Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Premium
Terjemahan Dokumen
Ini Belum Tersedia
Ini Belum Tersedia
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Beberapa kali diubah dan sekarang tidak berlaku karena diganti/dicabut
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
|
||||||
Menimbang |
||||||
a.
|
bahwa dalam rangka mengantisipasi dampak perkembangan ekonomi global serta untuk memberikan masa transisi yang memadai bagi pengusaha Kawasan Berikat untuk menyesuaikan proses bisnis dengan mengikuti ketentuan dalam Kawasan Berikat, perlu melakukan penyempurnaan terhadap Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011 tentang Kawasan Berikat sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.04/2011;
|
|||||
b.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011 tentang Kawasan Berikat Sebagaimana telah Diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.04/2011;
|
|||||
Mengingat |
||||||
1.
|
Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;
|
|||||
2.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011 tentang Kawasan Berikat sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.04/2011;
|
|||||
|
|
|||||
MEMUTUSKAN:
|
||||||
Menetapkan |
||||||
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 147/PMK.04/2011 TENTANG KAWASAN BERIKAT SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 255/PMK.04/2011.
|
||||||
|
||||||
Pasal I |
||||||
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011 tentang Kawasan Berikat sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.04/2011, diubah sebagai berikut:
|
||||||
|
||||||
1.
|
Ketentuan Pasal 1 angka 10 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:
|
|||||
|
|
|||||
|
Pasal 1
|
|||||
|
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
|
|||||
|
1.
|
Undang-Undang Kepabeanan adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006.
|
||||
|
2.
|
Undang-Undang Cukai adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007.
|
||||
|
3.
|
Tempat Penimbunan Berikat adalah bangunan, tempat, atau kawasan yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan Bea Masuk.
|
||||
|
4.
|
Kawasan Berikat adalah Tempat Penimbunan Berikat untuk menimbun barang impor dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean guna diolah atau digabungkan, yang hasilnya terutama untuk diekspor.
|
||||
|
5.
|
Penyelenggara Kawasan Berikat adalah badan hukum yang melakukan kegiatan menyediakan dan mengelola kawasan untuk kegiatan pengusahaan Kawasan Berikat.
|
||||
|
6.
|
Pengusaha Kawasan Berikat adalah badan hukum yang melakukan kegiatan pengusahaan Kawasan Berikat.
|
||||
|
7.
|
Pengusaha di Kawasan Berikat merangkap Penyelenggara di Kawasan Berikat, yang selanjutnya disingkat PDKB, adalah badan hukum yang melakukan kegiatan pengusahaan Kawasan Berikat yang berada di dalam Kawasan Berikat milik Penyelenggara Kawasan Berikat yang statusnya sebagai badan hukum yang berbeda.
|
||||
|
8.
|
Kegiatan Pengolahan adalah kegiatan:
|
||||
|
|
a.
|
mengolah barang dan bahan dengan atau tanpa Bahan Penolong menjadi barang hasil produksi dengan nilai tambah yang lebih tinggi, termasuk perubahan sifat dan fungsinya; dan/atau
|
|||
|
|
b.
|
budidaya flora dan fauna.
|
|||
|
9.
|
Kegiatan Penggabungan adalah menggabungkan barang Hasil Produksi Kawasan Berikat yang bersangkutan sebagai produk utama dengan barang jadi yang berasal dari impor, dari Kawasan Berikat lain, dan/atau dari tempat lain dalam daerah pabean.
|
||||
|
10.
|
Barang Modal adalah barang yang digunakan oleh Penyelenggara Kawasan Berikat, Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB berupa:
|
||||
|
|
a.
|
peralatan untuk pembangunan, perluasan, atau konstruksi Kawasan Berikat;
|
|||
|
|
b.
|
mesin;
|
|||
|
|
c.
|
peralatan pabrik; dan
|
|||
|
|
d.
|
cetakan (moulding),
|
|||
|
|
termasuk suku cadang, tidak meliputi bahan dan perkakas untuk pembangunan, perluasan, atau konstruksi Kawasan Berikat.
