Quick Guide
Hide Quick Guide
Bandingkan Versi Sebelumnya
Buka PDF
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Premium
Terjemahan Dokumen
Ini Belum Tersedia
Ini Belum Tersedia
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 108/PMK.04/2020
TENTANG
PEMBONGKARAN DAN PENIMBUNAN BARANG IMPOR
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
|
|
|||
Menimbang |
||||
a.
|
bahwa ketentuan mengenai pembongkaran dan penimbunan barang impor telah diatur dalam beberapa pasal pada Keputusan Menteri Keuangan Nomor 453/KMK.04/2002 tentang Tatalaksana Kepabeanan di Bidang Impor sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 112/KMK.04/2003 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 453/KMK.04/2002 tentang Tatalaksana Kepabeanan di Bidang Impor dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 88/PMK.04/2007 tentang Pembongkaran dan Penimbunan Barang Impor;
|
|||
b.
|
bahwa untuk meningkatkan kinerja sistem logistik nasional, memperbaiki iklim investasi, dan meningkatkan daya saing perekonomian nasional, perlu menyelaraskan ketentuan mengenai pembongkaran dan penimbunan barang impor sebagaimana dimaksud dalam huruf a dengan penerapan Ekosistem Logistik Nasional (National Logistic Ecosystem/NLE);
|
|||
c.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 7A ayat (9) dan Pasal 10A ayat (9) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pembongkaran dan Penimbunan Barang Impor;
|
|||
|
|
|||
Mengingat |
||||
1.
|
Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
|||
2.
|
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
|
|||
3.
|
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
|
|||
4.
|
Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
|
|||
5.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1862) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.01/2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1745);
|
|||
|
|
|||
MEMUTUSKAN:
|
||||
Menetapkan |
||||
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEMBONGKARAN DAN PENIMBUNAN BARANG IMPOR.
|
||||
|
||||
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
||||
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
|
||||
1.
|
Kawasan Pabean adalah kawasan dengan batas-batas tertentu di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang ditetapkan untuk lalu lintas barang yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||
2.
|
Pembongkaran adalah kegiatan menurunkan muatan barang impor dari sarana pengangkut.
|
|||
3.
|
Penimbunan adalah kegiatan menumpuk atau menyimpan barang impor.
|
|||
4.
|
Tempat Penimbunan Sementara yang selanjutnya disingkat TPS adalah bangunan dan/atau lapangan atau tempat lain yang disamakan dengan itu di kawasan pabean untuk menimbun barang, sementara menunggu pemuatan atau pengeluarannya.
|
|||
5.
|
Manifes Kedatangan Sarana Pengangkut yang selanjutnya disebut Inward Manifest adalah daftar barang niaga yang diangkut oleh sarana pengangkut melalui laut, udara, dan darat pada saat memasuki Kawasan Pabean atau tempat lain setelah mendapat izin Kepala Kantor Pabean yang mengawasi tempat tersebut.
|
|||
6.
|
Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic Operator) yang selanjutnya disebut AEO adalah operator ekonomi yang mendapat pengakuan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sehingga mendapatkan perlakuan kepabeanan tertentu.
|
|||
7.
|
Mitra Utama Kepabeanan yang selanjutnya disebut MITA Kepabeanan adalah importir dan/atau eksportir yang diberikan pelayanan khusus di bidang kepabeanan.
|
|||
8.
|
Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Kepabeanan.
|
|||
9.
|
Sistem Komputer Pelayanan yang selanjutnya disingkat SKP adalah sistem komputer yang digunakan oleh Kantor Pabean dalam rangka pengawasan dan pelayanan kepabeanan.
|
|||
10.
|
Orang adalah orang perseorangan atau badan hukum.
|
|||
11.
|
Impor adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean.
|
|||
12.
|
Importir adalah Orang yang melakukan Impor.
|
|||
13.
|
Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan.
