Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Premium
Terjemahan Dokumen
Ini Belum Tersedia
Ini Belum Tersedia
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Sudah tidak berlaku karena diganti/dicabut
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 142 TAHUN 2015
TENTANG
KAWASAN INDUSTRI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
|
|
|
|
Menimbang |
|||
bahwa dalam rangka pelaksanaan Pasal 63 ayat (5) dan Pasal 108 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Kawasan Industri;
|
|||
|
|
|
|
Mengingat |
|||
1.
|
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
||
2.
|
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
|
||
3.
|
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5492);
|
||
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
|||
Menetapkan |
|||
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KAWASAN INDUSTRI.
|
|||
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM Pasal 1 |
|||
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
|
|||
1.
|
Industri adalah seluruh bentuk kegiatan ekonomi yang mengolah bahan baku dan/atau memanfaatkan sumber daya industri sehingga menghasilkan barang yang mempunyai nilai tambah atau manfaat lebih tinggi, termasuk jasa industri.
|
||
2.
|
Perusahaan Industri adalah setiap orang yang melakukan kegiatan di bidang usaha Industri yang berkedudukan di Indonesia.
|
||
3.
|
Kawasan Peruntukan Industri adalah bentangan lahan yang diperuntukkan bagi kegiatan Industri berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
4.
|
Kawasan Industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan Industri yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh Perusahaan Kawasan Industri.
|
||
5.
|
Perusahaan Kawasan Industri adalah perusahaan yang mengusahakan pengembangan dan pengelolaan kawasan Industri.
|
||
6.
|
Izin Prinsip adalah izin yang diberikan kepada badan usaha yang berbentuk badan hukum untuk melakukan penyediaan lahan, pembangunan infrastruktur Kawasan Industri serta pemasangan/instalasi peralatan dan kesiapan lain yang diperlukan dalam rangka memulai pembangunan Kawasan Industri.
|
||
7.
|
Izin Usaha Kawasan Industri, yang selanjutnya disingkat dengan IUKI, adalah izin yang diberikan untuk melakukan pengembangan dan pengelolaan Kawasan Industri.
|
||
8.
|
Perluasan Kawasan Industri, yang selanjutnya disebut dengan Perluasan Kawasan, adalah penambahan luas lahan Kawasan Industri dari luas lahan sebagaimana tercantum dalam IUKI.
|
||
9.
|
Tata Tertib Kawasan Industri adalah peraturan yang ditetapkan oleh Perusahaan Kawasan Industri, yang mengatur hak dan kewajiban Perusahaan Kawasan Industri, perusahaan pengelola Kawasan Industri, dan Perusahaan Industri dalam pengelolaan dan pemanfaatan Kawasan Industri.
|
||
10.
|
Komite Kawasan Industri adalah wadah yang dibentuk oleh Menteri dengan tugas membantu dalam pelaksanaan kebijakan pengembangan dan pengelolaan Kawasan Industri.
|
||
11.
|
Wilayah Pengembangan Industri, yang selanjutnya disebut WPI adalah pengelompokan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan keterkaitan ke belakang (backward) dan keterkaitan ke depan (forward) sumber daya dan fasilitas pendukungnya, serta memperhatikan jangkauan pengaruh kegiatan pembangunan Industri.
|
||
12.
|
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian.
|
||
|
|
|
|
Pasal 2 |
|||
(1)
|
Untuk mendukung kegiatan Industri dibangun Kawasan Industri sebagai infrastruktur industri.
|
||
(2)
|
Pembangunan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk:
|
||
|
a.
|
mempercepat penyebaran dan pemerataan pembangunan Industri;
|
|
|
b.
|
meningkatkan upaya pembangunan Industri yang berwawasan lingkungan;
|
|
|
c.
|
meningkatkan daya saing investasi dan daya saing Industri; dan
|
|
|
d.
|
memberikan kepastian lokasi sesuai tata ruang.
|
|
(3)
|
Pembangunan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan di Kawasan Peruntukan Industri (KPI) sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
|
||
|
|
|
|
BAB II
KEWENANGAN PEMERINTAH DALAM PEMBANGUNAN KAWASAN INDUSTRI Pasal 3 |
|||
Menteri, gubernur, bupati/walikota, sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab atas pencapaian tujuan pembangunan Kawasan Industri.
|
|||
|
|
|
|
Pasal 4 |
|||
Kewenangan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 meliputi:
|
|||
a.
|
pengaturan, pembinaan, dan pengembangan Kawasan Industri;
|
||
b.
|
perencanaan pembangunan Kawasan Industri;
|
||
c.
|
penyediaan infrastruktur Kawasan Industri;
|
||
d.
|
prakarsa pembangunan Kawasan Industri oleh Pemerintah;
|
||
e.
|
penetapan standar Kawasan Industri;
|
||
f.
|
penetapan pedoman teknis pembangunan Kawasan Industri;
|
||
g.
|
fasilitasi penyelesaian permasalahan terkait pendirian dan pengembangan Kawasan Industri dapat berupa tanah, infrastruktur, air baku, energi, ketenagakerjaan, dan perizinan;
|
||
h.
|
penetapan suatu Kawasan Industri sebagai obyek vital nasional sektor Industri;
|
||
i.
|
penetapan pedoman referensi harga jual atau sewa kaveling dan/atau bangunan Industri di Kawasan Industri atas usul Komite Kawasan Industri; dan
|
||
j.
|
pembentukan Komite Kawasan Industri.
|
||
|
|
|
|
Pasal 5 |
|||
Kewenangan gubernur atau bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 meliputi:
|
|||
a.
|
perencanaan pembangunan Kawasan Industri;
|
||
b.
|
penyediaan infrastruktur Industri;
|
||
c.
|
pemberian kemudahan dalam perolehan/pembebasan lahan pada wilayah daerah yang diperuntukkan bagi pembangunan Kawasan Industri;
|
||
d.
|
pelayanan terpadu satu pintu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
||
e.
|
pemberian insentif dan kemudahan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
||
f.
|
penataan Industri untuk berlokasi di Kawasan Industri; dan
|
||
g.
|
pengawasan pelaksanaan pembangunan Kawasan Industri.
