Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Premium
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
|
||||
|
||||
Menimbang |
||||
a.
|
bahwa ketentuan mengenai tata cara pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak sebelum 1 Januari 2008 telah diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 542/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak;
|
|||
b.
|
bahwa ketentuan mengenai tata cara pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi, pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak yang tidak benar, dan pembatalan hasil pemeriksaan untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak sesudah 1 Januari 2008 telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 21/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi, Pengurangan atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak yang Tidak Benar, dan Pembatalan Hasil Pemeriksaan;
|
|||
c.
|
bahwa dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan mengenai tata cara pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi, pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak yang tidak benar, dan pembatalan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b;
|
|||
d.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 36 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 dan Pasal 35 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan Pengurangan atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak;
|
|||
|
|
|||
Mengingat |
||||
1.
|
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
|
|||
2.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5268);
|
|||
|
||||
MEMUTUSKAN:
|
||||
Menetapkan |
||||
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENGURANGAN ATAU PENGHAPUSAN SANKSI ADMINISTRASI DAN PENGURANGAN ATAU PEMBATALAN SURAT KETETAPAN PAJAK ATAU SURAT TAGIHAN PAJAK.
|
||||
|
||||
BAB I
KETENTUAN UMUM
|
||||
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
|
||||
1.
|
Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya disebut Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
|
|||
2.
|
Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi adalah surat keputusan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak yang berisi mengenai:
|
|||
|
a.
|
pengurangan sanksi administrasi sebagaimana tercantum dalam surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak; atau
|
||
|
b.
|
penolakan atas permohonan pengurangan sanksi administrasi yang diajukan oleh Wajib Pajak.
|
||
3.
|
Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi adalah surat keputusan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak yang berisi mengenai:
|
|||
|
a.
|
penghapusan sanksi administrasi sebagaimana tercantum dalam surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak; atau
|
||
|
b.
|
penolakan atas permohonan penghapusan sanksi administrasi yang diajukan oleh Wajib Pajak.
|
||
4.
|
Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak adalah surat keputusan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak yang berisi mengenai:
|
|||
|
a.
|
pengurangan atas jumlah pajak dalam surat ketetapan pajak dan/atau sanksi yang tidak benar sebagaimana tercantum dalam surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak; atau
|
||
|
b.
|
penolakan atas permohonan pengurangan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
|
||
5.
|
Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak adalah surat keputusan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak yang berisi mengenai:
|
|||
|
a.
|
pembatalan atas surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak; atau
|
||
|
b.
|
penolakan atas permohonan pembatalan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
|
||
6.
|
Penyampaian surat permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dan surat permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak secara elektronik yang selanjutnya disebut e-Filing adalah suatu cara penyampaian surat permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dan surat permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak yang dilakukan secara on-line yang real time melalui situs web Direktorat Jenderal Pajak (www.pajak.go.id) atau Penyedia Jasa Aplikasi atau Application Service Provider (ASP).
|
|||
7.
|
Bukti Penerimaan Elektronik adalah informasi yang berisi nama, Nomor Pokok Wajib Pajak, tanggal, jam, Nomor Tanda Terima Elektronik (NTTE) yang tertera pada hasil cetakan bukti penerimaan, dalam hal e-Filing dilakukan melalui situs web Direktorat Jenderal Pajak, atau informasi yang berisi nama, Nomor Pokok Wajib Pajak, tanggal, jam, Nomor Tanda Terima Elektronik (NTTE) dan Nomor Transaksi Pengiriman ASP (NTPA), serta nama perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP), yang tertera pada hasil cetakan surat permohonan, dalam hal e Filing dilakukan melalui Penyedia Jasa Aplikasi atau Application Service Provider (ASP).
|
|||
|
|
|||
BAB II
PENGURANGAN, PENGHAPUSAN, ATAU PEMBATALAN BERDASARKAN PERMOHONAN WAJIB PAJAK Pasal 2 |
||||
Direktur Jenderal Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak dapat:
|
||||
a.
|
mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
|
|||
b.
|
mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar;
|
|||
c.
|
mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Undang-Undang KUP yang tidak benar; atau
|
|||
d.
|
membatalkan surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan atau verifikasi yang dilaksanakan tanpa:
|
|||
|
1)
|
penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan atau surat pemberitahuan hasil verifikasi; dan/atau
|
||
|
2)
|
pembahasan akhir hasil pemeriksaan atau pembahasan akhir hasil verifikasi dengan Wajib Pajak.
|
||
|
|
|
||
Bagian Kesatu
Penyampaian Permohonan Wajib Pajak
|
||||
(1)
|
Permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan dengan menyampaikan surat permohonan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dan/atau tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan yang dapat dilakukan:
|
|||
|
a.
|
secara langsung;
|
||
|
b.
|
melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau
|
||
|
c.
|
dengan cara lain.
|
||
(2)
|
Penyampaian surat permohonan melalui pos sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah penyampaian surat permohonan melalui pos yang mempunyai bukti pengiriman surat secara tercatat.
|
|||
(3)
|
Penyampaian surat permohonan dengan cara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
|
|||
|
a.
|
melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat; atau
|
||
|
b.
|
e-Filing.
|
||
(4)
|
Perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a adalah perusahaan yang berbentuk badan hukum yang memberikan jasa pengiriman surat jenis tertentu termasuk pengiriman surat permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dan surat permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak ke Direktorat Jenderal Pajak.
|
|||
(5)
|
Penyampaian surat permohonan secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan bukti penerimaan surat yang diberikan oleh petugas yang ditunjuk di Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dan/atau tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan.
|
|||
(6)
|
Penyampaian surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b diberikan Bukti Penerimaan Elektronik.
|
|||
(7)
|
Bukti penerimaan surat sebagaimana dimaksud pada ayat (5), bukti pengiriman surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (3) huruf a, dan Bukti Penerimaan Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (6), merupakan tanda bukti penerimaan surat permohonan.
|
|||
(8)
|
Tanggal yang tercantum pada tanda bukti penerimaan surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) merupakan tanggal surat permohonan diterima.
