Quick Guide
Hide Quick Guide
    Aktifkan Mode Highlight
    Premium
    File Lampiran
    Peraturan Terkait
    IDN
    ENG
    Fitur Terjemahan
    Premium
    Terjemahan Dokumen
    Ini Belum Tersedia
    Bagikan
    Tambahkan ke My Favorites
    Download as PDF
    Download Document
    Premium
    Status : Sudah tidak berlaku karena diganti/dicabut

    KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
    NOMOR 296/KMK.04/1994

     
    TENTANG

    PENGKREDITAN PAJAK MASUKAN

    MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
     

    Menimbang

    bahwa dalam rangka memberikan kepastian dalam pelaksanaan penghitungan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan serta sehubungan dengan adanya kebijaksanaan berupa pemberian fasilitas perpajakan terhadap impor dan/atau pemberian fasilitas perpajakan terhadap penyerahan Barang Kena Pajak tertentu di dalam daerah pabean dan/atau pemberian fasilitas perpajakan terhadap penyerahan Barang Kena Pajak ke, dari, di dan antar Kawasan Berikat/EPTE, maka perlu diadakan pengaturan pedoman pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 jo. Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1988, dengan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia,
     

    Mengingat

    1.
    Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262);
    2.
    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3459);
    3
    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264);
    4.
    Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1985 tentang Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai 1984 (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3287) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1993 (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3524);
    5.
    Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1988 tentang Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Barang Kena Pajak Yang Dilakukan Oleh Pedagang Besar Dan Penyerahan Jasa Kena Pajak Di samping Jasa Yang Dilakukan oleh Pemborong (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara 3386);
    6.
    Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 1991 tentang Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Barang Kena Pajak Yang Dilakukan Oleh Pedagang Eceran Besar (Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 97, Tambahan Lembaran Negara Tahun 1991 Nomor 97);
    7.
    Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 1985 tentang Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Yang Ditanggung Pemerintah sehubungan dengan Pemasukan barang-barang Dalam Rangka Pelaksanaan Proyek Pembangunan Milik Pemerintah Yang Dibiayai Dengan Dana Bantuan/Pinjaman Luar Negeri (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 52);
    8.
    Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1986 tentang Pajak Pertambahan Nilai Yang Terutang Atas Impor dan Penyerahan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak Tertentu Yang Ditanggung Oleh Pemerintah (Lembaran Negara Tahun 1986 Nomor 33) yang telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1988 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1986 tentang Pajak Pertambahan Nilai Yang Terutang Atas Impor dan Penyerahan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak Tertentu Yang Ditanggung Oleh Pemerintah sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 51 Tahun 1986 (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 17);
    9.
    Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1990 tentang Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah Atas Impor dan Penyerahan Buku-buku Pelajaran Umum, Kitab Suci dan Buku-buku Pelajaran Agama (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 2);
    10.
    Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1992 tentang Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Oleh Swasta;
    11.
    Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 1992 tentang Penangguhan PPN dan PPn BM Serta Tidak Dipungut PPh Pasal 22 Atas Impor Dalam Rangka Kegiatan Konstruksi dan Kegiatan Operasi Pembangunan Proyek Pengembangan Propinsi Riau (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 101);
    12.
    Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 96 Tahun 1993 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Atas Penyerahan Barang Kena Pajak Ke, Dari dan Antar Kawasan Berikat dan Entrepot Produksi Untuk Tujuan Ekspor (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 87);
    13.
    Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 678/KMK.01/1985 tentang Tata Laksana Impor Barang-Barang Dalam Rangka Pelaksanaan Proyek Pembangunan Milik Pemerintah Yang Dibiayai Dengan Dana Bantuan/Pinjaman Luar Negeri;
    14.
    Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 559/KMK.01/1986 tentang Tata Cara Pembebanan dan Penatausahaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Atas Penyerahan Barang Kena Pajak Dan Atau Jasa Kena Pajak Dalam Rangka Pelaksanaan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1986 tentang Pajak Pertambahan Nilai Yang Terutang Atas Impor dan Penyerahan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak Tertentu Yang Ditanggung oleh Pemerintah;
    15.
    Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 577/KMK.00/1989 tentang Penangguhan Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai Atas Impor Atau Perolehan Barang Modal Tertentu;
    16.
    Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 554/KMK.01/1992 tentang Penangguhan Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Atas Barang Dan Bahan Asal Impor Yang Dipergunakan Dalam Pembuatan Komoditi Ekspor;
    17.
    Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 818/KMK.04/1992 tentang Pedoman Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Usaha Jasa Angkutan Udara Dalam Negeri;
    18.
    Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 1071/KMK.00/1992 tentang Pembebasan Bea Masuk dan Bea Masuk Tambahan, Penangguhan Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Dan Tidak Dipungut Pajak Penghasilan Pasal 22 Atas Impor Barang Dalam Rangka Kegiatan Konstruksi Dan Kegiatan Operasi Proyek Pengembangan Propinsi Riau;
    19.
    Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 109/KMK.00/1993 tentang Toko Bebas Bea (Duty Free Shop);
    20.
    Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 128/KMK.00/1993 tentang Fasilitas Penangguhan Pajak Pertambahan Nilai Atas Impor Barang Modal Dalam Rangka Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Oleh Swasta;
    21.
    Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 854/KMK.01/1993 tentang Tata Laksana Pabean Mengenai Pemasukan dan Pengeluaran Barang Ke dan Dari Kawasan Berikat (Bonded Zone);
    22.
    Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 855/KMK.01/1993 tentang Entrepot Produksi Untuk Tujuan Ekspor (EPTE);
    23.
    Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 19/KMK.04/1994 tentang Pengkreditan Pajak Masukan Atas Impor dan Penyerahan Emas Batangan Yang Pajak Pertambahan Nilainya Ditanggung Pemerintah Serta Atas Penyerahan Emas Perhiasan.
     
