Quick Guide
Hide Quick Guide
    Aktifkan Mode Highlight
    Premium
    File Lampiran
    Peraturan Terkait
    IDN
    ENG
    Fitur Terjemahan
    Premium
    Terjemahan Dokumen
    Ini Belum Tersedia
    Bagikan
    Tambahkan ke My Favorites
    Download as PDF
    Download Document
    Premium
    Status : Sudah tidak berlaku karena diganti/dicabut

    PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
    NOMOR 6 TAHUN 1974

     
    TENTANG
     
    PEMBATASAN KEGIATAN PEGAWAI NEGERI DALAM USAHA SWASTA

    PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
     

    Menimbang

    bahwa dalam rangka lebih meningkatkan daya guna Pegawai Negeri untuk menyelenggarakan tugas-tugas umum pemerintahan maupun tugas-tugas pembangunan, dipandang perlu untuk membatasi kegiatan Pegawai Negeri dalam usaha-usaha Swasta.
     

    Mengingat

    1.
    Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
    2.
    Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 263, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2312).
     
    MEMUTUSKAN:

    Menetapkan

    PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBATASAN KEGIATAN PEGAWAI NEGERI DALAM USAHA SWASTA.
     
    BAB I
    KETENTUAN UMUM
     

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
    a.
    "Pegawai Negeri adalah:
     
    1.
    Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 263, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2312), yakni:
     
     
    -
    Pegawai Negeri Sipil Pusat;
     
     
    -
    Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia;
     
     
    -
    Pegawai Negeri Sipil yang diperbantukan/dipekerjakan pada Daerah Otonom atau Instansi lain;
     
     
    -
    Pegawai Daerah Otonom;
     
     
    -
    Pegawai Perusahaan Jawatan (PERJAN);
     
     
    -
    Pegawai Perusahaan Umum (PERUM);
     
     
    -
    Pegawai badan usaha milik Negara yang dibentuk dengan Undang-Undang;
     
     
    -
    Pegawai Bank milik Negara.
     
    2.
    Yang dipersamakan dengan Pegawai Negeri, yakni:
     
     
    -
    Pegawai Perusahaan Perseroan (PERSERO);
     
     
    -
    Pegawai Perseroan Terbatas (PT) Milik Negara yang belum digolongkan ke dalam salah satu Usaha Negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1969 (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 16; Tambahan Lembaran Negara Nomor 2890) tentang Bentuk-bentuk Usaha Negara menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 40; Tambahan Lembaran Negara Nomor 2904);
     
     
    -
    Pegawai Perusahaan Daerah;
    b.
    "Penjabat" adalah Pegawai Negeri dan Penjabat bukan Pegawai Negeri yang:
     
    1.
    Di tingkat Pusat menduduki jabatan Eselon III ke atas;
     
    2.
    Di tingkat Daerah menduduki jabatan:
     
     
    -
    Camat dan Mantri Pagar Praja;
     
     
    -
    Di tingkat Kabupaten/Kotamadya: Bupati/Walikota dan jabatan Eselon II ke atas, baik dari Jawatan Otonom maupun Jawatan Pusat:
     
     
    -
    Di tingkat Propinsi: Gubernur dan jabatan Eselon II ke atas, baik dari jawatan Otonom maupun Jawatan Pusat.
     
    3.
    Di lingkungan PERJAN, PERUM, PERSERO, Perusahaan milik Negara, Badan Usaha milik Negara yang dibentuk dengan Undang-Undang, Bank milik Negara dan Perusahaan Daerah, Bank milik Negara dan Perusahaan Daerah, menduduki jabatan yang tingkatnya ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri bersangkutan yang membawahinya;
    c.
    "Penjabat Yang Berwenang" adalah Penjabat yang berhak mengangkat dan memberhentikan Pegawai Negeri menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;
    d.
    "Perusahaan Swasta" adalah badan usaha atau badan hukum yang bergerak di bidang usaha yang didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bukan milik Negara;
    e.
    "Kegiatan Usaha Dagang" adalah kegiatan membeli dan menjual kembali barang dan atau jasa dengan tujuan mencari keuntungan serta tidak berbentuk "Perusahaan Swasta", termasuk menjadi perantara dari kegiatan tersebut.
     
