Quick Guide
Hide Quick Guide
    Aktifkan Mode Highlight
    Premium
    File Lampiran
    Peraturan Terkait
    IDN
    ENG
    Fitur Terjemahan
    Premium
    Terjemahan Dokumen
    Ini Belum Tersedia
    Bagikan
    Tambahkan ke My Favorites
    Download as PDF
    Download Document
    Premium
    Status : Beberapa kali diubah

    UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
    NOMOR 13 TAHUN 2006

     
    TENTANG

    PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
    PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
     
     

    Menimbang

    a.
    bahwa salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan Saksi dan/atau Korban yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana;
    b.
    bahwa penegak hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana sering mengalami kesulitan karena tidak dapat menghadirkan Saksi dan/atau Korban disebabkan adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu;
    c.
    bahwa sehubungan dengan hal tersebut, perlu dilakukan perlindungan bagi Saksi dan/atau Korban yang sangat penting keberadaannya dalam proses peradilan pidana;
    d.
    bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban;
     
     

    Mengingat

    1.
    Pasal 1 ayat (3), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28G, Pasal 28I dan Pasal 28J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2.
    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);
     
     
    Dengan Persetujuan Bersama
    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
    dan 
    PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
     
    MEMUTUSKAN:

    Menetapkan

    UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.
     
    BAB I
    KETENTUAN UMUM
     

    Pasal 1

    Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
    1.
    Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri.
    2.
    Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
    3.
    Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, yang selanjutnya disingkat LPSK, adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
    4.
    Ancaman adalah segala bentuk perbuatan yang menimbulkan akibat, baik langsung maupun tidak langsung, yang Mengakibatkan Saksi dan/atau Korban merasa takut dan/atau dipaksa untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal yang berkenaan dengan pemberian kesaksiannya dalam suatu proses peradilan pidana.
    5.
    Keluarga adalah orang yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah dan garis menyamping sampai derajat ketiga, atau yang mempunyai hubungan perkawinan, atau orang yang menjadi tanggungan Saksi dan/atau Korban.
    6.
    Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
     
     

    Pasal 2

    Undang-Undang ini memberikan perlindungan pada Saksi dan Korban dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan.
     

    Pasal 3

    Perlindungan Saksi dan Korban berasaskan pada:
    a.
    Penghargaan atas harkat dan martabat manusia;
    b.
    Rasa aman;
    c.
    Keadilan;
    d.
    Tidak diskriminatif; dan
    e.
    Kepastian hukum.
     
     

    Pasal 4

    Perlindungan Saksi dan Korban bertujuan memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana.
     
    BAB II
    PERLINDUNGAN DAN HAK SAKSI DAN KORBAN
     

    Pasal 5

    (1)
    Seorang Saksi dan Korban berhak:
     
    a.
    Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkaitan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
     
    b.
    Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
     
    c.
    Memberikan keterangan tanpa tekanan;
     
    d.
    Mendapat penerjemah; 
     
    e.
    Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
     
    f.
    Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
     
    g.
    Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
     
    h.
    Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
     
    i.
    Mendapat identitas baru;
     
    j.
    Mendapatkan tempat kediaman baru;
     
    k.
    Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
     
    l.
    Mendapat nasihat hukum; dan/atau
     
    m.
    Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai Batas waktu perlindungan berakhir.
    (2)
    Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Saksi dan/atau Korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK.
     
     

    Pasal 6

    Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, selain berhak atas hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak untuk mendapatkan:
    a.
    Bantuan medis; dan
    b.
    Bantuan rehabilitasi psiko-sosial.
     
     

    Pasal 7

    (1)
    Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa:
     
    a.
    Hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat;
     
    b.
    Hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana.
    (2)
    Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh pengadilan.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
     
     

    Pasal 8

    Perlindungan dan hak Saksi dan Korban diberikan sejak tahap penyelidikan dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
     

    Pasal 9

    (1)
    Saksi dan/atau Korban yang merasa dirinya berada dalam Ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa.
    (2)
    Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memberikan kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan di hadapan pejabat yang berwenang dan membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksian tersebut.
    (3)
    Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang.
     
     

    Pasal 10

    (1)
    Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.
    (2)
    Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.
    (3)
    Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap Saksi, Korban, dan pelapor yang memberikan keterangan tidak dengan itikad baik.
     
