Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Premium
Terjemahan Dokumen
Ini Belum Tersedia
Ini Belum Tersedia
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
|
|||
|
|
||
Menimbang |
|||
a.
|
bahwa pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah berdampak pada produktivitas sektor industri tertentu, ketersediaan bahan baku industri di dalam negeri, penyerapan tenaga kerja, yang berakibat pada menurunnya pertumbuhan ekonomi dan penerimaan negara, serta stabilitas ekonomi;
|
||
b.
|
bahwa untuk mempercepat pemulihan ekonomi melalui peningkatan produktivitas sektor industri tertentu, menjamin ketersediaan bahan baku industri di dalam negeri, dan penyerapan tenaga kerja, guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi, penerimaan negara, dan stabilitas ekonomi, perlu memberikan insentif fiskal berupa bea masuk ditanggung Pemerintah kepada industri tertentu yang terdampak pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19);
|
||
c.
|
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang, Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk mengatur lebih lanjut kebijakan keuangan negara untuk penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19);
|
||
d.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Bea Masuk Ditanggung Pemerintah atas Impor Barang dan Bahan untuk Memproduksi Barang dan/atau Jasa oleh Industri Sektor Tertentu yang Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Tahun 2021;
|
||
|
|
||
Mengingat |
|||
1.
|
Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
||
2.
|
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
|
||
3.
|
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
|
||
4.
|
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6515);
|
||
5.
|
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2020 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2021 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 239, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6570);
|
||
6.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 103, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5423) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 229, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6267);
|
||
7.
|
Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
|
||
8.
|
Peraturan Presiden Nomor 113 Tahun 2020 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2021 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 266);
|
||
9.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/PMK.02/2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Penelaahan, dan Penetapan Alokasi Anggaran Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara, dan Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Bendahara Umum Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 1775) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.02/2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 193/PMK.02/2017 tentang Tata Cara Perencanaan, Penelaahan, dan Penetapan Alokasi Anggaran Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara, dan Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Bendahara Umum Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1775);
|
||
10.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1862) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.01/2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1745);
|
||
11.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38/PMK.02/2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 382);
|
||
12.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 127/PMK.02/2020 tentang tentang Tata Cara Penggunaan dan Pergeseran Anggaran Bendahara Umum Negara Pengelolaan Belanja Lainnya (BA 999.08) (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1420) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.02/2021 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 127/PMK.02/2020 tentang Tata Cara Penggunaan dan Pergeseran Anggaran pada Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pengelolaan Belanja Lainnya (BA 999.08) (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 201);
|
||
|
|
||
MEMUTUSKAN:
|
|||
Menetapkan |
|||
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG BEA MASUK DITANGGUNG PEMERINTAH ATAS IMPOR BARANG DAN BAHAN UNTUK MEMPRODUKSI BARANG DAN/ATAU JASA OLEH INDUSTRI SEKTOR TERTENTU YANG TERDAMPAK PANDEMI CORONA VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19) TAHUN 2021.
|
|||
|
|||
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
|||
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
|
|||
1.
|
Bea Masuk Ditanggung Pemerintah yang selanjutnya disebut BM DTP adalah fasilitas bea masuk terutang yang dibayar oleh pemerintah dengan alokasi dana yang telah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan.
|
||
2.
|
Industri Sektor Tertentu yang Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang selanjutnya disebut Industri Sektor Tertentu adalah industri yang terdampak pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang layak untuk diberikan BM DTP sesuai dengan kebijakan Pembina Sektor Industri.
|
||
3.
|
Pembina Sektor Industri adalah menteri/pimpinan lembaga yang membina Industri Sektor Tertentu.
|
||
4.
|
Barang dan Bahan adalah barang jadi, barang setengah jadi, dan/atau bahan baku, termasuk suku cadang dan/atau komponen, yang diolah, dirakit, atau dipasang untuk menghasilkan barang dan/atau jasa.
|
||
5.
|
Belanja Subsidi BM DTP adalah alokasi anggaran belanja subsidi BM DTP dalam rangka penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) untuk memberikan dukungan kepada perusahaan negara, lembaga pemerintah, atau pihak ketiga berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyediakan barang dan/atau jasa yang bersifat strategis atau menguasai hajat hidup orang banyak sesuai dengan kemampuan negara.
|
||
6.