|
||
|
|
|
|
BAB III
PEMBANGUNAN KAWASAN INDUSTRI
Bagian Kesatu Umum
Pasal 6 |
|||
(1)
|
Pembangunan Kawasan Industri dilakukan oleh badan usaha yang berbentuk badan hukum dan didirikan berdasarkan hukum Indonesia serta berkedudukan di Indonesia.
|
||
(2)
|
Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk:
|
||
|
a.
|
Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah;
|
|
|
b.
|
Koperasi; atau
|
|
|
c.
|
Perseroan Terbatas.
|
|
|
|
|
|
Pasal 7 |
|||
(1)
|
Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dibangun dengan luas lahan paling sedikit 50 (lima puluh) hektar dalam satu hamparan.
|
||
(2)
|
Dalam hal Kawasan Industri diperuntukkan bagi Industri Kecil dan Industri Menengah dapat dibangun dengan luas lahan paling sedikit 5 (lima) hektar dalam satu hamparan.
|
||
|
|
|
|
Pasal 8 |
|||
(1)
|
Kawasan Industri dapat ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional.
|
||
(2)
|
Penetapan Kawasan Industri sebagai kawasan strategis nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
|
|
|
|
Pasal 9 |
|||
(1)
|
Pembangunan Kawasan Industri dilakukan sesuai dengan pedoman teknis pembangunan Kawasan Industri.
|
||
(2)
|
Pedoman teknis pembangunan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
|
||
|
a.
|
pemilihan lokasi;
|
|
|
b.
|
perizinan;
|
|
|
c.
|
pengadaan tanah;
|
|
|
d.
|
pematangan tanah;
|
|
|
e.
|
pembangunan infrastruktur; dan
|
|
|
f.
|
pengelolaan.
|
|
(3)
|
Pedoman teknis pembangunan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.
|
||
|
|
|
|
Bagian kedua
Infrastruktur Kawasan Industri Pasal 10 |
|||
(1)
|
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing menyediakan:
|
||
|
a.
|
infrastruktur Industri; dan
|
|
|
b.
|
infrastruktur penunjang.
|
|
(2)
|
Infrastruktur Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit meliputi:
|
||
|
a.
|
jaringan energi dan kelistrikan;
|
|
|
b.
|
jaringan telekomunikasi;
|
|
|
c.
|
jaringan sumber daya air dan jaminan pasokan air baku;
|
|
|
d.
|
sanitasi; dan
|
|
|
e.
|
jaringan transportasi.
|
|
(3)
|
Infrastruktur penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit meliputi:
|
||
|
a.
|
perumahan;
|
|
|
b.
|
pendidikan dan pelatihan;
|
|
|
c.
|
penelitian dan pengembangan;
|
|
|
d.
|
kesehatan;
|
|
|
e.
|
pemadam kebakaran; dan
|
|
|
f.
|
tempat pembuangan sampah.
|
|
|
|
|
|
Pasal 11 |
|||
(1)
|
Perusahaan Kawasan Industri wajib menyediakan infrastruktur dasar di dalam Kawasan Industri, paling sedikit meliputi:
|
||
|
a.
|
instalasi pengolahan air baku;
|
|
|
b.
|
instalasi pengolahan air limbah;
|
|
|
c.
|
saluran drainase;
|
|
|
d.
|
instalasi penerangan jalan; dan
|
|
|
e.
|
jaringan jalan.
|
|
(2)
|
Perusahaan Kawasan Industri dapat menyediakan infrastruktur penunjang dan sarana penunjang di dalam Kawasan Industri.
|
||
|
|
|
|
BAB IV
IUKI Bagian Kesatu Umum Pasal 12 |
|||
(1)
|
Setiap kegiatan usaha Kawasan Industri wajib memiliki IUKI.
|
||
(2)
|
IUKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan hanya bagi kegiatan usaha Kawasan Industri yang berlokasi di dalam Kawasan Peruntukan Industri sesuai dengan rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata ruang wilayah provinsi, atau rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.
|
||
(3)
|
IUKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan izin lokasi kegiatan usaha Kawasan Industri.
|
||
(4)
|
IUKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.
|
||
|
|
|
|
Pasal 13 |
|||
(1)
|
IUKI diberikan kepada badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 untuk melakukan kegiatan usaha Kawasan Industri.
|
||
(2)
|
Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah memperoleh IUKI merupakan Perusahaan Kawasan Industri.
|
||
(3)
|
IUKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama Perusahaan Kawasan Industri menyelenggarakan kegiatan pengembangan dan pengelolaan Kawasan Industri.
|
||
|
|
|
|
Bagian Kedua
Kewenangan Pemberian IUKI Pasal 14 |
|||
(1)
|
Menteri berwenang memberikan IUKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 yang Kawasan Industrinya berlokasi di lintas wilayah provinsi dan/atau dalam rangka penanaman modal asing.
|
||
(2)
|
Menteri dapat mendelegasikan kewenangan pemberian IUKI kepada kepala instansi pemerintah pusat yang menyelenggarakan pelayanan terpadu satu pintu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
|
|
|
|
Pasal 15 |
|||
(1)
|
Gubernur berwenang memberikan IUKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 yang Kawasan Industrinya berlokasi di lintas wilayah kabupaten/kota.
|
||
(2)
|
Gubernur mendelegasikan kewenangan pemberian IUKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada kepala instansi pemerintah provinsi yang menyelenggarakan pelayanan terpadu satu pintu.
|
||
|
|
|
|
Pasal 16 |
|||
(1)
|
Bupati/walikota berwenang memberikan IUKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 yang Kawasan Industrinya berlokasi dalam wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan.
|
||
(2)
|
Bupati/walikota mendelegasikan kewenangan pemberian IUKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada kepala instansi pemerintah kabupaten/kota yang menyelenggarakan pelayanan terpadu satu pintu.
|
||
|
|
|
|
Pasal 17 |
|||
Kepala instansi pemerintah pusat yang menyelenggarakan pelayanan terpadu satu pintu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), kepala instansi pemerintah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2), dan kepala instansi pemerintah kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) dalam memberikan IUKI kepada Perusahaan yang melakukan kegiatan usaha Kawasan Industri wajib mengacu pada norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberian IUKI yang ditetapkan oleh Menteri.
