Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Premium
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Beberapa kali diubah
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 79 TAHUN 2010
TENTANG
BIAYA OPERASI YANG DAPAT DIKEMBALIKAN DAN PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN DI BIDANG USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
BIAYA OPERASI YANG DAPAT DIKEMBALIKAN DAN PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN DI BIDANG USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
|
||||
Menimbang |
||||
a.
|
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, kegiatan usaha hulu dilaksanakan dan dikendalikan melalui kontrak kerja sama;
|
|||
b.
|
bahwa dalam pelaksanaan kontrak kerja sama sebagaimana dimaksud pada huruf a, modal yang ditanggung oleh badan usaha atau bentuk usaha tetap merupakan biaya operasi yang dapat dikembalikan oleh Pemerintah Republik Indonesia pada saat kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi menghasilkan produksi komersial;
|
|||
c.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 31 D Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, perlu menetapkan peraturan pemerintah tentang biaya operasi yang dapat dikembalikan dan perlakuan pajak penghasilan di bidang usaha hulu minyak dan gas bumi;
|
|||
|
||||
Mengingat |
||||
1.
|
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
|||
2.
|
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
|
|||
3.
|
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152);
|
|||
|
||||
MEMUTUSKAN:
|
||||
Menetapkan |
||||
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG BIAYA OPERASI YANG DAPAT DIKEMBALIKAN DAN PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN DI BIDANG USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI.
|
||||
|
||||
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
||||
Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
|
||||
1.
|
Minyak bumi, gas bumi, minyak dan gas bumi, eksplorasi, eksploitasi, kontrak kerja sama, Badan Pelaksana, wilayah kerja, wilayah hukum pertambangan Indonesia, dan kegiatan usaha hulu adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
|
|||
2.
|
Kontraktor adalah badan usaha atau bentuk usaha tetap yang ditetapkan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi pada suatu wilayah kerja berdasarkan kontrak kerja sama dengan Badan Pelaksana.
|
|||
3.
|
Operator adalah kontraktor atau dalam hal kontraktor terdiri atas beberapa pemegang participating interest, salah satu pemegang participating interest yang ditunjuk sebagai wakil oleh pemegang participating interest lainnya sesuai dengan kontrak kerja sama.
|
|||
4.
|
Operasi perminyakan adalah kegiatan yang meliputi eksplorasi, eksploitasi, pengangkutan, penutupan dan peninggalan sumur (plug and abandonment) serta pemulihan bekas penambangan (site restoration) minyak dan gas bumi.
|
|||
5.
|
Lifting adalah sejumlah minyak mentah dan/atau gas bumi yang dijual atau dibagi di titik penyerahan (custody transfer point).
|
|||
6.
|
First Tranche Petroleum yang selanjutnya disingkat FTP adalah sejumlah tertentu minyak mentah dan/atau gas bumi yang diproduksi dari suatu wilayah kerja dalam satu tahun kalender, yang dapat diambil dan diterima oleh Badan Pelaksana dan/atau kontraktor dalam tiap tahun kalender, sebelum dikurangi pengembalian biaya operasi dan penanganan produksi (own use).
|
|||
7.
|
Investment Credit yang selanjutnya disebut insentif investasi adalah tambahan pengembalian biaya modal dalam jumlah tertentu, yang berkaitan langsung dengan fasilitas produksi, yang diberikan sebagai insentif untuk pengembangan lapangan minyak dan/atau gas bumi tertentu.
|
|||
8.
|
Equity to be Split adalah hasil produksi yang tersedia untuk dibagi (lifting) antara Badan Pelaksana dan kontraktor setelah dikurangi FTP, insentif investasi (jika ada), dan pengembalian biaya operasi.
|
|||
9.
|
Biaya bukan modal (non capital cost) adalah biaya yang dikeluarkan pada kegiatan operasi tahun berjalan yang mempunyai masa manfaat kurang dari 1 (satu) tahun, termasuk survei dan intangible drilling cost.
|
|||
10.
|
Biaya modal (capital cost) adalah pengeluaran yang dilakukan untuk peralatan atau barang yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang pembebanannya pada tahun berjalan melalui penyusutan.
|
|||
11.
|
Rencana kerja dan anggaran adalah suatu perencanaan kegiatan dan pengeluaran anggaran tahunan oleh kontraktor untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi pada suatu wilayah kerja.
|
|||
12.
|
Kontrak bagi hasil adalah suatu bentuk kontrak kerja sama dalam kegiatan usaha hulu berdasarkan prinsip pembagian hasil produksi.
|
|||
13.
|
Kontrak jasa adalah suatu bentuk kontrak kerja sama untuk pelaksanaan eksploitasi minyak dan gas bumi berdasarkan prinsip pemberian imbalan jasa atas produksi yang dihasilkan.
|
|||
14.
|
Participating Interest adalah hak dan kewajiban sebagai kontraktor kontrak kerja sama, baik secara langsung maupun tidak langsung pada suatu wilayah kerja.
|
|||
15.
|
Uplift adalah imbalan yang diterima oleh kontraktor sehubungan dengan penyediaan dana talangan untuk pembiayaan operasi kontrak bagi hasil yang seharusnya merupakan kewajiban partisipasi kontraktor lain, yang ada dalam satu kontrak kerja sama, dalam pembiayaan.
|
|||
16.
|
Domestic Market Obligation yang selanjutnya disingkat DMO adalah kewajiban penyerahan bagian kontraktor berupa minyak dan/atau gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
|
|||
17.
|
Imbalan DMO adalah imbalan yang dibayarkan oleh Pemerintah kepada kontraktor atas penyerahan minyak dan/atau gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dengan menggunakan harga yang ditetapkan oleh Menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi kegiatan usaha minyak dan gas bumi.
|
|||
18.
|
Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
|
|||
19.
|
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kegiatan usaha minyak dan gas bumi.
|
|||
|
||||
Pasal 2 |
||||
Ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini berlaku untuk kontrak bagi hasil dan kontrak jasa di bidang usaha hulu minyak dan gas bumi.
|
||||
|
||||
Pasal 3 |
||||
(1)
|
Kontraktor wajib membawa modal dan teknologi serta menanggung risiko operasi dalam rangka pelaksanaan operasi perminyakan berdasarkan kontrak kerja sama pada suatu wilayah kerja.
|
|||
(2)
|
Pelaksanaan operasi perminyakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan berdasarkan prinsip efektif dan efisien, prinsip kewajaran, serta kaidah praktek bisnis dan keteknikan yang baik.
