Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Premium
Terjemahan Dokumen
Ini Belum Tersedia
Ini Belum Tersedia
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Perubahan dan kondisi terakhir tidak berlaku karena diganti/dicabut
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
|
||||
Menimbang |
||||
a.
|
bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dalam perkembangannya telah menghasilkan pembangunan yang pesat dalam kehidupan nasional, yang perlu dilanjutkan dengan dukungan pemerintah dan seluruh potensi masyarakat, karena itu menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan yang merupakan sarana peran serta dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional;
|
|||
b.
|
bahwa pajak daerah dan retribusi daerah merupakan sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah untuk memantapkan otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan bertanggung jawab dengan titik berat pada Daerah Tingkat II;
|
|||
c.
|
bahwa Undang-Undang Nomor 11 Drt 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah dan Undang-Undang Nomor 12 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Retribusi Daerah serta peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan daerah dan retribusi daerah yang lama sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, oleh karena itu perlu diadakan pembaharuan sistem perpajakan daerah dan retribusi daerah yang mengarah pada sistem yang sederhana, adil, efektif dan efisien, yang dapat menggerakkan peran serta masyarakat dalam pembiayaan pembangunan daerah;
|
|||
d.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a, huruf b, dan huruf c perlu dibentuk Undang-Undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
|
|||
|
|
|||
Mengingat |
||||
1.
|
Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
|
|||
2.
|
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38. Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037):
|
|||
|
|
|||
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA |
||||
MEMUTUSKAN:
|
||||
Menetapkan |
||||
UNDANG-UNDANG TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
|
||||
|
||||
BAB I
KETENTUAN UMUM
|
||||
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||
1.
|
Daerah Otonomi, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah tertentu yang berhak, berwenang, dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
|
|||
2.
|
Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
|
|||
3.
|
Kepala Daerah adalah Kepala Daerah Tingkat I atau Kepala Daerah Tingkat II;
|
|||
4.
|
Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang Perpajakan daerah dan atau retribusi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
|
|||
5.
|
Peraturan Daerah adalah peraturan yang ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
|
|||
6.
|
Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut pajak, adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah;
|
|||
7.
|
Badan adalah suatu bentuk badan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya badan usaha milik negara atau daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi, koperasi yayasan atau organisasi yang sejenis, lembaga, dana pensiun, bentuk usaha tetap serta bentuk badan usaha lainnya;
|
|||
8.
|
Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenakan pajak daerah;
|
|||
9.
|
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan perpajakan daerah diwajibkan untuk melakukan pembayaran pajak yang terutang, termasuk pemungut atau pemotong pajak tertentu;
|
|||
10.
|
Masa Pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan satu bulan takwim kecuali ditentukan lain;
|
|||
11.
|
Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya satu tahun takwim kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim;
|
|||
12.
|
Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak Pajak pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak atau dalam Bagian Tahun Pajak menurut peraturan perundang-undangan perpajakan daerah;
|
|||
13.
|
Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak atau retribusi, penentuan besarnya pajak atau retribusi yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak atau retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya;
|
|||
14.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, yang dapat disingkat SPTPD, adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak yang terutang menurut peraturan perundang-undangan perpajakan daerah;
|
|||
15.
|
Surat Setoran Pajak Daerah, yang dapat disingkat SSPD, adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke Kas Daerah atau ke tempat lain yang ditetapkan oleh Kepala Daerah;
|
|||
16.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah, yang dapat disingkat SKPD, adalah surat keputusan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang;
|
|||
17.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, yang dapat disingkat SKPDKB, adalah surat keputusan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar;
|
|||
18.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, yang dapat disingkat SKPDKBT, adalah surat keputusan yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan;
|
|||
19.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, yang dapat disingkat SKPDLB, adalah surat keputusan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar dari pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang;
|
|||
20.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, yang dapat disingkat SKPDN, adalah surat keputusan yang menentukan jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak;
|
|||
21.
|
Surat Tagihan Pajak Daerah, yang dapat disingkat STPD, adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda;
|
|||
22.
|
Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan untuk membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung dan atau kekeliruan dalam penerapan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah yang terdapat dalam Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil atau Surat Tagihan Pajak Daerah;
|
|||
23.
|
Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak;
|
|||
24.
|
Putusan Banding adalah putusan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak;
|
|||
25.
|
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi yang meliputi keadaan harta, kewajiban atau utang, modal, penghasilan dan biaya serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan perhitungan rugi laba pada setiap Tahun Pajak berakhir;
|
|||
26.
|
Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut retribusi, adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan;
|
|||
27.
|
Jasa adalah kegiatan Pemerintah Daerah berupa usaha dan pelayanan yang menyebabkan barang, fasilitas, atau kemanfaatan lainnya yang dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan;
|
|||
28.
|
Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.
|
|||
29.
|
Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta;
|
|||
30.
|
Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan;
|
|||
31.
|
Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut atau pemotongan retribusi tertentu;
|
|||
32.
|
Masa Retribusi adalah suatu jangka waktu tertentu yang merupakan batas waktu bagi Wajib Retribusi diwajibkan untuk memanfaatkan jasa dan perizinan tertentu dari Pemerintah Daerah yang bersangkutan;
|
|||
33.
|
Surat Setoran Retribusi Daerah, yang dapat disingkat SSRD, adalah surat yang digunakan oleh Wajib Retribusi untuk melakukan pembayaran atau penyetoran retribusi yang terutang ke Kas Daerah atau ke tempat pembayaran lain yang ditetapkan oleh Kepala Daerah;
|
|||
34.
|
Surat Ketetapan Retribusi Daerah, yang dapat disingkat SKRD, adalah surat keputusan yang menentukan besarnya jumlah retribusi yang terutang;
|
|||
35.
|
Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar, yang dapat disingkat SKRDLB, adalah surat keputusan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran retribusi karena jumlah kredit retribusi lebih besar dari pada retribusi yang terutang atau tidak seharusnya terutang;
|
|||
36.
|
Surat Tagihan Retribusi Daerah, yang dapat disingkat STRD, adalah surat untuk melakukan tagihan retribusi dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda;
|
|||
37.
|
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan dan mengolah data keterangan lainnya dalam rangka pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan retribusi berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah dan retribusi;
|
|||
38.
|
Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil, yang selanjutnya disebut Penyidik, untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi yang terjadi serta menemukan tersangkanya.
|
|||
|
|
|||
BAB II
PAJAK
Bagian Pertama Jenis, Bagi Hasil, Tarif, dan Cara Penghitungan Pajak
|
||||
(1)
|
Jenis Pajak Daerah Tingkat I terdiri dari:
|
|||
|
a.
|
Pajak Kendaraan bermotor;
|
||
|
b.
|
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
|
||
|
c.
|
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
|
||
(2)
|
Jenis Pajak Daerah Tingkat II terdiri dari:
|
|||
|
a.
|
Pajak Hotel dan Restoran;
|
||
|
b.
|
Pajak Hiburan;
|
||
|
c.
|
Pajak Reklame;
|
||
|
d.
|
Pajak Penerangan Jalan;
|
||
|
e.
|
Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C;
|
||
|
f.
|
Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.
|
||
(3)
|
Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan jenis pajak selain yang ditetapkan pada ayat (1) dan ayat (2) yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
|
|||
|
a.
|
bersifat sebagai pajak dan bukan retribusi;
|
||
|
b.
|
objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum;
|
||
|
c.
|
potensinya memadai;
|
||
|
d.
|
tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif;
|
||
|
e.
|
memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat;
|
||
|
f.
|
menjaga kelestarian lingkungan.
|
||
(4)
|
Ketentuan tentang objek, subjek, dan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
|||
(5)
|
Hasil penerimaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor diserahkan kepada Daerah Tingkat II setelah dikurangi 10% (sepuluh persen) untuk Daerah Tingkat I yang bersangkutan;
|
|||
(6)
|
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
|||
|
|
|||
Pasal 3 |
||||
(1)
|
Tarif pajak ditetapkan paling tinggi sebesar:
|
|||
|
a.
|
Pajak Kendaraan Bermotor 5% (lima persen);
|
||
|
b.
|
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor 10% (sepuluh persen);
|
||
|
c.
|
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor 5% (lima persen);
|
||
|
d.
|
Pajak Hotel dan Restoran 10% (sepuluh persen);
|
||
|
e.
|
Pajak Hiburan 35% (tiga puluh lima persen);
|
||
|
f.
|
Pajak Reklame 25% (dua puluh lima persen);
|
||
|
g.
|
Pajak Penerangan Jalan 10% (sepuluh persen);
|
||
|
h.
|
Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C 20% (dua puluh persen);
|
||
|
i.
|
Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan 20% (dua puluh persen).
|
||
(2)
|
Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c ditetapkan seragam di seluruh Indonesia dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
|||
(3)
|
Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, dan huruf i ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
|
|||
(4)
|
Besarnya pajak yang terutang dihitung dengan mengalikan tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan dasar pengenaan pajak.
|
|||
|
|
|||
Bagian Kedua
Peraturan Daerah Tentang Pajak
|
||||
(1)
|
Pajak ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
|
|||
(2)
|
Peraturan Daerah tentang Pajak tidak dapat berlaku surut.
|
|||
(3)
|
Peraturan Daerah tentang Pajak sekurang-kurangnya mengatur ketentuan mengenai:
|
|||
|
a.
|
nama, objek, dan subjek pajak;
|
||
|
b.
|
dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak;
|
||
|
c.
|
wilayah pemungutan;
|
||
|
d.
|
masa pajak;
|
||
|
e.
|
penetapan;
|
||
|
f.
