Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Premium
Terjemahan Dokumen
Ini Belum Tersedia
Ini Belum Tersedia
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Menimbang |
|||||
a.
|
bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara perlu mewujudkan pembangunan nasional yang didukung dengan perekonomian yang tangguh melalui pengembangan dan penguatan sektor keuangan yang lebih optimal;
|
||||
b.
|
bahwa untuk mendukung dan mewujudkan upaya pengembangan dan penguatan sektor keuangan di Indonesia yang sejalan dengan perkembangan industri jasa keuangan yang makin kompleks dan beragam; perekonomian nasional dan internasional yang bergerak cepat, kompetitif, dan terintegrasi; sistem keuangan yang makin maju; serta untuk memperkuat kerangka pengaturan dan pengawasan terhadap lembaga jasa keuangan, diperlukan pengaturan baru dan penyesuaian berbagai peraturan di sektor keuangan;
|
||||
c.
|
bahwa upaya pengaturan baru dan penyesuaian berbagai peraturan di sektor keuangan, dapat dilakukan perubahan Undang-Undang di sektor keuangan dengan menggunakan metode omnibus guna menyelaraskan berbagai pengaturan yang terdapat dalam berbagai Undang-Undang ke dalam 1 (satu) Undang-Undang secara komprehensif;
|
||||
d.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan;
|
||||
|
|
|
|
|
|
Mengingat |
|||||
1.
|
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23D, Pasal 33, dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
||||
2.
|
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841);
|
||||
3.
|
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841);
|
||||
4.
|
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608);
|
||||
5.
|
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3720) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5232);
|
||||
6.
|
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
|
||||
7.
|
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4236);
|
||||
8.
|
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4963);
|
||||
9.
|
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841);
|
||||
10.
|
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841);
|
||||
11.
|
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4957);
|
||||
12.
|
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223);
|
||||
13.
|
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
|
||||
14.
|
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5394);
|
||||
15.
|
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618);
|
||||
16.
|
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5835);
|
||||
17.
|
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5872);
|
||||
|
|
|
|
|
|
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:
|
|||||
|
|
|
|
|
|
|
|||||
Menetapkan |
|||||
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGEMBANGAN DAN PENGUATAN SEKTOR KEUANGAN.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM Pasal 1 |
|||||
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
|||||
1.
|
Sistem Keuangan adalah suatu kesatuan yang terdiri atas lembaga jasa keuangan, pasar keuangan, dan infrastruktur keuangan, termasuk sistem pembayaran, yang berinteraksi dalam memfasilitasi pengumpulan dana masyarakat dan pengalokasiannya untuk mendukung aktivitas perekonomian nasional, serta korporasi dan rumah tangga yang terhubung dengan lembaga jasa keuangan.
|
||||
2.
|
Stabilitas Sistem Keuangan adalah stabilitas Sistem Keuangan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan.
|
||||
3.
|
Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disingkat DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
|
||||
4.
|
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
|
||||
5.
|
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
|
||||
6.
|
Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga negara yang independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
7.
|
Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
|
||||
8.
|
Lembaga Penjamin Simpanan adalah lembaga penjamin simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai Lembaga Penjamin Simpanan.
|
||||
9.
|
Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
|
||||
10.
|
Lembaga Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat LJK adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
|
||||
11.
|
Bank adalah bank sebagaimana dimaksud dalam undang undang mengenai perbankan dan undang-undang mengenai perbankan syariah.
|
||||
12.
|
Pasar Modal adalah bagian dari Sistem Keuangan yang berkaitan dengan kegiatan:
|
||||
|
a.
|
penawaran umum dan transaksi efek;
|
|||
|
b.
|
pengelolaan investasi;
|
|||
|
c.
|
emiten dan perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya; dan
|
|||
|
d.
|
lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek.
|
|||
13.
|
Pasar Uang adalah bagian dari Sistem Keuangan yang berkaitan dengan:
|
||||
|
a.
|
kegiatan penerbitan dan perdagangan instrumen keuangan atau efek bersifat utang yang berjangka waktu tidak lebih dari 1 (satu) tahun;
|
|||
|
b.
|
transaksi pinjam meminjam uang;
|
|||
|
c.
|
transaksi derivatif suku bunga; dan
|
|||
|
d.
|
transaksi lainnya yang memenuhi karakteristik di Pasar Uang,
|
|||
|
dalam mata uang Rupiah atau valuta asing.
|
||||
14.
|
Pasar Valuta Asing adalah bagian dari Sistem Keuangan yang berkaitan dengan kegiatan transaksi yang melibatkan pertukaran mata uang dari 2 (dua) negara yang berbeda beserta derivatifnya, tetapi tidak termasuk penukaran bank notes yang diselenggarakan oleh kegiatan usaha penukaran valuta asing.
|
||||
15.
|
Derivatif adalah suatu instrumen yang nilainya merupakan turunan dari aset yang mendasarinya.
|
||||
16.
|
Perusahaan Asuransi adalah perusahaan asuransi umum dan perusahaan asuransi jiwa.
|
||||
17.
|
Perusahaan Asuransi Syariah adalah perusahaan asuransi umum syariah dan perusahaan asuransi jiwa syariah.
|
||||
18.
|
Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama yang selanjutnya disebut Usaha Bersama adalah badan hukum yang menyelenggarakan usaha asuransi dan dimiliki oleh anggota, yang telah ada pada saat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian diundangkan.
|
||||
19.
|
Rapat Umum Anggota Usaha Bersama yang selanjutnya disingkat dengan RUA adalah organ yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada direksi Usaha Bersama atau dewan komisaris Usaha Bersama dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini.
|
||||
20.
|
Panitia Pemilihan adalah panitia yang bertugas melakukan pemilihan peserta RUA.
|
||||
21.
|
Direksi Usaha Bersama adalah organ Usaha Bersama yang berwenang dan bertanggung jawab atas pengurusan Usaha Bersama untuk kepentingan Usaha Bersama, sesuai dengan maksud dan tujuan Usaha Bersama, serta mewakili Usaha Bersama baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan Undang-Undang ini.
|
||||
22.
|
Dewan Komisaris Usaha Bersama adalah organ Usaha Bersama yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan Undang-Undang ini, serta memberikan nasihat kepada Direksi Usaha Bersama.
|
||||
23.
|
Proposal Perubahan Bentuk Badan Hukum yang selanjutnya disebut Proposal adalah dokumen yang memuat data dan informasi berkaitan dengan rencana perubahan bentuk badan hukum Usaha Bersama menjadi perseroan terbatas.
|
||||
24.
|
Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam berdasarkan fatwa dan/atau pernyataan kesesuaian syariah yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
|
||||
25.
|
Dewan Pengawas Syariah adalah pihak yang memiliki tugas dan fungsi pengawasan terhadap penyelenggaraan kegiatan perusahaan/badan hukum agar sesuai dengan Prinsip Syariah.
|
||||
26.
|
Usaha Jasa Pembiayaan adalah kegiatan penyediaan dana atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara penyelenggara usaha jasa pembiayaan dan penerima pembiayaan yang mewajibkan pihak penerima pembiayaan untuk mengembalikan dana atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga, imbalan, bagi hasil, dan/atau kelebihan pembayaran lainnya, dengan atau tanpa adanya agunan.
|
||||
27.
|
Penyelenggara Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi adalah badan hukum Indonesia yang menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi dana dengan penerima dana dalam melakukan pendanaan baik secara konvensional maupun berdasarkan Prinsip Syariah secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan internet.
|
||||
28.
|
Dana Pensiun adalah badan hukum yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun.
|
||||
29.
|
Pengendali adalah pihak yang secara langsung atau tidak langsung mempunyai kemampuan untuk menentukan direksi, dewan komisaris, atau yang setara pada pihak tertentu, yaitu penyelenggara infrastruktur pasar keuangan, LJK, emiten atau perusahaan publik, dan/atau kemampuan untuk memengaruhi tindakan direksi, dewan komisaris, atau yang setara pada pihak tertentu tersebut.
|
||||
30.
|
Pemegang Saham Pengendali yang selanjutnya disingkat PSP adalah badan hukum, orang perseorangan, dan/atau kelompok usaha baik yang secara langsung maupun tidak langsung memiliki saham atau yang setara dengan saham pada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan dan/atau mempunyai kemampuan untuk melakukan pengendalian atas pihak dimaksud.
|
||||
31.
|
Pemegang Saham Pengendali Terakhir (ultimate shareholders) yang selanjutnya disingkat PSPT adalah orang perseorangan atau negara yang secara langsung ataupun tidak langsung memiliki saham perusahaan dan merupakan pengendali terakhir atau pemilik manfaat terakhir (ultimate beneficial owner) dari suatu perusahaan atau kelompok usaha.
|
||||
32.
|
Konglomerasi Keuangan adalah LJK yang berada dalam 1 (satu) grup atau kelompok karena keterkaitan kepemilikan dan/atau pengendalian.
|
||||
33.
|
Perusahaan Induk Konglomerasi Keuangan (Financial Holding Company) yang selanjutnya disingkat PIKK adalah badan hukum yang dimiliki oleh PSP atau PSPT untuk mengendalikan, mengonsolidasikan, dan bertanggung jawab terhadap seluruh aktivitas Konglomerasi Keuangan.
|
||||
34.
|
Inovasi Teknologi Sektor Keuangan yang selanjutnya disingkat ITSK adalah inovasi berbasis teknologi yang berdampak pada produk, aktivitas, layanan, dan model bisnis dalam ekosistem keuangan digital.
|
||||
35.
|
Keuangan Berkelanjutan adalah sebuah ekosistem dengan dukungan menyeluruh berupa kebijakan, regulasi, norma, standar, produk, transaksi, dan jasa keuangan yang menyelaraskan kepentingan ekonomi, lingkungan hidup, dan sosial dalam pembiayaan kegiatan berkelanjutan dan pembiayaan transisi menuju pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
|
||||
36.
|
Literasi Keuangan adalah pengetahuan, keterampilan, dan keyakinan yang memengaruhi sikap dan perilaku untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan pengelolaan keuangan untuk mencapai kesejahteraan keuangan masyarakat.
|
||||
37.
|
Inklusi Keuangan adalah ketersediaan akses pemanfaatan atas produk dan/atau layanan pelaku usaha sektor keuangan yang terjangkau, berkualitas, dan berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan keuangan masyarakat.
|
||||
38.
|
Konsumen adalah setiap orang yang memiliki dan/atau memanfaatkan produk dan/atau layanan yang disediakan oleh pelaku usaha sektor keuangan.
|
||||
39.
|
Pelindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan pelindungan kepada Konsumen.
|
||||
40.
|
Pelaku Usaha Sektor Keuangan yang selanjutnya disingkat PUSK adalah LJK, pelaku usaha infrastruktur pasar keuangan, pelaku usaha di sistem pembayaran, lembaga pendukung di sektor keuangan, dan pelaku usaha sektor keuangan lainnya baik yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional maupun berdasarkan Prinsip Syariah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor keuangan.
|
||||
41.
|
Pengawasan Perilaku Pasar (Market Conduct) adalah pengawasan terhadap perilaku PUSK dalam mendesain, menyediakan dan menyampaikan informasi, menawarkan, menyusun perjanjian, memberikan pelayanan atas penggunaan produk dan/atau layanan, serta penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa dalam upaya mewujudkan Pelindungan Konsumen.
|
||||
42.
|
Perjanjian Baku adalah perjanjian tertulis termasuk dalam bentuk elektronik yang ditetapkan secara sepihak oleh PUSK dan memuat klausul baku tentang isi, bentuk, dan cara pembuatan, serta digunakan untuk menawarkan produk dan/atau layanan kepada Konsumen secara massal.
|
||||
43.
|
Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Keuangan yang selanjutnya disingkat LAPS-SK adalah lembaga yang melakukan penyelesaian sengketa antara Konsumen dan PUSK di luar pengadilan.
|
||||
44.
|
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang memenuhi kriteria usaha mikro, kecil, dan menengah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai usaha mikro, kecil, dan menengah.
|
||||
45.
|
Profesi Sektor Keuangan adalah bidang pekerjaan yang memberikan suatu jasa keprofesian di sektor keuangan yang memerlukan tingkat keahlian dan kualifikasi tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
46.
|
Pelaku Profesi Sektor Keuangan adalah seseorang yang melakukan Profesi Sektor Keuangan.
|
||||
47.
|
Profesi Penunjang Sektor Keuangan adalah Pelaku Profesi Sektor Keuangan yang memberikan suatu jasa keprofesian pada berbagai industri sektor keuangan untuk mendukung efektivitas sektor keuangan.
|
||||
48.
|
Profesi Pelaku Usaha Sektor Keuangan adalah Pelaku Profesi Sektor Keuangan yang memberikan suatu keprofesian terbatas pada suatu industri sektor keuangan.
|
||||
49.
|
Asosiasi Profesi adalah organisasi profesi yang menaungi Pelaku Profesi Sektor Keuangan.
|
||||
50.
|
Lembaga Sertifikasi Profesi adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan sertifikasi profesi yang telah memenuhi syarat dan memperoleh lisensi dari badan atau lembaga yang diberikan wewenang untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
51.
|
Setiap Orang adalah orang perseorangan, korporasi atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB II
ASAS, MAKSUD, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP Bagian Kesatu Asas Pasal 2 |
|||||
Undang-Undang ini dilaksanakan berdasarkan asas:
|
|||||
a.
|
kepentingan nasional;
|
||||
b.
|
kemanfaatan;
|
||||
c.
|
kepastian hukum;
|
||||
d.
|
keterbukaan;
|
||||
e.
|
akuntabilitas;
|
||||
f.
|
keadilan;
|
||||
g.
|
Pelindungan Konsumen;
|
||||
h.
|
edukasi; dan
|
||||
i.
|
keterpaduan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Maksud dan Tujuan Pasal 3 |
|||||
(1)
|
Undang-Undang ini dibentuk dengan maksud mendorong kontribusi sektor keuangan bagi pertumbuhan ekonomi yang inklusif, berkelanjutan, dan berkeadilan guna meningkatkan taraf hidup masyarakat, mengurangi ketimpangan ekonomi, dan mewujudkan Indonesia yang sejahtera, maju, dan bermartabat.
|
||||
(2)
|
Undang-Undang ini dibentuk dengan tujuan untuk:
|
||||
|
a.
|
mengoptimalkan fungsi intermediasi sektor keuangan kepada usaha sektor produktif;
|
|||
|
b.
|
meningkatkan portofolio pendanaan terhadap sektor usaha yang produktif;
|
|||
|
c.
|
meningkatkan kemudahan akses dan literasi terkait jasa keuangan;
|
|||
|
d.
|
meningkatkan dan memperluas inklusi sektor keuangan;
|
|||
|
e.
|
memperluas sumber pembiayaan jangka panjang;
|
|||
|
f.
|
meningkatkan daya saing dan efisiensi sektor keuangan;
|
|||
|
g.
|
mengembangkan instrumen di pasar keuangan dan memperkuat mitigasi risiko;
|
|||
|
h.
|
meningkatkan pembinaan, pengawasan, dan Pelindungan Konsumen;
|
|||
|
i.
|
memperkuat pelindungan atas data pribadi nasabah sektor keuangan;
|
|||
|
j.
|
memperkuat kelembagaan dan ketahanan Stabilitas Sistem Keuangan;
|
|||
|
k.
|
mengembangkan dan memperkuat ekosistem sektor keuangan;
|
|||
|
l.
|
memperkuat wewenang, tanggung jawab, tugas, dan fungsi regulator sektor keuangan; dan
|
|||
|
m.
|
meningkatkan daya saing masyarakat sehingga dapat berusaha secara efektif dan efisien.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Ruang Lingkup Pasal 4 |
|||||
Dalam rangka mencapai maksud dan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, ruang lingkup dalam Undang-Undang ini mengatur ekosistem sektor keuangan meliputi:
|
|||||
a.
|
kelembagaan;
|
||||
b.
|
perbankan;
|
||||
c.
|
Pasar Modal, Pasar Uang, dan Pasar Valuta Asing;
|
||||
d.
|
perasuransian dan penjaminan;
|
||||
e.
|
asuransi Usaha Bersama;
|
||||
f.
|
program penjaminan polis;
|
||||
g.
|
Usaha Jasa Pembiayaan;
|
||||
h.
|
kegiatan usaha bulion (bullion);
|
||||
i.
|
Dana Pensiun, program jaminan hari tua, dan program pensiun;
|
||||
j.
|
kegiatan koperasi di sektor jasa keuangan;
|
||||
k.
|
lembaga keuangan mikro;
|
||||
l.
|
Konglomerasi Keuangan;
|
||||
m.
|
ITSK;
|
||||
n.
|
penerapan Keuangan Berkelanjutan;
|
||||
o.
|
Literasi Keuangan, Inklusi Keuangan, dan Pelindungan Konsumen;
|
||||
p.
|
akses pembiayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;
|
||||
q.
|
sumber daya manusia;
|
||||
r.
|
Stabilitas Sistem Keuangan;
|
||||
s.
|
lembaga pembiayaan ekspor Indonesia; dan
|
||||
t.
|
penegakan hukum di sektor keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB III
KELEMBAGAAN Bagian Kesatu Umum Pasal 5 |
|||||
Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan melalui penataan kelembagaan otoritas sektor keuangan, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
|
|||||
a.
|
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5872);
|
||||
b.
|
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4963);
|
||||
c.
|
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
|
||||
d.
|
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); dan
|
||||
e.
|
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223).
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Komite Stabilitas Sistem Keuangan Pasal 6 |
|||||
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5872) diubah sebagai berikut:
|
|||||
|
|
|
|
|
|
1.
|
Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 1
|
||||
|
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||
|
1.
|
Sistem Keuangan adalah suatu kesatuan yang terdiri atas lembaga jasa keuangan, pasar keuangan, dan infrastruktur keuangan, termasuk sistem pembayaran, yang berinteraksi dalam memfasilitasi pengumpulan dana masyarakat dan pengalokasiannya untuk mendukung aktivitas perekonomian nasional, serta korporasi dan rumah tangga yang terhubung dengan lembaga jasa keuangan.
|
|||
|
2.
|
Stabilitas Sistem Keuangan adalah kondisi Sistem Keuangan yang berfungsi efektif dan efisien serta mampu bertahan dari gejolak yang bersumber dari dalam negeri dan luar negeri.
|
|||
|
3.
|
Krisis Sistem Keuangan adalah kondisi Sistem Keuangan yang gagal menjalankan fungsi dan perannya secara efektif dan efisien, yang ditunjukkan dengan memburuknya berbagai indikator ekonomi dan keuangan.
|
|||
|
4.
|
Bank adalah bank sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perbankan dan undang-undang mengenai perbankan syariah.
|
|||
|
5.
|
Bank Sistemik adalah Bank yang karena ukuran aset, modal, dan kewajiban; luas jaringan atau kompleksitas transaksi atas jasa perbankan; serta keterkaitan dengan sektor keuangan lain dapat mengakibatkan gagalnya sebagian atau keseluruhan Bank lain atau sektor jasa keuangan, baik secara operasional maupun finansial, jika Bank tersebut mengalami gangguan atau gagal.
|
|||
|
6.
|
Surat Berharga Negara adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai surat utang negara dan surat berharga syariah negara sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai surat berharga syariah negara.
|
|||
|
7.
|
Bank Perantara adalah bank umum yang didirikan oleh Lembaga Penjamin Simpanan untuk digunakan sebagai sarana resolusi dengan menerima pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank yang ditangani Lembaga Penjamin Simpanan, selanjutnya menjalankan kegiatan usaha perbankan, dan akan dialihkan kepemilikannya kepada pihak lain.
|
|||
|
8.
|
Program Restrukturisasi Perbankan adalah program yang diselenggarakan untuk menangani permasalahan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional.
|
|||
|
9.
|
Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
|
|||
|
10.
|
Otoritas Jasa Keuangan adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
11.
|
Lembaga Penjamin Simpanan adalah Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
12.
|
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
|
|||
|
13.
|
Menteri Keuangan adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
2.
|
Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 4
|
||||
|
(1)
|
Berdasarkan undang-undang mengenai pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan dibentuk Komite Stabilitas Sistem Keuangan.
|
|||
|
(2)
|
Komite Stabilitas Sistem Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyelenggarakan pencegahan dan penanganan Krisis Sistem Keuangan untuk melaksanakan kepentingan dan ketahanan negara di bidang perekonomian.
|
|||
|
(3)
|
Komite Stabilitas Sistem Keuangan beranggotakan:
|
|||
|
|
a.
|
Menteri Keuangan sebagai koordinator merangkap anggota dengan hak suara;
|
||
|
|
b.
|
Gubernur Bank Indonesia sebagai anggota dengan hak suara;
|
||
|
|
c.
|
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan sebagai anggota dengan hak suara; dan
|
||
|
|
d.
|
Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan sebagai anggota dengan hak suara.
|
||
|
(4)
|
Setiap anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bertindak untuk dan atas nama lembaga yang dipimpinnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
3.
|
Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 5
|
||||
|
Komite Stabilitas Sistem Keuangan bertugas:
|
||||
|
a.
|
melakukan koordinasi dalam rangka pemantauan dan pemeliharaan Stabilitas Sistem Keuangan;
|
|||
|
b.
|
melakukan penanganan Krisis Sistem Keuangan; dan
|
|||
|
c.
|
melakukan koordinasi penanganan permasalahan Bank Sistemik baik dalam kondisi Stabilitas Sistem Keuangan normal maupun kondisi Krisis Sistem Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
4.
|
Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 6
|
||||
|
Komite Stabilitas Sistem Keuangan berwenang:
|
||||
|
a.
|
menetapkan keputusan mengenai tata kelola Komite Stabilitas Sistem Keuangan dan sekretariat Komite Stabilitas Sistem Keuangan;
|
|||
|
b.
|
membentuk gugus tugas atau kelompok kerja untuk membantu pelaksanaan tugas Komite Stabilitas Sistem Keuangan;
|
|||
|
c.
|
menetapkan kriteria dan indikator untuk penilaian kondisi Stabilitas Sistem Keuangan;
|
|||
|
d.
|
melakukan penilaian terhadap kondisi Stabilitas Sistem Keuangan berdasarkan masukan dari setiap anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan, beserta data dan informasi pendukungnya;
|
|||
|
e.
|
menetapkan langkah koordinasi untuk mencegah Krisis Sistem Keuangan dengan mempertimbangkan rekomendasi dan/atau kesepakatan dari anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan;
|
|||
|
f.
|
merekomendasikan kepada Presiden untuk memutuskan perubahan status Stabilitas Sistem Keuangan, dari kondisi normal menjadi kondisi Krisis Sistem Keuangan atau dari kondisi Krisis Sistem Keuangan menjadi kondisi normal;
|
|||
|
g.
|
merekomendasikan kepada Presiden untuk memutuskan langkah penanganan Krisis Sistem Keuangan;
|
|||
|
h.
|
mengoordinasikan langkah yang harus dilakukan oleh anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan untuk mendukung pelaksanaan penanganan permasalahan Bank Sistemik oleh Lembaga Penjamin Simpanan, termasuk pembelian oleh Bank Indonesia atas Surat Berharga Negara yang dimiliki Lembaga Penjamin Simpanan untuk penanganan Bank Sistemik; dan
|
|||
|
i.
|
merekomendasikan kepada Presiden untuk memutuskan penyelenggaraan dan pengakhiran Program Restrukturisasi Perbankan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
5.
|
Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 7
|
||||
|
(1)
|
Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Komite Stabilitas Sistem Keuangan dibantu oleh sekretariat Komite Stabilitas Sistem Keuangan yang dipimpin oleh sekretaris Komite Stabilitas Sistem Keuangan.
|
|||
|
(2)
|
Sekretaris Komite Stabilitas Sistem Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pejabat eselon I Kementerian Keuangan.
|
|||
|
(3)
|
Organisasi dan tata kerja sekretariat Komite Stabilitas Sistem Keuangan ditetapkan oleh Menteri Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
(4)
|
Dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas dan wewenang Komite Stabilitas Sistem Keuangan, sekretariat Komite Stabilitas Sistem Keuangan melakukan analisis, riset, dan/atau asesmen Stabilitas Sistem Keuangan.
|
|||
|
(5)
|
Dalam melakukan analisis, riset, dan/atau asesmen Stabilitas Sistem Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), sekretariat Komite Stabilitas Sistem Keuangan:
|
|||
|
|
a.
|
menggunakan data dan informasi dari sarana pertukaran informasi secara terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan; dan
|
||
|
|
b.
|
mendapatkan akses atas data dan informasi yang tersedia di masing-masing lembaga anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan dan/atau yang berasal dari forum koordinasi antarlembaga anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan.
|
||
|
(6)
|
Sekretariat Komite Stabilitas Sistem Keuangan dapat menyelenggarakan rapat yang dihadiri oleh pejabat Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan untuk mempersiapkan pelaksanaan rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan.
|
|||
|
(7)
|
Anggaran sekretariat Komite Stabilitas Sistem Keuangan bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
|
|||
|
|
|
|
|
|
6.
|
Di antara Pasal 8 dan Pasal 9 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 8A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 8A
|
||||
|
Selain rapat secara berkala atau sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Komite Stabilitas Sistem Keuangan dapat menyelenggarakan rapat koordinasi dalam rangka pemantauan dan pemeliharaan Stabilitas Sistem Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
7.
|
Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 9
|
||||
|
(1)
|
Rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan harus dihadiri oleh seluruh anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan secara fisik dan/atau secara virtual.
|
|||
|
(2)
|
Rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan dipimpin oleh koordinator Komite Stabilitas Sistem Keuangan.
|
|||
|
(3)
|
Pengambilan keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan dilakukan dalam rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan secara musyawarah untuk mufakat.
|
|||
|
(4)
|
Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak tercapai, pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak.
|
|||
|
(5)
|
Dalam hal pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak tercapai, Menteri Keuangan sebagai koordinator Komite Stabilitas Sistem Keuangan mengambil keputusan atas nama Komite Stabilitas Sistem Keuangan.
|
|||
|
(6)
|
Keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan dalam rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan dan/atau pelaksanaan dari keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan ayat (5) oleh setiap anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan sah dan mengikat setiap anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan dan/atau pihak terkait.
|
|||
|
(7)
|
Setiap keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan ditandatangani oleh seluruh anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan.
|
|||
|
(8)
|
Dalam hal koordinator dan/atau anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan berhalangan hadir dalam rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan baik secara fisik maupun secara virtual atau berhalangan tetap, koordinator dan/atau anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan yang bersangkutan diwakili oleh pejabat pengganti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
8.
|
Pasal 10 dihapus.
|
||||
|
|
|
|
|
|
9.
|
Pasal 11 dihapus.
|
||||
|
|
|
|
|
|
10.
|
Di antara Pasal 34 dan Pasal 35 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 34A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 34A
|
||||
|
Dalam hal Presiden memutuskan kondisi Krisis Sistem Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan bersama-sama melaksanakan langkah penanganan Krisis Sistem Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Lembaga Penjamin Simpanan Pasal 7 |
|||||
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4963) diubah sebagai berikut:
|
|||||
|
|
|
|
|
|
1.
|
Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 1
|
||||
|
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||
|
1.
|
Simpanan adalah simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perbankan dan undang-undang mengenai perbankan syariah.
|
|||
|
2.
|
Bank adalah bank sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perbankan dan undang-undang mengenai perbankan syariah.
|
|||
|
3.
|
Otoritas Jasa Keuangan adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
4.
|
Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
|
|||
|
5.
|
Nasabah Penyimpan adalah nasabah penyimpan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perbankan dan undang-undang mengenai perbankan syariah.
|
|||
|
6.
|
Nasabah Debitur adalah nasabah debitur sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perbankan.
|
|||
|
7.
|
Bank Dalam Resolusi adalah Bank yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagai Bank yang:
|
|||
|
|
a.
|
mengalami kesulitan keuangan;
|
||
|
|
b.
|
membahayakan kelangsungan usahanya; dan
|
||
|
|
c.
|
tidak dapat disehatkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan kewenangannya.
|
||
|
8.
|
Bank Sistemik adalah Bank yang karena ukuran aset, modal, dan kewajiban; luas jaringan atau kompleksitas transaksi atas jasa perbankan; serta keterkaitan dengan sektor keuangan lain dapat mengakibatkan gagalnya sebagian atau keseluruhan Bank lain atau sektor jasa keuangan, baik secara operasional maupun finansial, jika Bank tersebut mengalami gangguan atau gagal.
|
|||
|
9.
|
Penjaminan Simpanan Nasabah Bank yang selanjutnya disebut Penjaminan, adalah penjaminan yang dilaksanakan oleh Lembaga Penjamin Simpanan atas Simpanan nasabah Bank.
|
|||
|
10.
|
Cadangan Penjaminan adalah dana yang berasal dari sebagian surplus Lembaga Penjamin Simpanan yang dialokasikan untuk memenuhi kewajiban di masa yang akan datang dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenang Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
11.
|
Cadangan Tujuan adalah dana yang berasal dari sebagian surplus Lembaga Penjamin Simpanan yang digunakan di antaranya untuk penggantian atau pembaruan aktiva tetap dan perlengkapan yang digunakan dalam melaksanakan tugas dan wewenang Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
12.
|
Menteri Keuangan adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
|
|||
|
13.
|
Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan adalah peraturan yang ditetapkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
14.
|
Dewan Komisioner adalah organ tertinggi Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
15.
|
Peraturan Dewan Komisioner adalah peraturan yang ditetapkan oleh Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan yang memuat aturan internal.
|
|||
|
16.
|
Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disingkat RUPS adalah rapat umum pemegang saham sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
2.
|
Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 2
|
||||
|
(1)
|
Berdasarkan undang-undang mengenai Lembaga Penjamin Simpanan dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
(2)
|
Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan badan hukum.
|
|||
|
(3)
|
Lembaga Penjamin Simpanan merupakan lembaga yang independen, transparan, dan akuntabel dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
|
|||
|
(4)
|
Lembaga Penjamin Simpanan bertanggung jawab kepada Presiden.
|
|||
|
|
|
|
|
|
3.
|
Di antara Pasal 3 dan Pasal 4 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 3A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 3A
|
||||
|
Lembaga Penjamin Simpanan bertujuan menjamin dan melindungi dana masyarakat yang ditempatkan pada Bank serta Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
4.
|
Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 4
|
||||
|
Lembaga Penjamin Simpanan berfungsi:
|
||||
|
a.
|
menjamin Simpanan Nasabah Penyimpan;
|
|||
|
b.
|
menjamin polis asuransi;
|
|||
|
c.
|
turut aktif dalam memelihara Stabilitas Sistem Keuangan sesuai dengan kewenangannya;
|
|||
|
d.
|
melakukan resolusi Bank; dan
|
|||
|
e.
|
melakukan penyelesaian permasalahan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang dicabut izin usahanya oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
5.
|
Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 5
|
||||
|
(1)
|
Dalam menjalankan fungsi menjamin Simpanan Nasabah Penyimpan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, Lembaga Penjamin Simpanan bertugas:
|
|||
|
|
a.
|
merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan Penjaminan; dan
|
||
|
|
b.
|
melaksanakan Penjaminan.
|
||
|
(2)
|
Dalam menjalankan fungsi menjamin polis asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, Lembaga Penjamin Simpanan bertugas:
|
|||
|
|
a.
|
merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan program penjaminan polis; dan
|
||
|
|
b.
|
melaksanakan program penjaminan polis.
|
||
|
(3)
|
Dalam menjalankan fungsi turut aktif dalam memelihara Stabilitas Sistem Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, Lembaga Penjamin Simpanan bertugas merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan Stabilitas Sistem Keuangan sesuai dengan kewenangannya.
|
|||
|
(4)
|
Dalam menjalankan fungsi melakukan resolusi Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d, Lembaga Penjamin Simpanan bertugas:
|
|||
|
|
a.
|
merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan persiapan tindakan resolusi Bank termasuk uji tuntas pada Bank serta penjajakan kepada Bank atau investor lain; dan
|
||
|
|
b.
|
merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan resolusi Bank yang ditetapkan sebagai Bank Dalam Resolusi.
|
||
|
(5)
|
Dalam menjalankan fungsi melakukan penyelesaian permasalahan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e, Lembaga Penjamin Simpanan bertugas:
|
|||
|
|
a.
|
merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan persiapan likuidasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah; dan
|
||
|
|
b.
|
merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan likuidasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang dicabut izin usahanya oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
||
|
|
|
|
|
|
6.
|
Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 6
|
||||
|
(1)
|
Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Lembaga Penjamin Simpanan berwenang:
|
|||
|
|
a.
|
menetapkan dan memungut premi Penjaminan dan iuran berkala penjaminan polis;
|
||
|
|
b.
|
menetapkan dan memungut kontribusi pada saat Bank pertama kali menjadi peserta dan iuran awal pada saat Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah pertama kali menjadi peserta;
|
||
|
|
c.
|
melakukan pengelolaan kekayaan dan kewajiban Lembaga Penjamin Simpanan, termasuk melakukan hapus buku dan hapus tagih terhadap aset berupa piutang serta aset lainnya;
|
||
|
|
d.
|
mendapatkan data Simpanan Nasabah Penyimpan, data kesehatan Bank, laporan keuangan Bank, dan laporan hasil pemeriksaan Bank;
|
||
|
|
e.
|
mendapatkan data pemegang polis, tertanggung, dan peserta asuransi; data kesehatan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah; laporan keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah; dan laporan hasil pemeriksaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah;
|
||
|
|
f.
|
melakukan rekonsiliasi, verifikasi, dan/atau konfirmasi atas data dan laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf d dan huruf e;
|
||
|
|
g.
|
menetapkan syarat, tata cara, dan ketentuan mengenai pembayaran klaim Penjaminan dan pelaksanaan penjaminan polis;
|
||
|
|
h.
|
menunjuk, menguasakan, dan/atau menugaskan pihak lain untuk bertindak bagi kepentingan dan/atau atas nama Lembaga Penjamin Simpanan, guna melaksanakan sebagian tugas tertentu;
|
||
|
|
i.
|
melakukan penyuluhan kepada Bank, Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah, serta masyarakat mengenai Penjaminan dan penjaminan polis;
|
||
|
|
j.
|
melakukan pemeriksaan Bank baik sendiri maupun bersama dengan Otoritas Jasa Keuangan;
|
||
|
|
k.
|
melakukan pemeriksaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah baik sendiri maupun bersama dengan Otoritas Jasa Keuangan;
|
||
|
|
l.
|
melakukan penempatan dana pada Bank dalam penyehatan berdasarkan permintaan dari Otoritas Jasa Keuangan;
|
||
|
|
m.
|
menunjuk pengelola statuter pada Bank yang menerima penempatan dana dari Lembaga Penjamin Simpanan;
|
||
|
|
n.
|
melakukan pengalihan portofolio pertanggungan, pembayaran klaim penjaminan, dan pengembalian premi atau kontribusi yang belum berjalan, pada saat Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dilikuidasi;
|
||
|
|
o.
|
mengalihkan polis asuransi tanpa persetujuan pemegang polis asuransi; dan
|
||
|
|
p.
|
mengenakan sanksi administratif.
|
||
|
(2)
|
Terhitung sejak Lembaga Penjamin Simpanan menerima pemberitahuan tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan atas Bank Dalam Resolusi atau Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang dicabut izin usahanya, Lembaga Penjamin Simpanan berwenang:
|
|||
|
|
a.
|
mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak dan wewenang RUPS;
|
||
|
|
b.
|
menguasai dan mengelola aset dan kewajiban Bank Dalam Resolusi serta Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah;
|
||
|
|
c.
|
meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah setiap kontrak yang mengikat Bank Dalam Resolusi serta Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dengan pihak ketiga yang merugikan Bank Dalam Resolusi serta Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah; dan
|
||
|
|
d.
|
menjual dan/atau mengalihkan aset Bank Dalam Resolusi atau Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah tanpa persetujuan debitur dan/atau mengalihkan kewajiban Bank Dalam Resolusi atau Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah tanpa persetujuan kreditur.
|
||
|
|
|
|
|
|
7.
|
Di antara Pasal 9 dan Pasal 10 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 9A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 9A
|
||||
|
(1)
|
Bank wajib menyampaikan data Simpanan berbasis nasabah kepada Lembaga Penjamin Simpanan untuk menentukan Simpanan yang layak dibayar.
|
|||
|
(2)
|
Bank bertanggung jawab atas kebenaran dan kelengkapan data Simpanan berbasis nasabah yang disampaikan kepada Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||
|
(3)
|
Dalam rangka menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b, Lembaga Penjamin Simpanan dapat melakukan pemeriksaan terhadap data Simpanan berbasis nasabah.
|
|||
|
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian data Simpanan berbasis nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
8.
|
Di antara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 10A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 10A
|
||||
|
(1)
|
Dalam rangka melaksanakan kebijakan Penjaminan, Lembaga Penjamin Simpanan dapat menjamin Simpanan untuk kelompok nasabah.
|
|||
|
(2)
|
Ketentuan mengenai Penjaminan kelompok nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah setelah dikonsultasikan dengan DPR.
|
|||
|
|
|
|
|
|
9.
|
Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 14
|
||||
|
(1)
|
Penghitungan premi Penjaminan dilakukan sendiri oleh Bank.
|
|||
|
(2)
|
Perhitungan premi oleh Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi final setelah melewati jangka waktu 10 (sepuluh) tahun.
|
|||
|
(3)
|
Lembaga Penjamin Simpanan dapat melakukan verifikasi atas perhitungan premi oleh Bank sebelum jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
|||
|
(4)
|
Verifikasi yang dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan atas perhitungan premi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan melalui pemeriksaan dokumen, pemanggilan pejabat Bank yang bersangkutan, dan/atau pemeriksaan langsung pada Bank.
|
|||
|
(5)
|
Dalam hal dilakukan verifikasi oleh Lembaga Penjamin Simpanan, hasil verifikasi premi dimaksud merupakan perhitungan premi final.
|
|||
|
(6)
|
Dalam hal terdapat perbedaan hasil perhitungan premi oleh Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan hasil verifikasi Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Bank wajib melakukan penyesuaian jumlah premi pada saat pembayaran premi periode berikutnya.
|
|||
|
|
|
|
|
|
10.
|
Di antara Pasal 14 dan Pasal 15 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 14A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 14A
|
||||
|
Dalam melakukan penghitungan premi Penjaminan, Lembaga Penjamin Simpanan memperhitungkan dana yang ditempatkan oleh Pemerintah pada Bank dalam rangka kebijakan penanganan permasalahan perekonomian nasional dalam kondisi krisis.
|
||||
|
|
|
|
|
|
11.
|
Penjelasan Pasal 16 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
12.
|
Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 17
|
||||
|
(1)
|
Pembayaran klaim Penjaminan dapat dilakukan secara tunai dan/atau dengan alat pembayaran lain yang setara dengan itu.
|
|||
|
(2)
|
Setiap pembayaran klaim Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam mata uang Rupiah.
|
|||
|
(3)
|
Klaim Penjaminan dari Simpanan dalam mata uang asing dibayarkan dalam bentuk ekuivalen Rupiah berdasarkan kurs yang diterbitkan Bank Indonesia.
|
|||
|
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai alat pembayaran lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan kurs sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
13.
|
Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 18
|
||||
|
(1)
|
Dalam hal Nasabah Penyimpan pada saat yang bersamaan mempunyai kewajiban kepada Bank, pembayaran klaim Penjaminan dilakukan setelah Lembaga Penjamin Simpanan melakukan perjumpaan utang antara kewajiban Nasabah Penyimpan kepada Bank dan Simpanan nasabah yang bersangkutan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
(2)
|
Ketentuan mengenai perjumpaan utang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
14.
|
Penjelasan Pasal 19 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
15.
|
Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 20
|
||||
|
(1)
|
Dalam hal Nasabah Penyimpan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) keberatan terhadap keputusan penetapan Simpanan tidak layak dibayar, Nasabah Penyimpan dapat mengajukan keberatan kepada Lembaga Penjamin Simpanan yang didukung dengan bukti nyata dan jelas paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari kalender terhitung sejak keputusan diumumkan.
|
|||
|
(2)
|
Dalam hal keberatan tidak diajukan sesuai jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Nasabah Penyimpan dianggap telah menerima keputusan penetapan Simpanan tidak layak dibayar.
|
|||
|
(3)
|
Dalam hal Nasabah Penyimpan mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga Penjamin Simpanan memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan oleh Nasabah Penyimpan dalam jangka waktu 180 (seratus delapan puluh) hari kalender.
|
|||
|
(4)
|
Nasabah Penyimpan dapat mengajukan upaya hukum melalui pengadilan terhadap keputusan atas keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal pemberitahuan surat keputusan atas penanganan keberatan.
|
|||
|
(5)
|
Dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan menerima keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau putusan pengadilan mengabulkan upaya hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Lembaga Penjamin Simpanan hanya membayar Simpanan Nasabah Penyimpan sesuai dengan Penjaminan termasuk bunga atau kompensasi yang wajar.
|
|||
|
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat, mekanisme, dan tata cara penanganan keberatan Nasabah Penyimpan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
16.
|
Pasal 21 dihapus.
|
||||
|
|
|
|
|
|
17.
|
Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 22
|
||||
|
(1)
|
Penyelesaian atau penanganan Bank Dalam Resolusi dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan dengan cara sebagai berikut:
|
|||
|
|
a.
|
penyelesaian Bank selain Bank Sistemik yang ditetapkan sebagai Bank Dalam Resolusi dilakukan dengan melakukan penyelamatan atau tidak melakukan penyelamatan terhadap Bank Dalam Resolusi; atau
|
||
|
|
b.
|
penanganan Bank Sistemik yang ditetapkan sebagai Bank Dalam Resolusi dilakukan dengan melakukan penyelamatan yang mengikutsertakan pemegang saham lama atau tanpa mengikutsertakan pemegang saham lama.
|
||
|
(2)
|
Pemilihan penyelesaian atau penanganan Bank Dalam Resolusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pertimbangan:
|
|||
|
|
a.
|
perkiraan biaya resolusi; dan
|
||
|
|
b.
|
faktor lain yang meliputi:
|
||
|
|
|
1.
|
kondisi perekonomian;
|
|
|
|
|
2.
|
kompleksitas kondisi permasalahan Bank;
|
|
|
|
|
3.
|
pangsa pasar Bank terhadap sistem perbankan;
|
|
|
|
|
4.
|
kebutuhan waktu penanganan;
|
|
|
|
|
5.
|
ketersediaan investor;
|
|
|
|
|
6.
|
efektivitas penanganan permasalahan Bank; dan/atau
|
|
|
|
|
7.
|
kondisi lainnya.
|
|
|
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian atau penanganan Bank Dalam Resolusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
18.
|
Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 24
|
||||
|
(1)
|
Lembaga Penjamin Simpanan melakukan penyelamatan Bank selain Bank Sistemik yang ditetapkan sebagai Bank Dalam Resolusi dalam hal pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) telah terpenuhi.
|
|||
|
(2)
|
Pemegang saham, anggota direksi, dan anggota dewan komisaris serta pegawai dan mantan pegawai Bank selain Bank Sistemik yang ditetapkan sebagai Bank Dalam Resolusi wajib untuk setiap saat memberikan segala data dan informasi yang diperlukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
19.
|
Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 25
|
||||
|
Terhitung sejak Lembaga Penjamin Simpanan menerima pemberitahuan tertulis atas penetapan Bank selain Bank Sistemik sebagai Bank Dalam Resolusi dari Otoritas Jasa Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan mengambil alih hak dan wewenang RUPS, kepemilikan, kepengurusan, dan kepentingan lain pada Bank.
|
||||
|
|
|
|
|
|
20.
|
Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 26
|
||||
|
(1)
|
Setelah Lembaga Penjamin Simpanan mengambil alih hak dan wewenang RUPS, kepemilikan, kepengurusan, dan kepentingan lain pada Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Lembaga Penjamin Simpanan dapat melakukan tindakan:
|
|||
|
|
a.
|
menguasai, mengelola, dan melakukan tindakan kepemilikan atas aset milik atau yang menjadi hak Bank dan/atau kewajiban Bank;
|
||
|
|
b.
|
melakukan penyertaan modal sementara;
|
||
|
|
c.
|
menjual atau mengalihkan aset Bank tanpa persetujuan Nasabah Debitur dart/atau kewajiban Bank tanpa persetujuan nasabah kreditur;
|
||
|
|
d.
|
mengalihkan manajemen Bank kepada pihak lain;
|
||
|
|
e.
|
melakukan penggabungan atau peleburan dengan Bank lain;
|
||
|
|
f.
|
melakukan pengalihan kepemilikan Bank; dan/atau
|
||
|
|
g.
|
meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah kontrak Bank yang mengikat Bank dengan pihak ketiga, yang menurut Lembaga Penjamin Simpanan merugikan Bank.
|
||
|
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
21.
|
Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 28
|
||||
|
(1)
|
Dalam hal ekuitas Bank bernilai positif pada saat Lembaga Penjamin Simpanan menerima pemberitahuan tertulis atas penetapan Bank selain Bank Sistemik sebagai Bank Dalam Resolusi dari Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, PSP lama mendapatkan bagian dari hasil penjualan saham Bank yang telah diselamatkan sebesar proporsional kepemilikan PSP terhadap ekuitas Bank pada saat Lembaga Penjamin Simpanan menerima pemberitahuan tertulis.
|
|||
|
(2)
|
Dalam hal ekuitas bank bernilai nol atau negatif pada saat Lembaga Penjamin Simpanan menerima pemberitahuan tertulis atas penetapan Bank selain Bank Sistemik sebagai Bank Dalam Resolusi dari Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, PSP lama tidak memiliki hak atas hasil penjualan saham Bank setelah penyelamatan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
22.
|
Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 29
|
||||
|
(1)
|
Penggunaan hasil penjualan saham Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dilakukan dengan urutan:
|
|||
|
|
a.
|
pengembalian seluruh biaya penyelamatan yang telah dikeluarkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan; dan
|
||
|
|
b.
|
pengembalian kepada PSP lama sebesar proporsional kepemilikan PSP lama terhadap ekuitas Bank pada saat Lembaga Penjamin Simpanan menerima pemberitahuan tertulis atas penetapan Bank selain Bank Sistemik sebagai Bank Dalam Resolusi dari Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.
|
||
|
(2)
|
Dalam hal setelah penggunaan hasil penjualan saham Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih ada sisa, sisa hasil penjualan saham Bank dibagi secara proporsional kepada Lembaga Penjamin Simpanan dan PSP lama sesuai dengan perbandingan pengembalian seluruh biaya penyelamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan pengembalian kepada PSP lama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
|
|||
|
|
|
|
|
|
23.
|
Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 30
|
||||
|
(1)
|
Lembaga Penjamin Simpanan wajib menjual seluruh saham yang dimiliki oleh Lembaga Penjamin Simpanan dan PSP lama Bank selain Bank Sistemik yang ditetapkan sebagai Bank Dalam Resolusi dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Lembaga Penjamin Simpanan menetapkan untuk menyelamatkan Bank Dalam Resolusi.
|
|||
|
(2)
|
Penjualan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terbuka dan transparan, dengan tetap mempertimbangkan tingkat.
|
|||
|
(3)
|
Tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit sebesar seluruh penempatan modal sementara yang dikeluarkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
(4)
|
Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang paling banyak 2 (dua) kali dengan masing-masing perpanjangan selama 1 (satu) tahun.
|
|||
|
(5)
|
Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Lembaga Penjamin Simpanan menjual saham Bank tanpa memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu 1 (satu) tahun berikutnya.
|
|||
|
|
|
|
|
|
24.
|
Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 31
|
||||
|
(1)
|
Dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan memutuskan untuk tidak melakukan penyelamatan atau tidak melanjutkan proses penyelamatan, Lembaga Penjamin Simpanan meminta pencabutan izin usaha Bank selain Bank Sistemik yang ditetapkan sebagai Bank Dalam Resolusi kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
(2)
|
Lembaga Penjamin Simpanan melaksanakan pembayaran klaim Penjaminan kepada Nasabah Penyimpan Bank yang dicabut izin usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
|
|||
|
|
|
|
|
|
25.
|
Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 33
|
||||
|
(1)
|
Penanganan Bank Dalam Resolusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 hanya dapat dilakukan apabila pemegang saham Bank Dalam Resolusi telah menyetor modal paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari perkiraan biaya penanganan.
|
|||
|
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan penanganan Bank Dalam Resolusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
26.
|
Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 34
|
||||
|
Terhitung sejak Lembaga Penjamin Simpanan menerima pemberitahuan tertulis atas penetapan Bank Sistemik sebagai Bank Dalam Resolusi dari Otoritas Jasa Keuangan, berdasarkan Undang-Undang ini:
|
||||
|
a.
|
segala hak dan wewenang RUPS, kepemilikan, kepengurusan, dan kepentingan lain pada Bank dimaksud beralih kepada Lembaga Penjamin Simpanan; dan
|
|||
|
b.
|
pemegang saham dan pengurus Bank lama tidak dapat menuntut Lembaga Penjamin Simpanan atau pihak yang ditunjuk oleh Lembaga Penjamin Simpanan dalam rangka penanganan Bank Dalam Resolusi, sepanjang Lembaga Penjamin Simpanan dan/atau pihak yang ditunjuk Lembaga Penjamin Simpanan melakukan tugasnya dengan iktikad baik, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan tata kelola yang baik.
|
|||
|
|
|
|
|
|
27.
|
Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 35
|
||||
|
(1)
|
Dalam hal ekuitas Bank bernilai positif setelah PSP lama melakukan penyetoran modal sementara, Lembaga Penjamin Simpanan dan PSP lama menandatangani perjanjian yang mengatur penggunaan hasil penjualan saham Bank.
|
|||
|
(2)
|
Dalam hal ekuitas Bank bernilai nol atau negatif setelah PSP lama melakukan penyetoran modal, PSP lama tidak mendapatkan bagian dari hasil penjualan saham Bank.
|
|||
|
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
28.
|
Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 36
|
||||
|
(1)
|
Dalam perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), penggunaan hasil penjualan saham Bank diatur dengan urutan sebagai berikut:
|
|||
|
|
a.
|
pengembalian seluruh biaya penyelamatan yang telah dikeluarkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan; dan
|
||
|
|
b.
|
pengembalian kepada PSP lama sebesar proporsional kepemilikan PSP lama terhadap ekuitas Bank pada posisi sesaat setelah PSP lama melakukan penyetoran modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1).
|
||
|
(2)
|
Dalam hal setelah penggunaan hasil penjualan saham Bank masih ada sisa, sisa hasil penjualan saham Bank dibagi secara proporsional kepada Lembaga Penjamin Simpanan dan PSP lama sesuai dengan perbandingan pengembalian seluruh biaya penyelamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan pengembalian kepada PSP lama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
|
|||
|
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan hasil penjualan saham Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
29.
|
Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 37
|
||||
|
(1)
|
Lembaga Penjamin Simpanan bertanggung jawab atas kekurangan biaya penanganan Bank Dalam Resolusi setelah pemegang saham lama melakukan penyetoran modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1).
|
|||
|
(2)
|
Biaya penanganan Bank Dalam Resolusi yang dikeluarkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan menjadi penyertaan modal sementara Lembaga Penjamin Simpanan pada Bank.
|
|||
|
|
|
|
|
|
30.
|
Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 38
|
||||
|
(1)
|
Lembaga Penjamin Simpanan wajib menjual seluruh saham Bank yang dimiliki oleh Lembaga Penjamin Simpanan dan PSP lama Bank Sistemik yang ditetapkan sebagai Bank Dalam Resolusi paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Lembaga Penjamin Simpanan menetapkan untuk melakukan penanganan.
|
|||
|
(2)
|
Penjualan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terbuka dan transparan dengan tetap mempertimbangkan tingkat pengembalian yang optimal bagi Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
(3)
|
Tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit sebesar seluruh penempatan modal sementara yang dikeluarkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
(4)
|
Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang paling banyak 2 (dua) kali dengan masing-masing perpanjangan selama 1 (satu) tahun.
|
|||
|
(5)
|
Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Lembaga Penjamin Simpanan menjual saham Bank tanpa memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu 1 (satu) tahun berikutnya.
|
|||
|
|
|
|
|
|
31.
|
Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 40
|
||||
|
Terhitung sejak Lembaga Penjamin Simpanan menerima pemberitahuan tertulis atas penetapan Bank Sistemik sebagai Bank Dalam Resolusi dari Otoritas Jasa Keuangan, berdasarkan Undang-Undang ini:
|
||||
|
a.
|
segala hak dan wewenang RUPS, kepemilikan, kepengurusan, dan kepentingan lain pada Bank dimaksud beralih kepada Lembaga Penjamin Simpanan; dan
|
|||
|
b.
|
pemegang saham dan pengurus Bank lama tidak dapat menuntut Lembaga Penjamin Simpanan atau pihak yang ditunjuk oleh Lembaga Penjamin Simpanan dalam rangka penanganan Bank Dalam Resolusi, sepanjang Lembaga Penjamin Simpanan dan/atau pihak yang ditunjuk Lembaga Penjamin Simpanan melakukan tugasnya dengan iktikad baik, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan tata kelola yang baik.
|
|||
|
|
|
|
|
|
32.
|
Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 42
|
||||
|
(1)
|
Lembaga Penjamin Simpanan wajib menjual seluruh saham Bank yang dimiliki oleh Lembaga Penjamin Simpanan dan PSP lama Bank Sistemik yang ditetapkan sebagai Bank Dalam Resolusi paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Lembaga Penjamin Simpanan menetapkan untuk melakukan penanganan Bank Dalam Resolusi.
|
|||
|
(2)
|
Penjualan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terbuka dan transparan dengan tetap mempertimbangkan tingkat pengembalian yang optimal bagi Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
(3)
|
Tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit sebesar seluruh penempatan modal sementara yang dikeluarkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
(4)
|
Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang paling banyak 2 (dua) kali dengan masing-masing perpanjangan selama 1 (satu) tahun.
|
|||
|
(5)
|
Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Lembaga Penjamin Simpanan menjual saham Bank tanpa memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu 1 (satu) tahun berikutnya.
|
|||
|
(6)
|
Dalam hal ekuitas Bank bernilai positif pada saat Lembaga Penjamin Simpanan menerima pemberitahuan tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, dalam rangka penggunaan hasil penjualan saham Bank dimaksud berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29.
|
|||
|
(7)
|
Dalam hal ekuitas Bank bernilai nol atau negatif pada saat Lembaga Penjamin Simpanan menerima pemberitahuan tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, pemegang saham lama tidak memiliki hak atas hasil penjualan saham Bank setelah penanganan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
33.
|
Di antara Pasal 50 dan Pasal 51 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 50A dan Pasal 50B sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 50A
|
||||
|
(1)
|
Dalam hal terdapat sengketa dalam proses likuidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, gugatan diajukan kepada ketua pengadilan niaga dalam wilayah hukum tempat tinggal atau domisili tergugat.
|
|||
|
(2)
|
Dalam hal salah satu pihak bertempat tinggal di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
|
|||
|
(3)
|
Panitera mendaftarkan gugatan pada tanggal gugatan diajukan dan kepada penggugat diberikan tanda terima yang ditandatangani oleh panitera pada tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran gugatan.
|
|||
|
(4)
|
Panitera sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menyampaikan gugatan kepada ketua pengadilan niaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung sejak tanggal gugatan didaftarkan.
|
|||
|
(5)
|
Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal gugatan disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ketua pengadilan niaga mempelajari gugatan dan menunjuk majelis hakim untuk menetapkan hari sidang.
|
|||
|
(6)
|
Pemanggilan para pihak dilakukan oleh juru sita paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak gugatan didaftarkan.
|
|||
|
(7)
|
Sidang pemeriksaan sampai dengan putusan atas gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diselesaikan paling lama 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak perkara diterima oleh majelis yang memeriksa perkara dan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja atas persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
|
|||
|
(8)
|
Putusan atas gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan, harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
|
|||
|
(9)
|
Isi putusan pengadilan niaga sebagaimana dimaksud pada ayat (8) wajib disampaikan oleh juru sita kepada para pihak paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak putusan atas gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diucapkan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 50B
|
||||
|
(1)
|
Terhadap putusan pengadilan niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50A ayat (8) hanya dapat diajukan kasasi.
|
|||
|
(2)
|
Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal putusan yang dimohonkan kasasi diucapkan atau diberitahukan kepada para pihak dengan mendaftarkan kepada panitera pada pengadilan niaga yang telah memutus gugatan.
|
|||
|
(3)
|
Panitera mendaftarkan permohonan kasasi pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan dan kepada pemohon kasasi diberikan tanda terima yang ditandatangani oleh panitera pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan pendaftaran.
|
|||
|
(4)
|
Panitera wajib memberitahukan permohonan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada pihak termohon kasasi paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak permohonan kasasi didaftarkan.
|
|||
|
(5)
|
Pemohon kasasi sudah harus menyampaikan memori kasasi kepada panitera paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan kasasi didaftarkan.
|
|||
|
(6)
|
Panitera wajib menyampaikan memori kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kepada termohon kasasi paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung sejak memori kasasi diterima oleh panitera.
|
|||
|
(7)
|
Termohon kasasi dapat mengajukan kontra memori kasasi kepada panitera paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal termohon kasasi menerima memori kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan panitera wajib menyampaikan kontra memori kasasi kepada pemohon kasasi paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak kontra memori kasasi diterima oleh panitera.
|
|||
|
(8)
|
Panitera wajib menyampaikan berkas perkara kasasi kepada Mahkamah Agung paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak memori kasasi disampaikan kepada termohon sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
|
|||
|
(9)
|
Sidang pemeriksaan dan putusan atas permohonan kasasi harus diselesaikan paling lama 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan kasasi diterima oleh majelis kasasi.
|
|||
|
(10)
|
Putusan atas permohonan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (9) yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
|
|||
|
(11)
|
Panitera Mahkamah Agung wajib menyampaikan isi putusan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (10) kepada panitera paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal putusan atas permohonan kasasi diucapkan.
|
|||
|
(12)
|
Juru sita wajib menyampaikan isi putusan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (10) kepada pemohon kasasi dan termohon kasasi paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung sejak putusan kasasi diterima.
|
|||
|
(13)
|
Upaya hukum peninjauan kembali terhadap putusan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
34.
|
Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 53
|
||||
|
(1)
|
Likuidasi Bank dilakukan dengan cara:
|
|||
|
|
a.
|
pencairan aset dan/atau penagihan piutang kepada para debitur diikuti dengan pembayaran kewajiban Bank kepada para kreditur dari hasil pencairan dan/atau penagihan; dan/atau
|
||
|
|
b.
|
pengalihan aset dan kewajiban Bank kepada pihak lain berdasarkan persetujuan Lembaga Penjamin Simpanan.
|
||
|
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan likuidasi Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
35.
|
Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 54
|
||||
|
(1)
|
Pembayaran kewajiban Bank kepada para kreditur dari hasil pencairan dan/atau penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dilakukan dengan urutan sebagai berikut:
|
|||
|
|
a.
|
penggantian atas talangan pembayaran gaji pegawai yang terutang;
|
||
|
|
b.
|
penggantian atas pembayaran talangan pesangon pegawai;
|
||
|
|
c.
|
biaya perkara di pengadilan, biaya lelang yang terutang, dan biaya operasional kantor;
|
||
|
|
d.
|
biaya penyelamatan yang dikeluarkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan dan/atau pembayaran atas klaim Penjaminan yang harus dibayarkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan;
|
||
|
|
e.
|
pajak yang terutang;
|
||
|
|
f.
|
kewajiban kepada Bank Indonesia dalam rangka pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah dan operasi moneter serta kewajiban kepada Lembaga Penjamin Simpanan dalam rangka penempatan dana Lembaga Penjamin Simpanan pada Bank;
|
||
|
|
g.
|
bagian Simpanan dari Nasabah Penyimpan yang tidak dibayarkan penjaminannya dan Simpanan dari Nasabah Penyimpan yang tidak dijamin; dan
|
||
|
|
h.
|
hak dari kreditur lainnya.
|
||
|
(2)
|
Segala biaya yang berkaitan dengan likuidasi dan tercantum dalam daftar biaya likuidasi menjadi beban aset Bank dalam likuidasi dan dikeluarkan terlebih dahulu dari setiap hasil pencairannya.
|
|||
|
(3)
|
Honorarium tim likuidasi yang termasuk salah satu komponen dalam biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan berpedoman pada Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
(4)
|
Dalam hal seluruh kewajiban Bank dalam likuidasi telah dibayarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih terdapat sisa hasil likuidasi, sisa diserahkan kepada pemegang saham lama.
|
|||
|
(5)
|
Dalam hal seluruh aset Bank telah habis dalam proses likuidasi dan masih terdapat kewajiban Bank terhadap pihak lain, kewajiban tersebut wajib dibayarkan oleh pemegang saham lama yang terbukti menyebabkan Bank menjadi Bank Dalam Resolusi.
|
|||
|
|
|
|
|
|
36.
|
Pasal 62 dihapus.
|
||||
|
|
|
|
|
|
37.
|
Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 63
|
||||
|
(1)
|
Organ Lembaga Penjamin Simpanan berupa Dewan Komisioner.
|
|||
|
(2)
|
Dewan Komisioner merupakan pimpinan Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
(3)
|
Ketua Dewan Komisioner bertindak sebagai pimpinan Dewan Komisioner.
|
|||
|
(4)
|
Dewan Komisioner melaksanakan tugas dan wewenang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
|
|||
|
(5)
|
Pembagian dan/atau perubahan pembidangan, tugas, tata tertib, dan tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang Dewan Komisioner dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Dewan Komisioner setelah dikonsultasikan dengan DPR.
|
|||
|
(6)
|
Dewan Komisioner berwenang mewakili Lembaga Penjamin Simpanan di dalam dan di luar pengadilan.
|
|||
|
(7)
|
Dewan Komisioner dapat mendelegasikan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) kepada anggota Dewan Komisioner, dengan atau tanpa hak substitusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
(8)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pendelegasian wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatur dalam Peraturan Dewan Komisioner.
|
|||
|
|
|
|
|
|
38.
|
Pasal 64 dihapus.
|
||||
|
|
|
|
|
|
39.
|
Ketentuan Pasal 65 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 65
|
||||
|
(1)
|
Anggota Dewan Komisioner berjumlah 7 (tujuh) orang terdiri atas:
|
|||
|
|
a.
|
1 (satu) orang pejabat setingkat eselon I Kementerian Keuangan yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan;
|
||
|
|
b.
|
1 (satu) orang anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan yang ditunjuk oleh Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan;
|
||
|
|
c.
|
1 (satu) orang anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia yang ditunjuk oleh Gubernur Bank Indonesia; dan
|
||
|
|
d.
|
4 (empat) orang anggota yang berasal dari dalam dan/atau dari luar Lembaga Penjamin Simpanan.
|
||
|
(2)
|
Anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d terdiri atas:
|
|||
|
|
a.
|
Ketua Dewan Komisioner merangkap anggota;
|
||
|
|
b.
|
Wakil Ketua Dewan Komisioner merangkap anggota;
|
||
|
|
c.
|
anggota Dewan Komisioner yang membidangi program Penjaminan dan resolusi Bank; dan
|
||
|
|
d.
|
anggota Dewan Komisioner yang membidangi program penjaminan polis.
|
||
|
(3)
|
Anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dipilih oleh DPR berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh Presiden.
|
|||
|
(4)
|
Untuk setiap jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Presiden mengusulkan kepada DPR paling sedikit 2 (dua) calon.
|
|||
|
(5)
|
Dalam rangka pengajuan calon anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Presiden membentuk panitia seleksi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
|
|||
|
(6)
|
Susunan keanggotaan dan tata cara pelaksanaan seleksi oleh panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Presiden.
|
|||
|
(7)
|
DPR memilih calon anggota Dewan Komisioner paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya nama calon anggota Dewan Komisioner dari Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
|
|||
|
(8)
|
Calon anggota Dewan Komisioner terpilih disampaikan DPR kepada Presiden paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak selesainya proses pemilihan calon anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (7).
|
|||
|
(9)
|
Presiden mengangkat dan menetapkan calon terpilih sebagai anggota Dewan Komisioner paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya nama calon anggota Dewan Komisioner terpilih dari DPR.
|
|||
|
|
|
|
|
|
40.
|
Di antara Pasal 65 dan Pasal 66 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 65A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 65A
|
||||
|
(1)
|
Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) sebelum memangku jabatannya wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya di hadapan Presiden.
|
|||
|
(2)
|
Bunyi lafal sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut:
|
|||
|
|
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk menjadi Ketua/Wakil Ketua/anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan langsung atau tidak langsung dengan nama dan dalih apapun tidak memberikan atau menjanjikan untuk memberikan sesuatu kepada siapapun".
|
|||
|
|
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, dalam melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun sesuatu janji atau pemberian dalam bentuk apapun".
|
|||
|
|
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Ketua/Wakil Ketua/anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh rasa tanggung jawab berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan tugas dan kewajiban tersebut".
|
|||
|
|
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945".
|
|||
|
|
|
|
|
|
41.
|
Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 66
|
||||
|
(1)
|
Anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) diangkat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan hanya dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali untuk masa jabatan berikutnya.
|
|||
|
(2)
|
Anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf d melakukan tugas secara penuh waktu dan tidak diperbolehkan menduduki jabatan eksekutif di tempat lain, kecuali merupakan penugasan sehubungan dengan jabatan yang dipegang atau merupakan bagian dari kegiatan sosial.
|
|||
|
|
|
|
|
|
42.
|
Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 67
|
||||
|
Calon anggota Dewan Komisioner harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
||||
|
a.
|
warga negara Indonesia;
|
|||
|
b.
|
memiliki akhlak, moral, dan integritas yang baik;
|
|||
|
c.
|
cakap melakukan perbuatan hukum;
|
|||
|
d.
|
tidak pernah dinyatakan pailit atau tidak pernah menjadi pengurus perusahaan yang menyebabkan perusahaan tersebut pailit;
|
|||
|
e.
|
sehat jasmani;
|
|||
|
f.
|
berusia paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat ditetapkan;
|
|||
|
g.
|
mempunyai pengalaman atau keahlian di sektor jasa keuangan;
|
|||
|
h.
|
tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman 5 (lima) tahun atau lebih;
|
|||
|
i.
|
bukan sebagai konsultan, pegawai, pengurus, dan/atau pemilik Bank atau Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah baik langsung maupun tidak langsung;
|
|||
|
j.
|
bukan pengurus dan/atau anggota partai politik saat pencalonan; dan
|
|||
|
k.
|
tidak dinyatakan sebagai orang perseorangan yang tercela di bidang perbankan dan jasa keuangan lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
43.
|
Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 69
|
||||
|
(1)
|
Anggota Dewan Komisioner hanya dapat diberhentikan oleh Presiden apabila:
|
|||
|
|
a.
|
berhalangan tetap;
|
||
|
|
b.
|
masa jabatannya berakhir;
|
||
|
|
c.
|
mengundurkan diri;
|
||
|
|
d.
|
tidak hadir dalam rapat Dewan Komisioner sebanyak 4 (empat) kali berturut-turut tanpa alasan;
|
||
|
|
e.
|
tidak menjalankan tugasnya sebagai anggota Dewan Komisioner lebih dari 6 (enam) bulan meskipun dengan alasan yang dapat dipertimbangkan;
|
||
|
|
f.
|
memiliki hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua atau besan dengan anggota Dewan Komisioner yang lain, dan tidak ada satupun yang mengundurkan diri; atau
|
||
|
|
g.
|
tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67.
|
||
|
(2)
|
Anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c diberhentikan dari jabatannya karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau tidak lagi menjadi pejabat setingkat eselon I di Kementerian Keuangan, anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, atau anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia.
|
|||
|
(3)
|
Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
|
|||
|
(4)
|
Pemberhentian anggota Dewan Komisioner dan pengusulan anggota yang baru harus dilakukan sedemikian rupa hingga jumlah anggota Dewan Komisioner paling sedikit 4 (empat) orang.
|
|||
|
(5)
|
Dalam hal anggota Dewan Komisioner diberhentikan, anggota Dewan Komisioner penggantinya harus ditetapkan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal pemberhentian.
|
|||
|
(6)
|
Masa jabatan anggota Dewan Komisioner yang diangkat untuk menggantikan anggota yang diberhentikan bukan karena masa jabatannya berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah sisa masa jabatan anggota Dewan Komisioner yang digantikannya.
|
|||
|
|
|
|
|
|
44.
|
Pasal 70 dihapus.
|
||||
|
|
|
|
|
|
45.
|
Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 71
|
||||
|
(1)
|
Dewan Komisioner wajib mengadakan rapat secara berkala paling sedikit 1 (satu) bulan sekali dengan agenda yang memuat:
|
|||
|
|
a.
|
menetapkan kebijakan Penjaminan dan penjaminan polis berdasarkan Undang-Undang ini;
|
||
|
|
b.
|
menetapkan kebijakan Lembaga Penjamin Simpanan dalam rangka turut aktif memelihara Stabilitas Sistem Keuangan sesuai dengan kewenangannya;
|
||
|
|
c.
|
menetapkan kebijakan resolusi Bank dan penyelesaian permasalahan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang dicabut izin usahanya oleh Otoritas Jasa Keuangan;
|
||
|
|
d.
|
mengevaluasi pelaksanaan Penjaminan, penjaminan polis, penempatan dana, resolusi Bank, dan likuidasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah, serta pelaksanaan peran Lembaga Penjamin Simpanan dalam rangka turut aktif memelihara Stabilitas Sistem Keuangan;
|
||
|
|
e.
|
menerima dan mengevaluasi hal lain yang dilaporkan anggota Dewan Komisioner; dan
|
||
|
|
f.
|
hal lain yang berhubungan dengan tugas Lembaga Penjamin Simpanan.
|
||
|
(2)
|
Ketua Dewan Komisioner memimpin rapat Dewan Komisioner.
|
|||
|
(3)
|
Dalam hal Ketua Dewan Komisioner berhalangan sehingga yang bersangkutan tidak dapat memimpin rapat, Ketua Dewan Komisioner dapat menunjuk Wakil Ketua atau anggota Dewan Komisioner lainnya untuk memimpin rapat.
|
|||
|
(4)
|
Dalam hal Ketua Dewan Komisioner berhalangan sehingga yang bersangkutan tidak dapat memimpin rapat dan tidak dapat menunjuk Wakil Ketua atau anggota Dewan Komisioner untuk memimpin rapat, anggota Dewan Komisioner lainnya secara musyawarah untuk mufakat memilih salah satu di antara mereka untuk memimpin rapat.
|
|||
|
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan rapat Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan Dewan Komisioner.
|
|||
|
|
|
|
|
|
46.
|
Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 72
|
||||
|
(1)
|
Pengambilan keputusan Dewan Komisioner dilakukan secara musyawarah untuk mufakat.
|
|||
|
(2)
|
Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, Ketua Dewan Komisioner menetapkan keputusan akhir.
|
|||
|
(3)
|
Dalam hal anggota Dewan Komisioner mempunyai kepentingan pribadi, baik langsung maupun tidak langsung, yang dapat menimbulkan benturan kepentingan dengan objek yang akan diputuskan, yang bersangkutan tidak ikut dalam pengambilan keputusan.
|
|||
|
(4)
|
Keputusan Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sah apabila diputuskan dalam rapat Dewan Komisioner.
|
|||
|
(5)
|
Rapat Dewan Komisioner dinyatakan sah jika dihadiri lebih dari 1/2 (satu perdua) dari jumlah anggota Dewan Komisioner.
|
|||
|
(6)
|
Keputusan Dewan Komisioner mengikat seluruh anggota Dewan Komisioner.
|
|||
|
(7)
|
Semua catatan dan data termasuk argumentasi yang dikemukakan oleh anggota Dewan Komisioner dalam pengambilan keputusan Dewan Komisioner dimuat dalam risalah rapat dan ditandatangani oleh semua anggota Dewan Komisioner yang hadir.
|
|||
|
(8)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan keputusan Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (7) diatur dalam Peraturan Dewan Komisioner.
|
|||
|
|
|
|
|
|
47.
|
Pasal 73 dihapus.
|
||||
|
|
|
|
|
|
48.
|
Di antara Pasal 74 dan Pasal 75 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 74A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 74A
|
||||
|
(1)
|
Dewan Komisioner menetapkan dan menegakkan kode etik Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Dewan Komisioner.
|
|||
|
|
|
|
|
|
49.
|
Bagian Ketiga dalam Bab VII dihapus.
|
||||
|
|
|
|
|
|
50.
|
Pasal 77 dihapus.
|
||||
|
|
|
|
|
|
51.
|
Ketentuan Pasal 78 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 78
|
||||
|
(1)
|
Dewan Komisioner menetapkan sistem kepegawaian, sistem penggajian, penghargaan, program pensiun dan tunjangan hari tua, serta penghasilan lainnya bagi pegawai Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem kepegawaian, sistem penggajian, penghargaan, program pensiun dan tunjangan hari tua, serta penghasilan lainnya bagi pegawai Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Dewan Komisioner.
|
|||
|
|
|
|
|
|
52.
|
Ketentuan Pasal 79 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 79
|
||||
|
(1)
|
Dalam hal berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap:
|
|||
|
|
a.
|
anggota Dewan Komisioner atau mantan anggota Dewan Komisioner;
|
||
|
|
b.
|
mantan Kepala Eksekutif; dan/atau
|
||
|
|
c.
|
pegawai Lembaga Penjamin Simpanan atau mantan pegawai Lembaga Penjamin Simpanan,
|
||
|
|
diwajibkan untuk membayar ganti rugi kepada pihak lain, sepanjang yang bersangkutan melaksanakan tugas, wewenang, dan/atau fungsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, Lembaga Penjamin Simpanan membayar ganti rugi dimaksud.
|
|||
|
(2)
|
Biaya penyelesaian perkara terhadap putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditanggung oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
53.
|
Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 82
|
||||
|
(1)
|
Dana yang digunakan Lembaga Penjamin Simpanan untuk menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 bersumber dari kekayaan Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
(2)
|
Kekayaan Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk investasi dan bukan investasi.
|
|||
|
(3)
|
Kekayaan yang berbentuk investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat ditempatkan pada surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia, Bank Indonesia, dan/atau pemerintah negara asing.
|
|||
|
(4)
|
Investasi pada surat berharga yang diterbitkan oleh pemerintah negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling banyak 10% (sepuluh persen) dari total kekayaan Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
(5)
|
Lembaga Penjamin Simpanan tidak dapat menempatkan kekayaannya pada Bank atau perusahaan lainnya, kecuali dalam bentuk penyertaan modal sementara dalam rangka penyelamatan atau penanganan Bank Dalam Resolusi, penyertaan modal pada bank perantara, penempatan dana Lembaga Penjamin Simpanan pada Bank, dan penyertaan modal pada perusahaan pengelola aset.
|
|||
|
(6)
|
Lembaga Penjamin Simpanan dapat menempatkan kekayaan bukan investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk kegiatan operasional.
|
|||
|
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan besaran persentase investasi pada surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah setelah dikonsultasikan dengan DPR.
|
|||
|
|
|
|
|
|
54.
|
Di antara Pasal 82 dan Pasal 83 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 82A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 82A
|
||||
|
(1)
|
Dalam rangka mengoptimalkan pengelolaan aset yang diperoleh dari:
|
|||
|
|
a.
|
penempatan dana oleh Lembaga Penjamin Simpanan pada Bank;
|
||
|
|
b.
|
penyelesaian dan/atau penanganan Bank Dalam Resolusi;
|
||
|
|
c.
|
penanganan Bank dalam program restrukturisasi perbankan; dan/atau
|
||
|
|
d.
|
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang dilikuidasi,
|
||
|
|
Lembaga Penjamin Simpanan dapat melakukan kerja sama dengan perusahaan pengelola aset, melakukan penyertaan modal pada perusahaan pengelola aset, dan/atau mendirikan perusahaan pengelola aset.
|
|||
|
(2)
|
Badan hukum perusahaan pengelola aset yang didirikan oleh Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk perseroan terbatas dan seluruh sahamnya dimiliki oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
(3)
|
Terhadap perusahaan pengelola aset sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan yang mewajibkan perseroan terbatas didirikan atau dimiliki oleh 2 (dua) orang atau lebih sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perseroan terbatas.
|
|||
|
|
|
|
|
|
55.
|
Di antara Pasal 83 dan Pasal 84 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 83A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 83A
|
||||
|
Ketentuan mengenai perpajakan Lembaga Penjamin Simpanan diatur dalam Peraturan Pemerintah setelah mendapatkan persetujuan dari DPR.
|
||||
|
|
|
|
|
|
56.
|
Ketentuan Pasal 85 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 85
|
||||
|
(1)
|
Dalam hal modal Lembaga Penjamin Simpanan kurang dari modal awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1), Pemerintah dengan persetujuan DPR menutup kekurangan.
|
|||
|
(2)
|
Lembaga Penjamin Simpanan dapat memberikan pinjaman antarprogram dalam hal salah satu program yang diselenggarakan oleh Lembaga Penjamin Simpanan mengalami kekurangan dana.
|
|||
|
(3)
|
Dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan memperkirakan Lembaga Penjamin Simpanan akan atau telah mengalami kesulitan likuiditas karena menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Lembaga Penjamin Simpanan berwenang:
|
|||
|
|
a.
|
menjual dan/atau repo (repurchase agreement) surat berharga negara yang dimiliki kepada Bank Indonesia dan/atau pihak lain;
|
||
|
|
b.
|
menerbitkan surat utang;
|
||
|
|
c.
|
meminjam kepada pihak lain; dan/atau
|
||
|
|
d.
|
meminjam kepada Pemerintah.
|
||
|
(4)
|
Dalam hal penerbitan surat utang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dan/atau pelaksanaan pinjaman kepada pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c tidak dapat dilakukan karena kondisi pasar keuangan yang tidak memungkinkan, Lembaga Penjamin Simpanan dapat mengajukan permohonan pinjaman kepada Pemerintah.
|
|||
|
(5)
|
Dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan mengajukan pinjaman kepada Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, Pemerintah dapat memberikan pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian pinjaman antarprogram sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pemberian pinjaman Pemerintah kepada Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
|||
|
|
|
|
|
|
57.
|
Ketentuan Pasal 86 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 86
|
||||
|
(1)
|
Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum tahun buku mulai berlaku, Wakil Ketua Dewan Komisioner menyampaikan rencana kerja dan anggaran tahunan kepada Dewan Komisioner.
|
|||
|
(2)
|
Rencana kerja dan anggaran tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
|
|||
|
|
a.
|
rencana kerja dan anggaran tahunan untuk kegiatan operasional; dan
|
||
|
|
b.
|
rencana kerja dan anggaran tahunan untuk kebijakan Penjaminan, penjaminan polis, penempatan dana, resolusi Bank, dan likuidasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah.
|
||
|
(3)
|
Bersamaan dengan penyampaian rencana kerja dan anggaran tahunan, Wakil Ketua Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan evaluasi pelaksanaan anggaran tahun berjalan kepada Dewan Komisioner.
|
|||
|
(4)
|
Ketua Dewan Komisioner menyampaikan rencana kerja dan anggaran tahunan untuk kegiatan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a kepada Menteri Keuangan untuk mendapat persetujuan.
|
|||
|
(5)
|
Penyampaian kepada Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan paling lambat 2 (dua) bulan sebelum tahun buku mulai berlaku.
|
|||
|
(6)
|
Menteri Keuangan memberikan persetujuan atas rencana kerja dan anggaran tahunan untuk kegiatan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lambat tanggal 30 November tahun berjalan.
|
|||
|
(7)
|
Rencana kerja dan anggaran tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memuat:
|
|||
|
|
a.
|
rencana kerja dan anggaran tahunan untuk kegiatan operasional yang telah mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6); dan
|
||
|
|
b.
|
rencana kerja dan anggaran tahunan untuk kebijakan Penjaminan, penjaminan polis, penempatan dana, resolusi Bank, dan likuidasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah,
|
||
|
|
ditetapkan oleh Dewan Komisioner.
|
|||
|
(8)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan susunan rencana kerja dan anggaran tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Dewan Komisioner.
|
|||
|
|
|
|
|
|
58.
|
Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 88
|
||||
|
(1)
|
Lembaga Penjamin Simpanan dalam menjalankan Undang-Undang ini wajib mengutamakan prinsip tata kelola kelembagaan yang baik dan profesional.
|
|||
|
(2)
|
Lembaga Penjamin Simpanan wajib menyampaikan laporan kinerja kelembagaan dalam menjalankan Undang-Undang ini, secara tertulis kepada Presiden dan DPR.
|
|||
|
(3)
|
Laporan yang disampaikan kepada Presiden dan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas laporan triwulanan dan laporan tahunan.
|
|||
|
(4)
|
Laporan triwulanan dan laporan tahunan yang disampaikan oleh Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dievaluasi oleh DPR dan digunakan sebagai bahan penilaian tahunan terhadap kinerja Dewan Komisioner, anggota Dewan Komisioner, dan Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
(5)
|
Dalam hal DPR memerlukan penjelasan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Lembaga Penjamin Simpanan wajib menyampaikan penjelasan secara lisan dan/atau tertulis.
|
|||
|
(6)
|
Bagian dari laporan triwulanan dan laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada masyarakat secara terbuka melalui media massa dengan mencantumkan ringkasannya dalam Berita Negara.
|
|||
|
(7)
|
Setiap awal tahun anggaran, Lembaga Penjamin Simpanan wajib menyampaikan informasi kepada masyarakat secara terbuka melalui media massa yang memuat:
|
|||
|
|
a.
|
evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan Lembaga Penjamin Simpanan pada tahun sebelumnya; dan
|
||
|
|
b.
|
rencana kebijakan dan penetapan sasaran Lembaga Penjamin Simpanan untuk tahun yang akan datang.
|
||
|
(8)
|
Lembaga Penjamin Simpanan menyusun dan menyampaikan laporan keuangan tahunan kepada Presiden dan DPR.
|
|||
|
(9)
|
Lembaga Penjamin Simpanan:
|
|||
|
|
a.
|
menyelesaikan penyusunan laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya tahun anggaran; dan
|
||
|
|
b.
|
menyampaikan laporan keuangan kepada Badan Pemeriksa Keuangan untuk dilakukan pemeriksaan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah laporan keuangan tahunan selesai disusun.
|
||
|
(10)
|
Badan Pemeriksa Keuangan menyampaikan laporan hasil pemeriksaan kepada DPR paling lambat 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak dimulainya pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf b.
|
|||
|
(11)
|
Lembaga Penjamin Simpanan wajib mengumumkan laporan keuangan tahunan Lembaga Penjamin Simpanan kepada publik melalui media massa.
|
|||
|
(12)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan susunan laporan kinerja kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur dalam Peraturan Dewan Komisioner.
|
|||
|
|
|
|
|
|
59.
|
Pasal 89 dihapus.
|
||||
|
|
|
|
|
|
60.
|
Di antara Bab X dan Bab XI disisipkan 1 (satu) bab, yakni Bab XA sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
BAB XA
BADAN SUPERVISI LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN |
||||
|
|
|
|
|
|
61.
|
Di antara Pasal 89 dan Pasal 90 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 89A, Pasal 89B, dan Pasal 89C sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 89A
|
||||
|
(1)
|
Dengan Undang-Undang ini dibentuk Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
(2)
|
Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi membantu DPR dalam melaksanakan fungsi pengawasan di bidang tertentu terhadap Lembaga Penjamin Simpanan untuk meningkatkan kinerja, akuntabilitas, independensi, transparansi, dan kredibilitas kelembagaan Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
(3)
|
Untuk menjalankan fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan bertugas membantu DPR dalam:
|
|||
|
|
a.
|
membuat laporan evaluasi kinerja kelembagaan Lembaga Penjamin Simpanan;
|
||
|
|
b.
|
melakukan pemantauan untuk meningkatkan akuntabilitas, independensi, transparansi, dan kredibilitas kelembagaan Lembaga Penjamin Simpanan; dan
|
||
|
|
c.
|
menyusun laporan kinerja.
|
||
|
(4)
|
Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan berwenang:
|
|||
|
|
a.
|
meminta penjelasan mengenai hal yang berkaitan dengan tata kelola pelaksanaan tugas dan wewenang kelembagaan Lembaga Penjamin Simpanan;
|
||
|
|
b.
|
menerima tembusan laporan kinerja kelembagaan secara triwulanan dan tahunan dari Lembaga Penjamin Simpanan;
|
||
|
|
c.
|
melakukan telaahan atas tata kelola pelaksanaan tugas dan wewenang kelembagaan Lembaga Penjamin Simpanan;
|
||
|
|
d.
|
meminta dokumen yang diperlukan dalam melakukan telaahan sebagaimana dimaksud dalam huruf c yang berkaitan dengan tata kelola pelaksanaan tugas dan wewenang kelembagaan Lembaga Penjamin Simpanan;
|
||
|
|
e.
|
menerima tembusan laporan keuangan tahunan dari Lembaga Penjamin Simpanan;
|
||
|
|
f.
|
melakukan telaahan atas anggaran operasional Lembaga Penjamin Simpanan;
|
||
|
|
g.
|
menerima laporan dari masyarakat dan industri mengenai kelembagaan Lembaga Penjamin Simpanan; dan
|
||
|
|
h.
|
meminta penjelasan dan tanggapan Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan atas telaahan sebagaimana dimaksud dalam huruf c dan huruf f dalam rapat bersama dengan Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan.
|
||
|
(5)
|
Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak termasuk untuk:
|
|||
|
|
a.
|
menghadiri rapat Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan;
|
||
|
|
b.
|
menyatakan pendapat untuk mewakili Lembaga Penjamin Simpanan; dan
|
||
|
|
c.
|
menyampaikan informasi yang terkait dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) baik secara langsung maupun tidak langsung kepada publik.
|
||
|
(6)
|
Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan membuat laporan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada DPR secara berkala 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan dan sewaktu-waktu jika diperlukan.
|
|||
|
(7)
|
Anggaran Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan bersumber dari anggaran operasional Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
(8)
|
Ketentuan mengenai organisasi, tata kerja, dan anggaran Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan setelah dikonsultasikan dengan DPR.
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 89B
|
||||
|
(1)
|
Keanggotaan Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan berjumlah paling sedikit 5 (lima) orang yang dipimpin oleh 1 (satu) orang ketua yang dipilih dari dan oleh anggotanya.
|
|||
|
(2)
|
Anggota Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur Pemerintah, akademisi, dan masyarakat.
|
|||
|
(3)
|
Anggota Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan menjabat selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
|
|||
|
(4)
|
Untuk dapat diangkat menjadi anggota Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon anggota harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
|||
|
|
a.
|
warga negara Indonesia;
|
||
|
|
b.
|
sehat jasmani dan rohani;
|
||
|
|
c.
|
mempunyai integritas dan moralitas yang tinggi;
|
||
|
|
d.
|
bukan pengurus partai politik saat pencalonan;
|
||
|
|
e.
|
memiliki keahlian dan pengalaman di bidang perbankan, Pasar Modal, perasuransian, Sistem Keuangan, organisasi dan manajemen, sistem informasi, dan/atau hukum;
|
||
|
|
f.
|
tidak memiliki hubungan keluarga sampai derajat ketiga dan/atau semenda dengan anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan;
|
||
|
|
g.
|
tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan; dan
|
||
|
|
h.
|
tidak pernah dinyatakan pailit atau tidak pernah menjadi pengurus LJK/perusahaan yang menyebabkan LJK/perusahaan tersebut pailit atau dilikuidasi berdasarkan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.
|
||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 89C
|
||||
|
(1)
|
Anggota Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89B ayat (1) diseleksi dan dipilih oleh DPR.
|
|||
|
(2)
|
Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan memberitahukan kepada DPR dengan tembusan kepada Presiden tentang akan berakhirnya masa jabatan anggota Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan paling lambat 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan anggota tersebut.
|
|||
|
(3)
|
DPR memulai proses pemilihan anggota Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan terhitung sejak tanggal diterimanya surat pemberitahuan dari Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan harus menyelesaikan pemilihan anggota yang baru, paling lama 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan anggota Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan yang lama.
|
|||
|
(4)
|
Pemilihan dan penetapan calon anggota Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh panitia seleksi yang dibentuk DPR.
|
|||
|
(5)
|
Anggota Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan yang dipilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
|
|||
|
(6)
|
Anggota Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan dilarang memiliki benturan kepentingan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan tugas dan wewenangnya.
|
|||
|
(7)
|
Anggota Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan diberhentikan apabila:
|
|||
|
|
a.
|
meninggal dunia;
|
||
|
|
b.
|
berhalangan tetap;
|
||
|
|
c.
|
masa jabatannya telah berakhir dan tidak dipilih kembali;
|
||
|
|
d.
|
mengundurkan diri;
|
||
|
|
e.
|
dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan;
|
||
|
|
f.
|
tidak dapat hadir secara fisik dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa alasan yang sah;
|
||
|
|
g.
|
tidak melaksanakan dengan baik atau lalai dalam menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau
|
||
|
|
h.
|
tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 898 ayat (4).
|
||
|
(8)
|
Pemberhentian anggota Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
|
|||
|
(9)
|
Dalam hal anggota Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan diberhentikan karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), pemilihan anggota Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan pengganti dilakukan dengan mekanisme pemilihan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
|
|||
|
(10)
|
Anggota Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (9) diangkat untuk menggantikan jabatan anggota Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan yang diberhentikan dan melanjutkan sisa masa jabatan anggota Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan yang digantikan.
|
|||
|
(11)
|
Penggantian anggota Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak dilakukan apabila sisa masa jabatan anggota Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan yang diberhentikan kurang dari 1 (satu) tahun.
|
|||
|
|
|
|
|
|
62.
|
Ketentuan Pasal 91 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 91
|
||||
|
(1)
|
Dewan Komisioner, anggota Dewan Komisioner, pegawai Lembaga Penjamin Simpanan, atau setiap pihak yang bertugas untuk dan atas nama Lembaga Penjamin Simpanan wajib merahasiakan semua dokumen, informasi, dan catatan yang diperoleh atau dihasilkan dalam pelaksanaan tugasnya yang harus dirahasiakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
(2)
|
Perbuatan hukum Dewan Komisioner, anggota Dewan Komisioner, pegawai Lembaga Penjamin Simpanan, atau setiap pihak yang bertugas untuk dan atas nama Lembaga Penjamin Simpanan yang dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||
|
|
|
|
|
|
63.
|
Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 92
|
||||
|
(1)
|
Bank yang melanggar ketentuan kewajiban:
|
|||
|
|
a.
|
pembayaran premi Penjaminan;
|
||
|
|
b.
|
penyampaian laporan berkala dalam format yang ditentukan;
|
||
|
|
c.
|
pemberian data, informasi, dan dokumen yang dibutuhkan dalam rangka penyelenggaraan Penjaminan; dan/atau
|
||
|
|
d.
|
penempatan bukti kepesertaan atau salinannya di dalam kantor Bank atau tempat lainnya sehingga dapat diketahui dengan mudah oleh masyarakat,
|
||
|
|
dikenai sanksi administratif oleh Lembaga Penjamin Simpanan berupa denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan penyampaian kewajiban dan/atau laporan.
|
|||
|
(2)
|
Pengenaan sanksi administratif kepada Bank yang melanggar ketentuan kewajiban pembayaran premi Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan paling banyak 150% (seratus lima puluh persen) dari jumlah premi yang seharusnya dibayar untuk setiap periode dan dikenakan untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan.
|
|||
|
(3)
|
Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan.
|
|||
|
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran dan jangka waktu pengenaan serta tata cara pengenaan sanksi administratif untuk pelanggaran kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
64.
|
Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 95
|
||||
|
(1)
|
Pemegang saham, anggota direksi, anggota dewan komisaris, pegawai, dan/atau pihak lain yang terkait dengan Bank yang dicabut izin usahanya atau Bank dalam likuidasi yang melanggar ketentuan mengenai:
|
|||
|
|
a.
|
kewajiban membantu memberikan segala data dan informasi yang diperlukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5);
|
||
|
|
b.
|
kewajiban untuk membantu memberikan segala data dan informasi yang diperlukan oleh tim likuidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2); dan/atau
|
||
|
|
c.
|
larangan menghambat proses likuidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3),
|
||
|
|
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
|
|||
|
(2)
|
Anggota Dewan Komisioner dan pegawai Lembaga Penjamin Simpanan, atau pihak lain yang ditunjuk atau disetujui oleh Lembaga Penjamin Simpanan untuk melakukan tugas tertentu, yang melanggar ketentuan kewajiban untuk menjaga kerahasiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
|
|||
|
(3)
|
Setiap Orang yang memberikan data, informasi, dan/atau laporan, yang berkaitan dengan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dan Pasal 9 secara tidak benar, palsu, dan/atau menyesatkan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
|
|||
|
(4)
|
Setiap Orang yang melanggar kewajiban untuk memberikan data, informasi, dan/atau dokumen kepada Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
|
|||
|
|
|
|
|
|
65.
|
Di antara Pasal 95 dan Pasal 96 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 95A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 95A
|
||||
|
Pemegang saham, anggota direksi, dan anggota dewan komisaris serta pegawai dan mantan pegawai Bank Dalam Resolusi yang melanggar ketentuan mengenai kewajiban pemberian data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Otoritas Jasa Keuangan Pasal 8 |
|||||
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253) diubah sebagai berikut:
|
|||||
|
|
|
|
|
|
1.
|
Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 1
|
||||
|
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||
|
1.
|
Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga negara yang independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
|
|||
|
2.
|
Dewan Komisioner adalah pimpinan tertinggi Otoritas Jasa Keuangan yang dipimpin oleh Ketua Dewan Komisioner.
|
|||
|
3.
|
Kepala Eksekutif adalah anggota Dewan Komisioner yang bertugas memimpin pelaksanaan pengawasan kegiatan jasa keuangan dan melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Dewan Komisioner.
|
|||
|
4.
|
Lembaga Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat LJK adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, modal ventura, lembaga keuangan mikro, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya.
|
|||
|
5.
|
Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional dan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perbankan dan undang-undang mengenai perbankan syariah.
|
|||
|
6.
|
Pasar Modal adalah bagian dari Sistem Keuangan yang berkaitan dengan kegiatan:
|
|||
|
|
a.
|
penawaran umum dan transaksi efek;
|
||
|
|
b.
|
pengelolaan investasi;
|
||
|
|
c.
|
emiten dan perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya; dan
|
||
|
|
d.
|
lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek,
|
||
|
|
sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai pasar modal.
|
|||
|
7.
|
Perasuransian adalah usaha perasuransian yang bergerak di sektor usaha asuransi, yaitu usaha jasa keuangan yang dengan menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan premi asuransi memberikan pelindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya seseorang, usaha reasuransi, dan usaha penunjang usaha asuransi yang menyelenggarakan jasa keperantaraan, penilaian kerugian asuransi dan jasa aktuaria.
|
|||
|
8.
|
Dana Pensiun adalah badan hukum yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun.
|
|||
|
9.
|
Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal.
|
|||
|
10.
|
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya yang selanjutnya disingkat LJK Lainnya adalah pergadaian, lembaga penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, Penyelenggara Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi, dan lembaga yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, meliputi penyelenggara program jaminan sosial, pensiun, dan kesejahteraan, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai pergadaian, penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, dan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, serta lembaga jasa keuangan lain yang dinyatakan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
11.
|
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan adalah peraturan tertulis yang ditetapkan oleh Dewan Komisioner, mengikat secara umum, dan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
|
|||
|
12.
|
Peraturan Dewan Komisioner adalah peraturan tertulis yang ditetapkan oleh Dewan Komisioner dan mengikat di lingkungan internal Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
13.
|
Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
|
|||
|
14.
|
Lembaga Penjamin Simpanan adalah Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
15.
|
Konsumen adalah pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di LJK di antaranya nasabah pada Perbankan, pemodal di Pasar Modal, pemegang polis pada Perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
|
|||
|
16.
|
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
|
|||
|
17.
|
Gubernur Bank Indonesia adalah pemimpin merangkap anggota dewan gubernur Bank Indonesia.
|
|||
|
18.
|
Menteri Keuangan adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
|
|||
|
19.
|
Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan adalah pemimpin merangkap anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
20.
|
Ex officio adalah jabatan seseorang pada lembaga tertentu karena tugas dan kewenangannya pada lembaga lain.
|
|||
|
21.
|
Komite Etik adalah organ pendukung Dewan Komisioner yang bertugas mengawasi kepatuhan Dewan Komisioner, pejabat, dan pegawai Otoritas Jasa Keuangan terhadap kode etik.
|
|||
|
22.
|
Dewan Audit adalah organ pendukung Dewan Komisioner yang bertugas melakukan evaluasi atas pelaksanaan tugas Otoritas Jasa Keuangan serta menyusun standar audit dan manajemen risiko Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
23.
|
Panitia Seleksi adalah panitia yang dibentuk oleh Presiden yang bertugas untuk memilih dan menetapkan calon anggota Dewan Komisioner untuk disampaikan kepada Presiden.
|
|||
|
24.
|
Setiap Orang adalah orang perseorangan, korporasi atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya.
|
|||
|
|
|
|
|
|
2.
|
Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 2
|
||||
|
(1)
|
Berdasarkan undang-undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan dibentuk Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(2)
|
Otoritas Jasa Keuangan merupakan lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kecuali untuk hal-hal tertentu yang secara tegas diatur dengan Undang-Undang ini.
|
|||
|
|
|
|
|
|
3.
|
Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 5
|
||||
|
Dalam rangka mencapai tujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Otoritas Jasa Keuangan berfungsi:
|
||||
|
a.
|
menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan;
|
|||
|
b.
|
memelihara Stabilitas Sistem Keuangan secara aktif sesuai dengan kewenangannya; dan
|
|||
|
c.
|
memberikan pelindungan terhadap Konsumen dan masyarakat.
|
|||
|
|
|
|
|
|
4.
|
Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 6
|
||||
|
(1)
|
Otoritas Jasa Keuangan melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:
|
|||
|
|
a.
|
kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
|
||
|
|
b.
|
kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, keuangan Derivatif, dan bursa karbon;
|
||
|
|
c.
|
kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun;
|
||
|
|
d.
|
kegiatan jasa keuangan di sektor Lembaga Pembiayaan, perusahaan modal ventura, lembaga keuangan mikro, dan LJK Lainnya;
|
||
|
|
e.
|
kegiatan di sektor ITSK serta aset keuangan digital dan aset kripto;
|
||
|
|
f.
|
perilaku pelaku usaha jasa keuangan serta pelaksanaan edukasi dan Pelindungan Konsumen; dan
|
||
|
|
g.
|
sektor keuangan secara terintegrasi serta melakukan asesmen dampak sistemik Konglomerasi Keuangan.
|
||
|
(2)
|
Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan bertugas melaksanakan pengembangan sektor keuangan, berkoordinasi dengan kementerian/lembaga dan otoritas terkait.
|
|||
|
|
|
|
|
|
5.
|
Di antara Pasal 8 dan Pasal 9 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 8A dan Pasal 8B sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 8A
|
||||
|
(1)
|
Selain kewenangan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Otoritas Jasa Keuangan berwenang:
|
|||
|
|
a.
|
memberikan perintah tertulis kepada LJK untuk melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi, dan/atau konversi;
|
||
|
|
b.
|
menetapkan pengecualian bagi pihak tertentu dari kewajiban melakukan prinsip keterbukaan di bidang Pasar Modal dalam rangka pencegahan dan penanganan Krisis Sistem Keuangan;
|
||
|
|
c.
|
menetapkan kebijakan mengenai pemanfaatan teknologi informasi dalam penyelenggaraan RUPS atau rapat lain yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
|
||
|
|
d.
|
memberikan data dan informasi yang dibutuhkan oleh Pemerintah, dalam rangka penanganan permasalahan perekonomian nasional yang melibatkan Perbankan dan/atau LJK yang berada di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||
|
(2)
|
Perintah tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib dilaksanakan oleh pelaku industri keuangan.
|
|||
|
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka melaksanakan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 8B
|
||||
|
Otoritas Jasa Keuangan merupakan satu-satunya pihak yang berwenang mengajukan permohonan pernyataan pailit dan/atau permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap debitur yang merupakan Bank, perusahaan efek, bursa efek, penyelenggara pasar alternatif, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, penyelenggara dana perlindungan pemodal, lembaga pendanaan efek, lembaga penilaian harga efek, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah, Dana Pensiun, lembaga penjamin, Lembaga Pembiayaan, lembaga keuangan mikro, penyelenggara sistem elektronik yang memfasilitasi penghimpunan dana masyarakat melalui penawaran Efek, Penyelenggara Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi, atau LJK Lainnya yang terdaftar dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan sepanjang pembubaran dan/atau kepailitannya tidak diatur berbeda dengan Undang-Undang lainnya.
|
||||
|
|
|
|
|
|
6.
|
Penjelasan Pasal 9 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
7.
|
Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 10
|
||||
|
(1)
|
Otoritas Jasa Keuangan dipimpin oleh Dewan Komisioner.
|
|||
|
(2)
|
Ketua Dewan Komisioner bertindak sebagai pimpinan Dewan Komisioner.
|
|||
|
(3)
|
Dewan Komisioner beranggotakan 11 (sebelas) orang anggota yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
|
|||
|
(4)
|
Susunan Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas:
|
|||
|
|
a.
|
seorang Ketua merangkap anggota;
|
||
|
|
b.
|
seorang Wakil Ketua sebagai Ketua Komite Etik merangkap anggota;
|
||
|
|
c.
|
seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota;
|
||
|
|
d.
|
seorang Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon merangkap anggota;
|
||
|
|
e.
|
seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun merangkap anggota;
|
||
|
|
f.
|
seorang Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya merangkap anggota;
|
||
|
|
g.
|
seorang Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital dan Aset Kripto merangkap anggota;
|
||
|
|
h.
|
seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen merangkap anggota;
|
||
|
|
i.
|
seorang Ketua Dewan Audit merangkap anggota;
|
||
|
|
j.
|
seorang anggota Ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia; dan
|
||
|
|
k.
|
seorang anggota Ex-officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan pejabat setingkat eselon I Kementerian Keuangan.
|
||
|
(5)
|
Ketua Dewan Komisioner memimpin pelaksanaan koordinasi pengawasan terintegrasi di sektor keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf g.
|
|||
|
(6)
|
Kepala Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c sampai dengan huruf h memimpin pelaksanaan pengawasan kegiatan jasa keuangan.
|
|||
|
(7)
|
Anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b sampai dengan huruf i melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Dewan Komisioner.
|
|||
|
|
|
|
|
|
8.
|
Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 15
|
||||
|
Syarat calon anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf a sampai dengan huruf i adalah sebagai berikut:
|
||||
|
a.
|
warga negara Indonesia;
|
|||
|
b.
|
memiliki akhlak, moral, dan integritas yang baik;
|
|||
|
c.
|
cakap melakukan perbuatan hukum;
|
|||
|
d.
|
tidak pernah dinyatakan pailit atau tidak pernah menjadi pengurus perusahaan yang menyebabkan perusahaan tersebut pailit;
|
|||
|
e.
|
sehat jasmani;
|
|||
|
f.
|
berusia paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat ditetapkan;
|
|||
|
g.
|
mempunyai pengalaman atau keahlian di sektor jasa keuangan;
|
|||
|
h.
|
tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman 5 (lima) tahun atau lebih; dan
|
|||
|
i.
|
bukan pengurus dan/atau anggota partai politik pada saat pencalonan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
9.
|
Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 17
|
||||
|
(1)
|
Anggota Dewan Komisioner tidak dapat diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir, kecuali apabila memenuhi alasan sebagai berikut:
|
|||
|
|
a.
|
meninggal dunia;
|
||
|
|
b.
|
mengundurkan diri;
|
||
|
|
c.
|
dihapus;
|
||
|
|
d.
|
berhalangan tetap sehingga tidak dapat melaksanakan tugas atau diperkirakan secara medis tidak dapat melaksanakan tugas lebih dari 6 (enam) bulan berturut-turut;
|
||
|
|
e.
|
tidak menjalankan tugasnya sebagai anggota Dewan Komisioner lebih dari 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;
|
||
|
|
f.
|
tidak lagi menjadi anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia bagi anggota Ex-officio Dewan Komisioner yang berasal dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf j;
|
||
|
|
g.
|
tidak lagi menjadi pejabat setingkat eselon I pada Kementerian Keuangan bagi anggota Ex-officio Dewan Komisioner yang berasal dari Kementerian Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf k;
|
||
|
|
h.
|
memiliki hubungan keluarga sampai derajat kedua dan/atau semenda dengan anggota Dewan Komisioner lain dan tidak ada satu pun yang mengundurkan diri dari jabatannya;
|
||
|
|
i.
|
melanggar kode etik; atau
|
||
|
|
j.
|
tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.
|
||
|
(2)
|
Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh Dewan Komisioner kepada Presiden untuk mendapatkan penetapan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
10.
|
Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 24
|
||||
|
(1)
|
Pengambilan keputusan Dewan Komisioner dilakukan secara musyawarah untuk mufakat.
|
|||
|
(2)
|
Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak.
|
|||
|
(3)
|
Dalam hal pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tercapai, Ketua Dewan Komisioner menetapkan keputusan akhir.
|
|||
|
(4)
|
Dalam hal anggota Dewan Komisioner mempunyai kepentingan pribadi, baik langsung maupun tidak langsung, yang dapat menimbulkan benturan kepentingan dengan objek yang akan diputuskan, yang bersangkutan tidak ikut dalam pengambilan keputusan.
|
|||
|
(5)
|
Keputusan Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) sah apabila dilakukan berdasarkan rapat Dewan Komisioner.
|
|||
|
(6)
|
Rapat Dewan Komisioner dapat diselenggarakan melalui tatap muka atau melalui pemanfaatan teknologi informasi baik di hari kerja maupun di hari libur.
|
|||
|
(7)
|
Rapat Dewan Komisioner dinyatakan sah apabila dihadiri lebih dari 1/2 (satu per dua) dari jumlah anggota Dewan Komisioner.
|
|||
|
(8)
|
Keputusan Dewan Komisioner mengikat seluruh anggota Dewan Komisioner.
|
|||
|
(9)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan keputusan Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (8) diatur dalam Peraturan Dewan Komisioner.
|
|||
|
|
|
|
|
|
11.
|
Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 25
|
||||
|
(1)
|
Ketua Dewan Komisioner berwenang mewakili Otoritas Jasa Keuangan di dalam dan di luar pengadilan.
|
|||
|
(2)
|
Ketua Dewan Komisioner dapat mendelegasikan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Wakil Ketua Dewan Komisioner dan/atau anggota Dewan Komisioner lain, dengan atau tanpa hak substitusi, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pendelegasian wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Dewan Komisioner.
|
|||
|
|
|
|
|
|
12.
|
Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 34
|
||||
|
(1)
|
Dewan Komisioner menyusun rencana kerja dan anggaran Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(2)
|
Anggaran Otoritas Jasa Keuangan merupakan bagian dari Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
|
|||
|
(3)
|
Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibahas Otoritas Jasa Keuangan bersama DPR.
|
|||
|
(4)
|
Hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Menteri Keuangan untuk menjadi bahan penyusunan rancangan undang-undang mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
|
|||
|
|
|
|
|
|
13.
|
Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 35
|
||||
|
(1)
|
Anggaran Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) digunakan untuk membiayai kegiatan operasional, administrasi, pengadaan aset, dan kegiatan pendukung lainnya.
|
|||
|
(2)
|
Anggaran dan penggunaan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan standar yang wajar di sektor jasa keuangan.
|
|||
|
(3)
|
Standar yang wajar di sektor jasa keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk perlakuan khusus terhadap standar biaya, proses pengadaan barang dan jasa, pengelolaan sumber daya manusia, organisasi, dan remunerasi.
|
|||
|
(4)
|
Ketentuan mengenai standar biaya, proses pengadaan barang dan jasa, pengelolaan sumber daya manusia, organisasi, dan remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah setelah mendapatkan persetujuan dari DPR.
|
|||
|
|
|
|
|
|
14.
|
Di antara Pasal 36 dan Pasal 37 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 36A dan Pasal 368 sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 36A
|
||||
|
Ketentuan mengenai rencana kerja dan anggaran Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dan Pasal 35 mulai berlaku untuk tahun anggaran 2025.
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 36B
|
||||
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana kerja dan anggaran Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36A diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
15.
|
Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 37
|
||||
|
(1)
|
Terhadap pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan dikenai pungutan.
|
|||
|
(2)
|
Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan wajib membayar pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||
|
(3)
|
Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penerimaan lainnya dikelola sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara dengan ketentuan:
|
|||
|
|
a.
|
hasil pungutan dapat digunakan sebagian atau seluruhnya secara langsung oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk memenuhi kebutuhan pendanaan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dan untuk meningkatkan kualitas layanan; dan
|
||
|
|
b.
|
dalam hal terdapat hasil pungutan yang tidak digunakan sampai dengan akhir tahun anggaran maka dapat digunakan Otoritas Jasa Keuangan pada tahun anggaran berikutnya.
|
||
|
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan dan tata kelolanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
|||
|
|
|
|
|
|
16.
|
Di antara Pasal 37 dan Pasal 38 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 37A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 37A
|
||||
|
(1)
|
Pungutan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebelum berlakunya Undang-Undang ini, tetap berlaku sampai dengan akhir tahun 2024.
|
|||
|
(2)
|
Penggunaan hasil pungutan berdasarkan undang-undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan tetap dapat dilakukan sampai dengan akhir tahun 2024.
|
|||
|
(3)
|
Ketentuan mengenai pungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 mulai berlaku tahun 2025.
|
|||
|
|
|
|
|
|
17.
|
Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 38
|
||||
|
(1)
|
Otoritas Jasa Keuangan dalam menjalankan Undang-Undang ini wajib mengutamakan prinsip tata kelola kelembagaan yang baik dan profesional.
|
|||
|
(2)
|
Otoritas Jasa Keuangan wajib menyampaikan laporan kinerja kelembagaan dalam menjalankan Undang-Undang ini, secara tertulis kepada Presiden dan DPR.
|
|||
|
(3)
|
Laporan yang disampaikan kepada Presiden dan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas laporan triwulanan dan laporan tahunan.
|
|||
|
(4)
|
Laporan triwulanan dan laporan tahunan yang disampaikan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dievaluasi oleh DPR dan digunakan sebagai bahan penilaian tahunan terhadap kinerja Dewan Komisioner, anggota Dewan Komisioner, dan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(5)
|
Dalam hal DPR memerlukan penjelasan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan wajib menyampaikan penjelasan secara lisan dan/atau tertulis.
|
|||
|
(6)
|
Bagian dari laporan triwulanan dan laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada masyarakat secara terbuka melalui media massa dengan mencantumkan ringkasannya dalam Berita Negara.
|
|||
|
(7)
|
Setiap awal tahun anggaran, Otoritas Jasa Keuangan wajib menyampaikan informasi kepada masyarakat secara terbuka melalui media massa yang memuat:
|
|||
|
|
a.
|
evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan Otoritas Jasa Keuangan pada tahun sebelumnya; dan
|
||
|
|
b.
|
rencana kebijakan dan penetapan sasaran Otoritas Jasa Keuangan untuk tahun yang akan datang.
|
||
|
(8)
|
Otoritas Jasa Keuangan menyusun dan menyampaikan laporan keuangan tahunan kepada Presiden dan DPR.
|
|||
|
(9)
|
Otoritas Jasa Keuangan:
|
|||
|
|
a.
|
menyelesaikan penyusunan laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya tahun anggaran; dan
|
||
|
|
b.
|
menyampaikan laporan keuangan kepada Badan Pemeriksa Keuangan untuk dilakukan pemeriksaan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah laporan keuangan tahunan selesai disusun.
|
||
|
(10)
|
Badan Pemeriksa Keuangan menyampaikan laporan hasil pemeriksaan kepada DPR paling lambat 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak dimulainya pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf b.
|
|||
|
(11)
|
Otoritas Jasa Keuangan wajib mengumumkan laporan keuangan tahunan Otoritas Jasa Keuangan kepada publik melalui media massa.
|
|||
|
(12)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan susunan laporan kinerja kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur dalam Peraturan Dewan Komisioner.
|
|||
|
|
|
|
|
|
18.
|
Di antara Bab IX dan Bab X disisipkan 1 (satu) bab, yakni Bab IXA sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
BAB IXA
BADAN SUPERVISI OTORITAS JASA KEUANGAN |
||||
|
|
|
|
|
|
19.
|
Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 38A, Pasal 38B, dan Pasal 38C sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 38A
|
||||
|
(1)
|
Dengan Undang-Undang ini dibentuk Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(2)
|
Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi membantu DPR dalam melaksanakan fungsi pengawasan di bidang tertentu terhadap Otoritas Jasa Keuangan untuk meningkatkan kinerja, akuntabilitas, independensi, transparansi, dan kredibilitas kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(3)
|
Untuk menjalankan fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan bertugas membantu DPR dalam:
|
|||
|
|
a.
|
membuat laporan evaluasi kinerja kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan;
|
||
|
|
b.
|
melakukan pemantauan untuk meningkatkan akuntabilitas, independensi, transparansi, dan kredibilitas kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan; dan
|
||
|
|
c.
|
menyusun laporan kinerja.
|
||
|
(4)
|
Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan berwenang:
|
|||
|
|
a.
|
meminta penjelasan mengenai hal yang berkaitan dengan tata kelola pelaksanaan tugas dan wewenang kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan;
|
||
|
|
b.
|
menerima tembusan laporan kinerja kelembagaan secara triwulanan dan tahunan dari Otoritas Jasa Keuangan;
|
||
|
|
c.
|
melakukan telaahan atas tata kelola pelaksanaan tugas dan wewenang kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan;
|
||
|
|
d.
|
meminta dokumen yang diperlukan dalam melakukan telaahan sebagaimana dimaksud dalam huruf c yang berkaitan dengan tata kelola pelaksanaan tugas dan wewenang kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan;
|
||
|
|
e.
|
menerima tembusan laporan keuangan tahunan dari Otoritas Jasa Keuangan;
|
||
|
|
f.
|
melakukan telaahan atas anggaran operasional Otoritas Jasa Keuangan;
|
||
|
|
g.
|
menerima laporan dari masyarakat dan industri mengenai kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan; dan
|
||
|
|
h.
|
meminta penjelasan dan tanggapan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan atas telaahan sebagaimana dimaksud dalam huruf c dan huruf f dalam rapat bersama dengan Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan.
|
||
|
(5)
|
Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak termasuk untuk:
|
|||
|
|
a.
|
menghadiri rapat Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan;
|
||
|
|
b.
|
menyatakan pendapat untuk mewakili Otoritas Jasa Keuangan; dan
|
||
|
|
c.
|
menyampaikan informasi yang terkait dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) baik secara langsung maupun tidak langsung kepada publik.
|
||
|
(6)
|
Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan membuat laporan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada DPR secara berkala 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan atau sewaktu-waktu jika diperlukan.
|
|||
|
(7)
|
Anggaran Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan bersumber dari anggaran operasional Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(8)
|
Ketentuan mengenai organisasi, tata kerja, dan anggaran Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan setelah dikonsultasikan dengan DPR.