|
|||
|
||||
Pasal 4 |
||||
(1)
|
Seluruh barang dan peralatan yang dibeli oleh kontraktor dalam rangka operasi perminyakan menjadi barang milik negara yang pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah dan dikelola oleh Badan Pelaksana.
|
|||
(2)
|
Atas barang dan peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rangka pengembalian biaya operasi tidak dapat dilakukan penilaian kembali.
|
|||
|
||||
Pasal 5 |
||||
(1)
|
Dalam melaksanakan operasi perminyakan, kontraktor wajib menyusun rencana kerja dan anggaran sesuai dengan kaidah praktek bisnis dan keteknikan yang baik serta prinsip kewajaran.
|
|||
(2)
|
Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
pengeluaran rutin; dan
|
||
|
b.
|
pengeluaran proyek.
|
||
(3)
|
Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib mendapat persetujuan Kepala Badan Pelaksana.
|
|||
(4)
|
Persetujuan Kepala Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan dasar bagi kontraktor untuk melaksanakan operasi perminyakan.
|
|||
|
||||
Pasal 6 |
||||
Terhadap pengeluaran proyek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b, sebelum dilaksanakan wajib mendapatkan persetujuan otorisasi pembelanjaan finansial dari Kepala Badan Pelaksana.
|
||||
|
||||
Pasal 7 |
||||
(1)
|
Kontraktor mendapatkan kembali biaya operasi sesuai dengan rencana kerja dan anggaran yang telah disetujui oleh Kepala Badan Pelaksana, setelah wilayah kerja menghasilkan produksi komersial.
|
|||
(2)
|
Produksi komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) statusnya ditetapkan melalui persetujuan Menteri atas rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan.
|
|||
(3)
|
Dalam hal wilayah kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghasilkan produksi komersial, terhadap seluruh biaya operasi yang telah dikeluarkan menjadi risiko dan beban kontraktor sepenuhnya.
|
|||
|
||||
Pasal 8 |
||||
(1)
|
Menteri menetapkan besaran minimum bagian negara dari suatu wilayah kerja yang dikaitkan dengan lifting dalam persetujuan rencana pengembangan lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2).
|
|||
(2)
|
Penetapan besaran minimum bagian negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
|
|||
|
||||
BAB II
PENGHASILAN BRUTO DAN PENGURANG PENGHASILAN KONTRAKTOR
Bagian Kesatu
Penghasilan Bruto Kontraktor
Pasal 9 |
||||
(1)
|
Penghasilan bruto kontraktor terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
penghasilan dalam rangka kontrak bagi hasil; atau
|
||
|
b.
|
penghasilan dalam rangka kontrak jasa; dan
|
||
|
c.
|
penghasilan lain di luar kontrak kerja sama.
|
||
(2)
|
Penghitungan pajak penghasilan atas penghasilan dalam rangka kontrak bagi hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dihitung berdasarkan nilai realisasi minyak dan/atau gas bumi bagian kontraktor dari equity share dan FTP share ditambah minyak dan/atau gas bumi yang berasal dari pengembalian biaya operasi ditambah minyak dan/atau gas bumi tambahan yang berasal dari pemberian insentif atau karena hal lain dikurangi nilai realisasi penyerahan DMO minyak dan/atau gas bumi ditambah Imbalan DMO ditambah varian harga atas lifting.
|
|||
(3)
|
Penghitungan pajak penghasilan atas penghasilan dalam rangka kontrak jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan imbalan yang diterima dari Pemerintah ditambah nilai realisasi penjualan atas minyak dan/atau gas bumi yang berasal dari pengembalian biaya operasi.
|
|||
(4)
|
Penghasilan lain di luar kontrak kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
uplift atau imbalan lain yang sejenis; dan/atau
|
||
|
b.
|
penghasilan yang berasal dari pengalihan participating interest.
|
||
|
||||
Pasal 10 |
||||
(1)
|
Untuk menjamin adanya penerimaan negara, Menteri menetapkan besaran dan pembagian FTP.
|
|||
(2)
|
Untuk mendorong pengembangan wilayah kerja, Menteri dapat menetapkan bentuk dan besaran insentif investasi.
|
|||
|
||||
Bagian Kedua
Biaya Operasi Pasal 11 |
||||
(1)
|
Biaya operasi terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
biaya eksplorasi;
|
||
|
b.
|
biaya eksploitasi; dan
|
||
|
c.
|
biaya lain.
|
||
(2)
|
Biaya eksplorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
biaya pengeboran terdiri atas:
|
||
|
|
1.
|
biaya pengeboran eksplorasi; dan
|
|
|
|
2.
|
biaya pengeboran pengembangan;
|
|
|
b.
|
biaya geologis dan geofisika terdiri atas:
|
||
|
|
1.
|
biaya penelitian geologis; dan
|
|
|
|
2.
|
biaya penelitian geofisika;
|
|
|
c.
|
biaya umum dan administrasi pada kegiatan eksplorasi; dan
|
||
|
d.
|
biaya penyusutan.
|
||
(3)
|
Biaya eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
biaya langsung produksi untuk:
|
||
|
|
1.
|
minyak bumi; dan
|
|
|
|
2.
|
gas bumi.
|
|
|
b.
|
biaya pemrosesan gas bumi;
|
||
|
c.
|
biaya utility terdiri atas:
|
||
|
|
1.
|
biaya perangkat produksi dan pemeliharaan peralatan; dan
|
|
|
|
2.
|
biaya uap, air, dan listrik;
|
|
|
d.
|
biaya umum dan administrasi pada kegiatan eksploitasi; dan
|
||
|
e.
|
biaya penyusutan.
|
||
(4)
|
Biaya umum dan administrasi untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan ayat (3) huruf d terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
biaya administrasi dan keuangan;
|
||
|
b.
|
biaya pegawai;
|
||
|
c.
|
biaya jasa material;
|
||
|
d.
|
biaya transportasi;
|
||
|
e.
|
biaya umum kantor; dan
|
||
|
f.
|
pajak tidak langsung, pajak daerah, dan retribusi daerah.
|
||
(5)
|
Biaya lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
biaya untuk memindahkan gas dari titik produksi ke titik penyerahan; dan
|
||
|
b.
|
biaya kegiatan pasca operasi kegiatan usaha hulu.
|
||
|
||||
Pasal 12 |
||||
(1)
|
Biaya operasi yang dapat dikembalikan dalam penghitungan bagi hasil dan pajak penghasilan harus memenuhi persyaratan:
|
|||
|
a.
|
dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan terkait langsung dengan kegiatan operasi perminyakan di wilayah kerja kontraktor yang bersangkutan di Indonesia;
|
||
|
b.
