Quick Guide
Hide Quick Guide
    Aktifkan Mode Highlight
    Premium
    File Lampiran
    Peraturan Terkait
    IDN
    ENG
    Fitur Terjemahan
    Premium
    Terjemahan Dokumen
    Ini Belum Tersedia
    Bagikan
    Tambahkan ke My Favorites
    Download as PDF
    Download Document
    Premium
    Status : Beberapa kali diubah dan sekarang tidak berlaku karena diganti/dicabut

    UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
    NOMOR 19 TAHUN 1959

     
    TENTANG
     
    PENETAPAN UNDANG-UNDANG DARURAT NO.27 TAHUN 1957

    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
    PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
     
     

    Menimbang

    a.
    bahwa Pemerintah berdasarkan pasal 96 ayat 1 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia telah menetapkan Undang-undang Darurat No.27 tahun 1957 tentang penagihan Pajak Negara dengan surat-paksa (Lembaran-Negara tahun 1957 No. 84);
    b.
    bahwa peraturan-peraturan yang termaktub dalam Undang-undang Darurat tersebut perlu ditetapkan sebagai Undang-undang dengan beberapa perubahan;
     
     

    Mengingat

    a.
    Pasal 97 dan pasal 89 Undang-undang Dasar Sementera Republik Indonesia;
    b.
    Undang-undang No. 29 tahun 1957 (Lembaran-Negara tahun 1957 No. 101);Dengan Persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat;
     
     
    MEMUTUSKAN:

    Menetapkan

    Undang-undang tentang penetapan, Undang-undang Darurat No. 27 tahun 1957 tentang penagihan Pajak Negara dengan surat paksa (Lembaran- Negara tahun 1957 No. 84)" sebagai Undang-undang.
     
     

    Pasal I

    Peraturan-peraturan yang termaktub dalam, Undang-undang Darurat No. 27 tahun 1957 tentang penagihan Pajak Negara dengan surat paksa ditetapkan sebagai Undang-undang dengan tambahan-tambahan dan perubahan-perubahan, sehingga berbunyi sebagai berikut:
     
    BAB I
    KETENTUAN UMUM.
     
    Pasal 1
     
    Yang dimaksud dalam Undang-undang ini dengan:
    a.
    penanggung Pajak, ialah seorang atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak;
    b.
    pelaksana, ialah pejabat yang telah mengeluarkan surat paksa;
    c.
    juru-sita, ialah petugas yang ditunjuk oleh atau atas kuasa Menteri Keuangan untuk melaksanakan surat paksa;
    d.
    Pengadilan Negeri, ialah Pengadilan Negeri yang daerah-hukumnya meliputi tempat di mana dilakukan pelaksanaan surat-paksa.
     
     
    Pasal 2
    (1)
    Pajak yang diadakan oleh Negara, termasuk opsen, kenaikan, denda yang tidak bersifat pidana, bunga uang dan biaya yang bersangkutan dengan ini dapat ditagih dengan surat-paksa yang memberi hak pelaksanaan langsung terhadap barang gerak dan barang tak gerak kepunyaan penanggung pajak dan barang-barang lain mengingat peraturan-peraturan pajak yang bersangkutan tanpa putusan hakim dan untuk memaksa penanggung pajak membayaran dengan ancaman penyanderaan tanpa putusan hakim.
    (2)
    Ketentuan ayat 1 berlaku juga terhadap opsen yang diadakan atas pajak Negara oleh suatu daerah bagian Negara
    (3)
    Yang dimaksud dengan biaya termasuk pula biaya penagihan.
     
     
    Pasal 3
    (1)
    Surat-paksa berkepala kata-kata "Atas Nama Keadilan" serta memuat nama penanggung pajak, keterangan cukup tentang alasan-alasan yang menjadi dasar penagihan, serta pula perintah membayar.
    (2)
    Surat-paksa mempunyai kekuatan yang sama seperti grosse dari putusan hakim dalam perkara perdata, yang tidak dapat di-minta banding lagi pada hakim atasan.
     
