Quick Guide
Hide Quick Guide
    Aktifkan Mode Highlight
    Premium
    File Lampiran
    Peraturan Terkait
    IDN
    ENG
    Fitur Terjemahan
    Premium
    Terjemahan Dokumen
    Ini Belum Tersedia
    Bagikan
    Tambahkan ke My Favorites
    Download as PDF
    Download Document
    Premium
    Status : Sudah tidak berlaku karena diganti/dicabut

    KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
    NOMOR KEP-545/PJ./2000

     
    TENTANG
     
    PETUNJUK PELAKSANAAN PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN PASAL 26 SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADI
     
    DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
     

    Menimbang

    bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 21 ayat (8) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 perlu menetapkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 Dan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, Dan Kegiatan Orang Pribadi;
     

    Mengingat

    1.
    Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984);
    2.
    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3985);
    3.
    Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun 2000 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 253, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4055);
    4.
    Peraturan Pemerintah Nomor 149 Tahun 2000 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Atas Penghasilan Berupa Uang Pesangon, Uang Tebusan Pensiun, Dan Tunjangan Hari Tua Atau Jaminan Hari Tua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 266, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4067);
    5.
    Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota ABRI, dan Para Pensiunan atas Penghasilan yang Dibebankan Kepada Keuangan Negara atau Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3577);
    6.
    Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3520);
    7.
    Keputusan Menteri Keuangan Nomor 541/KMK.04/2000 tanggal 22 Desember 2000 tentang Penentuan Tanggal Jatuh Tempo Pembayaran Dan Penyetoran Pajak, Tempat Pembayaran Pajak, Tata Cara Pembayaran, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak, Serta Tata Cara Pemberian Angsuran atau Penundaan Pembayaran Pajak;
    8.
    Keputusan Menteri Keuangan Nomor 611/KMK.04/1994 tanggal 23 Desember 1994 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Bagi Perwakilan Organisasi Internasional dan Pejabat Perwakilan Organisasi Internasional, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 314/KMK.04/1998 tanggal 15 Juni 1998;
    9.
    Keputusan Menteri Keuangan Nomor 520/KMK.04/1998 tanggal 18 Desember 1998 tentang Bagian Penghasilan Sehubungan Dengan Pekerjaan Dari Pegawai Harian dan Mingguan Serta Pegawai Tidak tetap Lainnya yang Tidak Dikenakan Pemotongan Pajak Penghasilan;
    10.
    Keputusan Menteri Keuangan Nomor 521/KMK.04/1998 tanggal 18 Desember 1998 tentang Besarnya Biaya jabatan atau Biaya Pensiun yang dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Pegawai Tetap atau Pensiunan;
     
    MEMUTUSKAN:

    Menetapkan

    KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 DAN PASAL 26 SEHUBUNGAN DENGAN PEKERJAAN, JASA, DAN KEGIATAN ORANG PRIBADI.
     
    BAB l
    KETENTUAN UMUM
     

    Pasal 1

    Dalam Keputusan ini, yang dimaksud dengan:
    1.
    Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang disingkat PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 26 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.
    2.
    Pejabat Negara adalah:
     
    a)
    Presiden dan Wakil Presiden;
     
    b)
    Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota DPR/MPR, DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota;
     
    c)
    Ketua dan Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan;
     
    d)
    Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Mahkamah Agung;
     
    e)
    Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung;
     
    f)
    Menteri, Menteri Negara, dan Menteri Muda;
     
    g)
    Jaksa Agung;
     
    h)
    Gubernur dan Wakil Gubernur Kepala Daerah Propinsi;
     
    i)
    Bupati dan Wakil Bupati Kepala Daerah Kabupaten;
     