|
|||
|
|
|||
Bagian Kedua
Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi
|
||||
Sanksi administrasi yang dapat dikurangkan atau dihapuskan berdasarkan permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a meliputi:
|
||||
a.
|
sanksi administrasi yang tercantum dalam surat ketetapan pajak, kecuali sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang diterbitkan berdasarkan ketentuan Pasal 13A Undang-Undang KUP;
|
|||
b.
|
sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak yang terkait dengan penerbitan surat ketetapan pajak, kecuali sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan berdasarkan Pasal 25 ayat (9) dan Pasal 27 ayat (5d) Undang-Undang KUP; atau
|
|||
c.
|
sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak selain Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf b.
|
|||
|
|
|||
Pasal 5 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak dapat memperoleh pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dengan menyampaikan surat permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi kepada Direktur Jenderal Pajak.
|
|||
(2)
|
Permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang tercantum dalam surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a hanya dapat diajukan dalam hal atas surat ketetapan pajak tersebut:
|
|||
|
a.
|
tidak diajukan keberatan;
|
||
|
b.
|
diajukan keberatan, tetapi dicabut oleh Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak telah menyetujui permohonan pencabutan Wajib Pajak tersebut;
|
||
|
c.
|
diajukan keberatan, tetapi tidak dipertimbangkan;
|
||
|
d.
|
tidak diajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b;
|
||
|
e.
|
diajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, tetapi dicabut oleh Wajib Pajak;
|
||
|
f.
|
tidak sedang diajukan permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d;
|
||
|
g.
|
diajukan permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d, tetapi dicabut oleh Wajib Pajak; atau
|
||
|
h.
|
diajukan permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d, tetapi permohonan tersebut ditolak.
|
||
(3)
|
Permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b hanya dapat diajukan dalam hal surat ketetapan pajak yang terkait dengan Surat Tagihan Pajak tersebut:
|
|||
|
a.
|
tidak diajukan keberatan;
|
||
|
b.
|
diajukan keberatan, tetapi dicabut oleh Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak telah menyetujui permohonan pencabutan Wajib Pajak tersebut;
|
||
|
c.
|
diajukan keberatan, tetapi tidak dipertimbangkan;
|
||
|
d.
|
tidak diajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b;
|
||
|
e.
|
diajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, tetapi dicabut oleh Wajib Pajak;
|
||
|
f.
|
tidak sedang diajukan permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d;
|
||
|
g.
|
diajukan permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d, tetapi dicabut oleh Wajib Pajak; atau
|
||
|
h.
|
diajukan permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d, tetapi permohonan tersebut ditolak.
|
||
(4)
|
Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b juga harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
Surat Tagihan Pajak tersebut tidak diajukan permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c; atau
|
||
|
b.
|
Surat Tagihan Pajak tersebut diajukan permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c, tetapi dicabut oleh Wajib Pajak.
|
||
(5)
|
Permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c hanya dapat diajukan dalam hal:
|
|||
|
a.
|
Surat Tagihan Pajak tersebut tidak diajukan permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c; atau
|
||
|
b.
|
Surat Tagihan Pajak tersebut diajukan permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c, tetapi dicabut oleh Wajib Pajak.
|
||
(6)
|
Permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak, kecuali permohonan tersebut diajukan untuk Surat Tagihan Pajak berdasarkan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang KUP, sepanjang terkait dengan surat ketetapan pajak yang sama maka 1 (satu) permohonan dapat diajukan untuk lebih dari satu Surat Tagihan Pajak;
|
||
|
b.
|
permohonan harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
|
||
|
c.
|
mengemukakan jumlah sanksi administrasi menurut Wajib Pajak dengan disertai alasan;
|
||
|
d.
|
permohonan harus disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar; dan
|
||
|
e.
|
surat permohonan ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dalam hal surat permohonan ditandatangani bukan oleh Wajib Pajak, surat permohonan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang KUP.
|
||
(7)
|
Permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 2 (dua) kali.
|
|||
(8)
|
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang kedua, permohonan tersebut harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat keputusan Direktur Jenderal Pajak atas permohonan yang pertama dikirim, kecuali Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak.
|
|||
(9)
|
Permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tetap diajukan terhadap surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak yang telah diterbitkan surat keputusan Direktur Jenderal Pajak.
|
|||
(10)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (6) berlaku juga untuk permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang kedua.
|
|||
|
|
|||
Pasal 6 |
||||
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak menguji permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
menguji pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) sampai dengan ayat (6), untuk permohonan yang pertama; atau
|
||
|
b.
|
menguji pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) sampai dengan ayat (6) dan Pasal 5 ayat (8), untuk permohonan yang kedua.
|
||
(2)
|
Dalam hal permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), permohonan tersebut ditindaklanjuti.
|
|||
(3)
|
Dalam hal permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak mengembalikan permohonan tersebut dengan menyampaikan surat yang berisi mengenai pengembalian permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi.
|
|||
(4)
|
Dalam hal permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dikembalikan karena tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (6), berlaku ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
untuk permohonan yang pertama, Wajib Pajak dianggap belum mengajukan permohonan sehingga Wajib Pajak masih dapat mengajukan permohonan paling banyak 2 (dua) kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (7); atau
|
||
|
b.
|
untuk permohonan yang kedua, Wajib Pajak masih dapat mengajukan permohonan sepanjang jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (8) belum terlampaui.
|
||
(5)
|
Terhadap permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang dikembalikan karena tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam:
|
|||
|
a.
|
Pasal 5 ayat (2) sampai dengan ayat (5), untuk permohonan yang pertama; atau
|
||
|
b.
|
Pasal 5 ayat (2) sampai dengan ayat (5) dan Pasal 5 ayat (8), untuk permohonan yang kedua,
|
||
|
Wajib Pajak tidak dapat mengajukan permohonan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1).
|
|||
|
|
|||
Pasal 7 |
||||
(1)
|
Terhadap permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti permohonan tersebut dengan meneliti permohonan Wajib Pajak.