     
    MEMUTUSKAN:

    Menetapkan

    KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENGKREDITAN PAJAK MASUKAN.
     

    Pasal 1

    (1)
    Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang dibayarkan atas pembelian Barang Kena Pajak atau perolehan Jasa Kena Pajak yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha.
    (2)
    Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah kegiatan yang berhubungan langsung dengan produksi, distribusi, pemasaran dan manajemen.
    (3)
    Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang:
     
    a.
    Dibayar untuk pembelian Barang Kena Pajak atau perolehan Jasa Kena Pajak sebelum pengusaha dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983;
     
    b.
    Dibayar untuk pembelian dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon, van dan kombi sesuai dengan Pasal 9 ayat (8) huruf c Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983, kecuali untuk barang dagangan atau untuk digunakan secara langsung sesuai dengan bidang usahanya;
     
    c.
    Dibayar untuk pembelian Barang Kena Pajak atau perolehan Jasa Kena Pajak yang sifatnya untuk kepentingan pribadi pemilik atau pemegang saham, direktur, komisaris dan karyawan;
     
    d.
    Dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Keluarannya Ditanggung oleh Pemerintah, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan;
     
    e.
    Tercantum dalam Faktur Pajak untuk perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Pertambahan Nilainya Ditanggung oleh Pemerintah, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan;
     
    f.
    Tercantum dalam Faktur Pajak untuk perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Pertambahan Nilainya tidak dipungut, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan;
     
    g.
    Dibayar untuk pembelian Barang Kena Pajak atau perolehan Jasa Kena Pajak yang PPN-nya dipungut dengan menggunakan Faktur Pajak Sederhana, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan;
     
    h.
    Dibayar untuk pembelian Barang Kena Pajak atau perolehan Jasa Kena Pajak yang PPN-nya dipungut dengan menggunakan Faktur Pajak Standar yang diisi tidak lengkap atau sebagian atau seluruhnya ditulis dengan tangan.
     
     
     

    Pasal 2

    Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) dapat dikreditkan apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
    a.
    Pajak Masukan tersebut dikreditkan dalam masa pajak yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983;
    b.
    Faktur Pajak yang berdasarkan ketentuan yang berlaku ditetapkan secara khusus.
    c.
    Dalam Faktur Pajak yang sudah ditentukan bentuk dan isinya, yang sekurang-kurangnya mencantumkan:
     
    1)
    Nomor Seri Faktur Pajak;
     
    2)
    Nama, Alamat, NPWP, dan Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak yang membuat Faktur Pajak;
     
    3)
    Nama, Alamat, dan NPWP pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
     
    4)
    Nama Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
     
    5)
    Kwantum, harga satuan dan harga jual atau nilai penggantian atau uang muka;
     
    6)
    Besarnya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang;
     
    7)
    Tanggal Faktur Pajak;
     
    8)
    Tanda tangan dan Nama terang yang berwenang membuat Faktur Pajak.
     
     
     

    Pasal 3

    (1)
    Pajak Masukan yang belum dikreditkan dalam masa pajak yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 dapat dikreditkan dengan cara:
     
    a.
     
    membetulkan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai masa pajak yang bersangkutan sesuai dengan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983; atau
     
    b.

     
    mengkreditkan Pajak Masukan dalam masa pajak yang tidak sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1985 dengan cara melaporkannya dalam SPT Masa. Pajak Pertambahan Nilai untuk Masa Pajak dilakukannya pengkreditan sepanjang masih dalam tahun pajak atau tahun buku berjalan atau paling lambat dikreditkan pada SPT Masa PPN untuk Masa Maret tahun berikutnya.
    (2)
    Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperkenankan sepanjang Pajak Masukan tersebut belum atau tidak dibebankan sebagai biaya dalam penghitungan Pajak Penghasilan.
     
     

    Pasal 4

    (1)
    Dalam hal Barang Modal dipindahtangankan, Pajak Masukan yang telah dikreditkan harus dibayar kembali.
    (2)
    Besarnya Pajak Masukan yang harus dibayar kembali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dihitung dengan rumus sebagai berikut:
     
    t
    x
    PM
    T
     
    dengan ketentuan bahwa:
     
    t adalah sisa manfaat pada saat terjadinya pemindahtanganan Barang Modal;
     
    T adalah masa manfaat Barang Modal sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (2) huruf b Keputusan ini.
     