|
tata cara pembayaran dan penagihan;
|
||
|
g.
|
kedaluwarsa;
|
||
|
h.
|
sanksi administrasi;
|
||
|
i.
|
tanggal mulai berlakunya.
|
||
(4)
|
Peraturan Daerah tentang Pajak dapat mengatur ketentuan mengenai:
|
|||
|
a.
|
Pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok pajak dan atau sanksinya;
|
||
|
b.
|
Tata cara penghapusan piutang pajak yang kedaluwarsa;
|
||
|
c.
|
Asas timbal balik.
|
||
|
|
|
||
Pasal 5 |
||||
(1)
|
Menteri Dalam Negeri dengan pertimbangan Menteri Keuangan mengesahkan menolak untuk mengesahkan, atau meminta penyempurnaan terlebih dahulu Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
|
|||
(2)
|
Pengesahan, penolakan untuk pengesahan, atau permintaan untuk penyempurnaan terlebih dahulu Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak diterimanya Peraturan Daerah dimaksud.
|
|||
(3)
|
Jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat diperpanjang 3 (tiga) bulan lagi, dengan memberitahukan kepada Pemerintah Daerah yang bersangkutan sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir.
|
|||
(4)
|
Apabila setelah jangka waktu 6 (enam) bulan sejak diterimanya Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah lewat, Menteri Dalam Negeri tidak mengambil keputusan, Peraturan Daerah tersebut dianggap telah disahkan, berlaku, dan dapat dilaksanakan.
|
|||
(5)
|
Menteri Dalam Negeri dengan pertimbangan Menteri Keuangan dapat membatalkan atau meminta untuk menyempurnakan Peraturan Daerah yang telah atau dianggap telah disahkan apabila Peraturan Daerah tersebut di kemudian hari ternyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
|
|||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengesahan, penolakan untuk pengesahan, permintaan untuk penyempurnaan, dan pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
|||
|
|
|||
Bagian Ketiga
Tata Cara Pemungutan
|
||||
Pemungutan pajak tidak dapat diborongkan.
|
||||
Pasal 7 |
||||
(1)
|
Pajak dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak memenuhi kewajiban pajak yang dipungut dengan menggunakan Surat Ketetapan Pajak Daerah atau dokumen lain yang dipersamakan.
|
|||
(3)
|
Wajib Pajak memenuhi kewajiban pajak yang dibayar sendiri dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar dan atau Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan.
|
|||
(4)
|
Terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dapat diterbitkan Surat Tagihan Pajak Daerah, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding sebagai dasar pemungutan dan penyetoran pajak.
|
|||
|
|
|||
Pasal 8 |
||||
(1)
|
Tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Daerah atau dokumen lain yang dipersamakan, Surat Tagihan Pajak Daerah, Surat Keputusan Pembetulan, dan Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dan ayat (4) diatur dengan Keputusan Kepala Daerah.
|
|||
(2)
|
Tata cara pengisian dan penyampaian Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, penerbitan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, atau Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) diatur dengan Keputusan Kepala Daerah.
|
|||
|
|
|||
Pasal 9 |
||||
(1)
|
Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Kepala Daerah dapat menerbitkan:
|
|||
|
a.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar dalam hal:
|
||
|
|
1)
|
apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
|
|
|
|
2)
|
apabila Surat Pemberitahuan Pajak Daerah tidak disampaikan kepada Kepala Daerah dalam jangka waktu tertentu dan setelah ditegur secara tertulis;
|
|
|
|
3)
|
apabila kewajiban mengisi Surat Pemberitahuan Pajak Daerah tidak dipenuhi, pajak yang terutang dihitung secara jabatan.
|
|
|
b.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang.
|
||
|
c.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil apabila jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
|
||
(2)
|
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1) dan angka 2) dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.
|
|||
(3)
|
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
|
|||
(4)
|
Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan apabila Wajib Pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.
|
|||
(5)
|
Jumlah pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3) dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan 25% (dua puluh lima persen) dari pokok pajak ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak.
|
|||
|
|
|||
Pasal 10 |
||||
(1)
|
Kepala Daerah dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak Daerah apabila:
|
|||
|
a.
|
pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
|
||
|
b.
|
dari hasil penelitian Surat Pemberitahuan Pajak Daerah terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung;
|
||
|
c.
|
wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda.
|
||
(2)
|
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 15 (lima belas) bulan sejak saat terutangnya pajak.
|
|||
(3)
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan, dan ditagih melalui Surat Tagihan Pajak Daerah.
|
|||
|
|
|||
Bagian Keempat
Tata Cara Pembayaran dan Penagihan
|
||||
(1)
|
Kepala Daerah menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah saat terutangnya pajak.
|
|||
(2)
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan. Surat Tagihan Pajak Daerah, Surat Keputusan Pembetulan. Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
|
|||
(3)
|
Kepala Daerah atas permohonan Wajib Pajak setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan dapat memberikan persetujuan kepada Wajib Pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak, dengan dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan.
|
|||
(4)
|
Tata cara pembayaran, penyetoran, tempat pembayaran, angsuran, dan penundaan pembayaran pajak diatur dengan Keputusan Kepala Daerah.
|
|||
|
|
|||
Pasal 12 |
||||
(1)
|
Pajak yang terutang berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Tagihan Pajak Daerah, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar oleh Wajib Pajak pada waktunya, dapat ditagih dengan Surat Paksa.
|
|||
(2)
|
Penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
|
|||
|
|
|||
Bagian Kelima
Keberatan dan Banding
|
||||
(1)
|
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk atas suatu:
|
|||
|
a.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah;
|
||
|
b.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar;
|
||
|
c.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan;
|
||
|
d.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar;
|
||
|
e.
|
Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil;
|
||
|
f.
|
pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah yang berlaku.
|
||
(2)
|
Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas.
|
|||
(3)
|
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas ketetapan pajak secara jabatan, Wajib Pajak harus dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut.
|
|||
(4)
|
Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat, tanggal pemotongan atau pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
|
|||
(5)
|
Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak dianggap sebagai Surat Keberatan, sehingga tidak dipertimbangkan.
|
|||
(6)
|
Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak sesuai ketentuan yang berlaku.
|
|||
|
|
|||
Pasal 14 |
||||
(1)
|
Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.
|
|||
(2)
|
Keputusan Kepala Daerah atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya pajak yang terutang.
|
|||
(3)
|
Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Kepala Daerah tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.
|
|||
|
|
|||
Pasal 15 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Badan Penyelesaian Sengketa Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Kepala Daerah.
|
|||
(2)
|
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima, dilampiri salinan dari surat keputusan tersebut.
|
|||
|
|
|||
Pasal 16 |
||||
Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
|
||||
|
||||
Bagian Keenam
Pembetulan, Pembatalan, Pengurangan, Ketetapan, dan Penghapusan atau Pengurangan Sanksi Administrasi
|
||||
(1)
|
Kepala Daerah karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Ketetapan Pajak Daerah atau Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan atau Surat Tagihan pajak Daerah yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung dan atau kekeliruan dalam penerapan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
|
|||
(2)
|
Kepala Daerah dapat:
|
|||
|
a.
|
mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan pajak yang terutang menurut peraturan perundang-undangan perpajakan daerah, dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya.
|
||
|
b.
|
mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak yang tidak benar.
|
||
(3)
|
Tata cara pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Keputusan Kepala Daerah.
|
|||
|
|
|||
BAB III
RETRIBUSI Bagian Pertama Objek dan Golongan Retribusi
|
||||
(1)
|
Objek retribusi terdiri dari:
|
|||
|
a.
|
Jasa Umum;
|
||
|
b.
|
Jasa Usaha;
|
||
|
c.
|
Perizinan Tertentu.
|
||
(2)
|
Retribusi dibagi atas tiga golongan:
|
|||
|
a.
|
Retribusi Jasa Umum;
|
||
|
b.
|
Retribusi Jasa Usaha;
|
||
|
c.
|
Retribusi Perizinan Tertentu.
|
||
(3)
|
Jenis-jenis retribusi yang termasuk golongan Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha dan Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
|
|||
|
|
|||
Pasal 19 |
||||
Jasa yang diselenggarakan oleh Badan usaha Milik Daerah bukan merupakan objek retribusi.
|
||||
|
||||
Bagian Kedua
Cara Penghitungan Retribusi
|
||||
Besarnya retribusi yang terutang dihitung berdasarkan:
|
||||
a.
|
Tingkat penggunaan jasa;
|
|||
b.
|
Tarif retribusi.
|
|||
|
|
|||
Pasal 21 |
||||
Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif ditentukan sebagai berikut:
|
||||
a.
|
untuk Retribusi Jasa Umum, ditetapkan berdasarkan kebijaksanaan Daerah dengan mempertimbangkan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, dan aspek keadilan;
|
|||
b.
|
untuk Retribusi Jasa Usaha, didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak;
|
|||
c.
|
untuk Retribusi Perizinan Tertentu, didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau sama dengan biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
|
|||
|
|
|||
Pasal 22 |
||||
Cara perhitungan besarnya retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 serta prinsip dan sasaran penetapan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
||||
|
||||
Pasal 23 |
||||
Tarif retribusi ditinjau kembali secara berkala dengan memperhatikan prinsip dan sasaran penetapan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
|
||||
|
||||
Bagian Ketiga
Peraturan Daerah tentang Retribusi
|
||||
(1)
|
Retribusi ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
|
|||
(2)
|
Peraturan Daerah tentang Retribusi tidak dapat berlaku surut.
|
|||
(3)
|
Peraturan Daerah tentang Retribusi sekurang-kurangnya mengatur ketentuan mengenai:
|
|||
|
a.
