Quick Guide
Hide Quick Guide
Bandingkan Versi Sebelumnya
Buka PDF
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Premium
Terjemahan Dokumen
Ini Belum Tersedia
Ini Belum Tersedia
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 147 TAHUN 2023
TENTANG
PENGHAPUSAN PIUTANG DI BIDANG KEPABEANAN DAN CUKAI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
PENGHAPUSAN PIUTANG DI BIDANG KEPABEANAN DAN CUKAI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
|
|
|
|
|
Menimbang |
||||
a.
|
bahwa ketentuan mengenai penghapusan piutang di bidang kepabeanan dan cukai telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.04/2012 tentang Tata Cara Penghapusan dan Penetapan Besarnya Penghapusan Piutang Bea Masuk dan/atau Cukai;
|
|||
b.
|
bahwa untuk mewujudkan aset yang harus memenuhi kriteria potensi manfaat ekonomi dan mempunyai nilai atau biaya yang dapat diukur dengan andal dalam rangka menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan penatausahaan piutang di bidang kepabeanan dan cukai, perlu mengatur kembali ketentuan mengenai penghapusan piutang di bidang kepabeanan dan cukai;
|
|||
c.
|
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan dan ketentuan Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, hak penagihan atas utang menjadi kedaluwarsa setelah 10 (sepuluh) tahun sejak timbulnya kewajiban membayar;
|
|||
d.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penghapusan Piutang di Bidang Kepabeanan dan Cukai;
|
|||
|
|
|
|
|
Mengingat |
||||
1.
|
Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
|||
2.
|
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
|
|||
3.
|
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3613) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4755);
|
|||
4.
|
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 368) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3987);
|
|||
5.
|
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
|
|||
6.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5165);
|
|||
7.
|
Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
|
|||
8.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1031) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 135 Tahun 2023 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 977);
|
|||
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
||||
Menetapkan |
||||
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGHAPUSAN PIUTANG DI BIDANG KEPABEANAN DAN CUKAI.
|
||||
|
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM Pasal 1 |
||||
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
|
||||
1.
|
Piutang Kepabeanan dan Cukai yang selanjutnya disebut Piutang adalah tagihan atas bea masuk, bea keluar, dan/atau cukai, yang belum dilunasi termasuk bea masuk antidumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, bea masuk pembalasan, sanksi administrasi berupa denda, dan/atau bunga.
|
|||
2.
|
Penghapusbukuan adalah proses akuntansi untuk menghapus pencatatan aset berupa Piutang dari neraca dengan tidak menghilangkan hak tagih.
|
|||
3.
|
Penghapustagihan adalah serangkaian kegiatan untuk menghapus hak tagih atau upaya tagih berdasarkan berbagai kriteria dan prosedur yang ditetapkan.
|
|||
4.
|
Laporan Keuangan adalah laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara berupa laporan realisasi anggaran, neraca, laporan operasional, laporan perubahan ekuitas, dan catatan atas laporan keuangan.
|
|||
5.
|
Neraca adalah komponen Laporan Keuangan yang menggambarkan posisi keuangan suatu entitas pelaporan mengenai aset, kewajiban, dan ekuitas pada tanggal tertentu.
|
|||
6.
|
Catatan atas Laporan Keuangan yang selanjutnya disingkat dengan CaLK adalah komponen Laporan Keuangan yang meliputi penjelasan, daftar rincian, dan/atau analisis atas Laporan Keuangan.
|
|||
7.
|
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
|
|||
8.
|
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||
9.
|
Kantor Wilayah adalah Kantor Wilayah dan Kantor Wilayah Khusus di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||
10.
|
Kantor Pelayanan adalah Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai dan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 2 |
||||
(1)
|
Terhadap Piutang dapat dilakukan penghapusan.
|
|||
(2)
|
Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
Penghapusbukuan; dan
|
||
|
b.
|
Penghapustagihan.
|
||
(3)
|
Penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Piutang yang tercantum dalam:
|
|||
|
a.
