawasan Pabean; atau
|
||
|
b.
|
Tempat Lain tanpa izin Kepala Kantor Pabean,
|
||
|
merupakan pelanggaran dan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
|
|||
|
|
|
||
Pasal 93 |
||||
(1)
|
Tata cara pengenaan sanksi administrasi berupa denda dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
|
|||
(2)
|
Dikecualikan dari pengenaan sanksi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas:
|
|||
|
a.
|
pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari tempat lain dalam Daerah Pabean; atau
|
||
|
b.
|
pengeluaran barang asal tempat lain dalam Daerah Pabean dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 94 |
||||
(1)
|
Terhadap pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1) yang belum memiliki dan mendayagunakan teknologi informasi untuk pengelolaan pemasukan dan pengeluaran barang (IT Inventory) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, atas kegiatan pemasukan dan pengeluaran barangnya ke dan dari Kawasan Bebas tidak dilayani.
|
|||
(2)
|
Terhadap pengusaha ayat (1) sebagaimana dimaksud dalam yang telah memiliki dan mendayagunakan teknologi informasi untuk pengelolaan pemasukan dan pengeluaran barang (IT Inventory) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) namun saat pengeluaran barang dari Kawasan Bebas tidak melampirkan dan/atau tidak dapat membuktikan dokumen Pemberitahuan Pabean pemasukan barang ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2), atas kegiatan pengeluaran barangnya dari Kawasan Bebas tersebut tidak dilayani.
|
|||
(3)
|
Terhadap pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1) yang telah memiliki dan mendayagunakan teknologi informasi untuk pengelolaan pemasukan dan pengeluaran barang (IT Inventory) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) namun terbukti melakukan kegiatan pengeluaran barang konsumsi untuk kebutuhan penduduk di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (4), atas pengusaha dimaksud dilakukan dikenakan sanksi pembekuan perizinan berusaha oleh Badan Pengusahaan Kawasan dan/atau pemblokiran akses kepabeanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (2) atas kegiatan pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XXI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 95 |
||||
Tata cara yang berkaitan dengan kegiatan pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas mengenai:
|
||||
a.
|
bea masuk anti dumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan bea masuk pembalasan;
|
|||
b.
|
tidak dipungut bea masuk, pembebasan bea masuk, keringanan bea masuk, dan pengembalian bea masuk;
|
|||
c.
|
tanggung jawab bea masuk;
|
|||
d.
|
pembayaran, penagihan utang, dan jaminan;
|
|||
e.
|
pembukuan;
|
|||
f.
|
penangguhan impor atau ekspor barang hasil pelanggaran hak atas kekayaan intelektual, dan penindakan atas barang yang terkait terorisme dan/atau kejahatan lintas negara;
|
|||
g.
|
barang yang dinyatakan tidak dikuasai, barang yang dikuasai negara, dan barang yang menjadi milik negara;
|
|||
h.
|
ketentuan pidana; dan
|
|||
i.
|
penyidikan,
|
|||
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan, perpajakan, dan Cukai.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 96 |
||||
Tata cara pemasukan dan pengeluaran barang kena cukai ke dan dari Kawasan Bebas dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 97 |
||||
Tata cara angkut terus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai angkut terus atau angkut lanjut barang impor atau barang ekspor.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 98 |
||||
(1)
|
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai yang menerima pelimpahan wewenang yang dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3):
|
|||
|
a.
|
wajib memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
||
|
b.
|
bertanggung jawab secara substansi atas pelaksanaan pelimpahan wewenang yang diberikan kepada yang bersangkutan; dan
|
||
|
c.
|
tidak dapat melimpahkan kembali pelimpahan kewenangan yang diterima kepada pihak lainnya.
|
||
(2)
|
Dalam hal Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud ayat (1) berhalangan sementara atau tetap, wewenang yang diterima dapat dilakukan oleh pejabat pelaksana harian (Plh) atau pejabat pelaksana tugas (Plt) yang ditunjuk.