|
|||
|
|
|
|
Pasal 18 |
|||
Menteri bersama gubernur/bupati/walikota melakukan pembinaan pelaksanaan pemberian IUKI oleh kepala instansi pemerintah yang menyelenggarakan pelayanan terpadu satu pintu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17.
|
|||
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Tata Cara Pemberian IUKI Paragraf 1 Izin Prinsip Pasal 19 |
|||
(1)
|
Pemberian IUKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dilakukan melalui Izin Prinsip.
|
||
(2)
|
Izin Prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada perusahaan yang melakukan kegiatan usaha Kawasan Industri untuk menyiapkan lahan Kawasan Industri sampai dapat digunakan, menyusun analisis dampak lingkungan, analisa dampak lalu lintas (ANDALALIN), perencanaan dan pembangunan infrastruktur Kawasan Industri, serta kesiapan lain.
|
||
(3)
|
Permohonan Izin Prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melalui pelayanan terpadu satu pintu.
|
||
(4)
|
Permohonan Izin Prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melampirkan paling sedikit:
|
||
|
a.
|
fotokopi akta pendirian perusahaan yang telah disahkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Hukum atau oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Koperasi bagi pemohon yang berstatus Koperasi;
|
|
|
b.
|
fotokopi nomor pokok wajib pajak perusahaan;
|
|
|
c.
|
sketsa rencana lokasi (desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi);
|
|
|
d.
|
surat pernyataan perusahaan bahwa rencana lokasi terletak dalam Kawasan Peruntukan Industri sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah; dan
|
|
|
e.
|
khusus untuk penanaman modal asing melampirkan persyaratan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|
|
|
|
|
Pasal 20 |
|||
Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak permohonan diterima:
|
|||
a.
|
menerbitkan Izin Prinsip dalam hal persyaratan dipenuhi dengan lengkap dan benar; atau
|
||
b.
|
menolak permohonan dalam hal ketidaksesuaian dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4).
|
||
|
|
|
|
Pasal 21 |
|||
(1)
|
Izin Prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 berlaku selama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali untuk masing-masing perpanjangan selama 1 (satu) tahun.
|
||
(2)
|
Perpanjangan Izin Prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan dengan ketentuan masih melakukan penyiapan lahan Kawasan Industri sampai dapat digunakan, penyelesaian Amdal, pembangunan infrastruktur Kawasan Industri serta kesiapan lain di area dengan luas lahan sebagaimana dimaksud pada Pasal 7.
|
||
|
|
|
|
Pasal 22 |
|||
Perusahaan yang akan melakukan kegiatan usaha Kawasan Industri dan telah memiliki Izin Prinsip dilarang melakukan pengalihan, penjualan, dan/atau penyewaan kaveling Industri.
|
|||
|
|
|
|
Paragraf 2
IUKI Pasal 23 |
|||
(1)
|
Perusahaan yang akan menjalankan kegiatan usaha Kawasan Industri dan telah memperoleh Izin Prinsip dapat mengajukan permohonan IUKI dengan ketentuan telah:
|
||
|
a.
|
melaksanakan penyiapan lahan Kawasan Industri sampai dapat digunakan dengan luas lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7;
|
|
|
b.
|
membangun sebagian infrastruktur dasar Kawasan Industri;
|
|
|
c.
|
membentuk pengelola Kawasan Industri; dan
|
|
|
d.
|
membangun gedung pengelola.
|
|
(2)
|
IUKI hanya diberikan seluas lahan yang telah siap digunakan dan dikuasai yang dibuktikan dengan Surat Pelepasan Hak atau sertifikat.
|
||
(3)
|
Pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan melalui pemeriksaan lapangan yang dituangkan dalam berita acara pemeriksaan.
|
||
(4)
|
Permohonan IUKI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melalui pelayanan terpadu satu pintu.
|
||
(5)
|
Permohonan IUKI sebagaimana dimaksud pada ayat (4) melampirkan paling sedikit:
|
||
|
a.
|
fotokopi akta pendirian perusahaan dan/atau perubahannya yang telah disahkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Hukum atau oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Koperasi bagi pemohon yang berstatus Koperasi;
|
|
|
b.
|
izin Prinsip;
|
|
|
c.
|
fotokopi izin lokasi;
|
|
|
d.
|
fotokopi izin lingkungan;
|
|
|
e.
|
laporan data Kawasan Industri mengenai kemajuan pembangunan Kawasan Industri triwulan terakhir;
|
|
|
f.
|
tata tertib Kawasan Industri; dan
|
|
|
g.
|
susunan pengurus/pengelola Kawasan Industri.
|
|
(6)
|
Permohonan IUKI sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikecualikan dari perizinan yang menyangkut gangguan.
|
||
|
|
|
|
Pasal 24 |
|||
(1)
|
Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya sejak permohonan diterima dengan lengkap dan benar dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja melakukan pemeriksaan lapangan yang hasilnya dituangkan dalam berita acara pemeriksaan.
|
||
(2)
|
Berdasarkan hasil berita acara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya menerbitkan atau menolak permohonan IUKI paling lama 5 (lima) hari kerja sejak berita acara pemeriksaan diterima.
|
||
(3)
|
Permohonan ditolak apabila berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dan/atau terdapat ketidaksesuaian dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (5).
|
||
|
|
|
|
Pasal 25 |
|||
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian IUKI diatur dengan Peraturan Menteri.
|
|||
|
|
|
|
Bagian Keempat
Izin Perluasan Kawasan Industri Pasal 26 |
|||
(1)
|
Setiap Perusahaan Kawasan Industri yang melakukan perluasan kawasan wajib memiliki izin Perluasan Kawasan Industri.
|
||
(2)
|
Sebelum mengajukan permohonan izin Perluasan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Kawasan Industri harus telah menguasai dan selesai menyiapkan lahan Kawasan Industri sampai dapat digunakan, menyusun perubahan analisis dampak lingkungan, perencanaan dan pembangunan infrastruktur Kawasan Industri, serta kesiapan lain dalam rangka perluasan kawasan.
|
||
(3)
|
Perluasan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di dalam Kawasan Peruntukan Industri.