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 38B
|
||||
|
(1)
|
Keanggotaan Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan berjumlah paling sedikit 5 (lima) orang yang dipimpin oleh 1 (satu) orang ketua yang dipilih dari dan oleh anggotanya.
|
|||
|
(2)
|
Anggota Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur Pemerintah, akademisi, dan masyarakat.
|
|||
|
(3)
|
Anggota Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan menjabat selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
|
|||
|
(4)
|
Untuk dapat diangkat menjadi anggota Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon anggota harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
|||
|
|
a.
|
warga negara Indonesia;
|
||
|
|
b.
|
sehat jasmani dan rohani;
|
||
|
|
c.
|
mempunyai integritas dan moralitas yang tinggi;
|
||
|
|
d.
|
bukan pengurus partai politik saat pencalonan;
|
||
|
|
e.
|
memiliki keahlian dan pengalaman di bidang Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, industri keuangan non-Bank, Sistem Keuangan, organisasi dan manajemen, sistem informasi, dan/atau hukum;
|
||
|
|
f.
|
tidak memiliki hubungan keluarga sampai derajat ketiga dan/atau semenda dengan anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan;
|
||
|
|
g.
|
tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan; dan
|
||
|
|
h.
|
tidak pernah dinyatakan pailit atau tidak pernah menjadi pengurus LJK atau perusahaan yang menyebabkan LJK atau perusahaan tersebut pailit atau dilikuidasi berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
|
||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 38C
|
||||
|
(1)
|
Anggota Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38B ayat (1) diseleksi dan dipilih oleh DPR.
|
|||
|
(2)
|
Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan memberitahukan kepada DPR dengan tembusan kepada Presiden tentang akan berakhirnya masa jabatan anggota Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan anggota tersebut.
|
|||
|
(3)
|
DPR memulai proses pemilihan anggota Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan terhitung sejak tanggal diterimanya surat pemberitahuan dari Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan harus menyelesaikan pemilihan anggota yang baru, paling lama 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan anggota Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan yang lama.
|
|||
|
(4)
|
Pemilihan dan penetapan calon anggota Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Panitia Seleksi yang dibentuk oleh DPR.
|
|||
|
(5)
|
Anggota Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan yang dipilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
|
|||
|
(6)
|
Anggota Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan dilarang memiliki benturan kepentingan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan tugas dan wewenangnya.
|
|||
|
(7)
|
Anggota Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan diberhentikan apabila:
|
|||
|
|
a.
|
meninggal dunia;
|
||
|
|
b.
|
berhalangan tetap;
|
||
|
|
c.
|
masa jabatannya telah berakhir dan tidak dipilih kembali;
|
||
|
|
d.
|
mengundurkan diri;
|
||
|
|
e.
|
dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan;
|
||
|
|
f.
|
tidak dapat hadir secara fisik dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa alasan yang sah;
|
||
|
|
g.
|
tidak melaksanakan dengan baik atau lalai dalam menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau
|
||
|
|
h.
|
tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38B ayat (4).
|
||
|
(8)
|
Pemberhentian anggota Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
|
|||
|
(9)
|
Dalam hal anggota Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan diberhentikan karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), pemilihan anggota Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan pengganti dilakukan dengan mekanisme pemilihan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
|
|||
|
(10)
|
Anggota Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (9) diangkat untuk menggantikan jabatan anggota Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan yang diberhentikan dan melanjutkan sisa masa jabatan anggota Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan yang digantikan.
|
|||
|
(11)
|
Penggantian anggota Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak dilakukan apabila sisa masa jabatan anggota Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan yang diberhentikan kurang dari 1 (satu) tahun.
|
|||
|
|
|
|
|
|
20.
|
Di antara Pasal 48 dan Pasal 49 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 48A dan Pasal 48B yang berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 48A
|
||||
|
Pertukaran data dan/atau informasi oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka kerja sama internasional, termasuk di bidang pengaturan, pengawasan, dan penyidikan, dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 48B
|
||||
|
(1)
|
Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan dimulainya, tidak dilakukannya, atau dihentikannya penyidikan terhadap tindak pidana sektor jasa keuangan.
|
|||
|
(2)
|
Sebelum menetapkan dimulainya penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan penyelidikan terhadap dugaan tindak pidana sektor jasa keuangan.
|
|||
|
(3)
|
Pada tahap penyelidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pihak yang diduga melakukan tindak pidana sektor jasa keuangan dapat mengajukan permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk penyelesaian pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
|
|||
|
(4)
|
Otoritas Jasa Keuangan melakukan penilaian terhadap permohonan penyelesaian pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan menghitung nilai kerugian atas pelanggaran.
|
|||
|
(5)
|
Dalam melakukan penilaian terhadap permohonan penyelesaian pelanggaran dan perhitungan nilai kerugian atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Otoritas Jasa Keuangan mempertimbangkan minimal:
|
|||
|
|
a.
|
ada atau tidaknya penyelesaian atas kerugian yang timbul akibat tindak pidana;
|
||
|
|
b.
|
nilai transaksi dan/atau nilai kerugian atas pelanggaran; dan
|
||
|
|
c.
|
dampak terhadap sektor jasa keuangan, LJK, dan/atau kepentingan nasabah, pemodal atau investor, dan/atau masyarakat.
|
||
|
(6)
|
Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menyetujui permohonan penyelesaian pelanggaran, pihak yang mengajukan permohonan penyelesaian pelanggaran wajib melaksanakan kesepakatan termasuk membayar ganti rugi.
|
|||
|
(7)
|
Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) telah dipenuhi seluruhnya oleh pihak yang mengajukan permohonan penyelesaian pelanggaran, Otoritas Jasa Keuangan menghentikan penyelidikan.
|
|||
|
(8)
|
Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) merupakan hak dari pihak yang dirugikan dan bukan merupakan pendapatan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(9)
|
Selain ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (8), Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan tindakan administratif berupa pemberian sanksi administratif terhadap pihak yang diduga melakukan tindak pidana di sektor jasa keuangan.
|
|||
|
(10)
|
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (9), meliputi:
|
|||
|
|
a.
|
peringatan tertulis;
|
||
|
|
b.
|
pembatasan produk dan/atau layanan dan/atau kegiatan usaha untuk sebagian atau seluruhnya;
|
||
|
|
c.
|
pembekuan produk dan/atau layanan dan/atau kegiatan usaha untuk sebagian atau seluruhnya;
|
||
|
|
d.
|
pemberhentian pengurus;
|
||
|
|
e.
|
denda administratif;
|
||
|
|
f.
|
pencabutan izin produk dan/atau layanan;
|
||
|
|
g.
|
pencabutan izin usaha; dan/atau
|
||
|
|
h.
|
sanksi administratif lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
||
|
(11)
|
Dalam hal:
|
|||
|
|
a.
|
Otoritas Jasa Keuangan tidak menyetujui permohonan penyelesaian atas pelanggaran; atau
|
||
|
|
b.
|
pihak yang mengajukan permohonan penyelesaian pelanggaran tidak memenuhi sebagian atau seluruh kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6),
|
||
|
|
Otoritas Jasa Keuangan berwenang melanjutkan ke tahap penyidikan.
|
|||
|
(12)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (11) dilakukan sesuai dengan karakteristik masing-masing sektor jasa keuangan.
|
|||
|
(13)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian pelanggaran dan permohonan penyelesaian atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (11) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
21.
|
Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 49
|
||||
|
(1)
|
Penyidik Otoritas Jasa Keuangan terdiri atas:
|
|||
|
|
a.
|
pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia;
|
||
|
|
b.
|
pejabat pegawai negeri sipil tertentu; dan
|
||
|
|
c.
|
pegawai tertentu,
|
||
|
|
yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan.
|
|||
|
(2)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diangkat oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
|
|||
|
(3)
|
Pegawai tertentu yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan setelah memenuhi kualifikasi oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.
|
|||
|
(4)
|
Administrasi pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, dan pelantikan penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
|
|||
|
(5)
|
Penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(6)
|
Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
|
|||
|
(7)
|
Penyidik Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang dan bertanggung jawab:
|
|||
|
|
a.
|
menerima laporan, pemberitahuan, atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di sektor jasa keuangan;
|
||
|
|
b.
|
melakukan penelitian atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di sektor jasa keuangan;
|
||
|
|
c.
|
melakukan penelitian terhadap Setiap Orang yang diduga melakukan atau terlibat dalam tindak pidana di bidang sektor jasa keuangan;
|
||
|
|
d.
|
memanggil, memeriksa, dan meminta keterangan dan barang bukti dari Setiap Orang yang disangka melakukan, atau sebagai saksi dalam tindak pidana di sektor jasa keuangan;
|
||
|
|
e.
|
meminta kepada instansi yang berwenang untuk melakukan pencegahan terhadap warga negara Indonesia dan/atau orang asing serta penangkalan terhadap orang asing yang disangka melakukan tindak pidana di sektor jasa keuangan;
|
||
|
|
f.
|
melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di sektor jasa keuangan;
|
||
|
|
g.
|
meminta bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana di sektor jasa keuangan yang sedang ditangani;
|
||
|
|
h.
|
melakukan penggeledahan di setiap tempat tertentu yang diduga terdapat setiap barang bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap barang yang dapat dijadikan bahan bukti dalam perkara tindak pidana di sektor jasa keuangan;
|
||
|
|
1.
|
memblokir rekening pada Bank atau lembaga keuangan lain dari Setiap Orang yang diduga melakukan atau terlibat dalam tindak pidana di sektor jasa keuangan;
|
||
|
|
j.
|
meminta data, dokumen, atau alat bukti lain baik cetak maupun elektronik kepada penyelenggara jasa telekomunikasi atau penyelenggara jasa penyimpanan data dan/atau dokumen;
|
||
|
|
k.
|
meminta keterangan dari LJK tentang keadaan keuangan pihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
|
||
|
|
l.
|
meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan;
|
||
|
|
m.
|
melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana asal berupa tindak pidana di sektor jasa keuangan;
|
||
|
|
n.
|
meminta bantuan aparat penegak hukum lain; dan
|
||
|
|
o.
|
menyampaikan hasil penyidikan kepada Jaksa untuk dilakukan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
|
|
|
|
|
|
22.
|
Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 53
|
||||
|
Setiap Orang yang dengan sengaja mengabaikan, tidak memenuhi, atau menghambat pelaksanaan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8A ayat (1), Pasal 9 huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan/atau Pasal 30 ayat (1) huruf a dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah) untuk perseorangan atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) untuk korporasi atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya.
|
||||
|
|
|
|
|
|
23.
|
Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 54
|
||||
|
Setiap Orang yang dengan sengaja mengabaikan dan/atau tidak melaksanakan:
|
||||
|
a.
|
perintah tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8A ayat (1) huruf a mengenai perintah tertulis kepada LJK untuk melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi, dan/atau konversi;
|
|||
|
b.
|
perintah tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf d; atau
|
|||
|
c.
|
tugas untuk menggunakan pengelola statuter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf f,
|
|||
|
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah) untuk perseorangan atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) untuk korporasi atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Bank Indonesia Pasal 9 |
|||||
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962) diubah sebagai berikut:
|
|||||
|
|
|
|
|
|
1.
|
Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 4
|
||||
|
(1)
|
Bank Indonesia merupakan Bank Sentral Republik Indonesia.
|
|||
|
(2)
|
Bank Indonesia merupakan lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal tertentu yang secara tegas diatur dengan Undang-Undang ini.
|
|||
|
(3)
|
Bank Indonesia merupakan badan hukum berdasarkan Undang-Undang ini.
|
|||
|
|
|
|
|
|
2.
|
Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 7
|
||||
|
Tujuan Bank Indonesia adalah mencapai stabilitas nilai rupiah, memelihara stabilitas Sistem Pembayaran, dan turut menjaga Stabilitas Sistem Keuangan dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
3.
|
Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 8
|
||||
|
Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Bank Indonesia mempunyai tugas sebagai berikut:
|
||||
|
a.
|
menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, dan transparan;
|
|||
|
b.
|
mengatur dan menjaga kelancaran Sistem Pembayaran; dan
|
|||
|
c.
|
menetapkan dan melaksanakan kebijakan makroprudensial.
|
|||
|
|
|
|
|
|
4.
|
Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 9
|
||||
|
(1)
|
Pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, kecuali untuk hal-hal tertentu yang secara tegas diatur dengan Undang-Undang ini.
|
|||
|
(2)
|
Bank Indonesia wajib menolak dan/atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak mana pun dalam rangka pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
|
|||
|
|
|
|
|
|
5.
|
Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 10
|
||||
|
(1)
|
Bank Indonesia menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dengan mengacu pada sasaran inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah berkoordinasi dengan Bank Indonesia.
|
|||
|
(2)
|
Dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, Bank Indonesia berwenang:
|
|||
|
|
a.
|
mengelola suku bunga;
|
||
|
|
b.
|
mengelola nilai tukar;
|
||
|
|
c.
|
mengelola likuiditas;
|
||
|
|
d.
|
mengelola lalu lintas devisa;
|
||
|
|
e.
|
mengelola cadangan devisa negara;
|
||
|
|
f.
|
mengatur, mengawasi, dan mengembangkan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing; dan
|
||
|
|
g.
|
menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter lainnya.
|
||
|
(3)
|
Dalam rangka melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Indonesia melakukan:
|
|||
|
|
a.
|
pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan pengenaan sanksi;
|
||
|
|
b.
|
komunikasi kebijakan secara akuntabel dan transparan; dan
|
||
|
|
c.
|
koordinasi kebijakan dengan Pemerintah, otoritas, dan pemangku kepentingan terkait.
|
||
|
(4)
|
Dalam mengelola suku bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, Bank Indonesia:
|
|||
|
|
a.
|
menetapkan suku bunga kebijakan, suku bunga penempatan dana pada Bank Indonesia dan penyediaan dana oleh Bank Indonesia, serta suku bunga transaksi lainnya dengan Bank Indonesia; dan
|
||
|
|
b.
|
memengaruhi suku bunga pasar.
|
||
|
(5)
|
Dalam mengelola nilai tukar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Bank Indonesia melaksanakan kewenangannya berdasarkan sistem nilai tukar yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
(6)
|
Dalam mengelola likuiditas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, Bank Indonesia menjaga kecukupan likuiditas di Pasar Uang, Pasar Valuta Asing, Perbankan, dan perekonomian untuk mendukung pengelolaan suku bunga dan nilai tukar.
|
|||
|
(7)
|
Dalam rangka mengelola suku bunga, nilai tukar, dan likuiditas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c, Bank Indonesia melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan cara di antaranya:
|
|||
|
|
a.
|
operasi moneter di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing; dan
|
||
|
|
b.
|
pengaturan giro wajib minimum dalam Rupiah dan valuta asing.
|
||
|
(8)
|
Cara pengendalian moneter sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat juga dilaksanakan berdasarkan Prinsip Syariah.
|
|||
|
(9)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian moneter sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) diatur dalam Peraturan Bank Indonesia.
|
|||
|
|
|
|
|
|
6.
|
Di antara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 10A dan Pasal 10B sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 10A
|
||||
|
(1)
|
Dalam mengelola lalu lintas devisa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf d, Bank Indonesia dapat menetapkan ketentuan:
|
|||
|
|
a.
|
pelaporan lalu lintas devisa dan pengelolaan risiko terkait aliran modal; dan
|
||
|
|
b.
|
penerimaan dan/atau penggunaan devisa oleh penduduk, dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas makroekonomi dan Sistem Keuangan.
|
||
|
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan lalu lintas devisa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bank Indonesia.
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 10B
|
||||
|
(1)
|
Pengaturan, pengawasan, dan pengembangan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf f meliputi:
|
|||
|
|
a.
|
penerbitan produk dan mekanisme transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing;
|
||
|
|
b.
|
perizinan dan perilaku pasar pelaku Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing;
|
||
|
|
c.
|
mekanisme pembentukan harga acuan di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing;
|
||
|
|
d.
|
infrastruktur Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing; dan
|
||
|
|
e.
|
perizinan dan kegiatan usaha penukaran valuta asing yang diselenggarakan oleh bukan Bank.
|
||
|
(2)
|
Pengaturan, pengawasan, dan pengembangan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah.
|
|||
|
(3)
|
Dalam melakukan pengaturan, pengawasan, dan pengembangan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia berkoordinasi dengan otoritas dan/atau kementerian/lembaga terkait.
|
|||
|
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan, pengawasan, dan pengembangan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Bank Indonesia.
|
|||
|
|
|
|
|
|
7.
|
Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 11
|
||||
|
(1)
|
Selain pengelolaan likuiditas dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (6), Bank Indonesia mengelola likuiditas untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.
|
|||
|
(2)
|
Pengelolaan likuiditas oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui pembelian atau penjualan surat berharga negara dan/atau surat berharga berkualitas lainnya di pasar sekunder, penempatan dana pada lembaga keuangan dalam rangka pengembangan Pasar Uang, kebijakan giro wajib minimum, bauran kebijakan moneter, dan/atau instrumen kebijakan lainnya.
|
|||
|
(3)
|
Dalam melakukan pengelolaan likuiditas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia mengutamakan pencapaian tujuan untuk mencapai kestabilan nilai Rupiah dalam rangka kebijakan moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dengan memperhatikan kondisi makroekonomi.
|
|||
|
(4)
|
Dalam melakukan pengelolaan likuiditas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Indonesia menerapkan tata kelola yang baik.
|
|||
|
|
|
|
|
|
8.
|
Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 14
|
||||
|
(1)
|
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Bank Indonesia berwenang untuk:
|
|||
|
|
a.
|
menyelenggarakan survei;
|
||
|
|
b.
|
memperoleh data, informasi, laporan, keterangan, dan/atau penjelasan dari pihak terkait; dan
|
||
|
|
c.
|
memperoleh data dan informasi dari dan/atau melakukan pertukaran data dan informasi dengan otoritas dan/atau kementerian/lembaga terkait.
|
||
|
(2)
|
Bank Indonesia dapat melakukan pemrosesan dan diseminasi data dan/atau informasi terkait dengan pelaksanaan tugas Bank Indonesia melalui sistem informasi digital dan/atau mekanisme lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
(3)
|
Dalam penyelenggaraan survei sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan/atau perolehan data, informasi, laporan, keterangan, dan/atau penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, setiap pihak wajib memberikan data, informasi, laporan, keterangan, dan/atau penjelasan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
|
|||
|
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai survei dan perolehan data, informasi, laporan, keterangan dan/atau penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bank Indonesia.
|
|||
|
|
|
|
|
|
9.
|
Pasal 24 dihapus.
|
||||
|
|
|
|
|
|
10.
|
Pasal 25 dihapus.
|
||||
|
|
|
|
|
|
11.
|
Pasal 26 dihapus.
|
||||
|
|
|
|
|
|
12.
|
Pasal 27 dihapus.
|
||||
|
|
|
|
|
|
13.
|
Pasal 28 dihapus.
|
||||
|
|
|
|
|
|
14.
|
Pasal 29 dihapus.
|
||||
|
|
|
|
|
|
15.
|
Pasal 30 dihapus.
|
||||
|
|
|
|
|
|
16.
|
Pasal 31 dihapus.
|
||||
|
|
|
|
|
|
17.
|
Pasal 32 dihapus.
|
||||
|
|
|
|
|
|
18.
|
Pasal 33 dihapus.
|
||||
|
|
|
|
|
|
19.
|
Pasal 34 dihapus.
|
||||
|
|
|
|
|
|
20.
|
Pasal 35 dihapus.
|
||||
|
|
|
|
|
|
21.
|
Di antara Bab VI dan Bab VII disisipkan 1 (satu) bab, yakni Bab VIA sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
BAB VIA
TUGAS MENETAPKAN DAN MELAKSANAKAN KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL |
||||
|
|
|
|
|
|
22.
|
Di antara Pasal 35 dan Pasal 36 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 35A dan Pasal 35B sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 35A
|
||||
|
Bank Indonesia menetapkan dan melaksanakan kebijakan makroprudensial dalam rangka turut menjaga Stabilitas Sistem Keuangan melalui upaya mendorong intermediasi yang seimbang, berkualitas, dan berkelanjutan; memitigasi dan mengelola risiko sistemik; serta meningkatkan inklusi ekonomi, Inklusi Keuangan, dan Keuangan Berkelanjutan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 35B
|
||||
|
(1)
|
Dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan makroprudensial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c, Bank Indonesia berwenang melakukan:
|
|||
|
|
a.
|
pengaturan makroprudensial;
|
||
|
|
b.
|
pengawasan makroprudensial, termasuk pemeriksaan dan pengenaan sanksi;
|
||
|
|
c.
|
pengaturan dan pengembangan pembiayaan inklusif dan Keuangan Berkelanjutan;
|
||
|
|
d.
|
penyediaan dana untuk Bank dalam rangka menjalankan fungsi lender of the last resort;
|
||
|
|
e.
|
reverse repo (repurchase agreement) dan/atau pembelian surat berharga negara yang dimiliki oleh Lembaga Penjamin Simpanan pada saat Lembaga Penjamin Simpanan memerlukan likuiditas; dan
|
||
|
|
f.
|
koordinasi dengan otoritas terkait.
|
||
|
(2)
|
Kebijakan makroprudensial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d dan huruf f ditetapkan dan diterapkan terhadap Perbankan, baik yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional maupun yang berdasarkan Prinsip Syariah, dengan mempertimbangkan asesmen terhadap Sistem Keuangan secara keseluruhan dan keterkaitannya dengan kondisi perekonomian.
|
|||
|
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan Bank Indonesia dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan makroprudensial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
|
|||
|
|
|
|
|
|
23.
|
Di antara Bab VIA dan Bab VII disisipkan 1 (satu) bab, yakni Bab VIB sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
BAB VIB
KETENTUAN TERKAIT KEPAILITAN |
||||
|
|
|
|
|
|
24.
|
Di antara Pasal 35B dan Pasal 36 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 35C dan Pasal 35D sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 35C
|
||||
|
Bank Indonesia merupakan satu-satunya pihak yang berwenang mengajukan permohonan pernyataan pailit dan/atau permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang dari debitur yang merupakan penyedia jasa pembayaran dan penyelenggara infrastruktur Sistem Pembayaran, penyelenggara jasa pengolahan uang rupiah, perusahaan pialang Pasar Uang, penyedia sarana perdagangan, sarana kliring untuk transaksi derivatif suku bunga dan nilai tukar over-the-counter, atau lembaga lainnya yang diberikan izin dan/atau penetapan oleh Bank Indonesia sepanjang pembubaran dan/atau kepailitannya tidak diatur berbeda dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 35D
|
||||
|
(1)
|
Terhadap debitur yang merupakan penerbit uang elektronik, kepailitan tidak meliputi dana yang telah dipisahkan oleh penerbit guna memenuhi kewajiban penerbit kepada pengguna dan/atau penyedia barang dan/atau Jasa dalam penyelenggaraan uang elektronik.
|
|||
|
(2)
|
Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib digunakan sepenuhnya untuk memenuhi kewajiban penerbit kepada pengguna dan/atau penyedia barang dan/atau jasa dalam penyelenggaraan uang elektronik.
|
|||
|
|
|
|
|
|
25.
|
Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 38A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 38A
|
||||
|
(1)
|
Dewan Gubernur menetapkan dan menegakkan kode etik Bank Indonesia.
|
|||
|
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Dewan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
|
26.
|
Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 40
|
||||
|
Untuk dapat diangkat sebagai anggota Dewan Gubernur, calon yang bersangkutan harus memenuhi syarat:
|
||||
|
a.
|
warga negara Indonesia;
|
|||
|
b.
|
memiliki integritas, akhlak, dan moral yang tinggi;
|
|||
|
c.
|
memiliki keahlian dan pengalaman di bidang ekonomi, keuangan, perbankan, atau hukum; dan
|
|||
|
d.
|
bukan pengurus dan/atau anggota partai politik pada saat pencalonan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
27.
|
Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 41
|
||||
|
(1)
|
Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan Deputi Gubernur diusulkan dan diangkat oleh Presiden dengan persetujuan DPR.
|
|||
|
(2)
|
Calon Deputi Gubernur diusulkan oleh Presiden berdasarkan rekomendasi dari Gubernur.
|
|||
|
(3)
|
Untuk setiap jabatan Gubernur dan Deputi Gubernur Senior sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden mengusulkan kepada DPR paling banyak 3 (tiga) orang calon.
|
|||
|
(4)
|
Untuk setiap jabatan Deputi Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden mengusulkan kepada DPR paling sedikit 2 (dua) orang calon.
|
|||
|
(5)
|
Usulan Presiden kepada DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) disampaikan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan Deputi Gubernur.
|
|||
|
(6)
|
DPR menyetujui atau menolak calon Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan Deputi Gubernur paling lambat 1 (satu) bulan terhitung sejak usul diterima.
|
|||
|
(7)
|
Dalam hal calon Gubernur, Deputi Gubernur Senior, atau Deputi Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak disetujui oleh DPR, Presiden wajib mengajukan calon baru.
|
|||
|
(8)
|
Dalam hal calon yang diajukan oleh Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) untuk kedua kalinya tidak disetujui oleh DPR, Presiden wajib mengangkat kembali Gubernur, Deputi Gubernur Senior, atau Deputi Gubernur untuk jabatan yang sama, atau dengan persetujuan DPR mengangkat Deputi Gubernur Senior atau Deputi Gubernur untuk jabatan yang lebih tinggi di dalam struktur jabatan Dewan Gubernur dengan memperhatikan ketentuan mengenai masa jabatan anggota Dewan Gubernur dan penggantian anggota Dewan Gubernur yang telah berakhir masa jabatannya.
|
|||
|
(9)
|
Anggota Dewan Gubernur diangkat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali dalam jabatan yang sama untuk paling banyak 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
|
|||
|
(10)
|
Penggantian anggota Dewan Gubernur yang telah berakhir masa jabatannya dilakukan secara berkala setiap tahun paling banyak 2 (dua) orang.
|
|||
|
|
|
|
|
|
28.
|
Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 47
|
||||
|
(1)
|
Anggota Dewan Gubernur baik sendiri maupun bersama-sama dilarang:
|
|||
|
|
a.
|
mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung pada perusahaan mana pun juga;
|
||
|
|
b.
|
merangkap jabatan pada lembaga lain kecuali karena kedudukannya wajib memangku jabatan tersebut; dan
|
||
|
|
c.
|
menjadi pengurus dan/atau anggota partai politik.
|
||
|
(2)
|
Dalam hal anggota Dewan Gubernur melakukan 1 (satu) atau lebih larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota Dewan Gubernur tersebut wajib mengundurkan diri dari jabatannya.
|
|||
|
|
|
|
|
|
29.
|
Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 58
|
||||
|
(1)
|
Bank Indonesia dalam menjalankan Undang-Undang ini wajib mengutamakan prinsip tata kelola kelembagaan yang baik dan profesional.
|
|||
|
(2)
|
Bank Indonesia wajib menyampaikan laporan kinerja kelembagaan dalam menjalankan Undang-Undang ini, secara tertulis kepada Presiden dan DPR.
|
|||
|
(3)
|
Laporan yang disampaikan kepada Presiden dan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas laporan triwulanan dan laporan tahunan.
|
|||
|
(4)
|
Laporan triwulanan dan laporan tahunan yang disampaikan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dievaluasi oleh DPR dan digunakan sebagai bahan penilaian tahunan terhadap kinerja Dewan Gubernur, anggota Dewan Gubernur, dan Bank Indonesia.
|
|||
|
(5)
|
Dalam hal DPR memerlukan penjelasan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Indonesia wajib menyampaikan penjelasan secara lisan dan/atau tertulis.
|
|||
|
(6)
|
Bagian dari laporan triwulanan dan laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada masyarakat secara terbuka melalui media massa dengan mencantumkan ringkasannya dalam Berita Negara.
|
|||
|
(7)
|
Setiap awal tahun anggaran, Bank Indonesia wajib menyampaikan informasi kepada masyarakat secara terbuka melalui media massa yang memuat:
|
|||
|
|
a.
|
evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan Bank Indonesia pada tahun sebelumnya; dan
|
||
|
|
b.
|
rencana kebijakan dan penetapan sasaran Bank Indonesia untuk tahun yang akan datang.
|
||
|
(8)
|
Bank Indonesia menyusun dan menyampaikan laporan keuangan tahunan kepada Presiden dan DPR.
|
|||
|
(9)
|
Bank Indonesia:
|
|||
|
|
a.
|
menyelesaikan penyusunan laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya tahun anggaran; dan
|
||
|
|
b.
|
menyampaikan laporan keuangan kepada Badan Pemeriksa Keuangan untuk dilakukan pemeriksaan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah laporan keuangan tahunan selesai disusun.
|
||
|
(10)
|
Badan Pemeriksa Keuangan menyampaikan laporan hasil pemeriksaan kepada DPR paling lambat 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak dimulainya pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf b.
|
|||
|
(11)
|
Bank Indonesia wajib mengumumkan laporan keuangan tahunan Bank Indonesia kepada publik melalui media massa.
|
|||
|
(12)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan susunan laporan kinerja kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur dalam Peraturan Dewan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
|
30.
|
Ketentuan Pasal 58A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 58A
|
||||
|
(1)
|
Dengan Undang-Undang ini dibentuk Badan Supervisi Bank Indonesia.
|
|||
|
(2)
|
Badan Supervisi Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi membantu DPR dalam melaksanakan fungsi pengawasan di bidang tertentu terhadap Bank Indonesia untuk meningkatkan kinerja, akuntabilitas, independensi, transparansi, dan kredibilitas kelembagaan Bank Indonesia.
|
|||
|
(3)
|
Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan Supervisi Bank Indonesia bertugas membantu DPR dalam:
|
|||
|
|
a.
|
membuat laporan evaluasi kinerja kelembagaan Bank Indonesia;
|
||
|
|
b.
|
melakukan pemantauan untuk meningkatkan akuntabilitas, independensi, transparansi, dan kredibilitas kelembagaan Bank Indonesia; dan
|
||
|
|
c.
|
menyusun laporan kinerja.
|
||
|
(4)
|
Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Badan Supervisi Bank Indonesia berwenang:
|
|||
|
|
a.
|
meminta penjelasan mengenai hal yang berkaitan dengan tata kelola pelaksanaan tugas dan wewenang kelembagaan Bank Indonesia;
|
||
|
|
b.
|
menerima tembusan laporan kinerja kelembagaan secara triwulanan dan tahunan dari Bank Indonesia;
|
||
|
|
c.
|
melakukan telaahan atas tata kelola pelaksanaan tugas dan wewenang kelembagaan Bank Indonesia;
|
||
|
|
d.
|
meminta dokumen yang diperlukan dalam melakukan telaahan sebagaimana dimaksud dalam huruf c yang berkaitan dengan tata kelola pelaksanaan tugas dan wewenang kelembagaan Bank Indonesia;
|
||
|
|
e.
|
menerima tembusan laporan keuangan tahunan dari Bank Indonesia;
|
||
|
|
f.
|
melakukan telaahan atas anggaran operasional Bank Indonesia;
|
||
|
|
g.
|
menerima laporan dari masyarakat dan industri mengenai kelembagaan Bank Indonesia; dan
|
||
|
|
h.
|
meminta penjelasan dan tanggapan Dewan Gubernur Bank Indonesia atas telaahan sebagaimana dimaksud dalam huruf c dan huruf f dalam rapat bersama dengan Badan Supervisi Bank Indonesia.
|
||
|
(5)
|
Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak termasuk untuk:
|
|||
|
|
a.
|
menghadiri rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia;
|
||
|
|
b.
|
menyatakan pendapat untuk mewakili Bank Indonesia; dan
|
||
|
|
c.
|
menyampaikan informasi yang terkait dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) baik secara langsung maupun tidak langsung kepada publik.
|
||
|
(6)
|
Badan Supervisi Bank Indonesia membuat laporan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada DPR secara berkala 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan atau sewaktu-waktu jika diperlukan.
|
|||
|
(7)
|
Anggaran Badan Supervisi Bank Indonesia bersumber dari anggaran operasional Bank Indonesia.
|
|||
|
(8)
|
Ketentuan mengenai organisasi, tata kerja, dan anggaran Badan Supervisi Bank Indonesia diatur dalam Peraturan Bank Indonesia setelah dikonsultasikan dengan DPR.
|
|||
|
|
|
|
|
|
31.
|
Di antara Pasal 58A dan Pasal 59 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 58B dan Pasal 58C sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 58B
|
||||
|
(1)
|
Keanggotaan Badan Supervisi Bank Indonesia berjumlah paling sedikit 5 (lima) orang yang dipimpin oleh 1 (satu) orang ketua yang dipilih dari dan oleh anggotanya.
|
|||
|
(2)
|
Anggota Badan Supervisi Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur Pemerintah, akademisi, dan masyarakat.
|
|||
|
(3)
|
Anggota Badan Supervisi Bank Indonesia menjabat selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
|
|||
|
(4)
|
Untuk dapat diangkat menjadi anggota Badan Supervisi Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon anggota harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
|||
|
|
a.
|
warga negara Indonesia;
|
||
|
|
b.
|
sehat jasmani dan rohani;
|
||
|
|
c.
|
mempunyai integritas dan moralitas yang tinggi;
|
||
|
|
d.
|
bukan pengurus partai politik saat pencalonan;
|
||
|
|
e.
|
memiliki keahlian dan pengalaman di bidang moneter, Sistem Pembayaran, makroprudensial, perbankan, Sistem Keuangan, organisasi dan manajemen, sistem informasi, dan/atau hukum;
|
||
|
|
f.
|
tidak memiliki hubungan keluarga sampai derajat ketiga dan/atau semenda dengan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia;
|
||
|
|
g.
|
tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan; dan
|
||
|
|
h.
|
tidak pernah dinyatakan pailit atau tidak pernah menjadi pengurus LJK/perusahaan yang menyebabkan LJK/perusahaan tersebut pailit atau dilikuidasi berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
|
||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 58C
|
||||
|
(1)
|
Anggota Badan Supervisi Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58B ayat (1) diseleksi dan dipilih oleh DPR.
|
|||
|
(2)
|
Badan Supervisi Bank Indonesia memberitahukan kepada DPR dengan tembusan kepada Presiden tentang akan berakhirnya masa jabatan anggota Badan Supervisi Bank Indonesia paling lambat 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan anggota tersebut.
|
|||
|
(3)
|
DPR memulai proses pemilihan anggota Badan Supervisi Bank Indonesia terhitung sejak tanggal diterimanya surat pemberitahuan dari Badan Supervisi Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan harus menyelesaikan pemilihan anggota yang baru, paling lama 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan anggota Badan Supervisi Bank Indonesia yang lama.
|
|||
|
(4)
|
Pemilihan dan penetapan calon anggota Badan Supervisi Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh panitia seleksi yang dibentuk DPR.
|
|||
|
(5)
|
Anggota Badan Supervisi Bank Indonesia yang dipilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
|
|||
|
(6)
|
Anggota Badan Supervisi Bank Indonesia dilarang memiliki benturan kepentingan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan tugas dan wewenangnya.
|
|||
|
(7)
|
Anggota Badan Supervisi Bank Indonesia diberhentikan apabila:
|
|||
|
|
a.
|
meninggal dunia;
|
||
|
|
b.
|
berhalangan tetap;
|
||
|
|
c.
|
masa jabatannya telah berakhir dan tidak dipilih kembali;
|
||
|
|
d.
|
mengundurkan diri;
|
||
|
|
e.
|
dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan;
|
||
|
|
f.
|
tidak dapat hadir secara fisik dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa alasan yang sah;
|
||
|
|
g.
|
tidak melaksanakan dengan baik atau lalai dalam menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau
|
||
|
|
h.
|
tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58B ayat (4).
|
||
|
(8)
|
Pemberhentian anggota Badan Supervisi Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
|
|||
|
(9)
|
Dalam hal anggota Badan Supervisi Bank Indonesia diberhentikan karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), pemilihan anggota Badan Supervisi Bank Indonesia pengganti dilakukan dengan mekanisme pemilihan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
|
|||
|
(10)
|
Anggota Badan Supervisi Bank Indonesia pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (9) diangkat untuk menggantikan jabatan anggota Badan Supervisi Bank Indonesia yang diberhentikan dan melanjutkan sisa masa jabatan anggota Badan Supervisi Bank Indonesia yang digantikan.
|
|||
|
(11)
|
Penggantian anggota Badan Supervisi Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak dilakukan apabila sisa masa jabatan anggota Badan Supervisi Bank Indonesia yang diberhentikan kurang dari 1 (satu) tahun.
|
|||
|
|
|
|
|
|
32.
|
Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 60
|
||||
|
(1)
|
Tahun anggaran Bank Indonesia adalah tahun kalender.
|
|||
|
(2)
|
Paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum dimulai tahun anggaran, Dewan Gubernur menetapkan anggaran tahunan Bank Indonesia.
|
|||
|
(3)
|
Anggaran tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
|
a.
|
anggaran untuk kegiatan operasional; dan
|
||
|
|
b.
|
anggaran untuk kebijakan moneter, Sistem Pembayaran, dan makroprudensial.
|
||
|
(4)
|
Anggaran untuk kegiatan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, serta evaluasi pelaksanaan anggaran tahun berjalan disampaikan kepada DPR untuk mendapat persetujuan.
|
|||
|
(5)
|
Proses persetujuan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh alat kelengkapan DPR yang membidangi keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
|
|||
|
(6)
|
Anggaran untuk kebijakan moneter, Sistem Pembayaran, dan makroprudensial sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b wajib dilaporkan secara khusus kepada DPR.
|
|||
|
|
|
|
|
|
33.
|
Pasal 61 dihapus.
|
||||
|
|
|
|
|
|
34.
|
Penjelasan Pasal 62 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
35.
|
Di antara Pasal 64 dan Pasal 65 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 64A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 64A
|
||||
|
(1)
|
Bank Indonesia berwenang melakukan pengelolaan kekayaan Bank Indonesia termasuk melakukan hapus buku dan hapus tagih terhadap aset berupa piutang dan aset lainnya.
|
|||
|
(2)
|
Pelaksanaan hapus buku dan hapus tagih terhadap aset berupa piutang dan aset lainnya dilaksanakan sesuai dengan tata kelola yang baik.
|
|||
|
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan kekayaan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Dewan Gubernur setelah dikonsultasikan dengan DPR.
|
|||
|
|
|
|
|
|
36.
|
Di antara Bab X dan Bab XI disisipkan 1 (satu) bab, yakni Bab XA sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
BAB XA
KERAHASIAAN INFORMASI |
||||
|
|
|
|
|
|
37.
|
Di antara Pasal 64A dan Pasal 65 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 64B sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 64B
|
||||
|
(1)
|
Setiap orang perseorangan yang menjabat atau pernah menjabat sebagai:
|
|||
|
|
a.
|
anggota Dewan Gubernur; atau
|
||
|
|
b.
|
pejabat atau pegawai Bank Indonesia,
|
||
|
|
dilarang menggunakan atau mengungkapkan informasi apa pun yang bersifat rahasia kepada pihak lain, kecuali dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya berdasarkan keputusan Bank Indonesia atau diwajibkan oleh Undang-Undang.
|
|||
|
(2)
|
Setiap Orang yang bertindak untuk dan atas nama Bank Indonesia atau yang dipekerjakan di Bank Indonesia, dilarang menggunakan atau mengungkapkan informasi apa pun yang bersifat rahasia kepada pihak lain, kecuali dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya berdasarkan keputusan Bank Indonesia atau diwajibkan oleh Undang-Undang.
|
|||
|
(3)
|
Setiap Orang yang mengetahui informasi yang bersifat rahasia, baik karena kedudukannya, profesinya, sebagai pihak yang diawasi, maupun hubungan apa pun dengan Bank Indonesia, dilarang menggunakan atau mengungkapkan informasi tersebut kepada pihak lain, kecuali dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya berdasarkan keputusan Bank Indonesia atau diwajibkan oleh Undang-Undang.
|
|||
|
(4)
|
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) dapat dikenai sanksi administratif dan/atau sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.
|
|||
|
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai kerahasiaan, penggunaan, dan pengungkapan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Dewan Gubernur.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
Rupiah Digital Pasal 10 |
|||||
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223) diubah sebagai berikut:
|
|||||
|
|
|
|
|
|
1.
|
Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 2
|
||||
|
(1)
|
Mata Uang Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Rupiah.
|
|||
|
(2)
|
Macam Rupiah terdiri atas Rupiah kertas, Rupiah logam, dan Rupiah digital.
|
|||
|
(3)
|
Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disimbolkan dengan Rp.
|
|||
|
|
|
|
|
|
2.
|
Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 11
|
||||
|
(1)
|
Pengelolaan Rupiah kertas dan logam meliputi tahapan:
|
|||
|
|
a.
|
Perencanaan;
|
||
|
|
b.
|
Pencetakan;
|
||
|
|
c.
|
Pengeluaran;
|
||
|
|
d.
|
Pengedaran;
|
||
|
|
e.
|
Pencabutan dan Penarikan; dan
|
||
|
|
f.
|
Pemusnahan.
|
||
|
(2)
|
Perencanaan, Pencetakan, dan Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Bank Indonesia yang berkoordinasi dengan Pemerintah.
|
|||
|
(3)
|
Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang melakukan Pengeluaran, Pengedaran, dan/atau Pencabutan dan Penarikan Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||
|
(4)
|
Dalam melaksanakan Pengedaran Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia menentukan nomor seri uang kertas.
|
|||
|
|
|
|
|
|
3.
|
Di antara Pasal 14 dan Pasal 15 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 14A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 14A
|
||||
|
(1)
|
Pengelolaan Rupiah digital sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) meliputi pada Perencanaan, penerbitan, Pengedaran, dan penatausahaan.
|
|||
|
(2)
|
Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang melakukan pengelolaan Rupiah digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||
|
(3)
|
Pengelolaan Rupiah digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan aspek:
|
|||
|
|
a.
|
penyediaan Rupiah digital sebagai alat pembayaran yang sah di Negara Kesatuan Republik Indonesia;
|
||
|
|
b.
|
efektivitas pelaksanaan tugas Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas moneter, sistem pembayaran, dan Sistem Keuangan;
|
||
|
|
c.
|
dukungan terhadap inovasi teknologi dan inklusi ekonomi dan keuangan digital;
|
||
|
|
d.
|
pengembangan ekonomi dan keuangan digital yang terintegrasi secara nasional; dan
|
||
|
|
e.
|
pemanfaatan teknologi digital yang dapat menjamin keamanan sistem data dan informasi serta pelindungan data pribadi.
|
||
|
(4)
|
Dalam melakukan Perencanaan Rupiah digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia berkoordinasi dengan Pemerintah.
|
|||
|
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penerbitan Rupiah digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bank Indonesia.
|
|||
|
|
|
|
|
|
4.
|
Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 19
|
||||
|
Bank Indonesia wajib melaporkan Pengelolaan Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 14A secara periodik setiap 3 (tiga) bulan kepada DPR.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketujuh
Pengembangan Sektor Keuangan Pasal 11 |
|||||
(1)
|
Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan melaksanakan pengembangan sektor keuangan.
|
||||
(2)
|
Dalam melaksanakan pengembangan sektor keuangan, lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan koordinasi dan dapat melibatkan kementerian/lembaga yang lain.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedelapan
Pengendalian Tindak Pidana Pencucian Uang dan/atau Tindak Pidana Pendanaan Terorisme Pasal 12 |
|||||
(1)
|
PUSK wajib mengidentifikasi, menilai, dan memahami risiko tindak pidana pencucian uang dan/atau tindak pidana pendanaan terorisme terkait dengan nasabah, negara atau area geografis, produk, jasa, transaksi, dan/atau jaringan distribusi.
|
||||
(2)
|
PUSK wajib memiliki kebijakan, pengawasan, dan prosedur pengelolaan dan mitigasi risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme.
|
||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan, pengawasan, dan prosedur pengelolaan dan mitigasi risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan atau Bank Indonesia sesuai dengan kewenangannya, dengan mengacu pada undang-undang mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB IV
PERBANKAN Bagian Kesatu Umum Pasal 13 |
|||||
Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan melalui penataan di sektor perbankan dan perbankan syariah, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
|
|||||
a.
|
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 34 72) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841); dan
|
||||
b.
|
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841).
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Perbankan Pasal 14 |
|||||
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841) diubah sebagai berikut:
|
|||||
|
|
|
|
|
|
1.
|
Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 1
|
||||
|
1.
|
Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
|
|||
|
2.
|
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau pembiayaan dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat.
|
|||
|
3.
|
Bank Umum adalah Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
|
|||
|
4.
|
Bank Perekonomian Rakyat yang selanjutnya disingkat BPR adalah Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas giral secara langsung.
|
|||
|
5.
|
Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh nasabah kepada Bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
|
|||
|
6.
|
Giro adalah Simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan pemindahbukuan.
|
|||
|
7.
|
Deposito adalah Simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan dengan Bank.
|
|||
|
8.
|
Sertifikat Deposito adalah Simpanan dalam bentuk Deposito yang sertifikat bukti penyimpanannya dapat dipindahtangankan.
|
|||
|
9.
|
Tabungan adalah Simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.
|
|||
|
10.
|
Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, saham, obligasi, sekuritas kredit, atau setiap derivatifnya, kepentingan lain, atau suatu kewajiban dari penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam Pasar Modal dan Pasar Uang.
|
|||
|
11.
|
Kredit adalah penyediaan dana atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara Bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
|
|||
|
12.
|
Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan dana atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.
|
|||
|
13.
|
Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam berdasarkan fatwa dan/atau pernyataan kesesuaian syariah yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
|
|||
|
14.
|
Penitipan adalah penyimpanan harta berdasarkan perjanjian atau kontrak antara Bank Umum dan penitip, dengan ketentuan Bank Umum yang bersangkutan tidak mempunyai hak kepemilikan atas harta tersebut.
|
|||
|
15.
|
Wali Amanat adalah kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Bank Umum untuk mewakili kepentingan pemegang Surat Berharga berdasarkan perjanjian antara Bank Umum dan emiten Surat Berharga yang bersangkutan.
|
|||
|
16.
|
Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank.
|
|||
|
17.
|
Nasabah Penyimpan adalah Nasabah yang menempatkan dananya di Bank dalam bentuk Simpanan berdasarkan perjanjian Bank dengan Nasabah yang bersangkutan.
|
|||
|
18.
|
Nasabah Debitur adalah Nasabah yang memperoleh fasilitas Kredit atau Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian Bank dengan Nasabah yang bersangkutan.
|
|||
|
19.
|
Kantor Cabang adalah kantor Bank yang secara langsung bertanggung jawab kepada kantor pusat Bank yang bersangkutan.
|
|||
|
20.
|
Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
|
|||
|
21.
|
Pihak Terafiliasi adalah:
|
|||
|
|
a.
|
komisaris atau yang setara, Dewan Pengawas Syariah, direksi atau yang setara atau kuasanya, pejabat, atau karyawan Bank;
|
||
|
|
b.
|
pihak yang memberikan jasa kepada Bank, di antaranya akuntan publik, penilai, konsultan hukum, dan konsultan lainnya;
|
||
|
|
c.
|
pihak yang mengendalikan atau dikendalikan Bank, baik langsung maupun tidak langsung; dan/atau
|
||
|
|
d.
|
pihak yang menurut penilaian Otoritas Jasa Keuangan turut serta memengaruhi pengelolaan Bank, baik langsung maupun tidak langsung, di antaranya pihak yang mempunyai hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertikal, dengan anggota dewan komisaris atau yang setara, anggota Dewan Pengawas Syariah, anggota direksi atau yang setara atau kuasanya, pejabat, atau karyawan Bank.
|
||
|
22.
|
Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan Nasabah Debitur kepada Bank dalam rangka pemberian fasilitas Kredit atau Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah.
|
|||
|
23.
|
Lembaga Penjamin Simpanan adalah Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
24.
|
Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh 1 (satu) Bank atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Bank lain yang telah ada yang mengakibatkan aset, liabilitas, dan ekuitas dari Bank yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Bank yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Bank yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.
|
|||
|
25.
|
Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh 2 (dua) Bank atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan 1 (satu) Bank baru yang karena hukum memperoleh aset, liabilitas, dan ekuitas dari Bank yang meleburkan diri dan status badan hukum Bank yang meleburkan diri berakhir karena hukum.
|
|||
|
26.
|
Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Bank yang mengakibatkan beralihnya pengendalian Bank.
|
|||
|
27.
|
Pemisahan adalah pemisahan usaha dari 1 (satu) Bank menjadi 2 (dua) badan usaha atau lebih sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
28.
|
Rahasia Bank adalah informasi yang berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanan dari Nasabah Penyimpan.
|
|||
|
29.
|
Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga negara yang independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
2.
|
Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 6
|
||||
|
(1)
|
Kegiatan usaha Bank Umum meliputi:
|
|||
|
|
a.
|
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk Simpanan berupa Tabungan, Giro, Deposito berjangka, Sertifikat Deposito, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan;
|
||
|
|
b.
|
menyalurkan dana dalam bentuk Kredit atau Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah;
|
||
|
|
c.
|
melakukan aktivitas di bidang sistem pembayaran;
|
||
|
|
d.
|
menempatkan dana pada Bank lain, meminjam dana dari Bank lain, atau meminjamkan dana kepada Bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya;
|
||
|
|
e.
|
menerbitkan dan/atau melaksanakan transaksi Surat Berharga untuk kepentingan Bank dan/atau Nasabah;
|
||
|
|
f.
|
menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan Surat Berharga;
|
||
|
|
g.
|
melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing;
|
||
|
|
h.
|
melakukan kegiatan pengalihan piutang;
|
||
|
|
i.
|
melakukan kegiatan Penitipan barang dan Surat Berharga; dan
|
||
|
|
j.
|
melakukan kegiatan lainnya dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||
|
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha Bank Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(3)
|
Kegiatan usaha Bank Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang merupakan kewenangan Bank Indonesia diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bank Indonesia.
|
|||
|
|
|
|
|
|
3.
|
Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 7
|
||||
|
(1)
|
Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Bank Umum dapat:
|
|||
|
|
a.
|
melakukan kegiatan penyertaan modal pada LJK dan/atau perusahaan lain yang mendukung industri Perbankan dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan;
|
||
|
|
b.
|
melakukan kegiatan penyertaan modal sementara di luar LJK untuk mengatasi akibat kegagalan Kredit atau Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya;
|
||
|
|
c.
|
bertindak sebagai pendiri Dana Pensiun dan pengurus Dana Pensiun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Dana Pensiun; dan/atau
|
||
|
|
d.
|
melakukan kerja sama dengan LJK lain dan kerja sama dengan selain LJK dalam pemberian layanan jasa keuangan kepada Nasabah.
|
||
|
(2)
|
Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan dan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Perbankan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
4.
|
Di antara Pasal 7 dan Pasal 8 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 7A dan Pasal 7B sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 7A
|
||||
|
(1)
|
Dalam melaksanakan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7, Bank Umum dapat memanfaatkan teknologi informasi.
|
|||
|
(2)
|
Dalam rangka mendorong pemanfaatan teknologi informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Umum dapat membuka akses data dan informasi Nasabah kepada penyelenggara keuangan lainnya termasuk penyelenggara ITSK berdasarkan persetujuan dan untuk kepentingan Nasabah melalui sistem atau aplikasi tertentu.
|
|||
|
(3)
|
Pelaksanaan pembukaan akses data dan informasi Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan teknologi informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 7B
|
||||
|
(1)
|
Dalam melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7, Bank Umum dapat beroperasi sebagai Bank digital.
|
|||
|
(2)
|
Bank Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki 1 (satu) kantor fisik sebagai kantor pusat.
|
|||
|
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai Bank digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan setelah dikonsultasikan dengan DPR.
|
|||
|
|
|
|
|
|
5.
|
Di antara Pasal 8 dan Pasal 9 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 8A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 8A
|
||||
|
(1)
|
Bank Umum wajib melakukan transparansi suku bunga untuk mendorong efisiensi penetapan suku bunga Perbankan guna mendukung pembiayaan perekonomian.
|
|||
|
(2)
|
Ketentuan mengenai transparansi suku bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan setelah dikonsultasikan dengan DPR.
|
|||
|
|
|
|
|
|
6.
|
Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 10
|
||||
|
Bank Umum dilarang:
|
||||
|
a.
|
melakukan penyertaan modal di luar LJK kecuali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b;
|
|||
|
b.
|
melakukan usaha perasuransian, kecuali memasarkan produk asuransi dalam rangka kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d; dan
|
|||
|
c.
|
melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7.
|
|||
|
|
|
|
|
|
7.
|
Ketentuan Pasal 12A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 12A
|
||||
|
(1)
|
Bank Umum dapat membeli sebagian atau seluruh Agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik Agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar pelelangan dari pemilik Agunan dalam hal Nasabah Debitur tidak memenuhi kewajiban kepada Bank, dengan ketentuan Agunan yang dibeli wajib dicairkan secepatnya.
|
|||
|
(2)
|
Dalam hal Nasabah Debitur tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu tertentu, dan tidak terdapat permasalahan terhadap kepemilikan Agunan, Bank Umum dapat membeli sebagian atau seluruh Agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan.
|
|||
|
(3)
|
Bank Umum harus memperhitungkan harga pembelian Agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dengan kewajiban Nasabah Bank Umum yang bersangkutan.
|
|||
|
(4)
|
Dalam hal harga pembelian Agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melebihi jumlah kewajiban Nasabah kepada Bank Umum, selisih kelebihan jumlah tersebut harus dikembalikan kepada Nasabah setelah dikurangi dengan biaya lelang dan biaya lain yang langsung terkait dengan proses pembelian Agunan.
|
|||
|
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembelian Agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
8.
|
Di antara Pasal 12A dan Pasal 13 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 12B sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 12B
|
||||
|
(1)
|
Bank Umum wajib menyalurkan Kredit atau Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah untuk sektor tertentu, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, pembiayaan inklusif, dan/atau pembiayaan berkelanjutan.
|
|||
|
(2)
|
Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia berkoordinasi untuk mengatur kewajiban penyaluran Kredit atau Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||
|
|
|
|
|
|
9.
|
Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 13
|
||||
|
(1)
|
Kegiatan usaha BPR meliputi:
|
|||
|
|
a.
|
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk Simpanan berupa Tabungan dan Deposito berjangka dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan;
|
||
|
|
b.
|
menyalurkan dana dalam bentuk Kredit atau Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah;
|
||
|
|
c.
|
melakukan kegiatan transfer dana baik untuk kepentingan sendiri maupun kepentingan Nasabah;
|
||
|
|
d.
|
menempatkan dana pada Bank lain, meminjam dana dari Bank lain, atau meminjamkan dana kepada Bank lain;
|
||
|
|
e.
|
melakukan kegiatan usaha penukaran valuta asing;
|
||
|
|
f.
|
melakukan penyertaan modal pada lembaga penunjang BPR sesuai dengan pembatasan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
||
|
|
g.
|
melakukan kerja sama dengan LJK lain dan kerja sama dengan selain LJK dalam pemberian layanan jasa keuangan kepada Nasabah;
|
||
|
|
h.
|
melakukan kegiatan pengalihan piutang; dan/atau
|
||
|
|
i.
|
melakukan kegiatan lainnya dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||
|
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(3)
|
Kegiatan usaha BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang merupakan kewenangan Bank Indonesia diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bank Indonesia.
|
|||
|
|
|
|
|
|
10.
|
Di antara Pasal 13 dan Pasal 14 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 13A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 13A
|
||||
|
Dalam melaksanakan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, BPR dapat memanfaatkan teknologi informasi.
|
||||
|
|
|
|
|
|
11.
|
Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 14
|
||||
|
BPR dilarang:
|
||||
|
a.
|
menerima Simpanan berupa Giro;
|
|||
|
b.
|
melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing, kecuali kegiatan usaha penukaran valuta asing;
|
|||
|
c.
|
melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf f;
|
|||
|
d.
|
membeli Surat Berharga, kecuali yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, Pemerintah, atau Pemerintah Daerah;
|
|||
|
e.
|
melakukan usaha perasuransian, kecuali memasarkan produk asuransi dalam rangka kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf g; dan
|
|||
|
f.
|
melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
|
|||
|
|
|
|
|
|
12.
|
Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 15
|
||||
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 11, dan Pasal 12A berlaku secara mutatis mutandis bagi BPR.
|
||||
|
|
|
|
|
|
13.
|
Di antara Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 15A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 15A
|
||||
|
(1)
|
Bank Umum dapat bekerja sama dengan BPR dalam penyaluran Kredit atau Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
|
|||
|
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama Bank Umum dan BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
14.
|
Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 16
|
||||
|
(1)
|
Setiap Orang yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk Simpanan wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau BPR dari Otoritas Jasa Keuangan, kecuali kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan undang-undang tersendiri.
|
|||
|
(2)
|
Untuk memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dipenuhi persyaratan minimal:
|
|||
|
|
a.
|
susunan organisasi dan kepengurusan;
|
||
|
|
b.
|
permodalan;
|
||
|
|
c.
|
kepemilikan;
|
||
|
|
d.
|
keahlian di bidang Perbankan; dan
|
||
|
|
e.
|
kelayakan rencana kerja.
|
||
|
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara perizinan Bank Umum atau BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
15.
|
Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 18
|
||||
|
(1)
|
Setiap Bank wajib memiliki kantor.
|
|||
|
(2)
|
Bank dapat melakukan kegiatan usaha melalui jaringan kantor fisik dan/atau melalui jaringan teknologi informasi.
|
|||
|
(3)
|
Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pembukaan, penutupan, dan perubahan jaringan kantor Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
16.
|
Pasal 19 dihapus.
|
||||
|
|
|
|
|
|
17.
|
Di antara Pasal 19 dan Pasal 20 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 19A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 19A
|
||||
|
(1)
|
BPR memiliki jaringan kantor dalam wilayah yang terbatas.
|
|||
|
(2)
|
Ketentuan mengenai batasan wilayah jaringan kantor BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
18.
|
Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 20
|
||||
|
(1)
|
Pembukaan Kantor Cabang atau kantor perwakilan dari Bank yang berkedudukan di luar negeri, hanya dapat dilakukan dengan izin Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(2)
|
Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pembukaan, penutupan, serta perubahan jaringan kantor dari Kantor Cabang Bank yang berkedudukan di luar negeri diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
19.
|
Di antara Pasal 20 dan Pasal 21 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 20A dan Pasal 20B sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 20A
|
||||
|
(1)
|
Bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian termasuk manajemen risiko dalam melakukan kegiatan usaha.
|
|||
|
(2)
|
Bank wajib menyusun prosedur internal mengenai pelaksanaan prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 20B
|
||||
|
(1)
|
Bank wajib menerapkan prinsip tata kelola yang baik dalam melakukan kegiatan usaha.
|
|||
|
(2)
|
Bank wajib menyusun prosedur internal mengenai pelaksanaan prinsip tata kelola yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||
|
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai prinsip tata kelola yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
20.
|
Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 21
|
||||
|
(1)
|
Bank Umum berbentuk badan hukum perseroan terbatas.
|
|||
|
(2)
|
BPR berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau koperasi.
|
|||
|
(3)
|
Bentuk badan hukum dari kantor perwakilan dan Kantor Cabang Bank yang berkedudukan di luar negeri mengikuti bentuk badan hukum kantor pusatnya.
|
|||
|
|
|
|
|
|
21.
|
Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 23
|
||||
|
(1)
|
BPR didirikan oleh:
|
|||
|
|
a.
|
warga negara Indonesia; dan/atau
|
||
|
|
b.
|
badan hukum Indonesia.
|
||
|
(2)
|
BPR dapat melakukan penawaran umum di bursa efek dengan syarat dan ketentuan yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pendirian BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
22.
|
Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 28
|
||||
|
(1)
|
Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, dan Pemisahan Bank dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
(2)
|
Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, dan Pemisahan Bank wajib mendapat izin dari Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(3)
|
Kantor Cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri dapat melakukan integrasi dengan Bank berbadan hukum Indonesia atau konversi menjadi Bank berbadan hukum Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Pemisahan, integrasi, dan konversi Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
23.
|
Di antara Pasal 28 dan Pasal 29 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 28A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 28A
|
||||
|
(1)
|
BPR dapat melakukan Penggabungan dengan lembaga keuangan mikro.
|
|||
|
(2)
|
Dalam hal terjadi Penggabungan antara BPR dengan lembaga keuangan mikro, entitas hasil Penggabungan wajib menjadi BPR.
|
|||
|
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai Penggabungan BPR dengan lembaga keuangan mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
24.
|
Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 29
|
||||
|
(1)
|
Bank wajib mematuhi peraturan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(2)
|
Bank wajib memelihara tingkat kesehatan Bank serta aspek terkait tingkat kesehatan sesuai dengan peraturan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(3)
|
Pengawasan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan terhadap Bank dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung.
|
|||
|
(4)
|
Pengawasan secara langsung terhadap Bank oleh Otoritas Jasa Keuangan dilakukan melalui pemeriksaan, baik secara berkala maupun sewaktu-waktu apabila diperlukan.
|
|||
|
(5)
|
Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan pengawasan secara langsung terhadap pihak terelasi dalam kelompok usaha Bank dan pihak lain yang menerima fasilitas penyediaan dana dari Bank.
|
|||
|
(6)
|
Bank wajib mematuhi dan/atau melaksanakan tindak lanjut pengawasan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
25.
|
Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 30
|
||||
|
(1)
|
Bank wajib menyampaikan data, informasi, keterangan, atau penjelasan mengenai usaha Bank, dan hal lain yang terkait dengan kegiatan usahanya kepada Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(2)
|
Otoritas Jasa Keuangan dapat memeriksa data, informasi, keterangan, atau penjelasan mengenai usaha Bank, dan hal lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||
|
(3)
|
Bank wajib memberikan bantuan yang diperlukan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
|||
|
(4)
|
Data, informasi, keterangan, atau penjelasan mengenai usaha Bank, dan hal lain yang disampaikan oleh Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diumumkan dan bersifat rahasia.
|
|||
|
|
|
|
|
|
26.
|
Di antara Pasal 30 dan Pasal 31 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 30A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 30A
|
||||
|
(1)
|
Bank wajib memenuhi rasio kecukupan modal minimum sesuai dengan profil risiko Bank.
|
|||
|
(2)
|
Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Umum wajib membentuk tambahan modal.
|
|||
|
(3)
|
Ketentuan mengenai rasio kecukupan modal minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ketentuan mengenai tambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(4)
|
Ketentuan mengenai rasio tambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang didasarkan pada kondisi pertumbuhan Kredit diatur dalam Peraturan Bank Indonesia.
|
|||
|
|
|
|
|
|
27.
|
Pasal 31 dihapus.
|
||||
|
|
|
|
|
|
28.
|
Ketentuan Pasal 3 lA diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 31A
|
||||
|
Otoritas Jasa Keuangan dapat menugaskan pihak lain untuk dan atas nama Otoritas Jasa Keuangan dalam melaksanakan tugas tertentu.
|
||||
|
|
|
|
|
|
29.
|
Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 33
|
||||
|
(1)
|
Hasil pengawasan secara langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (4) dituangkan dalam bentuk laporan pemeriksaan.
|
|||
|
(2)
|
Hasil penugasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31A dituangkan dalam bentuk laporan penugasan.
|
|||
|
(3)
|
Laporan pemeriksaan dan laporan penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bersifat rahasia.
|
|||
|
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pengawasan secara langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (4) dan penugasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31A diatur dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
30.
|
Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 34
|
||||
|
(1)
|
Bank wajib menyampaikan laporan keuangan dan laporan lainnya dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(2)
|
Laporan keuangan tahunan wajib diaudit oleh akuntan publik yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
31.
|
Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 35
|
||||
|
Bank wajib mengumumkan laporan keuangan dan laporan lainnya dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 36
|
||||
|
Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan pengecualian dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) bagi BPR.
|
||||
|
|
|
|
|
|
33.
|
Di antara Pasal 36 dan Pasal 37 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 36A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 36A
|
||||
|
(1)
|
Dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan, Otoritas Jasa Keuangan berwenang:
|
|||
|
|
a.
|
meminta Bank untuk mengambil dan menyerahkan data/dokumen dari setiap tempat yang terkait Bank;
|
||
|
|
b.
|
meminta Bank untuk mengambil dan menyerahkan data/dokumen dan keterangan dari setiap pihak yang menurut penilaian Otoritas Jasa Keuangan memiliki pengaruh terhadap Bank; dan
|
||
|
|
c.
|
memerintahkan Bank untuk melakukan pemblokiran rekening tertentu.
|
||
|
(2)
|
Ketentuan mengenai pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
34.
|
Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 37
|
||||
|
(1)
|
Dalam hal suatu Bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, Otoritas Jasa Keuangan berwenang:
|
|||
|
|
a.
|
membatasi kewenangan rapat umum pemegang saham atau yang dipersamakan, komisaris atau yang setara, direksi atau yang setara, dan pemegang saham atau yang setara;
|
||
|
|
b.
|
meminta dan/atau memerintahkan pemegang saham atau yang setara untuk menambah modal;
|
||
|
|
c.
|
meminta pemegang saham atau yang setara untuk mengganti anggota dewan komisaris atau yang setara, dan/atau direksi atau yang setara;
|
||
|
|
d.
|
meminta dan/atau memerintahkan Bank menghapusbukukan Kredit atau penyaluran dana yang macet dan memperhitungkan kerugian Bank dengan modalnya;
|
||
|
|
e.
|
meminta Bank melakukan Penggabungan atau Peleburan dengan Bank lain;
|
||
|
|
f.
|
meminta pemegang saham atau yang setara untuk menjual kepemilikan Bank kepada pembeli;
|
||
|
|
g.
|
meminta dan/atau memerintahkan Bank untuk menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan Bank kepada pihak lain;
|
||
|
|
h.
|
meminta dan/atau memerintahkan Bank menjual sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank kepada pihak lain;
|
||
|
|
i.
|
memerintahkan pemegang saham atau yang setara untuk memberikan pinjaman kepada Bank;
|
||
|
|
j.
|
memerintahkan pemegang saham atau yang setara untuk mendukung pelaksanaan tugas Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan saat mengatasi permasalahan Bank;
|
||
|
|
k.
|
menunjuk pengelola statuter dan memerintahkan Bank untuk mendukung pelaksanaan tugas pengelola statuter yang ditempatkan di Bank;
|
||
|
|
l.
|
memerintahkan Bank untuk tidak melakukan transaksi tertentu dengan pihak terkait dan/atau pihak lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan;
|
||
|
|
m.
|
membatasi kegiatan usaha tertentu Bank;
|
||
|
|
n.
|
memberikan perintah tertulis kepada Bank dan/atau pihak tertentu; dan/atau
|
||
|
|
o.
|
memerintahkan Bank untuk melakukan langkah lain yang dianggap perlu oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
||
|
(2)
|
Dalam hal kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dilakukan, tetapi Bank masih mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usaha serta tidak dapat disehatkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan kewenangannya, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan Bank sebagai Bank dalam resolusi dan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Bank, Lembaga Penjamin Simpanan, dan Bank Indonesia.
|
|||
|
(3)
|
Dalam rangka melaksanakan tindakan resolusi, Lembaga Penjamin Simpanan dapat mengajukan permintaan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk mencabut izin usaha Bank.
|
|||
|
(4)
|
Berdasarkan permintaan Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Otoritas Jasa Keuangan melakukan pencabutan izin usaha Bank.
|
|||
|
(5)
|
Otoritas Jasa Keuangan dapat mencabut izin usaha Bank atas permintaan Bank setelah Bank menyelesaikan seluruh kewajibannya.
|
|||
|
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencabutan izin usaha Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
35.
|
Di antara Pasal 37B dan Pasal 38 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 37C, Pasal 37D, dan Pasal 37E sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 37C
|
||||
|
(1)
|
Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengatur dan mengembangkan penyelenggaraan sistem layanan informasi keuangan.
|
|||
|
(2)
|
Informasi pada sistem layanan informasi keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola oleh Otoritas Jasa Keuangan, dan dapat diberikan dan/atau dipertukarkan kepada pihak lain dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
(3)
|
Setiap pihak yang memperoleh informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menjaga keamanan dan kerahasiaan data sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
(4)
|
Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengatur dan mengawasi lembaga pengelola informasi perkreditan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 37D
|
||||
|
(1)
|
Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan dimulainya, tidak dilakukannya, atau dihentikannya penyidikan terhadap tindak pidana Perbankan.
|
|||
|
(2)
|
Sebelum menetapkan dimulainya penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan penyelidikan terhadap dugaan tindak pidana Perbankan.
|
|||
|
(3)
|
Pada tahap penyelidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pihak yang diduga melakukan tindak pidana Perbankan dapat mengajukan permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk penyelesaian pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di sektor Perbankan.
|
|||
|
(4)
|
Otoritas Jasa Keuangan melakukan penilaian terhadap permohonan penyelesaian pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan menghitung nilai kerugian atas pelanggaran.
|
|||
|
(5)
|
Dalam melakukan penilaian terhadap permohonan penyelesaian pelanggaran dan perhitungan nilai kerugian atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Otoritas Jasa Keuangan mempertimbangkan minimal:
|
|||
|
|
a.
|
ada atau tidaknya penyelesaian atas kerugian yang timbul akibat tindak pidana;
|
||
|
|
b.
|
nilai transaksi dan/atau nilai kerugian atas pelanggaran; dan
|
||
|
|
c.
|
dampak terhadap sektor Perbankan, Bank, dan/atau kepentingan Nasabah dan/atau masyarakat.
|
||
|
(6)
|
Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menyetujui permohonan penyelesaian pelanggaran, pihak yang mengajukan permohonan penyelesaian pelanggaran wajib melaksanakan kesepakatan termasuk membayar ganti rugi.
|
|||
|
(7)
|
Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) telah dipenuhi seluruhnya oleh pihak yang mengajukan permohonan penyelesaian pelanggaran, Otoritas Jasa Keuangan menghentikan penyelidikan.
|
|||
|
(8)
|
Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) merupakan hak dari pihak yang dirugikan dan bukan merupakan pendapatan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(9)
|
Dalam hal:
|
|||
|
|
a.
|
Otoritas Jasa Keuangan tidak menyetujui permohonan penyelesaian atas pelanggaran; atau
|
||
|
|
b.
|
pihak yang mengajukan permohonan penyelesaian pelanggaran tidak memenuhi sebagian atau seluruh kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6),
|
||
|
|
Otoritas Jasa Keuangan berwenang melanjutkan ke tahap penyidikan.
|
|||
|
(10)
|
Penyidikan atas tindak pidana Perbankan hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(11)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai permohonan penyelesaian pelanggaran dan tata cara penyelesaian pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (9) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 37E
|
||||
|
(1)
|
Setiap Orang dilarang:
|
|||
|
|
a.
|
membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank;
|
||
|
|
b.
|
menghilangkan, tidak memasukkan, atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank; dan
|
||
|
|
c.
|
mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank, atau mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan, atau merusak catatan pembukuan.
|
||
|
(2)
|
Pemegang saham atau yang setara, anggota dewan komisaris atau yang setara, anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank dilarang meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang, dan/atau barang berharga, untuk keuntungan pribadi atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas Kredit dari Bank, atau dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh Bank atas surat wesel, surat promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya, atau dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas Kredit pada Bank.
|
|||
|
(3)
|
Setiap Orang dilarang memberikan suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang, dan/atau barang berharga, kepada anggota dewan komisaris atau yang setara, anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank untuk keuntungan pribadi atau untuk keuntungan keluarganya dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas Kredit dari Bank, atau dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh Bank atas surat wesel, surat promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya, ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas Kredit pada Bank.
|
|||
|
(4)
|
Bank, Pihak Terafiliasi, dan pemegang saham atau yang setara wajib melaksanakan langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
36.
|
Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 38
|
||||
|
(1)
|
Pihak utama Bank wajib mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(2)
|
Dalam rangka pemberian persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan.
|
|||
|
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penilaian kemampuan serta kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
37.
|
Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 40
|
||||
|
(1)
|
Bank dan Pihak Terafiliasi wajib merahasiakan informasi mengenai Nasabah Penyimpan dan simpanannya.
|
|||
|
(2)
|
Dalam hal Nasabah Penyimpan sekaligus sebagai Nasabah Debitur, Bank dan Pihak Terafiliasi wajib merahasiakan informasi mengenai Nasabah dalam kedudukannya sebagai Nasabah Penyimpan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
38.
|
Di antara Pasal 40 dan Pasal 41 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 40A, Pasal 40B, dan Pasal 40C sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 40A
|
||||
|
(1)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 tidak berlaku untuk:
|
|||
|
|
a.
|
kepentingan peradilan dalam perkara perdata antara Bank dan Nasabah, Nasabah dan Nasabah, dan terkait dengan Nasabah;
|
||
|
|
b.
|
kepentingan peradilan dalam perkara pidana;
|
||
|
|
c.
|
permintaan kurator yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan niaga mengenai kepailitan atau permintaan likuidator yang ditetapkan berdasarkan penetapan pengadilan dalam rangka pemberesan harta;
|
||
|
|
d.
|
permintaan, persetujuan, atau kuasa dari Nasabah Penyimpan yang dibuat secara tertulis;
|
||
|
|
e.
|
permintaan ahli waris yang sah dari Nasabah Penyimpan yang telah meninggal dunia;
|
||
|
|
f.
|
tukar menukar informasi antar-Bank;
|
||
|
|
g.
|
memenuhi bantuan timbal balik dalam masalah pidana;
|
||
|
|
h.
|
permintaan informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
||
|
|
i.
|
kepentingan instansi lain untuk tujuan penyelenggaraan negara di tingkat pusat dan kepentingan umum sesuai dengan tugas dan kewenangan dalam Undang-Undang;
|
||
|
|
j.
|
kepentingan pelaksanaan tugas di bidang moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran oleh Bank Indonesia;
|
||
|
|
k.
|
kepentingan pelaksanaan tugas di bidang penjaminan simpanan dan resolusi oleh Lembaga Penjamin Simpanan; dan
|
||
|
|
l.
|
pelaksanaan perjanjian kerja sama otoritas antarnegara yang telah ditandatangani secara resiprokal.
|
||
|
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai Rahasia Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 40B
|
||||
|
Otoritas Jasa Keuangan berwenang memberikan izin membuka Rahasia Bank:
|
||||
|
a.
|
untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40A ayat (1) huruf b; dan
|
|||
|
b.
|
untuk memenuhi bantuan timbal balik dalam masalah pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40A ayat (1) huruf g.
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 40C
|
||||
|
Setiap Orang yang mendapatkan informasi mengenai Nasabah Penyimpan dan simpanannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40A wajib menjaga kerahasiaan informasi mengenai Nasabah Penyimpan dan simpanannya.
|
||||
|
|
|
|
|
|
39.
|
Pasal 41 dihapus.
|
||||
|
|
|
|
|
|
40.
|
Ketentuan Pasal 41A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 41A
|
||||
|
(1)
|
Untuk penyelesaian piutang yang sudah diserahkan kepada panitia urusan piutang negara, Otoritas Jasa Keuangan memberikan izin kepada panitia urusan piutang negara untuk memperoleh keterangan dari Bank mengenai Simpanan Nasabah Debitur.
|
|||
|
(2)
|
Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara tertulis oleh Otoritas Jasa Keuangan atas permintaan tertulis dari ketua panitia urusan piutang negara.
|
|||
|
(3)
|
Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus menyebutkan nama dan jabatan panitia urusan piutang negara serta nama Nasabah Debitur yang bersangkutan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
41.
|
Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 42
|
||||
|
(1)
|
Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40A ayat (1) huruf b, Otoritas Jasa Keuangan berwenang memberikan izin kepada polisi, jaksa, hakim, atau penyidik lain yang diberi wewenang berdasarkan Undang-Undang untuk memperoleh informasi dari Bank mengenai Simpanan tersangka, terdakwa, terpidana, atau pihak lain yang terkait dengan tersangka, terdakwa, atau terpidana.
|
|||
|
(2)
|
Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis dari:
|
|||
|
|
a.
|
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia, atau kepala kepolisian daerah dalam hal permintaan diajukan oleh penyidik dari Kepolisian Negara Republik Indonesia;
|
||
|
|
b.
|
Jaksa Agung, Jaksa Agung Muda, atau kepala kejaksaan tinggi dalam hal permintaan diajukan oleh jaksa penyidik dan/atau penuntut umum;
|
||
|
|
c.
|
Ketua Mahkamah Agung, ketua pengadilan tinggi, atau ketua pengadilan negeri; atau
|
||
|
|
d.
|
pimpinan instansi yang diberi wewenang untuk melakukan penyidikan atau jabatan satu tingkat di bawah pimpinan instansi yang diberi wewenang untuk melakukan penyidikan.
|
||
|
(3)
|
Untuk memenuhi bantuan timbal balik dalam masalah pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40A ayat (1) huruf g, Otoritas Jasa Keuangan dapat memberikan izin kepada polisi atau jaksa untuk memperoleh informasi dari Bank berdasarkan undang-undang mengenai bantuan timbal balik dalam masalah pidana.
|
|||
|
(4)
|
Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Jaksa Agung atau pejabat yang ditunjuk di instansinya.
|
|||
|
(5)
|
Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus menyebutkan:
|
|||
|
|
a.
|
nama dan jabatan polisi atau jaksa;
|
||
|
|
b.
|
nama pihak terkait yang dimintakan; dan
|
||
|
|
c.
|
uraian bahwa permintaan bantuan berkaitan dengan suatu penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan di negara peminta dan statusnya sebagai tersangka atau saksi sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai bantuan timbal balik dalam masalah pidana.
|
||
|
|
|
|
|
|
42.
|
Ketentuan Pasal 42A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 42A
|
||||
|
Bank wajib memberikan informasi yang diminta oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42.
|
||||
|
|
|
|
|
|
43.
|
Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 43
|
||||
|
Dalam perkara perdata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40A ayat (1) huruf a, berlaku:
|
||||
|
a.
|
untuk perkara perdata antara Bank dan Nasabah, direksi Bank atau yang setara yang bersangkutan dapat menginformasikan kepada pengadilan tentang keadaan keuangan Nasabah yang bersangkutan dan memberikan keterangan lain yang relevan dengan perkara tersebut; atau
|
|||
|
b.
|
untuk perkara perdata antara Nasabah dan Nasabah, dan terkait dengan Nasabah, direksi Bank atau yang setara harus menginformasikan kepada pengadilan tentang keadaan keuangan Nasabah dan informasi lain yang relevan dengan perkara berdasarkan permintaan ketua pengadilan negeri, ketua pengadilan tinggi, atau Ketua Mahkamah Agung.
|
|||
|
|
|
|
|
|
44.
|
Di antara Pasal 43 dan Pasal 44 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 43A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 43A
|
||||
|
Atas permintaan kurator yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan niaga mengenai kepailitan atau likuidator yang ditetapkan berdasarkan penetapan pengadilan dalam rangka pemberesan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40A ayat (1) huruf c, Bank wajib memberikan informasi mengenai Simpanan Nasabah Penyimpan pada Bank yang terkait dengan pelaksanaan kepailitan atau likuidasi.
|
||||
|
|
|
|
|
|
45.
|
Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 44
|
||||
|
Dalam rangka tukar menukar informasi antar-Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40A ayat (1) huruf f, direksi Bank atau yang setara dapat memberitahukan Rahasia Bank kepada Bank lain.
|
||||
|
|
|
|
|
|
46.
|
Ketentuan Pasal 44A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 44A
|
||||
|
(1)
|
Atas permintaan, persetujuan, atau kuasa dari Nasabah Penyimpan yang dibuat secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40A ayat (1) huruf d, Bank wajib memberikan Rahasia Bank kepada pihak yang ditunjuk oleh Nasabah Penyimpan.
|
|||
|
(2)
|
Dalam hal Nasabah Penyimpan telah meninggal dunia, ahli waris yang sah dari Nasabah Penyimpan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40A ayat (1) huruf e berhak memperoleh keterangan mengenai Simpanan Nasabah Penyimpan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
47.
|
Di antara Pasal 44A dan Pasal 45 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 44B dan 44C sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 44B
|
||||
|
Dalam rangka pemenuhan pembukaan Rahasia Bank untuk tujuan penyelenggaraan negara di tingkat pusat dan kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40A ayat (1) huruf i, instansi terkait harus berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 44C
|
||||
|
(1)
|
Untuk pelaksanaan perjanjian kerja sama otoritas antarnegara yang telah ditandatangani secara resiprokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40A ayat (1) huruf 1, mitra perjanjian mengajukan permintaan informasi kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk mendapatkan informasi mengenai Nasabah Penyimpan dan simpanannya.
|
|||
|
(2)
|
Otoritas Jasa Keuangan dapat memberikan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan mempertimbangkan asas resiprokal.
|
|||
|
(3)
|
Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan memberikan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), informasi tersebut dapat digunakan oleh mitra perjanjian yang meminta informasi baik untuk kepentingan pidana, perdata, maupun administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
48.
|
Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 45
|
||||
|
(1)
|
Pihak yang merasa dirugikan akibat keterangan yang diberikan oleh Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 43A, Pasal 44, Pasal 44A, dan Pasal 44B, berhak untuk mengetahui isi keterangan tersebut dan meminta pembetulan jika terdapat kesalahan dalam keterangan yang diberikan.
|
|||
|
(2)
|
Dalam hal permintaan pembetulan oleh pihak yang merasa dirugikan akibat keterangan yang diberikan oleh Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipenuhi oleh Bank, pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan ke pengadilan yang berwenang.
|
|||
|
|
|
|
|
|
49.
|
Di antara Pasal 45 dan Pasal 46, disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 45A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 45A
|
||||
|
(1)
|
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, serta pejabat dan pegawai Otoritas Jasa Keuangan yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang ini tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
(2)
|
Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
|
|||
|
(3)
|
Dalam hal Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, serta pejabat dan pegawai Otoritas Jasa Keuangan yang melaksanakan tugas berdasarkan Undang-Undang ini menghadapi tuntutan hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenang, yang bersangkutan mendapat bantuan hukum dari lembaga yang diwakili atau yang menugaskan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
50.
|
Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 46
|
||||
|
Setiap Orang yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk Simpanan tanpa izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000.000,00 (enam ratus miliar rupiah).
|
||||
|
|
|
|
|
|
51.
|
Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 47
|
||||
|
(1)
|
Setiap Orang yang tanpa izin dari Otoritas Jasa Keuangan atau tanpa kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, dengan sengaja memaksa Bank atau Pihak Terafiliasi untuk memberikan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
|
|||
|
(2)
|
Anggota dewan komisaris atau yang setara, anggota direksi atau yang setara, pegawai Bank atau Pihak Terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
|
|||
|
|
|
|
|
|
52.
|
Ketentuan Pasal 47A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 47A
|
||||
|
Anggota dewan komisaris atau yang setara, anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42A dan Pasal 44A dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
|
||||
|
|
|
|
|
|
53.
|
Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 48
|
||||
|
Anggota dewan komisaris atau yang setara, anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan dan/atau tidak melaksanakan perintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), Pasal 30 ayat (3), Pasal 34 ayat (1), Pasal 34 ayat (2) dan/atau Pasal 36A ayat (1) huruf c dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
|
||||
|
|
|
|
|
|
54.
|
Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 49
|
||||
|
(1)
|
Anggota dewan komisaris atau yang setara, anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank yang dengan sengaja:
|
|||
|
|
a.
|
membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37E ayat (1) huruf a;
|
||
|
|
b.
|
menghilangkan, tidak memasukkan, atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37E ayat (1) huruf b; dan/atau
|
||
|
|
c.
|
mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank, atau mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan, atau merusak catatan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37E ayat (1) huruf c,
|
||
|
|
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
|
|||
|
(2)
|
Setiap Orang yang dengan sengaja menyebabkan atau turut serta melakukan perbuatan atau melakukan pembantuan perbuatan anggota dewan komisaris atau yang setara, anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan/atau huruf c dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
|
|||
|
(3)
|
Setiap Orang yang dengan sengaja:
|
|||
|
|
a.
|
membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37E ayat (1) huruf a;
|
||
|
|
b.
|
menghilangkan, tidak memasukkan, atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37E ayat (1) huruf b; dan/atau
|
||
|
|
c.
|
mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank, atau mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan, atau merusak catatan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37E ayat (1) huruf c,
|
||
|
|
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
|
|||
|
(4)
|
Pemegang saham atau yang setara, anggota dewan komisaris atau yang setara, anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank yang dengan sengaja:
|
|||
|
|
a.
|
meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang, dan/atau barang berharga, untuk keuntungan pribadi atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas Kredit dari Bank, atau dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh Bank atas surat wesel, surat promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya, ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas Kredit pada Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37E ayat (2); dan/atau
|
||
|
|
b.
|
tidak melaksanakan langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37E ayat (4),
|
||
|
|
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
|
|||
|
(5)
|
Setiap Orang yang dengan sengaja:
|
|||
|
|
a.
|
memberikan suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang, dan/atau barang berharga, kepada pemegang saham atau yang setara, anggota dewan komisaris atau yang setara, anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank untuk keuntungan pribadi atau untuk keuntungan keluarganya dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas Kredit dari Bank, atau dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh Bank atas surat wesel, surat promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya, ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas Kredit pada Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37E ayat (3); atau
|
||
|
|
b.
|
menyebabkan atau turut serta melakukan perbuatan atau melakukan pembantuan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
|
||
|
|
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
|
|||
|
|
|
|
|
|
55.
|
Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 50
|
||||
|
Pihak Terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37E ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
|
||||
|
|
|
|
|
|
56.
|
Ketentuan Pasal 50A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 50A
|
||||
|
Pemegang saham atau yang setara yang dengan sengaja menyuruh anggota dewan komisaris atau yang setara, anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan Bank tidak melaksanakan langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan ketentuan perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37E ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
|
||||
|
|
|
|
|
|
57.
|
Di antara Pasal 50A dan Pasal 51 disisipkan 3 (tiga) pasal yakni Pasal 50B, Pasal 50C, dan Pasal 50D sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 50B
|
||||
|
(1)
|
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, Pasal 47, Pasal 47A, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 50A dilakukan oleh korporasi atau badan usaha yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya, pidana dijatuhkan terhadap korporasi atau badan usaha yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya dan/atau anggota direksi atau yang dipersamakan, anggota dewan komisaris atau yang dipersamakan, PSP atau yang dipersamakan, dan/atau pihak lain.
|
|||
|
(2)
|
Pidana dijatuhkan terhadap korporasi atau badan usaha yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya dalam hal tindak pidana:
|
|||
|
|
a.
|
dilakukan atau diperintahkan oleh anggota direksi atau yang dipersamakan, anggota dewan komisaris atau yang dipersamakan, PSP atau yang dipersamakan, dan/atau pihak lain;
|
||
|
|
b.
|
dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lain;
|
||
|
|
c.
|
dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan
|
||
|
|
d.
|
dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi atau badan usaha yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lain.
|
||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 50C
|
||||
|
(1)
|
Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap korporasi atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya merupakan pidana denda dengan ketentuan untuk:
|
|||
|
|
a.
|
Bank Umum paling sedikit sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000.000,00 (enam ratus miliar rupiah);
|
||
|
|
b.
|
BPR paling sedikit sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah); atau
|
||
|
|
c.
|
korporasi atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lain selain yang dimaksud dalam huruf a dan huruf b paling sedikit sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000.000,00 (enam ratus miliar rupiah).
|
||
|
(2)
|
Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap korporasi atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
|
|||
|
|
a.
|
pengumuman putusan hakim; dan/atau
|
||
|
|
b.
|
pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha korporasi atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya, setelah mendapatkan pertimbangan dari Otoritas Jasa Keuangan.
|
||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 50D
|
||||
|
(1)
|
Selain dijatuhi pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, Pasal 47, Pasal 47A, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 50A, Pasal 50B, dan Pasal 50C terpidana dapat dijatuhi pidana tambahan berupa penggantian kerugian apabila tindak pidana mengakibatkan kerugian.
|
|||
|
(2)
|
Pidana tambahan berupa penggantian kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembalikan kepada pihak yang dirugikan sejumlah kerugian yang diderita atau secara proporsional dalam hal jumlah penggantian kerugian tidak mencukupi jumlah total kerugian yang ditimbulkan.
|
|||
|
(3)
|
Dalam melaksanakan putusan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terpidana diberikan jangka waktu selama 1 (satu) bulan sejak putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
|
|||
|
(4)
|
Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
|
|||
|
(5)
|
Dalam hal terpidana tidak membayar pidana denda dan pidana tambahan berupa penggantian kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harta benda terpidana disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi denda dan ganti kerugian tersebut.
|
|||
|
(6)
|
Dalam hal penyitaan dan pelelangan harta benda sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak cukup atau tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, pidana tambahan berupa penggantian kerugian yang tidak dibayar diganti dengan pidana penjara sebagaimana diancamkan untuk tindak pidana yang bersangkutan.
|
|||
|
(7)
|
Pidana tambahan berupa penggantian kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan lamanya pidana penjara sebagaimana dimaksud pada ayat (6) yang ditentukan oleh hakim dicantumkan dalam amar putusan pengadilan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
58.
|
Pasal 51 dihapus.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Perbankan Syariah Pasal 15 |
|||||
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841) diubah sebagai berikut:
|
|||||
|
|
|
|
|
|
1.
|
Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 1
|
||||
|
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||
|
1.
|
Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank syariah dan unit usaha syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usaha.
|
|||
|
2.
|
Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau pembiayaan dan/atau bentuk lain dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat.
|
|||
|
3.
|
Bank Indonesia adalah Bank Sentral Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
|
|||
|
4.
|
Bank Konvensional adalah Bank yang menjalankan kegiatan usaha secara konvensional dan berdasarkan jenisnya terdiri atas bank umum konvensional dan bank perekonomian rakyat.
|
|||
|
5.
|
Bank Umum Konvensional adalah jenis dari Bank Konvensional yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
|
|||
|
6.
|
Bank Perekonomian Rakyat yang selanjutnya disingkat BPR adalah jenis Bank Konvensional yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas giral secara langsung.
|
|||
|
7.
|
Bank Syariah adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan investasi dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan dan/atau bentuk lain berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas bank umum syariah dan bank perekonomian rakyat syariah.
|
|||
|
8.
|
Bank Umum Syariah adalah jenis Bank Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
|
|||
|
9.
|
Bank Perekonomian Rakyat Syariah yang selanjutnya disebut BPR Syariah adalah jenis Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas giral secara langsung.
|
|||
|
10.
|
Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah.
|
|||
|
11.
|
Kantor Cabang adalah kantor cabang Bank Syariah yang bertanggung jawab kepada kantor pusat Bank yang bersangkutan.
|
|||
|
12.
|
Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam berdasarkan fatwa dan/atau pernyataan kesesuaian syariah yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
|
|||
|
13.
|
Akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau UUS dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan Prinsip Syariah.
|
|||
|
14.
|
Rahasia Bank adalah informasi yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanan dari nasabah penyimpan serta nasabah investor dan investasi dari nasabah investor.
|
|||
|
15.
|
Pihak Terafiliasi adalah:
|
|||
|
|
a.
|
komisaris atau yang setara, Dewan Pengawas Syariah, direksi atau yang setara atau kuasanya, pejabat, atau karyawan Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS;
|
||
|
|
b.
|
pihak yang memberikan jasa kepada Bank Syariah atau UUS, di antaranya akuntan publik, penilai, konsultan hukum, dan konsultan lainnya;
|
||
|
|
c.
|
pihak yang mengendalikan atau dikendalikan Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, baik langsung maupun tidak langsung; dan/atau
|
||
|
|
d.
|
pihak yang menurut penilaian Otoritas Jasa Keuangan turut serta memengaruhi pengelolaan Bank Syariah atau UUS, baik langsung maupun tidak langsung, di antaranya pihak yang mempunyai hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertikal, dengan komisaris atau yang setara, Dewan Pengawas Syariah, anggota direksi atau yang setara atau kuasanya, pejabat, atau karyawan Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS.
|
||
|
16.
|
Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank Syariah dan/atau UUS.
|
|||
|
17.
|
Nasabah Penyimpan adalah Nasabah yang menempatkan dananya di Bank Syariah dan/atau UUS dalam bentuk simpanan berdasarkan Akad antara Bank Syariah atau UUS dan Nasabah yang bersangkutan.
|
|||
|
18.
|
Nasabah Investor adalah Nasabah yang menempatkan dananya di Bank Syariah dan/atau UUS dalam bentuk investasi berdasarkan Akad antara Bank Syariah atau UUS dan Nasabah yang bersangkutan.
|
|||
|
19.
|
Nasabah Penerima Fasilitas adalah Nasabah yang memperoleh fasilitas dana atau yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan Prinsip Syariah.
|
|||
|
20.
|
Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh Nasabah kepada Bank Syariah dan/atau UUS berdasarkan Akad yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dalam bentuk giro, tabungan, deposito, sertifikat deposito, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
|
|||
|
21.
|
Tabungan adalah Simpanan berdasarkan Akad wadi'ah, Akad mudharabah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat dan ketentuan tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.
|
|||
|
22.
|
Deposito adalah Simpanan berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan Akad antara Nasabah Penyimpan dan Bank Syariah dan/atau UUS.
|
|||
|
23.
|
Sertifikat Deposito adalah Simpanan dalam bentuk Deposito berdasarkan Prinsip Syariah yang sertifikat bukti penyimpanannya dapat dipindahtangankan.
|
|||
|
24.
|
Giro adalah Simpanan berdasarkan Akad wadi'ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan perintah pemindahbukuan.
|
|||
|
25.
|
Investasi adalah dana yang dipercayakan oleh Nasabah kepada Bank Syariah dan/atau UUS berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang risikonya ditanggung oleh Nasabah Investor.
|
|||
|
26.
|
Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil, yang meliputi transaksi bagi hasil, transaksi sewa-menyewa, transaksi jual beli, transaksi pinjam meminjam, dan transaksi sewa menyewa jasa sesuai dengan Prinsip Syariah.
|
|||
|
27.
|
Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan Nasabah Penerima Fasilitas kepada Bank Syariah dan/atau UUS dalam rangka pemberian fasilitas Pembiayaan.
|
|||
|
28.
|
Penitipan adalah penyimpanan harta berdasarkan Akad antara Bank Umum Syariah atau UUS dan penitip, dengan ketentuan Bank Umum Syariah atau UUS yang bersangkutan tidak mempunyai hak kepemilikan atas harta tersebut.
|
|||
|
29.
|
Wali Amanat adalah Bank Umum Syariah yang mewakili kepentingan pemegang surat berharga berdasarkan Akad wakalah antara Bank Umum Syariah yang bersangkutan dan pemegang surat berharga tersebut.
|
|||
|
30.
|
Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh 1 (satu) Bank Syariah atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Bank Syariah lain yang telah ada yang mengakibatkan aset, liabilitas, dan ekuitas dari Bank Syariah yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Bank Syariah yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Bank Syariah yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.
|
|||
|
31.
|
Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh 2 (dua) Bank Syariah atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan 1 (satu) Bank Syariah baru yang karena hukum memperoleh aset, liabilitas, dan ekuitas dari Bank Syariah yang meleburkan diri dan status badan hukum Bank Syariah yang meleburkan diri berakhir karena hukum.
|
|||
|
32.
|
Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Bank Syariah yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Bank Syariah.
|
|||
|
33.
|
Pemisahan adalah pemisahan usaha dari 1 (satu) Bank Syariah menjadi 2 (dua) badan usaha atau lebih, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
34.
|
Integrasi adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh Kantor Cabang dari Bank Syariah yang berkedudukan di luar negeri dan Bank Syariah, dengan mengalihkan aset dan/atau liabilitas Kantor Cabang dari Bank Syariah yang berkedudukan di luar negeri secara hukum kepada Bank Syariah, dan selanjutnya dilakukan pencabutan izin usaha Kantor Cabang dari Bank Syariah yang berkedudukan di luar negeri.
|
|||
|
35.
|
Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga negara yang independen, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
36.
|
Lembaga Penjamin Simpanan adalah Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
37.
|
Hak Manfaat adalah hak untuk memiliki dan mendapatkan hak penuh atas pemanfaatan suatu aset tanpa perlu dilakukan pendaftaran atas kepemilikan dan hak tersebut.
|
|||
|
|
|
|
|
|
2.
|
Di antara Pasal 2 dan Pasal 3 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 2A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 2A
|
||||
|
(1)
|
Penggunaan aset dalam transaksi atau sebagai bagian struktur produk dan/atau jasa Perbankan Syariah dapat dilakukan dengan cara menjual dan/atau menyewakan Hak Manfaat atas aset atau barang.
|
|||
|
(2)
|
Penjualan dan/atau penyewaan Hak Manfaat atas aset atau barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari peraturan perundang undangan yang mewajibkan pendaftaran atas kepemilikan suatu aset atau barang sebagai dasar legalitas kepemilikan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
3.
|
Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 4
|
||||
|
(1)
|
Bank Syariah dan UUS wajib menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat.
|
|||
|
(2)
|
Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitulmal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat.
|
|||
|
(3)
|
Bank Syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menjadi pengelola wakaf/nazir dan/atau menyalurkannya melalui pengelola wakaf/nazir sesuai dengan kehendak pemberi wakaf/wakif.
|
|||
|
(4)
|
Ketentuan pelaksanaan fungsi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan penghimpunan dana sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
4.
|
Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 5
|
||||
|
(1)
|
Setiap pihak yang melakukan kegiatan usaha Bank Syariah atau UUS wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Syariah atau UUS dari Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(2)
|
Untuk memperoleh izin usaha sebagai Bank Syariah harus memenuhi persyaratan minimal:
|
|||
|
|
a.
|
susunan organisasi dan kepengurusan;
|
||
|
|
b.
|
permodalan;
|
||
|
|
c.
|
kepemilikan;
|
||
|
|
d.
|
keahlian di bidang Perbankan Syariah; dan
|
||
|
|
e.
|
kelayakan usaha.
|
||
|
(3)
|
Bank Syariah yang telah mendapat izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan dengan jelas kata "syariah" pada penulisan nama Banknya.
|
|||
|
(4)
|
Bank Umum Konvensional yang telah mendapat izin usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan dengan jelas frasa "Unit Usaha Syariah" setelah nama Bank pada kantor UUS yang bersangkutan.
|
|||
|
(5)
|
Bank Konvensional hanya dapat mengubah kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dengan izin Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(6)
|
Bank Umum Syariah tidak dapat diubah kegiatan usahanya menjadi Bank Umum Konvensional.
|
|||
|
(7)
|
BPR Syariah tidak dapat diubah kegiatan usahanya menjadi BPR.
|
|||
|
(8)
|
Bank Umum Konvensional yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah wajib membuka UUS di kantor pusat Bank dengan izin Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(9)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai izin usaha Bank Syariah dan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
5.
|
Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 6
|
||||
|
(1)
|
Setiap Bank Syariah dan UUS wajib memiliki kantor.
|
|||
|
(2)
|
Bank Syariah dan UUS dapat melakukan kegiatan usaha melalui jaringan kantor fisik dan/atau melalui jaringan teknologi informasi.
|
|||
|
(3)
|
Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pembukaan, penutupan, dan perubahan jaringan kantor Bank Syariah dan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
6.
|
Di antara Pasal 6 dan Pasal 7 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 6A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 6A
|
||||
|
(1)
|
BPR Syariah memiliki jaringan kantor dalam wilayah yang terbatas.
|
|||
|
(2)
|
Ketentuan mengenai batasan wilayah jaringan kantor BPR Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
7.
|
Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 7
|
||||
|
(1)
|
Bank Umum Syariah berbentuk badan hukum perseroan terbatas.
|
|||
|
(2)
|
BPR Syariah berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau koperasi.
|
|||
|
|
|
|
|
|
8.
|
Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 13
|
||||
|
Bank Syariah dapat melakukan penawaran umum efek melalui Pasar Modal sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan ketentuan peraturan perundang undangan di bidang Pasar Modal.
|
||||
|
|
|
|
|
|
9.
|
Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 17
|
||||
|
(1)
|
Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Bank Syariah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
(2)
|
Kantor Cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri dapat melakukan Integrasi menjadi Bank Umum Syariah dengan badan hukum Indonesia.
|
|||
|
(3)
|
Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Integrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(4)
|
Dalam hal terjadi Penggabungan atau Peleburan Bank Syariah dengan Bank lainnya, Bank hasil Penggabungan atau Peleburan tersebut wajib menjadi Bank Syariah.
|
|||
|
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Integrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
10.
|
Di antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 17A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 17A
|
||||
|
(1)
|
BPR Syariah dapat melakukan Penggabungan dengan lembaga keuangan mikro.
|
|||
|
(2)
|
Dalam hal terjadi Penggabungan antara BPR Syariah dan lembaga keuangan mikro, Bank hasil Penggabungan wajib menjadi BPR Syariah.
|
|||
|
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai Penggabungan antara BPR Syariah dan lembaga keuangan mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
11.
|
Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 19
|
||||
|
(1)
|
Kegiatan usaha Bank Umum Syariah meliputi:
|
|||
|
|
a.
|
menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, Deposito, Sertifikat Deposito, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
|
||
|
|
b.
|
menghimpun dana dalam bentuk Investasi berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
|
||
|
|
c.
|
menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad musyarakah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
|
||
|
|
d.
|
menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad istishna', atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
|
||
|
|
e.
|
menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
|
||
|
|
f.
|
menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
|
||
|
|
g.
|
melakukan Pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
|
||
|
|
h.
|
melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;
|
||
|
|
i.
|
membeli, menjual, atau menjarnin atas risiko sendiri surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, seperti Akad ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah;
|
||
|
|
j.
|
membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh Pemerintah dan/atau Bank Indonesia;
|
||
|
|
k.
|
menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antarpihak ketiga berdasarkan Prinsip Syariah;
|
||
|
|
l.
|
melakukan Penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu Akad berdasarkan Prinsip Syariah;
|
||
|
|
m.
|
menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah;
|
||
|
|
n.
|
melakukan aktivitas di bidang sistem pembayaran;
|
||
|
|
o.
|
melakukan fungsi sebagai Wali Amanat berdasarkan Akad wakalah;
|
||
|
|
p.
|
memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip Syariah;
|
||
|
|
q.
|
melakukan kegiatan pengalihan piutang; dan
|
||
|
|
r.
|
melakukan kegiatan lain di bidang Perbankan Syariah dan/atau di bidang sosial dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
|
(2)
|
Kegiatan usaha UUS meliputi:
|
|||
|
|
a.
|
menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, Deposito, Sertifikat Deposito, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
|
||
|
|
b.
|
menghimpun dana dalam bentuk Investasi berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
|
||
|
|
c.
|
menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad musyarakah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
|
||
|
|
d.
|
menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad istishna', atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
|
||
|
|
e.
|
menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
|
||
|
|
f.
|
menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
|
||
|
|
g.
|
melakukan Pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
|
||
|
|
h.
|
melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;
|
||
|
|
i.
|
membeli dan menjual surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, seperti Akad ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah;
|
||
|
|
j.
|
membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh Pemerintah dan/atau Bank Indonesia;
|
||
|
|
k.
|
menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antarpihak ketiga berdasarkan Prinsip Syariah;
|
||
|
|
l.
|
menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah;
|
||
|
|
m.
|
melakukan aktivitas di bidang sistem pembayaran;
|
||
|
|
n.
|
memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip Syariah; dan
|
||
|
|
o.
|
melakukan kegiatan lain di bidang Perbankan Syariah dan/atau di bidang sosial dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
|
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan kegiatan usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(4)
|
Kegiatan usaha Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang merupakan kewenangan Bank Indonesia diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bank Indonesia.
|
|||
|
|
|
|
|
|
12.
|
Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 20
|
||||
|
(1)
|
Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), Bank Umum Syariah dapat:
|
|||
|
|
a.
|
melakukan kegiatan valuta asing berdasarkan Prinsip Syariah;
|
||
|
|
b.
|
melakukan kegiatan penyertaan modal pada Bank Umum Syariah atau LJK yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah;
|
||
|
|
c.
|
melakukan kegiatan penyertaan modal pada lembaga nonkeuangan yang mendukung industri Perbankan Syariah yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan;
|
||
|
|
d.
|
melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya;
|
||
|
|
e.
|
bertindak sebagai pendiri dan pengurus Dana Pensiun berdasarkan Prinsip Syariah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan mengenai Dana Pensiun;
|
||
|
|
f.
|
melakukan kegiatan dalam Pasar Modal sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pasar Modal;
|
||
|
|
g.
|
menyelenggarakan kegiatan atau produk Bank yang berdasarkan Prinsip Syariah dengan menggunakan sarana elektronik;
|
||
|
|
h.
|
menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui Pasar Uang;
|
||
|
|
i.
|
menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka panjang berdasarkan Prinsip Syariah, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui Pasar Modal;
|
||
|
|
j.
|
melakukan kerja sama dengan LJK lain dan kerja sama dengan selain LJK dalam pemberian layanan jasa keuangan kepada Nasabah; dan
|
||
|
|
k.
|
menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Umum Syariah lainnya berdasarkan Prinsip Syariah.
|
||
|
(2)
|
Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2), UUS dapat:
|
|||
|
|
a.
|
melakukan kegiatan valuta asing berdasarkan Prinsip Syariah;
|
||
|
|
b.
|
melakukan kegiatan dalam Pasar Modal sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pasar Modal;
|
||
|
|
c.
|
melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya;
|
||
|
|
d.
|
menyelenggarakan kegiatan atau produk Bank yang berdasarkan Prinsip Syariah dengan menggunakan sarana elektronik;
|
||
|
|
e.
|
menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah baik secara langsung maupun tidak langsung melalui Pasar Uang;
|
||
|
|
f.
|
melakukan kerja sama dengan LJK lain dan kerja sama dengan selain LJK dalam pemberian layanan jasa keuangan kepada Nasabah; dan
|
||
|
|
g.
|
menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha UUS lainnya berdasarkan Prinsip Syariah.
|
||
|
(3)
|
Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan serta ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
13.
|
Di antara Pasal 20 dan Pasal 21 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 20A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 20A
|
||||
|
(1)
|
Dalam melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 20, Bank Umum Syariah dapat beroperasi sebagai Bank digital.
|
|||
|
(2)
|
Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki 1 (satu) kantor fisik sebagai kantor pusat.
|
|||
|
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai Bank digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan setelah dikonsultasikan dengan DPR.
|
|||
|
|
|
|
|
|
14.
|
Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 21
|
||||
|
(1)
|
Kegiatan usaha BPR Syariah meliputi:
|
|||
|
|
a.
|
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk:
|
||
|
|
|
1.
|
Simpanan berupa Tabungan, Deposito, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; dan
|
|
|
|
|
2.
|
Investasi berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
|
|
|
|
b.
|
menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk:
|
||
|
|
|
1.
|
Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah atau musyarakah;
|
|
|
|
|
2.
|
Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, salam, atau istishna;
|
|
|
|
|
3.
|
Pembiayaan berdasarkan Akad qardh;
|
|
|
|
|
4.
|
Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik; dan
|
|
|
|
|
5.
|
pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah;
|
|
|
|
c.
|
menempatkan dana dan menerima penempatan dana dari Bank Syariah lain dalam bentuk titipan berdasarkan Akad wadi'ah atau Investasi berdasarkan Akad mudharabah dan/atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
|
||
|
|
d.
|
melakukan kegiatan transfer dana baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah;
|
||
|
|
e.
|
melakukan kegiatan pengalihan piutang; dan/atau
|
||
|
|
f.
|
menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Syariah lainnya yang sesuai dengan Prinsip Syariah berdasarkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||
|
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha BPR Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(3)
|
Kegiatan usaha BPR Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang merupakan kewenangan Bank Indonesia diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bank Indonesia.
|
|||
|
|
|
|
|
|
15.
|
Di antara Pasal 21 dan Pasal 22 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 21A, Pasal 21B, dan Pasal 21C sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 21A
|
||||
|
Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, BPR Syariah dapat:
|
||||
|
a.
|
melakukan kerja sama dengan LJK lain serta kerja sama dengan selain LJK dalam pemberian layanan jasa keuangan kepada Nasabah;
|
|||
|
b.
|
melakukan kegiatan usaha penukaran valuta asing; dan
|
|||
|
c.
|
melakukan penyertaan modal pada lembaga penunjang BPR Syariah sesuai dengan pembatasan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 21B
|
||||
|
(1)
|
Dalam melaksanakan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 21A, Bank Syariah dan UUS dapat memanfaatkan teknologi informasi.
|
|||
|
(2)
|
Dalam rangka mendorong pemanfaatan teknologi informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Syariah dan UUS dapat membuka akses data dan informasi Nasabah kepada penyelenggara keuangan lainnya termasuk penyelenggara ITSK berdasarkan persetujuan dan untuk kepentingan Nasabah melalui sistem atau aplikasi tertentu.
|
|||
|
(3)
|
Pelaksanaan pembukaan akses data dan informasi Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan teknologi informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 21C
|
||||
|
(1)
|
Bank Umum Syariah dan UUS wajib menyalurkan Pembiayaan untuk sektor tertentu, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, pembiayaan inklusif, dan/atau pembiayaan berkelanjutan.
|
|||
|
(2)
|
Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia berkoordinasi untuk mengatur kewajiban penyaluran Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||
|
|
|
|
|
|
16.
|
Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 24
|
||||
|
(1)
|
Bank Umum Syariah dilarang:
|
|||
|
|
a.
|
melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah;
|
||
|
|
b.
|
melakukan kegiatan jual beli saham secara langsung di Pasar Modal;
|
||
|
|
c.
|
melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf d;
|
||
|
|
d.
|
melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali memasarkan produk asuransi dalam rangka kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf j; dan
|
||
|
|
e.
|
melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1).
|
||
|
(2)
|
UUS dilarang:
|
|||
|
|
a.
|
melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah;
|
||
|
|
b.
|
melakukan kegiatan jual beli saham secara langsung di Pasar Modal;
|
||
|
|
c.
|
melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf c;
|
||
|
|
d.
|
melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali memasarkan produk asuransi dalam rangka kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf f; dan
|
||
|
|
e.
|
melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dan Pasal 20 ayat (2).
|
||
|
|
|
|
|
|
17.
|
Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 25
|
||||
|
BPR Syariah dilarang:
|
||||
|
a.
|
melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah;
|
|||
|
b.
|
menerima Simpanan berupa Giro;
|
|||
|
c.
|
melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing, kecuali kegiatan usaha penukaran valuta asing;
|
|||
|
d.
|
melakukan kegiatan usaha Perasuransian, kecuali memasarkan produk asuransi dalam rangka kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21A huruf a;
|
|||
|
e.
|
melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21A huruf c;
|
|||
|
f.
|
membeli surat berharga, kecuali yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, Pemerintah, atau Pemerintah Daerah; dan
|
|||
|
g.
|
melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 21A.
|
|||
|
|
|
|
|
|
18.
|
Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 26
|
||||
|
(1)
|
Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 21A dan/atau produk dan jasa syariah wajib tunduk kepada Prinsip Syariah.
|
|||
|
(2)
|
Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
|
|||
|
(3)
|
Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditindaklanjuti oleh otoritas terkait dengan membentuk peraturan untuk mengatur kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||
|
(4)
|
Penyusunan peraturan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dikoordinasikan oleh otoritas terkait dengan lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
|
|||
|
(5)
|
Dalam rangka penyusunan peraturan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), otoritas terkait dapat membentuk komite perbankan syariah, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dalam peraturan masing-masing otoritas.
|
|||
|
|
|
|
|
|
19.
|
Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 27
|
||||
|
(1)
|
Pihak utama wajib mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(2)
|
Dalam rangka pemberian persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan.
|
|||
|
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penilaian kemampuan serta kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
20.
|
Pasal 28 dihapus.
|
||||
|
|
|
|
|
|
21.
|
Pasal 29 dihapus.
|
||||
|
|
|
|
|
|
22.
|
Pasal 30 dihapus.
|
||||
|
|
|
|
|
|
23.
|
Pasal 31 dihapus.
|
||||
|
|
|
|
|
|
24.
|
Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 34
|
||||
|
(1)
|
Bank Syariah dan UUS wajib menerapkan prinsip tata kelola yang baik dalam melakukan kegiatan usaha.
|
|||
|
(2)
|
Bank Syariah dan UUS wajib menyusun prosedur internal mengenai pelaksanaan prinsip tata kelola yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||
|
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai prinsip tata kelola yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
25.
|
Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 35
|
||||
|
(1)
|
Bank Syariah dan UUS dalam melakukan kegiatan usaha wajib menerapkan prinsip kehati-hatian.
|
|||
|
(2)
|
Bank Syariah dan UUS wajib menyampaikan laporan keuangan dan laporan lainnya dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(3)
|
Laporan keuangan tahunan wajib diaudit oleh akuntan publik yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(4)
|
Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan pengecualian terhadap kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bagi BPR Syariah.
|
|||
|
(5)
|
Bank Syariah dan UUS wajib mengumumkan laporan keuangan dan laporan lainnya dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
26.
|
Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 38
|
||||
|
(1)
|
Bank Syariah dan UUS wajib menerapkan manajemen risiko dan prinsip mengenal Nasabah.
|
|||
|
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban Bank Syariah dan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
27.
|
Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 40
|
||||
|
(1)
|
Bank Syariah dan UUS dapat membeli sebagian atau seluruh Agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik Agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar pelelangan dari pemilik Agunan dalam hal Nasabah Penerima Fasilitas tidak memenuhi kewajiban kepada Bank, dengan ketentuan Agunan yang dibeli wajib dicairkan secepatnya.
|
|||
|
(2)
|
Dalam hal Nasabah Penerima Fasilitas tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu tertentu, dan tidak terdapat permasalahan terhadap kepemilikan Agunan, Bank Syariah dan UUS dapat membeli sebagian atau seluruh Agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan.
|
|||
|
(3)
|
Bank Syariah dan UUS harus memperhitungkan harga pembelian Agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dengan kewajiban Nasabah Bank Syariah dan UUS yang bersangkutan.
|
|||
|
(4)
|
Dalam hal harga pembelian Agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melebihi jumlah kewajiban Nasabah kepada Bank Syariah dan UUS, selisih kelebihan jumlah tersebut harus dikembalikan kepada Nasabah setelah dikurangi dengan biaya lelang dan biaya lain yang langsung terkait dengan proses pembelian Agunan.
|
|||
|
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembelian Agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
28.
|
Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 41
|
||||
|
(1)
|
Bank Syariah dan UUS serta Pihak Terafiliasi wajib merahasiakan informasi mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya serta Nasabah Investor dan Investasinya.
|
|||
|
(2)
|
Dalam hal Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor sekaligus sebagai Nasabah Penerima Fasilitas, Bank Syariah dan UUS serta Pihak Terafiliasi wajib merahasiakan informasi mengenai Nasabah dalam kedudukannya sebagai Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor.
|
|||
|
|
|
|
|
|
29.
|
Di antara Pasal 41 dan Pasal 42 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 41A, Pasal 41B, dan Pasal 41C sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 41A
|
||||
|
(1)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 tidak berlaku untuk:
|
|||
|
|
a.
|
kepentingan peradilan dalam perkara perdata Bank Syariah dan UUS dengan Nasabah, Nasabah dengan Nasabah, dan terkait dengan Nasabah;
|
||
|
|
b.
|
kepentingan peradilan dalam perkara pidana;
|
||
|
|
c.
|
permintaan kurator yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan niaga mengenai kepailitan atau permintaan likuidator yang ditetapkan berdasarkan penetapan pengadilan dalam rangka pemberesan harta;
|
||
|
|
d.
|
permintaan, persetujuan atau kuasa dari Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor yang dibuat secara tertulis;
|
||
|
|
e.
|
permintaan ahli waris yang sah dari Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor yang telah meninggal dunia;
|
||
|
|
f.
|
tukar menukar informasi antar-Bank;
|
||
|
|
g.
|
memenuhi bantuan timbal balik dalam masalah pidana;
|
||
|
|
h.
|
permintaan informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
||
|
|
i.
|
kepentingan instansi lain untuk tujuan penyelenggaraan negara di tingkat pusat dan kepentingan umum sesuai dengan tugas dan kewenangan dalam Undang-Undang;
|
||
|
|
j.
|
kepentingan pelaksanaan tugas di bidang moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran oleh Bank Indonesia;
|
||
|
|
k.
|
kepentingan pelaksanaan tugas di bidang penjaminan simpanan dan resolusi oleh Lembaga Penjamin Simpanan; dan/atau
|
||
|
|
l.
|
pelaksanaan perjanjian kerja sama otoritas antarnegara yang telah ditandatangani secara resiprokal.
|
||
|
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai Rahasia Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 41B
|
||||
|
Otoritas Jasa Keuangan berwenang memberikan izin membuka Rahasia Bank:
|
||||
|
a.
|
untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A ayat (1) huruf b; dan
|
|||
|
b.
|
untuk memenuhi bantuan timbal balik dalam masalah pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A ayat (1) huruf g.