|
|||
(2)
|
Dalam rangka meneliti permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak dapat meminta dokumen, data, dan/atau informasi yang diperlukan melalui penyampaian surat permintaan dokumen, data, dan/atau informasi.
|
|||
(3)
|
Wajib Pajak harus memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak tanggal surat permintaan dikirim.
|
|||
(4)
|
Dalam rangka meneliti lebih lanjut permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Pajak dapat meminta keterangan tambahan kepada Wajib Pajak dengan menyampaikan surat permintaan keterangan tambahan dan Wajib Pajak harus memberikan keterangan yang diminta dalam jangka waktu paling lama sebagaimana disebut dalam surat permintaan keterangan tambahan.
|
|||
(5)
|
Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi sebagian atau seluruh permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau ayat (4), permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap diproses sesuai dengan dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan yang ada atau yang diterima.
|
|||
(6)
|
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permohonan diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (8), harus menerbitkan Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi.
|
|||
(7)
|
Surat keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berisi keputusan berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, atau menolak permohonan Wajib Pajak.
|
|||
(8)
|
Apabila jangka waktu 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) telah lewat tetapi Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan surat keputusan atau tidak mengembalikan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3), permohonan tersebut dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak harus menerbitkan surat keputusan sesuai dengan permohonan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
|
|||
|
|
|||
Pasal 8 |
||||
(1)
|
Dalam hal permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) terkait dengan sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak berdasarkan Pasal 8 ayat (2) atau Pasal 8 ayat (2a) Undang-Undang KUP dan sanksi administrasi tersebut melebihi jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan, berlaku ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi hanya dapat diberikan apabila sanksi administrasi tersebut belum dibayar atau belum dilunasi oleh Wajib Pajak; dan
|
||
|
b.
|
Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi hanya dapat diberikan apabila jumlah pajak yang kurang dibayar dalam pembetulan Surat Pemberitahuan yang menjadi dasar penerbitan Surat Tagihan Pajak berdasarkan Pasal 8 ayat (2) atau Pasal 8 ayat (2a) Undang-Undang KUP telah dilunasi oleh Wajib Pajak.
|
||
(2)
|
Terhadap permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pengurangan sanksi administrasi sehingga besarnya sanksi administrasi sebesar 2% (dua persen) per bulan menjadi 24 (dua puluh empat) bulan.
|
|||
|
|
|||
Pasal 9 |
||||
(1)
|
Dalam hal permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) terkait dengan sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak berdasarkan Pasal 9 ayat (2a) atau Pasal 9 ayat (2b) Undang-Undang KUP dan sanksi administrasi tersebut melebihi jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan, berlaku ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi hanya dapat diberikan apabila sanksi administrasi tersebut belum dibayar atau belum dilunasi oleh Wajib Pajak; dan
|
||
|
b.
|
pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi hanya dapat diberikan apabila jumlah pajak yang terutang atau kekurangan pembayaran pajak yang terutang yang menjadi dasar penerbitan Surat Tagihan Pajak berdasarkan Pasal 9 ayat (2a) atau Pasal 9 ayat (2b) Undang-Undang KUP telah dilunasi oleh Wajib Pajak.
|
||
(2)
|
Terhadap permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pengurangan sanksi administrasi sehingga besarnya sanksi administrasi sebesar 2% (dua persen) per bulan menjadi 24 (dua puluh empat) bulan.
|
|||
|
|
|||
Pasal 10 |
||||
(1)
|
Dalam hal permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) terkait dengan sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak berdasarkan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang KUP dan sanksi administrasi tersebut melebihi jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan, perhitungan waktu sanksi administrasi dalam Surat Tagihan Pajak tersebut dapat berasal dari perhitungan waktu yang tercantum dalam 1 (satu) atau beberapa Surat Tagihan Pajak untuk dasar penagihan pajak yang sama.
|
|||
(2)
|
Terhadap permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi hanya dapat diberikan apabila sanksi administrasi tersebut belum dibayar atau belum dilunasi oleh Wajib Pajak; dan
|
||
|
b.
|
pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi hanya dapat diberikan apabila jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam surat ketetapan pajak yang menjadi dasar penerbitan Surat Tagihan Pajak berdasarkan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang KUP telah dilunasi oleh Wajib Pajak.
|
||
(3)
|
Terhadap permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pengurangan sanksi administrasi sehingga besarnya sanksi administrasi sebesar 2% (dua persen) per bulan menjadi 24 (dua puluh empat) bulan.
|
|||
(4)
|
Keputusan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan atas masing-masing Surat Tagihan Pajak yang diajukan permohonan.
|
|||
|
|
|||
Pasal 11 |
||||
Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi atas Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2a) Undang-Undang KUP, Pasal 9 ayat (2b) Undang-Undang KUP, dan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang KUP sehingga sanksi administrasi menjadi paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, diberikan untuk permohonan yang diajukan setelah tanggal 31 Desember 2011 sampai dengan tanggal 31 Desember 2013.
|
||||
|
||||
Pasal 12 |
||||
(1)
|
Terhadap permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 8 ayat (1), Pasal 9 ayat (1), atau Pasal 10 ayat (1) dapat diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi menjadi kurang dari 24 (dua puluh empat) bulan.
|
|||
(2)
|
Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi menjadi kurang dari 24 (dua puluh empat) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan apabila:
|
|||
|
a.
|
sanksi administrasi tersebut belum dibayar atau belum dilunasi oleh Wajib Pajak;
|
||
|
b.
|
jumlah kekurangan pembayaran pajak yang menjadi dasar pengenaan sanksi administrasi yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak telah dilunasi oleh Wajib Pajak; dan
|
||
|
c.