|
nama, objek, dan subjek retribusi;
|
||
|
b.
|
golongan retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2);
|
||
|
c.
|
cara mengukur tingkat penggunaan jasa yang bersangkutan;
|
||
|
d.
|
prinsip yang dianut dalam penetapan struktur dan besarnya tarif retribusi;
|
||
|
e.
|
struktur dan besarnya tarif retribusi;
|
||
|
f.
|
wilayah pemungutan;
|
||
|
g.
|
tata cara pemungutan;
|
||
|
h.
|
sanksi administrasi;
|
||
|
i.
|
tata cara penagihan;
|
||
|
j.
|
tanggal mulai berikutnya.
|
||
(4)
|
Peraturan Daerah tentang Retribusi dapat mengatur ketentuan mengenai:
|
|||
|
a.
|
masa retribusi;
|
||
|
b.
|
pemberian keringanan, pengurangan, dan pembebasan dalam ha1-hal tertentu atas pokok retribusi dan atau sanksinya;
|
||
|
c.
|
tata cara penghapusan piutang retribusi yang kedaluwarsa.
|
||
|
|
|
||
Pasal 25 |
||||
(1)
|
Menteri Dalam Negeri dengan pertimbangan Menteri Keuangan mengesahkan, menolak untuk mengesahkan, atau meminta penyempurnaan terlebih dahulu Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1).
|
|||
(2)
|
Pengesahan, penolakan untuk pengesahan, atau permintaan untuk penyempurnaan terlebih dahulu Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak diterimanya Peraturan Daerah dimaksud.
|
|||
(3)
|
Jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat diperpanjang 3 (tiga) bulan lagi, dengan memberitahukan kepada Pemerintah Daerah yang bersangkutan sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir.
|
|||
(4)
|
Apabila setelah jangka waktu 6 (enam) bulan sejak diterimanya Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah lewat. Menteri Dalam Negeri tidak mengambil keputusan, Peraturan Daerah tersebut dianggap telah disahkan, berlaku, dan dapat dilaksanakan.
|
|||
(5)
|
Menteri Dalam Negeri dengan pertimbangan Menteri Keuangan dapat membatalkan atau meminta untuk menyempurnakan Peraturan Daerah yang telah atau dianggap telah disahkan apabila Peraturan Daerah tersebut di kemudian hari ternyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
|
|||
(6)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengesahan, penolakan untuk pengesahan, permintaan untuk penyempurnaan, dan pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
|||
|
|
|||
Bagian Keempat
Tata Cara Pemungutan
|
||||
Pemungutan retribusi tidak dapat diborongkan.
|
||||
|
||||
Pasal 27 |
||||
(1)
|
Retribusi dipungut dengan menggunakan Surat Ketetapan Retribusi Daerah atau dokumen lain yang dipersamakan.
|
|||
(2)
|
Dalam hal Wajib Retribusi tertentu tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang membayar, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan dari retribusi yang terutang yang tidak atau kurang dibayar dan ditagih dengan menggunakan Surat Tagihan Retribusi Daerah.
|
|||
|
|
|||
Bagian Kelima
Keberatan
|
||||
(1)
|
Wajib Retribusi tertentu dapat mengajukan keberatan hanya kepada Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk atas Surat Ketetapan Retribusi Daerah atau dokumen lain yang dipersamakan.
|
|||
(2)
|
Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas.
|
|||
(3)
|
Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal Surat Ketetapan Retribusi Daerah diterbitkan, kecuali apabila Wajib Retribusi tertentu dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
|
|||
(4)
|
Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar retribusi dan pelaksanaan penagihan retribusi.
|
|||
|
|
|||
Pasal 29 |
||||
(1)
|
Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.
|
|||
(2)
|
Keputusan Kepala Daerah atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya retribusi yang terutang.
|
|||
(3)
|
Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Kepala Daerah tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.
|
|||
|
|
|||
BAB IV
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN
|
||||
(1)
|
Atas kelebihan pembayaran pajak atau retribusi, Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada Kepala Daerah.
|
|||
(2)
|
Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya permohonan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan keputusan.
|
|||
(3)
|
Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak diterimanya permohonan kelebihan pembayaran retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan keputusan.
|
|||
(4)
|
Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) telah dilampaui dan Kepala Daerah tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian pembayaran pajak atau retribusi dianggap dikabulkan dan Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar atau Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
|
|||
(5)
|
Apabila Wajib Pajak atau Wajib Retribusi mempunyai utang pajak atau utang retribusi lainnya, kelebihan pembayaran pajak atau retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak atau utang retribusi tersebut.
|
|||
(6)
|
Pengembalian kelebihan pembayaran pajak atau retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar atau Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar.
|
|||
(7)
|
Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak atau retribusi dilakukan setelah lewat jangka waktu 2 (dua) bulan, Kepala Daerah memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran pajak atau retribusi.
|
|||
(8)
|
Tata cara pengembalian kelebihan pembayaran pajak atau retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Daerah.
|
|||
|
|
|||
BAB V
KEDALUWARSA PENAGIHAN
|
||||
(1)
|
Hak untuk melakukan penagihan pajak, kedaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan daerah.
|
|||
(2)
|
Kedaluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila:
|
|||
|
a.
|
diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa, atau;
|
||
|
b.
|
ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung.
|
||
|
|
|
||
Pasal 32 |
||||
(1)
|
Hak untuk melakukan penagihan retribusi, kedaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak saat terutangnya retribusi, kecuali apabila Wajib Retribusi melakukan tindak pidana di bidang retribusi.
|
|||
(2)
|
Kedaluwarsa penagihan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila:
|
|||
|
a.
|
Diterbitkan Surat Teguran, atau;
|
||
|
b.
|
Ada pengakuan utang retribusi dari Wajib Retribusi baik langsung maupun tidak langsung.
|
||
|
|
|
||
Pasal 33 |
||||
Pedoman tata cara penghapusan piutang pajak dan retribusi yang kedaluwarsa diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
||||
|
||||
BAB VI
PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN
|
||||
(1)
|
Wajib Pajak yang memenuhi kriteria tertentu wajib menyelenggarakan pembukuan.
|
|||
(2)
|
Kriteria Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tata cara pembukuan diatur oleh Menteri Dalam Negeri.
|
|||
|
|
|||
Pasal 35 |
||||
(1)
|
Kepala Daerah berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan kewajiban retribusi dalam rangka melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah dan retribusi.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak atau Wajib retribusi yang diperiksa wajib:
|
|||
|
a.
|
memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan objek pajak atau objek retribusi yang terutang.
|
||
|
b.
|
memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan;
|
||
|
c.
|
memberikan keterangan yang diperlukan.
|
||
(3)
|
Tata cara pemeriksaan pajak dan retribusi diatur oleh Menteri Dalam Negeri.
|
|||
|
|
|||
BAB VII
KETENTUAN KHUSUS
|
||||
(1)
|
Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain yang tidak berhak, segala sesuatu yang diketahui atau di beritahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan peraturan perundang-undangan perpajakan, daerah, kecuali sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan.
|
|||
(2)
|
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap ahli-ahli yang ditunjuk oleh Kepala Daerah untuk membantu dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah, kecuali sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan.
|
|||
(3)
|
Untuk kepentingan Daerah, Kepala Daerah berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga-tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2). supaya memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuknya.
|
|||
(4)
|
Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata atas permintaan hakim sesuai dengan hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata, Kepala Daerah dapat memberi izin tertulis untuk meminta kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
|
|||
(5)
|
Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus menyebutkan nama terdakwa atau nama tergugat, keterangan-keterangan yang diminta serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta tersebut.
|
|||
|
|
|||
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
|
||||
(1)
|
Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak 2 (dua) tahun jumlah pajak yang terutang.
|
|||
(2)
|
Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah atau mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan keuangan daerah dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak yang terutang.
|
|||
|
|
|||
Pasal 38 |
||||
Tindak pidana di bidang perpajakan daerah tidak dituntut setelah melampaui jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak atau berakhirnya Bagian Tahun Pajak atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan.
|
||||
|
||||
Pasal 39 |
||||
Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan keuangan daerah diancam pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah retribusi yang terutang.
|
||||
|
||||
Pasal 40 |
||||
(1)
|
Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dan ayat {2}, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah).
|
|||
(2)
|
Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
|
|||
(3)
|
Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.
|
|||
(4)
|
Besarnya denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat ditinjau kembali dengan Peraturan Pemerintah.
|
|||
|
|
|||
Pasal 41 |
||||
Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 39, dan Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) merupakan penerimaan negara.
|
||||
BAB IX
PENYIDIKAN
|
||||
(1)
|
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah atau retribusi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
|
|||
(2)
|
Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
|||
|
a.
|
menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
|
||
|
b.
|
meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan daerah dan retribusi;
|
||
|
c.
|
meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi;
|
||
|
d.
|
memeriksa buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi ;
|
||
|
e.
|
melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen-dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
|
||
|
f.
|
meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi;
|
||
|
g.
|
menyuruh berhenti melarang seorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada huruf e;
|
||
|
h.
|
memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana perpajakan daerah dan retribusi;
|
||
|
i.
|
memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
|
||
|
j.
|
menghentikan penyidikan;
|
||
|
k.
|
melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
|
||
(3)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
|
|||
|
|
|||
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
|
||||
(1)
|
Peraturan Daerah tentang Pajak yang telah ada dan yang terkait dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) dan Peraturan Daerah tentang Retribusi yang telah ada dan yang terkait dengan Pasal 11 ayat (3), masih tetap berlaku sebelum diberlakukannya Peraturan Daerah yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.