     
    BAB III
    LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
     
    Bagian Kesatu
    Umum
     

    Pasal 11

    (1)
    LPSK merupakan lembaga yang mandiri.
    (2)
    LPSK berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia.
    (3)
    LPSK mempunyai perwakilan di daerah sesuai dengan keperluan.
     
     

    Pasal 12

    LPSK bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada Saksi dan Korban berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
     

    Pasal 13

    (1)
    LPSK bertanggung jawab kepada Presiden.
    (2)
    LPSK membuat laporan secara berkala tentang pelaksanaan tugas LPSK kepada Dewan Perwakilan Rakyat paling sedikit sekali dalam 1 (satu) tahun.
     
     
    Bagian Kedua
    Kelembagaan
     

    Pasal 14

    Anggota LPSK terdiri atas 7 (tujuh) orang yang berasal dari unsur profesional yang mempunyai pengalaman di bidang pemajuan, pemenuhan, perlindungan, penegakan hukum dan hak asasi manusia, kepolisian, kejaksaan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, akademisi, advokat, atau lembaga swadaya masyarakat.
     

    Pasal 15

    (1)
    Masa jabatan anggota LPSK adalah 5 (lima) tahun.
    (2)
    Setelah berakhir masa jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota LPSK dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
     
     

    Pasal 16

    (1)
    LPSK terdiri atas Pimpinan dan Anggota.
    (2)
    Pimpinan LPSK terdiri atas Ketua dan Wakil Ketua yang merangkap anggota.
    (3)
    Pimpinan LPSK dipilih dari dan oleh anggota LPSK.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan Pimpinan LPSK diatur dengan Peraturan LPSK.
     
     

    Pasal 17

    Masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua LPSK selama 5 (lima) tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
     

    Pasal 18

    (1)
    Dalam pelaksanaan tugasnya, LPSK dibantu oleh sebuah sekretariat yang bertugas memberikan pelayanan administrasi bagi kegiatan LPSK.
    (2)
    Sekretariat LPSK dipimpin oleh seorang Sekretaris yang berasal dari Pegawai Negeri Sipil.
    (3)
    Sekretaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Sekretaris Negara.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai kedudukan, susunan, organisasi, tugas, dan tanggung jawab sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
    (5)
    Peraturan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dalam waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak LPSK terbentuk.
     
     

    Pasal 19

    (1)
    Untuk pertama kali seleksi dan pemilihan anggota LPSK dilakukan oleh Presiden.
    (2)
    Dalam melaksanakan seleksi dan pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden membentuk panitia seleksi.
    (3)
    Panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas 5 (lima) orang, dengan susunan sebagai berikut:
     
    a.
     2 (dua ) orang berasal dari unsur pemerintah; dan
     
    b.
     3 (tiga) orang berasal dari unsur masyarakat.
    (4)
    Anggota panitia seleksi tidak dapat dicalonkan sebagai anggota LPSK.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan panitia seleksi, tata cara pelaksanaan seleksi, dan pemilihan calon anggota LPSK, diatur dengan Peraturan Presiden.
     
     

    Pasal 20

    (1)
    Panitia seleksi mengusulkan kepada Presiden sejumlah 21 (dua puluh satu) orang calon yang telah memenuhi persyaratan.
    (2)
    Presiden memilih sebanyak 14 (empat belas) orang dan sejumlah calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
    (3)
    Dewan Perwakilan Rakyat memilih dan menyetujui 7 (tujuh) orang dari calon sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
     
     

    Pasal 21

    (1)
    Dewan Perwakilan Rakyat memberikan persetujuan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengajuan calon anggota LPSK diterima.
    (2)
    Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak memberikan persetujuan terhadap seorang calon atau lebih yang diajukan oleh Presiden, dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya pengajuan calon anggota LPSK, Dewan Perwakilan Rakyat harus memberitahukan kepada Presiden disertai dengan alasan.
    (3)
    Dalam hal Dewan Perwakilan Rakyat tidak memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Presiden mengajukan calon pengganti sebanyak 2 (dua) kali jumlah calon anggota yang tidak disetujui.
    (4)
    Dewan Perwakilan Rakyat wajib memberikan persetujuan terhadap calon pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengajuan calon pengganti diterima.
     
     

    Pasal 22

    Presiden menetapkan anggota LPSK yang telah memperoleh persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan diterima Presiden.
     