|
menggunakan harga wajar yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan;
|
||
|
c.
|
pelaksanaan operasi perminyakan sesuai dengan kaidah praktek bisnis dan keteknikan yang baik;
|
||
|
d.
|
kegiatan operasi perminyakan sesuai dengan rencana kerja dan anggaran yang telah mendapatkan persetujuan Kepala Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6.
|
||
(2)
|
Biaya yang dikeluarkan yang terkait langsung dengan operasi perminyakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib memenuhi syarat:
|
|||
|
a.
|
untuk biaya penyusutan hanya atas barang dan peralatan yang digunakan untuk operasi perminyakan yang menjadi milik negara;
|
||
|
b.
|
untuk biaya langsung kantor pusat yang dibebankan ke proyek di Indonesia yang berasal dari luar negeri hanya untuk kegiatan yang:
|
||
|
|
1.
|
tidak dapat dikerjakan oleh institusi/lembaga di dalam negeri;
|
|
|
|
2.
|
tidak dapat dikerjakan oleh tenaga kerja Indonesia; dan
|
|
|
|
3.
|
tidak rutin;
|
|
|
c.
|
untuk pemberian imbalan sehubungan dengan pekerjaan kepada karyawan/pekerja dalam bentuk natura/kenikmatan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
|
||
|
d.
|
untuk pemberian sumbangan bencana alam atas nama Pemerintah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
|
||
|
e.
|
untuk pengeluaran biaya pengembangan masyarakat dan lingkungan yang dikeluarkan hanya pada masa eksplorasi;
|
||
|
f.
|
untuk pengeluaran alokasi biaya tidak langsung kantor pusat dengan syarat:
|
||
|
|
1.
|
digunakan untuk menunjang usaha atau kegiatan di Indonesia;
|
|
|
|
2.
|
kontraktor menyerahkan laporan keuangan konsolidasi kantor pusat yang telah diaudit dan dasar pengalokasiannya; dan
|
|
|
|
3.
|
besarannya tidak melampaui batasan yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah mendapat pertimbangan Menteri.
|
|
(3)
|
Batasan maksimum biaya yang berkaitan dengan remunerasi tenaga kerja asing ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah mendapatkan pertimbangan dari Menteri.
|
|||
|
||||
Pasal 13 |
||||
Jenis biaya operasi yang tidak dapat dikembalikan dalam penghitungan bagi hasil dan pajak penghasilan meliputi:
|
||||
a.
|
biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi dan/atau keluarga dari pekerja, pengurus, pemegang participating interest, dan pemegang saham;
|
|||
b.
|
pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali biaya penutupan dan pemulihan tambang yang disimpan pada rekening bersama Badan Pelaksana dan kontraktor dalam rekening bank umum Pemerintah Indonesia yang berada di Indonesia;
|
|||
c.
|
harta yang dihibahkan;
|
|||
d.
|
sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkaitan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan serta tagihan atau denda yang timbul akibat kesalahan kontraktor karena kesengajaan atau kealpaan;
|
|||
e.
|
biaya penyusutan atas barang dan peralatan yang digunakan yang bukan milik negara;
|
|||
f.
|
insentif, pembayaran iuran pensiun, dan premi asuransi untuk kepentingan pribadi dan/atau keluarga dari tenaga kerja asing, pengurus, dan pemegang saham;
|
|||
g.
|
biaya tenaga kerja asing yang tidak memenuhi prosedur rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) atau tidak memiliki izin kerja tenaga asing (IKTA);
|
|||
h.
|
biaya konsultan hukum yang tidak terkait langsung dengan operasi perminyakan dalam rangka kontrak kerja sama;
|
|||
i.
|
biaya konsultan pajak;
|
|||
j.
|
biaya pemasaran minyak dan/atau gas bumi bagian kontraktor, kecuali biaya pemasaran gas bumi yang telah disetujui Kepala Badan Pelaksana;
|
|||
k.
|
biaya representasi, termasuk biaya jamuan dengan nama dan dalam bentuk apapun, kecuali disertai dengan daftar nominatif penerima manfaat dan nomor pokok wajib pajak (NPWP) penerima manfaat;
|
|||
l.
|
biaya pengembangan lingkungan dan masyarakat setempat pada masa eksploitasi;
|
|||
m.
|
biaya pelatihan teknis untuk tenaga kerja asing;
|
|||
n.
|
biaya terkait merger, akuisisi, atau biaya pengalihan participating interest;
|
|||
o.
|
biaya bunga atas pinjaman;
|
|||
p.
|
pajak penghasilan karyawan yang ditanggung kontraktor maupun dibayarkan sebagai tunjangan pajak dan pajak penghasilan yang wajib dipotong atau dipungut atas penghasilan pihak ketiga yang ditanggung kontraktor atau di-gross up;
|
|||
q.
|
pengadaan barang dan jasa serta kegiatan lainnya yang tidak sesuai dengan prinsip kewajaran dan kaidah keteknikan yang baik, atau yang melampaui nilai persetujuan otorisasi pengeluaran di atas 10% (sepuluh persen) dari nilai otorisasi pengeluaran;
|
|||
r.
|
surplus material yang berlebihan akibat kesalahan perencanaan dan pembelian;
|
|||
s.
|
nilai buku dan biaya pengoperasian aset yang telah digunakan yang tidak dapat beroperasi lagi akibat kelalaian kontraktor;
|
|||
t.
|
transaksi yang:
|
|||
|
1.
|
merugikan negara;
|
||
|
2.
|
tidak melalui proses tender sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan kecuali dalam hal tertentu; atau
|
||
|
3.
|
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
|
||
u.
|
bonus yang dibayarkan kepada Pemerintah;
|
|||
v.
|
biaya yang terjadi sebelum penandatanganan kontrak;
|
|||
w.
|
insentif interest recovery; dan
|
|||
x.
|
biaya audit komersial.
|
|||
|
||||
Pasal 14 |
||||
Dalam hal terdapat penghasilan tambahan yang diperoleh dalam rangka pelaksanaan operasi perminyakan dalam bentuk hasil penjualan produk sampingan atau bentuk lainnya diperlakukan sebagai pengurang biaya operasi.
|
||||
|
||||
Pasal 15 |
||||
(1)
|
Barang yang memiliki masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun dibebankan sebagai biaya operasi pada saat barang digunakan.
|
|||
(2)
|
Pembebanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara rata-rata atau dengan cara mendahulukan barang yang diperoleh pertama.