|
||||
|
11.
|
Bahan Baku adalah barang dan bahan yang akan diolah menjadi barang hasil produksi yang mempunyai nilai guna yang lebih tinggi.
|
||||
|
12.
|
Bahan Penolong adalah barang dan bahan selain Bahan Baku yang digunakan dalam Kegiatan Pengolahan atau Kegiatan Penggabungan yang berfungsi membantu dalam proses produksi.
|
||||
|
13.
|
Sisa Bahan Baku adalah Bahan Baku yang masih tersisa yang tidak digunakan lagi dalam proses produksi.
|
||||
|
14.
|
Hasil Produksi Kawasan Berikat adalah hasil dari Kegiatan Pengolahan atau Kegiatan Pengolahan dan Kegiatan Penggabungan sesuai yang tercantum dalam keputusan mengenai penetapan izin sebagai Kawasan Berikat.
|
||||
|
15.
|
Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut Kawasan Bebas, adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari daerah pabean, sehingga bebas dari pengenaan Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan Cukai.
|
||||
|
16.
|
Pajak Dalam Rangka Impor yang selanjutnya disingkat PDRI adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan/atau Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Impor.
|
||||
|
17.
|
Orang adalah orang perseorangan atau badan hukum.
|
||||
|
18.
|
Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
|
||||
|
19.
|
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
|
||||
|
20.
|
Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama adalah Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan dan Undang-Undang Cukai.
|
||||
|
21.
|
Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan dan Undang-Undang Cukai.
|
||||
|
22.
|
Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu.
|
||||
|
23.
|
Petugas Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang bertugas di Kawasan Berikat.
|
||||
|
24.
|
Badan Pengusahaan Kawasan Bebas adalah Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.
|
||||
|
|
|
||||
2.
|
Diantara Pasal 24 dan Pasal 25 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 24A yang berbunyi sebagai berikut:
|
|||||
|
|
|||||
|
Pasal 24A
|
|||||
|
(1)
|
Persetujuan untuk pemasukan barang modal berupa peralatan pabrik dan/atau suku cadang barang modal diberikan oleh Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama atas permohonan Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB.
|
||||
|
(2)
|
Persetujuan untuk pemasukan barang modal berupa peralatan pabrik dan/atau suku cadang barang modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan memperhatikan tingkat kepatuhan perusahaan, keterkaitan barang yang dimasukkan dengan kegiatan produksi, serta kewajaran jumlah barang modal yang dimasukkan.
|
||||
|
|
|
||||
3.
|
Ketentuan Pasal 32 ayat (1) dan ayat (3) diubah sehingga Pasal 32 berbunyi sebagai berikut:
|
|||||
|
||||||
|
Pasal 32
|
|||||
|
(1)
|
Barang Modal asal impor di Kawasan Berikat yang belum diselesaikan kewajiban pembayaran Bea Masuk, dapat dikeluarkan dengan tujuan:
|
||||
|
|
a.
|
diekspor kembali, dengan persetujuan Kepala Kantor Pabean;
|
|||
|
|
b.
|
dipindahtangankan ke Kawasan Berikat lain dengan ketentuan:
|
|||
|
|
|
1)
|
setelah 2 (dua) tahun sejak diimpor dan telah dipergunakan di Kawasan Berikat yang bersangkutan, dengan persetujuan Kepala Kantor Pabean;
|
||
|
|
|
2)
|
sebelum 2 (dua) tahun sejak diimpor dan/atau belum dipergunakan di Kawasan Berikat yang bersangkutan dengan memperhatikan alasan pemindahtanganan dengan persetujuan Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama.
|
||
|
|
c.