|
|||
(2)
|
Peraturan Daerah tentang Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang yang terkait dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 18 ayat (2) huruf c yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) dinyatakan berlaku paling lama 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini.
|
|||
(3)
|
Peraturan Daerah tentang retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang yang terkait dengan Pasal 18 ayat (2) huruf a dan huruf b dan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) dinyatakan berlaku paling lama 5 (lima) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini.
|
|||
(4)
|
Peraturan Daerah tentang Pajak dan Retribusi selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan tetap berlaku selama 1 (satu) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini.
|
|||
|
|
|||
Pasal 44 |
||||
Pajak dan retribusi yang masih terutang berdasarkan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) dan ayat (3) sepanjang tidak diatur dalam Peraturan Daerah yang bersangkutan masih dapat ditagih dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutang.
|
||||
|
||||
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
|
||||
Dengan berlakunya Undang-Undang ini, dinyatakan tidak berlaku:
|
||||
1.
|
Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor 1934 (Staatsblad Tahun 1934 Nomor 718 sebagaimana telah ditambah dan diubah dengan Staatsblad Tahun 1939 Nomor 226 dan Staatsblad Tahun 1949 Nomor 376, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1959 dalam Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1857);
|
|||
2.
|
Ordonansi Pajak Potong 1936 (Staatsblad Tahun 1936 Nomor 671) sebagaimana telah ditambah dan diubah, terakhir dengan Staatsblad Tahun 1949 Nomor 317;
|
|||
3.
|
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1947 tentang Pajak Radio sebagaimana telah ditambah dan diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 27 Drt. Tahun 1957, Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 1402;
|
|||
4.
|
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1947 tentang Pajak Pembangunan I sebagaimana telah ditambah dan diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 27 Drt. Tahun 1957 (Lembaran Negara Tahun 1937 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1402);
|
|||
5.
|
Pasal 3 ayat (1) huruf e, huruf f, huruf g, dan huruf h Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan antara Negara dan Daerah-Daerah yang Berhak Mengurus Rumah Tangganya Sendiri (Lembaran Negara Tahun 1956 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1442);
|
|||
6.
|
Undang-Undang Nomor 11 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1287);
|
|||
7.
|
Undang-Undang Nomor 12 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Retribusi Daerah (Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1288);
|
|||
8.
|
Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1958 tentang Pajak Bangsa Asing (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 128, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1345) sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 87 Tahun 1958 (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 164, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1692);
|
|||
9.
|
Undang-Undang Nomor 27 Prp. Tahun 1959 tentang Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1911);
|
|||
10.
|
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1968 tentang Penyerahan Pajak-Pajak Negara, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Bangsa Asing dan Pajak Radio Kepada Daerah (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2861).
|
|||
|
|
|||
Pasal 46 |
||||
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
|
||||
|
||||
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
|
||||
|
||||
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 23 Mei 1997 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA SOEHARTO Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 23 Mei 1997 MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA MOERDIONO |
||||
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1997 NOMOR 41
|
||||
PENJELASANATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 18 TAHUN 1997
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
UMUM
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 yang menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan, dalam penjelasan Pasal 23 ayat (2) ditegaskan bahwa penetapan belanja mengenai hak rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri, maka segala tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat, seperti pajak dan lain-lainnya, harus ditetapkan dengan Undang-Undang, yaitu dengan persetujuan Dewan Perwakilan rakyat, oleh karena itu pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah harus didasarkan pada Undang-Undang.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, pajak dan retribusi merupakan sumber pendapatan daerah agar Daerah dapat melaksanakan Otonominya, yaitu mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, di samping penerimaan yang berasal dari Pemerintah berupa subsidi/bantuan dan bagi hasil pajak bukan pajak. Sumber pendapatan daerah tersebut diharapkan menjadi sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, untuk meningkatkan dan meratakan kesejahteraan masyarakat. Sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai dengan pembentukan Undang-Undang ini, maka Undang-Undang ini menetapkan ketentuan-ketentuan pokok yang memberikan pedoman kebijaksanaan dan arahan bagi Daerah dalam pelaksanaan pemungutan pajak dan retribusi, sekaligus menetapkan pengaturan yang cukup rinci untuk menjamin penerapan prosedur umum perpajakan daerah dan retribusi.
Undang-Undang Nomor 11 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah yang selama ini berlaku telah menyebabkan Daerah berpeluang untuk memungut banyak jenis pajak, beberapa di antaranya mempunyai biaya administrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan hasilnya dan atau hasilnya tidak memadai. Di samping itu, terdapat beberapa jenis pajak yang tidak memadai untuk dipungut Daerah karena tumpang tindih dengan pajak lain dalam arti terdapat pajak lain untuk jenis objek yang sama, menghambat efisiensi alokasi sumber ekonomi, bersifat tidak adil, atau tidak benar-benar bersifat pajak, tetapi bersifat retribusi.
Pungutan retribusi yang berkembang selama ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 12 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Retribusi Daerah menunjukkan beberapa kelemahan, seperti :
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
a.
|
hasilnya kurang memadai jika dibandingkan dengan biaya penyediaan jasa oleh Daerah;
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
b.
|
biaya pemungutannya relatif tinggi;
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
c.
|
kurang kuatnya prinsip dasar retribusi terutama dalam hal pengenaan, penetapan, struktur, dan besarnya tarif;
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
d.
|
adanya beberapa jenis retribusi yang ada hakekatnya bersifat pajak karena pemungutannya tidak dikaitkan secara langsung dengan pelayanan pemerintah daerah kepada pembayaran retribusi;
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
e.
|
adanya jenis retribusi perizinan yang tidak efektif dalam usaha untuk melindungi kepentingan umum dan kelestarian lingkungan;
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
f.
|
adanya jenis retribusi yang mempunyai dasar pengenaan atau objek yang sama.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Untuk itu, jenis-jenis perlu diklasifikasikan dengan kriteria tertentu, agar memudahkan penerapan prinsip dasar retribusi sehingga mencerminkan hubungan yang jelas antara tarif retribusi dengan pelayanan yang diberikan Pemerintah Daerah.
Dewasa ini besarnya penerimaan Daerah Tingkat I yang berasal dari pajak dan retribusi cukup memadai, sedangkan penerimaan Daerah Tingkat II dari pajak dan retribusi masih relatif kecil. Keadaan ini kurang mendukung perkembangan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab dengan titik berat pada Daerah Tingkat II. Oleh karena itu, perlu usaha peningkatan penerimaan daerah yang berasal dari sumber pajak dan retribusi yang potensial dan yang mencerminkan kegiatan ekonomi daerah. Sebagai salah satu upaya dalam meningkatkan penerimaan Daerah Tingkat II tersebut, diperkenalkan adanya jenis pajak baru, yaitu Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang dibagi hasilkan dengan Daerah Tingkat I dengan imbangan sebagian besar untuk Daerah Tingkat II. Pajak ini di anggap sangat baik ditinjau dari segi potensinya karena konsumsi bahan bakar kendaraan bermotor cukup besar dan setiap tahun selalu meningkat. Konsumsi bahan bakar kendaraan bermotor tersebut mencerminkan kegiatan ekonomi daerah dan erat kaitannya dengan produk domestik regional bruto, pembangunan dan pemeliharaan jalan sehubungan dengan banyaknya kendaraan bermotor pengguna jalan.
Dalam rangka menata kembali beberapa jenis retribusi yang ada hakekatnya bersifat pajak serta untuk lebih memberi perhatian pada pelestarian lingkungan, maka dalam Undang-Undang ini Retribusi Pengambilan Pengolahan Bahan Galian Golongan C dan Retribusi Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan dinyatakan masing-masing menjadi Pajak Pengambilan dan Pengelolaan Bahan Galian Golongan C dan Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Kedua jenis pajak tersebut merupakan pajak Daerah Tingkat II, dengan pertimbangan untuk lebih memperkuat upaya peningkatan penerimaan Daerah Tingkat II dan mendukung perkembangan otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab dengan titik berat pada Daerah Tingkat II.
Dewasa ini pengatministrasian beberapa jenis pajak dan retribusi belum dilakukan dengan baik sehingga realisasi penerimaannya lebih kecil dari yang semestinya. Dalam Undang-Undang ini usaha perbaikan administrasi guna peningkatan efektivitas dan efisiensi pemungutan dalam rangka peningkatan penerimaan daerah cukup mendapat perhatian.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, Undang-Undang ini bertujuan untuk menyederhanakan dan memperbaiki jenis dan struktur perpajakan daerah, meningkatkan pendapatan daerah, memperbaiki sistem administrasi perpajakan daerah dan retribusi sejalan dengan sistem administrasi perpajakan nasional, mengklasifikasikan retribusi, dan menyederhanakan tarif pajak dan retribusi.
Dalam rangka penyederhanaan jenis pajak dan retribusi, Undang-Undang ini memantapkan jenis-jenis pajak dan retribusi yang dapat dipungut Daerah. Penyederhanaan tersebut diharapkan dapat meningkatkan penerimaan daerah dari sumber pajak dan retribusi, mengingat penetapan pajak dan retribusi yang dapat dipungut Daerah berdasarkan Undang-Undang ini didasarkan, antara lain, pada potensinya yang cukup besar. Dengan penyederhanaan ini, sekaligus Daerah diharapkan mampu menutup hilangnya penerimaan yang berasal dari pajak dan retribusi yang kurang potensial, tetapi saat ini masih dipungut oleh Daerah. Oleh karena itu Pemerintah Daerah diharapkan untuk menitikberatkan perhatiannya pada jenis-jenis pajak dan retribusi yang potensinya besar.
