Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Premium
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
|
|||||
|
|||||
Menimbang |
|||||
a.
|
bahwa ketentuan mengenai tata cara penetapan Wajib Pajak Kriteria Tertentu atau Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah dan perlakuan atas selisih kelebihan pembayaran pajak yang belum dikembalikan akibat terdapat bagian yang tidak diperhitungkan dalam pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak telah diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2018 tentang Penetapan Wajib Pajak Kriteria Tertentu atau Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah dan Perlakuan atas Selisih Kelebihan Pembayaran Pajak yang Belum Dikembalikan dalam Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak;
|
||||
b.
|
bahwa untuk memberikan kepastian hukum mengenai penetapan Wajib Pajak Kriteria Tertentu atau Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah dan pelaksanaan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak, perlu dilakukan penggantian Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2018 tentang Penetapan Wajib Pajak Kriteria Tertentu atau Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah dan Perlakuan atas Selisih Kelebihan Pembayaran Pajak yang Belum Dikembalikan Dalam Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak;
|
||||
c.
|
bahwa untuk memberikan kepastian hukum mengenai penetapan Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah dan pelaksanaan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak bagi Wajib Pajak dan Pengusaha Kena Pajak yang Menggunakan Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu dalam investasi di bidang Real Estat, perlu pengaturan lebih lanjut mengenai perlakuan perpajakan bagi Wajib Pajak dan Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu dalam investasi di bidang Real Estat;
|
||||
d.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, serta untuk melaksanakan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2018 tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.03/2019 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2018 tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak dan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 200/PMK.03/2015 tentang Perlakuan Perpajakan bagi Wajib Pajak dan Pengusaha Kena Pajak yang Menggunakan Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu Dalam Rangka Pendalaman Sektor Keuangan, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Penetapan Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah dan Pelaksanaan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak terhadap Wajib Pajak Kriteria Tertentu, dan Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah serta Special Purpose Company atau Kontrak Investasi Kolektif sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah;
|
||||
|
|
||||
Mengingat |
|||||
1.
|
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
|
||||
2.
|
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
|
||||
3.
|
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
|
||||
4.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2021 tentang Perlakuan Perpajakan Untuk Mendukung Kemudahan Berusaha (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 19);
|
||||
5.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 200/PMK.03/2015 tentang Perlakuan Perpajakan bagi Wajib Pajak dan Pengusaha Kena Pajak yang Menggunakan Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu Dalam Rangka Pendalaman Sektor Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1692);
|
||||
6.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2018 tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 514) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.03/2019 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2018 tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 934);
|
||||
|
|||||
MEMUTUSKAN:
|
|||||
Menetapkan |
|||||
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PENETAPAN PENGUSAHA KENA PAJAK BERISIKO RENDAH DAN PELAKSANAAN PENGEMBALIAN PENDAHULUAN KELEBIHAN PAJAK TERHADAP WAJIB PAJAK KRITERIA TERTENTU, WAJIB PAJAK PERSYARATAN TERTENTU, DAN PENGUSAHA KENA PAJAK BERISIKO RENDAH SERTA SPECIAL PURPOSE COMPANY ATAU KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF SEBAGAI PENGUSAHA KENA PAJAK BERISIKO RENDAH.
|
|||||
|
|||||
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
|||||
Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini, yang dimaksud dengan:
|
|||||
1.
|
Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang selanjutnya disebut Undang-Undang KUP, adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
|
||||
2.
|
Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPh, adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
|
||||
3.
|
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPN, adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
|
||||
4.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2018 adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2018 tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 117/PMK.03/2019.
|
||||
5.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 200/PMK.03/2015 adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 200/PMK.03/2015 tentang Perlakuan Perpajakan Bagi Wajib Pajak dan Pengusaha Kena Pajak yang Menggunakan Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu Dalam Rangka Pendalaman Sektor Keuangan.
|
||||
6.
|
Pajak Penghasilan, yang selanjutnya disingkat PPh, adalah Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPh.
|
||||
7.
|
Pajak Pertambahan Nilai, yang selanjutnya disingkat PPN, adalah Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN.
|
||||
8.
|
Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak, yang selanjutnya disebut Pengembalian Pendahuluan, adalah pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C atau Pasal 17D Undang-Undang KUP, atau Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang PPN.