    Pasal 4
     
     
     
    Yang berwenang untuk mengeluarkan surat-paksa ialah pejabat yang ditunjuk sebagai demikian oleh Menteri Keuangan untuk pajak yang bersangkutan
     
    Pasal 5
     
    Surat-paksa dilaksanakan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal berikut mengingat peraturan pajak yang bersangkutan.
     
     
    Pasal 6
    (1)
    Surat-paksa diberitahukan oleh juru-sita dengan pernyataan dan penyerahan salinan surat-paksa tersebut kepada penanggung pajak pribadi, di tempat tinggalnya atau dikantornya
    (2)
    Menyimpang dari ketentuan dalam ayat 1 maka pemberitahuan surat paksa :
    a.
    terhadap badan hukum umum dilakukan kepada ketua atau salah seorang anggota pengurus (Direksi) pribadi, atau kepada ketua atau salah seorang dari Dewan Pengawas (Komisaris) pribadi, di tempat tinggalnya atau di tempat pengurus (Direksi) atau Dewan Pengawas (Komisaris) tersebut bersidang atau ber kantor;
    b.
    terhadap badan lain dilakukan kepada salah seorang anggota pengurus pribadi atau di tempat tinggalnya atau, setelah pembubaran, kepada salah seorang dari pada yang membubar-bereskan pribadi atau di tempat tinggalnya, atau di tempat kedudukan atau kantor badan tersebut;
    c.
    terhadap perseroan firma atau perseroan komanditer dilakukan kepada salah seorang pesero pengurus atau, setelah pembubaran, kepada salah seorang dari pada yang membubar bereskan pribadi atau di tempat tinggalnya atau di kantor perseroan tersebut;
     
    terhadap seorang yang meninggal dunia, hanya dalam waktu enam bulan setelah ia meninggal, dilakukan kepada salah seorang dari pada ahliwarisnya pribadi atau di tempat tinggalnya, kepada pelaksana surat wasiat-pribadi atau di tempat tinggalnya atau kepada pelaku-kuasa warisan pribadi atau di tempat tinggalnya.
    d.
    terhadap seorang yang meninggal dunia, hanya dalam waktu enam bulan setelah ia meninggal, dilakukan kepada salah seorang dari pada ahliwarisnya pribadi atau di tempat tinggalnya, kepada pelaksana surat wasiat-pribadi atau di tempat tinggalnya atau kepada pelaku-kuasa warisan pribadi atau di tempat tinggalnya.
     
    Setelah lampau enam bulan dari meninggalnya maka surat-paksa mengenai hutang pajak yang meninggal itu harus dibuat atas nama para ahli waris, tiap orang tersendiri pro rata parte sebagai penanggung pajak
    (3)
    Jika juru-sita tidak menjumpai seseorang di tempat tinggalnya atau di tempat sidang, tempat kedudukan atau kantor seperti dimaksud dalam ayat-ayat 1 dan 2, maka ia dengan segera datang pada Kepala Daerah Kabupaten atau Kepala Daerah Kotapraja atau pegawai yang ditunjuk oleh pejabat-pejabat tersebut.
     
    Pejabat ini memberi tanda-tangan dengan cuma-cuma pada surat-paksa tersebut dan salinannya sebagai tanda diketahuinya dengan menyebutkan tanggal dan menyampaikan salinannya kepada penanggung pajak atau seorang yang menggantinya untuk itu menurut ayat (2). Juru-sita tersebut mencatat apa yang dilakukannya pada surat-paksa serta pada salinan yang ditinggalkannya
    (4)
    Untuk melakukan ayat-ayat yang baru lalu, maka yang dimaksud dengan tempat tinggal mengenai orang-orang yang tidak mempunyai tempat tinggal di Indonesia yang dikenal ialah tempat kediamannya sesungguhnya.
    (5)
    Pemberitahuan surat-paksa terhadap orang yang di Indonesia tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal dan tidak pula mempunyai tempat kediaman yang dikenal, serta pula surat-paksa terhadap badan atau perseroan yang masih ada atau yang telah dibubarkan, yang sepanjang pengetahuan tidak mempunyai kantor dan pengurus, pesero pengurus atau yang membubar-bereskan dengan tempat tinggal atau tempat kediaman di Indonesia yang dikenal, dilakukan dengan menempelkan suatu salinan surat-paksa tersebut pada pintu utama Inspeksi Keuangan dari tempat di mana surat-paksa dikeluarkan.
     