Pajak daerah dan pajak nasional merupakan satu sistem perpajakan Indonesia, yang pada dasarnya merupakan beban masyarakat sehingga perlu dijaga agar kebijaksanaan perpajakan tersebut dapat memberikan beban yang adil. Sejalan dengan perpajakan nasional, maka pembinaan pajak daerah harus dilakukan secara terpadu dengan pajak nasional. Pembinaan ini harus dilakukan secara terus-menerus, terutama mengenai objek dan tarif pajaknya supaya antara pajak pusat dan pajak daerah tersebut saling melengkapi.
Dalam sistem dan struktur perpajakan daerah dan retribusi yang lama, dasar hukum pemungutan diatur dalam berbagai Undang-Undang/ordonansi, antara lain:
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
a.
|
Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor 1934;
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
b.
|
Ordonansi Pajak Potong 1936;
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
c.
|
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1947 tentang Pajak Radio;
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
d.
|
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1947 tentang Pajak Pembangunan I;
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
e.
|
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan antara Negara dan Daerah-Daerah yang Berhak Mengurus Rumah Tangganya sendiri;
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
f.
|
Undang-Undang Nomor 11 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah; | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
g. | Undang-Undang Nomor 12 Drt. Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Retribusi Daerah; | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
h. | Undang-Undang Nomor 74 Tahun 1958 tentang Pajak Bangsa Asing; | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
i. | Undang-Undang Nomor 27 Prp. Tahun 1959 tentang Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor; | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
j. | Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1968 tentang Penyerahan Pajak-Pajak Negara, Bea Balik Nama Kendaraan bermotor, Pajak Bangsa Asing, dan Pajak Radio kepada Daerah. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Peraturan perundang-undangan yang lama tersebut didasarkan pada situasi dan kondisi pada waktu itu yang sudah sangat berbeda dengan keadaan sekarang, dengan kemajuan di berbagai bidang dan lebih-lebih bagi peraturan perundang-undangan tersebut tidak mungkin dapat menampung maupun mengantisipasi perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat pada masa yang akan datang.
Penyederhanaan ini juga dimaksudkan untuk mempermudah masyarakat memahami dan mematuhi peraturan perundang-undangan sehingga pada akhirnya tumbuh kesadaran untuk memenuhi kewajiban perpajakan dan retribusi.
Dalam pembentukan Undang-Undang tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ini, diperhatikan, diacu, dan dikaitkan dengan Undang-Undang lainnya, yaitu:
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
1.
|
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209); | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566); | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3684); | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
PASAL DEMI PASAL
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Pasal 1
Pasal ini memuat pengertian istilah yang dipergunakan dalam Undang-Undang ini. Dengan adanya pengertian tentang istilah tersebut dimaksudkan untuk mencegah timbulnya salah tafsir dan salah pengertian dalam memahami dan melaksanakan pasal-pasal yang bersangkutan sehingga baik Wajib Pajak maupun Wajib Retribusi dan aparatur dalam menjalankan hak dan kewajibannya dapat berjalan dengan lancar dan akhirnya dapat dicapai tertib administrasi. Pengertian ini diperlukan karena istilah-istilah tersebut mengandung pengertian yang baku dan teknis dalam bidang perpajakan daerah dan retribusi.
Pasal 2
Ayat (1)
Jenis-jenis pajak Daerah Tingkat I ditetapkan sebanyak 3 (tiga) jenis pajak, Walaupun demikian Daerah Tingkat I dapat tidak memungut salah satu atau beberapa jenis pajak yang dapat ditetapkan bagi Daerah Tingkat I tersebut, apabila potensi pajak di daerah tersebut dipandang kurang memadai. Khusus untuk daerah yang setingkat dengan Daerah Tingkat I tetapi tidak terbagi dalam Daerah Tingkat II, seperti Daerah Khusus Ibukota Jakarta, maka jenis pajak yang dapat dipungut merupakan gabungan dari pajak untuk Daerah Tingkat I dan pajak untuk Daerah Tingkat II.
Huruf a
Pajak Kendaraan bermotor adalah pajak atas kepemilikan dan atau penguasaan kendaraan bermotor. Kendaraan bermotor adalah semua kendaraan beroda dua atau lebih beserta gandengannya yang digunakan di jalan umum, dan digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu kendaraan bermotor yang bersangkutan, tidak termasuk alat-alat besar.
huruf b
Bea Balik Nama Kendaraan bermotor adalah pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.
Huruf c
Pajak Bahan Bakar kendaraan bermotor adalah pajak atas bahan bakar yang disediakan atau dianggap digunakan untuk kendaraan bermotor.
Ayat (2)
Jenis-jenis Daerah Tingkat II ditetapkan sebanyak 6 (enam) jenis paja. Walaupun demikian Daerah Tingkat II dapat tidak memungut salah satu atau beberapa jenis pajak yang telah ditetapkan bagi Daerah Tingkat II tersebut, apabila potensi pajak di daerah tersebut dipandang kurang memadai.
Huruf a
Pajak Hotel dan Restoran adalah pajak atas pelayanan hotel dan restoran.
Hotel adalah bangunan yang khusus disediakan bagi orang untuk dapat menginap/istirahat, memperoleh pelayanan, dan atau fasilitas lainnya dengan dipungut bayaran, termasuk bangunan lainnya yang menyatu, dikelola dan dimiliki oleh pihak yang sama, kecuali untuk pertokoan dan perkantoran.
Restoran atau rumah makan adalah tempat menyantap makanan dan atau minuman yang disediakan dengan dipungut bayaran, tidak termasuk usaha jasa boga atau katering.
Huruf b
Pajak Hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan.
Hiburan adalah semua jenis pertunjukan, permainan, dan atau keramaian dengan nama dan bentuk apapun, yang ditonton atau dinikmati oleh setiap orang dengan dipungut bayaran, tidak termasuk penggunaan fasilitas untuk berolahraga.
Huruf c
Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame.
Reklame dalam benda, alat, perbuatan atau media yang menurut bentuk susunan dan corak ragamnya untuk tujuan komersial, dipergunakan untuk memperkenalkan menganjurkan atau memujikan suatu barang, jasa atau orang, ataupun untuk menarik perhatian umum kepada suatu barang, jasa atau orang yang ditempatkan atau dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar dari suatu tempat oleh umum, kecuali yang dilakukan oleh Pemerintah.
Huruf d
Pajak Penerangan Jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, dengan ketentuan bahwa daerah tersebut tersedia penerangan jalan, yang rekeningnya dibayar oleh Pemerintah Daerah.
Huruf e
Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C adalah pajak atas kegiatan eksploitasi bahan galian golongan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Huruf f
Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan adalah pajak atas pengambilan air bawah tanah dan atau air permukaan untuk digunakan bagi orang pribadi atau badan, kecuali untuk keperluan dasar rumah tangga dan pertanian rakyat.
Air bawah tanah adalah air yang ada di perut bumi, termasuk mata air yang muncul secara alamiah di atas permukaan tanah. Air permukaan adalah air yang berada di atas permukaan bumi, tidak termasuk air laut.
Oleh karena sumber daya air bawah tanah dan air permukaan dikelola berdasarkan atas wilayah yang biasanya meliputi beberapa Daerah Tingkat II, maka baik Pemerintah Daerah Tingkat I maupun Pemerintah Pusat tetap berwenang mengatur koordinasi pengelolaannya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (3)
Undang-Undang ini menetapkan jenis-jenis pajak sebagaimana yang ditetapkan pada ayat (1) dan ayat (2) dan menetapkan kriteria-kriteria untuk jenis pajak selain yang ditetapkan pada ayat (1) dan ayat (2). Ayat (3) ini dimaksudkan untuk mengantisipasi perkembangan perekonomian daerah di masa mendatang yang mengakibatkan pergeseran potensi pajak dengan tetap memperhatikan kesederhanaan jenis pajak dan aspirasi daerah. Jenis pajak baru yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat ini dikemukakan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.
Huruf a
Yang dimaksud dengan kriteria bersifat pajak dan bukan retribusi adalah bahwa pajak yang ditetapkan harus sesuai dengan pengertian pajak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 6.
Huruf b
Yang dimaksud dengan kriteria objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum berarti pajak tersebut dimaksudkan untuk kepentingan bersama yang lebih luas antara pemerintah dan masyarakat dengan memperhatikan aspek ketenteraman, dan kestabilan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan kriteria potensinya memadai berarti bahwa hasil pajak cukup besar sebagai salah satu sumber pendapatan daerah dan laju pertumbuhannya diperkirakan sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi daerah.
Huruf d
Yang dimaksud dengan kriteria tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif berarti pajak tidak mengganggu alokasi sumber-sumber ekonomi secara efisien dan tidak merintangi arus sumber daya ekonomi antar daerah maupun kegiatan ekspor-impor.
Huruf e
Yang dimaksud dengan kriteria aspek keadilan antara lain adalah Objek dan Subjek Pajak harus jelas sehingga dapat diawasi pemungutannya, jumlah pembayaran pajak dapat diperkirakan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan, dan tarif pajak ditetapkan dengan memperhatikan keadaan Wajib Pajak. Yang dimaksud dengan kriteria kemampuan masyarakat adalah kemampuan Subjek Pajak untuk memikul tambahan beban pajak.
Huruf f
Yang dimaksud dengan kriteria menjaga kelestarian lingkungan adalah bahwa pajak harus bersifat netral terhadap lingkungan, yang berarti bahwa pengenaan pajak tidak memberikan peluang kepada Pemerintah Daerah dan masyarakat untuk merusak lingkungan yang akan menjadi beban bagi Pemerintah dan masyarakat.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Hasil penerimaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor sebesar 10% (sepuluh persen) merupakan penerimaan Daerah Tingkat I dan 90% (sembilan puluh persen) merupakan penerimaan Daerah Tingkat II yang dipergunakan untuk pemerataan dan merangsang pembangunan Daerah Tingkat II.
