Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Premium
Terjemahan Dokumen
Ini Belum Tersedia
Ini Belum Tersedia
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Perubahan atau penyempurnaan
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
|
||||||
|
|
|||||
Menimbang |
||||||
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 37 ayat (5) dan Pasal 38 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua;
|
||||||
|
|
|||||
Mengingat |
||||||
1.
|
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
|||||
2.
|
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456);
|
|||||
|
|
|||||
MEMUTUSKAN:
|
||||||
Menetapkan |
||||||
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN HARI TUA.
|
||||||
|
||||||
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
||||||
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
|
||||||
1.
|
Jaminan Hari Tua yang selanjutnya disingkat JHT adalah manfaat uang tunai yang dibayarkan sekaligus pada saat peserta memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap.
|
|||||
2.
|
Pemberi Kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja atau penyelenggara negara yang mempekerjakan pegawai negeri dengan membayar gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lainnya.
|
|||||
3.
|
Peserta JHT yang selanjutnya disebut Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia yang telah membayar iuran.
|
|||||
4.
|
Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
|
|||||
5.
|
Iuran adalah sejumlah uang yang dibayar secara teratur oleh peserta dan pemberi kerja kepada BPJS Ketenagakerjaan.
|
|||||
6.
|
Upah adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pemberi kerja kepada pekerja yang ditetapkan dan dibayar menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
|
|||||
7.
|
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang selanjutnya disebut BPJS Ketenagakerjaan adalah badan hukum publik yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
|
|||||
8.
|
Kartu Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan adalah kartu tanda kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan yang memiliki nomor identitas tunggal yang berlaku untuk semua program jaminan sosial.
|
|||||
9.
|
Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan yang selanjutnya disebut Pengawas Ketenagakerjaan adalah pegawai negeri sipil yang diangkat dan ditugaskan dalam jabatan fungsional pengawas ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
10.
|
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
|
|||||
|
|
|||||
BAB II
KEPESERTAAN DAN TATA CARA PENDAFTARAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 2 |
||||||
(1)
|
Setiap Pemberi Kerja selain penyelenggara negara wajib mendaftarkan dirinya dan Pekerjanya dalam program JHT kepada BPJS Ketenagakerjaan sesuai penahapan kepesertaan.
|
|||||
(2)
|
Setiap orang yang bekerja wajib mendaftarkan dirinya dalam program JHT kepada BPJS Ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
|
|
|||||
Pasal 3 |
||||||
Penyelenggaraan program JHT bagi Peserta pada Pemberi Kerja penyelenggara negara diatur dalam Peraturan Pemerintah tersendiri.
|
||||||
|
||||||
Bagian Kedua
Kepesertaan
Pasal 4 |
||||||
(1)
|
Peserta program JHT terdiri atas:
|
|||||
|
a.
|
Peserta penerima Upah yang bekerja pada Pemberi Kerja selain penyelenggara negara; dan
|
||||
|
b.
|
Peserta bukan penerima Upah.
|
||||
(2)
|
Peserta penerima Upah yang bekerja pada Pemberi Kerja selain penyelenggara negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:
|
|||||
|
a.
|
Pekerja pada perusahaan;
|
||||
|
b.
|
Pekerja pada orang perseorangan; dan
|
||||
|
c.
|
orang asing yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan.
|
||||
(3)
|
Peserta bukan penerima Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
|
|||||
|
a.
|
Pemberi Kerja;
|
||||
|
b.
|
Pekerja di luar hubungan kerja atau Pekerja mandiri; dan
|
||||
|
c.
|
Pekerja yang tidak termasuk huruf b yang bukan menerima Upah.
|
||||
|
|
|
||||
Pasal 5 |
||||||
Dalam hal Pekerja penerima Upah yang bekerja pada Pemberi Kerja selain penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a bekerja pada beberapa perusahaan, Pemberi Kerja masing-masing Perusahaan wajib mengikutsertakan Pekerjanya dalam program JHT sesuai penahapan kepesertaan.
|
||||||
|
|
|
||||
Pasal 6 |
||||||
Dalam hal Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a memiliki perusahaan lebih dari 1 (satu), Pemberi Kerja wajib ikut dalam program JHT pada setiap perusahaan.