    Selain dari pada itu surat-paksa tersebut dapat dimuat dalam Berita-Negara serta pula dalam salah satu harian yang terbit ditempat tersebut di atas, dan jika di tempat tersebut di atas tidak diterbitkan harian, dalam salah satu harian yang berdekatan
     
     
    Pasal 7
    (1)
    Jika pelaksanaan surat-paksa harus dilakukan seluruhnya atau sebagian di luar wilayah jabatan pelaksana, maka ia minta dengan tertulis perantaraan teman sejawatnya yang di dalam wilayahnya pelaksanaan tersebut harus dilakukan.
    (2)
    Pejabat yang diminta perantaraannya memberitahukan tindakan-tindakan yang telah dilakukan dalam waktu dua kali dua puluh empat jam kepada pelaksana tersebut, dan kemudian hasil selanjutnya.
    (3)
    Sanggahan terhadap pelaksanaan, juga dari pihak ketiga berdasarkan hak milik atas barang-barang yang disita menurut pengakuannya, diajukan kepada dan diadili oleh Pengadilan Negeri.
    (4)
    Hakim Pengadilan Negeri memberitahukan dengan tertulis baik perselisihan yang terjadi maupun putusan tentang hal itu, kepada pelaksana dalam waktu dua kali dua puluh empat jam.
     
    Pasal 8
    Pelaksanaan surat-paksa tidak dilanjutkan sebelum waktu dua puluh empat jam berlalu setelah surat-paksa diberitahukan oleh juru sita menurut pasal 6.
     
    BAB II
    SITA
     
    Pasal 9
    (1)
    Jika, setelah lewat waktu yang dimaksud pada pasal 8 hutang pajak tidak dilunasi, maka pelaksana mengeluarkan perintah tertulis untuk menyita sejumlah barang gerak, dan jika tidak ada atau ternyata tidak cukup barang demikian itu sejumlah barang tak gerak kepunyaan penanggung pajak yang dipandang mencukupi akan pengganti jumlah hutang pajak menurut surat-paksa serta pula biaya pelaksanaannya.
    (2)
    Penyitaan dilakukan oleh juru sita, dibantu oleh dua orang saksi, penduduk Indonesia yang telah mencapai usia dua puluh satu tahun dan oleh juru sita dikenal sebagai orang yang boleh dipercaya.
    (3)
    Juru sita membuat berita-acara tentang apa yang telah dilakukan dan memberitahukan maksud tindakannya kepada yang disita. Selembar dari salinan berita-acara ditempelkan ditempat umum atau di tempat-tempat di mana barang-barang gerak dan tak gerak kepunyaan penanggung pajak disita.
    Penempelan salinan atau salinan-salinan berita-acara tersebut berlaku sebagai pemberitahuan maksud tindakan juru sita kepada penanggung pajak.
    Saksi-saksi yang namanya, pekedaannya dan tempat tinggalnya disebutkan dalam berita-acara termaksud ikut serta menandatangani berita-acara itu serta salinan-salinannya.
    (4)
    Penyitaan barang gerak kepunyaan penanggung pajak, termasuk uang tunai dan surat-surat berharga, meliputi juga barang gerak yang berwujud yang berada ditangan orang lain, kecuali:
     
    a
    tempat tidur beserta perlengkapannya dari penanggung pajak dan anak-anaknya, demikian pula pakaian-pakaian mereka;
     