|
Bagian Anggaran Pengelolaan Belanja Subsidi (BA. 999.07) yang selanjutnya disebut BA 999.07 adalah subbagian anggaran Bendahara Umum Negara yang diberikan kepada perusahaan/lembaga untuk memproduksi, menjual, mengekspor, atau mengimpor barang dan/atau jasa yang memenuhi hajat hidup orang banyak sedemikian rupa sehingga harga jualnya dapat dijangkau masyarakat.
|
||
7.
|
Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara Bagian Anggaran 999.07 yang selanjutnya disingkat PPA BUN BA 999.07 adalah unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan untuk melaksanakan kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan anggaran yang berasal dari Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara 999.07.
|
||
8.
|
Pemimpin Pembantu Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disebut Pemimpin PPA BUN adalah pejabat Eselon 1 di lingkungan Kementerian Keuangan yang bertanggung jawab atas program Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara dan bertindak untuk menandatangani daftar isian pelaksanaan anggaran Bendahara Umum Negara.
|
||
9.
|
Kuasa Pengguna Anggaran yang selanjutnya disingkat KPA adalah pejabat yang memperoleh kewenangan dan tanggung jawab dari pengguna anggaran untuk menggunakan anggaran yang dikuasakan kepadanya.
|
||
10.
|
Kuasa Pengguna Anggaran Belanja Subsidi Bea Masuk Ditanggung Pemerintah yang selanjutnya disebut KPA BM DTP adalah pejabat pada kementerian negara/lembaga yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan untuk melakukan pengelolaan anggaran belanja subsidi bea masuk ditanggung pemerintah.
|
||
11.
|
Pejabat Pembuat Komitmen yang selanjutnya disingkat PPK adalah pejabat yang melaksanakan kewenangan Pengguna Anggaran/KPA untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang dapat mengakibatkan pengeluaran atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
|
||
12.
|
Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Bendahara Umum Negara yang selanjutnya disingkat DIPA BUN adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang disusun oleh KP A Bendahara Umum Negara.
|
||
13.
|
Gudang Berikat adalah tempat penimbunan berikat untuk menimbun barang impor, dapat disertai 1 (satu) atau lebih kegiatan berupa pengemasan/pengemasan kembali, penyortiran, penggabungan (kitting), pengepakan, penyetelan, pemotongan, atas barang-barang tertentu dalam jangka waktu tertentu untuk dikeluarkan kembali.
|
||
14.
|
Penyelenggara Gudang Berikat sekaligus Pengusaha Gudang Berikat yang selanjutnya disebut Pengusaha Gudang Berikat adalah badan hukum yang melakukan kegiatan penyelenggaraan dan pengusahaan Gudang Berikat.
|
||
15.
|
Pengusaha di Gudang Berikat merangkap Penyelenggara di Gudang Berikat yang selanjutnya disebut PDGB adalah badan hukum yang melakukan kegiatan pengusahaan Gudang Berikat yang berada di dalam Gudang Berikat milik Penyelenggara Gudang Berikat yang berstatus sebagai badan hukum yang berbeda.
|
||
16.
|
Kawasan Berikat adalah tempat penimbunan berikat untuk menimbun barang impor dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean guna diolah atau digabungkan sebelum diekspor atau diimpor untuk dipakai.
|
||
17.
|
Penyelenggara Kawasan Berikat sekaligus Pengusaha Kawasan Berikat yang selanjutnya disebut Pengusaha Kawasan Berikat adalah badan hukum yang melakukan kegiatan penyelenggaraan sekaligus pengusahaan Kawasan Berikat.
|
||
18.
|
Pengusaha di Kawasan Berikat merangkap Penyelenggara di Kawasan Berikat yang selanjutnya disebut PDKB adalah badan hukum yang melakukan kegiatan pengusahaan kawasan berikat yang berada di dalam Kawasan Berikat milik Penyelenggara Kawasan Berikat yang berstatus sebagai badan hukum yang berbeda.
|
||
19.
|
Pusat Logistik Berikat yang selanjutnya disingkat PLB adalah tempat penimbunan berikat untuk menimbun barang asal luar daerah pabean dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean, dapat disertai 1 (satu) atau lebih kegiatan sederhana dalam jangka waktu tertentu untuk dikeluarkan kembali.
|
||
20.
|
Penyelenggara PLB sekaligus Pengusaha PLB yang selanjutnya disebut Pengusaha PLB adalah badan hukum yang melakukan kegiatan pengusahaan PLB.
|
||
21.
|
Pengusaha di PLB merangkap Penyelenggara di PLB yang selanjutnya disebut PDPLB adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pengusahaan PLB yang berada di dalam PLB milik Penyelenggara PLB yang statusnya sebagai badan usaha yang berbeda.