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 3
Ayat (1)
Pasal ini mengatur tentang tarif pajak yang paling tinggi yang dapat dipungut oleh Daerah untuk setiap jenis pajak. Penetapan tarif paling tinggi tersebut bertujuan memberi perlindungan kepada masyarakat dari penetapan tarif yang terlalu membebani, sedangkan tarif paling rendah tidak ditetapkan untuk memberi peluang kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur sendiri besarnya tarif yang sesuai dengan kondisi masyarakat di daerahnya, termasuk membebaskan pajak bagi masyarakat yang tidak mampu.
Huruf a
Tarif Pajak Kendaraan Bermotor dikenakan atas nilai jual kendaraan bermotor serta faktor-faktor penyesuaian yang mencerminkan biaya ekonomis yang diakibatkan oleh penggunaan kendaraan bermotor, misalnya kerusakan jalan.
Huruf b
Tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dikenakan atas nilai jual kendaraan bermotor.
Huruf c
Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dikenakan atas nilai jual bahan bakar kendaraan bermotor.
Huruf d
Tarif Pajak Hotel dan Restoran dikenakan atas jumlah pembayaran yang dilakukan kepada Hotel dan atau Restoran.
Huruf e
Tarif Pajak Hiburan dikenakan atas jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar untuk menonton dan atau menikmati hiburan.
Huruf f
Tarif Pajak Reklame dikenakan atas nilai sewa Reklame, yang didasarkan atas nilai jual objek pajak reklame dan nilai strategis pemasangan reklame.
Huruf g
Tarif Pajak Penerangan Jalan dikenakan atas nilai jual tenaga listrik yang dipakai.
Huruf h
Tarif Pajak Pengambilan dan Pengelolaan Bahan Galian Golongan C dikenakan atas nilai jual hasil eksploitasi bahan galian golongan C. Huruf i Tarif Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan dikenakan atas nilai perolehan air yang dimanfaatkan, antara lain berdasarkan jenis, volume, kualitas, dan lokasi sumber air.
Ayat (2)
Penetapan tarif yang seragam untuk jenis-jenis pajak sebagaimana diatur pada ayat ini dimaksudkan agar dalam pelaksanaannya bersifat netral terhadap Wajib Pajak, sehingga dapat dihindarkan praktek pemanfaatan pengenaan tarif pajak yang lebih rendah pada suatu daerah tertentu.
Contoh:
Tarif Pajak Kendaraan Bermotor di DKI Jakarta sama dengan tarif Pajak Kendaraan Bermotor di Jawa Barat dan seluruh daerah lainnya. Dalam hal demikian Wajib Pajak tidak mendapat keuntungan apakah akan mendaftarkan kendaraan bermotor di DKI Jakarta, Jawa Barat atau daerah lainnya.
Ayat (3)
Dengan memperhatikan kondisi masing-masing Daerah Tingkat II, tarif untuk jenis-jenis pajak sebagaimana diatur dalam ayat ini dapat ditetapkan tidak seragam. Hal ini, antara lain, dengan mempertimbangkan bahwa tarif yang berbeda untuk jenis-jenis pajak yang diatur dalam ayat ini, tidak akan mempengaruhi pilihan lokasi Wajib Pajak untuk melakukan kegiatan yang dikenakan pajak.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Huruf a
Pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan pajak dapat diberikan dengan mempertimbangkan, antara lain, kemampuan membayar Wajib Pajak.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Sesuai kelaziman internasional, Peraturan Daerah dapat memberikan pengurangan, keringanan, dan pembebasan pajak, misalnya bagi korps diplomatik.
Pasal 5
Ayat (1)
Pertimbangan Menteri Keuangan diperlukan mengingat bahwa Pajak Daerah merupakan bagian dari sistem perpajakan nasional yang memerlukan pembinaan secara terpadu.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Ayat ini memberikan kepastian hukum kepada Pemerintah Daerah untuk menjalankan Peraturan Daerah yang belum mendapat pengesahan Menteri Dalam Negeri dalam batas waktu yang ditetapkan.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Peraturan Pemerintah tentang ketentuan lebih lanjut mengenai pengesahan, penolakan untuk pengesahan, permintaan untuk penyempurnaan, dan pembatalan Peraturan Daerah yang juga perlu memperhatikan dan mengatur prosedur yang diperlukan, khususnya demi kepentingan nasional yang dihadapi.
Pasal 6
Yang dimaksud dengan tidak dapat diborongkan adalah bahwa seluruh proses kegiatan pemungutan pajak tidak dapat diserahkan kepada pihak ketiga. Namun, dimungkinkan adanya kerja sama dengan pihak ketiga dalam rangka proses pemungutan pajak, antara lain, pencetakan formulir perpajakan, pengiriman surat-surat kepada Wajib Pajak, atau penghimpunan data Objek dan Subjek Pajak. Kegiatan yang tidak dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga adalah kegiatan penghitungan besarnya pajak yang terutang, pengawasan penyetoran pajak, dan penagihan pajak.
Pasal 7
Ayat (1)
Ayat ini mengatur tata cara pengenaan pajak, yaitu ditetapkan oleh kepala Daerah atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak.
Cara pertama, pajak dibayar oleh Wajib Pajak setelah terlebih dahulu ditetapkan oleh Kepala Daerah melalui Surat Ketetapan Pajak Daerah atau dokumen lain yang dipersamakan.
Cara kedua, pajak dibayar sendiri adalah pengenaan pajak yang memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah.
Ayat (2)
Bagi Wajib Pajak yang jumlah pajaknya ditetapkan oleh Kepala Daerah, pembayarannya menggunakan Surat Ketetapan Pajak Daerah, atau dokumen lain yang dipersamakan yang ditetapkan oleh Kepala Daerah.
Yang dimaksud dokumen lain yang dipersamakan antara lain berupa karcis, nota perhitungan.
Ayat (3)
Bagi Wajib Pajak yang memenuhi kewajibannya dengan cara membayar sendiri, diwajibkan melaporkan pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah.
Apabila Wajib Pajak yang diberi kepercayaan menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana mestinya, dapat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar dan atau Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang menjadi sarana penagihan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Pasal ini mengatur tentang penerbitan surat ketetapan pajak atas pajak yang dibayar sendiri. Penerbitan surat ketetapan pajak ditujukan kepada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian Surat Pemberitahuan Pajak Daerah atau karena ditemukannya data fiskal tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.
Ayat (1)
Ketentuan ayat ini memberi kewenangan kepada Kepala Daerah untuk dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan atau Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil hanya terhadap kasus-kasus tertentu seperti tersebut dalam ayat ini, dengan perkataan lain hanya terhadap Wajib Pajak tertentu yang nyata-nyata atau berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan atau kewajiban material.
Contoh:
Huruf a
Angka 1)
Cukup jelas
Angka 2)
Cukup jelas
Angka 3)
Yang dimaksud dengan penetapan pajak secara jabatan adalah penetapan besarnya pajak terutang yang dilakukan oleh Kapala Daerah atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan data yang ada atau keterangan lain yang dimiliki oleh Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (2)
Ayat ini mengatur sanksi terhadap Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya yaitu mengenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dari pajak yang tidak atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan atas pajak yang tidak atau terlambat dibayar. Sanksi administrasi berupa bunga dihitung sejak saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar.
Ayat (3)
Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yaitu dengan diketemukannya data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang berasal dari hasil pemeriksaan sehingga pajak yang terutang bertambah, maka terhadap Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak. Sanksi administrasi ini tidak dikenakan apabila Wajib Pajak melaporkannya sebelum diadakan tindakan pemeriksaan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 3), yaitu Wajib Pajak tidak mengisi Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang seharusnya dilakukannya, maka dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan pajak sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok pajak yang terutang. Dalam kasus ini, maka Kepala Daerah menetapkan pajak yang terutang secara jabatan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar. Selain sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok pajak yang terutang juga dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. Sanksi administrasi berupa bunga dihitung sejak saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar.
Pasal 10
Ayat (1)
Surat Tagihan Pajak Daerah diterbitkan baik terhadap Wajib Pajak yang melakukan kewajiban pajak yang dibayar sendiri maupun terhadap Wajib Pajak yang melaksanakan kewajiban pajak yang dipungut. Sanksi administrasi berupa bunga dikenakan kepada Wajib Pajak yang tidak atau kurang membayar pajak yang terutang, sedangkan sanksi administrasi berupa denda dikenakan karena tidak dipenuhinya ketentuan formal, misalnya, tidak atau terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ayat ini mengatur pengenaan bunga atas pajak yang tidak atau kurang dibayar pada saat jatuh tempo pembayaran atau terlambat dibayar.
Pasal 11
Ayat (1)
Kepala Daerah menentukan jatuh tempo pembayaran atas jenis-jenis pajak, namun tidak melebihi 30 (tiga puluh) hari setelah saat terutangnya pajak. Keterlambatan dalam pembayaran masa tersebut berakibat dikenakannya sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Contoh:
Kepala Daerah dapat menentukan jatuh tempo pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor satu hari setelah tanggal berakhirnya Pajak Kendaraan Bermotor atas suatu kendaraan bermotor.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dasar hukum pelaksanaan Surat Paksa didasarkan pada peraturan perundang-undangan perpajakan di bidang penagihan pajak.