    j)
    Walikota dan Wakil Walikota.
    3.
    Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah PNS-Pusat, PNS-Daerah, dan PNS lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974.
    4.
    Pegawai adalah setiap orang pribadi, yang melakukan pekerjaan berdasarkan perjanjian atau kesepakatan kerja baik tertulis maupun tidak tertulis, termasuk yang melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri atau badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
    5.
    Pegawai Tetap adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang menerima atau memperoleh gaji dalam jumlah tertentu secara berkala, termasuk anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas yang secara teratur terus menerus ikut mengelola kegiatan perusahaan secara langsung.
    6.
    Pegawai dengan status Wajib Pajak luar negeri adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan yang menerima atau memperoleh gaji, honorarium dan/atau imbalan lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan.
    7.
    Tenaga Lepas adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang hanya menerima imbalan apabila orang pribadi yang bersangkutan bekerja.
    8.
    Penerima Pensiun adalah orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima atau memperoleh imbalan untuk pekerjaan yang dilakukan dimasa lalu, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua.
    9.
    Penerima Honorarium adalah orang pribadi yang menerima atau memperoleh imbalan sehubungan dengan jasa, jabatan, atau kegiatan yang dilakukannya.
    10.
    Penerima Upah adalah orang pribadi yang menerima upah harian, upah mingguan, upah borongan, atau upah satuan.
    11.
    Upah Harian adalah upah yang terutang atau dibayarkan atas dasar jumlah hari kerja.
    12.
    Upah Mingguan adalah upah yang terutang atau dibayarkan secara mingguan.
    13.
    Upah Borongan adalah upah yang terutang atau dibayarkan atas dasar penyelesaian pekerjaan tertentu.
    14.
    Upah Satuan adalah upah yang terutang atau dibayarkan atas dasar banyaknya satuan produk yang dihasilkan.
    15.
    Honorarium adalah imbalan atas jasa, jabatan, atau kegiatan yang dilakukan.
    16.
    Hadiah atau penghargaan perlombaan adalah hadiah atau penghargaan yang diberikan melalui suatu perlombaan atau adu ketangkasan.
    17.
    Magang adalah aktivitas untuk memperoleh pengalaman dan atau keterampilan dan atau keahlian sehubungan dengan pekerjaan yang akan dilakukan.
    18.
    Beasiswa adalah pembayaran kepada pegawai tetap, tidak tetap, dan calon pegawai, yang ditugaskan oleh pemberi kerja untuk mengikuti program pendidikan yang ditetapkan oleh pemberi kerja yang terikat dengan kontrak atau perjanjian kerja atau pembayaran yang dilakukan oleh suatu institusi kepada orang pribadi yang tidak mempunyai ikatan kontrak atau perjanjian kerja untuk mengikuti suatu program pendidikan.
    19.
    Kegiatan adalah keikutsertaan dalam suatu rangkaian tindakan, termasuk mengikuti rapat, sidang, seminar, lokakarya (workshop), pendidikan, pertunjukan, dan olahraga.
    20.
    Kegiatan multilevel marketing atau direct selling adalah suatu sistem penjualan secara langsung kepada konsumen yang dilakukan secara berantai oleh orang-perorang sebagai distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling.
    21.
    Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.
     
    BAB II
    PEMOTONG PAJAK DAN PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG PAJAK
     

    Pasal 2

    (1)
    Pemotong Pajak PPh Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26, yang selanjutnya disingkat Pemotong Pajak adalah:
     
    a.
    pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan pusat maupun cabang, perwakilan atau unit, bentuk usaha tetap, yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;
     
    b.
    bendaharawan pemerintah termasuk bendaharawan pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan;
     
    c.
    dana pensiun, badan penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja, dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun dan Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua;
     
    d.
    perusahaan, badan, dan bentuk usaha tetap, yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan, jasa, termasuk jasa tenaga ahli dengan status Wajib Pajak dalam negeri yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya;
     
    e.
    perusahaan, badan, dan bentuk usaha tetap, yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Wajib Pajak luar negeri;
     
    f.
    yayasan (termasuk yayasan di bidang kesejahteraan, rumah sakit, pendidikan, kesenian, olahraga, kebudayaan), lembaga, kepanitiaan, asosiasi, perkumpulan, organisasi massa, organisasi sosial politik, dan organisasi lainnya dalam bentuk apapun dalam segala bidang kegiatan sebagai pembayar gaji, upah, honorarium, atau imbalan dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi;
     
