Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Premium
Terjemahan Dokumen
Ini Belum Tersedia
Ini Belum Tersedia
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Sudah tidak berlaku karena diganti/dicabut
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 138 TAHUN 2000
TENTANG
PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
|
||||
Menimbang |
||||
bahwa dalam rangka memudahkan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya dan sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan;
|
||||
Mengingat |
||||
1.
|
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945;
|
|||
2.
|
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3984);
|
|||
3.
|
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3985);
|
|||
4.
|
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3986);
|
|||
|
|
|||
MEMUTUSKAN:
|
||||
Menetapkan |
||||
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN. | ||||
|
||||
BAB I
PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK Pasal 1 |
||||
Dalam menghitung penghasilan berupa dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g Undang-Undang Pajak Penghasilan tidak termasuk pemberian saham bonus yang dilakukan tanpa penyetoran yang berasal dari:
|
||||
a.
|
Kapitalisasi agio saham kepada pemegang saham yang telah menyetor modal/membeli saham di atas harga nominal, sepanjang jumlah nilai nominal saham yang dimilikinya setelah pembagian saham bonus tidak melebihi jumlah setoran modal; dan
|
|||
b.
|
Kapitalisasi selisih lebih revaluasi aktiva tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan.
|
|||
|
|
|||
Pasal 2 |
||||
Biaya pengembangan hutan tanaman industri yang berumur lebih dari 1 (satu) tahun dan hanya 1 (satu) kali memberikan hasil, dikapitalisasi selama periode pengembangan dan merupakan bagian dari harga pokok produk yang diproduksi atau dijual.
|
||||
|
||||
Pasal 3 |
||||
(1)
|
Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (8) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, kecuali:
|
|||
|
a.
|
Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf f dan huruf g Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, sepanjang tidak dapat dibuktikan bahwa Pajak Masukan tersebut benar-benar telah dibayar;
|
||
|
b.
|
Pajak Masukan berkenaan dengan pengeluaran yang tidak dapat dikurangkan dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan.
|
||
(2)
|
Pajak Masukan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sehubungan dengan pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan atau harta tidak berwujud serta biaya lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A Undang-Undang Pajak Penghasilan, terlebih dulu harus dikapitalisasi dengan pengeluaran/biaya tersebut dan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi.
|
|||
|
|
|||
Pasal 4 |
||||
Pengeluaran dan biaya yang tidak boleh dikurangkan dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap termasuk:
|
||||
a.
|
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak;
|
|||
b.
|
biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final;
|
|||
c.
|
biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang dikenakan pajak berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Norma Penghitungan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Undang-Undang Pajak Penghasilan;
|
|||
d.
|
Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan, kecuali pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan tetapi tidak termasuk dividen sepanjang Pajak Penghasilan tersebut ditambahkan dalam penghitungan dasar untuk pemotongan pajak; dan
|
|||
e.
|
kerugian dari harta atau utang yang tidak dimiliki dan tidak dipergunakan dalam usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak.
|
|||
|
|
|||
Pasal 5 |
||||
Dalam hal terjadi pengalihan harta perusahaan kepada pegawainya, maka keuntungan berupa selisih antara harga pasar harta tersebut dengan nilai sisa buku merupakan penghasilan bagi perusahaan.
|
||||
|
||||
Pasal 6 |
||||
(1)
|
Laba bruto usaha dalam suatu tahun pajak yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang berusaha di bidang jasa konstruksi yang proses pekerjaan fisiknya meliputi masa beberapa tahun pajak dihitung berdasarkan metode persentase tingkat penyelesaian pekerjaan.
|
|||
(2)
|
Untuk menghitung penghasilan neto, laba bruto usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikurangi dengan biaya atau pengeluaran lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan.
|
|||
|
|
|||
Pasal 7 |
||||
Dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, dapat ditetapkan saat pengakuan penghasilan dan biaya dalam hal-hal tertentu dan atau bagi Wajib Pajak tertentu sesuai dengan kebijaksanaan Pemerintah.