    b.
    perlengkapan penanggung pajak yang bersifat dinas pada angkatan perang menurut dinas dan pangkatnya;
     
    c.
    alat-alat pertukangan yang termasuk usaha penanggung pajak;
     
    d.
    persediaan makanan dan minuman untuk satu bulan yang berada di rumah;
     
    e.
    buku-buku yang bertalian dengan jabatan/pekerjaan penanggung pajak sampai seharga dua ribu rupiah atas pilihannya, demikian pula perkakas-perkakas dan alat-alat yang dipergunakan untuk pendidikan, maupun untuk kebudayaan dan keilmuan sampai jumlah yang sama;
     
    f.
    ternak yang semata-mata dipergunakan untuk menjalankan perusahaan penanggung pajak.
    (5)
    Juru sita menyerahkan barang gerak tersebut atau sebagian dari itu kepada yang disita untuk dititipkan kepadanya, atau menurut keadaan memindahkan barang tersebut atau sebagian dari itu ketempat titipan yang baik
     
    Dalam hal pertama dapat diberitahukannya kepada polisi yang harus menjaga supaya jangan ada barang yang diambil orang.Bangun-bangunan tidak boleh dipindahkan
     
    Pasal 10
    (1)
    Pada penyitaan barang tak gerak berita acara diumumkan dengan mengingat apakah barang tersebut telah atau tidak dimasukkan daftar berdasarkan "Ordonnantie op de Overschrijving van de eigendom van vaste goederen en het inschrijven van hypotheken op dezelve in Indonesie", dengan menyalin berita acara tersebut dalam daftar yang dimaksud pada pasal 50 "bepalingen omtrent de invoering van en de overgang tot de nieuwe wetgeving" ("Staatsblad" 1848 No. 10), atau dalam daftar yang disediakan untuk itu dikepaniteraan pengadilan Negeri, dalam kedua hal dengan menyebutkan jam, hari bulan dan tahun dalam waktu mana diminta pengumuman tersebut, sedangkan berturut-turut pegawai pendaftaran atau panitera pengadilan menyebutkan jam, hari, bulan dan tahun tersebut pada berita acara asli yang diperlihatkan kepadanya.
    (2)
    Selain dari pada itu juru sita minta kepada Pemerintahan Daerah Swatantra bersangkutan untuk mengumumkan seluasluasnya penyitaan itu menurut cara yang lazim ditempat itu.
    (3)
    Penanggung pajak tidak boleh memindahkan hak, memberatkan atau menyewakan barang tak gerak yang disita mulai dari hari pengumuman berita acara tersebut.
    (4)
    Perjanjian yang diadakan bertentangan dengan larangan ini, tidak dapat dipergunakan terhadap pelaksana.
     