    g.
    perusahaan, badan, dan bentuk usaha tetap, yang membayarkan honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan pemagangan;
     
    h.
    penyelenggara kegiatan (termasuk badan pemerintah, organisasi termasuk organisasi internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan) yang membayar honorarium, hadiah atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan.
    (2)
    Dalam pengertian pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) huruf a termasuk juga badan atau organisasi internasional yang tidak dikecualikan sebagai Pemotong Pajak berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan sesuai dengan ketentuan Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.
    (3)
    Perusahaan dan badan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) huruf d, e, dan g termasuk Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, perusahaan swasta dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan badan atau organisasi internasional dalam bentuk apapun yang tidak dikecualikan sebagai Pemotong Pajak berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan sesuai dengan ketentuan Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000.
     
     

    Pasal 3

    Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan atau PPh Pasal 26 berdasarkan Keputusan ini adalah orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 sampai dengan angka 10 serta orang pribadi lainnya yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan dari Pemotong Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
     

    Pasal 4

    Tidak termasuk dalam pengertian penerima penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 adalah:
     
     
    a.
    pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
    b.
    pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 611/KMK.04/1994 tanggal 23 Desember 1994 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 314/KMK.04/1998 tanggal 15 Juni 1998, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
     
     
    BAB III
    PENGHASILAN YANG DIPOTONG PAJAK
     

    Pasal 5

    (1)
    Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah:
     
    a.
    penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur berupa gaji, uang pensiun bulanan, upah, honorarium (termasuk honorarium anggota dewan komisaris atau anggota dewan pengawas), premi bulanan, uang lembur, uang sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan isteri, tunjangan anak, tunjangan kemahalan, tunjangan jabatan, tunjangan khusus, tunjangan transpot, tunjangan pajak, tunjangan iuran pensiun, tunjangan pendidikan anak, beasiswa, premi asuransi yang dibayar pemberi kerja, dan penghasilan teratur lainnya dengan nama apapun;
     
    b.
    penghasilan yang diterima atau diperoleh secara tidak teratur berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, tunjangan cuti, tunjangan hari raya, tunjangan tahun baru, bonus, premi tahunan, dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap;
     
    c.
    upah harian, upah mingguan, upah satuan, dan upah borongan;
     
    d.
    uang tebusan pensiun, uang pesangon, uang Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua, dan pembayaran lain sejenis;
     
    e.
    honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi, beasiswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dalam negeri, terdiri dari:
     
     
    1.
    tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7);
     
     
    2.
    pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, crew film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya;
     
     
    3.
    olahragawan;
     
     
    4.
    penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator;
     
     
    5.
    pengarang, peneliti, dan penerjemah;
     
     
    6.
    pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial;
     
     
    7.
    agen iklan;
     
     
    8.
    pengawas, pengelola proyek, anggota dan pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan, peserta sidang atau rapat, dan tenaga lepas lainnya dalam segala bidang kegiatan;
     
     
    9.
    pembawa pesanan atau yang menemukan langganan;
     
     
    10.
    peserta perlombaan;
     
     
    11.
    petugas penjaja barang dagangan;
     
     
    12.
    petugas dinas luar asuransi;
     
     
    13.
    peserta pendidikan, pelatihan, dan pemagangan;
     
     
    14.
    distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya.
     
    f.
    Gaji, gaji kehormatan, dan tunjangan-tunjangan lain yang terkait dengan gaji yang diterima oleh Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil serta uang pensiun dan tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya terkait dengan uang pensiun yang diterima oleh pensiunan termasuk janda atau duda dan atau anak-anaknya.
    (2)
    Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk pula penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak atau Wajib Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dan yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit).
    (3)
    Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26 adalah imbalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh orang pribadi dengan status Wajib Pajak luar negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan.
     
     

    Pasal 6

    Untuk keperluan penghitungan PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 26, penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam mata uang asing dihitung berdasarkan nilai tukar (kurs) yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang berlaku pada saat pembayaran penghasilan tersebut atau pada saat dibebankan sebagai biaya.
     