|
||||
9.
|
Wajib Pajak yang Memenuhi Kriteria Tertentu yang dapat diberikan Pengembalian Pendahuluan, yang selanjutnya disebut Wajib Pajak Kriteria Tertentu, adalah Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C Undang-Undang KUP dan peraturan pelaksanaannya.
|
||||
10.
|
Wajib Pajak yang Memenuhi Persyaratan Tertentu yang dapat diberikan Pengembalian Pendahuluan, yang selanjutnya disebut Wajib Pajak Persyaratan Tertentu, adalah Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D Undang-Undang KUP dan peraturan pelaksanaannya.
|
||||
11.
|
Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Kegiatan Tertentu dan Telah Ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah, yang selanjutnya disebut Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah, adalah Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang PPN dan peraturan pelaksanaannya.
|
||||
12.
|
Mitra Utama Kepabeanan, yang selanjutnya disebut MITA Kepabeanan, adalah importir dan/atau eksportir yang diberikan pelayanan khusus di bidang kepabeanan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai Mitra Utama Kepabeanan.
|
||||
13.
|
Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic Operator, yang selanjutnya disingkat AEO, adalah operator ekonomi yang mendapat pengakuan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sehingga mendapatkan perlakuan kepabeanan tertentu sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai Operator Ekonomi Bersertifikat.
|
||||
14.
|
Dana Investasi Real Estat, yang selanjutnya disebut DIRE, adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan pada aset Real Estat, aset yang berkaitan dengan Real Estat, dan/atau kas dan setara kas.
|
||||
15.
|
Kontrak Investasi Kolektif yang dibentuk semata-mata untuk kepentingan DIRE, yang selanjutnya disebut KIK, adalah kontrak antara manajer investasi dan bank kustodian yang mengikat pemegang unit penyertaan dimana manajer investasi diberi wewenang untuk mengelola portofolio investasi kolektif dan bank kustodian diberi wewenang untuk melaksanakan penitipan kolektif, yang dibentuk semata-mata untuk kepentingan DIRE.
|
||||
16.
|
Special Purpose Company, yang selanjutnya disebut SPC, adalah Perseroan Terbatas yang sahamnya dimiliki oleh DIRE berbentuk KIK paling kurang 99,9% (sembilan puluh sembilan koma sembilan per seratus) dari modal disetor yang dibentuk semata-mata untuk kepentingan DIRE berbentuk KIK.
|
||||
17.
|
Wajib Pajak Pemohon Pengembalian Pendahuluan, yang selanjutnya disebut Wajib Pajak Pemohon, adalah Wajib Pajak Kriteria Tertentu, Wajib Pajak Persyaratan Tertentu, atau Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah yang mengajukan permohonan Pengembalian Pendahuluan.
|
||||
18.
|
Surat Pemberitahuan, yang selanjutnya disingkat SPT, adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
||||
19.
|
SPT Tahunan adalah SPT untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
|
||||
20.
|
SPT Masa adalah SPT untuk suatu Masa Pajak.
|
||||
21.
|
Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, yang selanjutnya disingkat SKPPKP, adalah surat keputusan yang menentukan jumlah pengembalian pendahuluan kelebihan pajak untuk Wajib Pajak tertentu.
|
||||
22.
|
Kantor Pelayanan Pajak, yang selanjutnya disingkat KPP, adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, tempat Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak diadministrasikan.
|
||||
|
|
||||
Pasal 2 |
|||||
(1)
|
Pengusaha Kena Pajak ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah sesuai dengan ketentuan:
|
||||
|
a.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2018, secara jabatan atau berdasarkan permohonan; atau
|
|||
|
b.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 200/PMK.03/2015 berdasarkan permohonan.
|
|||
(2)
|
Pengembalian Pendahuluan diberikan kepada:
|
||||
|
a.
|
Wajib Pajak Kriteria Tertentu, Wajib Pajak Persyaratan Tertentu, dan Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2018; atau
|
|||
|
b.
|
Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 200/PMK.03/2015.