    Pasal 11
    (1)
    Pelaksana menentukan, apakah penjualan barang yang di- sita dilakukan dengan perantaraan suatu Kantor Lelang atau tergantung dari keadaan dilakukan oleh juru-sita atau oleh seorang lain yang, cakap dan boleh dipercaya - yang untuk itu ditunjuk oleh pelaksana - yang bertempat tinggal di tempat di mana harus dilakukan penjualan tersebut atau disekitarnya.
    (2)
    Tetapi jika penjualan seperti termaksud dalam ayat 1 harus dilakukan untuk melaksanakan surat paksa untuk membayar suatu jumlah uang yang berhak melebihi seribu rupiah, atau jika sekiranya barang yang disita tidak akan menghasilkan lebih dari seribu rupiah, maka penjualan tersebut tidak boleh dilaksanakan dengan perantaraan kantor lelang.
    (3)
    Kantor Lelang, juru sita atau orang yang diserahi penjualan melaporkan dengan tertulis tentang hal penjualan tersebut kepada pelaksana.
    (4)
    Penanggung pajak berhak untuk menentukan urutan menurut mana barang yang disita akan di jual.
    (5)
    Jika hasil penjualan barang telah mencapai jumlah yang penagihannya sedang dilaksanakan ditambah dengan biaya pelaksanaannya, maka penjualan tersebut dihentikan dan sisa barang dikembalikan dengan segera kepada penanggung pajak.
    (6)
    Penjualan barang gerak dilakukan setelah diumumkan pada waktunya menurut kebiasaan setempat; penjualan tersebut tidak boleh dilakukan sebelum hari ke-8 sesudah barang tersebut disita.
    (7)
    Jika serentak dengan barang gerak disita barang tak gerak, dan barang gerak itu tidak akan lekas rusak, maka penjualannya akan dilakukan serentak, dengan mengingat urutan, tetapi dalam hal ini hanya setelah diadakan dua kali pengumuman berturut-turut dan berselang lima belas hari.
    (8)
    Jika hanya barang tak gerak yang disita, maka cara-cara yang disebut dalam ayat 7 dipergunakan untuk penjualan.
    (9)
    Penjualan barang tak gerak yang melebihi nilai uang tiga ribu rupiah akan diumumkan satu kali, selambat-lambatnya empat belas hari sebelum hari penjualan, dalam harian di tempat penjualan dan di mana tidak ada harian demikian, dalam harian di tempat yang berdekatan.
    (10)
    Hak orang yang disita atas barang tak gerak yang di jual, berpindah ketangan pembeli yang tawarannya diterima, segera setelah ia memenuhi syarat-syarat pembelian. Kepadanya akan diberikan surat keterangan tentang memenuhi syarat-syarat tersebut oleh kantor lelang atau orang yang ditugaskan penjualan tersebut.
    (11)
    Jika orang yang disita menolak untuk meninggalkan barang tak gerak tersebut, maka hakim Pengadilan Negeri mengeluarkan perintah tertulis kepada seorang yang berhak melaksanakan surat juru sita untuk berusaha supaya barang tersebut ditinggalkan dan dikosongkan oleh yang disita dengan keluarganya serta barang miliknya, dengan bantuan panitera Pengadilan Negeri atau pegawai lain yang ditunjuk oleh hakim, jika perlu dengan bantuan alat kekuasaan Negara.
     
    Pasal 12
    (1)
    Atas barang yang disita terlebih dahulu untuk orang lain yang berpiutang, tidak dapat dilakukan penyitaan. Jika juru sita mendapatkan barang demikian, ia dapat memberi salinan surat paksa sebelum tanggal penjualan barang tersebut kepada hakim Pengadilan Negeri yang selanjutnya menentukan, bahwa penyitaan yang telah dilakukan atas barang itu akan juga dipergunakan sebagai jaminan untuk pembayaran hutang menurut surat paksa
    (2)
    Apabila, setelah dilakukan penyitaan, tetapi sebelum dilakukan penjualan barang yang disita, diajukan permintaan untuk melaksanakan suatu putusan hakim yang dijatuhkan terhadap penanggung pajak, maka penyitaan yang telah dilakukan itu dipergunakan juga bagai jaminan untuk pembayaran hutang menurut putusan hakim itu, dan hakim Pengadilan Negeri jika perlu memberi perintah untuk melanjutkan penyitaan atas sekian banyak barang yang belum disita terlebih dahulu sehingga akan dapat mencukupi untuk membayar jumlah uang menurut putusan-putusan itu dan biaya penyitaan lanjutan itu.
    (3)
    Dalam hal yang dimaksud dalam ayat-ayat 1 dan 2 hakim Pengadilan Negeri menentukan cara pembagian hasil penjualan antara pelaksana dan orang yang berpiutang setelah mengadakan pemeriksaan atau melakukan. panggilan selayaknya terhadap penanggung pajak, pelaksana dan orang yang berpiutang.
    (4)
    Pelaksana dan orang yang berpiutang yang telah menghadap atas panggilan termaksud dalam ayat 3 dapat minta banding pada Pengadilan Tinggi atas penentuan Pembagian tersebut.
    (5)
    Segera setelah putusan tentang pembagian tersebut mendapat kekuatan pasti, maka hakim Pengadilan Negeri mengirimkan suatu daftar pembagian kepada juru-lelang atau orang yang ditugaskan melakukan penjualan umum untuk dipergunakan sebagai dasar pembagian uang penjualan.
     
