Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Premium
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Sudah tidak berlaku karena diganti/dicabut
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
|
|||
|
|
|
|
Menimbang |
|||
a.
|
bahwa ketentuan mengenai penundaan pelunasan kekurangan pembayaran bea masuk dan/atau sanksi administrasi berupa denda telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 26/PMK.04/2008 tentang Penundaan Pelunasan Kekurangan Pembayaran Bea Masuk dan/atau Sanksi Administrasi Berupa Denda;
|
||
b.
|
bahwa ketentuan mengenai penundaan pelunasan kekurangan pembayaran bea keluar dan/atau sanksi administrasi berupa denda telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 214/PMK.04/2008 tentang Pemungutan Bea Keluar sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 86/PMK.04/2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 214/PMK.04/2008 tentang Pemungutan Bea Keluar;
|
||
c.
|
bahwa dalam rangka optimalisasi penerimaan bea masuk dan bea keluar, dan lebih memberikan kepastian hukum, serta memberikan kemudahan dalam pembayaran utang bea masuk, bea keluar, dan/atau sanksi administrasi berupa denda, perlu mengganti ketentuan mengenai penundaan pembayaran utang bea masuk, bea keluar, dan/atau sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b;
|
||
d.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 37A ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan dan ketentuan Pasal 10 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2008 tentang Pengenaan Bea Keluar Terhadap Barang Ekspor, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penundaan Pembayaran Utang Bea Masuk, Bea Keluar, dan/atau Sanksi Administrasi Berupa Denda;
|
||
|
|
|
|
Mengingat |
|||
1.
|
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
|
||
2.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2008 tentang Pengenaan Bea Keluar Terhadap Barang Ekspor (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4886);
|
||
|
|
||
MEMUTUSKAN:
|
|||
Menetapkan |
|||
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENUNDAAN PEMBAYARAN UTANG BEA MASUK, BEA KELUAR, DAN/ATAU SANKSI ADMINISTRASI BERUPA DENDA.
|
|||
|
|
|
|
Pasal 1 |
|||
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
|
|||
1.
|
Undang-Undang Kepabeanan adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1 995 tentang Kepabeanan.
|
||
2.
|
Pemohon adalah orang perseorangan atau badan hukum yang tercantum dalam surat penetapan dan bertanggung jawab untuk melunasi utang bea masuk, bea keluar, dan/atau sanksi administrasi berupa denda, yang mengajukan penundaan pembayaran utang bea masuk, bea keluar, dan/atau sanksi administrasi berupa denda.
|
||
3.
|
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
|
||
4.
|
Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan.
|
||
|
|
|
|
Pasal 2 |
|||
(1)
|
Atas utang bea masuk, bea keluar, dan/atau sanksi administrasi berupa denda berupa:
|
||
|
a.
|
kekurangan pembayaran atas bea masuk atau bea keluar; dan/atau
|
|
|
b.
|
sanksi administrasi berupa denda,
|
|
|
dapat diberikan penundaan pembayaran.
|
||
(2)
|
Penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||
|
a.
|
pengunduran jangka waktu pembayaran utang bea masuk, bea keluar, dan/atau sanksi administrasi berupa denda; atau
|
|
|
b.
|
pembayaran secara bertahap utang bea masuk, bea keluar, dan/atau sanksi administrasi berupa denda.
|
|
(3)
|
Pembayaran utang bea masuk, bea keluar, dan/atau sanksi administrasi berupa denda termasuk bunga penundaan pembayaran melalui mekanisme penundaan pembayaran berupa pengunduran jangka waktu pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, harus dilakukan dengan cara pelunasan sekaligus.
|
||
(4)
|
Penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada Pemohon sebagai akibat dari:
|
||
|
a.
|
penetapan Pejabat Bea dan Cukai;
|
|
|
b.
|
penetapan kembali Direktur Jenderal atas penetapan Pejabat Bea dan Cukai; atau
|
|
|
c.
|
keputusan Direktur Jenderal atas keberatan.
|
|
(5)
|
Keputusan Direktur Jenderal atas keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c, dapat diajukan permohonan penundaan pembayaran dalam hal keputusan Direktur Jenderal mengenai keberatan mengakibatkan nilai tagihan lebih besar dari penetapan yang diajukan keberatan.