|
||
|
|
|
|
Pasal 27 |
|||
(1)
|
Perusahaan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) mengajukan permohonan izin perluasan kepada Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melalui pelayanan terpadu satu pintu.
|
||
(2)
|
Permohonan izin perluasan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan paling sedikit melampirkan:
|
||
|
a.
|
fotokopi IUKI;
|
|
|
b.
|
dokumen rencana perluasan kawasan;
|
|
|
c.
|
data Kawasan Industri 2 (dua) tahun terakhir;
|
|
|
d.
|
perubahan izin lingkungan;
|
|
|
e.
|
fotokopi susunan pengurus/pengelola Kawasan Industri; dan
|
|
|
f.
|
dokumen lain yang dipersyaratkan peraturan perundang-undangan.
|
|
(3)
|
Izin Perluasan Kawasan Industri hanya diberikan seluas lahan yang telah siap digunakan dan dikuasai yang dibuktikan dengan Surat Pelepasan Hak (SPH) atau sertifikat.
|
||
(4)
|
Pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dan ayat (3) dilakukan melalui pemeriksaan lapangan yang hasilnya dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan.
|
||
|
|
|
|
Pasal 28 |
|||
Menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai kewenangannya dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak berita acara pemeriksaan diterima:
|
|||
a.
|
menerbitkan izin perluasan Kawasan Industri dalam hal ketentuan dan persyaratan dipenuhi dengan lengkap dan benar; atau
|
||
b.
|
menolak permohonan dalam hal tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dan/atau terdapat ketidaksesuaian dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dan ayat (3).
|
||
|
|
|
|
Pasal 29 |
|||
Penerbitan Izin Prinsip, IUKI, dan/atau Izin Perluasan Kawasan Industri tidak dikenakan biaya.
|
|||
|
|
|
|
Pasal 30 |
|||
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin perluasan Kawasan Industri diatur dalam Peraturan Menteri.
|
|||
|
|
|
|
BAB V
HAK PENGGUNAAN ATAS TANAH KAWASAN INDUSTRI Pasal 31 |
|||
(1)
|
Perusahaan Kawasan Industri yang telah memperoleh IUKI dapat diberikan Hak Guna Bangunan atas tanah yang akan diusahakan dan dikembangkan.
|
||
(2)
|
Hak Guna Bangunan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipecah menjadi Hak Guna Bangunan untuk masing-masing kaveling.
|
||
(3)
|
Pemecahan Hak Guna Bangunan menjadi Hak Guna Bangunan untuk masing-masing kaveling sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dan menjadi tanggung jawab Perusahaan Kawasan Industri.
|
||
(4)
|
Ketentuan dan tata cara pemberian Hak Guna Bangunan dan pemecahan Hak Guna Bangunan untuk masing-masing kaveling sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
|
|
|
|
Pasal 32 |
|||
(1)
|
Dalam hal Perusahaan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 merupakan badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah, Perusahaan Kawasan Industri tersebut dapat diberikan Hak Pengelolaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
(2)
|
Di atas Hak Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan Hak Guna Bangunan.
|
||
(3)
|
Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan untuk masing-masing kaveling atau gabungan beberapa kaveling.
|
||
|
|
|
|
BAB VI
PENGELOLAAN KAWASAN INDUSTRI Pasal 33 |
|||
(1)
|
Pengelolaan Kawasan Industri dilakukan oleh Perusahaan Kawasan Industri.
|
||
(2)
|
Perusahaan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menunjuk pihak lain untuk melakukan pengelolaan Kawasan Industri.
|
||
(3)
|
Penunjukan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan kepada pemberi IUKI.
|
||
(4)
|
Penunjukkan pengelolaan Kawasan Industri kepada pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mengurangi tanggung jawab Perusahaan Kawasan Industri yang bersangkutan.
|
||
(5)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Kawasan Industri diatur dalam Peraturan Menteri.
|
||
|
|
|
|
BAB VII
KEWAJIBAN PERUSAHAAN KAWASAN INDUSTRI DAN PERUSAHAAN INDUSTRI Bagian Kesatu Kewajiban Perusahaan Kawasan Industri Pasal 34 |
|||
(1)
|
Perusahaan Kawasan Industri wajib menyediakan lahan bagi kegiatan Industri kecil dan Industri menengah.
|
||
(2)
|
Luasan lahan untuk kegiatan Industri kecil dan Industri menengah ditetapkan dari luas kaveling Industri.
|
||
(3)
|
Lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditetapkan sebagai sentra Industri kecil dan Industri menengah oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
|
||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan lahan bagi kegiatan Industri kecil dan Industri menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.
|
||
|
|
|
|
Pasal 35 |
|||
(1)
|
Perusahaan Kawasan Industri wajib memiliki Tata Tertib Kawasan Industri.
|
||
(2)
|
Tata Tertib Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi mengenai:
|
||
|
a.
|
hak dan kewajiban masing-masing pihak;
|
|
|
b.
|
ketentuan yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup sesuai hasil studi Analisis Dampak Lingkungan, Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan;
|
|
|
c.
|
ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait; dan
|
|
|
d.
|
ketentuan lain yang ditetapkan oleh pengelola Kawasan Industri.
|
|
(3)
|
Pengelola Kawasan Industri wajib memfasilitasi pelayanan perizinan satu pintu untuk memenuhi layanan cepat sesuai dengan peraturan kepala instansi pemerintah pusat yang menyelenggarakan pelayanan penanaman modal dan pelayanan terpadu satu pintu.
|
||
(4)
|
Pengelola Kawasan Industri wajib memfasilitasi hubungan industrial bagi Perusahaan Industri yang berada di Kawasan Industri.
|
||
(5)
|
Perusahaan Kawasan Industri yang telah memiliki Izin Prinsip, IUKI, dan/atau Izin Perluasan Kawasan Industri wajib menyampaikan Data Kawasan Industri secara berkala kepada Menteri, gubernur, dan/atau bupati/walikota sesuai dengan IUKI.
|
||
(6)
|
Tata cara penyampaian data Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
|
|
|
|
Bagian Kedua
Kewajiban Perusahaan Industri Pasal 36 |
|||
(1)
|
Perusahaan Industri yang akan menjalankan industri wajib berlokasi di Kawasan Industri.