    Pasal 7

    Tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah:
    a.
    pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa;
    b.
    penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan kecuali yang diatur dalam Pasal 5 ayat (2);
    c.
    iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan dan iuran Jaminan Hari Tua kepada badan penyelenggara Jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja;
    d.
    penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang diberikan oleh Pemerintah;
    e.
    kenikmatan berupa pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja;
    f.
    zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.
     
    BAB IV
    PENGURANGAN YANG DIPERBOLEHKAN
     

    Pasal 8

    (1)
    Besarnya penghasilan neto pegawai tetap ditentukan berdasar penghasilan bruto dikurangi dengan:
     
    a.
    biaya jabatan, yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, dengan jumlah maksimum yang diperkenankan sejumlah Rp1.296.000,00 (satu juta dua ratus sembilan puluh enam ribu rupiah) setahun atau Rp108.000,00 (seratus delapan ribu rupiah) sebulan;
     
    b.
    iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan penyelenggara Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua yang dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
    (2)
    Besarnya penghasilan neto penerima pensiun ditentukan berdasar penghasilan bruto yang berupa uang pensiun dikurangi dengan biaya pensiun, yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara uang pensiun sebesar 5% (lima persen) dari penghasilan bruto berupa uang pensiun dengan jumlah maksimum yang diperkenankan sejumlah Rp432.000,00 (empat ratus tiga puluh dua ribu rupiah) setahun atau Rp36.000,00 (tiga puluh enam ribu rupiah) sebulan.
    (3)
    Besarnya Penghasilan Kena Pajak dari seorang pegawai dihitung berdasar penghasilan netonya dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang jumlahnya adalah sebagai berikut:
     
     
     
     
     
    Setahun
    Sebulan
    a.
    untuk diri pegawai
    Rp
    2.880.000,00
    Rp
    240.000,00
    b.
    tambahan untuk pegawai yang kawin
    Rp
    1.440.000,00
    Rp
    120.000,00
    c.
    tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus, serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang
    Rp
    1.440.000,00
    Rp
    120.000,00
     
     
    (4)
    Dalam hal karyawati kawin, PTKP yang dikurangkan adalah hanya untuk dirinya sendiri, dan dalam hal tidak kawin pengurangan PTKP selain untuk dirinya sendiri ditambah dengan PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya sebagaimana dimaksud dalam Ayat (3) huruf c.
    (5)
    Bagi karyawati yang menunjukkan keterangan tertulis dari Pemerintah Daerah setempat (serendah-rendahnya kecamatan) bahwa suaminya tidak menerima atau memperoleh penghasilan, diberikan tambahan PTKP sejumlah Rp1.440.000,00 (satu juta empat ratus empat puluh ribu rupiah) setahun atau Rp120.000,00 (seratus dua puluh ribu rupiah) sebulan dan ditambah PTKP untuk keluarganya sebagaimana dimaksud dalam Ayat (3) huruf c.
    (6)
    Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun takwim. Adapun bagi pegawai yang baru datang dan menetap di Indonesia dalam bagian tahun takwim, besarnya PTKP tersebut dihitung berdasarkan keadaan pada awal bulan dari bagian tahun takwim yang bersangkutan.
    (7)
    Pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) tidak berlaku terhadap penghasilan-penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c, huruf d, dan huruf e.
    (8)
    Pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dan Ayat (3) tidak berlaku terhadap penghasilan Wajib Pajak luar negeri. Penghasilan yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 26 terhadap Wajib Pajak luar negeri adalah penghasilan bruto.
     