    Pasal 13
    (1)
    Sanggahan penanggung pajak terhadap pelaksanaan, baik dalam hal penyitaan barang gerak maupun penyitaan barang tak gerak, harus diajukan olehnya, baik secara tertulis maupun dengan lisan, kepada hakim Pengadilan Negeri yang akan menyuruh mencatatnya jika sanggahan tersebut dilakukan dengan lisan.
    (2)
    Perkara tersebut kemudian diajukan dalam sidang Pengadilan Negeri pada hari sidang yang terdekat untuk diputus setelah diadakan pemeriksaan atau dilakukan panggilan selayaknya terhadap pihak-pihak yang bersangkutan.
    (3)
    Sambil menunggu putusan hakim sanggahan tersebut menunda lanjutan pelaksanaan.
    (4)
    Sanggahan tidak dapat ditujukan terhadap sahnya atau kebenarannya ketetapan pajak, sekedar mengenai ketetapan pajak itu diperkenankan bandingan kepada Majelis Pertimbangan Pajak menurut peraturan pajak yang bersangkutan.
     
    Pasal 14
    (1)
    Ketentuan-ketentuan dalam pasal 13 berlaku juga dalam hal seorang pihak ke tiga menyanggah pelaksanaan berdasarkan pengakuan hak miliknya atas barang yang disita itu
    (2)
    Terhadap putusan yang dijatuhkan menurut pasal ini dan pasal 13 berlaku peraturan umum mengenai bandingan.
     
    BAB III
    PENYANDERAAN
     
    Pasal 15
    (1)
    Apabila tidak ada atau tidak cukup barang untuk menanggung tuntutan jumlah uang yang terhutang menurut surat paksa serta biaya tambahan, pelaksana atau teman sejawat dimaksud dalam pasal 7 dapat mengeluarkan perintah tertulis untuk menyanderakan penanggung pajak, tetapi hanya setelah didapat izin tertulis dari Kepala Daerah Swatantra Tingkat I dalam wilayah siapa terletak tempat tinggal penanggung pajak.
    (2)
    Dalam perintah tersebut disebutkan izin yang diperoleh serta lama waktu penanggung pajak akan disanderakan mengingat ketentuan dalam pasal yang berikut.
     
    Pasal 16
    Penyanderaan dapat diperintahkan untuk waktu selama-lamanya enam bulan, jika uang yang terhutang menurut surat-paksa berjumlah lima ribu rupiah atau kurang; selama-lamanya satu tahun, jika uang tersebut berjumlah lebih dari pada lima ribu rupiah.
     
    Pasal 17
    (1)
    Perintah untuk menyanderakan diberitahukan oleh juru sita kepada penanggung pajak sesuai dengan apa yang ditentukan pada pasal 6 dan 7.
    (2)
    Lanjutan pelaksanaan perintah itu tidak dilakukan sebelum lampau dua minggu setelah pemberitahuan perintah diterima oleh penanggung pajak. Kepala Daerah Swatantra tingkat I, dalam wilayah siapa terletak tempat tinggal atau tempat kediaman sesungguhnya dari penanggung pajak, berwenang untuk memerintahkan pelaksanaan segera dengan putusan yang beralasan, jika ia memandang perlu untuk kepentingan umum, tetapi tidak dalam dua puluh empat jam setelah surat perintah diberitahukan.
    (3)
    Penanggung pajak tidak boleh disanderakan
     
    1.
    ditempat ibadah selama ibadah itu dilakukan;
     
    2.
    ditempat sidang resmi selama sidang itu diadakan;
     
    3.
    dibursa selama waktu bursa;
     
    4.
    ditempat pemilihan umum selama waktu pemilihan umum.
     