|
||||||
|
|
|
||||
Bagian Ketiga
Tata Cara Pendaftaran
Paragraf 1
Peserta Penerima Upah yang Bekerja pada Pemberi Kerja selain Penyelenggara Negara
Pasal 7 |
||||||
(1)
|
Pemberi Kerja selain penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a wajib menyerahkan formulir pendaftaran yang telah diisi secara lengkap dan benar, meliputi data dirinya dan data Pekerja beserta anggota keluarganya kepada BPJS Ketenagakerjaan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak formulir pendaftaran diterima dari BPJS Ketenagakerjaan.
|
|||||
(2)
|
BPJS Ketenagakerjaan wajib mengeluarkan nomor kepesertaan paling lama 1 (satu) hari kerja sejak formulir pendaftaran diterima secara lengkap dan benar serta Iuran pertama dibayar lunas kepada BPJS Ketenagakerjaan.
|
|||||
(3)
|
Kepesertaan pada BPJS Ketenagakerjaan mulai berlaku sejak nomor kepesertaan dikeluarkan oleh BPJS Ketenagakerjaan.
|
|||||
|
|
|||||
Pasal 8 |
||||||
(1)
|
BPJS Ketenagakerjaan menerbitkan Kartu Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan bagi Pemberi Kerja selain penyelenggara negara dan seluruh Pekerjanya paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak formulir pendaftaran diterima secara lengkap dan benar serta Iuran pertama dibayar lunas kepada BPJS Ketenagakerjaan.
|
|||||
(2)
|
Pemberi Kerja selain penyelenggara negara menyampaikan Kartu Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan kepada masing-masing Peserta paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak diterima dari BPJS Ketenagakerjaan.
|
|||||
|
|
|||||
Pasal 9 |
||||||
(1)
|
Peserta yang pindah tempat kerja wajib memberitahukan kepesertaannya dalam program JHT kepada Pemberi Kerja tempat kerja baru dengan menunjukkan Kartu Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan yang dimilikinya.
|
|||||
(2)
|
Pemberi Kerja tempat kerja baru wajib meneruskan kepesertaan Pekerja dengan melaporkan Kartu Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan dan membayar Iuran JHT kepada BPJS Ketenagakerjaan sejak Pekerja bekerja pada Pemberi Kerja tempat kerja baru.
|
|||||
(3)
|
Dalam hal Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum melaporkan dan membayar Iuran JHT, apabila timbul hak Pekerja atas manfaat JHT, Pemberi Kerja baru wajib membayar hak tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
|
|||||
|
|
|||||
Pasal 10 |
||||||
(1)
|
Dalam hal terjadi perubahan data Peserta dan keluarganya, Peserta wajib menyampaikan perubahan data secara lengkap dan benar kepada Pemberi Kerja selain penyelenggara negara.
|
|||||
(2)
|
Pemberi Kerja selain penyelenggara negara setelah menerima perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan perubahan data kepada BPJS Ketenagakerjaan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak data diterima.
|
|||||
(3)
|
Dalam hal terjadi perubahan data Upah, jumlah Pekerja, alamat kantor, dan perubahan data lainnya terkait penyelenggaraan program JHT, Pemberi Kerja selain penyelenggara negara wajib menyampaikan perubahan data kepada BPJS Ketenagakerjaan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak terjadi perubahan.
|
|||||
|
|
|||||
Pasal 11 |
||||||
(1)
|
Dalam hal Pemberi Kerja selain penyelenggara negara nyata-nyata lalai tidak mendaftarkan Pekerjanya dalam program JHT, Pekerja berhak mendaftarkan dirinya sendiri dalam program JHT kepada BPJS Ketenagakerjaan sesuai program yang diwajibkan dalam penahapan kepesertaan.
|
|||||
(2)
|
Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pekerja yang bersangkutan dengan mengisi formulir pendaftaran yang telah ditetapkan dengan melampirkan:
|
|||||
|
a.
|
perjanjian kerja, surat keputusan pengangkatan, atau bukti lain yang menunjukkan sebagai Pekerja atau buruh;
|
||||
|
b.
|
Kartu Tanda Penduduk; dan
|
||||
|
c.
|
Kartu Keluarga.