|
|||
|
|
|||
BAB II
SARANA PENGANGKUT
Pasal 2 |
||||
Pengangkut merupakan Orang atau kuasanya yang:
|
||||
a.
|
bertanggung jawab atas pengoperasian sarana pengangkut yang mengangkut barang dan/atau orang; dan/atau
|
|||
b.
|
berwenang melaksanakan kontrak pengangkutan dan menerbitkan dokumen pengangkutan barang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perhubungan,
|
|||
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai tatalaksana penyerahan pemberitahuan rencana kedatangan sarana pengangkut, manifes kedatangan sarana pengangkut dan manifes keberangkatan sarana pengangkut.
|
||||
|
||||
BAB III
PEMBONGKARAN
Bagian Kesatu
Pembongkaran Barang Impor
Pasal 3 |
||||
(1)
|
Pembongkaran barang impor dari sarana pengangkut wajib dilakukan:
|
|||
|
a.
|
di Kawasan Pabean; atau
|
||
|
b.
|
di tempat lain setelah mendapat izin Kepala Kantor Pabean yang mengawasi tempat lain tersebut.
|
||
(2)
|
Pembongkaran barang impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan setelah pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a menyerahkan Inward Manifest dan telah mendapatkan nomor dan tanggal pendaftaran.
|
|||
(3)
|
Dalam hal barang impor berupa sarana pengangkut, pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dinyatakan telah melakukan Pembongkaran yakni pada saat Inward Manifest sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah mendapatkan nomor dan tanggal pendaftaran.
|
|||
|
|
|||
Pasal 4 |
||||
(1)
|
Pejabat Bea dan Cukai dapat melakukan pengawasan terhadap Pembongkaran barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), secara selektif berdasarkan manajemen risiko.
|
|||
(2)
|
Pejabat Bea dan Cukai yang melakukan pengawasan terhadap Pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat laporan pengawasan Pembongkaran.
|
|||
|
|
|||
Bagian Kedua
Pembongkaran Dilakukan di Tempat Lain Selain Kawasan Pabean
Pasal 5 |
||||
(1)
|
Pembongkaran barang impor di tempat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b dapat diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
barang impor tersebut bersifat khusus dengan memperhatikan sifat, ukuran, dan/atau bentuknya yang menyebabkan tidak dapat dibongkar di Kawasan Pabean;
|
||
|
b.
|
barang impor diangkut lanjut;
|
||
|
c.
|
adanya kendala teknis di Kawasan Pabean, seperti tidak tersedianya alat untuk melakukan Pembongkaran atau kerusakan pada alat yang digunakan untuk melakukan Pembongkaran;
|
||
|
d.
|
terdapat kongesti yang dinyatakan secara tertulis oleh penyelenggara pelabuhan; dan/atau
|
||
|
e.
|
tidak tersedianya Kawasan Pabean.
|
||
(2)
|
Untuk dapat melakukan Pembongkaran di tempat lain, pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a harus mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Pabean dengan menyebutkan alasan pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||
(3)
|
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilampiri dengan dokumen pendukung berupa:
|
|||
|
a.
|
dokumen pengangkutan, dalam hal alasan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan/atau huruf b dan pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a belum menyerahkan Inward Manifest; dan
|
||
|
b.
|
denah lokasi Pembongkaran dan tata letak (layout) tempat Pembongkaran di tempat lain.
|
||
(4)
|
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan melalui SKP.
|
|||
(5)
|
Untuk kepentingan penelitian permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Kantor Pabean dapat melakukan penelitian lapangan terhadap:
|
|||
|
a.
|
Kawasan Pabean, jika alasan permohonan Pembongkaran di tempat lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan/atau huruf c;
|
||
|
b.
|
pelabuhan, jika alasan permohonan Pembongkaran di tempat lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d; dan/atau
|
||
|
c.
|
lokasi dan tata letak (layout) tempat Pembongkaran.
|
||
(6)
|
Kepala Kantor Pabean memberikan surat persetujuan atau penolakan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) hari kerja setelah:
|
|||
|
a.