|
|||
(3)
|
SKPPKP diterbitkan terhadap permohonan Pengembalian Pendahuluan yang diajukan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah memperhitungkan kredit pajak, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
||||
(4)
|
Terhadap kredit pajak yang tidak diperhitungkan dalam penerbitan SKPPKP dapat diajukan kembali permohonan Pengembalian Pendahuluan melalui surat tersendiri.
|
||||
(5)
|
Pembetulan SPT atas Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, yang telah diterbitkan SKPPKP, dilakukan dengan memperhitungkan jumlah kelebihan pembayaran pajak dalam SKPPKP pada Pembetulan SPT dimaksud.
|
||||
(6)
|
Permohonan Pengembalian Pendahuluan yang tidak memenuhi ketentuan ditindaklanjuti berdasarkan ketentuan Pasal 17B Undang-Undang KUP.
|
||||
|
|
|
|||
BAB II
PENETAPAN PENGUSAHA KENA PAJAK BERISIKO RENDAH
Pasal 3 |
|||||
(1)
|
Pengusaha Kena Pajak yang dapat ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a meliputi:
|
||||
|
a.
|
perusahaan yang sahamnya diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
|
|||
|
b.
|
Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah;
|
|||
|
c.
|
Pengusaha Kena Pajak yang telah ditetapkan sebagai MITA Kepabeanan;
|
|||
|
d.
|
Pengusaha Kena Pajak yang telah ditetapkan sebagai AEO;
|
|||
|
e.
|
pabrikan atau produsen selain Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, yang memiliki tempat untuk melakukan kegiatan produksi;
|
|||
|
f.
|
Pedagang Besar Farmasi yang memiliki:
|
|||
|
|
1.
|
Sertifikat Distribusi Farmasi atau Izin Pedagang Besar Farmasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pedagang besar farmasi; dan
|
||
|
|
2.
|
Sertifikat Cara Distribusi Obat yang Baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai cara distribusi obat yang baik;
|
||
|
g.
|
Distributor Alat Kesehatan yang memiliki:
|
|||
|
|
1.
|
Sertifikat Distribusi Alat Kesehatan atau Izin Penyalur Alat Kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penyalur alat kesehatan; dan
|
||
|
|
2.
|
Sertifikat Cara Distribusi Alat Kesehatan yang Baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai cara distribusi alat kesehatan yang baik;
|
||
|
|
atau
|
|||
|
h.
|
perusahaan yang dimiliki secara langsung oleh Badan Usaha Milik Negara dengan kepemilikan saham lebih dari 50% (lima puluh persen) yang laporan keuangannya dikonsolidasikan dengan laporan keuangan Badan Usaha Milik Negara induk sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.
|
|||
(2)
|
Pengusaha Kena Pajak pabrikan atau produsen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e merupakan pengusaha pabrikan atau produsen yang dalam kegiatan usahanya menghasilkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak.
|
||||
(3)
|
Kepemilikan saham lebih dari 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h merupakan persentase kepemilikan saham yang tercantum pada Laporan Keuangan Konsolidasian tahun terakhir sebelum pengajuan permohonan penetapan sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah.
|
||||
(4)
|
Pengusaha Kena Pajak yang memenuhi ketentuan sebagai Wajib Pajak Persyaratan Tertentu diperlakukan sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah tanpa terlebih dahulu diterbitkan keputusan penetapan, dalam hal tidak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan dan/atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dan tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.
|
||||
(5)
|
Selain Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SPC atau KIK dalam skema KIK tertentu dapat ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b.
|
||||
|
|
|
|
||
Pasal 4 |
|||||
(1)
|
Kepala KPP dapat menetapkan Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah:
|
||||
|
a.
|
secara jabatan, terhadap Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1); atau
|
|||
|
b.
|
berdasarkan permohonan, terhadap Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h, serta Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5).
|
|||
(2)
|
Penetapan secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terhadap pengusaha yang merupakan MITA Kepabeanan atau AEO sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah dilakukan sepanjang data penetapan pengusaha sebagai MITA Kepabeanan atau AEO tersebut telah tersedia pada basis data Direktorat Jenderal Pajak.
|
||||
(3)
|
Pencabutan penetapan Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah atas pengusaha yang merupakan MITA Kepabeanan atau AEO dapat dilakukan setelah Direktorat Jenderal Pajak menerima data atau informasi dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terkait pencabutan keputusan penetapan MITA Kepabeanan atau AEO yang disampaikan secara berkala.