    PM adalah jumlah Pajak Masukan atas perolehan Barang Modal yang telah dikreditkan.
    (3)
    Dalam hal pemindahtanganan Barang Modal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terjadi dalam jangka waktu kurang dari 1 (satu) tahun sejak perolehan, maka seluruh Pajak Masukan atas Barang Modal yang telah dikreditkan harus dibayar kembali.
    (4)
    Tidak termasuk pengertian pemindahtanganan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pemindahan hak dari "lessee" kepada " lessor" dengan cara "sale and lease back", dengan syarat Barang Modal tersebut masih digunakan oleh "lessee" sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1.
    (5)
    Dalam hal perusahaan mengadakan konsolidasi atau merger dan salah satu atau lebih perusahaan yang bergabung tersebut telah mendapatkan fasilitas Penangguhan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau telah mengkreditkan Pajak Masukan atas perolehan Barang Modal, maka Pajak Pertambahan Nilai yang telah ditangguhkan pembayarannya atau telah dikreditkan sebagai Pajak Masukan tetap berlaku.
     
     

    Pasal 5

    (1)
    Dalam hal Barang Modal digunakan baik untuk kegiatan usaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai maupun untuk kegiatan lain yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai, maka Pengusaha Kena Pajak dapat mengkreditkan Pajak Masukan sebanding dengan prosentase penggunaan Barang Modal tersebut untuk usaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai, sepanjang sejak semula Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan telah melaporkannya secara tertulis kepada Kantor Pelayanan Pajak ditempat Pengusaha Kena Pajak terdaftar.
    (2)
    Dalam hal Barang Modal yang semula digunakan untuk kegiatan usaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai kemudian digunakan seluruhnya atau sebagian untuk kegiatan lain yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai, Pengusaha Kena Pajak diwajibkan untuk melaporkan secara tertulis kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak terdaftar pada bulan terjadinya perubahan penggunaan Barang Modal tersebut.
    (3)
    Dalam hal Pengusaha Kena Pajak tidak melaporkan terjadinya perubahan penggunaan Barang Modal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka seluruh Pajak Masukan atas Perolehan Barang Modal yang telah dikreditkan harus dibayar kembali.
    (4)
    Dalam hal Barang Modal yang semula digunakan untuk kegiatan usaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak kemudian digunakan seluruhnya atau sebagian untuk kegiatan lain yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai, namun Pengusaha Kena Pajak telah melaporkan perubahan penggunaan Barang Modal tersebut kepada Kantor Pelayanan Pajak dimana Pengusaha Kena Pajak terdaftar pada bulan terjadinya perubahan penggunaan, maka Pajak Masukan yang semula telah dikreditkan harus dibayar kembali dengan rumus sebagai berikut:
     
    p'
    x
    t
    x
    PM
    T
     
    dengan ketentuan bahwa:
     
    p' adalah besarnya persentase rata-rata penggunaan barang modal untuk kegiatan lain yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dalam 1 (satu) tahun.
     
    t adalah sisa masa manfaat Barang Modal pada tahun terjadinya perubahan penggunaan;
     
    T adalah masa manfaat Barang Modal;
     
    PM adalah jumlah Pajak Masukan yang telah dikreditkan.
     
     

    Pasal 6

    (1)
    Bagi Pengusaha Kena Pajak yang:
     
    a.
    Melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated) yang terdiri dari unit atau kegiatan yang menghasilkan bukan Barang Kena Pajak yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan unit atau kegiatan yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai; atau
     
    b.
    Melakukan kegiatan usaha yang atas penyerahannya terdapat penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai; atau
     
    c.
    Melakukan kegiatan menghasilkan atau memperdagangkan Barang dan usaha jasa yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai dan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai; atau
     
    d.
    Melakukan kegiatan usaha yang atas penyerahannya sebagian terutang Pajak Pertambahan Nilai dan sebagian lainnya terutang Pajak Pertambahan Nilai tetapi Ditanggung Pemerintah;
     
    maka Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang:
     
    1)
    nyata-nyata digunakan untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah, tidak dapat dikreditkan;
     
    2)
    digunakan baik untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah dan unit atau kegiatan yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan kecuali Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan telah melaporkan secara tertulis kepada Kantor Pelayanan Pajak dimana Pengusaha Kena Pajak terdaftar;
     
    3)
    nyata-nyata digunakan untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai, dapat dikreditkan.
    (2)
    Dalam hal Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) melakukan penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah, maka Pajak Masukan yang telah dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) angka 2) harus dibayar kembali dengan rumus sebagai berikut:
     
    a.
    untuk bukan Barang Modal:
     
     
    X
    x
    PM
     Y
     
     
    dengan ketentuan bahwa:
     
     
    X adalah jumlah peredaran atau penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah.
     
     
    PM adalah Pajak Masukan yang telah dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) angka 2).
     
    b.
    untuk Barang Modal:
     
     
    x
    x
    t
    x
    PM
    Y
    T
     
     
    dengan ketentuan bahwa:
     
     
    x adalah jumlah peredaran atau penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah.
     
     
    Y adalah jumlah seluruh peredaran;
     
     
    t adalah sisa manfaat Barang Modal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) angka 2);
     
     
    T adalah masa manfaat Barang Modal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) angka 2);
     
     
    PM adalah Pajak Masukan yang telah dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) angka 2).
     