|
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima secara lengkap dan tidak dilakukan penelitian lapangan; atau
|
||
|
b.
|
dilakukan penelitian lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
|
||
|
|
|
||
Pasal 6 |
||||
(1)
|
Persetujuan Pembongkaran barang impor di tempat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (6) dapat diberikan secara periodik dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.
|
|||
(2)
|
Persetujuan Pembongkaran secara periodik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dalam hal:
|
|||
|
a.
|
keseluruhan barang yang diangkut oleh sarana pengangkut merupakan barang yang diimpor oleh Importir yang mendapatkan pengakuan sebagai AEO atau Importir yang ditetapkan sebagai MITA Kepabeanan; dan/atau
|
||
|
b.
|
frekuensi importasi yang tinggi, dan:
|
||
|
|
1.
|
barang impor bersifat khusus dengan memperhatikan sifat, ukuran, dan/atau bentuknya yang menyebabkan tidak dapat dibongkar di Kawasan Pabean; atau
|
|
|
|
2.
|
tidak tersedianya Kawasan Pabean.
|
|
(3)
|
Untuk dapat memperoleh persetujuan Pembongkaran secara periodik, permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dilampiri dengan:
|
|||
|
a.
|
dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3); dan
|
||
|
b.
|
daftar rencana Pembongkaran barang dalam periode sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
||
(4)
|
Dalam hal terdapat perubahan rencana Pembongkaran barang, perubahan daftar rencana Pembongkaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan ke Kantor Pabean sebelum Pembongkaran berikutnya.
|
|||
(5)
|
Persetujuan Pembongkaran secara periodik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan evaluasi oleh Kepala Kantor Pabean.
|
|||
|
|
|||
Bagian Ketiga
Pembongkaran Barang Impor dari Sarana Pengangkut Laut ke Sarana Pengangkut Laut Lainnya yang Dilakukan di Luar Pelabuhan
Pasal 7 |
||||
(1)
|
Pembongkaran barang impor dari sarana pengangkut laut ke sarana pengangkut laut lainnya dapat dilakukan di luar pelabuhan.
|
|||
(2)
|
Barang impor yang dibongkar dari sarana pengangkut laut ke sarana pengangkut laut lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dibawa ke:
|
|||
|
a.
|
Kawasan Pabean melalui jalur yang ditetapkan; atau
|
||
|
b.
|
tempat lain setelah mendapat izin Kepala Kantor Pabean yang mengawasi tempat lain tersebut.
|
||
(3)
|
Pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal sarana pengangkut awal tidak dapat sandar langsung ke dermaga.
|
|||
(4)
|
Untuk melakukan Pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a harus mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Pabean melalui SKP.
|
|||
(5)
|
Kepala Kantor Pabean memberikan surat persetujuan atau penolakan paling lama 1 (satu) hari kerja setelah permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterima secara lengkap.
|
|||
|
|
|||
Pasal 8 |
||||
(1)
|
Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dapat mengajukan 1 (satu) permohonan yang di dalamnya memuat permohonan mengenai:
|
|||
|
a.
|
Pembongkaran di tempat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2); dan
|
||
|
b.
|
Pembongkaran ke sarana pengangkut laut lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4),
|
||
(2)
|
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Kepala Kantor Pabean melalui SKP.
|
|||
|
|
|||
Bagian Keempat
Pembongkaran Barang Impor Langsung ke Sarana Pengangkut Lain Tanpa Dilakukan Penimbunan di TPS
Pasal 9 |
||||
(1)
|
Pembongkaran barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), dapat dilakukan langsung ke sarana pengangkut lain tanpa terlebih dahulu dilakukan Penimbunan di TPS yang berada di dalam area pelabuhan.
|
|||
(2)
|
Pembongkaran barang impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam hal barang impor:
|
|||
|
a.
|
telah mendapatkan persetujuan pengeluaran barang; dan/atau
|
||
|
b.