Pasal 13
Ayat (1)
Apabila Wajib Pajak berpendapat bahwa jumlah pajak dalam surat ketetapan pajak dan pemungutan tidak sebagaimana mestinya, maka Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Kepala Daerah yang menerbitkan surat ketetapan pajak.
Keberatan yang diajukan adalah terhadap materi atau isi dari ketetapan dengan membuat perhitungan jumlah yang seharusnya dibayar menurut perhitungan Wajib Pajak. Satu keberatan harus diajukan terhadap satu jenis pajak dan satu tahun pajak.
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Yang dimaksud dengan pihak ketiga adalah orang pribadi/badan yang ditunjuk oleh Kepala Daerah sebagai pemotong/pemungut pajak.
Ayat (2)
Alasan-alasan yang jelas di sini adalah mengemukakan dengan data atau bukti bahwa jumlah pajak yang terutang atau pajak lebih bayar yang ditetapkan oleh fiskus tidak benar.
Ayat (3)
Yang ini mengharuskan Wajib Pajak membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak, dalam Wajib Pajak mengajukan keberatan terhadap pajak-pajak yang ditetapkan secara jabatan, Surat Ketetapan Pajak secara jabatan tersebut diterbitkan karena Wajib Pajak tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah meskipun telah ditegur secara tertulis. Apabila Wajib Pajak tidak membuktikan ketidakbenaran Surat Ketetapan Pajak secara jabatan itu, maka keberatannya ditolak..
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan keadaan di luar kekuasaannya adalah suatu keadaan yang terjadi di luar kehendak/kekuasaan Wajib Pajak, misalnya, karena Wajib Pajak sakit atau terkena musibah bencana alam.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Ketentuan ini perlu dicantumkan dengan maksud agar Wajib Pajak tidak menghindarkan kewajiban untuk membayar pajak yang telah ditetapkan dengan dalih mengajukan keberatan, sehingga dapat dicegah terganggunya penerimaan daerah.
Pasal 14
Ayat (1)
Ayat ini memberikan kepastian hukum kepada Wajib Pajak maupun fiskus dan dalam rangka tertib administrasi, oleh karena itu keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak harus diberi keputusan oleh Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak Surat Keberatan diterima.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Imbalan bunga dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Kepala Daerah karena jabatannya, dan berlandaskan unsur keadilan dapat mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak yang tidak benar, misalnya Wajib Pajak yang ditolak pengajuan keberatannya karena tidak memenuhi persyaratan formal (memasukkan Surat Keberatan tidak ada waktunya) meskipun persyaratan material terpenuhi.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Objek retribusi adalah sebagai jenis jasa tertentu yang disediakan oleh Pemerintah Daerah. Tidak semua jasa yang diberikan oleh Pemerintah Daerah dapat dipungut retribusinya, namun hanya jenis-jenis jasa tertentu yang menurut pertimbangan sosial-ekonomi layak untuk dijadikan sebagai objek retribusi. Jasa tertentu tersebut dikelompokkan dalam tiga golongan, yaitu Jasa Umum, Jasa Usaha, dan Perizinan Tertentu.
Huruf a
Jasa Umum, antara lain, pelayanan kesehatan dan pelayanan persampahan.
Yang tidak termasuk Jasa Umum adalah jasa urusan umum pemerintahan.
Huruf b
Jasa Usaha, antara lain, penyewaan aset yang dimiliki/dikuasai oleh Pemerintah Daerah, penyediaan tempat penginapan, usaha bengkel kendaraan, tempat pencucian mobil, dan penjualan bibit.
Huruf c
Mengingat fungsi perizinan dimaksudkan untuk mengadakan pembinaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan, maka pada dasarnya pemberian izin oleh Pemerintah Daerah tidak harus dipungut retribusi, Akan tetapi untuk melaksanakan fungsi tersebut, Pemerintah Daerah mungkin masih kekurangan biaya yang tidak selalu dapat dicukupi dari sumber-sumber penerimaan daerah, sehingga terhadap perizinan tertentu masih dipungut retribusi. Perizinan tertentu yang dapat dipungut retribusi, antara lain, Izin Mendirikan Bangunan, Izin Peruntukan Penggunaan Tanah. Pengajuan izin tertentu oleh Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah tetap dikenakan retribusi, karena badan-badan tersebut merupakan kekayaan negara atau kekayaan daerah yang telah dipisahkan. Pengajuan izin oleh Pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah tidak dikenakan retribusi Perizinan Tertentu.
Ayat (2)
Penggolongan jenis retribusi ini dimaksudkan guna menetapkan kebijaksanaan umum tentang prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi yang ditentukan dalam Pasal 21.
Ayat (3)
Penetapan jenis-jenis Retribusi Jasa Umum dan Jasa Usaha dengan Peraturan Pemerintah dimaksudkan agar tercipta ketertiban dalam penerapannya, sehingga dapat memberikan kepastian bagi masyarakat dan disesuaikan dengan kebutuhan nyata daerah yang bersangkutan. Penetapan jenis-jenis Retribusi Perizinan Tertentu dengan Peraturan Pemerintah karena perizinan tersebut walaupun merupakan kewenangan Pemerintah Daerah, tetap memerlukan koordinasi dengan instansi-instansi teknis terkait. Sebagai contoh, Izin Mendirikan Bangunan memerlukan koordinasi dengan Departemen Pekerjaan Umum dan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup.
Dalam menetapkan jenis-jenis retribusi ke dalam golongan Retribusi Jasa Umum digunakan kriteria sebagai berikut:
Dalam menetapkan jenis-jenis retribusi ke dalam golongan Retribusi Jasa Usaha digunakan kriteria sebagai berikut:
Dalam menetapkan jenis-jenis retribusi ke dalam golongan Retribusi Perizinan Tertentu digunakan kriteria sebagai berikut :
Pasal 19
Jasa yang telah dikelola secara khusus oleh suatu Badan Usaha Milik Daerah tidak merupakan objek retribusi, tetapi sebagai penerimaan Badan Usaha Milik Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila Badan Usaha Milik Daerah memanfaatkan jasa atau perizinan tertentu yang diberikan oleh Pemerintah Daerah, maka Badan Usaha Milik Daerah wajib membayar retribusi.
Pasal 20
Besarnya retribusi yang harus dibayar oleh orang pribadi atau badan yang menggunakan jasa yang bersangkutan dihitung dari perkalian antara tingkat penggunaan jasa dan tarif retribusi.
Huruf a
Tingkat penggunaan jasa dapat dinyatakan sebagai kuantitas penggunaan jasa sebagai dasar alokasi beban biaya yang dipikul daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan, misalnya beberapa kali masuk tempat rekreasi, berapa kali/berapa jam parkir kendaraan.
Akan tetapi ada pula penggunaan jasa yang tidak dapat dengan mudah diukur. Dalam hal ini tingkat penggunaan jasa mungkin perlu ditaksir berdasarkan rumus, Misalnya mengenai izin bangunan, tingkat penggunaan jasa dapat ditaksir dengan rumus yang didasarkan atas luas tanah, luas lantai bangunan, jumlah tingkat bangunan, dan rencana penggunaan bangunan.
Huruf b
Tarif retribusi adalah nilai rupiah atau persentase tertentu yang ditetapkan untuk menghitung besarnya retribusi yang terutang.
Tarif dapat ditentukan seragam atau dapat diadakan pembedaan mengenai golongan tarif sesuai dengan prinsip dan sasaran tarif tertentu, misalnya pembedaan retribusi tempat rekreasi antara anak dan dewasa, retribusi parkir antara sepeda motor dan mobil, retribusi pasar antara kios dan los, retribusi sampah antara rumah tangga dan industri, Besarnya tarif dapat dinyatakan dalam rupiah per unit tingkat penggunaan jasa.
Pasal 21
Huruf a
Penetapan tarif Retribusi Jasa Umum pada dasarnya disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai jenis-jenis retribusi yang berhubungan dengan kepentingan nasional. Di samping itu tetap memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat.
Huruf b
Tarif Retribusi Jasa Usaha ditetapkan oleh Daerah sehingga dapat tercapai keuntungan yang layak, yaitu keuntungan yang dapat dianggap memadai jika jasa yang bersangkutan diselenggarakan oleh swasta.
Huruf c
Tarif Retribusi Perizinan Tertentu ditetapkan sedemikian rupa sehingga hasil retribusi dapat menutup sebagian atau sama dengan perkiraan biaya yang diperlukan untuk menyediakan jasa yang bersangkutan. Untuk pemberian izin bangunan, misalnya, dapat diperhitungkan biaya pengecekan dan pengukuran lokasi, biaya pemetaan, dan biaya pengawasan.
Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Kewenangan Daerah untuk meninjau kembali tarif secara berkala dan jangka waktunya, dimaksudkan untuk mengantisipasi perkembangan perekonomian daerah dari objek retribusi yang bersangkutan.
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Ketentuan dalam huruf d ini ditujukan agar Pemerintah Daerah menyatakan kebijaksanaan yang dianut dalam menetapkan tarif sehingga kebijaksanaan tersebut dapat diketahui oleh masyarakat. Mengenai jenis-jenis retribusi yang prinsip tarifnya telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, maka Peraturan Daerah yang bersangkutan mencantumkan prinsip tersebut.
Terhadap jenis-jenis retribusi lainnya, Peraturan Daerah menyatakan prinsip dan sasaran tarif sesuai dengan kebijaksanaan daerah.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Ketentuan dalam huruf g ini termasuk mengatur tentang penentuan pembayaran, tempat pembayaran, angsuran, dan penundaan pembayaran.