     
     

    Pasal 7

    (1)
    Kewajiban pembayaran kembali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3), harus dilakukan selambat-lambatnya pada saat jatuh tempo penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai bulan yang bersangkutan.
    (2)
    Kewajiban pembayaran kembali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) dan Pasal 6 ayat (2) harus dilakukan selambat-lambatnya pada saat jatuh tempo penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan PPh.
    (3)
    Kewajiban pembayaran kembali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4) dan Pasal 6 ayat (2) tidak dilakukan jika:
     
    a.
    Jumlah Pajak Masukan yang harus dibayar kembali kurang dari Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah); atau
     
    b.
    pemindahtanganan Barang Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3), atau perubahan penggunaan Barang Modal tersebut dalam Pasal 5, atau terjadinya penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah atau Pajak Pertambahan Nilai terutang Tidak Dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) telah melewati jangka waktu:
     
    b.1
    10 (sepuluh) tahun untuk golongan bangunan;
     
    b.2
    5 (lima) tahun untuk golongan Barang Modal lainnya;
    setelah akhir tahun pajak diperolehnya Barang Modal tersebut.
     
     
     

    Pasal 8

    (1)
    Dalam hal terjadinya pemindahtanganan atau perubahan penggunaan Barang Modal untuk kegiatan lain di luar kegiatan usaha bagi Pengusaha Kena Pajak yang memperoleh penangguhan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 1992 jo.
     
    Keputusan Menteri Keuangan Nomor 128/KMK.00/1993, Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 1992 jo. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1071/KMK.00/1992, Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 1993 jo. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 855/KMK.01/1993, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 577/KMK.00/1989, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 544/KMK.01/1992, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 818/KMK.04/1992 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 109/KMK.00/1993, maka Pajak Pertambahan Nilai yang semula telah diberikan penangguhan, harus dibayar kembali.
    (2)
    Penghitungan dan tata cara pembayaran jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang harus dibayar kembali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Keputusan ini.
     
     
     

    Pasal 9

    Penghitungan Pajak Masukan yang harus dibayar kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), Pasal 5 ayat (4), dan Pasal 6 ayat (2) meliputi Pajak Masukan atas perolehan barang modal baik dalam bentuk harta berwujud (tangible assets) maupun harta tidak berwujud (intangible assets) yang berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984 pembebanan biayanya dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi.
     
     
     

    Pasal 10

    Pengkreditan Pajak Masukan berdasarkan Keputusan ini tidak berlaku bagi Pengusaha Kena Pajak yang baginya ditetapkan pedoman pengkreditan Pajak Masukan tersendiri.
     
     
     

    Pasal 11

    Pelaksanaan Keputusan ini diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Pajak.
     
     
     

    Pasal 12

    Dengan berlakunya Keputusan ini, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1441b/KMK.04/1989 tanggal 29 Desember 1989 dinyatakan tidak berlaku dan ketentuan-ketentuan lain mengenai pengkreditan Pajak Masukan sepanjang tidak bertentangan dengan Keputusan ini dinyatakan masih berlaku.
     
     
     

    Pasal 13

    Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
     
     
     
    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
     
     
     
    Ditetapkan di Jakarta
    Pada tanggal 27 Juni 1994
    MENTERI KEUANGAN,
    ttd.
    MAR'IE MUHAMMAD
     

    PENJELASAN

     
    KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
    NOMOR: 296/KMK.04/1994
     
    TENTANG
     
    PENGKREDITAN PAJAK MASUKAN
     
     
    UMUM
    Keputusan Menteri Keuangan ini merupakan pengganti dari Keputusan Menteri Keuangan No. 1441b/KMK.04/1989 yang menampung ketentuan-ketentuan baru di bidang PPN khususnya yang berkaitan dengan pengkreditan Pajak Masukan, misalnya masalah penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak ke/di dalam/antar Pengusaha Kena Pajak di Kawasan Berikat/Pengusaha Kena Pajak EPTE, penyerahan di daerah Kepulauan Riau, penyerahan sehubungan dengan investasi di bidang kelistrikan oleh pihak swasta, PPN Ditanggung Pemerintah atas penyerahan emas batangan dan lain-lain.

    Dengan Keputusan Menteri Keuangan ini diatur pedoman pengkreditan Pajak Masukan secara rinci sehingga diharapkan dapat dihindarkan adanya keraguan dan ketidakpastian dalam rangka pengkreditan Pajak Masukan oleh Pengusaha Kena Pajak. Pedoman Pengkreditan Pajak Masukan ini mengatur antara lain pokok-pokok mengenai:
    a.
    Ketentuan umum pengkreditan Pajak Masukan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Undang-Undang PPN 1984;
    b.
    Pembayaran kembali sebagian atau seluruh Pajak Masukan barang modal, dalam hal barang modal tersebut dipindahtangankan atau digunakan untuk kegiatan yang tidak ada hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
    c.
    Pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated), dan melakukan kegiatan usaha menghasilkan barang dan jasa secara bersama-sama.
     
    PASAL DEMI PASAL
    Pasal 1
    Ayat (1) dan (2)
    Pajak Masukan yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak dapat digolongkan kedalam golongan:
    a.
    Pajak Masukan untuk pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha;
    b.
    Pajak Masukan untuk pengeluaran yang tidak langsung berhubungan dengan kegiatan usaha;
     
    Yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran-pengeluaran untuk produksi, distribusi, pemasaran dan manajemen dan yang sifatnya bukan untuk konsumsi pribadi.
     
    Pengeluaran selain tersebut di atas,berdasarkan Keputusan ini dianggap bersifat konsumtif atau dengan kata lain dianggap tidak langsung berhubungan kegiatan usaha, dengan demikian Pajak Masukan yang dibayar untuk pengeluaran tersebut tidak dapat dikreditkan.
     