|
mempunyai bentuk, sifat, dan karakteristik tertentu yang secara teknis tidak memungkinkan untuk ditimbun di TPS di dalam area pelabuhan.
|
||
|
|
|
||
Pasal 10 |
||||
Pembongkaran barang impor yang berbentuk barang cair, gas, atau barang curah lainnya, dapat dilakukan melalui:
|
||||
a.
|
jalur pipa;
|
|||
b.
|
sabuk konveyor (converyor belt); dan/atau
|
|||
c.
|
alat Pembongkaran lain,
|
|||
yang dihubungkan dari sarana pengangkut laut ke sarana pengangkut darat atau tempat penimbunan.
|
||||
|
||||
Pasal 11 |
||||
(1)
|
Dalam hal sarana pengangkut dalam keadaan darurat, pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dapat membongkar barang impor terlebih dahulu.
|
|||
(2)
|
Atas Pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengangkut harus:
|
|||
|
a.
|
melaporkan hal tersebut dengan segera ke Kantor Pabean terdekat dan Kantor Pabean tujuan dengan menggunakan alat komunikasi yang tersedia; dan
|
||
|
b.
|
menyerahkan Inward Manifest atas barang yang diangkutnya ke Kantor Pabean terdekat dalam jangka waktu paling lama 72 (tujuh puluh dua) jam setelah Pembongkaran.
|
||
(3)
|
Kepala Kantor Pabean dapat melakukan penelitian atas laporan keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||
|
|
|||
BAB III
PENIMBUNAN BARANG
Bagian Kesatu
Penimbunan Barang Impor
Pasal 12 |
||||
(1)
|
Penimbunan barang impor yang belum diselesaikan kewajiban pabeannya dapat dilakukan di:
|
|||
|
a.
|
TPS; atau
|
||
|
b.
|
tempat lain yang diperlakukan sama dengan TPS setelah mendapat izin Kepala Kantor Pabean.
|
||
(2)
|
Dalam hal barang impor berupa sarana pengangkut, Penimbunan dinyatakan telah dilakukan yakni setelah sarana pengangkut selesai dilakukan Pembongkaran.
|
|||
|
|
|||
Pasal 13 |
||||
(1)
|
Pejabat Bea dan Cukai dapat melakukan pengawasan terhadap Penimbunan barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), secara selektif berdasarkan manajemen risiko.
|
|||
(2)
|
Pejabat Bea dan Cukai yang melakukan pengawasan Penimbunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat laporan pengawasan Penimbunan.
|
|||
|
|
|||
Pasal 14 |
||||
(1)
|
Jangka waktu Penimbunan barang impor di:
|
|||
|
a.
|
TPS, dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai TPS; atau
|
||
|
b.
|
tempat lain yang diperlakukan sama dengan TPS, paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal Penimbunan.
|
||
(2)
|
Barang impor yang ditimbun melewati jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan sebagai barang tidak dikuasai dan disimpan di tempat penimbunan pabean.
|
|||
(3)
|
Biaya yang timbul atas pemindahan barang impor yang ditimbun di tempat lain yang diperlakukan sama dengan TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b ke tempat penimbunan pabean, merupakan tanggung jawab Importir.
|
|||
(4)
|
Penyelesaian barang tidak dikuasai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai barang tidak dikuasai.
|
|||
|
|
|||
Bagian Kedua
Penimbunan Barang lmpor di Tempat Lain yang Diperlakukan Sama Dengan TPS
Pasal 15 |
||||
(1)
|
Penimbunan barang impor di tempat lain yang diperlakukan sama dengan TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b, diberikan dalam hal:
|
|||
|
a.
|
barang impor tersebut bersifat khusus dengan memperhatikan sifat, ukuran, dan/atau bentuknya yang menyebabkan tidak dapat ditimbun di TPS;
|
||
|
b.
|
adanya kendala teknis di TPS, seperti tidak tersedianya alat untuk melakukan Penimbunan atau kerusakan pada alat yang digunakan untuk melakukan Penimbunan;
|
||
|
c.