     

    Pasal 9

    (1)
    Penghasilan bruto yang diterima pegawai harian, pegawai mingguan, pemagang, dan pegawai tidak tetap lainnya berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian yang jumlahnya tidak lebih dari Rp24.000,00 (dua puluh empat ribu rupiah) sehari, tidak dipotong PPh Pasal 21 sepanjang jumlah penghasilan bruto tersebut dalam satu bulan takwim tidak melebihi Rp240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah) dan tidak dibayarkan secara bulanan.
    (2)
    Pegawai harian, pegawai mingguan, pemagang, serta pegawai tidak tetap lainnya yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian yang besarnya melebihi Rp24.000,00 (dua puluh empat ribu rupiah) sehari tetapi dalam satu bulan takwim jumlahnya tidak melebihi Rp240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah), maka PPh Pasal 21 yang terutang dalam sehari adalah dengan menerapkan tarif 5% dari penghasilan bruto setelah dikurangi Rp24.000,00 tersebut.
    (3)
    Dalam hal penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dalam satu bulan takwim jumlahnya melebihi Rp240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah), maka besarnya PTKP yang dapat dikurangkan untuk satu hari adalah sesuai dengan jumlah PTKP yang sebenarnya dari penerima penghasilan yang bersangkutan dibagi dengan 360.
    (4)
    Dalam hal penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dibayarkan secara bulanan, maka PTKP yang dapat dikurangkan adalah PTKP sebenarnya dari penerima penghasilan yang bersangkutan.
    (5)
    Atas penghasilan yang dibayarkan kepada pegawai tetap yang dihitung berdasarkan upah harian, dilakukan pengurangan PTKP yang sebenarnya sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (3).
    (6)
    Atas penghasilan berupa beasiswa, dilakukan pengurangan PTKP yang sebenarnya sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (3).
    (7)
    Atas penghasilan yang dibayarkan atau terutang kepada tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 berdasarkan perkiraan penghasilan neto.
    (8)
    Perkiraan penghasilan neto sebagaimana dimaksud dalam Ayat (7) adalah sebesar 50% (lima puluh persen) dari penghasilan bruto berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama dan dalam bentuk apapun.
     
     
    BAB V
    TARIF DAN PENERAPANNYA
     

    Pasal 10

    (1)
    Tarif berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak dari:
     
    a.
    pegawai tetap, termasuk Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, anggota TNI/POLRI, pejabat negara lainnya, pegawai Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, dan anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama;
     
    b.
    penerima pensiun yang dibayarkan secara bulanan;
     
    c.
    pegawai tidak tetap, pemagang, dan calon pegawai;
     
    d.
    distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya.
    (2)
    Besarnya Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1):
     
    a.
    bagi pegawai tetap adalah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya jabatan, iuran pensiun termasuk iuran Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua yang dipersamakan dengan dana pensiun dan PTKP;
     
    b.
    bagi penerima pensiun yang dibayarkan secara bulanan adalah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya pensiun dan PTKP;
     
    c.
    bagi pegawai tidak tetap, pemagang, calon pegawai adalah penghasilan bruto dikurangi dengan PTKP;
     
    d.
    bagi distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya adalah penghasilan bruto setiap bulan dikurangi dengan PTKP per bulan.
     
     
     

    Pasal 11

    Tarif berdasarkan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 diterapkan atas penghasilan bruto berupa:
    a.
    honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi, beasiswa, dan pembayaran lain dengan nama apapun sebagai imbalan atas jasa atau kegiatan yang jumlahnya dihitung tidak atas dasar banyaknya hari yang diperlukan untuk menyelesaikan jasa atau kegiatan yang diberikan, termasuk yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf e angka 2 sampai dengan angka 12;
    b.
    honorarium yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama;
    c.
    jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus yang diterima atau diperoleh mantan pegawai;
    d.
    penarikan dana pada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan oleh peserta program pensiun.
     

    Pasal 12

    Tarif sebesar 15% (lima belas persen) diterapkan atas perkiraan penghasilan neto yang dibayarkan atau terutang kepada tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (7) dan ayat (8).
     