     
    BAB II
    PEMBATASAN BERUSAHA
     

    Pasal 2

    (1)
    Pegawai Negeri Sipil golongan ruang IV/a PGPS-1968 keatas, anggota ABRI berpangkat Letnan II ke atas, Penjabat, serta isteri dari:
     
    -
    penjabat Eselon I dan yang setingkat baik di Pusat maupun di Daerah;
     
    -
    Perwira Tinggi ABRI;
     
    -
    penjabat-penjabat lain yang ditetapkan oleh Menteri/Kepala Lembaga yang bersangkutan;
     
    dilarang:
     
    a.
    memiliki seluruh atau sebagian Perusahaan Swasta;
     
    b.
    memimpin, duduk sebagai anggota pengurus atau pengawas suatu perusahaan Swasta;
     
    c.
    melakukan kegiatan usaha dagang, baik secara resmi maupun sambilan.
    (2)
    Larangan tersebut ayat (1) Pasal ini tidak berlaku untuk:
     
    a.
    pemilikan saham suatu perusahaan sepanjang jumlah dan sifat pemilikan itu tidak sedemikian rupa, sehingga melalui pemilikan saham tersebut dapat langsung atau tidak langsung menentukan penyelenggaraan atau jalannya perusahaan;
     
    b.
    melakukan pekerjaan Swasta yang mempunyai fungsi Sosial ialah:
     
     
    -
    praktek Dokter, Bidan;
     
     
    -
    mengajar sebagai Guru;
     
     
    -
    lain-lain pekerjaan yang serupa yang ditetapkan oleh Presiden.
     
    c.
    isteri yang menerima pekerjaan atau bekerja sebagai pegawai pada Swasta atau perusahaan milik Negara yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan/jabatan suaminya;
     
    d.
    hal-hal khusus dengan izin Presiden.
     
    Untuk melakukan kegiatan tersebut ad-b dan c ayat (2) ini, yang bersangkutan harus mendapatkan izin tertulis dari Penjabat Yang Berwenang.
    (3)
    Pegawai Negeri Sipil golongan ruang IIl/d PGPS-1968 ke bawah, anggota ABRI berpangkat Pembantu Letnan I ke bawah serta isteri dari Pegawai Negeri, anggota ABRI dan penjabat yang tidak termasuk ketentuan tersebut ayat (1) Pasal ini, wajib mendapat izin tertulis dari Penjabat Yang Berwenang apabila memiliki Perusahaan Swasta atau melakukan kegiatan seperti tersebut dalam ayat (1) ad b dan c Pasal ini.
     
     

    Pasal 3

    (1)
    Pegawai Negeri Sipil dan anggota ABRI serta Penjabat hanya dapat bekerja pada Perusahaan milik Negara atau Perusahaan Swasta milik Instansi resmi yang mempunyai tujuan serta fungsi sosial baik sebagai pemimpin, pengurus, pengawas atau pegawai biasa, atas dasar penugasan dari Penjabat Yang Berwenang dan diangkat berdasarkan peraturan yang berlaku.
    (2)
    Penugasan dalam Perusahaan tersebut ayat (1) Pasal ini tidak dibenarkan untuk dirangkap dengan jabatan di Pemerintahan, kecuali untuk penugasan sebagai Pengawas dalam Perusahaan.
     