|
||
(2)
|
Kewajiban berlokasi di Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi Perusahaan Industri yang akan menjalankan Industri dan berlokasi di daerah kabupaten/kota yang:
|
||
|
a.
|
belum memiliki Kawasan Industri; atau
|
|
|
b.
|
telah memiliki Kawasan Industri tetapi seluruh kaveling Industri dalam Kawasan Industrinya telah habis.
|
|
(3)
|
Pengecualian terhadap kewajiban berlokasi di Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi:
|
||
|
a.
|
Industri kecil dan Industri menengah yang tidak berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan hidup yang berdampak luas; atau
|
|
|
b.
|
Industri yang menggunakan bahan baku khusus dan/atau proses produksinya memerlukan lokasi khusus.
|
|
(4)
|
Perusahaan Industri yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan Perusahaan Industri menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a wajib berlokasi di Kawasan Peruntukan Industri.
|
||
(5)
|
Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri.
|
||
|
|
|
|
Pasal 37 |
|||
(1)
|
Perusahaan Industri yang berada di Kawasan Peruntukan Industri yang akan melakukan perluasan dengan menambah lahan, wajib berlokasi di dalam Kawasan Industri.
|
||
(2)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk Perusahaan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) dan ayat (3).
|
||
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Kewajiban Perusahaan Industri Di Dalam Kawasan Industri Pasal 38 |
|||
(1)
|
Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri wajib memiliki:
|
||
|
a.
|
Upaya Pengelolaan Lingkungan; dan
|
|
|
b.
|
Upaya Pemantauan Lingkungan.
|
|
(2)
|
Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri yang kegiatan usahanya mengolah atau memanfaatkan limbah bahan berbahaya dan beracun, wajib menyusun Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan mendapat pengesahan oleh instansi yang berwenang.
|
||
(3)
|
Kewajiban penyusunan AMDAL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan apabila AMDAL Kawasan Industri telah mencakup/memenuhi kebutuhan terhadap kegiatan mengolah atau memanfaatkan limbah bahan berbahaya dan beracun.
|
||
(4)
|
Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri dikecualikan dari perizinan yang menyangkut gangguan, lingkungan, lokasi, tempat usaha, peruntukan penggunaan tanah, pengesahan rencana tapak tanah, dan Analisis Dampak Lalu Lintas (ANDALALIN).
|
||
(5)
|
Pengecualian perizinan yang menyangkut lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak menghapus kewajiban dan tanggung jawab Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri untuk melakukan pengelolaan lingkungan.
|
||
|
|
|
|
Pasal 39 |
|||
(1)
|
Setiap Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri wajib:
|
||
|
a.
|
memenuhi ketentuan perizinan usaha Industri;
|
|
|
b.
|
memenuhi ketentuan Tata Tertib Kawasan Industri yang berlaku;
|
|
|
c.
|
memelihara daya dukung lingkungan di sekitar kawasan termasuk tidak melakukan pengambilan air tanah;
|
|
|
d.
|
melakukan pembangunan pabrik dalam batas waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak pembelian dan/atau penyewaan lahan, dan dapat diperpanjang 1 (satu) tahun; dan
|
|
|
e.
|
mengembalikan kaveling Industri kepada Perusahaan Kawasan Industri apabila dalam batas waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada huruf d tidak melakukan pembangunan pabrik.
|
|
(2)
|
Perusahaan Industri yang mengembalikan kaveling Industri kepada perusahaan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, berhak menerima uang pengembalian sesuai perjanjian para pihak.
|
||
(3)
|
Tata cara pengembalian kaveling Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e diatur lebih lanjut dalam Tata Tertib Kawasan Industri masing-masing Kawasan Industri.
|
||
|
|
|
|
Pasal 40 |
|||
(1)
|
Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri dapat melakukan kegiatan logistik barang.
|
||
(2)
|
Kegiatan logistik barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga dilakukan oleh perusahaan jasa logistik barang.
|
||
(3)
|
Kegiatan logistik barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan.
|
||
|
|
|
|
BAB VIII
FASILITAS KAWASAN INDUSTRI Pasal 41 |
|||
(1)
|
Perusahaan Kawasan Industri dan Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri diberikan insentif perpajakan.
|
||
(2)
|
Insentif perpajakan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan pengelompokan WPI.
|
||
(3)
|
Dalam hal pemberian insentif perpajakan terdapat perubahan pengelompokan WPI, diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan berdasarkan usulan Menteri.
|
||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai insentif perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
|
||
|
|
|
|
Pasal 42 |
|||
(1)
|
Perusahaan Kawasan Industri diberikan fasilitas kemudahan pembangunan dan pengelolaan tenaga listrik untuk kebutuhan sendiri dan industri di dalam Kawasan Industri.
|
||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitas kemudahan pembangunan dan pengelolaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.
|
||
|
|
|
|
Pasal 43 |
|||
(1)
|
Perusahaan Kawasan Industri dan Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri dapat diberikan insentif daerah.
|
||
(2)
|
Ketentuan mengenai pengaturan insentif daerah sebagaimana ayat (1) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
|
|
|
|
BAB IX
STANDAR KAWASAN INDUSTRI Pasal 44 |
|||
(1)
|
Perusahaan Kawasan Industri wajib memenuhi standar Kawasan Industri.
|
||
(2)
|
Standar Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi aspek:
|
||
|
a.
|
infrastruktur Kawasan Industri;
|
|
|
b.
|
pengelolaan lingkungan; dan
|
|
|
c.
|
manajemen dan layanan.
|
|
(3)
|
Perusahaan Kawasan Industri yang memenuhi standar Kawasan Industri diberikan akreditasi.
|
||
(4)
|
Akreditasi Kawasan Industri sebagaimana pada ayat (3) dilakukan oleh Komite Akreditasi Kawasan Industri yang ditetapkan oleh Menteri.
|
||
(5)
|
Dalam hal belum terdapat Komite Akreditasi Kawasan Industri, Menteri dapat menugaskan Komite Kawasan Industri.
|
||
(6)
|
Ketentuan mengenai Standar Kawasan Industri dan Akreditasi Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri.
|
||
|
|
|
|
BAB X
PRAKARSA PEMERINTAH DALAM PEMBANGUNAN KAWASAN INDUSTRI Pasal 45 |
|||
(1)
|
Pemerintah dapat memprakarsai pembangunan Kawasan Industri sebagai infrastruktur Industri:
|
||
|
a.