|
||
22.
|
Kawasan yang Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut Kawasan Bebas adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari daerah pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, dan/atau cukai.
|
||
23.
|
Pengusaha Kawasan Bebas adalah pengusaha yang berkedudukan dan/atau mempunyai tempat kegiatan usaha di Kawasan Bebas dan telah mendapat Perizinan Berusaha dari Badan Pengusahaan Kawasan.
|
||
24.
|
Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disingkat KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu.
|
||
25.
|
Pelaku Usaha KEK adalah pelaku usaha yang menjalankan kegiatan usaha di KEK.
|
||
26.
|
Pemberitahuan Pabean Impor adalah pernyataan yang dibuat oleh orang dalam rangka melaksanakan kewajiban pabean impor dalam bentuk dan syarat yang ditetapkan dalam Undang-Undang Kepabeanan.
|
||
27.
|
Sistem Aplikasi KEK adalah sistem elektronik yang terdiri dari Sistem Indonesia National Single Window, Sistem Komputer Pelayanan Bea dan Cukai, dan aplikasi lain yang mengotomasikan proses bisnis kegiatan pemasukan, perpindahan, dan pengeluaran barang ke dan dari KEK.
|
||
28.
|
Sistem Indonesia National Single Window yang selanjutnya disingkat SINSW adalah sistem elektronik yang mengintegrasikan sistem dan/atau informasi berkaitan dengan proses penanganan dokumen kepabeanan, dokumen kekarantinaan, dokumen perizinan, dokumen kepelabuhanan/kebandarudaraan, dan dokumen lain, yang terkait dengan ekspor dan/atau impor, yang menjamin keamanan data dan informasi serta memadukan alur dan proses informasi antar sistem internal secara otomatis.
|
||
29.
|
Kantor Bea dan Cukai adalah Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai atau Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai.
|
||
30.
|
Surat Permintaan Pembayaran yang selanjutnya disingkat SPP adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPK yang berisi permintaan pembayaran tagihan kepada negara.
|
||
31.
|
Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disingkat SPM adalah dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk mencairkan dana yang bersumber dari DIPA.
|
||
32.
|
Surat Perintah Pencairan Dana yang selanjutnya disebut SP2D adalah surat perintah yang diterbitkan oleh kantor pelayanan perbendaharaan negara selaku Kuasa Bendahara Umum Negara untuk pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN berdasarkan SPM.
|
||
33.
|
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara yang selanjutnya disingkat KPPN adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang memperoleh Kuasa dari Bendahara Umum Negara untuk melaksanakan sebagian fungsi Kuasa Bendahara Umum Negara.
|
||
34.
|
Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak yang selanjutnya disingkat SPTJM adalah pernyataan yang diterbitkan/dibuat oleh KPA Bendahara Umum Negara yang memuat jaminan atau pernyataan bahwa seluruh pengeluaran telah dihitung dengan benar.
|
||
35.
|
Pemindahtanganan adalah pemindahan hak, alih aset, perubahan penggunaan Barang dan Bahan untuk kegiatan lain di luar kegiatan usaha, diekspor, atau penghapusan dari aset perusahaan.
|
||
36.
|
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
|
||
37.
|
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
|
||
38.
|
Direktur adalah direktur di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang mempunyai tugas dan fungsi merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi di bidang fasilitas kepabeanan.
|
||
39.
|
Pejabat Penanda Tangan Surat Perintah Membayar yang selanjutnya disebut PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh Pengguna Anggaran/KPA untuk melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah pembayaran.
|
||
|
|
||
BAB II
KETENTUAN BM DTP
Bagian Kesatu
Ketentuan BM DTP Industri Sektor Tertentu
Pasal 2 |
|||
(1)
|
BM DTP dapat diberikan atas impor Barang dan Bahan oleh perusahaan Industri Sektor Tertentu.
|
||
(2)
|
KPA BM DTP dan alokasi pagu anggaran BM DTP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
||
(3)
|
Jenis Barang dan Bahan yang diimpor oleh perusahaan pada Industri Sektor Tertentu yang mendapatkan BM DTP harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
|
||
|
a.
|
Barang dan Bahan belum diproduksi di dalam negeri;
|
|
|
b.
|
Barang dan Bahan sudah diproduksi di dalam negeri namun belum memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan; atau
|
|
|
c.