|
||||
(4)
|
Pengusaha Kena Pajak pabrikan atau produsen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf e dapat mengajukan permohonan untuk ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah dengan melampirkan surat pernyataan mengenai keberadaan tempat untuk melakukan kegiatan produksi.
|
||||
|
|
|
|
||
Pasal 5 |
|||||
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala KPP dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari kerja sejak permohonan penetapan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) diterima secara lengkap, menerbitkan:
|
||||
|
a.
|
surat keputusan penetapan SPC atau KIK sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah; atau
|
|||
|
b.
|
surat pemberitahuan bahwa permohonan tidak dapat diproses.
|
|||
(2)
|
Keputusan penetapan SPC atau KIK sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dinyatakan tidak berlaku dalam hal Pengusaha Kena Pajak dilakukan:
|
||||
|
a.
|
pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan, atau dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir; atau
|
|||
|
b.
|
pemeriksaan, dan berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui bahwa Pengusaha Kena Pajak tidak menjalankan skema KIK tertentu.
|
|||
(3)
|
Dalam hal surat keputusan penetapan sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dinyatakan tidak berlaku, maka terhadap SPC atau KIK sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah diterbitkan surat pemberitahuan pencabutan penetapan SPC atau KIK sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah.
|
||||
|
|
|
|
||
BAB III
PELAKSANAAN PENGEMBALIAN PENDAHULUAN KELEBIHAN PAJAK
Pasal 6 |
|||||
(1)
|
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan tertentu dan merupakan Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (4) diberikan Pengembalian Pendahuluan atas kelebihan pembayaran PPN pada setiap Masa Pajak, dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan.
|
||||
(2)
|
Kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||
|
a.
|
ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
|
|||
|
b.
|
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut PPN;
|
|||
|
c.
|
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang tidak dipungut PPN;
|
|||
|
d.
|
ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan/atau
|
|||
|
e.
|
ekspor Jasa Kena Pajak.
|
|||
(3)
|
Ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai batasan kegiatan dan jenis Jasa Kena Pajak yang atas ekspornya dikenai PPN.
|
||||
|
|
|
|||
Pasal 7 |
|||||
(1)
|
Permohonan Pengembalian Pendahuluan, yang diajukan oleh:
|
||||
|
a.
|
Wajib Pajak Kriteria Tertentu;
|
|||
|
b.
|
Wajib Pajak Persyaratan Tertentu; atau
|
|||
|
c.
|
Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1),
|
|||
|
diproses sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2018.
|
||||
(2)
|
Permohonan Pengembalian Pendahuluan yang diajukan oleh Wajib Pajak Kriteria Tertentu atau Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi permohonan Pengembalian Pendahuluan atas SPT atau pembetulan SPT pada Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebelum atau setelah Wajib Pajak ditetapkan sebagai Wajib Pajak Kriteria Tertentu atau Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah.
|
||||
(3)
|
Berdasarkan hasil penelitian terhadap permohonan Pengembalian Pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala KPP dapat menerbitkan SKPPKP.
|
||||
(4)
|
Kredit pajak yang dapat diperhitungkan dalam penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
|
||||
|
a.
|
untuk PPh:
|
|||
|
|
1.
|
pajak yang tercantum dalam bukti pemotongan atau bukti pemungutan, dengan ketentuan:
|
||
|
|
|
a)
|
telah dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Pemohon; dan
|
|
|
|
|
b)
|
pemotong atau pemungut pajak telah melaporkan SPT Masa atas Masa Pajak dilakukannya pemotongan atau pemungutan tersebut;
|
|
|
|
2.
|
pajak yang tercantum dalam bukti pembayaran PPh dalam tahun berjalan yang dibayar sendiri, dengan ketentuan:
|
||
|
|
|
a)
|
telah dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Pemohon; dan
|
|
|
|
|
b)
|
Nomor Transaksi Penerimaan Negara telah tervalidasi;
|
|
|
b.
|
untuk PPN:
|
|||
|
|
1.