|
memenuhi kriteria yang dapat berupa:
|
||
|
|
1)
|
Wajib Pajak yang dikenai sanksi administrasi karena kesalahan Direktorat Jenderal Pajak selain yang tercakup dalam kesalahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang KUP;
|
|
|
|
2)
|
Wajib Pajak yang dikenai sanksi administrasi karena keadaan yang disebabkan oleh pihak ketiga dan bukan karena kesalahan Wajib Pajak;
|
|
|
|
3)
|
Wajib Pajak yang dikenai sanksi administrasi terkena bencana alam, kebakaran, huru-hara/kerusuhan massal, atau kejadian luar biasa lainnya; atau
|
|
|
|
4)
|
Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas sehingga mempengaruhi kelangsungan usahanya.
|
|
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Pengurangan atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang Tidak Benar
|
||||
(1)
|
Surat ketetapan pajak yang dapat dikurangkan atau dibatalkan berdasarkan permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b adalah surat ketetapan pajak yang tidak benar, kecuali Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang diterbitkan berdasarkan ketentuan Pasal 13A Undang-Undang KUP.
|
|||
(2)
|
Surat ketetapan pajak yang tidak benar yang dapat dikurangkan berdasarkan permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi surat ketetapan pajak yang jumlah pajak terutangnya tidak benar.
|
|||
(3)
|
Surat ketetapan pajak yang tidak benar yang dapat dibatalkan berdasarkan permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi surat ketetapan pajak yang seharusnya tidak diterbitkan.
|
|||
(4)
|
Dalam hal surat ketetapan pajak dibatalkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), terhadap Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, dan jenis pajak yang terkait dengan surat ketetapan pajak yang dibatalkan tersebut:
|
|||
|
a.
|
dianggap tidak pernah diterbitkan surat ketetapan pajak; dan
|
||
|
b.
|
Direktur Jenderal Pajak tetap dapat menerbitkan surat ketetapan pajak atas Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak dan jenis pajak tersebut.
|
||
|
|
|
||
Pasal 14 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak dapat memperoleh pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) dengan menyampaikan surat permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar kepada Direktur Jenderal Pajak.
|
|||
(2)
|
Permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan dalam hal atas surat ketetapan pajak tersebut:
|
|||
|
a.
|
tidak diajukan keberatan;
|
||
|
b.
|
diajukan keberatan, tetapi tidak dipertimbangkan;
|
||
|
c.
|
tidak diajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a;
|
||
|
d.
|
diajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, tetapi dicabut oleh Wajib Pajak;
|
||
|
e.
|
tidak sedang diajukan permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d;
|
||
|
f.
|
diajukan permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi sebagaimana dimaksud Pasal 2 huruf d, tetapi dicabut oleh Wajib Pajak; atau
|
||
|
g.
|
diajukan permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi sebagaimana dimaksud Pasal 2 huruf d, tetapi permohonan tersebut ditolak.
|
||
(3)
|
Permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diajukan dalam hal surat ketetapan pajak tersebut diajukan keberatan, tetapi dicabut oleh Wajib Pajak.
|
|||
(4)
|
Permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) surat ketetapan pajak;
|
||
|
b.
|
permohonan harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
|
||
|
c.
|
mengemukakan jumlah pajak yang terutang menurut perhitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan;
|
||
|
d.
|
permohonan harus disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar; dan
|
||
|
e.
|
surat permohonan ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dalam hal surat permohonan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, surat permohonan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang KUP.
|
||
(5)
|
Permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 2 (dua) kali.
|
|||
(6)
|
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar yang kedua, permohonan tersebut harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat keputusan Direktur Jenderal Pajak atas permohonan yang pertama dikirim, kecuali Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak.
|
|||
(7)
|
Permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar yang kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tetap diajukan terhadap surat ketetapan pajak yang telah diterbitkan surat keputusan Direktur Jenderal Pajak.
|
|||
(8)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (4) berlaku juga untuk permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar yang kedua.
|
|||
|
|
|||
Pasal 15 |
||||
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak menguji permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
menguji pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) sampai dengan ayat (4), untuk permohonan yang pertama; atau
|
||
|
b.
|
menguji pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) sampai dengan ayat (4) dan ayat (6), untuk permohonan yang kedua.
|
||
(2)
|
Dalam hal permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), permohonan tersebut ditindaklanjuti.
|
|||
(3)
|
Dalam hal permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak mengembalikan permohonan tersebut dengan menyampaikan surat yang berisi mengenai pengembalian permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar.
|
|||
(4)
|
Dalam hal permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar dikembalikan karena tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4), berlaku ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
untuk permohonan yang pertama, Wajib Pajak dianggap belum mengajukan permohonan sehingga Wajib Pajak masih dapat mengajukan permohonan paling banyak 2 (dua) kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (5); atau
|
||
|
b.
|
untuk permohonan yang kedua, Wajib Pajak masih dapat mengajukan permohonan sepanjang jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (6) belum terlampaui.
|
||
(5)
|
Terhadap permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar yang dikembalikan karena tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam:
|
|||
|
a.
|
Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3), untuk permohonan yang pertama; atau
|
||
|
b.
|
Pasal 14 ayat (2), ayat (3), dan ayat (6), untuk permohonan yang kedua,
|
||
|
Wajib Pajak tidak dapat mengajukan permohonan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1).
|
|||
|
|
|||
Pasal 16 |
||||
(1)
|
Terhadap permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2), Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti permohonan tersebut dengan meneliti permohonan Wajib Pajak.
|
|||
(2)
|
Dalam rangka meneliti permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak dapat meminta pembukuan atau pencatatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, data, dan/atau informasi yang diperlukan melalui penyampaian surat permintaan pembukuan atau pencatatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, data, dan/atau informasi.
|
|||
(3)
|
Wajib Pajak harus memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah tanggal surat permintaan dikirim.
|
|||
(4)
|
Dalam rangka meneliti lebih lanjut permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Pajak dapat meminta keterangan tambahan kepada Wajib Pajak dengan menyampaikan surat permintaan keterangan tambahan dan Wajib Pajak harus memberikan keterangan yang diminta dalam jangka waktu paling lama sebagaimana disebut dalam surat permintaan keterangan tambahan.
|
|||
(5)
|
Direktur Jenderal Pajak dapat mempertimbangkan pembukuan atau pencatatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, data, dan/atau informasi serta keterangan tambahan yang diberikan dalam proses penyelesaian permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar.