    Contoh pengeluaran yang sifatnya konsumtif untuk pribadi, direksi, komisaris, karyawan adalah:
    -
    pengeluaran untuk wisma (guest house), mess bungalow, hotel dan sebagainya;
    -
    pengeluaran untuk perumahan, dan sarana lain seperti klinik, rumah sakit, sekolah, masjid, dan yang sejenisnya;
    -
    pengeluaran jamuan kantor (entertainment);
    -
    pengeluaran untuk sumbangan;
    -
    pengeluaran untuk perjalanan dinas, misalnya untuk ticket pesawat, kendaraan di darat kecuali pengeluaran untuk truck/bus untuk angkutan karyawan yang digunakan secara masal;
    -
    pengeluaran untuk mensponsori kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun di luar kegiatan usahanya.
     
    Sesuai dengan pasal 9 ayat (5) dan ayat (6) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai, agar Pajak Masukan yang dibayar dapat dikreditkan harus memenuhi syarat lain, yaitu bahwa pengeluaran yang bersangkutan berkaitan dengan penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai.
     
    Oleh karena itu meskipun sesuatu pengeluaran telah memenuhi syarat adanya hubungan langsung dengan kegiatan usaha masih mungkin Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan apabila pengeluaran tersebut tidak ada kaitan dengan penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai.
     
    Contoh:
    sebuah bengkel mobil yang sekaligus bertindak sebagai pedagang untuk alat perbaikan mobil, Pajak Masukan untuk alat perbaikan mobil yang dijual eceran tidak boleh dikreditkan, dalam hal penjualan eceran tersebut tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai. Namun apabila pedagang eceran tersebut dikategorikan sebagai pedagang Eceran Besar (PEB), maka atas penjualan eceran tersebut terutang PPN dan Pajak Masukan untuk pembelian alat perbaikan mobil yang digunakan sebagai peralatan bengkel dapat dikreditkan.
    Ayat (3)
    Huruf a) sampai dengan c)
    Cukup jelas.
    Huruf d) dan e)
    Dalam beberapa ketentuan, seperti Keputusan Presiden R.I Nomor 18 Tahun 1986 dinyatakan bahwa PPN atas penyerahan dan impor Barang Kena Pajak tertentu ditanggung oleh pemerintah.
     
    PKP yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, PPN yang terutang Ditanggung pemerintah, maka Pajak Masukan yang dibayar oleh PKP atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut tidak dapat dikreditkan.
     
    Demikian juga bagi pihak yang menerima penyerahan Barang Kena Pajak atau jasa kena pajak tersebut, faktur pajak yang PPN-nya ditanggung pemerintah tidak dapat dikreditkan.
     
    Ketentuan ini tidak berlaku dalam hal Menteri Keuangan menetapkan lain seperti ketentuan yang mengatur pengkreditan Pajak Masukan atas impor dan penyerahan emas batangan sebagaimana yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 19/KMK.04/1994.
    Huruf f)
    Dalam Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 1993 terdapat ketentuan yang mengatur penyerahan Barang Kena Pajak Kepada Pengusaha Kena Pajak di Kawasan Berikat/Pengusaha Kena Pajak EPTE untuk diolah lebih lanjut, PPN yang terutang tidak dipungut. Pajak Masukan yang tercantum dalam faktur pajak atas perolehan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak di kawasan Berikat/Pengusaha Kena Pajak EPTE tersebut tidak dapat dikreditkan.
     
    Berbeda dengan ketentuan tentang PPN Ditanggung Pemerintah, maka Pajak Masukan yang telah dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya PPN terutang tidak dipungut, dapat dikreditkan.
     
    Sebagai contoh, Pengusaha Kena Pajak industri penunjang ekspor (supporting industries) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada Pengusaha Kena Pajak di kawasan Berikat/Pengusaha Kena Pajak EPTE untuk diolah lebih lanjut, maka Pajak Masukan yang telah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak supporting industries tersebut dapat dikreditkan.
    Huruf g) dan h)
    Cukup jelas.
    Pasal 2
    Persyaratan formal yang harus dipenuhi agar Pajak Masukan untuk dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan tersebut harus dalam bentuk faktur pajak (standar) yang sekurang-kurangnya mencantumkan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam pasal ini, kecuali faktur pajak yang berdasarkan ketentuan yang berlaku ditetapkan secara khusus seperti faktur pajak yang diterbitkan oleh PERTAMINA, Pemberitahuan Impor Untuk Dipakai (PIUD), DO BULOG, Airway Bill, dan lain-lain yang telah dilaporkan dalam SPT masa.
     
    Pajak Masukan dalam bentuk faktur pajak sederhana tidak boleh dikreditkan kecuali ditentukan lain oleh Menteri Keuangan.
    Pasal 3
    Ayat (1)
    Ketentuan ini untuk menampung masalah yang disebabkan oleh terlambatnya penerimaan Faktur Pajak untuk Pengusaha Kena Pajak yang berhak mengkreditkan Pajak Masukan.
    Contoh:
    Faktur pajak diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak penjual bulan Juni 1993, diterima Pengusaha Kena Pajak pembeli bulan Mei 1994.
    -
    Apabila Pengusaha Kena Pajak memilih cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, maka Pengusaha Kena Pajak pembeli harus membetulkan SPT Masa Pajak Juni 1993.
    -
    Apabila Pengusaha Kena Pajak memilih cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b, maka Pengusaha Kena Pajak pembeli mengkreditkan Pajak Masukan yang seharusnya dikreditkan untuk Masa Pajak Juni 1993 pada SPT Masa Pajak bulan Mei 1994, atau Masa Pajak sesudahnya asalkan masih dalam tahun pajak/tahun buku yang berjalan.
     