|
||||
|
||||
BAB II
PELUNASAN PAJAK DALAM TAHUN BERJALAN MELALUI PIHAK LAIN Pasal 8 |
||||
(1)
|
Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau pada akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
|
|||
(2)
|
Pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan, terutang pada saat pembayaran, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
|
|||
(3)
|
Pemotongan Pajak Penghasilan oleh pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Undang-Undang Pajak Penghasilan, terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
|
|||
(4)
|
Pemotongan Pajak Penghasilan atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan, terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
|
|||
|
|
|||
Pasal 9 |
||||
(1)
|
Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan harus dibayar lunas paling lambat tanggal dua puluh lima bulan ketiga setelah tahun pajak atau bagian tahun pajak berakhir sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan disampaikan, kecuali Wajib Pajak tersebut mendapat kemudahan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpanjangan yang berlaku.
|
|||
(2)
|
Dalam hal Wajib Pajak memperoleh izin perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan, Pajak Penghasilan Pasal 26 ayat (4) yang terutang berdasarkan penghitungan sementara harus dibayar lunas paling lambat tanggal dua puluh lima bulan ketiga setelah tahun pajak atau bagian tahun pajak berakhir bersamaan dengan pengajuan permohonan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan.
|
|||
(3)
|
Dalam hal Wajib Pajak memperoleh persetujuan untuk mengangsur atau menunda pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan, angsuran atau penundaan tersebut juga berlaku untuk pelunasan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 26 ayat (4).
|
|||
|
|
|||
Pasal 10 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak yang dalam tahun pajak berjalan dapat menunjukkan tidak akan terutang Pajak Penghasilan karena mengalami kerugian fiskal atau berhak melakukan kompensasi kerugian fiskal, atau Pajak Penghasilan yang telah dibayar lebih besar dari Pajak Penghasilan yang akan terutang, dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan atau pemungutan Pajak Penghasilan oleh pihak lain kepada Direktur Jenderal Pajak.
|
|||
(2)
|
Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku terhadap penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri yang bersifat final.
|
|||
(3)
|
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
|
|||
|
|
|||
BAB III
PELUNASAN PAJAK DALAM TAHUN BERJALAN OLEH WAJIB PAJAK SENDIRI Pasal 11 |
||||
Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang menerima penghasilan sehubungan dengan pekerjaan dari badan-badan yang tidak wajib melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan, wajib memiliki NPWP dan melaksanakan sendiri penghitungan dan pembayaran Pajak Penghasilan yang terutang dalam tahun berjalan serta melaporkannya dalam Surat Pemberitahuan Tahunan.
|
||||
|
||||
BAB IV
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 12 |
||||
(1)
|
Dalam hal Wajib Pajak melakukan perubahan tahun buku dan telah mendapat persetujuan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (6) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam bagian tahun buku yang tidak termasuk dalam tahun buku yang baru harus dilaporkan dengan Surat Pemberitahuan tersendiri dengan melampirkan neraca dan laporan laba-rugi.
|
|||
(2)
|
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
|
|||
|
|
|||
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 13 |
||||
(1)
|
Terhadap Wajib Pajak yang tahun pajak/tahun bukunya tidak sama dengan tahun takwim, ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 berlaku sampai dengan tahun pajak/tahun buku 2000 yang berakhir sebelum tanggal 1 Juli 2001, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak yang telah memperoleh fasilitas perpajakan sebelum atau pada tanggal 31 Desember 2000 yang jangka waktunya terbatas, dapat menikmati fasilitas tersebut sampai dengan jangka waktu tersebut habis.
|
|||
|
|
|||
Pasal 14 |
||||
Kewajiban pajak dalam tahun berjalan untuk tahun pajak/tahun buku 2001 yang meliputi masa pajak/pembukuan sampai dengan Desember 2000 dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), tetap dihitung berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan beserta Perubahannya sebelum diubah berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.
|
||||
|
||||
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 15 |
||||
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1994 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3579) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 196, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3798), dinyatakan tidak berlaku.
|
||||
|
||||
Pasal 16 |
||||
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.
|
||||
|
||||
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
|
||||
|
||||
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Desember 2000 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd.
ABDURRAHMAN WAHID Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 21 Desember 2000 SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd.