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 41C
|
||||
|
Setiap Orang yang mendapatkan informasi mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya serta Nasabah Investor dan Investasinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A wajib menjaga kerahasiaan informasi mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya serta informasi mengenai Nasabah Investor dan Investasinya.
|
||||
|
|
|
|
|
|
30.
|
Pasal 42 dihapus.
|
||||
|
|
|
|
|
|
31.
|
Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 43
|
||||
|
(1)
|
Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A ayat (1) huruf b, Otoritas Jasa Keuangan berwenang memberikan izin kepada polisi, jaksa, hakim, atau penyidik lain yang diberi wewenang berdasarkan Undang-Undang untuk memperoleh informasi dari Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS mengenai Simpanan atau Investasi tersangka, terdakwa, terpidana, atau pihak lain yang terkait dengan tersangka, terdakwa, atau terpidana.
|
|||
|
(2)
|
Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis dari:
|
|||
|
|
a.
|
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia, atau kepala kepolisian daerah dalam hal permintaan diajukan oleh penyidik dari Kepolisian Negara Republik Indonesia;
|
||
|
|
b.
|
Jaksa Agung, Jaksa Agung Muda, atau kepala kejaksaan tinggi dalam hal permintaan diajukan oleh jaksa penyidik dan/atau penuntut umum;
|
||
|
|
c.
|
Ketua Mahkamah Agung, ketua pengadilan tinggi, atau ketua pengadilan negeri; atau
|
||
|
|
d.
|
pimpinan instansi yang diberi wewenang untuk melakukan penyidikan atau jabatan satu tingkat di bawah pimpinan instansi yang diberi wewenang untuk melakukan penyidikan.
|
||
|
(3)
|
Untuk memenuhi bantuan timbal balik dalam masalah pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A ayat (1) huruf g, Otoritas Jasa Keuangan dapat memberikan izin kepada polisi atau jaksa untuk memperoleh informasi dari Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS berdasarkan undang-undang mengenai bantuan timbal balik dalam masalah pidana.
|
|||
|
(4)
|
Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Jaksa Agung atau pejabat yang ditunjuk di instansinya.
|
|||
|
(5)
|
Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus menyebutkan:
|
|||
|
|
a.
|
nama dan jabatan polisi atau jaksa;
|
||
|
|
b.
|
nama pihak terkait yang dimintakan; dan
|
||
|
|
c.
|
uraian bahwa permintaan bantuan berkaitan dengan suatu penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan di negara peminta dan statusnya sebagai tersangka atau saksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai bantuan timbal balik dalam masalah pidana.
|
||
|
|
|
|
|
|
32.
|
Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 44
|
||||
|
Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS wajib memberikan informasi yang diminta oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43.
|
||||
|
|
|
|
|
|
33.
|
Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 45
|
||||
|
Dalam perkara perdata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A ayat (1) huruf a, berlaku:
|
||||
|
a.
|
untuk perkara perdata antara Bank Syariah atau UUS dan Nasabah, direksi atau yang setara Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang bersangkutan dapat menginformasikan kepada pengadilan tentang keadaan keuangan Nasabah yang bersangkutan dan memberikan keterangan lain yang relevan dengan perkara tersebut; atau
|
|||
|
b.
|
untuk perkara perdata antara Nasabah dan Nasabah, dan terkait dengan Nasabah, direksi atau yang setara Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS harus menginformasikan kepada pengadilan tentang keadaan keuangan Nasabah dan informasi lain yang relevan dengan perkara berdasarkan permintaan ketua pengadilan negeri, ketua pengadilan tinggi, atau Ketua Mahkamah Agung.
|
|||
|
|
|
|
|
|
34.
|
Di antara Pasal 45 dan Pasal 46 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 45A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 45A
|
||||
|
Atas permintaan kurator yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan niaga mengenai kepailitan atau likuidator yang ditetapkan berdasarkan penetapan pengadilan dalam rangka pemberesan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A ayat (1) huruf c, Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS wajib memberikan informasi mengenai Simpanan Nasabah Penyimpan dan Investasi Nasabah Investor pada Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang terkait dengan pelaksanaan kepailitan atau likuidasi.
|
||||
|
|
|
|
|
|
35.
|
Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 46
|
||||
|
Dalam rangka tukar menukar informasi antar-Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A ayat (1) huruf f, direksi Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS dapat memberitahukan Rahasia Bank kepada Bank lain.
|
||||
|
|
|
|
|
|
36.
|
Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 47
|
||||
|
Atas permintaan, persetujuan, atau kuasa dari Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor yang dibuat secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A ayat (1) huruf d, Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS wajib memberikan Rahasia Bank kepada pihak yang ditunjuk oleh Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor.
|
||||
|
|
|
|
|
|
37.
|
Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 48
|
||||
|
Dalam hal Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor telah meninggal dunia, ahli waris yang sah dari Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A ayat (1) huruf e berhak memperoleh keterangan mengenai Simpanan Nasabah Penyimpan atau Investasi Nasabah Investor.
|
||||
|
|
|
|
|
|
38.
|
Di antara Pasal 48 dan Pasal 49 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 48A, Pasal 488, dan Pasal 48C sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 48A
|
||||
|
Dalam rangka pemenuhan pembukaan Rahasia Bank untuk tujuan penyelenggaraan negara dan kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A ayat (1) huruf i, instansi terkait harus berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 48B
|
||||
|
(1)
|
Untuk pelaksanaan perjanjian kerja sama otoritas antarnegara yang telah ditandatangani secara resiprokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A ayat (1) huruf l, mitra perjanjian mengajukan permintaan informasi kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk mendapatkan informasi mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya serta Nasabah Investor dan Investasinya.
|
|||
|
(2)
|
Otoritas Jasa Keuangan dapat memberikan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan mempertimbangkan asas resiprokal.
|
|||
|
(3)
|
Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan memberikan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), informasi tersebut dapat digunakan oleh mitra perjanjian yang meminta informasi baik untuk kepentingan pidana, perdata, maupun administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 48C
|
||||
|
(1)
|
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, serta pejabat dan pegawai Otoritas Jasa Keuangan yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang ini tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
(2)
|
Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
|
|||
|
(3)
|
Dalam hal Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, serta pejabat dan pegawai Otoritas Jasa Keuangan yang melaksanakan tugas berdasarkan Undang-Undang ini menghadapi tuntutan hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenang, yang bersangkutan mendapat bantuan hukum dari lembaga yang diwakili atau yang menugaskan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
39.
|
Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 49
|
||||
|
(1)
|
Pihak yang merasa dirugikan akibat keterangan yang diberikan oleh Bank Syariah dan UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, Pasal 45, Pasal 45A, Pasal 46, Pasal 47, dan Pasal 48 berhak untuk mengetahui isi keterangan tersebut dan meminta pembetulan jika terdapat kesalahan dalam keterangan yang diberikan.
|
|||
|
(2)
|
Dalam hal permintaan pembetulan oleh pihak yang merasa dirugikan akibat keterangan yang diberikan oleh Bank Syariah dan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipenuhi oleh Bank Syariah dan UUS, pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan ke pengadilan yang berwenang.
|
|||
|
|
|
|
|
|
40.
|
Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
Pasal 50
|
||||
|
(1)
|
Bank Syariah dan UUS wajib mematuhi peraturan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(2)
|
Pengawasan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan terhadap Bank Syariah dan UUS dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung.
|
|||
|
(3)
|
Bank Syariah dan UUS wajib mematuhi dan/atau melaksanakan tindak lanjut pengawasan dan larangan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
41.
|
Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 51
|
||||
|
Bank Syariah dan UUS wajib memelihara tingkat kesehatan serta aspek terkait tingkat kesehatan dan kepatuhan terhadap Prinsip Syariah sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
42.
|
Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 52
|
||||
|
(1)
|
Bank Syariah dan UUS wajib menyampaikan data, informasi, keterangan, atau penjelasan mengenai usaha Bank Syariah dan UUS, dan hal lain yang terkait dengan kegiatan usahanya kepada Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(2)
|
Pengawasan secara langsung terhadap Bank Syariah dan UUS oleh Otoritas Jasa Keuangan dilakukan melalui pemeriksaan, baik secara berkala maupun sewaktu-waktu apabila diperlukan.
|
|||
|
(3)
|
Otoritas Jasa Keuangan dapat memeriksa data, informasi, keterangan, atau penjelasan mengenai usaha Bank Syariah dan UUS, dan hal lain yang terkait dengan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||
|
(4)
|
Dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan, Otoritas Jasa Keuangan berwenang:
|
|||
|
|
a.
|
meminta Bank Syariah dan UUS untuk mengambil dan menyerahkan data/dokumen dari setiap tempat yang terkait Bank Syariah dan UUS;
|
||
|
|
b.
|
meminta Bank Syariah dan UUS untuk mengambil dan menyerahkan data/dokumen dan keterangan dari setiap pihak yang menurut penilaian Otoritas Jasa Keuangan memiliki pengaruh terhadap Bank Syariah dan UUS; dan
|
||
|
|
c.
|
memerintahkan Bank Syariah dan UUS untuk melakukan pemblokiran rekening tertentu.
|
||
|
(5)
|
Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan pengawasan secara langsung terhadap pihak terelasi dalam kelompok usaha Bank Syariah dan UUS dan pihak lain yang menerima fasilitas penyediaan dana dari Bank Syariah dan UUS.
|
|||
|
(6)
|
Data, informasi, keterangan, atau penjelasan mengenai usaha Bank Syariah dan UUS, dan hal lain yang disampaikan oleh Bank Syariah dan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diumumkan dan bersifat rahasia.
|
|||
|
(7)
|
Bank Syariah dan UUS wajib memberikan bantuan yang diperlukan untuk memperoleh kebenaran dari keterangan, dokumen, dan penjelasan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam pelaksanaan pengawasan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
43.
|
Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 53
|
||||
|
(1)
|
Otoritas Jasa Keuangan dapat menugaskan pihak lain untuk dan atas nama Otoritas Jasa Keuangan dalam melaksanakan tugas tertentu.
|
|||
|
(2)
|
Hasil pelaksanaan tugas tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam bentuk laporan penugasan.
|
|||
|
(3)
|
Laporan penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat rahasia.
|
|||
|
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara penugasan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
44.
|
Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 54
|
||||
|
(1)
|
Dalam hal suatu Bank Syariah mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, Otoritas Jasa Keuangan berwenang:
|
|||
|
|
a.
|
membatasi kewenangan rapat umum pemegang saham atau yang dipersamakan, komisaris atau yang setara, direksi atau yang setara, dan pemegang saham atau yang setara;
|
||
|
|
b.
|
meminta dan/atau memerintahkan pemegang saham atau yang setara untuk menambah modal;
|
||
|
|
c.
|
meminta pemegang saham atau yang setara untuk mengganti anggota dewan komisaris atau yang setara dan/atau direksi atau yang setara;
|
||
|
|
d.
|
meminta dan/atau memerintahkan Bank Syariah menghapusbukukan penyaluran dana yang macet dan memperhitungkan kerugian Bank Syariah dengan modalnya;
|
||
|
|
e.
|
meminta Bank Syariah melakukan Penggabungan atau Peleburan dengan Bank Syariah lain;
|
||
|
|
f.
|
meminta pemegang saham atau yang setara untuk menjual kepemilikan Bank Syariah kepada pembeli;
|
||
|
|
g.
|
meminta dan/atau memerintahkan Bank Syariah menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan Bank Syariah kepada pihak lain;
|
||
|
|
h.
|
meminta dan/atau memerintahkan Bank Syariah menjual sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank Syariah kepada pihak lain;
|
||
|
|
i.
|
memerintahkan pemegang saham atau yang setara untuk memberikan pinjaman kepada Bank Syariah;
|
||
|
|
j.
|
memerintahkan pemegang saham atau yang setara untuk mendukung pelaksanaan tugas Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan saat mengatasi permasalahan Bank Syariah;
|
||
|
|
k.
|
menunjuk pengelola statuter dan memerintahkan Bank Syariah untuk mendukung pelaksanaan tugas pengelola statuter yang ditempatkan di Bank Syariah;
|
||
|
|
l.
|
memerintahkan Bank Syariah untuk tidak melakukan transaksi tertentu dengan pihak terkait dan/atau pihak lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan;
|
||
|
|
m.
|
membatasi kegiatan usaha tertentu Bank Syariah;
|
||
|
|
n.
|
memberikan perintah tertulis kepada Bank Syariah dan/atau pihak tertentu; dan/atau
|
||
|
|
o.
|
memerintahkan Bank Syariah untuk melakukan langkah lain yang dianggap perlu oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
||
|
(2)
|
Dalam hal kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dilakukan, tetapi Bank Syariah masih mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usaha serta tidak dapat disehatkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan kewenangannya, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan Bank Syariah sebagai Bank dalam resolusi dan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Bank, Lembaga Penjamin Simpanan, dan Bank Indonesia.
|
|||
|
(3)
|
Dalam rangka melaksanakan tindakan resolusi, Lembaga Penjamin Simpanan dapat mengajukan permintaan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk mencabut izin usaha Bank Syariah.
|
|||
|
(4)
|
Berdasarkan permintaan Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Otoritas Jasa Keuangan melakukan pencabutan izin usaha Bank Syariah.
|
|||
|
(5)
|
Otoritas Jasa Keuangan dapat mencabut izin usaha Bank Syariah atas permintaan Bank Syariah setelah Bank Syariah menyelesaikan seluruh kewajibannya.
|
|||
|
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencabutan izin usaha Bank Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
45.
|
Di antara Pasal 54 dan Pasal 55 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 54A dan 54B sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 54A
|
||||
|
(1)
|
Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengatur dan mengembangkan penyelenggaraan sistem layanan informasi keuangan.
|
|||
|
(2)
|
Informasi pada sistem layanan informasi keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola oleh Otoritas Jasa Keuangan serta dapat diberikan dan/atau dipertukarkan kepada pihak lain dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
(3)
|
Setiap pihak yang memperoleh informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menjaga keamanan dan kerahasiaan data sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
(4)
|
Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengatur dan mengawasi lembaga pengelola informasi perkreditan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 54B
|
||||
|
(1)
|
Setiap Orang dilarang:
|
|||
|
|
a.
|
membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank Syariah atau UUS;
|
||
|
|
b.
|
menghilangkan, tidak memasukkan, atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank Syariah atau UUS; dan
|
||
|
|
c.
|
mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank Syariah atau UUS, atau mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan, atau merusak catatan pembukuan.
|
||
|
(2)
|
Pemegang saham atau yang setara, anggota dewan komisaris atau yang setara, anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS dilarang meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang, dan/atau barang berharga untuk keuntungan pribadi atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka:
|
|||
|
|
a.
|
mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas penyaluran dana dari Bank Syariah atau UUS;
|
||
|
|
b.
|
melakukan pembelian oleh Bank Syariah atau UUS atas surat wesel, surat promes, cek dan kertas dagang, atau bukti kewajiban lain; dan/atau
|
||
|
|
c.
|
memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas penyaluran dana pada Bank Syariah atau uus.
|
||
|
(3)
|
Setiap Orang dilarang memberikan suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang, dan/atau barang berharga, kepada pemegang saham atau yang setara, anggota dewan komisaris atau yang setara, anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS untuk keuntungan pribadi atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas Pembiayaan dari Bank Syariah atau UUS, atau dalam rangka pembelian oleh Bank Syariah atau UUS atas surat wesel, surat promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya, atau dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas Pembiayaan pada Bank Syariah atau uus.
|
|||
|
(4)
|
Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, Pihak Terafiliasi, dan pemegang saham atau yang setara wajib melaksanakan langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
46.
|
Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 59
|
||||
|
Setiap Orang yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk Simpanan atau Investasi berdasarkan Prinsip Syariah tanpa izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000.000,00 (enam ratus miliar rupiah).
|
||||
|
|
|
|
|
|
47.
|
Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 60
|
||||
|
(1)
|
Setiap Orang yang tanpa izin dari Otoritas Jasa Keuangan atau tanpa kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, dengan sengaja memaksa Bank Syariah, UUS, atau Pihak Terafiliasi untuk memberikan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
|
|||
|
(2)
|
Anggota dewan komisaris atau yang setara, anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS atau Pihak Terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
|
|||
|
|
|
|
|
|
48.
|
Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 61
|
||||
|
Anggota dewan komisaris atau yang setara, anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja tidak memberikan informasi, Rahasia Bank, dan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Pasal 47, dan Pasal 48 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
|
||||
|
|
|
|
|
|
49.
|
Ketentuan Pasal 62 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 62
|
||||
|
Anggota dewan komisaris atau yang setara, anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja:
|
||||
|
a.
|
tidak menyampaikan laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2); dan/atau
|
|||
|
b.
|
tidak memberikan data, informasi, keterangan, penjelasan, atau tidak melaksanakan perintah yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52,
|
|||
|
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
|
||||
|
|
|
|
|
|
50.
|
Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut.
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 63
|
||||
|
(1)
|
Anggota dewan komisaris atau yang setara, anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja:
|
|||
|
|
a.
|
membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank Syariah atau UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54B ayat (1) huruf a;
|
||
|
|
b.
|
menghilangkan, tidak memasukkan, atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank Syariah atau UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54B ayat (1) huruf b; dan/atau
|
||
|
|
c.
|
mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank Syariah atau UUS, atau mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan, atau merusak catatan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf c,
|
||
|
|
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
|
|||
|
(2)
|
Setiap Orang yang dengan sengaja menyebabkan atau turut serta melakukan perbuatan atau melakukan pembantuan perbuatan anggota dewan komisaris atau yang setara, anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan/atau huruf c dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
|
|||
|
(3)
|
Setiap Orang yang dengan sengaja:
|
|||
|
|
a.
|
membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank Syariah atau UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54B ayat (1) huruf a;
|
||
|
|
b.
|
menghilangkan, tidak memasukkan, atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank Syariah atau UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54B ayat (1) huruf b; dan/atau
|
||
|
|
c.
|
mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank Syariah atau UUS, atau mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan atau merusak catatan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54B ayat (1) huruf c,
|
||
|
|
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
|
|||
|
(4)
|
Pemegang saham atau yang setara, anggota dewan komisaris atau yang setara, anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja:
|
|||
|
|
a.
|
meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang, dan/atau barang berharga untuk keuntungan pribadi atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka:
|
||
|
|
|
1.
|
mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas penyaluran dana dari Bank Syariah atau UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54B ayat (2) huruf a;
|
|
|
|
|
2.
|
melakukan pembelian oleh Bank Syariah atau UUS atas surat wesel, surat promes, cek dan kertas dagang, atau bukti kewajiban lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 548 ayat (2) huruf b;
|
|
|
|
|
3.
|
memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas penyaluran dananya pada Bank Syariah atau UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 548 ayat (2) huruf e; dan/atau
|
|
|
|
b.
|
tidak melaksanakan langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah atau UUS terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 548 ayat (4),
|
||
|
|
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
|
|||
|
(5)
|
Setiap Orang yang dengan sengaja:
|
|||
|
|
a.
|
memberikan suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang, dan/atau barang berharga, kepada pemegang saham atau yang setara, anggota dewan komisaris atau yang setara, anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS untuk keuntungan pribadi atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas Pembiayaan dari Bank Syariah atau UUS, atau dalam rangka pembelian oleh Bank Syariah atau UUS atas surat wesel, surat promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya, ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas penyaluran dana pada Bank Syariah atau UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 548 ayat (3); atau
|
||
|
|
b.
|
menyebabkan atau turut serta melakukan perbuatan atau melakukan pembantuan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
|
||
|
|
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
|
|||
|
|
|
|
|
|
51.
|
Ketentuan Pasal 64 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 64
|
||||
|
Pihak Terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah atau UUS terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 548 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
|
||||
|
|
|
|
|
|
52.
|
Ketentuan Pasal 65 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 65
|
||||
|
Pemegang saham atau yang setara yang dengan sengaja menyuruh anggota dewan komisaris atau yang setara, anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan Bank Syariah atau UUS tidak melaksanakan langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah atau UUS terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan ketentuan perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 548 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
|
||||
|
|
|
|
|
|
53.
|
Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut.
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 66
|
||||
|
(1)
|
Anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja:
|
|||
|
|
a.
|
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang mengenai perbankan syariah dan perbuatan tersebut telah mengakibatkan kerugian bagi Bank Syariah atau UUS atau menyebabkan keadaan keuangan Bank Syariah atau UUS tidak sehat;
|
||
|
|
b.
|
menghalangi pemeriksaan atau tidak membantu pemeriksaan yang dilakukan oleh dewan komisaris atau kantor akuntan publik yang ditugasi oleh dewan komisaris;
|
||
|
|
c.
|
memberikan penyaluran dana atau fasilitas Penjaminan dengan melanggar ketentuan yang berlaku yang diwajibkan pada Bank Syariah atau UUS, yang mengakibatkan kerugian sehingga membahayakan kelangsungan usaha Bank Syariah atau UUS; dan/atau
|
||
|
|
d.
|
tidak melakukan langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah atau UUS terhadap ketentuan batas maksimum pemberian penyaluran dana sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Perbankan Syariah dan/atau ketentuan yang berlaku.
|
||
|
|
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
|
|||
|
(2)
|
Setiap Orang yang dengan sengaja menyebabkan atau turut serta melakukan perbuatan atau melakukan pembantuan perbuatan anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c dan/atau perbuatan anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
|
|||
|
(3)
|
Anggota direksi atau yang setara dan pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja melakukan penyalahgunaan dana Nasabah, Bank Syariah atau UUS dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
|
|||
|
(4)
|
Setiap Orang yang dengan sengaja menyebabkan atau turut serta melakukan perbuatan atau melakukan pembantuan perbuatan anggota direksi atau yang setara dan pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
|
|||
|
|
|
|
|
|
54.
|
Di antara Pasal 66 dan Pasal 67 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 66A, Pasal 66B, dan Pasal 66C sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 66A
|
||||
|
(1)
|
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 dilakukan oleh korporasi atau badan usaha yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya, pidana dijatuhkan terhadap korporasi atau badan usaha yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya dan/atau anggota direksi atau yang dipersamakan, anggota dewan komisaris atau yang dipersamakan, PSP atau yang dipersamakan, dan/atau pihak lain.
|
|||
|
(2)
|
Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijatuhkan terhadap korporasi atau badan usaha yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya apabila tindak pidana:
|
|||
|
|
a.
|
dilakukan atau diperintahkan oleh anggota direksi atau yang dipersamakan, anggota dewan komisaris atau yang dipersamakan, PSP atau yang dipersamakan, dan/atau pihak lain;
|
||
|
|
b.
|
dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lain;
|
||
|
|
c.
|
dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan
|
||
|
|
d.
|
dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi atau badan usaha yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lain.
|
||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 66B
|
||||
|
(1)
|
Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap korporasi atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya merupakan pidana denda dengan ketentuan untuk:
|
|||
|
|
a.
|
Bank Umum Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS paling sedikit sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000.000,00 (enam ratus miliar rupiah);
|
||
|
|
b.
|
BPR Syariah paling sedikit sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah); atau
|
||
|
|
c.
|
korporasi atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lain selain yang dimaksud dalam huruf a dan huruf b paling sedikit sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000.000,00 (enam ratus miliar rupiah).
|
||
|
(2)
|
Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap korporasi atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
|
|||
|
|
a.
|
pengumuman putusan hakim; dan/atau
|
||
|
|
b.
|
pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha korporasi atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya, setelah mendapatkan pertimbangan dari Otoritas Jasa Keuangan.
|
||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 66C
|
||||
|
(1)
|
Selain dijatuhi pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66, Pasal 66A, dan Pasal 668 terpidana dapat dijatuhi pidana tambahan berupa penggantian kerugian apabila tindak pidana mengakibatkan kerugian.
|
|||
|
(2)
|
Pidana tambahan berupa penggantian kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembalikan kepada pihak yang dirugikan sejumlah kerugian yang diderita, atau secara proporsional dalam hal jumlah penggantian kerugian tidak mencukupi jumlah total kerugian yang ditimbulkan.
|
|||
|
(3)
|
Dalam melaksanakan putusan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terpidana diberikan jangka waktu selama 1 (satu) bulan sejak putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
|
|||
|
(4)
|
Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
|
|||
|
(5)
|
Dalam hal terpidana tidak membayar pidana denda dan pidana tambahan berupa penggantian kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harta benda terpidana disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi denda dan ganti kerugian tersebut.
|
|||
|
(6)
|
Dalam hal penyitaan dan pelelangan harta benda sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak cukup atau tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, pidana tambahan berupa penggantian kerugian yang tidak dibayar diganti dengan pidana penjara sebagaimana diancamkan untuk tindak pidana yang bersangkutan.
|
|||
|
(7)
|
Pidana tambahan berupa penggantian kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan lamanya pidana penjara sebagaimana dimaksud pada ayat (6) yang ditentukan oleh hakim dicantumkan dalam amar putusan pengadilan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
55.
|
Di antara Pasal 67 dan Pasal 68 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 67A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 67A
|
||||
|
(1)
|
Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan dimulainya, tidak dilakukannya, atau dihentikannya penyidikan terhadap tindak pidana Perbankan Syariah.
|
|||
|
(2)
|
Sebelum menetapkan dimulainya penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan penyelidikan terhadap dugaan tindak pidana Perbankan Syariah.
|
|||
|
(3)
|
Pada tahap penyelidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pihak yang diduga melakukan tindak pidana Perbankan Syariah dapat mengajukan permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk penyelesaian pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di sektor Perbankan Syariah.
|
|||
|
(4)
|
Otoritas Jasa Keuangan melakukan penilaian terhadap permohonan penyelesaian pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan menghitung nilai kerugian atas pelanggaran.
|
|||
|
(5)
|
Dalam melakukan penilaian terhadap permohonan penyelesaian pelanggaran dan perhitungan nilai kerugian atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Otoritas Jasa Keuangan mempertimbangkan minimal:
|
|||
|
|
a.
|
ada atau tidaknya penyelesaian atas kerugian yang timbul akibat tindak pidana;
|
||
|
|
b.
|
nilai transaksi dan/atau nilai kerugian atas pelanggaran; dan
|
||
|
|
c.
|
dampak terhadap sektor Perbankan Syariah, Bank Syariah, Bank Konvensional yang memiliki UUS, dan/atau kepentingan Nasabah dan/atau masyarakat.
|
||
|
(6)
|
Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menyetujui permohonan penyelesaian pelanggaran, pihak yang mengajukan permohonan penyelesaian pelanggaran wajib melaksanakan kesepakatan termasuk membayar ganti rugi.
|
|||
|
(7)
|
Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) telah dipenuhi seluruhnya oleh pihak yang mengajukan permohonan penyelesaian pelanggaran, Otoritas Jasa Keuangan menghentikan penyelidikan.
|
|||
|
(8)
|
Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) merupakan hak dari pihak yang dirugikan dan bukan merupakan pendapatan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(9)
|
Dalam hal:
|
|||
|
|
a.
|
Otoritas Jasa Keuangan tidak menyetujui permohonan penyelesaian atas pelanggaran; atau
|
||
|
|
b.
|
pihak yang mengajukan permohonan penyelesaian pelanggaran tidak memenuhi sebagian atau seluruh kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6),
|
||
|
|
Otoritas Jasa Keuangan berwenang melanjutkan ke tahap penyidikan.
|
|||
|
(10)
|
Penyidikan atas tindak pidana Perbankan Syariah hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(11)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian pelanggaran dan permohonan penyelesaian pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (9) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
56.
|
Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut.
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 68
|
||||
|
(1)
|
Dalam hal Bank Umum Konvensional memiliki UUS, setelah memenuhi persyaratan tertentu yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan, Bank Umum Konvensional dimaksud wajib melakukan Pemisahan UUS tersebut menjadi Bank Umum Syariah.
|
|||
|
(2)
|
Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta Pemisahan UUS menjadi Bank Umum Syariah dalam rangka konsolidasi Perbankan Syariah.
|
|||
|
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemisahan dan konsolidasi, serta sanksi bagi Bank Umum Konvensional yang tidak melakukan Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan setelah dikonsultasikan dengan DPR.
|
|||
|
(4)
|
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus ditetapkan dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
BAB V
PASAR MODAL, PASAR UANG, DAN PASAR VALUTA ASING Bagian Kesatu Infrastruktur Pasar Pasal 16 |
|||||
(1)
|
Penyelenggaraan pasar di sektor keuangan harus didukung oleh infrastruktur pasar yang mengikuti perkembangan teknologi.
|
||||
(2)
|
Infrastruktur pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||
|
a.
|
sarana transaksi;
|
|||
|
b.
|
sarana kliring dan/atau penjaminan (central counter party);
|
|||
|
c.
|
sarana penyelesaian transaksi, penatausahaan, dan/atau penyimpanan instrumen keuangan (kustodian sentral);
|
|||
|
d.
|
sarana penyelesaian dana (sistem pembayaran);
|
|||
|
e.
|
sarana pengelola informasi transaksi (trade repository) instrumen keuangan dan/atau Derivatif; dan
|
|||
|
f.
|
sarana lainnya.
|
|||
(3)
|
Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia berkoordinasi untuk mendorong pengembangan infrastruktur pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
||||
(4)
|
Infrastruktur pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diselenggarakan oleh otoritas sektor keuangan atau perusahaan berbadan hukum Indonesia yang telah memperoleh izin atau ditunjuk oleh otoritas sektor keuangan.
|
||||
(5)
|
Infrastruktur pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf f kecuali huruf d, dapat digunakan dalam penyelenggaraan antarpasar setelah memperoleh izin dari otoritas asal infrastruktur dan persetujuan otoritas pengawas dari instrumen keuangan yang akan menggunakan infrastruktur pendukung.
|
||||
(6)
|
Dalam hal infrastruktur pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (5) digunakan dalam penyelenggaraan antarpasar, otoritas asal infrastruktur pasar dan otoritas pengawas dari instrumen keuangan yang akan menggunakan infrastruktur pendukung harus melakukan koordinasi, paling sedikit dalam rangka:
|
||||
|
a.
|
pertukaran dan pemutakhiran data dan informasi;
|
|||
|
b.
|
pengawasan bersama; dan
|
|||
|
c.
|
langkah memitigasi risiko.
|
|||
(7)
|
Dalam hal ditemukan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan berdasarkan hasil pengawasan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b, dilakukan tindakan hukum dan/atau pengenaan sanksi terhadap penyelenggara infrastruktur pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau pelaku pasar oleh otoritas asal masing-masing infrastruktur pasar sesuai dengan kewenangannya.
|
||||
(8)
|
Sarana pengelola informasi transaksi (trade repository) instrumen keuangan dan/atau Derivatif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e harus menyediakan data yang akurat, mencukupi, dan tepat waktu kepada publik dan kepada otoritas terkait sesuai dengan tugas dan wewenang masing-masing.
|
||||
(9)
|
Penyelenggaraan infrastruktur pasar harus memenuhi prinsip tata kelola perusahaan yang baik, prinsip kehati-hatian, dan manajemen risiko yang efektif, memenuhi prinsip keamanan, efisiensi, dan keandalan.
|
||||
(10)
|
Dalam rangka pengaturan dan pengawasan, otoritas dapat menetapkan kategori infrastruktur pasar berdasarkan tingkat risiko.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 17 |
|||||
(1)
|
Dalam hal penyelenggara infrastruktur pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) menggunakan penyedia jasa pendukung infrastruktur, penyelenggara infrastruktur pasar memastikan kemampuan dan ketahanan operasional infrastruktur pasar dalam rangka meminimalisir risiko Stabilitas Sistem Keuangan.
|
||||
(2)
|
Otoritas di sektor keuangan dan penyelenggara infrastruktur pasar memiliki akses informasi yang diperlukan terhadap penyedia jasa pendukung infrastruktur.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 18 |
|||||
(1)
|
Dalam hal terdapat instrumen keuangan dan/atau transaksi atas instrumen keuangan yang memiliki:
|
||||
|
a.
|
lebih dari 1 (satu) karakteristik Pasar Modal, Pasar Uang, Pasar Valuta Asing, dan pasar komoditi; dan/atau
|
|||
|
b.
|
karakteristik risiko, hak, dan manfaat yang setara terhadap investor atau penerbit,
|
|||
|
masing-masing otoritas menetapkan standar pengaturan dan pengawasan yang setara.
|
||||
(2)
|
Standar pengaturan dan pengawasan yang setara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup:
|
||||
|
a.
|
mekanisme penerbitan, keterbukaan informasi, dan pelaporan;
|
|||
|
b.
|
mitigasi risiko termasuk risiko sistemik dan bukan sistemik; dan
|
|||
|
c.
|
pelindungan pemodal atau investor dan sanksi yang wajar terhadap pelaku.
|
|||
(3)
|
Dalam rangka pengaturan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), otoritas Pasar Modal, otoritas Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing, serta otoritas perdagangan berjangka komoditi melakukan koordinasi.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 19 |
|||||
Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan melalui penataan di sektor perdagangan berjangka komoditi, Undang-Undang 101 mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3720) sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5232).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 20 |
|||||
Di antara Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3720) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5232) disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 3A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 3A
|
|||||
Komoditi yang dijadikan subjek Kontrak Berjangka, Kontrak Derivatif Syariah, dan/atau Kontrak Derivatif lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 tidak termasuk efek, instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor keuangan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pasar Modal Pasal 21 |
|||||
Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan melalui penataan di sektor Pasar Modal, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 22 |
|||||
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608) diubah:
|
|||||
|
|
|
|
|
|
1.
|
Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 1
|
||||
|
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||
|
1.
|
Afiliasi adalah:
|
|||
|
|
a.
|
hubungan keluarga karena perkawinan sampai dengan derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertikal, yaitu hubungan seseorang dengan:
|
||
|
|
|
1.
|
suami atau istri;
|
|
|
|
|
2.
|
orang tua dari suami atau istri dan suami atau istri dari anak;
|
|
|
|
|
3.
|
kakek dan nenek dari suami atau istri dan suami atau istri dari cucu;
|
|
|
|
|
4.
|
saudara dari suami atau istri beserta suami atau istrinya dari saudara yang bersangkutan; atau
|
|
|
|
|
5.
|
suami atau istri dari saudara orang yang bersangkutan.
|
|
|
|
b.
|
hubungan keluarga karena keturunan sampai dengan derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertikal, yaitu hubungan seseorang dengan:
|
||
|
|
|
1.
|
orang tua dan anak;
|
|
|
|
|
2.
|
kakek dan nenek serta cucu; atau
|
|
|
|
|
3.
|
saudara dari orang yang bersangkutan.
|
|
|
|
c.
|
hubungan antara pihak dengan karyawan, direktur, atau komisaris dari pihak tersebut;
|
||
|
|
d.
|
hubungan antara 2 (dua) atau lebih perusahaan dimana terdapat satu atau lebih anggota direksi, pengurus, dewan komisaris, atau pengawas yang sama;
|
||
|
|
e.
|
hubungan antara perusahaan dan pihak, baik langsung maupun tidak langsung, dengan cara apa pun, mengendalikan atau dikendalikan oleh perusahaan atau pihak tersebut dalam menentukan pengelolaan dan/atau kebijakan perusahaan atau pihak dimaksud;
|
||
|
|
f.
|
hubungan antara 2 (dua) atau lebih perusahaan yang dikendalikan, baik langsung maupun tidak langsung, dengan cara apa pun, dalam menentukan pengelolaan dan/atau kebijakan perusahaan oleh pihak yang sama; atau
|
||
|
|
g.
|
hubungan antara perusahaan dan pemegang saham utama yaitu pihak yang secara langsung maupun tidak langsung memiliki paling kurang 20% (dua puluh persen) saham yang mempunyai hak suara dari perusahaan tersebut.
|
||
|
2.
|
Anggota Bursa Efek adalah:
|
|||
|
|
a.
|
perantara pedagang efek yang telah memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan; dan
|
||
|
|
b.
|
pihak lain yang memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan,
|
||
|
|
yang mempunyai hak untuk mempergunakan sistem dan/atau sarana bursa efek sesuai dengan peraturan bursa efek.
|
|||
|
3.
|
Biro Administrasi Efek adalah pihak yang berdasarkan kontrak dengan emiten dan/atau penerbit efek melaksanakan pencatatan pemilikan efek dan pembagian hak yang berkaitan dengan efek.
|
|||
|
4.
|
Bursa Efek adalah penyelenggara pasar di pasar modal untuk transaksi bursa.
|
|||
|
5.
|
Efek adalah surat berharga atau kontrak investasi baik dalam bentuk konvensional dan digital atau bentuk lain sesuai dengan perkembangan teknologi yang memberikan hak kepada pemiliknya untuk secara langsung maupun tidak langsung memperoleh manfaat ekonomis dari penerbit atau dari pihak tertentu berdasarkan perjanjian dan setiap Derivatif atas Efek, yang dapat dialihkan dan/atau diperdagangkan di Pasar Modal.
|
|||
|
6.
|
Emiten adalah pihak yang melakukan penawaran umum.
|
|||
|
7.
|
Informasi atau Fakta Material adalah informasi atau fakta penting dan relevan mengenai peristiwa, kejadian, atau fakta yang dapat memengaruhi:
|
|||
|
|
a.
|
penilaian atas harga Efek pada penyelenggara pasar di Pasar Modal;
|
||
|
|
b.
|
penilaian atas harga Efek oleh pemodal atau investor, calon pemodal atau investor, atau pihak lain yang berkepentingan atas peristiwa, kejadian, atau fakta tersebut; dan/atau
|
||
|
|
c.
|
keputusan pemodal atau investor, calon pemodal atau investor, atau pihak lain yang berkepentingan atas peristiwa, kejadian, atau fakta tersebut.
|
||
|
8.
|
Kustodian adalah pihak yang memberikan jasa penitipan Efek dan harta lain yang berkaitan dengan Efek, harta yang berkaitan dengan portofolio investasi kolektif, serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak lain, menyelesaikan transaksi Efek, serta mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya.
|
|||
|
9.
|
Lembaga Kliring dan Penjaminan adalah pihak yang menyelenggarakan jasa kliring dan/atau penjaminan penyelesaian transaksi Efek yang dilakukan melalui penyelenggara pasar di Pasar Modal serta jasa lain yang dapat diterapkan untuk mendukung kegiatan antarpasar.
|
|||
|
10.
|
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian adalah pihak yang:
|
|||
|
|
a.
|
menyelenggarakan kegiatan Kustodian sentral bagi bank Kustodian, perusahaan Efek, dan pihak lainnya; dan
|
||
|
|
b.
|
memberikan jasa lain yang dapat diterapkan untuk mendukung kegiatan antarpasar.
|
||
|
11.
|
Manajer Investasi adalah pihak yang kegiatan usahanya mengelola portofolio Efek, portofolio investasi kolektif, dan/atau portofolio investasi lainnya untuk kepentingan sekelompok nasabah atau nasabah individual, kecuali Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Dana Pensiun, dan Bank yang melakukan sendiri kegiatan usahanya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
12.
|
Pasar Modal adalah bagian dari Sistem Keuangan yang berkaitan dengan kegiatan:
|
|||
|
|
a.
|
penawaran umum dan transaksi Efek;
|
||
|
|
b.
|
pengelolaan investasi;
|
||
|
|
c.
|
Emiten dan Perusahaan Publik yang berkaitan dengan Efek yang diterbitkannya; dan
|
||
|
|
d.
|
lembaga dan profesi yang berkaitan dengan Efek.
|
||
|
13.
|
Penasihat Investasi adalah pihak yang memberi nasihat kepada pihak lain mengenai penjualan atau pembelian Efek dengan memperoleh imbalan jasa.
|
|||
|
14.
|
Penawaran Umum adalah kegiatan penawaran Efek yang dilakukan oleh Emiten untuk menjual Efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya.
|
|||
|
15.
|
Penitipan Kolektif adalah jasa penitipan atas Efek dan/atau dana yang dimiliki bersama oleh lebih dari satu pihak yang kepentingannya diwakili oleh Kustodian.
|
|||
|
16.
|
Penjamin Emisi Efek adalah pihak yang membuat kontrak dengan Emiten untuk menjamin Penawaran Umum Efek Emiten dengan atau tanpa kewajiban untuk membeli sisa Efek yang tidak terjual.
|
|||
|
17.
|
Perantara Pedagang Efek adalah pihak yang melakukan kegiatan usaha jual beli Efek untuk kepentingan sendiri atau pihak lain.
|
|||
|
18.
|
Pernyataan Pendaftaran adalah dokumen yang wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan oleh Emiten dalam rangka Penawaran Umum atau Perusahaan Publik.
|
|||
|
19.
|
Perseroan adalah perseroan terbatas sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perseroan terbatas.
|
|||
|
20.
|
Perusahaan Efek adalah pihak yang melakukan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek atau Manajer Investasi.
|
|||
|
21.
|
Perusahaan Publik adalah Perseroan dengan jumlah pemegang saham dan modal disetor yang ditetapkan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
22.
|
Pihak adalah orang perseorangan, badan hukum, perusahaan, usaha bersama, asosiasi, atau kelompok yang terorganisasi.
|
|||
|
23.
|
Portofolio Efek adalah kumpulan Efek yang dimiliki oleh Pihak.
|
|||
|
24.
|
Prinsip Keterbukaan adalah pedoman umum yang mensyaratkan Emiten, Perusahaan Publik, dan Pihak lain yang tunduk pada Undang-Undang ini untuk menginformasikan kepada masyarakat dalam waktu yang tepat seluruh Informasi Material mengenai usahanya atau efeknya yang dapat berpengaruh terhadap keputusan pemodal atau investor terhadap Efek dimaksud dan/atau harga dari Efek tersebut.
|
|||
|
25.
|
Prospektus adalah dokumen tertulis yang memuat informasi Emiten dan informasi lain sehubungan dengan Penawaran Umum dengan tujuan agar Pihak lain membeli Efek.
|
|||
|
26.
|
Reksa Dana adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal atau investor untuk selanjutnya diinvestasikan dalam Portofolio Efek, portofolio investasi kolektif, dan/atau instrumen keuangan lainnya oleh Manajer Investasi.
|
|||
|
27.
|
Transaksi Bursa adalah kontrak yang dibuat oleh Anggota Bursa Efek sesuai dengan persyaratan yang ditentukan oleh Bursa Efek mengenai jual beli Efek, pinjam meminjam Efek, atau kontrak lain mengenai Efek atau harga Efek.
|
|||
|
28.
|
Unit Penyertaan adalah satuan ukuran yang menunjukkan bagian kepentingan setiap Pihak dalam portofolio investasi kolektif.
|
|||
|
29.
|
Wali Amanat adalah Pihak yang mewakili kepentingan pemegang Efek bersifat utang dan/atau sukuk.
|
|||
|
30.
|
Transaksi Efek adalah setiap aktivitas atau kontrak dalam rangka memperoleh, melepaskan, atau menggunakan Efek yang mengakibatkan terjadinya peralihan kepemilikan atau tidak mengakibatkan terjadinya peralihan kepemilikan di Pasar Modal.
|
|||
|
31.
|
Penyelenggara Pasar adalah Pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan/atau sarana untuk mempertemukan Pihak yang melakukan transaksi atas Efek atau instrumen keuangan pada Pasar Modal atau pasar keuangan yang terorganisir.
|
|||
|
32.
|
Portofolio Investasi adalah kumpulan Efek dan/atau instrumen investasi selain Efek.
|
|||
|
33.
|
Pemeringkat adalah Pihak yang melakukan kegiatan usaha pemeringkatan atas:
|
|||
|
|
a.
|
suatu Efek; dan/atau
|
||
|
|
b.
|
Pihak tertentu yang melakukan kegiatan di bidang Pasar Modal.
|
||
|
34.
|
Anggota Kliring adalah lembaga yang memenuhi ketentuan dan persyaratan Lembaga Kliring dan Penjaminan di Pasar Modal untuk memperoleh layanan jasa kliring dan/atau penjaminan penyelesaian transaksi Efek yang dilakukan melalui Penyelenggara Pasar di Pasar Modal.
|
|||
|
35.
|
Kontrak Investasi Kolektif adalah kontrak antara Manajer Investasi dan bank Kustodian yang secara kolektif mengikat pemodal atau investor dimana Manajer Investasi diberi wewenang untuk mengelola Portofolio Investasi kolektif dan bank Kustodian diberi wewenang untuk melaksanakan Penitipan Kolektif.
|
|||
|
36.
|
Otoritas Jasa Keuangan adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
2.
|
Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 5
|
||||
|
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4, Otoritas Jasa Keuangan mempunyai:
|
||||
|
a.
|
kewenangan pengaturan untuk:
|
|||
|
|
1.
|
menetapkan persyaratan dan tata cara Pernyataan Pendaftaran, penundaan, pembatalan, atau pencabutan efektifnya Pernyataan Pendaftaran, serta penundaan Penawaran Umum;
|
||
|
|
2.
|
menetapkan persyaratan pemilikan saham dan/atau pengendalian Pihak yang memperoleh izin, persetujuan, atau pendaftaran dari Otoritas Jasa Keuangan;
|
||
|
|
3.
|
mewajibkan pendaftaran Profesi Penunjang Pasar Modal dan Wali Amanat;
|
||
|
|
4.
|
menetapkan persyaratan penggunaan teknologi informasi dalam kegiatan di bidang Pasar Modal;
|
||
|
|
5.
|
mengatur kewajiban penerbitan Efek dan konversi Efek dalam bentuk Efek tanpa warkat;
|
||
|
|
6.
|
menetapkan instrumen lain sebagai Efek selain yang telah ditentukan dalam Pasal 1 angka 5;
|
||
|
|
7.
|
mengatur penyelenggaraan penghimpunan dana masyarakat melalui penawaran Efek dengan menggunakan jasa penyelenggara sistem elektronik (securities crowd funding);
|
||
|
|
8.
|
mengatur perdagangan sekunder instrumen yang berkaitan dengan nilai ekonomi karbon di bursa karbon;
|
||
|
|
9.
|
mengatur kegiatan di Pasar Modal, Pihak yang melakukan aktivitas di Pasar Modal, dan produk di Pasar Modal, termasuk kegiatan, Pihak, dan produk berdasarkan Prinsip Syariah;
|
||
|
|
10.
|
melaksanakan kegiatan internasional di bidang Pasar Modal dan pengaturan perdagangan Efek lintas negara serta memberikan persetujuan atas partisipasi PUSK di bidang Pasar Modal pada organisasi internasional;
|
||
|
|
11.
|
menetapkan persyaratan dan tata cara pencalonan dan pemberhentian untuk sementara waktu komisaris dan/atau direktur Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Efek, lembaga pendanaan Efek, lembaga penilaian harga Efek, penyelenggara dana perlindungan pemodal, dan/atau lembaga yang didirikan untuk pengembangan Pasar Modal berdasarkan izin Otoritas Jasa Keuangan;
|
||
|
|
12.
|
menetapkan persyaratan dan tata cara pencalonan direktur dan/atau komisaris Penyelenggara Pasar, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Efek, dan/atau Pihak lain; dan
|
||
|
|
13.
|
memberikan penjelasan lebih lanjut yang bersifat teknis atas Undang-Undang ini atau peraturan pelaksanaannya.
|
||
|
b.
|
kewenangan untuk memberikan:
|
|||
|
|
1.
|
izin usaha kepada Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Reksa Dana, Perusahaan Efek, Penasihat Investasi, dan Biro Administrasi Efek;
|
||
|
|
2.
|
izin orang perseorangan bagi wakil Penjamin Emisi Efek, wakil Perantara Pedagang Efek, dan wakil Manajer Investasi;
|
||
|
|
3.
|
persetujuan bagi bank Kustodian; dan
|
||
|
|
4.
|
perizinan, persetujuan, pendaftaran, efektifnya Pernyataan Pendaftaran, dan pengakuan atas kegiatan, Pihak, dan produk yang dapat dilakukan di Pasar Modal, termasuk kegiatan, Pihak, dan produk berdasarkan Prinsip Syariah.
|
||
|
c.
|
kewenangan pengawasan untuk:
|
|||
|
|
1.
|
meminta pengadilan negeri untuk membubarkan dan menunjuk likuidator guna melakukan pemberesan hak dan/atau kewajiban Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Efek, dan/atau Pihak lain;
|
||
|
|
2.
|
mengadakan pemeriksaan dan penyidikan terhadap setiap Pihak dalam hal terjadi peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang ini dan/atau peraturan pelaksanaannya;
|
||
|
|
3.
|
mewajibkan setiap Pihak untuk:
|
||
|
|
|
a)
|
menghentikan atau memperbaiki iklan atau promosi yang berhubungan dengan kegiatan di Pasar Modal; atau
|
|
|
|
|
b)
|
mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi akibat yang timbul dari iklan atau promosi dimaksud;
|
|
|
|
4.
|
melakukan pemeriksaan terhadap:
|
||
|
|
|
a)
|
setiap Emiten atau Perusahaan Publik yang telah atau diwajibkan menyampaikan Pernyataan Pendaftaran kepada Otoritas Jasa Keuangan; atau
|
|
|
|
|
b)
|
Pihak yang dipersyaratkan memiliki izin usaha, izin orang perseorangan, persetujuan, atau pendaftaran profesi berdasarkan Undang-Undang ini;
|
|
|
|
5.
|
menunjuk Pihak lain untuk melakukan pemeriksaan tertentu dalam rangka pelaksanaan wewenang Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam angka 2 dan angka 4;
|
||
|
|
6.
|
meminta kepada instansi yang berwenang untuk melakukan pencegahan dan/atau penangkalan untuk jangka waktu tertentu terhadap seseorang dalam rangka penyidikan terhadap setiap Pihak dalam hal terjadi peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang ini dan/atau peraturan pelaksanaannya untuk keluar dari atau masuk ke wilayah Indonesia;
|
||
|
|
7.
|
mengumumkan hasil pemeriksaan;
|
||
|
|
8.
|
membekukan atau membatalkan pencatatan suatu Efek, atau menghentikan Transaksi Bursa atas Efek tertentu untuk jangka waktu tertentu pada Penyelenggara Pasar di Pasar Modal dan/atau Bursa Efek guna melindungi kepentingan pemodal atau investor;
|
||
|
|
9.
|
menghentikan kegiatan perdagangan pada Penyelenggara Pasar di Pasar Modal dan/atau Bursa Efek untuk jangka waktu tertentu dalam hal keadaan darurat;
|
||
|
|
10.
|
memeriksa keberatan yang diajukan oleh Pihak yang dikenai sanksi oleh Otoritas Jasa Keuangan, Penyelenggara Pasar, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian serta memberikan keputusan menerima atau menolak seluruh atau sebagian keberatan atau memutuskan lain;
|
||
|
|
11.
|
melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencegah kerugian masyarakat sebagai akibat pelanggaran atas ketentuan di bidang Pasar Modal;
|
||
|
|
12.
|
mewajibkan Pihak tertentu untuk mengungkapkan kepemilikan efeknya atau kepemilikan Efek Pihak lain yang diketahui atau sepatutnya diketahui oleh Pihak tertentu tersebut;
|
||
|
|
13.
|
mewajibkan Pihak yang memperoleh izin, persetujuan, dan surat tanda terdaftar atau bentuk lain yang dapat dipersamakan dengan izin, persetujuan, atau surat tanda terdaftar dari Otoritas Jasa Keuangan untuk mengungkapkan pengendali dari Pihak tertentu tersebut;
|
||
|
|
14.
|
menetapkan Pihak tertentu merupakan pengendali Pihak yang memperoleh izin, persetujuan, atau pendaftaran dari Otoritas Jasa Keuangan;
|
||
|
|
15.
|
melarang Pihak tertentu menjadi pengendali pada Pihak yang memperoleh izin, persetujuan, atau pendaftaran dari Otoritas Jasa Keuangan yang kriteria larangan Pihak dimaksud ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan;
|
||
|
|
16.
|
menetapkan tugas, kewenangan, dan tanggung jawab Pengelola Statuter pada Penyelenggara Pasar, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Efek, dan/atau Pihak lain yang memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan;
|
||
|
|
17.
|
melakukan pengawasan terhadap kegiatan, Pihak, dan produk yang dapat dilakukan di Pasar Modal, termasuk kegiatan, Pihak, dan produk berdasarkan Prinsip Syariah; dan
|
||
|
|
18.
|
melakukan hal lain yang diberikan berdasarkan Undang-Undang ini.
|
||
|
|
|
|
|
|
3.
|
Di antara Pasal 5 dan Pasal 6 disisipkan 4 (empat) pasal, yakni Pasal SA, Pasal SB, Pasal SC, dan Pasal SD sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 5A
|
||||
|
(1)
|
Pihak yang memperoleh izin, persetujuan, pernyataan efektifnya Pernyataan Pendaftaran, dan surat tanda terdaftar dari Otoritas Jasa Keuangan wajib menjalankan kegiatannya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan menerapkan tata kelola yang baik, standar profesi, dan/atau kode etik.
|
|||
|
(2)
|
Dalam rangka melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan pengawasan dan penegakan hukum terhadap Pihak yang melakukan kegiatan di bidang Pasar Modal yang berdasarkan peraturan perundang-undangan menimbulkan pelanggaran yang bersifat material dan mengakibatkan Pihak yang memperoleh izin, persetujuan, pernyataan efektifnya Pernyataan Pendaftaran, dan surat tanda terdaftar dari Otoritas Jasa Keuangan terganggu kelangsungan usahanya, membahayakan keadaan keuangan lembaga dimaksud, dan/atau membahayakan kepentingan nasabahnya dan/atau pemodal atau investor.
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 5B
|
||||
|
Pihak yang memperoleh izin, persetujuan, pernyataan efektifnya Pernyataan Pendaftaran, dan surat tanda terdaftar dari Otoritas Jasa Keuangan bertanggung jawab terhadap segala kegiatan yang dilakukan oleh anggota direksi, anggota dewan komisaris, pemegang saham utama, pemegang saham pengendali, karyawan, dan Pihak lain yang bekerja untuk Pihak tersebut.
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 5C
|
||||
|
Anggota direksi, anggota dewan komisaris, pemegang saham dan/atau Pihak terafiliasinya dari Pihak yang memperoleh izin, persetujuan, pernyataan efektifnya Pernyataan Pendaftaran, dan surat tanda terdaftar dari Otoritas Jasa Keuangan bertanggung jawab secara pribadi baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri atas kerugian yang diderita Pihak tersebut dan/atau nasabahnya dan/atau pemodal atau investor yang timbul karena:
|
||||
|
a.
|
pemanfaatan Pihak dengan iktikad buruk dan/atau secara melawan hukum untuk kepentingan pribadi anggota direksi, anggota dewan komisaris, pemegang saham dan/atau Pihak terafiliasinya;
|
|||
|
b.
|
anggota direksi, anggota dewan komisaris, pemegang saham dan/atau Pihak terafiliasinya terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Pihak;
|
|||
|
c.
|
anggota direksi, anggota dewan komisaris, pemegang saham dan/atau Pihak terafiliasinya baik langsung maupun tidak langsung dengan iktikad buruk atau secara melawan hukum menggunakan kekayaan Pihak dan/atau nasabahnya, yang mengakibatkan kekayaan Pihak dan/atau nasabahnya menjadi tidak cukup untuk memenuhi kewajiban Pihak dan/atau nasabahnya; atau
|
|||
|
d.
|
anggota direksi dan/atau anggota dewan komisaris bersalah atau lalai dalam menjalankan tugas berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau anggaran dasar.
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 5D
|
||||
|
(1)
|
Pihak yang dapat menyelenggarakan kegiatan usaha sebagai Penyelenggara Pasar di Pasar Modal terdiri atas Bursa Efek dan Penyelenggara Pasar di luar Bursa Efek.
|
|||
|
(2)
|
Penyelenggara Pasar di luar Bursa Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menetapkan peraturan setelah mendapatkan persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(3)
|
Penyelenggara Pasar di luar Bursa Efek yang menyelenggarakan kegiatan di Pasar Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Perseroan yang memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(4)
|
Bursa Efek dapat memberikan jasa lain berdasarkan ketentuan yang ditetapkan atau persetujuan yang diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(5)
|
Penyelenggara Pasar di luar Bursa Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjalankan kegiatan di luar Pasar Modal, sepanjang memperoleh izin dari otoritas yang berwenang.
|
|||
|
(6)
|
Untuk Penyelenggara Pasar di luar Bursa Efek yang menjalankan kegiatan di luar Pasar Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Otoritas Jasa Keuangan dan otoritas lain yang melakukan pengawasan terhadap kegiatan di luar Pasar Modal wajib melakukan koordinasi, dalam rangka:
|
|||
|
|
a.
|
pertukaran dan pemutakhiran data dan informasi;
|
||
|
|
b.
|
pengawasan bersama;
|
||
|
|
c.
|
langkah mitigasi risiko; dan
|
||
|
|
d.
|
langkah lain yang diperlukan dalam rangka pengawasan.
|
||
|
(7)
|
Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara perizinan Penyelenggara Pasar di luar Bursa Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
4.
|
Di antara Pasal 8 dan Pasal 9 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 8A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 8A
|
||||
|
(1)
|
Selain Perusahaan Efek yang telah memperoleh izin usaha untuk melakukan kegiatan sebagai Perantara Pedagang Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pihak lain dapat menjadi pemegang saham Bursa Efek.
|
|||
|
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pihak lain yang dapat menjadi pemegang saham Bursa Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah setelah mendapatkan persetujuan dari DPR.
|
|||
|
|
|
|
|
|
5.
|
Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 13
|
||||
|
(1)
|
Perseroan yang telah mendapatkan izin dari Otoritas Jasa Keuangan dapat menyelenggarakan kegiatan usaha sebagai Lembaga Kliring dan Penjaminan atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
|
|||
|
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara perizinan Lembaga Kliring dan Penjaminan serta Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
6.
|
Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 14
|
||||
|
(1)
|
Lembaga Kliring dan Penjaminan didirikan dengan tujuan menyediakan sarana kliring dan/atau penjaminan penyelesaian Transaksi Efek yang teratur, wajar, dan efisien.
|
|||
|
(2)
|
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian didirikan dengan tujuan menyediakan jasa Kustodian sentral dan penyelesaian transaksi yang teratur, wajar, dan efisien.
|
|||
|
(3)
|
Lembaga Kliring dan Penjaminan serta Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dapat memberikan jasa lain berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(4)
|
Rencana anggaran tahunan dan penggunaan laba Lembaga Kliring dan Penjaminan serta Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib disusun sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh dan dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
7.
|
Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 24
|
||||
|
(1)
|
Reksa Dana dapat menerima dan/atau memberikan pinjaman dengan persyaratan tertentu yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(2)
|
Reksa Dana dapat membeli saham, Unit Penyertaan Reksa Dana, atau produk investasi kolektif selain Reksa Dana lainnya dengan persyaratan tertentu yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(3)
|
Ketentuan mengenai pembatasan investasi Reksa Dana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
8.
|
Setelah Bagian Kedua BAB IV ditambahkan 1 (satu) bagian, yakni Bagian Ketiga sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Pengelolaan Investasi Selain Reksa Dana |
||||
|
|
|
|
|
|
9.
|
Di antara Pasal 29 dan Pasal 30 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 29A dan Pasal 29B sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 29A
|
||||
|
(1)
|
Manajer Investasi dapat melakukan pengelolaan produk investasi kolektif selain Reksa Dana dan pengelolaan investasi nasabah secara individual.
|
|||
|
(2)
|
Pengelolaan produk investasi kolektif selain Reksa Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk:
|
|||
|
|
a.
|
Perseroan;
|
||
|
|
b.
|
Kontrak Investasi Kolektif; atau
|
||
|
|
c.
|
bentuk lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
||
|
(3)
|
Pengelolaan produk investasi kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat bersifat terbuka atau tertutup.
|
|||
|
(4)
|
Pengelolaan produk investasi kolektif dilakukan berdasarkan Kontrak Investasi Kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b antara Manajer Investasi dan bank Kustodian.
|
|||
|
(5)
|
Ketentuan mengenai pengelolaan produk investasi kolektif selain Reksa Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pengelolaan investasi nasabah secara individual diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 298
|
||||
|
(1)
|
Manajer Investasi sebagai pengelola produk investasi kolektif selain Reksa Dana dapat menjual dan membeli kembali Unit Penyertaan atau tanda bukti investasi lain secara terus-menerus atau secara terbatas sampai dengan jumlah Unit Penyertaan atau tanda bukti investasi lain yang ditetapkan dalam Kontrak Investasi Kolektif.
|
|||
|
(2)
|
Dalam hal pemegang Unit Penyertaan atau tanda bukti investasi lainnya melakukan penjualan kembali, Manajer Investasi wajib membeli kembali Unit Penyertaan atau tanda bukti investasi lainnya.
|
|||
|
(3)
|
Pengecualian ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan apabila:
|
|||
|
|
a.
|
Bursa Efek yang memperdagangkan sebagian besar Portofolio Efek produk investasi kolektif selain Reksa Dana, ditutup;
|
||
|
|
b.
|
perdagangan Efek atas sebagian besar Portofolio Efek produk investasi kolektif selain Reksa Dana di Bursa Efek, dihentikan;
|
||
|
|
c.
|
keadaan darurat;
|
||
|
|
d.
|
Unit Penyertaan produk investasi kolektif selain Reksa Dana tersebut merupakan Unit Penyertaan yang dapat diperdagangkan di Bursa Efek; dan/atau
|
||
|
|
e.
|
terdapat hal lain yang ditetapkan dalam kontrak pengelolaan investasi setelah mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||
|
(4)
|
Dalam kondisi tertentu pemenuhan kewajiban membeli kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dengan cara lain.
|
|||
|
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai kondisi tertentu dan cara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
10.
|
Ketentuan BAB V diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
BAB V
PERUSAHAAN EFEK, WAKIL PERUSAHAAN EFEK, PENASIHAT INVESTASI, DAN MANAJER INVESTASI |
||||
|
|
|
|
|
|
11.
|
Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kesatu
Perizinan Perusahaan Efek Pasal 30 |
||||
|
(1)
|
Pihak yang dapat melakukan kegiatan usaha sebagai Perusahaan Efek merupakan Perseroan yang telah memperoleh izin usaha sebagai Perusahaan Efek dari Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(2)
|
Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek atau Manajer Investasi serta kegiatan lain sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(3)
|
Pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek atau Manajer Investasi hanya untuk Efek yang bersifat utang yang jatuh temponya tidak lebih dari 1 (satu) tahun, sertifikat deposito, polis asuransi, Efek yang diterbitkan atau dijamin Pemerintah Indonesia, atau Efek lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan, tidak diwajibkan untuk memperoleh izin usaha sebagai Perusahaan Efek.
|
|||
|
(4)
|
Otoritas Jasa Keuangan dapat mewajibkan Pihak tertentu untuk memperoleh persetujuan atau pendaftaran dari Otoritas Jasa Keuangan sebelum melakukan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek atau Manajer Investasi untuk Efek yang kegiatan usahanya tidak diwajibkan untuk memperoleh izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
|
|||
|
(5)
|
Perseroan yang telah memperoleh izin usaha sebagai Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilarang melakukan perubahan kegiatan usaha.
|
|||
|
(6)
|
Dalam hal izin usaha suatu Perusahaan Efek dicabut, Perusahaan Efek wajib melakukan pembubaran dan pembubaran diumumkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara perizinan, persetujuan, pendaftaran, atau pembubaran Perusahaan Efek dan Pihak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
12.
|
Di antara Pasal 42 dan Pasal 43 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 42A dan Pasal 42B sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 42A
|
||||
|
Dalam pengelolaan investasi, Manajer Investasi dilarang memiliki hubungan Afiliasi dengan bank Kustodian, kecuali hubungan Afiliasi yang terjadi karena kepemilikan atau penyertaan modal Pemerintah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 42B
|
||||
|
Setiap Pihak dilarang memiliki saham dan/atau melakukan tindakan pengendalian pada lebih dari 1 (satu) Perusahaan Efek baik secara langsung maupun tidak langsung, kecuali karena kepemilikan saham atau penyertaan modal Pemerintah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
13.
|
Ketentuan BAB VIII diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
BAB VIII
PENYELESAIAN TRANSAKSI EFEK DAN PENITIPAN KOLEKTIF |
||||
|
|
|
|
|
|
14.
|
Ketentuan Bagian Kesatu diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kesatu
Penyelesaian Transaksi Efek dan Dana Jaminan |
||||
|
|
|
|
|
|
15.
|
Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 55
|
||||
|
(1)
|
Penyelesaian Transaksi Efek dilaksanakan dengan penyelesaian pembukuan, penyelesaian fisik, atau cara lain yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(2)
|
Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib menjamin penyelesaian Transaksi Efek yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(3)
|
Penyelesaian Transaksi Efek oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan dapat berupa serah terima Efek, dana pengganti, atau aset pengganti lainnya yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(4)
|
Tata cara dan penjaminan penyelesaian Transaksi Efek didasarkan pada kontrak antara Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Lembaga Kliring dan Penjaminan, serta Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
|
|||
|
(5)
|
Untuk menjamin penyelesaian Transaksi Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Lembaga Kliring dan Penjaminan dapat menetapkan dana jaminan yang wajib dipenuhi oleh pemakai jasa Lembaga Kliring dan Penjaminan.
|
|||
|
(6)
|
Kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan penetapan dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) mulai berlaku setelah mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian Transaksi Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
16.
|
Di antara Pasal 55 dan Pasal 56 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 55A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 55A
|
||||
|
(1)
|
Dana jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (5) dikelola oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan.
|
|||
|
(2)
|
Dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan milik industri Pasar Modal dan bukan merupakan harta dari Lembaga Kliring dan Penjaminan.
|
|||
|
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
17.
|
Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 61
|
||||
|
Efek dalam Penitipan Kolektif dapat dipinjamkan atau dijaminkan dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko.
|
||||
|
|
|
|
|
|
18.
|
Ketentuan Pasal 64 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 64
|
||||
|
(1)
|
Profesi penunjang Pasar Modal terdiri atas:
|
|||
|
|
a.
|
akuntan publik;
|
||
|
|
b.
|
konsultan hukum;
|
||
|
|
c.
|
penilai;
|
||
|
|
d.
|
notaris; dan
|
||
|
|
e.
|
profesi lain yang ditetapkan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||
|
(2)
|
Untuk dapat melakukan kegiatan di bidang Pasar Modal, profesi penunjang Pasar Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu memperoleh surat tanda terdaftar dari Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(3)
|
Dalam hal tidak terdapat instansi atau lembaga yang berwenang atau memberikan izin pada profesi lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, profesi lain tersebut wajib terlebih dahulu memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(4)
|
Dalam kondisi tertentu, Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan pengecualian penggunaan jasa profesi penunjang Pasar Modal yang telah memperoleh surat tanda terdaftar dari Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pemberian izin dan surat tanda terdaftar profesi penunjang Pasar Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) serta pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
19.
|
Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 66
|
||||
|
(1)
|
Setiap profesi penunjang Pasar Modal wajib menaati kode etik dan standar profesi yang ditetapkan oleh asosiasi profesi masing-masing sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini dan/atau peraturan pelaksanaannya.
|
|||
|
(2)
|
Profesi penunjang Pasar Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendirikan atau menjadi rekan pada kantor profesi penunjang Pasar Modal.
|
|||
|
(3)
|
Kantor profesi penunjang Pasar Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa perorangan atau badan usaha.
|
|||
|
(4)
|
Otoritas Jasa Keuangan dapat mewajibkan kantor profesi penunjang Pasar Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk memperoleh surat tanda terdaftar dari Otoritas Jasa Keuangan sebelum pendiri dan/atau rekan pada kantor profesi penunjang Pasar Modal melakukan kegiatan di bidang Pasar Modal.
|
|||
|
(5)
|
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengatur standar profesi di bidang Pasar Modal dan tata kelola kantor profesi penunjang Pasar Modal.
|
|||
|
|
|
|
|
|
20.
|
Ketentuan Bab IX diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
BAB IX
PENAWARAN EFEK DAN PERUSAHAAN PUBLIK |
||||
|
|
|
|
|
|
21.
|
Ketentuan Bagian Kesatu diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kesatu
Penawaran Efek, Penawaran Umum, dan Pernyataan Pendaftaran |
||||
|
|
|
|
|
|
22.
|
Di antara Pasal 69 dan Pasal 70 disisipkan 4 (empat) pasal, yakni Pasal 69A, Pasal 69B, Pasal 69C, dan Pasal 690 sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 69A
|
||||
|
(1)
|
Dalam rangka memperluas akses Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah untuk mendapatkan pendanaan dari Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan mengatur penghimpunan dana masyarakat melalui penawaran Efek dengan menggunakan jasa penyelenggara sistem elektronik (securities crowd funding) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a angka 7.
|
|||
|
(2)
|
Persyaratan maksimum jumlah penghimpunan dana dan persyaratan pemodal atau investor yang dapat menggunakan mekanisme penawaran Efek dengan menggunakan jasa penyelenggara sistem elektronik (securities crowd funding) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(3)
|
Penyelenggara sistem elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(4)
|
Dalam hal penyelenggara sistem elektronik yang memfasilitasi penghimpunan dana masyarakat melalui penawaran Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan LJK yang telah memiliki izin dari Otoritas Jasa Keuangan, penyelenggara tersebut wajib memperoleh pendaftaran atau persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(5)
|
LJK sebagai penyelenggara sistem elektronik yang memfasilitasi penghimpunan dana masyarakat melalui penawaran Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko.
|
|||
|
(6)
|
Ketentuan mengenai mekanisme penghimpunan dana masyarakat melalui penawaran Efek dengan menggunakan jasa penyelenggara sistem elektronik (securities crowd funding) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5), khususnya meliputi:
|
|||
|
|
a.
|
status perseroan terbuka;
|
||
|
|
b.
|
pemindahan hak atas saham;
|
||
|
|
c.
|
susunan organ Perseroan; dan
|
||
|
|
d.
|
penyelenggaraan rapat umum pemegang saham, dapat dikecualikan dari peraturan perundang-undangan termasuk mengenai perseroan terbatas.
|
||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 69B
|
||||
|
(1)
|
Dalam rangka memberikan pelindungan kepada pemodal atau investor yang memanfaatkan layanan penyelenggara sistem elektronik yang memfasilitasi penghimpunan dana masyarakat melalui penawaran Efek, penyelenggara dana perlindungan pemodal dapat memberikan pelindungan dana pemodal berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(2)
|
Dalam rangka pengawasan, penyelenggara sistem elektronik yang memfasilitasi penghimpunan dana masyarakat melalui penawaran Efek wajib memperhatikan kelengkapan, kecukupan, objektivitas, kemudahan untuk dimengerti, dan kejelasan dokumen penerbit, untuk memastikan bahwa dokumen penerbit telah memenuhi Prinsip Keterbukaan.
|
|||
|
(3)
|
Dalam rangka pengawasan, penyelenggara sistem elektronik yang memfasilitasi penghimpunan dana masyarakat melalui penawaran Efek melaporkan informasi terkait pemodal atau investor dan penerbit yang difasilitasi dalam penawaran Efek sesuai permintaan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(4)
|
Penerbit dilarang melakukan penerbitan Efek melalui lebih dari satu penyelenggara, kecuali ditentukan lain oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 69C
|
||||
|
(1)
|
Dalam rangka pengembangan Pasar Modal, Penawaran Umum perusahaan berinovasi tinggi dengan pertumbuhan cepat dengan karakteristik tertentu, dapat diatur khusus oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(2)
|
Pengaturan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di antaranya mengenai:
|
|||
|
|
a.
|
klasifikasi saham yang dapat diterbitkan;
|
||
|
|
b.
|
tata cara penambahan modal;
|
||
|
|
c.
|
transaksi tertentu; dan
|
||
|
|
d.
|
pencatatan Efek di Penyelenggara Pasar di Pasar Modal.
|
||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 69D
|
||||
|
(1)
|
Bagi Perseroan yang melakukan kegiatan di Pasar Modal berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perseroan terbatas, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
|
|||
|
(2)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditujukan untuk mewujudkan Pasar Modal yang teratur, wajar, efisien, dan melindungi kepentingan pemodal.
|
|||
|
|
|
|
|
|
23.
|
Ketentuan Pasal 70 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 70
|
||||
|
(1)
|
Penawaran Umum hanya dapat dilakukan dengan ketentuan:
|
|||
|
|
a.
|
Emiten telah menyampaikan Pernyataan Pendaftaran kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk menawarkan Efek dengan tujuan menjual Efek kepada masyarakat; dan
|
||
|
|
b.
|
Pernyataan Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam huruf a telah efektif.
|
||
|
(2)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Pihak yang melakukan:
|
|||
|
|
a.
|
penawaran Efek yang bersifat utang dan/atau sukuk yang jatuh temponya tidak lebih dari 1 (satu) tahun;
|
||
|
|
b.
|
penawaran Efek yang diterbitkan dan/atau dijamin Pemerintah Indonesia;
|
||
|
|
c.
|
penawaran Efek bersifat utang dan/atau sukuk yang diterbitkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan khusus kepada investor profesional dalam rangka menjalankan tugas dan fungsinya;
|
||
|
|
d.
|
penawaran atas Efek atau surat berharga yang secara khusus diatur dalam Undang-Undang; atau
|
||
|
|
e.
|
penawaran Efek lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
||
|
(3)
|
Pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan perdagangan Efek bersifat utang Lembaga Penjamin Simpanan dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
24.
|
Di antara Pasal 70 dan Pasal 71 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 70A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 70A
|
||||
|
Kegiatan terkait dengan Efek bersifat utang dalam Pasal 30, Pasal 51, Pasal 53, Pasal 54, dan Pasal 70, berlaku mutatis mutandis untuk sukuk.
|
||||
|
|
|
|
|
|
25.
|
Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 74
|
||||
|
(1)
|
Pernyataan Pendaftaran menjadi efektif pada hari kerja ke-20 (kedua puluh) sejak diterimanya Pernyataan Pendaftaran secara lengkap atau pada tanggal yang lebih awal jika dinyatakan efektif oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(2)
|
Dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta perubahan dan/atau tambahan informasi dari Emiten atau Perusahaan Publik.
|
|||
|
(3)
|
Dalam hal Emiten atau Perusahaan Publik menyampaikan perubahan dan/atau tambahan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pernyataan Pendaftaran tersebut dianggap telah disampaikan kembali pada tanggal diterimanya perubahan atau tambahan informasi tersebut.
|
|||
|
(4)
|
Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan meminta perubahan dan/atau tambahan informasi dari Emiten atau Perusahaan Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penghitungan waktu untuk efektifnya Pernyataan Pendaftaran dihitung sejak tanggal diterimanya perubahan dan/atau tambahan informasi dimaksud.
|
|||
|
(5)
|
Pernyataan Pendaftaran tidak dapat menjadi efektif sampai saat perubahan dan/atau tambahan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterima dan telah memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(6)
|
Jangka waktu Pernyataan Pendaftaran dapat diubah menjadi efektif lebih cepat dari hari kerja ke-20 (kedua puluh) sejak diterimanya Pernyataan Pendaftaran secara lengkap.
|
|||
|
(7)
|
Perubahan jangka waktu Pernyataan Pendaftaran menjadi efektif lebih cepat dari hari kerja ke-20 (kedua puluh) sejak diterimanya Pernyataan Pendaftaran secara lengkap, diatur lebih lanjut oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
26.
|
Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 82
|
||||
|
(1)
|
Otoritas Jasa Keuangan dapat mewajibkan Emiten atau Perusahaan Publik untuk memberikan hak memesan Efek terlebih dahulu kepada setiap pemegang saham secara proporsional.
|
|||
|
(2)
|
Hak memesan Efek terlebih dahulu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan apabila Emiten atau Perusahaan Publik tersebut menerbitkan saham atau Efek yang dapat ditukar dengan saham Emiten atau Perusahaan Publik.
|
|||
|
(3)
|
Otoritas Jasa Keuangan dapat mewajibkan Emiten atau Perusahaan Publik untuk memperoleh persetujuan mayoritas pemegang saham independen apabila Emiten atau Perusahaan Publik melakukan transaksi dimana kepentingan ekonomis Emiten atau Perusahaan Publik berbenturan dengan kepentingan ekonomis pribadi direktur, komisaris, atau pemegang saham utama Emiten atau Perusahaan Publik.
|
|||
|
(4)
|
Otoritas Jasa Keuangan dapat mewajibkan Emiten atau Perusahaan Publik untuk memperoleh persetujuan pemegang saham dalam hal Emiten atau Perusahaan Publik tersebut melakukan transaksi material, perubahan kegiatan usaha, transaksi Afiliasi, penggabungan, pemisahan, peleburan, pengurangan modal, atau pembelian kembali saham.
|
|||
|
(5)
|
Dalam rangka memenuhi asas keterbukaan dan melindungi kepentingan publik, Otoritas Jasa Keuangan dapat mewajibkan Emiten atau Perusahaan Publik untuk memperoleh persetujuan mayoritas pemegang saham independen apabila Emiten atau Perusahaan Publik akan melakukan transaksi selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
|||
|
(6)
|
Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara penerbitan hak memesan Efek terlebih dahulu, transaksi yang mempunyai benturan kepentingan, serta transaksi material dan/atau perubahan kegiatan usaha utama, transaksi Afiliasi, penggabungan, pemisahan, peleburan, pengurangan modal, atau pembelian kembali saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
27.
|
Di antara Pasal 84 dan Pasal 85 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 84A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 84A
|
||||
|
(1)
|
Perusahaan terbuka yang dibatalkan pencatatan sahamnya pada Bursa Efek wajib mengubah status menjadi Perseroan yang tertutup dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(2)
|
Perusahaan terbuka dapat secara sukarela mengubah statusnya menjadi Perseroan yang tertutup setelah memenuhi persyaratan yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
28.
|
Ketentuan Pasal 86 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 86
|
||||
|
(1)
|
Emiten yang pernyataan pendaftarannya telah menjadi efektif atau Perusahaan Publik wajib:
|
|||
|
|
a.
|
menyampaikan laporan secara berkala kepada Otoritas Jasa Keuangan dan mengumumkan laporan tersebut kepada masyarakat; dan
|
||
|
|
b.
|
menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan mengumumkan kepada masyarakat tentang peristiwa material yang dapat memengaruhi harga Efek sesegera mungkin setelah terjadinya peristiwa tersebut.
|
||
|
(2)
|
Emiten yang pernyataan pendaftarannya telah menjadi efektif atau Perusahaan Publik dapat dikecualikan dari kewajiban untuk menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai jangka waktu penyampaian laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan mengumumkan kepada masyarakat tentang peristiwa material yang dapat memengaruhi harga Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
29.
|
Ketentuan Pasal 87 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 87
|
||||
|
(1)
|
Direktur, komisaris Emiten, atau Perusahaan Publik wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai kepemilikan hak suara atas saham Emiten atau Perusahaan Publik, baik langsung maupun tidak langsung dan setiap perubahan kepemilikannya pada Emiten atau Perusahaan Publik dimaksud.
|
|||
|
(2)
|
Setiap Pihak yang secara langsung atau tidak langsung memiliki paling sedikit 5% (lima persen) hak suara atas saham Emiten atau Perusahaan Publik wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan atas kepemilikan dan setiap perubahan kepemilikannya atas saham Emiten atau Perusahaan Publik dimaksud.
|
|||
|
(3)
|
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib disampaikan sesegera mungkin, tetapi tidak lebih dari 5 (lima) hari kerja terhitung sejak terjadinya kepemilikan hak suara atas saham Emiten atau Perusahaan Publik atau perubahan kepemilikan hak suara atas saham Emiten atau Perusahaan Publik.
|
|||
|
(4)
|
Otoritas Jasa Keuangan dapat menentukan persyaratan jangka waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) lebih cepat dari 5 (lima) hari kerja terhitung sejak terjadinya:
|
|||
|
|
a.
|
kepemilikan hak suara atas saham Emiten atau Perusahaan Publik; atau
|
||
|
|
b.
|
perubahan kepemilikan hak suara atas saham Emiten atau Perusahaan Publik.
|
||
|
|
|
|
|
|
30.
|
Di antara Pasal 87 dan Pasal 88 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 87A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 87A
|
||||
|
(1)
|
Dalam hal terjadi likuidasi atas Emiten atau Perusahaan Publik, kedudukan pemegang saham publik adalah satu tingkat di bawah kreditur konkuren dan dalam hal terdapat pembagian sisa harta likuidasi, pemegang saham dimaksud berhak didahulukan dari pemegang saham yang bukan merupakan pemegang saham publik.
|
|||
|
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai batasan pemegang saham publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
31.
|
Di antara Bab X dan Bab XI disisipkan 1 (satu) bab, yakni BAB XA sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
BAB XA
PENANGANAN PENYELENGGARA PASAR DI PASAR MODAL, BURSA EFEK, LEMBAGA KLIRING DAN PENJAMINAN, SERTA LEMBAGA PENYIMPANAN DAN PENYELESAIAN DALAM KONDISI TERTENTU |
||||
|
|
|
|
|
|
32.
|
Di antara Pasal 89 dan Pasal 90 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 89A, Pasal 89B, dan Pasal 89C sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 89A
|
||||
|
(1)
|
Dalam hal Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan:
|
|||
|
|
a.
|
meminta pemegang saham Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian untuk menambah modal;
|
||
|
|
b.
|
memberhentikan sebagian atau seluruh anggota dewan komisaris dan/atau direksi Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sementara waktu dan menunjuk pengelola statuter;
|
||
|
|
c.
|
meminta pemegang saham Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian untuk mengadakan rapat umum pemegang saham;
|
||
|
|
d.
|
memerintahkan Pihak tertentu untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang dinilai dapat mengatasi kesulitan yang dihadapi oleh Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; dan/atau
|
||
|
|
e.
|
tindakan lain untuk menyelesaikan kesulitan yang dapat membahayakan kelangsungan usaha Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
|
||
|
(2)
|
Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat mengatasi kesulitan yang dihadapi oleh Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dan/atau menurut penilaian Otoritas Jasa Keuangan keadaan Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dapat membahayakan industri Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan dapat:
|
|||
|
|
a.
|
mencabut izin usaha Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian;
|
||
|
|
b.
|
memerintahkan direksi atau pengelola statuter untuk segera menyelenggarakan rapat umum pemegang saham guna membubarkan badan hukum Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, dan membentuk tim likuidasi; dan/atau
|
||
|
|
c.
|
menunjuk Pihak tertentu sebagai penyelenggara sementara fungsi Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
|
||
|
(3)
|
Dalam hal rapat umum pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b tidak terselenggara atau memutuskan untuk tidak membubarkan Perseroan, Otoritas Jasa Keuangan meminta kepada pengadilan untuk mengeluarkan penetapan yang berisi pembubaran badan hukum Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, penunjukan tim likuidasi dan perintah pelaksanaan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai kondisi kesulitan yang membahayakan kelangsungan usaha Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 89B
|
||||
|
(1)
|
Dalam hal Perusahaan Efek mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan:
|
|||
|
|
a.
|
meminta pemegang saham Perusahaan Efek untuk menambah modal;
|
||
|
|
b.
|
memberhentikan sebagian atau seluruh dewan komisaris dan/atau direksi Perusahaan Efek sementara waktu dan menunjuk pengelola statuter;
|
||
|
|
c.
|
meminta pemegang saham untuk mengadakan rapat umum pemegang saham Perusahaan Efek;
|
||
|
|
d.
|
memerintahkan Pihak tertentu untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang dinilai dapat mengatasi kesulitan yang dihadapi oleh Perusahaan Efek; dan/atau
|
||
|
|
e.
|
tindakan lain untuk menyelesaikan kesulitan yang dapat membahayakan kelangsungan usaha Perusahaan Efek.
|
||
|
(2)
|
Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat mengatasi kesulitan yang dihadapi oleh Perusahaan Efek dan/atau menurut penilaian Otoritas Jasa Keuangan keadaan Perusahaan Efek dapat membahayakan industri Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan dapat:
|
|||
|
|
a.
|
mencabut izin usaha Perusahaan Efek; dan
|
||
|
|
b.
|
memerintahkan direksi atau pengelola statuter untuk segera menyelenggarakan rapat umum pemegang saham guna membubarkan badan hukum Perusahaan Efek dan membentuk tim likuidasi.
|
||
|
(3)
|
Dalam hal rapat umum pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b tidak terselenggara atau memutuskan untuk tidak membubarkan Perseroan, Otoritas Jasa Keuangan meminta kepada pengadilan untuk mengeluarkan penetapan yang berisi pembubaran badan hukum Perusahaan Efek, penunjukan tim likuidasi dan perintah pelaksanaan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai kondisi kesulitan yang membahayakan kelangsungan usaha Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 89C
|
||||
|
(1)
|
Dalam hal izin usaha Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, atau Perusahaan Efek telah dicabut, badan hukum Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, atau Perusahaan Efek tersebut wajib dibubarkan dan dilikuidasi.
|
|||
|
(2)
|
Nama Perseroan yang pernah digunakan oleh Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, atau Perusahaan Efek yang izin usahanya telah dicabut dan/atau badan hukumnya telah dibubarkan dan dilikuidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat digunakan lagi sebagai nama Perseroan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
33.
|
Ketentuan Pasal 90 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 90
|
||||
|
Dalam kegiatan perdagangan Efek atau kegiatan pengelolaan investasi, setiap Pihak dilarang dengan sengaja baik secara langsung atau tidak langsung:
|
||||
|
a.
|
mengelabui dengan menggunakan nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, dan/atau cara apapun, sehingga Pihak lain terpengaruh untuk:
|
|||
|
|
1.
|
membeli Efek;
|
||
|
|
2.
|
menjual Efek;
|
||
|
|
3.
|
menahan Efek; dan/atau
|
||
|
|
4.
|
menggunakan jasanya untuk mengelola investasi, dengan menyerahkan dana dan/atau Efek untuk dikelola,
|
||
|
|
dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau Pihak lain; dan/atau
|
|||
|
b.
|
membuat pernyataan tidak benar mengenai Informasi atau Fakta Material atau tidak mengungkapkan fakta yang material dengan maksud:
|
|||
|
|
1.
|
menguntungkan atau menghindarkan kerugian untuk diri sendiri atau Pihak lain;
|
||
|
|
2.
|
memengaruhi Pihak lain untuk membeli, menjual, atau menahan Efek; dan/atau
|
||
|
|
3.
|
memengaruhi Pihak lain untuk menggunakan jasanya guna mengelola investasi, dengan menyerahkan dana dan/atau Efek untuk dikelola.
|
||
|
|
|
|
|
|
34.
|
Ketentuan Pasal 91 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 91
|
||||
|
Setiap Pihak dilarang melakukan tindakan baik langsung maupun tidak langsung dengan tujuan untuk menciptakan gambaran semu atau menyesatkan mengenai kegiatan perdagangan, keadaan pasar, atau harga Efek di Penyelenggara Pasar sebagai berikut:
|
||||
|
a.
|
transaksi Efek yang tidak mengakibatkan perubahan kepemilikan;
|
|||
|
b.
|
penawaran jual atau penawaran beli Efek pada harga tertentu, Pihak tersebut juga telah bersekongkol dengan Pihak lain yang melakukan penawaran beli atau penawaran jual Efek yang sama pada harga yang kurang lebih sama; dan/atau
|
|||
|
c.
|
tindakan atau transaksi lain yang berkaitan dengan Efek.
|
|||
|
|
|
|
|
|
35.
|
Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 92
|
||||
|
Setiap Pihak, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan Pihak lain, dilarang melakukan 2 (dua) transaksi Efek atau lebih, baik langsung maupun tidak langsung, yang menciptakan harga Efek tetap, naik, atau turun yang semu baik di Bursa Efek maupun luar Bursa Efek dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau Pihak lain.
|
||||
|
|
|
|
|
|
36.
|
Ketentuan Pasal 93 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 93
|
||||
|
Setiap Pihak dilarang, dengan cara apa pun, membuat pernyataan atau memberikan keterangan yang tidak benar atau menyesatkan sehingga memengaruhi harga Efek apabila pada saat pernyataan dibuat atau keterangan diberikan:
|
||||
|
a.
|
Pihak yang bersangkutan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa pernyataan atau keterangan tersebut tidak benar atau menyesatkan; dan/atau
|
|||
|
b.
|
Pihak yang bersangkutan tidak cukup berhati-hati dalam menentukan kebenaran dari pernyataan atau keterangan tersebut.
|
|||
|
|
|
|
|
|
37.
|
Ketentuan Pasal 94 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 94
|
||||
|
Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan tindakan tertentu yang dapat dilakukan oleh Perusahaan Efek dan/atau Pihak lain yang bukan merupakan tindakan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 dan Pasal 92.
|
||||
|
|
|
|
|
|
38.
|
Ketentuan Pasal 97 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 97
|
||||
|
Setiap Pihak yang memiliki informasi orang dalam dan sepatutnya mengetahui bahwa informasi tersebut merupakan informasi orang dalam dikenai larangan yang sama dengan larangan yang berlaku bagi orang dalam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 dan Pasal 96.
|
||||
|
|
|
|
|
|
39.
|
Di antara BAB XII dan BAB XIII disisipkan 1 (satu) bab, yakni BAB XIIA sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
BAB XIIA
PRINSIP UNA VIA DAN PERINTAH TERTULIS |
||||
|
|
|
|
|
|
40.
|
Di antara Pasal 100 dan Pasal 101 disisipkan 4 (empat) pasal, yakni Pasal 100A, Pasal 100B, Pasal 100C, dan Pasal 100D sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 100A
|
||||
|
(1)
|
Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan:
|
|||
|
|
a.
|
tidak melanjutkan ke tahap penyidikan; atau
|
||
|
|
b.
|
dimulainya tindakan penyidikan,
|
||
|
|
terhadap dugaan terjadinya tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
|
|||
|
(2)
|
Dalam menetapkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan penilaian dengan mempertimbangkan:
|
|||
|
|
a.
|
nilai transaksi dari pelanggaran atau dampak pelanggaran;
|
||
|
|
b.
|
ada atau tidak adanya penyelesaian atas kerugian yang timbul akibat tindak pidana;
|
||
|
|
c.
|
akibat tindak pidana terhadap kegiatan penawaran dan/atau perdagangan Efek secara keseluruhan; dan
|
||
|
|
d.
|
dampak kerugian terhadap sistem Pasar Modal atau kepentingan pemodal atau investor dan/atau masyarakat.
|
||
|
(3)
|
Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menetapkan tidak melanjutkan ke tahap penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan tindakan administratif berupa sanksi administratif dan/atau perintah tertulis terhadap Pihak yang melakukan tindak pidana.
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 100B
|
||||
|
Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menetapkan tindakan administratif berupa sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100A ayat (3) terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100A ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat memberikan perintah tertulis kepada Pihak yang melakukan tindak pidana dimaksud untuk mengembalikan keuntungan yang diperoleh dan/atau kerugian yang dapat dihindari secara tidak sah dari pelanggaran administratif atau tindak pidana.
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 100C
|
||||
|
Otoritas Jasa Keuangan dapat mengenakan sanksi administratif berupa denda dengan disertai perintah tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100B.
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 100D
|
||||
|
(1)
|
Dalam rangka pelaksanaan perintah tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1008, Otoritas Jasa Keuangan dapat memberikan perintah kepada LJK dan/atau Pihak tertentu untuk:
|
|||
|
|
a.
|
memblokir rekening atau membekukan aset Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100B;
|
||
|
|
b.
|
memindahbukukan dana dan/atau Efek dalam rekening Pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a ke rekening yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan;
|
||
|
|
c.
|
mengalihkan aset Pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a kepada Pihak yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan; dan/atau
|
||
|
|
d.
|
mencairkan aset Pihak dalam rekening Efek atau aset Pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a sebagai pemenuhan kewajiban pihak tersebut terhadap perintah Otoritas Jasa Keuangan untuk mengembalikan keuntungan yang diperoleh dan/atau kerugian yang dapat dihindari dari tindak pidana.
|
||
|
(2)
|
Dana yang berasal dari pengembalian keuntungan yang diperoleh atau kerugian yang dihindari secara tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d bukan merupakan penerimaan Otoritas Jasa Keuangan dan digunakan untuk memberikan kompensasi kerugian pemodal atau investor dan/atau pengembangan industri Pasar Modal.
|
|||
|
(3)
|
Otoritas Jasa Keuangan mengumumkan pengenaan pengembalian yang diperoleh atau kerugian yang dihindari secara tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada masyarakat melalui situs web Otoritas Jasa Keuangan dan/atau media massa.
|
|||
|
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembalian keuntungan yang diperoleh atau kerugian yang dihindari secara tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penggunaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
41.
|
Ketentuan Pasal 101 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 101
|
||||
|
(1)
|
Penyidikan atas tindak pidana di bidang Pasar Modal hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(2)
|
Penyidik Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (I) berwenang:
|
|||
|
|
a.
|
menerima laporan, pemberitahuan, atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang Pasar Modal;
|
||
|
|
b.
|
melakukan penelitian atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang Pasar Modal;
|
||
|
|
c.
|
melakukan penelitian terhadap Pihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam tindak pidana di bidang Pasar Modal;
|
||
|
|
d.
|
memanggil, memeriksa, dan meminta keterangan dan barang bukti dari setiap Pihak yang disangka melakukan, atau sebagai saksi dalam tindak pidana di bidang Pasar Modal;
|
||
|
|
e.
|
meminta kepada instansi yang berwenang untuk melakukan penangkalan terhadap orang asing yang diduga akan mengganggu keamanan dan ketertiban umum melalui kegiatan di Pasar Modal;
|
||
|
|
f.
|
melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang Pasar Modal;
|
||
|
|
g.
|
melakukan penggeledahan di setiap tempat tertentu yang diduga terdapat setiap barang bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap barang yang dapat dijadikan bahan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang Pasar Modal;
|
||
|
|
h.
|
memblokir rekening pada bank atau lembaga keuangan lain dari Pihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam tindak pidana di bidang Pasar Modal;
|
||
|
|
i.
|
meminta data, dokumen, atau barang bukti lain baik cetak maupun elektronik kepada penyelenggara jasa telekomunikasi atau penyelenggara jasa penyimpanan data dan/atau dokumen;
|
||
|
|
j.
|
meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang Pasar Modal; dan
|
||
|
|
k.
|
menyatakan saat dimulai dan dihentikannya penyidikan.
|
||
|
(3)
|
Dalam rangka pelaksanaan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berwenang memperoleh keterangan dari bank tentang keadaan keuangan Pihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam tindak pidana di bidang Pasar Modal pada bank.
|
|||
|
(4)
|
Dalam rangka pelaksanaan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi tertentu dalam keadaan mendesak untuk melaksanakan pencegahan terhadap seseorang untuk keluar dari wilayah Republik Indonesia.
|
|||
|
(5)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum sesuai dengan undang-undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(6)
|
Dalam rangka pelaksanaan kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta bantuan aparat penegak hukum lain.
|
|||
|
(7)
|
Setiap pegawai Otoritas Jasa Keuangan yang diberi tugas untuk melakukan penyidikan dilarang memanfaatkan untuk diri sendiri atau mengungkapkan informasi yang diperoleh berdasarkan Undang-Undang ini kepada Pihak mana pun, selain dalam rangka upaya untuk mencapai tujuan Otoritas Jasa Keuangan atau dalam hal diharuskan oleh Undang-Undang lainnya.
|
|||
|
|
|
|
|
|
42.
|
Ketentuan Pasal 103 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 103
|
||||
|
(1)
|
Setiap Pihak yang melakukan kegiatan di Pasar Modal tanpa memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal SD, Pasal 6, atau Pasal 13 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000.000,00 (empat ratus miliar rupiah).
|
|||
|
(2)
|
Setiap Pihak yang melakukan kegiatan di Pasar Modal tanpa memperoleh izin atau persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3), Pasal 30 ayat (1), Pasal 43 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
|
|||
|
(3)
|
Setiap Pihak yang melakukan kegiatan di Pasar Modal tanpa memperoleh izin, persetujuan, atau surat tanda terdaftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), Pasal 48 ayat (1), Pasal 50 ayat (2), atau Pasal 64 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp80.000.000.000,00 (delapan puluh miliar rupiah).
|
|||
|
(4)
|
Setiap Pihak yang melakukan kegiatan sebagai wakil Penjamin Emisi Efek, wakil Perantara Pedagang Efek, wakil Manajer Investasi tanpa memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
|
|||
|
|
|
|
|
|
43.
|
Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 104
|
||||
|
Setiap Pihak yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, atau Pasal 98 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp150.000.000.000,00 (seratus lima puluh miliar rupiah).
|
||||
|
|
|
|
|
|
44.
|
Di antara Pasal 104 dan Pasal 105 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 104A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 104A
|
||||
|
Perusahaan Efek, Penasihat Investasi, atau Pihak terafiliasinya yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
|
||||
|
|
|
|
|
|
45.
|
Ketentuan Pasal 105 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 105
|
||||
|
Manajer Investasi dan/atau Pihak terafiliasinya yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
|
||||
|
|
|
|
|
|
46.
|
Ketentuan Pasal 106 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 106
|
||||
|
(1)
|
Setiap Pihak yang melakukan pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp150.000.000.000,00 (seratus lima puluh miliar rupiah).
|
|||
|
(2)
|
Setiap Pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
|
|||
|
|
|
|
|
|
47.
|
Di antara Pasal 106 dan Pasal 107 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 106A, Pasal 106B, dan Pasal 106C sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 106A
|
||||
|
(1)
|
Kustodian atau Pihak terafiliasinya yang memberikan keterangan mengenai rekening Efek pada Kustodian dimaksud kepada Pihak lain selain kepada Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
|
|||
|
(2)
|
Pihak yang karena kedudukan atau profesinya atau hubungan usahanya dengan Kustodian memperoleh keterangan mengenai rekening Efek dari Kustodian atau Pihak terafiliasinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2), yang memberikan keterangan mengenai rekening Efek kepada Pihak lain secara melawan hukum dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 106B
|
||||
|
Kustodian yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 106C
|
||||
|
Setiap Pihak yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung pemeriksaan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang ini dipidana dengan pidana penjara 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
|
||||
|
|
|
|
|
|
48.
|
Ketentuan Pasal 107 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 107
|
||||
|
Setiap Pihak yang dengan sengaja bertujuan menipu atau merugikan Pihak lain atau menyesatkan Otoritas Jasa Keuangan, menghilangkan, memusnahkan, menghapuskan, mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, atau memalsukan catatan dari Pihak yang memperoleh izin, persetujuan, atau pendaftaran termasuk Emiten dan Perusahaan Publik dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
|
||||
|
|
|
|
|
|
49.
|
Ketentuan Pasal 108 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 108
|
||||
|
Ancaman pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103, Pasal 104, Pasal 104A, Pasal 105,Pasal 106,Pasal 106A,Pasal 106B,Pasal 106C, dan Pasal 107, berlaku pula bagi Pihak baik yang secara langsung maupun tidak langsung memengaruhi Pihak lain untuk melakukan pelanggaran pasal-pasal dimaksud.
|
||||
|
|
|
|
|
|
50.
|
Ketentuan Pasal 109 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 109
|
||||
|
Setiap Pihak yang tidak mematuhi atau menghambat pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 dua ratus miliar rupiah).
|
||||
|
|
|
|
|
|
51.
|
Di antara Pasal 109 dan Pasal 110 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 109A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 109A
|
||||
|
(1)
|
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1), Pasal 103 ayat (2), Pasal 103 ayat (3), Pasal 104, Pasal 104A, Pasal 105, Pasal 106, Pasal 106A, Pasal 106B, Pasal 106C, Pasal 107, Pasal 108, dan Pasal 109 dilakukan oleh korporasi atau badan usaha yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya, pidana dijatuhkan terhadap korporasi atau badan usaha yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya dan/atau anggota direksi atau yang dipersamakan, anggota dewan komisaris atau yang dipersamakan, pemegang saham pengendali atau yang dipersamakan, dan/atau Pihak lain.
|
|||
|
(2)
|
Pidana dijatuhkan terhadap korporasi atau badan usaha yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila tindak pidana:
|
|||
|
|
a.
|
dilakukan atau diperintahkan oleh anggota direksi atau yang dipersamakan, anggota dewan komisaris atau yang dipersamakan, pemegang saham pengendali atau yang dipersamakan, dan/atau Pihak lain;
|
||
|
|
b.
|
dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan atau badan usaha yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya;
|
||
|
|
c.
|
dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan
|
||
|
|
d.
|
dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi atau badan usaha yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya.
|
||
|
(3)
|
Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap korporasi atau badan usaha yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah pidana denda dengan ketentuan untuk:
|
|||
|
|
a.
|
Penyelenggara Pasar, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Efek, lembaga penilai harga Efek, lembaga pendanaan Efek, penyelenggara dana perlindungan pemodal, dan Emiten dipidana dengan pidana denda paling sedikit sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000.000,00 (enam ratus miliar rupiah);
|
||
|
|
b.
|
Biro Administrasi Efek, Penasihat Investasi, Wali Amanat, Perusahaan Publik, dan penyelenggara sistem elektronik yang memfasilitasi penghimpunan dana masyarakat melalui penawaran Efek dipidana dengan pidana denda paling sedikit sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); dan
|
||
|
|
c.
|
korporasi atau badan usaha yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum atau badan lainnya selain huruf a dan huruf b dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000.000,00 (enam ratus miliar rupiah).
|
||
|
(4)
|
Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap korporasi atau badan usaha yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya, dapat dipidana dengan pidana tambahan berupa:
|
|||
|
|
a.
|
pengumuman putusan hakim; dan/atau
|
||
|
|
b.
|
pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha korporasi badan hukum atau badan lainnya, setelah mendapatkan pertimbangan dari Otoritas Jasa Keuangan.
|
||
|
|
|
|
|
|
52.
|
Pasal 110 dihapus.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Bursa Karbon Pasal 23 |
|||||
(1)
|
Perdagangan karbon merupakan mekanisme berbasis pasar untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui kegiatan jual beli unit karbon.
|
||||
(2)
|
Unit karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan efek berdasarkan Undang-Undang ini.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 24 |
|||||
(1)
|
Perdagangan karbon dalam negeri dan/atau luar negeri dapat dilakukan dengan mekanisme bursa karbon.
|
||||
(2)
|
Bursa karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan suatu sistem yang mengatur perdagangan karbon dan/atau catatan kepemilikan unit karbon.
|
||||
(3)
|
Bursa karbon hanya dapat diselenggarakan oleh penyelenggara pasar yang telah memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(4)
|
Berdasarkan peraturan Otoritas Jasa Keuangan, penyelenggara pasar dapat mengembangkan kegiatan atau produk berbasis unit karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
||||
(5)
|
Perdagangan karbon melalui bursa karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
|
||||
|
a.
|
pengembangan infrastruktur perdagangan karbon;
|
|||
|
b.
|
pengaturan pemanfaatan penerimaan negara dari perdagangan karbon; dan/atau
|
|||
|
c.
|
administrasi transaksi karbon.
|
|||
(6)
|
Pengembangan infrastruktur perdagangan karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan secara terkoordinasi antara kementerian/lembaga dengan otoritas pengawas bursa karbon.
|
||||
(7)
|
Pusat bursa karbon berkedudukan di Indonesia.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 25 |
|||||
Perdagangan karbon melalui bursa karbon wajib memenuhi persyaratan dan telah memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 26 |
|||||
(1)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai perdagangan karbon melalui bursa karbon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan setelah dikonsultasikan dengan DPR.
|
||||
(2)
|
Dalam rangka penyusunan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan kementerian dan/atau lembaga berwenang lain terkait.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing Pasal 27 |
|||||
(1)
|
Dalam rangka mendukung kebijakan moneter, Bank Indonesia berwenang melakukan pengaturan, pengembangan, dan pengawasan Pasar Uang, Pasar Valuta Asing, dan transaksi derivatifnya.
|
||||
(2)
|
Dalam melaksanakan kewenangan pengaturan, pengawasan, dan pengembangan Pasar Uang, Pasar Valuta Asing, dan transaksi derivatifnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan pembahasan bersama dengan Pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan sesuai dengan kewenangan masing-masing.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 28 |
|||||
(1)
|
Kegiatan di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing meliputi:
|
||||
|
a.
|
penerbitan instrumen Pasar Uang; dan
|
|||
|
b.
|
transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing.
|
|||
(2)
|
Setiap penerbitan instrumen Pasar Uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib terlebih dahulu memperoleh izin dari Bank Indonesia.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 29 |
|||||
(1)
|
Kewenangan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 untuk mengatur kegiatan di Pasar Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 tidak berlaku bagi Pihak yang melakukan penawaran instrumen Pasar Uang yang diterbitkan dan dijamin oleh Pemerintah Indonesia.
|
||||
(2)
|
Dalam hal terdapat instrumen keuangan yang merupakan kewenangan otoritas lain ditransaksikan di Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta Asing, Bank Indonesia dan otoritas lain melakukan koordinasi dalam harmonisasi pengaturan dan koordinasi pengawasan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 30 |
|||||
(1)
|
Kegiatan di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dapat dilakukan penerbitan dan transaksinya baik secara konvensional maupun berdasarkan Prinsip Syariah.
|
||||
(2)
|
Instrumen Pasar Uang berdasarkan Prinsip Syariah wajib memenuhi Prinsip Syariah yang ditetapkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 31 |
|||||
Dalam penyelenggaraan kegiatan di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing, pembentukan harga acuan wajib dilakukan secara transparan, menggunakan cara dan/atau metode yang kredibel, serta memenuhi ketentuan yang berlaku di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 32 |
|||||
(1)
|
Pihak yang melakukan kegiatan di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing meliputi:
|
||||
|
a.
|
pelaku Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta Asing;
|
|||
|
b.
|
lembaga pendukung Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta Asing; dan
|
|||
|
c.
|
Pihak lainnya yang terkait dengan kegiatan dan transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing.
|
|||
(2)
|
Pihak yang melakukan kegiatan di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing harus menerapkan prinsip kehati-hatian, manajemen risiko, mematuhi pedoman perilaku dan kode etik pasar, serta melakukan Pelindungan Konsumen dan investor.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 33 |
|||||
Sarana kliring (central counterparty) di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing melaksanakan fungsi kliring untuk transaksi yang dilakukan secara over-the-counter di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing dan transaksi Derivatif, baik tanpa novasi maupun dengan novasi sehingga bertindak sebagai pembeli bagi penjual dan sebagai penjual bagi pembeli.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Pengembangan Pasar Keuangan Paragraf 1 pengelolaan Instrumen Keuangan dan/atau Pengelolaan Dana Perwalian Pasal 34 |
|||||
(1)
|
Badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) merupakan badan usaha khusus yang dibentuk untuk melakukan kegiatan sekuritisasi dan/atau melakukan kegiatan pengelolaan dana perwalian yang mencakup kegiatan:
|
||||
|
a.
|
menerima penitipan dan pengelolaan (trust) atas harta milik penitip harta trust berdasarkan perjanjian tertulis antara penerima dan pengelola harta trust (trustee) dengan penitip harta trust (settlor) untuk kepentingan penerima manfaat (beneficiary); dan/atau
|
|||
|
b.
|
melakukan sekuritisasi yang mencakup kegiatan:
|
|||
|
|
1.
|
menerima pengalihan atas aset atau sekumpulan aset termasuk aset keuangan dari kreditur/pemilik aset asal (originator);
|
||
|
|
2.
|
melakukan sekuritisasi atas sekumpulan aset termasuk aset keuangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a; dan
|
||
|
|
3.
|
menerbitkan surat berharga hasil sekuritisasi dimaksud kepada investor (beneficiary).
|
||
(2)
|
Badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) berbentuk perseroan terbatas dengan karakteristik tertentu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
|
||||
(3)
|
Pengelola dana perwalian (trustee) dapat berbentuk badan hukum atau orang perseorangan.
|
||||
(4)
|
Badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan pengelola dana perwalian (trustee) wajib memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan dan dapat memulai kegiatan usahanya sejak memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(5)
|
Dalam hal badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) melakukan kegiatan di bidang atau sektor yang menjadi kewenangan di luar Otoritas Jasa Keuangan, badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) wajib memperoleh izin dari otoritas yang membawahi instrumen atau layanan yang menjadi kegiatan usaha sesuai dengan kewenangannya, dan dapat memulai kegiatan usahanya sejak memperoleh izin.
|
||||
(6)
|
Karakteristik tertentu badan yang melaksanakan kegiatan usaha sebagai pengelola dana perwalian (trustee) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
|
||||
|
a.
|
setiap aset yang diserahkan oleh pemilik aset kepada pengelola dana perwalian (trustee) dalam kegiatan pengelolaan aset bukan merupakan bagian dari kekayaan pengelola dana perwalian (trustee) dan dicatat serta dilaporkan secara terpisah dari aset pengelola dana perwalian (trustee);
|
|||
|
b.
|
pengalihan aset kepada pengelola dana perwalian (trustee) dalam rangka pengelolaan aset dicatat sebagai pemilik tercatat (legal owner) untuk kepentingan penerima manfaat (beneficiary owner);
|
|||
|
c.
|
penerima manfaat berhak atas manfaat dari aset yang diserahkan oleh pemilik aset kepada pengelola dana perwalian (trustee) dalam rangka pelaksanaan kegiatan pengelolaan aset sesuai dengan yang disepakati dalam perjanjian pengelolaan aset;
|
|||
|
d.
|
pengelola dana perwalian (trustee) mempunyai kewenangan dan tugas untuk mengelola, menggunakan dan/atau melepas aset sesuai dengan tugas khusus yang dibebankan kepadanya berdasarkan Undang-Undang ini dan peraturan pelaksananya;
|
|||
|
e.
|
pemilik aset dapat menunjuk satu atau lebih pengelola dana perwalian (trustee) untuk menjalankan kegiatan pengelolaan aset berdasarkan perjanjian pengelolaan aset;
|
|||
|
f.
|
pemilik aset dapat menunjuk satu atau lebih penerima manfaat untuk mendapatkan manfaat atas aset;
|
|||
|
g.
|
pengelola dana perwalian (trustee) harus menghentikan kegiatan usahanya dalam hal:
|
|||
|
|
1.
|
dicabutnya izin usaha pengelola dana perwalian (trustee) oleh Otoritas Jasa Keuangan; dan/atau
|
||
|
|
2.
|
adanya putusan pailit kepada pengelola dana perwalian (trustee) dari pengadilan niaga setempat;
|
||
|
h.
|
kegiatan pengelolaan aset dapat berakhir dengan alasan sebagai berikut:
|
|||
|
|
1.
|
berakhirnya masa berlaku perjanjian pengelolaan aset; atau
|
||
|
|
2.
|
diakhiri oleh pemilik aset;
|
||
|
i.
|
dalam hal kegiatan pengelolaan aset berakhir sebagaimana dimaksud dalam huruf h angka 1, aset yang dikelola melalui kegiatan pengelolaan dana perwalian (trust) wajib diberikan kepada penerima manfaat pada saat berakhirnya perjanjian pengelolaan aset;
|
|||
|
j.
|
pemilik aset dapat mengakhiri kegiatan pengelolaan aset sebagaimana dimaksud dalam huruf h angka 2 dan menyerahkan hasil pengelolaan aset kepada penerima manfaat apabila pengelola dana perwalian (trustee) melanggar perjanjian pengelolaan aset dan/atau menyalahgunakan aset yang diserahkan yang melanggar ketentuan dalam peraturan perundang-undangan;dan
|
|||
|
k.
|
dalam hal pengelola dana perwalian (trustee) dipailitkan sebagaimana dimaksud dalam huruf g angka 2, semua aset dari pemilik aset bukan merupakan bagian dari harta pailit (boedel pailit) dan wajib dikembalikan kepada pemilik aset.
|
|||
(7)
|
Karakteristik tertentu badan yang melaksanakan kegiatan usaha sebagai badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf b meliputi:
|
||||
|
a.
|
didirikan oleh 1 (satu) pemegang saham atau lebih;
|
|||
|
b.
|
dikelola oleh LJK yang diatur dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan atau pihak yang ditunjuk;
|
|||
|
c.
|
memiliki modal dasar tertentu yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan;
|
|||
|
d.
|
memiliki organ paling sedikit 1 (satu) orang anggota Direksi dan 1 (satu) orang anggota Dewan Komisaris;
|
|||
|
e.
|
pemegang saham dan/atau organ Perseroan dilarang melakukan aksi korporasi berupa penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan/atau pemisahan atas Perseroan badan pengelola instrumen keuangan tanpa persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan;
|
|||
|
f.
|
pemegang saham dilarang mengalihkan saham perseroan tanpa persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan;
|
|||
|
g.
|
pemegang saham bertanggung jawab atas kegiatan usaha yang dilaksanakan perseroan; dan
|
|||
.
|
h.
|
pengalihan aset kepada badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dalam rangka sekuritisasi dicatat sebagai kekayaan badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) sebagai pemilik tercatat (legal owner) untuk kepentingan penerima manfaat (beneficiary owner).
|
|||
(8)
|
Kegiatan badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) dapat dilakukan baik secara konvensional maupun berdasarkan Prinsip Syariah.
|
||||
(9)
|
Badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) berdasarkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan dapat membantu kegiatan penerbitan sukuk.
|
||||
(10)
|
Kegiatan usaha badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) diatur dan diawasi oleh otoritas yang membawahi instrumen atau layanan yang menjadi kegiatan usaha sesuai dengan kewenangannya.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 35 |
|||||
(1)
|
Dalam melaksanakan fungsinya, pengelola dana perwalian (trustee) wajib menjaga kerahasiaan data dan transaksi pemilik aset dan penerima manfaat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menjaga tata kelola yang baik (good governance).
|
||||
(2)
|
Terhadap pengelola dana perwalian (trustee) yang berbentuk orang perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) berlaku tata kelola sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
||||
(3)
|
Badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) dilarang:
|
||||
|
a.
|
meminta atau menerima; atau
|
|||
|
b.
|
mengizinkan atau menyetujui untuk menerima,
|
|||
|
suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang, atau barang berharga, untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh keuntungan ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas asetnya.
|
||||
(4)
|
Badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) wajib melaksanakan langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan ketentuan peraturan perundang undangan lainnya bagi badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee).
|
||||
(5)
|
Pemegang saham badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) dilarang menyuruh anggota dewan komisaris, anggota direksi, pegawai/pejabat dari badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee), atau pihak yang bertindak untuk dan atas nama badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) tidak melaksanakan langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
|
||||
(6)
|
Badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) dilarang:
|
||||
|
a.
|
membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam proses laporan, dokumen atau laporan kegiatan badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelolaan dana perwalian, dan/atau laporan transaksi atau rekening pemilik aset;
|
|||
|
b.
|
menghilangkan, tidak memasukkan, atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelolaan dana perwalian, dan/atau laporan transaksi atau rekening pemilik aset; dan
|
|||
|
c.
|
mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening pemilik aset, atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan atau merusak catatan pembukuan tersebut.
|
|||
.
|
|||||
Pasal 36 |
|||||
(1)
|
Permohonan pailit badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) hanya dapat diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(2)
|
Aset yang dialihkan hak, manfaat dan risikonya badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) bukan merupakan bagian dari aset kreditur/pemilik aset asal (originator) dan dicatat terpisah dari aset badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee).
|
||||
(3)
|
Dalam hal kreditur/pemilik aset asal (originator) dipailitkan, semua aset yang hak, manfaat dan risikonya telah dialihkan sepenuhnya kepada badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) tidak termasuk dalam harta pailit (boedel pailit) kreditur/pemilik aset asal (originator).