    Pelaporan dalam SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai Sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, berfungsi sebagai permohonan pengkreditan Pajak Masukan dalam Masa pajak yang tidak sama sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1985.
     
    Apabila pengkreditan tersebut dilakukan setelah lewat tahun pajak/tahun buku berjalan, maka Pengusaha Kena Pajak harus menggunakan cara pembetulan SPT masa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a.
    Contoh:
    Apabila faktur pajak diterbitkan oleh penjual pada bulan Juni 1993 sedangkan pembeli memakai tahun buku 1 Januari sampai dengan 31 Desember, maka cara yang dapat ditempuh hanya cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (1) huruf a, jika pembetulannya dilakukan pada tahun 1994.
    Ayat (2)
    Cukup jelas
    Pasal 4
    Ayat (1) dan ayat (2)
    Barang modal sebagai alat produksi pemakaiannya bersifat terus menerus. Apabila Barang Modal tersebut dipindah tangankan oleh Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan, hal tersebut diartikan sebagai penyimpangan dari tujuan semula perolehan Barang Modal. Sesuai ketentuan pasal 1 jo pasal 4 Keputusan ini, maka bagian Pajak Masukan untuk masa sejak terjadinya pemindahtanganan yang semula telah dikreditkan, harus dibayar kembali.
     
    Pajak Masukan yang dibayar kembali terhadap Barang Modal yang dipindahtangankan tersebut dihitung berdasarkan perbandingan antara sisa masa manfaat dengan masa manfaat Barang Modal yang dipindahtangankan.
     
    Untuk keperluan penghitungan besarnya Pajak Masukan yang harus dibayar kembali berdasarkan keputusan ini, maka tahun dimulainya penghitungan masa manfaat Barang Modal adalah keadaan pada awal tahun, kecuali pemindahtanganan Barang Modal tersebut terjadi kurang dari satu tahun sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
     
    Contoh:
    -
    Barang Modal berupa mesin dibeli 1 Nopember 1992 dengan harga Rp100.000.000,00;
    -
    Pajak Masukan yang dibayar dan dikreditkan untuk masa Nopember 1992 Rp10.000.000,00
    -
    Mesin tersebut dijual pada bulan Oktober 1994; Mesin tersebut digolongkan pada Golongan I yang mempunyai masa manfaat 2 sampai 4 tahun.
    -
    Penghitungan masa manfaat dimulai tahun 1993. Sisa masa manfaat pada saat Barang Modal dipindahtangankan adalah 2 tahun, kalau masa manfaat dihitung 4 tahun.
     
    Jadi Pajak Masukan yang harus dikembalikan/dibayar kembali 2/4 x Rp10.000.000 = Rp5.000.000,00.
    Ayat (3)
    Andaikata penjualan Barang Modal terjadi kurang dari satu tahun sejak perolehan, maka semua Pajak Masukan yang telah dikreditkan harus dibayar kembali seluruhnya.
     
    Contoh:
    Mesin sebagaimana contoh pada ayat (2) dijual tanggal 11 Mei 1993, maka Pajak Masukan sebesar Rp10.000.000,00 yang telah dikreditkan harus dibayar kembali seluruhnya.
    Ayat (4)
    Dalam hal terjadi pengalihan hak atas barang modal oleh Pengusaha Kena Pajak/lessee kepada lessor secara "sale and lease back", Pajak Masukan yang telah dikreditkan oleh lessee tidak ditagih kembali sepanjang barang modal tersebut tetap digunakan oleh Pengusaha Kena Pajak lessee dalam rangka usahanya.
    Ayat (5)
    Cukup jelas
    Pasal 5
    Dasar pertimbangan dari pasal ini adalah sama dengan pertimbangan dalam ketentuan pasal 4. Apabila Barang Modal tidak digunakan lagi secara langsung untuk kegiatan usaha, maka Pajak Masukan yang telah dikreditkan ditagih kembali.
     
    Ada kemungkinan penggunaan Barang Modal untuk kegiatan usaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak dan untuk kegiatan lain yang tidak terutang PPn tersebut sudah direncanakan/diketahui sejak semula, dan ada kalanya perubahan penggunaan tersebut terjadi pada tahun berjalan sesuai dengan kondisi saat itu.
     
    Penggunaan Barang Modal untuk kegiatan lain yang tidak terutang PPN harus dilaporkan secara tertulis pada KPP tempat Pengusaha Kena Pajak terdaftar. Dalam hal penggunaan Barang Modal untuk kegiatan lain yang tidak terutang PPN tidak dilaporkan secara tertulis, maka seluruh Pajak Masukan atas perolehan Barang Modal tersebut yang telah dikreditkan harus dibayar kembali seluruhnya.
     