|
|||
|
||||
Pasal 16 |
||||
(1)
|
Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan dalam bagian yang menurun selama masa manfaat yang dihitung dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku dan pada akhir masa manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus.
|
|||
(2)
|
Penyusutan dimulai pada bulan harta tersebut digunakan (placed into service).
|
|||
(3)
|
Penghitungan penyusutan dilakukan sesuai kelompok, tarif, dan masa manfaat sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
|
|||
(4)
|
Dalam hal harta berwujud sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat digunakan lagi akibat kerusakan karena faktor alamiah atau keadaan kahar, jumlah nilai sisa buku harta berwujud tetap disusutkan sesuai dengan sisa masa manfaatnya.
|
|||
|
||||
Pasal 17 |
||||
(1)
|
Besarnya cadangan biaya penutupan dan pemulihan tambang yang dibebankan untuk 1 (satu) tahun pajak, dihitung berdasarkan estimasi biaya penutupan dan pemulihan tambang berdasarkan masa manfaat ekonomis.
|
|||
(2)
|
Cadangan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disimpan dalam rekening bersama antara Badan Pelaksana dan kontraktor di bank umum Pemerintah Indonesia di Indonesia.
|
|||
(3)
|
Dalam hal total realisasi biaya penutupan dan pemulihan tambang lebih kecil atau lebih besar dari jumlah yang dicadangkan, selisihnya menjadi pengurang atau penambah biaya operasi yang dapat dikembalikan dari masing-masing wilayah kerja atau lapangan yang bersangkutan, setelah mendapat persetujuan Kepala Badan Pelaksana.
|
|||
(4)
|
Ketentuan mengenai tata cara penggunaan dana cadangan biaya penutupan dan pemulihan tambang diatur dengan Peraturan Menteri.
|
|||
|
||||
Pasal 18 |
||||
(1)
|
Kontraktor dapat membebankan iuran pesangon bagi pegawai tetap yang dibayarkan kepada pengelola dana pesangon tenaga kerja yang ditetapkan Menteri Keuangan.
|
|||
(2)
|
Tata cara pengelolaan iuran pesangon dan besarnya pesangon diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
|
|||
|
||||
Pasal 19 |
||||
(1)
|
Seluruh biaya kerja, pembebanannya ditangguhkan sampai dengan adanya lapangan yang berproduksi secara komersial di wilayah kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1).
|
|||
(2)
|
Untuk pengamanan penerimaan negara, selain penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat mengambil kebijakan terkait pengembangan lapangan.
|
|||
|
||||
Pasal 20 |
||||
(1)
|
Biaya operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 yang dapat dikembalikan dalam 1 (satu) tahun kalender terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
biaya bukan modal tahun berjalan;
|
||
|
b.
|
penyusutan biaya modal tahun berjalan; dan
|
||
|
c.
|
biaya operasi yang belum dapat dikembalikan pada tahun-tahun sebelumnya.
|
||
(2)
|
Jumlah maksimum biaya operasi yang dapat dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kontrak jasa ditentukan sebesar imbalan yang diberikan oleh Pemerintah.
|
|||
(3)
|
Biaya operasi yang dapat dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang belum dapat diperhitungkan dalam 1 (satu) tahun kalender dapat diperhitungkan pada tahun berikutnya.
|
|||
(4)
|
Biaya langsung minyak bumi dibebankan pada produksi minyak bumi dan biaya langsung gas bumi dibebankan pada produksi gas bumi.
|
|||
(5)
|
Dalam hal terdapat biaya bersama minyak dan gas bumi, biaya bersama dialokasikan sesuai proporsi nilai relatif hasil produksi.
|
|||
(6)
|
Dalam hal suatu lapangan atau wilayah kerja telah menghasilkan satu jenis hasil produksi minyak bumi atau gas bumi, sementara jenis produksi yang lainnya belum menghasilkan, biaya bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dialokasikan secara adil berdasarkan kesepakatan antara Badan Pelaksana dan kontraktor.
|
|||
(7)
|
Pengembalian biaya operasi untuk minyak bumi dilakukan hanya terhadap lifting minyak bumi, sedangkan pengembalian biaya operasi untuk gas bumi dilakukan hanya terhadap nilai penjualan gas bumi.
|
|||
(8)
|
Dalam hal pengembalian biaya operasi minyak bumi atau gas bumi tidak mencukupi dari hasil produksinya atau nilai penjualannya, ditentukan:
|
|||
|
a.
|
biaya operasi gas bumi yang melebihi nilai produksinya, selisihnya dibebankan pada hasil produksi minyak bumi;
|
||
|
b.
|
biaya operasi minyak bumi yang melebihi nilai produksinya, selisihnya dibebankan pada nilai penjualan gas bumi.
|
||
|
||||
BAB III
PENGAKUAN DAN PENGUKURAN PENGHASILAN Pasal 21 |
||||
Penghasilan kontraktor untuk kontrak bagi hasil diakui pada titik penyerahan.
|
||||
|
||||
Pasal 22 |
||||
(1)
|
Penghasilan dari kontrak kerja sama dalam bentuk penjualan minyak bumi dinilai dengan menggunakan harga minyak mentah Indonesia.
|
|||
(2)
|
Metodologi dan formula dari harga minyak mentah Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan bersama oleh Menteri dan Menteri Keuangan.
|
|||
(3)
|
Ketentuan mengenai tata cara penetapan metodologi dan formula harga minyak mentah Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
|
|||
|
||||
Pasal 23 |
||||
(1)
|
Penghasilan dari kontrak kerja sama dalam bentuk kontrak penjualan gas bumi dihitung berdasarkan harga yang disepakati dalam kontrak penjualan gas bumi.
|
|||
(2)
|
Dalam hal penjualan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah gas bumi diperoleh melalui proses lebih lanjut yang disetujui Menteri, penghasilan yang diakui dihitung berdasarkan hasil penjualan yang diterima dikurangi komponen biaya penjualan.
|
|||
|
||||
BAB IV
PENGHITUNGAN BAGI HASIL Pasal 24 |
||||
(1)
|
Dalam hal tidak terdapat FTP dan insentif investasi, equity to be split dihitung berdasarkan lifting dikurangi biaya operasi yang dapat dikembalikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20.
|
|||
(2)
|
Dalam hal terdapat FTP tetapi tidak terdapat insentif investasi, equity to be split dihitung berdasarkan lifting dikurangi FTP dikurangi biaya operasi yang dapat dikembalikan.
|
|||
(3)
|
Dalam hal terdapat FTP dan insentif investasi, equity to be split dihitung berdasarkan lifting dikurangi FTP dikurangi insentif investasi dikurangi biaya operasi yang dapat dikembalikan.