|
|||
(3)
|
Pejabat pelaksana harian (Plh) atau pejabat pelaksana tugas (Plt) yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bertanggung jawab secara substansi atas pelimpahan wewenang yang diberikan kepada yang bersangkutan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 99 |
||||
(1)
|
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan/atau Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pengusaha yang melakukan kegiatan pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas.
|
|||
(2)
|
Kegiatan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan terhadap:
|
|||
|
a.
|
pemenuhan ketentuan perundang-undangan di bidang kepabeanan, perpajakan, dan/atau Cukai; dan/atau
|
||
|
b.
|
pemanfaatan atas pemberian fasilitas kepabeanan, perpajakan, dan/atau Cukai.
|
||
(3)
|
Kegiatan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
|||
|
a.
|
pengawasan rutin; dan/atau
|
||
|
b.
|
pemeriksaan sewaktu-waktu,
|
||
|
yang dilaksanakan berdasarkan manajemen risiko.
|
|||
(4)
|
Dalam hal berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditemukan adanya indikasi pelanggaran atau penyalahgunaan terhadap ketentuan di bidang kepabeanan, perpajakan, dan/atau cukai, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan/atau Direktorat Jenderal Pajak dapat merekomendasikan untuk dilakukan audit dan/atau penelitian lebih lanjut oleh unit pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan/atau Direktorat Jenderal Pajak yang melaksanakan tugas dan fungsi di bidang pengawasan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan, perpajakan, dan/atau Cukai.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XXII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 100 |
||||
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
|
||||
1.
|
terhadap kendaraan bermotor asal luar Daerah Pabean yang telah dimasukkan ke Kawasan Bebas sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (5);
|
|||
2.
|
pelayanan dan pengawasan atas pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas dapat dilakukan dengan sistem layanan elektronik yang terhubung dengan ekosistem logistik kawasan bebas sebagai bagian dari Ekosistem Logistik Nasional (National Logistic Ecosystem/NLE) melalui Indonesia National Single Window (INSW) yang diwajibkan pemerintah untuk percepatan logistik nasional, dalam hal telah tersedia;
|
|||
3.
|
keputusan atau penetapan yang telah diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 47/PMK.04/2012 tentang Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang Ke dan Dari Kawasan yang Telah Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dan Pembebasan Cukai sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.04/2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 47/PMK.04/2012 tentang Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang Ke dan Dari Kawasan yang Telah Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dan Pembebasan Cukai, dinyatakan masih tetap berlaku;
|
|||
4.
|
keputusan sebagaimana dimaksud pada angka 3 yang terkait dengan pengeluaran sementara barang dalam jangka waktu tertentu dan untuk tujuan tertentu dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 47/PMK.04/2012 tentang Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang Ke dan Dari Kawasan yang Telah Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dan Pembebasan Cukai sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.04/2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 47/PMK.04/2012 tentang Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang Ke dan Dari Kawasan yang Telah Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dan Pembebasan Cukai, sepanjang belum jatuh tempo pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, jangka waktunya dapat dilakukan perpanjangan berdasarkan Peraturan Menteri ini; dan
|
|||
5.
|
seluruh permohonan atau penelitian yang telah diajukan atau dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 47/PMK.04/2012 tentang Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang Ke dan Dari Kawasan yang Telah Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dan Pembebasan Cukai sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.04/2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 47/PMK.04/2012 tentang Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan Dari Kawasan yang Telah Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dan Pembebasan Cukai, namun belum mendapatkan penetapan atau keputusan pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, pemrosesan, penetapan, atau keputusannya dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri ini.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XXIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 100 |
||||
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 47/PMK.04/2012 tentang Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari Kawasan yang Telah Ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dan Pembebasan Cukai (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 331) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.04/2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 47/PMK.04/2012 tentang Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari Kawasan yang Telah Ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dan Pembebasan Cukai (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 613), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 101 |
||||
Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.
|
||||
|
|
|
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
|
||||
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 April 2021 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 1 April 2021 ttd. DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. WIDODO EKATJAHJANA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2021 NOMOR 314 |