|
dipindahtangankan ke tempat lain dalam daerah pabean sebelum jangka waktu 4 (empat) tahun sejak diimpor atau sejak dimasukkan untuk digunakan di Kawasan Berikat asal, dan telah dipergunakan di Kawasan Berikat sekurang-kurangnya selama 2 (dua) tahun dengan persetujuan Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dengan ketentuan:
|
|||
|
|
|
1)
|
membayar Bea Masuk yang dihitung berdasarkan:
|
||
|
|
|
|
a)
|
nilai pabean dan klasifikasi yang berlaku pada saat barang impor dimasukkan ke Kawasan Berikat; dan
|
|
|
|
|
|
b)
|
pembebanan pada saat pemberitahuan pabean impor untuk dipakai didaftarkan.
|
|
|
|
|
2)
|
membayar PDRI yang dihitung berdasarkan nilai impor yang berlaku pada saat barang impor dimasukkan ke Kawasan Berikat;
|
||
|
|
|
3)
|
atas penyerahan barang dari Kawasan Berikat ke tempat lain dalam daerah pabean, Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dan membuat faktur pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
||
|
|
d.
|
dipindahtangankan ke tempat lain dalam daerah pabean setelah 4 (empat) tahun sejak diimpor atau sejak dimasukkan untuk digunakan di Kawasan Berikat asal, dan telah dipergunakan di Kawasan Berikat sekurang-kurangnya selama 2 (dua) tahun, setelah mendapatkan persetujuan dari Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama, dengan ketentuan:
|
|||
|
|
|
1)
|
mendapat pembebasan Bea Masuk, dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama; dan
|
||
|
|
|
2)
|
atas penyerahan barang dari Kawasan Berikat ke tempat lain dalam daerah pabean, Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dan membuat faktur pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
||
|
(2)
|
Nilai impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2) diperoleh dari penjumlahan nilai pabean pada saat dimasukkan ke dalam Kawasan Berikat ditambah Bea Masuk.
|
||||
|
(3)
|
Penghitungan Bea Masuk dan/atau Cukai, dan PDRI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menggunakan Nilai Dasar Perhitungan Bea Masuk (NDPBM) yang ditetapkan oleh Menteri yang berlaku pada saat pembayaran.
|
||||
|
|
|
||||
4.
|
Ketentuan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) diubah sehingga Pasal 39 berbunyi sebagai berikut:
|
|||||
|
||||||
|
Pasal 39
|
|||||
|
(1)
|
Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB dapat:
|
||||
|
|
a.
|
memberikan pekerjaan subkontrak sebagian Kegiatan Pengolahan kepada Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB lainnya dan/atau kepada perusahaan industri di tempat lain dalam daerah pabean; dan/atau
|
|||
|
|
b.
|
menerima pekerjaan subkontrak dari Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB lainnya dan/atau dari perusahaan industri di tempat lain dalam daerah pabean.
|
|||
|
(2)
|
Pemeriksaan awal atau penyortiran dan pemeriksaan akhir atau pengepakan, atas pekerjaan subkontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, harus dilakukan di Kawasan Berikat yang bersangkutan.
|
||||
|
(3)
|
Pekerjaan subkontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan berdasarkan perjanjian subkontrak.
|
||||
|
(4)
|
Pekerjaan subkontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Kepala Kantor Pabean.
|
||||
|
(5)
|
Dalam rangka pekerjaan subkontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB dapat meminjamkan mesin produksi dan cetakan (moulding) kepada penerima subkontrak.
|
||||
|
(6)
|
Atas pengeluaran barang dan/atau bahan dalam rangka subkontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau mesin produksi dan cetakan (moulding) sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ke perusahaan/badan usaha di tempat lain dalam daerah pabean, Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB harus menyerahkan jaminan.
|
||||
|
(7)
|
Besarnya jaminan yang harus diserahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), didasarkan pada perjanjian subkontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
|
||||
|
|
|
||||
5.