    Pasal 13

    (1)
    Tarif sebesar 5% (lima persen) diterapkan atas upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian yang jumlahnya melebihi Rp24.000,00 (dua puluh empat ribu rupiah) sehari, tetapi tidak melebihi Rp240.000,00 (dua ratus empat puluh ribu rupiah) dalam satu bulan takwim dan atau tidak dibayarkan secara bulanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).
    (2)
    Untuk mendapatkan jumlah upah harian atau uang saku harian sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) berlaku ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    dalam hal berupa upah mingguan atau uang saku mingguan, adalah jumlah tersebut dibagi 6;
     
    b.
    dalam hal berupa upah satuan, adalah upah atas banyaknya satuan produk yang dihasilkan dalam satu hari;
     
    c.
    dalam hal berupa upah borongan, adalah jumlah upah borongan dibagi dengan banyaknya hari yang dipakai untuk menyelesaikan pekerjaan dimaksud.
    (3)
    Apabila penerima penghasilan berupa upah, uang saku, dan komisi sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) adalah pegawai tetap, maka atas seluruh penghasilan yang diterima atau diperoleh dari pemberi kerja yang bersangkutan termasuk upah, uang saku, komisi dikenakan PPh Pasal 21 dengan menerapkan tarif Pasal 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, atas Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1).
     

    Pasal 14

    (1)
    Atas penghasilan berupa uang pesangon, uang tebusan pensiun yang dibayar oleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, dan Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua, yang dibayarkan sekaligus oleh Badan Penyelenggara Pensiun atau Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja, dipotong Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    penghasilan bruto di atas Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) sampai dengan Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sebesar 5% (lima persen);
     
    b.
    penghasilan bruto di atas Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sebesar 10% (sepuluh persen);
     
    c.
    penghasilan bruto di atas Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) sebesar 15% (lima belas persen);
     
    d.
    penghasilan bruto di atas Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) sebesar 25% (dua puluh lima persen).
    (2)
    Dikecualikan dari pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) atas jumlah penghasilan bruto sebesar Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) atau kurang.
     

    Pasal 15

    Tarif sebesar 15% (lima belas persen) dan bersifat final diterapkan atas penghasilan bruto berupa honorarium dan imbalan lain dengan nama apapun yang diterima oleh Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, anggota TNI/POLRI yang sumber dananya berasal dari Keuangan Negara atau Keuangan Daerah, kecuali yang dibayarkan kepada Pegawai Negeri Sipil golongan II d ke bawah dan anggota TNI/POLRI berpangkat Pembantu Letnan Satu ke bawah atau Ajun Inspektur Tingkat Satu ke bawah.
     

    Pasal 16

    (1)
    Tarif PPh Pasal 26 sebesar 20% (dua puluh persen) dan bersifat final diterapkan atas penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh sebagai imbalan atas pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Wajib Pajak luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dengan memperhatikan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku antara Republik Indonesia dengan negara domisili Wajib Pajak luar negeri tersebut.
    (2)
    PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) tidak bersifat final dalam hal orang pribadi sebagai Wajib Pajak luar negeri tersebut berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri.
     
     

    Pasal 17

    Untuk keperluan penerapan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Penghasilan Kena Pajak dibulatkan ke bawah hingga ribuan penuh
     

    Pasal 18

    PPh Pasal 21 dan Pasal 26, terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan.
     

    Pasal 19

    Cara dan contoh penghitungan pemotongan PPh Pasal 21 dan Pasal 26 adalah sebagaimana tercantum dalam lampiran Keputusan ini
     
    BAB VI
    HAK DAN KEWAJIBAN PEMOTONG PAJAK
     

    Pasal 20

    (1)
    Setiap Pemotong Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat.
    (2)
    Kewajiban sebagai Pemotong Pajak sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) berlaku juga terhadap organisasi internasional yang tidak dikecualikan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan, sesuai Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.
    (3)
    Pemotong Pajak mengambil sendiri formulir-formulir yang diperlukan dalam rangka pemenuhan kewajiban perpajakannya pada Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat.
     