     
    BAB III
    PEMBATASAN DUDUK DALAM USAHA SOSIAL
     

    Pasal 4

    (1)
    Pegawai Negeri Sipil golongan ruang IV/a PGPS-1968 ke atas, anggota ABRI berpangkat Letnan II ke atas dan Penjabat dilarang duduk sebagai Pengurus, Penasehat atau Pelindung dalam Badan Sosial, apabila untuk itu ia menerima upah/gaji/honorarium atau keuntungan materiil/finansiil lainnya.
    (2)
    Pegawai Negeri Sipil, anggota ABRI dan Penjabat tersebut pada ayat (1) pasal ini yang duduk dalam Badan Sosial tanpa menerima upah/gaji/honorarium atau keuntungan materiil/finansiil lainnya, harus memperoleh izin tertulis dari Penjabat yang Berwenang.
    (3)
    Isteri dari mereka yang tersebut pada ayat (1) pasal ini, yang duduk sebagai Pengurus, Penasehat atau Pelindung dalam Badan Sosial, harus memperoleh persetujuan dari Penjabat Yang Berwenang pada Departemen/Lembaga Negara/Instansi tempat bekerja suaminya apabila untuk itu ia menerima upah/gaji/honorarium atau keuntungan materiil/finansiil lainnya.
    (4)
    Pegawai Negeri Sipil golongan ruang III/d PGPS-1968 ke bawah, dan anggota ABRI berpangkat Pembantu Letnan I ke bawah harus memperoleh izin dari Penjabat Yang Berwenang apabila duduk sebagai Pengurus, Penasehat atau Pelindung dalam Badan Sosial serta apabila untuk itu ia menerima upah/gaji/honorarium atau keuntungan materiil/finansiil lainnya.
     

    Pasal 5

    (1)
    Penjabat Yang Berwenang dapat menolak permintaan izin atau persetujuan yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) ad b dan c, Pasal 2 ayat (3) dan Pasal 4 Peraturan Pemerintah ini, apabila pemberian izin atau persetujuan itu akan mengakibatkan ketidaklancaran pelaksanaan tugas dari yang bersangkutan, atau dapat merusak nama baik instansinya.
    (2)
    Izin atau persetujuan diberikan untuk suatu jangka waktu selama-lamanya dua tahun, yang dapat diperpanjang setiap kali untuk dua tahun. 
     
    Izin atau persetujuan tersebut dapat dicabut, apabila pemberian izin itu, ternyata mengakibatkan hambatan-hambatan pelaksanaan tugas yang bersangkutan di instansinya.
     
     
    BAB IV
    SANKSI
     

    Pasal 6

    (1)
    Terhadap Pegawai Negeri Sipil, anggota ABRI atau Penjabat yang melanggar ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah ini, diambil tindakan dan hukuman berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
    (2)
    Setiap Pimpinan dari instansi sipil atau ABRI berkewajiban mengambil langkah-langkah untuk menjamin pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini, dan mengambil tindakan berdasarkan wewenangnya atas pelanggaran yang dilakukan oleh anggotanya.
    (3)
    Terhadap Pimpinan dari instansi yang tidak melakukan kewajibannya seperti yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini, diambil tindakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
     
     
    BAB V
    KETENTUAN PERALIHAN
     

    Pasal 7

    (1)
    Mereka yang tersebut pada ayat (1) Pasal 2 Peraturan Pemerintah ini yang pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini melakukan usaha atau hal seperti yang disebutkan pada ayat (1) pasal 2 Peraturan Pemerintah ini, harus menghentikan segala kegiatannya atau mengalihkan kepada pihak ketiga serta melaporkan penghentian kegiatan atau pengalihan tersebut kepada Penjabat Yang Berwenang, selambat-lambatnya pada tanggal 17 Agustus 1974.
    (2)
    Mereka yang tersebut pada ayat (3) pasal 2 Peraturan Pemerintah ini yang pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini yang pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini melakukan usaha atau hal seperti yang disebutkan pada ayat (3) pasal 2 Peraturan Pemerintah ini wajib meminta izin dari Penjabat Yang Berwenang dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
    (3)
    Apabila mereka yang tersebut dalam ayat (2) Pasal ini, tidak mendapat izin yang diperlukan untuk itu dari Penjabat Yang Berwenang, maka ia harus menghentikan kegiatan dan mengalihkannya kepada pihak ketiga serta melaporkannya selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah ditolaknya permintaan izin.
     