    Penggunaan Barang Modal untuk keperluan lain yang tidak terutang PPN dan telah dilaporkan secara tertulis maka cara penghitungan besarnya Pajak Masukan yang harus dibayar kembali didasarkan pada persentase rata-rata penggunaan Barang Modal untuk kegiatan lain yang tidak terutang PPN dan perbandingan antara sisa masa manfaat Barang Modal pada tahun terjadinya perubahan penggunaan Barang Modal dan masa manfaat Barang Modal yang bersangkutan.
     
    Hal ini didasarkan pertimbangan bahwa:
    -
    Barang Modal itu masih berada di perusahaan yang bersangkutan;
    -
    Bagian Barang Modal yang digunakan di luar kegiatan usaha besarnya dapat berubah-rubah sehingga harus dicari prosentase rata-rata penggunaan di luar usaha Barang Modal tersebut dalam satu tahun buku.
     
    Contoh:
    Generator listrik dibeli Januari 1992 dengan maksud untuk digunakan seluruhnya untuk kegiatan pabrik.
     
    Nilai perolehan (B) Rp50 juta;
     
    PPN (Pajak Masukan) Rp5 juta;
     
    (PM sudah dikreditkan seluruhnya melalui SPT Masa Pajak Januari 1992).
     
    Nilai perolehan (B) Rp50 juta; PPN (Pajak Masukan) Rp5 juta; (PM sudah dikreditkan seluruhnya melalui SPT Masa Pajak Januari 1992).
     
    Untuk masa 6 bulan I digunakan:
    -
    30% untuk perumahan karyawan dan direksi;
    -
    70% untuk kegiatan pabrik.
     
    untuk masa 6 bulan II digunakan:
    -
    20% untuk perumahan karyawan dan direksi;
    -
    80% untuk kegiatan pabrik.
     
    Rata-rata penggunaan di luar kegiatan usaha yang berhubungan langsung dengan usaha (P') adalah:
    30% + 20%
    =
    25%
    2
     
    Sisa masa manfaat untuk tahun pajak 1993 adalah 2 tahun, bila masa manfaat dihitung 4 tahun.
     
    Besarnya Pajak Masukan yang harus dibayar kembali untuk tahun 1993:
    25%
    x
    2
    x
    5 juta
    =
    25%
    4
     
    Untuk tahun selanjutnya dipakai rumus tersebut, dengan variabel pemakaian dalam kegiatan dan di luar kegiatan usaha yang berlaku untuk tahun yang bersangkutan.
    Pasal 6
    Ayat 1
    Contoh Pengusaha Kena Pajak yang dimaksud dalam ayat ini, misalnya:
    a.
    Pengusaha Kena Pajak yang melakukan usaha terpadu (integrated) misalnya perkebunan kelapa sawit (kelapa sawit adalah bukan Barang Kena Pajak), yang juga mempunyai pabrik minyak kelapa sawit (minyak kelapa sawit adalah Barang Kena Pajak).
    b.
    Pengusaha Kena Pajak yang melakukan usaha jasa yang:
     
    -
    atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai, misalnya melakukan penyerahan bukan Jasa Kena Pajak atau melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak di luar daerah pabean Republik Indonesia; dan
     
    -
    melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai, misalnya penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam daerah pabean Republik Indonesia.
    c.
    Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan barang dan jasa yang atas penyerahannya terutang dan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai, misal:
     
    -
    menghasilkan/menyerahkan hasil kosmetik tradisional, atas penyerahan ini terutang Pajak Pertambahan Nilai;
     
    -
    menyerahkan formula kosmetik tradisional (hak paten) ke luar negeri, penyerahan ini merupakan penyerahan Jasa Kena Pajak yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai karena dilakukan di luar daerah pabean Republik Indonesia.
    d.
    Pengusaha Kena Pajak yang melakukan perluasan usaha dan menghasilkan bukan Barang Kena Pajak atau menghasilkan Barang Kena Pajak yang PPN-nya ditanggung pemerintah, dengan menggunakan Barang Modal yang telah dimiliki:
     
    -
    Industri minyak kelapa sawit menghasilkan minyak kelapa sawit, atas penyerahan ini terutang PPN.
     
    -
    Memperluas usahanya dalam perkebunan kelapa sawit. Hasil kelapa sawit yang dijual tidak terutang PPN karena kelapa sawit bukan Barang Kena Pajak.
     
     
    Atas perolehan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak yang:
    1).
    nyata-nyata digunakan untuk unit/kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan.
     
    Contoh:
    Pajak Masukan atas pembelian:
     
    -
    Pupuk, traktor untuk pekebunan kelapa sawit;
     
    -
    Komputer yang nyata-nyata seluruhnya digunakan untuk penyerahan bukan Barang Kena Pajak atau untuk penyerahan Jasa Kena Pajak yang dilakukan di luar daerah pabean Republik Indonesia.
     
    Perlakuan ini antara lain untuk menjaga keseimbangan perlakuan antara Pengusaha Kena Pajak yang melakukan usaha terpadu dengan pengusaha yang memproduksi hasil yang sama yang melakukan kegiatan spesialisasi (non integrated).
    2).
    digunakan baik untuk unit/kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai maupun untuk unit/kegiatan yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Masukannya dapat dikreditkan. Ketentuan ini diberikan dengan pertimbangan karena dalam praktek sulit untuk memisahkan bagian Pajak Masukan yang dapat dan yang tidak dapat dikreditkan dalam masa pajak yang bersangkutan.
     