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Cukup jelas
Huruf j
Cukup jelas
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Dasar pemberian pengurangan dan keringanan dikaitkan dengan kemampuan Wajib Retribusi, sedangkan pembebasan retribusi dikaitkan dengan fungsi objek retribusi. Misalnya, retribusi tempat rekreasi diberikan keringanan untuk orang jompo, cacat, dan anak sekolah. Untuk pembebasan retribusi, misalnya, pelayanan kesehatan bagi korban bencana alam.
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Pertimbangan Menteri Keuangan diperlukan mengingat bahwa retribusi merupakan bagian dari sistem fiskal dan moneter yang memerlukan pembinaan secara terpadu.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Ayat ini memberikan kepastian hukum kepada Pemerintah Daerah untuk menjalankan Peraturan Daerah yang belum mendapat pengesahan Menteri Dalam Negeri dalam batas waktu yang ditetapkan.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Peraturan Pemerintah tentang ketentuan lebih lanjut mengenai pengesahan, penolakan untuk pengesahan, permintaan untuk penyempurnaan, dan pembatalan Peraturan Daerah juga perlu memperhatikan dan mengatur prosedur yang diperlukan, khususnya demi kepentingan nasional yang dihadapi.
Pasal 26
Yang dimaksud dengan tidak dapat diborongkan adalah bahwa seluruh proses kegiatan pemungutan retribusi tidak dapat diserahkan kepada pihak ketiga. Namun, dalam pengertian ini bukan berarti bahwa Pemerintah Daerah tidak boleh bekerja sama dengan pihak ketiga. Dengan sangat selektif dalam proses pemungutan retribusi, Pemerintah Daerah dapat mengajak bekerja sama badan-badan tertentu yang karena profesionalismenya layak dipercaya untuk ikut melaksanakan sebagian tugas pemungutan jenis retribusi secara lebih efisien. Kegiatan pemungutan retribusi yang tidak dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga adalah kegiatan penghitungan besarnya retribusi yang terutang, pengawasan penyetoran retribusi, dan penagihan retribusi.
Pasal 27
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan dokumen lain yang dipersamakan, antara lain, berupa karcis masuk, kupon, kartu langganan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan keadaan di luar kekuasaannya adalah suatu keadaan yang terjadi di luar kehendak/kekuasaan Wajib Retribusi, misalnya, karena Wajib Retribusi sakit atau terkena musibah bencana alam.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Ayat ini mencerminkan adanya kepastian hukum bagi Wajib Retribusi, bahwa keberatan yang diajukan harus diberi keputusan oleh Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak Surat Keberatan diterima.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ayat ini memberi suatu kepastian hukum kepada Wajib Retribusi bahwa dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak Surat Keberatan diterima harus sudah ada keputusan.
Di sisi lain bahwa kepada kepala Daerah diberi semacam "hukuman" apabila tidak menyelesaikan tugasnya dalam batas waktu yang ditentukan.
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Kepala Daerah sebelum memberikan keputusan dalam hal kelebihan pembayaran pajak harus melakukan pemeriksaan terlebih dahulu.
Ayat (3)
Kepala Daerah sebelum memberikan keputusan dalam hal kelebihan pembayaran retribusi harus melakukan pemeriksaan terlebih dahulu.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Besarnya imbalan bunga atas keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak atau retribusi dihitung dari batas waktu 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar atau Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar sampai dengan saat dilakukannya pembayaran kelebihan.
Ayat (8)
Cukup jelas
Pasal 31
Ayat (1)
Saat kedaluwarsa penagihan pajak ini perlu ditetapkan untuk memberi kepastian hukum kapan utang pajak tersebut tidak dapat ditagih lagi.
Ayat (2)
Huruf a
Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan Surat Paksa, kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Paksa tersebut.
Huruf b
Yang dimaksud dengan pengakuan utang pajak secara langsung adalah Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
Yang dimaksud dengan pengakuan utang secara tidak langsung adalah Wajib Pajak tidak secara nyata-nyata langsung menyatakan bahwa ia mengakui mempunyai utang pajak kepada Pemerintah Daerah.
Contoh:
Pasal 32
Ayat (1)
Saat kedaluwarsa penagihan retribusi ini perlu ditetapkan untuk memberi kepastian hukum kapan utang retribusi tersebut tidak dapat ditagih lagi.
Ayat (2)
Huruf a
Dalam hal diterbitkan Surat Teguran, kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Teguran tersebut.
Huruf b
Yang dimaksud dengan pengakuan utang retribusi secara langsung adalah Wajib Retribusi dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang retribusi dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
Yang dimaksud dengan pengakuan utang secara tidak langsung adalah Wajib Retribusi tidak secara nyata-nyata langsung menyatakan bahwa ia mengakui mempunyai utang retribusi kepada Pemerintah Daerah.
Contoh:
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kriteria tertentu adalah Wajib Pajak melakukan usaha yang berupa, antara lain, jasa, dengan omzet di atas Rp. 300.000.000,00 (tiga juta rupiah) per tahun.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 35
Ayat (1)
Kepala Daerah dalam rangka pengawasan berwenang melakukan pemeriksaan untuk :
Ayat (2)
Apabila Wajib Pajak atau Wajib Retribusi tidak dapat memenuhi kewajibannya yang berkaitan dengan pemeriksaan pajak atau retribusi, maka dikenakan penetapan secara jabatan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 36
Ayat (1)
Setiap pejabat baik petugas pajak maupun mereka yang melakukan tugas di bidang perpajakan daerah dilarang mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak yang menyangkut masalah perpajakan daerah. Masalah kerahasiaan tersebut perlu mendapat perlindungan untuk mencegah disalahgunakannya bahan keterangan Wajib Pajak dalam usaha persaingan dagang atau mengungkapkan keadaan asal-usul kekayaan dari Wajib Pajak yang dapat dikategorikan sebagai rahasia pribadi berdasarkan asas hukum pajak.
Ayat (2)
Para ahli dalam ayat ini adalah seperti akuntan, pengacara, dan sebagainya yang ditunjuk oleh Kepala Daerah untuk membantu pelaksanaan Undang-Undang perpajakan daerah.
Ayat (3)
Untuk kepentingan daerah, misalnya dalam rangka kerja sama dengan instansi lain, keterangan atau bukti tertulis tentang Wajib Pajak dapat diberikan atau diperlihatkan kepada pihak tertentu yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.
Dalam surat izin yang diterbitkan Kepala Daerah harus dicantumkan nama Wajib Pajak, pihak yang ditunjuk, pejabat, ahli atau tenaga ahli.
Pemberian izin tersebut dilakukan secara terbatas dalam hal-hal yang dipandang perlu oleh Kepala daerah.
Ayat (4)
Untuk melaksanakan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam rangka pidana atau perdata yang berhubungan dengan masalah perpajakan daerah, demi kepentingan peradilan Kepala Daerah memberikan izin pembebasan atas kewajiban kerahasiaan kepada pejabat pajak, termasuk pejabat pajak yang ditugaskan dalam Badan Penyelesaian Sengketa Pajak dan para ahli, atas permintaan tertulis Hakim Ketua Sidang.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 37
Ayat (1)
Dengan adanya sanksi pidana, diharapkan timbulnya kesadaran Wajib Pajak untuk memenuhi kewajibannya. Yang dimaksud kealpaan berarti tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan kewajibannya sehingga perbuatan tersebut menimbulkan kerugian keuangan daerah.
Ayat (2)
Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini yang dilakukan dengan sengaja, dikenakan sanksi yang lebih berat daripada alpa, mengingat pentingnya penerimaan pajak bagi Daerah.
Pasal 38
Ketentuan ini dimaksudkan guna memberikan suatu kepastian hukum bagi Wajib Pajak, Penuntut Umum, dan Hakim.
Pasal 39
Pengajuan tuntutan ke pengadilan pidana terhadap Wajib Retribusi dilakukan dengan penuh kearifan serta memperhatikan kemampuan Wajib Retribusi dan besarnya retribusi yang terutang yang mengakibatkan kerugian keuangan daerah.
Pasal 40
Ayat (1)
Ketentuan ini untuk menjamin bahwa kerahasiaan mengenai perpajakan daerah tidak akan diberitahukan kepada pihak lain, juga agar supaya Wajib Pajak dalam memberikan data dan keterangan kepada pejabat mengenai perpajakan daerah tidak ragu-ragu.
Ayat (2)
Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini yang dilakukan dengan sengaja, dikenakan sanksi yang lebih berat.
Ayat (3)
Tuntutan pidana pada ayat (1) dan ayat (2) sesuai sifatnya adalah menyangkut kepentingan pribadi seseorang atau badan selaku Wajib Pajak atau Wajib Retribusi, karena itu dijadikan tindak pidana pengaduan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Ayat (1)
Penyidik di bidang perpajakan daerah dan retribusi adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh Menteri Kehakiman sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi dilaksanakan menurut ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan peraturan pelaksanaannya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 43
Ayat (1)
Untuk mencegah kevakuman penerimaan daerah akibat diberlakukannya Undang-Undang ini karena Peraturan Daerah yang mengatur pajak atau retribusi berdasarkan Undang-Undang ini belum diberlakukan, maka Peraturan Daerah yang lama masih tetap berlaku sampai Peraturan Daerah yang baru diberlakukan.
Ayat (2) dan Ayat (3)
Pemberlakuan Peraturan Daerah yang lama tentang Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang yang terkait dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) dan Retribusi Perizinan Tertentu yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah
Ayat (4)
Ayat ini memberikan kepastian kepada daerah untuk dapat memungut jenis pajak dan retribusi yang dinyatakan tidak berlaku lagi menurut Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya untuk jangka waktu 1 (satu) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini.
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3679
|