|
Ketentuan Pasal 56A diubah sehingga Pasal 56A berbunyi sebagai berikut:
|
|||||
|
||||||
|
Pasal 56A
|
|||||
|
(1)
|
Terhadap izin sebagai Kawasan Berikat yang telah diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini yang tidak memenuhi persyaratan lokasi di kawasan industri atau di kawasan budidaya yang diperuntukkan bagi kegiatan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, dapat diberikan perpanjangan izin paling lama sampai dengan tanggal 31 Desember 2016 dengan tidak diberlakukan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sepanjang memenuhi kriteria sekurang-kurangnya:
|
||||
|
|
a.
|
tingkat kepatuhan perusahaan;
|
|||
|
|
b.
|
memiliki tingkat risiko rendah; dan
|
|||
|
|
c.
|
tidak memiliki tunggakan hutang atau kewajiban kepabeanan.
|
|||
|
(2)
|
Terhadap Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB yang telah mendapatkan izin sebelum berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011 tentang Kawasan Berikat, berlaku ketentuan sebagai berikut:
|
||||
|
|
a.
|
Terhadap pemindahtanganan barang modal dari Kawasan Berikat ke tempat lain dalam daerah pabean yang diimpor sebelum berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011 tentang Kawasan Berikat, tetap diberlakukan ketentuan pemindahtanganan sesuai Keputusan Menteri Keuangan Nomor 291/KMK.05/1997 tentang Kawasan Berikat sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.04/2005.
|
|||
|
|
b.
|
Batasan pengeluaran Hasil Produksi Kawasan Berikat ke tempat lain dalam daerah pabean untuk barang yang masih memerlukan proses lebih lanjut, tidak dapat berfungsi tanpa bantuan barang lainnya, dan/atau tidak dapat digunakan langsung oleh konsumen akhir (intermediate goods), berlaku ketentuan sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 291/KMK.05/1997 tentang Kawasan Berikat sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 101/PMK.04/2005 sampai dengan tanggal 31 Desember 2014.
|
|||
|
(3)
|
Untuk mendapatkan persetujuan pemindahtanganan barang modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan penjualan hasil produksi ke tempat lain dalam daerah pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB harus mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal.
|
||||
|
(4)
|
Setelah melakukan penelitian terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Jenderal dapat memberikan persetujuan atau penolakan.
|
||||
|
|
|
||||
6.
|
Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga Pasal 58 berbunyi sebagai berikut:
|
|||||
|
||||||
|
Pasal 58
|
|||||
|
(1)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai:
|
||||
|
|
a.
|
penerapan manajemen risiko dalam rangka pemeriksaan pabean secara selektif dan penerapan manajemen risiko untuk pemberian kemudahan kepabeanan dan cukai;
|
|||
|
|
b.
|
tata cara pengajuan permohonan dan penerbitan izin Kawasan Berikat;
|
|||
|
|
c.
|
tata cara pengawasan dan pelayanan atas pemasukan barang ke Kawasan Berikat, pengeluaran barang dari Kawasan Berikat, musnah tanpa sengaja, dan pemusnahan barang di Kawasan Berikat;
|
|||
|
|
d.
|
tata cara pembekuan dan pencabutan izin Kawasan Berikat;
|
|||
|
|
e.
|
tata cara pemeriksaan sederhana;
|
|||
|
|
f.
|
tata cara perpanjangan izin dan penetapan lokasi untuk Kawasan Berikat; dan
|
|||
|
|
g.
|
tata cara subkontrak,
|
|||
|
|
diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
|
||||
|
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai:
|
||||
|
|
a.
|
tata cara penerbitan faktur pajak atas pemasukan barang ke Kawasan Berikat dan pengeluaran barang dari Kawasan Berikat; dan
|
|||
|
|
b.
|
tata cara pelaporan dan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) serta Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Impor atas pengeluaran barang dari Kawasan Berikat ke tempat lain dalam daerah pabean.
|
|||
|
|
diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
|
||||
|
|
|
||||
Pasal II |
||||||
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
|
||||||
|
||||||
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
|
||||||
|
||||||
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 16 Maret 2012 MENTERI KEUANGAN, ttd.
AGUS D.W. MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 16 Maret 2012 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd.
AMIR SYAMSUDIN BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 317
|