|
Barang dan Bahan sudah diproduksi di dalam negeri namun jumlahnya belum mencukupi kebutuhan industri sesuai dengan rekomendasi kementerian/lembaga terkait.
|
|
(4)
|
Jenis Barang dan Bahan yang diimpor oleh perusahaan pada Industri Sektor Tertentu yang mendapatkan BM DTP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
||
(5)
|
Barang dan Bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bukan merupakan:
|
||
|
a.
|
Barang dan Bahan yang dikenakan pembebanan bea masuk sebesar 0% (nol persen);
|
|
|
b.
|
Barang dan Bahan yang dikenakan pembebanan bea masuk sebesar 0% (nol persen) berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional;
|
|
|
c.
|
Barang dan Bahan yang dikenakan Bea Masuk Anti Dumping/Bea Masuk Anti Dumping Sementara, Bea Masuk Tindakan Pengamanan/Bea Masuk Tindakan Pengamanan Sementara, Bea Masuk Imbalan, atau Bea Masuk Tindakan Pembalasan; atau
|
|
|
d.
|
Barang dan Bahan yang ditujukan untuk ditimbun di tempat penimbunan berikat.
|
|
(6)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b, dikecualikan terhadap impor Barang dan Bahan oleh perusahaan Industri Sektor Tertentu yang telah ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian, dan atas impor Barang dan Bahan tersebut tidak perlu dilengkapi dengan Surat Keterangan Asal.
|
||
(7)
|
Tata laksana impor Barang dan Bahan yang mendapatkan BM DTP sebagaimana dimaksud ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
|
||
|
|
||
Pasal 3 |
|||
(1)
|
BM DTP juga dapat diberikan atas pengeluaran Barang dan Bahan asal luar daerah pabean ke tempat lain dalam daerah pabean dari:
|
||
|
a.
|
PLB;
|
|
|
b.
|
Gudang Berikat; atau
|
|
|
c.
|
Kawasan Berikat,
|
|
|
yang dikeluarkan kepada perusahaan Industri Sektor Tertentu.
|
||
(2)
|
Pengeluaran Barang dan Bahan dari tempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
|
||
(3)
|
Atas pengeluaran Barang dan Bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c, bea masuk yang terutang yang seharusnya dilunasi oleh:
|
||
|
a.
|
Pengusaha Gudang Berikat atau PDGB; atau
|
|
|
b.
|
Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB,
|
|
|
dapat ditanggung pemerintah dalam bentuk BM DTP.
|
||
|
|
||
Pasal 4 |
|||
Atas pengeluaran Barang dan Bahan ke tempat lain dalam daerah pabean oleh Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB yang merupakan perusahaan Industri Sektor Tertentu, bea masuk yang terutang yang seharusnya dilunasi oleh pengusaha tersebut dapat ditanggung pemerintah dalam bentuk BM DTP.
|
|||
|
|||
Pasal 5 |
|||
Tata laksana pengeluaran Barang dan Bahan yang mendapatkan BM DTP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
|
|||
|
|||
Bagian Kedua
Ketentuan BM DTP Sektor Industri Perbaikan dan/atau Perawatan (Maintenance, Repair, and Overhaul) Pesawat Terbang
Pasal 6 |
|||
(1)
|
BM DTP dapat diberikan atas impor Barang dan Bahan untuk menghasilkan jasa oleh perusahaan sektor industri perbaikan dan/atau perawatan (maintenance, repair, and overhaul) pesawat terbang yang juga merupakan Industri Sektor Tertentu.
|
||
(2)
|
Barang dan Bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
||
(3)
|
BM DTP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat diberikan atas pengeluaran Barang dan Bahan yang berasal dari luar daerah pabean ke tempat lain dalam daerah pabean dari:
|
||
|
a.
|
PLB;
|
|
|
b.
|
Kawasan Berikat;
|
|
|
c.
|
Kawasan Bebas; atau
|
|
|
d.
|
KEK,
|
|
|
yang dikeluarkan kepada perusahaan sektor industri perbaikan dan/atau perawatan (maintenance, repair, and overhaul) pesawat terbang untuk keperluan kegiatan yang menghasilkan jasa.
|
||
(4)
|
Pengeluaran Barang dan Bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3):
|
||
|
a.
|
yang telah menjadi bagian dari barang yang dilakukan jasa perbaikan dan/atau perawatan (maintenance, repair, and overhaul) pesawat terbang; atau
|
|
|
b.