|
dalam hal pihak swasta tidak berminat atau belum mampu untuk membangun Kawasan Industri; dan/atau
|
|
|
b.
|
untuk percepatan penyebaran dan pemerataan pembangunan Industri.
|
|
(2)
|
Dalam rangka memprakarsai pembangunan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat melakukan:
|
||
|
a.
|
pembangunan sendiri; atau
|
|
|
b.
|
kerjasama dengan BUMN/BUMD dan Swasta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
|
||
|
|
|
|
Pasal 46 |
|||
(1)
|
Pembangunan dan pengelolaan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 dilakukan oleh Badan Layanan Umum di bidang penyediaan infrastruktur Industri.
|
||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Layanan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
|
||
|
|
|
|
Pasal 47 |
|||
(1)
|
Perizinan Kawasan Industri yang diprakarsai oleh Pemerintah diajukan oleh Badan Layanan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1).
|
||
(2)
|
Dalam hal Badan Layanan Umum belum terbentuk, perizinan Kawasan Industri yang diprakarsai oleh Pemerintah diajukan oleh satuan kerja di lingkungan kementerian yang menyelenggarakan urusan di bidang perindustrian.
|
||
(3)
|
Pemerintah Daerah harus memfasilitasi dan memberi kemudahan dalam proses perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
||
|
|
|
|
Pasal 48 |
|||
(1)
|
Pemerintah dapat melaksanakan pengadaan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan tanah.
|
||
(2)
|
Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan Hak Pengelolaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
(3)
|
Di atas Hak Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan Hak Guna Bangunan.
|
||
|
|
|
|
Pasal 49 |
|||
(1)
|
Pemanfaatan lahan oleh Perusahaan Industri dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis.
|
||
(2)
|
Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat paling sedikit:
|
||
|
a.
|
jangka waktu pemanfaatan lahan;
|
|
|
b.
|
besaran biaya pemanfaatan lahan; dan
|
|
|
c.
|
pemanfaatan lahan oleh Perusahaan Industri sesuai dengan yang diperjanjikan.
|
|
(3)
|
Ketentuan mengenai tata cara dan persyaratan pemanfaatan lahan diatur dengan Peraturan Menteri.
|
||
|
|
|
|
Pasal 50 |
|||
Ketentuan mengenai pembangunan, perizinan, fasilitas, dan standar Kawasan Industri berlaku secara mutatis mutandis terhadap pembangunan Kawasan Industri yang diprakarsai oleh Pemerintah.
|
|||
|
|
|
|
BAB XI
KOMITE KAWASAN INDUSTRI Pasal 51 |
|||
(1)
|
Dalam rangka mendukung pencapaian pembangunan Kawasan Industri, dibentuk Komite Kawasan Industri.
|
||
(2)
|
Keanggotaan Komite Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari unsur Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Himpunan Kawasan Industri Indonesia, kamar dagang dan industri yang membidangi Kawasan Industri yang diangkat dan ditetapkan oleh Menteri.
|
||
|
|
|
|
Pasal 52 |
|||
(1)
|
Komite Kawasan Industri bertugas:
|
||
|
a.
|
memberikan usulan dan masukan kepada Menteri sebagai bahan penyusunan perumusan kebijakan;
|
|
|
b.
|
melakukan pengawasan pelaksanaan pengembangan Kawasan Industri;
|
|
|
c.
|
melakukan koordinasi dengan instansi Pemerintah terkait dan/atau pemerintah daerah serta Perusahaan Kawasan Industri;
|
|
|
d.
|
melakukan evaluasi perkembangan Kawasan Industri;
|
|
|
e.
|
mengusulkan referensi harga jual atau sewa kaveling dan/atau bangunan Industri di Kawasan Industri; dan
|
|
|
f.
|
melakukan tugas akreditasi Kawasan Industri yang diberikan oleh Menteri.
|
|
(2)
|
Komite Kawasan Industri wajib melaporkan tugasnya kepada Menteri sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun.
|
||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian laporan diatur dalam Peraturan Menteri.
|
||
|
|
|
|
BAB XII
SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 53 |
|||
Perusahaan yang melakukan kegiatan usaha Kawasan Industri dan tidak memiliki IUKI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
|
|||
a.
|
peringatan tertulis;
|
||
b.
|
denda administratif; dan/atau
|
||
c.
|
penutupan sementara.
|
||
|
|
|
|
Pasal 54 |
|||
Perusahaan Kawasan Industri yang melakukan perluasan tetapi tidak memiliki Izin Perluasan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
|
|||
a.
|
peringatan tertulis;
|
||
b.
|
denda administratif; dan/atau
|
||
c.
|
penutupan sementara.
|
||
|
|
|
|
Pasal 55 |
|||
Perusahaan Kawasan Industri yang tidak memiliki Tata Tertib Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada Pasal 35 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis.
|
|||
|
|
|
|
Pasal 56 |
|||
Perusahaan Kawasan Industri yang tidak menyampaikan data Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (5) dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis.
|
|||
|
|
|
|
Pasal 57 |
|||
Perusahaan Kawasan Industri yang tidak memenuhi standar Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada Pasal 44 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
|
|||
a.
|
peringatan tertulis; dan/atau
|
||
b.
|
denda administratif.
|
||
|
|
|
|
Pasal 58 |
|||
Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 huruf a diberikan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing 30 (tiga puluh) hari.
|
|||
|
|
|
|
Pasal 59 |
|||
(1)
|
Perusahaan yang telah dikenakan sanksi administratif berupa peringatan tertulis dan tidak melakukan pengurusan IUKI dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58, dikenai sanksi administratif berupa denda administratif.
|
||
(2)
|
Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak 1% (satu persen) dari nilai investasi Kawasan Industri.
|
||
(3)
|
Nilai investasi Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan hasil audit lembaga independen.
|
||
(4)
|
Pembayaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak surat pengenaan denda administratif diterima.
|
||
|
|
|
|
Pasal 60 |
|||
(1)
|
Perusahaan yang tidak memenuhi kewajibannya dan tidak membayar denda administratif dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa penutupan sementara terhadap kegiatan Kawasan Industri.