|
||||
(3)
|
BPJS Ketenagakerjaan berdasarkan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) melakukan verifikasi kepada Pemberi Kerja selain penyelenggara negara paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak pendaftaran dilakukan.
|
|||||
(4)
|
Dalam hal hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terbukti Pemberi Kerja selain penyelenggara negara nyata-nyata lalai, Pemberi Kerja selain penyelenggara negara wajib membayar Iuran yang menjadi kewajibannya kepada BPJS Ketenagakerjaan sesuai program yang diwajibkan dalam penahapan kepesertaan.
|
|||||
(5)
|
BPJS Ketenagakerjaan berdasarkan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib mengeluarkan nomor kepesertaan paling lama 1 (satu) hari kerja sejak pendaftaran dan Iuran pertama diterima.
|
|||||
(6)
|
Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) mulai berlaku sejak nomor kepesertaan dikeluarkan oleh BPJS Ketenagakerjaan.
|
|||||
|
|
|||||
Pasal 12 |
||||||
(1)
|
Kartu Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan dikeluarkan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak pendaftaran JHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Iuran pertama diterima BPJS Ketenagakerjaan.
|
|||||
(2)
|
Pemberi Kerja wajib menyampaikan Kartu Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan kepada masing-masing Peserta paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak Kartu Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan diterima dari BPJS Ketenagakerjaan.
|
|||||
(3)
|
Dalam hal Pekerja telah mendaftarkan dirinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) tetapi Pemberi Kerja selain penyelenggara negara belum membayar Iuran pertama secara lunas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) kepada BPJS Ketenagakerjaan, apabila terjadi risiko terhadap Pekerjanya menjadi tanggung jawab Pemberi Kerja selain penyelenggara negara.
|
|||||
|
|
|||||
Paragraf 2
Peserta Bukan Penerima Upah
Pasal 13 |
||||||
(1)
|
Peserta bukan penerima Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) dapat mendaftarkan dirinya dalam program JHT kepada BPJS Ketenagakerjaan sesuai penahapan kepesertaan.
|
|||||
(2)
|
Dalam hal Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki usaha atau pekerjaan lebih dari 1 (satu), Peserta wajib mencantumkan uraian kegiatan usaha atau pekerjaannya tersebut dalam formulir pendaftaran paling banyak 2 (dua) jenis pekerjaan.
|
|||||
(3)
|
Pendaftaran kepesertaan kepada BPJS Ketenagakerjaan dapat dilakukan secara sendiri-sendiri, melalui wadah, atau kelompok tertentu yang dibentuk oleh Peserta dengan mengisi formulir pendaftaran.
|
|||||
(4)
|
BPJS Ketenagakerjaan berdasarkan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 1 (satu) hari kerja sejak pendaftaran dan Iuran pertama diterima BPJS Ketenagakerjaan wajib memberikan nomor kepesertaan.
|
|||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan wadah atau kelompok tertentu yang dibentuk oleh Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
|
|||||
|
|
|||||
Pasal 14 |
||||||
(1)
|
Kartu Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan diterbitkan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak formulir pendaftaran diterima secara lengkap dan Iuran pertama dibayar lunas kepada BPJS Ketenagakerjaan.
|
|||||
(2)
|
BPJS Ketenagakerjaan wajib menyampaikan Kartu Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara langsung kepada Peserta, melalui wadah, atau kelompok tertentu yang dibentuk oleh Peserta.
|
|||||
(3)
|
Kepesertaan program JHT pada BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) mulai berlaku sejak nomor kepesertaan diberikan oleh BPJS Ketenagakerjaan.
|
|||||
|
|
|||||
Pasal 15 |
||||||
(1)
|
Dalam hal terjadi perubahan data Peserta dan keluarganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Peserta wajib menyampaikan perubahan data secara lengkap dan benar kepada BPJS Ketenagakerjaan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak terjadi perubahan.
|
|||||
(2)
|
Perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan secara langsung kepada BPJS Ketenagakerjaan, melalui wadah, atau kelompok tertentu yang dibentuk oleh Peserta.
|
|||||
|
|
|||||
BAB III
BESARNYA IURAN DAN TATA CARA PEMBAYARAN
Bagian Kesatu
Besarnya Iuran JHT Bagi Peserta Penerima Upah Yang Bekerja Pada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara
Pasal 16 |
||||||
(1)
|
Iuran JHT bagi Peserta penerima Upah yang bekerja pada Pemberi Kerja selain penyelenggara negara sebesar 5,7% (lima koma tujuh persen) dari Upah, dengan ketentuan:
|
|||||
|
a.