|
||
|
|
|
|
Pasal 3 |
|||
(1)
|
Penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat diberikan kepada Pemohon yang mengalami kesulitan keuangan.
|
||
(2)
|
Penundaan pembayaran bagi Pemohon yang mengalami kesulitan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan mempertimbangkan kemampuan Pemohon dalam membayar utangnya dengan melakukan penelitian terhadap:
|
||
|
a.
|
laporan keuangan; dan
|
|
|
b.
|
kredibilitas Pemohon.
|
|
|
|
|
|
Pasal 4 |
|||
(1)
|
Penelitian terhadap laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a dilakukan untuk menentukan tingkat likuiditas keuangan dan kemampuan Pemohon untuk melunasi utang bea masuk, bea keluar, dan/atau sanksi administrasi berupa denda.
|
||
(2)
|
Penelitian terhadap kredibilitas Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b dilakukan untuk memastikan:
|
||
|
a.
|
Pemohon tidak mempunyai kewajiban penundaan pembayaran sebelumnya yang tidak dibayar sesuai dengan jumlah dan waktu yang telah ditetapkan;
|
|
|
b.
|
Pemohon tidak mempunyai tunggakan utang; dan
|
|
|
c.
|
Pemohon tidak dalam status diblokir oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
|
(3)
|
Tunggakan utang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi utang bea masuk, bea keluar, termasuk sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan, selain yang diajukan penundaan pembayaran.
|
||
|
|
|
|
Pasal 5 |
|||
(1)
|
Penelitian laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dilakukan dengan menggunakan teknik analisis laporan keuangan yang terdiri atas beberapa rasio keuangan, yaitu:
|
||
|
a.
|
rasio likuiditas yang merupakan perbandingan antara aktiva lancar dengan utang lancarnya;
|
|
|
b.
|
rasio solvabilitas yang merupakan perbandingan antara total aktiva dengan total utang; dan
|
|
|
c.
|
rasio rentabilitas yang merupakan perbandingan antara laba bersih dengan total ekuitas.
|
|
(2)
|
Pemohon yang mengalami kesulitan likuiditas keuangan dinyatakan mampu untuk melunasi utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dalam hal memenuhi kriteria:
|
||
|
a.
|
rasio likuiditas > 0,50 (nol koma lima puluh) dalam 1 (satu) tahun terakhir;
|
|
|
b.
|
rasio solvabilitas > 0,50 (nol koma lima puluh) dalam 1 tahun terakhir; dan
|
|
|
c.
|
rasio rentabilitas bernilai > -2,00 (negatif dua koma nol nol) dalam 1 (satu) tahun terakhir (hanya berlaku untuk nilai ekuitas positif).
|
|
|
|
|
|
Pasal 6 |
|||
(1)
|
Penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan terhitung sejak 1 (satu) hari setelah tanggal jatuh tempo surat penetapan.
|
||
(2)
|
Atas penundaan pembayaran yang diberikan, dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan terhitung sejak tanggal jatuh tempo pembayaran tagihan dan bagian dari bulan dihitung satu bulan penuh.
|
||
(3)
|
Perhitungan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan:
|
||
|
a.
|
pokok utang dalam hal penundaan pembayaran yang diberikan berupa pengunduran terhadap jangka waktu pembayaran; atau
|
|
|
b.
|
sisa utang dalam hal penundaan pembayaran yang diberikan berupa pembayaran secara bertahap.
|
|
|
|
|
|
Pasal 7 |
|||
(1)
|
Permohonan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diajukan secara tertulis sesuai dengan tempat Pemohon penundaan pembayaran melunasi tagihan.
|
||
(2)
|
Dalam hal tempat Pemohon penundaan pembayaran melunasi tagihan adalah Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai, berlaku ketentuan sebagai berikut:
|
||
|
a.
|
untuk nilai tagihan Rp5.000.000.000,00 (lima sampai miliar dengan rupiah), permohonan penundaan pembayaran diajukan kepada Direktur Jenderal u.p Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai; dan
|
|
|
b.
|
untuk nilai tagihan lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), permohonan penundaan pembayaran diajukan kepada Direktur Jenderal u. p. Direktur yang tugas dan fungsinya di bidang evaluasi implementasi penerimaan dan penagihan.