|
Pajak Masukan, meliputi Pajak Masukan yang tercantum dalam Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak, yang dikreditkan oleh Wajib Pajak Pemohon telah dilaporkan dalam SPT Masa PPN Pengusaha Kena Pajak yang membuat Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak; dan/atau
|
||
|
|
2.
|
Pajak Masukan yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak Pemohon yang Nomor Transaksi Penerimaan Negara telah tervalidasi.
|
||
(5)
|
Termasuk dalam pengertian Pajak Masukan yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b angka 2 yaitu Pajak Masukan yang tercantum dalam dokumen Surat Penetapan Pembayaran Bea Masuk, Cukai, dan/atau Pajak yang:
|
||||
|
a.
|
mencantumkan Nomor Transaksi Penerimaan Negara;
|
|||
|
b.
|
terdapat dalam sistem informasi pelayanan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
|
|||
|
c.
|
telah dipertukarkan secara elektronik dengan Direktorat Jenderal Pajak; dan
|
|||
|
d.
|
dibayarkan oleh Wajib Pajak Pemohon melalui penyelenggara pos terkait dengan impor barang kiriman,
|
|||
|
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai ketentuan perpajakan atas impor barang kiriman.
|
||||
(6)
|
Dalam hal kredit pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kredit pajak tersebut tidak diperhitungkan.
|
||||
|
|
|
|||
Pasal 8 |
|||||
(1)
|
SPC atau KIK sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5), dapat diberikan Pengembalian Pendahuluan atas kelebihan pembayaran PPN pada Masa Pajak perolehan Real Estat, dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 200/PMK.03/2015.
|
||||
(2)
|
Terhadap permohonan Pengembalian Pendahuluan yang disampaikan oleh SPC atau KIK sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala KPP melakukan penelitian terhadap:
|
||||
|
a.
|
penetapan SPC atau KIK sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah masih berlaku;
|
|||
|
b.
|
kelengkapan SPT Masa PPN beserta lampiran-lampirannya;
|
|||
|
c.
|
adanya pengkreditan Pajak Masukan berupa PPN atas perolehan Real Estat pada Masa Pajak yang diajukan permohonan Pengembalian Pendahuluan;
|
|||
|
d.
|
kebenaran penulisan dan penghitungan PPN dengan cara memastikan kebenaran penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan/atau pembagian suatu bilangan dalam penghitungan pajak; dan
|
|||
|
e.
|
kebenaran pembayaran PPN yang telah dilakukan oleh PKP.
|
|||
(3)
|
Termasuk dalam penelitian terhadap penetapan SPC atau KIK sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah masih berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi penelitian mengenai pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2).
|
||||
(4)
|
Penelitian terhadap kebenaran pembayaran PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dilakukan terhadap kredit pajak yang dapat diperhitungkan dalam SPT Masa PPN, meliputi:
|
||||
|
a.
|
Pajak Masukan, meliputi Pajak Masukan yang tercantum dalam Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak, yang dikreditkan oleh SPC atau KIK sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah, telah dilaporkan dalam SPT Masa PPN oleh Pengusaha Kena Pajak yang menerbitkan Faktur Pajak; dan/atau
|
|||
|
b.
|
Pajak Masukan yang dibayar sendiri oleh SPC atau KIK sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah yang Nomor Transaksi Penerimaan Negara telah tervalidasi.
|
|||
(5)
|
Pajak Masukan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak diperhitungkan sebagai kredit pajak yang dapat diperhitungkan.
|
||||
(6)
|
Hasil penelitian terhadap pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam laporan hasil penelitian.
|
||||
(7)
|
Berdasarkan laporan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak:
|
||||
|
a.
|
menerbitkan SKPPKP, dalam hal SPC atau KIK sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan terdapat kelebihan pembayaran pajak.
|
|||
|
b.
|
tidak menerbitkan SKPPKP dan memberitahukan kepada Pengusaha Kena Pajak, dalam hal SPC atau KIK sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau tidak terdapat kelebihan pembayaran pajak.
|
|||
|
|
|
|||
Pasal 9 |
|||||
(1)
|
Terhadap kredit pajak yang tidak diperhitungkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (6) atau Pasal 8 ayat (5), Wajib Pajak Pemohon dapat mengajukan kembali permohonan Pengembalian Pendahuluan melalui surat tersendiri.