     

    Pasal 21

    (1)
    Pemotong Pajak wajib menghitung, memotong, dan menyetorkan PPh Pasal 21 dan Pasal 26 yang terutang untuk setiap bulan takwim.
    (2)
    Penyetoran pajak dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) ke Kantor Pos atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah, atau bank-bank lain yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Anggaran, selambat-lambatnya tanggal 10 bulan takwim berikutnya.
    (3)
    Pemotong Pajak wajib melaporkan penyetoran tersebut dalam ayat (2) sekalipun nihil dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat, selambat-lambatnya pada tanggal 20 bulan takwim sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2).
    (4)
    Apabila dalam satu bulan takwim terjadi kelebihan penyetoran PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 26, maka kelebihan tersebut dapat diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 yang terutang pada bulan berikutnya dalam tahun takwim yang bersangkutan.
    (5)
    Pemotong Pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 26 baik diminta maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada orang pribadi bukan sebagai pegawai tetap, penerima uang tebusan pensiun, penerima Jaminan Hari Tua, penerima uang pesangon, dan penerima dana pensiun.
    (6)
    Pemotong Pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 Tahunan kepada pegawai tetap, termasuk penerima pensiun bulanan, dengan menggunakan formulir yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam waktu 2 (dua) bulan setelah tahun takwim berakhir.
    (7)
    Apabila pegawai tetap berhenti bekerja atau pensiun pada bagian tahun takwim, maka Bukti Pemotongan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (6) diberikan oleh pemberi kerja selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah pegawai yang bersangkutan berhenti bekerja atau pensiun.
     
     

    Pasal 22

    (1)
    Dalam waktu 2 (dua) bulan setelah tahun takwim berakhir, Pemotong Pajak berkewajiban menghitung kembali jumlah PPh Pasal 21 yang terutang oleh pegawai tetap dan penerima pensiun bulanan menurut tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000.
    (2)
    Jumlah penghasilan yang menjadi dasar penghitungan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) didasarkan pada kewajiban pajak subjektif yang melekat pada pegawai tetap yang bersangkutan dan untuk pegawai tetap yang kewajiban pajak subjektifnya berawal atau berakhir dalam tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 penghitungannya sebagai berikut:
     
    a.
    dalam hal pegawai tetap adalah Wajib Pajak dalam negeri dan mulai atau berhenti bekerja dalam tahun berjalan, penghitungan PPh Pasal 21 didasarkan pada jumlah penghasilan yang sebenarnya diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak yang bersangkutan dan tidak disetahunkan;
     
    b.
    dalam hal pegawai tetap adalah Wajib Pajak dalam negeri yang merupakan pendatang dari luar negeri, yang mulai bekerja di Indonesia dalam tahun berjalan, penghitungan PPh Pasal 21 didasarkan pada jumlah penghasilan yang sebenarnya diperoleh dalam bagian tahun pajak yang bersangkutan yang disetahunkan;
     
    c.
    dalam hal pegawai tetap berhenti bekerja sebelum tahun takwim berakhir karena meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya, maka pada akhir bulan berhentinya pegawai tersebut penghitungan PPh Pasal 21 didasarkan pada jumlah penghasilan yang sebenarnya diterima atau diperoleh dalam bagian tahun pajak yang bersangkutan yang disetahunkan.
    (3)
    Apabila jumlah pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) lebih besar dari jumlah pajak yang telah dipotong, kekurangannya dipotongkan dari pembayaran gaji pegawai yang bersangkutan untuk bulan pada waktu dilakukannya penghitungan kembali.
    (4)
    Apabila jumlah pajak terutang sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) lebih rendah dari jumlah pajak yang telah dipotong, kelebihannya diperhitungkan dengan pajak yang terutang atas gaji untuk bulan pada waktu dilakukan penghitungan kembali.
     