|
2% (dua persen) ditanggung oleh Pekerja; dan
|
||||
|
b.
|
3,7% (tiga koma tujuh persen) ditanggung oleh Pemberi Kerja.
|
||||
(2)
|
Besarnya Iuran program JHT bagi Peserta penerima Upah yang bekerja pada Pemberi Kerja selain penyelenggara negara dilakukan evaluasi secara berkala paling lama 3 (tiga) tahun yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
|
|||||
|
|
|
||||
Pasal 17 |
||||||
(1)
|
Upah yang dijadikan dasar pembayaran Iuran JHT bagi Peserta penerima Upah yang bekerja pada Pemberi Kerja selain penyelenggara negara adalah Upah sebulan.
|
|||||
(2)
|
Upah sebulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Peserta yang bekerja pada Pemberi Kerja selain penyelenggara negara terdiri atas Upah pokok dan tunjangan tetap.
|
|||||
(3)
|
Apabila Upah dibayarkan secara harian, Upah sebulan sebagai dasar pembayaran Iuran JHT dihitung dari Upah sehari dikalikan 25 (dua puluh lima).
|
|||||
(4)
|
Apabila Upah dibayarkan secara borongan atau satuan hasil, Upah sebulan sebagai dasar pembayaran Iuran JHT dihitung dari Upah rata-rata 3 (tiga) bulan terakhir.
|
|||||
(5)
|
Apabila pekerjaan tergantung pada keadaan cuaca yang Upahnya didasarkan pada Upah borongan, Upah sebulan sebagai dasar pembayaran Iuran JHT dihitung dari Upah rata-rata 12 (dua belas) bulan terakhir.
|
|||||
|
|
|||||
Bagian Kedua
Besarnya Iuran JHT Bagi Peserta Bukan Penerima Upah
Pasal 18 |
||||||
(1)
|
Iuran JHT bagi Peserta bukan penerima Upah didasarkan pada jumlah nominal tertentu dari penghasilan Peserta yang ditetapkan dalam daftar sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
|
|||||
(2)
|
Daftar Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih oleh Peserta sesuai penghasilan Peserta masing-masing.
|
|||||
(3)
|
Besarnya Iuran program JHT bagi Peserta bukan penerima Upah dilakukan evaluasi secara berkala paling lama 3 (tiga) tahun yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
|
|||||
|
|
|||||
Bagian Ketiga
Tata Cara Pembayaran Iuran
Paragraf 1
Peserta Penerima Upah yang Bekerja Pada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara
Pasal 19 |
||||||
(1)
|
Pemberi Kerja selain penyelenggara negara wajib menyetor Iuran JHT yang menjadi kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 kepada BPJS Ketenagakerjaan.
|
|||||
(2)
|
Pemberi Kerja wajib membayar Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap bulan paling lambat tanggal 15 pada bulan berikutnya dari bulan Iuran yang bersangkutan dengan melampirkan data pendukung seluruh Pekerja dan dirinya.
|
|||||
(3)
|
Dalam hal tanggal 15 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jatuh pada hari libur, Iuran dibayarkan pada hari kerja berikutnya.
|
|||||
|
|
|||||
Pasal 20 |
||||||
(1)
|
Keterlambatan pembayaran Iuran bagi Pemberi Kerja selain penyelenggara negara dikenakan denda sebesar 2% (dua persen) untuk setiap bulan keterlambatan yang dihitung dari Iuran yang seharusnya dibayar oleh Pemberi Kerja selain penyelenggara negara.
|
|||||
(2)
|
Denda akibat keterlambatan pembayaran Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditanggung sepenuhnya oleh Pemberi Kerja selain penyelenggara negara dan pembayarannya dilakukan sekaligus bersama-sama dengan penyetoran Iuran bulan berikutnya.
|
|||||
(3)
|
Denda keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pendapatan lain dari Dana Jaminan Sosial.