|
surat penetapan;
|
||
|
b.
|
surat tagihan;
|
||
|
c.
|
Keputusan Direktur Jenderal mengenai keberatan; dan/atau
|
||
|
d.
|
putusan badan peradilan pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan/atau cukai.
|
||
|
|
|
|
|
BAB II
KEDALUWARSA Pasal 3 |
||||
(1)
|
Hak penagihan atas Piutang yang tercantum dalam dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), menjadi kedaluwarsa setelah 10 (sepuluh) tahun sejak timbulnya kewajiban membayar.
|
|||
(2)
|
Masa kedaluwarsa atas Piutang di bidang kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diperhitungkan dalam hal:
|
|||
|
a.
|
yang terutang tidak bertempat tinggal di Indonesia;
|
||
|
b.
|
yang terutang memperoleh penundaan atas kekurangan pembayaran bea masuk dan/atau denda administrasi paling lama 12 (dua belas) bulan; atau
|
||
|
c.
|
yang terutang melakukan pelanggaran di bidang kepabeanan.
|
||
(3)
|
Masa kedaluwarsa atas Piutang di bidang cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diperhitungkan dalam hal terdapat pengakuan utang cukai.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB III
PENGHAPUSBUKUAN Bagian Kesatu Kriteria Penghapusbukuan Pasal 4 |
||||
(1)
|
Penghapusbukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a dapat dilakukan dalam hal Piutang tidak memenuhi kriteria pengakuan aset sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai standar akuntansi pemerintahan.
|
|||
(2)
|
Penghapusbukuan sebagaimana dirhaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Piutang dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
hak penagihannya sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1);
|
||
|
b.
|
pihak yang terutang merupakan orang pribadi, dalam hal:
|
||
|
|
1.
|
telah meninggal dunia dan tidak mempunyai harta warisan atau kekayaan;
|
|
|
|
2.
|
pailit; dan/atau
|
|
|
|
3.
|
tidak dapat ditemukan;
|
|
|
c.
|
pihak yang terutang merupakan badan hukum, dalam hal:
|
||
|
|
1.
|
telah bubar atau likuidasi;
|
|
|
|
2.
|
pailit; dan/atau
|
|
|
|
3.
|
tidak dapat ditemukan; atau
|
|
|
d.
|
hak penagihannya tidak dapat dilaksanakan karena kondisi tertentu sehubungan dengan adanya perubahan kebijakan dan/atau berdasarkan pertimbangan yang ditetapkan oleh Menteri.
|
||
(3)
|
Penghapusbukuan terhadap Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c, dapat dilakukan setelah dilakukan penagihan aktif.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pengajuan Penghapusbukuan Pasal 5 |
||||
(1)
|
Kepala Kantor Pelayanan menyusun daftar usulan Penghapusbukuan dan mengirimkan daftar usulan Penghapusbukuan terhadap Piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) kepada direktur di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang mengelola penerimaan.
|
|||
(2)
|
Direktur di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang mengelola penerimaan melakukan rekapitulasi dan validasi data atas daftar usulan Penghapusbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||
(3)
|
Hasil rekapitulasi dan validasi data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Sekretaris Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||
(4)
|
Sekretaris Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melakukan Penghapusbukuan pada Neraca berdasarkan hasil rekapitulasi dan validasi data sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
|
|||
(5)
|
Piutang yang telah dilakukan Penghapusbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dicatat secara ekstrakomptabel dan diungkapkan secara memadai dalam CaLK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai standar akuntansi pemerintahan.
|
|||
(6)
|
Piutang yang telah dilakukan Penghapusbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tetap dikelola sampai dengan dilakukannya Penghapustagihan.
|
|||
(7)
|
Daftar usulan Penghapusbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB IV
PENGHAPUSTAGIHAN Bagian Kesatu Kriteria Penghapustagihan Pasal 6 |
||||
Penghapustagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b dilakukan terhadap:
|
||||
a.
|
piutang yang hak penagihannya sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1); dan/atau
|
|||
b.