|
||
(2)
|
Dalam hal perusahaan telah membayar denda administratif tetapi dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal batas waktu pembayaran denda administratif tidak memenuhi kewajibannya, dikenai sanksi administratif berupa penutupan sementara kegiatan Kawasan Industri.
|
||
(3)
|
Sanksi administratif berupa penutupan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikenakan sampai dengan perusahaan yang bersangkutan memperoleh IUKI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
||
|
|
|
|
Pasal 61 |
|||
Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada Pasal 54 huruf a diberikan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing 30 (tiga puluh) hari.
|
|||
|
|
|
|
Pasal 62 |
|||
(1)
|
Perusahaan Kawasan Industri yang telah dikenakan sanksi administratif berupa peringatan tertulis dan tidak melakukan pengurusan Izin Perluasan Kawasan Industri dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61, dikenai sanksi administratif berupa denda administratif.
|
||
(2)
|
Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak 1% (satu persen) dari nilai investasi perluasan Kawasan Industri.
|
||
(3)
|
Nilai investasi perluasan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan hasil audit lembaga independen.
|
||
(4)
|
Pembayaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak surat pengenaan denda administratif diterima.
|
||
|
|
|
|
Pasal 63 |
|||
(1)
|
Perusahaan Kawasan Industri yang tidak memenuhi kewajibannya dan tidak membayar denda administratif dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa penutupan sementara terhadap kegiatan perluasan Kawasan Industri.
|
||
(2)
|
Dalam hal Perusahaan Kawasan Industri telah membayar denda administratif tetapi dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal batas waktu pembayaran denda administratif tidak memenuhi kewajibannya, dikenai sanksi administratif berupa penutupan sementara terhadap kegiatan perluasan Kawasan Industri.
|
||
(3)
|
Sanksi administratif berupa penutupan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikenakan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal surat penutupan sementara diterima.
|
||
|
|
|
|
Pasal 64 |
|||
Apabila dalam jangka waktu penutupan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (3) Perusahaan Kawasan Industri belum memiliki Izin Perluasan Kawasan Industri, pada lahan perluasan tidak dapat diterbitkan Izin Perluasan Kawasan Industri.
|
|||
|
|
|
|
Pasal 65 |
|||
Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dikenai 3 (tiga) kali berturut-turut dengan jangka waktu masing-masing 30 (tiga puluh) hari.
|
|||
|
|
|
|
Pasal 66 |
|||
Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 dikenai 3 (tiga) kali berturut-turut dengan jangka waktu masing-masing 30 (tiga puluh) hari.
|
|||
|
|
|
|
Pasal 67 |
|||
Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 dikenai 3 (tiga) kali berturut-turut dengan jangka waktu masing-masing 30 (tiga puluh) hari.
|
|||
|
|
|
|
Pasal 68 |
|||
(1)
|
Perusahaan Kawasan Industri yang telah dikenakan sanksi administratif berupa peringatan tertulis dan tidak melakukan perbaikan terhadap pemenuhan standar Kawasan Industri dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67, dikenai sanksi administratif berupa denda administratif.
|
||
(2)
|
Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak 1% (satu persen) dari nilai investasi Kawasan Industri.
|
||
(3)
|
Nilai investasi perluasan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan hasil audit lembaga independen.
|
||
(4)
|
Pembayaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak surat pengenaan denda administratif diterima.
|
||
|
|
|
|
Pasal 69 |
|||
(1)
|
Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, dan Pasal 57 kepada Perusahaan Kawasan Industri.
|
||
(2)
|
Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan hasil pemeriksaan atas laporan yang berasal dari:
|
||
|
a.
|
pengaduan; dan/atau
|
|
|
b.
|
tindak lanjut hasil pengawasan.
|
|
(3)
|
Gubernur dan bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam memberikan sanksi administratif wajib mengacu pada norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberian sanksi administratif yang ditetapkan oleh Menteri.
|
||
|
|
|
|
Pasal 70 |
|||
Gubernur dan bupati/walikota wajib menyampaikan laporan pelaksanaan pemberian sanksi administratif kepada Menteri.
|
|||
|
|
|
|
Pasal 71 |
|||
Denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2), Pasal 62 ayat (2) dan Pasal 68 ayat (2) merupakan penerimaan Negara bukan pajak atau penerimaan daerah.
|
|||
|
|
|
|
BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN Pasal 72 |
|||
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
|
|||
a.
|
Perusahaan Kawasan Industri yang telah memiliki izin berupa IUKI atau izin sejenis yang diterbitkan sebelum Peraturan Pemerintah ini berlaku dinyatakan tetap berlaku sepanjang perusahaan melakukan kegiatan usaha Kawasan Industri;
|
||
b.
|
Perusahaan Kawasan Industri yang telah memiliki izin yang menyangkut gangguan sebagai persyaratan permohonan IUKI atau izin sejenis yang diterbitkan sebelum Peraturan Pemerintah ini berlaku, izin dimaksud tidak perlu dilakukan pembaharuan atau perpanjangan;
|
||
c.
|
Perusahaan atau Perusahaan Kawasan Industri yang telah mengajukan permohonan perizinan berupa:
|
||
|
1.
|
Izin Prinsip;
|
|
|
2.
|
IUKI; dan/atau
|
|
|
3.
|
Izin Perluasan Kawasan Industri dan masih dalam proses harus menyesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
|
|
d.
|
Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri yang telah mendapat izin usaha Industri sebelum Peraturan Pemerintah ini berlaku, tetap dapat melaksanakan kegiatan sesuai dengan insentif perpajakan yang telah ditetapkan;
|
||
e.
|
Beberapa Perusahaan Industri yang telah berdiri sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dan berada dalam 1 (satu) hamparan dengan luas lahan keseluruhan paling sedikit 20 (dua puluh) hektar yang berlokasi di dalam Kawasan Peruntukan Industri dapat mengajukan permohonan sebagai Kawasan Industri paling lama 2 (dua) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan; dan
|
||
f.
|
TIM Nasional Kawasan Industri yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009 melaksanakan tugas sampai dengan Komite Kawasan Industri dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
|
||
|
|
|
|
BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP Pasal 73 |
|||
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
|
|||
a.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri dicabut dan dinyatakan tidak berlaku;
|
||
b.