    Bagian Ketiga
    Pengangkatan dan Pemberhentian
     

    Pasal 23

    (1)
    Anggota LPSK diangkat oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
    (2)
    Untuk dapat diangkat menjadi anggota LPSK harus memenuhi syarat:
     
    a.
    Warga negara Indonesia;
     
    b.
    Sehat jasmani dan rohani;
     
    c.
    Tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang ancaman pidananya paling singkat 5 (lima) tahun;
     
    d.
    Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat proses pemilihan;
     
    e.
    Berpendidikan paling rendah S1 (strata satu);
     
    f.
    Berpengalaman di bidang hukum dan hak asasi manusia paling singkat 10 (sepuluh) tahun;
     
    g.
    Memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; dan
     
    h.
    Memiliki nomor pokok wajib pajak.
     
     
     

    Pasal 24

    Anggota LPSK diberhentikan karena:
    a.
    Meninggal dunia;
    b.
    Masa tugasnya telah berakhir;
    c.
    Atas permintaan sendiri;
    d.
    Sakit jasmani atau rohani yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan tugas selama 30 (tiga puluh) hari secara terus menerus;
    e.
    Melakukan perbuatan tercela dan/atau hal-hal lain yang berdasarkan Keputusan LPSK yang bersangkutan harus diberhentikan karena telah mencemarkan martabat dan reputasi, dan/atau mengurangi kemandirian dan kredibilitas LPSK; atau
    f.
    Dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan yang ancaman pidananya paling singkat 5 (lima) tahun.
     
     

    Pasal 25

    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian anggota LPSK diatur dengan Peraturan Presiden.
     
    Bagian Keempat
    Pengambilan Keputusan dan Pembiayaan
     

    Pasal 26

    (1)
    Keputusan LPSK diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat.
    (2)
    Dalam hal keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dicapai, keputusan diambil dengan suara terbanyak.
     
     

    Pasal 27

    Biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas LPSK dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
     
    BAB IV
    SYARAT DAN TATA CARA PEMBERIAN PERLINDUNGAN DAN BANTUAN
     
    Bagian Kesatu
    Syarat Pemberian Perlindungan dan Bantuan
     

    Pasal 28

    Perjanjian perlindungan LPSK terhadap Saksi dan/atau Korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) diberikan dengan mempertimbangkan syarat sebagai berikut:
    a.
    sifat pentingnya keterangan Saksi dan/atau Korban;
    b.
    tingkat ancaman yang membahayakan Saksi dan/atau Korban;
    c.
    hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap Saksi dan/atau Korban;
    d.
    rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh Saksi dan/atau Korban.
     
     
    Bagian Kedua
    Tata Cara Pemberian Perlindungan
     

    Pasal 29

    Tata cara memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sebagai berikut:
    a.
    Saksi dan/atau Korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan secara tertulis kepada LPSK;
    b.
    LPSK segera melakukan pemeriksaan terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
    c.
    Keputusan LPSK diberikan secara tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari sejak permohonan perlindungan diajukan.
     
     

    Pasal 30

    (1)
    Dalam hal LPSK menerima permohonan Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Saksi dan/atau Korban menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan Saksi dan Korban.
    (2)
    Pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
     
    a.
    Kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk memberikan kesaksian dalam proses peradilan;
     
    b.
    Kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk menaati aturan yang berkenaan dengan keselamatannya;
     
    c.
    Kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk tidak berhubungan dengan cara apapun dengan orang lain selain atas persetujuan LPSK, selama ia berada dalam perlindungan LPSK;
     
    d.
    Kewajiban Saksi dan/atau Korban untuk tidak memberitahukan kepada siapapun mengenai keberadaannya di bawah perlindungan LPSK; dan
     
    e.
    Hal-hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK.
     
     
     

    Pasal 31

    LPSK wajib memberikan perlindungan sepenuhnya kepada Saksi dan/atau Korban, termasuk keluarganya, sejak ditandatanganinya pernyataan kesediaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30.
     

    Pasal 32

    (1)
    Perlindungan atas keamanan Saksi dan/atau Korban hanya dapat dihentikan berdasarkan alasan:
     
    a.
    Saksi dan/atau Korban meminta agar perlindungan terhadapnya dihentikan dalam hal permohonan diajukan atas inisiatif sendiri;
     
    b.
    Atas permintaan pejabat yang berwenang dalam hal permintaan perlindungan terhadap Saksi dan/atau Korban berdasarkan atas permintaan pejabat yang bersangkutan;
     
    c.
    Saksi dan/atau Korban melanggar ketentuan sebagaimana tertulis dalam perjanjian; atau
     
    d.
    LPSK berpendapat bahwa Saksi dan/atau Korban tidak lagi memerlukan perlindungan berdasarkan bukti-bukti yang meyakinkan.
    (2)
    Penghentian perlindungan keamanan seorang Saksi dan/atau Korban harus dilakukan secara tertulis.
     