|
dipergunakan untuk melakukan jasa perbaikan dan/atau perawatan (maintenance, repair and overhaul) pesawat terbang di luar tempat sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
|
|
|
harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
|
||
(5)
|
Atas pengeluaran Barang dan Bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, huruf c, dan huruf d, bea masuk yang terutang yang seharusnya dilunasi oleh:
|
||
|
a.
|
Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB;
|
|
|
b.
|
Pengusaha Kawasan Bebas; atau
|
|
|
c.
|
Pelaku Usaha KEK;
|
|
|
dapat ditanggung pemerintah dalam bentuk BM DTP.
|
||
|
|
||
Pasal 7 |
|||
Atas pengeluaran Barang dan Bahan:
|
|||
a.
|
yang telah menjadi bagian dari barang yang dilakukan jasa perbaikan dan/atau perawatan (maintenance, repair, and overhaul) pesawat terbang; atau
|
||
b.
|
dipergunakan untuk melakukan jasa perbaikan dan/atau perawatan (maintenance, repair, and overhaul) pesawat terbang di luar tempat sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (3),
|
||
ke tempat lain dalam daerah pabean oleh Industri Sektor Tertentu yang merupakan Pengusaha PLB atau PDPLB, Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB, pengusaha Kawasan Bebas, atau Pelaku Usaha KEK, bea masuk yang terutang yang seharusnya dilunasi oleh pengusaha tersebut dapat ditanggung pemerintah dalam bentuk BM DTP.
|
|||
|
|
||
Pasal 8 |
|||
Tata laksana pengeluaran Barang dan Bahan yang mendapatkan BM DTP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
|
|||
|
|||
BAB III
PEJABAT PERBENDAHARAAN NEGARA DAN PENGANGGARAN
Pasal 9 |
|||
(1)
|
Dalam rangka pelaksanaan kegiatan BM DTP atas impor dan pengeluaran Barang dan Bahan untuk memproduksi barang dan/atau jasa Industri Sektor Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, Pasal 6 ayat (1), Pasal 6 ayat (3), dan Pasal 7, Menteri selaku Pengguna Anggaran Bendahara Umum Negara menunjuk:
|
||
|
a.
|
Direktur Jenderal Industri Agro, Kementerian Perindustrian;
|
|
|
b.
|
Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil, Kementerian Perindustrian; dan
|
|
|
c.
|
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika, Kementerian Perindustrian,
|
|
|
selaku KPA Bendahara Umum Negara.
|
||
(2)
|
KPA Bendahara Umum Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang untuk menetapkan pejabat perbendaharaan lainnya meliputi PPK dan PPSPM.
|
||
(3)
|
Kepala Kantor Bea dan Cukai tempat Pemberitahuan Pabean Impor dengan BM DTP diajukan, ditetapkan sebagai KPA pendapatan BM DTP.
|
||
|
|
||
Pasal 10 |
|||
(1)
|
Anggaran Belanja Subsidi BM DTP atas impor dan pengeluaran Barang dan Bahan untuk memproduksi barang dan/atau jasa Industri Sektor Tertentu bersumber dari:
|
||
|
a.
|
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
|
|
|
b.
|
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan; dan/atau
|
|
|
c.
|
perubahan postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
|
|
(2)
|
Dalam hal berdasarkan sumber sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat kebutuhan untuk melakukan pergeseran anggaran untuk penyediaan alokasi anggaran, pergeseran anggaran dimaksud mengacu pada ketentuan peraturan perundangan-undangan mengenai:
|
||
|
a.
|
tata cara penggunaan dan pergeseran anggaran pada Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara pengelolaan belanja lainnya (BA 999.08); dan
|
|
|
b.
|
pelaksanaan kebijakan keuangan negara untuk penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.
|
|
(3)
|
Berdasarkan penetapan pergeseran alokasi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2), KPA menyampaikan usulan revisi anggaran dan/atau penerbitan DIPA BUN kepada Direktur Jenderal Anggaran selaku Pemimpin PPA BUN BA 999.07 dengan dilampiri dokumen pendukung antara lain sebagai berikut:
|
||
|
a.
|
kerangka acuan kerja (Term of Reference/TOR) untuk tiap pengeluaran (output) kegiatan;
|
|
|
b.
|
rincian anggaran biaya;
|
|
|
c.
|
hasil reviu aparat pengawas internal Pemerintah pada kementerian teknis; dan
|
|
|
d.
|
data dukung lainnya yang relevan dan dapat dipertanggungjawabkan.
|
|
(4)
|
Penerbitan dan/atau revisi anggaran DIPA BUN mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai:
|
||
|
a.