|
||||
(2)
|
Pengajuan kembali permohonan Pengembalian Pendahuluan melalui surat tersendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengajukan permohonan:
|
||||
|
a.
|
secara elektronik, melalui saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak; atau
|
|||
|
b.
|
secara tertulis, melalui penyampaian secara langsung ke KPP.
|
|||
(3)
|
Pengajuan kembali permohonan Pengembalian Pendahuluan melalui surat tersendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam hal:
|
||||
|
a.
|
Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan pemeriksaan atas Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang diajukan Pengembalian Pendahuluan atau pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka; dan
|
|||
|
b.
|
permohonan disampaikan tidak melebihi 1 (satu) tahun setelah berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak.
|
|||
(4)
|
Dalam hal Wajib Pajak Pemohon tidak mengajukan kembali permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak dapat melakukan pembetulan SPT Masa PPN dengan mengkompensasikan kelebihan pembayaran pajak yang tidak diperhitungkan ke Masa Pajak berikutnya.
|
||||
|
|
|
|||
Pasal 10 |
|||||
(1)
|
Pengembalian Pendahuluan untuk Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dapat diberikan dalam hal pada Masa Pajak yang diajukan Pengembalian Pendahuluan terdapat kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2).
|
||||
(2)
|
Pengembalian Pendahuluan untuk Wajib Pajak Kriteria Tertentu atau Wajib Pajak Persyaratan Tertentu diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
||||
|
a.
|
untuk Masa Pajak selain Masa Pajak pada akhir tahun buku, pada Masa Pajak tersebut harus terdapat kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2); atau
|
|||
|
b.
|
untuk Masa Pajak pada akhir tahun buku, pada Masa Pajak tersebut tidak harus terdapat kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2).
|
|||
(3)
|
Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) tidak diberikan Pengembalian Pendahuluan dalam hal permohonan Pengembalian Pendahuluan Pengusaha Kena Pajak tidak memenuhi ketentuan penelitian kewajiban formal dan/atau ketentuan penelitian kewajiban material sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2018.
|
||||
(4)
|
Tidak termasuk sebagai Wajib Pajak Persyaratan Tertentu yaitu Pengusaha Kena Pajak yang belum melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan/atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan menyampaikan SPT Masa PPN lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar tidak melebihi batasan jumlah lebih bayar bagi Wajib Pajak Persyaratan Tertentu.
|
||||
|
|
|
|||
Pasal 11 |
|||||
(1)
|
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah membetulkan SPT Masa PPN sebelum SKPPKP diterbitkan, dasar penerbitan SKPPKP yaitu penelitian atas pembetulan SPT Masa PPN.
|
||||
(2)
|
Dalam hal Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak melakukan pembetulan SPT atas Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, yang telah diterbitkan SKPPKP, Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak harus memperhitungkan jumlah kelebihan pembayaran pajak dalam SKPPKP pada pembetulan SPT dimaksud.
|
||||
(3)
|
Dalam hal pembetulan SPT Masa PPN sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan kekurangan pembayaran pajak, kepada Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan atas jumlah pajak yang kurang dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) atau ayat (2a) Undang-Undang KUP.
|
||||
(4)
|
Dalam hal pembetulan SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan:
|
||||
|
a.
|
jumlah lebih bayar menjadi lebih besar; dan
|
|||
|
b.
|
masih terdapat kredit pajak yang tidak diperhitungkan dalam SKPPKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (6) atau Pasal 8 ayat (5),
|
|||
|
permohonan Pengembalian Pendahuluan melalui surat tersendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dianggap telah disampaikan dalam pembetulan SPT.
|
||||
(5)
|
Dalam hal pembetulan SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), SKPPKP atas pembetulan SPT dapat diterbitkan dengan ketentuan jumlah kelebihan pembayaran pajak dalam SKPPKP atas SPT dan jumlah lebih bayar dalam pembetulan SPT tidak melebihi batasan jumlah lebih bayar bagi Wajib Pajak Persyaratan Tertentu.