     
    Bagian Ketiga
    Tata Cara Pemberian Bantuan
     

    Pasal 33

    Bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 diberikan kepada seorang Saksi dan/atau Korban atas permintaan tertulis dari yang bersangkutan ataupun orang yang mewakilinya kepada LPSK.
     

    Pasal 34

    (1)
    LPSK menentukan kelayakan diberikannya bantuan kepada Saksi dan/atau Korban.
    (2)
    Dalam hal Saksi dan/atau Korban layak diberi bantuan, LPSK menentukan jangka waktu dan besaran biaya yang diperlukan.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta jangka waktu dan besaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
     
     

    Pasal 35

    Keputusan LPSK mengenai pemberian bantuan kepada Saksi dan/atau Korban harus diberitahukan secara tertulis kepada yang bersangkutan dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya permintaan tersebut.
     

    Pasal 36

    (1)
    Dalam melaksanakan pemberian perlindungan dan bantuan, LPSK dapat bekerja sama dengan instansi terkait yang berwenang.
    (2)
    Dalam melaksanakan perlindungan dan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), instansi terkait sesuai dengan kewenangannya wajib melaksanakan keputusan LPSK sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
     
     
    BAB V
    KETENTUAN PIDANA
     

    Pasal 37

    (1)
    Setiap orang yang memaksakan kehendaknya baik menggunakan kekerasan maupun cara-cara tertentu, yang menyebabkan Saksi dan/atau Korban tidak memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf d sehingga Saksi dan/atau Korban tidak memberikan kesaksiannya pada tahap pemeriksaan tingkat mana pun, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
    (2)
    Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sehingga menimbulkan luka berat pada Saksi dan/atau Korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
    (3)
    Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sehingga mengakibatkan matinya Saksi dan/atau Korban, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama seumur hidup dan pidana denda paling sedikit Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
     
     

    Pasal 38

    Setiap orang yang menghalang-halangi dengan cara apapun, sehingga Saksi dan/atau Korban tidak memperoleh perlindungan atau bantuan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf d, Pasal 6, atau Pasal 7 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
     

    Pasal 39

    Setiap orang yang menyebabkan Saksi dan/atau Korban atau keluarganya kehilangan pekerjaan karena Saksi dan/atau Korban tersebut memberikan kesaksian yang benar dalam proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
     

    Pasal 40

    Setiap orang yang menyebabkan digunakannya atau kurangnya hak-hak Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, atau Pasal 7 ayat (1) karena Saksi dan/atau Korban memberikan kesaksian yang benar dalam proses peradilan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
     

    Pasal 41

    Setiap orang yang memberitahukan keberadaan Saksi dan/atau Korban yang tengah dilindungi dalam suatu tempat khusus yang dirahasiakan oleh LPSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf j, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
     

    Pasal 42

    Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, dan Pasal 41 dilakukan oleh pejabat publik, ancaman pidananya ditambah dengan 1/3 (satu per tiga).
     

    Pasal 43

    (1)
    Dalam hal terpidana tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41, dan Pasal 42 pidana denda tersebut diganti dengan pidana penjara paling singkat 1(satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun.
    (2)
    Pidana penjara sebagai pengganti pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan dalam amar putusan hakim.
     
     
    BAB VI
    KETENTUAN PERALIHAN
     

    Pasal 44

    Pada saat Undang-Undang ini diundangkan, peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan terhadap Saksi dan/atau Korban dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
     
    BAB VII
    KETENTUAN PENUTUP
     

    Pasal 45

    LPSK harus dibentuk dalam waktu paling lambat 1 {satu) tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan.
     

    Pasal 46

    Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
     
    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaga Negara Republik Indonesia.
     