|
|||||
|
|
|||||
Paragraf 2
Peserta Bukan Penerima Upah
Pasal 21 |
||||||
(1)
|
Peserta bukan penerima Upah wajib membayar Iuran yang menjadi kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 kepada BPJS Ketenagakerjaan.
|
|||||
(2)
|
Pembayaran Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara sendiri-sendiri, melalui wadah, atau melalui kelompok tertentu yang dibentuk oleh Peserta.
|
|||||
(3)
|
Pembayaran Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setiap bulan, paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya dari bulan Iuran yang bersangkutan.
|
|||||
(4)
|
Dalam hal tanggal 15 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) jatuh pada hari libur, Iuran dibayarkan pada hari kerja berikutnya.
|
|||||
|
|
|||||
BAB IV
MANFAAT DAN TATA CARA PEMBAYARAN
Bagian Kesatu
Manfaat Jaminan Hari Tua
Pasal 22 |
||||||
(1)
|
Manfaat JHT adalah berupa uang tunai yang dibayarkan apabila Peserta berusia 56 (lima puluh enam) tahun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap.
|
|||||
(2)
|
Besarnya manfaat JHT adalah sebesar nilai akumulasi seluruh Iuran yang telah disetor ditambah hasil pengembangannya yang tercatat dalam rekening perorangan Peserta.
|
|||||
(3)
|
Manfaat JHT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayar secara sekaligus.
|
|||||
(4)
|
Dalam rangka mempersiapkan diri memasuki masa pensiun, pembayaran manfaat JHT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diberikan sebagian sampai batas tertentu apabila Peserta telah memiliki masa kepesertaan paling singkat 10 (sepuluh) tahun.
|
|||||
(5)
|
Pengambilan manfaat JHT sampai batas tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling banyak 30% (tiga puluh persen) dari jumlah JHT, yang peruntukannya untuk kepemilikan rumah atau paling banyak 10% (sepuluh persen) untuk keperluan lain sesuai persiapan memasuki masa pensiun.
|
|||||
(6)
|
Pengambilan manfaat JHT sebagaimana dimaksud pada ayat (5) hanya dapat dilakukan untuk 1 (satu) kali selama menjadi Peserta.
|
|||||
(7)
|
BPJS Ketenagakerjaan wajib memberikan informasi kepada Peserta mengenai besarnya saldo JHT beserta hasil pengembangannya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
|
|||||
|
|
|||||
Pasal 23 |
||||||
(1)
|
Apabila Peserta meninggal dunia, maka manfaat JHT diberikan kepada ahli waris yang sah.
|
|||||
(2)
|
Ahli waris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||
|
a.
|
janda;
|
||||
|
b.
|
duda; atau
|
||||
|
c.
|
anak.
|
||||
(3)
|
Dalam hal janda, duda, atau anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak ada, JHT diberikan sesuai urutan sebagai berikut:
|
|||||
|
a.
|
keturunan sedarah Pekerja menurut garis lurus ke atas dan ke bawah sampai derajat kedua;
|
||||
|
b.
|
saudara kandung;
|
||||
|
c.
|
mertua; dan
|
||||
|
d.
|
pihak yang ditunjuk dalam wasiatnya oleh Pekerja.
|
||||
(4)
|
Dalam hal pihak yang ditunjuk dalam wasiat Pekerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d tidak ada, JHT dikembalikan ke balai harta peninggalan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
|
|
|
||||
Pasal 24 |
||||||
Dalam hal terjadi kekurangan pembayaran manfaat JHT karena Pemberi Kerja melaporkan Upah tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pemberi Kerja selain penyelenggara negara wajib membayar kekurangan pembayaran manfaat JHT sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
|
||||||
|
||||||
Pasal 25 |
||||||
(1)
|
Selain manfaat JHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2), Peserta memperoleh manfaat layanan tambahan berupa fasilitas pembiayaan perumahan dan/atau manfaat lain.
|
|||||
(2)
|
Manfaat layanan tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibiayai dari dana investasi JHT sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian, persyaratan, dan jenis manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
|
|||||
|
|
|||||
Bagian Kedua
Tata Cara Pembayaran Jaminan Hari Tua
Pasal 26 |
||||||
(1)
|
Manfaat JHT wajib dibayarkan kepada Peserta apabila:
|
|||||
|
a.