|
||||
(6)
|
Dalam hal jumlah kelebihan pembayaran pajak dalam SKPPKP atas SPT dan jumlah lebih bayar dalam pembetulan SPT melebihi batasan jumlah lebih bayar bagi Wajib Pajak Persyaratan Tertentu, maka SKPPKP atas pembetulan SPT tidak dapat diterbitkan dan atas kelebihan pembayaran pajak tersebut ditindaklanjuti berdasarkan ketentuan Pasal 17B Undang-Undang KUP.
|
||||
|
|
|
|||
Pasal 12 |
|||||
(1)
|
Terhadap permohonan Pengembalian Pendahuluan atas kelebihan pembayaran PPN yang disampaikan oleh Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4), Kepala KPP menindaklanjuti dengan menerbitkan surat pemberitahuan tidak dapat diberikan Pengembalian Pendahuluan dan atas kelebihan pembayaran pajak tersebut ditindaklanjuti berdasarkan ketentuan Pasal 17B Undang-Undang KUP.
|
||||
(2)
|
Dalam hal terhadap permohonan Pengembalian Pendahuluan atas kelebihan pembayaran PPN oleh SPC atau KIK sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah ditindaklanjuti dengan menerbitkan surat pemberitahuan tidak dapat diberikan Pengembalian Pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (7) huruf b, atas kelebihan pembayaran pajak tersebut ditindaklanjuti berdasarkan ketentuan Pasal 17B Undang-Undang KUP.
|
||||
(3)
|
Dalam hal permohonan Pengembalian Pendahuluan atas kelebihan pembayaran PPN tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), ayat (2), ayat (3) atau Pasal 11 ayat (5), Kepala KPP menindaklanjuti dengan menerbitkan surat pemberitahuan tidak dapat diberikan Pengembalian Pendahuluan dan atas kelebihan pembayaran pajak tersebut ditindaklanjuti berdasarkan ketentuan Pasal 17B Undang-Undang KUP.
|
||||
(4)
|
Dalam hal permohonan Pengembalian Pendahuluan atas kelebihan pembayaran PPN ditindaklanjuti berdasarkan ketentuan Pasal 17B Undang-Undang KUP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan berdasarkan hasil pemeriksaan masih terdapat kelebihan pembayaran PPN, berlaku ketentuan sebagai berikut:
|
||||
|
a.
|
untuk kelebihan pembayaran PPN pada Masa Pajak selain akhir tahun buku, kelebihan pembayaran PPN tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya; atau
|
|||
|
b.
|
untuk kelebihan pembayaran PPN pada Masa Pajak akhir tahun buku, kelebihan pembayaran PPN tersebut diberikan pengembalian.
|
|||
|
|
|
|||
Pasal 13 |
|||||
Format dokumen berupa:
|
|||||
a.
|
SKPPKP bagi Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4);
|
||||
b.
|
surat pernyataan mengenai keberadaan tempat untuk melakukan kegiatan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4);
|
||||
c.
|
permohonan penetapan SPC atau KIK sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1);
|
||||
d.
|
keputusan penetapan SPC atau KIK sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a;
|
||||
e.
|
surat pemberitahuan bahwa permohonan penetapan SPC atau KIK sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah tidak dapat diproses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b;
|
||||
f.
|
surat pemberitahuan pencabutan penetapan SPC atau KIK sebagai sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3);
|
||||
g.
|
SKPPKP bagi SPC atau KIK sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (7) huruf a;
|
||||
h.
|
Laporan Hasil Penelitian Pengembalian Pendahuluan bagi SPC atau KIK sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (6),
|
||||
i.
|
permohonan Pengembalian Pendahuluan atas selisih kelebihan pembayaran pajak yang belum dikembalikan dalam SKPPKP melalui surat tersendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
|
||||
j.
|
tindak lanjut terhadap selisih kelebihan pembayaran pajak yang belum dikembalikan dalam SKPPKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4); dan
|
||||
k.
|
tata cara penghitungan SKPPKP pada formulir pembetulan SPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2);
|
||||
dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
|||||
|
|
||||
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 14 |
|||||
Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2018 tentang Penetapan Wajib Pajak Kriteria Tertentu atau Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah dan Perlakuan atas Selisih Kelebihan Pembayaran Pajak yang Belum Dikembalikan Dalam Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
|||||
|
|||||
Pasal 15 |
|||||
Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
|
|||||
|
|
||||
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 16 Maret 2021
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd
SURYO UTOMO
|