|
terdapat kongesti di pelabuhan;
|
||
|
d.
|
tidak tersedianya TPS; dan/atau
|
||
|
e.
|
barang impor tersebut diimpor oleh Importir yang mendapatkan pengakuan sebagai AEO atau Importir yang ditetapkan sebagai MITA Kepabeanan.
|
||
(2)
|
Untuk dapat melakukan Penimbunan barang impor di tempat lain yang diperlakukan sama dengan TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b, Importir harus mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Pabean melalui SKP dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
menyebutkan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan
|
||
|
b.
|
melampirkan denah lokasi Penimbunan dan tata letak (layout) tempat Penimbunan di tempat lain yang diperlakukan sama dengan TPS.
|
||
(3)
|
Ketentuan untuk mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan terhadap barang impor yang telah mendapatkan persetujuan pengeluaran.
|
|||
(4)
|
Untuk kepentingan penelitian permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Kantor Pabean dapat melakukan penelitian lapangan terhadap:
|
|||
|
a.
|
TPS, jika alasan dalam permohonan Penimbunan barang impor di tempat lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan/atau huruf b;
|
||
|
b.
|
pelabuhan, jika alasan dalam permohonan Penimbunan barang impor di tempat lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c; dan/atau
|
||
|
c.
|
lokasi dan tata letak (layout) tempat Penimbunan.
|
||
(5)
|
Kepala Kantor Pabean memberikan surat persetujuan atau penolakan paling lama 1 (satu) hari kerja setelah:
|
|||
|
a.
|
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima secara lengkap, dalam hal tidak dilakukan penelitian lapangan; atau
|
||
|
b.
|
penelitian lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
|
||
(6)
|
Persetujuan Kepala Kantor Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berfungsi sebagai dokumen untuk melindungi pengeluaran barang impor dari Kawasan Pabean ke tempat lain yang dipersamakan dengan TPS.
|
|||
|
|
|||
Pasal 16 |
||||
(1)
|
Persetujuan Penimbunan barang impor di tempat lain yang diperlakukan sama dengan TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (5) dapat diberikan secara periodik dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.
|
|||
(2)
|
Persetujuan Penimbunan secara periodik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dalam hal:
|
|||
|
a.
|
permohonan diajukan oleh Importir yang mendapatkan pengakuan sebagai AEO atau Importir yang ditetapkan sebagai MITA Kepabeanan; atau
|
||
|
b.
|
frekuensi importasi yang tinggi dan:
|
||
|
|
1.
|
barang impor bersifat khusus dengan memperhatikan sifat, ukuran, dan/atau bentuknya yang menyebabkan tidak dapat ditimbun di Kawasan Pabean; atau
|
|
|
|
2.
|
tidak tersedianya TPS.
|
|
(3)
|
Untuk memperoleh persetujuan atas permohonan Penimbunan secara periodik, permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) dilampiri dengan daftar rencana Penimbunan barang dalam periode tertentu.
|
|||
(4)
|
Dalam hal terdapat perubahan rencana Penimbunan barang, perubahan daftar rencana Penimbunan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan ke Kantor Pabean sebelum Penimbunan berikutnya.
|
|||
(5)
|
Persetujuan atas permohonan Penimbunan secara periodik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan evaluasi oleh Kepala Kantor Pabean.
|
|||
|
|
|||
Pasal 17 |
||||
(1)
|
Pengusaha TPS wajib menyampaikan daftar timbun barang impor yang ditimbun di TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a, dalam bentuk dan jangka waktu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai TPS.
|
|||
(2)
|
Importir wajib menyampaikan daftar timbun barang impor yang ditimbun di tempat lain yang diperlakukan sama dengan TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b, yang memuat informasi mengenai:
|
|||
|
a.
|
jumlah kemasan;
|
||
|
b.
|
jenis kemasan; dan/atau
|
||
|
c.