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 37 |
|||||
Dengan berlakunya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36:
|
|||||
a.
|
pihak atau badan hukum sejenis yang melakukan kegiatan penitipan dan pengelolaan (trust) dan/atau kegiatan sekuritisasi yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini, tetap berlaku sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
|
||||
b.
|
ketentuan mengenai badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dapat berlaku mutatis mutandis terhadap pihak atau badan hukum sejenis yang melakukan kegiatan penitipan dan pengelolaan (trust) dan/atau kegiatan sekuritisasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 38 |
|||||
(1)
|
Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif kepada setiap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 sampai dengan Pasal 37 dan peraturan pelaksanaannya.
|
||||
(2)
|
Ketentuan sanksi dalam peraturan perundang-undangan lainnya berlaku terhadap badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 39
|
|||||
Ketentuan lebih lanjut mengenai badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 sampai dengan Pasal 38 dan perlakuan perpajakannya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Penyelesaian Transaksi Pasal 40 |
|||||
(1)
|
Penyelesaian transaksi efek di Pasar Modal serta instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing di pasar keuangan menganut prinsip:
|
||||
|
a.
|
penyelesaian transaksi efek di Pasar Modal serta instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang telah memenuhi persyaratan, bersifat final dan mengikat;
|
|||
|
b.
|
penyerahan dan/atau pembayaran dalam transaksi efek di Pasar Modal serta instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing; dan
|
|||
|
c.
|
diakuinya proses perhitungan hak dan kewajiban antara 2 (dua) pihak atau lebih yang dilakukan oleh para pihak yang bertransaksi tersebut atau lembaga kliring dan penjaminan atau sarana kliring di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing, lembaga kliring lainnya dengan memperhitungkan secara langsung hasil akhir hak dan kewajiban yang dimiliki para pihak tersebut yang dilakukan dengan mekanisme netting dalam transaksi efek di Pasar Modal serta instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang efisien.
|
|||
(2)
|
Transaksi efek di Pasar Modal serta instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing di pasar keuangan yang terjadi sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang wajib diselesaikan seolah-olah tidak terjadi kepailitan.
|
||||
(3)
|
Transaksi efek di Pasar Modal serta instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing di pasar keuangan yang telah memenuhi persyaratan wajib diselesaikan dan tidak dapat dibatalkan.
|
||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai transaksi efek di Pasar Modal serta instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang bersifat final dan mengikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam peraturan otoritas di sektor keuangan.
|
||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian transaksi Pasar Modal, Pasar Uang, dan Pasar Valuta Asing di pasar keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur oleh otoritas terkait sesuai dengan tugas dan wewenang masing-masing.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 41 |
|||||
(1)
|
Penyelesaian transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing dapat dilakukan dengan mekanisme netting.
|
||||
(2)
|
Dalam hal terjadi wanprestasi oleh salah satu pihak yang bertransaksi, penyelesaian transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing dapat dilakukan melalui perjumpaan utang (close-out netting) sepanjang dipersyaratkan atau diperjanjikan dalam perjanjian induk transaksi keuangan di pasar keuangan yang mensyaratkan pengakhiran transaksi keuangan melalui perjumpaan utang (close-out netting).
|
||||
(3)
|
Dalam hal sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan telah dilaksanakan proses pengakhiran transaksi keuangan melalui perjumpaan utang (close-out netting) terhadap transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang diperjanjikan dalam kontrak, transaksi tersebut wajib diselesaikan.
|
||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian transaksi dan pengakhiran transaksi keuangan melalui perjumpaan utang (close-out netting) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Bank Indonesia.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 42 |
|||||
(1)
|
Pengakhiran transaksi keuangan melalui perjumpaan utang (close-out netting) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dan Pasal 41 dapat dilakukan baik sebelum maupun sesudah terjadi kepailitan.
|
||||
(2)
|
Pelaksanaan pengakhiran transaksi keuangan di pasar keuangan yang dilakukan berdasarkan perjanjian induk transaksi keuangan di pasar keuangan yang mensyaratkan pengakhiran transaksi keuangan melalui perjumpaan utang (close-out netting) oleh debitor pailit tidak dapat dibatalkan pengadilan sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang.
|
||||
(3)
|
Pelaksanaan pengakhiran transaksi keuangan di pasar keuangan yang mensyaratkan pengakhiran transaksi keuangan melalui perjumpaan utang (close-out netting) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak memerlukan permohonan perjumpaan utang sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 43 |
|||||
Kurator tidak dapat membatalkan atau menganggap tidak sah suatu pembayaran atau transfer kolateral yang terjadi sehubungan dengan penyelesaian yang diakhiri dengan menghitung nilai bersih (netting) dari nilai atau jumlah hak atau kewajiban dengan pihak yang mengalami wanprestasi (defaulting party) kecuali terbukti bahwa pembayaran atau transfer kolateral terjadi karena fraud.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 44 |
|||||
(1)
|
Dalam perjanjian pada transaksi di Pasar Modal, Pasar Uang, dan Pasar Valuta Asing termasuk transaksi instrumen Derivatif, para pihak dapat menggunakan kontrak pintar (smart contract) sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai informasi dan transaksi elektronik.
|
||||
(2)
|
Kontrak pintar (smart contract) dan/atau hasil cetaknya dapat menjadi alat bukti hukum yang sah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai informasi dan transaksi elektronik.
|
||||
(3)
|
Penggunaan kontrak pintar (smart contract) diikuti penyimpanan kesepakatan yang paling sedikit memuat syarat dan ketentuan mengenai otomasi pelaksanaan hak dan kewajiban berdasarkan smart contract.
|
||||
(4)
|
Pengaturan mengenai kontrak pintar (smart contract) mengacu kepada pengaturan lebih lanjut oleh otoritas di sektor keuangan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan mengenai informasi dan transaksi elektronik.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 45 |
|||||
(1)
|
Penerbitan, penatausahaan, pencatatan, dan pengalihan kepemilikan efek di Pasar Modal serta instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing dapat dilakukan tanpa warkat (scripless).
|
||||
(2)
|
Efek di Pasar Modal serta instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang diterbitkan tanpa warkat (scripless) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk proses penatausahaan, pencatatan, dan pengalihannya, dapat menjadi alat bukti hukum yang sah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
Instrumen Keuangan Surat Utang Negara Pasal 46 |
|||||
Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan melalui penataan instrumen keuangan surat utang negara, Undang-Undang 1m mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4236).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 47 |
|||||
Ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4236) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 4
|
|||||
Surat Utang Negara diterbitkan untuk tujuan:
|
|||||
a.
|
membiayai defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
|
||||
b.
|
menutup kekurangan kas jangka pendek akibat ketidaksesuaian antara arus kas penerimaan dan pengeluaran dari Rekening Kas Negara dalam 1 (satu) tahun anggaran;
|
||||
c.
|
mengelola portofolio utang negara; dan
|
||||
d.
|
membiayai pembangunan proyek.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketujuh
Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Pasal 48 |
|||||
(1)
|
Dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat untuk melakukan penukaran valuta asing ke rupiah dan penukaran rupiah ke valuta asing, dapat diselenggarakan kegiatan usaha penukaran valuta asing.
|
||||
(2)
|
Kegiatan usaha penukaran valuta asing dapat diselenggarakan oleh:
|
||||
|
a.
|
bank umum, bank umum syariah, bank perekonomian rakyat, dan bank perekonomian rakyat syariah; dan
|
|||
|
b.
|
badan hukum bukan bank.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 49 |
|||||
(1)
|
Penyelenggaraan kegiatan usaha penukaran valuta asing oleh bank umum, bank umum syariah, bank perekonomian rakyat, dan bank perekonomian rakyat syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) huruf a merupakan bagian dari kegiatan usaha bank umum, bank umum syariah, bank perekonomian rakyat, dan bank perekonomian rakyat syariah.
|
||||
(2)
|
Pengaturan, perizinan, pengawasan, pemeriksaan, dan pengenaan sanksi terhadap kegiatan usaha penukaran valuta asing oleh bank umum, bank umum syariah, bank perekonomian rakyat, dan bank perekonomian rakyat syariah dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 50 |
|||||
(1)
|
Bank Indonesia melakukan pengaturan, perizinan, pengawasan, pemeriksaan, dan pengenaan sanksi terhadap kegiatan usaha penukaran valuta asing oleh badan hukum bukan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) huruf b.
|
||||
(2)
|
Badan hukum bukan Bank yang melakukan kegiatan usaha penukaran valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia.
|
||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha penukaran valuta asing oleh badan hukum bukan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bank Indonesia.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB VI
PERASURANSIAN Pasal 51 |
|||||
Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan melalui penataan di sektor perasuransian, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 52 |
|||||
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
|||||
|
|
|
|
|
|
1.
|
Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 1
|
||||
|
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||
|
1.
|
Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:
|
|||
|
|
a.
|
memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
|
||
|
|
b.
|
memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.
|
||
|
2.
|
Asuransi Syariah adalah kumpulan perjanjian, yang terdiri atas perjanjian antara perusahaan asuransi syariah dan pemegang polis dan perjanjian di antara para pemegang polis, dalam rangka pengelolaan kontribusi berdasarkan Prinsip Syariah guna saling menolong dan melindungi dengan cara:
|
|||
|
|
a.
|
memberikan penggantian kepada peserta atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita peserta atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
|
||
|
|
b.
|
memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya peserta atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya peserta dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.
|
||
|
3.
|
Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perasuransian berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
|
|||
|
4.
|
Usaha Perasuransian adalah segala usaha menyangkut jasa pertanggungan atau pengelolaan risiko, pertanggungan ulang risiko, pemasaran dan distribusi produk asuransi atau produk asuransi syariah, konsultasi dan keperantaraan asuransi, konsultasi dan keperantaraan asuransi syariah, reasuransi, atau reasuransi syariah, atau penilaian kerugian asuransi atau penilaian kerugian asuransi syariah.
|
|||
|
5.
|
Usaha Asuransi Umum adalah usaha jasa pertanggungan risiko yang memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti.
|
|||
|
6.
|
Usaha Asuransi Jiwa adalah usaha yang menyelenggarakan jasa penanggulangan risiko yang memberikan pembayaran kepada pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak dalam hal tertanggung meninggal dunia atau tetap hidup, atau pembayaran lain kepada pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak pada waktu tertentu yang diatur dalam perjanjian, yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.
|
|||
|
7.
|
Usaha Reasuransi adalah usaha jasa pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi, perusahaan penjaminan, atau perusahaan reasuransi lainnya.
|
|||
|
8.
|
Usaha Asuransi Umum Syariah adalah usaha pengelolaan risiko berdasarkan Prinsip Syariah guna saling menolong dan melindungi dengan memberikan penggantian kepada peserta atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggungjawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita peserta atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti.
|
|||
|
9.
|
Usaha Asuransi Jiwa Syariah adalah usaha pengelolaan risiko berdasarkan Prinsip Syariah guna saling menolong dan melindungi dengan memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggal atau hidupnya peserta, atau pembayaran lain kepada peserta atau pihak lain yang berhak pada waktu tertentu yang diatur dalam perjanjian, yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.
|
|||
|
10.
|
Usaha Reasuransi Syariah adalah usaha pengelolaan risiko berdasarkan Prinsip Syariah atas risiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi syariah, perusahaan penjaminan syariah, atau perusahaan reasuransi syariah lainnya.
|
|||
|
11.
|
Usaha Pialang Asuransi adalah usaha jasa konsultasi dan/atau keperantaraan dalam penutupan asuransi, penutupan asuransi syariah, penjaminan, penjaminan syariah serta penanganan penyelesaian klaimnya dengan bertindak untuk dan atas nama pemegang polis, tertanggung, peserta, atau penerima jaminan.
|
|||
|
12.
|
Usaha Pialang Reasuransi adalah usaha jasa konsultasi dan/atau keperantaraan dalam penempatan reasuransi atau penempatan reasuransi syariah serta penanganan penyelesaian klaimnya dengan bertindak untuk dan atas nama perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan penjaminan, perusahaan penjaminan syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah yang melakukan penempatan reasuransi atau reasuransi syariah.
|
|||
|
13.
|
Usaha Penilai Kerugian Asuransi adalah usaha jasa penilaian klaim dan/atau jasa konsultasi atas objek asuransi.
|
|||
|
14.
|
Perusahaan Perasuransian adalah perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, perusahaan reasuransi syariah, perusahaan pialang asuransi, perusahaan pialang reasuransi, dan perusahaan penilai kerugian asuransi.
|
|||
|
15.
|
Perusahaan Asuransi adalah perusahaan asuransi umum dan perusahaan asuransi jiwa.
|
|||
|
16.
|
Perusahaan Asuransi Syariah adalah perusahaan asuransi umum syariah dan perusahaan asuransi jiwa syariah.
|
|||
|
17.
|
Pihak adalah orang atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum.
|
|||
|
18.
|
Dana Jaminan adalah kekayaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah yang merupakan jaminan terakhir dalam rangka melindungi kepentingan pemegang polis, tertanggung, atau peserta, dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah dilikuidasi.
|
|||
|
19.
|
Pengendali adalah Pihak yang secara langsung atau tidak langsung mempunyai kemampuan untuk memengaruhi tindakan dan/atau menentukan direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi atau dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi, usaha bersama, Dana Pensiun, atau badan hukum lainnya.
|
|||
|
20.
|
Dana Asuransi adalah kumpulan dana yang berasal dari premi yang dibentuk untuk memenuhi kewajiban yang timbul dari polis yang diterbitkan atau dari klaim asuransi.
|
|||
|
21.
|
Dana Tabarru' adalah kumpulan dana yang berasal dari kontribusi para peserta, yang mekanisme penggunaannya sesuai dengan perjanjian Asuransi Syariah atau perjanjian reasuransi syariah.
|
|||
|
22.
|
Pemegang Polis adalah Pihak yang mengikatkan diri berdasarkan perjanjian dengan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah untuk mendapatkan pelindungan atau pengelolaan atas risiko bagi dirinya, tertanggung, atau peserta lain.
|
|||
|
23.
|
Tertanggung adalah Pihak yang menghadapi risiko sebagaimana diatur dalam perjanjian Asuransi atau perjanjian reasuransi.
|
|||
|
24.
|
Peserta adalah Pihak yang menghadapi risiko sebagaimana diatur dalam perjanjian Asuransi Syariah atau perjanjian reasuransi syariah.
|
|||
|
25.
|
Objek Asuransi adalah jiwa dan raga, kesehatan manusia, tanggung jawab hukum, benda dan jasa, serta semua kepentingan lainnya yang dapat hilang, rusak, rugi, dan/atau berkurang nilainya.
|
|||
|
26.
|
Pialang Asuransi adalah orang yang bekerja pada perusahaan pialang asuransi dan memenuhi persyaratan untuk memberi rekomendasi atau mewakili Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta dalam melakukan penutupan asuransi atau penutupan asuransi syariah dan/atau penyelesaian klaim.
|
|||
|
27.
|
Pialang Reasuransi adalah orang yang bekerja pada perusahaan pialang reasuransi dan memenuhi persyaratan untuk memberi rekomendasi atau mewakili Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan penjaminan, perusahaan penjaminan syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah dalam melakukan penutupan reasuransi atau penutupan reasuransi syariah dan/atau penyelesaian klaim.
|
|||
|
28.
|
Agen Asuransi adalah orang yang bekerja sendiri atau bekerja pada badan usaha, yang bertindak untuk dan atas nama Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dan memenuhi persyaratan untuk mewakili Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah memasarkan produk asuransi atau produk asuransi syariah.
|
|||
|
29.
|
Premi adalah sejumlah uang yang ditetapkan oleh Perusahaan Asuransi atau perusahaan reasuransi dan disetujui oleh Pemegang Polis untuk dibayarkan berdasarkan perjanjian Asuransi atau perjanjian reasuransi, atau sejumlah uang yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mendasari program asuransi wajib untuk memperoleh manfaat.
|
|||
|
30.
|
Kontribusi adalah sejumlah uang yang ditetapkan oleh Perusahaan Asuransi Syariah atau perusahaan reasuransi syariah dan disetujui oleh Pemegang Polis untuk dibayarkan berdasarkan perjanjian Asuransi Syariah atau perjanjian reasuransi syariah untuk memperoleh manfaat dari Dana Tabarru' dan/atau dana investasi Peserta dan untuk membayar biaya pengelolaan atau sejumlah uang yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mendasari program asuransi wajib untuk memperoleh manfaat.
|
|||
|
31.
|
Afiliasi adalah hubungan antara seseorang atau badan hukum dengan satu orang atau lebih, atau badan hukum lain, sedemikian rupa sehingga salah satu dari mereka dapat memengaruhi pengelolaan atau kebijakan dari orang yang lain atau badan hukum yang lain atau sebaliknya.
|
|||
|
32.
|
Program Asuransi Wajib adalah program yang diwajibkan peraturan perundang-undangan bagi seluruh atau kelompok tertentu dalam masyarakat guna mendapatkan pelindungan dari risiko tertentu, tidak termasuk program yang diwajibkan Undang-Undang untuk memberikan pelindungan dasar bagi masyarakat dengan mekanisme subsidi silang dalam penetapan manfaat dan Premi atau Kontribusi.
|
|||
|
33.
|
Pengelola Statuter adalah Pihak yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk mengambil alih kepengurusan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah.
|
|||
|
34.
|
Setiap Orang adalah orang perseorangan, korporasi atau badan usaha yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya.
|
|||
|
35.
|
Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga negara yang independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
36.
|
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan adalah peraturan tertulis yang ditetapkan oleh Dewan Komisioner, mengikat secara umum, dan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
|
|||
|
37.
|
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
|
|||
|
38.
|
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
2.
|
Di antara Pasal 3 dan Pasal 4 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 3A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 3A
|
||||
|
(1)
|
Prinsip Syariah dalam kegiatan perasuransian syariah ditetapkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
|
|||
|
(2)
|
Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditindaklanjuti oleh otoritas terkait dengan membentuk peraturan untuk mengatur kegiatan perasuransian syariah.
|
|||
|
(3)
|
Dalam rangka penyusunan peraturan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), otoritas di sektor jasa keuangan berkoordinasi dengan lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
|
|||
|
(4)
|
Dalam hal lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah belum memberikan fatwa atau tidak ada fatwa atas suatu aktivitas atau produk asuransi syariah, otoritas terkait wajib berkoordinasi dengan lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah dan dapat mengikuti rekomendasi lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
|
|||
|
|
|
|
|
|
3.
|
Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 5
|
||||
|
(1)
|
Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
|
|||
|
(2)
|
Perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Umum Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
|
|||
|
|
a.
|
pemberian manfaat yang terkait kegiatan kredit/pembiayaan antara kreditur dan debitur; dan
|
||
|
|
b.
|
surety ship.
|
||
|
(3)
|
Perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penambahan manfaat yang besarnya didasarkan pada hasil pengelolaan dana.
|
|||
|
(4)
|
Perusahaan Asuransi Umum dan/atau Perusahaan Asuransi Umum Syariah menyelenggarakan usaha pertanggungan atas tanggung jawab hukum pihak ketiga sesuai persyaratan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) dan penyelenggaraan usaha pertanggungan atas tanggung jawab hukum pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
4.
|
Di antara Pasal 5 dan Pasal 6 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal SA sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 5A
|
||||
|
(1)
|
Dalam menyelenggarakan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 5, Perusahaan Perasuransian dapat menggunakan dokumen elektronik.
|
|||
|
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan dokumen elektronik oleh Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
5.
|
Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 11
|
||||
|
(1)
|
Perusahaan Perasuransian wajib menerapkan tata kelola perusahaan yang baik termasuk penataan investasi, manajemen risiko, dan pengendalian internal dalam melakukan kegiatan usahanya.
|
|||
|
(2)
|
Dalam menerapkan tata kelola perusahaan yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Perasuransian wajib menerapkan prinsip kehati-hatian, transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, profesional, dan kewajaran.
|
|||
|
(3)
|
Perusahaan Perasuransian wajib menyusun sistem pengendalian internal dan prosedur internal mengenai pelaksanaan tata kelola perusahaan yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||
|
(4)
|
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dalam mengelola Premi dari Pemegang Polis harus dapat menghitung risiko dan manfaat yang akan didapat oleh Pemegang Polis serta memastikan tidak terjadi kegagalan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dalam memenuhi kewajiban kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta.
|
|||
|
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola perusahaan yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
6.
|
Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 12
|
||||
|
(1)
|
Anggota direksi, anggota dewan komisaris, atau yang setara dengan anggota direksi dan anggota dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, anggota dewan pengawas syariah, aktuaris perusahaan, auditor internal, dan Pengendali setiap saat wajib memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan termasuk memiliki integritas dan kompetensi.
|
|||
|
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
7.
|
Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 15
|
||||
|
Pengendali wajib ikut bertanggungjawab untuk mengganti kerugian Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah dalam hal kerugian dimaksud disebabkan oleh tindakan Pengendali, pengaruh Pengendali, dan/atau tindakan Pihak dalam pengendaliannya.
|
||||
|
|
|
|
|
|
8.
|
Di antara Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal ISA sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 15A
|
||||
|
Pengendali, pemegang saham, anggota direksi, dan/atau anggota dewan komisaris atau yang setara dengan pemegang saham, anggota direksi, dan/atau anggota dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, pegawai, dan/atau pihak lain dilarang meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima tanpa hak suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang atau barang berharga, untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan keluarganya dalam rangka memperoleh jasa, layanan, perolehan bisnis, penempatan investasi, dan/atau pencairan klaim dari Perusahaan Perasuransian.
|
||||
|
|
|
|
|
|
9.
|
Di antara Pasal 21 dan Pasal 22 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 21A dan Pasal 218 sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 21A
|
||||
|
(1)
|
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang memasarkan produk asuransi yang memberikan manfaat yang besarnya didasarkan pada hasil pengelolaan dana wajib mengelompokkan kekayaan dan kewajiban Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta berdasarkan strategi investasi dari setiap kelompok kekayaan dan kewajiban.
|
|||
|
(2)
|
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
|
|||
|
|
a.
|
memberikan informasi secara tertulis mengenai risiko atas strategi investasi dari setiap kelompok kekayaan dan kewajiban; dan
|
||
|
|
b.
|
mengelola Premi atau Kontribusi sesuai dengan strategi investasi dari kelompok kekayaan dan kewajiban yang dipilih Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta.
|
||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 21B
|
||||
|
Setiap Orang dilarang menggelapkan kekayaan yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah dengan cara mengalihkan, menjaminkan, mengagunkan, menggunakan kekayaan, atau melakukan tindakan lain yang merugikan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
10.
|
Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 22
|
||||
|
(1)
|
Perusahaan Perasuransian wajib menyampaikan laporan, informasi, data, dan/atau dokumen kepada Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(2)
|
Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui sistem data elektronik.
|
|||
|
(3)
|
Pemegang saham, anggota direksi, anggota dewan komisaris, atau yang setara dengan pemegang saham, anggota direksi, dan anggota dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, pegawai, dan pihak terafiliasi Perusahaan Perasuransian, dilarang:
|
|||
|
|
a.
|
membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau keuangan;
|
||
|
|
b.
|
menghilangkan, tidak memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau keuangan; dan
|
||
|
|
c.
|
mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau keuangan, atau mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan, atau merusak catatan pembukuan.
|
||
|
(4)
|
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah wajib mengumumkan posisi keuangan, kinerja keuangan, dan kondisi kesehatan keuangan perusahaan dalam surat kabar harian berbahasa Indonesia yang beredar secara nasional dan media elektronik.
|
|||
|
(5)
|
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah wajib menyediakan informasi mengenai posisi keuangan, kinerja keuangan, dan risiko yang dihadapinya kepada pihak yang berkepentingan dengan cara yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
(6)
|
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah wajib mengumumkan laporan keuangan yang telah diaudit paling lama 1 (satu) bulan setelah batas waktu penyampaian laporan keuangan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (6) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
11.
|
Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 23
|
||||
|
(1)
|
Laporan tertentu dan hasil analisis atas laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) tidak dapat dibuka oleh Otoritas Jasa Keuangan kepada pihak lain, kecuali kepada:
|
|||
|
|
a.
|
polisi dan jaksa untuk kepentingan penyidikan;
|
||
|
|
b.
|
hakim untuk kepentingan peradilan;
|
||
|
|
c.
|
pejabat pajak untuk kepentingan perpajakan;
|
||
|
|
d.
|
Bank Indonesia untuk pelaksanaan tugasnya;
|
||
|
|
e.
|
Lembaga Penjamin Simpanan untuk pelaksanaan tugas penyelenggaraan program penjaminan polis; dan
|
||
|
|
f.
|
pihak lain berdasarkan peraturan perundang-undangan.
|
||
|
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara memperoleh laporan tertentu dan hasil analisis atas laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
12.
|
Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 27
|
||||
|
(1)
|
Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, dan Agen Asuransi wajib terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(2).
|
Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, dan Agen Asuransi wajib memiliki pengetahuan dan kemampuan yang cukup serta memiliki reputasi yang baik.
|
|||
|
(3)
|
Tindakan dan perbuatan hukum yang dilakukan oleh Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, dan Agen Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tanggung jawab Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, Perusahaan Asuransi, dan Perusahaan Asuransi Syariah.
|
|||
|
(4)
|
Pembinaan dan pengawasan terhadap Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, dan Agen Asuransi dilakukan oleh Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, Perusahaan Asuransi, dan Perusahaan Asuransi Syariah.
|
|||
|
(5)
|
Pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, Perusahaan Asuransi, dan Perusahaan Asuransi Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak mengurangi kewenangan Otoritas Jasa Keuangan untuk memberikan sanksi terhadap Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, dan Agen Asuransi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
(6)
|
Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, dan Agen Asuransi wajib menerapkan segenap keahlian, perhatian, dan kecermatan dalam melayani atau bertransaksi dengan Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta.
|
|||
|
(7)
|
Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, dan Agen Asuransi wajib memberikan informasi yang benar, tidak palsu, dan/atau tidak menyesatkan kepada calon Pemegang Polis, calon Tertanggung, calon Peserta, Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta mengenai risiko, manfaat, kewajiban, dan pembebanan biaya terkait dengan produk asuransi atau produk asuransi syariah yang ditawarkan.
|
|||
|
(8)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, dan Agen Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (7) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
13.
|
Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 28
|
||||
|
(1)
|
Dalam hal Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam rangka perolehan bisnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), Premi atau Kontribusi dapat dibayarkan langsung oleh Pemegang Polis atau Peserta kepada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah, atau dibayarkan melalui pihak lain yang melakukan kerja sama.
|
|||
|
(2)
|
Pihak lain yang melakukan kerja sama dengan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dalam rangka perolehan bisnis hanya dapat menerima pembayaran Premi atau Kontribusi dari Pemegang Polis atau Peserta apabila diatur dalam perjanjian kerja sama antara pihak lain tersebut dan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah.
|
|||
|
(3)
|
Dalam hal Premi atau Kontribusi dibayarkan melalui pihak lain yang melakukan kerja sama dengan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pertanggungan dinyatakan mulai berlaku dan mengikat para Pihak terhitung sejak Premi atau Kontribusi diterima oleh pihak lain yang melakukan kerja sama dengan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dalam rangka perolehan bisnis.
|
|||
|
(4)
|
Pihak lain yang melakukan kerja sama dengan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah wajib menyerahkan Premi atau Kontribusi kepada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(5)
|
Pihak lain yang melakukan kerja sama dengan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dalam rangka perolehan bisnis dilarang menggelapkan Premi atau Kontribusi.
|
|||
|
(6)
|
Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib memberikan informasi yang benar, tidak palsu, dan/atau tidak menyesatkan kepada calon pemegang polis, calon tertanggung, calon peserta, Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta mengenai risiko, manfaat, kewajiban, dan pembebanan biaya terkait dengan produk asuransi atau produk asuransi syariah yang ditawarkan.
|
|||
|
(7)
|
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah wajib bertanggung jawab atas pembayaran klaim yang timbul apabila pihak lain yang melakukan kerja sama dengan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dalam rangka perolehan bisnis telah menerima Premi atau Kontribusi, tetapi belum menyerahkannya kepada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah tersebut.
|
|||
|
(8)
|
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah wajib membayarkan imbalan jasa keperantaraan kepada pihak lain yang melakukan kerja sama dengan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dalam rangka perolehan bisnis segera setelah menerima Premi atau Kontribusi.
|
|||
|
(9)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama antara Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dengan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (8) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
14.
|
Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 31
|
||||
|
(1)
|
Perusahaan Perasuransian wajib menerapkan segenap keahlian, perhatian, dan kecermatan dalam melayani atau bertransaksi dengan Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta.
|
|||
|
(2)
|
Perusahaan Perasuransian wajib memberikan informasi yang benar, tidak palsu, dan/atau tidak menyesatkan kepada calon Pemegang Polis, calon Tertanggung, calon Peserta, Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta mengenai risiko, manfaat, kewajiban, dan pembebanan biaya terkait dengan produk asuransi atau produk asuransi syariah yang ditawarkan.
|
|||
|
(3)
|
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, perusahaan reasuransi syariah, perusahaan pialang asuransi, perusahaan pialang reasuransi wajib menangani klaim dan keluhan melalui proses yang cepat, sederhana, mudah diakses, dan adil.
|
|||
|
(4)
|
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah dilarang melakukan tindakan yang dapat memperlambat penyelesaian atau pembayaran klaim dan melakukan tindakan yang tidak seharusnya dilakukan sehingga mengakibatkan kelambatan penyelesaian atau pembayaran klaim.
|
|||
|
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan segenap keahlian, perhatian, dan kecermatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penanganan klaim dan keluhan melalui proses yang cepat, sederhana, mudah diakses, dan adil sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
15.
|
Di antara Pasal 39 dan Pasal 40 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 39A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 39A
|
||||
|
(1)
|
Pemerintah dapat membentuk Program Asuransi Wajib sesuai dengan kebutuhan.
|
|||
|
(2)
|
Pemerintah dapat mewajibkan kepada kelompok tertentu dalam masyarakat untuk ikut serta dalam Program Asuransi Wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||
|
(3)
|
Pemerintah dapat mewajibkan kepada kelompok tertentu dalam masyarakat untuk membayar Premi atau Kontribusi keikutsertaan sebagai salah satu sumber pendanaan Program Asuransi Wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
|||
|
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Program Asuransi Wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah setelah mendapatkan persetujuan dari DPR.
|
|||
|
|
|
|
|
|
16.
|
Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 50
|
||||
|
(1)
|
Permohonan pernyataan pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah hanya dapat diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(2)
|
Tata cara dan persyaratan permohonan pernyataan pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
(3)
|
Permohonan pernyataan pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diajukan dalam rangka mengeksekusi putusan pengadilan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
17.
|
Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 51
|
||||
|
(1)
|
Kreditur menyampaikan permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang kepada pengadilan niaga.
|
|||
|
(2)
|
Otoritas Jasa Keuangan menyetujui atau menolak permohonan yang disampaikan oleh kreditur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap.
|
|||
|
(3)
|
Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menolak permohonan yang disampaikan oleh kreditur sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penolakan harus dilakukan secara tertulis dengan disertai alasannya.
|
|||
|
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan permohonan dari kreditur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
18.
|
Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 52
|
||||
|
(1)
|
Dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah dipailitkan atau dilikuidasi, hak Pemegang Polis, Tertanggung, Peserta, dan pihak lain yang berhak atas manfaat asuransi mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hak pihak lainnya dalam pembagian harta kekayaan perusahaan.
|
|||
|
(2)
|
Dalam hal Perusahaan Asuransi atau perusahaan reasuransi dipailitkan atau dilikuidasi, Dana Asuransi harus digunakan terlebih dahulu untuk memenuhi kewajiban kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau pihak lain yang berhak atas manfaat asuransi.
|
|||
|
(3)
|
Dalam hal terdapat kelebihan Dana Asuransi setelah pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kelebihan Dana Asuransi tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada pihak ketiga selain Pemegang Polis, Tertanggung, atau pihak lain yang berhak atas manfaat asuransi.
|
|||
|
(4)
|
Dalam hal Perusahaan Asuransi Syariah atau perusahaan reasuransi syariah dipailitkan atau dilikuidasi, Dana Tabarru', dana tanahud, dan dana investasi peserta tidak dapat digunakan untuk membayar kewajiban selain kepada Pemegang Polis, Peserta, atau pihak lain yang berhak atas manfaat asuransi.
|
|||
|
(5)
|
Dalam hal terdapat kelebihan Dana Tabarru', dana tanahud, dan dana investasi peserta setelah pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kelebihan Dana Tabarru', dana tanahud, dan dana investasi peserta dapat digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada pihak ketiga selain Pemegang Polis, Peserta, atau pihak lain yang berhak atas manfaat asuransi.
|
|||
|
|
|
|
|
|
19.
|
Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 53
|
||||
|
(1)
|
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib menjadi peserta program penjaminan polis.
|
|||
|
(2)
|
Penyelenggaraan program penjaminan polis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam undang-undang.
|
|||
|
(3)
|
Pada saat program penjaminan polis berlaku berdasarkan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ketentuan mengenai Dana Jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf d dan Pasal 20 dinyatakan tidak berlaku untuk Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang menjadi peserta program penjaminan polis.
|
|||
|
|
|
|
|
|
20.
|
Di antara Pasal 62 dan Pasal 63 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 62A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 62A
|
||||
|
(1)
|
Dalam menetapkan Pengelola Statuter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan mempertimbangkan ketersediaan tenaga individu yang akan ditunjuk sebagai Pengelola Statuter.
|
|||
|
(2)
|
Penetapan Pengelola Statuter oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlebih dahulu melalui uji kelayakan dan kepatutan.
|
|||
|
(3)
|
Pengelola Statuter wajib melaporkan setiap keputusan dan tindakan pengelolaannya yang mempunyai pengaruh material dan signifikan kepada Otoritas Jasa Keuangan secara periodik.
|
|||
|
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan Pengelola Statuter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
21.
|
Ketentuan Pasal 64 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 64
|
||||
|
(1)
|
Pengelola Statuter bertanggung jawab atas kerugian Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah dan/atau pihak ketiga jika kerugian tersebut disebabkan oleh kecurangan, ketidakjujuran, atau kesengajaannya untuk tidak mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian.
|
|||
|
(2)
|
Dalam hal kerugian tidak disebabkan oleh kecurangan, ketidakjujuran, atau kesengajaan untuk tidak mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian oleh Pengelola Statuter sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengendali wajib bertanggung jawab atas kerugian Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah dan/atau pihak ketiga.
|
|||
|
|
|
|
|
|
22.
|
Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 71
|
||||
|
(1)
|
Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 3 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 4 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 7 ayat (1), Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 11 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 12 ayat (1), Pasal 13 ayat (1), Pasal 14 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 16 ayat (1), Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 18 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 19 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 20 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 21 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 21A, Pasal 22 ayat (1), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 26 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (6), dan ayat (7), Pasal 28 ayat (4), ayat (7), dan ayat (8), Pasal 29 ayat (3), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 31 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 36, Pasal 39 ayat (5), Pasal 40 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 41 ayat (1), Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 46 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 53 ayat (1), Pasal 54 ayat (1), Pasal 55 ayat (2), Pasal 68 ayat (1), dan Pasal 86 dikenai sanksi administratif.
|
|||
|
(2)
|
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
|||
|
|
a.
|
peringatan tertulis;
|
||
|
|
b.
|
penurunan tingkat kesehatan perusahaan;
|
||
|
|
c.
|
pembatasan kegiatan usaha, untuk sebagian atau seluruh kegiatan usaha;
|
||
|
|
d.
|
larangan untuk memasarkan produk asuransi atau produk asuransi syariah untuk lini usaha tertentu;
|
||
|
|
e.
|
pencabutan izin usaha;
|
||
|
|
f.
|
pembatalan pernyataan pendaftaran bagi Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, dan Agen Asuransi;
|
||
|
|
g.
|
pembatalan pernyataan pendaftaran bagi konsultan aktuaria, akuntan publik, penilai, atau pihak lain yang memberikan jasa bagi Perusahaan Perasuransian;
|
||
|
|
h.
|
pembatalan persetujuan bagi lembaga mediasi atau asosiasi;
|
||
|
|
i.
|
denda administratif; dan/atau
|
||
|
|
j.
|
larangan menjadi Pengendali dan pemegang saham, anggota direksi, anggota dewan komisaris atau yang setara dengan pemegang saham, anggota direksi, dan anggota dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dewan pengawas syariah, atau menduduki jabatan eksekutif di bawah direksi, atau yang setara dengan jabatan eksekutif di bawah direksi pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, pada Perusahaan Perasuransian.
|
||
|
(3)
|
Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menilai kondisi Perusahaan Perasuransian membahayakan kepentingan Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta, Otoritas Jasa Keuangan dapat mengenakan sanksi pencabutan izin usaha tanpa didahului pengenaan sanksi administratif yang lain.
|
|||
|
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) serta besaran denda sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf i diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
23.
|
Di antara Pasal 72 dan Pasal 73 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 72A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 72A
|
||||
|
(1)
|
Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan dimulainya, tidak dilakukannya, atau dihentikannya penyidikan terhadap tindak pidana perasuransian.
|
|||
|
(2)
|
Sebelum menetapkan dimulainya penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan penyelidikan terhadap dugaan tindak pidana perasuransian.
|
|||
|
(3)
|
Pada tahap penyelidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pihak yang diduga melakukan tindak pidana perasuransian dapat mengajukan permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk penyelesaian pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di sektor perasuransian.
|
|||
|
(4)
|
Otoritas Jasa Keuangan melakukan penilaian terhadap permohonan penyelesaian pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan menghitung nilai kerugian atas pelanggaran.
|
|||
|
(5)
|
Dalam melakukan penilaian terhadap permohonan penyelesaian pelanggaran dan perhitungan nilai kerugian atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Otoritas Jasa Keuangan mempertimbangkan minimal:
|
|||
|
|
a.
|
ada atau tidaknya penyelesaian atas kerugian yang timbul akibat tindak pidana;
|
||
|
|
b.
|
nilai transaksi dan/atau nilai kerugian atas pelanggaran; dan
|
||
|
|
c.
|
dampak terhadap sektor perasuransian, Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah, dan/atau kepentingan Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta, dan/atau masyarakat.
|
||
|
(6)
|
Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menyetujui permohonan penyelesaian pelanggaran, pihak yang mengajukan permohonan penyelesaian pelanggaran wajib melaksanakan kesepakatan termasuk membayar ganti rugi.
|
|||
|
(7)
|
Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) telah dipenuhi seluruhnya oleh pihak yang mengajukan permohonan penyelesaian pelanggaran, Otoritas Jasa Keuangan menghentikan penyelidikan.
|
|||
|
(8)
|
Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) merupakan hak dari pihak yang dirugikan dan bukan merupakan pendapatan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(9)
|
Dalam hal:
|
|||
|
|
a.
|
Otoritas Jasa Keuangan tidak menyetujui permohonan penyelesaian atas pelanggaran; atau
|
||
|
|
b.
|
pihak yang mengajukan permohonan penyelesaian pelanggaran tidak memenuhi sebagian atau seluruh kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6),
|
||
|
|
Otoritas Jasa Keuangan berwenang melanjutkan ke tahap penyidikan.
|
|||
|
(10)
|
Penyidikan atas tindak pidana perasuransian hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(11)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian pelanggaran dan permohonan penyelesaian pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (9) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
24.
|
Di antara Pasal 73 dan Pasal 74 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 73A, Pasal 73B, dan Pasal 73C sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 73A
|
||||
|
Pengendali yang tidak melaksanakan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 73B
|
||||
|
Pengendali, pemegang saham, anggota direksi, anggota dewan komisaris, atau yang setara dengan pemegang saham, anggota direksi, dan anggota dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, pegawai, dan/atau pihak lain yang dengan sengaja meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima tanpa hak suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang, atau barang berharga, untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka memperoleh jasa, layanan, perolehan bisnis, penempatan investasi, dan/atau pencairan klaim dari Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15A dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 73C
|
||||
|
Setiap Orang yang menggelapkan kekayaan yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah dengan cara mengalihkan, menjaminkan, mengagunkan, menggunakan kekayaan, atau melakukan tindakan lain yang merugikan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21B dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
|
||||
|
|
|
|
|
|
25.
|
Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 74
|
||||
|
(1)
|
Pemegang saham, anggota direksi, anggota dewan komisaris, atau yang setara dengan pemegang saham, anggota direksi, dan anggota dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, pegawai, dan pihak terafiliasi Perusahaan Perasuransian yang dengan sengaja:
|
|||
|
|
a.
|
membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau keuangan;
|
||
|
|
b.
|
menghilangkan, tidak memasukkan, atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau keuangan; dan/atau
|
||
|
|
c.
|
mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau keuangan, atau mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan, atau merusak catatan pembukuan,
|
||
|
|
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
|
|||
|
(2)
|
Setiap Orang yang dengan sengaja menyebabkan atau turut serta melakukan perbuatan atau melakukan pembantuan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan/atau huruf c dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
|
|||
|
|
|
|
|
|
26.
|
Ketentuan Pasal 75 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 75
|
||||
|
Setiap Orang yang dengan sengaja tidak memberikan informasi atau memberikan informasi yang tidak benar, palsu, dan/atau menyesatkan kepada calon Pemegang Polis, calon Tertanggung, calon Peserta, Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta mengenai risiko, manfaat, kewajiban, dan pembebanan biaya terkait dengan produk asuransi atau produk asuransi syariah yang ditawarkan kepada calon Pemegang Polis, calon Tertanggung, calon Peserta, Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (7), Pasal 28 ayat (6), dan Pasal 31 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
|
||||
|
|
|
|
|
|
27.
|
Di antara Pasal 82 dan Pasal 83 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 82A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 82A
|
||||
|
(1)
|
Selain dijatuhi pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73, Pasal 73A, Pasal 73B, Pasal 73C, Pasal 74, Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81, dan Pasal 82, terpidana dapat dijatuhi pidana tambahan berupa penggantian kerugian apabila tindak pidana mengakibatkan kerugian.
|
|||
|
(2)
|
Pidana tambahan berupa penggantian kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembalikan kepada pihak yang dirugikan sejumlah kerugian yang diderita atau secara proporsional dalam hal jumlah penggantian kerugian tidak mencukupi jumlah total kerugian yang ditimbulkan.
|
|||
|
(3)
|
Dalam melaksanakan putusan pidana denda dan pidana tambahan berupa penggantian kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terpidana diberikan jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak putusan pidana telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
|
|||
|
(4)
|
Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
|
|||
|
(5)
|
Dalam hal terpidana tidak membayar pidana denda dan pidana tambahan berupa penggantian kerugian dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan/atau ayat (4), harta benda terpidana disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi denda dan ganti kerugian tersebut.
|
|||
|
(6)
|
Dalam hal penyitaan dan pelelangan harta benda sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak cukup atau tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, pidana tambahan berupa penggantian kerugian yang tidak dibayar diganti dengan pidana tambahan berupa penjara sebagaimana diancamkan untuk tindak pidana yang bersangkutan.
|
|||
|
(7)
|
Pidana tambahan berupa penggantian kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pidana tambahan berupa penjara sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditentukan oleh hakim dan dicantumkan dalam amar putusan pengadilan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
28.
|
Ketentuan Pasal 87 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 87
|
||||
|
(1)
|
Dalam hal Perusahaan Asuransi atau perusahaan reasuransi memiliki unit syariah, setelah memenuhi persyaratan tertentu yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan, Perusahaan Asuransi atau perusahaan reasuransi dimaksud wajib melakukan pemisahan unit syariah tersebut menjadi Perusahaan Asuransi Syariah atau perusahaan reasuransi syariah.
|
|||
|
(2)
|
Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta pemisahan unit syariah menjadi Perusahaan Asuransi Syariah dan perusahaan reasuransi syariah dalam rangka konsolidasi perasuransian.
|
|||
|
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemisahan dan konsolidasi serta sanksi bagi Perusahaan Asuransi dan perusahaan reasuransi yang tidak melakukan pemisahan unit syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan setelah dikonsultasikan dengan DPR.
|
|||
|
(4)
|
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus ditetapkan dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
BAB VII
ASURANSI USAHA BERSAMA Bagian Kesatu Ruang Lingkup dan Prinsip Usaha Bersama Pasal 53 |
|||||
(1)
|
Usaha Bersama mempunyai ruang lingkup di bidang usaha asuransi jiwa.
|
||||
(2)
|
Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam menjalankan usahanya:
|
||||
|
a.
|
tidak menerbitkan saham;
|
|||
|
b.
|
tidak memiliki modal disetor;
|
|||
|
c.
|
memiliki ekuitas;
|
|||
|
d.
|
dimiliki oleh anggota;
|
|||
|
e.
|
menerbitkan produk asuransi yang menimbulkan pembagian keuntungan dan kerugian atas kegiatan Usaha Bersama bagi anggota; dan
|
|||
|
f.
|
memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan anggota.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 54 |
|||||
(1)
|
Usaha Bersama wajib menerapkan tata kelola perusahaan yang baik termasuk penataan investasi, manajemen risiko, dan pengendalian internal dalam melakukan kegiatan usaha.
|
||||
(2)
|
Dalam menerapkan tata kelola perusahaan yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Usaha Bersama wajib menerapkan prinsip kehati-hatian, transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, profesionalitas, dan kewajaran.
|
||||
(3)
|
Usaha Bersama wajib menyusun sistem pengendalian internal dan prosedur internal mengenai pelaksanaan tata kelola perusahaan yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
||||
(4)
|
Usaha Bersama dalam menetapkan dan mengelola premi dari pemegang polis harus menghitung risiko dan manfaat yang akan didapat oleh pemegang polis atau tertanggung untuk memastikan tidak terjadi kegagalan perusahaan dalam memenuhi kewajiban kepada pemegang polis atau tertanggung.
|
||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola perusahaan yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Anggaran Dasar Usaha Bersama Pasal 55 |
|||||
(1)
|
Anggaran dasar Usaha Bersama minimal memuat:
|
||||
|
a.
|
nama dan tempat kedudukan;
|
|||
|
b.
|
maksud dan tujuan, serta kegiatan usaha;
|
|||
|
c.
|
jangka waktu berdirinya;
|
|||
|
d.
|
hak dan kewajiban bagi anggota;
|
|||
|
e.
|
tata cara pemanfaatan keuntungan oleh anggota dan pembebanan kerugian di antara anggota;
|
|||
|
f.
|
wewenang, penyelenggaraan, kepesertaan, pemilihan peserta, masa tugas, dan pemberhentian peserta RUA;
|
|||
|
g.
|
tata cara pencalonan, pengangkatan, penggantian, serta pemberhentian anggota Direksi Usaha Bersama dan Dewan Komisaris Usaha Bersama;
|
|||
|
h.
|
tata cara pelaksanaan dan pengambilan keputusan dalam rapat Direksi Usaha Bersama dan Dewan Komisaris Usaha Bersama;
|
|||
|
i.
|
perubahan bentuk badan hukum; dan
|
|||
|
j.
|
pembubaran Usaha Bersama.
|
|||
(2)
|
Perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam RUA.
|
||||
(3)
|
Perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk mendapatkan persetujuan.
|
||||
(4)
|
Dalam hal perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan, anggaran dasar yang berlaku adalah anggaran dasar yang telah berlaku sebelumnya.
|
||||
(5)
|
Perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.
|
||||
(6)
|
Usaha Bersama wajib menyampaikan bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kepada Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(7)
|
Otoritas Jasa Keuangan dapat memerintahkan Usaha Bersama untuk melakukan perubahan anggaran dasar guna mewujudkan penyelenggaraan usaha yang sesuai dengan prinsip tata kelola perusahaan yang baik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini dan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian.
|
||||
(8)
|
Usaha Bersama wajib menjalankan perintah dari Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (7).
|
||||
(9)
|
RUA wajib menetapkan perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8).
|
||||
(10)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai muatan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tata cara perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tata cara persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan tata cara penyampaian bukti pengumuman kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Keanggotaan Usaha Bersama Pasal 56 |
|||||
(1)
|
Anggota Usaha Bersama terdiri atas:
|
||||
|
a.
|
pemegang polis perorangan berkewarganegaraan Indonesia; dan
|
|||
|
b.
|
pemegang polis badan hukum, lembaga, kelompok, atau perkumpulan yang tunduk pada hukum Indonesia.
|
|||
(2)
|
Dalam hal pemegang polis merupakan badan hukum, lembaga, kelompok, atau perkumpulan yang tunduk pada hukum Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, keanggotaan dalam Usaha Bersama diwakili oleh pengurus atau pihak yang ditunjuk oleh pemegang polis.
|
||||
(3)
|
Keanggotaan pada Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir apabila:
|
||||
|
a.
|
anggota meninggal dunia;
|
|||
|
b.
|
anggota tidak lagi memiliki polis asuransi pada Usaha Bersama selama 6 (enam) bulan secara berturut turut; atau
|
|||
|
c.
|
keanggotaannya harus berakhir sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(4)
|
Anggota Usaha Bersama berhak:
|
||||
|
a.
|
dipilih menjadi peserta RUA sesuai dengan persyaratan dan mekanisme sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
|
|||
|
b.
|
mendapatkan seluruh keuntungan dari kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(5)
|
Anggota Usaha Bersama wajib:
|
||||
|
a.
|
mematuhi anggaran dasar dan keputusan yang telah disepakati dalam RUA; dan
|
|||
|
b.
|
menanggung seluruh kerugian dari kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(6)
|
Usaha Bersama wajib menyatakan secara jelas hak dan kewajiban anggota di dalam polis.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Organ Usaha Bersama Pasal 57 |
|||||
Organ Usaha Bersama terdiri atas RUA, Direksi Usaha Bersama, dan Dewan Komisaris Usaha Bersama.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 1
RUA Subparagraf 1 Wewenang RUA Pasal 58 |
|||||
(1)
|
RUA mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi Usaha Bersama atau Dewan Komisaris Usaha Bersama dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini.
|
||||
(2)
|
RUA berwenang:
|
||||
|
a.
|
menetapkan kebijakan umum di bidang organisasi, tata kelola, manajemen, anggaran, dan bisnis;
|
|||
|
b.
|
menetapkan anggaran dasar dan perubahannya;
|
|||
|
c.
|
mengangkat, mengganti, dan memberhentikan anggota Direksi Usaha Bersama dan/atau anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama;
|
|||
|
d.
|
meminta keterangan dari Direksi Usaha Bersama dan/atau Dewan Komisaris Usaha Bersama dalam pelaksanaan tugas masing-masing;
|
|||
|
e.
|
menetapkan gaji, tunjangan, dan/atau honorarium anggota Direksi Usaha Bersama dan anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama;
|
|||
|
f.
|
menetapkan pemanfaatan keuntungan dan pembebanan kerugian di antara anggota;
|
|||
|
g.
|
menetapkan pengalihan aset atau portofolio pertanggungan;
|
|||
|
h.
|
menetapkan akuntan publik berdasarkan usulan Dewan Komisaris Usaha Bersama;
|
|||
|
1.
|
mengevaluasi dan mengesahkan rencana kerja dan anggaran;
|
|||
|
J.
|
menilai dan menyetujui laporan tahunan yang minimal memuat laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik, laporan pengurusan yang dilakukan oleh Direksi Usaha Bersama, dan laporan pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Komisaris Usaha Bersama;
|
|||
|
k.
|
menetapkan persetujuan langkah lanjutan dalam rangka penyehatan keuangan;
|
|||
|
l.
|
menyetujui Proposal;
|
|||
|
m.
|
memutuskan pembubaran Usaha Bersama; dan
|
|||
|
n.
|
membentuk tim likuidasi dalam rangka pembubaran Usaha Bersama.
|
|||
(3)
|
Peserta RUA wajib menjalankan wewenangnya sebagai RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan iktikad baik, kehati-hatian, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan Usaha Bersama, serta sesuai dengan maksud dan tujuan Usaha Bersama.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Subparagraf 2
Penyelenggaraan RUA Pasal 59 |
|||||
(1)
|
Penyelenggaraan RUA dapat dilaksanakan secara fisik dan/atau melalui media telekonferensi, konferensi video, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUA saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat.
|
||||
(2)
|
Dalam hal penyelenggaraan RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara fisik, RUA diadakan di tempat kedudukan Usaha Bersama atau di tempat Usaha Bersama melakukan kegiatan usahanya.
|
||||
(3)
|
Tempat pelaksanaan RUA secara fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus terletak di wilayah Negara Republik Indonesia.
|
||||
(4)
|
Usaha Bersama memberitahukan agenda dan materi yang akan dibicarakan dan diputuskan dalam RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 60 |
|||||
(1)
|
RUA terdiri atas RUA tahunan dan RUA luar biasa.
|
||||
(2)
|
Otoritas Jasa Keuangan dapat memerintahkan dilakukannya RUA luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kepentingan Usaha Bersama.
|
||||
(3)
|
RUA dinyatakan sah jika memenuhi kuorum.
|
||||
(4)
|
RUA dinyatakan memenuhi kuorum jika peserta RUA yang hadir telah mencapai 2/3 (dua per tiga) dari peserta RUA.
|
||||
(5)
|
Pemenuhan kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dapat dihitung berdasarkan kehadiran secara fisik dan/atau keikutsertaan peserta RUA melalui media telekonferensi, konferensi video, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUA saling melihat dan mendengar secara langsung, serta berpartisipasi dalam rapat.
|
||||
(6)
|
Keputusan RUA diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat.
|
||||
(7)
|
Dalam hal keputusan musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak tercapai, pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak dari peserta RUA yang hadir.
|
||||
(8)
|
Keputusan RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) dituangkan dalam risalah RUA yang disetujui dan ditandatangani oleh peserta RUA yang hadir.
|
||||
(9)
|
Risalah RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (8) wajib dinyatakan dalam akta notaris.
|
||||
(10)
|
Akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (9) harus disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(11)
|
Keputusan RUA dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian.
|
||||
(12)
|
Otoritas Jasa Keuangan berwenang membatalkan keputusan RUA dalam hal:
|
||||
|
a.
|
dinilai berpotensi membahayakan kepentingan Usaha Bersama;
|
|||
|
b.
|
dinilai berpotensi membahayakan industri perasuransian; dan/atau
|
|||
|
c.
|
tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(13)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (12) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Subparagraf 3
Kepesertaan RUA Pasal 61 |
|||||
(1)
|
Peserta RUA berhak:
|
||||
|
a.
|
menghadiri atau ikut serta dan menggunakan hak suara dalam RUA;
|
|||
|
b.
|
memperoleh keterangan yang berkaitan dengan Usaha Bersama dari Direksi Usaha Bersama dan/atau Dewan Komisaris Usaha Bersama, sepanjang berhubungan dengan agenda RUA dan tidak bertentangan dengan kepentingan Usaha Bersama; dan
|
|||
|
c.
|
memperoleh hanya penggantian biaya dan honorarium yang wajar untuk kehadiran atau keikutsertaannya dalam RUA.
|
|||
(2)
|
Peserta RUA dilarang:
|
||||
|
a.
|
meminta dan/atau menerima fasilitas untuk kepentingan pribadi selain biaya dan/atau honorarium untuk menghadiri RUA;
|
|||
|
b.
|
memengaruhi Direksi Usaha Bersama atau Dewan Komisaris Usaha Bersama dalam melakukan tugas dan kewenangannya selain melalui mekanisme RUA;
|
|||
|
c.
|
memberikan kuasa kepada sesama peserta RUA atau pihak lain untuk hadir atau ikut serta dan menggunakan hak suara dalam RUA; dan
|
|||
|
d.
|
merangkap jabatan sebagai anggota Direksi Usaha Bersama dan/atau anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama.
|
|||
(3)
|
Peserta RUA bertanggung jawab secara pribadi dan tanggung renteng atas kerugian Usaha Bersama dalam hal yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan wewenangnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 62 |
|||||
(1)
|
Peserta RUA berjumlah ganjil paling sedikit 11 (sebelas) orang dan paling banyak 15 (lima belas) orang.
|
||||
(2)
|
Peserta RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perwakilan anggota dari setiap wilayah pemilihan.
|
||||
(3)
|
Jumlah wilayah pemilihan disesuaikan dengan jumlah peserta RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
||||
(4)
|
Jumlah peserta RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pembagian wilayah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam anggaran dasar.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Subparagraf 4
Pemilihan Peserta RUA Pasal 63 |
|||||
(1)
|
Setiap anggota di setiap wilayah pemilihan berhak dipilih menjadi peserta RUA.
|
||||
(2)
|
Penentuan anggota di setiap wilayah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada data domisili terakhir yang tercatat pada sistem Usaha Bersama.
|
||||
(3)
|
Untuk dapat dipilih menjadi peserta RUA, anggota harus memenuhi persyaratan umum sebagai berikut:
|
||||
|
a.
|
warga negara Indonesia;
|
|||
|
b.
|
sehat jasmani dan rohani;
|
|||
|
c.
|
memiliki pengalaman organisasi;
|
|||
|
d.
|
tidak menjadi anggota/pengurus partai politik, calon/anggota legislatif, calon kepala/wakil kepala daerah, atau kepala/wakil kepala daerah;
|
|||
|
e.
|
tidak sedang menjadi tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan; dan
|
|||
|
f.
|
tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan.
|
|||
(4)
|
Selain harus memenuhi persyaratan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3), anggota juga harus memenuhi persyaratan khusus sebagai berikut:
|
||||
|
a.
|
memiliki polis asuransi yang masih aktif dan berlaku serta yang memiliki nilai tunai;
|
|||
|
b.
|
polis asuransi sebagaimana dimaksud dalam huruf a sudah berjalan paling singkat 2 (dua) tahun sebelum tanggal pembentukan Panitia Pemilihan;
|
|||
|
c.
|
polis asuransi sebagaimana dimaksud dalam huruf a belum akan berakhir dalam masa 5 (lima) tahun setelah tanggal pembentukan Panitia Pemilihan; dan
|
|||
|
d.
|
tidak menjadi peserta RUA untuk 2 (dua) periode berturut-turut pada periode sebelumnya.
|
|||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan peserta RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 64 |
|||||
(1)
|
Pemilihan peserta RUA dilakukan oleh Panitia Pemilihan yang dibentuk oleh Dewan Komisaris Usaha Bersama.
|
||||
(2)
|
Dewan Komisaris Usaha Bersama wajib membentuk Panitia Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 6 (enam) bulan sebelum masa kepesertaan RUA periode sebelumnya berakhir.
|
||||
(3)
|
Dalam hal tidak terdapat Dewan Komisaris Usaha Bersama atau Dewan Komisaris Usaha Bersama tidak membentuk Panitia Pemilihan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direksi Usaha Bersama wajib membentuk Panitia Pemilihan.
|
||||
(4)
|
Anggota Panitia Pemilihan berjumlah ganjil paling sedikit 5 (lima) orang dan paling banyak 7 (tujuh) orang.
|
||||
(5)
|
Panitia Pemilihan terdiri atas unsur:
|
||||
|
a.
|
akademisi di bidang perasuransian dan/atau jasa keuangan; dan
|
|||
|
b.
|
profesional di bidang perasuransian dan/atau jasa keuangan.
|
|||
(6)
|
Panitia Pemilihan bertugas untuk melakukan seleksi terhadap bakal calon peserta RUA dari setiap wilayah pemilihan.
|
||||
(7)
|
Panitia Pemilihan menetapkan dan menyampaikan kepada Direksi Usaha Bersama urutan calon peserta RUA dari setiap wilayah pemilihan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (3) dan ayat (4).
|
||||
(8)
|
Direksi Usaha Bersama menyampaikan calon peserta RUA kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk mendapatkan persetujuan.
|
||||
(9)
|
Persetujuan oleh Otoritas Jasa Keuangan diberikan setelah dilakukan penilaian kemampuan dan kepatutan kepada calon peserta RUA.
|
||||
(10)
|
Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan verifikasi atas pelaksanaan proses pemilihan peserta RUA.
|
||||
(11)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pemilihan peserta RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (8) dan penilaian kemampuan dan kepatutan dan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Subparagraf 5
Masa Tugas dan Pemberhentian peserta RUA Pasal 65 |
|||||
(1)
|
Peserta RUA memiliki masa tugas selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali.
|
||||
(2)
|
Status sebagai peserta RUA berakhir apabila peserta RUA:
|
||||
|
a.
|
meninggal dunia;
|
|||
|
b.
|
masa tugas berakhir; atau
|
|||
|
c.
|
diberhentikan sebelum masa tugasnya berakhir.
|
|||
(3)
|
Status peserta RUA berakhir karena diberhentikan sebelum masa tugasnya berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, apabila peserta RUA:
|
||||
|
a.
|
tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai peserta RUA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (3) dan ayat (4) huruf a;
|
|||
|
b.
|
tidak lagi menjadi anggota;
|
|||
|
c.
|
mengundurkan diri;
|
|||
|
d.
|
tidak menghadiri atau tidak ikut serta dalam RUA sebanyak 3 (tiga) kali secara berturut-turut;
|
|||
|
e.
|
ditetapkan sebagai tersangka dengan ancaman pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun; atau
|
|||
|
f.
|
dinyatakan tidak lulus dalam penilaian kembali kemampuan dan kepatutan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
(4)
|
Penetapan pemberhentian peserta RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan keputusan RUA berlaku sejak tanggal keputusan RUA atau tanggal lain yang ditetapkan dalam keputusan RUA.
|
||||
(5)
|
Dalam hal status peserta RUA berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (3), peserta RUA dilarang melakukan tindakan yang berkaitan dengan wewenang dan hak sebagai peserta RUA.
|
||||
(6)
|
Dalam hal status peserta RUA berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kedudukannya digantikan oleh calon peserta RUA dengan terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (9).
|
||||
(7)
|
Peserta RUA pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (6) melanjutkan sisa masa tugas dari peserta RUA yang digantikan.
|
||||
(8)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian peserta RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (7) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 66 |
|||||
(1)
|
Peserta RUA merupakan Pengendali.
|
||||
(2)
|
Dalam hal terdapat Pengendali selain peserta RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan Pengendali lain.
|
||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Direksi Usaha Bersama Subparagraf 1 Pengurusan Usaha Bersama Pasal 67 |
|||||
(1)
|
Untuk kepentingan Usaha Bersama, pengurusan Usaha Bersama dilaksanakan oleh Direksi Usaha Bersama.
|
||||
(2)
|
Usaha Bersama wajib memiliki paling sedikit 3 (tiga) orang Direksi Usaha Bersama yang salah seorang di antaranya diangkat sebagai direktur utama berdasarkan keputusan RUA.
|
||||
(3)
|
Paling sedikit 1/2 (satu per dua) dari jumlah anggota Direksi Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang pengelolaan risiko sesuai dengan bidang usaha dari Usaha Bersama.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Subparagraf 2
Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Direksi Usaha Bersama Pasal 68 |
|||||
(1)
|
Anggota Direksi Usaha Bersama diangkat dan diberhentikan oleh RUA.
|
||||
(2)
|
Anggota Direksi Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
||||
|
a.
|
warga negara Indonesia;
|
|||
|
b.
|
cakap melakukan perbuatan hukum;
|
|||
|
c.
|
mampu untuk bertindak dengan iktikad baik, jujur, dan profesional;
|
|||
|
d.
|
tidak terafiliasi dengan anggota Direksi Usaha Bersama lain, Dewan Komisaris Usaha Bersama, dan/atau peserta RUA;
|
|||
|
e.
|
bebas dari hubungan keuangan atau hubungan lainnya yang dapat memengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak semata mata demi kepentingan Usaha Bersama, kecuali yang berkaitan dengan kedudukannya sebagai anggota;
|
|||
|
f.
|
memiliki pengetahuan yang relevan dengan jabatannya;
|
|||
|
g.
|
mampu bertindak untuk kepentingan Usaha Bersama, tertanggung, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat;
|
|||
|
h.
|
bersedia mendahulukan kepentingan Usaha Bersama, tertanggung, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat daripada kepentingan pribadi;
|
|||
|
i.
|
mampu mengambil keputusan berdasarkan penilaian independen dan objektif untuk kepentingan Usaha Bersama, tertanggung, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat;
|
|||
|
j.
|
mampu menghindarkan penyalahgunaan kewenangannya untuk mendapatkan keuntungan pribadi yang tidak semestinya atau menyebabkan kerugian bagi Usaha Bersama;
|
|||
|
k.
|
telah berpengalaman paling singkat 5 (lima) tahun terakhir di bidang perasuransian dan/atau bidang lain yang relevan serta memiliki latar belakang pendidikan/pelatihan terkait; dan
|
|||
|
l.
|
memenuhi persyaratan lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
(3)
|
Anggota Direksi Usaha Bersama diangkat untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun.
|
||||
(4)
|
Pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Direksi Usaha Bersama ditetapkan dalam keputusan RUA.
|
||||
(5)
|
Anggota Direksi Usaha Bersama yang telah diangkat oleh RUA hanya dapat menjalankan tugas dan wewenangnya setelah memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(6)
|
Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan setelah dilakukan penilaian kemampuan dan kepatutan.
|
||||
(7)
|
Penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan di sektor jasa keuangan.
|
||||
(8)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan anggota Direksi Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Subparagraf 3
Masa Tugas dan Pemberhentian Direksi Usaha Bersama Pasal 69 |
|||||
(1)
|
Anggota Direksi Usaha Bersama hanya dapat menjabat selama 2 (dua) periode berturut-turut dan dapat diangkat kembali setelah paling singkat 1 (satu) periode berikutnya.
|
||||
(2)
|
Anggota Direksi Usaha Bersama berakhir masa jabatannya apabila:
|
||||
|
a.
|
meninggal dunia;
|
|||
|
b.
|
berakhir masa jabatannya; atau
|
|||
|
c.
|
diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir berdasarkan keputusan RUA.
|
|||
(3)
|
Anggota Direksi Usaha Bersama yang jabatannya berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c, tetap bertanggung jawab terhadap tindakannya yang belum diterima pertanggungjawabannya oleh RUA.
|
||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai masa tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pemberhentian anggota Direksi Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Subparagraf 4
Tugas, Wewenang, dan Tanggung Jawab Direksi Usaha Bersama Pasal 70 |
|||||
(1)
|
Direksi Usaha Bersama bertugas untuk menjalankan pengurusan Usaha Bersama untuk kepentingan Usaha Bersama.
|
||||
(2)
|
Pembagian tugas dan wewenang pengurusan di antara anggota Direksi Usaha Bersama ditetapkan berdasarkan keputusan RUA.
|
||||
(3)
|
Dalam hal RUA tidak menetapkan pembagian tugas dan wewenang anggota Direksi Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pembagian tugas dan wewenang anggota Direksi Usaha Bersama ditetapkan berdasarkan keputusan Direksi Usaha Bersama.
|
||||
(4)
|
Anggota Direksi Usaha Bersama wajib melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan iktikad baik, kehati-hatian, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan Usaha Bersama, serta sesuai dengan maksud dan tujuan Usaha Bersama.
|
||||
(5)
|
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi Usaha Bersama berwenang untuk menetapkan kebijakan dalam batas yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan anggaran dasar.
|
||||
(6)
|
Direksi Usaha Bersama bertanggung jawab kepada RUA dalam menjalankan pengurusan Usaha Bersama.
|
||||
(7)
|
Anggota Direksi Usaha Bersama:
|
||||
|
a.
|
bertanggung jawab kepada RUA dalam menjalankan pengurusan Usaha Bersama; dan
|
|||
|
b.
|
bertanggung jawab secara pribadi dan tanggung renteng atas kerugian Usaha Bersama apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(8)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, wewenang, dan tanggung jawab Direksi Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (7) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 71 |
|||||
(1)
|
Anggota Direksi Usaha Bersama wajib mengungkapkan:
|
||||
|
a.
|
kepemilikan sahamnya pada perusahaan lain yang berkedudukan di dalam dan/atau di luar negeri; dan
|
|||
|
b.
|
hubungan keuangan dan/atau hubungan keluarga dengan anggota Direksi Usaha Bersama lain, anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama, dan/atau peserta RUA,
|
|||
|
kepada Usaha Bersama, peserta RUA, dan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(2)
|
Pengungkapan kepemilikan oleh anggota Direksi Usaha Bersama kepada Otoritas Jasa Keuangan disampaikan dalam laporan penerapan tata kelola perusahaan yang baik bagi perusahaan perasuransian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Dewan Komisaris Usaha Bersama Subparagraf 1 Pengawasan Usaha Bersama Pasal 72 |
|||||
(1)
|
Pengawasan Usaha Bersama dilaksanakan oleh Dewan Komisaris Usaha Bersama.
|
||||
(2)
|
Dewan Komisaris Usaha Bersama paling sedikit terdiri atas 3 (tiga) orang anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama yang salah seorang di antaranya diangkat sebagai ketua Dewan Komisaris Usaha Bersama berdasarkan keputusan RUA.
|
||||
(3)
|
Paling sedikit 1/2 (satu per dua) dari jumlah anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama merupakan komisaris independen.
|
||||
(4)
|
Anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama tidak dapat bertindak sendiri-sendiri, melainkan berdasarkan keputusan Dewan Komisaris Usaha Bersama.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Subparagraf 2
Pengangkatan Anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama Pasal 73 |
|||||
(1)
|
Anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama diangkat dan diberhentikan oleh RUA.
|
||||
(2)
|
Anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
||||
|
a.
|
warga negara Indonesia;
|
|||
|
b.
|
cakap melakukan perbuatan hukum;
|
|||
|
c.
|
mampu untuk bertindak dengan iktikad baik, jujur, dan profesional;
|
|||
|
d.
|
tidak terafiliasi dengan Direksi Usaha Bersama, anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama lain, dan/atau peserta RUA;
|
|||
|
e.
|
bebas dari hubungan keuangan atau hubungan lainnya yang dapat memengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak semata mata demi kepentingan Usaha Bersama, kecuali yang berkaitan dengan kedudukannya sebagai anggota;
|
|||
|
f.
|
memiliki pengetahuan yang relevan dengan jabatannya;
|
|||
|
g.
|
mampu bertindak untuk kepentingan Usaha Bersama, tertanggung, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat;
|
|||
|
h.
|
bersedia mendahulukan kepentingan Usaha Bersama, tertanggung, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat dari pada kepentingan pribadi;
|
|||
|
i.
|
mampu mengambil keputusan berdasarkan penilaian independen dan objektif untuk kepentingan Usaha Bersama, tertanggung, dan/atau pihak yang berhak memperoleh manfaat;
|
|||
|
j.
|
mampu menghindarkan penyalahgunaan kewenangannya untuk mendapatkan keuntungan pribadi yang 'tidak semestinya atau menyebabkan kerugian bagi Usaha Bersama; dan
|
|||
|
k.
|
persyaratan lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
(3)
|
Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama independen juga harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
||||
|
a.
|
bukan merupakan anggota;
|
|||
|
b.
|
bebas dari segala kepentingan dan kegiatan bisnis atau hubungan lain yang dapat diinterpretasikan akan menghalangi atau mengurangi kemampuan komisaris independen untuk bertindak dan berpikir independen demi kepentingan Usaha Bersama;
|
|||
|
c.
|
tidak menduduki jabatan Direksi Usaha Bersama dalam kurun waktu 1 (satu) tahun terakhir; dan
|
|||
|
d.
|
persyaratan lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
(4)
|
Anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama diangkat untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun.
|
||||
(5)
|
Pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama ditetapkan dalam keputusan RUA.
|
||||
(6)
|
Anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama yang telah diangkat oleh RUA hanya dapat menjalankan tugas dan wewenangnya setelah mendapatkan persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(7)
|
Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan setelah dilakukan penilaian kemampuan dan kepatutan.
|
||||
(8)
|
Penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan di sektor jasa keuangan.
|
||||
(9)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (7) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Subparagraf 3
Masa Tugas dan Pemberhentian Dewan Komisaris Usaha Bersama Pasal 74 |
|||||
(1)
|
Anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama hanya dapat menjabat selama 2 (dua) periode secara berturut-turut dan dapat diangkat kembali setelah paling singkat 1 (satu) periode berikutnya.
|
||||
(2)
|
Anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama berakhir masa jabatannya apabila:
|
||||
|
a.
|
meninggal dunia;
|
|||
|
b.
|
berakhir masa jabatannya; atau
|
|||
|
c.
|
diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir berdasarkan keputusan RUA.
|
|||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai masa tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tata cara pemberhentian Anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Subparagraf 4
Tugas, Wewenang, dan Tanggung Jawab Dewan Komisaris Usaha Bersama Pasal 75 |
|||||
(1)
|
Dewan Komisaris Usaha Bersama bertugas:
|
||||
|
a.
|
melakukan pengawasan terhadap pengurusan Usaha Bersama yang dilakukan oleh Direksi Usaha Bersama;
|
|||
|
b.
|
memberikan nasihat kepada Direksi Usaha Bersama dalam melaksanakan kegiatan pengurusan Usaha Bersama; dan
|
|||
|
c.
|
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pemilihan peserta RUA oleh Panitia Pemilihan.
|
|||
(2)
|
Anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama wajib melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) dengan iktikad baik, kehati-hatian, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan Usaha Bersama serta sesuai dengan maksud dan tujuan Usaha Bersama.
|
||||
(3)
|
Dalam menjalankan tugasnya, Dewan Komisaris Usaha Bersama berwenang untuk:
|
||||
|
a.
|
secara bersama-sama atau sendiri-sendiri meminta Direksi Usaha Bersama untuk menyediakan informasi, data, dan dokumen Usaha Bersama;
|
|||
|
b.
|
memberikan rekomendasi pemberhentian dan/atau pengangkatan Direksi Usaha Bersama kepada RUA;
|
|||
|
c.
|
memberhentikan sementara waktu anggota Direksi Usaha Bersama;
|
|||
|
d.
|
menyampaikan usulan calon akuntan publik kepada RUA;
|
|||
|
e.
|
mengangkat Panitia Pemilihan; dan
|
|||
|
f.
|
melaksanakan kewenangan lain dalam rangka tugas pengawasan dan pemberian nasihat sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan anggaran dasar Usaha Bersama.
|
|||
(4)
|
Dewan Komisaris Usaha Bersama bertanggung jawab kepada RUA atas pelaksanaan tugas dan wewenangnya.
|
||||
(5)
|
Anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama:
|
||||
|
a.
|
bertanggung jawab kepada RUA atas pelaksanaan tugas dan wewenangnya; dan
|
|||
|
b.
|
bertanggung jawab secara pribadi dan tanggung renteng atas kerugian Usaha Bersama apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, wewenang, dan tanggungjawab anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 76 |
|||||
(1)
|
Anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama wajib mengungkapkan:
|
||||
|
a.
|
kepemilikan sahamnya pada perusahaan lain yang berkedudukan di dalam dan/atau di luar negeri; dan
|
|||
|
b.
|
hubungan keuangan dan/atau hubungan keluarga dengan anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama lain, anggota Direksi Usaha Bersama, dan/atau peserta RUA,
|
|||
|
kepada Usaha Bersama, peserta RUA, dan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(2)
|
Pengungkapan kepemilikan oleh anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama kepada Otoritas Jasa Keuangan disampaikan dalam laporan penerapan tata kelola perusahaan yang baik bagi perusahaan perasuransian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Perubahan Bentuk Badan Hukum Pasal 77 |
|||||
(1)
|
Usaha Bersama dapat melakukan perubahan bentuk badan hukum menjadi perseroan terbatas.
|
||||
(2)
|
Perubahan bentuk badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan prinsip:
|
||||
|
a.
|
wajar dan adil;
|
|||
|
b.
|
transparan; dan
|
|||
|
c.
|
memperhatikan hak dan kewajiban anggota.
|
|||
(3)
|
Perubahan bentuk badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat diusulkan oleh:
|
||||
|
a.
|
lebih dari 1/2 (satu per dua) dari seluruh peserta RUA;
|
|||
|
b.
|
Dewan Komisaris Usaha Bersama; atau
|
|||
|
c.
|
Direksi Usaha Bersama.
|
|||
(4)
|
Dewan Komisaris Usaha Bersama wajib melakukan pengawasan proses perubahan bentuk badan hukum Usaha Bersama.
|
||||
(5)
|
Rencana perubahan bentuk badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam Proposal dan harus mendapatkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(6)
|
Proposal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus mendapatkan persetujuan RUA terlebih dahulu sebelum disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(7)
|
Perubahan bentuk badan hukum Usaha Bersama mengakibatkan:
|
||||
|
a.
|
seluruh aset dan liabilitas, serta hak dan kewajiban hukum Usaha Bersama menjadi aset dan liabilitas, serta hak dan kewajiban hukum badan hukum baru; dan
|
|||
|
b.
|
semua pegawai Usaha Bersama beralih menjadi pegawai badan hukum baru.
|
|||
(8)
|
Pada saat Usaha Bersama berubah menjadi badan hukum baru, Usaha Bersama dinyatakan bubar tanpa likuidasi.
|
||||
(9)
|
Proses pendirian badan hukum baru dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(10)
|
Direksi Usaha Bersama wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan terkait:
|
||||
|
a.
|
proses perubahan bentuk badan hukum Usaha Bersama sesuai dengan Proposal yang telah mendapatkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan;
|
|||
|
b.
|
proses pengawasan oleh Dewan Komisaris terkait proses perubahan bentuk badan hukum Usaha Bersama; dan
|
|||
|
c.
|
laporan penyelesaian perubahan bentuk badan hukum Usaha Bersama.
|
|||
(11)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan perubahan bentuk badan hukum Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (10) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
Pembubaran Usaha Bersama Pasal 78 |
|||||
(1)
|
Pembubaran Usaha Bersama dilakukan apabila izin usaha dari Usaha Bersama dicabut oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(2)
|
Pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal Usaha Bersama:
|
||||
|
a.
|
menghentikan kegiatan usaha;
|
|||
|
b.
|
melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
|
|||
|
c.
|
dinyatakan pailit dan telah dilakukan pemberesan harta Usaha Bersama, serta kepailitan dinyatakan berakhir berdasarkan penetapan pengadilan.
|
|||
(3)
|
Pembubaran Usaha Bersama karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a wajib terlebih dahulu mendapatkan persetujuan RUA untuk melakukan penghentian kegiatan usaha.
|
||||
(4)
|
Status badan hukum Usaha Bersama berakhir sejak tanggal pengumuman berakhirnya likuidasi dalam Berita Negara Republik Indonesia.
|
||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembubaran Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB VIII
PROGRAM PENJAMINAN POLIS Bagian Kesatu Penyelenggaraan Program Penjaminan Polis Pasal 79 |
|||||
(1)
|
Berdasarkan Undang-Undang ini diselenggarakan program penjaminan polis.
|
||||
(2)
|
Penyelenggaraan program penjaminan polis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk melindungi pemegang polis, tertanggung, atau peserta dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang dicabut izin usahanya akibat mengalami kesulitan keuangan.
|
||||
(3)
|
Program penjaminan polis dapat menggunakan Prinsip Syariah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Kepesertaan Pasal 80 |
|||||
(1)
|
Setiap Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib menjadi peserta program penjaminan polis.
|
||||
(2)
|
Untuk menjadi peserta program penjaminan polis pada saat pertama kali, Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib memenuhi persyaratan tingkat kesehatan tertentu.
|
||||
(3)
|
Kriteria persyaratan tingkat kesehatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan setelah dikoordinasikan dengan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 81 |
|||||
(1)
|
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang menjadi peserta program penjaminan polis wajib:
|
||||
|
a.
|
menyerahkan dokumen sebagai berikut:
|
|||
|
|
1.
|
salinan anggaran dasar dan/atau akta pendirian Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dan perubahannya;
|
||
|
|
2.
|
salinan dokumen perizinan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah; dan
|
||
|
|
3.
|
surat pernyataan dari masing-masing Pengendali dan anggota direksi, anggota dewan komisaris atau yang setara dengan anggota direksi, anggota dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau Usaha Bersama, yang memuat:
|
||
|
|
|
a)
|
komitmen dan kesediaan masing-masing anggota direksi, anggota dewan komisaris, dan Pengendali atau yang setara dengan anggota direksi, anggota dewan komisaris, dan Pengendali pada badan hukum berbentuk koperasi atau Usaha Bersama, untuk mematuhi seluruh ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan;
|
|
|
|
|
b)
|
kesediaan untuk bertanggung jawab secara pribadi atas kelalaian dan/atau perbuatan yang melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian atau membahayakan kelangsungan usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah; dan
|
|
|
|
|
c)
|
kesediaan untuk melepaskan dan menyerahkan kepada Lembaga Penjamin Simpanan segala hak, kepemilikan, kepengurusan, dan/atau kepentingan apabila Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dicabut izin usahanya.
|
|
|
b.
|
membayar iuran awal kepesertaan;
|
|||
|
c.
|
membayar iuran berkala penjaminan;
|
|||
|
d.
|
menyampaikan laporan secara berkala dalam format yang ditentukan;
|
|||
|
e.
|
menyampaikan data, informasi, dan dokumen yang dibutuhkan dalam rangka penyelenggaraan penjaminan polis;
|
|||
|
f.
|
menempatkan bukti kepesertaan di dalam kantor usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah atau tempat lainnya sehingga dapat diketahui dengan mudah oleh masyarakat; dan
|
|||
|
g.
|
memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pelaksanaan program penjaminan polis.
|
|||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 82 |
|||||
(1)
|
Iuran awal kepesertaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) huruf b dibayarkan 1 (satu) kali pada saat Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah menjadi peserta.
|
||||
(2)
|
Iuran berkala penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) huruf c dibayarkan 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun untuk:
|
||||
|
a.
|
pembayaran periode 1 Januari sampai dengan 30 Juni; dan
|
|||
|
b.
|
pembayaran periode 1 Juli sampai dengan 31 Desember.
|
|||
(3)
|
Iuran berkala penjaminan untuk masing-masing periode sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibayarkan paling lambat tanggal:
|
||||
|
a.
|
31 Januari untuk periode sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a; dan
|
|||
|
b.
|
31 Juli untuk periode sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b.
|
|||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai iuran awal kepesertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan iuran berkala penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah setelah dikonsultasikan dengan DPR.
|
||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Ruang Lingkup dan Mekanisme Penjaminan Pasal 83 |
|||||
(1)
|
Program penjaminan polis hanya menjamin unsur proteksi dari produk asuransi pada lini usaha tertentu.
|
||||
(2)
|
Program asuransi sosial dan program asuransi wajib dikecualikan dari program penjaminan polis.
|
||||
(3)
|
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang tidak memenuhi persyaratan untuk menjadi peserta program penjaminan polis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) wajib membentuk dana jaminan.
|
||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai lini usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah setelah mendapatkan persetujuan dari DPR.
|
||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengecualian program asuransi sosial dan program asuransi wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
||||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 84 |
|||||
(1)
|
Program penjaminan polis dilaksanakan atas polis asuransi yang masih aktif atau belum berakhir dan klaim polis asuransi dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang dicabut izin usahanya.
|
||||
(2)
|
Pelaksanaan program penjaminan polis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap:
|
||||
|
a.
|
polis asuransi yang masih aktif atau belum berakhir, dengan cara pengalihan portofolio polis atau pengembalian hak pemegang polis, tertanggung, atau peserta; dan/atau
|
|||
|
b.
|
klaim polis asuransi yang disetujui oleh Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah atau Lembaga Penjamin Simpanan, dengan cara pembayaran klaim penjaminan.
|
|||
(3)
|
Terhadap polis yang dilakukan pengalihan portofolio sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang dicabut izin usahanya kepada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang menerima pengalihan dinyatakan tetap berlaku sepanjang Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang dicabut izin usahanya masih dalam proses penanganan oleh Lembaga Penjamin Simpanan dalam rangka pelaksanaan program penjaminan polis.
|
||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan program penjaminan polis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah setelah mendapatkan persetujuan dari DPR.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 85 |
|||||
(1)
|
Batas maksimal penjaminan program penjaminan polis diatur dalam Peraturan Pemerintah setelah mendapatkan persetujuan dari DPR.
|
||||
(2)
|
Batas maksimal penjaminan program penjaminan polis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan keberlanjutan program penjaminan polis dan cakupan program penjaminan polis.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Penyelenggara Program Penjaminan Polis Pasal 86 |
|||||
Program penjaminan polis diselenggarakan oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||||
Pasal 87 |
|||||
(1)
|
Lembaga Penjamin Simpanan wajib menerapkan tata kelola yang baik termasuk penataan investasi, manajemen risiko, dan pengendalian internal dalam melakukan kegiatan usahanya.
|
||||
(2)
|
Dalam menerapkan tata kelola yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga Penjamin Simpanan wajib menerapkan prinsip kehati-hatian, transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, profesionalisme, dan kewajaran.
|
||||
(3)
|
Lembaga Penjamin Simpanan menyusun sistem pengendalian internal dan prosedur internal mengenai pelaksanaan tata kelola yang baik.
|
||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan setelah dikonsultasikan dengan DPR.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 88 |
|||||
(1)
|
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib menyampaikan data polis berbasis pemegang polis, tertanggung, dan/atau peserta kepada Lembaga Penjamin Simpanan untuk menentukan polis yang layak dibayar.
|
||||
(2)
|
Dalam rangka menjalankan tugas untuk melaksanakan program penjaminan polis, Lembaga Penjamin Simpanan dapat melakukan pemeriksaan terhadap data polis berbasis pemegang polis, tertanggung, dan/atau peserta.
|
||||
(3)
|
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah bertanggung jawab atas kebenaran dan kelengkapan data polis berbasis pemegang polis, tertanggung, dan/atau peserta yang disampaikan kepada Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
||||
(4)
|
Penyampaian data polis berbasis pemegang polis, tertanggung, dan/atau peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan perasuransian.
|
||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian data polis berbasis pemegang polis, tertanggung, dan/atau peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 89 |
|||||
(1)
|
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Lembaga Penjamin Simpanan dapat meminta data, informasi, dan/atau dokumen kepada pihak lain.
|
||||
(2)
|
Setiap pihak yang dimintai data, informasi, dan/atau dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan kepada Lembaga Penjamin Simpanan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Penanganan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah Bermasalah Paragraf 1 Mekanisme Penanganan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah Bermasalah Pasal 90 |
|||||
(1)
|
Otoritas Jasa Keuangan memberitahukan secara tertulis kepada Lembaga Penjamin Simpanan setiap penetapan status pengawasan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah.
|
||||
(2)
|
Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menetapkan status pengawasan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang dapat berdampak pada pencabutan izin usaha, Lembaga Penjamin Simpanan melakukan langkah persiapan pelaksanaan program penjaminan polis.
|
||||
(3)
|
Dalam melakukan langkah persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Lembaga Penjamin Simpanan berwenang melakukan pemeriksaan terhadap Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah.
|
||||
(4)
|
Otoritas Jasa Keuangan memberikan data dan informasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dalam status yang dapat berdampak pada pencabutan izin usaha kepada Lembaga Penjamin Simpanan dalam rangka persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
||||
(5)
|
Jenis, bentuk, dan tata cara pemberian data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dituangkan dalam nota kesepahaman antara Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 91 |
|||||
Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah karena tidak dapat disehatkan, Otoritas Jasa Keuangan memberitahukan secara tertulis dan menyerahkan penyelesaiannya kepada Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Likuidasi Pasal 92 |
|||||
Dalam rangka likuidasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang dicabut izin usahanya, Lembaga Penjamin Simpanan melakukan tindakan sebagai berikut:
|
|||||
a.
|
menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak dan wewenang rapat umum pemegang saham atau yang setara dengan pemegang saham dan rapat umum pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi atau Usaha Bersama;
|
||||
b.
|
menjual dan/atau mengalihkan aset dan/atau kewajiban Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah kepada pihak lain tanpa persetujuan debitur, kreditur, atau pihak manapun;
|
||||
c.
|
memberikan talangan untuk pembayaran gaji pegawai yang terutang dan talangan pesangon pegawai sebesar jumlah minimum pesangon sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan;
|
||||
d.
|
melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka pengamanan aset Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah sebelum proses likuidasi dimulai; dan
|
||||
e.
|
memutuskan pembubaran badan hukum Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah, membentuk tim likuidasi, dan menyatakan status Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah sebagai Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dalam likuidasi berdasarkan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 93 |
|||||
Terhitung sejak izin usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dicabut oleh Otoritas Jasa Keuangan, seluruh hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak dan wewenang rapat umum pemegang saham atau yang setara dengan pemegang saham dan rapat umum pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi atau Usaha Bersama beralih kepada Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 94 |
|||||
(1)
|
Pelaksanaan likuidasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dilakukan oleh tim likuidasi.
|
||||
(2)
|
Dengan terbentuknya tim likuidasi, tanggung jawab dan kepengurusan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dalam likuidasi dilaksanakan oleh tim likuidasi.
|
||||
(3)
|
Dalam melaksanakan tugasnya, tim likuidasi berwenang mewakili Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dalam likuidasi dalam segala hal yang berkaitan dengan penyelesaian hak dan kewajiban Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah.
|
||||
(4)
|
Pengawasan atas pelaksanaan likuidasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
|
||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan likuidasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 95 |
|||||
(1)
|
Keputusan pembubaran badan hukum Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 huruf e wajib:
|
||||
|
a.
|
didaftarkan dalam daftar perusahaan dan di panitera pengadilan negeri yang meliputi tempat kedudukan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang bersangkutan;
|
|||
|
b.
|
diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan 2 (dua) surat kabar harian yang mempunyai peredaran luas; dan
|
|||
|
c.
|
diberitahukan kepada instansi yang berwenang.
|
|||
(2)
|
Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b memuat pula pernyataan bahwa seluruh aset Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dalam likuidasi berada dalam tanggung jawab dan pengurusan tim likuidasi.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 96 |
|||||
(1)
|
Untuk kepentingan aset atau kewajiban Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dalam likuidasi, tim likuidasi dapat meminta pembatalan kepada pengadilan niaga atas segala perbuatan hukum Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang mengakibatkan berkurangnya aset atau bertambahnya kewajiban Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah, yang dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum pencabutan izin usaha.
|
||||
(2)
|
Perbuatan hukum Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang wajib dilakukan berdasarkan Undang-Undang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 97 |
|||||
(1)
|
Pengendali, pemegang saham, anggota direksi, dan anggota dewan komisaris, atau yang setara dengan pemegang saham, anggota direksi, dan anggota dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau Usaha Bersama, serta pegawai dan mantan pegawai Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dalam likuidasi wajib memberikan data dan informasi yang diperlukan oleh tim likuidasi.
|
||||
(2)
|
Pengendali, pemegang saham, anggota direksi, dan anggota dewan komisaris, atau yang setara dengan pemegang saham, anggota direksi, dan anggota dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau Usaha Bersama, serta pegawai Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dalam likuidasi dilarang secara langsung atau tidak langsung menghambat proses likuidasi.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 98 |
|||||
(1)
|
Pembayaran kewajiban Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah kepada para kreditur dilakukan dengan urutan sebagai berikut:
|
||||
|
a.
|
penggantian atas talangan pembayaran gaji pegawai yang terutang;
|
|||
|
b.
|
penggantian atas pembayaran talangan pesangon pegawai;
|
|||
|
c.
|
biaya perkara di pengadilan, biaya lelang yang terutang, dan biaya operasional kantor;
|
|||
|
d.
|
pembayaran atas pelaksanaan program penjaminan polis yang harus dibayarkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (2);
|
|||
|
e.
|
pajak yang terutang;
|
|||
|
f.
|
bagian hak pemegang polis yang tidak dibayarkan penjaminannya dan hak pemegang polis yang tidak dijamin; dan
|
|||
|
g.
|
hak dari kreditur lainnya.
|
|||
(2)
|
Segala biaya yang berkaitan dengan likuidasi dan tercantum dalam daftar biaya likuidasi menjadi beban aset Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dalam likuidasi dan dikeluarkan terlebih dahulu dari setiap hasil pencairannya.
|
||||
(3)
|
Honorarium tim likuidasi yang termasuk salah satu komponen dalam biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
|
||||
(4)
|
Dalam hal seluruh kewajiban Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dalam likuidasi telah dibayarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan masih terdapat sisa hasil likuidasi, sisa tersebut diserahkan kepada pemegang saham lama atau yang setara dengan pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi atau Usaha Bersama.
|
||||
(5)
|
Dalam hal seluruh aset Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah telah habis dalam proses likuidasi dan masih terdapat kewajiban Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah terhadap pihak lain, kewajiban tersebut wajib dibayarkan oleh pemegang saham lama atau yang setara dengan pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi atau Usaha Bersama yang terbukti menyebabkan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dicabut izin usahanya.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 99 |
|||||
Setelah menerima pertanggungjawaban tim likuidasi, Lembaga Penjamin Simpanan:
|
|||||
a.
|
meminta tim likuidasi:
|
||||
|
1.
|
mengumumkan berakhirnya likuidasi dengan menempatkan dalam Berita Negara Republik Indonesia dan dalam 2 (dua) surat kabar harian yang mempunyai peredaran luas; dan
|
|||
|
2.
|
memberitahukan kepada instansi yang berwenang agar nama badan hukum Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah tersebut dicoret dari daftar perusahaan; dan
|
|||
b.
|
membubarkan tim likuidasi.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 100 |
|||||
Status badan hukum Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang dilikuidasi hapus terhitung sejak tanggal pengumuman berakhirnya likuidasi dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 huruf a angka 1.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 101 |
|||||
(1)
|
Likuidasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang menghentikan kegiatan usahanya dilakukan oleh Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang bersangkutan.
|
||||
(2)
|
Lembaga Penjamin Simpanan tidak membayar penjaminan polis dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang dicabut izin usahanya karena menghentikan kegiatan usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
Pengelolaan Aset dan Kewajiban Pasal 102
|
|||||
(1)
|
Lembaga Penjamin Simpanan bertanggung jawab atas pengelolaan dan penatausahaan aset dan kewajiban penyelenggaraan program penjaminan polis.
|
||||
(2)
|
Lembaga Penjamin Simpanan memisahkan pencatatan aset dan kewajiban penyelenggaraan program penjaminan polis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari pencatatan aset dan kewajiban penyelenggaraan penjaminan simpanan.
|
||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan dan penatausahaan aset dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 103 |
|||||
(1)
|
Seluruh dana yang dikeluarkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan dalam rangka pelaksanaan program penjaminan polis merupakan biaya penyelesaian penjaminan polis bagi Lembaga Penjamin Simpanan.
|
||||
(2)
|
Dalam hal terdapat selisih kurang antara biaya penyelesaian penjaminan polis dan dana yang diterima Lembaga Penjamin Simpanan, selisih kurang tersebut bukan merupakan kerugian keuangan negara.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB IX
PENJAMINAN Pasal 104 |
|||||
Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan melalui penataan di sektor penjaminan, Undang-Undang ini mengubah ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5835).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 105 |
|||||
Ketentuan Pasal 62 dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5835) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 62
|
|||||
(1)
|
Dalam hal Perusahaan Penjaminan memiliki unit syariah, setelah memenuhi persyaratan tertentu yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan, Perusahaan Penjaminan dimaksud wajib melakukan pemisahan unit syariah tersebut menjadi Perusahaan Penjaminan Syariah.
|
||||
(2)
|
Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta pemisahan unit syariah menjadi Perusahaan Penjaminan Syariah dalam rangka konsolidasi penjaminan.
|
||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemisahan dan konsolidasi serta sanksi bagi Perusahaan Penjaminan yang tidak melakukan pemisahan unit syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan setelah dikonsultasikan dengan DPR.
|
||||
(4)
|
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus ditetapkan dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB X
USAHA JASA PEMBIAYAAN Bagian Kesatu Ruang Lingkup Usaha Jasa Pembiayaan Pasal 106 |
|||||
(1)
|
Ruang lingkup Usaha Jasa Pembiayaan meliputi:
|
||||
|
a.
|
kegiatan pembiayaan barang dan/atau jasa kepada masyarakat yang dilakukan oleh perusahaan pembiayaan;
|
|||
|
b.
|
kegiatan pembiayaan melalui penyertaan modal dan/atau pembiayaan untuk jangka waktu tertentu dalam rangka pengembangan usaha pada pasangan usaha atau debitur yang dilakukan oleh perusahaan modal ventura;
|
|||
|
c.
|
kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana pada proyek infrastruktur yang dilakukan oleh perusahaan pembiayaan infrastruktur;
|
|||
|
d.
|
kegiatan menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi dana dengan penerima dana dalam melakukan pendanaan baik secara konvensional maupun berdasarkan Prinsip Syariah secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan internet, yang dilakukan oleh Penyelenggara Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi;
|
|||
|
e.
|
kegiatan usaha pemberian pinjaman dengan jaminan benda bergerak yang dilakukan oleh perusahaan pergadaian; dan
|
|||
|
f.
|
skema kegiatan pembiayaan lain yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
(2)
|
Selain melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan dapat melakukan kegiatan lain setelah mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(3)
|
Dalam melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan dapat mengelola dana ventura dalam bentuk kontrak investasi bersama.
|
||||
(4)
|
Ruang lingkup usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah.
|
||||
(5)
|
Tidak termasuk dalam ruang lingkup Usaha Jasa Pembiayaan berdasarkan Undang-Undang ini, merupakan kegiatan Usaha Jasa Pembiayaan yang dilakukan oleh:
|
||||
|
a.
|
badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan yang dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri;
|
|||
|
b.
|
perusahaan pembiayaan sekunder perumahan yang dibentuk karena penugasan khusus dari Pemerintah;
|
|||
|
c.
|
perusahaan pembiayaan infrastruktur dan/atau kegiatan pembangunan yang dibentuk karena penugasan khusus dari Pemerintah;
|
|||
|
d.
|
badan usaha milik negara yang menjalankan pembiayaan untuk membantu pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah serta koperasi; dan
|
|||
|
e.
|
setiap pihak yang memberikan pinjaman/pembiayaan kepada pihak lain dengan tidak ditujukan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan secara terus-menerus yang bertujuan untuk melakukan kegiatan usaha dengan berorientasi mencari keuntungan.
|
|||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai ruang lingkup Usaha Jasa Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 107 |
|||||
(1)
|
Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan yang mengelola dana ventura dalam bentuk kontrak investasi bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3) wajib memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(2)
|
Untuk memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan yang mengelola dana ventura dalam bentuk kontrak investasi bersama harus memenuhi persyaratan minimal mengenai:
|
||||
|
a.
|
ekuitas minimum;
|
|||
|
b.
|
sumber daya manusia dan struktur organisasi;
|
|||
|
c.
|
rencana perjanjian pembentukan dana ventura; dan
|
|||
|
d.
|
prosedur operasional standar terkait pengelolaan dana ventura.
|
|||
(3)
|
Badan yang dibentuk melalui kontrak investasi bersama dana ventura dipersamakan sebagai badan hukum.
|
||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan dana ventura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Bentuk Badan Hukum, Kepemilikan, Kepengurusan dan Penilaian Kemampuan dan Kepatutan, dan Sumber Dana Penyertaan Paragraf 1 Bentuk Badan Hukum Pasal 108 |
|||||
Bentuk badan hukum penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan terdiri atas:
|
|||||
a.
|
perseroan terbatas; dan
|
||||
b.
|
koperasi.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Kepemilikan Pasal 109 |
|||||
(1)
|
Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108, hanya dapat dimiliki oleh:
|
||||
|
a.
|
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
|
|||
|
b.
|
Pemerintah Daerah;
|
|||
|
c.
|
warga negara Indonesia;
|
|||
|
d.
|
badan hukum Indonesia;
|
|||
|
e.
|
badan hukum asing; dan/atau
|
|||
|
f.
|
warga negara asing.
|
|||
(2)
|
Kepemilikan badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e hanya dapat dilakukan dalam bentuk kemitraan bersama:
|
||||
|
a.
|
Pemerintah;
|
|||
|
b.
|
Pemerintah Daerah;
|
|||
|
c.
|
warga negara Indonesia; dan/atau
|
|||
|
d.
|
badan hukum Indonesia.
|
|||
(3)
|
Kepemilikan warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f hanya dapat dilakukan melalui transaksi di Pasar Modal.
|
||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai kepemilikan badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan kepemilikan warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Kepengurusan dan Penilaian Kemampuan dan Kepatutan Pasal 110 |
|||||
(1)
|
Anggota direksi, anggota dewan komisaris, Dewan Pengawas Syariah, PSP, anggota pengurus, anggota pengawas, atau pengelola dari penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan wajib memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(2)
|
Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan yang melaksanakan kegiatan Usaha Jasa Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah yang diangkat dalam rapat umum pemegang saham atau rapat anggota atas rekomendasi dari lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 111 |
|||||
(1)
|
Anggota direksi, anggota dewan komisaris, Dewan Pengawas Syariah, PSP, anggota pengurus, anggota pengawas, dan pengelola dari penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan wajib terlebih dahulu memenuhi persyaratan penilaian kemampuan dan kepatutan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Sumber Dana Penyertaan Pasal 112
|
|||||
(1)
|
Sumber dana penyertaan bagi penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan ditetapkan berdasarkan ruang lingkup Usaha Jasa Pembiayaan yang dilakukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106.
|
||||
(2)
|
Sumber dana penyertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang:
|
||||
|
a.
|
berasal dari pinjaman; dan
|
|||
|
b.
|
berasal dari dan untuk tujuan kegiatan pencucian uang, pendanaan terorisme, dan kejahatan keuangan lain.
|
|||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan sumber dana penyertaan bagi penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Perizinan Paragraf 1 Izin Usaha Pasal 113 |
|||||
(1)
|
Setiap Orang yang melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 wajib memperoleh izin usaha sebagai penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan dari Otoritas Jasa Keuangan, kecuali apabila diatur dengan undang-undang tersendiri.
|
||||
(2)
|
Untuk memperoleh izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon harus menyampaikan permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan memenuhi persyaratan minimal:
|
||||
|
a.
|
anggaran dasar;
|
|||
|
b.
|
susunan organisasi;
|
|||
|
c.
|
modal disetor;
|
|||
|
d.
|
data anggota direksi, anggota dewan komisaris, Dewan Pengawas Syariah, anggota pengurus, anggota pengawas, dan/atau pengelola;
|
|||
|
e.
|
data pemegang saham atau anggota;
|
|||
|
f.
|
kelayakan rencana kerja termasuk sistem dan prosedur kerja Usaha Jasa Pembiayaan;
|
|||
|
g.
|
kelayakan sistem manajemen risiko;
|
|||
|
h.
|
kesiapan infrastruktur;
|
|||
|
i.
|
konfirmasi dari otoritas pengawas pihak asing yang bersangkutan, untuk penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan yang di dalamnya terdapat penyertaan langsung pihak asing; dan
|
|||
|
j.
|
persyaratan lain yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan usaha yang sehat.
|
|||
(3)
|
Persyaratan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan sesuai dengan lingkup usaha yang akan dijalankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106.
|
||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 114 |
|||||
(1)
|
Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan dapat melakukan pembukaan kantor cabang.
|
||||
(2)
|
Pembukaan kantor cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembukaan kantor cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Konversi dan Pembentukan Unit Usaha Syariah Pasal 115 |
|||||
(1)
|
Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan yang menyelenggarakan kegiatan usaha secara konvensional dapat melakukan konversi menjadi penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan yang menyelenggarakan kegiatan usaha sesuai dengan Prinsip Syariah.
|
||||
(2)
|
Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan dapat mendirikan unit usaha syariah.
|
||||
(3)
|
Konversi dan pendirian unit usaha syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(4)
|
Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan yang memiliki unit usaha syariah wajib melakukan pemisahan unit usaha syariah apabila memenuhi kriteria tertentu.
|
||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai konversi dan unit usaha syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Penyelenggaraan Usaha Pasal 116 |
|||||
(1)
|
Perjanjian Usaha Jasa Pembiayaan wajib dituangkan dalam perjanjian tertulis.
|
||||
(2)
|
Perjanjian Usaha Jasa Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan penyusunan perjanjian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian Usaha Jasa Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 117 |
|||||
Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan dilarang:
|
|||||
a.
|
menghimpun dana secara langsung dari masyarakat berbentuk giro, tabungan, deposito, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan penghimpunan dana masyarakat;
|
||||
b.
|
memberikan jaminan dalam segala bentuknya atas pemenuhan kewajiban pihak lain; dan
|
||||
c.
|
menerbitkan surat sanggup bayar (promissory note), kecuali sebagai jaminan atas utang kepada krediturnya.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 118 |
|||||
(1)
|
Anggota dewan komisaris, anggota pengawas, anggota direksi, anggota pengurus, pengelola, pegawai, dan/atau pihak terafiliasi penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan dilarang:
|
||||
|
a.
|
membuat pencatatan palsu dalam pembukuan atau laporan keuangan dan/atau tanpa didukung dengan dokumen yang sah;
|
|||
|
b.
|
menghilangkan atau tidak memasukkan informasi yang benar dalam laporan kegiatan usaha dan laporan keuangan; dan
|
|||
|
c.
|
mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, dan/atau menghilangkan suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan keuangan, dan dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha.
|
|||
(2)
|
Anggota dewan komisaris, anggota pengawas, anggota direksi, anggota pengurus, pengelola, pegawai, dan/atau pihak terafiliasi penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan dilarang:
|
||||
|
a.
|
meminta atau menerima suatu imbalan di luar biaya resmi, berupa uang atau barang untuk keuntungan pribadi atau keluarganya;
|
|||
|
b.
|
menjadikan orang lain mendapatkan uang muka atau fasilitas Pembiayaan dari Usaha Jasa Pembiayaan;
|
|||
|
c.
|
memberikan atau menyebabkan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas Pembiayaan pada Usaha Jasa Pembiayaan;
|
|||
|
d.
|
tidak melaksanakan langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Usaha Jasa Pembiayaan terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi Usaha Jasa Pembiayaan; dan
|
|||
|
e.
|
memberikan laporan, informasi, data, dan/atau dokumen kepada Otoritas Jasa Keuangan secara tidak benar, palsu, dan/atau menyesatkan.
|
|||
(3)
|
Pemegang saham dan/atau pihak terafiliasi Usaha Jasa Pembiayaan dilarang menyuruh anggota direksi, anggota dewan komisaris, anggota pengawas, anggota pengurus, pengelola, pegawai Usaha Jasa Pembiayaan, dan/atau pihak terafiliasi lainnya untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan Usaha Jasa Pembiayaan tidak melaksanakan langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Usaha Jasa Pembiayaan terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya bagi Usaha Jasa Pembiayaan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 119 |
|||||
Sertifikat jaminan fidusia yang diterima oleh penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan sebagai jaminan dalam rangka pemenuhan kewajiban konsumen sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai jaminan fidusia memiliki kekuatan eksekutorial.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 120 |
|||||
(1)
|
Setiap pihak yang menyerahkan barang bergerak sebagai jaminan atau barang titipan kepada penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan dianggap sebagai pemilik.
|
||||
(2)
|
Dalam hal di kemudian hari diduga atau terbukti bahwa kepemilikan atau penguasaan barang jaminan berasal dari kejahatan atau perbuatan melanggar hukum lainnya, penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan tidak dapat dituntut atas tindak pidana yang berhubungan dengan penerimaan barang jaminan atau barang titipan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
||||
(3)
|
Pembebasan dari tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat diberikan dalam hal penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan telah melakukan penerapan prinsip mengenal pengguna jasa berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 121 |
|||||
(1)
|
Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan wajib melaksanakan prinsip tata kelola perusahaan yang baik.
|
||||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola perusahaan yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 122 |
|||||
(1)
|
Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan wajib menerapkan manajemen risiko secara efektif yang minimal mencakup:
|
||||
|
a.
|
pengawasan aktif direksi, dewan komisaris, Dewan Pengawas Syariah, pengurus, pengawas, dan pengelola;
|
|||
|
b.
|
kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit risiko;
|
|||
|
c.
|
kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko serta sistem informasi manajemen risiko; dan
|
|||
|
d.
|
sistem pengendalian internal yang menyeluruh.
|
|||
(2)
|
Dalam menerapkan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan wajib memiliki pedoman penerapan manajemen risiko.
|
||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan prinsip manajemen risiko pada Usaha Jasa Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 123 |
|||||
(1)
|
Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan wajib memenuhi persyaratan tingkat kesehatan.
|
||||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemenuhan persyaratan tingkat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, dan Pemisahan Pasal 124 |
|||||
(1)
|
Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan dapat melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pemisahan usaha berdasarkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pemisahan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
Pencabutan Izin Usaha Pasal 125 |
|||||
(1)
|
Pencabutan izin usaha penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(2)
|
Pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan:
|
||||
|
a.
|
bubar sebagai tindak lanjut atas:
|
|||
|
|
1.
|
keputusan rapat umum pemegang saham atau rapat anggota;
|
||
|
|
2.
|
putusan pengadilan;
|
||
|
|
3.
|
keputusan pemerintah; atau
|
||
|
|
4.
|
tindak lanjut proses kepailitan sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang;
|
||
|
b.
|
dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha;
|
|||
|
c.
|
bubar karena melakukan penggabungan, peleburan, atau pemisahan;
|
|||
|
d.
|
belum melakukan kegiatan usaha selama jangka waktu yang ditentukan oleh Otoritas Jasa Keuangan sejak tanggal izin usaha ditetapkan; atau
|
|||
|
e.
|
mengajukan permohonan pencabutan izin usaha berdasarkan permintaan sendiri.
|
|||
(3)
|
Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan yang dicabut izin usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib melakukan likuidasi atau penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pencabutan izin usaha dan pembubaran atas penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketujuh
Asosiasi Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan Pasal 126 |
|||||
(1)
|
Setiap penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan wajib menjadi anggota salah satu asosiasi yang sesuai dengan jenis usahanya.
|
||||
(2)
|
Asosiasi penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(3)
|
Otoritas Jasa Keuangan mendorong peran asosiasi Usaha Jasa Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk membangun pengawasan berbasis disiplin pasar dalam rangka penguatan dan/atau penyehatan industri Usaha Jasa Pembiayaan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedelapan
Profesi Penunjang Usaha Jasa Pembiayaan Pasal 127 |
|||||
(1)
|
Profesi penunjang pada Usaha Jasa Pembiayaan terdiri atas:
|
||||
|
a.
|
akuntan publik;
|
|||
|
b.
|
penilai publik; dan
|
|||
|
c.
|
profesi lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
(2)
|
Untuk dapat menyediakan jasa bagi penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan, profesi penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(3)
|
Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan wajib menggunakan jasa dari profesi penunjang yang telah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pendaftaran profesi penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kesembilan
Pengawasan dan Pelaporan Pasal 128 |
|||||
(1)
|
Pengawasan terhadap penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(2)
|
Dalam rangka pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan wajib menyampaikan laporan bulanan, laporan keuangan tahunan dan/atau laporan lain secara benar kepada Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(3)
|
Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berwenang:
|
||||
|
a.
|
menyetujui atau menolak untuk memberikan izin usaha, izin pembukaan kantor cabang, izin konversi, dan izin pendirian unit usaha syariah;
|
|||
|
b.
|
mencabut izin usaha penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan termasuk izin atas unit usaha syariah;
|
|||
|
c.
|
melakukan pemeriksaan terhadap penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan dan/atau pihak terafiliasi;
|
|||
|
d.