     
    BAB VI
    KETENTUAN PENUTUP
     

    Pasal 8

    Ketentuan-ketentuan pembatasan seperti dimaksud dalam Pasal 2, 3 dan 4 Peraturan Pemerintah ini tidak berlaku bagi Pegawai Negeri dan anggota ABRI bukan Penjabat yang berbeda dalam keadaan:
    a.
    masa persiapan pensiun/sedang menjalankan cuti besar menjelang pensiun;
    b.
    diberhentikan sementara;
    c.
    menerima uang tunggu.
     
     

    Pasal 9

    Dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah ini maka Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1952 tentang Penghasilan dan Usaha Pegawai Negeri dalam Lapangan Partikulir (Lembaran Negara Tahun 1952 Nomor 17; Tambahan Lembaran Negara Nomor 203) jo. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1956 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1952 mengenai Penghasilan dan Usaha Pegawai Negeri dalam lapangan Partikulir (Lembaran Negara Tahun 1956 Nomor 17; Tambahan Lembaran Negara Nomor 962), dinyatakan tidak berlaku lagi.
     

    Pasal 10

    Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkannya.
     
    Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
     
    Ditetapkan di Jakarta
    Pada tanggal 5 Maret 1974
    PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
    ttd.
    SOEHARTO
    JENDERAL TNI.
     
    Diundangkan di Jakarta
    Pada tanggal 5 Maret 1974
    MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
    ttd.
    SUDHARMONO, S.H.
     
    LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1974 NOMOR 8
     

    PENJELASAN

    ATAS
     
    PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
    NOMOR 6 TAHUN 1974
     
    TENTANG
     
    PEMBATASAN KEGIATAN PEGAWAI NEGERI DALAM USAHA SWASTA
     
    PENJELASAN UMUM
    Untuk melaksanakan tugas-tugas dalam proses Pembangunan Nasional, maka sangat diperlukan adanya aparatur Negara baik di tingkat Pusat maupun tingkat Daerah serta aparatur ekonomi negara yang berwibawa, bersih, efektif dan efisien. Untuk itu setiap Penjabat, Pegawai Negeri dan anggota ABRI mempunyai peranan yang menentukan. Selain mereka itu disyaratkan untuk memiliki kecakapan teknis, setiap Pegawai Negeri, anggota ABRI dan Penjabat harus juga mempunyai sikap mental yang bersih dan jujur serta penuh rasa pengabdian kepada kepentingan Rakyat, Negara dan Bangsa.
     
    Pemerintah selama ini telah mengusahakan terciptanya aparatur Negara yang demikian itu dengan berbagai kebijaksanaan, seperti penyederhanaan organisasi dan prosedur kerja, peningkatan latihan-latihan dan peningkatan penghasilan secara bertahap sesuai dengan kemampuan keuangan negara.
     
    Menghadapi pelaksanaan REPELITA II ini Pemerintah juga akan memberikan perhatian yang lebih besar pada mutu dan kemampuan aparatur Negara, terutama para penjabat, Pegawai Negeri dan anggota ABRI. Dalam rangka usaha itu Pemerintah memandang perlu untuk membatasi kegiatan para Pegawai Negeri dalam kegiatan-kegiatan mereka yang berhubungan dengan usaha-usaha swasta, dengan tujuan agar seluruh perhatian dan kemampuan mereka benar-benar dicurahkan pada pelaksanaan tugas-tugasnya masing-masing serta tidak akan menimbulkan pandangan atau perkiraan yang mengurangi keutuhan dan kewibawaan tindakan-tindakan Penjabat, Pegawai Negeri atau anggota ABRI.
     