DJOHAN EFFENDI LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 253
|
||||
|
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 138 TAHUN 2000
TENTANG
PENGHITUNGAN PENGHASILAN KENA PAJAK DAN PELUNASAN PAJAK PENGHASILAN DALAM TAHUN BERJALAN
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
UMUM
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Berdasarkan ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000, hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang tersebut diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Beberapa hal yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini adalah ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Dalam Tahun Berjalan. Selain itu, diatur juga ketentuan peralihan dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Pajak Penghasilan mulai tanggal 1 Januari 2001.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
PASAL DEMI PASAL
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Pasal 1
Pemberian saham bonus kepada pemegang saham yang dilakukan tanpa penyetoran termasuk dalam pengertian pembagian laba atau dividen. Demikian pula dengan pemberian saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham. Agio saham berasal dari setoran modal pemegang saham di atas nilai nominal saham yang diperolehnya. Oleh karena itu apabila saham bonus dimaksud diberikan kepada pemegang saham yang menjadikan jumlah nilai nominal seluruh saham termasuk saham bonus yang diperolehnya lebih besar dari jumlah setoran modalnya, pemberian saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham tersebut termasuk dalam pengertian pembagian laba atau dividen. Namun demikian apabila saham bonus dimaksud diberikan kepada pemegang saham sehingga pemberian tersebut tidak menjadikan jumlah nilai seluruh saham (termasuk saham bonus) yang diperoleh/dimilikinya lebih besar dari jumlah setoran modalnya, pemberian saham bonus yang berasal dari kapitalisasi agio saham tersebut tidak termasuk dalam pengertian pembagian laba atau dividen.
Pasal 2
Hutan tanaman industri dari jenis-jenis tertentu yang hanya dapat memberikan hasil satu kali saja yaitu berupa batang tanaman yang ditebang setelah mencapai umur tertentu (lebih dari satu tahun), pada dasarnya bukan merupakan aktiva tetap berwujud yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan melainkan merupakan produk dari industri kehutanan. Oleh karena itu, atas pengeluaran yang langsung berkaitan dengan pengembangan tanaman industri tersebut, diperlakukan sebagai bagian dari biaya produksi langsung yang pembebanannya dalam harga pokok produk yang diproduksi/dijual dilakukan dalam tahun pada saat produk batang tanaman tersebut dihasilkan/dijual.
Pasal 3
Ayat (1)
Pajak Masukan yang telah dibayar oleh Wajib Pajak/Pengusaha Kena Pajak yang tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, merupakan bagian dari harga perolehan barang dan jasa. Oleh karena itu, apabila Pajak Masukan tersebut berkenaan dengan pengeluaran untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Sedangkan Pajak Masukan yang berkenaan dengan pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan, tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Dalam hal Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf f dan huruf g Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, yaitu apabila Faktur Pajak Masukan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (6) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, pengurangan dari penghasilan bruto tetap dapat dilakukan sepanjang dapat dibuktikan bahwa Pajak Masukan tersebut telah dibayar.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 4
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b dan huruf c
Biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan yang dikenakan pajak tersendiri, baik penghasilan yang dikenakan pemotongan atau pemungutan atau pembayaran Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) maupun penghasilan yang dikenakan pajak berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan Norma Penghitungan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Undang-Undang Pajak Penghasilan, telah diperhitungkan dalam tarif pajak ataupun norma penghitungan yang berlaku untuk penghasilan tersebut. Oleh karena itu, biaya-biaya tersebut tidak boleh lagi dikurangkan dari penghasilan bruto lainnya yang pengenaan pajaknya dilakukan berdasarkan tarif umum.
Huruf d
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 26 dapat ditanggung oleh pemberi penghasilan/pemberi kerja. Dalam hal PPh Pasal 21 ditanggung oleh pemberi penghasilan/kerja, sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku, pajak tersebut diperlakukan sama seperti kenikmatan, yaitu sebagai bukan biaya pemberi kerja dan bukan penghasilan pegawai yang menerimanya. Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) kecuali dividen yang ditanggung oleh pemberi penghasilan, dapat dibebankan sebagai biaya sepanjang pajak tersebut ditambahkan (gross-up) pada penghasilan yang dipakai sebagai dasar pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 tersebut.
Contoh:
PT. ABC membayar bunga pinjaman kepada Bank di luar negeri sebesar Rp100.000.000,00 yang sesuai dengan perjanjian Pajak Penghasilannya ditanggung oleh badan tersebut. Tarif pemotongan PPh Pasal 26 yang berlaku adalah 20%.