|
hak negara untuk melakukan penagihan tidak dapat dilaksanakan karena kondisi tertentu sehubungan dengan adanya perubahan kebijakan dan/atau berdasarkan pertimbangan yang ditetapkan oleh Menteri.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Tim Penghapustagihan Pasal 7 |
||||
(1)
|
Dalam rangka pengajuan usulan Piutang yang akan dilakukan Penghapustagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, dibentuk tim Penghapustagihan.
|
|||
(2)
|
Tim Penghapustagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh:
|
|||
|
a.
|
kepala Kantor Pelayanan;
|
||
|
b.
|
kepala Kantor Wilayah; atau
|
||
|
c.
|
Direktur Jenderal.
|
||
(3)
|
Tim Penghapustagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit beranggotakan:
|
|||
|
a.
|
jurusita bea dan cukai disertai dengan perwakilan dari unit yang mengelola penerimaan dan unit yang mengelola pengawasan untuk Kantor Pelayanan;
|
||
|
b.
|
perwakilan dari unit yang mengelola penerimaan dan unit yang mengelola pengawasan untuk Kantor Wilayah; dan
|
||
|
c.
|
perwakilan dari unit eselon II yang mengelola penerimaan dan unit eselon II yang melaksanakan pengawasan untuk kantor pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Pengajuan Penghapustagihan Pasal 8 |
||||
(1)
|
Tim Penghapustagihan pada Kantor Pelayanan melakukan penelitian administrasi dan/atau penelitian lapangan terhadap Piutang yang diusulkan untuk dilakukan Penghapustagihan.
|
|||
(2)
|
Hasil penelitian administrasi dan/atau hasil penelitian lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam laporan hasil penelitian.
|
|||
(3)
|
Berdasarkan laporan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepala Kantor Pelayanan menyusun daftar usulan Penghapustagihan dan mengajukan daftar usulan Penghapustagihan kepada Menteri secara berjenjang rrtelalui:
|
|||
|
a.
|
kepala Kantor Wilayah, dalam hal daftar usulan Penghapustagihan disampaikan oleh kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai; atau
|
||
|
b.
|
Direktur Jenderal u.p direktur di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang mengelola penerimaan, dalam hal daftar usulan disampaikan oleh kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai.
|
||
(4)
|
Daftar usulan Penghapustagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 9 |
||||
(1)
|
Tim Penghapustagihan pada Kantor Wilayah melakukan penelitian administrasi atas daftar usulan Penghapustagihan yang diusulkan oleh kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a.
|
|||
(2)
|
Dalam hal hasil penelitian administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan:
|
|||
|
a.
|
sesuai, kepala Kantor Wilayah menyusun daftar usulan Penghapustagihan dan menyampaikan daftar usulan Penghapustagihan kepada Direktur Jenderal u.p direktur di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang mengelola penerimaan; atau
|
||
|
b.
|
tidak sesuai atau masih diperlukan dokumen pendukung, kepala Kantor Wilayah mengembalikan daftar usulan Penghapustagihan dengan disertai alasan pengembalian.
|
||
(3)
|
Daftar usulan Penghapustagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a disampaikan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 10 |
||||
(1)
|
Tim Penghapustagihan pada kantor pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melakukan penelitian administrasi atas daftar usulan Penghapustagihan yang disampaikan oleh kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf b dan daftar usulan Penghapustagihan yang disampaikan oleh kepala Kantor Wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a.
|
|||
(2)
|
Dalam hal hasil penelitian administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan:
|
|||
|
a.
|
sesuai, Direktur Jenderal menyusun daftar usulan Penghapustagihan dari menyampaikan daftar usulan Penghapustagihan kepada Menteri; atau
|
||
|
b.
|
tidak sesuai atau masih diperlukan dokumen pendukung, direktur di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang mengelola penerimaan atas nama Direktur Jenderal mengembalikan daftar usulan Penghapustagihan kepada:
|
||
|
|
1.