    Contoh:
    Pajak Masukan atas pembelian:
     
    -
    truck yang digunakan baik untuk mengangkut kelapa sawit maupun minyak kelapa sawit;
     
    -
    komputer yang digunakan untuk penyerahan jasa kena pajak yang dilakukan di dalam daerah pabean Republik Indonesia dan untuk penyerahan jasa Kena Pajak di luar daerah pabean Republik Indonesia.
    3).
    nyata-nyata digunakan untuk unit yang menghasilkan/memperdagangkan Barang Kena Pajak atau untuk usaha Jasa Kena Pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Masukannya dapat dikreditkan.
     
    Contoh:
    Pajak Masukan atas pembelian:
     
    -
    mesin untuk pabrik kelapa sawit;
     
    -
    gedung kantor yang nyata-nyata dipakai untuk kegiatan manajemen, untuk penyerahan Jasa Kena pajak yang dilakukan di dalam daerah pabean Republik Indonesia.
     
    Ayat (2)
    Khusus untuk Pajak Masukan atas perolehan Barang/Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) yang telah dikreditkan, harus dibayar kembali apabila terjadi penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah.
     
    Contoh:
    Pajak Masukan atas pembelian truck sebagaimana contoh pada ayat (1) angka 2) harus dibayar kembali jika terdapat penyerahan kelapa sawit dalam tahun pajak yang bersangkutan. Dengan terjadinya penyerahan kelapa sawit, maka terdapat bagian Pajak Masukan yang semula telah dikreditkan, seharusnya tidak dapat dikreditkan.
     
    Contoh penghitungan Pajak Masukan yang harus dibayar kembali adalah sebagai berikut:
    a.
    Pajak Masukan untuk perolehan bukan Barang Modal:
     
    -
    Pajak Masukan atas pembelian solar untuk truck-truck yang digunakan untuk dua tujuan, yaitu untuk sektor perkebunan dan distribusi kelapa sawit serta sektor pabrikasi dan distribusi minyak kelapa sawit = Rp10 juta;
     
    -
    Total omzet (Y) 1994 Rp20 milyar diantaranya Rp2 milyar berasal dari penjualan kelapa sawit (X).
     
    Pajak Masukan atas pembelian solar tersebut yang harus dibayar kembali adalah:
    2 milyar
    x
    Rp10 juta
    =
    Rp1 juta
    20 milyar
    b.
    Pajak Masukan yang harus dibayar untuk perolehan Barang Modal:
     
    -
    Pajak Masukan atas perolehan truck-truck tersebut pada contoh di atas yang terjadi pada Januari 1992 Rp50 juta (sudah dikreditkan seluruhnya melalui SPT Masa Pajak Januari 1992).
     
    -
    Total omzet 1993 (Y) Rp20 milyar, diantaranya Rp2 milyar berasal dari penjualan Kelapa Sawit (X).
     
    -
    Masa manfaat atas truck dihitung 4 tahun.
    Sisa masa manfaat atas truck-truck tersebut pada akhir tahun 1993 adalah 2 tahun.
     
    -
    Pajak Masukan atas truck yang harus dibayar kembali:
    2 milyar
    x
    2
    x
    Rp50 juta
    =
    Rp2. 500.000;
    20 milyar
    4
    c.
    Dalam hal truck seperti contoh di atas dipergunakan untuk unit usaha perkebunan kelapa sawit, tetapi perkebunan kelapa sawit belum ada penyerahan/menghasilkan, maka rumus pengembalian Pajak Masukan:
    p'
    x
    t
    x
    PM
    4
    dengan ketentuan:
     
    P'
    =
    besarnya persentase rata-rata Penggunaan Barang Modal untuk Kegiatan lain yang tidak terutang PPN atau PPN Ditanggung Pemerintah dalam satu tahun.
     
    t
    =
    sisa masa manfaat Barang Modal pada saat terjadinya perubahan penggunaan
     
    T
    =
    masa manfaat Barang Modal
     
    Contoh:
     
    -
    omzet penjualan kelapa sawit = nihil.
     
    -
    persentase rata-rata penggunaan Barang Modal (truck) untuk kegiatan perkebunan kelapa sawit = 25%
     
    Pajak Masukan yang harus disetor kembali:
    25%
    x
    2
    x
    Rp50 juta
    =
    Rp6.250.000
    4
    Pasal 7
    Ayat (1)
    Dalam hal terjadi pemindahtanganan Barang Modal, maka pembayaran kembali Pajak Masukan dilakukan selambat-lambatnya pada saat jatuh tempo penyampaian SPT Masa PPN bulan dilakukan pemindahtanganan Barang Modal.
     
    Contoh:
    Pemindahtanganan Barang Modal dilakukan pada bulan Mei 1994, maka pembayaran Pajak Masukan atas Barang Modal yang telah dikreditkan dilakukan paling lambat pada tanggal 20 Juni 1994.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 8
    Cukup jelas.
    Pasal 9
    Cukup jelas.
    Pasal 10
    Cukup jelas.
    Pasal 11
    Cukup jelas.
    Pasal 12
    Cukup jelas.
     Pasal 13
    Cukup jelas.

    Keputusan Menteri Keuangan 296/KMK.04/1994 - Perpajakan DDTC