|
tata cara perencanaan, penelaahan, dan penetapan alokasi anggaran bagian anggaran bendahara umum negara serta pengesahan DIPA BUN; dan/atau
|
|
|
b.
|
tata cara revisi anggaran Tahun Anggaran 2021.
|
|
(5)
|
Untuk memudahkan dalam perencanaan kegiatan, koordinasi pelaksanaan, dan monitoring dan evaluasi kinerja, termasuk pergeseran anggaran antar unit organisasi, antarfungsi, dan/atau antar program dalam penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), pengalokasian dana penanganan pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dilakukan berdasarkan klasifikasi akun khusus COVID-19 dan/atau rincian output khusus COVID-19.
|
||
|
|
|
|
BAB IV
TATA CARA PENGAJUAN PERMOHONAN
Pasal 11 |
|||
(1)
|
Untuk dapat memperoleh BM DTP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, Pasal 6 ayat (1), Pasal 6 ayat (3), dan Pasal 7, perusahaan Industri Sektor Tertentu harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
|
||
|
a.
|
tidak pernah melakukan kesalahan dalam memberitahukan jumlah dan/atau jenis barang pada Pemberitahuan Pabean Impor dengan mendapatkan BM DTP yang menyebabkan kekurangan pembayaran bea masuk selama 1 (satu) tahun terakhir; dan/atau
|
|
|
b.
|
tidak mempunyai utang bea masuk, cukai, dan/atau pajak dalam rangka impor yang telah lewat jatuh tempo pembayaran.
|
|
(2)
|
Untuk mendapatkan persetujuan BM DTP, perusahaan Industri Sektor Tertentu mengajukan permohonan kepada Menteri melalui Direktur.
|
||
(3)
|
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat informasi paling sedikit mengenai:
|
||
|
a.
|
identitas perusahaan;
|
|
|
b.
|
daftar Barang dan Bahan yang dimintakan BM DTP;
|
|
|
c.
|
invoice dan packing list yang merupakan dokumen pelengkap pabean yang digunakan untuk pemenuhan kewajiban pabean;
|
|
|
d.
|
Pemberitahuan Pabean Impor:
|
|
|
|
1.
|
BC 1.6 dan tabel berisi informasi jumlah, harga, dan nomor dokumen sumber BC 1.6 terkait atas Barang dan Bahan yang dimintakan BM DTP dalam hal pemohon adalah Pengusaha PLB atau PDPLB;
|
|
|
2.
|
BC 2.3 dan tabel konversi atas Barang dan Bahan yang dimintakan BM DTP dalam hal pemohon adalah Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB; atau
|
|
|
3.
|
BC 2.3 dalam hal pemohon adalah pengusaha Gudang Berikat atau PDGB; dan
|
|
e.
|
surat rekomendasi dari pejabat minimal setingkat pimpinan tinggi pratama dari kementerian pembina sektor.
|
|
(4)
|
Dalam hal permohonan BM DTP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diajukan atas Barang dan Bahan yang dikeluarkan dari Gudang Berikat atau Kawasan Berikat, perusahaan Industri Sektor Tertentu juga menyampaikan identitas Pengusaha Gudang Berikat atau PDGB, atau pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB, yang paling sedikit memuat data sebagai berikut:
|
||
|
a.
|
nama perusahaan;
|
|
|
b.
|
Nomor Pokok Wajib Pajak;
|
|
|
c.
|
nomor Keputusan Menteri mengenai izin Pengusaha Gudang Berikat atau PDGB, atau Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB; dan
|
|
|
d.
|
nama dan jabatan penanggung jawab.
|
|
(5)
|
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) serta hasil pindaian dari dokumen asli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), disampaikan secara elektronik kepada Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melalui SINSW.
|
||
(6)
|
Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d diteruskan oleh SINSW ke Sistem Informasi Industri Nasional untuk mendapatkan surat rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e.
|
||
(7)
|
Dalam hal surat rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) sudah tersedia dalam Sistem Informasi Industri Nasional, surat rekomendasi tersebut dapat diunduh langsung dari SINSW.
|
||
(8)
|
Dalam hal Portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau SINSW belum dapat dioperasikan atau mengalami gangguan operasional, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan secara tertulis dan disertai dengan:
|
||
|
a.
|
lampiran permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam bentuk salinan cetak; dan
|
|
|
b.
|
hasil pindaian dari dokumen asli dalam media penyimpan data elektronik dalam bentuk salinan digital.