    Pasal 23

    (1)
    Setiap Pemotong Pajak wajib mengisi, menandatangani, dan menyampaikan SPT Tahunan PPh Pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pemotong Pajak terdaftar atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat.
    (2)
    Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21 harus disampaikan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret tahun takwim berikutnya.
    (3)
    Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) berlaku juga bagi Pemotong Pajak yang tahun pajak atau tahun bukunya tidak sama dengan tahun takwim.
    (4)
    Pemotong Pajak dapat mengajukan permohonan untuk memperpanjang jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2).
    (5)
    Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (4) diajukan secara tertulis selambat-lambatnya tanggal 31 Maret tahun takwim berikutnya dengan menggunakan formulir yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak disertai surat pernyataan mengenai penghitungan sementara PPh Pasal 21 yang terutang dan bukti pelunasan kekurangan pembayaran PPh Pasal 21 yang terutang untuk tahun takwim yang bersangkutan.
    (6)
    Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Pasal 21 harus dilampiri dengan lampiran-lampiran yang ditentukan dalam Petunjuk Pengisian SPT Tahunan PPh Pasal 21 untuk tahun pajak yang bersangkutan.
    (7)
    Apabila terdapat pegawai berkebangsaan asing, maka SPT Tahunan PPh Pasal 21 yang bersangkutan harus dilampiri fotokopi surat ijin bekerja yang dikeluarkan oleh Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi atau instansi yang berwenang.
    (8)
    Dalam hal jumlah PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 yang terutang dalam satu tahun takwim lebih besar dari PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 yang telah disetor, kekurangannya harus disetor sebelum penyampaian SPT Tahunan PPh Pasal 21 selambat-lambatnya tanggal 25 Maret tahun takwim berikutnya.
    (9)
    Dalam hal jumlah PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 yang terutang dalam satu tahun takwim lebih kecil dari PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 yang telah disetor, kelebihan tersebut diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang terutang untuk bulan pada waktu dilakukannya penghitungan tahunan, dan jika masih ada sisa kelebihan, maka diperhitungkan untuk bulan-bulan lainnya dalam tahun berikutnya.
    (10)
    Dalam hal Pemotong Pajak adalah badan, SPT Tahunan PPh Pasal 21 harus ditandatangani oleh pengurus atau direksi.
    (11)
    Dalam hal SPT Tahunan PPh Pasal 21 ditandatangani dan diisi oleh orang lain selain yang dimaksud dalam Ayat (1), harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus.
     
    BAB VII
    HAK DAN KEWAJIBAN PENERIMA PENGHASILAN YANG DIPOTONG PAJAK
     

    Pasal 24

    (1)
    Pada saat seseorang mulai bekerja atau mulai pensiun, untuk mendapatkan pengurangan PTKP, penerima penghasilan harus menyerahkan surat pernyataan kepada Pemotong Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang menyatakan jumlah tanggungan keluarga pada permulaan tahun takwim atau pada permulaan menjadi Subjek Pajak dalam negeri.
    (2)
    Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) juga harus dilaksanakan dalam hal ada perubahan jumlah tanggungan keluarga menurut keadaan pada permulaan tahun takwim.
     
     

    Pasal 25

    Jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong merupakan kredit pajak bagi penerima penghasilan yang dikenakan pemotongan untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali PPh Pasal 21 yang bersifat final.
     
     

    Pasal 26

    Penerima penghasilan berkewajiban untuk menyerahkan bukti pemotongan PPh Pasal 21 kepada:
    a.
    Pemotong pajak kantor cabang baru dalam hal yang bersangkutan dipindahtugaskan;
    b.
    Pemotong pajak tempat kerja yang baru dalam hal yang bersangkutan pindah kerja;
    c.
    Pemotong pajak dana pensiun dalam hal yang bersangkutan mulai menerima pensiun dalam tahun berjalan.
     
    BAB VIII
    KEBERATAN DAN BANDING
     

    Pasal 27

    Pemotong Pajak dan penerima penghasilan dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak dan permohonan banding kepada badan peradilan pajak sesuai dengan ketentuan Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000.
     
    BAB IX
    KETENTUAN PENUTUP
     

    Pasal 28

    (1)
    Dengan diterbitkannya Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini, maka Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-281/PJ/1998 tanggal 28 Desember 1998 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-235/PJ/1999 tanggal 17 September 1999 dan ketentuan-ketentuan lainnya yang bertentangan dengan Keputusan ini dinyatakan tidak berlaku lagi.
    (2)
    Keputusan ini dapat disebut "Petunjuk Pemotongan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26"
    (3)
    Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.
     
     
    Ditetapkan di Jakarta
    pada tanggal 29 Desember 2000
    DIREKTUR JENDERAL,
    ttd.
    MACHFUD SIDIK

    Keputusan Direktur Jenderal Pajak KEP-545/PJ./2000 - Perpajakan DDTC