|
jumlah barang curah yang telah ditimbun.
|
||
(3)
|
Daftar timbun sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disampaikan melalui SKP kepada Kepala Kantor Pabean yang memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (5) paling lama 24 (dua puluh empat) jam setelah selesai Penimbunan.
|
|||
(4)
|
Pengusaha TPS yang tidak menyampaikan daftar timbun dalam jangka waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai TPS.
|
|||
(5)
|
Importir yang tidak menyampaikan daftar timbun dalam jangka waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), permohonan Penimbunan di tempat lain yang diperlakukan sama dengan TPS selanjutnya tidak dilayani sampai dengan daftar timbun disampaikan.
|
|||
|
|
|||
Pasal 18 |
||||
(1)
|
Dalam hal pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dan Importir merupakan pihak yang sama, permohonan Penimbunan barang impor di tempat lain yang diperlakukan sama dengan TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) dapat diajukan dalam 1 (satu) permohonan yang di dalamnya memuat permohonan mengenai:
|
|||
|
a.
|
pembongkaran di tempat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2); dan
|
||
|
b.
|
pembongkaran barang impor dari sarana pengangkut laut ke sarana pengangkut laut lainnya yang dilakukan di luar pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4).
|
||
(2)
|
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Kepala Kantor Pabean melalui SKP.
|
|||
|
|
|||
BAB IV
TANGGUNG JAWAB ATAS BEA MASUK
Pasal 19 |
||||
(1)
|
Dalam hal pada saat Pembongkaran terdapat selisih jumlah barang impor dengan pemberitahuan pabean Inward Manifest, berlaku ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
Pengangkut wajib membayar kekurangan bea masuk dan pajak dalam rangka impor atas barang impor yang kurang dibongkar dan dikenakan sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dalam hal barang impor yang dibongkar kurang dari yang diberitahukan; atau
|
||
|
b.
|
Pengangkut wajib membayar sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dalam hal jumlah barang impor yang dibongkar lebih dari yang diberitahukan.
|
||
(2)
|
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dapat membuktikan bahwa ketidaksesuaian jumlah barang impor terjadi di luar kemampuannya.
|
|||
(3)
|
Ketidaksesuaian jumlah barang impor yang terjadi di luar kemampuan pengangkut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:
|
|||
|
a.
|
selisih kurang atau selisih lebih atas berat dan/atau volume sebagai akibat dari penyusutan atau penambahan berat dan/atau volume yang disebabkan oleh faktor alam; dan/atau
|
||
|
b.
|
keadaan kahar (force majeure).
|
||
(4)
|
Penyelesaian atas ketidaksesuaian jumlah barang impor curah yang dibongkar dengan jumlah yang diberitahukan dalam pemberitahuan pabean, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penanganan selisih berat dan/atau volume barang impor curah.
|
|||
(5)
|
Dalam hal barang impor bukan merupakan barang curah, jumlah barang impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
|||
|
a.
|
jumlah peti kemas, dalam hal barang impor diangkut menggunakan peti kemas; atau
|
||
|
b.
|
jumlah kemasan, dalam hal barang impor diangkut tidak menggunakan peti kemas.
|
||
|
|
|
||
Pasal 20 |
||||
(1)
|
Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a bertanggung jawab terhadap bea masuk yang terutang atas barang impor yang dibongkar di Kawasan Pabean atau tempat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
|
|||
(2)
|
Pengusaha TPS bertanggung jawab terhadap bea masuk yang terutang atas barang impor yang ditimbun di TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a.
|
|||
(3)
|
Importir bertanggung jawab terhadap bea masuk yang terutang atas barang impor yang ditimbun di tempat lain yang diperlakukan sama dengan TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b.
|
|||
|
|
|||
BAB V
SISTEM KOMPUTER PELAYANAN DAN NATONAL LOGISTIC ECOSYSTEM
Pasal 21 |
||||
Dalam hal SKP belum diterapkan atau mengalami gangguan, berlaku ketentuan sebagai berikut:
|
||||
a.