|
melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap anggota direksi, anggota dewan komisaris, Dewan Pengawas Syariah, PSP, anggota pengurus, anggota pengawas, dan pengelola;
|
|||
|
e.
|
meminta rapat anggota untuk melakukan evaluasi kinerja pengurus, pengawas, dan pengelola;
|
|||
|
f.
|
menetapkan PSP dari penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan;
|
|||
|
g.
|
menyetujui atau mencabut persetujuan suatu pihak menjadi PSP dari penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan;
|
|||
|
h.
|
memberikan perintah tertulis kepada penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan dan/atau pihak terafiliasi untuk melaksanakan kewajiban sebagai tindak lanjut dari fungsi pengawasan;
|
|||
|
i.
|
mengenakan sanksi kepada penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan, pemegang saham, anggota direksi, anggota dewan komisaris, Dewan Pengawas Syariah, anggota pengurus, anggota pengawas, dan/atau pengelola; dan
|
|||
|
j.
|
melaksanakan kewenangan lain berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengawasan sebagaimana diatur pada ayat (1) dan kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 129 |
|||||
(1)
|
Dalam hal penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan berbadan hukum perseroan terbatas mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, Otoritas Jasa Keuangan berwenang meminta:
|
||||
|
a.
|
pemegang saham menambah modal;
|
|||
|
b.
|
pemegang saham mengganti anggota dewan komisaris dan/atau anggota direksi;
|
|||
|
c.
|
penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan menghapusbukukan pembiayaan yang macet, dan memperhitungkan kerugian dengan modalnya;
|
|||
|
d.
|
melakukan penggabungan, peleburan, atau konsolidasi dengan penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan lainnya;
|
|||
|
e.
|
penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan menjual saham kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban; dan
|
|||
|
f.
|
mengambil tindakan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(2)
|
Dalam hal penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan berbadan hukum koperasi mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, Otoritas Jasa Keuangan berwenang meminta:
|
||||
|
a.
|
pengurus dan/atau anggota meningkatkan modal;
|
|||
|
b.
|
anggota mengganti anggota pengurus, anggota pengawas, dan/atau pengelola;
|
|||
|
c.
|
penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan menghapusbukukan pembiayaan yang macet, dan memperhitungkan kerugian dengan modalnya;
|
|||
|
d.
|
melakukan penggabungan, peleburan, atau konsolidasi dengan penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan lainnya; dan
|
|||
|
e.
|
mengambil tindakan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Dalam hal menurut Otoritas Jasa Keuangan tindakan penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak cukup untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi, Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin usaha penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan.
|
||||
(4)
|
Setelah Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3), rapat umum pemegang saham atau rapat anggota wajib memproses likuidasi atau penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB XI
KEGIATAN USAHA BULION (BULLION) Pasal 130 |
|||||
Kegiatan usaha bulion (bullion) merupakan kegiatan usaha yang berkaitan dengan emas dalam bentuk simpanan, pembiayaan, perdagangan, penitipan emas, dan/atau kegiatan lainnya yang dilakukan oleh LJK.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 131 |
|||||
LJK yang melakukan kegiatan usaha bulion (bullion) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 wajib memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 132 |
|||||
Ketentuan mengenai penyelenggaraan kegiatan usaha bulion (bullion) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan yang paling sedikit memuat:
|
|||||
a.
|
pentahapan pelaksanaan kegiatan usaha bulion (bullion);
|
||||
b.
|
tata kelola;
|
||||
c.
|
manajemen risiko;
|
||||
d.
|
prinsip kehati-hatian; dan
|
||||
e.
|
sanksi administratif.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB XII
DANA PENSIUN, PROGRAM JAMINAN HARI TUA, DAN PROGRAM PENSIUN Pasal 133 |
|||||
Dalam rangka memperbaiki sistem pensiun di Indonesia guna meningkatkan pelindungan dan kesejahteraan masyarakat di hari tua, meningkatkan produktivitas dunia usaha, meningkatkan kepercayaan masyarakat atas penyelenggaraan program pensiun, dan mempercepat akumulasi dana jangka panjang, perlu dilakukan penyempurnaan pengaturan mengenai penyelenggaraan program pensiun.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kesatu
Umum Pasal 134 |
|||||
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
|||||
1.
|
Dana Pensiun adalah badan hukum yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun.
|
||||
2.
|
Dana Pensiun Pemberi Kerja adalah Dana Pensiun yang dibentuk oleh pendiri bagi kepentingan sebagian atau seluruh karyawannya sebagai peserta, dan yang menimbulkan kewajiban terhadap pemberi kerja.
|
||||
3.
|
Dana Pensiun Lembaga Keuangan adalah Dana Pensiun yang dibentuk oleh LJK tertentu, selaku pendiri, yang ditujukan bagi karyawan yang diikutsertakan oleh pemberi kerjanya dan/atau perorangan secara mandiri.
|
||||
4.
|
Manfaat Pensiun adalah manfaat yang diterima oleh peserta baik secara berkala dan/atau sekaligus sebagai penghasilan hari tua yang dikaitkan dengan usia pensiun, masa kerja, dan/atau masa mengiur.
|
||||
5.
|
Peraturan Dana Pensiun adalah peraturan yang berisi ketentuan yang menjadi dasar penyelenggaraan program pensiun bagi suatu Dana Pensiun.
|
||||
6.
|
Program Pensiun adalah setiap program yang mengupayakan Manfaat Pensiun bagi peserta.
|
||||
7.
|
Program Pensiun Iuran Pasti adalah Program Pensiun yang iurannya ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun dan seluruh iuran serta hasil pengembangannya dibukukan pada rekening masing-masing peserta sebagai Manfaat Pensiun.
|
||||
8.
|
Program Pensiun Manfaat Pasti adalah Program Pensiun yang manfaatnya ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun atau Program Pensiun lain yang bukan merupakan Program Pensiun Iuran Pasti.
|
||||
9.
|
Peserta adalah orang perseorangan yang memenuhi persyaratan mengikuti Program Pensiun.
|
||||
10.
|
Usia Pensiun Normal adalah usia normal ketika Peserta berhak mendapatkan Manfaat Pensiun.
|
||||
11.
|
Disabilitas adalah keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik yang menyebabkan seseorang tidak mampu lagi melakukan pekerjaan yang memberikan penghasilan yang layak diperoleh sesuai dengan pendidikan, keahlian, keterampilan, dan pengalamannya.
|
||||
12.
|
Manfaat Pensiun Normal adalah Manfaat Pensiun yang mulai dibayarkan pada saat Peserta telah mencapai Usia Pensiun Normal atau sesudahnya.
|
||||
13.
|
Manfaat Pensiun Dipercepat adalah Manfaat Pensiun yang dibayarkan apabila Peserta berhenti bekerja pada usia tertentu sebelum Usia Pensiun Normal.
|
||||
14.
|
Manfaat Pensiun Disabilitas adalah Manfaat Pensiun yang mulai dibayarkan pada saat Peserta berhenti bekerja karena Disabilitas.
|
||||
15.
|
Pensiun Ditunda adalah hak atas Manfaat Pensiun bagi Peserta yang berhenti bekerja sebelum mencapai Usia Pensiun Normal dan yang ditunda pembayarannya sampai dengan paling cepat pada saat Peserta memasuki usia tertentu sebelum Usia Pensiun Normal.
|
||||
16.
|
Pemberi Kerja adalah Setiap Orang yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lainnya.
|
||||
17.
|
Pendiri adalah badan hukum yang membentuk Dana Pensiun Pemberi Kerja dan/atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan.
|
||||
18.
|
Mitra Pendiri adalah Pemberi Kerja yang menyertakan sebagian atau seluruh karyawannya ke dalam Program Pensiun yang diselenggarakan oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja.
|
||||
19.
|
Bank Kustodian adalah bank umum dan bank umum syariah yang telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagai kustodian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pasar modal.
|
||||
20.
|
Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam berdasarkan fatwa dan/atau pernyataan kesesuaian syariah yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
|
||||
21.
|
Pengurus adalah organ Dana Pensiun yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengelolaan Dana Pensiun untuk kepentingan Dana Pensiun, sesuai dengan maksud dan tujuan Dana Pensiun serta mewakili Dana Pensiun di dalam dan di luar pengadilan.
|
||||
22.
|
Dewan Pengawas adalah organ Dana Pensiun yang bertugas memberikan nasihat dan saran serta melakukan pengawasan terhadap pengelolaan Dana Pensiun kepada Pengurus.
|
||||
23.
|
Pihak yang Berhak adalah pihak yang memiliki hak atas Manfaat Pensiun dalam hal Peserta meninggal dunia, yaitu janda/duda, anak, atau pihak yang ditunjuk oleh Peserta apabila Peserta tidak memiliki janda/duda atau anak.
|
||||
24.
|
Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga negara yang independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
25.
|
Setiap Orang adalah orang perseorangan, korporasi atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya.
|
||||
26.
|
Janda/Duda Peserta Program Pensiun yang selanjutnya disebut Janda/Duda adalah istri/suami yang sah dari Peserta atau pensiunan yang meninggal dunia, yang telah terdaftar pada Dana Pensiun.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Dana Pensiun Paragraf 1 Bentuk Badan Hukum dan Kepemilikan Dana Pensiun Pasal 135 |
|||||
Dana Pensiun memiliki status sebagai badan hukum dengan syarat dan tata cara yang diatur dalam Undang-Undang ini.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 136 |
|||||
Setiap Orang yang menjalankan Program Pensiun wajib memperoleh pengesahan sebagai Dana Pensiun dari Otoritas Jasa Keuangan, kecuali Program Pensiun yang didasarkan pada undang-undang tersendiri.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Ruang Lingkup Usaha Dana Pensiun Pasal 137 |
|||||
(1)
|
Jenis Dana Pensiun terdiri atas:
|
||||
|
a.
|
Dana Pensiun Pemberi Kerja; dan
|
|||
|
b.
|
Dana Pensiun Lembaga Keuangan.
|
|||
(2)
|
Dana Pensiun Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a hanya dapat dibentuk oleh Pemberi Kerja dan atas persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(3)
|
Dana Pensiun Lembaga Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dibentuk oleh badan hukum yang telah memiliki izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan sebagai:
|
||||
|
a.
|
bank umum;
|
|||
|
b.
|
bank umum syariah;
|
|||
|
c.
|
perusahaan asuransi jiwa;
|
|||
|
d.
|
perusahaan asuransi jiwa syariah;
|
|||
|
e.
|
manajer investasi;
|
|||
|
f.
|
manajer investasi syariah; atau
|
|||
|
g.
|
lembaga lain yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan setelah dikoordinasikan dengan Menteri,
|
|||
|
dan atas persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan pembentukan Dana Pensiun Pemberi Kerja dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 138 |
|||||
(1)
|
Dana Pensiun Pemberi Kerja dapat menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti dan/atau Program Pensiun Iuran Pasti.
|
||||
(2)
|
Dana Pensiun Lembaga Keuangan hanya dapat menyelenggarakan Program Pensiun Iuran Pasti.
|
||||
(3)
|
Dana Pensiun dapat menyelenggarakan Program Pensiun berdasarkan Prinsip Syariah dalam bentuk:
|
||||
|
a.
|
Dana Pensiun yang seluruh kegiatannya berdasarkan Prinsip Syariah;
|
|||
|
b.
|
unit syariah di Dana Pensiun Pemberi Kerja; atau
|
|||
|
c.
|
penjualan paket investasi syariah di Dana Pensiun Lembaga Keuangan.
|
|||
(4)
|
Dalam hal tertentu, Dana Pensiun dapat memberikan manfaat lain sebagai tambahan dari Program Pensiun.
|
||||
(5)
|
Dana Pensiun tidak dapat menyelenggarakan program yang hanya memberikan manfaat lain, tanpa menyelenggarakan Program Pensiun.
|
||||
(6)
|
Dalam hal Dana Pensiun menyelenggarakan manfaat lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4), berlaku ketentuan:
|
||||
|
a.
|
aset dan kewajiban Program Pensiun dengan aset dan kewajiban manfaat lain wajib dicatat secara terpisah;
|
|||
|
b.
|
porsi iuran pada Program Pensiun wajib lebih besar dibanding iuran untuk manfaat lain; dan
|
|||
|
c.
|
penyelenggaraan manfaat lain menggunakan sistem pendanaan.
|
|||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai Program Pensiun dan manfaat lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sampai dengan ayat (6) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Pembentukan Dana Pensiun Pasal 139 |
|||||
(1)
|
Pembentukan Dana Pensiun harus didasarkan pada:
|
||||
|
a.
|
pernyataan tertulis Pendiri;
|
|||
|
b.
|
Peraturan Dana Pensiun;
|
|||
|
c.
|
penunjukan Pengurus dan Dewan Pengawas; dan
|
|||
|
d.
|
penunjukan Dewan Pengawas Syariah bagi Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (3).
|
|||
(2)
|
pernyataan tertulis Pendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a bagi Dana Pensiun Pemberi Kerja, wajib memuat keputusan untuk membiayai penyelenggaraan Dana Pensiun sesuai dengan Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya serta Peraturan Dana Pensiun.
|
||||
(3)
|
Dana Pensiun Pemberi Kerja dapat didirikan untuk lebih dari 1 (satu) Pemberi Kerja.
|
||||
(4)
|
Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan setiap perubahannya harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(5)
|
Dana Pensiun memiliki status sebagai badan hukum dan dapat memulai kegiatannya sebagai suatu Dana Pensiun sejak tanggal pengesahan pembentukan Dana Pensiun oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(6)
|
Pengurus wajib mengumumkan pembentukan Dana Pensiun dengan menempatkan pengesahan Otoritas Jasa Keuangan atas Peraturan Dana Pensiun pada Berita Negara Republik Indonesia.
|
||||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pembentukan Dana Pensiun serta materi muatan Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 140 |
|||||
(1)
|
Pendiri mengajukan permohonan pengesahan pembentukan Dana Pensiun kepada Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(2)
|
Otoritas Jasa Keuangan memiliki kewenangan untuk menyetujui atau menolak permohonan pengesahan pembentukan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
||||
(3)
|
Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menolak permohonan pengesahan pembentukan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penolakan harus dilakukan secara tertulis dengan disertai alasannya.
|
||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengajuan pengesahan pembentukan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 141 |
|||||
(1)
|
Pemberi Kerja dapat menjadi Mitra Pendiri pada Dana Pensiun Pemberi Kerja yang telah berdiri.
|
||||
(2)
|
Dana Pensiun yang telah berdiri dapat menggabungkan diri dengan Dana Pensiun lain atau memisahkan diri menjadi 2 (dua) atau lebih Dana Pensiun.
|
||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai Mitra Pendiri, penggabungan, atau pemisahan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 142 |
|||||
(1)
|
Pendiri mengajukan permohonan pengesahan perubahan atas Peraturan Dana Pensiun kepada Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(2)
|
Otoritas Jasa Keuangan menyetujui atau menolak permohonan pengesahan perubahan atas Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak permohonan pengesahan diterima secara lengkap.
|
||||
(3)
|
Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menolak permohonan pengesahan perubahan atas Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penolakan dilakukan secara tertulis dengan disertai alasannya.
|
||||
(4)
|
Perubahan atas Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi Manfaat Pensiun yang sudah menjadi hak Peserta yang diperoleh selama kepesertaannya sampai pada saat pengesahan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(5)
|
Hak Peserta sebelum perubahan atas Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib dipenuhi sampai saat pengesahan perubahan atas Peraturan Dana Pensiun oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(6)
|
Seluruh perubahan atas Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat dilaksanakan apabila telah mendapat pengesahan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perubahan atas Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Penyelenggaraan Dana Pensiun Pasal 143 |
|||||
(1)
|
Dana Pensiun wajib menerapkan:
|
||||
|
a.
|
prinsip tata kelola Dana Pensiun yang baik; dan
|
|||
|
b.
|
manajemen risiko yang efektif,
|
|||
|
dalam setiap kegiatan usahanya pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi.
|
||||
(2)
|
Dana Pensiun wajib dikelola dengan mengutamakan kepentingan Peserta serta Pihak yang Berhak atas Manfaat Pensiun sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun.
|
||||
(3)
|
Dana Pensiun wajib memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya.
|
||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola Dana Pensiun yang baik dan manajemen risiko yang efektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 144 |
|||||
(1)
|
Pengurus dan Dewan Pengawas ditunjuk oleh dan bertanggung jawab kepada Pendiri.
|
||||
(2)
|
Pendiri dapat memberhentikan dan mengubah susunan Pengurus dan Dewan Pengawas.
|
||||
(3)
|
Pengurus dilarang merangkap jabatan sebagai Pengurus Dana Pensiun lain, direksi, atau jabatan eksekutif pada badan usaha lain.
|
||||
(4)
|
Pengurus dan Dewan Pengawas yang ditunjuk harus memiliki kompetensi dan pengalaman yang memadai terkait bidang yang menjadi tanggung jawabnya.
|
||||
(5)
|
Pendiri Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (3) wajib menunjuk Dewan Pengawas Syariah atas rekomendasi lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
|
||||
(6)
|
Pendiri dapat memberhentikan dan mengubah susunan Dewan Pengawas Syariah.
|
||||
(7)
|
Pengurus, Dewan Pengawas, dan Dewan Pengawas Syariah wajib memenuhi ketentuan dan persyaratan kemampuan dan kepatutan serta ketentuan dan persyaratan lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(8)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengurus, Dewan Pengawas, dan Dewan Pengawas Syariah Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (7) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Kepesertaan Dana Pensiun Pasal 145 |
|||||
(1)
|
Setiap karyawan pada Pemberi Kerja berhak menjadi Peserta Dana Pensiun Pemberi Kerja apabila telah memenuhi syarat kepesertaan dalam Peraturan Dana Pensiun.
|
||||
(2)
|
Dalam hal Dana Pensiun Pemberi Kerja menetapkan adanya iuran Peserta, karyawan berhak untuk tidak menjadi Peserta.
|
||||
(3)
|
Dalam hal karyawan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memutuskan menjadi Peserta, karyawan harus menyatakan kesediaannya untuk dipotong upah atau gajinya setiap bulan.
|
||||
(4)
|
Kepesertaan dalam Dana Pensiun Lembaga Keuangan terbuka bagi:
|
||||
|
a.
|
peserta mandiri; atau
|
|||
|
b.
|
sebagian atau seluruh karyawan yang diikutsertakan oleh Pemberi Kerja.
|
|||
(5)
|
Pemberi Kerja yang mengikutsertakan sebagian atau seluruh karyawan pada Dana Pensiun Lembaga Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b membuat perjanjian tertulis dengan Dana Pensiun Lembaga Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 146 |
|||||
(1)
|
Usia Pensiun Normal untuk pertama kali ditetapkan paling rendah 55 (lima puluh lima) tahun.
|
||||
(2)
|
Usia Pensiun Normal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) direviu dan ditetapkan secara berkala paling lama setiap 3 (tiga) tahun sekali dengan mempertimbangkan angka harapan hidup dan kondisi makroekonomi.
|
||||
(3)
|
Penetapan Usia Pensiun Normal dalam Peraturan Dana Pensiun mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
|
||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara reviu dan penetapan Usia Pensiun Normal secara berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 147 |
|||||
(1)
|
Dana Pensiun wajib merahasiakan data pribadi Peserta.
|
||||
(2)
|
Kewajiban merahasiakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Iuran dan Manfaat Pensiun Pasal 148 |
|||||
(1)
|
Iuran Program Pensiun pada Dana Pensiun berupa:
|
||||
|
a.
|
iuran Pemberi Kerja; dan/atau
|
|||
|
b.
|
iuran Peserta.
|
|||
(2)
|
Iuran Program Pensiun pada Dana Pensiun Pemberi Kerja tidak boleh hanya berupa iuran Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
|
||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai iuran Program Pensiun pada Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 149 |
|||||
(1)
|
Bagi Dana Pensiun Pemberi Kerja yang menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti, iuran Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) huruf a wajib ditetapkan dalam laporan aktuaris yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(2)
|
Iuran Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dihitung berdasarkan standar praktik aktuaria Dana Pensiun yang berlaku di Indonesia.
|
||||
(3)
|
Bagi Dana Pensiun Pemberi Kerja yang menyelenggarakan Program Pensiun Iuran Pasti, besaran iuran Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) huruf a wajib ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun.
|
||||
(4)
|
Dalam hal terdapat iuran Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) huruf b pada Dana Pensiun Pemberi Kerja, besaran iuran Peserta ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun.
|
||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan iuran Program Pensiun pada Dana Pensiun Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 150 |
|||||
(1)
|
Bagi Dana Pensiun Pemberi Kerja, iuran Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) huruf a wajib dibayarkan secara berkala dengan angsuran paling sedikit 1 (satu) kali setiap bulan.
|
||||
(2)
|
Dalam hal terdapat iuran Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) huruf b, berlaku ketentuan:
|
||||
|
a.
|
bagi Dana Pensiun Pemberi Kerja, Pemberi Kerja merupakan wajib pungut iuran Peserta berdasarkan Peraturan Dana Pensiun yang dipungut paling sedikit 1 (satu) kali setiap bulan.
|
|||
|
b.
|
bagi Dana Pensiun Lembaga Keuangan, Pemberi Kerja wajib menyetor iuran Peserta berdasarkan perjanjian kerja sama antara Pemberi Kerja dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan.
|
|||
(3)
|
Bagi peserta mandiri pada Dana Pensiun Lembaga Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (4) huruf a, iuran Peserta disetorkan langsung kepada Dana Pensiun Lembaga Keuangan berdasarkan perjanjian antara Peserta dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan.
|
||||
(4)
|
Dalam hal Pendiri pada Dana Pensiun Pemberi Kerja tidak mampu memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan secara berturut-turut, Pengurus wajib memberitahukan hal tersebut kepada Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(5)
|
Dalam hal Mitra Pendiri pada Dana Pensiun Pemberi Kerja tidak mampu memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan secara berturut-turut, Pengurus wajib memberitahukan hal tersebut kepada Pendiri.
|
||||
(6)
|
Berdasarkan pemberitahuan Pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Pendiri dapat menetapkan:
|
||||
|
a.
|
penangguhan kepesertaan karyawan Mitra Pendiri; atau
|
|||
|
b.
|
pengakhiran kepesertaan karyawan Mitra Pendiri.
|
|||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran iuran Pemberi Kerja dan iuran Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 151 |
|||||
(1)
|
Dalam hal berdasarkan laporan aktuaris yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan diketahui Dana Pensiun Pemberi Kerja yang menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti memiliki aset melebihi kewajibannya, kelebihan aset atas kewajiban yang melampaui batas tertentu diperhitungkan sebagai iuran Pemberi Kerja.
|
||||
(2)
|
Ketentuan mengenai batas tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 152 |
|||||
(1)
|
Kewajiban Dana Pensiun Pemberi Kerja yang menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 dihitung dengan menggunakan metode dan asumsi aktuaria yang wajar dan dapat dipertanggungjawabkan.
|
||||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai metode dan asumsi aktuaria yang wajar dan dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 153 |
|||||
(1)
|
Dalam hal iuran Dana Pensiun Pemberi Kerja terdiri atas iuran Peserta dan iuran Pemberi Kerja, Pemberi Kerja wajib menyetor seluruh iuran kepada Dana Pensiun.
|
||||
(2)
|
Bagi Dana Pensiun Pemberi Kerja, Pemberi Kerja wajib menyetor seluruh iuran Peserta dan iuran Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya.
|
||||
(3)
|
Bagi Dana Pensiun Pemberi Kerja, iuran Peserta dan iuran Pemberi Kerja yang belum disetor setelah melewati 1 (satu) bulan sejak jatuh tempo, dinyatakan:
|
||||
|
a.
|
sebagai utang Pemberi Kerja yang dapat segera ditagih dan dikenakan imbal hasil tertentu yang dihitung sejak hari pertama dari bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2); dan
|
|||
|
b.
|
sebagai piutang Dana Pensiun Pemberi Kerja yang memiliki hak utama, apabila Pemberi Kerja dilikuidasi atau dipailitkan.
|
|||
(4)
|
Bagi Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun berdasarkan Prinsip Syariah, iuran Peserta dan iuran Pemberi Kerja yang belum disetor setelah melewati 1 (satu) bulan sejak jatuh tempo, dinyatakan sebagai utang Pemberi Kerja dan dikenai sanksi (ta'zir) berupa denda yang dihitung sejak hari pertama dari bulan jatuh tempo penyetoran iuran.
|
||||
(5)
|
Dana yang berasal dari sanksi (ta'zir) berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak termasuk dalam aset Dana Pensiun dan hanya dapat digunakan untuk kepentingan sosial.
|
||||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan imbal hasil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan sanksi (ta'zir) sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 154 |
|||||
(1)
|
Dana Pensiun harus menjaga kondisi pendanaan agar berada dalam keadaan dana terpenuhi (fully funded).
|
||||
(2)
|
Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti dinyatakan dalam keadaan dana terpenuhi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila aset yang diperhitungkan untuk mendanai seluruh Manfaat Pensiun tidak kurang dari kewajiban atas pembayaran seluruh Manfaat Pensiun kepada Peserta.
|
||||
(3)
|
Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun Iuran Pasti dinyatakan dalam keadaan dana terpenuhi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila iuran bulanan yang jatuh tempo telah disetorkan.
|
||||
(4)
|
Dalam hal Dana Pensiun Pemberi Kerja dalam keadaan dana tidak terpenuhi, Pemberi Kerja bertanggung jawab agar Dana Pensiun Pemberi Kerja baik secara langsung maupun bertahap mencapai keadaan dana terpenuhi.
|
||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai keadaan dana terpenuhi pada Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 155 |
|||||
(1)
|
Peserta berhak atas Manfaat Pensiun Normal, Manfaat Pensiun Disabilitas, Manfaat Pensiun Dipercepat, atau Pensiun Ditunda.
|
||||
(2)
|
Dalam hal Peserta meninggal dunia, baik pada saat sedang mendapatkan Manfaat Pensiun maupun masih aktif bekerja, Manfaat Pensiun dibayarkan kepada Janda/Duda.
|
||||
(3)
|
Dalam hal Janda/Duda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak ada, meninggal dunia, atau kawin lagi, Manfaat Pensiun dibayarkan kepada anak.
|
||||
(4)
|
Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak ada, Manfaat Pensiun dibayarkan kepada pihak yang telah ditunjuk oleh Peserta.
|
||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran Manfaat Pensiun Normal, Manfaat Pensiun Disabilitas, Manfaat Pensiun Dipercepat, dan Pensiun Ditunda kepada Janda/Duda, anak, atau pihak yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 156 |
|||||
(1)
|
Hak terhadap setiap Manfaat Pensiun yang dibayarkan oleh Dana Pensiun dilarang untuk digunakan sebagai jaminan pinjaman, dialihkan, dan/atau disita.
|
||||
(2)
|
Penyerahan, pembebanan, pengikatan, pembayaran Manfaat Pensiun sebelum jatuh tempo, atau tindakan menjaminkan Manfaat Pensiun yang diperoleh dari Dana Pensiun akibat dilakukannya larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan batal demi hukum.
|
||||
(3)
|
Pembayaran Manfaat Pensiun kepada Peserta atau Pihak yang Berhak yang dilakukan oleh Dana Pensiun membebaskan Dana Pensiun dari tanggung jawab atas pembayaran Manfaat Pensiun dimaksud.
|
||||
(4)
|
Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berdasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 157 |
|||||
(1)
|
Besarnya hak atas Manfaat Pensiun bagi Peserta Program Pensiun Manfaat Pasti dihitung berdasarkan rumus yang ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun.
|
||||
(2)
|
Besarnya hak atas Manfaat Pensiun bagi Peserta Program Pensiun Iuran Pasti merupakan himpunan:
|
||||
|
a.
|
iuran Peserta dan/atau iuran Pemberi Kerja;
|
|||
|
b.
|
dana awal Pemberi Kerja;
|
|||
|
c.
|
pengalihan dana dari Dana Pensiun lain; dan
|
|||
|
d.
|
hasil pengembangan dari himpunan iuran Peserta dan/atau iuran Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dana awal Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud dalam huruf b, dan pengalihan dana dari Dana Pensiun lain sebagaimana dimaksud dalam huruf c terhitung sejak tanggal kepesertaan pada Dana Pensiun.
|
|||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran hak atas Manfaat Pensiun bagi Peserta Program Pensiun Manfaat Pasti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Manfaat Pensiun bagi Peserta Program Pensiun Iuran Pasti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 158 |
|||||
(1)
|
Peserta yang berhenti bekerja pada Usia Pensiun Normal atau setelahnya berhak atas Manfaat Pensiun Normal.
|
||||
(2)
|
Peserta yang berhenti bekerja paling cepat 5 (lima) tahun sebelum Usia Pensiun Normal berhak atas Manfaat Pensiun Dipercepat.
|
||||
(3)
|
Peserta yang berhenti bekerja dan memiliki masa kepesertaan kurang dari 3 (tiga) tahun berhak atas himpunan iuran Peserta yang bersangkutan ditambah hasil pengembangannya.
|
||||
(4)
|
Nilai hasil pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bagi Peserta yang mengikuti Program Pensiun Manfaat Pasti setiap tahunnya wajib paling sedikit sebesar imbal hasil deposito bank umum milik pemerintah dengan jangka waktu 1 (satu) tahun.
|
||||
(5)
|
Peserta yang mengikuti Program Pensiun Manfaat Pasti apabila berhenti bekerja setelah memiliki masa kepesertaan paling singkat 3 (tiga) tahun, tetapi belum berhak atas Manfaat Pensiun Dipercepat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berhak atas Pensiun Ditunda yang besarnya sama dengan jumlah yang dihitung berdasarkan rumus Manfaat Pensiun bagi kepesertaannya sampai pada saat berhenti bekerja.
|
||||
(6)
|
Peserta yang mengikuti Program Pensiun Iuran Pasti apabila berhenti bekerja setelah memiliki masa kepesertaan paling singkat 3 (tiga) tahun, tetapi belum berhak atas Manfaat Pensiun Dipercepat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berhak atas Pensiun Ditunda yang besarnya sama dengan iurannya sendiri dan iuran Pemberi Kerja beserta hasil pengembangannya.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 159 |
|||||
Dalam hal terdapat pengalihan dana awal Pemberi Kerja atau pengalihan dana dari Dana Pensiun lain kepada Dana Pensiun Lembaga Keuangan, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (3) tidak berlaku dan hak Peserta diperhitungkan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 157 ayat (2).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 160 |
|||||
(1)
|
Peserta mandiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (4) huruf a dapat mengalihkan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat (2) huruf c kepada Dana Pensiun Lembaga Keuangan lainnya atau Dana Pensiun Pemberi Kerja.
|
||||
(2)
|
Dalam hal Peserta berhak atas Pensiun Ditunda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (5) dan ayat (6), hak atas Pensiun Ditunda dapat dibayarkan oleh Dana Pensiun Lembaga Keuangan dan/atau Dana Pensiun Pemberi Kerja yang bersangkutan atau dapat dialihkan kepada Dana Pensiun Lembaga Keuangan lainnya dan/atau Dana Pensiun Pemberi Kerja lainnya, dengan ketentuan yang bersangkutan masih hidup dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah berhenti bekerja.
|
||||
(3)
|
Pemberi Kerja yang menanggung sebagian atau seluruh iuran Program Pensiun bagi karyawannya dapat mengalihkan kepesertaan karyawannya kepada Dana Pensiun Lembaga Keuangan lain atau Dana Pensiun Pemberi Kerja lain.
|
||||
(4)
|
Dalam hal Peserta turut menanggung sebagian iuran Program Pensiun, pengalihan kepesertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dilakukan dengan terlebih dahulu memperhatikan pendapat dari Peserta.
|
||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengalihan hak dan kepesertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 161 |
|||||
(1)
|
Dana Pensiun dilarang melakukan pembayaran apa pun, kecuali pembayaran yang ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun.
|
||||
(2)
|
Pembayaran Manfaat Pensiun bagi Peserta, Janda/Duda, atau anak harus dilakukan secara berkala.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 162 |
|||||
(1)
|
Dana Pensiun dilarang melakukan pembayaran Manfaat Pensiun kepada Peserta yang belum mencapai usia paling rendah 5 (lima) tahun sebelum Usia Pensiun Normal kecuali untuk:
|
||||
|
a.
|
pembayaran Manfaat Pensiun kepada Janda/Duda atau anak;
|
|||
|
b.
|
pembayaran Manfaat Pensiun Disabilitas;
|
|||
|
c.
|
kondisi mendesak tertentu yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan; dan
|
|||
|
d.
|
kondisi tertentu bagi Peserta yang bukan pekerja penerima upah pada badan usaha.
|
|||
(2)
|
Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti, Manfaat Pensiun bagi Peserta atau bagi Janda/Duda harus dibayarkan secara berkala dengan nilai tetap atau meningkat yang pembayarannya dilakukan untuk seumur hidup.
|
||||
(3)
|
Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti, Manfaat Pensiun bagi anak dibayarkan secara berkala sampai dengan anak mencapai batas usia tertentu.
|
||||
(4)
|
Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun Iuran Pasti, Manfaat Pensiun bagi Peserta, Janda/Duda, atau anak dibayarkan secara berkala untuk periode tertentu.
|
||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembayaran Manfaat Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 163 |
|||||
(1)
|
Pembayaran Manfaat Pensiun secara berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 ayat (2) dapat dilakukan dengan cara:
|
||||
|
a.
|
dibayarkan oleh Dana Pensiun; atau
|
|||
|
b.
|
Peserta, Janda/Duda, atau anak memilih untuk membeli anuitas atau anuitas syariah dari perusahaan asuransi jiwa atau perusahaan asuransi jiwa syariah.
|
|||
(2)
|
Tata cara pembayaran Manfaat Pensiun bagi Peserta atau Pihak yang Berhak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Dana Pensiun.
|
||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai cakupan pengaturan terkait tata cara pembayaran Manfaat Pensiun dalam Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 164 |
|||||
(1)
|
Manfaat Pensiun bagi Peserta atau Pihak yang Berhak dapat dibayarkan secara sekaligus dengan ketentuan:
|
||||
|
a.
|
Peserta meninggal dunia lebih dari 5 (lima) tahun sebelum mencapai Usia Pensiun Normal;
|
|||
|
b.
|
besarnya Manfaat Pensiun lebih kecil dari suatu jumlah tertentu yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan;
|
|||
|
c.
|
pembayaran Manfaat Pensiun kepada pihak yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (4); dan/atau
|
|||
|
d.
|
adanya kondisi tertentu yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
(2)
|
Peraturan Dana Pensiun dapat memuat ketentuan yang mengatur pilihan pembayaran Manfaat Pensiun pertama kali secara sekaligus paling banyak 20% (dua puluh persen) dari Manfaat Pensiun.
|
||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran Manfaat Pensiun secara sekaligus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 165 |
|||||
Peserta tidak dapat mengundurkan diri atau menuntut haknya dari Dana Pensiun dalam hal masih memenuhi syarat kepesertaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Dana Pensiun.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 166 |
|||||
(1)
|
Dana Pensiun wajib melakukan pencatatan tersendiri atas dana yang dikategorikan sebagai dana tidak aktif.
|
||||
(2)
|
Sampai dengan jangka waktu tertentu, dana tidak aktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialihkan kepada balai harta peninggalan.
|
||||
(3)
|
Dalam jangka waktu tertentu setelah dialihkan kepada balai harta peninggalan, dana tidak aktif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dialihkan kepada Negara.
|
||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pencatatan tersendiri dana tidak aktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengalihan dana tidak aktif dan jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Aset Dana Pensiun dan Pengelolaannya Pasal 167 |
|||||
(1)
|
Aset Dana Pensiun dihimpun dari:
|
||||
|
a.
|
iuran Pemberi Kerja;
|
|||
|
b.
|
iuran Peserta;
|
|||
|
c.
|
hasil pengelolaan aset;
|
|||
|
d.
|
pengalihan aset dari Dana Pensiun lain; dan/atau
|
|||
|
e.
|
pengalihan dana awal Pemberi Kerja.
|
|||
(2)
|
Aset Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dikecualikan dari setiap tuntutan hukum atas aset Pendiri.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 168 |
|||||
(1)
|
Pengurus Dana Pensiun wajib melakukan pengelolaan aset Dana Pensiun sesuai dengan ketentuan mengenai investasi yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(2)
|
Dengan persetujuan Pendiri dan Dewan Pengawas, pengelolaan aset Dana Pensiun Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dialihkan oleh Pengurus Dana Pensiun Pemberi Kerja kepada lembaga keuangan yang memenuhi ketentuan yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(3)
|
Bagi Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun berdasarkan Prinsip Syariah, pengalihan pengelolaan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapat persetujuan Dewan Pengawas Syariah.
|
||||
(4)
|
Dalam hal pengelolaan aset Dana Pensiun Pemberi Kerja dialihkan kepada lembaga keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Pengurus Dana Pensiun Pemberi Kerja wajib bertanggung jawab atas kepatuhan lembaga keuangan terhadap ketentuan mengenai pengelolaan aset dalam Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya.
|
||||
(5)
|
Otoritas Jasa Keuangan dapat mewajibkan Dana Pensiun menyimpan dan/atau menatausahakan sebagian atau seluruh aset Dana Pensiun pada Bank Kustodian.
|
||||
(6)
|
Aset Dana Pensiun yang disimpan pada Bank Kustodian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) hanya dapat ditarik atau dialihkan atas perintah Pengurus.
|
||||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 169 |
|||||
(1)
|
Dana Pensiun Pemberi Kerja dilarang mengembalikan asetnya kepada Pemberi Kerja.
|
||||
(2)
|
Dana Pensiun dilarang:
|
||||
|
a.
|
meminjamkan atau mengagunkan asetnya kepada pihak manapun, kecuali yang dikategorikan sebagai pengelolaan portofolio investasi;
|
|||
|
b.
|
menginvestasikan asetnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, pada surat berharga yang diterbitkan, atau pada tanah dan/atau bangunan yang dimiliki atau yang dipergunakan oleh:
|
|||
|
|
1.
|
Pengurus, Pendiri, Mitra Pendiri, pengendali Pendiri, atau Bank Kustodian;
|
||
|
|
2.
|
badan usaha yang lebih dari 25% (dua puluh lima persen) sahamnya dimiliki oleh orang atau badan yang terdiri dari Pendiri, Mitra Pendiri, pengendali Pendiri, Pengurus, Bank Kustodian, atau serikat pekerja yang anggotanya adalah Peserta Dana Pensiun yang bersangkutan;
|
||
|
|
3.
|
perusahaan anak; dan/atau
|
||
|
|
4.
|
pejabat eksekutif dari badan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2, serta keluarganya sampai derajat kedua menurut garis lurus maupun garis ke samping, termasuk menantu dan ipar;
|
||
|
c.
|
melakukan transaksi derivatif kecuali transaksi derivatif dalam rangka lindung nilai yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan; atau
|
|||
|
d.
|
memiliki instrumen derivatif kecuali instrumen derivatif yang didapatkan dari hasil kepemilikan instrumen lain yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
(3)
|
Selain larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dana Pensiun Lembaga Keuangan dilarang mengalihkan pengelolaan aset kepada pihak ketiga.
|
||||
(4)
|
Dana Pensiun wajib menerapkan prinsip tata kelola Dana Pensiun yang baik dan manajemen risiko yang efektif dalam setiap kegiatan usahanya pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi.
|
||||
(5)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga berlaku bagi lembaga keuangan yang mengelola aset Dana Pensiun Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 ayat (2).
|
||||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengecualian atas larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 170 |
|||||
(1)
|
Penyewaan atau jual beli tanah, bangunan, atau harta tetap lainnya milik Dana Pensiun kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (2) huruf b, hanya dapat dilakukan sepanjang menggunakan harga pasar wajar.
|
||||
(2)
|
Harga pasar wajar atas:
|
||||
|
a.
|
jual beli; dan
|
|||
|
b.
|
penyewaan dengan nilai tertentu,
|
|||
|
untuk tanah, bangunan, atau harta tetap lainnya milik Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh penilai independen.
|
||||
(3)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (2) huruf b tidak berlaku bagi investasi Dana Pensiun pada instrumen keuangan yang tercatat atau diperdagangkan di Pasar Modal dan Pasar Uang, dengan memenuhi ketentuan perundang-undangan mengenai arahan investasi atau pengelolaan aset Dana Pensiun.
|
||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan harga pasar wajar dalam aktivitas penyewaan tanah, bangunan, atau harta tetap lainnya oleh Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan pengecualian investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 8
Perlakuan/Insentif Perpajakan Pasal 171 |
|||||
Penyelenggaraan Program Pensiun dan manfaat lain oleh Dana Pensiun dapat diberikan perlakuan/insentif perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 9
Pengaturan, Pengawasan, dan Pelaporan Dana Pensiun Pasal 172 |
|||||
(1)
|
Pengaturan dan pengawasan atas Dana Pensiun dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(2)
|
Pengaturan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penyelenggaraan Program Pensiun, termasuk penyelenggaraan atas manfaat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (4), dan pengelolaan aset Dana Pensiun.
|
||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai cakupan pengaturan dan pengawasan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 173 |
|||||
(1)
|
Dalam rangka pelaksanaan fungsi pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 172 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(2)
|
Dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 172 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berwenang:
|
||||
|
a.
|
menyetujui atau menolak pengesahan pembentukan Dana Pensiun;
|
|||
|
b.
|
menyetujui atau menolak pengesahan perubahan atas Peraturan Dana Pensiun;
|
|||
|
c.
|
membubarkan Dana Pensiun;
|
|||
|
d.
|
mewajibkan Dana Pensiun menyampaikan laporan secara berkala;
|
|||
|
e.
|
melakukan pemeriksaan terhadap Dana Pensiun dan pihak lain yang sedang atau pernah menjadi pihak terafiliasi atau memberikan jasa kepada Dana Pensiun;
|
|||
|
f.
|
melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap anggota Pengurus, anggota Dewan Pengawas, dan anggota Dewan Pengawas Syariah;
|
|||
|
g.
|
menonaktifkan anggota Pengurus, anggota Dewan Pengawas, anggota Dewan Pengawas Syariah, dan menetapkan pengelola statuter;
|
|||
|
h.
|
memberi perintah tertulis kepada:
|
|||
|
|
1.
|
pihak tertentu untuk membuat laporan mengenai hal tertentu, atas biaya Dana Pensiun dan disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan;
|
||
|
|
2.
|
Dana Pensiun dan/atau pihak tertentu untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu guna memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Dana Pensiun;
|
||
|
|
3.
|
Dana Pensiun untuk memperbaiki atau menyempurnakan sistem pengendalian intern untuk mengidentifikasi dan menghindari pemanfaatan Dana Pensiun untuk kejahatan keuangan; dan
|
||
|
|
4.
|
Dana Pensiun untuk menggantikan seseorang dari jabatan atau posisi tertentu, atau menunjuk seseorang dengan kualifikasi tertentu untuk menempati jabatan atau posisi tertentu, dalam hal orang tersebut tidak kompeten, tidak memenuhi kualifikasi tertentu, tidak berpengalaman, atau melakukan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang undangan di bidang Dana Pensiun;
|
||
|
i.
|
mengenakan sanksi kepada Dana Pensiun, Pendiri, Mitra Pendiri, Pengurus, Dewan Pengawas, dan Dewan Pengawas Syariah; dan
|
|||
|
j.
|
melaksanakan kewenangan lain berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeriksaan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 174 |
|||||
(1)
|
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (2) huruf e dilakukan secara berkala dan/atau sewaktu-waktu.
|
||||
(2)
|
Setiap Pendiri, Mitra Pendiri, Pengurus, Dewan Pengawas, Dewan Pengawas Syariah, dan lembaga atau profesi penunjang Dana Pensiun, serta pihak lain terkait dengan kegiatan Dana Pensiun wajib memberikan keterangan dan/atau data, kesempatan untuk melihat semua pembukuan, catatan, dokumen, dan sarana fisik yang berkaitan dengan kegiatan Dana Pensiun yang diperlukan dalam rangka pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
||||
(3)
|
Setiap Orang yang pernah menjadi Pengurus, Dewan Pengawas, Dewan Pengawas Syariah, dan lembaga atau profesi penunjang Dana Pensiun, serta pihak lain terkait dengan kegiatan Dana Pensiun, wajib memberikan keterangan dan/atau data, kesempatan untuk melihat semua pembukuan, catatan, dokumen, dan sarana fisik yang berkaitan dengan kegiatan Dana Pensiun yang diperlukan dalam rangka pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 175 |
|||||
Setiap Orang dilarang:
|
|||||
a.
|
membuat atau menyebabkan adanya laporan, informasi, data atau dokumen Dana Pensiun yang tidak benar, palsu, atau menyesatkan;
|
||||
b.
|
menghilangkan, tidak memasukkan atau menyebabkan dihapuskannya suatu informasi atau data dalam buku catatan, laporan, atau dokumen Dana Pensiun; dan
|
||||
c.
|
mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus atau menghilangkan suatu informasi atau data dalam buku catatan, laporan, atau dokumen Dana Pensiun.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 176 |
|||||
(1)
|
Perintah tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (2) huruf h diberikan dalam hal Otoritas Jasa Keuangan berkesimpulan bahwa Dana Pensiun:
|
||||
|
a.
|
menjalankan kegiatan usahanya dengan cara tidak hati-hati dan tidak wajar, atau tidak sehat secara finansial;
|
|||
|
b.
|
diperkirakan akan gagal memenuhi kewajibannya;
|
|||
|
c.
|
melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Dana Pensiun; dan/atau
|
|||
|
d.
|
terlibat kejahatan keuangan.
|
|||
(2)
|
Dana Pensiun dan/atau pihak tertentu wajib mematuhi perintah tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
||||
(3)
|
Perintah tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dijadikan alasan oleh pihak yang melakukan perjanjian dengan Dana Pensiun untuk membatalkan atau menolak perjanjian, menghindari kewajiban yang ditentukan di dalam perjanjian, atau melakukan hal yang dapat mengakibatkan kerugian bagi Dana Pensiun.
|
||||
(4)
|
Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berhak mendapatkan ganti kerugian dari Dana Pensiun dalam hal menderita kerugian yang disebabkan oleh perintah tertulis yang diberikan kepada Dana Pensiun.
|
||||
(5)
|
Ketentuan ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak berlaku apabila pihak yang bersangkutan merupakan pihak terafiliasi atau pihak yang terkait dengan keadaan yang menyebabkan dikeluarkannya perintah tertulis oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 177 |
|||||
(1)
|
Otoritas Jasa Keuangan dapat menonaktifkan anggota Pengurus, anggota Dewan Pengawas, dan/atau anggota Dewan Pengawas Syariah, dalam hal:
|
||||
|
a.
|
berdasarkan informasi dari Dana Pensiun, diperkirakan Dana Pensiun tidak mampu memenuhi kewajiban;
|
|||
|
b.
|
menurut pertimbangan Otoritas Jasa Keuangan, Dana Pensiun diperkirakan tidak mampu memenuhi kewajiban;
|
|||
|
c.
|
menurut pertimbangan Otoritas Jasa Keuangan, Dana Pensiun secara keuangan dinilai tidak sehat;
|
|||
|
d.
|
menurut pertimbangan Otoritas Jasa Keuangan, Dana Pensiun dimanfaatkan untuk memfasilitasi dan/atau melakukan tindakan kejahatan keuangan; atau
|
|||
|
e.
|
menurut pertimbangan Otoritas Jasa Keuangan, Dana Pensiun melakukan kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan di bidang Dana Pensiun.
|
|||
(2)
|
Pengelola statuter yang telah ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (2) huruf g mempunyai tugas:
|
||||
|
a.
|
menyelamatkan aset Dana Pensiun;
|
|||
|
b.
|
mengendalikan dan mengelola kegiatan usaha dari Dana Pensiun sesuai dengan Undang-Undang ini;
|
|||
|
c.
|
menyusun langkah-langkah apabila Dana Pensiun tersebut masih dapat diselamatkan;
|
|||
|
d.
|
mengajukan usulan agar Otoritas Jasa Keuangan membubarkan Dana Pensiun apabila Dana Pensiun tersebut dinilai tidak dapat diselamatkan;
|
|||
|
e.
|
melaporkan kegiatannya kepada Otoritas Jasa Keuangan; dan
|
|||
|
f.
|
tugas lainnya yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
(3)
|
Pada saat pengelola statuter mulai melakukan pengambilalihan kepengurusan Dana Pensiun:
|
||||
|
a.
|
Pengurus, Dewan Pengawas, dan/atau Dewan Pengawas Syariah tidak dapat melakukan tindakan selaku Pengurus, Dewan Pengawas, dan/atau Dewan Pengawas Syariah; dan
|
|||
|
b.
|
Pengurus, Dewan Pengawas, dan/atau Dewan Pengawas Syariah nonaktif wajib membantu pengelola statuter dalam menjalankan fungsi kepengurusan.
|
|||
(4)
|
Pengurus, Dewan Pengawas, dan/atau Dewan Pengawas Syariah nonaktif dilarang mengundurkan diri selama fungsi kepengurusan diambil alih oleh pengelola statuter.
|
||||
(5)
|
Otoritas Jasa Keuangan setiap saat dapat memberhentikan pengelola statuter.
|
||||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelola statuter serta hak dan kewajiban Pengurus, Dewan Pengawas dan/atau Dewan Pengawas Syariah nonaktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 178 |
|||||
(1)
|
Pengelola statuter dalam melaksanakan tugasnya wajib mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Dana Pensiun.
|
||||
(2)
|
Pengelola statuter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mematuhi setiap perintah tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan mengenai pengendalian dan pengelolaan kegiatan usaha dari Dana Pensiun.
|
||||
(3)
|
Pengelola statuter mengambil alih pengendalian dan pengelolaan Dana Pensiun terhitung sejak tanggal penetapan sebagai pengelola statuter.
|
||||
(4)
|
Pengelola statuter memiliki seluruh wewenang dan fungsi Pengurus, Dewan Pengawas, dan/atau Dewan Pengawas Syariah dari Dana Pensiun.
|
||||
(5)
|
Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pengelola statuter juga memiliki kewenangan untuk membatalkan atau mengakhiri perjanjian yang dibuat oleh Dana Pensiun dengan pihak ketiga, yang menurut pengelola statuter dapat merugikan kepentingan Dana Pensiun, Peserta, dan Pihak yang Berhak.
|
||||
(6)
|
Pengelola statuter bertanggung jawab atas kerugian Dana Pensiun dan/atau pihak ketiga jika kerugian disebabkan oleh kecurangan, ketidakjujuran, atau kesengajaannya untuk tidak mematuhi ketentuan peraturan perundang undangan di bidang Dana Pensiun.
|
||||
(7)
|
Pengendalian dan pengelolaan Dana Pensiun oleh pengelola statuter berakhir apabila Otoritas Jasa Keuangan memutuskan:
|
||||
|
a.
|
pengendalian dan pengelolaan Dana Pensiun oleh pengelola statuter tidak diperlukan lagi; atau
|
|||
|
b.
|
Dana Pensiun telah dibubarkan.
|
|||
(8)
|
Pengelola statuter wajib mempertanggungjawabkan segala keputusan dan tindakannya dalam mengendalikan dan mengelola Dana Pensiun kepada Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 179 |
|||||
Dalam menetapkan pengelola statuter, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (2) huruf g, Otoritas Jasa Keuangan:
|
|||||
a.
|
mempertimbangkan ketersediaan tenaga individu yang akan ditunjuk sebagai pengelola statuter;
|
||||
b.
|
melakukan penunjukan pengelola statuter melalui uji kelayakan dan kepatutan; dan/atau
|
||||
c.
|
mempertimbangkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 180 |
|||||
Dalam hal terjadi kerugian yang tidak disebabkan oleh kecurangan, ketidakjujuran, atau kesengajaan pengelola statuter untuk tidak mematuhi ketentuan perundang undangan di bidang Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (6), Pendiri wajib bertanggung jawab atas hak keuangan Peserta.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 181 |
|||||
(1)
|
Dana Pensiun wajib menyampaikan laporan berkala mengenai kegiatannya kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(2)
|
Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti wajib memiliki laporan aktuaris dan menyampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun atau sewaktu waktu dalam hal dilakukan perubahan terhadap Peraturan Dana Pensiun yang mengakibatkan perubahan dalam pendanaan dan Manfaat Pensiun.
|
||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban penyampaian laporan berkala dan laporan aktuaris oleh Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 182 |
|||||
(1)
|
Dana Pensiun wajib mengumumkan kondisi keuangan dan perhitungan hasil usaha secara transparan kepada Peserta.
|
||||
(2)
|
Dana Pensiun wajib menyampaikan keterangan kepada Peserta mengenai hal yang timbul terkait kepesertaannya.
|
||||
(3)
|
Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) minimal memuat informasi mengenai jumlah dana yang telah terkumpul dan/atau proyeksi besaran manfaat yang akan diterima.
|
||||
(4)
|
Dana Pensiun wajib menyampaikan informasi setiap perubahan Peraturan Dana Pensiun secara transparan kepada Peserta.
|
||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengumuman kondisi keuangan dan perhitungan hasil usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyampaian keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 183 |
|||||
(1)
|
Pembubaran Dana Pensiun terjadi dalam hal:
|
||||
|
a.
|
terdapat permintaan Pendiri kepada Otoritas Jasa Keuangan;
|
|||
|
b.
|
Pendiri bubar; atau
|
|||
|
c.
|
berdasarkan penilaian Otoritas Jasa Keuangan:
|
|||
|
|
1.
|
Dana Pensiun tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada Peserta dan Pihak yang Berhak;
|
||
|
|
2.
|
terhentinya iuran pada Dana Pensiun yang dapat membahayakan kondisi keuangan Dana Pensiun dimaksud; atau
|
||
|
|
3.
|
Dana Pensiun tidak beroperasi dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak didirikan.
|
||
(2)
|
Dalam rangka pembubaran Dana Pensiun, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan:
|
||||
|
a.
|
pembubaran Dana Pensiun; dan
|
|||
|
b.
|
likuidator yang diajukan oleh Pendiri atau yang diajukan oleh likuidator Pendiri.
|
|||
(3)
|
Dalam hal pembubaran Dana Pensiun terjadi karena kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, Otoritas Jasa Keuangan menunjuk dan menetapkan likuidator.
|
||||
(4)
|
Pengurus, likuidator Pendiri, dan/atau pihak lain dapat ditunjuk sebagai likuidator.
|
||||
(5)
|
Dewan Pengawas tidak dapat ditunjuk sebagai likuidator.
|
||||
(6)
|
Biaya yang timbul dalam rangka pembubaran Dana Pensiun dibebankan pada Dana Pensiun, Pendiri, dan/atau Mitra Pendiri.
|
||||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembubaran Dana Pensiun dan penunjukan likuidator sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 184 |
|||||
(1)
|
Sebelum proses likuidasi Dana Pensiun selesai, Pemberi Kerja tetap bertanggung jawab atas iuran yang terutang sampai pada saat Dana Pensiun dibubarkan sesuai dengan ketentuan mengenai pendanaan yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(2)
|
Dalam hal iuran yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilunasi oleh Pemberi Kerja kepada Dana Pensiun sampai dengan jangka waktu tertentu, iuran yang terutang dimaksud dialihkan hak tagihnya dari hak tagih Dana Pensiun menjadi hak tagih Peserta kepada Pemberi Kerja.
|
||||
(3)
|
Pada saat proses likuidasi, Dana Pensiun dilarang mengembalikan aset Dana Pensiun kepada Pemberi Kerja.
|
||||
(4)
|
Setiap kelebihan kekayaan atas kewajiban pada saat pembubaran harus dipergunakan untuk meningkatkan Manfaat Pensiun bagi Peserta sampai jumlah maksimum yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(5)
|
Dalam hal masih terdapat kelebihan dana sesudah peningkatan manfaat sampai jumlah maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (4), sisa dana tersebut harus dibagikan kepada Peserta dan Pihak yang Berhak atas Manfaat Pensiun.
|
||||
(6)
|
Dalam pembagian aset Dana Pensiun yang dilikuidasi, hak Peserta dan/atau Pihak yang Berhak mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hak pihak lain kecuali dalam hal kewajiban kepada negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(7)
|
Pendiri dan/atau pemegang saham dari Pendiri wajib bertanggungjawab terhadap pelaksanaan penyelesaian proses likuidasi Dana Pensiun yang dilaksanakan oleh likuidator.
|
||||
(8)
|
Dewan Pengawas wajib melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penyelesaian proses likuidasi Dana Pensiun yang dilaksanakan oleh likuidator.
|
||||
(9)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai proses likuidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (8) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 185 |
|||||
(1)
|
Likuidator wajib melaporkan pelaksanaan dan penyelesaian likuidasi Dana Pensiun kepada Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(2)
|
Likuidator wajib mengumumkan hasil penyelesaian likuidasi Dana Pensiun yang telah disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam Berita Negara Republik Indonesia.
|
||||
(3)
|
Status badan hukum Dana Pensiun berakhir terhitung sejak tanggal pengumuman hasil penyelesaian likuidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaporan pelaksanaan dan penyelesaian likuidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengumuman hasil penyelesaian likuidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 10
Asosiasi Dana Pensiun Pasal 186 |
|||||
(1)
|
Setiap Dana Pensiun wajib menjadi anggota salah satu asosiasi Dana Pensiun yang sesuai dengan ruang lingkup usahanya.
|
||||
(2)
|
Asosiasi Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Program Jaminan Hari Tua Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasal 187 |
|||||
Dalam rangka peningkatan perlindungan hari tua, serta pengembangan dan penguatan sektor keuangan melalui penataan sistem jaminan sosial nasional, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 188 |
|||||
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841) diubah sebagai berikut:
|
|||||
|
|
|
|
|
|
1.
|
Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 36
|
||||
|
(1)
|
Peserta jaminan hari tua merupakan peserta yang telah membayar iuran.
|
|||
|
(2)
|
Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempatkan ke dalam:
|
|||
|
|
a.
|
akun utama; dan
|
||
|
|
b.
|
akun tambahan.
|
||
|
(3)
|
Iuran yang ditempatkan pada akun utama harus lebih besar daripada iuran yang ditempatkan pada akun tambahan.
|
|||
|
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran proporsi iuran yang ditempatkan pada akun utama dan akun tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
|||
|
|
|
|
|
|
2.
|
Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 37
|
||||
|
(1)
|
Besarnya manfaat jaminan hari tua ditentukan berdasarkan akumulasi seluruh iuran yang telah disetorkan pada akun utama dan akun tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) ditambah hasil pengembangannya pada masing masing akun.
|
|||
|
(2)
|
Manfaat jaminan hari tua berupa uang tunai dapat dibayarkan secara sekaligus atau berkala pada saat dan/atau setelah peserta jaminan hari tua memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap.
|
|||
|
(3)
|
Dalam hal terdapat kepentingan mendesak, peserta jaminan hari tua dapat mengambil sebagian atau seluruh manfaat jaminan hari tua pada akun tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) huruf b.
|
|||
|
(4)
|
Untuk memberikan pelindungan atas imbal hasil yang diperoleh, peserta berhak mendapatkan hasil pengembangan atas akumulasi iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal setara tingkat imbal hasil deposito bank Pemerintah dengan jangka waktu 1 (satu) tahun.
|
|||
|
(5)
|
Hak atas hasil pengembangan minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung secara akumulasi selama menjadi peserta jaminan hari tua.
|
|||
|
(6)
|
Apabila peserta jaminan hari tua meninggal dunia, ahli warisnya yang sah berhak menerima manfaat jaminan hari tua.
|
|||
|
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai manfaat jaminan hari tua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) dan ayat (6) serta hasil pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
|||
|
|
|
|
|
|
3.
|
Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 38
|
||||
|
(1)
|
Besarnya iuran jaminan hari tua untuk peserta jaminan hari tua penerima upah ditetapkan berdasarkan persentase tertentu dari:
|
|||
|
|
a.
|
upah;
|
||
|
|
b.
|
upah sampai batas tertentu; dan/atau
|
||
|
|
c.
|
penghasilan tertentu,
|
||
|
|
yang ditanggung bersama oleh pemberi kerja dan pekerja.
|
|||
|
(2)
|
Besarnya iuran jaminan hari tua untuk peserta jaminan hari tua yang tidak menerima upah ditetapkan berdasarkan jumlah nominal yang ditetapkan secara berkala oleh Pemerintah.
|
|||
|
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran iuran jaminan hari tua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Program Pensiun Paragraf 1 Harmonisasi Program Pensiun Pasal 189 |
|||||
(1)
|
Pemerintah mengharmonisasikan seluruh Program Pensiun sebagai upaya peningkatan perlindungan hari tua dan memajukan kesejahteraan umum.
|
||||
(2)
|
Harmonisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pengaturan Program Pensiun yang bersifat wajib.
|
||||
(3)
|
Program Pensiun yang bersifat wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup program jaminan hari tua dan program jaminan pensiun yang merupakan bagian dari sistem jaminan sosial nasional.
|
||||
(4)
|
Selain program jaminan hari tua dan jaminan pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah dapat melaksanakan Program Pensiun tambahan yang bersifat wajib yang diselenggarakan secara kompetitif bagi pekerja dengan penghasilan tertentu dalam rangka mengharmonisasikan seluruh Program Pensiun sebagai upaya peningkatan perlindungan hari tua dan memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
||||
(5)
|
Dalam rangka harmonisasi Program Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan koordinasi antara kementerian/lembaga dan otoritas terkait.
|
||||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai harmonisasi seluruh Program Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah setelah mendapatkan persetujuan dari DPR.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Pengelolaan Aset dan Liabilitas Program Pensiun Pasal 190 |
|||||
(1)
|
Pengelola Program Pensiun merupakan profesional yang wajib memiliki kompetensi dan pengalaman yang memadai.
|
||||
(2)
|
Aset dan liabilitas Program Pensiun wajib dikelola dengan menerapkan prinsip tata kelola yang baik dengan minimal menerapkan prinsip transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, independensi, dan kewajaran.
|
||||
(3)
|
Pengelolaan aset dan liabilitas Program Pensiun bertujuan untuk memberikan manfaat yang optimal bagi pemangku kepentingan khususnya Peserta dan/atau Pihak yang Berhak memperoleh Manfaat Pensiun.
|
||||
(4)
|
Setiap keputusan dan tindakan terkait pengembangan aset yang dilakukan oleh pengelola Program Pensiun wajib didasarkan pada analisis pengembangan aset yang objektif, independen, dan rasional.
|
||||
(5)
|
Analisis pengembangan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib didokumentasikan dan tertuang dalam kertas kerja analisis yang memadai.
|
||||
(6)
|
Pengelola Program Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun Iuran Pasti wajib memberikan penjelasan kepada Peserta dan/atau Pemberi Kerja mengenai pilihan alokasi aset secara lengkap dan transparan.
|
||||
(7)
|
Peserta dan/atau Pemberi Kerja berhak menentukan pilihan alokasi aset pada Program Pensiun Iuran Pasti sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
|
||||
(8)
|
Pengelola Program Pensiun wajib menyampaikan pengukuran kinerja atas pengelolaan aset Program Pensiun kepada Peserta dengan ketentuan minimal:
|
||||
|
a.
|
dilakukan secara transparan dan lengkap;
|
|||
|
b.
|
memuat imbal hasil baik absolut maupun relatif; dan
|
|||
|
c.
|
disampaikan 1 (satu) kali dalam setahun.
|
|||
(9)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan aset dan liabilitas Program Pensiun bagi Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (8) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(10)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan aset dan liabilitas Program Pensiun bagi pengelola Program Pensiun yang terkait dengan keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (8) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 191 |
|||||
(1)
|
Untuk memberikan kemungkinan imbal hasil yang lebih optimal dan mencegah kerugian yang lebih besar, anggota direksi atau yang setara pada pengelola Program Pensiun yang terkait dengan keuangan negara dapat melakukan cut loss atas aset yang dikelola dengan ketentuan:
|
||||
|
a.
|
penurunan nilai atau kerugian atas aset investasi yang dilakukan cut loss bukan karena kesalahan atau kelalaian anggota direksi atau yang setara pada pengelola Program Pensiun yang melakukan cut loss;
|
|||
|
b.
|
telah melakukan analisis yang memadai yang dibuktikan dengan kertas kerja analisis dengan hasil menunjukkan terdapat potensi imbal hasil yang lebih optimal jika cut loss dilakukan; dan
|
|||
|
c.
|
tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung dalam melakukan tindakan cut loss.
|
|||
(2)
|
Kerugian atas aset investasi yang dilakukan cut loss sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan kerugian negara atau kerugian lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(3)
|
Tindakan cut loss yang dilakukan oleh pengelola Program Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dipermasalahkan secara hukum.
|
||||
(4)
|
Dalam hal terdapat penurunan nilai aset yang dikelola, anggota direksi atau yang setara pada pengelola Program Pensiun yang terkait dengan keuangan negara tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban atas kerugian dari penurunan nilai aset dimaksud dengan ketentuan:
|
||||
|
a.
|
penurunan nilai aset yang dikelola bukan karena kesalahan atau kelalaian pengelola Program Pensiun;
|
|||
|
b.
|
telah melakukan pengelolaan dan pengawasan atas aset tersebut dengan menerapkan prinsip kehati-hatian; dan
|
|||
|
c.
|
tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas pengelolaan aset yang mengalami penurunan nilai tersebut.
|
|||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai cut loss dan penurunan nilai aset yang dikelola oleh pengelola Program Pensiun yang terkait dengan keuangan negara diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Pembentukan Unit Aktuaria Pasal 192 |
|||||
(1)
|
Otoritas Jasa Keuangan dan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan membentuk unit aktuaria yang mendukung tugas dan fungsi yang memerlukan analisis aktuaria paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
|
||||
(2)
|
Unit aktuaria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai fungsi untuk melakukan analisis aktuaria minimal mengenai:
|
||||
|
a.
|
demografi;
|
|||
|
b.
|
ekonomi;
|
|||
|
c.
|
keuangan;
|
|||
|
d.
|
investasi; dan
|
|||
|
e.
|
pemodelan.
|
|||
(3)
|
Pembentukan unit aktuaria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada:
|
||||
|
a.
|
Otoritas Jasa Keuangan ditetapkan oleh Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan; dan
|
|||
|
b.
|
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan ditetapkan oleh Menteri.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Sanksi Administratif Terkait Dana Pensiun Pasal 193 |
|||||
(1)
|
Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif kepada Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (6) huruf a dan huruf b, Pasal 139 ayat (6), Pasal 142 ayat (5), Pasal 143 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 144 ayat (3), ayat (5), dan ayat (7), Pasal 147 ayat (1), Pasal 149 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 150 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 153 ayat (1), ayat (2), dan ayat (5), Pasal 158 ayat (4), Pasal 160 ayat (4), Pasal 166 ayat (1), Pasal 168 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 169 ayat (1), ayat (2) huruf c dan huruf d, ayat (3), dan ayat (4), Pasal 174 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 176 ayat (2), Pasal 177 ayat (3) huruf b dan ayat (4), Pasal 178 ayat (1), ayat (2), dan ayat (8), Pasal 180, Pasal 181 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 182 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), Pasal 184 ayat (3), ayat (7), dan ayat (8), Pasal 185 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 186 ayat (1), serta Pasal 190 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (8).
|
||||
(2)
|
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
||||
|
a.
|
peringatan tertulis;
|
|||
|
b.
|
larangan untuk menyelenggarakan program tertentu;
|
|||
|
c.
|
penurunan tingkat kesehatan;
|
|||
|
d.
|
larangan menjadi Pengurus, Dewan Pengawas, dan/atau Dewan Pengawas Syariah pada Dana Pensiun;
|
|||
|
e.
|
denda administratif; dan/atau
|
|||
|
f.
|
pembubaran.
|
|||
(3)
|
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf d, dan huruf f tidak berlaku terhadap pelanggaran ketentuan Pasal 190 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (8) oleh penyelenggara Program Pensiun selain Dana Pensiun Pemberi Kerja dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan.
|
||||
(4)
|
Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menilai kondisi Dana Pensiun membahayakan kepentingan Peserta dan/atau Pihak yang Berhak, Otoritas Jasa Keuangan dapat mengenakan sanksi pembubaran Dana Pensiun tanpa didahului pengenaan sanksi administratif yang lain.
|
||||
(5)
|
Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan.
|
||||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk sanksi administratif, besaran denda administratif, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
Ketentuan Pidana Terkait Dana Pensiun Pasal 194 |
|||||
Setiap Orang yang menjalankan Program Pensiun, tidak memperoleh pengesahan sebagai Dana Pensiun dari Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 195 |
|||||
Anggota Dewan Pengawas, anggota Dewan Pengawas Syariah, anggota Pengurus, dan pegawai Dana Pensiun yang dengan sengaja melakukan pembayaran selain yang ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun dan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 196 |
|||||
Anggota Dewan Pengawas, anggota Dewan Pengawas Syariah, anggota Pengurus, dan pegawai Dana Pensiun yang dengan sengaja meminjamkan atau mengagunkan aset Dana Pensiun kepada pihak manapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (2) huruf a dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 197 |
|||||
Anggota Dewan Pengawas, anggota Dewan Pengawas Syariah, anggota Pengurus, dan pegawai Dana Pensiun yang dengan sengaja menginvestasikan aset Dana Pensiun baik secara langsung maupun tidak langsung, pada surat berharga yang diterbitkan, atau pada tanah dan/atau bangunan yang dimiliki atau yang dipergunakan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (2) huruf b dan dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 170 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 198 |
|||||
Setiap Orang yang dengan sengaja:
|
|||||
a.
|
membuat atau menyebabkan adanya laporan, informasi, data atau dokumen Dana Pensiun yang tidak benar, palsu, atau menyesatkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175 huruf a;
|
||||
b.
|
menghilangkan, tidak memasukkan atau menyebabkan dihapuskannya suatu informasi atau data dalam buku catatan, laporan, atau dokumen Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175 huruf b; dan/atau
|
||||
c.
|
mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus atau menghilangkan suatu informasi atau data dalam buku catatan, laporan, atau dokumen Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175 huruf c,
|
||||
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 199 |
|||||
Dalam hal anggota direksi atau yang setara pada pengelola Program Pensiun yang terkait dengan keuangan negara melakukan cut loss tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) dan/atau menyebabkan penurunan nilai aset tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (4) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 200 |
|||||
(1)
|
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 194 dan Pasal 199 dilakukan oleh badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun tidak berbentuk badan hukum, asosiasi, atau kelompok terorganisasi, tuntutan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap:
|
||||
|
a.
|
badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun tidak berbentuk badan hukum, asosiasi, atau kelompok terorganisasi; dan/atau
|
|||
|
b.
|
orang perseorangan yang memberi perintah untuk melakukan dan/atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana dimaksud.
|
|||
(2)
|
Terhadap badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun tidak berbentuk badan hukum, asosiasi, atau kelompok terorganisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah).
|
||||
(3)
|
Terhadap orang perseorangan yang memberi perintah untuk melakukan dan/atau yang bertindak sebagai pemimpin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB XIII
KOPERASI DI SEKTOR JASA KEUANGAN Pasal 201 |
|||||
Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan melalui penataan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi, Undang-Undang ini mengubah dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 202 |
|||||
Di antara Pasal 44A dan Pasal 45 dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502) disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 44B sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 44B |
|||||
(1)
|
Koperasi dapat melaksanakan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(2)
|
Koperasi yang melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memenuhi kriteria sebagai berikut:
|
||||
|
a.
|
menghimpun dana dari pihak selain anggota Koperasi yang bersangkutan;
|
|||
|
b.
|
menghimpun dana dari anggota Koperasi lain;
|
|||
|
c.
|
menyalurkan pinjaman ke pihak selain anggota Koperasi yang bersangkutan dan/atau menyalurkan pinjaman ke anggota Koperasi lain;
|
|||
|
d.
|
menerima sumber pendanaan dari bank dan/atau lembaga keuangan lainnya melewati batas maksimal yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koperasi; dan/atau
|
|||
|
e.
|
melakukan layanan jasa keuangan di luar usaha simpan pinjam seperti usaha perbankan, usaha perasuransian, usaha program pensiun, Pasar Modal, usaha lembaga pembiayaan, dan kegiatan usaha lain yang ditetapkan dalam undang-undang mengenai sektor jasa keuangan.
|
|||
(3)
|
Perizinan, pengaturan, dan pengawasan Koperasi yang berkegiatan di dalam sektor jasa keuangan dilaksanakan oleh Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan Undang-Undang.
|
||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan, pengaturan, dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB XIV
LEMBAGA KEUANGAN MIKRO Pasal 203 |
|||||
Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan melalui penataan lembaga keuangan mikro, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5394).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 204 |
|||||
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5394) diubah sebagai berikut:
|
|||||
|
|
|
|
|
|
1.
|
Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 5
|
||||
|
(1)
|
Bentuk badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a terdiri atas:
|
|||
|
|
a.
|
koperasi; dan
|
||
|
|
b.
|
perseroan terbatas.
|
||
|
(2)
|
Kepemilikan saham perseroan terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, paling sedikit 60% (enam puluh persen) dimiliki oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Pemerintah Daerah provinsi, dan/atau badan usaha milik desa.
|
|||
|
(3)
|
Sisa kepemilikan saham perseroan terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dimiliki oleh:
|
|||
|
|
a.
|
warga negara Indonesia; dan/atau
|
||
|
|
b.
|
koperasi.
|
||
|
(4)
|
Kepemilikan setiap warga negara Indonesia atas saham perseroan terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a paling banyak sebesar 20% (dua puluh persen).
|
|||
|
|
|
|
|
|
2.
|
Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 8
|
||||
|
LKM dilarang dimiliki selain oleh:
|
||||
|
a.
|
warga negara Indonesia;
|
|||
|
b.
|
badan usaha milik desa;
|
|||
|
c.
|
Pemerintah Daerah kabupaten/kota;
|
|||
|
d.
|
Pemerintah Daerah provinsi; dan/atau;
|
|||
|
e.
|
koperasi.
|
|||
|
|
|
|
|
|
3.
|
Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 9
|
||||
|
(1)
|
Sebelum menjalankan kegiatan usaha, LKM wajib memiliki izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(2)
|
LKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan skala usahanya dikelompokkan menjadi:
|
|||
|
|
a.
|
LKM skala usaha kecil;
|
||
|
|
b.
|
LKM skala usaha menengah; dan
|
||
|
|
c.
|
LKM skala usaha besar.
|
||
|
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai skala usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(4)
|
Untuk memperoleh izin usaha LKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1), LKM harus memenuhi persyaratan minimal sebagai berikut:
|
|||
|
|
a.
|
susunan organisasi dan kepengurusan;
|
||
|
|
b.
|
permodalan;
|
||
|
|
c.
|
kepemilikan; dan
|
||
|
|
d.
|
kelayakan rencana kerja.
|
||
|
(5)
|
LKM yang sudah beroperasi dan belum memperoleh izin usaha wajib:
|
|||
|
|
a.
|
memiliki izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan bagi LKM yang melakukan penghimpunan dana masyarakat; atau
|
||
|
|
b.
|
terdaftar pada Pemerintah Daerah kabupaten/kota setempat sebagai LKM inkubasi, bagi LKM yang tidak melakukan penghimpunan dana masyarakat.
|
||
|
(6)
|
LKM inkubasi yang telah terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dilarang melakukan kegiatan penghimpunan dana masyarakat.
|
|||
|
(7)
|
Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota mendorong LKM inkubasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b agar mampu menjadi LJK yang memiliki izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
(8)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai:
|
|||
|
|
a.
|
pendaftaran LKM inkubasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b;
|
||
|
|
b.
|
larangan bagi LKM inkubasi sebagairnana dimaksud pada ayat (6); dan
|
||
|
|
c.
|
upaya Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (7),
|
||
|
|
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
|||
|
|
|
|
|
|
4.
|
Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 11
|
||||
|
(1)
|
Kegiatan usaha LKM meliputi:
|
|||
|
|
a.
|
jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, melalui:
|
||
|
|
|
1.
|
Pinjaman atau Pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat;
|
|
|
|
|
2.
|
pengelolaan Simpanan; atau
|
|
|
|
|
3.
|
pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha; dan
|
|
|
|
b.
|
kegiatan usaha lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
||
|
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, Pinjaman atau Pembiayaan, pengelolaan Simpanan, dan pemberian jasa konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
5.
|
Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 16
|
||||
|
(1)
|
Cakupan wilayah usaha suatu LKM berada dalam satu wilayah desa/kelurahan, kecamatan, atau kabupaten/kota.
|
|||
|
(2)
|
Luas cakupan wilayah usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan skala usaha LKM yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
6.
|
Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 23
|
||||
|
(1)
|
Untuk mewujudkan LKM yang sehat, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan tingkat kesehatan dan prinsip kehati-hatian usaha.
|
|||
|
(2)
|
Dalam hal LKM tidak memenuhi tingkat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota berwenang untuk meminta:
|
|||
|
|
a.
|
pemegang saham atau pengurus dan/atau anggota menambah modal;
|
||
|
|
b.
|
pemegang saham atau rapat anggota mengganti dewan komisaris atau pengawas dan/atau direksi atau pengurus LKM;
|
||
|
|
c.
|
LKM menghapusbukukan Pinjaman atau Pembiayaan yang macet dan memperhitungkan kerugian LKM dengan modalnya;
|
||
|
|
d.
|
LKM melakukan penggabungan atau peleburan dengan LKM lain;
|
||
|
|
e.
|
LKM mengalihkan kepemilikannya kepada pihak lain yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban;
|
||
|
|
f.
|
LKM menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan LKM kepada pihak lain;
|
||
|
|
g.
|
LKM menjual sebagian atau seluruh harta dan/atau kewajiban kepada LKM atau pihak lain; dan/atau
|
||
|
|
h.
|
LKM melakukan tindakan lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
||
|
(3)
|
Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum cukup untuk memenuhi tingkat kesehatan LKM, Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin usaha LKM dan memerintahkan direksi atau pengurus LKM untuk segera menyelenggarakan rapat umum pemegang saham, rapat anggota, atau rapat sejenis guna membubarkan badan hukum LKM dan membentuk tim likuidasi.
|
|||
|
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tingkat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tindakan yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan pencabutan izin usaha dan pembubaran LKM sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
7.
|
Judul Bab X diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
BAB X
PENGATURAN, PEMBINAAN, DAN PENGAWASAN |
||||
|
|
|
|
|
|
8.
|
Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 28
|
||||
|
(1)
|
Pengaturan terhadap LKM dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(2)
|
Pembinaan dan pengawasan terhadap LKM skala usaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a dilakukan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota, dengan mengacu pada ketentuan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(3)
|
Pembinaan dan pengawasan terhadap LKM skala usaha menengah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf b dan skala usaha besar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf c dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(4)
|
Dalam melakukan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Pemerintah Daerah kabupaten/kota dan Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan koordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koperasi dan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri.
|
|||
|
(5)
|
Pemerintah Daerah kabupaten/kota menyiapkan infrastruktur pembinaan dan pengawasan LKM sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
|||
|
(6)
|
Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koperasi, dan Pemerintah Daerah provinsi melakukan upaya dalam rangka mendukung kelancaran pelaksanaan pembinaan dan pengawasan LKM oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota.
|
|||
|
|
|
|
|
|
9.
|
Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 30
|
||||
|
(1)
|
LKM skala usaha menengah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf b dan skala usaha besar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf c wajib menyampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai:
|
|||
|
|
a.
|
laporan keuangan berkala;
|
||
|
|
b.
|
laporan keuangan tahunan yang telah diaudit oleh akuntan publik bagi LKM yang memenuhi syarat tertentu; dan
|
||
|
|
c.
|
laporan lain yang ditetapkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||
|
(2)
|
LKM skala usaha kecil wajib menyampaikan kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota dengan tembusan kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai:
|
|||
|
|
a.
|
laporan keuangan berkala; dan
|
||
|
|
b.
|
laporan lain yang ditetapkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||
|
(3)
|
LKM wajib mengumumkan laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dalam rangka menerapkan prinsip keterbukaan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
10.
|
Di antara Pasal 30 dan Pasal 31 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 30A, Pasal 30B, dan Pasal 30C sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 30A
|
||||
|
(1)
|
Anggota dewan komisaris, anggota pengawas, anggota direksi, anggota pengurus, pengelola, pegawai, dan/atau pihak terafiliasi LKM dilarang meminta atau menerima suatu imbalan, baik berupa uang maupun barang untuk keuntungan pribadi atau keluarganya:
|
|||
|
|
a.
|
dalam rangka orang lain mendapatkan uang muka atau fasilitas Pembiayaan dari LKM; dan/atau
|
||
|
|
b.
|
dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas Pembiayaan pada LKM.
|
||
|
(2)
|
Anggota dewan komisaris, anggota pengawas, anggota direksi, anggota pengurus, pengelola, pegawai, dan/atau pihak terafiliasi LKM wajib melaksanakan langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan LKM terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi LKM.
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 30B
|
||||
|
Pemegang saham atau pemilik dan/atau pihak terafiliasi LKM dilarang menyuruh anggota dewan komisaris, anggota pengawas, anggota direksi, anggota pengurus, pengelola, pegawai, dan/atau pihak terafiliasi LKM untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan LKM tidak melaksanakan langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan LKM terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi LKM.
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 30C
|
||||
|
Anggota dewan komisaris, anggota pengawas, anggota direksi, anggota pengurus, pengelola, pegawai, dan/atau pihak terafiliasi LKM dilarang memberikan laporan, informasi, data, dan dokumen kepada Otoritas Jasa Keuangan secara tidak benar, palsu, dan/atau menyesatkan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
11.
|
Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 31
|
||||
|
Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) termasuk kegiatan pemeriksaan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
12.
|
Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 33
|
||||
|
(1)
|
Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9 ayat (5) huruf b, Pasal 12 ayat (2), Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 18, Pasal 24, Pasal 27, Pasal 29 ayat (1), dan Pasal 30 dikenai sanksi administratif berupa:
|
|||
|
|
a.
|
peringatan tertulis;
|
||
|
|
b.
|
pemberhentian dan/atau penggantian direksi atau pengurus LKM;
|
||
|
|
c.
|
pembekuan kegiatan usaha untuk sebagian atau seluruh kegiatan usaha;
|
||
|
|
d.
|
denda administratif; dan/atau
|
||
|
|
e.
|
pencabutan izin usaha.
|
||
|
(2)
|
Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan.
|
|||
|
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
13.
|
Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 34
|
||||
|
(1)
|
Setiap Orang yang menjalankan LKM tan pa izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan ayat (5) huruf a dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
|
|||
|
(2)
|
Direksi atau pengurus LKM inkubasi yang melanggar larangan menghimpun dana masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6) dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
|
|||
|
(3)
|
Dalam hal kegiatan usaha LKM tanpa izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penghimpunan dana masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, selain dipidana dengan pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), pelaku juga dipidana dengan pidana tambahan berupa penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang.
|
|||
|
(4)
|
Pidana tambahan berupa penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikembalikan kepada pihak yang dirugikan.
|
|||
|
(5)
|
Penggantian kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa:
|
|||
|
|
a.
|
sejumlah kerugian yang diderita; atau
|
||
|
|
b.
|
secara proporsional dalam hal jumlah penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan tidak mencukupi jumlah total kerugian yang ditimbulkan.
|
||
|
(6)
|
Dalam melaksanakan putusan pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) serta pidana tambahan berupa ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), terpidana diberikan jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
|
|||
|
(7)
|
Dalam hal terdapat alasan kuat termasuk proses pelepasan aset transaksi jual beli dan pengalihan hak, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 1 (satu) bulan.
|
|||
|
(8)
|
Dalam hal terpidana tidak membayar pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dan/atau pidana tambahan berupa ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), harta benda terpidana disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi denda dan ganti kerugian.
|
|||
|
(9)
|
Dalam hal penyitaan dan pelelangan harta benda sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak cukup atau tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, pidana denda dan/atau pidana tambahan berupa ganti kerugian yang tidak dibayar diganti dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun.
|
|||
|
|
|
|
|
|
14.
|
Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 35
|
||||
|
(1)
|
Setiap Orang yang tanpa izin dari Otoritas Jasa Keuangan atau tanpa kewenangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, dengan sengaja memaksa anggota dewan komisaris, anggota pengawas, anggota direksi, anggota pengurus, pegawai, dan/atau pihak terafiliasi LKM untuk memberikan informasi Penyimpan dan Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
|
|||
|
(2)
|
Anggota dewan komisaris, anggota pengawas, anggota direksi, anggota pengurus, pegawai, dan/atau pihak terafiliasi LKM yang dengan sengaja memberikan informasi yang wajib dirahasiakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
|
|||
|
(3)
|
Dalam hal tindakan memaksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan memberikan informasi yang wajib dirahasiakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, selain dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), pelaku juga dipidana dengan pidana tambahan berupa penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang.
|
|||
|
(4)
|
Pidana tambahan berupa penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikembalikan kepada pihak yang dirugikan.
|
|||
|
(5)
|
Penggantian kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa:
|
|||
|
|
a.
|
sejumlah kerugian yang diderita; atau
|
||
|
|
b.
|
secara proporsional dalam hal jumlah penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan tidak mencukupi jumlah total kerugian yang ditimbulkan.
|
||
|
(6)
|
Dalam melaksanakan putusan pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) serta pidana tambahan berupa ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), terpidana diberikan jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
|
|||
|
(7)
|
Dalam hal terdapat alasan kuat termasuk proses pelepasan aset transaksi jual beli dan pengalihan hak, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan.
|
|||
|
(8)
|
Dalam hal terpidana tidak membayar pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dan/atau pidana tambahan berupa ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), harta benda terpidana disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi denda dan ganti kerugian.
|
|||
|
(9)
|
Dalam hal penyitaan dan pelelangan harta benda sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak cukup atau tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, pidana denda dan/atau pidana tambahan berupa ganti kerugian yang tidak dibayar diganti dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun.
|
|||
|
|
|
|
|
|
15.
|
Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 36
|
||||
|
(1)
|
Anggota direksi, anggota pengurus, dan/atau pegawai LKM tidak memberikan informasi yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
|
|||
|
(2)
|
Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, selain dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku dipidana dengan pidana tambahan berupa penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang.
|
|||
|
(3)
|
Pidana tambahan berupa penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan kepada pihak yang dirugikan.
|
|||
|
(4)
|
Penggantian kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa:
|
|||
|
|
a.
|
sejumlah kerugian yang diderita; atau
|
||
|
|
b.
|
secara proporsional dalam hal jumlah penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan tidak mencukupi jumlah total kerugian yang ditimbulkan.
|
||
|
(5)
|
Dalam melaksanakan putusan pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pidana tambahan berupa ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terpidana diberikan jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
|
|||
|
(6)
|
Dalam hal terdapat alasan kuat termasuk proses pelepasan aset transaksi jual beli dan pengalihan hak, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan.
|
|||
|
(7)
|
Dalam hal terpidana tidak membayar pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau pidana tambahan berupa ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harta benda terpidana disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi denda dan ganti kerugian.
|
|||
|
(8)
|
Dalam hal penyitaan dan pelelangan harta benda sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak cukup atau tidak memungkinkan untuk dilaksanakan maka pidana denda dan/atau pidana tambahan berupa ganti kerugian yang tidak dibayar diganti dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun.
|
|||
|
|
|
|
|
|
16.
|
Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 37
|
||||
|
(1)
|
Anggota dewan komisaris, anggota pengawas, anggota direksi, anggota pengurus, pengelola, pegawai, dan/atau pihak terafiliasi LKM yang dengan sengaja:
|
|||
|
|
a.
|
membuat pencatatan palsu dalam pembukuan atau laporan keuangan dan/atau tanpa didukung dengan dokumen yang sah;
|
||
|
|
b.
|
menghilangkan atau tidak memasukkan informasi yang benar dalam laporan kegiatan usaha, laporan keuangan, dan/atau rekening LKM; dan/atau
|
||
|
|
c.
|
mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, dan/atau menghilangkan suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan keuangan, dan dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha,
|
||
|
|
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
|
|||
|
(2)
|
Anggota dewan komisaris, anggota pengawas, anggota direksi, anggota pengurus, pengelola, pegawai, dan/atau pihak terafiliasi LKM yang:
|
|||
|
|
a.
|
meminta atau menerima suatu imbalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30A ayat (1); dan/atau
|
||
|
|
b.
|
tidak melaksanakan langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan LKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30A ayat (2),
|
||
|
|
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
|
|||
|
(3)
|
Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf c dan ayat (2) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, selain dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku juga dipidana dengan pidana tambahan berupa penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang.
|
|||
|
(4)
|
Pidana tambahan berupa penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikembalikan kepada pihak yang dirugikan.
|
|||
|
(5)
|
Penggantian kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa:
|
|||
|
|
a.
|
sejumlah kerugian yang diderita; atau
|
||
|
|
b.
|
secara proporsional dalam hal jumlah penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan tidak mencukupi jumlah total kerugian yang ditimbulkan.
|
||
|
(6)
|
Dalam melaksanakan putusan pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) serta pidana tambahan berupa ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), terpidana diberikan jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
|
|||
|
(7)
|
Dalam hal terdapat alasan kuat termasuk proses pelepasan aset transaksi jual beli dan pengalihan hak, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan.
|
|||
|
(8)
|
Dalam hal terpidana tidak membayar pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dan/atau pidana tambahan berupa ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), harta benda terpidana disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi denda dan ganti kerugian.
|
|||
|
(9)
|
Dalam hal penyitaan dan pelelangan harta benda sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak cukup atau tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, pidana denda dan/atau pidana tambahan berupa ganti kerugian yang tidak dibayar diganti dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun.
|
|||
|
|
|
|
|
|
17.
|
Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 38
|
||||
|
(1)
|
Pemegang saham atau pemilik dan/atau pihak terafiliasi LKM yang menyuruh anggota dewan komisaris, anggota pengawas, anggota direksi, anggota pengurus, pengelola, pegawai, dan/atau pihak terafiliasi LKM untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan LKM tidak melaksanakan langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan LKM terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi LKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30B dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
|
|||
|
(2)
|
Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, selain dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku juga dipidana dengan pidana tambahan berupa penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang.
|
|||
|
(3)
|
Pidana tambahan berupa penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan kepada pihak yang dirugikan.
|
|||
|
(4)
|
Penggantian kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa:
|
|||
|
|
a.
|
sejumlah kerugian yang diderita; atau
|
||
|
|
b.
|
secara proporsional dalam hal jumlah penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan tidak mencukupi jumlah total kerugian yang ditimbulkan.
|
||
|
(5)
|
Dalam melaksanakan putusan pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau pidana tambahan berupa ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terpidana diberikan jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
|
|||
|
(6)
|
Dalam hal terdapat alasan kuat termasuk proses pelepasan aset transaksi jual beli dan pengalihan hak, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 1 (satu) bulan.
|
|||
|
(7)
|
Dalam hal terpidana tidak membayar pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau pidana tambahan berupa ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harta benda terpidana disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi denda dan ganti kerugian.
|
|||
|
(8)
|
Dalam hal penyitaan dan pelelangan harta benda sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak cukup atau tidak memungkinkan untuk dilaksanakan maka pidana denda dan/atau pidana tambahan berupa ganti kerugian yang tidak dibayar diganti dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun.
|
|||
|
|
|
|
|
|
18.
|
Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 38A dan Pasal 38B sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 38A
|
||||
|
(1)
|
Anggota dewan komisaris, anggota pengawas, anggota direksi, anggota pengurus, pengelola, pegawai, dan/atau pihak terafiliasi LKM yang memberikan laporan, informasi, data, dan/atau dokumen kepada Otoritas Jasa Keuangan secara tidak benar, palsu, dan/atau menyesatkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30C dikenai pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
|
|||
|
(2)
|
Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, selain dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku dipidana dengan pidana tambahan berupa penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang.
|
|||
|
(3)
|
Pidana tambahan berupa penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan kepada pihak yang dirugikan.
|
|||
|
(4)
|
Penggantian kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa:
|
|||
|
|
a.
|
sejumlah kerugian yang diderita; atau
|
||
|
|
b.
|
secara proporsional dalam hal jumlah penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan tidak mencukupi jumlah total kerugian yang ditimbulkan.
|
||
|
(5)
|
Dalam melaksanakan putusan pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau pidana tambahan berupa ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terpidana diberikan jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
|
|||
|
(6)
|
Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan.
|
|||
|
(7)
|
Dalam hal terpidana tidak membayar pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau pidana tambahan berupa ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harta benda terpidana disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi denda dan ganti kerugian.
|
|||
|
(8)
|
Dalam hal penyitaan dan pelelangan harta benda sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak cukup atau tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, pidana denda dan/atau pidana tambahan berupa ganti kerugian yang tidak dibayar diganti dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun.
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 38B
|
||||
|
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas atau koperasi, penjatuhan pidana terhadap badan hukum dimaksud dilakukan baik terhadap pihak yang memberi perintah melakukan perbuatan maupun pihak yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap keduanya.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB XV
KONGLOMERASI KEUANGAN Pasal 205 |
|||||
(1)
|
Otoritas Jasa Keuangan menetapkan LJK yang signifikan dan berada dalam 1 (satu) grup atau kelompok karena keterkaitan kepemilikan dan/atau pengendalian sebagai Konglomerasi Keuangan.
|
||||
(2)
|
Selain dengan mempertimbangkan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan LJK sebagai 1 (satu) Konglomerasi Keuangan tersendiri dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap Stabilitas Sistem Keuangan.
|
||||
(3)
|
Dalam hal perusahaan induk dari suatu konglomerasi bukan merupakan perusahaan yang bergerak di bidang jasa keuangan, tetapi memiliki anak perusahaan yang merupakan LJK, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan LJK yang signifikan berada dalam 1 (satu) grup atau kelompok dimaksud sebagai Konglomerasi Keuangan.
|
||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai Konglomerasi Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 206 |
|||||
(1)
|
Setiap Orang yang mengendalikan Konglomerasi Keuangan wajib membentuk PIKK.
|
||||
(2)
|
PIKK dimiliki oleh PSP/PSPT Konglomerasi Keuangan.
|
||||
(3)
|
Pihak yang mengendalikan Konglomerasi Keuangan dapat menunjuk perusahaan yang bertindak sebagai PIKK dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(4)
|
PIKK bertanggung jawab untuk seluruh aktivitas Konglomerasi Keuangan.
|
||||
(5)
|
PIKK sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikecualikan untuk Konglomerasi Keuangan dengan kriteria tertentu.
|
||||
(6)
|
PIKK diatur dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan PIKK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Konglomerasi Keuangan dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 207 |
|||||
(1)
|
Kegiatan usaha PIKK meliputi:
|
||||
|
a.
|
LJK; dan
|
|||
|
b.
|
kegiatan usaha lainnya yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha PIKK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 208 |
|||||
(1)
|
Dalam melaksanakan kegiatan usaha, PIKK wajib memperhatikan prinsip kehati-hatian.
|
||||
(2)
|
Ketentuan mengenai prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 209 |
|||||
(1)
|
Direksi dan dewan komisaris PIKK wajib memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 210 |
|||||
(1)
|
Dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan, Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk meminta data dan informasi termasuk melakukan pemeriksaan terhadap pihak terelasi dalam Konglomerasi Keuangan dan/atau pihak lain yang terkait dengan Konglomerasi Keuangan.
|
||||
(2)
|
Pihak terelasi dan/atau pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi permintaan data dan informasi serta hal lain yang diperlukan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 211 |
|||||
Pembentukan PIKK, termasuk juga proses pengalihan aset dalam pembentukan PIKK, dapat diberikan fasilitas perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 212 |
|||||
Dalam rangka pelaksanaan tugas dan/atau wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 205 sampai dengan Pasal 211, Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan Bank Indonesia dan/atau kementerian/lembaga terkait.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
BAB XVI
INOVASI TEKNOLOGI SEKTOR KEUANGAN Pasal 213 |
|||||
Ruang lingkup ITSK meliputi:
|
|||||
a.
|
sistem pembayaran;
|
||||
b.
|
penyelesaian transaksi surat berharga;
|
||||
c.
|
penghimpunan modal;
|
||||
d.
|
pengelolaan investasi;
|
||||
e.
|
pengelolaan risiko;
|
||||
f.
|
penghimpunan dan/atau penyaluran dana;
|
||||
g.
|
pendukung pasar;
|
||||
h.
|
aktivitas terkait aset keuangan digital, termasuk aset kripto; dan
|
||||
i.
|
aktivitas jasa keuangan digital lainnya.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 214 |
|||||
(1)
|
ITSK dapat dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan ekonomi dan keuangan termasuk yang dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah.
|
||||
(2)
|
Kegiatan ekonomi dan keuangan yang menggunakan ITSK berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengikuti Prinsip Syariah yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 215 |
|||||
(1)
|
Pihak yang menyelenggarakan ITSK terdiri atas:
|
||||
|
a.
|
LJK; dan/atau
|
|||
|
b.
|
pihak lain yang melakukan kegiatan di sektor keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(2)
|
Penyelenggara ITSK berbentuk:
|
||||
|
a.
|
badan hukum perseroan terbatas; atau
|
|||
|
b.
|
badan hukum lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menerapkan prinsip:
|
||||
|
a.
|
tata kelola;
|
|||
|
b.
|
manajemen risiko;
|
|||
|
c.
|
keamanan dan keandalan sistem informasi, termasuk ketahanan siber;
|
|||
|
d.
|
Pelindungan Konsumen dan pelindungan data pribadi; dan
|
|||
|
e.
|
pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 216 |
|||||
(1)
|
Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan ITSK sesuai dengan ruang lingkup kewenangan masing-masing.
|
||||
(2)
|
Pengaturan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan ITSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan prinsip:
|
||||
|
a.
|
keseimbangan antara upaya dalam mendorong inovasi dengan mitigasi risiko;
|
|||
|
b.
|
integrasi ekonomi dan keuangan digital;
|
|||
|
c.
|
efisiensi dan praktik bisnis yang sehat;
|
|||
|
d.
|
Pelindungan Konsumen; dan
|
|||
|
e.
|
koordinasi pengaturan dan pengawasan antarotoritas.
|
|||
(3)
|
Ruang lingkup pengaturan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan ITSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:
|
||||
|
a.
|
penyediaan ruang dan/atau fasilitasi uji coba/pengembangan inovasi (sandbox);
|
|||
|
b.
|
perizinan;
|
|||
|
c.
|
pemantauan dan evaluasi;
|
|||
|
d.
|
edukasi keuangan;
|
|||
|
e.
|
Pelindungan Konsumen;
|
|||
|
f.
|
pelindungan data pribadi Konsumen;
|
|||
|
g.
|
aspek kelembagaan; dan
|
|||
|
h.
|
penyelenggaraan ITSK, termasuk aktivitas yang dilakukan oleh pihak ketiga yang menunjang penyelenggaraan ITSK.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 217 |
|||||
(1)
|
Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan dapat berkoordinasi dalam rangka pengaturan, pengawasan, dan penyelenggaraan ITSK.
|
||||
(2)
|
Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:
|
||||
|
a.
|
uji coba/pengembangan inovasi (sandbox);
|
|||
|
b.
|
pengembangan ekosistem pengaturan berbasis teknologi (regulatory technology) dan pengawasan berbasis teknologi (supervisory technology) untuk pengembangan ITSK;
|
|||
|
c.
|
pertukaran data dan/atau informasi;
|
|||
|
d.
|
pembahasan mengenai isu yang sedang berkembang terkait dengan ITSK;
|
|||
|
e.
|
peningkatan kapasitas sumber daya manusia; dan/atau
|
|||
|
f.
|
aspek lain yang dipandang perlu.
|
|||
(3)
|
Dalam rangka pengaturan, pengawasan, dan pengembangan ITSK, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan dapat berkoordinasi dengan kementerian, lembaga, dan pihak lain.
|
||||
(4)
|
Mekanisme dan tata cara penyelenggaraan ruang uji coba/pengembangan inovasi (sandbox) ITSK diatur oleh Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 218 |
|||||
Penyelenggara ITSK wajib memenuhi ketentuan perizinan yang diatur oleh Bank Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 219 |
|||||
(1)
|
Otoritas berwenang melakukan evaluasi dan/atau tindak lanjut hasil uji coba/pengembangan inovasi (sandbox) terhadap penyelenggara ITSK.
|
||||
(2)
|
Terhadap suatu produk, aktivitas, layanan, atau model bisnis dari penyelenggara ITSK yang telah lulus proses uji coba/pengembangan inovasi (sandbox) dan mendapatkan perizinan dari otoritas sektor keuangan terkait, pengaturan, pengawasan, dan pengenaan sanksi tunduk pada ketentuan industri yang bersangkutan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 220 |
|||||
(1)
|
Setiap penyelenggara ITSK wajib memenuhi ketentuan kepesertaan dalam asosiasi penyelenggara ITSK yang disetujui dan diatur oleh Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing.
|
||||
(2)
|
Dalam menjalankan pengaturan bagi anggotanya, asosiasi penyelenggara ITSK harus mengacu pada ketentuan yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing.
|
||||
(3)
|
Asosiasi penyelenggara ITSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melakukan pembinaan dan pemantauan terhadap setiap penyelenggara ITSK yang terdaftar sebagai anggota asosiasi sejalan dengan fungsi dan tugas yang diamanatkan oleh otoritas sektor keuangan.
|
||||
(4)
|
Pengaturan terkait koordinasi antara Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan dengan asosiasi penyelenggara ITSK diatur oleh Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 221 |
|||||
(1)
|
Penyelenggara ITSK wajib menyampaikan data, informasi, dan/atau laporan berkala atau sewaktu-waktu kepada Bank Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan fungsi dan/atau kewenangan masing-masing.
|
||||
(2)
|
Terhadap data, informasi, dan/atau laporan berkala atau sewaktu-waktu yang diterima, Bank Indonesia dan/atau Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan pemrosesan, pertukaran, dan diseminasi, melalui sistem informasi digital dan/atau mekanisme lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian data, informasi, dan/atau laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB XVII
PENERAPAN KEUANGAN BERKELANJUTAN Bagian Kesatu Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Pelaku Usaha Sektor Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik Pasal 222 |
|||||
(1)
|
PUSK, emiten, dan perusahaan publik menerapkan Keuangan Berkelanjutan dalam kegiatan usahanya.
|
||||
(2)
|
PUSK, emiten, dan perusahaan publik dalam rangka menerapkan Keuangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan:
|
||||
|
a.
|
praktik bisnis dan strategi investasi yang mengintegrasikan aspek lingkungan hidup, sosial, dan tata kelola; dan
|
|||
|
b.
|
pengembangan produk, transaksi, dan jasa pembiayaan kegiatan berkelanjutan dan pembiayaan transisi.
|
|||
(3)
|
PUSK, emiten, dan perusahaan publik harus membangun kapasitas dalam rangka menerapkan Keuangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
||||
(4)
|
PUSK, emiten, dan perusahaan publik menyusun laporan keberlanjutan sebagai bagian dari akuntabilitas kinerja penerapan Keuangan Berkelanjutan.
|
||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan Keuangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur oleh otoritas sektor keuangan dan Menteri sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Kebijakan, Dukungan, dan Mekanisme Koordinasi Pengembangan Keuangan Berkelanjutan Pasal 223 |
|||||
(1)
|
Dalam rangka pengembangan Keuangan Berkelanjutan, Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan, dan Bank Indonesia melakukan:
|
||||
|
a.
|
koordinasi dalam menyusun dan menetapkan strategi, kebijakan, dan program Keuangan Berkelanjutan;
|
|||
|
b.
|
optimalisasi dukungan kebijakan fiskal, mikroprudensial, moneter, sistem pembayaran, dan makroprudensial;
|
|||
|
c.
|
pengembangan basis data dan infrastruktur pendukung pelaksanaan Keuangan Berkelanjutan; dan
|
|||
|
d.
|
koordinasi dalam menyusun taksonomi berkelanjutan.
|
|||
(2)
|
Ketentuan mengenai taksonomi berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 224 |
|||||
(1)
|
Untuk mendukung pengembangan Keuangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 223 ayat (1), Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan, dan Bank Indonesia membentuk komite Keuangan Berkelanjutan.
|
||||
(2)
|
Menteri bertindak sebagai koordinator dalam komite Keuangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai komite Keuangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB XVIII
LITERASI KEUANGAN, INKLUSI KEUANGAN, DAN PELINDUNGAN KONSUMEN Bagian Kesatu Literasi Keuangan dan Inklusi Keuangan Pasal 225 |
|||||
(1)
|
Pemerintah, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi untuk meningkatkan Literasi Keuangan dan Inklusi Keuangan dalam rangka mencapai pembangunan ekonomi inklusif.
|
||||
(2)
|
Pemerintah, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan bersinergi melakukan penyusunan strategi, serta pemantauan dan evaluasi pelaksanaan strategi Literasi Keuangan dan Inklusi Keuangan yang berkelanjutan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 226 |
|||||
(1)
|
PUSK wajib melaksanakan kegiatan dalam rangka meningkatkan Literasi Keuangan dan Inklusi Keuangan kepada Konsumen dan masyarakat.
|
||||
(2)
|
Dalam rangka peningkatan Literasi Keuangan dan Inklusi Keuangan, Pemerintah membentuk komite nasional yang mengoordinasikan peningkatan Literasi Keuangan dan Inklusi Keuangan.
|
||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan dalam rangka peningkatan Literasi Keuangan dan Inklusi Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan otoritas sektor keuangan serta komite nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Prinsip dan Tujuan Pelindungan Konsumen Pasal 227 |
|||||
PUSK dalam menyelenggarakan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip Pelindungan Konsumen.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 228 |
|||||
Pelindungan Konsumen di sektor keuangan menerapkan prinsip:
|
|||||
a.
|
edukasi yang memadai;
|
||||
b.
|
keterbukaan dan transparansi informasi produk dan/atau layanan;
|
||||
c.
|
perlakuan yang adil dan perilaku bisnis yang bertanggung jawab;
|
||||
d.
|
pelindungan aset, privasi, dan data Konsumen;
|
||||
e.
|
penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien;
|
||||
f.
|
penegakan kepatuhan; dan
|
||||
g.
|
persaingan yang sehat.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 229 |
|||||
Pelindungan Konsumen di sektor keuangan diselenggarakan dengan tujuan:
|
|||||
a.
|
menciptakan ekosistem Pelindungan Konsumen yang mewujudkan kepastian hukum serta penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien;
|
||||
b.
|
menumbuhkan kesadaran PUSK mengenai perilaku bisnis yang bertanggung jawab, perlakuan yang adil; memberikan pelindungan aset, privasi, dan data Konsumen; serta meningkatkan kualitas produk dan/atau layanan PUSK; dan
|
||||
c.
|
meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian Konsumen mengenai produk dan/atau layanan PUSK serta meningkatkan pemberdayaan Konsumen.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Cakupan Pelindungan Konsumen di Sektor Keuangan Pasal 230 |
|||||
PUSK merupakan pihak yang menyelenggarakan Pelindungan Konsumen di sektor keuangan yang menyelenggarakan usaha baik di luar jaringan maupun dalam jaringan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 231 |
|||||
Objek dalam penyelenggaraan Pelindungan Konsumen di sektor keuangan meliputi perilaku PUSK dalam:
|
|||||
a.
|
melakukan perancangan, menyusun dan menyampaikan informasi, dan melakukan penawaran atas produk dan/atau layanan di sektor keuangan;
|
||||
b.
|
membuat perjanjian dan memberikan pelayanan atas penggunaan produk dan/atau layanan di sektor keuangan; dan
|
||||
c.
|
melakukan penanganan pengaduan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 232 |
|||||
Ruang lingkup pengaturan Pelindungan Konsumen sektor keuangan meliputi:
|
|||||
a.
|
wewenang pengaturan dan pengawasan dalam rangka Pelindungan Konsumen di sektor keuangan;
|
||||
b.
|
hak dan kewajiban Konsumen serta hak, kewajiban, dan larangan bagi PUSK;
|
||||
c.
|
ketentuan Perjanjian Baku;
|
||||
d.
|
pelindungan data Konsumen;
|
||||
e.
|
Literasi Keuangan;
|
||||
f.
|
pembinaan dan pengawasan;
|
||||
g.
|
penanganan pengaduan;
|
||||
h.
|
penyelesaian sengketa sektor keuangan;
|
||||
i.
|
LAPS-SK;
|
||||
j.
|
sanksi administratif; dan
|
||||
k.
|
ketentuan pidana.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Wewenang Pengaturan dan Pengawasan dalam rangka Pelindungan Konsumen di Sektor Keuangan Pasal 233 |
|||||
(1)
|
Otoritas sektor keuangan berwenang melakukan pengaturan dalam rangka Pelindungan Konsumen dan masyarakat di sektor keuangan.
|
||||
(2)
|
Otoritas sektor keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang mengatur mengenai:
|
||||
|
a.
|
mekanisme penanganan pengaduan Konsumen;
|
|||
|
b.
|
layanan Konsumen sektor keuangan;
|
|||
|
c.
|
Pengawasan Perilaku Pasar (Market Conduct);
|
|||
|
d.
|
penyelesaian sengketa sektor keuangan di luar pengadilan melalui badan atau lembaga penyelesaian sengketa; dan
|
|||
|
e.
|
ketentuan lain dalam rangka Pelindungan Konsumen dan masyarakat di sektor keuangan.
|
|||
(3)
|
Pelindungan Konsumen di sektor keuangan tunduk pada Undang-Undang ini.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 234 |
|||||
(1)
|
Otoritas sektor keuangan melakukan Pengawasan Perilaku Pasar (Market Conduct) untuk memastikan kepatuhan PUSK dalam menerapkan ketentuan Pelindungan Konsumen dan masyarakat secara langsung dan/atau tidak langsung sesuai dengan fungsi, tugas, dan wewenang otoritas sektor keuangan yang diberikan berdasarkan Undang-Undang.
|
||||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan otoritas sektor keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha Sektor Keuangan Pasal 235 |
|||||
(1)
|
Dalam penyelenggaraan Pelindungan Konsumen di sektor keuangan, Konsumen memiliki hak dan kewajiban.
|
||||
(2)
|
Hak Konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||
|
a.
|
mendapatkan keamanan dalam menggunakan produk dan/atau memanfaatkan layanan sesuai yang ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau perjanjian;
|
|||
|
b.
|
memilih produk dan/atau layanan;
|
|||
|
c.
|
mendapatkan produk dan/atau layanan sesuai dengan penawaran yang dijanjikan dan/atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
|||
|
d.
|
mendapatkan informasi mengenai produk dan/atau layanan yang jelas, akurat, benar, mudah diakses, dan tidak berpotensi menyesatkan;
|
|||
|
e.
|
didengar pendapat dan pengaduannya atas produk yang digunakan dan/atau layanan yang dimanfaatkan;
|
|||
|
f.
|
mendapatkan advokasi, pelindungan, dan upaya penyelesaian sengketa Konsumen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
|||
|
g.
|
mendapat edukasi keuangan;
|
|||
|
h.
|
diperlakukan atau dilayani secara benar;
|
|||
|
i.
|
mendapatkan ganti rugi apabila produk dan/atau layanan yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
|||
|
j.
|
membentuk asosiasi Konsumen; dan
|
|||
|
k.
|
hak lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Kewajiban Konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||
|
a.
|
mendengarkan penjelasan informasi mengenai produk dan/atau layanan yang disampaikan dengan metode pemasaran tertentu oleh PUSK sebelum membeli produk dan/atau layanan PUSK;
|
|||
|
b.
|
membaca, memahami, dan melaksanakan dengan benar perjanjian dan/atau dokumen penggunaan produk dan/atau layanan;
|
|||
|
c.
|
beriktikad baik dalam penggunaan produk dan/atau layanan;
|
|||
|
d.
|
memberikan informasi dan/atau dokumen yang jelas, akurat, benar, dan tidak menyesatkan;
|
|||
|
e.
|
membayar sesuai dengan nilai/harga dan/atau biaya produk dan/atau layanan yang disepakati dengan PUSK; dan
|
|||
|
f.
|
mengikuti upaya penyelesaian sengketa Pelindungan Konsumen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai hak dan kewajiban Konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan otoritas sektor keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 236 |
|||||
(1)
|
Dalam penyelenggaraan Pelindungan Konsumen di sektor keuangan, PUSK memiliki hak, kewajiban, dan larangan yang harus dipatuhi.
|
||||
(2)
|
Hak PUSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||
|
a.
|
menerima pembayaran sesuai dengan nilai/harga dan/atau biaya produk dan/atau layanan yang disepakati dengan Konsumen;
|
|||
|
b.
|
memastikan adanya iktikad baik Konsumen;
|
|||
|
c.
|
mendapatkan informasi dan/atau dokumen yang jelas, akurat, benar, dan tidak menyesatkan mengenai Konsumen;
|
|||
|
d.
|
mendapat pelindungan hukum dari tindakan Konsumen yang beriktikad tidak baik;
|
|||
|
e.
|
melakukan pembelaan diri di dalam penyelesaian sengketa Konsumen, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
|||
|
f.
|
mendapatkan rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian Konsumen tidak diakibatkan oleh produk dan/atau layanan yang diberikan, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
|
|||
|
g.
|
hak lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Kewajiban PUSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||
|
a.
|
beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usaha dan/atau memberikan produk dan/atau layanan;
|
|||
|
b.
|
melakukan perancangan produk dan/atau layanan yang sesuai dengan target Konsumen;
|
|||
|
c.
|
memberikan informasi mengenai produk dan/atau layanan yang jelas, akurat, jujur, mudah diakses dan tidak berpotensi menyesatkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau perjanjian;
|
|||
|
d.
|
memberikan pemahaman kepada Konsumen mengenai biaya, manfaat, risiko serta hak dan kewajiban Konsumen;
|
|||
|
e.
|
menyediakan layanan pengaduan Konsumen serta memberi tanggapan dan/atau menindaklanjuti pengaduan Konsumen;
|
|||
|
f.
|
memperlakukan atau melayani Konsumen secara benar atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
|||
|
g.
|
memperlakukan atau melayani Konsumen secara tidak diskriminatif, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau perjanjian;
|
|||
|
h.
|
menjamin produk dan/atau layanan yang diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau perjanjian;
|
|||
|
i.
|
menjaga keamanan simpanan, dana, atau aset Konsumen yang berada dalam tanggung jawab PUSK;
|
|||
|
j.
|
menggunakan istilah, frasa, dan/atau kalimat yang sederhana dalam Bahasa Indonesia yang mudah dimengerti oleh Konsumen pada setiap informasi produk dan/atau layanan;
|
|||
|
k.
|
memperhatikan kesesuaian antara kebutuhan dan kemampuan Konsumen dengan produk dan/atau layanan yang ditawarkan;
|
|||
|
l.