    Pembatasan kegiatan dibidang usaha swasta itu juga dikenakan bagi isteri Penjabat, Pegawai Negeri dan anggota ABRI untuk mencegah atau menghindari kemungkinan timbulnya penggunaan atau penyalahgunaan kedudukan/jabatan suami untuk kepentingan usaha isterinya.
     
    Berhubung dengan perbedaan tingkat serta luasnya tanggung jawab dari seseorang Pejabat, Pegawai Negeri atau anggota ABRI maka pembatasan-pembatasan ini juga berbeda intensitasnya bagi Penjabat, Pegawai Negeri dan anggota ABRI yang mempunyai kedudukan tingkat tertentu dibandingkan dengan mereka yang tingkatnya lebih rendah. Oleh karena itu maka pangkat Pegawai Negeri/anggota ABRI dengan golongan IV/a keatas/Letnan 11 keatas misalnya dilarang untuk memiliki perusahaan dan sebagainya, sedangkan untuk Pegawai Negeri/anggota ABRI dengan golongan III/d ke bawah/pangkat Pembantu Letnan I ke bawah dimungkinkan memiliki perusahaan asalkan memperoleh izin dari Penjabat Yang Berwenang.
     
    PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
    Pasal 1
    Huruf a.
    Cukup jelas.
    Huruf b.
    Yang dimaksud dengan Eselon III adalah Kepala Bagian, Kepala Dinas atau yang setingkat dari Departemen dan Lembaga Pemerintah Non Departemen.
     
    Yang dimaksud dengan jabatan:
    -
    Eselon II ditingkat Kabupaten/Kotamadya mencakup jabatan-jabatan: Kepala Sub Direktorat, Kepala Bagian, Kepala Sub Inspektorat Daerah, Sekretaris Daerah, Wedana dan jabatan-jabatan yang setingkat.
    -
    Eselon II di tingkat Propinsi mencakup jabatan-jabatan Sekretaris Daerah, Asisten Sekretaris Daerah, Kepala Direktorat, Kepala Inspektorat Daerah, Kepala Biro, Kepala Kelompok Ahli, Residen dan jabatan-jabatan yang setingkat.
    Huruf c.
    Cukup jelas.
    Huruf d.
    Cukup jelas.
    Huruf e.
    Cukup jelas.
    Pasal 2
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a.
    Pegawai Negeri atau Penjabat tidak berkewajiban melaporkan pemilikan saham sesuatu perusahaan swasta kecuali apabila jumlah saham sedemikian besarnya atau karena sifat saham (misalnya saham prioritas) sedemikian rupa, sehingga melalui pemilikan atas saham tersebut langsung atau tidak langsung melalui jumlah suara atau hak-hak khususnya dapat mempengaruhi penyelenggaraan atau dapat menentukan jalannya perusahaan tersebut, termasuk dalam pengertian saham dari pasal ini ialah bagian-bagian modal serta kekayaan suatu perusahaan yang tidak berbentuk Perseroan Terbatas (PT).
    Huruf b.
    Cukup jelas
    Huruf c.
    Yang dimaksud dengan "menerima pekerjaan" adalah misalnya pekerjaan merias penganten, mengerjakan pesanan makanan dan sebagainya, sepanjang pekerjaan tersebut tidak merupakan perusahaan tersendiri atau tidak semata-mata mencari keuntungan.
    Pasal 3
    Cukup jelas.
    Pasal 4
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan Badan Sosial antara lain ialah yayasan atau perkumpulan yang bergerak dalam bidang kemasyarakatan.
    Ayat (2), Ayat (3) dan ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 5
    Ayat (1) dan Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 6
    Ayat (1), ayat (2) dan ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 7
    Ayat (1), ayat (2) dan ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 8
    Cukup jelas.
    Pasal 9
    Cukup jelas.
    Pasal 10
    Cukup jelas.
     
    TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3021

    Peraturan Pemerintah 6 TAHUN 1974 - Perpajakan DDTC