    Pasal 18
    (1)
    Penyanderaan dilaksanakan oleh juru sita, dibantu oleh dua orang saksi penduduk Indonesia yang telah mencapai usia dua puluh satu tahun dan oleh juru sita dikenal sebagai orang yang boleh dipercaya.
    (2)
    Penanggung pajak yang tidak mengajukan sanggahan menurut cara yang ditentukan pada pasal 20 atau sanggahannya ditolak segera dimaksukkan oleh juru sita ke dalam penjara yang telah ditentukan untuk penyanderaan ditempat penahanan itu, dan jika ditempat itu tidak terdapat penjara yang sedemikian, ke dalam penjara yang sedemikian di suatu tempat yang berdekatan
    (3)
    Jika terjadi perlawanan, maka juru sita dapat minta pertolongan polisi setempat.
    (4)
    Juru sita membuat berita acara dari apa yang telah dilakukannya.
     
    Saksi-saksi, yang namanya, pekerjaan dan tempat tinggalnya disebut dalam berita acara itu, ikut menanda tangani berita acara tersebut serta salinan-salinannya
    (5)
    Salinan berita acara dan perintah untuk menyanderakan diberikan kepada kepala penjara.
     
    Pasal 19
    Biaya keperluan hidup penanggung pajak dalam penjara ditanggung oleh pelaksana
     
    Pasal 20
    (1)
    Penanggung pajak dapat mengajukan sanggahan terhadap perintah penyanderaan karena dianggapnya tidak sah. Sanggahan ini diberitahukannya secara tertulis kepada hakim Pengadilan Negeri.
    (2)
    Jika penanggung pajak tidak dapat menulis, ia akan diberi kesempatan untuk mengajukan keberatannya kepada hakim Pengadilan Negeri yang akan mencatatkan atau menyuruh mencatatkan hal ini.
    (3)
    Perkara tersebut diajukan oleh hakim Pengadilan Negeri dalam sidang pada hari sidang yang terdekat dan kemudian diberi putusan menurut kebijaksanaan, jika perlu setelah mendengar penanggung pajak dan pelaksana.
    (4)
    Ketentuan-ketentuan dalam pasal 13 ayat 4 dan pasal 14 ayat 2 berlaku pula dalam hal ini.
    (5)
    Penanggung pajak yang tidak mengajukan sanggahan menurut ketentuan disebut pada ayat 1, tidak kehilangan haknya untuk meminta pembatalan penyanderaan yang telah dilaksanakan.
     
    Permintaan ini diajukan secara tertulis kepada hakim Pengadilan Negeri dengan perantaraan kepala penjara.
     
    Pasal 21
    (1)
    Penanggung pajak yang disanderakan dengan sah, dilepaskan dengan mutlak :
     
    1.
    apabila jangka waktu yang ditetapkan dalam perintah penyanderaan itu telah lampau;
     
    2.
    atas perintah Kepala Daerah Swatantra tingkat I, jika pejabat tersebut, setelah mempertimbangkan lebih lanjut, mendapatkan alasan untuk mencabut izin penyanderaan itu;
     
    3.
    dengan persetujuan pelaksana;
     
    4.
    karena dibayarnya jumlah hutang menurut surat paksa serta biaya pelaksanaan, termasuk yang dimaksud dalam pasal 19.
    (2)
    Dalam hal-hal dimaksud pada sub 2, 3 dan 4 pelaksana memberitahukan dengan segera kepada kepala penjara alasan melepaskannya.
     
    Pasal 22
    (1)
    Penanggung pajak yang dibatalkan penyanderaannya setelah dilakukan sanggahan, hanya dapat disanderakan lagi untuk hutang pajak itu juga, setelah lampau sedikit-dikitnya delapan hari sesudah ia dilepaskan.
    (2)
    Waktu penyanderaan yang telah dijalankan akan dikurangkan dari waktu yang diizinkan untuk penyanderaan itu.
    (3)
    Penanggung pajak yang melarikan diri dari penyanderaan dapat segera disanderakan lagi atas perintah yang dahulu telah dikeluarkan terhadapnya, dengan tidak mengurangi penggantian kerugian dan biaya yang timbul karena pelarian itu.
     