|
bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan kesalahan, kelalaian, dan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan/atau perjanjian, baik yang dilakukan direksi, dewan komisaris, dan pegawai PUSK dan/atau dilakukan oleh pihak ketiga yang mewakili atau bekerja untuk kepentingan PUSK;
|
|||
|
m.
|
menjaga kerahasiaan data dan informasi pribadi Konsumen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau perjanjian;
|
|||
|
n.
|
menyediakan layanan informasi untuk Konsumen; dan
|
|||
|
o.
|
kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
|
|||
(4)
|
PUSK dilarang:
|
||||
|
a.
|
memberikan produk dan/atau layanan yang tidak sesuai dengan informasi yang dinyatakan dalam keterangan, iklan, dan/atau promosi penjualan produk dan/atau layanan tersebut;
|
|||
|
b.
|
memberikan produk dan/atau layanan yang tidak sesuai dengan perjanjian;
|
|||
|
c.
|
menyediakan informasi, dokumen dan/atau perjanjian yang tidak menggunakan Bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
|||
|
d.
|
melakukan tindakan yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan atau norma yang berlaku di masyarakat yang dapat menimbulkan gangguan fisik dan/atau psikis terhadap Konsumen dalam melaksanakan kegiatan usaha;
|
|||
|
e.
|
menjual atau menawarkan produk dan/atau layanan yang tidak memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
|||
|
f.
|
melakukan penawaran produk dan/atau layanan kepada Konsumen dan/atau masyarakat melalui sarana komunikasi pribadi tanpa persetujuan Konsumen; dan
|
|||
|
g.
|
mengenakan biaya kepada Konsumen atas layanan pengaduan.
|
|||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai hak, kewajiban, dan larangan PUSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan otoritas sektor keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 237 |
|||||
Setiap Orang dilarang melakukan:
|
|||||
a.
|
penghimpunan dana dari masyarakat dan/atau untuk disalurkan kepada masyarakat;
|
||||
b.
|
penerbitan surat berharga yang ditawarkan kepada masyarakat;
|
||||
c.
|
penyediaan produk atau jasa sistem pembayaran; dan
|
||||
d.
|
kegiatan lain yang dapat dipersamakan dengan penghimpunan dana, penyaluran dana, pengelolaan dana, keperantaraan di sektor keuangan, dan penyediaan produk atau jasa sistem pembayaran,
|
||||
selain yang telah diatur dalam ketentuan perundang-undangan dan berdasarkan peraturan perundang-undangan diwajibkan memiliki izin dari otoritas sektor keuangan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
Ketentuan Perjanjian Baku Pasal 238 |
|||||
(1)
|
PUSK memenuhi keseimbangan, keadilan, dan kewajaran dalam pembuatan perjanjian dengan Konsumen.
|
||||
(2)
|
Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk perjanjian tertulis.
|
||||
(3)
|
Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berbentuk Perjanjian Baku yang memuat klausul baku, kecuali yang dilarang berdasarkan Undang-Undang ini.
|
||||
(4)
|
PUSK dilarang membuat dan menggunakan Perjanjian Baku yang memuat klausul baku yang berisi:
|
||||
|
a.
|
menyatakan pengalihan tanggung jawab atau kewajiban PUSK kepada Konsumen;
|
|||
|
b.
|
menyatakan pemberian kuasa dari Konsumen kepada PUSK, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk melakukan segala tindakan sepihak atas barang yang diagunkan oleh Konsumen, kecuali tindakan sepihak tersebut dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
|||
|
c.
|
mengatur tentang kewajiban pembuktian oleh Konsumen, jika PUSK menyatakan bahwa hilangnya kegunaan produk dan/atau layanan yang dibeli oleh Konsumen, bukan merupakan tanggung jawab PUSK;
|
|||
|
d.
|
memberi hak kepada PUSK untuk mengurangi kegunaan produk dan/atau layanan atau mengurangi harta kekayaan Konsumen yang menjadi objek perjanjian produk dan layanan;
|
|||
|
e.
|
menyatakan bahwa Konsumen memberi kuasa kepada PUSK untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan atas produk dan/atau layanan yang dibeli oleh Konsumen secara angsuran;
|
|||
|
f.
|
menyatakan bahwa PUSK dapat menambah, mengubah dan/atau memberikan aturan lanjutan secara sepihak setelah perjanjian disetujui/disepakati;
|
|||
|
g.
|
menyatakan bahwa Konsumen tunduk pada perubahan sepihak oleh PUSK terhadap aturan sebagaimana diatur dalam huruf f setelah perjanjian ditandatangani oleh Konsumen;
|
|||
|
h.
|
memberikan kewenangan bagi PUSK untuk menghindari atau membatasi keberlakuan suatu klausul;
|
|||
|
i.
|
menyatakan bahwa PUSK memiliki wewenang untuk menafsirkan arti perjanjian secara sepihak;
|
|||
|
j.
|
menyatakan bahwa PUSK membatasi tanggung jawab terhadap kesalahan dan/atau kelalaian pegawai dan/atau pihak ketiga yang bertindak untuk kepentingan PUSK;
|
|||
|
k.
|
membatasi hak Konsumen untuk menggugat PUSK ketika terjadi sengketa terkait dengan perjanjian; dan
|
|||
|
l.
|
membatasi barang bukti yang dapat diberikan oleh Konsumen ketika terjadi sengketa terkait dengan perjanjian.
|
|||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perjanjian Baku sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam peraturan otoritas sektor keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketujuh
Pelindungan Data Konsumen Pasal 239 |
|||||
(1)
|
PUSK wajib menjaga kerahasiaan dan keamanan data dan/atau informasi Konsumen.
|
||||
(2)
|
Kewajiban PUSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan menerapkan prinsip dasar pemrosesan pelindungan data pribadi sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pelindungan data pribadi.
|
||||
(3)
|
Dalam hal PUSK bekerja sama dengan pihak lain untuk mengelola data dan/atau informasi Konsumen, PUSK wajib memastikan pihak lain tersebut menjaga kerahasiaan dan keamanan data dan/atau informasi Konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 240 |
|||||
(1)
|
Dalam penggunaan data dan/atau informasi Konsumen, PUSK dapat melakukan pertukaran data dan/atau informasi Konsumen dengan pihak lain dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang undangan mengenai pelindungan data pribadi dan peraturan perundang-undangan lain yang ditetapkan oleh otoritas sektor keuangan.
|
||||
(2)
|
Pertukaran data dan/atau informasi Konsumen di sektor keuangan dapat dilakukan langsung oleh PUSK dan/atau melalui infrastruktur pengelolaan data secara terintegrasi yang difasilitasi oleh otoritas sektor keuangan.
|
||||
(3)
|
Pertukaran data dan/atau informasi Konsumen di sektor keuangan dapat dilakukan dalam hal:
|
||||
|
a.
|
Konsumen memberikan persetujuan secara tertulis; dan/atau
|
|||
|
b.
|
terdapat kewajiban bagi PUSK untuk memberikan data dan/atau informasi Konsumen di sektor keuangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 241 |
|||||
(1)
|
PUSK dapat melakukan transfer data dan/atau informasi Konsumen kepada pihak lain di luar wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pelindungan data pribadi dan peraturan perundang undangan lain yang ditetapkan oleh otoritas sektor keuangan.
|
||||
(2)
|
Penyelenggaraan transfer data dan/atau informasi Konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pelindungan data pribadi.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 242 |
|||||
Dalam pelaksanaan kegiatan usahanya, PUSK wajib memastikan keamanan sistem informasi dan ketahanan siber sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai keamanan sistem informasi dan ketahanan siber, dan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang ditetapkan oleh otoritas sektor keuangan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 243 |
|||||
Pemerintah, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan melakukan koordinasi dalam rangka Pelindungan Konsumen di sektor keuangan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 244 |
|||||
(1)
|
Dalam rangka Pelindungan Konsumen, otoritas sektor keuangan berwenang memberikan perintah atau melakukan tindakan tertentu kepada PUSK.
|
||||
(2)
|
Ketentuan mengenai pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan otoritas sektor keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 245 |
|||||
(1)
|
PUSK wajib memiliki dan melaksanakan mekanisme penanganan pengaduan yang disampaikan oleh Konsumen.
|
||||
(2)
|
Dalam hal tidak terdapat kesepakatan terhadap hasil penanganan pengaduan yang dilakukan oleh PUSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Konsumen dapat:
|
||||
|
a.
|
menyampaikan pengaduan kepada otoritas sektor keuangan untuk penanganan pengaduan sesuai dengan kewenangan masing-masing; atau
|
|||
|
b.
|
mengajukan sengketa kepada lembaga atau badan penyelesaian sengketa yang mendapat persetujuan dari otoritas sektor keuangan atau kepada pengadilan.
|
|||
(3)
|
Dalam melakukan kegiatan Pelindungan Konsumen, otoritas sektor keuangan melakukan penanganan pengaduan sesuai dengan kewenangan masing-masing.
|
||||
(4)
|
Dalam hal terdapat gugatan ganti rugi berdasarkan perbuatan melawan hukum, pembuktian ada tidaknya unsur kesalahan merupakan tanggung jawab PUSK.
|
||||
(5)
|
Otoritas sektor keuangan dapat mewajibkan PUSK untuk menjadi anggota badan atau lembaga penyelesaian sengketa.
|
||||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam peraturan otoritas sektor keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 246 |
|||||
(1)
|
LAPS-SK wajib mendapat persetujuan dari otoritas sektor keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing.
|
||||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan dan syarat-syarat LAPS-SK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan otoritas sektor keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 247 |
|||||
(1)
|
Untuk melindungi kepentingan masyarakat, Otoritas Jasa Keuangan bersama otoritas/kementerian/lembaga terkait membentuk satuan tugas untuk penanganan kegiatan usaha tanpa izin di sektor keuangan.
|
||||
(2)
|
Satuan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas mencegah dan menangani kegiatan usaha tanpa izin di sektor keuangan.
|
||||
(3)
|
Pembentukan satuan tugas serta kelembagaan dan tata kelola satuan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan bersama dengan otoritas/kementerian/lembaga anggota satuan tugas.
|
||||
(4)
|
Tindak lanjut pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan oleh otoritas/kementerian/lembaga terkait sesuai dengan kewenangan masing-masing.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 248 |
|||||
Peraturan perundang-undangan mengenai Pelindungan Konsumen di sektor keuangan bersifat khusus terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pelindungan Konsumen di luar sektor keuangan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
BAB XIX
AKSES PEMBIAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH Pasal 249 |
|||||
(1)
|
Dalam rangka meningkatkan ketahanan ekonomi nasional melalui pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, perlu dilakukan kemudahan akses pembiayaan kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
|
||||
(2)
|
Kemudahan akses pembiayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh seluruh Bank dan/atau lembaga keuangan non-Bank dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko.
|
||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai kemudahan akses Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh otoritas sektor keuangan sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing setelah dikonsultasikan dengan DPR.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 250 |
|||||
(1)
|
Dalam hal terjadi piutang macet, perlu adanya kepastian hukum dalam rangka penanganan piutang macet pada Bank dan/atau lembaga keuangan non-Bank badan usaha milik negara kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
|
||||
(2)
|
Piutang macet pada Bank dan/atau lembaga keuangan non-Bank badan usaha milik negara kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan penghapusbukuan dan penghapustagihan untuk mendukung kelancaran pemberian akses pembiayaan kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
|
||||
(3)
|
Penghapusbukuan piutang macet sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Bank dan/atau lembaga keuangan non-Bank badan usaha milik negara dengan ketentuan sebagai berikut:
|
||||
|
a.
|
terhadap piutang macet telah dilakukan upaya restrukturisasi; dan
|
|||
|
b.
|
Bank dan/atau lembaga keuangan non-Bank badan usaha milik negara telah melakukan upaya penagihan secara optimal, termasuk upaya restrukturisasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a, tetapi tetap tidak tertagih.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 251 |
|||||
(1)
|
Kerugian yang dialami oleh Bank dan/atau lembaga keuangan non-Bank badan usaha milik negara dalam melaksanakan penghapusbukuan dan/atau penghapustagihan piutang merupakan kerugian Bank dan/atau lembaga keuangan non-Bank badan usaha milik negara yang bersangkutan.
|
||||
(2)
|
Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan kerugian keuangan negara sepanjang dapat dibuktikan tindakan dilakukan berdasarkan iktikad baik, ketentuan peraturan perundang-undangan, anggaran dasar, dan prinsip tata kelola perusahaan yang baik.
|
||||
(3)
|
Direksi dalam melakukan penghapusbukuan dan/atau penghapustagihan piutang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian yang terjadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB XX
SUMBER DAYA MANUSIA Bagian Kesatu Penguatan Kualitas Sumber Daya Manusia pada Sektor Keuangan Pasal 252 |
|||||
(1)
|
PUSK bertanggung jawab melakukan pengembangan kualitas sumber daya manusia melalui peningkatan kompetensi dan keahlian sumber daya manusia.
|
||||
(2)
|
Peningkatan kompetensi dan keahlian sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia secara berkesinambungan.
|
||||
(3)
|
Untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia, PUSK wajib menyediakan dana pendidikan dan pelatihan dari anggaran tahun berjalan.
|
||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban penyediaan dana pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur oleh otoritas sektor keuangan sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 253 |
|||||
(1)
|
PUSK harus menerapkan standar kompetensi.
|
||||
(2)
|
Standar kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada standar kompetensi yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang yang telah mendapatkan persetujuan atau pengakuan dari otoritas sektor keuangan terkait.
|
||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai standar kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh otoritas sektor keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Profesi Sektor Keuangan Paragraf 1 Pengelolaan Profesi Sektor Keuangan Pasal 254 |
|||||
Profesi Sektor Keuangan terdiri atas:
|
|||||
a.
|
Profesi Penunjang Sektor Keuangan; dan
|
||||
b.
|
Profesi Pelaku Usaha Sektor Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 255 |
|||||
Dalam melakukan kegiatan usaha di industri sektor keuangan, Pelaku Profesi Sektor Keuangan wajib memberikan jasa yang profesional.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 256 |
|||||
(1)
|
Setiap Profesi Sektor Keuangan harus memiliki Asosiasi Profesi.
|
||||
(2)
|
Setiap Pelaku Profesi Sektor Keuangan harus menjadi anggota Asosiasi Profesi.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 257 |
|||||
(1)
|
Asosiasi Profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 256 harus mendapat pengakuan dari kementerian atau otoritas terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(2)
|
Asosiasi Profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas:
|
||||
|
a.
|
mengoordinasikan dan menetapkan penyusunan standar profesi dan kode etik;
|
|||
|
b.
|
membentuk komite penegakan etika profesi;
|
|||
|
c.
|
menerapkan penegakan disiplin anggota terhadap etika profesi;
|
|||
|
d.
|
mengadakan pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan;
|
|||
|
e.
|
melakukan reviu mutu bagi anggotanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
|
|||
|
f.
|
melaksanakan tugas lainnya,
|
|||
|
yang dilaporkan kepada kementerian dan/atau otoritas terkait.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 258 |
|||||
Setiap Pelaku Profesi Sektor Keuangan wajib menaati kode etik yang ditetapkan oleh Asosiasi Profesi masing-masing sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini dan/atau peraturan pelaksanaannya.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Profesi Penunjang Sektor Keuangan Pasal 259 |
|||||
(1)
|
Profesi Penunjang Sektor Keuangan terdiri atas:
|
||||
|
a.
|
akuntan publik;
|
|||
|
b.
|
akuntan berpraktik;
|
|||
|
c.
|
aktuaris;
|
|||
|
d.
|
penilai publik;
|
|||
|
e.
|
konsultan pajak;
|
|||
|
f.
|
notaris;
|
|||
|
g.
|
konsultan hukum;
|
|||
|
h.
|
ahli syariah jasa keuangan; dan
|
|||
|
i.
|
profesi lain yang ditetapkan oleh kementerian, lembaga, atau otoritas pembina dan pengawas profesi terkait.
|
|||
(2)
|
Dalam melakukan kegiatan usaha di industri sektor keuangan, Profesi Penunjang Sektor Keuangan wajib memberikan jasa yang independen.
|
||||
(3)
|
Pembinaan dan pengawasan Profesi Penunjang Sektor Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh:
|
||||
|
a.
|
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan untuk huruf a sampai dengan huruf e;
|
|||
|
b.
|
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum untuk huruf f dan huruf g;
|
|||
|
c.
|
Otoritas Jasa Keuangan untuk huruf h; atau
|
|||
|
d.
|
kementerian, lembaga, atau otoritas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ditetapkan sebagai pembina dan pengawas Profesi Penunjang Sektor Keuangan sebagaimana dimaksud dalam huruf i.
|
|||
(4)
|
Kementerian, lembaga, atau otoritas lain dapat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Profesi Penunjang Sektor Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dengan berkoordinasi dengan kementerian, lembaga, atau otoritas sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
|
||||
(5)
|
Untuk dapat menyediakan jasa bagi industri sektor keuangan, Profesi Penunjang Sektor Keuangan wajib:
|
||||
|
a.
|
terlebih dahulu memperoleh izin dari kementerian, lembaga, atau otoritas pembina dan pengawas profesi terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (3); dan
|
|||
|
b.
|
terdaftar pada:
|
|||
|
|
1.
|
Otoritas Jasa Keuangan untuk Profesi Penunjang Sektor Keuangan yang bergerak di Pasar Modal, industri perbankan, dan/atau industri keuangan non-Bank; atau
|
||
|
|
2.
|
Bank Indonesia untuk Profesi Penunjang Sektor Keuangan yang bergerak di Pasar Uang, Pasar Valuta Asing, dan penyelenggara Jasa pembayaran di bawah kewenangan Bank Indonesia.
|
||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pembinaan dan pengawasan Profesi Penunjang Sektor Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a diatur dalam peraturan menteri, lembaga, atau otoritas terkait.
|
||||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pendaftaran Profesi Penunjang Sektor Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b diatur dalam peraturan otoritas sektor keuangan sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Profesi Pelaku Usaha Sektor Keuangan Pasal 260 |
|||||
(1)
|
Profesi Pelaku Usaha Sektor Keuangan terdiri atas:
|
||||
|
a.
|
wakil perantara pedagang efek;
|
|||
|
b.
|
wakil penjamin emisi efek;
|
|||
|
c.
|
wakil manajer investasi;
|
|||
|
d.
|
wakil agen penjual efek reksa dana;
|
|||
|
e.
|
ahli syariah Pasar Modal;
|
|||
|
f.
|
tresuri dealer; dan
|
|||
|
g.
|
Profesi Pelaku Usaha Sektor Keuangan lainnya yang ditetapkan dalam peraturan otoritas sektor keuangan sesuai dengan tugas dan wewenang masing-masing.
|
|||
(2)
|
Pembinaan dan pengawasan Profesi Pelaku Usaha Sektor Keuangan dilakukan oleh otoritas sektor keuangan sesuai dengan tugas dan wewenang masing-masing.
|
||||
(3)
|
Untuk dapat menyediakan Jasa bagi industri sektor keuangan, Profesi Pelaku Usaha Sektor Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu memperoleh izin dan/atau terdaftar di:
|
||||
|
a.
|
Otoritas Jasa Keuangan untuk Profesi Pelaku Usaha Sektor Keuangan yang bergerak di Pasar Modal, industri perbankan, dan/atau industri keuangan non-Bank; atau
|
|||
|
b.
|
Bank Indonesia untuk Profesi Pelaku Usaha Sektor Keuangan yang bergerak di Pasar Uang, Pasar Valuta Asing, dan penyelenggara jasa pembayaran di bawah kewenangan Bank Indonesia.
|
|||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara perizinan dan/atau pendaftaran Profesi Pelaku Usaha Sektor Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam peraturan otoritas sektor keuangan sesuai dengan tugas dan wewenang masing-masing.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Sertifikasi Profesi Sektor Keuangan Pasal 261 |
|||||
(1)
|
Pelaku Profesi Sektor Keuangan wajib memiliki sertifikat profesi sesuai bidang pekerjaan masing-masing.
|
||||
(2)
|
Sertifikat profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh:
|
||||
|
a.
|
Lembaga Sertifikasi Profesi; dan/atau
|
|||
|
b.
|
Asosiasi Profesi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Untuk dapat menerbitkan sertifikat profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Lembaga Sertifikasi Profesi wajib mendapatkan lisensi terlebih dahulu dari badan atau lembaga yang diberikan kewenangan untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(4)
|
Untuk mendapatkan lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Lembaga Sertifikasi Profesi minimal harus mendapatkan rekomendasi terlebih dahulu dari kementerian, lembaga, atau otoritas pada sektor keuangan terkait bidang pekerjaan masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(5)
|
Kementerian, lembaga, atau otoritas sektor keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat mengadministrasikan Lembaga Sertifikasi Profesi dan/atau Asosiasi Profesi yang menerbitkan sertifikat profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan tugas dan wewenang masing-masing.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 262 |
|||||
Dalam hal PUSK menggunakan jasa Pelaku Profesi Sektor Keuangan, PUSK wajib menggunakan jasa Pelaku Profesi Sektor Keuangan yang telah memperoleh izin dan/atau persetujuan pendaftaran dari kementerian atau otoritas yang berwenang.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Peningkatan Kualitas dan Kuantitas Profesi Sektor Keuangan Dalam Negeri Pasal 263 |
|||||
Pemerintah dan/atau otoritas sektor keuangan mendorong peningkatan kualitas dan kuantitas Profesi Sektor Keuangan dalam negeri guna menciptakan industri sektor keuangan yang kredibel.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 264 |
|||||
Pemerintah dan/atau otoritas sektor keuangan dapat bekerja sama dengan Asosiasi Profesi, Lembaga Sertifikasi Profesi, lembaga pendidikan tinggi, dan/atau lembaga pendidikan lainnya yang setara untuk mendorong pendidikan dan pelatihan Profesi Sektor Keuangan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Pemantauan dan Evaluasi Penguatan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Sektor Keuangan Pasal 265 |
|||||
(1)
|
Dalam rangka pengembangan dan penguatan sumber daya manusia sektor keuangan, disusun peta jalan.
|
||||
(2)
|
Peta jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai bahan pemantauan dan evaluasi kebijakan sumber daya manusia sektor keuangan.
|
||||
(3)
|
Ketentuan mengenai penetapan peta jalan dan tata cara pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Penerapan Tata Kelola yang Baik pada Sektor Keuangan Pasal 266 |
|||||
(1)
|
PUSK wajib menerapkan prinsip tata kelola yang baik yang minimal mencakup:
|
||||
|
a.
|
keterbukaan;
|
|||
|
b.
|
akuntabilitas;
|
|||
|
c.
|
tanggung jawab;
|
|||
|
d.
|
independensi; dan
|
|||
|
e.
|
kewajaran.
|
|||
(2)
|
Selain penerapan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PUSK harus mengikuti perkembangan dinamika industri dalam rangka penerapan tata kelola yang baik.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 267 |
|||||
PUSK wajib menerapkan manajemen risiko yang efektif.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 268 |
|||||
PUSK wajib menyampaikan laporan pelaksanaan tata kelola yang baik dan penerapan manajemen risiko secara berkala kepada otoritas sektor keuangan sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 269 |
|||||
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola yang baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 266, penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 267, dan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268 diatur dalam peraturan otoritas sektor keuangan sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 270 |
|||||
(1)
|
Dalam rangka memastikan agar industri sektor keuangan dijalankan secara profesional, efektif, efisien, dan berkinerja optimal, otoritas sektor keuangan melakukan pemantauan dan evaluasi atas penerapan tata kelola yang baik.
|
||||
(2)
|
Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berkala.
|
||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam peraturan otoritas sektor keuangan sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Pelaporan Keuangan Pasal 271 |
|||||
(1)
|
PUSK dan pihak yang melakukan interaksi bisnis dengan sektor keuangan harus menyampaikan laporan keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(2)
|
Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disusun berdasarkan standar laporan keuangan.
|
||||
(3)
|
Standar laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh komite standar laporan keuangan yang independen dengan tata kelola yang baik.
|
||||
(4)
|
Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Otoritas Jasa Keuangan dapat melengkapi pengaturan ketentuan akuntansi dalam rangka keterbukaan dan pelindungan investor publik.
|
||||
(5)
|
Komite standar laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berwenang menyusun dan menetapkan standar laporan keuangan.
|
||||
(6)
|
Komite standar laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
|
||||
(7)
|
Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diaudit oleh akuntan publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 272 |
|||||
(1)
|
Dalam rangka penyampaian laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 271 ayat (1), Pemerintah dapat membentuk atau menunjuk platform bersama pelaporan keuangan (financial reporting single window).
|
||||
(2)
|
Penyampaian laporan keuangan melalui platform bersama pelaporan keuangan (financial reporting single window) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan kewenangan kementerian, lembaga, atau otoritas terkait untuk meminta laporan keuangan secara langsung kepada entitas pelapor sehubungan dengan pelaksanaan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
(3)
|
PUSK dan pihak yang melakukan interaksi bisnis dengan sektor keuangan bertanggung jawab atas laporan keuangan yang disampaikan, termasuk yang disampaikan melalui platform bersama pelaporan keuangan (financial reporting single window).
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 273 |
|||||
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban penyusunan dan penyampaian laporan keuangan, standar laporan keuangan, dan komite standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 271 dan platform bersama pelaporan keuangan (financial reporting single window) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 272 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
BAB XXI
STABILITAS SISTEM KEUANGAN Pasal 274 |
|||||
Ruang lingkup pengaturan Stabilitas Sistem Keuangan dalam bab ini meliputi:
|
|||||
a.
|
koordinasi kebijakan makroprudensial, mikroprudensial, dan penanganan permasalahan Bank;
|
||||
b.
|
pengawasan Bank dan tindak lanjut; dan
|
||||
c.
|
penanganan permasalahan Bank.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 275 |
|||||
Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan melalui penataan Stabilitas Sistem Keuangan, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5872).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 276 |
|||||
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5872) diubah sebagai berikut:
|
|||||
|
|
|
|
|
|
1.
|
Di antara Pasal 15 dan Pasal 16 dalam Bagian Kesatu Bab III disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 15A dan Pasal 158B sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 15A
|
||||
|
(1)
|
Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan melakukan koordinasi kebijakan makroprudensial, mikroprudensial, dan penanganan permasalahan Bank melalui mekanisme forum koordinasi.
|
|||
|
(2)
|
Koordinasi kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk koordinasi mengenai sinkronisasi penyusunan peraturan terkait makroprudensial, mikroprudensial, dan penanganan permasalahan Bank yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
(3)
|
Forum koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengikutsertakan sekretariat Komite Stabilitas Sistem Keuangan.
|
|||
|
(4)
|
Dalam pelaksanaan forum koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pertukaran data dan informasi.
|
|||
|
(5)
|
Hasil koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan kepada Komite Stabilitas Sistem Keuangan secara berkala atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.
|
|||
|
(6)
|
Mekanisme forum koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tata kelola pertukaran data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dan/atau disepakati bersama oleh Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 15B
|
||||
|
(1)
|
Dalam hal berdasarkan:
|
|||
|
|
a.
|
pengawasan dan pemeriksaan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki setiap lembaga; dan/atau
|
||
|
|
b.
|
hasil penilaian kondisi Bank dari forum koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15A ayat (1),
|
||
|
|
ditemukan potensi permasalahan Bank, Otoritas Jasa Keuangan dengan Bank Indonesia dan/atau Lembaga Penjamin Simpanan dapat melakukan pemeriksaan bersama.
|
|||
|
(2)
|
Pemeriksaan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan sebagai langkah antisipatif dan/atau penanganan permasalahan Bank.
|
|||
|
|
|
|
|
|
2.
|
Di antara Bagian Kesatu dan Bagian Kedua Bab III disisipkan 1 (satu) bagian, yakni Bagian Kedua sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Status Pengawasan Bank |
||||
|
|
|
|
|
|
3.
|
Di antara Pasal 16 dan Pasal 17 disisipkan 5 (lima) pasal, yakni Pasal 16A, Pasal 16B, Pasal 16C, Pasal 16D, dan Pasal 16E sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 16A
|
||||
|
(1)
|
Otoritas Jasa Keuangan mengatur dan menetapkan status pengawasan Bank.
|
|||
|
(2)
|
Status pengawasan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
|
|||
|
|
a.
|
Bank dalam pengawasan normal;
|
||
|
|
b.
|
Bank dalam penyehatan; dan
|
||
|
|
c.
|
Bank dalam resolusi.
|
||
|
(3)
|
Bank dalam resolusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan Bank yang dinyatakan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagai Bank yang mengalami kesulitan keuangan dan membahayakan kelangsungan usahanya serta tidak dapat disehatkan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(4)
|
Status pengawasan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(5)
|
Otoritas Jasa Keuangan memberitahukan perubahan status pengawasan Bank secara tertulis kepada Bank, Lembaga Penjamin Simpanan, dan Bank Indonesia.
|
|||
|
(6)
|
Untuk melaksanakan tugas pengawasan Bank, Otoritas Jasa Keuangan berwenang memberikan perintah kepada Bank untuk melakukan tindakan tertentu.
|
|||
|
(7)
|
Bank wajib melaksanakan perintah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
|
|||
|
(8)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria penetapan status pengawasan Bank dan tindakan dalam rangka pengawasan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (7) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 16B
|
||||
|
Dalam hal Bank dalam pengawasan normal mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya atau Bank ditetapkan sebagai Bank dalam penyehatan, Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan tindakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam undang undang mengenai perbankan dan undang-undang mengenai perbankan syariah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 16C
|
||||
|
(1)
|
Otoritas Jasa Keuangan menetapkan Bank sebagai Bank dalam penyehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16A ayat (2) huruf b dalam hal Bank tidak memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan mengenai:
|
|||
|
|
a.
|
tingkat kesehatan;
|
||
|
|
b.
|
tingkat likuiditas; dan/atau
|
||
|
|
c.
|
tingkat permodalan dengan memperhitungkan risiko.
|
||
|
(2)
|
Penetapan Bank dalam penyehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(3)
|
Dalam hal Bank ditetapkan sebagai Bank dalam penyehatan dan Bank mengajukan permintaan kepada Otoritas Jasa Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta kepada Lembaga Penjamin Simpanan untuk melakukan penempatan dana kepada Bank setelah Otoritas Jasa Keuangan melakukan analisis kelayakan permohonan Bank.
|
|||
|
(4)
|
Otoritas Jasa Keuangan menetapkan Bank dalam penyehatan untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan tertulis Otoritas Jasa Keuangan kepada Bank, Lembaga Penjamin Simpanan, dan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16A ayat (5).
|
|||
|
(5)
|
Dalam hal Bank menerima penempatan dana dari Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), jangka waktu Bank dalam penyehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berakhir sesuai dengan jangka waktu berakhirnya penempatan dana Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
(6)
|
Setelah Otoritas Jasa Keuangan menetapkan Bank sebagai Bank dalam penyehatan:
|
|||
|
|
a.
|
Bank umum wajib menerapkan:
|
||
|
|
|
1.
|
rencana aksi pemulihan yang sudah disetujui Otoritas Jasa Keuangan;
|
|
|
|
|
2.
|
langkah penyehatan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan, dalam hal rencana aksi pemulihannya belum disetujui Otoritas Jasa Keuangan; dan
|
|
|
|
|
3.
|
menyampaikan realisasinya kepada Otoritas Jasa Keuangan;
|
|
|
|
b.
|
Otoritas Jasa Keuangan memastikan pelaksanaan rencana aksi pemulihan Bank umum atau langkah penyehatan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan; dan/atau
|
||
|
|
c.
|
Lembaga Penjamin Simpanan melakukan:
|
||
|
|
|
1.
|
uji tuntas dalam rangka mengetahui kondisi Bank secara keseluruhan;
|
|
|
|
|
2.
|
penjajakan kepada Bank lain yang bersedia menerima pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank; dan/atau
|
|
|
|
|
3.
|
penjajakan kepada investor yang bersedia mengambil alih Bank.
|
|
|
(7)
|
Otoritas Jasa Keuangan memerintahkan Bank dalam penyehatan untuk:
|
|||
|
|
a.
|
menjaga kondisi keuangan Bank sehingga tidak terjadi penurunan aset dan/atau peningkatan kewajiban Bank secara material; dan
|
||
|
|
b.
|
mendukung pelak anaan tindakan Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf c.
|
||
|
(8)
|
Dalam hal Bank ditetapkan sebagai Bank dalam penyehatan, Otoritas Jasa Keuangan berwenang:
|
|||
|
|
a.
|
memerintahkan Bank untuk menjual sebagian atau seluruh aset dan/atau mengalihkan kewajiban Bank kepada pihak lain;
|
||
|
|
b.
|
memerintahkan Bank untuk menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan Bank kepada pihak lain;
|
||
|
|
c.
|
membatasi kegiatan usaha tertentu Bank; dan/atau
|
||
|
|
d.
|
menunjuk pengelola statuter dan memerintahkan Bank untuk mendukung pelaksanaan tugas pengelola statuter yang ditempatkan di Bank.
|
||
|
(9)
|
Dalam rangka pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (8), Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
(10)
|
Ketentuan mengenai pemenuhan tingkat kesehatan, tingkat likuiditas, dan tingkat permodalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 16D
|
||||
|
Pengelola statuter yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan, dalam hal Bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya atau Bank dalam penyehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16B, berwenang untuk:
|
||||
|
a.
|
mengambil alih seluruh wewenang dan fungsi direksi dan dewan komisaris pada Bank;
|
|||
|
b.
|
mengendalikan dan mengelola kegiatan usaha Bank sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
|||
|
c.
|
membatalkan atau mengakhiri perjanjian yang dibuat oleh Bank dengan pihak ketiga yang merugikan dan/atau menurut pengelola statuter dapat merugikan kepentingan Bank dan/atau nasabah; dan/atau
|
|||
|
d.
|
melakukan pengalihan sebagian atau seluruh portofolio kekayaan atau usaha dan/atau kumpulan dana dari Bank yang menurut pengelola statuter dapat mencegah kerugian yang lebih besar bagi Bank dan/atau nasabah.
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 16E
|
||||
|
(1)
|
Otoritas Jasa Keuangan menetapkan Bank sebagai Bank dalam resolusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16A ayat (2) huruf c apabila:
|
|||
|
|
a.
|
sebelum jangka waktu Bank dalam penyehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16C ayat (4) atau ayat (5) berakhir, Bank mengalami pemburukan dan tidak memenuhi ketentuan permodalan minimum dan/atau giro wajib minimum;
|
||
|
|
b.
|
sampai dengan jangka waktu Bank dalam penyehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16C ayat (4) atau ayat (5) berakhir, Bank belum dapat memenuhi ketentuan tingkat permodalan dengan memperhitungkan risiko dan/atau belum dapat menyelesaikan permasalahan likuiditas mendasar; atau
|
||
|
|
c.
|
Bank tidak dapat mengembalikan penempatan dana Lembaga Penjamin Simpanan.
|
||
|
(2)
|
Penetapan Bank dalam resolusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(3)
|
Dalam hal Bank dalam resolusi merupakan Bank Sistemik, Otoritas Jasa Keuangan meminta penyelenggaraan rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan untuk melaporkan penetapan Bank Sistemik sebagai Bank dalam resolusi.
|
|||
|
(4)
|
Dalam rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Komite Stabilitas Sistem Keuangan mengoordinasikan langkah yang harus dilakukan oleh Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan/atau Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan wewenang masing-masing, untuk mendukung tindakan resolusi Lembaga Penjamin Simpanan kepada Bank Sistemik.
|
|||
|
(5)
|
Lembaga Penjamin Simpanan menyampaikan laporan kepada Komite Stabilitas Sistem Keuangan mengenai pelaksanaan tindakan resolusi yang telah dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan kepada Bank Sistemik 1 (satu) kali setiap 6 (enam) bulan atau sewaktu-waktu jika diperlukan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
4.
|
Ketentuan Bagian Kedua Bab III diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Bank Sistemik |
||||
|
|
|
|
|
|
5.
|
Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 17
|
||||
|
(1)
|
Untuk mencegah Krisis Sistem Keuangan di bidang perbankan, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan Bank Sistemik setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
(2)
|
Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan melakukan pemutakhiran daftar Bank Sistemik secara berkala 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan.
|
|||
|
(3)
|
Lembaga Penjamin Simpanan melakukan pemutakhiran kondisi penjaminan simpanan Bank Sistemik setelah memperoleh data dari Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(4)
|
Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan hasil penetapan Bank Sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pemutakhiran daftar Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Komite Stabilitas Sistem Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
6.
|
Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 18
|
||||
|
Bank Sistemik wajib memenuhi ketentuan khusus mengenai rasio kecukupan modal dan rasio kecukupan likuiditas yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
7.
|
Di antara Pasal 18 dan Pasal 19 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 18A, Pasal 18B, dan Pasal 18C sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 18A
|
||||
|
(1)
|
Bank Sistemik wajib menyusun rencana aksi pemulihan untuk disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(2)
|
Rencana aksi pemulihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat kewajiban PSP dan/atau pihak lain untuk menambah modal Bank dan mengubah jenis kewajiban tertentu menjadi modal Bank.
|
|||
|
(3)
|
Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan tambahan kapasitas permodalan bagi Bank Sistemik yang digunakan untuk menyerap kerugian pada saat mengalami permasalahan keuangan.
|
|||
|
(4)
|
Ketentuan mengenai rencana aksi pemulihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) serta tambahan kapasitas permodalan Bank Sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 18B
|
||||
|
(1)
|
Bank Sistemik wajib menyusun dan menyampaikan rencana resolusi kepada Lembaga Penjamin Simpanan untuk mendapat persetujuan.
|
|||
|
(2)
|
Rencana resolusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
|
|||
|
|
a.
|
struktur Bank, kondisi keuangan, lini bisnis utama, fungsi ekonomi penting, dan pihak terafiliasi; dan
|
||
|
|
b.
|
keterkaitan dengan Sistem Keuangan.
|
||
|
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana resolusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 18C
|
||||
|
(1)
|
Lembaga Penjamin Simpanan melakukan penilaian terhadap rencana resolusi yang disampaikan Bank Sistemik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18B ayat (1).
|
|||
|
(2)
|
Penilaian rencana resolusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan Lembaga Penjamin Simpanan baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
|
|||
|
(3)
|
Untuk kepentingan Lembaga Penjamin Simpanan dalam menilai rencana resolusi Bank Sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Sistemik wajib menyampaikan kepada Lembaga Penjamin Simpanan:
|
|||
|
|
a.
|
rencana aksi pemulihan Bank Sistemik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18A yang telah disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan; dan
|
||
|
|
b.
|
data dan informasi serta dokumen lainnya yang diperlukan Lembaga Penjamin Simpanan.
|
||
|
(4)
|
Berdasarkan hasil penilaian terhadap rencana resolusi yang disampaikan Bank Sistemik, Lembaga Penjamin Simpanan memberikan persetujuan atau meminta perbaikan rencana resolusi Bank Sistemik.
|
|||
|
(5)
|
Terhadap rencana resolusi Bank Sistemik yang telah disetujui sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Lembaga Penjamin Simpanan dapat melakukan uji resolvabilitas untuk mengidentifikasi hambatan yang mungkin ada pada saat implementasi tindakan resolusi Bank Sistemik.
|
|||
|
(6)
|
Dalam hal berdasarkan hasil uji resolvabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditemukan potensi hambatan dalam implementasi tindakan resolusi, Lembaga Penjamin Simpanan meminta secara tertulis kepada Bank Sistemik untuk melakukan tindakan perbaikan.
|
|||
|
(7)
|
Permintaan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dilakukan setelah Lembaga Penjamin Simpanan berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(8)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian rencana resolusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan uji resolvabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
8.
|
Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 19
|
||||
|
(1)
|
Dalam hal Bank Sistemik dalam pengawasan normal memiliki permasalahan keuangan, Bank Sistemik menerapkan rencana aksi pemulihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18A ayat (1) yang sudah disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan dan menyampaikan realisasinya kepada Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(2)
|
Dalam hal rencana aksi pemulihan Bank Sistemik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18A ayat (1) belum disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan, Bank Sistemik menerapkan langkah penyehatan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(3)
|
Otoritas Jasa Keuangan memastikan dilaksanakannya rencana aksi pemulihan oleh Bank Sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau langkah penyehatan oleh Bank Sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
|||
|
(4)
|
Ketentuan mengenai rencana aksi pemulihan dan langkah penyehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
9.
|
Ketentuan Bagian Ketiga Bab III diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Penanganan Permasalahan Likuiditas Bank Sistemik |
||||
|
|
|
|
|
|
10.
|
Di antara Bagian Keempat dan Bagian Kelima disisipkan 1 (satu) paragraf, yakni Paragraf 1 sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 1
Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek atau Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Berdasarkan Prinsip Syariah |
||||
|
|
|
|
|
|
11.
|
Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 20
|
||||
|
(1)
|
Bank Sistemik yang mengalami kesulitan likuiditas dapat mengajukan permohonan secara tertulis kepada Bank Indonesia untuk memperoleh pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah dengan menyampaikan tembusan permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(2)
|
Untuk memperoleh pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Sistemik harus memenuhi persyaratan:
|
|||
|
|
a.
|
solvabilitas;
|
||
|
|
b.
|
agunan yang cukup; dan
|
||
|
|
c.
|
proyeksi arus kas yang memadai.
|
||
|
(3)
|
Dalam pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank Indonesia:
|
|||
|
|
a.
|
Otoritas Jasa Keuangan melakukan penilaian mengenai pemenuhan persyaratan/kecukupan solvabilitas dan tingkat kesehatan Bank Sistemik; dan
|
||
|
|
b.
|
Bank Indonesia bersama Otoritas Jasa Keuangan melakukan penilaian mengenai pemenuhan kecukupan agunan dan proyeksi arus kas.
|
||
|
(4)
|
Pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah harus dijamin dengan agunan yang cukup berupa:
|
|||
|
|
a.
|
surat berharga yang memiliki peringkat tinggi;
|
||
|
|
b.
|
aset kredit atau aset pembiayaan dengan kualitas lancar dalam hal Bank Sistemik tidak memiliki surat berharga sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam jumlah yang cukup; dan
|
||
|
|
c.
|
aset tetap yang dimiliki Bank Sistemik dalam hal Bank Sistemik tidak memiliki agunan surat berharga sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan aset kredit atau aset pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam huruf b dalam jumlah yang cukup.
|
||
|
(5)
|
Jangka waktu pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah kepada Bank Sistemik paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender untuk setiap periode pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah dan dapat diperpanjang secara berturut-turut paling banyak 2 (dua) periode.
|
|||
|
(6)
|
Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan Bank Indonesia melakukan pengawasan terhadap Bank Sistemik yang menerima pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah untuk memastikan penggunaannya dan pelaksanaan rencana pembayarannya kembali sesuai dengan perjanjian.
|
|||
|
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dalam Peraturan Bank Indonesia.
|
|||
|
|
|
|
|
|
12.
|
Di antara Pasal 20 dan Pasal 21 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 20A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 20A
|
||||
|
(1)
|
Selisih kurang antara dana serta biaya yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia untuk pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah dan pengembalian dana dari Bank Sistemik kepada Bank Indonesia baik melalui eksekusi agunan maupun cara lainnya merupakan biaya bagi Bank Indonesia dalam memelihara Stabilitas Sistem Keuangan dan bukan merupakan kerugian keuangan negara.
|
|||
|
(2)
|
Untuk menyelesaikan tagihan yang masih tersisa dalam pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Indonesia berwenang untuk melakukan hapus buku dan hapus tagih atas tagihan.
|
|||
|
(3)
|
Ketentuan mengenai tata cara hapus buku dan hapus tagih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan tata cara penghapusbukuan dan penghapustagihan sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai Bank Indonesia dan peraturan pelaksanaannya.
|
|||
|
|
|
|
|
|
13.
|
Di antara Bagian Keempat dan Bagian Kelima disisipkan 1 (satu) paragraf, yakni Paragraf 2 dan disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 20B, Pasal 20C, dan Pasal 20D sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Penempatan Dana Pasal 20B |
||||
|
(1)
|
Lembaga Penjamin Simpanan berwenang melakukan penempatan dana pada Bank Sistemik yang ditetapkan sebagai Bank dalam penyehatan.
|
|||
|
(2)
|
Penempatan dana pada Bank Sistemik dalam penyehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan permintaan Otoritas Jasa Keuangan, setelah Otoritas Jasa Keuangan melakukan analisis kelayakan permintaan Bank.
|
|||
|
(3)
|
Penempatan dana pada Bank Sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:
|
|||
|
|
a.
|
secara langsung; dan/atau
|
||
|
|
b.
|
secara tidak langsung melalui penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan terhadap penempatan dana oleh suatu Bank Sistemik pada Bank lain yang mengalami permasalahan likuiditas.
|
||
|
(4)
|
Bank Sistemik yang dapat menerima penempatan dana Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Bank Sistemik yang ditetapkan sebagai Bank dalam penyehatan yang mengalami permasalahan likuiditas, yang tidak memenuhi syarat sebagai penerima peminjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah dari Bank Indonesia.
|
|||
|
(5)
|
Dalam rangka penempatan dana Lembaga Penjamin Simpanan pada Bank Sistemik yang ditetapkan sebagai Bank dalam penyehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga Penjamin Simpanan melakukan koordinasi melalui forum koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15A.
|
|||
|
(6)
|
Setiap periode penempatan dana lembaga Penjamin Simpanan pada Bank Sistemik yang ditetapkan sebagai Bank dalam penyehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari kalender dan dapat diperpanjang paling banyak 3 (tiga) kali.
|
|||
|
(7)
|
Lembaga Penjamin Simpanan dapat memberikan tambahan atas periode penempatan dana berikut perpanjangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (6) setelah Lembaga Penjamin Simpanan melakukan pembahasan melalui forum koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15A.
|
|||
|
(8)
|
Bank Sistemik dan/atau PSP Bank Sistemik harus memberikan jaminan berupa aset yang dianggap layak untuk pengembalian penempatan dana.
|
|||
|
(9)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan dana Lembaga Penjamin Simpanan pada Bank Sistemik yang ditetapkan sebagai Bank dalam penyehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 20C
|
||||
|
(1)
|
Terhadap Bank Sistemik yang menerima penempatan dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20B, Lembaga Penjamin Simpanan berwenang untuk:
|
|||
|
|
a.
|
melakukan pemeriksaan penggunaan dana;
|
||
|
|
b.
|
melarang Bank Sistemik untuk melakukan tindakan tertentu;
|
||
|
|
c.
|
menunjuk pihak lain untuk memberikan bantuan teknis;
|
||
|
|
d.
|
memerintahkan pemegang saham untuk melakukan penggantian anggota direksi dan/atau anggota dewan komisaris; dan
|
||
|
|
e.
|
menunjuk pihak lain sebagai pengelola statuter dengan kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 16D.
|
||
|
(2)
|
Setelah Bank Sistemik menerima penempatan dana dari Lembaga Penjamin Simpanan, Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia melakukan pengawasan kepada Bank penerima penempatan dana secara lebih intensif sesuai dengan kewenangan masing-masing.
|
|||
|
(3)
|
Untuk melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga Penjamin Simpanan berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan terhadap Bank Sistemik yang menerima penempatan dana Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 20D
|
||||
|
(1)
|
Selama jangka waktu penempatan dana Lembaga Penjamin Simpanan pada Bank Sistemik atau selama Bank Sistemik belum mengembalikan penempatan dana, Bank Sistemik dilarang:
|
|||
|
|
a.
|
menyalurkan kredit dan/atau pembiayaan baru kepada pihak terkait Bank Sistemik, kecuali untuk pemenuhan komitmen yang telah diperjanjikan sebelumnya;
|
||
|
|
b.
|
merealisasikan penarikan dana oleh pihak terkait Bank Sistemik; dan
|
||
|
|
c.
|
melakukan pembagian dividen.
|
||
|
(2)
|
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak meniadakan larangan lain yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(3)
|
Anggota direksi, anggota dewan komisaris, PSP, pegawai, dan/atau pihak terafiliasi dilarang menggunakan penempatan dana Lembaga Penjamin Simpanan untuk pencairan dana dan mendapatkan manfaat keuangan untuk diri sendiri.
|
|||
|
(4)
|
Larangan pencairan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku untuk pembayaran gaji pegawai Bank Sistemik.
|
|||
|
|
|
|
|
|
14.
|
Ketentuan Bagian Keempat Bab III diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Penanganan Permasalahan Solvabilitas Bank Sistemik |
||||
|
|
|
|
|
|
15.
|
Pasal 21 dihapus.
|
||||
|
|
|
|
|
|
16.
|
Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 23
|
||||
|
(1)
|
Dalam pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank Sistemik kepada Bank penerima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a atau kepada Bank Perantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf b, Lembaga Penjamin Simpanan berwenang:
|
|||
|
|
a.
|
menetapkan jenis dan kriteria aset dan kewajiban Bank Sistemik yang dialihkan;
|
||
|
|
b.
|
mengalihkan kewajiban Bank Sistemik sesuai dengan kriteria sebagaimana dimaksud dalam huruf a kepada Bank penerima atau Bank Perantara yang diikuti dengan pengalihan sebagian atau seluruh aset Bank Sistemik tanpa persetujuan kreditur, debitur, dan/atau pihak lain;
|
||
|
|
c.
|
melakukan pembayaran kepada Bank penerima atau Bank Perantara atas selisih kurang antara nilai aset dan nilai kewajiban Bank Sistemik yang dialihkan; dan
|
||
|
|
d.
|
melakukan wewenang lain.
|
||
|
(2)
|
Jenis dan kriteria aset yang dapat dialihkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
|
|||
|
|
a.
|
aset yang memiliki kualitas lancar atau dalam perhatian khusus, tidak dalam sengketa, disita, dan/atau dijaminkan;
|
||
|
|
b.
|
aset tetap dan inventaris yang digunakan dalam kegiatan usaha Bank;
|
||
|
|
c.
|
aset tak berwujud yang dimanfaatkan untuk kegiatan usaha Bank;
|
||
|
|
d.
|
aset yang menjadi agunan dari kewajiban yang dialihkan kepada Bank penerima atau Bank Perantara; dan
|
||
|
|
e.
|
aset lainnya yang ditetapkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
|
||
|
(3)
|
Jenis dan kriteria kewajiban yang dapat dialihkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
|
|||
|
|
a.
|
simpanan nasabah penyimpan, termasuk simpanan dari Bank lain;
|
||
|
|
b.
|
kewajiban kepada Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan;
|
||
|
|
c.
|
pinjaman yang diterima dari Bank lain dalam bentuk transaksi Pasar Uang antar-Bank; dan
|
||
|
|
d.
|
kewajiban lainnya yang ditetapkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
|
||
|
(4)
|
Ketentuan mengenai jenis dan kriteria aset dan kewajiban Bank yang dialihkan kepada Bank penerima atau Bank Perantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
17.
|
Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 25
|
||||
|
(1)
|
Lembaga Penjamin Simpanan mendirikan Bank Perantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf b untuk menerima pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank dan menjalankan aktivitas usaha Bank.
|
|||
|
(2)
|
Dalam pendirian Bank Perantara oleh Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak berlaku ketentuan yang mewajibkan perseroan terbatas yang didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih sebagaimana dimaksud dalam undang undang mengenai perseroan terbatas.
|
|||
|
(3)
|
Otoritas Jasa Keuangan memberikan izin Bank Perantara dalam 2 (dua) tahap:
|
|||
|
|
a.
|
persetujuan prinsip untuk melakukan persiapan pendirian Bank; dan
|
||
|
|
b.
|
izin usaha untuk melakukan kegiatan usaha Bank setelah persiapan sebagaimana dimaksud dalam huruf a selesai dilakukan.
|
||
|
(4)
|
Persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a diberikan setelah memenuhi persyaratan:
|
|||
|
|
a.
|
anggaran dasar yang paling sedikit memuat kegiatan usaha sebagai Bank;
|
||
|
|
b.
|
modal disetor sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai perseroan terbatas; dan
|
||
|
|
c.
|
struktur organisasi dan sumber daya manusia untuk pendirian perseroan terbatas.
|
||
|
(5)
|
Izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b diberikan setelah memenuhi persyaratan:
|
|||
|
|
a.
|
susunan organisasi; dan
|
||
|
|
b.
|
rencana tindak meliputi cara dan jadwal pengalihan, pemenuhan, dan pengelolaan sumber daya manusia, serta migrasi infrastruktur Bank Perantara.
|
||
|
(6)
|
Uji kemampuan dan kepatutan bagi anggota dewan komisaris dan direksi Bank Perantara dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan setelah Bank Perantara melakukan kegiatan usaha dan sebelum Bank Perantara dinilai tingkat kesehatannya oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(7)
|
Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan belum memberikan persetujuan uji kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Otoritas Jasa Keuangan memberikan persetujuan sementara bagi calon anggota dewan komisaris dan calon direksi Bank Perantara, yang diberi wewenang penuh untuk menjalankan fungsi, tugas, dan tindakan sebagai anggota dewan komisaris dan/atau anggota direksi.
|
|||
|
(8)
|
Setelah Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan izin usaha Bank Perantara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, Bank Indonesia memberikan konfirmasi pengalihan persetujuan dan/atau izin terkait kegiatan dalam operasi moneter, sistem pembayaran Bank Indonesia, dan penyelenggara jasa sistem pembayaran.
|
|||
|
(9)
|
Otoritas Jasa Keuangan menetapkan kebijakan yang berbeda terkait kewajiban penyediaan modal minimum dan modal inti minimum bagi Bank Perantara untuk jangka waktu tertentu.
|
|||
|
(10)
|
Lembaga Penjamin Simpanan berwenang memberikan pinjaman kepada Bank Perantara untuk mendukung likuiditas dan kegiatan usaha Bank Perantara.
|
|||
|
(11)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendirian Bank Perantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (7) dan jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (9) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
(12)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai konfirmasi pengalihan persetujuan dan/atau izin terkait kegiatan dalam operasi moneter, sistem pembayaran, dan penyelenggara jasa sistem pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur dalam Peraturan Bank Indonesia.
|
|||
|
(13)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pinjaman Lembaga Penjamin Simpanan kepada Bank Perantara sebagaimana dimaksud pada ayat (10) diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
18.
|
Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 26
|
||||
|
(1)
|
Lembaga Penjamin Simpanan harus menjual seluruh saham Bank Perantara kepada Bank atau pihak lain atau mengalihkan seluruh aset dan kewajiban Bank Perantara kepada Bank.
|
|||
|
(2)
|
Penjualan seluruh saham Bank Perantara atau pengalihan seluruh aset dan kewajiban Bank Perantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah fungsi utama Bank Perantara berjalan dan/atau terdapat investor.
|
|||
|
(3)
|
Penjualan seluruh saham Bank Perantara atau pengalihan seluruh aset dan kewajiban Bank Perantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan nilai wajar, secara terbuka, dan transparan.
|
|||
|
(4)
|
Dalam hal dilakukan penjualan seluruh saham Bank Perantara, pinjaman yang diberikan kepada Bank Perantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (10) dikonversi menjadi penyertaan modal Lembaga Penjamin Simpanan pada Bank Perantara.
|
|||
|
(5)
|
Dalam hal dilakukan pengalihan seluruh aset dan kewajiban Bank Perantara, pinjaman yang diberikan kepada Bank Perantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (10) menjadi biaya penanganan bank oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
(6)
|
Pihak yang membeli saham Bank Perantara harus melakukan penyesuaian permodalan sesuai dengan ketentuan mengenai kewajiban penyediaan modal minimum dan modal inti minimum sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria fungsi utama dari Bank Perantara telah berjalan dan/atau terdapat investor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
19.
|
Pasal 27 dihapus.
|
||||
|
|
|
|
|
|
20.
|
Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 28
|
||||
|
(1)
|
Selisih kurang antara dana yang dikeluarkan Lembaga Penjamin Simpanan untuk:
|
|||
|
|
a.
|
penempatan dana pada Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20B dan pengembalian penempatan dana dari Bank kepada Lembaga Penjamin Simpanan baik melalui eksekusi jaminan maupun cara lainnya; dan/atau
|
||
|
|
b.
|
penanganan dan pengembalian kepada Lembaga Penjamin Simpanan,
|
||
|
|
merupakan biaya dalam memelihara Stabilitas Sistem Keuangan dan biaya untuk penanganan dan resolusi Bank, dan bukan merupakan kerugian keuangan negara, sepanjang dilakukan dengan iktikad baik, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan tata kelola yang baik.
|
|||
|
(2)
|
Selisih lebih antara dana atau biaya yang dikeluarkan Lembaga Penjamin Simpanan untuk penanganan permasalahan Bank dan pengembalian kepada Lembaga Penjamin Simpanan merupakan penambah kekayaan Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
21.
|
Di antara Pasal 28 dan Pasal 29 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 28A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 28A
|
||||
|
Ketentuan mengenai perpajakan penanganan permasalahan solvabilitas Bank Sistemik diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
22.
|
Di antara Pasal 29 dan Pasal 30 dalam Bagian Kelima Bab III, disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 29A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 29A
|
||||
|
Ketentuan mengenai:
|
||||
|
a.
|
pemenuhan ketentuan khusus mengenai rasio kecukupan modal dan rasio kecukupan likuiditas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18;
|
|||
|
b.
|
penyusunan rencana aksi pemulihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18A ayat (1), ayat (2), dan ayat (4);
|
|||
|
c.
|
penyusunan rencana resolusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18B; dan
|
|||
|
d.
|
penilaian rencana resolusi dan uji resolvabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18C,
|
|||
|
berlaku secara mutatis mutandis terhadap Bank selain Bank Sistemik.
|
||||
|
|
|
|
|
|
23.
|
Ketentuan Bagian Kelima Bab III diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
Penanganan Permasalahan Bank selain Bank Sistemik |
||||
|
|
|
|
|
|
24.
|
Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 30
|
||||
|
Ketentuan mengenai:
|
||||
|
a.
|
pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal 20A; dan
|
|||
|
b.
|
penempatan dana Lembaga Penjamin Simpanan pada Bank dalam penyehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20B, Pasal 20C, dan Pasal 20D,
|
|||
|
berlaku secara mutatis mutandis terhadap Bank selain Bank Sistemik.
|
||||
|
|
|
|
|
|
25.
|
Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 31
|
||||
|
(1)
|
Penanganan permasalahan solvabilitas Bank Sistemik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 28 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penanganan permasalahan solvabilitas Bank selain Bank Sistemik.
|
|||
|
(2)
|
Jenis dan kriteria kewajiban Bank selain Bank Sistemik yang dialihkan kepada Bank penerima dan/atau Bank Perantara meliputi:
|
|||
|
|
a.
|
simpanan nasabah penyimpan yang memenuhi kriteria simpanan layak dibayar sesuai dengan ketentuan penjaminan simpanan dengan jumlah paling banyak sebesar nilai simpanan yang dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan;
|
||
|
|
b.
|
kewajiban kepada Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan; dan
|
||
|
|
c.
|
kewajiban lainnya yang ditetapkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
|
||
|
(3)
|
Ketentuan mengenai perpajakan penanganan permasalahan solvabilitas Bank selain Bank Sistemik diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
|||
|
(4)
|
Ketentuan mengenai penyelesaian permasalahan solvabilitas Bank selain Bank Sistemik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
26.
|
Di antara Bab III dan Bab IV disisipkan 1 (satu) Bab, yakni Bab IIIA, sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
BAB IIIA
KETENTUAN BANK YANG MERUPAKAN EMITEN ATAU PERUSAHAAN PUBLIK |
||||
|
|
|
|
|
|
27.
|
Di antara Pasal 31 dan Pasal 32 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 31A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 31A
|
||||
|
(1)
|
Bank dalam penyehatan yang menerima penempatan dana Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20B dan Pasal 30 huruf b atau Bank dalam resolusi yang dilakukan penanganan permasalahan solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan Pasal 31 ayat (1), yang merupakan emiten atau perusahaan publik, dan diperintahkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan dan/atau Otoritas Jasa Keuangan untuk:
|
|||
|
|
a.
|
melakukan penambahan modal disetor; dan/atau
|
||
|
|
b.
|
melakukan transaksi tertentu yang memenuhi kriteria:
|
||
|
|
|
1.
|
materialitas transaksi tertentu; dan/atau;
|
|
|
|
|
2.
|
transaksi afiliasi dan/atau transaksi yang mengandung benturan kepentingan,
|
|
|
|
dikecualikan dari ketentuan peraturan perundang undangan di bidang Pasar Modal mengenai hak memesan efek terlebih dahulu, transaksi material, transaksi afiliasi, dan/atau transaksi yang mengandung benturan kepentingan.
|
|||
|
(2)
|
Tindakan Lembaga Penjamin Simpanan terhadap:
|
|||
|
|
a.
|
Bank dalam penyehatan yang menerima penempatan dana dari Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20B dan Pasal 30 huruf b; atau
|
||
|
|
b.
|
Bank dalam resolusi yang dilakukan penanganan permasalahan solvabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan Pasal 31 ayat (1),
|
||
|
|
yang merupakan emiten atau perusahaan publik dan mengakibatkan Lembaga Penjamin Simpanan menjadi pengendali baru dari Bank dimaksud, tidak wajib mengikuti ketentuan peraturan perundang undangan di bidang Pasar Modal mengenai pengambilalihan perusahaan terbuka dan penawaran tender wajib.
|
|||
|
(3)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku secara mutatis mutandis bagi pihak lain yang diperintahkan Lembaga Penjamin Simpanan untuk melakukan pengambilalihan pengendalian Bank.
|
|||
|
(4)
|
Dalam penanganan:
|
|||
|
|
a.
|
Bank dalam penyehatan yang menenma penempatan dana dari Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a; atau
|
||
|
|
b.
|
Bank dalam resolusi yang dilakukan penanganan permasalahan solvabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b,
|
||
|
|
yang merupakan emiten atau perusahaan publik, kustodian wajib melaksanakan perintah Lembaga Penjamin Simpanan untuk mengeluarkan efek dan/atau dana yang tercatat pada rekening efek meskipun tidak terdapat perintah tertulis dari pemegang rekening efek atau pihak yang diberi wewenang oleh pemegang rekening efek untuk bertindak atas namanya sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai pasar modal.
|
|||
|
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai perintah Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
28.
|
Di antara Pasal 36 dan Pasal 37 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 36A
|
||||
|
(1)
|
Dalam rangka penanganan Stabilitas Sistem Keuangan yang disebabkan oleh kondisi krisis, Bank Indonesia berwenang:
|
|||
|
|
a.
|
membeli Surat Berharga Negara berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan Sistem Keuangan yang membahayakan perekonomian nasional;
|
||
|
|
b.
|
membeli/reverse repo (repurchase agreement) Surat Berharga Negara yang dimiliki Lembaga Penjamin Simpanan untuk biaya penanganan permasalahan Bank; dan
|
||
|
|
c.
|
memberikan akses pendanaan kepada korporasi/swasta dengan cara repo (repurchase agreement) Surat Berharga Negara yang dimiliki korporasi/swasta melalui perbankan.
|
||
|
(2)
|
Kondisi krisis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Presiden.
|
|||
|
(3)
|
Pembelian Surat Berharga Negara berjangka panjang di pasar perdana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan berdasarkan keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan.
|
|||
|
(4)
|
Skema dan mekanisme pembelian Surat Berharga Negara di pasar perdana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan dalam keputusan bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia.
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 36B
|
||||
|
(1)
|
Dalam rangka penanganan Stabilitas Sistem Keuangan yang disebabkan oleh kondisi krisis, Pemerintah berwenang:
|
|||
|
|
a.
|
menerbitkan Surat Berharga Negara dengan tujuan tertentu untuk dapat dibeli oleh Bank Indonesia, badan usaha milik negara, investor korporasi, dan/atau investor ritel;
|
||
|
|
b.
|
menetapkan sumber pembiayaan anggaran yang berasal dari dalam dan/atau luar negeri;
|
||
|
|
c.
|
memberikan pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan;
|
||
|
|
d.
|
menjalankan program pemulihan ekonomi nasional untuk melindungi, mempertahankan dan meningkatkan kemampuan ekonomi para pelaku usaha dari sektor riil dan sektor keuangan dalam menjalankan usahanya;
|
||
|
|
e.
|
melakukan penyertaan modal negara melalui badan usaha milik negara yang ditunjuk;
|
||
|
|
f.
|
melakukan penempatan dana dan/atau investasi Pemerintah yang dilakukan langsung oleh Pemerintah dan/atau melalui lembaga keuangan, manajer investasi, dan/atau lembaga lain yang ditunjuk;
|
||
|
|
g.
|
melakukan penjaminan yang dapat dijalankan langsung oleh Pemerintah dan/atau melalui satu atau beberapa badan usaha penjaminan yang ditunjuk; dan
|
||
|
|
h.
|
menyelenggarakan program penjaminan di luar program penjaminan simpanan sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai Lembaga Penjamin Simpanan.
|
||
|
(2)
|
Kondisi krisis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Presiden.
|
|||
|
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan penanganan Stabilitas Sistem Keuangan yang disebabkan oleh kondisi krisis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 36C
|
||||
|
(1)
|
Dalam hal terjadi ancaman krisis yang berpotensi mengakibatkan merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan dan membahayakan Stabilitas Sistem Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan dapat memberikan penjaminan terhadap seluruh simpanan milik Pemerintah pada Bank dalam rangka pelaksanaan kebijakan penanganan permasalahan perekonomian nasional.
|
|||
|
(2)
|
Besaran nilai simpanan milik Pemerintah yang dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
|
|||
|
|
|
|
|
|
29.
|
Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 41
|
||||
|
(1)
|
Dalam pelaksanaan Program Restrukturisasi Perbankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Lembaga Penjamin Simpanan berwenang:
|
|||
|
|
a.
|
mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang organ yang setara dengan pemegang saham dan rapat umum pemegang saham Bank;
|
||
|
|
b.
|
mengambil alih dan melaksanakan segala hak dan wewenang direksi dan dewan komisaris Bank atau organ lain yang setara;
|
||
|
|
c.
|
menangguhkan pembayaran kewajiban tertentu dari Bank;
|
||
|
|
d.
|
menjual, melelang, atau mengalihkan kekayaan Bank di dalam negeri maupun di luar negeri, baik secara langsung maupun melalui penawaran umum;
|
||
|
|
e.
|
menjual, melelang atau mengalihkan tagihan Bank dan/atau menyerahkan pengelolaannya kepada pihak lain, tanpa memerlukan persetujuan nasabah debitur;
|
||
|
|
f.
|
mengalihkan pengelolaan seluruh atau sebagian kekayaan, kegiatan, dan/atau manajemen Bank kepada pihak lain;
|
||
|
|
g.
|
melakukan penyertaan modal sementara pada Bank secara langsung atau melalui konversi tagihan Lembaga Penjamin Simpanan terhadap Bank menjadi saham Bank;
|
||
|
|
h.
|
melakukan konversi kewajiban Bank kepada kreditur tertentu menjadi modal;
|
||
|
|
i.
|
menagih piutang Bank yang sudah pasti dengan penerbitan surat paksa;
|
||
|
|
j.
|
melakukan pengosongan atas tanah dan/atau bangunan milik atau yang menjadi hak Bank yang dikuasai oleh pihak lain, baik sendiri maupun dengan bantuan alat negara penegak hukum yang berwenang;
|
||
|
|
k.
|
meneliti dan memeriksa untuk memperoleh segala keterangan yang diperlukan dari dan mengenai Bank, dan pihak manapun yang terlibat atau patut diduga terlibat, atau mengetahui kegiatan yang merugikan Bank;
|
||
|
|
l.
|
menghitung dan menetapkan kerugian yang dialami Bank dan membebankan kerugian kepada modal Bank yang bersangkutan, dan dalam hal kerugian dimaksud terjadi karena kesalahan atau kelalaian anggota direksi, anggota dewan komisaris atau organ yang setara, dan/atau pemegang saham, kerugian dimaksud akan dibebankan kepada yang bersangkutan;
|
||
|
|
m.
|
mewajibkan pemegang saham Bank untuk menambah modal sesuai dengan jumlah tambahan modal yang ditetapkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan;
|
||
|
|
n.
|
membekukan aset milik pengurus Bank, pemegang saham Bank, dan/atau pihak terafiliasinya yang terindikasi melakukan tindakan yang merugikan Bank, baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri;
|
||
|
|
o.
|
mengalihkan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank kepada Bank penerima atau Bank Perantara;
|
||
|
|
p.
|
menjual Bank kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban;
|
||
|
|
q.
|
menjamin pinjaman tertentu dari Bank;
|
||
|
|
r.
|
memberi pinjaman kepada Bank; dan
|
||
|
|
s.
|
melakukan tugas lain yang ditetapkan oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan.
|
||
|
(2)
|
Selain wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk menjalankan Program Restrukturisasi Perbankan, Lembaga Penjamin Simpanan dapat menggunakan seluruh wewenang terkait dengan penanganan Bank sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
(3)
|
Pelaksanaan kewenangan penyelenggaraan Program Restrukturisasi Perbankan terhadap Bank dalam penanganan Program Restrukturisasi Perbankan yang merupakan perseroan terbatas, emiten, atau perusahaan publik dikecualikan dari ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perseroan terbatas, peraturan perundang-undangan mengenai perbankan, dan peraturan perundang-undangan mengenai pasar modal.
|
|||
|
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan dalam penyelenggaraan Program Restrukturisasi Perbankan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
|||
|
|
|
|
|
|
30.
|
Di antara Pasal 42 dan Pasal 43 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 42A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 42A
|
||||
|
Ketentuan mengenai perlakuan perpajakan dalam penyelenggaraan Program Restrukturisasi Perbankan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
||||
|
|
|
|
|
|
31.
|
Di antara Bab IV dan Bab V disisipkan 1 (satu) bab, yakni Bab IVA sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
BAB IVA
SANKSI ADMINISTRATIF |
||||
|
|
|
|
|
|
32.
|
Di antara Pasal 46 dan Pasal 47 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 46A dan Pasal 46B sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 46A
|
||||
|
(1)
|
Bank umum yang melanggar ketentuan kewajiban:
|
|||
|
|
a.
|
penyusunan rencana aksi pemulihan untuk disetujui Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18A ayat (1); dan
|
||
|
|
b.
|
melaksanakan perintah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16C ayat (7),
|
||
|
|
dikenai sanksi administratif oleh Otoritas Jasa Keuangan berupa teguran tertulis, denda administratif, dan/atau bunga.
|
|||
|
(2)
|
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan.
|
|||
|
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 46B
|
||||
|
(1)
|
Bank umum yang melanggar ketentuan kewajiban:
|
|||
|
|
a.
|
penyampaian rencana resolusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18B ayat (1); dan/atau
|
||
|
|
b.
|
penyampaian rencana aksi pemulihan, data dan informasi serta dokumen lainnya yang dibutuhkan dalam rangka penyusunan rencana resolusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18C ayat (3),
|
||
|
|
dikenai sanksi administratif oleh Lembaga Penjamin Simpanan berupa denda.
|
|||
|
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran dan jangka waktu pengenaan serta tata cara pengenaan sanksi administratif untuk pelanggaran kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
33.
|
Di antara Pasal 47 dan Pasal 48 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 47A sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
||||
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 47A
|
||||
|
Bank, anggota direksi, anggota dewan komisaris, pemegang saham, pegawai, dan/atau pihak terafiliasi yang melanggar ketentuan larangan penggunaan penempatan dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20D ayat (1) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB XXII
LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA Pasal 277 |
|||||
Dalam rangka menunjang kebijakan Pemerintah untuk mendorong program ekspor nasional, Undang-Undang ini mengubah dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4957).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 278 |
|||||
Ketentuan Pasal 16 dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4957) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 16
|
|||||
(1)
|
Dalam melakukan kegiatannya, LPEI turut serta dalam sistem pembayaran nasional dan internasional.
|
||||
(2)
|
LPEI dapat menerima devisa hasil ekspor atas transaksi ekspor debitur LPEI dan masuk ke dalam sistem keuangan Indonesia.
|
||||
(3)
|
Devisa hasil ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditampung dalam rekening debitur di LPEI.
|
||||
(4)
|
Kegiatan penerimaan devisa hasil ekspor oleh LPEI tidak dimaksudkan untuk penghimpunan dana.
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB XXIII
SANKSI ADMINISTRATIF Bagian Kesatu Sanksi Administratif Terkait Asuransi Usaha Bersama Pasal 279 |
|||||
(1)
|
Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif kepada Setiap Orang yang melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya.
|
||||
(2)
|
Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 55 ayat (6), ayat (8), dan ayat (9), Pasal 56 ayat (5) dan ayat (6), Pasal 58 ayat (3), Pasal 60 ayat (9), Pasal 61 ayat (2), Pasal 64 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 65 ayat (5), Pasal 67 ayat (2), Pasal 70 ayat (4), Pasal 71 ayat (1), Pasal 75 ayat (2), Pasal 76 ayat (1), Pasal 77 ayat (4) dan ayat (10), Pasal 78 ayat (3), dan Pasal 317 ayat (9) dan ayat (11) dikenai sanksi administratif.
|
||||
(3)
|
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
|
||||
|
a.
|
peringatan tertulis;
|
|||
|
b.
|
penurunan tingkat kesehatan perusahaan;
|
|||
|
c.
|
pembatasan kegiatan usaha, untuk sebagian atau seluruh kegiatan usaha;
|
|||
|
d.
|
larangan untuk memasarkan produk asuransi untuk lini usaha tertentu;
|
|||
|
e.
|
larangan menjadi:
|
|||
|
|
1.
|
pemegang saham, Pengendali, direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan pemegang saham, Pengendali, direksi, dan dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau Usaha Bersama; atau
|
||
|
|
2.
|
Dewan Pengawas Syariah atau menduduki jabatan eksekutif di bawah direksi atau yang setara dengan jabatan eksekutif di bawah direksi pada badan hukum berbentuk koperasi atau Usaha Bersama,
|
||
|
|
pada perusahaan perasuransian;
|
|||
|
f.
|
denda administratif; dan/atau
|
|||
|
g.
|
pencabutan izin usaha.
|
|||
(4)
|
Ketentuan mengenai prosedur dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Sanksi Administratif Terkait Program Penjaminan Polis Pasal 280 |
|||||
(1)
|
Lembaga Penjamin Simpanan berwenang mengenakan sanksi administratif berupa denda administratif kepada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) huruf c dan huruf d.
|
||||
(2)
|
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib memenuhi denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas bulan).
|
||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 281 |
|||||
Lembaga Penjamin Simpanan menyampaikan informasi kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 dan Pasal 280.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Sanksi Administratif Terkait Usaha Jasa Pembiayaan Pasal 282 |
|||||
(1)
|
Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110, Pasal 111 ayat (1), Pasal 112 ayat (2) huruf a, Pasal 116 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 117, Pasal 121 ayat (1), Pasal 122 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 123 ayat (1), Pasal 126 ayat (1), Pasal 127 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 128 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||
|
a.
|
peringatan tertulis;
|
|||
|
b.
|
pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha;
|
|||
|
c.
|
pembatasan kegiatan usaha tertentu;
|
|||
|
d.
|
penurunan hasil penilaian tingkat risiko;
|
|||
|
e.
|
pembatalan persetujuan;
|
|||
|
f.
|
larangan menjadi PSP, direksi, Dewan Pengawas Syariah, dewan komisaris, pengawas, dan/atau pengurus Usaha Jasa Pembiayaan;
|
|||
|
g.
|
denda administratif;
|
|||
|
h.
|
pencabutan izin unit usaha syariah; dan/atau
|
|||
|
i.
|
pencabutan izin usaha.
|
|||
(2)
|
Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberlakukan sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan.
|
||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Sanksi Administratif Terkait Konglomerasi Keuangan Pasal 283 |
|||||
(1)
|
Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 206 ayat (1), Pasal 208 ayat (1), Pasal 209 ayat (1), dan Pasal 210 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||
|
a.
|
peringatan tertulis;
|
|||
|
b.
|
perintah penggantian manajemen;
|
|||
|
c.
|
penilaian kembali kemampuan dan kepatutan;
|
|||
|
d.
|
pembatasan kegiatan usaha Konglomerasi Keuangan;
|
|||
|
e.
|
pengurangan kepemilikan saham pada LJK yang dikendalikan;
|
|||
|
f.
|
denda administratif; dan/atau
|
|||
|
g.
|
pembatalan persetujuan, pendaftaran, dan pengesahan.
|
|||
(2)
|
Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberlakukan sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan.
|
||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Sanksi Administratif Terkait Inovasi Teknologi Sektor Keuangan Pasal 284 |
|||||
(1)
|
Penyelenggara ITSK yang:
|
||||
|
a.
|
telah memperoleh perizinan dari otoritas sektor keuangan terkait yang melakukan kegiatan tidak sesuai dengan perizinannya; dan/atau
|
|||
|
b.
|
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220 ayat (1) dan Pasal 221 ayat (1),
|
|||
|
dikenai sanksi administratif oleh otoritas sektor keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing.
|
||||
(2)
|
Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
||||
|
a.
|
peringatan tertulis;
|
|||
|
b.
|
penurunan tingkat kesehatan;
|
|||
|
c.
|
penghentian sementara, sebagian, atau seluruh kegiatan termasuk pelaksanaan kerja sama;
|
|||
|
d.
|
denda administratif;
|
|||
|
e.
|
pembatalan persetujuan;
|
|||
|
f.
|
pembatalan pendaftaran;
|
|||
|
g.
|
pemberhentian dan/atau penggantian pengurus;
|
|||
|
h.
|
pencantuman anggota pengurus, pegawai, pemegang saham dalam daftar orang tercela di sektor keuangan; dan/atau
|
|||
|
i.
|
pencabutan izin.
|
|||
(3)
|
Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan.
|
||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, kriteria, dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam peraturan otoritas sektor keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
Sanksi Administratif Terkait Pelindungan Konsumen Pasal 285 |
|||||
(1)
|
Otoritas sektor keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif kepada PUSK yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya.
|
||||
(2)
|
PUSK yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 ayat (1), Pasal 227, Pasal 236 ayat (3) huruf a, huruf b, huruf d, huruf e, huruf j, huruf k, huruf n, atau huruf o, atau ayat (4) huruf c atau huruf g, Pasal 239 ayat (1), Pasal 242, atau Pasal 246 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||
|
a.
|
peringatan tertulis;
|
|||
|
b.
|
pembatasan produk dan/atau layanan dan/atau kegiatan usaha untuk sebagian atau seluruhnya;
|
|||
|
c.
|
pembekuan produk dan/atau layanan dan/atau kegiatan usaha untuk sebagian atau seluruhnya;
|
|||
|
d.
|
pemberhentian pengurus;
|
|||
|
e.
|
denda administratif;
|
|||
|
f.
|
pencabutan izin produk dan/atau layanan; dan/atau
|
|||
|
g.
|
pencabutan izin usaha.
|
|||
(3)
|
Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan dan batas pemenuhan dalam jangka waktu tertentu.
|
||||
(4)
|
Dalam hal sanksi administratif untuk pelanggaran Pasal 236 ayat (3) huruf a, huruf b, huruf d, huruf e, huruf j, huruf k, huruf n, atau huruf o, atau ayat (4) huruf c atau huruf g tidak dipenuhi, PUSK dapat dikenakan sanksi pidana.
|
||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan dan batas pemenuhan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan dan Peraturan Bank Indonesia sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketujuh
Sanksi Administratif Terkait Sumber Daya Manusia Pasal 286 |
|||||
PUSK, Pelaku Profesi Sektor Keuangan, Asosiasi Profesi, dan/atau Lembaga Sertifikasi Profesi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 252 ayat (3), Pasal 255, Pasal 258, Pasal 259 ayat (2) dan ayat (5), Pasal 260 ayat (3), Pasal 261 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 262, Pasal 266, Pasal 267, Pasal 268, serta Pasal 271 ayat (2) dan ayat (7) dikenai sanksi administratif oleh menteri, lembaga, atau otoritas terkait sesuai dengan kewenangan masing-masing.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
BAB XXIV
KETENTUAN PIDANA Bagian Kesatu Ketentuan Pidana Terkait Pasar Uang dan Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing Pasal 287 |
|||||
(1)
|
Setiap Orang yang menerbitkan instrumen Pasar Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) untuk diperdagangkan di pasar sekunder tanpa izin dari Bank Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
|
||||
(2)
|
Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh korporasi atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya, penjatuhan pidana terhadap badan dilakukan baik kepada yang memberi perintah melakukan perbuatan itu maupun kepada yang bertindak sebagai pengurus dalam perbuatan itu atau terhadap keduanya.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 288 |
|||||
(1)
|
Setiap Orang yang melakukan kegiatan usaha penukaran valuta asing tanpa win dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
|
||||
(2)
|
Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh korporasi atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya, penjatuhan pidana terhadap badan dilakukan baik kepada yang memberi perintah melakukan perbuatan itu maupun kepada yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap keduanya.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Ketentuan Pidana Terkait Kegiatan Badan Pengelola Instrumen Keuangan (Special Purpose Vehicle) dan/atau Pengelola Dana Perwalian (Trustee) Pasal 289 |
|||||
Pemegang saham, anggota direksi, anggota dewan komisaris, pegawai/pejabat dari pengelola dana perwalian (trustee), dan pihak yang bertindak untuk dan atas nama pengelola dana perwalian (trustee) yang tidak menjaga kerahasiaan data dan transaksi pemilik aset dan penerima manfaat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menjaga tata kelola yang baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling banyak 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 290 |
|||||
Badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) yang dengan sengaja:
|
|||||
a.
|
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3); dan/atau
|
||||
b.
|
tidak melaksanakan langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (4),
|
||||
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 291 |
|||||
Pemegang saham badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 292 |
|||||
Badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (6) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 293 |
|||||
(1)
|
Tindak pidana yang dilakukan oleh badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) sebagai korporasi atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya, tuntutan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap:
|
||||
|
a.
|
badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) sebagai badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya; dan/atau
|
|||
|
b.
|
orang perseorangan yang memberi perintah untuk melakukan dan/atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam tindak pidana dimaksud.
|
|||
(2)
|
Terhadap badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) sebagai badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah).
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Ketentuan Pidana Terkait Program Penjaminan Polis Pasal 294 |
|||||
(1)
|
Anggota direksi, anggota dewan komisaris, dan/atau pemegang saham, atau yang setara dengan anggota direksi, anggota dewan komisaris, dan/atau pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi atau Usaha Bersama, serta Pengendali atau pegawai Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, atau huruf f, atau Pasal 280 ayat (2) dan/atau menyebabkan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, atau huruf f, atau Pasal 280 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
|
||||
(2)
|
Anggota direksi, anggota dewan komisaris, dan/atau pemegang saham atau yang setara dengan anggota direksi, anggota dewan komisaris, dan/atau pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi atau Usaha Bersama, serta Pengendali atau pegawai Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang menyebabkan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) huruf c dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 295 |
|||||
Anggota direksi, anggota dewan komisaris, dan/atau pemegang saham, atau yang setara dengan anggota direksi, anggota dewan komisaris, dan/atau pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi atau Usaha Bersama, serta Pengendali, pegawai, atau mantan pegawai Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dalam likuidasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 296 |
|||||
Setiap Orang yang memberikan dokumen, data, informasi, dan/atau laporan yang berkaitan dengan penjaminan polis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) huruf a, huruf d, atau huruf e, atau Pasal 89 ayat (2) yang tidak benar, palsu, dan/atau menyesatkan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 297 |
|||||
Setiap Orang yang menolak memberikan data, informasi, dan/atau dokumen kepada Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Ketentuan Pidana Terkait Usaha Jasa Pembiayaan Pasal 298 |
|||||
(1)
|
Setiap Orang yang menjalankan usaha tanpa izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
|
||||
(2)
|
Dalam hal kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, selain dipidana dengan pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku juga dipidana dengan pidana tambahan berupa penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang.
|
||||
(3)
|
Pidana tambahan berupa penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan kepada pihak yang dirugikan.
|
||||
(4)
|
Penggantian kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dapat berupa:
|
||||
|
a.
|
sejumlah kerugian yang diderita; atau
|
|||
|
b.
|
secara proporsional dalam hal jumlah penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan tidak mencukupi jumlah total kerugian yang ditimbulkan.
|
|||
(5)
|
Dalam melaksanakan putusan pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pidana tambahan berupa ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terpidana diberikan jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
|
||||
(6)
|
Dalam hal terdapat alasan kuat termasuk proses pelepasan aset transaksi jual beli dan pengalihan hak, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan.
|
||||
(7)
|
Dalam hal terpidana tidak membayar pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau pidana tambahan berupa ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harta benda terpidana disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi denda dan ganti kerugian.
|
||||
(8)
|
Dalam hal penyitaan dan pelelangan harta benda sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak cukup atau tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, pidana denda dan pidana tambahan berupa ganti kerugian yang tidak dibayar diganti dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun.
|
||||
(9)
|
Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas atau koperasi, penjatuhan pidana dilakukan terhadap badan hukum, pihak yang memberi perintah melakukan perbuatan itu dan/atau yang memimpin perbuatan itu.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 299 |
|||||
(1)
|
Anggota dewan komisaris, anggota pengawas, anggota direksi, anggota pengurus, pengelola, pegawai, dan/atau pihak terafiliasi penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan yang:
|
||||
|
a.
|
membuat pencatatan palsu dalam pembukuan atau laporan keuangan dan/atau tanpa didukung dengan dokumen yang sah;
|
|||
|
b.
|
menghilangkan atau tidak memasukkan informasi yang benar dalam laporan kegiatan usaha dan laporan keuangan; dan/atau
|
|||
|
c.
|
mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, dan/atau menghilangkan suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan keuangan, dan dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha,
|
|||
|
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
|
||||
(2)
|
Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, selain dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku juga dipidana dengan pidana tambahan berupa penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang.
|
||||
(3)
|
Pidana tambahan berupa penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan kepada pihak yang dirugikan.
|
||||
(4)
|
Penggantian kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa:
|
||||
|
a.
|
sejumlah kerugian yang diderita; atau
|
|||
|
b.
|
secara proporsional dalam hal jumlah penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan tidak mencukupi jumlah total kerugian yang ditimbulkan.
|
|||
(5)
|
Dalam melaksanakan putusan pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pidana tambahan berupa ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terpidana diberikan jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
|
||||
(6)
|
Dalam hal terdapat alasan kuat termasuk proses pelepasan aset transaksi jual beli dan pengalihan hak, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan.
|
||||
(7)
|
Dalam hal terpidana tidak membayar pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau pidana tambahan berupa ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harta benda terpidana disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi denda dan ganti kerugian.
|
||||
(8)
|
Dalam hal penyitaan dan pelelangan harta benda sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak cukup atau tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, pidana denda dan pidana tambahan berupa ganti kerugian yang tidak dibayar diganti dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 300 |
|||||
(1)
|
Anggota dewan komisaris, anggota pengawas, anggota direksi, anggota pengurus, pengelola, pegawai, dan/atau pihak terafiliasi penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan yang:
|
||||
|
a.
|
meminta atau menerima suatu imbalan di luar biaya resmi, berupa uang atau barang untuk keuntungan pribadi atau keluarganya;
|
|||
|
b.
|
menjadikan orang lain mendapatkan uang muka atau fasilitas pembiayaan dari Usaha Jasa Pembiayaan;
|
|||
|
c.
|
memberikan atau menyebabkan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas pembiayaan pada Usaha Jasa Pembiayaan; dan/atau
|
|||
|
d.
|
tidak melaksanakan langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Usaha Jasa Pembiayaan terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi Usaha Jasa Pembiayaan,
|
|||
|
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
|
||||
(2)
|
Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, selain dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku juga dipidana dengan pidana tambahan berupa penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang.
|
||||
(3)
|
Pidana tambahan berupa penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan kepada pihak yang dirugikan.
|
||||
(4)
|
Penggantian kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa:
|
||||
|
a.
|
sejumlah kerugian yang diderita; atau
|
|||
|
b.
|
secara proporsional dalam hal jumlah penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan tidak mencukupi jumlah total kerugian yang ditimbulkan.
|
|||
(5)
|
Dalam melaksanakan putusan pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pidana tambahan berupa ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terpidana diberikan jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
|
||||
(6)
|
Dalam hal terdapat alasan kuat termasuk proses pelepasan aset transaksi jual beli dan pengalihan hak, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan.
|
||||
(7)
|
Dalam hal terpidana tidak membayar pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau pidana tambahan berupa ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harta benda terpidana disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi denda dan ganti kerugian.
|
||||
(8)
|
Dalam hal penyitaan dan pelelangan harta benda sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak cukup atau tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, pidana denda dan pidana tambahan berupa ganti kerugian yang tidak dibayar diganti dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 301 |
|||||
(1)
|
Pemegang saham dan/atau pihak terafiliasi Usaha Jasa Pembiayaan yang menyuruh anggota dewan komisaris, anggota pengawas, anggota direksi, anggota pengurus, pengelola, pegawai penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan, dan/atau pihak terafiliasi lainnya untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan Usaha Jasa Pembiayaan tidak melaksanakan langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Usaha Jasa Pembiayaan terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya bagi Usaha Jasa Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
|
||||
(2)
|
Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, selain dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku juga dipidana dengan pidana tambahan berupa penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang.
|
||||
(3)
|
Pidana tambahan berupa penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan kepada pihak yang dirugikan.
|
||||
(4)
|
Penggantian kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa:
|
||||
|
a.
|
sejumlah kerugian yang diderita; atau
|
|||
|
b.
|
secara proporsional dalam hal jumlah penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan tidak mencukupi jumlah total kerugian yang ditimbulkan.
|
|||
(5)
|
Dalam melaksanakan putusan pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau pidana tambahan berupa ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terpidana diberikan jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
|
||||
(6)
|
Dalam hal terdapat alasan kuat termasuk proses pelepasan aset transaksi jual beli dan pengalihan hak, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan.
|
||||
(7)
|
Dalam hal terpidana tidak membayar pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau pidana tambahan berupa ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harta benda terpidana disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi denda dan ganti kerugian.
|
||||
(8)
|
Dalam hal penyitaan dan pelelangan harta benda sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak cukup atau tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, pidana denda dan pidana tambahan berupa ganti kerugian yang tidak dibayar diganti dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 302 |
|||||
(1)
|
Anggota dewan komisaris, anggota pengawas, anggota direksi, anggota pengurus, pengelola, pegawai, dan/atau pihak terafiliasi penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan yang memberikan laporan, informasi, data, dan/atau dokumen kepada Otoritas Jasa Keuangan secara tidak benar, palsu, dan/atau menyesatkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (2) huruf e dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
|
||||
(2)
|
Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, selain dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku juga dipidana dengan pidana tambahan berupa penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang.
|
||||
(3)
|
Pidana tambahan berupa penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan kepada pihak yang dirugikan.
|
||||
(4)
|
Penggantian kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa:
|
||||
|
a.
|
sejumlah kerugian yang diderita; atau
|
|||
|
b.
|
secara proporsional dalam hal jumlah penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan tidak mencukupi jumlah total kerugian yang ditimbulkan.
|
|||
(5)
|
Dalam melaksanakan putusan pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau pidana tambahan berupa ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terpidana diberikan jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
|
||||
(6)
|
Dalam hal terdapat alasan kuat termasuk proses pelepasan aset transaksi jual beli dan pengalihan hak, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan.
|
||||
(7)
|
Dalam hal terpidana tidak membayar pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau pidana tambahan berupa ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harta benda terpidana disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi denda dan ganti kerugian.
|
||||
(8)
|
Dalam hal penyitaan dan pelelangan harta benda sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak cukup atau tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, pidana denda dan pidana tambahan berupa ganti kerugian yang tidak dibayar diganti dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Ketentuan Pidana Terkait Kegiatan Usaha Bulion (Bullion) Pasal 303 |
|||||
LJK yang menjalankan kegiatan usaha bulion (bullion) tanpa izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000.000,00 (enam ratus miliar rupiah).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
Ketentuan Pidana Terkait Inovasi Teknologi Sektor Keuangan Pasal 304 |
|||||
Setiap Orang yang melanggar ketentuan perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah).
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketujuh
Ketentuan Pidana Terkait Pelindungan Konsumen Pasal 305 |
|||||
(1)
|
Setiap Orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 237 diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah).
|
||||
(2)
|
Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, penjatuhan pidana dilakukan terhadap badan hukum, pihak yang memberi perintah melakukan perbuatan itu, dan/atau yang memimpin perbuatan itu.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 306 |
|||||
(1)
|
PUSK yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 236 ayat (3) huruf c, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, huruf l, atau huruf m, atau ayat (4) huruf a, huruf b, huruf d, huruf e, atau huruf f, atau Pasal 238 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh miliar rupiah).
|
||||
(2)
|
Dalam hal sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 ayat (4) tidak dilaksanakan pada batas pemenuhan jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 ayat (5), PUSK dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh miliar rupiah).
|
||||
|
|
|
|
|
|
BAB XXV
KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 307 |
|||||
Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan, Pemerintah dapat memberikan perlakuan dan/atau insentif perpajakan atas penyelenggaraan jasa keuangan tertentu dan/atau program tertentu berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
BAB XXVI
KETENTUAN PERALIHAN Bagian Kesatu Ketentuan Peralihan Terkait Kelembagaan Sektor Keuangan Pasal 308 |
|||||
(1)
|
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, berdasarkan Undang-Undang ini:
|
||||
|
a.
|
Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan ditetapkan menjadi Wakil Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan; dan
|
|||
|
b.
|
anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan selain Ketua Dewan Komisioner dan Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan ditetapkan menjadi anggota Dewan Komisioner yang membidangi Penjaminan dan resolusi Bank.
|
|||
(2)
|
Masa jabatan:
|
||||
|
a.
|
Wakil Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a melanjutkan sisa masa jabatan sebagai Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan; dan
|
|||
|
b.
|
anggota Dewan Komisioner yang membidangi Penjaminan dan resolusi Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b melanjutkan sisa masa jabatan sebagai anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan.
|
|||
|
|
|
|
|
|
Pasal 309 |
|||||
Wakil Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan menjalankan tugas dan wewenang sebagai Kepala Eksekutif sampai dengan ditetapkannya Peraturan Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (5) dalam Pasal 7 angka 37 Undang-Undang ini.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 310 |
|||||
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
|
|||||
a.
|
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya berdasarkan Undang-Undang ini ditetapkan menjadi Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun.
|
||||
b.
|
Masa jabatan Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam huruf a melanjutkan sisa masa jabatan sebagai Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 311 |
|||||
Sampai dengan diangkat dan ditetapkannya pejabat definitif:
|
|||||
a.
|
Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya; dan
|
||||
b.
|
Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital dan Aset Kripto,
|
||||
tugas dan wewenangnya dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 312 |
|||||
(1)
|
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, peralihan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan:
|
||||
|
a.
|
aset keuangan digital sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b dan huruf e dalam Pasal 8 Angka 4 Undang-Undang ini; dan
|
|||
|
b.
|
komoditi yang termasuk instrumen keuangan yang dijadikan subjek kontrak berjangka, kontrak derivatif syariah, dan/atau kontrak derivatif lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3A dalam Pasal 20 Undang-Undang ini,
|
|||
|
dari badan pengawas perdagangan berjangka komoditi kepada otoritas sektor keuangan harus diselesaikan secara penuh paling lambat 24 (dua puluh empat) bulan.
|
||||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai peralihan tugas pengaturan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dalam Peraturan Pemerintah yang harus ditetapkan paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 313 |
|||||
Anggota Badan Supervisi Bank Indonesia yang telah diangkat dan ditetapkan sebelum Undang-Undang ini diundangkan, tetap menjalankan tugas dan wewenangnya sampai dengan masa jabatannya berakhir.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Ketentuan Peralihan Terkait Perbankan dan Perbankan Syariah Pasal 314 |
|||||
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
|
|||||
a.
|
Nomenklatur "Bank Perkreditan Rakyat" yang telah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku dimaknai sama dengan "Bank Perekonomian Rakyat" sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
|
||||
b.
|
Nomenklatur "Bank Pembiayaan Rakyat Syariah" yang telah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku dimaknai sama dengan "Bank Perekonomian Rakyat Syariah" sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
|
||||
c.
|
Perubahan nomenklatur "Bank Perkreditan Rakyat" menjadi "Bank Perekonomian Rakyat" dan "Bank Pembiayaan Rakyat Syariah" menjadi "Bank Perekonomian Rakyat Syariah" dilakukan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
|
||||
d.
|
Bank Perkreditan Rakyat yang berbentuk badan hukum selain perseroan terbatas atau koperasi yang telah ada berdasarkan peraturan perundang-undangan sebelum berlakunya Undang-Undang ini masih tetap dapat melakukan kegiatan usaha sebagai Bank Perkreditan Rakyat dan diberikan kesempatan paling lama 3 (tiga) tahun untuk melakukan perubahan bentuk badan hukum sesuai dengan Undang-Undang ini.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Ketentuan Peralihan Terkait Pasar Modal Pasal 315 |
|||||
(1)
|
Setiap Pihak yang telah memiliki saham dan/atau melakukan tindakan pengendalian pada lebih dari 1 (satu) perusahaan efek berdasarkan undang-undang mengenai pasar modal wajib menyesuaikan dengan Undang-Undang ini paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
|
||||
(2)
|
Perusahaan efek yang telah memperoleh izin usaha untuk melakukan kegiatan sebagai penjamin emisi efek dan/atau perantara pedagang efek, atau manajer investasi sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan Undang-Undang ini dengan memisahkan kegiatan usahanya sebagai manajer investasi paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 316 |
|||||
Perusahaan efek yang sebelum berlakunya Undang-Undang ini dalam proses pencabutan izin usaha bukan karena pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan tidak wajib melakukan pembubaran perseroan sepanjang dalam jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak berlakunya Undang-Undang ini perusahaan efek mengubah anggaran dasar yang berkaitan dengan nama dan kegiatan usaha perusahaan efek.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Ketentuan Peralihan Terkait Asuransi Usaha Bersama Pasal 317 |
|||||
(1)
|
Polis asuransi yang dimiliki oleh pemegang polis sebelum berlakunya Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam polis asuransi.
|
||||
(2)
|
Perpanjangan atas polis asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan setelah berlakunya Undang Undang ini harus mengikuti ketentuan Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya.
|
||||
(3)
|
Anggaran dasar Usaha Bersama yang telah ada sebelum diundangkannya Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya.
|
||||
(4)
|
Izin usaha dari Usaha Bersama yang telah ada sebelum diundangkannya Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku.
|
||||
(5)
|
Badan Perwakilan Anggota Usaha Bersama yang telah ada pada saat Undang-Undang ini diundangkan, dinyatakan sebagai RUA dan memiliki tugas serta kewenangan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya.
|
||||
(6)
|
Anggota Badan Perwakilan Anggota Usaha Bersama yang telah ada pada saat Undang-Undang ini diundangkan, dinyatakan sebagai peserta RUA.
|
||||
(7)
|
Peserta RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (6) memiliki masa tugas paling lama sampai dengan berakhirnya periode masa tugas Anggota Badan Perwakilan Anggota Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
|
||||
(8)
|
Peserta RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (7) memiliki hak, larangan, dan kewajiban sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
|
||||
(9)
|
Usaha Bersama wajib menyelenggarakan RUA untuk menetapkan penyesuaian anggaran dasar sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya.
|
||||
(10)
|
Ketentuan anggaran dasar Usaha Bersama yang bertentangan dengan Undang-Undang ini dinyatakan tidak berlaku dan berlaku ketentuan dalam Undang-Undang ini.
|
||||
(11)
|
Kewajiban penyelenggaraan RUA untuk menetapkan penyesuaian anggaran dasar sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini sebagaimana dimaksud pada ayat (9) wajib dilakukan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Ketentuan Peralihan Terkait Usaha Jasa Pembiayaan Pasal 318 |
|||||
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
|
|||||
a.
|
Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan yang telah mendapatkan izin usaha sebelum berlakunya Undang Undang ini, dinyatakan telah memperoleh izin usaha berdasarkan Undang-Undang ini; dan
|
||||
b.
|
Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a wajib menyesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 319 |
|||||
Setiap Orang di luar penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan yang telah melakukan kegiatan Usaha Jasa Pembiayaan sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang ini dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Keenam
Ketentuan Peralihan Terkait Dana Pensiun, Program Jaminan Hari Tua, dan Program Pensiun Pasal 320 |
|||||
(1)
|
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, bagi semua Dana Pensiun yang telah mendapatkan pengesahan dari Otoritas Jasa Keuangan, pengesahan dari Otoritas Jasa Keuangan tersebut dinyatakan tetap berlaku.
|
||||
(2)
|
Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menyelenggarakan Program Pensiun yang menjanjikan pembayaran uang secara sekaligus bagi peserta Program Pensiun sebelum 20 April 1992, tetap dapat melanjutkan program tersebut sampai selesainya seluruh kewajiban kepada karyawan yang telah menjadi peserta Program Pensiun pada tanggal 20 April 1992.
|
||||
(3)
|
Pelaksana tugas Pengurus pada Dana Pensiun Lembaga Keuangan menjadi Pengurus Dana Pensiun Lembaga Keuangan dan dewan komisaris dari Pendiri Dana Pensiun Lembaga Keuangan bertindak sebagai Dewan Pengawas Dana Pensiun Lembaga Keuangan sampai dengan jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
|
||||
(4)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146, berlaku untuk Setiap Orang yang mulai menjadi Peserta Dana Pensiun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
|
||||
(5)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (3) diterapkan oleh Dana Pensiun Lembaga Keuangan paling lambat 5 (lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
|
||||
(6)
|
Bagi Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang telah mengatur adanya penarikan sejumlah dana tertentu oleh peserta Program Pensiun di dalam Peraturan Dana Pensiun, penarikan dana tersebut dapat dilakukan paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagran Ketujuh
Ketentuan Peralihan Terkait Koperasi di Sektor Jasa Keuangan Pasal 321 |
|||||
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
|
|||||
a.
|
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koperasi harus melakukan penilaian sesuai kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) dalam Pasal 202 Undang-Undang ini;
|
||||
b.
|
penilaian sebagaimana dimaksud dalam huruf a harus diselesaikan paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan;
|
||||
c.
|
koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) dalam Pasal 202 Undang-Undang ini wajib melaporkan kegiatan usahanya kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koperasi;
|
||||
d.
|
penyelenggaraan penilaian sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang dilakukan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koperasi dapat dibantu oleh Pemerintah Daerah provinsi atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota;
|
||||
e.
|
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koperasi menyerahkan daftar koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) dalam Pasal 202 Undang-Undang ini kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk dapat ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan undang-undang mengenai sektor jasa keuangan;
|
||||
f.
|
Otoritas Jasa Keuangan memproses perizinan usaha yang diajukan oleh koperasi yang tercantum dalam daftar sebagaimana dimaksud dalam huruf e paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak daftar koperasi diterima sepanjang telah memenuhi ketentuan peraturan perundang undangan mengenai sektor jasa keuangan; dan
|
||||
g.
|
sebelum Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan izin sebagaimana dimaksud dalam huruf f, izin usaha koperasi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam huruf e tetap berlaku dan pengawasan dilakukan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koperasi atau Pemerintah Daerah provinsi atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan undang-undang mengenai perkoperasian.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kedelapan
Ketentuan Peralihan Terkait Lembaga Keuangan Mikro Pasal 322 |
|||||
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
|
|||||
a.
|
LKM yang telah mendapatkan izin usaha sebelum berlakunya Undang-Undang ini, dinyatakan telah memperoleh izin usaha berdasarkan Undang-Undang ini;
|
||||
b.
|
LKM sebagaimana dimaksud dalam huruf a wajib menyesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan;
|
||||
c.
|
LKM yang menghimpun dana masyarakat dan belum memiliki izin usaha harus mengajukan izin usaha kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagai LKM skala usaha kecil, menengah atau besar paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan; dan
|
||||
d.
|
LKM yang tidak menghimpun dana masyarakat dan belum memiliki izin usaha harus melakukan pendaftaran kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota sebagai LKM inkubasi paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kesembilan
Ketentuan Peralihan Terkait Literasi Keuangan, Inklusi Keuangan, dan Pelindungan Konsumen Pasal 323 |
|||||
Kewajiban PUSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (1) dilaksanakan oleh PUSK dengan kriteria tertentu paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kesepuluh
Ketentuan Peralihan Terkait Sumber Daya Manusia Pasal 324 |
|||||
Ketentuan mengenai pelaporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 271 ayat (1) dilakukan oleh PUSK dan pihak yang melakukan interaksi bisnis dengan sektor keuangan dilaksanakan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Bagian Kesebelas
Ketentuan Peralihan Terkait Stabilitas Sistem Keuangan Pasal 325 |
|||||
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Bank yang status pengawasannya sebagai Bank dalam pengawasan intensif atau Bank dalam pengawasan khusus diubah status pengawasannya dan dinyatakan sebagai Bank dalam penyehatan oleh Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan Undang-Undang ini.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
BAB XXVII
KETENTUAN PENUTUP Pasal 326 |
|||||
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari:
|
|||||
a.
|
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841);
|
||||
b.
|
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477);
|
||||
c.
|
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841);
|
||||
d.
|
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608);
|
||||
e.
|
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3720) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5232);
|
||||
f.
|
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir· dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
|
||||
g.
|
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4236);
|
||||
h.
|
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4963);
|
||||
i.
|
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841);
|
||||
j.
|
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841);
|
||||
k.
|
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4957);
|
||||
l.
|
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223);
|
||||
m.
|
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
|
||||
n.
|
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5394);
|
||||
o.
|
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618);
|
||||
p.
|
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5835); dan
|
||||
q.
|
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5872),
|
||||
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 327 |
|||||
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, ketentuan mengenai:
|
|||||
a.
|
permohonan kepailitan bagi Bank, Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, dan Dana Pensiun sebagaimana diatur dalam Pasal 2; dan
|
||||
b.
|
penundaan kewajiban pembayaran utang bagi Bank, Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, dan Dana Pensiun sebagaimana diatur dalam Pasal 223,
|
||||
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 131, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4443) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 328 |
|||||
Pada saat program penjaminan polis mulai dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang ini, ketentuan mengenai likuidasi dalam Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47 , Pasal 48, Pasal 49, dan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 201.4 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618) tidak berlaku bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang menjadi peserta program penjaminan polis.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 329 |
|||||
Penyelenggaraan program penjaminan polis mulai berlaku 5 (lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 330 |
|||||
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 331 |
|||||
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan;
|
|||||
a.
|
Usaha Jasa Pembiayaan;
|
||||
b.
|
Pelindungan Konsumen di sektor keuangan;
|
||||
c.
|
ITSK;
|
||||
d.
|
sumber daya manusia, profesi, tata kelola yang baik dan pelaporan keuangan di sektor keuangan; dan
|
||||
e.
|
asuransi Usaha Bersama,
|
||||
dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 332 |
|||||
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, rencana resolusi bank umum yang telah disampaikan kepada Lembaga Penjamin Simpanan sebelum Undang-Undang ini berlaku dinyatakan telah memenuhi ketentuan Undang-Undang ini dan selanjutnya penyampaian rencana resolusi mengikuti ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 333 |
|||||
(1)
|
Untuk pertama kali, salah satu anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) huruf d dalam Pasal 7 angka 39 Undang-Undang ini diangkat dan ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sebelum program penjaminan polis dimulai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 329.
|
||||
(2)
|
Pengangkatan dan penetapan anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengikuti ketentuan mengenai pengangkatan dan penetapan anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan yang berakhir masa jabatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 dalam Pasal 7 angka 39 Undang-Undang ini.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 334 |
|||||
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, dalam undang undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan dan peraturan pelaksanaannya, pelaksanaan tugas dan wewenang serta penyebutan:
|
|||||
a.
|
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya menjadi:
|
||||
|
1.
|
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun; dan
|
|||
|
2.
|
Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya;
|
|||
b.
|
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal menjadi Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon; dan
|
||||
c.
|
anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan yang membidangi edukasi dan Pelindungan Konsumen menjadi Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 335 |
|||||
(1)
|
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, berdasarkan Undang-Undang ini, masa jabatan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dan anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan yang membidangi edukasi dan Pelindungan Konsumen periode tahun 2022-2027 ditetapkan masa jabatannya menjadi 6 (enam) tahun terhitung sejak diangkat dan ditetapkan.
|
||||
(2)
|
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, untuk pertama kali, pengangkatan dan penetapan:
|
||||
|
a.
|
Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya merangkap anggota; dan
|
|||
|
b.
|
Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital dan Aset Kripto merangkap anggota,
|
|||
|
dilakukan paling lambat 7 (tujuh) bulan terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 336 |
|||||
Anggota Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 898 dalam Pasal 7 angka 61 Undang-Undang ini dan Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38B dalam Pasal 8 angka 19 Undang-Undang ini ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 337 |
|||||
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
|
|||||
a.
|
semua istilah "LPS" yang sudah ada sebelum Undang Undang ini berlaku harus dimaknai sebagai istilah "Lembaga Penjamin Simpanan" sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini;
|
||||
b.
|
semua istilah "Lembaga Pengawas Perbankan" dan "OJK" yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku harus dimaknai sebagai istilah "Otoritas Jasa Keuangan" sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini;
|
||||
c.
|
semua istilah "Bank Gagal" dan "Bank yang mengalami kesulitan keuangan dan membahayakan kelangsungan usahanya serta dinyatakan tidak dapat lagi disehatkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan wewenang yang dimilikinya" yang sudah ada sebelum Undang Undang ini berlaku diganti menjadi "Bank dalam resolusi";
|
||||
d.
|
semua istilah "Bank Gagal yang Berdampak Sistemik" yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku diganti menjadi "Bank Sistemik yang ditetapkan sebagai Bank dalam resolusi";
|
||||
e.
|
semua istilah "Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik" yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku diganti menjadi "Bank selain Bank Sistemik yang ditetapkan sebagai Bank dalam resolusi";
|
||||
f.
|
semua istilah "Lembaga Jasa Keuangan" yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku harus dimaknai sebagai istilah "LJK" sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini;
|
||||
g.
|
semua istilah "Sistem Keuangan" yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku termasuk dalam undang undang mengenai pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan harus dimaknai sebagai istilah "Sistem Keuangan" sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini; dan
|
||||
h.
|
semua istilah "Majelis Ulama Indonesia" yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku dalam perundang undangan di sektor keuangan dibaca sebagai "lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah".