|
|||
(4)
|
Dalam hal tidak terdapat FTP tetapi terdapat insentif investasi, equity to be split dihitung berdasarkan lifting dikurangi insentif investasi dikurangi biaya operasi yang dapat dikembalikan.
|
|||
(5)
|
Insentif investasi dan biaya operasi yang dapat dikembalikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dikonversi menjadi:
|
|||
|
a.
|
minyak bumi, dengan harga rata-rata harga minyak mentah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22; atau
|
||
|
b.
|
gas bumi, dengan harga yang disepakati dalam kontrak penjualan gas bumi.
|
||
(6)
|
Bagian kontraktor untuk kontrak kerja sama, dihitung berdasarkan persentase bagian kontraktor sebelum pajak penghasilan yang dinyatakan dalam kontrak kerja sama dikalikan dengan equity to be split.
|
|||
(7)
|
Bagian Pemerintah untuk kontrak kerja sama dihitung berdasarkan persentase bagian Pemerintah yang dinyatakan dalam kontrak kerja sama dikalikan dengan equity to be split yang di dalamnya belum termasuk pajak penghasilan yang terutang oleh kontraktor.
|
|||
(8)
|
Kontraktor wajib memenuhi kewajiban DMO dengan menyerahkan 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari produksi minyak bumi dan/atau gas bumi yang dihasilkannya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
|
|||
(9)
|
Kontraktor mendapat imbalan DMO atas penyerahan minyak bumi dan/atau gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dengan harga yang ditetapkan oleh Menteri.
|
|||
|
||||
BAB V
PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN Pasal 25 |
||||
(1)
|
Penghasilan kena pajak untuk 1 (satu) tahun pajak bagi kontraktor untuk kontrak bagi hasil, dihitung berdasarkan penghasilan dalam rangka kontrak bagi hasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dikurangi biaya bukan modal tahun berjalan dikurangi penyusutan biaya modal tahun berjalan dikurangi biaya operasi yang belum dapat dikembalikan pada tahun-tahun sebelumnya.
|
|||
(2)
|
Dalam hal jumlah pengurang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih besar dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), sisa kurangnya diperhitungkan pada tahun pajak berikutnya sampai dengan berakhirnya kontrak.
|
|||
(3)
|
Besarnya pajak penghasilan yang terutang bagi kontraktor, dihitung berdasarkan penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikalikan dengan tarif pajak yang ditentukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang pajak penghasilan.
|
|||
(4)
|
Besarnya pajak penghasilan yang terutang bagi kontraktor yang kontraknya ditandatangani sebelum berlakunya peraturan Pemerintah ini, dihitung berdasarkan tarif pajak perseroan atau pajak penghasilan pada saat kontrak ditandatangani.
|
|||
(5)
|
Atas penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah dikurangi pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), terutang pajak penghasilan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(6)
|
Dalam hal kontraktor berbentuk badan hukum Indonesia, penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah dikurangi pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diperlakukan sebagai deviden yang disediakan untuk dibayarkan dan terutang pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(7)
|
Atas pemenuhan kewajiban pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diterbitkan surat ketetapan pembayaran pajak penghasilan minyak bumi dan gas bumi setelah dilakukan pemeriksaan pajak.
|
|||
(8)
|
Sebelum surat ketetapan pembayaran pajak penghasilan minyak bumi dan gas bumi diterbitkan, dapat diterbitkan surat keterangan pembayaran pajak penghasilan minyak bumi dan gas bumi sementara.
|
|||
(9)
|
Ketentuan mengenai penerbitan surat ketetapan pembayaran pajak penghasilan minyak bumi dan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan surat keterangan pembayaran pajak penghasilan minyak bumi dan gas bumi sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
|
|||
(10)
|
Kontraktor dibebaskan dari pemungutan bea masuk dan pajak dalam rangka impor atas barang yang digunakan dalam operasi perminyakan pada kegiatan eksplorasi dan kegiatan eksploitasi.
|
|||
(11)
|
Ketentuan mengenai tata cara pembebasan bea masuk dan pemungutan pajak dalam rangka impor sebagaimana dimaksud pada ayat (10) diatur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
||||
Pasal 26 |
||||
(1)
|
Penghasilan kena pajak untuk 1 (satu) tahun pajak bagi kontraktor dalam rangka kontrak jasa, berdasarkan penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) dikurangi biaya bukan modal tahun berjalan dikurangi penyusutan biaya modal tahun berjalan dikurangi seluruh biaya operasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 yang belum dikembalikan.
|
|||
(2)
|
Ketentuan mengenai jumlah maksimum pengurang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah imbalan yang diberikan oleh Pemerintah kepada kontraktor diatur dengan Peraturan Menteri.
|
|||
(3)
|
Dalam hal jumlah pengurang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lebih besar dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), sisa kurangnya diperhitungkan pada tahun pajak berikutnya sampai dengan berakhirnya kontrak.
|
|||
(4)
|
Besarnya pajak penghasilan yang terutang bagi kontraktor berdasarkan penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikalikan dengan tarif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak penghasilan.
|
|||
(5)
|
Atas penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah dikurangi pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperlakukan sebagai deviden yang disediakan untuk dibayarkan dan terutang pajak penghasilan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
||||
BAB VI
PENGHASILAN DI LUAR KONTRAK KERJA SAMA Pasal 27 |
||||
(1)
|
Atas penghasilan lain kontraktor berupa uplift atau imbalan lain yang sejenis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) huruf a dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final dengan tarif 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto.
|
|||
(2)
|
Atas penghasilan kontraktor dari pengalihan participating interest sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) huruf b dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final dengan tarif:
|
|||
|
a.
|
5% (lima persen) dari jumlah bruto, untuk pengalihan participating interest selama masa eksplorasi; atau
|
||
|
b.
|
7% (tujuh persen) dari jumlah bruto, untuk pengalihan participating interest selama masa eksploitasi.
|
||
(3)
|
Pengenaan pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dikecualikan sepanjang untuk melakukan kewajiban pengalihan participating interest sesuai kontrak kerja sama kepada perusahaan nasional sebagaimana tertuang dalam kontrak kerja sama.
|
|||
(4)
|
Ketentuan mengenai tata cara pemotongan dan pembayaran atas pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
|
|||
|
||||
Pasal 28 |
||||
Dalam rangka membagi risiko dalam masa eksplorasi, pengalihan participating interest tidak termasuk penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4) huruf b apabila memenuhi kriteria:
|
||||
a.