|
|
(3)
|
Dalam hal tempat Pemohon penundaan pembayaran melunasi tagihan adalah Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai, berlaku ketentuan sebagai berikut:
|
||
|
a.
|
untuk nilai tagihan sampai Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar dengan rupiah), permohonan penundaan pembayaran diajukan kepada Direktur Jenderal u.p Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai; dan
|
|
|
b.
|
untuk nilai tagihan lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), permohonan penundaan pembayaran diajukan kepada Direktur Jenderal u. p. Direktur yang tugas dan fungsinya di bidang evaluasi implementasi penerimaan dan penagihan.
|
|
(4)
|
Permohonan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling lambat 20 (dua puluh) hari sebelum tanggal jatuh tempo penetapan.
|
||
(5)
|
Permohonan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan surat permohonan sesuai dengan contoh format yang tercantum dalam Lampiran Huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
||
(6)
|
Permohonan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan:
|
||
|
a.
|
fotokopi penetapan;
|
|
|
b.
|
skema rencana penundaan pembayaran yang paling sedikit memuat:
|
|
|
|
1.
|
jangka waktu pengunduran; atau
|
|
|
2.
|
jumlah besaran pembayaran secara bertahap,
|
|
|
dengan menggunakan formulir sesuai dengan contoh format yang tercantum dalam Lampiran Huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;
|
|
|
c.
|
surat pernyataan kesanggupan menyerahkan jaminan berupa jaminan bank atau customs bond, sesuai dengan format yang tercantum dalam Lampiran Huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini;
|
|
|
d.
|
laporan keuangan tahun terakhir yang sudah diaudit oleh akuntan publik dengan opini paling rendah wajar dengan pengecualian, sepanjang pengecualian tersebut tidak mempengaruhi penilaian kinerja keuangan perusahaan; dan
|
|
|
e.
|
laporan keuangan periode berjalan termasuk laporan kas berjalan.
|
|
(7)
|
Dalam hal laporan keuangan tahun terakhir belum diaudit oleh akuntan publik, Pemohon wajib melampirkan:
|
||
|
a.
|
laporan keuangan periode sebelumnya yang sudah diaudit;
|
|
|
b.
|
laporan keuangan tahun terakhir; dan
|
|
|
c.
|
laporan keuangan periode berjalan termasuk laporan kas berjalan.
|
|
(8)
|
Dalam hal Pemohon tidak diwajibkan membuat laporan keuangan berdasarkan peraturan perundang-undangan, Pemohon wajib melampirkan pembukuan atau catatan kas perusahaan.
|
||
|
|
|
|
Pasal 8 |
|||
(1)
|
Atas permohonan penundaan pembayaran yang diajukan oleh Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), dilakukan proses pemeriksaan administrasi dan penelitian dokumen permohonan oleh:
|
||
|
a.
|
unit yang menangani perbendaharaan, untuk Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai;
|
|
|
b.
|
bidang yang menangani perbendaharaan, untuk Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai; atau
|
|
|
c.
|
subdirektorat yang tugas dan fungsinya di bidang penerimaan, fungsinya untuk direktorat yang tugas dan di bidang evaluasi implementasi penerimaan dan penagihan.
|
|
(2)
|
Pemeriksaan administrasi dan penelitian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas pemeriksaan dan penelitian terhadap:
|
||
|
a.
|
surat permohonan;
|
|
|
b.
|
kelengkapan lampiran surat permohonan;
|
|
|
c.
|
jangka waktu permohonan;
|
|
|
d.
|
kredibilitas Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan
|
|
|
e.
|
laporan keuangan, pembukuan, atau catatan kas perusahaan.
|
|
|
|
|
|
Pasal 9 |
|||
(1)
|
Atas permohonan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), Direktur Jenderal memberikan persetujuan atau penolakan dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal permohonan tersebut diterima secara lengkap dan benar.
|
||
(2)
|
Permohonan penundaan pembayaran dapat disetujui dalam hal:
|
||
|
a.
|
surat permohonan sesuai;
|
|
|
b.
|
lampiran permohonan lengkap;
|
|
|
c.