|
|||
(6)
|
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dalam hal penghasilan kena pajak dalam surat ketetapan pajak dihitung secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) dan ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, dokumen yang dapat dipertimbangkan dalam proses penyelesaian permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar terbatas pada:
|
|||
|
a.
|
dokumen yang terkait dengan penghitungan peredaran usaha atau penghasilan bruto dalam rangka penghitungan penghasilan neto secara jabatan; dan
|
||
|
b.
|
dokumen kredit pajak sebagai pengurang Pajak Penghasilan.
|
||
(7)
|
Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi sebagian atau seluruh permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau ayat (4), permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap diproses sesuai dengan buku, catatan, dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan yang ada atau yang diterima.
|
|||
(8)
|
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permohonan diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (8) harus menerbitkan Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak.
|
|||
(9)
|
Surat keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) berisi keputusan berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, atau menolak permohonan Wajib Pajak.
|
|||
(10)
|
Apabila jangka waktu 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) telah lewat tetapi Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan surat keputusan atau tidak mengembalikan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3), permohonan tersebut dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak harus menerbitkan surat keputusan sesuai dengan permohonan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
|
|||
|
|
|||
Bagian Keempat
Pengurangan atau Pembatalan Surat Tagihan Pajak yang Tidak Benar
|
||||
(1)
|
Surat Tagihan Pajak yang dapat dikurangkan atau dibatalkan berdasarkan permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c meliputi:
|
|||
|
a.
|
Surat Tagihan Pajak yang tidak benar yang terkait dengan penerbitan surat ketetapan pajak; dan
|
||
|
b.
|
Surat Tagihan Pajak yang tidak benar selain Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a.
|
||
(2)
|
Surat Tagihan Pajak yang tidak benar yang dapat dikurangkan berdasarkan permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Surat Tagihan Pajak dengan jumlah sanksi administrasi yang tidak benar.
|
|||
(3)
|
Surat Tagihan Pajak yang tidak benar yang dapat dibatalkan berdasarkan permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Surat Tagihan Pajak yang seharusnya tidak diterbitkan.
|
|||
|
|
|||
Pasal 18 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak dapat memperoleh pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dengan menyampaikan surat permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar kepada Direktur Jenderal Pajak.
|
|||
(2)
|
Permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang terkait dengan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a hanya dapat diajukan dalam hal atas surat ketetapan pajak tersebut:
|
|||
|
a.
|
tidak diajukan keberatan;
|
||
|
b.
|
diajukan keberatan, tetapi dicabut oleh Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak telah menyetujui permohonan pencabutan Wajib Pajak tersebut;
|
||
|
c.
|
diajukan keberatan, tetapi tidak dipertimbangkan;
|
||
|
d.
|
tidak diajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b;
|
||
|
e.
|
diajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, tetapi dicabut oleh Wajib Pajak;
|
||
|
f.
|
tidak sedang diajukan permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d;
|
||
|
g.
|
diajukan permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d, tetapi dicabut oleh Wajib Pajak; atau
|
||
|
h.
|
diajukan permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d, tetapi permohonan tersebut ditolak.
|
||
(3)
|
Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang terkait dengan surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a juga harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
Surat Tagihan Pajak tersebut tidak diajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a; atau
|
||
|
b.
|
Surat Tagihan Pajak tersebut diajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, tetapi dicabut oleh Wajib Pajak.
|
||
(4)
|
Permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b hanya dapat diajukan dalam hal:
|
|||
|
a.
|
Surat Tagihan Pajak tersebut tidak diajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a; atau
|
||
|
b.
|
Surat Tagihan Pajak tersebut diajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, tetapi dicabut Wajib Pajak.
|
||
(5)
|
Permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) Surat Tagihan Pajak;
|
||
|
b.
|
permohonan harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
|
||
|
c.
|
mengemukakan jumlah tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi dalam Surat Tagihan Pajak menurut Wajib Pajak dengan disertai alasan;
|
||
|
d.
|
permohonan harus disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar; dan
|
||
|
e.
|
surat permohonan ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dalam hal surat permohonan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, surat permohonan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang KUP.
|
||
(6)
|
Permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 2 (dua) kali.
|
|||
(7)
|
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar yang kedua, permohonan tersebut harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat keputusan Direktur Jenderal Pajak atas permohonan yang pertama dikirim, kecuali Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak.
|
|||
(8)
|
Permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar yang kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tetap diajukan terhadap Surat Tagihan Pajak yang telah diterbitkan surat keputusan Direktur Jenderal Pajak.
|
|||
(9)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (5) berlaku juga untuk permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar yang kedua.
|
|||
|
|
|||
Pasal 19 |
||||
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak menguji permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
menguji pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) sampai dengan ayat (5), untuk permohonan yang pertama; atau
|
||
|
b.
|
menguji pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) sampai dengan ayat (5), dan ayat (7), untuk permohonan yang kedua.
|
||
(2)
|
Dalam hal permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), permohonan tersebut ditindaklanjuti.
|
|||
(3)
|
Dalam hal permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak mengembalikan permohonan tersebut dengan menyampaikan surat yang berisi mengenai pengembalian permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar.
|
|||
(4)
|
Dalam hal permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar dikembalikan karena tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (5) berlaku ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
untuk permohonan yang pertama, Wajib Pajak dianggap belum mengajukan permohonan sehingga Wajib Pajak masih dapat mengajukan permohonan paling banyak 2 (dua) kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (6); atau
|
||
|
b.
|
Untuk permohonan yang kedua, Wajib Pajak masih dapat mengajukan permohonan sepanjang jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (7) belum terlampaui.
|
||
(5)
|
Terhadap permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar yang dikembalikan karena tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam:
|
|||
|
a.
|
Pasal 18 ayat (2) sampai dengan ayat (4), untuk permohonan yang pertama; atau
|
||
|
b.