|
tidak mengalihkan seluruh participating interest yang dimilikinya;
|
|||
b.
|
participating interest telah dimiliki lebih dari 3 (tiga) tahun;
|
|||
c.
|
di wilayah kerja telah dilakukan eksplorasi (telah ada pengeluaran investasi); dan
|
|||
d.
|
pengalihan participating interest tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan.
|
|||
|
||||
BAB VII
PEMBUKUAN KONTRAKTOR Pasal 29 |
||||
(1)
|
Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
|
|||
(2)
|
Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau bahasa asing setelah mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan.
|
|||
(3)
|
Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas, sesuai dengan pernyataan standar akuntansi keuangan, dan sesuai prinsip kontrak bagi hasil.
|
|||
(4)
|
Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
|
|||
(5)
|
Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi online wajib disediakan di Indonesia selama biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 belum dikembalikan.
|
|||
|
||||
Pasal 30 |
||||
(1)
|
Untuk perhitungan pajak, Direktorat Jenderal Pajak menetapkan besarnya biaya pada tahapan eksplorasi setiap tahunnya di bidang usaha hulu minyak bumi dan gas bumi setelah mendapat rekomendasi dari Badan Pelaksana.
|
|||
(2)
|
Sebelum menetapkan besarnya biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), auditor Pemerintah atas nama Direktorat Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan.
|
|||
(3)
|
Dalam hal besaran biaya yang direkomendasikan Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbeda dengan besaran biaya hasil pemeriksaan auditor Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), auditor Pemerintah dan Badan Pelaksana wajib menyelesaikan perbedaan tersebut.
|
|||
|
||||
BAB VIII
KEWAJIBAN KONTRAKTOR DAN/ATAU OPERATOR Pasal 31 |
||||
(1)
|
Setiap kontraktor pada suatu wilayah kerja wajib:
|
|||
|
a.
|
mendaftarkan diri untuk memperoleh nomor pokok wajib pajak;
|
||
|
b.
|
melaksanakan pembukuan;
|
||
|
c.
|
menyampaikan surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan (SPT Tahunan PPh);
|
||
|
d.
|
membayar angsuran pajak dalam tahun berjalan untuk setiap bulan paling lambat pada tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya, dan dihitung atas penghasilan kena pajak dari lifting yang sebenarnya terjadi dalam suatu bulan takwim;
|
||
|
e.
|
memenuhi ketentuan lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
||
(2)
|
Dalam hal terjadi pengalihan participating interest atau pengalihan saham, kontraktor wajib melaporkan nilainya kepada Direktur Jenderal Pajak.
|
|||
(3)
|
Dalam hal pengalihan participating interest, hak dan kewajiban perpajakan beralih kepada kontraktor yang baru.
|
|||
(4)
|
Bentuk dan isi SPT Tahunan PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
|
|||
|
||||
Pasal 32 |
||||
(1)
|
Setiap operator pada suatu wilayah kerja wajib:
|
|||
|
a.
|
mendaftarkan kontrak kerja sama untuk memperoleh nomor pokok wajib pajak yang berbeda dengan nomor pokok wajib pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf a;
|
||
|
b.
|
melakukan pemenuhan kewajiban pemotongan dan/atau pemungutan pajak;
|
||
|
c.
|
menyelenggarakan pembukuan untuk kegiatan operasi perminyakan untuk wilayah kerja yang bersangkutan.
|
||
(2)
|
Dalam hal terjadi pergantian operator, kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beralih kepada operator yang baru.
|
|||
|
||||
Pasal 33 |
||||
(1)
|
Minyak bumi dan/atau gas bumi bagian pemerintah dari kontrak bagi hasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dihitung berdasarkan volume minyak bumi dan/atau gas bumi.
|
|||
(2)
|
Dalam hal Pemerintah membutuhkan minyak bumi dan/atau gas bumi untuk keperluan pemenuhan kebutuhan dalam negeri, pajak penghasilan kontraktor dari kontrak bagi hasil, dapat berupa volume minyak bumi dan/atau gas bumi dari bagian kontraktor.
|
|||
(3)
|
Ketentuan mengenai perhitungan dan tata cara penyerahan bagian Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
|
|||
(4)
|
Ketentuan mengenai perhitungan dan tata cara pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
|
|||
|
||||
BAB IX
KEWAJIBAN BADAN PELAKSANA Pasal 34 |
||||
(1)
|
Badan Pelaksana wajib menerbitkan standar atau norma, jenis, kategori, dan besaran biaya yang digunakan pada kegiatan operasi perminyakan bersamaan dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini.
|
|||
(2)
|
Badan Pelaksana wajib menyampaikan laporan pembukuan mengenai pelaksanaan pengembalian biaya operasi kepada Direktur Jenderal Pajak dan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi secara periodik setiap tahun dan sewaktu-waktu apabila diperlukan.
|
|||
|
||||
BAB X
KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 35 |
||||
(1)
|
Kontraktor harus melakukan transaksinya di Indonesia dan menyelesaikan pembayarannya melalui sistem perbankan di Indonesia.
|
|||
(2)
|
Transaksi dan penyelesaian pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di luar Indonesia setelah mendapat persetujuan Menteri Keuangan.
|
|||
|
||||
Pasal 36 |
||||
(1)
|
Menteri Keuangan dalam keadaan tertentu dapat menunjuk pihak ketiga yang independen untuk melakukan verifikasi finansial dan teknis setelah berkoordinasi dengan Menteri.
|
|||
(2)
|
Penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan barang dan jasa.
|
|||
|
||||
Pasal 37 |
||||
Dalam hal terjadi perubahan bentuk hukum dan/atau perubahan status domisili dan/atau pengalihan participating interest atau kepemilikan saham dan/atau hal lain dari kontraktor yang mengakibatkan perubahan perhitungan pajak penghasilan, besaran bagian penerimaan negara harus tetap.
|
||||
|
||||
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN Pasal 38 |
||||
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
|
||||
a.
|
Kontrak kerja sama yang telah ditandatangani sebelum Peraturan Pemerintah ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan tanggal berakhirnya kontrak yang bersangkutan.
|
|||
b.
|
Hal-hal yang belum diatur atau belum cukup diatur secara tegas dalam kontrak kerja sama sebagaimana dimaksud pada huruf a untuk ketentuan mengenai:
|
|||
|
1.
|
besaran bagian penerimaan negara;
|
||
|
2.
|
persyaratan biaya operasi yang dapat dikembalikan dan norma pembebanan biaya operasi;
|
||
|
3.
|
biaya operasi yang tidak dapat dikembalikan;
|
||
|
4.