|
permohonan dan/atau dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4), Pasal 7 ayat (4), Pasal 8 ayat (1), Pasal 15 ayat (2), dan Pasal 18 ayat (1); dan/atau
|
|||
b.
|
daftar timbun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2),
|
|||
disampaikan dalam bentuk tulisan di atas formulir atau dalam bentuk data elektronik melalui media penyimpan data elektronik atau surat elektronik.
|
||||
|
||||
Pasal 22 |
||||
(1)
|
Penyampaian permohonan dan persetujuan perizinan:
|
|||
|
a.
|
Pembongkaran barang impor di tempat lain selain Kawasan Pabean; dan/atau
|
||
|
b.
|
Penimbunan barang impor di tempat lain yang diperlakukan sama dengan TPS,
|
||
|
dapat dilakukan melalui Ekosistem Logistik Nasional (National Logistic Ecosystem/NLE).
|
|||
(2)
|
SKP dapat melakukan pertukaran data dengan Ekosistem Logistik Nasional (National Logistic Ecosystem/NLE).
|
|||
(3)
|
Data Pembongkaran barang impor di tempat lain selain Kawasan Pabean dan Penimbunan barang impor di tempat lain yang diperlakukan sama dengan TPS dapat digunakan untuk kepentingan percepatan logistik nasional melalui Ekosistem Logistik Nasional (National Logistic Ecosystem/NLE).
|
|||
(4)
|
Pejabat Bea dan Cukai dan/atau SKP dapat menggunakan dan memanfaatkan data yang diperoleh melalui Ekosistem Logistik Nasional (National Logistic Ecosystem/NLE) untuk kepentingan pelayanan dan pengawasan kepabeanan.
|
|||
|
|
|||
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 23 |
||||
Ketentuan mengenai Pembongkaran dan Penimbunan barang impor sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini dikecualikan terhadap Impor peranti lunak dan/atau data elektronik melalui transmisi elektronik.
|
||||
|
||||
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 24 |
||||
Pada saat Peraturan Menteri ini berlaku:
|
||||
a.
|
proses Pembongkaran dan Penimbunan barang impor yang dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 88/PMK.04/2007 tentang Pembongkaran dan Penimbunan Barang Impor dan belum selesai, diselesaikan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 88/PMK.04/2007 tentang Pembongkaran dan Penimbunan Barang Impor;
|
|||
b.
|
persetujuan Pembongkaran atau Penimbunan barang impor yang telah diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 88/PMK.04/2007 tentang Pembongkaran dan Penimbunan Barang Impor dan belum dilakukan Pembongkaran atau Penimbunan, persetujuan tersebut tetap berlaku dan atas Pembongkaran atau Penimbunan yang belum dilakukan, dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri ini; dan
|
|||
c.
|
permohonan Pembongkaran atau Penimbunan yang masih dalam proses penelitian dan belum diberikan persetujuan atau penolakan, pemrosesannya diselesaikan berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri ini.
|
|||
|
|
|||
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 25 |
||||
Petunjuk teknis pelaksanaan ketentuan mengenai Pembongkaran dan Penimbunan Barang Impor dapat ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
|
||||
|
||||
Pasal 26 |
||||
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
|
||||
a.
|
ketentuan mengenai Pembongkaran dan Penimbunan barang impor sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 7 dan Pasal 8 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 112/KMK.04/2003 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 453/KMK.04/2002 tentang Tatalaksana Kepabeanan di Bidang Impor; dan
|
|||
b.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 88/PMK.04/2007 tentang Pembongkaran dan Penimbunan Barang Impor,
|
|||
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
||||
|
||||
Pasal 27 |
||||
Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.
|
||||
|
||||
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
|
||||
|
||||
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 Agustus 2020
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
SRI MULYANI INDRAWATI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 11 Agustus 2020
DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
WIDODO EKATJAHJANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2020 NOMOR 896
|