    Disahkan di Jakarta
    pada tanggal 11 Agustus 2006
    PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
    ttd.
    DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
     
    Diundangkan di Jakarta
    pada tanggal 11 Agustus 2006
    MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
    ttd.
    HAMID AWALUDIN
     
     
    LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006 NOMOR 64
     

    PENJELASAN

     
    UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
    NOMOR 13 TAHUN 2006

    TENTANG

    PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
     
    I.
    UMUM
     
    Keberhasilan suatu proses peradilan pidana sangat bergantung pada alat bukti yang berhasil diungkap atau ditemukan. Dalam proses persidangan, terutama yang berkaitan dengan Saksi, banyak kasus yang tidak terungkap akibat tidak adanya Saksi yang dapat mendukung tugas penegak hukum. Padahal, adanya Saksi dan Korban merupakan unsur yang sangat menentukan dalam proses peradilan pidana. Keberadaan Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana selama ini kurang mendapat perhatian masyarakat dan penegak hukum. Kasus-kasus yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan banyak disebabkan oleh Saksi dan Korban takut memberikan kesaksian kepada penegak hukum karena mendapat ancaman dan pihak tertentu.
     
    Dalam rangka menumbuhkan partisipasi masyarakat untuk mengungkap tindak pidana, perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui atau menemukan suatu hal yang dapat membantu mengungkap tindak pidana yang telah terjadi dan melaporkan hal tersebut kepada penegak hukum.
     
    Pelapor yang demikian itu harus diberi perlindungan hukum dan keamanan yang memadai atas laporannya, sehingga ia tidak merasa terancam atau terintimidasi baik hak maupun jiwanya. Dengan jaminan perlindungan hukum dan keamanan tersebut, diharapkan tercipta suatu keadaan yang memungkinkan masyarakat tidak lagi merasa takut untuk melaporkan suatu tindak pidana yang diketahuinya kepada penegak hukum, karena khawatir atau takut jiwanya terancam oleh pihak tertentu.
     
    Perlindungan Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana di Indonesia belum diatur secara khusus. Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana hanya mengatur perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa untuk mendapat perlindungan dari berbagai kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena itu, sudah saatnya perlindungan Saksi dan Korban diatur dengan undang-undang tersendiri.
     
    Berdasarkan asas kesamaan di depan hukum (equality before the law) yang menjadi salah satu ciri negara hukum; Saksi dan Korban dalam proses peradilan pidana harus diberi jaminan perlindungan hukum. Adapun pokok materi muatan yang diatur dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban meliputi:
     
    1.
    Perlindungan dan hak Saksi dan Korban;
     
    2.
    Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban;
     
    3.
    Syarat dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan; dan
     
    4.
    Ketentuan pidana.
     
     
    II.
    PASAL DEMI PASAL
     
    Pasal 1
    Cukup jelas.
    Pasal 2
    Cukup jelas.
    Pasal 3
    Cukup jelas.
    Pasal 4
    Cukup jelas.
    Pasal 5
     
    Ayat (1)
     
    Huruf a
    Perlindungan semacam ini merupakan perlindungan utama yang diperlukan Saksi dan Korban. Apabila perlu Saksi dan Korban harus ditempatkan dalam suatu lokasi yang dirahasiakan dari siapapun untuk menjamin agar Saksi dan Korban aman.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Hak ini diberikan kepada Saksi dan Korban yang tidak lancar berbahasa Indonesia untuk memperlancar persidangan.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Seringkali Saksi dan Korban hanya berperan dalam pemberian kesaksian di pengadilan, tetapi Saksi dan Korban tidak mengetahui perkembangan kasus yang bersangkutan. Oleh karena itu, sudah seharusnya informasi mengenai perkembangan kasus diberikan kepada Saksi dan Korban.
    Huruf g
    Informasi ini penting untuk diketahui Saksi dan Korban sebagai tanda penghargaan atas kesediaan Saksi dan Korban dalam proses peradilan.
    Huruf h
    Ketakutan Saksi dan Korban akan adanya balas dendam dari terdakwa cukup beralasan dan ia berhak diberi tahu apabila seorang terpidana yang dihukum penjara akan dibebaskan.
    Huruf i
    Dalam berbagai kasus, terutama yang menyangkut kejahatan terorganisasi, Saksi dan Korban dapat terancam walaupun terdakwa sudah dihukum. Dalam kasus-kasus tertentu, Saksi dan Korban dapat diberi identitas baru.
    Huruf j
    -
    Apabila keamanan Saksi dan Korban sudah sangat mengkhawatirkan, pemberian tempat baru pada Saksi dan Korban harus dipertimbangkan agar Saksi dan Korban dapat meneruskan kehidupannya tanpa ketakutan.
    -
    Yang dimaksud dengan ”tempat kediaman baru” adalah tempat tertentu yang bersifat sementara dan dianggap aman
     