|
kepala Kantor Wilayah, dalam hal daftar usulan Penghapustagihan disampaikan oleh kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai; atau
|
|
|
|
2.
|
kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai,
|
|
|
|
dengan disertai alasan pengembalian.
|
||
(3)
|
Daftar usulan Penghapustagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a disampaikan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 11 |
||||
(1)
|
Penyampaian daftar usulan Penghapustagihan kepada Menteri sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 10 ayat (2) huruf a dilakukan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun anggaran.
|
|||
(2)
|
Daftar usulan Penghapustagihan Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan melalui sistem aplikasi persuratan yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Keputusan Penghapustagihan Pasal 12 |
||||
(1)
|
Berdasarkan daftar usulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal Menteri menerbitkan Keputusan Penghapustagihan.
|
|||
(2)
|
Keputusan Menteri mengenai Penghapustagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 13 |
||||
Menteri dapat menugaskan Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan untuk melakukan reviu atas daftar usulan Penghapustagihan yang disampaikan oleh Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a sebelum diterbitkan Keputusan Menteri sebagaimana· dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 14 |
||||
(1)
|
Kepala Kantor Pelayanan melakukan penghapusan data Piutang pada catatan Piutang berdasarkan Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1).
|
|||
(2)
|
Penghapusan catatan Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diungkapkan dalam CaLK pada periode terjadinya Penghapustagihan.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB V
MONITORING DAN EVALUASI Pasal 15 |
||||
(1)
|
Dalam rangka menjamin efektivitas kegiatan penghapusan Piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dilakukan proses monitoring dan evaluasi atas kegiatan penghapusan Piutang yang telah dilakukan pada periode sebelumnya.
|
|||
(2)
|
Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun oleh:
|
|||
|
a.
|
direktur di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang mengelola penerimaan;
|
||
|
b.
|
kepala Kantor Wilayah; atau
|
||
|
c.
|
kepala Kantor Pelayanan.
|
||
(3)
|
Hasil monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat digunakan untuk melakukan perbaikan pada kebijakan dan/atau pelaksanaan penghapusan Piutang berikutnya.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 16 |
||||
(1)
|
Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dilakukan melalui sistem aplikasi perbendaharaan yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||
(2)
|
Dalam hal sistem aplikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengalami gangguan operasional atau belum dapat diterapkan, monitoring dan evaluasi dilakukan secara manual berdasarkan catatan Piutang.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 17 |
||||
(1)
|
Kepala Kantor Pelayanan melakukan penelusuran dokumen dalam hal:
|
|||
|
a.
|
dokumen Piutang; dan/atau
|
||
|
b.
|
dokumen penagihan,
|
||
|
atas Piutang yang akan dilakukan Penghapustagihan tidak ditemukan.
|
|||
(2)
|
Hasil penelusuran dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam berita acara penelusuran dokumen.
|
|||
(3)
|
Berita acara penelusuran dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat digunakan sebagai usulan Penghapustagihan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 18 |
||||
Direktur Jenderal dapat menetapkan petunjuk teknis dalam penghapusan Piutang di bidang kepabeanan dan cukai.
|
||||
|
|
|
|
|
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN Pasal 19 |
||||
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
|
||||
a.
|
terhadap usulan penghapusan Piutang yang telah diajukan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dan belum diterbitkan Keputusan Menteri mengenai penghapusan Piutang, proses penyelesaiannya dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.04/2012 tentang Tata Cara Penghapusan dan Penetapan Besarnya Penghapusan Piutang Bea Masuk dan/atau Cukai; dan
|
|||
b.
|
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) tidak berlaku terhadap Penghapusbukuan atas Piutang yang telah kedaluwarsa sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP Pasal 20 |
||||
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.04/2012 tentang Tata Cara Penghapusan dan Penetapan Besarnya Penghapusan Piutang Bea Masuk dan/atau Cukai (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 499), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 21 |
||||
Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.
|
||||
|
|
|
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
|
||||
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Desember 2023 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 2023 DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd. ASEP N. MULYANA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2023 NOMOR 1085 |