|
memenuhi jangka waktu yang ditetapkan;
|
|
|
d.
|
Pemohon memenuhi persyaratan laporan keuangan sesuai penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1); dan
|
|
|
e.
|
Pemohon mempunyai kredibilitas yang baik sesuai dengan penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2).
|
|
(3)
|
Dalam hal permohonan penundaan pembayaran disetujui, Direktur yang tugas dan fungsinya di bidang evaluasi implementasi penerimaan dan penagihan, Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai, atau Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai atas nama Direktur Jenderal menerbitkan:
|
||
|
a.
|
Keputusan Direktur Jenderal mengenai pemberian penundaan pembayaran berupa pengunduran jangka waktu pembayaran menggunakan format yang tercantum dalam Lampiran Huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini; atau
|
|
|
b.
|
Keputusan Direktur Jenderal mengenai pemberian penundaan pembayaran berupa pembayaran secara bertahap menggunakan format yang tercantum dalam Lampiran Huruf E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
|
(4)
|
Dalam hal permohonan penundaan pembayaran ditolak:
|
||
|
a.
|
Direktur yang tugas dan fungsinya di bidang evaluasi implementasi penerimaan dan penagihan;
|
|
|
b.
|
Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai; atau
|
|
|
c.
|
Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai,
|
|
|
atas nama Direktur Jenderal menyampaikan surat pemberitahuan penolakan disertai dengan alasan penolakan menggunakan contoh format yang tercantum dalam Lampiran Huruf F yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
||
|
|
|
|
Pasal 10 |
|||
(1)
|
Dalam hal permohonan penundaan pembayaran disetujui, Pemohon wajib menyerahkan jaminan berupa jaminan bank atau customs bond.
|
||
(2)
|
Nilai jaminan yang diserahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu sebesar tagihan yang diajukan penundaan pembayaran ditambah bunga atas penundaan.
|
||
(3)
|
Jaminan wajib diserahkan paling lambat pada saat tanggal jatuh tempo surat penetapan.
|
||
|
|
|
|
Pasal 11 |
|||
(1)
|
Dalam hal Pemohon tidak menyerahkan jaminan sesuai dengan nilai yang telah ditetapkan atau tidak melunasi tagihan pajak dalam rangka impor sampai dengan tanggal jatuh tempo surat penetapan, dilakukan pemblokiran sesuai ketentuan yang mengatur mengenai pemblokiran di bidang kepabeanan.
|
||
(2)
|
Dalam hal permohonan penundaan pembayaran disetujui:
|
||
|
a.
|
surat teguran atas tagihan utang bea masuk dan/atau sanksi administrasi berupa denda; atau
|
|
|
b.
|
surat peringatan untuk tagihan bea keluar dan/atau sanksi administrasi berupa denda,
|
|
|
ditunda penerbitannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penagihan bea masuk, bea keluar, dan/atau sanksi administrasi berupa denda.
|
||
|
|
|
|
Pasal 12 |
|||
(1)
|
Keputusan Direktur Jenderal mengenai pemberian penundaan pembayaran dinyatakan tidak berlaku dalam hal:
|
||
|
a.
|
Keputusan Direktur Jenderal mengenai pemberian penundaan pembayaran dicabut; atau
|
|
|
b.
|
seluruh tagihan telah dibayar lunas.
|
|
(2)
|
Pencabutan terhadap Keputusan Direktur Jenderal mengenai pemberian penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dalam hal:
|
||
|
a.
|
Jaminan tidak diserahkan sampai dengan jatuh tempo surat penetapan;
|
|
|
b.
|
Pemohon tidak melunasi tagihan sampai dengan batas waktu penundaan;
|
|
|
c.
|
Pemohon tidak membayar angsuran sesuai dengan jumlah atau waktu yang telah ditetapkan; atau
|
|
|
d.
|
Pemohon dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga.
|
|
(3)
|
Pencabutan terhadap Keputusan Direktur Jenderal mengenai pemberian penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh:
|
||
|
a.
|
Direktur yang tugas dan fungsinya di bidang evaluasi implementasi penerimaan dan penagihan atas nama Direktur Jenderal, dalam hal Keputusan Direktur Jenderal mengenai pemberian penundaan pembayaran diterbitkan oleh Direktur yang tugas dan fungsinya di bidang evaluasi implementasi penerimaan dan penagihan atas nama Direktur Jenderal;
|
|
|
b.