|
penunjukan pihak ketiga yang independen untuk melakukan verifikasi finansial dan teknis;
|
||
|
5.
|
penerbitan surat ketetapan pajak penghasilan;
|
||
|
6.
|
pembebasan bea masuk dan pajak dalam rangka impor atas barang pada kegiatan eksplorasi dan kegiatan eksploitasi;
|
||
|
7.
|
pajak penghasilan kontraktor berupa volume minyak bumi dan/atau gas bumi dari bagian kontraktor; dan
|
||
|
8.
|
penghasilan di luar kontrak kerja sama berupa uplift dan/atau pengalihan participating interest,
|
||
|
dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan wajib menyesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini.
|
|||
|
||||
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP Pasal 39 |
||||
Kontrak kerja sama dalam kegiatan usaha hulu minyak bumi dan gas bumi yang dibuat atau diperpanjang setelah berlakunya Peraturan Pemerintah ini wajib mematuhi ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
|
||||
|
||||
Pasal 40 |
||||
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
|
||||
|
||||
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
|
||||
|
|
|
||
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 Desember 2010 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 20 Desember 2010 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd.
PATRIALIS AKBAR
|
||||
|
||||
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 139
|
||||
|
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 79 TAHUN 2010
TENTANG
BIAYA OPERASI YANG DAPAT DIKEMBALIKAN DAN PERLAKUAN PAJAK PENGHASILAN DI BIDANG USAHA HULU MINYAK DAN GAS BUMI
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
I.
|
UMUM
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara termasuk minyak dan gas bumi yang merupakan sumber daya alam strategis yang tak dapat diperbaharui. Mengingat minyak dan gas bumi merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang penting, maka pengelolaannya perlu dilakukan secara efisien dan seoptimal mungkin agar dapat dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Pengelolaan minyak dan gas bumi sampai saat ini dilakukan melalui sistem kontrak bagi hasil yang juga dianut oleh kebanyakan negara produsen minyak.
Peraturan Pemerintah ini lebih menjamin penerimaan negara yang berasal dari penghasilan kontrak bagi hasil atau penghasilan lainnya menjadi lebih optimal, antara lain melalui:
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
a.
|
biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto akan sama dengan biaya yang dapat dikembalikan oleh Pemerintah;
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
b.
|
jenis, syarat, metode alokasi, dan batasan jumlah dari biaya tersebut akan diatur secara seksama agar penerimaan negara lebih optimal dan agar tercipta kepastian hukum;
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
c.
|
pajak-pajak tidak langsung seperti pajak pertambahan nilai (PPN), bea masuk, pajak bumi dan bangunan (PBB), pajak daerah dan retribusi daerah yang selama ini menjadi beban Pemerintah diubah sehingga menjadi beban bersama Pemerintah dan kontraktor dengan cara membukukan pembayaran pajak tidak langsung tersebut sebagai komponen biaya;
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
d.
|
kontraktor diwajibkan membayar sendiri pajak penghasilan yang terutang atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar skema kontrak kerja sama.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B).
Dalam rangka optimalisasi penerimaan negara dari kontrak-kontrak yang sudah ada, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2008 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2009 mengamanatkan Pemerintah untuk menerbitkan peraturan yang mengatur mengenai Pengembalian Biaya Operasi yang telah dikeluarkan kontraktor dalam rangka kontrak kerja sama. Untuk itu, ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini juga berlaku terhadap kontrak kerja sama yang telah ditandatangani sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dengan beberapa ketentuan peralihan.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
II.
|
PASAL DEMI PASAL
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Dalam hal kontrak kerja sama di bidang usaha hulu minyak dan gas bumi, Pemerintah menyediakan sumber daya alamnya sedangkan kontraktor wajib membawa modal dan teknologi. Konsekuensinya bahwa kontraktor tidak diperkenankan membebankan biaya bunga maupun biaya royalti dan sejenisnya ke dalam biaya operasi yang dapat dikembalikan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Pada dasarnya seluruh pengeluaran atas barang dan peralatan yang dibeli oleh kontraktor merupakan milik negara, sehingga pengeluaran tersebut merupakan biaya operasi yang dapat dikembalikan oleh Pemerintah kepada kontraktor berdasarkan harga perolehan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kaidah praktek bisnis yang baik meliputi kaidah praktek bisnis yang umum berlaku dan wajar sesuai dengan etika bisnis, sedangkan kaidah keteknikan yang baik meliputi:
Ayat (2)
Huruf a
Pengeluaran rutin antara lain pembayaran gaji, biaya pemeliharaan, dan biaya pasca operasi pertambangan.
Huruf b
Pengeluaran proyek antara lain pembangunan fasilitas produksi dan kegiatan survei seismik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 6
Otorisasi pembelanjaan finansial adalah authorization for expenditure (AFE).
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan varian harga atas lifting adalah selisih harga yang terjadi karena perbedaan harga minyak mentah Indonesia bulanan dengan harga minyak mentah Indonesia rata-rata tertimbang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pengembangan wilayah kerja dalam ketentuan ini meliputi ekstensifikasi dan intensifikasi.
Pasal 11
Biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan adalah sama dengan biaya yang akan dikembalikan oleh Pemerintah kepada kontraktor dalam rangka kontrak kerja sama, demikian pula sebaliknya. Prinsip ini biasa dikenal dengan nama uniformity principle.
Biaya operasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan biaya yang menjadi dasar dalam penghitungan bagi hasil dan penghitungan Penghasilan Kena Pajak.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang termasuk biaya penyusutan antara lain berupa:
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Termasuk dalam biaya pemindahan gas dari titik produksi ke titik penyerahan adalah biaya untuk pemasaran.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan disebut biaya sehari-hari yang boleh dibebankan pada tahun pengeluaran. Untuk dapat dibebankan sebagai biaya, pengeluaran tersebut harus mempunyai hubungan baik langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dengan kegiatan operasi perminyakan di lapangan yang berproduksi secara komersial di wilayah kerja yang bersangkutan di Indonesia.
Dengan demikian, pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bukan objek pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak penghasilan dan/atau untuk penghasilan yang dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final, tidak boleh dibebankan sebagai biaya yang dapat dikembalikan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “biaya langsung kantor pusat yang dibebankan ke proyek” adalah biaya yang terkait langsung dengan kegiatan operasi perminyakan di Indonesia dengan syarat:
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (3)
Peraturan Menteri Keuangan paling sedikit mengatur mengenai waktu pemberlakuan remunerasi.