    Huruf k
    Saksi dan Korban yang tidak mampu membiayai dirinya untuk mendatangi lokasi, perlu mendapat bantuan biaya dari negara.
    Huruf l
    Yang dimaksud dengan ”nasihat hukum” adalah nasihat hukum yang dibutuhkan oleh Saksi dan Korban apabila diperlukan.
    Huruf m
    Yang dimaksud dengan ”biaya hidup sementara” adalah biaya hidup yang sesuai dengan situasi yang dihadapi pada waktu itu, misalnya biaya untuk makan sehari-hari.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan ”kasus-kasus tertentu”, antara lain, tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika/psikotropika, tindak pidana terorisme, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi Saksi dan Korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya.
    Pasal 6
     
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Yang dimaksud dengan ”bantuan rehabilitasi psikososial” adalah bantuan yang diberikan oleh psikolog kepada Korban yang menderita trauma atau masalah kejiwaan lainnya untuk memulihkan kembali kondisi kejiwaan Korban.
    Pasal 7
    Cukup jelas.
    Pasal 8
    Cukup jelas.
    Pasal 9
     
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan ”ancaman sangat besar” adalah ancaman yang menyebabkan Saksi dan/atau Korban tidak dapat memberikan kesaksiannya.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan ”pejabat yang berwenang” adalah penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    Ayat (3)
    Kehadiran pejabat ini untuk memastikan bahwa Saksi dan/atau Korban tidak dalam paksaan atau tekanan ketika Saksi dan/atau Korban memberikan keterangan.
    Pasal 10
     
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan ”pelapor” adalah orang yang memberikan informasi kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatu tindak pidana.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan ”memberikan keterangan tidak dengan itikad baik” dalam ketentuan ini antara lain memberikan keterangan palsu, sumpah palsu, dan permufakatan jahat.
    Pasal 11
     
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan ”lembaga yang mandiri” adalah lembaga yang independen, tanpa campur tangan dari pihak manapun.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 12
    Cukup jelas.
    Pasal 13
    Cukup jelas.
    Pasal 14
    Cukup jelas.
    Pasal 15
    Cukup jelas.
    Pasal 16
    Cukup jelas.
    Pasal 17
    Cukup jelas.
    Pasal 18
    Cukup jelas.
    Pasal 19
    Cukup jelas.
    Pasal 20
    Cukup jelas.
    Pasal 21
    Cukup jelas.
    Pasal 22
    Cukup jelas.
    Pasal 23
    Cukup jelas.
    Pasal 24
    Cukup jelas.
    Pasal 25
    Cukup jelas.
    Pasal 26
    Cukup jelas.
    Pasal 27
    Cukup jelas.
    Pasal 28
    Cukup jelas.
    Pasal 29
    Cukup jelas.
    Pasal 30
     
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Ketentuan ini ditujukan untuk melindungi Saksi dan/atau Korban dari berbagai kemungkinan yang akan melemahkan perlindungan pada dirinya.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Pasal 31
    Cukup jelas.
    Pasal 32
    Cukup jelas.
    Pasal 33
    Cukup jelas.
    Pasal 34
    Cukup jelas.
    Pasal 35
    Cukup jelas.
    Pasal 36
     
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan ”instansi terkait yang berwenang” adalah lembaga pemerintah dan non pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat yang memiliki kapasitas dan hak untuk memberikan bantuan baik langsung maupun tidak langsung yang dapat mendukung kerja LPSK, yang diperlukan dan disetujui keberadaannya oleh Saksi dan/atau Korban.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 37
    Cukup jelas.
    Pasal 38
    Cukup jelas.
    Pasal 39
    Cukup jelas.
    Pasal 40
    Cukup jelas.
    Pasal 41
    Yang dimaksud dengan ”pejabat publik” adalah pejabat negara dan penyelenggara negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    Pasal 42
    Cukup jelas.
    Pasal 43
    Cukup jelas.
    Pasal 44
    Cukup jelas.
    Pasal 45
    Cukup jelas.
    Pasal 46
    Cukup jelas.
     
     
     
    TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4635

    Undang-Undang 13 TAHUN 2006 - Perpajakan DDTC