|
Peserta mencapai usia pensiun;
|
||||
|
b.
|
Peserta mengalami cacat total tetap;
|
||||
|
c.
|
Peserta meninggal dunia; atau
|
||||
|
d.
|
Peserta meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
|
||||
(2)
|
Manfaat JHT bagi Peserta yang mencapai usia pensiun diberikan kepada Peserta pada saat memasuki usia pensiun.
|
|||||
(3)
|
Manfaat JHT bagi Peserta yang dikenai pemutusan hubungan kerja atau berhenti bekerja sebelum usia pensiun, dibayarkan pada saat Peserta mencapai usia 56 (lima puluh enam) tahun.
|
|||||
(4)
|
Dalam hal Peserta mengalami cacat total tetap, hak atas manfaat JHT diberikan kepada Peserta.
|
|||||
(5)
|
Dalam hal Peserta meninggal dunia sebelum mencapai usia pensiun, hak atas manfaat JHT diberikan kepada ahli waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2).
|
|||||
(6)
|
Dalam hal Peserta tenaga kerja asing atau warga negara Indonesia meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya, manfaat JHT diberikan kepada Peserta yang bersangkutan.
|
|||||
|
|
|||||
Pasal 27 |
||||||
(1)
|
Hasil pengembangan program JHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) yang diberikan kepada Peserta oleh BPJS Ketenagakerjaan berdasarkan hasil pengembangan program JHT sesuai laporan keuangan tahunan.
|
|||||
(2)
|
Hasil pengembangan program JHT yang diberikan bagi Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan laporan keuangan bulanan pada periode bulan sebelumnya.
|
|||||
(3)
|
Hasil pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling sedikit sebesar rata-rata bunga deposito counter rate bank pemerintah untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.
|
|||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme penetapan dan distribusi hasil pengembangan program JHT kepada setiap Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan BPJS Ketenagakerjaan.
|
|||||
|
|
|||||
Pasal 28 |
||||||
Dalam hal Pemberi Kerja selain penyelenggara negara belum mengikutsertakan Pekerjanya dalam program JHT, Pemberi Kerja selain penyelenggara negara wajib membayar manfaat JHT yang menjadi kewajibannya sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
|
||||||
|
|
|||||
Pasal 29 |
||||||
Dalam hal Peserta masih bekerja pada usia pensiun dan memilih untuk menunda menerima pembayaran manfaat JHT pada usia 56 (lima enam) tahun serta tetap menjadi Peserta dan membayar Iuran, pembayaran manfaat JHT dapat dilakukan pada saat Peserta berhenti bekerja.
|
||||||
|
|
|||||
Pasal 30 |
||||||
BPJS Ketenagakerjaan menetapkan besarnya JHT paling lama 30 (tiga puluh) hari sebelum Peserta mencapai usia pensiun dan wajib memberitahukan kepada Peserta yang bersangkutan.
|
||||||
|
|
|||||
Pasal 31 |
||||||
(1)
|
Peserta atau ahli waris yang berhak memperoleh manfaat JHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, wajib mengajukan pembayaran manfaat JHT kepada BPJS Ketenagakerjaan dengan melampirkan Kartu Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan dan persyaratan yang telah ditetapkan oleh BPJS Ketenagakerjaan.
|
|||||
(2)
|
BPJS Ketenagakerjaan berdasarkan pengajuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membayarkan manfaat JHT secara sekaligus kepada Peserta atau ahli warisnya apabila Peserta meninggal dunia.
|
|||||
(3)
|
Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lama 5 (lima) hari kerja sejak pengajuan dan persyaratan diterima secara lengkap dan benar oleh BPJS Ketenagakerjaan.
|
|||||
|
|
|||||
Pasal 32 |
||||||
Hak atas JHT sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini tidak dapat dipindahtangankan, digadaikan, atau disita sebagai pelaksana putusan pengadilan.
|
||||||
|
|
|||||
BAB V
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 33 |
||||||
(1)
|
Pemberi Kerja selain penyelenggara negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (2), Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 11 ayat (4), Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 24 dikenai sanksi administratif.
|
|||||
(2)
|
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
|
|||||
|
a.
|
teguran tertulis;
|
||||
|
b.
|
denda; dan/atau
|
||||
|
c.