|
Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai atas nama Direktur Jenderal, dalam hal Keputusan Direktur Jenderal mengenai pemberian penundaan pembayaran diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai atas nama Direktur Jenderal; atau
|
|
|
c.
|
Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai atas nama Direktur Jenderal, dalam hal Keputusan Direktur Jenderal mengenai pemberian penundaan pembayaran diterbitkan oleh Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai atas nama Direktur Jenderal,
|
|
|
dengan menerbitkan Keputusan Direktur Jenderal mengenai pencabutan pemberian penundaan pembayaran dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak terpenuhinya ketentuan mengenai pencabutan, dengan menggunakan format yang tercantum dalam Lampiran Huruf G yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
||
(4)
|
Dalam hal pemberian penundaan pembayaran dicabut, berlaku ketentuan sebagai berikut:
|
||
|
a.
|
Jaminan dicairkan untuk membayar utang bea masuk, bea keluar, sanksi administrasi berupa denda, dan/atau bunga, dalam hal Pemohon sudah menyerahkan jaminan; dan/atau
|
|
|
b.
|
dilakukan penagihan aktif sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai penagihan utang bea masuk, bea keluar, sanksi administrasi berupa denda, dan/atau bunga.
|
|
(5)
|
Dalam hal keputusan Direktur Jenderal mengenai pemberian penundaan dinyatakan tidak berlaku karena seluruh tagihan telah dibayar lunas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, jaminan dikembalikan kepada Pemohon.
|
||
(6)
|
Tata cara pengembalian jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai jaminan di bidang kepabeanan.
|
||
|
|
|
|
Pasal 13 |
|||
(1)
|
Terhadap tagihan bea masuk, dan/atau sanksi administrasi berupa denda yang telah jatuh tempo dapat diberikan penundaan pembayaran tertentu berupa pembayaran secara bertahap.
|
||
(2)
|
Penundaan pembayaran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagai berikut:
|
||
|
a.
|
mengajukan permohonan penundaan pembayaran tertentu kepada Direktur Jenderal u.p. Direktur yang tugas dan fungsinya di bidang evaluasi implementasi penerimaan dan penagihan paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal berlakunya Peraturan Menteri ini;
|
|
|
b.
|
terhadap Pemohon belum diterbitkan surat paksa; dan
|
|
|
c.
|
jaminan yang diserahkan berupa jaminan bank.
|
|
(3)
|
Dalam hal permohonan penundaan pembayaran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a disetujui, berlaku ketentuan sebagai berikut:
|
||
|
a.
|
Pemohon dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dikalikan pokok utang dengan jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan; dan
|
|
|
b.
|
pembayaran secara bertahap menggunakan formulir skema pembayaran bertahap menggunakan contoh format yang tercantum dalam Lampiran Huruf H yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
|
(4)
|
Penagihan aktif dilanjutkan dalam hal Pemohon tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3).
|
||
(5)
|
Pemberian penundaan pembayaran tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari ketentuan dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b dan huruf c, dan Pasal 6 ayat (2).
|
||
|
|
|
|
Pasal 14 |
|||
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
|
|||
1.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 26/PMK.04/2008 tentang Penundaan Pelunasan Kekurangan Pembayaran Bea Masuk dan/atau Sanksi Administrasi Berupa Denda; dan
|
||
2.
|
Pasal 17 sampai dengan Pasal 23 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 214/PMK.04/2008 tentang Pemungutan Bea Keluar sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan:
|
||
|
a.
|
Nomor 146/PMK.04/2014 (Berita Negara Tahun 2014 Nomor 966); dan
|
|
|
b.
|
Nomor 86/PMK.04/2016 (Berita Negara Tahun 2016 Nomor 790),
|
|
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
|||
|
|
|
|
Pasal 15 |
|||
Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.
|
|||
|
|
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
|
|||
|
|
|
|
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 September 2017 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. SRI MULYANI INDRAWATI Diundangkan di Jakarta pada tanggal 6 September 2017 DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. WIDODO EKATJAHJANA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 1227 |