|
Pasal 18 ayat (2) sampai dengan ayat (4) dan Pasal 18 ayat (7), untuk permohonan yang kedua,
|
||
|
Wajib Pajak tidak dapat mengajukan permohonan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1).
|
|||
|
|
|||
Pasal 20 |
||||
(1)
|
Terhadap permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2), Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti permohonan tersebut dengan meneliti permohonan Wajib Pajak.
|
|||
(2)
|
Dalam rangka meneliti permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak dapat meminta dokumen, data, dan/atau informasi yang diperlukan melalui penyampaian surat permintaan.
|
|||
(3)
|
Wajib Pajak harus memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah tanggal surat permintaan dikirim.
|
|||
(4)
|
Dalam rangka meneliti lebih lanjut permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Pajak dapat meminta keterangan tambahan kepada Wajib Pajak dengan menyampaikan surat permintaan keterangan tambahan dan Wajib Pajak harus memberikan keterangan yang diminta dalam jangka waktu paling lama sebagaimana disebut dalam surat permintaan keterangan tambahan.
|
|||
(5)
|
Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi sebagian atau seluruh permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau ayat (4), permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap diproses sesuai dengan dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan yang ada atau yang diterima.
|
|||
(6)
|
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permohonan diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (8), harus menerbitkan Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak.
|
|||
(7)
|
Surat keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berisi keputusan berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, atau menolak permohonan Wajib Pajak.
|
|||
(8)
|
Apabila jangka waktu 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) telah lewat tetapi Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan surat keputusan atau tidak mengembalikan permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3), permohonan tersebut dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak harus menerbitkan surat keputusan sesuai dengan permohonan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
|
|||
|
|
|||
Bagian Kelima
Pembatalan Surat Ketetapan Pajak dari Hasil Pemeriksaan atau Verifikasi
|
||||
Surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi yang dapat dibatalkan berdasarkan permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf d adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan tanpa:
|
||||
a.
|
penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan atau surat pemberitahuan hasil verifikasi; atau
|
|||
b.
|
pembahasan akhir hasil pemeriksaan atau pembahasan akhir hasil verifikasi dengan Wajib Pajak,
|
|||
Kecuali Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang diterbitkan berdasarkan ketentuan Pasal 13A Undang-Undang KUP, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang diterbitkan berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang KUP dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar yang diterbitkan berdasarkan ketentuan Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang KUP.
|
||||
|
||||
Pasal 22 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dengan menyampaikan surat permohonan pembatalan surat ketetapan pajak kepada Direktur Jenderal Pajak.
|
|||
(2)
|
Permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan dalam hal atas surat ketetapan pajak tersebut:
|
|||
|
a.
|
tidak diajukan keberatan;
|
||
|
b.
|
tidak diajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a;
|
||
|
c.
|
diajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, tetapi dicabut oleh Wajib Pajak;
|
||
|
d.
|
tidak diajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b; atau
|
||
|
e.
|
diajukan permohonan pembatalan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud Pasal 2 huruf b, tetapi dicabut oleh Wajib Pajak.
|
||
(3)
|
Permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diajukan dalam hal surat ketetapan pajak tersebut:
|
|||
|
a.
|
diajukan keberatan, tetapi tidak dipertimbangkan; atau
|
||
|
b.
|
diajukan keberatan, tetapi dicabut oleh Wajib Pajak.
|
||
(4)
|
Permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) surat ketetapan pajak;
|
||
|
b.
|
permohonan harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan menguraikan tentang tidak disampaikannya surat pemberitahuan hasil pemeriksaan atau surat pemberitahuan hasil verifikasi dan/atau tidak dilaksanakannya pembahasan akhir hasil pemeriksaan atau pembahasan akhir hasil verifikasi;
|
||
|
c.
|
permohonan harus disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar; dan
|
||
|
d.
|
surat permohonan ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dalam hal surat permohonan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, surat permohonan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang KUP.
|
||
(5)
|
Permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 1 (satu) kali.
|
|||
|
|
|||
Pasal 23 |
||||
(1)
|
Terhadap permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1), Direktur Jenderal Pajak menguji pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) sampai dengan ayat (4).
|
|||
(2)
|
Dalam hal permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), permohonan tersebut ditindaklanjuti.
|
|||
(3)
|
Dalam hal permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak mengembalikan permohonan tersebut dengan menyampaikan surat yang berisi mengenai pengembalian permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi.
|
|||
(4)
|
Dalam hal permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi dikembalikan karena tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4), Wajib Pajak dianggap belum mengajukan permohonan sehingga Wajib Pajak masih dapat mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1).
|
|||
(5)
|
Dalam hal permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi dikembalikan karena tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3), Wajib Pajak tidak dapat mengajukan permohonan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1).
|
|||
|
|
|||
Pasal 24 |
||||
(1)
|
Terhadap permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2), Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti permohonan tersebut dengan meneliti permohonan Wajib Pajak.
|
|||
(2)
|
Dalam rangka meneliti permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak dapat meminta dokumen, data, dan/atau informasi yang diperlukan untuk membuktikan tidak disampaikannya surat pemberitahuan hasil pemeriksaan atau surat pemberitahuan hasil verifikasi dan/atau tidak dilaksanakannya pembahasan akhir hasil pemeriksaan atau pembahasan akhir hasil verifikasi melalui penyampaian surat permintaan.
|
|||
(3)
|
Wajib Pajak harus memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah tanggal surat permintaan dikirim.
|
|||
(4)
|
Dalam rangka meneliti lebih lanjut permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Pajak dapat meminta keterangan tambahan kepada Wajib Pajak dengan menyampaikan surat permintaan keterangan tambahan dan Wajib Pajak harus memberikan keterangan yang diminta dalam jangka waktu paling lama sebagaimana disebut dalam surat permintaan keterangan tambahan.
|
|||
(5)
|
Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi sebagian atau seluruh permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau ayat (4), permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap diproses sesuai dengan dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan yang ada atau diterima.