|
tidak mendapat pelayanan publik tertentu.
|
||||
(3)
|
Pengenaan sanksi teguran tertulis dan/atau denda kepada Pemberi Kerja selain penyelenggara negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b dilakukan oleh BPJS ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
(5)
|
Pengenaan sanksi tidak mendapat pelayanan publik tertentu kepada Pemberi Kerja selain penyelenggara negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan oleh unit pelayanan publik tertentu pada Instansi Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota atas permintaan BPJS Ketenagakerjaan.
|
|||||
|
|
|||||
Pasal 34 |
||||||
(1)
|
Sanksi tidak mendapat pelayanan publik tertentu yang dikenai kepada Pemberi Kerja selain penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (4), meliputi:
|
|||||
|
a.
|
perizinan terkait usaha;
|
||||
|
b.
|
izin yang diperlukan dalam mengikuti tender proyek;
|
||||
|
c.
|
izin mempekerjakan tenaga kerja asing;
|
||||
|
d.
|
izin Perusahaan penyedia jasa Pekerja atau buruh; atau
|
||||
|
e.
|
izin mendirikan bangunan.
|
||||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan, pencabutan, dan mekanisme koordinasi dalam pengenaan dan pencabutan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 diatur dengan Peraturan Menteri.
|
|||||
|
|
|||||
BAB VI
PENGAWASAN
Pasal 35 |
||||||
(1)
|
Dalam hal Pemberi Kerja selain penyelenggara negara telah dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2), tetapi tetap tidak patuh dalam membayar Iuran dan kewajiban lainnya, BPJS Ketenagakerjaan wajib melaporkan ketidakpatuhan tersebut kepada Pengawas Ketenagakerjaan pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan pada Pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan/atau pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
(2)
|
Pengawas Ketenagakerjaan pada instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan setempat berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan pemeriksaan terhadap Pemberi Kerja selain penyelenggara negara yang pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
(3)
|
Selain berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pengawas Ketenagakerjaan pada instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan dapat melakukan pemeriksaan terhadap Pemberi Kerja selain penyelenggara negara yang pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||||
|
|
|||||
BAB VII
PENANGANAN KELUHAN
Pasal 36 |
||||||
(1)
|
Dalam hal Peserta tidak puas terhadap pelayanan program JHT yang diberikan oleh BPJS Ketenagakerjaan, Peserta dapat menyampaikan pengaduan kepada BPJS Ketenagakerjaan.
|
|||||
(2)
|
Untuk menangani pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BPJS Ketenagakerjaan membentuk unit pengendali mutu pelayanan dan penanganan pengaduan pada kantor wilayah dan/atau kantor cabang BPJS ketenagakerjaan.
|
|||||
(3)
|
Dalam hal Peserta tidak puas terhadap penanganan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peserta dapat menyampaikan pengaduan kepada instansi setempat yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan dan/atau Dewan Jaminan Sosial Nasional.
|
|||||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian dan penanganan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan BPJS Ketenagakerjaan.
|
|||||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian dan penanganan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
|
|||||
|
|
|||||
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 37 |
||||||
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2015.
|
||||||
|
||||||
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
|
||||||
|
||||||
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Juni 2015
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
JOKO WIDODO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Juni 2015
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 156
|
||||||
|
PENJELASANATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 46 TAHUN 2015
TENTANG
PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN HARI TUA
|
||||||||
|
|
|
||||||
I.
|
UMUM
|
|||||||
|
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diamanatkan bahwa tujuan negara adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tujuan tersebut semakin dipertegas yaitu dengan mengembangkan sistem jaminan sosial secara nasional bagi kesejahteraan seluruh rakyat.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) menetapkan 2 (dua) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan untuk melaksanakan program jaminan sosial nasional. BPJS Kesehatan melaksanakan program jaminan kesehatan sedangkan BPJS Ketenagakerjaan melaksanakan program jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, JHT, dan jaminan pensiun bagi Pemberi Kerja dan Pekerja penerima Upah.