Dasar pengenaan PPh Pasal 26 =
\({100 \over 80} \times \text{Rp100.000.000,00} = \text{125.000.000,00}\)
PPh Pasal 26 yang terutang = 20% x Rp125.000.000,00 = Rp25.000.000,00
Jumlah biaya bunga yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto PT. ABC adalah sebesar Rp125.000.000,00 (Rp100.000.000,00 + Rp25.000.000,00).
Huruf e
Kerugian dari harta atau utang yang tidak dipergunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak tidak boleh dikurangkan dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak.
Contoh:
Kerugian selisih kurs yang timbul dari pinjaman dalam mata uang asing yang dipergunakan untuk membiayai pembangunan lapangan golf untuk kepentingan pegawai (benefit in kind) tidak boleh dikurangkan untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak.
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Berdasarkan ketentuan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan, penghitungan Penghasilan Kena Pajak dalam suatu tahun pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap dilakukan sesuai dengan prinsip persandingan biaya dengan penghasilan (matching cost against revenue).
Namun bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang berusaha di bidang jasa konstruksi yang mengerjakan proyek-proyek konstruksi berjangka waktu lebih dari satu tahun, penghitungan Penghasilan Kena Pajak dapat menggunakan metode lain yang lazim dalam praktek akuntansi, seperti metode persentase penyelesaian (percentage of completion method). Dengan metode ini, pengakuan penghasilan tahunan didasarkan atas penghitungan secara proporsional sesuai dengan tahap penyelesaian pekerjaan.
Dalam penerapan metode tersebut, biaya-biaya yang dapat diperhitungkan adalah biaya-biaya yang langsung dan semata-mata berhubungan dengan pelaksanaan proyek tersebut, yaitu: biaya pemakaian material, upah buruh langsung, serta biaya-biaya lainnya dengan karakteristik yang sama.
Contoh:
Suatu proyek konstruksi yang bernilai Rp1.000.000.000,00 dengan jangka waktu pelaksanaan pekerjaan tahun 2001 sampai dengan tahun 2005 (lima tahun). Keterangan biaya yang terjadi pada tiap-tiap tahun adalah sebagai berikut:
Laba bruto usaha setiap tahun dihitung sebagai berikut:
Ayat (2)
Untuk menghitung penghasilan neto, laba bruto usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikurangi dengan biaya-biaya lainnya yang diperkenankan sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan, yaitu: biaya-biaya tidak langsung (termasuk penyusutan dan amortisasi) serta biaya umum dan administrasi.
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Ketentuan ini mengatur tentang batas waktu pelaksanaan kewajiban pemotongan dan pemungutan pajak atas penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, dan Pasal 26 Undang-Undang Pajak Penghasilan yang dikaitkan dengan saat pembayaran atau saat terutangnya penghasilan. Saat terutangnya penghasilan tersebut lazimnya adalah pada saat jatuh tempo (seperti: bunga dan sewa), saat tersedia untuk dibayarkan (seperti: gaji dan dividen), saat yang ditentukan dalam kontrak/perjanjian atau faktur (seperti: royalti, imbalan jasa teknik/jasa manajemen/jasa lainnya), atau saat tertentu lainnya. Saat terutangnya penghasilan tersebut juga ditentukan berdasarkan saat pengakuan biaya sesuai dengan metode pembukuan yang dianut oleh pihak yang berkewajiban memotong atau memungut Pajak Penghasilan. Pada prinsipnya, saat yang menentukan kapan kewajiban pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan harus dilaksanakan adalah mana yang lebih dulu terjadi, saat pembayaran atau saat terutangnya penghasilan. Untuk kemudahan, pelaksanaan pemotongan pajak dapat dilakukan pada saat terjadi pembayaran, walaupun sesuai dengan ketentuan saat terutangnya pemotongan pajak tersebut terjadi pada akhir bulan pembayaran.
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Badan perwakilan negara asing dan organisasi internasional tertentu sebagai bukan Subjek Pajak tidak berkewajiban melakukan pemotongan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan. Oleh karena itu, Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan berupa gaji dan imbalan lain sehubungan dengan pekerjaan pada badan-badan tersebut yang jumlahnya melebihi batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) berkewajiban menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri Pajak Penghasilan yang terutang.
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4055
|