|
|||
(6)
|
Apabila pada saat Direktur Jenderal Pajak meneliti permohonan Wajib Pajak dapat dibuktikan bahwa Wajib Pajak telah diundang untuk melakukan pembahasan akhir hasil pemeriksaan atau pembahasan akhir hasil verifikasi tetapi Wajib Pajak tidak hadir, pembahasan akhir hasil pemeriksaan atau pembahasan akhir hasil verifikasi dianggap telah dilakukan.
|
|||
(7)
|
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permohonan diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (8), harus menerbitkan Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak.
|
|||
(8)
|
Surat keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) berisi keputusan berupa mengabulkan atau menolak permohonan Wajib Pajak.
|
|||
(9)
|
Apabila jangka waktu 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) telah lewat tetapi Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan surat keputusan atau tidak mengembalikan permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3), permohonan tersebut dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak harus menerbitkan surat keputusan sesuai dengan permohonan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
|
|||
|
|
|||
Pasal 25 |
||||
(1)
|
Dalam hal Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak yang mengabulkan permohonan Wajib Pajak, proses pemeriksaan atau verifikasi dilanjutkan dengan melaksanakan prosedur yang belum dilaksanakan, berupa:
|
|||
|
a.
|
penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan atau surat pemberitahuan hasil verifikasi; dan/atau
|
||
|
b.
|
pembahasan akhir hasil pemeriksaan atau pembahasan akhir hasil verifikasi.
|
||
(2)
|
Pemeriksaan yang dilanjutkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang terkait dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B ayat (1) Undang-Undang KUP, dilanjutkan dengan penerbitan:
|
|||
|
a.
|
surat ketetapan pajak sesuai dengan pembahasan akhir hasil pemeriksaan apabila jangka waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B ayat (1) Undang-Undang KUP belum terlewati; atau
|
||
|
b.
|
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sesuai dengan Surat Pemberitahuan apabila jangka waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B ayat (1) Undang-Undang KUP terlewati.
|
||
|
|
|
||
Bagian Keenam
Pencabutan Permohonan Wajib Pajak
|
||||
(1)
|
Wajib Pajak dapat melakukan pencabutan terhadap surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 14 ayat (1), Pasal 18 ayat (1), atau Pasal 22 ayat (1) yang telah disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum diterbitkan surat keputusan terkait permohonan Wajib Pajak.
|
|||
(2)
|
Pencabutan terhadap surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
pencabutan harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan dapat mencantumkan alasan pencabutan;
|
||
|
b.
|
pencabutan harus disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar; dan
|
||
|
c.
|
surat pencabutan ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dalam hal surat pencabutan ditandatangani bukan oleh Wajib Pajak, surat pencabutan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang KUP.
|
||
(3)
|
Dalam hal Wajib Pajak melakukan pencabutan terhadap surat permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak tidak berhak untuk mengajukan kembali permohonan yang sama dengan jenis permohonan yang dicabut.
|
|||
|
|
|||
BAB III
PENGURANGAN, PENGHAPUSAN, ATAU PEMBATALAN SECARA JABATAN
|
||||
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak karena jabatan dapat:
|
|||
|
a.
|
mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
|
||
|
b.
|
mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar;
|
||
|
c.
|
mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Undang-Undang KUP yang tidak benar; atau
|
||
|
d.
|
membatalkan surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan atau verifikasi yang dilaksanakan tanpa:
|
||
|
|
1)
|
penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan atau surat pemberitahuan hasil verifikasi; dan/atau
|
|
|
|
2)
|
pembahasan akhir hasil pemeriksaan atau pembahasan akhir hasil verifikasi dengan Wajib Pajak.
|
|
(2)
|
Pengurangan, penghapusan, atau pembatalan secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan data dan/atau informasi yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktur Jenderal Pajak.
|
|||
|
|
|||
Bagian Kesatu
Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi
|
||||
Sanksi administrasi yang dapat dikurangkan atau dihapuskan secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf a adalah sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya.
|
||||
|
||||
Pasal 29 |
||||
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak meneliti data dan/atau informasi yang diperoleh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) yang terkait dengan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28.
|
|||
(2)
|
Dalam rangka meneliti data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak dapat meminta dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan tambahan yang diperlukan kepada Wajib Pajak melalui penyampaian surat permintaan dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan tambahan.
|
|||
(3)
|
Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi.
|
|||
|
|
|||
Bagian Kedua
Pengurangan atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak yang Tidak Benar
|
||||
(1)
|
Surat ketetapan pajak yang dapat dikurangkan atau dibatalkan secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf b adalah surat ketetapan pajak yang nyata-nyata tidak benar dalam penetapannya.
|
|||
(2)
|
Surat ketetapan pajak yang tidak benar yang dapat dikurangkan secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi surat ketetapan pajak yang jumlah pajak terutangnya tidak benar.
|
|||
(3)
|
Surat ketetapan pajak yang tidak benar yang dapat dibatalkan secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi surat ketetapan pajak yang seharusnya tidak diterbitkan.
|
|||
(4)
|
Dalam hal surat ketetapan pajak dibatalkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), terhadap Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak dan jenis pajak yang terkait dengan surat ketetapan pajak yang dibatalkan tersebut:
|
|||
|
a.
|
aianggap tidak pernah diterbitkan surat ketetapan pajak; dan
|
||
|
b.
|
Direktur Jenderal Pajak tetap dapat menerbitkan surat ketetapan pajak atas Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak dan jenis pajak tersebut.
|
||
|
|
|
||
Pasal 31 |
||||
Pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dapat dilakukan dalam hal surat ketetapan pajak tersebut:
|
||||
a.
|
tidak diajukan keberatan; atau
|
|||
b.
|
diajukan keberatan tetapi tidak dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
|
|||
|
|
|||
Pasal 32 |
||||
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak meneliti data dan/atau informasi yang diperoleh atau dimiliki sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) yang terkait dengan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30.
|
|||
(2)
|
Dalam rangka meneliti data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak dapat meminta pembukuan atau pencatatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, data, informasi, dan/atau keterangan tambahan yang diperlukan kepada Wajib Pajak melalui penyampaian surat permintaan pembukuan atau pencatatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, data, informasi, dan/atau keterangan tambahan.