Pasal 13
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Harta yang dihibahkan tidak boleh dibebankan sebagai biaya karena harta tersebut merupakan milik negara.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Biaya yang terkait dengan merger dan akuisisi antara lain:
Huruf o
Yang dimaksud dengan “bunga atas pinjaman” adalah bunga atas pinjaman untuk membiayai operasi perminyakan.
Huruf p
Cukup jelas.
Huruf q
Cukup jelas.
Huruf r
Yang dimaksud dengan “kesalahan perencanaan” adalah perbuatan kontraktor dalam menyusun rencana yang dapat dikategorikan sebagai kelalaian berat atau perbuatan salah yang disengaja. Pengertian kelalaian berat atau perbuatan salah yang disengaja adalah setiap tindakan yang disengaja atau kecerobohan yang dilakukan oleh manajemen atau pejabat senior dari kontraktor yang:
Huruf s
Yang dimaksud dengan “kelalaian kontraktor” adalah kelalaian berat (gross negligence) atau perbuatan salah yang disengaja (willful misconduct).
Sebagian biaya konstruksi fasilitas produksi/peralatan yang tidak dapat dibebankan menjadi biaya operasi yang tidak dapat dikembalikan dalam hal:
Huruf t
Angka 1
Yang dimaksud dengan “transaksi yang merugikan negara” adalah transaksi yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sehingga menimbulkan kerugian bagi negara seperti pengadaan barang dan jasa yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan dan lain-lain.
Angka 2
Yang dimaksud dengan tidak melalui proses tender dalam ketentuan ini adalah seluruh pengadaan barang dan jasa wajib melalui proses tender sesuai kebutuhan yang berlaku, namun untuk pengadaan barang dan jasa untuk keperluan darurat dapat tidak melalui proses tender.
Angka 3
Cukup jelas.
Huruf u
Cukup jelas.
Huruf v
Cukup jelas.
Huruf w
Cukup jelas.
Huruf x
Dalam hal adanya kepentingan nasional yang mendesak, antara lain kelangsungan produksi, percepatan peningkatan produksi minyak dan/atau gas bumi yang memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi negara, dapat dilakukan pengecualian terhadap ketentuan ini.
Pasal 14
Yang dimaksud dengan penghasilan tambahan yang berasal dari hasil penjualan produk sampingan antara lain penjualan belerang dan penjualan kapasitas lebih dari tenaga listrik.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “placed into service” adalah saat dimulainya suatu harta berwujud digunakan dan telah memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh Badan Pelaksana.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 17
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “tahun pajak” adalah tahun kalender.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kebijakan” adalah antara lain dalam rangka pengembalian biaya yang didasarkan atas keekonomian lapangan atau beberapa lapangan dalam usulan satu rencana pengembangan lapangan (POD basis) atau pengembangan lapangan yang didasarkan atas keekonomian dalam satu lapangan (field basis) atau pengembangan lapangan yang didasarkan atas keekonomian satu sumur atau beberapa sumur dengan tidak membangun fasilitas produksi sendiri (put on production).
Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “biaya operasi yang belum dapat dikembalikan pada tahun-tahun sebelumnya” adalah bagian dari saldo biaya operasi yang belum dapat dikembalikan pada awal tahun, sehingga dapat dikembalikan pada tahun berjalan sesuai dengan pola bagi hasil.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 21
Yang dimaksud dengan “titik penyerahan” adalah titik terjadinya pengalihan hak kepemilikan (transfer of title) minyak bumi dan/atau gas bumi dari Pemerintah kepada kontraktor.
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “harga minyak mentah Indonesia” adalah harga minyak mentah yang ditetapkan oleh Menteri secara periodik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “komponen biaya penjualan” adalah biaya yang berkaitan dengan kegiatan pemrosesan lebih lanjut gas sampai dengan penjualannya antara lain biaya pinjaman pembangunan kilang, biaya operasi kilang, transportasi, dan biaya pemasaran.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “tarif pajak” sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini adalah pemberlakuan tarif pajak sesuai besaran tarif pajak yang dipilih oleh kontraktor yaitu tarif pajak yang berlaku pada saat kontrak kerja sama ditandatangani atau tarif pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku dan dapat berubah setiap saat.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan “surat ketetapan pembayaran pajak penghasilan minyak bumi dan gas bumi” adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak setelah dilakukan pemeriksaan.
Ayat (8)
Yang dimaksud dengan “surat ketetapan pembayaran pajak penghasilan minyak bumi dan gas bumi sementara” adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak sebelum dilakukan pemeriksaan yang kegunaannya antara lain untuk kepentingan internal manajemen kantor pusat.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Participating interest dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Jika interest pada suatu wilayah kerja dimiliki oleh kontraktor A, kontraktor B, dan kontraktor C kemudian interest kontraktor A dialihkan kepada kontraktor D, maka kewajiban perpajakan atas interest tersebut menjadi kewajiban kontraktor D sejak pengalihan interest tersebut berlaku efektif.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Huruf a
Jika kontraktor A telah menandatangani kontrak kerja sama minyak dan gas bumi dengan Pemerintah pada wilayah kerja X, maka kontraktor A yang juga bertindak selaku operator wajib mendaftarkan wilayah kerja tersebut untuk memperoleh NPWP yang berbeda dengan NPWP kontraktor itu sendiri.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Jika kontraktor B menjadi operator menggantikan kontraktor A, maka kewajiban beralih kepada kontraktor B sejak pengalihan operator tersebut berlaku efektif.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “standar atau norma, jenis, kategori, dan besaran biaya” adalah suatu ukuran baik kualitatif dan/atau kuantitatif yang merupakan suatu rentang nilai yang mewakili kondisi keteknikan dan kewajaran unsur biaya barang dan jasa yang digunakan sebagai pembanding dalam proses persetujuan rencana kerja dan anggaran serta otorisasi pembelanjaan finansial.
Pembebanan biaya operasi didasarkan pada realisasi biaya yang dikeluarkan berdasarkan proses pengadaan barang dan jasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Standar atau norma, jenis, kategori, dan besaran biaya tersebut akan dievaluasi sesuai dengan keperluan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” adalah musibah karena alam yang menimbulkan potensi kerugian negara berupa penurunan penerimaan dan/atau kerugian pada aset negara pada kegiatan eksplorasi dan/atau eksploitasi minyak bumi dan/atau gas bumi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 37
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjaga besaran penerimaan negara (jumlah pajak dan penerimaan negara bukan pajak) tidak mengalami perubahan sesuai dengan besaran penerimaan negara sebagaimana tercantum dalam kontrak kerja sama.
Pasal 38
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5173
|