|
|
(9)
|
Daftar Barang dan Bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, paling sedikit memuat elemen data sebagai berikut:
|
||
|
a.
|
nama perusahaan;
|
|
|
b.
|
Nomor Pokok Wajib Pajak;
|
|
|
c.
|
alamat perusahaan;
|
|
|
d.
|
Kantor Bea dan Cukai tempat pemasukan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 6 ayat (1), atau Kantor Bea dan Cukai yang membawahi tempat pengeluaran barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, Pasal 6 ayat (3), dan Pasal 7;
|
|
|
e.
|
uraian jenis dan spesifikasi teknis barang;
|
|
|
f.
|
pos tarif (HS code);
|
|
|
g.
|
jumlah dan satuan barang;
|
|
|
h.
|
harga impor;
|
|
|
i.
|
perkiraan kurs nilai dasar perhitungan bea masuk;
|
|
|
j.
|
negara asal;
|
|
|
k.
|
nilai BM DTP; dan
|
|
|
l.
|
nama dan jabatan penanggung jawab perusahaan Industri Sektor Tertentu.
|
|
(10)
|
Surat rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e, paling sedikit memuat elemen data sebagai berikut:
|
||
|
a.
|
nama perusahaan;
|
|
|
b.
|
Nomor Pokok Wajib Pajak;
|
|
|
c.
|
alamat perusahaan;
|
|
|
d.
|
Kantor Bea dan Cukai tempat pemasukan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 6 ayat (1), atau Kantor Bea dan Cukai yang membawahi tempat pengeluaran barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, Pasal 6 ayat (3), dan Pasal 7.
|
|
|
e.
|
uraian jenis, dan spesifikasi teknis barang;
|
|
|
f.
|
pos tarif (HS code);
|
|
|
g.
|
jumlah dan satuan barang;
|
|
|
h.
|
harga impor;
|
|
|
i.
|
perkiraan kurs nilai dasar perhitungan bea masuk;
|
|
|
j.
|
negara asal;
|
|
|
k.
|
total nilai BM DTP dengan dibulatkan ribuan penuh ke atas; dan
|
|
|
l.
|
nama dan jabatan pejabat Pembina Sektor Industri yang menerbitkan rekomendasi.
|
|
|
|
|
|
Pasal 12 |
|||
(1)
|
Atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), Direktur melakukan penelitian terhadap pemenuhan persyaratan untuk mendapatkan BM DTP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4).
|
||
(2)
|
Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) disetujui, Direktur atas nama Menteri menerbitkan Keputusan Menteri mengenai pemberian BM DTP atas impor atau pengeluaran Barang dan Bahan untuk memproduksi barang dan/atau jasa oleh Industri Sektor Tertentu.
|
||
(3)
|
Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) ditolak, Direktur atas nama Menteri menerbitkan surat pemberitahuan penolakan dengan menyebutkan alasan penolakan.
|
||
(4)
|
Direktur atas nama Menteri memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama:
|
||
|
a.
|
3 (tiga) jam kerja terhitung setelah permohonan diterima secara lengkap dan benar, dalam hal permohonan diajukan secara elektronik; atau
|
|
|
b.
|
3 (tiga) hari kerja terhitung setelah permohonan diterima secara lengkap dan benar, dalam hal permohonan diajukan secara tertulis.
|
|
(5)
|
Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku selama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal ditetapkan.
|
||
(6)
|
Dalam hal jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (5) melewati tahun anggaran berjalan, Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku paling lama sampai dengan tanggal 31 Desember pada tahun anggaran berjalan.
|
||
|
|
||
BAB V
PEMBERITAHUAN PABEAN
Pasal 13 |
|||
(1)
|
Pemenuhan kewajiban pabean atas impor Barang dan Bahan yang mendapat BM DTP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 6 ayat (1), dilakukan dengan mengajukan Pemberitahuan Pabean Impor BC 2.0 dengan harus mencantumkan:
|
||
|
a.
|
nomor dan tanggal Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) pada huruf D angka 19 kolom "Pemenuhan Persyaratan/Fasilitas Impor" dan kode fasilitas "81" pada kotak yang disediakan, dalam hal keputusan fasilitas impor yang digunakan lebih dari 1 (satu), pada kotak yang disediakan diisi dengan kode "99";
|
|
|
b.
|
"BM DTP Khusus" pada huruf D angka 33 kolom "Keterangan"; dan
|
|
|
c.