|
|||
(3)
|
Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak.
|
|||
|
|
|||
Bagian Ketiga
Pengurangan atau Pembatalan Surat Tagihan Pajak yang Tidak Benar
|
||||
(1)
|
Surat Tagihan Pajak yang dapat dikurangkan atau dibatalkan secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf c adalah:
|
|||
|
a.
|
Surat Tagihan Pajak yang tidak benar yang terkait dengan penerbitan surat ketetapan pajak; dan
|
||
|
b.
|
Surat Tagihan Pajak yang tidak benar selain Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a.
|
||
(2)
|
Surat Tagihan Pajak yang tidak benar yang dapat dikurangkan secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Surat Tagihan Pajak dengan jumlah sanksi administrasi yang tidak benar.
|
|||
(3)
|
Surat Tagihan Pajak yang tidak benar yang dapat dibatalkan secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Surat Tagihan Pajak yang seharusnya tidak diterbitkan.
|
|||
|
|
|||
Pasal 34 |
||||
Pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf a dilakukan dalam hal:
|
||||
a.
|
surat ketetapan pajak yang terkait dengan Surat Tagihan Pajak tersebut telah diterbitkan:
|
|||
|
1.
|
Surat Keputusan Keberatan;
|
||
|
2.
|
Putusan Banding;
|
||
|
3.
|
Putusan Peninjauan Kembali; atau
|
||
|
4.
|
Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak;
|
||
|
yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar dalam surat ketetapan pajak berkurang; atau
|
|||
b.
|
surat ketetapan pajak yang terkait dengan Surat Tagihan Pajak tersebut telah dibatalkan dengan penerbitan Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak.
|
|||
|
|
|||
Pasal 35 |
||||
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak meneliti data dan/atau informasi yang diperoleh atau dimiliki sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) yang terkait dengan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33.
|
|||
(2)
|
Dalam rangka meneliti data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak dapat meminta dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan tambahan yang diperlukan kepada Wajib Pajak melalui penyampaian surat permintaan dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan tambahan.
|
|||
(3)
|
Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak.
|
|||
|
|
|||
Bagian Keempat
Pembatalan Surat Ketetapan Pajak dari Hasil Pemeriksaan atau Verifikasi
|
||||
Surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi yang dapat dibatalkan secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 huruf d adalah surat ketetapan pajak yang diterbitkan tanpa:
|
||||
a.
|
penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan atau surat pemberitahuan hasil verifikasi; atau
|
|||
b.
|
pembahasan akhir hasil pemeriksaan atau pembahasan akhir hasil verifikasi dengan Wajib Pajak,
|
|||
kecuali Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang diterbitkan berdasarkan ketentuan Pasal 13A Undang-Undang KUP, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang diterbitkan berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang KUP dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar yang diterbitkan berdasarkan ketentuan Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang KUP.
|
||||
|
||||
Pasal 37 |
||||
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak meneliti data dan/atau informasi yang diperoleh atau dimiliki sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) yang terkait dengan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36.
|
|||
(2)
|
Dalam rangka meneliti data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak dapat meminta dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan tambahan yang diperlukan kepada Wajib Pajak melalui penyampaian surat permintaan dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan tambahan.
|
|||
(3)
|
Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak.
|
|||
|
|
|||
BAB IV
KETENTUAN LAIN-LAIN
|
||||
(1)
|
Surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 14 ayat (1), Pasal 18 ayat (1), Pasal 22 ayat (1) dibuat dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
|||
(2)
|
Surat pengembalian permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3), Pasal 15 ayat (3), Pasal 19 ayat (3), dan Pasal 23 ayat (3) dibuat dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
|||
(3)
|
Surat permintaan:
|
|||
|
a.
|
dokumen, data, dan/atau informasi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), Pasal 20 ayat (2), dan Pasal 24 ayat (2);
|
||
|
b.
|
pembukuan atau pencatatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, data, dan/atau informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2);
|
||
|
c.
|
keterangan tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4), Pasal 16 ayat (4), Pasal 20 ayat (4), dan Pasal 24 ayat (4);
|
||
|
d.
|
dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2), Pasal 35 ayat (2), dan Pasal 37 ayat (2);
|
||
|
e.
|
pembukuan atau pencatatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, data, informasi, dan/atau keterangan tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2),
|
||
|
dibuat dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
|||
(4)
|
Surat Keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (6), Pasal 16 ayat (8), Pasal 20 ayat (6), Pasal 24 ayat (7), Pasal 29 ayat (3), Pasal 32 ayat (3), Pasal 35 ayat (3), dan Pasal 37 ayat (3), dibuat dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
|||
|
|
|||
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
|
||||
Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini:
|
||||
a.
|
permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi, permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak, permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak, untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya yang diajukan setelah berlakunya Peraturan Menteri ini, berlaku ketentuan berdasarkan Peraturan Menteri ini;
|
|||
b.
|
permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi, permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak, permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak, untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2008 dan sesudahnya yang diajukan setelah berlakunya Peraturan Menteri ini, berlaku ketentuan berdasarkan Peraturan Menteri ini;
|
|||
c.
|
terhadap permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi, permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak, permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang diajukan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dan belum diselesaikan sampai dengan penerbitan surat keputusan, proses penyelesaian selanjutnya sampai dengan penerbitan surat keputusan dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini.
|
|||
|
|
|||
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
|
||||
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
|
||||
a.
|
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 542/KMK.04/2000 tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak;
|
|||
b.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 21/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi, Pengurangan atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak yang Tidak Benar, dan Pembatalan Hasil Pemeriksaan,
|
|||
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
||||
|
||||
Pasal 41 |
||||
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 Maret 2013.
|
||||
|
||||
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
|
||||
|
||||
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Januari 2013 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd.
AGUS D.W MARTOWARDOJO Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Januari 2013 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd.
AMIR SYAMSUDIN |
||||
|
||||
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 11
|