Sesuai dengan amanat Pasal 5 ayat (2) huruf b dan Pasal 6 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 maka BPJS Ketenagakerjaan menyelenggarakan program JHT berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Program JHT adalah manfaat uang tunai yang diberikan ketika Peserta memasuki usia tertentu, tidak ingin bekerja lagi, cacat total tetap sehingga tidak mampu bekerja kembali atau meninggal dunia. Manfaat JHT merupakan nilai akumulasi Iuran beserta hasil pengembangannya yang tercatat dalam rekening perorangan Peserta. Dalam Peraturan Pemerintah ini akan mengatur mengenai pengertian JHT, kepesertaan, tata cara pendaftaran, besarnya Iuran, tata cara pembayaran Iuran, manfaat program JHT, mekanisme pembayaran manfaat JHT, sanksi administratif, pengawasan, dan penanganan keluhan.
Manfaat adalah sama dengan saldo rekening berdasarkan hasil investasi yang sebenarnya, yang konsisten dengan praktek di sebagian besar negara di seluruh dunia. Didasarkan pada Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang menyatakan bahwa jumlah manfaat dari program JHT merupakan jumlah akumulasi Iuran yang telah dibayarkan ditambah hasil investasi. Saat ini dalam program JHT, hasil investasi yang dikreditkan ke rekening masing-masing ditetapkan oleh PT. Jamsostek (Persero) setiap tahun dan tidak sama dengan hasil investasi yang sebenarnya.
Program JHT yang dalam implementasinya sekarang masih dirasakan manfaatnya oleh pegawai sektor swasta, dimana aturan mengenai hal tersebut jelas tercantum dalam Undang-undang Nomor 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, beserta aturan pelaksanaannya. Oleh karena itu dalam Penyusunan Peraturan Pemerintah tentang JHT mempertimbangkan segala aspek termasuk manfaat yang sudah dirasakan oleh pegawai swasta.
Dalam peraturan Pemerintah mengenai JHT yang akan disusun sesuai amanat dalam Pasal 37 dan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yaitu bahwa pembayaran manfaat JHT dapat diberikan sebagaimana sampai batas waktu tertentu setelah kepesertaan mencapai minimal 10 (sepuluh) tahun.
|
|||||||
|
|
|||||||
II.
|
PASAL DEMI PASAL
|
|||||||
|
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “penahapan kepesertaan” adalah proses penahapan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penahapan kepesertaan program jaminan sosial.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Dalam hal pemberi kerja berupa badan hukum atau badan-badan lain yang mempekerjakan tenaga kerja, maka pemberi kerja yang wajib ikut dalam program JHT adalah pengurus badan hukum atau badan-badan lain tersebut yang mewakili kepentingan pemilik.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ”nyata-nyata lalai” adalah apabila Pemberi Kerja tidak mendaftarkan Pekerjanya dalam program JHT dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak dipekerjakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “bukti lain” adalah dokumen yang dapat membuktikan bahwa Pekerja dan Pemberi Kerja ada hubungan kerja. Contoh: daftar hadir Pekerja atau bukti slip penerimaan upah setiap bulan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Verifikasi dilakukan oleh BPJS Ketenagakerjaan untuk mengecek status hubungan kerja dan kebenaran data Upah dan data ketenagakerjaan lainnya yang disampaikan oleh Pekerja pada saat mendaftarkan dirinya kepada BPJS Ketenagakerjaan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Kepesertaan dalam program JHT berlaku sejak Iuran pertama dibayar lunas dan nomor kepesertaan diperoleh dari BPJS Ketenagakerjaan, meskipun Kartu Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan belum diterima.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dapat mendaftarkan dirinya dalam program JHT” adalah Peserta bukan penerima Upah tidak wajib tetapi dapat mengikuti program JHT secara sukarela.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “wadah atau kelompok tertentu” adalah organisasi atau asosiasi yang dibentuk oleh, dari, dan untuk Peserta yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “uang tunai” adalah dibayarkan dapat menggunakan uang kartal maupun giral sesuai dengan mekanisme perbankan.
Ayat (2)
Hasil pengembangan program JHT diperoleh setelah dikurangi dana operasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Fasilitas pembiayaan perumahan secara tunai dilakukan melalui lembaga keuangan berupa: pinjaman uang muka perumahan (rumah tapak dan rumah susun), kredit pemilikan rumah (rumah tapak dan rumah susun), rumah susun sederhana sewa dan pinjaman renovasi perumahan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
|
|||||||
|
|
|||||||
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5716
|