|
Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diatur dengan peraturan pelaksanaan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
|
||
|
|
|
|
Pasal 74 |
|||
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
|
|||
|
|
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
|
|||
|
|
|
|
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Desember 2015 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 28 Desember 2015 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. YASONNA H. LAOLY LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2015 NOMOR 365 |
|||
PENJELASANATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 142 TAHUN 2015 TENTANG KAWASAN INDUSTRI |
|||||||||
|
|
||||||||
I.
|
UMUM
|
||||||||
|
Pembangunan Industri merupakan salah satu pilar utama pembangunan perekonomian nasional, yang diarahkan dengan menerapkan prinsip-prinsip pembangunan Industri yang berkelanjutan yang didasarkan pada aspek pembangunan ekonomi, sosial, budaya, dan lingkungan hidup. Saat ini pembangunan Industri sedang dihadapkan pada persaingan global yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan Industri nasional. Peningkatan daya saing Industri merupakan salah satu pilihan yang harus dilakukan agar produk Industri nasional mampu bersaing di dalam negeri maupun luar negeri.
Langkah-langkah dalam rangka peningkatan daya saing dan daya tarik investasi yakni terciptanya iklim usaha yang kondusif, efisiensi, kepastian hukum, dan pemberian fasilitas fiskal serta kemudahan-kemudahan lain dalam kegiatan usaha Industri, yang antara lain dengan tersedianya lokasi Industri yang memadai yang berupa Kawasan Industri. Dalam rangka pelaksanaan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah mendorong percepatan penyebaran dan pemerataan pembangunan Industri ke seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui pembangunan Kawasan Industri. Pembangunan Kawasan Industri merupakan upaya untuk mengembangkan Industri yang berwawasan lingkungan serta memberikan kemudahan dan daya tarik bagi investasi dengan pendekatan konsep efisiensi, tata ruang, dan lingkungan hidup, sehingga dapat mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berdaya saing, menyebar dan merata ke seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta berkesinambungan. Di samping itu, Pembangunan Kawasan Industri memberikan kepastian lokasi sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), mensinergikan perencanaan dan pembangunan infrastruktur industri, infrastruktur dasar, infrastruktur penunjang dan sarana penunjang untuk Kawasan Industri. Peraturan Pemerintah ini mengatur hal-hal meliputi kewenangan Pemerintah, pemerintah Provinsi, dan pemerintah Kabupaten/Kota dalam pembangunan Kawasan Industri, pembangunan Kawasan Industri, prakarsa Pemerintah dalam Pembangunan Kawasan Industri, IUKI, hak penggunaan atas tanah Kawasan Industri, pengelolaan Kawasan Industri, kewajiban Perusahaan Kawasan Industri dan Perusahaan Industri, fasilitas Kawasan Industri, Standar Kawasan Industri, Komite Kawasan Industri, serta sanksi bagi Perusahaan Kawasan Industri maupun Perusahaan Industri yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
||||||||
|
|
||||||||
II.
|
PASAL DEMI PASAL
|
||||||||
|
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “pedoman referensi” adalah perkiraan harga yang dapat diacu oleh kawasan industri.
Huruf j
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pemilihan lokasi” adalah kegiatan awal untuk mengumpulkan berbagai data dan informasi atas lokasi yang akan dikembangkan, untuk melihat kebutuhan lahan, alternatif lokasi, dan kesesuaian pemanfaatan lokasi dengan rencana tata ruang wilayah setempat.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “perizinan” adalah izin yang dipersyaratkan dalam pembangunan Kawasan Industri.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Pematangan tanah sebagaimana dimaksud tidak termasuk dalam kegiatan usaha di bidang pertambangan.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Sarana penunjang antara lain hotel dan restoran, sarana olahraga, sarana ibadah, sarana perbankan, kantor pos dan sarana penunjang lainnya sesuai dengan kebutuhan
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “membangun sebagian infrastruktur dasar Kawasan Industri” adalah tersedianya jaringan jalan, saluran drainase dan instalasi pengolahan air baku.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “gangguan” sebagaimana tercantum dalam Hinderordonnantie, Staatsblad 1926:226.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Memfasilitasi hubungan industrial berupa penyediaan ruang, membentuk forum, melakukan pertemuan rutin.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Perusahaan Industri yang akan menjalankan Industri” adalah Industri baru atau yang melakukan perluasan pada lokasi yang berbeda.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “seluruh kaveling Industri dalam kawasan Industri telah habis” antara lain luas kaveling Industri tidak mencukupi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Kegiatan Logistik Barang meliputi: kegiatan distribusi, penyimpanan, sortasi, pelabelan, pengemasan, pengemasan kembali, dan lain-lain.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pengelompokan Wilayah Pengembangan Industri meliputi:
WPI dalam pengelompokan WPI dapat berubah.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “perubahan pengelompokan WPI” adalah perubahan WPI dari satu kelompok ke dalam kelompok lain. Sebagai contoh semula WPI dari kelompok WPI potensial I berubah menjadi WPI di kelompok WPI berkembang, dari WPI berkembang berubah menjadi WPI maju, dan seterusnya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Yang dengan insentif daerah meliputi pengurangan, keringanan, atau pembebasan pajak daerah dan/atau retribusi daerah, misalnya pengurangan atau pembebasan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB); PBB atas tanah yang belum dialihkan kepada Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri dikenakan tarif PBB tanah asal; pengurangan atau pembebasan Pajak Penerangan Jalan (PPJ) untuk jalan lingkungan di dalam Kawasan Industri; dan lain lain sesuai peraturan perundangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Badan Layanan Umum dibidang penyediaan infrastruktur industri, adalah unit yang bertugas melaksanakan pembangunan dan pengelolaan Kawasan Industri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Dalam hal kegiatan usaha Kawasan Industri sudah berjalan maka penutupan sementara dilakukan dengan penghentian sementara kegiatan Kawasan Industri sampai memperoleh izin.
Pasal 54
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Dalam hal kegiatan perluasan sedang berjalan maka penutupan sementara dilakukan dengan penghentian sementara kegiatan perluasan Kawasan Industri sampai memperoleh izin.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
|
||||||||
|
|
||||||||
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5806
|