    Pasal 23
    Walaupun telah dilakukan penyanderaan, harta-benda penanggung pajak tetap jadi tanggungan jumlah hutang menurut surat paksa serta biaya pelaksanaannya.
     
    BAB IV
    PERATURAN PERALIHAN
     
    Pasal 24
    Di daerah-daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri, di mana Undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah No. 1 tahun 1957 belum dilaksanakan, maka wewenang Kepala Daerah Swatantra tingkat I dimaksud dalam Undang-undang ini, dilaksanakan oleh Gubernur.
     
    BAB V
    KETENTUAN PENUTUP.
     
    Pasal 25
    Pelaksanaan surat paksa di luar cara yang diatur dalam Undang-undang ini dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku mengenai pelaksanaan putusan hakim dalam perkara perdata
     
    Pasal 26
    (1)
    Peraturan-peraturan tersebut di bawah ini ditarik kembali, yakni :
     
    a.
    Koninklijk Besluit" 3 Juli 1879 ("Staatsblad" 1879 No. 267) dengan perubahannya;
     
    b.
    pasal-pasal 119a dan 119b Aturan Bea Meterai 1921;
     
    c.
    pasal-pasal 20a dan 20b Ordonansi Bea Balik Nama;
     
    d.
    pasal-pasal 67 dan 67a Ordonansi Bea Warisan 1901;
     
    e.
    pasal 13 ayat 2 Ordonansi Cukai Gula; f pasal 17 ayat 2 Ordonansi Cukai Tembakau.
    (2)
    Pasal 9a Undang-undang Pajak Radio (Undang-undang No. 12 tahun 1947, diubah dengan Undang-undang No. 21 tahun 1948) dan pasal 9a Undang-undang Pajak Pembangunan I (Undang-undang No. 14 tahun 1947, diubah dengan Undang-undang No. 20 tahun 1948) dibaca sebagai berikut :
     
    "Pasal 9a"
    "Pasal 119c Aturan Bea Meterai 1921 berlaku untuk Undang- undang ini"
     
    Pasal 27
    (1)
    Surat paksa yang telah dikeluarkan sebelum tanggal berlakunya Undang-undang Darurat No. 27 tahun 1957 dan yang belum diberitahukan dilaksanakan menurut peraturan yang dimuat dalam Undang-undang ini.
    (2)
    Surat paksa yang telah dikeluarkan sebelum tanggal berlakunya Undang-undang Darurat No. 27 tahun 1957 dan yang telah diberitahukan akan tetapi belum diadakan penyitaan, dilaksanakan lebih lanjut menurut peraturan yang dimuat dalam Undang-undang ini.
    (3)
    Surat paksa yang telah dikeluarkan sebelum tanggal berlakunya Undang-undang Darurat No. 27 tahun 1957 dan yang telah diberitahukan serta diadakan penyitaan, dilaksanakan lebih lanjut menurut peraturan yang dipergunakan sebelum Undang-undang Darurat No. 27 tahun 1957 tersebut berlaku.
     
    Pasal 28
    Menteri Keuangan berwenang untuk menetapkan peraturan yang perlu untuk melaksanakan Undang-undang ini.
     
     

    Pasal II

    (1)
    Undang-undang ini dapat dinamakan, Undang-undang penagihan Pajak Negara dengan surat paksa
    (2)
    Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.
     
     
     
    Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
     
     
    Disahkan di Jakarta
    pada tanggal 26 Juni 1959
    Pejabat Presiden Republik Indonesia
    ttd.
    SARTONO

    Menteri Keuangan Republik indonesia
    SOETIKNO SLAMET
     
    Diundangkan
    pada tanggal 4 Juli 1959
    Menteri Keuangan Republik Indonesia
    ttd.
    G.A. MAENGKOM.

    Undang-Undang 19 TAHUN 1959 - Perpajakan DDTC