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 338 |
|||||
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan "Bank Perkreditan Rakyat" dan "Bank Pembiayaan Rakyat Syariah" dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 339 |
|||||
(1)
|
Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
|
||||
(2)
|
Peraturan Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (5) dalam Pasal 7 angka 37 Undang-Undang ini ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 340 |
|||||
(1)
|
Pemantauan dan peninjauan terhadap Undang-Undang ini dilakukan setelah Undang-Undang ini diundangkan.
|
||||
(2)
|
Pemantauan dan peninjauan terhadap Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah.
|
||||
(3)
|
Pemantauan dan peninjauan terhadap Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan yang khusus menangani bidang legislasi.
|
||||
|
|
|
|
|
|
Pasal 341 |
|||||
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
|
|||||
|
|
|
|
|
|
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 12 Januari 2023 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 12 Januari 2023 MENTERI SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd. PRATIKNO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2023 NOMOR 4 |
|||||
PENJELASANATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2023
TENTANG
PENGEMBANGAN DAN PENGUATAN SEKTOR KEUANGAN
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
I.
|
UMUM
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Reformasi di sektor keuangan memiliki urgensi yang tinggi dalam meningkatkan peranan intermediasi sektor keuangan, serta memperkuat resiliensi sistem keuangan nasional. Sektor keuangan yang dalam, inovatif, efisien, inklusif, dapat dipercaya, kuat, dan stabil akan mendukung pertumbuhan ekonomi yang kuat, seimbang, inklusif, dan berkesinambungan yang sangat diperlukan dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Saat ini sektor keuangan Indonesia masih mengalami banyak permasalahan fundamental. Proporsi aset di sektor keuangan nasional belum cukup merata. Sektor perbankan yang merupakan salah satu sumber pembiayaan jangka pendek masih sangat dominan dibandingkan dengan sektor keuangan yang lain. Porsi aset di industri keuangan nonbank yang merupakan sumber dana jangka panjang yang diharapkan dapat mendukung pembiayaan pembangunan, relatif masih kecil. Kondisi ini mengindikasikan bahwa penghimpunan dana oleh industri keuangan relatif masih terbatas, sedangkan potensi pendalaman pasar keuangan nasional masih cukup besar. Di sektor perbankan, permasalahan fundamental tercermin antara lain dari tingginya tingkat bunga pinjaman, serta ketimpangan jumlah rekening dan simpanan antara nasabah kecil dan besar. Permasalahan juga tercermin dari rendahnya kapitalisasi pasar saham dan obligasi nasional dibandingkan negara lain, serta terbatasnya instrumen keuangan untuk investasi dan pengelolaan risiko (hedging) khususnya untuk produk keuangan yang bersifat kompleks dan berisiko tinggi (high risk). Di sisi lain, sektor keuangan Indonesia juga menghadapi tantangan dari munculnya instrumen keuangan yang kompleks dan berisiko tinggi seperti kripto serta penilaian tata kelola dan penegakan hukum sektor keuangan dalam berbagai asesmen terkini juga rendah. Selain permasalahan fundamental, sektor keuangan juga menghadapi berbagai tantangan dari luar seperti disrupsi teknologi serta munculnya risiko keuangan baru yang terkait dengan perubahan iklim dan situasi geopolitik. Sumber daya manusia di sektor keuangan juga masih mengalami ketertinggalan, baik dari kuantitas maupun kualitas. Dengan sejumlah permasalahan dan tantangan tersebut, diperlukan suatu reformasi di sektor keuangan. Reformasi sektor keuangan ini diharapkan dapat memperdalam dan meningkatkan efisiensi sektor keuangan Indonesia, melalui upaya perluasan jangkauan, produk, dan basis investor, promosi investasi jangka panjang, peningkatan kompetisi untuk mendukung efisiensi, penguatan mitigasi risiko, serta peningkatan pelindungan investor dan Konsumen. Reformasi di sektor keuangan ini adalah lanjutan dari reformasi secara menyeluruh seperti di sektor riil melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, di bidang perpajakan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, serta di bidang perimbangan keuangan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dari sisi regulasi, kerangka hukum pengaturan mengenai sektor keuangan tersebar dalam berbagai Undang-Undang yang di antaranya telah berusia cukup lama sehingga belum optimal dalam mengakomodir pengaturan dan pengawasan terhadap aktivitas, produk, dan perkembangan industri keuangan terkini yang terus mengalami perkembangan yang cepat dan pesat. Dengan demikian, untuk mewujudkan upaya-upaya reformasi sektor keuangan secara utuh, dibutuhkan landasan hukum yang sesuai dengan perkembangan industri keuangan terkini melalui pembenahan peraturan perundang-undangan yang dilakukan secara menyeluruh dan terintegrasi dalam 1 (satu) undang-undang mengenai sektor keuangan dengan menggunakan metode omnibus melalui Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. Undang-Undang ini mereformasi sektor keuangan dengan mengatur kelembagaan dan Stabilitas Sistem Keuangan dan pengembangan dan penguatan industri. Oleh sebab itu, Undang-Undang ini mengatur penguatan hubungan pengawasan dan pengaturan antar lembaga di bidang sektor keuangan guna mewujudkan Stabilitas Sistem Keuangan dalam hal ini antara Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan, dan Kementerian Keuangan. Salah satunya melalui wadah Komite Stabilitas Sistem Keuangan dalam mekanisme pengawasan makroprudensial dan mikroprudensial dalam jaring pengaman sistem keuangan. Selanjutnya, penguatan lembaga yang berwenang sebagai pengatur dan pengawas sektor keuangan dilakukan untuk menjaga kestabilan industri sektor keuangan dan peningkatan kepercayaan masyarakat. Penguatan jaring pengaman sistem keuangan dalam kerangka Komite Stabilitas Sistem Keuangan merupakan hal yang sangat diperlukan dalam memastikan penanganan permasalahan perbankan dan menjaga Stabilitas Sistem Keuangan. Penanganan permasalahan bank, penguatan koordinasi antarlembaga, dan penguatan kewenangan kelembagaan di sektor keuangan yang optimal untuk mencegah kegagalan perbankan yang dapat mengganggu sistem keuangan adalah sasaran yang dituju melalui Undang-Undang ini. Hal ini dilakukan melalui penguatan dan penyempurnaan mekanisme koordinasi dan pertukaran informasi serta tata kelola (governance), sehingga pengambilan keputusan penanganan permasalahan di sektor keuangan dapat dilakukan secara lebih efektif. Undang-Undang ini juga memperkuat masing-masing lembaga pengatur dan pengawas sektor keuangan. Penguatan peran Bank Indonesia dilakukan dengan penegasan bahwa Bank Indonesia memiliki tujuan di antaranya untuk turut menjaga Stabilitas Sistem Keuangan dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Bank Indonesia bertugas untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, dan transparan, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta menetapkan dan melaksanakan kebijakan makroprudensial. Selanjutnya, penguatan kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan dilakukan dengan menegaskan kewenangan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan di antaranya untuk memimpin pengawasan terintegrasi dan Komisioner Eksekutif melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dan dalam rangka meningkatkan fungsi check and balance, dilakukan pembentukan badan supervisi di Otoritas Jasa Keuangan. Selain itu, Undang-Undang ini juga mempertegas mandat Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan pengaturan dan pengawasan terintegrasi dan konglomerasi keuangan. Undang-Undang ini juga menambah kewenangan Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap koperasi yang bergerak di sektor keuangan, aktivitas aset digital, Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK), penguatan fungsi edukasi, Pelindungan Konsumen, dan pengawasan perilaku pasar (market conduct), yang bertujuan untuk membawa sektor keuangan nasional lebih kuat dan berkembang. Lembaga Penjamin Simpanan merupakan salah satu lembaga penyokong kestabilan ekonomi melalui perannya dalam dunia perbankan juga diberikan penguatan kewenangan dalam Undang-Undang ini. Di samping memperkuat kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan dalam menjalankan fungsi penjaminan simpanan dan resolusi bank, Lembaga Penjamin Simpanan juga mendapatkan mandat baru sebagai penyelenggara program penjaminan polis asuransi yang akan diiringi dengan peningkatan fungsi pengawasan dan pengaturan oleh otoritas pengawas asuransi. Undang-Undang ini juga mengatur penguatan penanganan permasalahan bank sebagai sektor yang sangat penting di Indonesia. Hal ini dilakukan dengan mengatur penguatan peran dan wewenang KSSK, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan. Penguatan peran dan wewenang dicapai melalui penguatan instrumen pencegahan dan penanganan permasalahan bank seperti rencana pemulihan dan resolusi bank, pengaturan pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah, penempatan dana oleh Lembaga Penjamin Simpanan, serta penegasan peran Lembaga Penjamin Simpanan sebagai lembaga resolusi dengan mandat pengurangan risiko (risk minimizer), serta penguatan koordinasi makroprudensial-mikroprudensial dan makroprudensial-mikroprudensial resolusi. Penguatan industri keuangan menjadi bagian dari cakupan pengaturan dalam Undang-Undang ini. Proses konsolidasi perbankan ditujukan agar meningkatkan daya saing pada sektor perbankan, memperkuat pengaturan bank digital dan pemanfaatan teknologi informasi oleh perbankan, dan memperkuat peran Bank Perekonomian Rakyat dan Bank Perekonomian Rakyat Syariah dalam menggerakkan perekonomian daerah dan pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Pengaturan terhadap perbankan juga diarahkan pada perluasan kegiatan usaha perbankan dan perbankan syariah untuk menggerakkan ekonomi nasional. Penguatan pengawasan terhadap perbankan juga dilakukan terhadap perbankan yang juga merupakan bagian dari Konglomerasi Keuangan. Pada bidang perasuransian, penguatan dilakukan dengan memperluas ruang lingkup perasuransian, memperkuat market conduct pelaku usaha perasuransian, dan menegaskan kebijakan pemisahan (spin-off) unit usaha syariah. Selain menambahkan pengaturan mengenai tata kelola Usaha Bersama asuransi, program penjaminan polis juga menjadi salah satu tulang punggung penguatan sektor keuangan bidang perasuransian yang diharapkan dapat menjadi sarana peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap asuransi dan menjaga kestabilan industri asuransi di Indonesia. Pengaturan di bidang Pasar Modal, Pasar Uang, dan Pasar Valuta Asing diarahkan untuk mendorong penerapan prinsip aktivitas sama, risiko sama, regulasi setara (same activity, same risk, same regulation) untuk transaksi instrumen keuangan, perluasan akses dan daya saing di antaranya melalui infrastruktur pasar yang dapat bekerja antar sistem (interoperable), bursa karbon, dan pengaturan entitas tujuan khusus (special purpose vehicle) untuk meningkatkan variasi instrumen keuangan, dan pengelola dana perwalian (trustee) untuk pendalaman dan meningkatkan partisipasi pelaku pasar keuangan dan peningkatan aturan keterbukaan informasi dan tata kelola yang baik. Selanjutnya, pengaturan industri Dana Pensiun ditujukan untuk meningkatkan pelindungan hari tua bagi masyarakat, khususnya para pekerja, meningkatkan literasi, mendorong kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan program pensiun, dan mempercepat akumulasi sumber dana jangka panjang sebagai sumber utama pembiayaan pembangunan. Pengaturan di bidang pelaporan keuangan diarahkan kepada kewajiban penyampaian laporan keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, pengaturan mengenai standar laporan keuangan, pembentukan komite standar yang independen, dan pembentukan platform bersama laporan keuangan, serta kewajiban untuk penyusunan dan penyampaian laporan berkelanjutan. Di bidang industri jasa keuangan lainnya, pengaturan mencakup usaha jasa pembiayaan, koperasi yang bergerak di sektor keuangan, dan lembaga keuangan mikro. Pengaturannya berbasis prinsip (principle based), sehingga tercipta keadilan (level of playing field), meningkatkan Pelindungan Konsumen, memperkuat pengawasan koperasi yang bergerak di sektor keuangan, dan memperkuat ekosistem pendukung pembiayaan. Selanjutnya, Undang-Undang ini juga mencapai tujuan pembentukannya dengan mengatur peningkatan peran sektor keuangan dalam pembiayaan kegiatan berkelanjutan dan penguatan kualitas sumber daya manusia sektor keuangan. Sementara itu, peningkatan literasi dan inklusi keuangan, juga merupakan hal yang dibutuhkan untuk memberikan ruang bagi masyarakat untuk memahami sektor keuangan lebih baik dan dapat menopang kehidupan ekonomi lebih baik. Undang-Undang ini juga mengatur penguatan upaya mendukung Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah termasuk dengan memudahkan akses pembiayaannya dengan tetap menerapkan prinsip kehati-hatian. Jenis pelanggaran dan perbuatan tindak pidana di sektor keuangan juga menjadi substansi penting dalam pengaturan Undang-Undang ini. Hal ini dilakukan untuk memberikan pelindungan bagi aktivitas sektor keuangan, termasuk pihak yang terlibat di dalam aktivitas sektor keuangan tersebut. Dalam rangka menjaga ketertiban dan memberikan efek jera, dibutuhkan mekanisme pemidanaan guna menjerat pelaku pelanggaran dengan menetapkan tindakan/perbuatan tersebut menjadi tindak pidana ekonomi. Ketentuan pidana dalam Undang-Undang ini tidak hanya terbatas pada tindak pidana yang dilakukan oleh perorangan tetapi juga oleh korporasi. Dalam merespons perkembangan tindak pidana ekonomi yang terjadi di bidang sektor keuangan tersebut, konsep penegakan hukumnya tidak harus selalu dengan pemberian sanksi pidana, tetapi perlu mengedepankan pemulihan keadaan pihak yang dirugikan terlebih dahulu atau yang dikenal dengan prinsip keadilan restoratif (restorative justice). Dalam rangka mendukung kelancaran pelaksanaan Undang-Undang ini dan agar implementasinya sesuai dengan maksud dan tujuan sebagaimana diatur dalam BAB II, terhadap beberapa pengaturan terutama yang memberikan dampak terhadap masyarakat memerlukan konsultasi atau persetujuan DPR. Pelaksanaan pengaturan tersebut dilakukan oleh alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan, sebagai wujud peran dan fungsi DPR sesuai tata kelola dan tanpa mengurangi independensi otoritas sektor keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pembentukan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan diharapkan akan memberikan kontribusi positif dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan (sustainable) menuju Indonesia yang sejahtera, maju, dan bermartabat, serta terpercaya. |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
II.
|
PASAL DEMI PASAL
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan "asas kepentingan nasional" adalah penyelenggaraan pengembangan dan penguatan sektor keuangan mengutamakan kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat di atas kepentingan lainnya.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "asas kemanfaatan" adalah seluruh pengaturan kebijakan pengembangan dan penguatan sektor keuangan bermanfaat bagi kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat, khususnya dalam mewujudkan cita-cita kesejahteraan umum.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "asas kepastian hukum" adalah penyelenggaraan pengembangan dan penguatan sektor keuangan dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan dan menjadi landasan bagi pengambil kebijakan dalam menetapkan langkah pengembangan dan penguatan di sektor keuangan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "asas keterbukaan" adalah pengembangan dan penguatan sektor keuangan diperuntukkan untuk membuka akses bagi masyarakat dalam melakukan kegiatan di sektor keuangan tanpa diskriminasi dan hak untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan sektor keuangan dengan tetap memperhatikan pelindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan kerahasiaan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "asas akuntabilitas" adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "asas keadilan" adalah penyelenggaraan pengembangan dan penguatan sektor keuangan menjunjung tinggi keseimbangan hak dan kewajiban dari setiap pihak yang terlibat.
Huruf g
Yang dimaksud dengan "asas Pelindungan Konsumen" adalah untuk memberikan jaminan atas pelindungan kepada Konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan jasa di sektor keuangan.
Huruf h
Yang dimaksud dengan "asas edukasi" adalah pengembangan dan penguatan sektor keuangan dapat memberikan pemahaman dan membuka wawasan bagi masyarakat sebagai pelaku usaha dan pengguna jasa di sektor keuangan mengenai kesadaran terhadap hak dan kewajiban serta tanggung jawabnya dalam menjalankan perannya di sektor keuangan.
Huruf i
Yang dimaksud dengan "asas keterpaduan" adalah penyelenggaraan pengembangan dan penguatan sektor keuangan merupakan kesatuan yang utuh, saling menunjang, selaras antarberbagai kepentingan, serta terkoordinasi dalam satu kendali yang didasarkan pada kerja sama yang baik dan saling mendukung antara semua pihak yang terlibat dalam sektor keuangan.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ekosistem sektor keuangan juga mencakup industri jasa keuangan yang menjalankan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Angka 1
Pasal 1
CuKup jelas.
Angka 2
Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "undang-undang mengenai pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan" adalah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 5
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 6
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Dalam menetapkan kriteria dan indikator, Komite Stabilitas Sistem Keuangan mempertimbangkan kerangka kerja penilaian kondisi Stabilitas Sistem Keuangan yang digunakan oleh setiap anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Hasil analisis, hasil riset, dan/atau hasil asesmen Stabilitas Sistem Keuangan dapat digunakan:
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 8A
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan mempunyai kekuatan hukum mengikat (final and binding) terhitung sejak pengambilan keputusan dalam rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan.
Pihak terkait juga mencakup pejabat dan/atau pegawai dari Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan.
Ayat (7)
Dalam hal digunakan naskah dinas elektronik, keputusan rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan dapat ditandatangani secara elektronik.
Ayat (8)
Yang dimaksud dengan "berhalangan tetap" adalah meninggal dunia, mengalami cacat fisik, atau cacat mental yang tidak memungkinkan yang bersangkutan untuk melaksanakan tugasnya.
Angka 8
Pasal 10
Dihapus.
Angka 9
Pasal 11
Dihapus.
Angka 10
Pasal 34A
Cukup jelas.
Pasal 7
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "undang-undang mengenai Lembaga Penjamin Simpanan" adalah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Independensi lembaga Penjamin Simpanan mengandung arti bahwa dalam pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya, Lembaga Penjamin Simpanan tidak bisa dicampurtangani oleh pihak manapun termasuk oleh Pemerintah kecuali atas hal yang dinyatakan secara jelas di dalam Undang-Undang ini.
Mengingat bahwa kebijakan Penjaminan dan penjaminan polis dapat berdampak pada sektor perbankan, perasuransian, dan fiskal maka di dalam Lembaga Penjamin Simpanan terdapat wakil dari setiap otoritas yang berwenang. Keberadaan para wakil otoritas dimaksudkan untuk bersama-sama merumuskan kebijakan Penjaminan dan penjaminan polis yang dapat mendukung kebijakan pada masing-masing sektor. Namun, pelaksanaan kebijakan tersebut sepenuhnya merupakan tanggung jawab dan kewenangan otoritas masing-masing.
Sebagai contoh, dalam melaksanakan tugas penyelesaian Bank yang dicabut izin usahanya, khususnya dalam rangka penjualan/pengalihan aset Bank, Lembaga Penjamin Simpanan tidak dapat dipengaruhi oleh kepentingan pihak luar termasuk Pemerintah.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 3A
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 4
Huruf a
Penjaminan Nasabah Penyimpan juga mencakup Penjaminan bentuk yang setara dengan Simpanan bagi Bank yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah.
Huruf b
Lembaga Penjamin Simpanan menjamin polis asuransi bagi pemegang polis, tertanggung, atau peserta.
Huruf c
Lembaga Penjamin Simpanan memelihara Stabilitas Sistem Keuangan bersama dengan Menteri Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan, dan Bank Indonesia, sesuai dengan peran dan tugas masing-masing.
Lembaga Penjamin Simpanan berdasarkan Undang-Undang ini diberi mandat sebagai risk minimizer yang memiliki fungsi untuk meminimalkan risiko terganggunya Stabilitas Sistem Keuangan, termasuk asesmen risiko Bank dan kewenangan untuk melakukan keterlibatan dini (early intervention) dan resolusi Bank dalam penanganan permasalahan Bank. Keterlibatan dini (early intervention) Lembaga Penjamin Simpanan di antaranya dilakukan melalui pemeriksaan Bank dalam rangka persiapan penanganan permasalahan Bank dan penempatan dana.
Huruf d
Sebagai otoritas resolusi, lembaga Penjamin Simpanan melaksanakan tindakan resolusi terhadap Bank yang mengalami permasalahan keuangan dengan cara:
Huruf e
Terhadap Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang mengalami permasalahan keuangan dan dicabut izin usahanya oleh Otoritas Jasa Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan melakukan penyelesaian dengan cara melikuidasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah.
Angka 5
Pasal 5
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Aset berupa piutang dan aset lainnya yang dilakukan hapus buku dan hapus tagih termasuk aset yang berasal dari penanganan dan/atau penyelesaian permasalahan Bank serta Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah. Hapus buku dan hapus tagih aset dilakukan dengan berpedoman pada prinsip kehati-hatian dan menganut asas transparansi.
Huruf d
Data dan laporan dapat diperoleh langsung dari Bank atau dari Otoritas Jasa Keuangan dengan mekanisme yang diatur bersama antara Lembaga Penjamin Simpanan dan Otoritas Jasa Keuangan.
Huruf e
Data dan laporan dapat diperoleh langsung dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah atau dari Otoritas Jasa Keuangan dengan mekanisme yang diatur bersama antara Lembaga Penjamin Simpanan dan Otoritas Jasa Keuangan.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Pihak lain di antaranya mencakup akuntan publik, konsultan hukum, penasihat investasi, lembaga penelitian, perusahaan penilai, dan/atau pejabat lelang.
Tugas tertentu di antaranya mencakup melakukan verifikasi, membuat opini hukum, melakukan penelitian mengenai risiko penjaminan, dan/atau melakukan likuidasi.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Pemeriksaan Bank yang dilakukan Lembaga Penjamin Simpanan di antaranya dalam rangka:
Huruf k
Pemeriksaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang dilakukan Lembaga Penjamin Simpanan di antaranya dalam rangka:
Huruf l
Bank dalam penyehatan merupakan status pengawasan Bank yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan kriteria tertentu sebagai Bank dalam penyehatan.
Huruf m
Yang dimaksud dengan "pengelola statuter" adalah orang perseorangan atau badan hukum yang ditunjuk oleh Lembaga Penjamin Simpanan untuk melaksanakan pengelolaan Bank yang menerima penempatan dana Lembaga Penjamin Simpanan guna mengupayakan agar Bank kembali menjadi sehat dan dapat mengembalikan penempatan dana tersebut kepada Lembaga Penjamin Simpanan.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pemberitahuan tertulis Bank Dalam Resolusi atau Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang dicabut izin usahanya oleh Otoritas Jasa Keuangan kepada Lembaga Penjamin Simpanan adalah sebagai:
Huruf a
Dengan dilakukannya pengambilalihan segala hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak dan wewenang RUPS, Lembaga Penjamin Simpanan dapat melakukan:
guna memaksimalkan pengembalian (recovery) dana Penjaminan dan penjaminan polis.
Huruf b
Dengan ketentuan ini, Lembaga Penjamin Simpanan dapat menguasai, mengelola, dan melakukan tindakan kepemilikan seperti halnya sebagai pemilik.
Huruf c
Dalam hal peninjauan ulang, pembatalan, pengakhiran, dan/atau perubahan kontrak oleh Lembaga Penjamin Simpanan menimbulkan kerugian bagi suatu pihak, pihak tersebut hanya dapat menuntut penggantian yang tidak melebihi nilai manfaat yang telah diperoleh dari kontrak dimaksud setelah terlebih dahulu membuktikan secara nyata dan jelas kerugian yang dialaminya.
Huruf d
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 9A
Ayat (1)
Penyampaian data Simpanan berbasis nasabah (single customer view) dari Bank kepada Lembaga Penjamin Simpanan tidak menghilangkan proses rekonsiliasi dan verifikasi oleh Lembaga Penjamin Simpanan dalam rangka penetapan Simpanan layak dibayar apabila Bank menjadi Bank Dalam Resolusi.
Penyampaian data ini dilakukan secara berkala atau sewaktu-waktu berdasarkan permintaan Lembaga Penjamin Simpanan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 10A
Yang dimaksud dengan "DPR" adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
Angka 9
Pasal 14
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 14A
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Data dan informasi yang diterima Lembaga Penjamin Simpanan untuk menentukan Simpanan yang layak dibayar dapat berasal dari berbagai sumber, sehingga perlu dilakukan proses untuk membandingkan, mencocokkan, menentukan, serta memastikan data dan informasi yang akan digunakan. Proses ini memerlukan waktu sebelum pembayaran klaim Penjaminan dapat mulai dilakukan.
Yang dimaksud dengan "Simpanan yang layak dibayar" adalah Simpanan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "pihak lain" adalah mantan komisaris, mantan direksi, dan mantan pegawai Bank yang bersangkutan.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Apabila Nasabah Penyimpan yang simpanannya ditetapkan layak dibayar mengajukan klaim setelah 5 (lima) tahun terhitung sejak izin usaha Bank dicabut maka hak Nasabah Penyimpan untuk memperoleh pembayaran klaim dari Lembaga Penjamin Simpanan menjadi hilang. Simpanan Nasabah Penyimpan dimaksud selanjutnya diperlakukan sama dengan Simpanan yang tidak dijamin dan diselesaikan dalam mekanisme likuidasi.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Materi muatan dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan paling sedikit mengatur bahwa kurs yang digunakan adalah kurs referensi yang diterbitkan oleh Bank Indonesia pada tanggal pencabutan izin usaha Bank.
Angka 13
Pasal 18
Ayat (1)
Perjumpaan utang merupakan salah satu cara hapusnya perikatan melalui set off/kompensasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Nasabah Penyimpan yang merupakan pihak yang diuntungkan secara tidak wajar misalnya Nasabah Penyimpan yang memperoleh hasil bunga jauh di atas tingkat bunga pasar.
Huruf c
Nasabah Penyimpan yang merupakan pihak yang menyebabkan keadaan Bank menjadi tidak sehat, misalnya Nasabah Penyimpan yang diindikasikan atau diduga oleh Lembaga Penjamin Simpanan, Otoritas Jasa Keuangan, dan/atau penegak hukum melakukan perbuatan melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian atau membahayakan kelangsungan usaha Bank.
Angka 15
Pasal 20
Ayat (1)
Apabila Nasabah Penyimpan telah meninggal dunia, pengajuan keberatan dapat dilakukan oleh ahli warisnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Pembayaran bunga yang wajar dimaksudkan untuk mengganti kerugian akibat hilangnya kesempatan berinvestasi dan Lembaga Penjamin Simpanan tidak membayar ganti rugi yang lain.
Tingkat bunga yang wajar merupakan tingkat bunga yang ditetapkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan, dengan mempertimbangkan tingkat bunga yang pada umumnya berlaku atas Simpanan.
Kompensasi yang wajar diberikan oleh Lembaga Penjamin Simpanan kepada Nasabah Penyimpan berdasarkan Prinsip Syariah, yang besarnya setara dengan tingkat bunga wajar yang ditetapkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
Angka 16
Pasal 21
Dihapus.
Angka 17
Pasal 22
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 24
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 25
Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 26
Cukup jelas.
Angka 21
Pasal 28
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "ekuitas" adalah nilai aset setelah dikurangi kewajiban.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 22
Pasal 29
Cukup jelas.
Angka 23
Pasal 30
Cukup jelas.
Angka 24
Pasal 31
Cukup jelas.
Angka 25
Pasal 33
Ayat (1)
Perkiraan biaya penanganan meliputi penambahan modal sampai Bank Dalam Resolusi memenuhi ketentuan tingkat solvabilitas dan tingkat likuiditas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 26
Pasal 34
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pelaksanaan ketentuan ini dituangkan dalam akta notaris.
Angka 27
Pasal 35
Cukup jelas.
Angka 28
Pasal 36
Cukup jelas.
Angka 29
Pasal 37
Cukup jelas.
Angka 30
Pasal 38
Cukup jelas.
Angka 31
Pasal 40
Cukup jelas.
Angka 32
Pasal 42
Cukup jelas.
Angka 33
Pasal 50A
Cukup jelas.
Pasal 50B
Cukup jelas.
Angka 34
Pasal 53
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "pengalihan aset dan kewajiban Bank" adalah pengalihan atau penjualan aset dan kewajiban Bank yang secara paket (bulk).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 35
Pasal 54
Cukup jelas.
Angka 36
Pasal 62
Dihapus.
Angka 37
Pasal 63
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Selain bertindak untuk dan atas nama lembaga yang dipimpinnya sebagai anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan, Ketua Dewan Komisioner bertindak sebagai pimpinan tertinggi dalam hubungan internal dan eksternal kelembagaan, antara lain dalam rapat dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan, Pemerintah, DPR, dan dalam pertemuan dengan lembaga internasional.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Pembagian dan/atau perubahan pembidangan, tugas dan wewenang dilakukan dengan mempertimbangkan beban kinerja baik Ketua Dewan Komisioner, Wakil Ketua Dewan Komisioner, anggota Dewan Komisioner yang membidangi Penjaminan dan resolusi Bank, dan anggota Dewan Komisioner yang membidangi penjaminan polis.
Wakil Ketua Dewan Komisioner di antaranya membidangi keuangan, organisasi, dan sumber daya manusia.
Yang dimaksud dengan "DPR" adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Angka 38
Pasal 64
Dihapus.
Angka 39
Pasal 65
Ayat (1)
Huruf a
Merupakan pejabat ex-officio.
Huruf b
Merupakan pejabat ex-officio.
Huruf c
Merupakan pejabat ex-officio.
Huruf d
Anggota yang berasal dari luar Lembaga Penjamin Simpanan paling sedikit 2 (dua) orang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "DPR" adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Ketentuan 21 (dua puluh satu) hari kerja tidak termasuk masa reses.
Ayat (8)
Ketentuan 5 (lima) hari kerja tidak termasuk masa reses.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Angka 40
Pasal 65A
Cukup jelas.
Angka 41
Pasal 66
Cukup jelas.
Angka 42
Pasal 67
Cukup jelas.
Angka 43
Pasal 69
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "berhalangan tetap" adalah meninggal dunia, kehilangan kewarganegaraan Indonesia, atau mengalami cacat fisik dan/atau cacat mental yang tidak memungkinkan yang bersangkutan untuk melaksanakan tugasnya dengan baik.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Alasan yang sah di antaranya didasarkan pada surat keterangan dokter atau surat keterangan dari instansi yang berwenang.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 44
Pasal 70
Dihapus.
Angka 45
Pasal 71
Ayat (1)
Rapat Dewan Komisioner meliputi rapat berkala dan rapat sewaktu-waktu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 46
Pasal 72
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "benturan kepentingan" adalah benturan yang timbul ketika kepentingan seseorang memungkinkan orang lain melakukan tindakan yang bertentangan dengan pihak tertentu, yang kepentingannya seharusnya dipenuhi oleh orang lain tersebut. Benturan kepentingan mencakup benturan kepentingan yang sudah terjadi atau yang berpotensi akan terjadi.
Jenis benturan kepentingan adalah sebagai berikut:
Syarat ini dimaksudkan untuk mengurangi potensi benturan kepentingan dan untuk mewujudkan tata kelola (governance) yang baik dalam Lembaga Penjamin Simpanan.
Benturan kepentingan pribadi tidak termasuk kepentingan yang diperoleh sebagai Nasabah Penyimpan Bank dan pemegang saham publik.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Angka 47
Pasal 73
Dihapus.
Angka 48
Pasal 74A
Cukup jelas.
Angka 49
Cukup jelas.
Angka 50
Pasal 77
Dihapus.
Angka 51
Pasal 78
Ayat (1)
Sistem penggajian yang diberlakukan mempertimbangkan sistem yang berlaku pada industri atau pengawas perbankan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 52
Pasal 79
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "biaya penyelesaian perkara" adalah biaya bantuan hukum kepada anggota Dewan Komisioner atau mantan anggota Dewan Komisioner, mantan Kepala Eksekutif, dan/atau pegawai Lembaga Penjamin Simpanan atau mantan pegawai Lembaga Penjamin Simpanan dalam perkara tuntutan ganti rugi dimaksud, termasuk biaya perkara yang diputuskan oleh pengadilan atas perkara tersebut.
Angka 53
Pasal 82
Ayat (1)
Ketentuan ini tidak membatasi pemegang saham Bank dan/atau pihak lain menyediakan pendanaan untuk menangani resolusi Bank, di samping dana yang bersumber dari kekayaan Lembaga Penjamin Simpanan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "pemerintah negara asing" adalah pemerintah yang mata uangnya termasuk dalam hard currency yang memiliki peringkat layak investasi (investment grade).
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Penyertaan modal pada perusahaan pengelola aset (asset management company) dilakukan pada perusahaan pengelola aset yang didirikan oleh Lembaga Penjamin Simpanan maupun pada perusahaan pengelola aset lain.
Ayat (6)
Bentuk kekayaan bukan investasi di antaranya berupa giro, gedung kantor, dan perlengkapannya.
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan "DPR" adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
Angka 54
Pasal 82A
Cukup jelas.
Angka 55
Pasal 83A
Yang dimaksud dengan "DPR" adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
Angka 56
Pasal 85
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dengan adanya pinjaman antarprogram (cross/inter borrowing fund), diharapkan Lembaga Penjamin Simpanan dapat memaksimalkan dana internal Lembaga Penjamin Simpanan untuk memenuhi kebutuhan pendanaan dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang Lembaga Penjamin Simpanan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Pemberian pinjaman Pemerintah kepada Lembaga Penjamin Simpanan merupakan upaya Pemerintah mendukung Stabilitas Sistem Keuangan.
Ayat (6)
Materi muatan dalam Peraturan Pemerintah paling sedikit mengatur besaran pinjaman antarprogram, tingkat likuiditas, persyaratan, dan tata cara pemberian pinjaman.
Angka 57
Pasal 86
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Rencana kerja dan anggaran tahunan untuk kegiatan operasional memuat beban umum dan administrasi untuk tahun anggaran berikutnya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Angka 58
Pasal 88
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "tata kelola kelembagaan yang baik" adalah pengelolaan yang memiliki akuntabilitas, transparansi, keterbukaan, landasan aturan hukum, serta tidak menyalahgunakan kewenangan.
Yang dimaksud dengan "profesional" adalah menjalankan pekerjaan dengan keahlian, pengetahuan, dan integritas yang tinggi, dalam mengarahkan serta mendasari perbuatan.
Ayat (2)
Laporan kinerja kelembagaan termasuk laporan pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang Lembaga Penjamin Simpanan, laporan kinerja program dan indikator kinerja utama Lembaga Penjamin Simpanan, laporan capaian kinerja Dewan Komisioner dan anggota Dewan Komisioner, laporan pelaksanaan anggaran tahunan Lembaga Penjamin Simpanan, dan laporan lainnya yang dapat menunjukkan akuntabilitas kinerja kelembagaan Lembaga Penjamin Simpanan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Bagian dari laporan yang disampaikan adalah laporan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang Lembaga Penjamin Simpanan, laporan kinerja program dan indikator kinerja utama Lembaga Penjamin Simpanan, dan laporan lainnya yang dapat menunjukkan akuntabilitas kinerja Lembaga Penjamin Simpanan kepada masyarakat.
Ayat (7)
Penyampaian informasi kepada masyarakat, selain sebagai cerminan asas transparansi juga dimaksudkan agar masyarakat mengetahui arah kebijakan Penjaminan, penjaminan polis, dan resolusi Bank.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Badan Pemeriksa Keuangan dalam melakukan tugasnya memeriksa laporan keuangan Lembaga Penjamin Simpanan dapat menggunakan jasa kantor akuntan publik yang memiliki reputasi internasional.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Ayat (12)
Cukup jelas.
Angka 59
Pasal 89
Dihapus.
Angka 60
Cukup jelas.
Angka 61
Pasal 89A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "kelembagaan" yaitu dukungan organisasi, sumber daya, tata kelola, dan pelaksanaan anggaran operasional dalam rangka mendukung pencapaian tujuan Lembaga Penjamin Simpanan.
Dengan demikian cakupan kelembagaan tersebut tidak termasuk penetapan dan pelaksanaan kebijakan di antaranya Penjaminan, penjaminan polis, penempatan dana, resolusi Bank, serta likuidasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Yang dimaksud dengan "DPR" adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
Pasal 89B
Cukup jelas.
Pasal 89C
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Benturan kepentingan termasuk jika anggota Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan merupakan pengurus, dan/atau pemilik LJK baik langsung maupun tidak langsung.
Ayat (7)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "berhalangan tetap" adalah cacat fisik dan/atau cacat mental yang tidak memungkinkan yang bersangkutan melaksanakan tugasnya dengan baik atau kehilangan kewarganegaraan Indonesia.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Angka 62
Pasal 91
Cukup jelas.
Angka 63
Pasal 92
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Ketentuan ini untuk menegaskan kewenangan pemberian sanksi oleh Lembaga Penjamin Simpanan atas pelanggaran kewajiban yang harus dipenuhi untuk kepesertaan Penjaminan, dimana Bank wajib memenuhi persyaratan untuk memberikan data, informasi, dan dokumen yang dibutuhkan dalam rangka penyelenggaraan Penjaminan.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Materi muatan Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan paling sedikit mengatur mengenai:
Angka 64
Pasal 95
Cukup jelas.
Angka 65
Pasal 95A
Cukup jelas.
Pasal 8
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "undang-undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan" adalah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "Undang-Undang ini'' di antaranya mencakup:
Angka 3
Pasal 5
Salah satu tujuan pendirian Otoritas Jasa Keuangan adalah untuk mewujudkan Stabilitas Sistem Keuangan. Peran memelihara Stabilitas Sistem Keuangan merupakan tanggung jawab beberapa otoritas. Otoritas Jasa Keuangan memelihara Stabilitas Sistem Keuangan bersama dengan Menteri Keuangan, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan, sesuai dengan peran dan tugas masing-masing.
Ketentuan ini menguatkan landasan hukum bagi Otoritas Jasa Keuangan untuk secara aktif memelihara Stabilitas Sistem Keuangan baik sesuai dengan wewenang yang dimilikinya maupun melalui mekanisme koordinasi dalam rangka menciptakan dan memelihara Stabilitas Sistem Keuangan secara terpadu dan efektif. Dalam rangka memelihara Stabilitas Sistem Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan di antaranya menjaga tingkat kesehatan LJK termasuk Perbankan sesuai prinsip atau standar yang dianjurkan dan dengan melakukan pengaturan dan pengawasan secara keseluruhan terhadap LJK yang berada dalam ruang lingkup pengawasan Otoritas Jasa Keuangan.
Huruf a
Kegiatan di sektor jasa keuangan termasuk aktivitas penerbitan dan perdagangan Derivatif instrumen keuangan di antaranya indeks saham, mata uang asing dan saham tunggal asing, dan aset keuangan digital termasuk aset kripto.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "pengembangan sektor keuangan" adalah kebijakan mikroprudensial yang ikut mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Angka 5
Pasal 8A
Ayat (1)
Huruf a
Perintah tertulis kepada LJK berlaku baik untuk LJK yang melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi, dan/atau konversi maupun LJK yang menerima penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi, dan/atau konversi.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "pihak tertentu" adalah emiten atau perusahaan publik yang pernyataan pendaftaran telah menjadi efektif menurut undang-undang mengenai pasar modal.
Huruf c
Kebijakan mengenai pemanfaatan teknologi informasi dalam penyelenggaraan RUPS atau rapat lain yang dapat diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan di antaranya mencakup bentuk dan cara interaksi serta partisipasi antarpeserta serta bentuk risalah.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8B
Pengajuan permohonan pernyataan pailit bagi Bank sepenuhnya merupakan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dan semata-mata didasarkan atas penilaian kondisi keuangan dan kondisi Perbankan secara keseluruhan, oleh karena itu tidak perlu dipertanggungjawabkan. Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan untuk mengajukan permohonan kepailitan ini tidak menghapuskan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan terkait sesuai dengan ketentuan mengenai pencabutan izin usaha Bank, pembubaran badan hukum, dan likuidasi Bank sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Permohonan pernyataan pailit untuk perusahaan efek, bursa efek, penyelenggara pasar alternatif, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian (kustodian), hanya dapat diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan, karena lembaga tersebut melakukan kegiatan yang berhubungan dengan dana masyarakat yang diinvestasikan dalam efek di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan. Otoritas Jasa Keuangan juga mempunyai kewenangan penuh dalam hal pengajuan permohonan pernyataan pailit untuk instansi yang berada di bawah pengawasannya, seperti halnya terhadap Bank.
Kewenangan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit bagi perusahaan perasuransian sepenuhnya ada pada Otoritas Jasa Keuangan. Ketentuan ini diperlukan untuk membangun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah sebagai lembaga pengelola risiko dan sekaligus sebagai lembaga pengelola dana masyarakat yang memiliki kedudukan strategis dalam pembangunan dan kehidupan perekonomian.
Kewenangan untuk mengajukan pailit bagi Dana Pensiun sepenuhnya ada pada Otoritas Jasa Keuangan. Ketentuan ini diperlukan untuk membangun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Dana Pensiun, mengingat Dana Pensiun mengelola dana masyarakat dalam jumlah besar dan dana tersebut merupakan hak dari peserta yang banyak jumlahnya.
Yang dimaksud dengan "sepanjang pembubaran dan/atau kepailitannya tidak diatur berbeda oleh Undang-Undang lainnya" adalah LJK yang melaksanakan sebagian kewenangan Pemerintah dan merupakan badan hukum sui generis.
Dalam hal debitur mempunyai lebih dari 1 (satu) izin kegiatan usaha, kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dalam pasal ini berlaku jika debitur mendapatkan izin utama dari Otoritas Jasa Keuangan.
Angka 6
Pasal 9
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 10
Ayat (1)
Dewan Komisioner merupakan pimpinan tertinggi Otoritas Jasa Keuangan. Dalam rangka pelaksanaan kerja sama dengan otoritas lembaga pengawas LJK di negara lain serta organisasi internasional dan lembaga internasional lainnya di sektor jasa keuangan, anggota Dewan Komisioner bertindak sebagai pejabat yang mewakili negara.
Ayat (2)
Selain bertindak untuk dan atas nama lembaga yang dipimpinnya sebagai anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan, Ketua Dewan Komisioner bertindak sebagai pimpinan tertinggi baik dalam hubungan internal maupun eksternal kelembagaan, di antaranya dalam rapat dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan, Pemerintah, DPR, dan dalam pertemuan dengan lembaga internasional.
Bertindak sebagai pimpinan Dewan Komisioner dimaksud mencerminkan kolektif kolegial Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan. Ketua Dewan Komisioner dalam bertindak sebagai pimpinan Dewan Komisioner, di antaranya juga melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas Kepala Eksekutif, termasuk menetapkan kebijakan yang akan dilakukan oleh Kepala Eksekutif, jika dibutuhkan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan memimpin tugas pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan.
Huruf d
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon memimpin tugas pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, keuangan Derivatif, dan bursa karbon.
Huruf e
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun memimpin tugas pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor perasuransian, penjaminan, dan dana pensiun.
Huruf f
Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya memimpin tugas pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Lembaga Pembiayaan, perusahaan modal ventura, lembaga keuangan mikro, dan LJK Lainnya.
Huruf g
Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital dan Aset Kripto memimpin tugas pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor ITSK dan aset keuangan digital termasuk aset kripto.
Huruf h
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen memimpin tugas pengawasan terhadap perilaku pelaku usaha jasa keuangan, edukasi, dan Pelindungan Konsumen.
Pelindungan Konsumen termasuk satuan tugas untuk penanganan kegiatan usaha tanpa izin di sektor keuangan dan pembelaan hukum.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 15
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Memiliki akhlak, moral, dan integritas yang baik di antaranya mencakup tidak pernah masuk dalam daftar orang tercela.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Anggota Dewan Komisioner tidak terkendala oleh kondisi jasmani yang secara permanen menyebabkan yang bersangkutan tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan "mempunyai pengalaman atau keahlian di sektor jasa keuangan" adalah seseorang yang memiliki pengalaman, keilmuan, atau keahlian yang memadai di sektor jasa keuangan.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pengunduran diri anggota Dewan Komisioner berlaku efektif sejak tanggal pengunduran diri tersebut disetujui oleh Presiden.
Huruf c
Dihapus.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "berhalangan tetap" adalah cacat fisik dan/atau cacat mental yang tidak memungkinkan yang bersangkutan melaksanakan tugasnya dengan baik.
Pemberhentian anggota Dewan Komisioner karena cacat fisik dan/atau cacat mental ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Yang dimaksud dengan "diperkirakan secara medis" adalah perkiraan secara medis yang dibuktikan dengan keterangan tertulis dari dokter yang menerangkan bahwa anggota Dewan Komisioner yang bersangkutan tidak dapat melaksanakan tugas lebih dari 6 (enam) bulan berturut-turut.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan" adalah tidak adanya alasan yang kuat yang menyebabkan anggota Dewan Komisioner diberhentikan. Alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, di antaranya, sakit yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter yang ditunjuk Dewan Komisioner, penugasan di luar kegiatan Otoritas Jasa Keuangan oleh Presiden, atau kegiatan lain demi kepentingan negara.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan "semenda" adalah pertalian kekeluargaan karena perkawinan, yaitu pertalian antara salah seorang dari suami istri dan keluarga sedarah dari pihak lain.
Huruf i
Pelanggaran kode etik dalam ketentuan ini adalah pelanggaran yang dikategorikan pelanggaran berat dan dilaporkan oleh Dewan Komisioner kepada DPR.
Huruf j
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "benturan kepentingan" adalah benturan yang timbul ketika kepentingan seseorang memungkinkan orang lain melakukan tindakan yang bertentangan dengan pihak tertentu, yang kepentingannya seharusnya dipenuhi oleh orang lain tersebut. Benturan kepentingan mencakup benturan kepentingan yang sudah terjadi atau yang berpotensi akan terjadi.
Jenis benturan kepentingan mencakup:
Syarat ini dimaksudkan untuk mengurangi potensi benturan kepentingan dan untuk mewujudkan tata kelola (governance) yang baik dalam Otoritas Jasa Keuangan.
Benturan kepentingan pribadi tidak termasuk kepentingan yang diperoleh sebagai nasabah penyimpan Bank dan pemodal atau investor Pasar Modal
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Sebagai contoh, pelaksanaan rapat Dewan Komisioner yang diselenggarakan melalui pemanfaatan teknologi informasi apabila salah satu atau lebih anggota Dewan Komisioner tidak berada di tempat pelaksanaan rapat (sedang bertugas di luar negeri).
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dewan Komisioner yang ditunjuk mewakili Otoritas Jasa Keuangan, di antaranya dalam pelaksanaan kerja sama antar-instansi dan hubungan internasional.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tidak mengurangi independensi Otoritas Jasa Keuangan dalam menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "DPR" adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 35
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "kegiatan operasional" adalah kegiatan penyelenggaraan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan, di antaranya mencakup pengaturan, pengawasan, penegakan hukum, edukasi, dan/atau Pelindungan Konsumen.
Kegiatan administratif di antaranya mencakup kegiatan perkantoran, remunerasi, pendidikan dan pelatihan, dan/atau pengembangan organisasi dan sumber daya manusia.
Yang dimaksud dengan "aset" adalah aset lancar dan aset nonlancar, di antaranya mencakup persediaan, gedung, peralatan dan mesin, kendaraan, perlengkapan kantor, dan/atau infrastruktur teknologi informasi.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "standar yang wajar pada sektor jasa keuangan" adalah standar biaya yang lazim digunakan oleh sektor jasa keuangan atau regulator sektor jasa keuangan sejenis, baik domestik maupun internasional. Hal ini dilakukan agar Otoritas Jasa Keuangan dapat mengimbangi tuntutan dan dinamika sektor jasa keuangan, baik secara domestik maupun internasional.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "DPR" adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
Angka 14
Pasal 36A
Rencana kerja dan anggaran Otoritas Jasa Keuangan sampai dengan tahun 2024 masih menggunakan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 36B
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 37
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan" adalah LJK dan/atau orang perseorangan atau badan yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.
Pungutan di antaranya mencakup pungutan untuk biaya perizinan, persetujuan, pendaftaran, dan pengesahan; biaya pengaturan, pengawasan, pemeriksaan; serta penelitian dan transaksi perdagangan efek.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penerimaan lainnya termasuk penerimaan yang berasal dari sanksi administratif.
Pungutan dan penerimaan lainnya merupakan penerimaan negara bukan pajak.
Ayat (4)
Peraturan Pemerintah mengenai pungutan dan tata kelolanya di antaranya mencakup tata cara penetapan, jenis, besaran, waktu penagihan dan pembayaran pungutan, sanksi denda, dan/atau sanksi administratif termasuk denda administratif.
Angka 16
Pasal 37A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "undang-undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan" adalah Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 38
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "tata kelola kelembagaan yang baik" adalah pengelolaan yang memiliki akuntabilitas, transparansi, keterbukaan, landasan aturan hukum, serta tidak menyalahgunakan kewenangan.
Yang dimaksud dengan "profesional" adalah menjalankan pekerjaan dengan keahlian, pengetahuan, dan integritas yang tinggi, dalam mengarahkan serta mendasari perbuatan.
Ayat (2)
Laporan kinerja kelembagaan termasuk laporan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan, laporan kinerja program dan indikator kinerja utama Otoritas Jasa Keuangan, laporan capaian kinerja Dewan Komisioner dan anggota Dewan Komisioner, laporan pelaksanaan anggaran tahunan, dan laporan lainnya yang dapat menunjukkan akuntabilitas kinerja kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Bagian dari laporan yang disampaikan adalah laporan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan, laporan kinerja program dan indikator kinerja utama Otoritas Jasa Keuangan, dan laporan lainnya yang dapat menunjukkan akuntabilitas kinerja Otoritas Jasa Keuangan kepada masyarakat.
Ayat (7)
Penyampaian informasi kepada masyarakat, selain sebagai cerminan asas transparansi juga dimaksudkan agar masyarakat mengetahui arah kebijakan sektor jasa keuangan.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Badan Pemeriksa Keuangan dalam melakukan tugasnya memeriksa laporan keuangan Otoritas Jasa Keuangan dapat menggunakan jasa kantor akuntan publik yang memiliki reputasi internasional.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Ayat (12)
Cukup jelas.
Angka 18
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 38A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "kelembagaan" yaitu dukungan organisasi, sumber daya, tata kelola, dan pelaksanaan anggaran operasional dalam rangka mendukung pencapaian tujuan Otoritas Jasa Keuangan.
Dengan demikian, cakupan kelembagaan tersebut tidak mencakup penetapan dan pelaksanaan kebijakan pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan, sektor Pasar Modal, sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan LJK Lainnya, serta Pelindungan Konsumen dan penyidikan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Yang dimaksud dengan "DPR" adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
Pasal 38B
Cukup jelas.
Pasal 38C
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Benturan kepentingan termasuk jika anggota Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan merupakan pengurus, dan/atau pemilik LJK baik langsung maupun tidak langsung.
Ayat (7)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "berhalangan tetap" adalah cacat fisik dan/atau cacat mental yang tidak memungkinkan yang bersangkutan melaksanakan tugasnya dengan baik atau kehilangan kewarganegaraan Indonesia.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 48A
Cukup jelas.
Pasal 48B
Ayat (1)
Pada prinsipnya penanganan tindak pidana di sektor jasa keuangan dilanjutkan ke tahap penyidikan. Namun, dengan mempertimbangkan dampak dari tindak lanjut ke tahap penyidikan tersebut terhadap Stabilitas Sistem Keuangan, sektor jasa keuangan dan/atau Pelindungan Konsumen, Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan langkah penyelesaian yang bersifat restoratif.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Penyelesaian atas kerugian yang timbul diikuti dengan adanya pernyataan dari semua pihak yang terlibat (korban dan pelaku) untuk tidak keberatan, dan melepaskan hak menuntutnya di hadapan hukum.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Dampak terhadap sektor jasa keuangan dan/atau kepentingan nasabah dan/atau masyarakat yaitu bahwa kerugian berdampak luas atau tidak terhadap sektor jasa keuangan dan/atau kepentingan nasabah dan/atau masyarakat di antaranya mempertimbangkan skala dan jenis LJK.
Ayat (6)
Kesepakatan di antaranya berbentuk:
Materi kesepakatan selain pembayaran ganti rugi di antaranya mencakup perbaikan proses bisnis dan tata kelola.
Selain berupa kesepakatan, ganti rugi juga dapat berupa dana yang berasal dari pengembalian keuntungan yang diperoleh atau kerugian yang dihindari secara tidak sah dalam penegakan hukum tindak pidana di sektor jasa keuangan.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Ayat (12)
Dengan mempertimbangkan bahwa Otoritas Jasa Keuangan mengawasi LJK dan kegiatan di sektor jasa keuangan baik Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, maupun LJK Lainnya, pengaturan dan pelaksanaan penyelesaian dapat disesuaikan dengan karakteristik bisnis dan kegiatan usaha di setiap sektor jasa keuangan sehingga penyelesaian dapat dilakukan secara optimal.
Ayat (13)
Cukup jelas.
Angka 21
Pasal 49
Ayat (1)
Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia berfungsi sebagai koordinator dan pengawas penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Sebagai bagian sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system), Otoritas Jasa Keuangan perlu menegaskan kewenangan dengan tetap mengedepankan fungsi koordinasi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Ayat (7)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf I
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Penegak hukum lain di antaranya kejaksaan, kepolisian, dan pengadilan.
Huruf o
Cukup jelas.
Angka 22
Pasal 53
Cukup jelas.
Angka 23
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 9
Angka 1
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "campur tangan" adalah semua bentuk intimidasi, ancaman, pemaksaan, dan bujuk rayu dari pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung dapat memengaruhi kebijakan dan pelaksanaan tugas Bank Indonesia.
Yang dimaksud dengan "pihak lain" adalah semua pihak di luar Bank Indonesia termasuk Pemerintah dan/atau lembaga lainnya.
Ketentuan ini dimaksudkan agar Bank Indonesia dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya secara efektif.
Termasuk dalam pengertian untuk hal-hal tertentu di antaranya dalam rangka pencegahan dan penanganan Krisis Sistem Keuangan atau perekonomian nasional.
Tidak termasuk dalam pengertian campur tangan Pemerintah di antaranya ketika Bank Indonesia berkoordinasi dengan Pemerintah untuk memitigasi dampak krisis dan mempercepat pemulihan ekonomi nasional serta memelihara Stabilitas Sistem Keuangan.
Tidak termasuk dalam pengertian campur tangan pihak lain di antaranya ketika dilakukan kerja sama antara Bank Indonesia dan pihak lain atau pemberian bantuan teknis oleh pihak lain atas permintaan Bank Indonesia dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas Bank Indonesia.
Ayat (3)
Bank Indonesia dinyatakan sebagai badan hukum dengan Undang-Undang ini dan dimaksudkan agar terdapat kejelasan wewenang Bank Indonesia dalam mengelola kekayaan sendiri yang terlepas dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Selain itu, Bank Indonesia sebagai badan hukum publik berwenang untuk menetapkan peraturan dan mengenakan sanksi dalam batas kewenangannya.
Angka 2
Pasal 7
Yang dimaksud dengan "stabilitas nilai rupiah" adalah kestabilan harga barang dan jasa serta nilai tukar rupiah. Perkembangan harga barang dan jasa secara umum diukur dari inflasi yang rendah dan stabil.
Sementara itu, kestabilan nilai tukar rupiah diukur dari kestabilan nilai rupiah terhadap mata uang negara lain.
Kestabilan nilai rupiah dalam artian inflasi yang rendah, dan stabil, serta kestabilan nilai tukar rupiah sangat penting bagi tercapainya pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Kestabilan nilai tukar rupiah diperlukan dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk mendukung tercapainya inflasi yang rendah dan stabil.
Yang dimaksud dengan "stabilitas Sistem Pembayaran" adalah kestabilan sistem yang mencakup seperangkat aturan, lembaga, dan mekanisme, yang digunakan untuk melaksanakan pemindahan dana guna memenuhi suatu kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi.
Stabilitas Sistem Pembayaran tercermin dari penyelenggaraan Sistem Pembayaran yang cepat, mudah, murah, aman, dan andal, serta ketersediaan uang rupiah yang berkualitas dan terpercaya, dengan tetap memerhatikan perluasan akses dan Pelindungan Konsumen.
Stabilitas Sistem Pembayaran sangat penting dalam mendukung stabilitas rupiah dan sistem keuangan serta mendorong inklusi ekonomi dan keuangan dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan tersebut, Bank Indonesia bersinergi dan berkoordinasi dengan otoritas keuangan lainnya dalam mewujudkan sistem keuangan nasional yang mampu bertahan terhadap gejolak internal dan eksternal, sehingga dapat menjalankan fungsi intermediasi dan layanan jasa keuangan lainnya secara efektif untuk berkontribusi pada pertumbuhan perekonomian nasional.
Yang dimaksud dengan "pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan" adalah perekonomian yang tumbuh sesuai dengan kapasitasnya dan inklusif sehingga terjaga stabil, seimbang, dan berdaya tahan terhadap gejolak, baik yang bersumber dari global maupun dalam negeri.
Angka 3
Pasal 8
Pelaksanaan tugas ini mempunyai keterkaitan dan saling mendukung satu sama lain dalam mencapai tujuan Bank Indonesia. Untuk mencapai stabilitas nilai rupiah, memelihara stabilitas Sistem Pembayaran, dan turut menjaga Stabilitas Sistem Keuangan dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, Bank Indonesia menggunakan bauran kebijakan yang terdiri atas kebijakan moneter, kebijakan Sistem Pembayaran, serta kebijakan makroprudensial yang dilakukan secara dinamis dan terintegrasi. Melalui sinergi yang kuat dari 3 (tiga) kebijakan dimaksud, ekonomi tidak hanya tumbuh secara stabil, namun juga bersifat inklusif dan mendukung ekonomi berkelanjutan.
Pencapaian tujuan bank sentral di bidang moneter hanya dapat tercapai apabila Stabilitas Sistem Keuangan dan Sistem Pembayaran terjaga. Dalam hal ini, peran kebijakan moneter dalam memengaruhi sektor riil akan ditransmisikan melalui bekerjanya sistem keuangan dan Sistem Pembayaran sehingga efektivitas pelaksanaan kebijakan moneter sangat memerlukan sistem keuangan yang bekerja dengan efektif dan stabil serta Sistem Pembayaran yang cepat, mudah, efisien, aman, dan andal, dengan memperhatikan perluasan akses, kepentingan nasional, dan Pelindungan Konsumen.
Di sisi lain, potensi risiko yang terjadi di sektor keuangan maupun perekonomian secara makro dapat diminimalisasi dengan kondisi moneter yang stabil. Stabilitas Sistem Keuangan dan Sistem Pembayaran terkait erat satu sama lain. Stabilitas Sistem Keuangan dapat tercapai apabila didukung oleh Sistem Pembayaran yang stabil sehingga Sistem Keuangan dapat bekerja efektif dan efisien, demikian pula sebaliknya.
Dalam turut menjaga Stabilitas Sistem Keuangan, Bank Indonesia melakukan pengaturan dan pengawasan makroprudensial untuk mendorong fungsi intermediasi yang seimbang, berkualitas dan berkelanjutan, memitigasi dan mengelola risiko sistemik, meningkatkan inklusi ekonomi dan Inklusi Keuangan, serta keuangan berkelanjutan.
Angka 4
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pihak lain" adalah semua pihak di luar Bank Indonesia termasuk Pemerintah dan/atau lembaga lainnya.
Ketentuan ini dimaksudkan agar Bank Indonesia dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya secara efektif.
Termasuk dalam pengertian untuk hal-hal tertentu di antaranya dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan atau perekonomian nasional.
Tidak termasuk dalam pengertian campur tangan oleh Pemerintah di antaranya ketika Bank Indonesia berkoordinasi dengan Pemerintah untuk memitigasi dampak krisis dan mempercepat pemulihan ekonomi nasional serta memelihara Stabilitas Sistem Keuangan.
Tidak termasuk dalam pengertian campur tangan oleh pihak lain di antaranya ketika dilakukan kerja sama antara Bank Indonesia dan pihak lain atau pemberian bantuan teknis oleh pihak lain atas permintaan Bank Indonesia dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas Bank Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "memengaruhi suku bunga pasar" adalah upaya yang dilakukan oleh Bank Indonesia untuk memastikan suku bunga kebijakan dapat tertransmisikan ke suku bunga pasar.
Ayat (5)
Pengelolaan nilai tukar ditujukan untuk menjaga perkembangan nilai tukar agar stabil dan sejalan dengan kondisi fundamental perekonomian, sehingga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk mendukung tercapainya inflasi yang rendah dan stabil.
Ayat (6)
Bank Indonesia menjaga permintaan dan penawaran likuiditas di Pasar Uang, Pasar Valuta Asing, Perbankan, dan perekonomian di antaranya melalui instrumen operasi moneter, pengembangan dan pendalaman Pasar Uang, serta pengaturan giro wajib minimum.
Ayat (7)
Huruf a
Operasi moneter Bank Indonesia dapat dilakukan melalui:
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 10A
Ayat (1)
Huruf a
Pengaturan pengelolaan risiko terkait aliran modal termasuk di antaranya pengaturan utang luar negeri.
Huruf b
Pengaturan mengenai penerimaan dan/atau penggunaan devisa bagi penduduk termasuk di antaranya repatriasi, penyerahan, dan/atau konversi devisa.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 10B
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 11
Ayat (1)
Pengelolaan likuiditas ditujukan untuk menjaga keseimbangan antara penawaran dan permintaan likuiditas sesuai dengan kapasitas perekonomian. Pengelolaan likuiditas dilakukan dengan menambah atau mengurangi likuiditas di sektor keuangan pada saat kondisi ekonomi mengalami kontraksi atau ekspansi, sehingga mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "surat berharga berkualitas lainnya" adalah surat berharga yang memiliki rating tinggi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan Bank Indonesia. Pembelian atau penjualan surat berharga negara dan/atau surat berharga yang berkualitas lainnya di pasar sekunder dilakukan secara jual putus (outright) dan/atau repo (repurchase agreement) untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Penempatan dana pada lembaga keuangan dalam rangka pengembangan Pasar Uang dilakukan dalam bentuk penyertaan modal Bank Indonesia pada lembaga keuangan yang dibentuk oleh Pemerintah dalam rangka sekuritisasi aset untuk memperluas akses terhadap sumber pembiayaan bagi perekonomian.
Pengaturan giro wajib minimum Bank dan pengaturan kredit atau pembiayaan ditujukan untuk mengelola likuiditas agar sesuai dengan kebutuhan perekonomian.
Bauran kebijakan moneter dan makroprudensial dilakukan sebagai upaya pengelolaan likuiditas untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan melalui peningkatan fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas, penjagaan ketahanan Sistem Keuangan, dan peningkatan inklusi ekonomi dan Inklusi Keuangan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "kondisi makro ekonomi" adalah kondisi perekonomian secara keseluruhan atau agregat yang tercermin pada perkembangan indikator ekonomi, di antaranya mencakup inflasi, nilai tukar Rupiah, harga aset, pertumbuhan kredit, pertumbuhan ekonomi, ketenagakerjaan, dan neraca pembayaran. Instrumen ini dimaksudkan sebagai upaya mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dalam kondisi Sistem Keuangan normal.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dalam hal diperlukan, Bank Indonesia dapat meminta data dan/atau informasi dari pihak perusahaan induk, perusahaan anak, dan pihak yang mempunyai hubungan usaha dan/atau hubungan keuangan.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 24
Dihapus.
Angka 10
Pasal 25
Dihapus.
Angka 11
Pasal 26
Dihapus.
Angka 12
Pasal 27
Dihapus.
Angka 13
Pasal 28
Dihapus.
Angka 14
Pasal 29
Dihapus.
Angka 15
Pasal 30
Dihapus.
Angka 16
Pasal 31
Dihapus.
Angka 17
Pasal 32
Dihapus.
Angka 18
Pasal 33
Dihapus.
Angka 19
Pasal 34
Dihapus.
Angka 20
Pasal 35
Dihapus.
Angka 21
Cukup jelas.
Angka 22
Pasal 35A
Cukup jelas.
Pasal 35B
Ayat (1)
Huruf a
Pengaturan makroprudensial dilakukan di antaranya dengan menggunakan instrumen kebijakan untuk mendorong:
Huruf b
Pengawasan makroprudensial dilakukan melalui surveilans makroprudensial terhadap sistem keuangan dan/atau pemeriksaan terhadap perbankan dan/atau pihak lainnya untuk memastikan pelaksanaan kebijakan makroprudensial. Dalam rangka pemeriksaan terhadap perbankan, Bank Indonesia berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan.
Dalam rangka pengawasan makroprudensial, Bank Indonesia melakukan pengenaan sanksi administratif atas pelanggaran terhadap pengaturan makroprudensial.
Huruf c
Pengaturan dan pengembangan pembiayaan inklusif dan Keuangan Berkelanjutan dilakukan melalui kebijakan keuangan inklusif dan kebijakan untuk mendukung pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, serta target inklusif lainnya, berkoordinasi dengan kementerian/lembaga dan otoritas terkait.
Huruf d
Penyediaan dana dalam rangka menjalankan fungsi lender of the last resort dilakukan di antaranya melalui penyediaan dana pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 23
Cukup jelas.
Angka 24
Pasal 35C
Cukup jelas.
Pasal 35D
Cukup jelas.
Angka 25
Pasal 38A
Cukup jelas.
Angka 26
Pasal 40
Huruf a
Yang dimaksud dengan "warga negara Indonesia" adalah orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dinyatakan sebagai warga negara Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "memiliki keahlian" adalah seseorang yang menguasai suatu bidang keahlian berdasarkan latar belakang pendidikan, keilmuan, dan pengalaman yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan tugas yang bersangkutan.
Yang dimaksud dengan "memiliki pengalaman" adalah latar belakang perjalanan karier yang bersangkutan dalam salah satu bidang ekonomi, keuangan, Perbankan, atau hukum khususnya yang berkaitan dengan tugas Bank Sentral.
Huruf d
Cukup jelas.
Angka 27
Pasal 41
Cukup jelas.
Angka 28
Pasal 47
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "mempunyai kepentingan langsung" adalah apabila yang bersangkutan duduk sebagai pengurus dalam suatu perusahaan atau menjalankan sendiri usaha perdagangan barang atau jasa.
Yang dimaksud dengan "mempunyai kepentingan tidak langsung" adalah apabila yang bersangkutan memiliki kepentingan melalui kepemilikan saham suatu perusahaan di atas 25% (dua puluh lima persen).
Huruf b
Mengingat anggota Dewan Gubernur memiliki tugas yang sangat strategis di bidang moneter, sistem pembayaran, serta makroprudensial sudah sewajarnya apabila anggota Dewan Gubernur lebih profesional dan loyal terhadap pelaksanaan tugasnya. Rangkap jabatan yang dimaksud termasuk pengurus pada partai politik serta lembaga atau organisasi lainnya yang dapat mengganggu kinerja dan profesionalitasnya berkaitan dengan tugas dan tanggung jawabnya sebagai anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia. Namun, berdasarkan keterkaitan tugas dan jabatannya anggota Dewan Gubernur secara ex-officio dapat merangkap jabatan pada lembaga tertentu di antaranya pada International Monetary Fund (IMF), World Bank, dan Institut Bankir Indonesia.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam hal Deputi Gubernur Senior dan/atau Deputi Gubernur yang diketahui telah melakukan pelanggaran tidak bersedia mengundurkan diri, Gubernur mengajukan usul kepada Presiden untuk meminta yang bersangkutan mengundurkan diri. Apabila yang melakukan pelanggaran adalah Gubernur, Presiden meminta yang bersangkutan untuk mengundurkan diri.
Angka 29
Pasal 58
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "tata kelola kelembagaan yang baik" adalah pengelolaan yang memiliki akuntabilitas, transparansi, keterbukaan, landasan aturan hukum, serta tidak menyalahgunakan kewenangan.
Yang dimaksud dengan "profesional" adalah menjalankan pekerjaan dengan keahlian, pengetahuan, dan integritas yang tinggi, dalam mengarahkan serta mendasari perbuatan.
Ayat (2)
Laporan kinerja kelembagaan termasuk laporan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang Bank Indonesia, laporan kinerja program dan indikator kinerja utama Bank Indonesia, laporan capaian kinerja Dewan Gubernur dan anggota Dewan Gubernur, laporan pelaksanaan anggaran tahunan Bank Indonesia, dan laporan lainnya yang dapat menunjukkan akuntabilitas kinerja kelembagaan Bank Indonesia.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Bagian dari laporan yang disampaikan adalah laporan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang Bank Indonesia, laporan kinerja program dan indikator kinerja utama Bank Indonesia, dan laporan lainnya yang dapat menunjukkan akuntabilitas kinerja Bank Indonesia kepada masyarakat.
Ayat (7)
Penyampaian informasi kepada masyarakat, selain sebagai cerminan asas transparansi juga dimaksudkan agar masyarakat mengetahui arah kebijakan moneter yang dapat dipakai sebagai salah satu pertimbangan penting dalam perencanaan usaha para pelaku pasar.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Badan Pemeriksa Keuangan dalam melakukan tugasnya memeriksa laporan keuangan Bank Indonesia dapat menggunakan jasa kantor akuntan publik yang memiliki reputasi internasional.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Ayat (12)
Cukup jelas.
Angka 30
Pasal 58A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "kelembagaan" adalah dukungan organisasi, sumber daya, tata kelola, dan pelaksanaan anggaran operasional dalam rangka mendukung pencapaian tujuan Bank Indonesia. Dengan demikian kelembagaan tersebut tidak mencakup penetapan dan pelaksanaan kebijakan moneter, sistem pembayaran, dan makroprudensial.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Yang dimaksud dengan "DPR" adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
Angka 31
Pasal 58B
Cukup jelas.
Pasal 58C
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Benturan kepentingan termasuk jika anggota Badan Supervisi Bank Indonesia merupakan pengurus, dan/atau pemilik lembaga jasa keuangan baik langsung maupun tidak langsung.
Ayat (7)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "berhalangan tetap" adalah cacat fisik dan/atau cacat mental yang tidak memungkinkan yang bersangkutan melaksanakan tugasnya dengan baik atau kehilangan kewarganegaraan Indonesia.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Angka 32
Pasal 60
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Apabila setelah tanggal 31 Desember belum mendapat persetujuan, anggaran yang digunakan adalah anggaran tahun anggaran sebelumnya.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Penetapan klasifikasi penggunaan anggaran untuk kebijakan moneter, Sistem Pembayaran, dan makroprudensial disepakati bersama antara Bank Indonesia dan DPR yang dibahas secara khusus dan tertutup. DPR dalam hal ini adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 33
Pasal 61
Dihapus.
Angka 34
Pasal 62
Ayat (1)
Cadangan umum digunakan untuk menambah modal atau menutup defisit Bank Indonesia.
Cadangan tujuan digunakan untuk biaya penggantian dan/atau pembaruan harta tetap, pengadaan perlengkapan yang diperlukan, pengembangan sumber daya manusia dan organisasi, serta peningkatan kualitas teknologi dalam melaksanakan tugas dan wewenang Bank Indonesia serta penyertaan modal, yang disampaikan kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan. DPR dalam hal ini adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Dalam hal modal termasuk cadangan umum telah mencapai 10% (sepuluh persen) dari kewajiban moneter, sisa surplus yang merupakan bagian Pemerintah terlebih dahulu harus digunakan untuk membayar kewajiban Pemerintah kepada Bank Indonesia.
Angka 35
Pasal 64A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Materi muatan yang diatur dalam Peraturan Dewan Gubernur paling sedikit mencakup mekanisme dan kriteria/persyaratan dalam pengelolaan kekayaan Bank Indonesia.
Yang dimaksud dengan "DPR" adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
Angka 36
Cukup jelas.
Angka 37
Pasal 64B
Cukup jelas.
Pasal 10
Angka 1
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "Rupiah digital" adalah Rupiah dalam bentuk digital yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dan merupakan kewajiban moneter Bank Indonesia.
Rupiah digital memiliki fungsi yang sama dengan Rupiah kertas dan Rupiah logam, yaitu sebagai alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, alat tukar (medium of exchange), dan alat penyimpan nilai (store of value).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Berkoordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat ini bertujuan untuk pemberitahuan dan pertukaran informasi sebagai bahan pertimbangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 14A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Koordinasi Bank Indonesia dengan Pemerintah diwujudkan dalam bentuk pertukaran informasi, di antaranya terkait dengan proyeksi jumlah Rupiah digital yang akan diterbitkan, mekanisme, dan rencana kasus penggunaan (use case) Rupiah digital.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 19
Yang dimaksud dengan "DPR" adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ruang lingkup koordinasi pengembangan sektor keuangan mencakup aspek pendalaman, efisiensi, dan aksesibilitas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "aktivitas di bidang sistem pembayaran" adalah aktivitas yang mencakup seperangkat aturan, lembaga, dan mekanisme yang digunakan untuk melaksanakan pemindahan dana guna memenuhi suatu kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Kegiatan usaha yang merupakan kewenangan Bank Indonesia meliputi aktivitas di bidang sistem pembayaran, penerbitan dan transaksi Surat Berharga di Pasar Uang, dan kegiatan usaha dalam valuta asing.
Angka 3
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Perusahaan lain yang mendukung industri Perbankan di antaranya perusahaan di bidang teknologi informasi, teknologi finansial, lembaga kliring, serta switching company.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Kerja sama dengan LJK lain di antaranya mencakup kerja sama pemasaran produk asuransi, pemasaran produk reksa dana, penyelenggaraan dana pensiun bagi karyawan Bank Umum, penyaluran kredit secara channeling, dan produk lainnya.
Kerja sama dengan selain LJK di antaranya mencakup kerja sama dengan perusahaan di bidang teknologi informasi dalam mengembangkan layanan digital.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 7A
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "memanfaatkan teknologi informasi" adalah pemanfaatan teknologi informasi dalam rangka mendorong transformasi Perbankan menuju era digital banking.
Ayat (2)
Pelaksanaan kerja sama ditujukan untuk mendorong transformasi digital dan membangun keterkaitan (interlink) antara Bank dan ITSK berlandaskan asas yang mendukung keterbukaan, interoperabilitas, keamanan, fleksibilitas, Pelindungan Konsumen, independensi, dan kebaruan.
Ayat (3)
Ketentuan peraturan perundang-undangan di antaranya mencakup ketentuan mengenai penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik serta pelindungan data pribadi yang mengatur mengenai:
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 7B
Ayat (1)
Bank digital merupakan Bank yang menyediakan dan menjalankan kegiatan usaha terutama melalui saluran elektronik tanpa kantor fisik selain kantor pusat, atau menggunakan kantor fisik yang terbatas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "DPR" adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
Angka 5
Pasal 8A
Ayat (1)
Kewajiban transparansi suku bunga dilaksanakan dengan mempublikasikan suku bunga dasar kredit, di antaranya mencakup cost of fund, margin, dan overhead cost.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "DPR" adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
Angka 6
Pasal 10
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 12A
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 12B
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Kerja sama dengan LJK lain di antaranya mencakup kerja sama pemasaran produk asuransi, pemasaran produk reksa dana, penyelenggaraan Dana Pensiun bagi karyawan BPR, penyaluran Kredit secara channeling, dan produk lainnya.
Kerja sama dengan selain LJK di antaranya mencakup kerja sama dengan perusahaan di bidang teknologi informasi dalam mengembangkan layanan digital.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Kegiatan lainnya di antaranya mencakup sistem pembayaran berbasis digital dan penerbitan kartu anjungan tunai mandiri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 13A
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 14
Larangan ini dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan kegiatan usaha BPR yang terutama ditujukan untuk melayani namun tidak terbatas pada usaha mikro dan kecil serta masyarakat di wilayah setempat. Untuk itu jenis pelayanan yang dapat diberikan oleh BPR disesuaikan dengan maksud tersebut tanpa mengurangi daya saing BPR terhadap Bank Umum dan lembaga keuangan mikro.
Huruf a
Dengan larangan menerima Simpanan berupa Giro maka BPR tidak dapat:
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 15
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 15A
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 16
Ayat (1)
Kegiatan menghimpun dana dari masyarakat oleh siapa pun pada dasarnya merupakan kegiatan yang perlu diawasi, mengingat dalam kegiatan itu terkait kepentingan masyarakat yang dananya disimpan pada pihak yang menghimpun dana. Sehubungan dengan itu dalam ayat ini ditegaskan bahwa kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk Simpanan hanya dapat dilakukan oleh pihak yang telah memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau sebagai BPR.
Namun, di masyarakat terdapat pula jenis lembaga lainnya yang juga melakukan kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk Simpanan atau semacam Simpanan, misalnya yang dilakukan oleh kantor pos, oleh Dana Pensiun, atau oleh Perusahaan Asuransi.
Kegiatan lembaga tersebut tidak dicakup sebagai kegiatan usaha Perbankan berdasarkan ketentuan dalam ayat ini. Kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat yang dilakukan oleh lembaga tersebut diatur dengan undang-undang tersendiri.
Ayat (2)
Dalam memberikan izin usaha sebagai Bank Umum dan BPR, Otoritas Jasa Keuangan selain memperhatikan pemenuhan persyaratan untuk memperoleh izin usaha, juga memperhatikan tingkat persaingan yang sehat antar-Bank, tingkat kejenuhan jumlah Bank dalam suatu wilayah tertentu, dan pemerataan pembangunan ekonomi nasional.
Huruf a
Pada Bank Umum dimungkinkan kepengurusan pihak asing dalam hal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Persyaratan kepemilikan termasuk jumlah dan komposisi kepemilikan pihak asing yang diizinkan pada Bank.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Materi muatan yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan di antaranya memuat:
Angka 15
Pasal 18
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "kantor" adalah kantor fisik tempat kedudukan pengurusan Bank di wilayah hukum Republik Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 19
Dihapus.
Angka 17
Pasal 19A
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 20
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 20A
Ayat (1)
Penerapan mengenai prinsip kehati-hatian di antaranya mencakup:
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 20B
Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 21
Cukup jelas.
Angka 21
Pasal 23
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Badan hukum Indonesia di antaranya Pemerintah, Pemerintah Daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi, perseroan terbatas, dan badan hukum lain yang dimiliki oleh swasta yang didirikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 22
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "integrasi" adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh Kantor Cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri dan Bank, dengan mengalihkan aset dan/atau liabilitas Kantor Cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri secara hukum kepada Bank, dan selanjutnya dilakukan pencabutan izin usaha Kantor Cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri.
Yang dimaksud dengan "konversi" adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh Kantor Cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri untuk mengubah izin usaha Kantor Cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri menjadi izin usaha Bank, dan selanjutnya dilakukan pencabutan izin usaha Kantor Cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 23
Pasal 28A
Cukup jelas.
Angka 24
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pengawasan secara langsung adalah pemeriksaan terhadap Bank. Pengawasan secara tidak langsung adalah pengawasan dini melalui penelitian, analisis, dan evaluasi atas laporan, data, dan informasi Bank yang dapat ditindaklanjuti dengan pengawasan langsung dan/atau tindakan perbaikan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "pihak terelasi" (sister company) adalah beberapa perusahaan/badan usaha yang terpisah secara kelembagaan dan/atau secara hukum namun dimiliki dan/atau dikendalikan oleh PSP yang sama.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 25
Pasal 30
Kewajiban Bank di antaranya dikenakan kepada pegawai Bank yang terdiri atas pejabat Bank yang diberi wewenang dan tanggung jawab untuk melaksanakan tugas operasional Bank dan karyawan yang mempunyai akses terhadap informasi mengenai keadaan Bank.
Angka 26
Pasal 30A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Tambahan modal di antaranya mencakup capital conservation buffer, tambahan modal berdasarkan kondisi pertumbuhan Kredit (countercyclical buffer), dan capital surcharge untuk Bank Sistemik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "tambahan modal berdasarkan kondisi pertumbuhan Kredit (countercyclical buffer)" adalah tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) untuk mengantisipasi kerugian jika terjadi pertumbuhan Kredit dan/atau Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah Perbankan yang berlebihan sehingga berpotensi mengganggu Stabilitas Sistem Keuangan.
Angka 27
Pasal 31
Dihapus.
Angka 28
Pasal 31A
Pihak lain di antaranya mencakup pengelola statuter, akuntan publik, auditor teknologi informasi, penilai publik, konsultan hukum, dan aktuaris.
Tugas tertentu di antaranya mencakup penggantian tugas manajemen, pemeriksaan, dan perhitungan risiko.
Angka 29
Pasal 33
Cukup jelas.
Angka 30
Pasal 34
Ayat (1)
Laporan lainnya di antaranya mencakup laporan penerapan tata kelola, laporan rencana pengembangan teknologi informasi, laporan realisasi rencana bisnis Bank, laporan profil risiko, laporan informasi perpajakan bagi Nasabah asing, dan laporan pelaksanaan audit intern.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 31
Pasal 35
Cukup jelas.
Angka 32
Pasal 36
Cukup jelas.
Angka 33
Pasal 36A
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "data/dokumen" adalah segala jenis data atau dokumen, baik tertulis maupun elektronik, yang terkait dengan objek pengawasan Otoritas Jasa Keuangan.
Yang dimaksud dengan "setiap tempat yang terkait Bank" adalah setiap bagian ruangan dari kantor Bank dan tempat lain di luar Bank yang terkait dengan objek pengawasan Otoritas Jasa Keuangan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "setiap pihak" adalah orang atau badan hukum yang memiliki pengaruh terhadap pengambilan keputusan dan operasional Bank, baik langsung maupun tidak langsung, di antaranya, PSPT atau pihak tertentu yang namanya tidak tercantum sebagai pegawai, pengurus, atau pemegang saham Bank atau yang setara tetapi dapat memengaruhi kegiatan operasional Bank atau keputusan manajemen Bank.
Huruf c
Rekening tertentu di antaranya mencakup rekening Simpanan dan rekening Kredit atau rekening Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 34
Pasal 37
Ayat (1)
Keadaan suatu Bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya jika berdasarkan penilaian Otoritas Jasa Keuangan, kondisi usaha Bank semakin memburuk, di antaranya ditandai dengan menurunnya permodalan, kualitas aset, likuiditas, dan rentabilitas, serta pengelolaan Bank yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kehati hatian dan asas Perbankan yang sehat.
Huruf a
Membatasi kewenangan di antaranya pembatasan keputusan pemberian bonus atau tantiem, pemberian dividen kepada pemilik Bank, atau kenaikan gaji bagi pegawai dan pengurus.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan "pihak lain" adalah pihak di luar Bank yang bersangkutan, baik Bank lain, badan usaha lain, maupun individu yang memenuhi persyaratan.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pemberitahuan secara tertulis oleh Otoritas Jasa Keuangan kepada Lembaga Penjamin Simpanan adalah sebagai penyerahan penanganan Bank untuk dilakukan tindakan resolusi oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 35
Pasal 37C
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pihak lain di antaranya mencakup pelapor sistem layanan informasi keuangan, debitur, dan lembaga pengelola informasi perkreditan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 37D
Cukup jelas.
Pasal 37E
Ayat (1)
Kewajiban Bank di antaranya dikenakan kepada pegawai Bank yang terdiri atas semua pejabat dan karyawan Bank.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "pegawai Bank" adalah semua pejabat dan karyawan Bank.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 36
Pasal 38
Ayat (1)
Pihak utama Bank di antaranya mencakup PSP atau yang setara, direksi atau yang setara, dan dewan komisaris atau yang setara.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 37
Pasal 40
Kewajiban Bank di antaranya dikenakan kepada pegawai Bank yang terdiri atas semua pejabat dan karyawan Bank.
Angka 38
Pasal 40A
Ayat (1)
Huruf a
Peradilan dalam perkara perdata di antaranya peradilan umum dan peradilan agama, termasuk untuk kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perceraian dan dalam rangka pemulihan aset.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Permintaan tersebut dilakukan sesuai dengan undang-undang mengenai akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dan peraturan pelaksanaannya.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Dalam pelaksanaan tugas Bank Indonesia, akses data dan informasi dapat dilakukan melalui sistem informasi terintegrasi.
Huruf k
Dalam pelaksanaan tugas Lembaga Penjamin Simpanan, akses data dan informasi dapat dilakukan melalui sistem informasi terintegrasi.
Huruf l
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 40B
Cukup jelas.
Pasal 40C
Cukup jelas.
Angka 39
Pasal 41
Dihapus.
Angka 40
Pasal 41A
Cukup jelas.
Angka 41
Pasal 42
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "kepentingan peradilan" adalah kepentingan dalam proses peradilan suatu perkara yang dimulai dari tahap penyidikan sampai dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Penyidik lain yang diberi wewenang· berdasarkan Undang-Undang di antaranya penyidik pegawai negeri sipil dan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "pimpinan instansi yang diberi wewenang untuk melakukan penyidikan" adalah menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian setingkat menteri atau jabatan satu tingkat di bawahnya yang diberikan wewenang penyidikan berdasarkan Undang-Undang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Permintaan dan pemberian izin tertulis dapat dilakukan baik secara elektronik maupun non-elektronik.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 42
Pasal 42A
Kewajiban Bank di antaranya dikenakan kepada pegawai Bank yang terdiri atas pejabat Bank yang diberi wewenang dan tanggung jawab untuk melaksanakan tugas operasional Bank dan karyawan yang mempunyai akses terhadap informasi mengenai keadaan Bank.
Angka 43
Pasal 43
Cukup jelas.
Angka 44
Pasal 43A
Cukup jelas.
Angka 45
Pasal 44
Tukar menukar informasi antar-Bank dilakukan dengan memperhatikan tata kelola yang baik dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Angka 46
Pasal 44A
Cukup jelas.
Angka 47
Pasal 44B
Cukup jelas.
Pasal 44C
Cukup jelas.
Angka 48
Pasal 45
Cukup jelas.
Angka 49
Pasal 45A
Cukup jelas.
Angka 50
Pasal 46
Cukup jelas.
Angka 51
Pasal 47
Cukup jelas.
Angka 52
Pasal 47A
Cukup jelas.
Angka 53
Pasal 48
Cukup jelas.
Angka 54
Pasal 49
Cukup jelas.
Angka 55
Pasal 50
Cukup jelas.
Angka 56
Pasal 50A
Cukup jelas.
Angka 57
Pasal 50B
Yang dimaksud dengan "pihak lain" adalah Setiap Orang yang memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan korporasi atau badan usaha yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya tanpa harus mendapat otorisasi dari atasannya.
Pasal 50C
Cukup jelas.
Pasal 50D
Cukup jelas.
Angka 58
Pasal 51
Dihapus.
Pasal 15
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 2A
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dana sosial lainnya di antaranya penerimaan Bank Syariah dan UUS yang berasal dari pengenaan sanksi terhadap Nasabah (ta'zir).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 5
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "kantor" adalah kantor fisik tempat kedudukan pengurusan Bank di wilayah hukum Republik Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 6A
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 7
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 13
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 17
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 17A
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Penempatan dana Akad mudharabah selama dalam bentuk Simpanan sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf I
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Yang dimaksud dengan "aktivitas di bidang sistem pembayaran" adalah aktivitas yang mencakup seperangkat aturan, lembaga, dan mekanisme, yang digunakan untuk melaksanakan pemindahan dana guna memenuhi suatu kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Cukup jelas.
Huruf q
Cukup jelas.
Huruf r
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Penempatan dana Akad mudharabah selama dalam bentuk Simpanan sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Yang dimaksud dengan "aktivitas di bidang sistem pembayaran" adalah aktivitas yang mencakup seperangkat aturan, lembaga, dan mekanisme, yang digunakan untuk melaksanakan pemindahan dana guna memenuhi suatu kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Kegiatan usaha yang merupakan kewenangan Bank Indonesia meliputi aktivitas di bidang sistem pembayaran, penerbitan dan transaksi surat berharga di Pasar Uang, dan kegiatan usaha dalam valuta asing.
Angka 12
Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Lembaga nonkeuangan yang mendukung industri Perbankan Syariah di antaranya perusahaan di bidang teknologi informasi, teknologi finansial, lembaga kliring, switching company, dan perusahaan yang melaksanakan bidang usaha yang mendukung Pembiayaan Perbankan Syariah.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Kerja sama dengan LJK lain seperti kerja sama pemasaran produk asuransi, pemasaran produk reksa dana, penyelenggaraan Dana Pensiun bagi karyawan Bank Umum Syariah, penyaluran Pembiayaan secara channeling, dan produk lainnya.
Kerja sama dengan selain LJK seperti kerja sama dengan perusahaan di bidang teknologi informasi dalam mengembangkan layanan digital.
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Kerja sama dengan LJK lain di antaranya mencakup kerja sama pemasaran produk asuransi, pemasaran produk reksa dana, penyelenggaraan Dana Pensiun bagi karyawan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, penyaluran Pembiayaan secara channeling, dan produk lainnya.
Kerja sama dengan selain LJK di antaranya mencakup kerja sama dengan perusahaan di bidang teknologi informasi dalam mengembangkan layanan digital.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 20A
Ayat (1)
Bank digital merupakan Bank yang menyediakan dan menjalankan kegiatan usaha terutama melalui saluran elektronik tanpa kantor fisik selain kantor pusat, atau menggunakan kantor fisik yang terbatas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "DPR" adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
Angka 14
Pasal 21
Ayat (1)
Huruf a
Penempatan dana Akad mudharabah selama dalam bentuk Simpanan sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 21A
Huruf a
Kerja sama dengan LJK lain seperti kerja sama pemasaran produk asuransi, pemasaran produk reksa dana, penyelenggaraan Dana Pensiun bagi karyawan BPR Syariah, penyaluran Pembiayaan secara channeling, dan produk lainnya.
Kerja sama dengan selain LJK seperti kerja sama dengan perusahaan di bidang teknologi informasi dalam mengembangkan layanan digital.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 21B
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "memanfaatkan teknologi informasi" adalah pemanfaatan teknologi informasi dalam rangka mendorong transformasi Perbankan Syariah dan UUS menuju era digital banking.
Ayat (2)
Pelaksanaan kerja sama ditujukan untuk mendorong transformasi digital dan membangun keterkaitan (interlink) antara Bank Syariah dan UUS dengan ITSK berlandaskan asas yang mendukung keterbukaan, interoperabilitas, keamanan, fleksibilitas, Pelindungan Konsumen, independensi, dan kebaruan.
Ayat (3)
Peraturan perundang-undangan di antaranya ketentuan mengenai penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik serta pelindungan data pribadi yang mengatur mengenai:
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 21C
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 24
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 25
Larangan ini dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan kegiatan usaha BPR Syariah yang terutama ditujukan untuk melayani namun tidak terbatas pada usaha mikro dan kecil serta masyarakat di wilayah setempat. Untuk itu jenis pelayanan yang dapat diberikan oleh BPR Syariah disesuaikan dengan maksud tersebut tanpa mengurangi daya saing BPR Syariah terhadap Bank Umum Syariah dan lembaga keuangan mikro syariah.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dengan larangan menerima Simpanan berupa Giro maka BPR Syariah tidak dapat:
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 26
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 27
Ayat (1)
Pihak utama di antaranya mencakup PSP atau yang setara, direksi atau yang setara, dan dewan komisaris atau yang setara.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 28
Dihapus.
Angka 21
Pasal 29
Dihapus.
Angka 22
Pasal 30
Dihapus.
Angka 23
Pasal 31
Dihapus.
Angka 24
Pasal 34
Cukup jelas.
Angka 25
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Laporan lainnya di antaranya mencakup laporan penerapan tata kelola, laporan rencana pengembangan teknologi informasi, laporan realisasi rencana bisnis Bank, laporan profil risiko, laporan informasi perpajakan bagi Nasabah asing, dan laporan pelaksanaan audit internal.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 26
Pasal 38
Cukup jelas.
Angka 27
Pasal 40
Cukup jelas.
Angka 28
Pasal 41
Kewajiban Bank Syariah dan UUS di antaranya dikenakan kepada pegawai Bank Syariah atau pegawai Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS. Pegawai Bank Syariah atau pegawai Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS merupakan semua pejabat dan karyawan Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS.
Angka 29
Pasal 41A
Ayat (1)
Huruf a
Peradilan dalam perkara perdata di antaranya peradilan umum dan peradilan agama, termasuk untuk kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perceraian dan dalam rangka pemulihan aset.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Permintaan tersebut dilakukan sesuai dengan undang-undang mengenai akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dan peraturan pelaksanaannya.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Dalam pelaksanaan tugas Bank Indonesia, akses data dan informasi dapat dilakukan melalui sistem informasi terintegrasi.
Huruf k
Dalam pelaksanaan tugas Lembaga Penjamin Simpanan, akses data dan informasi dapat dilakukan melalui sistem informasi terintegrasi.
Huruf l
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 41B
Cukup jelas.
Pasal 41C
Cukup jelas.
Angka 30
Pasal 42
Dihapus.
Angka 31
Pasal 43
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "kepentingan peradilan" adalah kepentingan dalam proses peradilan suatu perkara yang dimulai dari tahap penyidikan sampai dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Penyidik lain yang diberi wewenang berdasarkan Undang-Undang di antaranya penyidik pegawai negeri sipil dan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Permintaan dan pemberian izin tertulis dapat dilakukan baik secara elektronik maupun non-elektronik.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 32
Pasal 44
Kewajiban Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS di antaranya dikenakan kepada pegawai Bank Syariah atau pegawai Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS. Pegawai Bank Syariah atau pegawai Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS merupakan semua pejabat dan karyawan Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS.
Angka 33
Pasal 45
Cukup jelas.
Angka 34
Pasal 45A
Cukup jelas.
Angka 35
Pasal 46
Tukar menukar informasi antar-Bank dilakukan dengan memperhatikan tata kelola yang baik dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Angka 36
Pasal 47
Kewajiban Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS di antaranya dikenakan kepada pegawai Bank Syariah atau pegawai Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS. Pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS merupakan pejabat Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang diberi wewenang dan tanggung jawab untuk melaksanakan tugas operasional Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, dan karyawan yang mempunyai akses terhadap informasi mengenai keadaan Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS.
Angka 37
Pasal 48
Cukup jelas.
Angka 38
Pasal 48A
Cukup jelas.
Pasal 48B
Cukup jelas.
Pasal 48C
Cukup jelas.
Angka 39
Pasal 49
Cukup jelas.
Angka 40
Pasal 50
Cukup jelas.
Angka 41
Pasal 51
Cukup jelas.
Angka 42
Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "data/dokumen" adalah segala jenis data atau dokumen, baik tertulis maupun elektronik, yang terkait dengan objek pengawasan Otoritas Jasa Keuangan.
Yang dimaksud dengan "setiap tempat yang terkait dengan Bank Syariah dan UUS" adalah setiap bagian ruangan dari kantor Bank Syariah dan UUS dan tempat lain di luar Bank Syariah dan UUS yang terkait dengan objek pengawasan Otoritas Jasa Keuangan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "setiap pihak" adalah orang atau badan hukum yang memiliki pengaruh terhadap pengambilan keputusan dan operasional Bank Syariah dan UUS, baik langsung maupun tidak langsung, di antaranya, PSPT atau pihak tertentu yang namanya tidak tercantum sebagai pegawai, pengurus, atau pemegang saham Bank Syariah dan Bank Konvensional yang memiliki UUS, tetapi dapat memengaruhi kegiatan operasional Bank Syariah dan UUS atau keputusan manajemen Bank Syariah dan Bank Konvensional yang memiliki UUS.
Huruf c
Rekening tertentu di antaranya mencakup rekening Simpanan dan rekening Pembiayaan.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "pihak terelasi" (sister company) adalah beberapa perusahaan/badan usaha yang terpisah secara kelembagaan dan/atau secara hukum namun dimiliki dan/atau dikendalikan oleh PSP yang sama.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Angka 43
Pasal 53
Ayat (1)
Pihak lain di antaranya pengelola statuter, akuntan publik, auditor teknologi informasi, penilai publik, konsultan hukum, dan aktuaris.
Tugas tertentu di antaranya penggantian tugas manajemen, pemeriksaan, dan perhitungan risiko.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 44
Pasal 54
Ayat (1)
Keadaan suatu Bank Syariah mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya jika berdasarkan penilaian Otoritas Jasa Keuangan, kondisi usaha Bank Syariah makin memburuk, di antaranya ditandai dengan menurunnya permodalan, kualitas aset, likuiditas, dan rentabilitas, serta pengelolaan Bank Syariah yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan asas Perbankan Syariah yang sehat.
Huruf a
Membatasi kewenangan di antaranya pembatasan keputusan pemberian bonus atau tantiem, pemberian dividen kepada pemilik Bank Syariah, atau kenaikan gaji bagi pegawai dan pengurus.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan "pihak lain" adalah pihak di luar Bank Syariah yang bersangkutan, baik Bank Syariah lain, badan usaha lain, maupun individu yang memenuhi persyaratan.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pemberitahuan secara tertulis oleh Otoritas Jasa Keuangan kepada Lembaga Penjamin Simpanan adalah sebagai penyerahan penanganan Bank Syariah untuk dilakukan tindakan resolusi oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 45
Pasal 54A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pihak lain di antaranya mencakup pelapor sistem layanan informasi keuangan, debitur, dan lembaga pengelola informasi perkreditan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 54B
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS" adalah semua pejabat dan karyawan Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 46
Pasal 59
Cukup jelas.
Angka 47
Pasal 60
Cukup jelas.
Angka 48
Pasal 61
Cukup jelas.
Angka 49
Pasal 62
Cukup jelas.
Angka 50
Pasal 63
Cukup jelas.
Angka 51
Pasal 64
Cukup jelas.
Angka 52
Pasal 65
Cukup jelas.
Angka 53
Pasal 66
Cukup jelas.
Angka 54
Pasal 66A
Yang dimaksud dengan "pihak lain" adalah Setiap Orang yang memiliki kewenangan untuk melakukan kebijakan korporasi atau badan usaha yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya dimaksud tanpa harus mendapat otorisasi dari atasannya.
Pasal 66B
Cukup jelas.
Pasal 66C
Cukup jelas.
Angka 55
Pasal 67A
Cukup jelas.
Angka 56
Pasal 68
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Konsolidasi Perbankan Syariah dilakukan dalam upaya untuk memperkuat ekosistem Perbankan Syariah yang efektif, efisien, sehat, dan berdaya saing, serta memberikan daya dukung bagi perekonomian nasional.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "DPR" adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "sarana transaksi" adalah sarana perdagangan baik di pasar perdana maupun pasar sekunder melalui penyelenggara pasar di pasar keuangan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "sarana kliring dan/atau penjaminan (central counter party)" adalah lembaga kliring yang melayani baik untuk transaksi di bursa maupun di over the counter dengan novasi.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "sarana pengelola informasi transaksi (trade repository) instrumen keuangan dan/atau Derivatif" adalah lembaga yang mengelola semua informasi terkait transaksi Derivatif.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (3)
Bentuk koordinasi dalam mendorong pengembangan infrastruktur pasar misalnya mendorong terbentuknya sarana pengelola informasi transaksi Derivatif yang terintegrasi untuk seluruh kelas aset.
Ayat (4)
Infrastruktur pasar yang diselenggarakan otoritas sektor keuangan misalnya penyelenggaraan sarana penyelesaian dana oleh Bank Indonesia.
Ayat (5)
Untuk mendukung efisiensi pasar, infrastruktur pendukung pasar diharapkan dapat mendukung interoperabilitas. Misalnya, pada penyelenggaraan sistem dan/atau sarana perdagangan bagi lebih dari 1 (satu) instrumen keuangan dilakukan pada penyelenggara perdagangan alternatif di bidang Pasar Modal yang telah memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan dapat menyediakan sistem dan/atau sarana perdagangan bagi instrumen keuangan di Pasar Uang setelah memperoleh persetujuan dari Bank Indonesia.
Instrumen keuangan mencakup efek di Pasar Modal serta instrumen di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing.
Ayat (6)
Otoritas asal infrastruktur pasar dapat berbeda dengan otoritas pengawas instrumen keuangan. Yang dimaksud dengan "otoritas asal infrastruktur pasar" adalah lembaga pengawas yang memberikan izin usaha kelembagaan infrastruktur, sedangkan otoritas pengawas instrumen keuangan adalah lembaga yang memberikan izin bagi perdagangan instrumen keuangan.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Instrumen keuangan dan/atau transaksi atas instrumen keuangan yang memiliki lebih dari satu karakteristik pasar misalnya transaksi repo (repurchase agreement) dengan underlying efek bersifat utang yang diklasifikasikan sebagai transaksi sekunder efek di Pasar Modal, tetapi dapat diklasifikasikan sebagai transaksi di Pasar Uang.
Contoh lainnya adalah aset keuangan digital seperti jenis stablecoin yang dikaitkan nilainya dengan sekumpulan mata uang asing yang berkarakteristik seperti jenis reksa dana pasar uang yang diperdagangkan di Pasar Modal.
Yang dimaksud dengan "pasar komoditi" adalah pasar komoditi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai perdagangan berjangka komoditi.
Otoritas mencakup Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Pasal 3A
Peraturan perundang-undangan di sektor keuangan termasuk undang-undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan, undang-undang mengenai Bank Indonesia, undang-undang mengenai pasar modal, undang-undang mengenai perasuransian, dan undang-undang mengenai dana pensiun.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 5
Huruf a
Angka 1
Pernyataan Pendaftaran efektif dalam hal ini menunjukkan lengkap atau dipenuhinya seluruh prosedur dan persyaratan atas Pernyataan Pendaftaran yang diwajibkan dalam Undang-Undang ini dan/atau peraturan pelaksanaannya. Pernyataan efektif tersebut bukan merupakan izin untuk melakukan Penawaran Umum dan juga bukan berarti bahwa Otoritas Jasa Keuangan menyatakan informasi yang diungkapkan Emiten atau Perusahaan Publik tersebut adalah benar atau cukup. Emiten atau Perusahaan Publik yang mengajukan Pernyataan Pendaftaran bertanggung jawab bahwa seluruh informasi dan pernyataan yang dibuat adalah benar dan tidak menyesatkan.
Otoritas Jasa Keuangan tidak menjamin kebenaran dan kelengkapan informasi yang disampaikan dalam Pernyataan Pendaftaran. Otoritas Jasa Keuangan dapat menunda efektifnya Pernyataan Pendaftaran dalam hal tata cara dan/atau persyaratan Pernyataan Pendaftaran belum dipenuhi. Di samping itu, Otoritas Jasa Keuangan dapat membatalkan efektifnya Pernyataan Pendaftaran dalam hal diperoleh informasi baru yang menunjukkan adanya pelanggaran terhadap Undang-Undang ini dan/atau peraturan pelaksanaannya.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Dalam menetapkan instrumen lain sebagai Efek, Otoritas Jasa Keuangan juga memperhatikan perkembangan model bisnis dan teknologi yang berkembang.
Angka 7
Layanan urun dana merupakan penyelenggaraan layanan penawaran Efek yang dilakukan oleh penerbit untuk menjual Efek secara langsung kepada pemodal atau investor melalui jaringan sistem elektronik yang bersifat terbuka.
Aspek pengaturan layanan urun dana di antaranya mencakup penyelenggara layanan, penerbit, serta standar keamanan dan keandalan sistem elektronik.
Angka 8
Cukup jelas.
Angka 9
Cukup jelas.
Angka 10
Cukup jelas.
Angka 11
Lembaga yang didirikan untuk pengembangan Pasar Modal, misalnya untuk memaksimalkan fungsi Penyelenggara Pasar di luar Bursa Efek.
Angka 12
Cukup jelas.
Angka 13
Penjelasan lebih lanjut yang bersifat teknis dapat berbentuk di antaranya mencakup edaran, bulletin accounting staff, atau bulletin legal staff.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Angka 1
Pihak lain di antaranya mencakup lembaga pendanaan Efek dan Pihak yang berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan dikategorikan sebagai LJK.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Huruf a)
Apabila suatu Pihak yang melakukan kegiatan di Pasar Modal menyampaikan informasi melalui iklan atau promosi yang tidak sesuai dengan Undang-Undang ini dan/atau peraturan pelaksanaannya, untuk melindungi kepentingan pemodal atau investor dan/atau Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan memiliki kewenangan untuk menghentikan iklan atau promosi tersebut dan mewajibkan Pihak yang bersangkutan untuk meluruskannya dengan cara memperbaiki iklan atau promosi dimaksud.
Huruf b)
Apabila iklan atau promosi tersebut dalam huruf a) di atas mengakibatkan kerugian kepada Pihak lain termasuk pemodal, Otoritas Jasa Keuangan memiliki kewenangan untuk mewajibkan Pihak tersebut mengambil langkah yang diperlukan untuk mengatasi akibat yang ditimbulkan, di antaranya mencakup pembayaran ganti rugi.
Angka 4
Yang dimaksud dengan "pemeriksaan" adalah pemeriksaan rutin terhadap Emiten, Perusahaan Publik, dan Pihak yang memperoleh izin, persetujuan atau pendaftaran dari Otoritas Jasa Keuangan. Pemeriksaan tersebut dapat dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan dengan mewajibkan para Pihak dimaksud untuk menyampaikan laporan tertentu atau memeriksa kantor dan catatan seperti rekening, pembukuan, dokumen, atau kertas kerja yang disusun secara manual, mekanis, elektronik, atau dengan cara lain.
Angka 5
Penunjukan kepada Pihak lain oleh Otoritas Jasa Keuangan misalnya, adalah penunjukan Otoritas Jasa Keuangan kepada Bursa Efek dan/atau Penyelenggara Pasar untuk melakukan pemeriksaan terhadap Perusahaan Efek atau Pihak lain yang menjadi Anggota Bursa Efek. Penunjukan tersebut dapat pula diberikan kepada akuntan atau Pihak lain untuk melakukan pemeriksaan dalam kasus tertentu di mana jasa akuntan atau Pihak lain yang bersangkutan diperlukan.
Angka 6
Yang dimaksud dengan "penangkalan" adalah penangkalan terhadap orang asing yang diduga akan mengganggu keamanan dan ketertiban umum melalui kegiatan di Pasar Modal.
Angka 7
Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam angka 2 dan angka 4 dan hasil pemeriksaan tersebut dipandang perlu untuk diketahui oleh masyarakat dalam rangka menjaga integritas pasar dan kepatuhan setiap Pihak terhadap Undang-Undang ini dan/atau peraturan pelaksanaannya, Otoritas Jasa Keuangan dapat mengumumkan hasil pemeriksaan tersebut berdasarkan kewenangan dalam angka ini.
Angka 8
Pembekuan atau pembatalan pencatatan suatu Efek pada Bursa Efek atau penghentian Transaksi Bursa atas Efek tertentu dapat dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan apabila terdapat hal-hal atau kejadian yang membahayakan kepentingan pemodal atau keadaan yang tidak memungkinkan diselenggarakannya Transaksi Bursa atas Efek tertentu secara wajar, misalnya diketahui bahwa Emiten tidak mengungkapkan keadaan perusahaan yang sebenarnya.
Angka 9
Yang dimaksud dengan "keadaan darurat" adalah suatu keadaan memaksa di luar kemampuan Pihak sebagai akibat, di antaranya adanya perang, peristiwa alam seperti gempa bumi atau banjir, pemogokan, sabotase, atau huru-hara, turunnya sebagian besar atau keseluruhan harga Efek yang tercatat di Bursa Efek atau Penyelenggara Pasar sedemikian besar dan material sifatnya yang terjadi secara mendadak (crash), atau kegagalan sistem perdagangan atau penyelesaian transaksi.
Angka 10
Jika suatu Pihak dikenakan sanksi oleh Bursa Efek, Penyelenggara Pasar, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, dan yang bersangkutan tidak menerima sanksi tersebut, maka Pihak dimaksud dapat mengajukan keberatan atas pengenaan sanksi tersebut kepada Otoritas Jasa Keuangan. Otoritas Jasa Keuangan dapat mengabulkan permohonan tersebut apabila berdasarkan hasil penelaahan Otoritas Jasa Keuangan sanksi dimaksud tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan membatalkan atau mengubah keputusan Bursa Efek, Penyelenggara Pasar, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian. Sebaliknya, Otoritas Jasa Keuangan dapat menolak permohonan tersebut dengan menguatkan keputusan Bursa Efek, Penyelenggara Pasar, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian apabila keberatan atas pengenaan sanksi tersebut tidak beralasan.
Angka 11
Yang dimaksud dengan "tindakan yang diperlukan untuk mencegah kerugian masyarakat" adalah tindakan yang bersifat penting dan segera harus diambil untuk melindungi masyarakat dari pelanggaran Undang-Undang ini dan/atau peraturan pelaksanaannya, di antaranya mencakup:
Angka 12
Ketentuan ini dimaksudkan agar terdapat keterbukaan bagi Pihak tertentu atas kepemilikan Efeknya atau kepemilikan Efek Pihak lain yang diketahui atau sepatutnya diketahui oleh Pihak tertentu tersebut.
Kepemilikan Efek meliputi pemilik terdaftar atas Efek dan pemilik manfaat atas Efek.
Pemilik terdaftar atas Efek (registered owner) adalah Pihak yang terdaftar sebagai pemegang Efek baik yang terdaftar dalam daftar pemegang Efek pada penerbit Efek atau dalam Penitipan Kolektif pada Kustodian.
Pemilik manfaat atas Efek (beneficial owner) adalah setiap Pihak yang berhak atas dan/atau menerima manfaat tertentu yang berkaitan dengan Efek.
Hak dan/atau penerimaan manfaat tersebut dapat diperoleh baik langsung maupun tidak langsung melalui perjanjian, atau melalui hubungan atau cara apapun.
Angka 13
Yang dimaksud dengan "pengendali" adalah Pihak yang mempunyai kemampuan untuk menentukan, baik langsung maupun tidak langsung, dengan cara apa pun pengelolaan dan/atau kebijakan perusahaan.
Angka 14
Cukup jelas.
Angka 15
Untuk menjaga integritas pasar, Otoritas Jasa Keuangan menggunakan kewenangan ini di antaranya untuk mencegah Pihak tertentu yang melakukan tindakan tercela menjadi pengendali pada Pihak yang memperoleh izin, persetujuan, atau pendaftaran dari Otoritas Jasa Keuangan.
Angka 16
Cukup jelas.
Angka 17
Cukup jelas.
Angka 18
Yang dimaksud dengan "melakukan hal lain" adalah kewenangan selain yang ditetapkan pada huruf a, huruf b dan angka 1 sampai dengan angka 17.
Kewenangan lain yang diberikan kepada Otoritas Jasa Keuangan, di antaranya mengenai:
Angka 3
Pasal 5A
Ayat (1)
Tata kelola yang baik di antaranya mencakup:
Ayat (2)
Otoritas Jasa Keuangan dapat menggunakan peraturan perundang-undangan yang bukan merupakan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal misalnya undang-undang mengenai perseroan terbatas, undang-undang mengenai pelindungan konsumen, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan/atau peraturan perundang-undangan lainnya yang bersifat umum dalam memastikan kepatuhan tata kelola pelaku di bidang Pasar Modal sebagai acuan dalam melakukan tindakan pengawasan dan penegakan hukum.
Yang dimaksud dengan "penegakan hukum" adalah pengenaan sanksi administratif oleh Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 5B
Kegiatan yang dilakukan oleh:
merupakan kegiatan yang untuk dan atas nama Pihak.
Pasal 5C
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "pemegang saham" adalah pemegang saham secara langsung dan pemegang saham tidak langsung.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Kesalahan atau kelalaian anggota direksi dan/atau anggota dewan komisaris termasuk jika anggota direksi dan/atau anggota dewan komisaris tersebut tidak mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.
Pasal 5D
Ayat (1)
Penyelenggara Pasar di luar Bursa Efek di antaranya mencakup Pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem untuk mempertemukan Transaksi Efek antar pengguna jasa secara terus-menerus di luar Bursa Efek.
Penyelenggaraan dan penyediaan sistem tersebut dapat dilakukan secara elektronik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Secara kelembagaan, Penyelenggara Pasar yang pada awalnya menjalankan kegiatan di Pasar Modal dimaksud mendapat izin dari Otoritas Jasa Keuangan tanpa menghilangkan kewajiban pemenuhan persyaratan dari otoritas terkait yang melaksanakan pengawasan kegiatan di luar Pasar Modal.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Materi muatan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan di antaranya mencakup pengaturan mengenai persyaratan yang terkait dengan:
Angka 4
Pasal 8A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "DPR" adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
Angka 5
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Materi muatan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan di antaranya mencakup pengaturan mengenai persyaratan dan tata cara perizinan yang terkait dengan:
Angka 6
Pasal 14
Ayat (1)
Kegiatan kliring pada dasarnya merupakan suatu proses yang digunakan untuk menetapkan hak dan kewajiban para Pihak atas Transaksi Efek yang mereka lakukan sehingga mereka mengetahui hak dan kewajiban masing-masing.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 24
Ayat (1)
Pada dasarnya, Reksa Dana dapat menerima dan/atau memberikan pinjaman. Namun, dalam kondisi tertentu, Otoritas Jasa Keuangan dapat dimungkinkan untuk memberlakukan larangan bagi Reksa Dana menerima dan/atau memberikan pinjaman.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Hal yang berkaitan dengan pembatasan investasi, di antaranya mengenai:
Angka 8
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 29A
Cukup jelas.
Pasal 29B
Ayat (1)
Pembelian kembali Unit Penyertaan produk investasi kolektif selain Reksa Dana atau tanda bukti investasi lain dilakukan oleh Manajer Investasi dan dibebankan kepada rekening produk investasi kolektif selain Reksa Dana. Dana yang dipergunakan untuk membeli kembali Unit Penyertaan yang dilakukan oleh Manajer Investasi berasal dari kekayaan produk investasi kolektif selain Reksa Dana.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "sebagian besar" adalah sejumlah nilai tertentu yang dapat mempengaruhi secara material perhitungan nilai portofolio dan nilai aset bersih per Unit Penyertaan produk investasi kolektif selain Reksa Dana. Perhitungan nilai portofolio dan aset bersih per Unit Penyertaan berdasarkan harga Efek di Bursa Efek yang portofolio produk investasi kolektif selain Reksa Dana diperdagangkan. Apabila Bursa Efek tersebut ditutup, tidak ada harga bagi Efek yang menjadi dasar perhitungan nilai portofolio dan nilai aset bersih per Unit Penyertaan dari produk investasi kolektif selain Reksa Dana.
Huruf b
Apabila suatu Efek yang menjadi bagian portofolio produk investasi kolektif selain Reksa Dana dihentikan perdagangannya di Bursa Efek, tidak ada harga bagi Efek tersebut.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "keadaan darurat" adalah suatu keadaan memaksa di luar kemampuan Pihak sebagai akibat, di antaranya adanya perang, peristiwa alam seperti gempa bumi atau banjir, pemogokan, sabotase, atau huru-hara, terjadinya penjualan kembali (redemption) saham atau Unit Penyertaan produk investasi kolektif selain Reksa Dana sedemikian besar dan material sifatnya yang terjadi secara mendadak (crash), dihentikannya perdagangan Efek atas sebagian besar Portofolio Efek produk investasi kolektif selain Reksa Dana di Bursa Efek, atau ditutupnya Bursa Efek dimana sebagian besar Portofolio Efek produk investasi kolektif selain Reksa Dana diperdagangkan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengantisipasi perkembangan Pasar Modal yang memungkinkan adanya situasi di luar huruf a, huruf b, dan huruf c yang lazimnya diatur berdasarkan kontrak para Pihak berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Oleh karena itu, apabila ada hal lain di luar huruf a, huruf b, dan huruf c tersebut, perlu persetujuan terlebih dahulu dari Otoritas Jasa Keuangan sebelum kontrak berlaku dan mengikat para Pihak.
Persetujuan Otoritas Jasa Keuangan dapat merupakan bagian dari pernyataan efektif Pernyataan Pendaftaran produk investasi kolektif selain Reksa Dana, surat pencatatan produk investasi kolektif selain Reksa Dana, atau persetujuan Otoritas Jasa Keuangan terhadap perubahan Kontrak Investasi Kolektif.
Ayat (4)
Kondisi tertentu di antaranya mencakup portofolio investasi dari Kontrak Investasi Kolektif dimaksud tidak dapat dijual atau ketika dijual realisasi harga penjualan sangat berbeda dengan nilai aktiva bersihnya.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 10
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 30
Ayat (1)
Untuk melaksanakan kegiatan sebagai Perusahaan Efek diperlukan berbagai persyaratan di antaranya keahlian dan permodalan yang cukup.
Ayat (2)
Untuk mencegah terjadinya benturan kepentingan dalam Perusahaan Efek yang melakukan kegiatan Manajer Investasi dengan kegiatan Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek maka Perusahaan Efek yang bertindak sebagai Manajer Investasi tidak dapat melakukan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek.
Kegiatan lain termasuk memfasilitasi perdagangan instrumen di Pasar Uang atau penawaran Efek yang telah tercatat pada Bursa Efek di luar negeri (offshore product).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Oleh karena kegiatan tersebut dapat dilakukan oleh Pihak yang telah mendapatkan izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan, dan juga karena ada kemungkinan Efek baru yang diperdagangkan dalam kegiatan tersebut belum ada lembaga yang mengatur dan mengawasinya, Otoritas Jasa Keuangan dapat melaksanakan kewenangannya berdasarkan Undang-Undang ini dan/atau peraturan pelaksanaannya.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "perubahan kegiatan usaha" adalah perubahan kegiatan usaha yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak dapat dilakukan oleh Perusahaan Efek.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Pengaturan tentang persyaratan dan tata cara perizinan, persetujuan, pendaftaran, atau pembubaran termasuk pengaturan tentang Perusahaan Efek yang didirikan berdasarkan kekhususan karakteristik suatu daerah.
Angka 12
Pasal 42A
Contoh hubungan Afiliasi mencakup:
Pasal 42B
Cukup jelas.
Angka 13
Cukup jelas.
Angka 14
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 55
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "penyelesaian pembukuan" (book entry settlement) adalah pemenuhan hak dan kewajiban yang timbul sebagai akibat adanya Transaksi Efek yang dilaksanakan dengan cara mengurangi Efek dan/atau dana dari rekening Efek yang satu dan menambahkan Efek dan/atau dana dimaksud pada rekening Efek yang lain pada Kustodian, yang dalam hal ini dapat dilakukan secara elektronik.
Ayat (2)
Dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan dapat ditetapkan jenis Transaksi Efek yang wajib dijamin oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan dan Transaksi Efek yang dapat dijamin oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 55A
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 61
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pemegang rekening sewaktu-waktu dapat meminjamkan atau menjaminkan Efek yang tercatat dalam rekening Efek tanpa mengeluarkan Efek tersebut dari Penitipan Kolektif. Hal ini diperlukan agar peminjaman atau penjaminan Efek itu terlaksana dengan aman dan efisien.
Peminjaman atau penjaminan Efek dilakukan dengan pemberitahuan secara tertulis oleh pemegang rekening kepada Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian atau bank Kustodian yang menerangkan jumlah, jenis Efek yang dipinjamkan atau dijaminkan, Pihak yang menerima pinjaman atau penjaminan, dan persyaratan peminjaman atau penjaminan.
Angka 18
Pasal 64
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "akuntan publik" adalah akuntan publik yang telah memperoleh izin dari pihak yang berwenang dan terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "konsultan hukum" adalah ahli hukum yang memberikan pendapat hukum kepada Pihak lain dan terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "penilai" adalah Pihak yang memberikan penilaian atas properti dan/atau penilaian usaha dan terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "notaris" adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik dan terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
Huruf e
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menampung kemungkinan diperlukannya jasa profesi lain untuk memberikan pendapat atau penilaian sesuai dengan perkembangan Pasar Modal di masa mendatang dan terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
Profesi lain di antaranya:
Ayat (2)
Pendapat dan/atau penilaian Profesi Penunjang Pasar Modal sangat penting bagi pemodal atau investor dalam mengambil keputusan investasinya maka kegiatan profesi tersebut di Pasar Modal perlu diawasi dengan mewajibkannya mendaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pengecualian pada ayat ini diperlukan untuk mengakomodir perkembangan aktivitas di bidang Pasar Modal yang memerlukan opini dari pihak yang memiliki keahlian tertentu yang berkaitan dengan aktivitas yang akan dilakukan di Pasar Modal. Pengecualian dimaksud di antaranya mempertimbangkan:
Ayat (5)
Ketentuan ini dimaksudkan di antaranya untuk mendorong penyediaan akses keuangan di daerah khususnya untuk pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
Angka 19
Pasal 66
Ayat (1)
Kode etik dan standar profesi merupakan suatu standar pemenuhan kualitas minimal jasa yang diberikan kepada pengguna jasanya, dan merupakan suatu kewajiban bagi setiap profesi penunjang Pasar Modal untuk menaatinya. Namun, dalam hal kode etik dan standar profesi dimaksud bertentangan dengan Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya, profesi penunjang Pasar Modal harus mengikuti ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini dan/atau peraturan pelaksanaannya. Hal ini penting untuk melindungi kepentingan para pemodal atau investor.
Standar profesi di antaranya meliputi standar profesional akuntan publik, standar profesi himpunan konsultan hukum Pasar Modal, standar penilaian Indonesia, dan ketentuan peraturan perundang undangan yang berkaitan dengan profesi notaris.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Standar profesi di bidang Pasar Modal termasuk standar profesi pelaku dan penunjang di bidang Pasar Modal.
Pengaturan Otoritas Jasa Keuangan mempertimbangkan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk profesi dan dapat menambahkan standar dalam rangka menegakkan tata kelola di Pasar Modal.
Angka 20
Cukup jelas.
Angka 21
Cukup jelas.
Angka 22
Pasal 69A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam rangka melindungi pemodal atau investor dalam aktivitas penawaran Efek dengan menggunakan jasa penyelenggara sistem elektronik (securities crowdfunding), Otoritas Jasa Keuangan wajib menyesuaikan standar compliance dan persyaratan bagi penerbit securities crowdfunding sesuai dengan jumlah penghimpunan dana dan jumlah pemodal atau investor.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Pengaturan khusus mengenai penghimpunan dana masyarakat melalui penawaran Efek dengan menggunakan jasa penyelenggara sistem elektronik (securities crowdfunding) bertujuan untuk mengecualikan beberapa ketentuan dalam undang undang mengenai perseroan terbatas, mengingat kewenangan Otoritas Jasa Keuangan untuk mengecualikan ketentuan dalam undang-undang mengenai perseroan terbatas adalah dalam hal perusahaan tersebut berbentuk perusahaan terbuka, sedangkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah umumnya berbentuk perusahaan tertutup.
Pengaturan ini dilandasi oleh kebutuhan untuk lebih mempermudah proses penawaran Efek bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah misalnya terkait dengan persyaratan kewajiban setiap pemindahan hak atas saham yang diwajibkan menggunakan akta, persyaratan pengurus minimum bagi perusahaan yang akan menghimpun dana dari masyarakat, dan kewajiban penyelenggaraan rapat umum pemegang saham di tempat kedudukan perusahaan tersebut atau tempat kegiatannya yang diatur dalam undang-undang mengenai perseroan terbatas.
Dalam pengaturan securities crowdfunding, penerbit didorong untuk mengikuti standar keterbukaan dan persyaratan tata kelola selayaknya Perusahaan Publik.
Pasal 69B
Ayat (1)
Penyelenggara dana perlindungan pemodal merupakan perseroan terbatas yang mendapatkan izin usaha untuk menyelenggarakan dan mengelola dana perlindungan pemodal.
Dana perlindungan pemodal merupakan kumpulan dana yang dibentuk untuk melindungi pemodal atau investor dari hilangnya aset pemodal atau investor.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Otoritas Jasa Keuangan melakukan pengawasan dalam rangka pelindungan pemodal atau investor, di antaranya dengan pengawasan terhadap penyelenggara untuk mengurangi asimetri informasi antara pemodal atau investor dan penerbit, termasuk dengan mempermudah pemodal atau investor untuk memantau portofolio investasinya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 69C
Ayat (1)
Karakteristik tertentu perusahaan berinovasi tinggi dengan pertumbuhan cepat dapat diukur di antaranya dari pertumbuhan aset, pendapatan, pengguna jasa, atau nilai usaha luar biasa yang dicapai dalam waktu relatif singkat, atau lazim disebut sebagai hypergrowth.
Selain ukuran tersebut di atas, karakteristik tertentu tersebut dapat juga didasarkan pada bidang usaha tertentu yang menjadi prioritas pengembangan oleh Pemerintah untuk menciptakan kegiatan ekonomi baru, misalnya kegiatan ekonomi berbasis teknologi informasi.
Ayat (2)
Huruf a
Klasifikasi saham di antaranya mencakup klasifikasi saham yang didasarkan pada perbedaan hak suara, termasuk persyaratan pemegang saham, peralihan saham, dan kondisi tertentu hak suara dapat digunakan dengan tetap memperhatikan kepentingan dan hak pemegang saham publik.
Pada dasarnya setiap saham dapat mempunyai lebih dari 1 (satu) hak suara atas saham sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai perseroan terbatas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Transaksi tertentu di antaranya mencakup pelaksanaan transaksi yang dilaksanakan dengan prosedur khusus yang berbeda dengan prosedur transaksi bagi perusahaan yang tidak memiliki karakteristik khusus.
Huruf d
Pencatatan Efek di antaranya untuk memberikan dasar bagi Penyelenggara Pasar di Pasar Modal termasuk Bursa Efek untuk membuat peraturan pencatatan dengan persyaratan yang khusus, termasuk jika diperlukan bentuk papan perdagangan khusus.
Cukup jelas. Pasal 69D
Cukup jelas.
Angka 23
Pasal 70
Ayat (1)
Kegiatan Penawaran Umum merupakan salah satu cara untuk menghimpun dana masyarakat. Untuk itu, kepentingan masyarakat yang akan menanamkan dananya pada Efek perlu mendapatkan pelindungan. Oleh karena itu, setiap Pihak yang bermaksud menghimpun dana melalui Penawaran Umum diwajibkan terlebih dahulu menyampaikan Pernyataan Pendaftaran kepada Otoritas Jasa Keuangan dan Penawaran Umum tersebut baru dapat dilakukan setelah Pernyataan Pendaftaran dimaksud efektif.
Penawaran Umum meliputi penawaran Efek oleh Emiten yang dilakukan dalam wilayah Republik Indonesia atau kepada warga negara Indonesia dengan menggunakan media massa atau ditawarkan kepada lebih dari 100 (seratus) Pihak atau telah dijual kepada lebih dari 50 (lima puluh) Pihak dalam batas nilai serta batas waktu tertentu.
Media massa di antaranya mencakup surat kabar, majalah, film, televisi, radio, dan media elektronik lainnya, serta surat, brosur dan barang cetak lain yang dibagikan kepada lebih dari 100 (seratus) Pihak.
Ketentuan Penawaran Umum berlaku juga bagi Emiten dalam negeri yang melakukan Penawaran Umum di luar negeri kepada warga negara Indonesia. Hal ini diperlukan dalam rangka melindungi warga negara Indonesia yang melakukan investasi dalam Efek yang ditawarkan oleh Pihak tersebut di luar wilayah Republik Indonesia.
Penawaran Efek kepada lebih dari 100 (seratus) Pihak tersebut tidak dikaitkan dengan apakah penawaran tersebut diikuti dengan pembelian Efek atau tidak. Sedangkan penjualan Efek kepada lebih dari 50 (lima puluh) Pihak tersebut lebih ditekankan kepada realisasi penjualan Efek dimaksud tanpa memperhatikan apakah penjualan tersebut dilakukan melalui penawaran atau tidak.
Pengertian telah dijual dan penjualan Efek kepada lebih dari 50 (lima puluh) Pihak di atas termasuk pula perjanjian jual beli Efek yang pembayaran dan penyerahan Efek dimaksud dilakukan pada masa yang akan datang yang telah disepakati.
Jumlah 100 (seratus) Pihak dalam penawaran Efek dan 50 (lima puluh) Pihak dalam penjualan Efek sebagaimana dimaksud dalam penjelasan ini dapat berubah sesuai dengan perkembangan Pasar Modal. Perubahan tersebut ditetapkan lebih lanjut oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Ayat (2)
Huruf a
Pengecualian pelaksanaan ketentuan ini diperlukan mengingat pengaturan dan pengawasan Efek dimaksud dilaksanakan oleh Bank Indonesia.
Huruf b
Pengecualian untuk penawaran Efek yang diterbitkan dan/atau dijamin oleh Pemerintah Indonesia dalam ketentuan ini diperlukan mengingat Pemerintah sebagai Pihak yang menerbitkan atau menjamin Efek dimaksud memiliki kemampuan untuk memenuhi segala kewajiban dalam penerbitan Efek tersebut.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Efek atau surat berharga yang secara khusus diatur dalam Undang-Undang di antaranya mencakup sertifikat deposito yang diatur dengan undang-undang mengenai perbankan, resi gudang yang diatur dengan undang-undang mengenai sistem resi gudang, dan polis asuransi yang diatur dengan undang-undang mengenai perasuransian.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "penawaran Efek lain" adalah penawaran Efek untuk Efek yang telah ada dan telah dikenal pada saat Undang-Undang ini ditetapkan dan untuk jenis Efek baru yang akan ada kemudian serta jenis penawaran tertentu atas Efek yang sudah ada dan dimaksudkan untuk mengantisipasi kemungkinan adanya penerbitan Efek yang perlu dikecualikan dari kewajiban ketentuan ini.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 24
Pasal 70A
Cukup jelas.
Angka 25
Pasal 74
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan agar Emiten memperoleh kepastian bahwa dalam hal Pernyataan Pendaftaran yang disampaikannya kepada Otoritas Jasa Keuangan telah lengkap dan memenuhi persyaratan dan prosedur yang ditetapkan, apabila Otoritas Jasa Keuangan tidak melakukan sesuatu, Pernyataan Pendaftaran tersebut menjadi efektif dengan sendirinya pada hari ke-20 (kedua puluh).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Terdapat kemungkinan bahwa Pernyataan Pendaftaran yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan belum lengkap dan belum memenuhi persyaratan sehingga jangka waktu efektifnya Pernyataan Pendaftaran dihitung sejak diterimanya seluruh persyaratan secara lengkap oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta perubahan dan atau tambahan informasi kepada Emiten atau Perusahaan Publik yang bersangkutan.
Pernyataan Pendaftaran baru dapat dinyatakan efektif apabila:
Ayat (6)
Perkembangan kondisi perekonomian yang bergerak cepat membutuhkan kecepatan proses penawaran umum. Untuk itu, proses pemberian pernyataan efektif atas kegiatan Pernyataan Pendaftaran perlu penyesuaian seiring waktu sesuai kebutuhan sebagai dukungan agar Pasar Modal Indonesia lebih kompetitif.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Angka 26
Pasal 82
Ayat (1)
Hak memesan Efek terlebih dahulu merupakan hak yang melekat pada saham yang memberikan kesempatan bagi pemegang saham yang bersangkutan untuk membeli Efek baru sebelum ditawarkan kepada Pihak lain.
Ayat (2)
Untuk melindungi kepentingan pemegang saham independen yang umumnya merupakan pemegang saham minoritas dari kemungkinan adanya penetapan harga yang tidak wajar atas transaksi yang dilakukan oleh Emiten atau Perusahaan Publik disebabkan oleh adanya benturan kepentingan antara pribadi direktur, komisaris, atau pemegang saham utama, Otoritas Jasa Keuangan dapat mewajibkan Emiten atau Perusahaan Publik untuk terlebih dahulu memperoleh persetujuan mayoritas dari pemegang saham independen.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "transaksi material" adalah setiap transaksi di antaranya mencakup:
dengan nilai tertentu yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagai nilai material.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara penerbitan hak memesan Efek terlebih dahulu, transaksi yang mempunyai benturan kepentingan, serta transaksi material dan/atau perubahan kegiatan usaha utama yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan, di antaranya memuat:
Angka 27
Pasal 84A
Ayat (1)
Perusahaan terbuka dapat dibatalkan pencatatan efeknya oleh Bursa Efek termasuk apabila terdapat tindakan pemegang saham pengendali perusahaan terbuka yang mengakibatkan keberlangsungan usaha (going concern) perusahaan terbuka terganggu.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 28
Pasal 86
Ayat (1)
Oleh karena informasi mengenai Emiten atau Perusahaan Publik mempunyai peranan yang penting bagi pemodal atau investor, selain untuk efektivitas pengawasan oleh Otoritas Jasa Keuangan, kewajiban untuk menyampaikan dan mengumumkan laporan bagi Emiten atau Perusahaan Publik dimaksudkan juga agar informasi mengenai jalannya usaha perusahaan tersebut selalu tersedia bagi masyarakat.
Huruf a Laporan secara berkala tentang kegiatan usaha dan keadaan keuangan Emiten atau Perusahaan Publik diperlukan oleh pemodal atau investor sebagai dasar pengambilan keputusan investasi atas Efek. Oleh karena itu, Emiten atau Perusahaan Publik wajib menyampaikan laporan berkala untuk setiap akhir periode tertentu kepada Otoritas Jasa Keuangan dan laporan tersebut terbuka untuk umum.
Huruf b
Selain tambahan dari laporan berkala, apabila terjadi peristiwa yang sifatnya material, Emiten atau Perusahaan Publik wajib menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan mengumumkannya kepada masyarakat sesegera mungkin setelah terjadinya peristiwa yang sifatnya material tersebut.
Ayat (2)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kewenangan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk menetapkan persyaratan tertentu bagi Emiten yang pernyataan pendaftarannya telah menjadi efektif atau Perusahaan Publik menjadi tidak diwajibkan menyampaikan laporan. Persyaratan dimaksud, di antaranya berupa penentuan maksimal jumlah pemegang saham dan modal disetor Perusahaan Publik yang tidak diwajibkan untuk menyampaikan laporan. Ketentuan ini tidak berarti bahwa Emiten yang pernyataan pendaftarannya telah menjadi efektif atau Perusahaan Publik menjadi tidak wajib menyampaikan laporan meskipun tidak memenuhi persyaratan sebagai Perusahaan Publik.
Ayat (3)
Perkembangan pasar yang dinamis membutuhkan informasi lebih cepat dari praktik penyampaian informasi saat ini yang menetapkan jangka waktu paling lambat akhir hari kerja ke-2 (kedua).
Otoritas Jasa Keuangan menentukan jangka waktu sesegera mungkin berdasarkan perkembangan dan kebutuhan pasar· yang bergerak semakin cepat dan membutuhkan informasi lebih cepat.
Angka 29
Pasal 87
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "Emiten" adalah Emiten yang melakukan penawaran umum saham.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Jangka waktu pelaporan kepemilikan atau perubahan kepemilikan dihitung sejak terjadinya transaksi.
Ayat (4)
Jangka waktu pelaporan kepemilikan atau perubahan kepemilikan dihitung sejak terjadinya transaksi.
Angka 30
Pasal 87A
Ayat (1)
Pemegang saham publik dimaksud diposisikan 1 (satu) tingkat di bawah kreditur konkuren dan di atas pemegang saham pengendali. Pembayaran sisa kekayaan hasil likuidasi kepada pemegang saham pengendali dilakukan setelah pembayaran kepada kreditur Emiten dan Perusahaan Publik tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 31
Cukup jelas.
Angka 32
Pasal 89A
Ayat (1)
Kondisi kesulitan yang membahayakan kelangsungan usaha tidak hanya diukur dari keadaan keuangan Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian namun juga mempertimbangkan faktor nonkeuangan.
Huruf a
Penambahan modal dilakukan dengan perubahan nilai nominal saham tanpa penerbitan saham baru.
Huruf b
Tugas pengelola statuter adalah pengelolaan atau pengurusan Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian termasuk penyelenggaraan rapat umum pemegang saham.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Pencabutan tidak mengakibatkan perbuatan hukum yang dilakukan sebelum pencabutan menjadi batal dan tidak menghapus kewajiban kepada pemegang saham, nasabah, dan/atau Pihak ketiga lainnya.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 89B
Ayat (1)
Kondisi kesulitan yang membahayakan kelangsungan usaha tidak hanya diukur dari keadaan keuangan Perusahaan Efek namun juga mempertimbangkan faktor nonkeuangan. Faktor nonkeuangan di antaranya mencakup faktor risiko operasional misalnya terjadi serangan siber, faktor risiko reputasi yang timbul akibat gugatan hukum pada manajemen yang memegang peranan kritikal pada perusahaan yang dampaknya mempengaruhi keberlangsungan usaha perusahaan.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Tugas pengelola statuter termasuk meliputi pengelolaan atau pengurusan Perusahaan Efek termasuk penyelenggaraan rapat umum pemegang saham.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 89C
Ayat (1)
Pembubaran dan likuidasi dilakukan berdasarkan keputusan rapat umum pemegang saham Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, atau Perusahaan Efek tersebut, atau berdasarkan penetapan pengadilan atas permohonan Otoritas Jasa Keuangan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "dilikuidasi" adalah proses likuidasi yang dimulai dengan penetapan likuidator sampai dengan berakhirnya status badan hukum perseroan terbatas.
Angka 33
Pasal 90
Yang dimaksud dengan "kegiatan perdagangan Efek" adalah kegiatan yang meliputi kegiatan penawaran, pembelian, dan/atau penjualan Efek yang terjadi dalam rangka Penawaran Umum, terjadi di Bursa Efek, atau terjadi di Penyelenggara Pasar di luar Bursa Efek yang menjalankan kegiatan di Pasar Modal, dan kegiatan penawaran, pembelian, dan/atau penjualan Efek di luar Bursa Efek.
Yang dimaksud dengan "kegiatan pengelolaan investasi" adalah pengelolaan Portofolio Efek untuk nasabah individual atau pengelolaan portofolio investasi kolektif untuk sekelompok nasabah yang dilakukan oleh pengelola investasi, di antaranya mencakup kegiatan penawaran jasa pengelolaan investasi.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Larangan ini dimaksudkan agar pernyataan yang dibuat tidak menyesatkan mengenai keadaan yang terjadi pada saat pernyataan dibuat.
Angka 34
Pasal 91
Cukup jelas.
Angka 35
Pasal 92
Ketentuan ini melarang dilakukannya serangkaian transaksi Efek oleh satu Pihak atau beberapa Pihak yang bersekongkol sehingga menciptakan harga Efek tetap, naik, atau turun yang semu.
Harga Efek tetap, naik, atau turun yang semu di antaranya mencakup harga Efek tetap, naik, atau turun yang tidak didasarkan pada kekuatan permintaan jual atau beli Efek yang sebenarnya dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau Pihak lain.
Dampak menciptakan harga Efek tetap, naik, atau turun yang semu dapat mempengaruhi Pihak lain untuk membeli, menjual, atau menahan Efek.
Angka 36
Pasal 93
Harga Efek yang terpengaruh oleh pernyataan atau keterangan yang tidak benar atau menyesatkan dapat berupa harga Efek di Bursa Efek dan/atau di luar Bursa Efek, baik yang terorganisasi maupun yang tidak terorganisasi.
Angka 37
Pasal 94
Tindakan tertentu di antaranya mencakup:
Angka 38
Pasal 97
Cukup jelas.
Angka 39
Cukup jelas.
Angka 40
Pasal 100A
Ayat (1)
Pelanggaran yang terjadi di Pasar Modal sangat beragam dilihat dari segi jenis, modus operandi, atau kerugian yang mungkin ditimbulkannya.
Oleh karena itu, Otoritas Jasa Keuangan diberikan wewenang untuk mempertimbangkan konsekuensi dari pelanggaran yang terjadi dan wewenang untuk meneruskannya ke tahap penyidikan berdasarkan pertimbangan dimaksud. Pertimbangan untuk melanjutkan ke tahap penyidikan atau tidak didasarkan pada penerapan prinsip una via yang membuka pemilihan antara sanksi pidana dan sanksi administratif.
Prinsip ini merupakan perluasan dari prinsip ne bis in idem. Penerapan prinsip una via atas dugaan tindak pidana di bidang Pasar Modal melalui pengenaan sanksi atau tindakan administratif lainnya tidak hanya ditujukan untuk menghukum pelanggar, tetapi juga untuk memperbaiki tatanan hukum yang terganggu akibat pelanggaran tersebut (restorative justice).
Ayat (2)
Tidak semua pelanggaran terhadap Undang-Undang ini harus dilanjutkan ke tahap penyidikan karena hal tersebut justru dapat menghambat kegiatan penawaran dan/atau perdagangan Efek secara keseluruhan.
Apabila kerugian yang ditimbulkan membahayakan sistem Pasar Modal atau kepentingan pemodal atau investor dan/atau masyarakat, atau apabila tidak tercapai penyelesaian atas kerugian yang telah timbul, Otoritas Jasa Keuangan dapat memulai tindakan penyidikan dalam rangka penuntutan tindak pidana.
Tindakan untuk memulai penyidikan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan dilakukan setelah memperoleh penetapan dari pimpinan Otoritas Jasa Keuangan.
Ayat (3)
Penegakan hukum di bidang Pasar Modal menekankan pada prinsip restorative justice yang menitikberatkan pada upaya pemulihan atau perbaikan kondisi akibat suatu pelanggaran dengan tetap mengupayakan terwujudnya efek jera bagi pelaku pelanggaran.
Pasal 100B
Cukup jelas.
Pasal 100C
Cukup jelas.
Pasal 100D
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Materi muatan yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan di antaranya memuat:
Angka 41
Pasal 101
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "penyidikan atas tindak pidana di bidang Pasar Modal" adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang diperlukan sehingga dapat membuat terang tentang tindak pidana di bidang Pasar Modal yang terjadi, menemukan tersangka, serta mengetahui besarnya kerugian yang ditimbulkannya.
Penyidik Otoritas Jasa Keuangan adalah pejabat atau pegawai tertentu di lingkungan Otoritas Jasa Keuangan yang diangkat oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum sebagai penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Angka 42
Pasal 103
Cukup jelas.
Angka 43
Pasal 104
Cukup jelas.
Angka 44
Pasal 104A
Cukup jelas.
Angka 45
Pasal 105
Cukup jelas.
Angka 46
Pasal 106
Cukup jelas.
Angka 47
Pasal 106A
Cukup jelas.
Pasal 106B
Cukup jelas.
Pasal 106C
Cukup jelas.
Angka 48
Pasal 107
Cukup jelas.
Angka 49
Pasal 108
Cukup jelas.
Angka 50
Pasal 109
Cukup jelas.
Angka 51
Pasal 109A
Cukup jelas.
Angka 52
Pasal 110
Dihapus.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "efek" adalah efek sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai pasar modal.
Pasal 24
Ayat (1)
Perdagangan karbon dapat dilakukan melalui bursa karbon atau perdagangan langsung.
Dalam ketentuan ini mekanisme perdagangan karbon melalui bursa karbon termasuk dalam aktivitas transaksi di sektor keuangan, khususnya di Pasar Modal.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "penyelenggara pasar" adalah penyelenggara pasar sebagaimana dimaksud dalam undang undang mengenai pasar modal.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Koordinasi dilakukan agar tujuan pengembangan pasar karbon secara keseluruhan dapat tercapai melalui kebijakan yang bersinergi baik dari sisi efektivitas pengendalian efek gas rumah kaca, pendapatan negara dan pertumbuhan ekonomi, serta pengembangan sektor keuangan.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 25
Kewenangan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini mencakup perizinan perusahaan yang melakukan aktivitas perdagangan di bursa karbon dan pengawasan termasuk tata kelola perusahaan yang melakukan aktivitas perdagangan di bursa karbon, misalnya komitmen ramah lingkungan dan lain sebagainya. Namun demikian izin emisi untuk masing-masing perusahaan atau suatu industri yang dihitung sekaligus dapat diterbitkan izin atau permit atau sertifikasinya dilakukan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 26
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "DPR" adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
Ayat (2)
Koordinasi paling sedikit mencakup pengembangan infrastruktur perdagangan karbon, pengaturan pemanfaatan penerimaan negara dari perdagangan karbon, dan administrasi transaksi karbon.
Misalnya koordinasi terkait penyelenggaraan bursa karbon dilakukan antara Otoritas Jasa Keuangan dan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Koordinasi dengan Pemerintah termasuk kementerian/lembaga lain dapat dilakukan melalui Kementerian Keuangan. Selain itu, koordinasi juga dapat melibatkan pihak lain seperti asosiasi. Koordinasi dapat dilakukan melalui forum yang telah ada seperti Forum Koordinasi Pembiayaan Pembangunan melalui Pasar Keuangan.
Pembahasan bersama yang dilakukan antara Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan misalnya pengaturan dan pengawasan yang terkait dengan pinjam meminjam atau transaksi jual dengan janji beli kembali atau repo (repurchase agreement).
Pasal 28
Ayat (1)
Huruf a
Instrumen Pasar Uang di antaranya berupa surat berharga jangka pendek yang merupakan perintah atau penyanggupan untuk membayar dan dapat diperdagangkan, termasuk efek yang bersifat utang yang jatuh temponya tidak lebih dari 1 (satu) tahun yang dikecualikan dari pengaturan Otoritas Jasa Keuangan dalam undang-undang mengenai pasar modal.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Huruf a
Pelaku Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta Asing di antaranya mencakup WK, korporasi, orang perseorangan, dan/atau nonresiden.
Huruf b
Lembaga pendukung Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta Asing di antaranya mencakup Bank, perusahaan efek, perusahaan pialang, dan/atau lembaga lain.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pedoman perilaku mencakup panduan berperilaku dan bertindak bagi setiap pelaku pasar dalam bertransaksi.
Pasal 33
Sarana kliring di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang melakukan fungsi novasi sehingga bertindak sebagai pembeli bagi penjual dan sebagai penjual bagi pembeli adalah central counter party.
Pasal 34
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Sekuritisasi dapat dilakukan terhadap aset lain, misalnya kebutuhan sekuritisasi aset yang memenuhi Prinsip Syariah, di antaranya mencakup sekuritisasi atas aset berwujud dan tidak berwujud atau jasa.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "pemilik aset" adalah pihak yang menyerahkan aset miliknya kepada pengelola dana perwalian (trustee) berdasarkan perjanjian pengelolaan aset.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "penerima manfaat" adalah pihak yang menerima manfaat dari kegiatan pengelolaan aset dan/atau pemilik aset.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "perjanjian pengelolaan aset" adalah perjanjian yang ditandatangani oleh pengelola dana perwalian (trustee) dan pemilik aset, yang mana pengelolaan dana perwalian (trustee) diberi wewenang untuk mengelola aset yang diserahkan oleh pemilik aset untuk kepentingan penerima manfaat.
Huruf d
Tindakan untuk melepaskan aset merupakan kewenangan badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) selaku pemilik aset atau kewenangan pengelola dana perwalian (trustee) selaku penerima kuasa jual dari pemilik aset.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (7)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pihak yang ditunjuk di antaranya mencakup pihak berbadan hukum yang menjalankan tugas dari Pemerintah.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Huruf a
Prinsip penyelesaian transaksi efek di Pasar Modal serta instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang telah memenuhi persyaratan serta bersifat final dan mengikat (final and binding settlement) merupakan sebuah prinsip bahwa efek di Pasar Modal serta instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing dan/atau dana yang telah berpindah rekening efek di Pasar Modal serta instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing pada sarana penyelesaian transaksi dan penyimpanan efek di Pasar Modal serta instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing (kustodian sentral), atau pihak lain bersifat final dan tidak dapat ditarik kembali.
Persyaratan transaksi efek di Pasar Modal serta instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang bersifat final dan mengikat (final and binding settlement) tersebut di atas akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan dan Peraturan Bank Indonesia.
Huruf b
Prinsip penyerahan dan/atau pembayaran dapat dilakukan melalui penyerahan tanpa pembayaran (delivery free of payment), penyerahan dan pembayaran dilakukan pada waktu bersamaan (delivery versus delivery) dalam transaksi efek di Pasar Modal serta instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing.
Huruf c
Mekanisme netting wajib dilaksanakan oleh para pihak yang bertransaksi atau lembaga kliring dan penjaminan meskipun terjadi pembekuan kegiatan usaha, pencabutan izin usaha, atau keputusan pernyataan pailit terhadap Pihak yang bertransaksi.
Dengan demikian, seluruh transaksi efek di Pasar Modal serta instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing oleh para pihak yang dikenai pembekuan kegiatan usaha, pencabutan izin usaha, atau keputusan pernyataan pailit tetap diperhitungkan secara netting dan diselesaikan.
Ayat (2)
Waktu pengucapan putusan pernyataan pailit adalah jam, menit, dan detik pada tanggal pengucapan putusan pernyataan pailit yang menurut waktu yang berlaku pada Pengadilan Niaga setempat.
Yang dimaksud dengan "seolah-olah tidak terjadi kepailitan" adalah debitur masih memiliki kekuasaan atas harta pailit.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "transaksi efek di Pasar Modal serta instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang telah memenuhi persyaratan" adalah transaksi efek di Pasar Modal serta instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang dilaksanakan melalui sarana perdagangan di pasar sekunder.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing di antaranya mencakup transaksi Derivatif suku bunga dan nilai tukar serta repo (repurchase agreement) instrumen keuangan tertentu sebagai instrumen atau transaksi lintas-pasar (Pasar Modal dan Pasar Uang).
Yang dimaksud dengan "pengakhiran transaksi keuangan melalui perjumpaan utang (close-out netting)" adalah proses pengakhiran awal (early termination), penghitungan nilai (valuasi), dan perjumpaan utang atas seluruh transaksi Derivatif di pasar keuangan antara para pihak dalam 1 (satu) perjanjian induk untuk menghasilkan 1 (satu) nilai (single amount) yang dapat ditagihkan kepada salah satu pihak.
Pengakhiran dalam proses close-out netting hanya terjadi pada transaksi, tetapi tidak pada perjanjian induk (master agreement).
Ayat (3)
Transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing di antaranya mencakup transaksi Derivatif suku bunga dan nilai tukar serta repo (repurchase agreement). Proses perjumpaan utang (close-out netting) diselesaikan dengan dihasilkannya 1 (satu) nilai (single amount) yang dapat ditagihkan kepada Pihak lainnya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Perjanjian induk transaksi keuangan di pasar keuangan yang mensyaratkan pengakhiran transaksi keuangan melalui perjumpaan utang (close-out netting) di antaranya mencakup perjanjian induk transaksi repo (repurchase agreement) dan perjanjian induk transaksi Derivatif di pasar keuangan.
Pasar keuangan di antaranya mencakup Pasar Modal, Pasar Uang, dan Pasar Valuta Asing.
Perjumpaan utang terjadi dalam proses pengakhiran seluruh transaksi keuangan antara kreditor dan debitor karena terjadinya close-out netting sebagai akibat salah satu pihak yang diajukan kepailitan dengan menghitung nilai bersih (netting) dari hak atau kewajiban para pihak.
Transaksi keuangan termasuk transaksi efek di Pasar Modal yang penyelesaian transaksinya dilakukan melalui mekanisme netting pada lembaga kliring dan penjaminan.
Pelaksanaan close-out netting transaksi keuangan dilakukan untuk menjamin kepastian hukum pelaksanaan transaksi keuangan dan memastikan Indonesia sebagai netting jurisdiction.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Kontrak pintar (smart contract) merupakan salah satu bentuk dari kontrak elektronik sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai informasi dan transaksi elektronik. Kontrak pintar (smart contract) dapat berupa seperangkat kesepakatan yang dispesifikasikan dalam bentuk digital termasuk pada bentuk protokol komputer.
Sejalan dengan perkembangan teknologi saat ini, dimungkinkan adanya kontrak antara lain pada transaksi Derivatif yang sifatnya standar yang didukung oleh teknologi digital dan untuk beberapa term dapat berlaku otomatis guna efisiensi serta bersifat mengikat, yang dilaksanakan dalam suatu platform tertentu di antaranya mencakup Distributed Ledger Technology/DLT. Penyusunan dan implementasi dari solusi teknologi atas kontrak dimaksud harus konsisten dengan standar pengaturan dan hukum yang berlaku. Penggunaan smart derivative contracts dimaksudkan untuk mengurangi kemungkinan adanya perbedaan antara pengertian dalam hukum (legal meaning) dan kinerja operasional (operational performance) dari kontrak dimaksud.
Ayat (2)
Smart contract dan/atau hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.
Ayat (3)
Kesepakatan digunakan sebagai kerangka perjanjian yang memuat bahasa natural (natural language) untuk melandasi otomasi pelaksanaan hak dan kewajiban menggunakan bahasa pemrograman (code) dalam smart contract.
Ayat (4)
Kewenangan pengaturan lebih lanjut oleh otoritas di sektor keuangan sesuai dengan jenis aktivitas jasa keuangan yang diawasinya.
Pasal 45
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "tanpa warkat (scripless)" adalah penerbitan, penatausahaan, pencatatan, dan/atau pengalihan kepemilikan instrumen keuangan secara elektronik menggunakan sistem.
Contoh penerbitan, penatausahaan, pencatatan, dan/atau pengalihan kepemilikan instrumen keuangan secara elektronik menggunakan sistem di antaranya mencakup Bank Indonesia-Script Securities Settlement System (BI-SSSS).
Pengalihan secara scripless termasuk pengalihan atas semua hak yang timbul dari instrumen keuangan termasuk hak menagih.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Pasal 4
Huruf a
Jika suatu saat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mengalami defisit maka salah satu sumber pembiayaannya adalah penerbitan Surat Utang Negara. Pilihan atas Surat Utang Negara sebagai sumber dari berbagai sumber pembiayaan lainnya harus didasarkan atas perhitungan yang cermat yang dapat meminimalkan biaya utang pada anggaran negara.
Huruf b
Agar kegiatan dan/atau proyek yang telah ditetapkan di dalam APBN tidak mengalami hambatan, penerbitan Surat Utang Negara berjangka pendek (Surat Perbendaharaan Negara) digunakan untuk menutup kekurangan kas tersebut. Apabila penerimaan yang direncanakan tersebut terealisasi, dananya digunakan untuk menebus kembali Surat Perbendaharaan Negara tersebut.
Huruf c
Manajemen portofolio utang negara bertujuan untuk meminimalkan biaya bunga utang pada tingkat risiko yang dapat ditoleransi. Untuk itu, portofolio utang negara terutama portofolio Surat Utang Negara harus dilakukan secara efisien berdasarkan praktik yang berlaku umum di berbagai negara. Manajemen portofolio meliputi penerbitan, pembelian kembali sebelum jatuh tempo (buyback), dan pertukaran (bond swap) sebagian Surat Utang Negara yang beredar.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 3A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Kewenangan pengaturan lebih lanjut oleh otoritas di sektor jasa keuangan dilakukan sesuai dengan kewenangan masing-masing.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "perluasan ruang lingkup" adalah kegiatan yang melibatkan 3 (tiga) Pihak.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 5A
Ayat (1)
Dokumen elektronik di antaranya mencakup polis dalam bentuk elektronik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 11
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 12
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 15
Kerugian di antaranya mencakup kerugian sebagai akibat dari pengelolaan investasi perusahaan.
Angka 8
Pasal 15A
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 21A
Cukup jelas.
Pasal 21B
Setiap Orang di antaranya mencakup pemegang saham, direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan pemegang saham, direksi, dan dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama, dan pegawai perusahaan.
Angka 10
Pasal 22
Ayat (1)
Laporan yang wajib disampaikan Perusahaan Perasuransian kepada Otoritas Jasa Keuangan di antaranya mencakup laporan keuangan, laporan kegiatan usaha, dan laporan program dukungan reasuransi otomatis. Selain itu, dalam keadaan atau untuk tujuan tertentu, Perusahaan Perasuransian juga dapat diwajibkan menyampaikan laporan yang bersifat tematik, misalnya profil risiko dan pelaksanaan tata kelola perusahaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Posisi keuangan, kinerja keuangan, dan kondisi kesehatan keuangan yang diumumkan minimal meliputi rasio kesehatan keuangan sesuai dengan ketentuan mengenai kesehatan keuangan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah. Pengumuman melalui media elektronik dilakukan pada situs perusahaan dan situs Otoritas Jasa Keuangan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Ketentuan yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan di antaranya mengenai jenis, bentuk, dan susunan laporan atau pengumuman, serta jadwal dan batas waktu penyampaian laporan dan pengumuman.
Angka 11
Pasal 23
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 27
Ayat (1)
Kewajiban Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, dan Agen Asuransi terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan, sedangkan untuk pembinaan dan pengawasan atas kegiatan yang dilakukan oleh individu Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, dan Agen Asuransi tetap menjadi tanggung jawab Perusahaan Pialang Asuransi, Perusahaan Pialang Reasuransi, dan Perusahaan Asuransi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Penerapan segenap keahlian, perhatian, dan kecermatan di antaranya dibuktikan dengan kepemilikan sertifikat keahlian dari lembaga profesi serta pemenuhan kode etik dan pedoman teknis profesi, prosedur standar perusahaan, dan peraturan perundang-undangan.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Ketentuan yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan di antaranya mencakup:
Angka 13
Pasal 28
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pihak lain" adalah saluran pemasaran yang mewakili Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah, di antaranya mencakup Agen Asuransi, Bank, dan perusahaan non-Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "cepat" adalah bahwa proses penanganan klaim dan keluhan dilakukan dengan segera dan dalam waktu sesingkat mungkin.
Yang dimaksud dengan "sederhana" adalah bahwa proses penanganan klaim dan keluhan bersifat lugas dan tidak rumit.
Yang dimaksud dengan "mudah diakses" adalah bahwa proses penanganan klaim dan keluhan diselenggarakan di kantor perusahaan atau tempat lain yang mudah dikunjungi, atau diselenggarakan dengan memanfaatkan teknologi yang memudahkan orang untuk menyampaikan klaim atau keluhan dan mendapatkan tanggapan.
Yang dimaksud dengan "adil" adalah bahwa proses penanganan klaim dan keluhan dilakukan dengan berpegang kepada kebenaran, tidak memihak, dan tidak sewenang-wenang.
Ayat (4)
Tindakan yang dapat memperlambat penyelesaian atau pembayaran klaim di antaranya:
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 39A
Ayat (1)
Program Asuransi Wajib di antaranya mencakup asuransi tanggung jawab hukum pihak ketiga (third party liability) terkait kecelakaan lalu lintas, asuransi kebakaran, dan asuransi rumah tinggal terhadap risiko bencana.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Dalam penyusunan Peraturan Pemerintah, Pemerintah dapat berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan.
Yang dimaksud dengan "DPR" adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
Angka 16
Pasal 50
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 51
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 52
Ayat (1)
Pihak lain yang berhak atas manfaat asuransi Juga mencakup pihak yang terkait dengan perluasan usaha asuransi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "dana tanahud" adalah kumpulan dana yang dibentuk berdasarkan akad hibah tanahud.
Ayat (5)
Pemenuhan kewajiban kepada pihak ketiga selain Pemegang Polis, Peserta, atau pihak lain yang berhak atas manfaat asuransi dibayarkan dengan urutan sebagai berikut:
Angka 19
Pasal 53
Ayat (1)
Program penjaminan polis dimaksudkan untuk menjamin pengembalian sebagian atau seluruh hak Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta dari Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang dicabut izin usahanya dan dilikuidasi. Selain itu, keberadaan program penjaminan polis juga dimaksudkan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap industri perasuransian pada umumnya sehingga diharapkan dapat meningkatkan minat masyarakat untuk menggunakan jasa asuransi.
Ayat (2)
Pengaturan mengenai program penjaminan polis di antaranya diatur dalam Bab VIII Program Penjaminan Polis dalam Undang-Undang ini.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 62A
Cukup jelas.
Angka 21
Pasal 64
Cukup jelas.
Angka 22
Pasal 71
Cukup jelas.
Angka 23
Pasal 72A
Cukup jelas.
Angka 24
Pasal 73A
Cukup jelas.
Pasal 73B
Cukup jelas.
Pasal 73C
Cukup jelas.
Angka 25
Pasal 74
Cukup jelas.
Angka 26
Pasal 75
Cukup jelas.
Angka 27
Pasal 82A
Cukup jelas.
Angka 28
Pasal 87
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Konsolidasi perasuransian dilakukan dalam upaya untuk memperkuat ekosistem perasuransian yang efektif, efisien, sehat, dan berdaya saing, serta memberikan daya dukung bagi perekonomian nasional.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "DPR" adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Ekuitas mengacu pada standar akuntansi yang berlaku di Indonesia.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "anggota" adalah pemegang polis pada Usaha Bersama.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Kewajiban menanggung kerugian bagi anggota tidak sampai ke harta pribadi anggota.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Perintah Otoritas Jasa Keuangan untuk menyelenggarakan RUA luar biasa, di antaranya disebabkan oleh adanya indikasi yang membahayakan kelangsungan usaha dari Usaha Bersama, pelanggaran yang serius terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian, atau dalam hal Direksi Usaha Bersama dan Dewan Komisaris Usaha Bersama tidak menyelenggarakan RUA tahunan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Ayat (12)
Cukup jelas.
Ayat (13)
Cukup jelas.
Pasal 61
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "penggantian biaya" adalah penggantian atas biaya yang dikeluarkan oleh peserta RUA atas kehadiran atau keikutsertaannya dalam RUA, di antaranya mencakup biaya transportasi, biaya akomodasi, dan biaya koneksi internet.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Unsur akademisi dan profesional dalam anggota panitia pemilihan memiliki komposisi yang berimbang.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "tidak terafiliasi" adalah tidak memiliki hubungan keluarga dengan anggota direksi Usaha Bersama lainnya, anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama, dan/atau peserta RUA. Hubungan keluarga dimaksud dikarenakan perkawinan atau keturunan sampai derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertikal.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Hal yang akan diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan di antaranya mencakup kewajiban, hak, dan larangan bagi anggota Direksi Usaha Bersama dalam rangka pelaksanaan tugas, wewenang,dan tanggung jawab.
Pasal 71
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "hubungan keluarga" adalah hubungan keluarga yang terjadi setelah pengangkatan anggota Direksi Usaha Bersama karena perkawinan, semenda, dan keturunan sampai derajat kedua.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "tidak terafiliasi" adalah tidak memiliki hubungan keluarga dengan anggota Direksi Usaha Bersama, anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama lain, dan/atau Peserta RUA. Hubungan keluarga dimaksud dikarenakan perkawinan atau keturunan sampai derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertikal.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "hubungan keluarga" adalah hubungan keluarga yang terjadi setelah pengangkatan anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama karena perkawinan, semenda, dan keturunan sampai derajat kedua.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 77
Ayat (1)
Perubahan bentuk badan hukum Usaha Bersama dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki kesehatan keuangan perusahaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Ayat (1)
Pengaturan ini dimaksudkan untuk melaksanakan Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Ayat (1)
Huruf a
Surat pernyataan menjadi salah satu persyaratan pemenuhan syarat administratif penilaian kemampuan dan kepatutan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 82
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "DPR" adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 83
Ayat (1)
Program penjaminan polis tidak menjamin unsur investasi yang melekat pada produk asuransi.
Ayat (2)
Program asuransi sosial dan program asuransi wajib yang dikecualikan dari program penjaminan polis merupakan program asuransi sosial dan program asuransi wajib yang dilaksanakan oleh lembaga tertentu yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan atau ditunjuk dan/atau ditugaskan oleh Pemerintah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "DPR" adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Materi muatan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan diatur paling sedikit mengenai dana jaminan meliputi pengaturan jenis aset yang dapat digunakan sebagai dana jaminan, jumlah dana jaminan minimum yang harus dimiliki perusahaan, penyesuaian besar dana jaminan berdasarkan volume usaha, tata cara pemindahan atau pencairan dana jaminan, dan penatausahaannya.
Pasal 84
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Peraturan Pemerintah mengatur di antaranya mengenai mekanisme pelaksanaan program penjaminan polis termasuk tahapan mekanisme pelaksanaan program penjaminan polis, nilai manfaat/pertanggungan/santunan yang dijamin, dan batas maksimum pengembalian premi yang belum berjalan.
Yang dimaksud dengan "DPR" adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
Pasal 85
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "DPR" adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "DPR" adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pihak lain" adalah pihak selain Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah, dengan tetap memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 90
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Data dan informasi yang disampaikan Otoritas Jasa Keuangan termasuk pada saat penetapan status Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dalam upaya penyehatan dan posisi terkini.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan di antaranya mengatur keanggotaan tim likuidasi, jangka waktu pelaksanaan likuidasi, mekanisme pelaksanaan likuidasi oleh tim likuidasi, dan kewenangan tim likuidasi dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang dicabut izin usahanya.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Lembaga Penjamin Simpanan dapat melakukan pemisahan pencatatan program penjaminan polis bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dengan mempertimbangkan kesiapan industri asuransi syariah dan kesiapan penyelenggara program penjaminan polis.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Pasal 62
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Konsolidasi penjaminan dilakukan dalam upaya untuk memperkuat ekosistem penjaminan yang efektif, efisien, sehat, dan berdaya saing, serta memberikan daya dukung bagi perekonomian nasional.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "DPR" adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 106
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Skema kegiatan pembiayaan lain merupakan skema pembiayaan di luar skema pembiayaan berdasarkan Undang-Undang ini, termasuk penyaluran pembiayaan mikro.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan yang dijalankan berdasarkan undang-undang tersendiri di antaranya mencakup bank umum, bank umum syariah, bank perekonomian rakyat, bank perekonomian rakyat syariah, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, lembaga keuangan mikro, dan/atau koperasi simpan pinjam/unit simpan pinjam.
Huruf b
Perusahaan pembiayaan sekunder perumahan yang dibentuk karena penugasan khusus dari Pemerintah di antaranya mencakup badan usaha milik negara yang dibentuk untuk tujuan tersebut. Pada saat Undang-Undang ini diundangkan adalah PT Sarana Multigriya Finansial (Persero).
Huruf c
Perusahaan pembiayaan infrastruktur dan/atau kegiatan pembangunan yang dibentuk karena penugasan khusus dari Pemerintah di antaranya mencakup badan usaha milik negara yang dibentuk untuk tujuan tersebut. Pada saat Undang-Undang ini diundangkan adalah PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero).
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "rapat umum pemegang saham" adalah rapat umum pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perseroan terbatas.
Yang dimaksud dengan "rapat anggota" adalah rapat anggota sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perkoperasian.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "sumber dana penyertaan" adalah modal disetor sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perseroan terbatas atau modal penyertaan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan mengenai koperasi yang melaksanakan kegiatan di sektor jasa keuangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 113
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan hanya dapat melakukan kegiatan usaha tertentu sesuai dengan izin yang diberikan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 114
Ayat (1)
Pembukaan kantor cabang penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan harus disampaikan terlebih dahulu dalam rencana bisnis perusahaan yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan setiap tahun. Selanjutnya pada saat realisasi dilaporkan kembali kepada Otoritas Jasa Keuangan.
Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan dapat melakukan kegiatan usaha melalui jaringan operasional dan/atau melalui jaringan teknologi informasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Pihak terafiliasi merupakan pemegang saham atau anggota, PSP, atau pihak ketiga yang memberikan jasanya kepada Usaha Jasa Pembiayaan yang bersangkutan, termasuk konsultan hukum, akuntan publik, dan penilai.
Pasal 119
Kekuatan eksekutorial merupakan kekuatan yang secara langsung dapat digunakan atas suatu putusan tanpa melalui pengadilan dan bersifat final serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penerapan tata kelola perusahaan yang baik disesuaikan dengan tujuan, kebijakan usaha, ukuran, dan kompleksitas usaha penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Cukup jelas.
Pasal 128
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Laporan lain termasuk anggaran dasar.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 129
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Pengurus dan/atau anggota koperasi bertanggung jawab dalam resolusi.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 130
Kegiatan lainnya di antaranya mencakup transaksi luar bursa (over the counter), transaksi Derivatif, dan transaksi sekuritisasi.
Pasal 131
Cukup jelas.
Pasal 132
Cukup jelas.
Pasal 133
Cukup jelas.
Pasal 134
Cukup jelas.
Pasal 135
Cukup jelas.
Pasal 136
Program Pensiun yang didasarkan pada undang-undang tersendiri di antaranya mencakup Program Pensiun pada sistem jaminan sosial nasional dan Program Pensiun bagi penyelenggara negara.
Pasal 137
Cukup jelas.
Pasal 138
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "sistem pendanaan" adalah penyelenggaraan manfaat lain yang dilakukan dengan pemupukan dana sehingga cukup untuk· memenuhi kebutuhan pembayaran manfaat lain dimaksud.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 139
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam hal Dana Pensiun dibentuk untuk lebih dari 1 (satu) Pemberi Kerja, 1 (satu) Pemberi Kerja bertindak sebagai Pendiri dan Pemberi Kerja lainnya bertindak sebagai Mitra Pendiri. Dana Pensiun Pemberi Kerja yang dibentuk oleh lebih dari 1 (satu) Pemberi Kerja didasarkan pada pertimbangan praktis, efisiensi, atau alasan lainnya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 140
Cukup jelas.
Pasal 141
Cukup jelas.
Pasal 142
Cukup jelas.
Pasal 143
Cukup jelas.
Pasal 144
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Kompetensi dan pengalaman yang memadai dibuktikan di antaranya mencakup latar belakang pendidikan, lamanya bekerja, dan/atau sertifikasi.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 145
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Peserta mandiri merupakan seseorang, baik karyawan maupun bukan karyawan, yang atas inisiatif sendiri mendaftarkan diri sebagai Peserta pada Dana Pensiun Lembaga Keuangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 146
Cukup jelas.
Pasal 147
Cukup jelas.
Pasal 148
Cukup jelas.
Pasal 149
Cukup jelas.
Pasal 150
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Ketentuan ini dimaksudkan agar Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan pemberitahuan Pengurus dapat mengambil tindakan yang dipandang perlu untuk mencegah memburuknya keadaan Dana Pensiun yang bersangkutan dalam rangka melindungi kepentingan Peserta.
Ayat (5)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah dampak negatif yang terjadi pada Dana Pensiun sebagai akibat dari keadaan yang terjadi pada Mitra Pendiri.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 151
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan agar sesuai dengan prinsip bahwa tidak diperkenankan adanya pembayaran kembali dari Dana Pensiun kepada Pemberi Kerja.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 152
Cukup jelas.
Pasal 153
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Keterlambatan Pemberi Kerja untuk menyetor iuran kepada Dana Pensiun akan mempengaruhi kemampuan Dana Pensiun dalam memenuhi kewajibannya. Oleh sebab itu, tidak dikehendaki adanya keterlambatan penyetoran iuran. Pemberi Kerja bertanggung jawab atas keterlambatan tersebut.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "hak utama" adalah Dana Pensiun mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada pihak lain dalam hal pembubaran Pemberi Kerja, kecuali dalam kewajiban kepada negara dan kepada tenaga kerja pada Pemberi Kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 154
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "seluruh Manfaat Pensiun" adalah Manfaat Pensiun jangka pendek dan jangka panjang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 155
Cukup jelas.
Pasal 156
Ayat (1)
Manfaat Pensiun diharapkan merupakan penghasilan bagi Peserta pada masa pensiunnya. Agar maksud tersebut dapat tercapai, Undang-Undang ini melarang penggunaan hak terhadap setiap Manfaat Pensiun sebagai jaminan atas pinjaman, dialihkan, atau disita, yang dapat mengganggu kelancaran penghasilan Peserta dimaksud.
Ayat (2)
Sebagai akibat dari dilarangnya Manfaat Pensiun digunakan sebagai jaminan pinjaman, semua transaksi yang berkaitan dengan pembayaran Manfaat Pensiun, misalnya pembebanan, atau pengikatan, menjadi batal demi hukum sehingga perikatan yang menyangkut Manfaat Pensiun tersebut dianggap tidak pernah ada.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 157
Ayat (1)
Rumus Manfaat Pensiun Program Pensiun Manfaat Pasti di antaranya dikaitkan dengan masa kerja, faktor penghargaan, dan penghasilan dasar pensiun.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "dana awal Pemberi Kerja" adalah dana yang telah dihimpun oleh Pemberi Kerja baik yang dikelola oleh Pemberi Kerja sendiri maupun oleh pihak lain.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 158
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Peserta yang memiliki masa kepesertaan kurang dari 3 (tiga) tahun dan berhenti bekerja, memiliki hak paling sedikit sebesar akumulasi iurannya sendiri dan imbal hasil yang layak. Pemberian imbal hasil dimaksudkan agar kepada Peserta yang berhenti tersebut tidak hanya berhak atas akumulasi iurannya saja, tetapi juga berhak atas hasil pengembangan dari iuran yang pernah dibayar sebagaimana lazimnya bila seseorang menabung.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 159
Cukup jelas.
Pasal 160
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan ini memberikan hak bagi Peserta untuk menentukan pilihan mengenai Dana Pensiun yang akan membayarkan hak atas Pensiun Ditunda dalam hal Peserta berhenti bekerja. Adapun batas waktu 30 (tiga puluh) hari dimaksudkan agar jelas status hak yang timbul bagi Janda/Duda dalam hal Peserta meninggal dunia, yaitu apakah hak atas Pensiun Ditunda atau hak atas Manfaat Pensiun Janda/Duda.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 161
Ayat (1)
Larangan Dana Pensiun dikenakan kepada anggota Dewan Pengawas, anggota Dewan Pengawas Syariah, anggota Pengurus, dan pegawai Dana Pensiun.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "dilakukan secara berkala" adalah Manfaat Pensiun dibayarkan secara bulanan sesuai dengan Peraturan Dana Pensiun.
Pasal 162
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan pembayaran Manfaat Pensiun kepada Peserta dapat dilakukan paling cepat 5 (lima) tahun sebelum Usia Pensiun Normal. Misalnya, apabila Usia Pensiun Normal pada suatu Dana Pensiun ditetapkan pada usia 55 (lima puluh lima) tahun dan seorang Peserta berhenti bekerja pada usia 43 (empat puluh tiga) tahun, Manfaat Pensiun bagi Peserta tersebut tidak dapat dibayarkan sampai Peserta tersebut mencapai usia 50 (lima puluh) tahun.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 163
Cukup jelas.
Pasal 164
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan di antaranya untuk memudahkan penatausahaan Manfaat Pensiun.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "pembayaran Manfaat Pensiun pertama kali" adalah pembayaran pertama kepada Peserta atas Manfaat Pensiun Normal, Manfaat Pensiun Disabilitas, atau Manfaat Pensiun Dipercepat.
Dalam hal Peserta meninggal dunia sebelum Peserta mendapatkan Manfaat Pensiun Normal, Manfaat Pensiun Disabilitas, atau Manfaat Pensiun Dipercepat, maka yang dimaksud dengan "pembayaran Manfaat Pensiun pertama kali" adalah pembayaran pertama Manfaat Pensiun kepada Janda/Duda atau anak.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 165
Cukup jelas.
Pasal 166
Ayat (1)
Salah satu contoh dana yang dikategorikan sebagai dana tidak aktif merupakan Manfaat Pensiun yang sampai dengan berakhirnya jangka waktu 1 (satu) tahun belum dibayarkan oleh Dana Pensiun karena:
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "balai harta peninggalan" adalah unit pelaksana teknis di bawah kementerian yang membidangi hukum yang bertugas mengurus setiap harta peninggalan tidak terurus sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 167
Cukup jelas.
Pasal 168
Cukup jelas.
Pasal 169
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Larangan Dana Pensiun dikenakan kepada anggota Dewan Pengawas, anggota Dewan Pengawas Syariah, anggota Pengurus, dan pegawai Dana Pensiun.
Huruf a
Pengelolaan portofolio investasi dilakukan melalui transaksi di Pasar Uang dan Pasar Modal di antaranya mencakup repo (repurchase agreement)/reverse repo (repurchase agreement) dan securities lending.
Huruf b
Angka 1
Yang dimaksud dengan "pengendali Pendiri" adalah pihak yang memiliki kontrol atas kebijakan strategis Pendiri. Pengendali Pendiri tidak termasuk Pemerintah Republik Indonesia selaku penerbit surat berharga untuk keperluan fiskal yang juga bertindak selaku pengendali perusahaan milik negara.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Yang dimaksud dengan "perusahaan anak" adalah badan hukum atau perusahaan yang dimiliki dan/atau dikendalikan oleh Dana Pensiun baik secara langsung maupun tidak langsung.
Angka 4
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Ketentuan ini dimaksudkan bagi aset Dana Pensiun Pemberi Kerja yang dialihkan pengelolaannya kepada lembaga keuangan.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 170
Cukup jelas.
Pasal 171
Cukup jelas.
Pasal 172
Cukup jelas.
Pasal 173
Cukup jelas.
Pasal 174
Cukup jelas.
Pasal 175
Cukup jelas.
Pasal 176
Cukup jelas.
Pasal 177
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "menonaktifkan" adalah memberhentikan anggota Pengurus, anggota Dewan Pengawas, dan/atau anggota Dewan Pengawas Syariah untuk sementara waktu dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenangnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Ketentuan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa Pengurus, Dewan Pengawas, dan/atau Dewan Pengawas Syariah nonaktif dianggap pihak yang paling mengetahui keadaan keuangan dan operasional Dana Pensiun yang sedang diambil alih kepengurusannya oleh pengelola statuter.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 178
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "perintah tertulis" adalah perintah secara tertulis untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan kegiatan tertentu guna memenuhi ketentuan peraturan perundang undangan di sektor jasa keuangan dan/atau mencegah dan mengurangi kerugian Dana Pensiun, Peserta, atau Pihak yang Berhak.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 179
Cukup jelas.
Pasal 180
Cukup jelas.
Pasal 181
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Laporan aktuaris diperlukan untuk mengetahui kondisi kebutuhan pendanaan demi keberlanjutan program.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 182
Ayat (1)
Pengumuman kondisi keuangan dan perhitungan hasil usaha kepada Peserta dimaksudkan agar Peserta mengetahui keadaan keuangan suatu Dana Pensiun.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Informasi mengenai perubahan Peraturan Dana Pensiun di antaranya mencakup hal yang berdampak terhadap hak yang akan diterima Peserta.
Ayat (5)
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan di antaranya mencakup bentuk, susunan, waktu, dan tata cara mengenai kondisi keuangan dan perhitungan hasil usaha, hal yang timbul terkait kepesertaan, dan informasi setiap perubahan Peraturan Dana Pensiun.
Pasal 183
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "Pendiri bubar" termasuk apabila Pendiri dalam proses likuidasi.
Huruf c
Angka 1
Yang dimaksud dengan "tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada Peserta dan Pihak yang Berhak" di antaranya tidak dapat membayar Manfaat Pensiun yang telah jatuh tempo.
Angka 2
Contoh:
Pemberi Kerja tidak membayar iuran kepada Dana Pensiun Pemberi Kerja dalam jangka waktu tertentu sehingga mengakibatkan kondisi keuangan Dana Pensiun Pemberi Kerja memburuk. Memburuknya kondisi keuangan ditunjukkan dengan menurunnya rasio pendanaan sehingga Dana Pensiun Pemberi Kerja memiliki potensi tidak mampu membayar Manfaat Pensiun kepada Peserta dan Pihak yang Berhak pada masa yang akan datang.
Angka 3
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penetapan oleh Otoritas Jasa Keuangan merupakan persetujuan secara administratif tentang pembubaran Dana Pensiun. Pembubaran tersebut memerlukan tindak lanjut agar hal yang berhubungan dengan masalah penyelesaian dapat dilaksanakan melalui proses likuidasi.
Dalam hal Pendiri bubar, likuidator Pendiri dapat mewakili Pendiri untuk menunjuk likuidator Dana Pensiun.
Yang dimaksud dengan "likuidator Pendiri" adalah pihak-pihak yang memiliki tugas melakukan likuidasi Pendiri.
Ayat (3)
Penunjukan likuidator termasuk perubahannya oleh Otoritas Jasa Keuangan dapat berasal dari usulan Pendiri Dana Pensiun.
Ayat (4)
Penunjukan Pengurus didasarkan pada pertimbangan bahwa Pengurus merupakan pihak yang paling mengetahui tentang segala aspek yang perlu diselesaikan melalui proses likuidasi.
Pihak lain di antaranya mencakup akuntan publik atau aktuaris.
Ayat (5)
Dewan Pengawas bertugas melakukan pengawasan terhadap proses likuidasi Dana Pensiun.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 184
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan di antaranya memuat jangka waktu tertentu dan pengalihan hak tagih, proses likuidasi dan tanggung jawab Pemberi Kerja atas iuran yang terutang dan pembagian aset Dana Pensiun, serta jumlah maksimum.
Pasal 185
Cukup jelas.
Pasal 186
Ayat (1)
Pengaturan ini dimaksudkan untuk meningkatkan peran asosiasi dalam mengatur para anggotanya (self regulatory) dan melancarkan koordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 187
Cukup jelas.
Pasal 188
Angka 1
Pasal 36
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 37
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 189
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "sistem jaminan sosial nasional" adalah sistem jaminan sosial nasional sebagaimana diatur dalam undang undang mengenai sistem jaminan sosial nasional.
Ayat (4)
Program Pensiun tambahan yang bersifat wajib dapat dilakukan dalam bentuk kewajiban pendanaan atas Program Pensiun yang sudah ada atau dapat dalam bentuk program yang baru.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan "DPR" adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
Pasal 190
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "Pengelola Program Pensiun" adalah seluruh pengelola Program Pensiun, baik yang bersifat wajib maupun sukarela, di antaranya mencakup Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, PT Asabri, PT Taspen, Dana Pensiun Pemberi Kerja, dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan.
Program Pensiun mencakup keseluruhan program pensiun, baik yang bersifat wajib maupun sukarela di antaranya mencakup program jaminan hari tua dan jaminan pensiun dalam sistem jaminan sosial nasional, program tabungan hari tua dan jaminan pensiun bagi penyelenggara negara, dan program pensiun dan manfaat lain yang diselenggarakan oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan.
Kompetensi dan pengalaman yang memadai bagi pengelola Program Pensiun dibuktikan dengan di antaranya memiliki latar belakang pendidikan, pengalaman kerja, dan/atau sertifikasi yang terkait dengan pengelolaan Program Pensiun.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan "Program Pensiun Iuran Pasti" adalah Program Pensiun yang besaran iurannya ditetapkan dalam suatu peraturan, dan seluruh iuran serta hasil pengembangannya dibukukan pada rekening masing-masing Peserta sebagai Manfaat Pensiun.
Dalam hal ini, untuk Program Pensiun yang bersifat sukarela, besaran iuran sesuai dengan yang ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun. Sedangkan untuk Program Pensiun yang bersifat wajib, besaran iuran sesuai dengan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Huruf a
Yang dimaksud dengan dilakukan secara "transparan dan lengkap" adalah menyampaikan informasi imbal hasil keseluruhan yang didapatkan baik karena sudah menjual atau melepas aset investasi (realized) maupun imbal hasil yang didapatkan dari kenaikan atau penurunan nilai atas aset investasi yang belum dijual atau dilepas (unrealized) beserta biaya terkait pengelolaan aset.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "imbal hasil relatif" adalah imbal hasil yang menggunakan tolok ukur pasar.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Pasal 191
Ayat (1)
Pengelola Program Pensiun yang terkait dengan keuangan negara, pada saat Undang-Undang ini diundangkan, di antaranya mencakup BPJS Ketenagakerjaan, PT Asabri, dan PT Taspen.
Yang dimaksud dengan "cut loss" adalah menjual aset investasi dengan nilai di bawah harga perolehan.
Aset yang dikelola di antaranya mencakup seluruh aset yang dikelola pengelola Program Pensiun baik yang merupakan aset Program Pensiun maupun aset selain Program Pensiun.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan prinsip "kehati-hatian" adalah pengelolaan aset Program Pensiun dilakukan dengan cermat, teliti, aman, dan tertib serta dengan mempertimbangkan aspek risiko keuangan dan batasan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang undangan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 192
Cukup jelas.
Pasal 193
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Kondisi yang membahayakan kepentingan Peserta dan/atau Pihak yang Berhak di antaranya mencakup Dana Pensiun tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada Peserta dan/atau Pihak yang Berhak.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 194
Cukup jelas.
Pasal 195
Cukup jelas.
Pasal 196
Cukup jelas.
Pasal 197
Cukup jelas.
Pasal 198
Cukup jelas.
Pasal 199
Cukup jelas.
Pasal 200
Cukup jelas.
Pasal 201
Cukup jelas.
Pasal 202
Pasal 44B
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "melaksanakan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan" adalah bertindak sebagai pelaku usaha yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.
Kegiatan dalam sektor jasa keuangan di antaranya mencakup kegiatan perbankan, usaha perasuransian, usaha Program Pensiun, Pasar Modal, usaha lembaga pembiayaan, dan kegiatan lainnya yang ditetapkan peraturan perundang undangan sebagai kegiatan di sektor jasa keuangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Ketentuan yang dimaksud di antaranya mencakup permodalan, penempatan dana, investasi, penerapan prinsip kehati-hatian, tata kelola, pelaporan dan pemeriksaan keuangan, mitigasi risiko, tanggung jawab pengurus dalam resolusi, dan ketentuan norrna, standar, prosedur, serta kriteria yang lazim digunakan oleh sektor jasa keuangan atau regulator sektor jasa keuangan sejenis, baik domestik maupun internasional.
Pasal 203
Cukup jelas.
Pasal 204
Angka 1
Pasal 5
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 8
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "LKM inkubasi" adalah LKM baik yang didirikan dalam rangka menyelenggarakan program Pemerintah maupun yang didirikan oleh masyarakat yang tidak menghimpun dana dan belum mampu memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam undang undang mengenai lembaga keuangan mikro.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
LKM inkubasi dalam ketentuan ini diarahkan untuk dapat bertransformasi menjadi di antaranya LKM, BPR, atau Usaha Jasa Pembiayaan, baik yang menjalan usaha secara konvensional maupun berdasarkan Prinsip Syariah.
Ayat (8)
Ketentuan yang akan diatur dalam Peraturan Pemerintah di antaranya mencakup syarat, tata cara, dan jangka waktu pendaftaran LKM inkubasi; penyelenggaraan kegiatan usaha LKM inkubasi; dan upaya Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota untuk mendorong LKM inkubasi mampu menjadi lembaga yang memiliki izin usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Angka 4
Pasal 11
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Kegiatan usaha lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan harus sesuai dengan karakteristik LKM sebagai lembaga keuangan yang memiliki misi pengembangan dan pemberdayaan masyarakat serta tidak semata-mata mencari keuntungan.
Ayat (2)
Ketentuan yang akan diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan di antaranya mencakup suku bunga Pinjaman dan imbal hasil Pembiayaan.
Angka 5
Pasal 16
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Pengurus dan/atau anggota koperasi bertanggung jawab dalam resolusi.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Infrastruktur pembinaan dan pengawasan LKM di antaranya mencakup sumber daya manusia, anggaran, dan infrastruktur lainnya.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Tembusan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan dimaksudkan di antaranya untuk memantau pengembangan skala usaha LKM. LKM skala usaha kecil yang telah memenuhi persyaratan sebagai LKM skala usaha menengah dan besar mengikuti ketentuan pembinaan dan pengawasan yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 30A
Pihak terafiliasi merupakan pemegang saham atau anggota, PSP, atau pihak ketiga yang memberikan jasanya kepada LKM yang bersangkutan, termasuk konsultan hukum, akuntan publik, dan penilai.
Pasal 30B
Lihat penjelasan Pasal 30A.
Pasal 30C
Lihat penjelasan Pasal 30A.
Angka 11
Pasal 31
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 33
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 34
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 35
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 36
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 37
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 38
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 38A
Cukup jelas.
Pasal 38B
Cukup jelas.
Pasal 205
Ayat (1)
Parameter signifikan di antaranya berdasarkan jumlah minimum aset pada periode tertentu, kegiatan bisnis yang dijalankan, dan jumlah transaksi intragroup.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pengaturan mengenai Konglomerasi Keuangan mengatur di antaranya:
Pasal 206
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Kriteria tertentu di antaranya mencakup kepemilikan secara langsung oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau Konglomerasi Keuangan yang tidak signifikan dan tidak berdampak terhadap sistem keuangan.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 207
Cukup jelas.
Pasal 208
Cukup jelas.
Pasal 209
Cukup jelas.
Pasal 210
Pihak terelasi di antaranya mencakup perusahaan nonkeuangan yang dimiliki dan/atau dikendalikan oleh PSP/PSPT.
Pihak lain yang terkait di antaranya mencakup PSP/PSPT/pihak yang memiliki hubungan transaksi keuangan dengan Konglomerasi Keuangan.
Pasal 211
Cukup jelas.
Pasal 212
Koordinasi dengan Bank Indonesia dan/atau kementerian/lembaga terkait di antaranya dilakukan melalui pertukaran data dan/atau informasi serta dalam pelaksanaan pengaturan dan pengawasan sesuai dengan kewenangan masing-masing.
Pasal 213
Huruf a
ITSK dalam sistem pembayaran di antaranya mencakup inovasi teknologi dalam tahapan pemrosesan transaksi pembayaran yang terdiri atas kegiatan pratransaksi, inisiasi, otorisasi, kliring, setelmen, dan pascatransaksi dalam mendukung ekonomi dan keuangan digital.
Huruf b
ITSK dalam penyelesaian transaksi surat berharga di antaranya mencakup inovasi teknologi dalam proses kliring, proses penyelesaian, dan pencatatan kepemilikan serta penyimpanan instrumen di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing, serta efek di Pasar Modal.
Huruf c
ITSK dalam penghimpunan modal di antaranya mencakup inovasi teknologi dalam penghimpunan dana masyarakat melalui penawaran efek dengan menggunakan jasa penyelenggara sistem elektronik (securities crowdfunding) dengan menggunakan jasa penyelenggara sistem elektronik dan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait termasuk di bidang pasar modal.
Huruf d
ITSK dalam pengelolaan investasi di antaranya mencakup inovasi teknologi dalam pengelolaan investasi yang menggunakan advance algorithm (seperti robo advisory, automated advice and management (seperti digital financial plannery, dan retail algorithmic trading (seperti forex trading).
Huruf e
ITSK terkait pengelolaan risiko di antaranya mencakup kegiatan inovasi teknologi dalam hal pengembangan produk, seleksi risiko (underwriting), penanganan klaim, serta distribusi dan penjualan.
Huruf f
ITSK dalam penghimpunan dan/atau penyaluran dana di antaranya mencakup digital banking, pinjam-meminjam berbasis aplikasi teknologi (peer-to-peer lending), funding agent, financing agent, dan project financing.
Huruf g
ITSK terkait pendukung pasar merupakan inovasi teknologi dalam rangka mendukung kebutuhan WK di antaranya mencakup credit scoring, aggregator, dan e-know your customer (e-KYC yang menggunakan teknologi di antaranya mencakup artificial intelligence/machine learning, machine readable news, social sentiment, big data, market information platform, dan automated data collection and analysis.
Huruf h
Aset keuangan digital merupakan aset keuangan yang disimpan atau direpresentasikan secara digital, termasuk di dalamnya aset kripto.
Huruf i
Cukup jelas.
Pasal 214
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Prinsip Syariah difatwakan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
Fatwa ditindaklanjuti oleh otoritas terkait dalam bentuk peraturan.
Dalam rangka penyusunan peraturan, otoritas terkait berkoordinasi dengan lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
Pasal 215
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Tata kelola di antaranya mencakup keterbukaan, akuntabilitas, tanggung jawab, independensi, dan kewajaran.
Huruf b
Termasuk dalam lingkup manajemen risiko di antaranya pengawasan aktif oleh pengurus, ketersediaan kebijakan dan prosedur serta pemenuhan kecukupan struktur organisasi, proses manajemen risiko dan fungsi manajemen risiko, serta sumber daya manusia, dan pengendalian intern.
Huruf c
Keamanan dan keandalan sistem informasi di antaranya mencakup ketersediaan kebijakan dan prosedur tertulis sistem informasi, penggunaan sistem yang aman dan andal, di antaranya pengamanan dan pelindungan kerahasiaan data, pengelolaan fraud, pemenuhan sertifikasi dan/atau standar keamanan dan keandalan sistem, pemeliharaan dan peningkatan keamanan teknologi, penerapan standar keamanan siber, pengamanan data dan/atau informasi, dan pelaksanaan audit sistem informasi secara berkala.
Huruf d
Pelindungan Konsumen di antaranya mencakup edukasi dan Literasi Keuangan, serta Pengawasan Perilaku Pasar (Market Conduct).
Huruf e
Ketentuan peraturan perundang-undangan di antaranya mencakup ketentuan terkait anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme.
Pasal 216
Ayat (1)
Pengaturan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan ITSK termasuk jenis usaha, produk, layanan, teknologi, dan/atau model bisnis dari masing-masing ruang lingkup ITSK.
Ayat (2)
Huruf a
Keseimbangan antara upaya dalam mendorong inovasi dengan mitigasi risiko di antaranya mencakup prinsip keterbukaan, keluwesan, keberlanjutan, Pelindungan Konsumen, dan mitigasi risiko.
Huruf b
Integrasi ekonomi dan keuangan digital berorientasi pada ekosistem.
Huruf c
Efisiensi dan praktik bisnis yang sehat di antaranya mencakup prinsip efektivitas dan efisiensi serta bertanggung jawab, termasuk upaya penyelenggaraan uji coba/pengembangan inovasi (sandbox) yang terkoordinasi.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Perizinan dapat di antaranya mencakup pendaftaran, pencatatan, persetujuan, penetapan, dan/atau pemberian izin.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Pasal 217
Cukup jelas.
Pasal 218
Cukup jelas.
Pasal 219
Ayat (1)
Hasil evaluasi uji coba/pengembangan inovasi (sandbox) dapat dijadikan pertimbangan dalam perumusan pengaturan, pengawasan, dan pengembangan produk, aktivitas, layanan, dan model bisnis dalam pengembangan ekonomi dan keuangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 220
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan termasuk penetapan kode etik dan standar.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 221
Cukup jelas.
Pasal 222
Ayat (1)
Penerapan Keuangan Berkelanjutan juga mencakup pembiayaan transisi untuk proyek yang melakukan peralihan atau transformasi dari kegiatan yang menghasilkan emisi karbon tinggi menuju pada kegiatan yang lebih ramah lingkungan.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pengembangan produk, transaksi, dan jasa Keuangan Berkelanjutan mencakup pengembangan skema pembiayaan campuran (blended finance).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "otoritas sektor keuangan" adalah Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 223
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Kementerian Keuangan berperan dalam menyusun dan menetapkan instrumen kebijakan fiskal yang mendukung pengembangan Keuangan Berkelanjutan.
Otoritas Jasa Keuangan berperan dalam mengawasi dan meningkatkan kinerja sektor jasa keuangan dalam mengembangkan Keuangan Berkelanjutan.
Bank Indonesia berperan dalam mendukung pelaksanaan Keuangan Berkelanjutan demi menjaga stabilitas ekonomi dan keuangan dari ancaman dampak perubahan iklim.
Huruf c
Infrastruktur pendukung pelaksanaan Keuangan Berkelanjutan di antaranya meliputi verifikasi, sertifikasi, pengembangan kompetensi profesi terkait, pengembangan standar laporan keberlanjutan, dan lembaga pemeringkat surat berharga.
Verifikasi atas kriteria dan standar hijau/berkelanjutan dari sebuah produk dan/atau jasa Keuangan Berkelanjutan harus dilakukan untuk meningkatkan kepercayaan investor pada produk dan/atau jasa pembiayaan kegiatan berkelanjutan dan pembiayaan transisi yang dikeluarkan oleh PUSK.
Sertifikasi atas kapasitas/kecakapan seseorang dalam menilai dan memverifikasi apakah sebuah produk dan/atau jasa pembiayaan telah dapat dinilai sebagai produk dan/atau jasa Keuangan Berkelanjutan perlu dikembangkan untuk meningkatkan kepercayaan investor atas hasil dari penilaian dan verifikasi.
Pengembangan kompetensi profesi terkait di antaranya mencakup pemberian pengetahuan mengenai Keuangan Berkelanjutan pada profesi yang ada (akuntan, penilai, dan aktuaria). Pengembangan kompetensi profesi khusus yang berkaitan dengan produk dan/atau jasa pembiayaan kegiatan berkelanjutan dan pembiayaan transisi perlu dipertimbangkan oleh Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan, dan Bank Indonesia.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 224
Cukup jelas.
Pasal 225
Cukup jelas.
Pasal 226
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "otoritas sektor keuangan" adalah Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 227
Cukup jelas.
Pasal 228
Huruf a
Yang dimaksud dengan "edukasi yang memadai" adalah prinsip yang mengedepankan nilai dan aksi edukatif di antaranya mengenai peran PUSK dalam memberikan:
Huruf b
Yang dimaksud dengan "keterbukaan dan transparansi informasi produk dan/atau layanan" adalah prinsip yang mengutamakan kejelasan, keakuratan, kejujuran, dan tidak menyesatkan dari informasi mengenai produk dan/atau layanan baik sebelum, saat, maupun sesudah produk dan/atau layanan digunakan oleh Konsumen termasuk penjelasan mengenai risiko kerugian yang mungkin timbul.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "perlakuan yang adil dan perilaku bisnis yang bertanggung jawab" adalah prinsip yang mengedepankan tindakan yang adil, tidak diskriminatif, dan bertanggungjawab dari PUSK dalam menjalankan bisnis dengan memperhatikan kepentingan Konsumen di antaranya:
Huruf d
Yang dimaksud dengan "pelindungan aset, privasi, dan data Konsumen" adalah prinsip yang menekankan pada kepastian adanya prosedur, mekanisme, dan sistem untuk memberikan jaminan pelindungan, menjaga kerahasiaan dan keamanan atas aset keuangan yang dikelola oleh PUSK, privasi, data dan/atau informasi Konsumen, serta menggunakan sesuai dengan kepentingan dan tujuan yang disetujui Konsumen dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien" adalah prinsip yang memfokuskan pada pemenuhan hak-hak Konsumen dalam menyampaikan pengaduan dan sengketa di antaranya mencakup perangkat, prosedur, dan mekanisme mulai dari penerimaan hingga penyelesaian pengaduan oleh PUSK dengan sederhana, cepat, dan biaya yang terjangkau.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "penegakan kepatuhan" adalah prinsip yang menitikberatkan pada tindakan PUSK untuk memastikan kepatuhan terhadap ketentuan Pelindungan Konsumen berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor keuangan, contoh:
Huruf g
Yang dimaksud dengan "persaingan yang sehat" adalah persaingan antara PUSK dalam menjalankan kegiatan usaha yang dilakukan dengan cara jujur atau tidak melawan hukum atau tidak menghambat persaingan usaha.
Pasal 229
Cukup jelas.
Pasal 230
Cukup jelas.
Pasal 231
Cukup jelas.
Pasal 232
Cukup jelas.
Pasal 233
Cukup jelas.
Pasal 234
Cukup jelas.
Pasal 235
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Edukasi keuangan di antaranya mencakup edukasi mengenai produk dan/atau layanan yang sesuai kebutuhan dan kemampuan Konsumen untuk membantu dalam pengambilan keputusan keuangan.
Huruf h
Yang dimaksud dengan "secara benar" adalah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Ketentuan peraturan perundang-undangan di antaranya mencakup peraturan perundang-undangan yang terkait dengan hak Konsumen dalam penyelenggaraan Pelindungan Konsumen di sektor keuangan.
Ayat (3)
Huruf a
Metode pemasaran tertentu di antaranya mencakup pemasaran melalui telemarketing.
Huruf b
Dalam hal ini termasuk penggunaan cara lain bagi Konsumen difabel untuk melaksanakan kewajiban ini.
Huruf c
Beriktikad baik di antaranya mencakup dalam memberikan informasi dengan jujur dan benar.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 236
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan "diskriminatif" di antaranya pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara berdasarkan warna kulit, golongan, suku, ekonomi, dan agama.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 237
Huruf a
Ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk mencakup penghimpunan dana di luar sektor keuangan, misalnya arisan keluarga dan penghimpunan dana untuk tujuan sosial.
Huruf b
Tidak termasuk penambahan modal tanpa hak memesan efek terlebih dahulu (private placement) dan modal ventura.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 238
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "keseimbangan" adalah pembuatan perjanjian dilakukan dengan mempertimbangkan kesetaraan hak dan kewajiban antara PUSK dengan Konsumen.
Yang dimaksud dengan "keadilan" adalah terpenuhinya segala sesuatu yang merupakan hak dan kewajiban dalam hubungan antara para pihak, dalam hal ini PUSK dan Konsumen.
Yang dimaksud dengan "kewajaran" adalah tetap memperhatikan nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat dalam menentukan isi perjanjian. Nilai tersebut merujuk di antaranya pada moral dan adat istiadat yang berlaku di masyarakat.
Ayat (2)
Perjanjian tertulis termasuk perjanjian dalam bentuk elektronik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Klausul pengalihan tanggung jawab atau kewajiban PUSK kepada Konsumen di antaranya Konsumen membebaskan PUSK dari tanggung jawab dan/atau pemberian ganti rugi dalam bentuk apa pun yang mungkin timbul dari keluhan, atau gugatan yang diajukan oleh Konsumen atau kuasanya. Klausul baku ini mengalihkan tanggung jawab yang secara hukum merupakan tanggung jawab pelaku usaha, menjadi tanggung jawab Konsumen melalui perjanjian.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "memberi hak kepada PUSK untuk mengurangi kegunaan produk dan/atau layanan atau mengurangi harta kekayaan Konsumen yang menjadi objek perjanjian produk dan layanan" di antaranya PUSK melakukan perubahan nilai proteksi (coverage) pertanggungan asuransi.
Huruf e
Pemberian kuasa Konsumen kepada PUSK dibuat terpisah dari Perjanjian Baku dan mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf f
Menambah, mengubah dan/atau lanjutan secara sepihak disetujui/disepakati termasuk munculnya aturan baru.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 239
Cukup jelas.
Pasal 240
Cukup jelas.
Pasal 241
Cukup jelas.
Pasal 242
Cukup jelas.
Pasal 243
Pelindungan Konsumen termasuk pengaturan dan pengawasan Pelindungan Konsumen, penanganan pengaduan Konsumen, penyelesaian sengketa, dan edukasi Konsumen.
Koordinasi dilakukan dalam hal terdapat aktivitas penyediaan produk dan/atau layanan keuangan yang lintas industri yang diatur dan diawasi oleh institusi yang berbeda.
Pasal 244
Cukup jelas.
Pasal 245
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "lembaga atau badan penyelesaian sengketa" adalah lembaga atau badan yang melakukan penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Penyampaian pengaduan disampaikan oleh Konsumen melalui kanal resmi yang telah ditentukan oleh masing-masing otoritas sektor keuangan.
Permohonan penyelesaian sengketa Konsumen didasarkan atas di antaranya sengketa atau beda pendapat perdata.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 246
Cukup jelas.
Pasal 247
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kegiatan usaha tanpa izin di sektor keuangan di antaranya mencakup kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat dan/atau untuk disalurkan kepada masyarakat, penerbitan surat berharga yang bersifat ekuitas atau utang/sukuk yang ditawarkan kepada masyarakat, penyediaan produk atau jasa sistem pembayaran dan/atau kegiatan lain yang dapat dipersamakan dengan penghimpunan dana, penyaluran dana, pengelolaan dana, keperantaraan di sektor keuangan, dan penyediaan produk atau jasa sistem pembayaran.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 248
Cukup jelas.
Pasal 249
Ayat (1)
Usaha Mikro termasuk di dalamnya usaha ultra mikro.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "DPR" adalah alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap, yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
Pasal 250
Usaha Mikro termasuk di dalamnya usaha ultra mikro.
Pasal 251
Cukup jelas.
Pasal 252
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Materi yang akan diatur minimal mengenai kriteria pengelolaan dan pelaporan.
Pasal 253
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Standar kompetensi meliputi standar kompetensi untuk bidang atau jabatan pada industri sektor keuangan.
Bidang atau jabatan dimaksud merupakan jenjang pekerjaan atau bagian pada suatu industri sektor keuangan yang melaksanakan fungsi kegiatan tertentu.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 254
Cukup jelas.
Pasal 255
Cukup jelas.
Pasal 256
Cukup jelas.
Pasal 257
Cukup jelas.
Pasal 258
Cukup jelas.
Pasal 259
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Koordinasi dilakukan di antaranya terkait pertukaran data, penyusunan regulasi, pemeriksaan bersama, dan pengenaan sanksi sebagai tindak lanjut dari pemeriksaan bersama.
Ayat (5)
Kewajiban pendaftaran untuk memastikan kompetensi dan keahlian Profesi Penunjang Sektor Keuangan telah sesuai dengan persyaratan yang dibutuhkan oleh industri keuangan.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 260
Cukup jelas.
Pasal 261
Cukup jelas.
Pasal 262
Cukup jelas.
Pasal 263
Cukup jelas.
Pasal 264
Yang dimaksud dengan "lembaga pendidikan lainnya yang setara" adalah lembaga penyelenggara pendidikan yang memperoleh pengakuan dari kementerian, lembaga, atau otoritas pembina dan pengawas sektor keuangan.
Pasal 265
Ayat (1)
Peta jalan yang disusun mencakup strategi penguatan dan pengembangan sumber daya manusia sektor keuangan dalam jangka pendek, jangka menengah, dan/atau jangka panjang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penyusunan Peraturan Pemerintah dikoordinasikan oleh Kementerian Keuangan dengan melibatkan di antaranya Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan.
Pasal 266
Ayat (1)
Huruf a
Keterbukaan mencakup keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam pengungkapan dan penyediaan informasi yang relevan dan mudah diakses oleh pemangku kepentingan.
Huruf b
Akuntabilitas mencakup kejelasan fungsi dan pelaksanaan pertanggungjawaban.
Huruf c
Tanggung jawab mencakup kesesuaian pengelolaan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan nilai etika serta standar, prinsip, dan praktik.
Huruf d
Independensi mencakup keadaan yang dikelola secara mandiri dan profesional serta bebas dari benturan kepentingan dan pengaruh atau tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan nilai etika serta standar, prinsip, dan praktik.
Huruf e
Kewajaran mencakup kesetaraan, keseimbangan, dan keadilan di dalam memenuhi hak pemangku kepentingan yang timbul berdasarkan perjanjian, ketentuan peraturan perundang-undangan, dan nilai etika serta standar, prinsip, dan praktik.
Ayat (2)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mendorong penerapan tata kelola yang baik agar benar-benar dapat menjalankan fungsinya untuk memastikan industri sektor keuangan menjalankan praktik usaha yang sehat.
Pasal 267
Manajemen risiko di antaranya mencakup pengawasan aktif oleh pengelola, ketersediaan kebijakan dan prosedur serta pemenuhan kecukupan struktur organisasi, proses manajemen risiko dan fungsi manajemen risiko, sumber daya manusia, serta pengendalian internal.
Pasal 268
Cukup jelas.
Pasal 269
Cukup jelas.
Pasal 270
Cukup jelas.
Pasal 271
Ayat (1)
Pihak yang melakukan interaksi bisnis dengan sektor keuangan di antaranya mencakup debitur perbankan, debitur perusahaan pembiayaan, dan emiten di Pasar Modal atau Pasar Uang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Akuntan publik merupakan seseorang yang telah mendapatkan izin akuntan publik dari Kementerian Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai akuntan publik.
Pasal 272
Cukup jelas.
Pasal 273
Materi pengaturan dalam Peraturan Pemerintah memuat minimal:
Pasal 274
Cukup jelas.
Pasal 275
Cukup jelas.
Pasal 276
Angka 1
Pasal 15A
Ayat (1)
Pelaksanaan koordinasi tersebut di antaranya terkait dengan pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah, penempatan dana, divestasi Bank Perantara, dan tindakan perbaikan Bank Sistemik.
Pelaksanaan koordinasi tersebut sesuai dengan kewenangan dari Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 15B
Ayat (1)
Pengawasan dan pemeriksaan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki setiap lembaga merupakan pengawasan dan pemeriksaan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, atau Lembaga Penjamin Simpanan secara individual lembaga. Potensi permasalahan Bank di antaranya ditandai dengan:
Ayat (2)
Langkah antisipatif yang dapat dilakukan Otoritas Jasa Keuangan termasuk meminta kepada Bank untuk melakukan tindakan perbaikan segera (prompt corrective actions) dan/atau memerintahkan Bank untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan kegiatan tertentu guna memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor perbankan dan/atau mencegah dan mengurangi kerugian Konsumen, masyarakat, dan sektor perbankan (cease and desist order), serta menetapkan status pengawasan Bank.
Bagi Bank Indonesia, hasil pemeriksaan ini dapat dijadikan dasar untuk mengantisipasi kemungkinan permohonan pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah, termasuk memastikan daftar aset Bank sudah valid saat dijadikan agunan dalam permohonan pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah.
Bagi Lembaga Penjamin Simpanan, hasil pemeriksaan ini dapat dijadikan dasar untuk mengantisipasi kemungkinan penempatan dana Lembaga Penjamin Simpanan pada Bank serta kemungkinan kegagalan Bank yang tiba-tiba.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 16A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penetapan status pengawasan Bank dalam ketentuan ini dapat berasal dari perubahan status Bank dalam pengawasan normal menjadi Bank dalam penyehatan atau Bank dalam penyehatan menjadi Bank dalam resolusi atau sebaliknya (vice versa), ketika Bank memenuhi kriteria tertentu.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Dalam menetapkan ketentuan mengenai kriteria penetapan status pengawasan Bank, Otoritas Jasa Keuangan mempertimbangkan rekomendasi forum koordinasi.
Pasal 16B
Suatu Bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya apabila kondisi usaha Bank semakin memburuk, di antaranya ditandai dengan menurunnya permodalan, kualitas aset, likuiditas, dan rentabilitas, serta pengelolaan Bank yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan asas perbankan yang sehat.
Pasal 16C
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pemberitahuan tertulis Otoritas Jasa Keuangan kepada Lembaga Penjamin Simpanan dan Bank Indonesia disertai informasi terkini tindakan pengawasan yang telah dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan kepada Bank.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Huruf a
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Langkah penyehatan yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan di antaranya menerbitkan perintah tertulis, menempatkan pengelola statuter, dan/atau melalui mekanisme lain berdasarkan undang-undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
Angka 3
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Uji tuntas dan penjajakan kepada Bank lain yang dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan dilakukan dalam rangka persiapan resolusi Bank.
Ayat (7)
Huruf a
Perintah Otoritas Jasa Keuangan kepada Bank dimaksudkan untuk menjaga kondisi keuangan Bank sehingga pada saat akan dilakukan penanganan Bank tidak terjadi perubahan secara material.
Perintah Otoritas Jasa Keuangan kepada Bank dimaksudkan untuk melancarkan proses pengalihan aset dan/atau kewajiban Bank.
Huruf b
Dukungan tersebut dimaksudkan agar penyelesaian transaksi pengalihan aset dan/atau kewajiban Bank dapat dilakukan secepat mungkin dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan melakukan tindakan resolusi.
Ayat (8)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "pengelola statuter" adalah orang perseorangan atau badan hukum yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan untuk melaksanakan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Perhitungan tingkat permodalan dapat ditambahkan dengan tambahan modal penyangga (buffer).
Pasal 16D
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "nasabah" adalah pihak yang menggunakan jasa Bank.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 16E
Ayat (1)
Pemberitahuan penetapan Bank dalam resolusi disampaikan Otoritas Jasa Keuangan secara tertulis kepada Bank dan Lembaga Penjamin Simpanan, untuk menegaskan bahwa Otoritas Jasa Keuangan telah menetapkan Bank dalam resolusi, dan sesuai dengan ketentuan undang-undang mengenai Lembaga Penjamin Simpanan segala hak dan wewenang rapat umum pemegang saham, kepemilikan, kepengurusan, dan kepentingan lain pada Bank dimaksud beralih kepada Lembaga Penjamin Simpanan.
Huruf a
Yang dimaksud dengan "permodalan minimum" adalah permodalan minimum yang disarankan untuk menjaga prinsip kehati-hatian (prudential) dalam menjalankan kegiatan usaha Bank. Penetapan Bank sebagai Bank dalam resolusi terjadi ketika penurunan persentase di bawah permodalan minimum dan/atau giro wajib minimum pada periode Bank dalam penyehatan belum berakhir.
Yang dimaksud dengan "giro wajib minimum" adalah giro wajib minimum sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang undangan mengenai giro wajib minimum.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "permasalahan likuiditas mendasar" adalah:
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan menyerahkan penetapan Bank Sistemik sebagai Bank dalam resolusi kepada Lembaga Penjamin Simpanan dan dilakukan koordinasi langkah yang harus dilakukan oleh Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan/atau Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan wewenang masing-masing, untuk mendukung tindakan resolusi Lembaga Penjamin Simpanan kepada Bank Sistemik.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 17
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 18
Kecukupan modal di antaranya mencakup bantalan cadangan permodalan (capital conservation buffer). Kecukupan likuiditas di antaranya mencakup rasio kecukupan likuiditas (liquidity coverage ratio) dan rasio pendanaan yang stabil (net stable funding ratio).
Angka 7
Pasal 18A
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "rencana aksi pemulihan" (recovery plan) adalah rencana untuk mengatasi permasalahan keuangan yang mungkin terjadi di Bank Sistemik.
Ayat (2)
Penerapan dari rencana aksi pemulihan dilakukan untuk mengatasi permasalahan keuangan Bank Sistemik yang terjadi baik pada saat status pengawasan normal maupun saat status pengawasan Bank dalam penyehatan.
Jenis kewajiban tertentu di antaranya mencakup simpanan milik PSP dan/atau instrumen jenis kewajiban tertentu yang dapat dikonversi menjadi modal.
Ayat (3)
Tambahan kapasitas permodalan (capital surcharge) bagi Bank Sistemik termasuk instrumen jenis kewajiban tertentu yang dapat dikonversi menjadi modal.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 18B
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "rencana resolusi" (resolution plan) adalah rencana tindakan resolusi Bank Sistemik yang disusun secara komprehensif, yang berisi antara lain rincian karakteristik bank dan strategi tindakan resolusi yang diutamakan (preferred) untuk Bank Sistemik tersebut, dalam rangka menjaga keberlangsungan fungsi ekonomi penting (critical economic functions) Bank tanpa menyebabkan gangguan pada Stabilitas Sistem Keuangan.
Dalam penyusunan rencana resolusi tersebut, Lembaga Penjamin Simpanan menyiapkan panduan penyusunan rencana resolusi untuk Bank Sistemik. Berdasarkan panduan tersebut, Bank Sistemik menyusun konsep awal yang akan ditindaklanjuti oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
Rencana resolusi merupakan salah satu alat bantu bagi Lembaga Penjamin Simpanan ketika akan mengambil keputusan saat tindakan resolusi kepada Bank Sistemik dan tidak bersifat mengikat bagi Lembaga Penjamin Simpanan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 18C
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "uji resolvabilitas" (resolvability assessment) adalah tindakan pengujian Lembaga Penjamin Simpanan terhadap kelayakan dan kredibilitas atas rencana resolusi Bank Sistemik yang telah disetujui Lembaga Penjamin Simpanan dan strategi dalam menghilangkan potensi hambatan yang mungkin ada pada saat implementasi tindakan resolusi Bank Sistemik.
Uji resolvabilitas dilakukan utamanya untuk melihat dampak kegagalan Bank Sistemik terhadap Sistem Keuangan dan perekonomian secara keseluruhan.
Uji resolvabilitas oleh Lembaga Penjamin Simpanan kepada Bank Sistemik dilakukan sewaktu-waktu, baik pada saat Bank Sistemik dalam status pengawasan normal maupun dalam status Bank dalam penyehatan.
Ayat (6)
Tindakan perbaikan di antaranya mencakup pemutakhiran rencana resolusi yang telah disetujui Lembaga Penjamin Simpanan dan melakukan langkah antisipatif untuk menghilangkan atau meminimalkan potensi hambatan tersebut.
Ayat (7)
Hasil koordinasi antara Lembaga Penjamin Simpanan dan Otoritas Jasa Keuangan dituangkan dalam bentuk tertulis.
Ayat (8)
Materi muatan dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan di antaranya mengatur mengenai tata cara penyusunan rencana resolusi bagi Bank Sistemik termasuk kewajiban pemutakhiran rencana resolusi oleh Bank Sistemik dan mekanisme penilaian rencana resolusi oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
Angka 8
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Langkah penyehatan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan di antaranya menerbitkan perintah tertulis dan/atau melalui mekanisme lain berdasarkan undang-undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 9
Cukup jelas.
Angka 10
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "kesulitan likuiditas" adalah kesulitan likuiditas jangka pendek yang disebabkan oleh arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan arus dana keluar (mismatch) sehingga bank umum tidak dapat memenuhi kewajiban giro wajib minimum.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Penilaian dilakukan untuk memastikan Bank mempunyai agunan yang cukup, Apabila pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah tidak dapat dilunasi pada saat jatuh tempo, Bank Indonesia sepenuhnya berhak mencairkan agunan yang dikuasainya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (4)
Angka 12
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah dimaksudkan untuk menjaga kelangsungan Bank maka ketentuan tata cara pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah disusun agar dapat diterapkan.
Pasal 20A
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 20B
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Materi muatan dalam Peraturan Pemerintah di antaranya mencakup pengajuan penempatan dana, total penempatan dana, dan koordinasi antara Lembaga Penjamin Simpanan, Otoritas Jasa Keuangan, dan Bank Indonesia.
Pasal 20C
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia terkait dengan pemantauan harian terhadap riwayat sistem pembayaran Bank.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 20D
Cukup jelas.
Angka 14
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 21
Dihapus.
Angka 16
Pasal 23
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Fungsi dan layanan Bank Sistemik, terutama yang berpotensi menimbulkan dampak sistemik, perlu dipertahankan kesinambungannya dengan mengalihkan kepada Bank lain dengan cara yang saksama dan dalam waktu sesingkat singkatnya. Untuk itu, Lembaga Penjamin Simpanan perlu memiliki wewenang untuk mengalihkan kewajiban Bank yang melekat pada fungsi dan layanan tersebut, termasuk simpanan nasabah dan pinjaman antar-Bank, tanpa menunggu persetujuan dari pihak yang memiliki kepentingan atas kewajiban tersebut.
Pihak lain di antaranya mencakup organ perusahaan seperti dewan komisaris dan rapat umum pemegang saham.
Jumlah kewajiban Bank Sistemik yang dialihkan sebesar saldo kewajiban Bank yang berupa simpanan dan pinjaman yang diterima dari Bank lain yang tercatat pada pembukuan Bank pada saat dialihkan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Wewenang lain yang dimiliki Lembaga Penjamin Simpanan dan diperlukan untuk menerapkan cara penanganan melalui pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank Sistemik kepada Bank penerima atau kepada Bank Perantara antara lain wewenang untuk melikuidasi Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 25
Ayat (1)
Pada dasarnya satu Bank Perantara digunakan untuk menerima pengalihan aset dan kewajiban dari satu Bank Sistemik. Dalam kondisi tertentu, satu Bank Perantara dapat digunakan Lembaga Penjamin Simpanan untuk menerima pengalihan aset dan kewajiban lebih dari satu Bank Sistemik.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "orang" adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing, atau badan hukum, baik badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing. Dengan ketentuan ini, Lembaga Penjamin Simpanan sebagai badan hukum menjadi pendiri dan satu satunya pemegang saham Bank Perantara. Pengecualian ini dimaksudkan agar Lembaga Penjamin Simpanan menguasai sepenuhnya pengoperasian Bank Perantara.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pemenuhan persyaratan dapat menggunakan surat pernyataan dari Lembaga Penjamin Simpanan bahwa persyaratan tersebut akan dipenuhi dengan menggunakan data dan/atau dokumen Bank Sistemik yang akan dialihkan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajibannya.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Uji kemampuan dan kepatutan bagi anggota dewan komisaris dan direksi Bank Perantara memperhatikan kebutuhan untuk beroperasinya Bank Perantara dalam waktu segera. Anggota dewan komisaris dan direksi Bank Perantara dinyatakan memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan apabila yang bersangkutan tidak tercantum dalam daftar kredit macet dan daftar tidak lulus.
Pada saat Bank Perantara dijual oleh Lembaga Penjamin Simpanan, anggota dewan komisaris dan direksi Bank harus telah memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan yang berlaku umum.
Ayat (7)
Persetujuan sementara bagi calon anggota dewan komisaris dan calon direksi Bank Perantara tidak mengurangi penilaian kemampuan dan kompetensi yang bersangkutan dalam menjalankan tindakan, tugas, dan fungsi sebagai anggota dewan komisaris dan/atau anggota direksi.
Ayat (8)
Bank Indonesia memberikan konfirmasi pengalihan persetujuan dan/atau izin terkait kegiatan dalam operasi moneter, sistem pembayaran Bank Indonesia, dan penyelenggara jasa sistem pembayaran setelah Lembaga Penjamin Simpanan melengkapi dokumen sesuai ketentuan Bank Indonesia.
Ayat (9)
Bank Perantara yang didirikan oleh Lembaga Penjamin Simpanan untuk menerima pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank dalam resolusi akan dialihkan kepemilikannya kepada pihak lain, sehingga kewajiban penyediaan modal minimum dan modal inti minimum belum berlaku sepanjang Bank Perantara masih dalam penanganan Lembaga Penjamin Simpanan sampai dengan jangka waktu tertentu.
Bank Perantara dikecualikan dari penetapan status pengawasan sebagai Bank dalam penyehatan.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Ayat (12)
Cukup jelas.
Ayat (13)
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "terbuka" adalah dapat diikuti oleh setiap calon investor yang memenuhi persyaratan.
Yang dimaksud dengan "transparan" adalah proses penjualan dan pengalihan dapat diakses oleh publik.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 27
Dihapus.
Angka 20
Pasal 28
Cukup jelas.
Angka 21
Pasal 28A
Cukup jelas.
Angka 22
Pasal 29A
Yang dimaksud dengan "mutatis mutandis" adalah ketentuan mengenai rasio kecukupan modal, kewajiban penyusunan rencana aksi pemulihan, kewajiban penyusunan rencana resolusi, dan penilaian rencana resolusi, dengan perubahan kecil atau yang perlu untuk disesuaikan, berlaku juga untuk Bank selain Bank Sistemik.
Contoh: Penggantian frasa "Bank Sistemik" dalam Pasal 18 menjadi frasa "Bank selain Bank Sistemik".
Angka 23
Cukup jelas.
Angka 24
Pasal 30
Yang dimaksud dengan "mutatis mutandis" adalah ketentuan mengenai pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah kepada Bank Sistemik dan penempatan dana Lembaga Penjamin Simpanan pada Bank, dengan perubahan kecil atau yang perlu untuk disesuaikan, berlaku juga untuk Bank selain Bank Sistemik.
Contoh: Penggantian frasa "Bank Sistemik" dalam Pasal 20 menjadi frasa "Bank selain Bank Sistemik".
Angka 25
Pasal 31
Cukup jelas.
Angka 26
Cukup jelas.
Angka 27
Pasal 31A
Cukup jelas.
Angka 28
Pasal 36A
Ayat (1)
Kondisi krisis termasuk kondisi krisis yang berdampak terhadap penurunan kinerja sektor keuangan maupun Krisis Sistem Keuangan. Untuk itu, Bank Indonesia perlu memiliki kewenangan extraordinary untuk melakukan penanganan dan pemulihan akibat kondisi krisis dimaksud.
Huruf a
Kewenangan Bank Indonesia membeli Surat Berharga Negara berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan Sistem Keuangan yang membahayakan perekonomian nasional merupakan pengecualian dari ketentuan larangan pembelian surat utang negara untuk diri sendiri di pasar primer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang ini.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 36B
Ayat (1)
Kondisi krisis termasuk kondisi krisis yang berdampak terhadap penurunan kinerja sektor keuangan maupun Krisis Sistem Keuangan. Untuk itu, Pemerintah perlu memiliki kewenangan extraordinary untuk melakukan penanganan dan pemulihan akibat kondisi krisis dimaksud.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 36C
Ayat (1)
Kebijakan penanganan permasalahan perekonomian nasional termasuk program pemulihan ekonomi nasional.
Yang dimaksud dengan "simpanan milik Pemerintah" adalah penempatan dana yang dilakukan oleh Pemerintah pada Bank.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 29
Pasal 41
Ayat (1)
Huruf a
Berdasarkan undang-undang mengenai Lembaga Penjamin Simpanan, Lembaga Penjamin Simpanan memiliki wewenang mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak dan wewenang rapat umum pemegang saham Bank.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Penjualan atau pengalihan kekayaan Bank oleh Lembaga Penjamin Simpanan diikuti dengan beralihnya hak kebendaan kepada pembeli. Dengan demikian, pembeli memperoleh kepastian hukum beralihnya hak atas kekayaan tersebut. Penjualan atau pengalihan dapat dilakukan secara langsung atau melalui penawaran umum untuk memperoleh harga terbaik.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "pihak lain" adalah orang perseorangan, badan usaha milik negara, badan usaha milik swasta, dan/atau badan hukum lainnya.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Ketentuan ini menegaskan bahwa penyertaan modal sementara oleh Lembaga Penjamin Simpanan dapat dilakukan secara langsung melalui penyetoran modal dan/atau melalui konversi tagihan Lembaga Penjamin Simpanan terhadap Bank menjadi saham. Mengingat kekhususan penyertaan modal sementara oleh Lembaga Penjamin Simpanan, pelaksanaannya dikecualikan dari ketentuan dan prosedur penambahan modal yang berlaku bagi Bank yang sahamnya tercatat di bursa efek.
Huruf h
Dalam rangka memperbaiki struktur permodalan dan/atau kewajiban Bank, Lembaga Penjamin Simpanan berwenang melakukan konversi kewajiban Bank kepada kreditur tertentu menjadi modal. Mengingat kekhususan konversi kewajiban menjadi modal tersebut, pelaksanaannya dikecualikan dari ketentuan dan prosedur penambahan modal yang berlaku bagi Bank yang sahamnya tercatat di bursa efek.
Huruf i
Menurut ketentuan ini, atas piutang Bank terhadap pihak ketiga, Lembaga Penjamin Simpanan dapat melakukan tindakan penagihan piutang dengan penerbitan surat paksa, dengan berdasarkan pada catatan utang debitur yang bersangkutan pada Bank dalam Program Restrukturisasi Perbankan. Surat paksa ini memuat irah-irah dengan frasa "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA" mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam hal tindakan penagihan piutang tidak diindahkan oleh debitur, Lembaga Penjamin Simpanan dapat melakukan penyitaan atas kekayaan debitur dan selanjutnya dapat melakukan pelelangan atas kekayaan debitur dalam rangka pengembalian piutang dimaksud. Harta debitur yang tidak dapat disita meliputi perlengkapan rumah tangga, buku, dan peralatan kerja untuk kelangsungan hidup debitur. Walaupun Lembaga Penjamin Simpanan diberi wewenang untuk melakukan penagihan paksa, tata cara pelaksanaannya tetap memperhatikan aspek kepastian hukum dan keadilan.
Huruf j
Pengosongan atas tanah dan/atau bangunan milik atau yang menjadi hak Bank dilakukan Lembaga Penjamin Simpanan berdasarkan bukti kepemilikan dan/atau bukti hak di antaranya mencakup hak jaminan yang dipegang Bank sebagai kreditur, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf k
Untuk memperoleh keterangan dimaksud, Lembaga Penjamin Simpanan dapat meminta bantuan aparat penegak hukum yang berwenang.
Yang dimaksud dengan "pihak manapun" adalah pihak terafiliasi dan pihak lain yang terlibat atau patut diduga terlibat, termasuk badan hukum yang dimiliki oleh Bank atau pihak terafiliasi.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Cukup jelas.
Huruf q
Cukup jelas.
Huruf r
Cukup jelas.
Huruf s
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pelaksanaan kewenangan penyelenggaraan Program Restrukturisasi Perbankan yang dikecualikan di antaranya mengenai persetujuan rapat umum pemegang saham, pengajuan keberatan oleh kreditur, pembelian kembali saham Bank dalam tindakan korporasi Bank, serta penggabungan, pengambilalihan, dan peleburan Bank.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 30
Pasal 42A
Cukup jelas.
Angka 31
Cukup jelas.
Angka 32
Pasal 46A
Cukup jelas.
Pasal 46B
Cukup jelas.
Angka 33
Pasal 47A
Cukup jelas.
Pasal 277
Cukup jelas.
Pasal 278
Pasal 16
Ayat (1)
Untuk memudahkan dalam melaksanakan Pembiayaan Ekspor Nasional, LPEI dapat ikut serta sebagai peserta dalam sistem pembayaran nasional. Untuk itu, LPEI tunduk pada ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Yang dimaksud dengan "sistem pembayaran nasional" adalah sistem pembayaran sebagaimana diatur dalam undang undang yang mengatur mengenai Bank Indonesia.
Yang dimaksud dengan "sistem pembayaran internasional" adalah sistem pembayaran yang lazim dilakukan untuk menyelesaikan kewajiban pembayaran antarbank atau lembaga keuangan antarnegara.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 279
Cukup jelas.
Pasal 280
Cukup jelas.
Pasal 281
Cukup jelas.
Pasal 282
Cukup jelas.
Pasal 283
Cukup jelas.
Pasal 284
Cukup jelas.
Pasal 285
Cukup jelas.
Pasal 286
Cukup jelas.
Pasal 287
Cukup jelas.
Pasal 288
Cukup jelas.
Pasal 289
Cukup jelas.
Pasal 290
Cukup jelas.
Pasal 291
Cukup jelas.
Pasal 292
Cukup jelas.
Pasal 293
Cukup jelas.
Pasal 294
Cukup jelas.
Pasal 295
Cukup jelas.
Pasal 296
Cukup jelas.
Pasal 297
Cukup jelas.
Pasal 298
Cukup jelas.
Pasal 299
Cukup jelas.
Pasal 300
Cukup Jelas.
Pasal 301
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 303
Cukup jelas.
Pasal 304
Cukup jelas.
Pasal 305
Cukup jelas.
Pasal 306
Cukup jelas.
Pasal 307
Insentif perpajakan diprioritaskan kepada program tertentu atau jasa keuangan dan kepada lembaga keuangan yang masih memerlukan penguatan, pendalaman, dan/atau pengembangan. Sebagai contoh jasa keuangan yang diselenggarakan oleh perbankan syariah yang masih memerlukan dukungan sehingga memiliki level of playing field dengan perbankan konvensional dan/atau program pensiun untuk mendorong akumulasi sumber pembiayaan jangka panjang.
Pasal 308
Cukup jelas.
Pasal 309
Cukup jelas.
Pasal 310
Cukup jelas.
Pasal 311
Cukup jelas.
Pasal 312
Peralihan tugas pengaturan dan pengawasan otoritas sektor keuangan mencakup kepada:
Pasal 313
Cukup jelas.
Pasal 314
Cukup jelas.
Pasal 315
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pengendalian" adalah suatu tindakan yang bertujuan untuk memengaruhi pengelolaan dan/atau kebijakan WK, dengan cara apapun, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 316
Cukup jelas.
Pasal 317
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Contoh:
Dalam hal masa tugas Peserta RUA dimulai sejak tanggal 27 Mei 2022 sampai dengan 26 Mei 2027 maka berdasarkan ketentuan ini, masa tugas Peserta RUA tersebut akan berakhir pada tanggal 26 Mei 2027.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Pasal 318
Cukup jelas.
Pasal 319
Cukup jelas.
Pasal 320
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan ini memberi kemungkinan bagi Dana Pensiun yang telah mendapat pengesahan Otoritas Jasa Keuangan dengan sebelum Undang-Undang ini diundangkan untuk melanjutkan pembayaran uang secara sekaligus bagi Peserta sebelum 20 April 1992 sepanjang telah diatur dalam Peraturan Dana Pensiun, sampai dengan berakhirnya pembayaran seluruh hak Peserta tersebut. Ayat ini mengandung pengertian bahwa dalam menyelesaikan seluruh kewajiban dimaksud, Dana Pensiun dilarang untuk mengubah rumus manfaat bagi kelompok Peserta dimaksud.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan relaksasi terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162.
Pasal 321
Cukup jelas.
Pasal 322
Cukup jelas.
Pasal 323
Yang dimaksud dengan "kriteria tertentu" adalah PUSK yang memiliki keterbatasan di antaranya mencakup kemampuan permodalan sebagaimana diatur lebih lanjut dengan peraturan otoritas sektor keuangan sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
Pasal 324
Cukup jelas.
Pasal 325
Cukup jelas.
Pasal 326
Cukup jelas.
Pasal 327
Cukup jelas.
Pasal 328
Cukup jelas.
Pasal 329
Cukup jelas.
Pasal 330
Cukup jelas.
Pasal 331
Cukup jelas.
Pasal 332
Cukup jelas.
Pasal 333
Cukup jelas.
Pasal 334
Cukup jelas.
Pasal 335
Ayat (1)
Dengan adanya ketentuan ini, masa jabatan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dan anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan yang membidangi edukasi dan Pelindungan Konsumen periode tahun 2022-2027 ditambah 1 (satu) tahun, sehingga yang semula 5 (lima) tahun menjadi 6 (enam) tahun.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 336
Cukup jelas.
Pasal 337
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan "lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah" sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini adalah Majelis Ulama Indonesia.
Pasal 338
Cukup jelas.
Pasal 339
Cukup jelas.
Pasal 340
Cukup jelas.
Pasal 341
Cukup jelas.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6845
|