|
nilai BM DTP pada huruf D angka 37 kolom "Ditanggung Pemerintah".
|
|
(2)
|
Pemenuhan kewajiban pabean atas pengeluaran Barang dan Bahan yang mendapat BM DTP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf a, Pasal 6 ayat (3) huruf a, dan Pasal 7, dilakukan dengan mengajukan Pemberitahuan Pabean Impor BC 2.8 ke Kantor Bea dan Cukai yang mengawasi PLB dengan harus mencantumkan:
|
||
|
a.
|
nomor dan tanggal Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), pada kolom D angka 22 "Dokumen Lainnya" dan kode fasilitas "81" pada kotak yang disediakan, dalam hal keputusan fasilitas impor yang digunakan lebih dari 1 (satu), pada kotak yang disediakan diisi dengan kode "99"; "BM DTP Khusus" pada huruf D angka 37 kolom "Keterangan";
|
|
|
b.
|
"BM DTP Khusus" pada huruf D angka 37 kolom "Keterangan"; dan
|
|
|
c.
|
nilai BM DTP di bagian "Jenis Pungutan" angka 41 pada kolom "Ditanggung Pemerintah".
|
|
(3)
|
Pemenuhan kewajiban pabean atas pengeluaran Barang dan Bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b dan huruf c, Pasal 4, Pasal 6 ayat (3) huruf b, dan Pasal 7 dilakukan dengan mengajukan Pemberitahuan Pabean Impor BC 2.5 ke Kantor Bea dan Cukai yang mengawasi Gudang Berikat atau Kawasan Berikat dengan harus mencantumkan:
|
||
|
a.
|
nomor dan tanggal Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), pada huruf B angka 17 kolom "Fasilitas Impor" dan kode fasilitas "81" pada pada kotak yang. disediakan, dalam hal keputusan fasilitas impor yang digunakan lebih dari 1 (satu), pada kotak yang disediakan diisi dengan kode "99"; dan
|
|
|
b.
|
nilai BM DTP di bagian "Jenis Pungutan" angka 34 pada kolom "Ditanggung Pemerintah".
|
|
(4)
|
Pemenuhan kewajiban pabean atas pengeluaran Barang dan Bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf c dan Pasal 7, dilakukan dengan mengajukan Pemberitahuan Pabean PPFTZ 01 Pengeluaran ke Kantor Bea dan Cukai yang mengawasi Kawasan Bebas dengan harus mencantumkan:
|
||
|
a.
|
"81 BM DTP Khusus" pada bagian Data Barang angka 39 kolom "Keterangan"; dan
|
|
|
b.
|
nilai BM DTP di bagian "Jenis Pungutan" angka 43 pada kolom "Ditanggung Pemerintah".
|
|
(5)
|
Pemenuhan kewajiban pabean atas pengeluaran Barang dan Bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf d, dilakukan dengan mengajukan Pemberitahuan Pabean KEK untuk pengeluaran barang dari KEK ke TLDDP ke Kantor Bea dan Cukai yang mengawasi KEK dengan harus memilih kode "81 BM DTP Khusus" pada kode fasilitas dan mencantumkan nilai BM DTP pada dokumen Pemberitahuan Pabean KEK.
|
||
(6)
|
Dalam hal perusahaan Industri Sektor Tertentu tidak melaksanakan ketentuan mengenai pemenuhan kewajiban pabean atas impor atau pengeluaran Barang dan Bahan yang mendapat BM DTP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), BM DTP tidak dapat diberikan atas impor atau pengeluaran Barang dan Bahan yang diberitahukan dalam Pemberitahuan Pabean dimaksud dan perusahaan Industri Sektor Tertentu wajib melunasi bea masuk yang terutang.
|
||
(7)
|
Tata cara pengisian Pemberitahuan Pabean dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
|
||
|
|
||
BAB VI
ADMINISTRASI DAN PENCATATAN BM DTP
Pasal 14 |
|||
(1)
|
Realisasi pemanfaatan BM DTP oleh perusahaan Industri Sektor Tertentu dilaksanakan berdasarkan:
|
||
|
a.
|
jumlah dan jenis barang; dan
|
|
|
b.
|
total nilai BM DTP,
|
|
|
yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2).
|
||
(2)
|
Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4) dan ayat (5), menjadi dasar dalam menentukan realisasi pemanfaatan BM DTP secara elektronik.
|
||
(3)
|
Dalam hal dalam Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terdapat selisih lebih antara:
|
||
|
a.
|
jumlah Barang dan Bahan yang diimpor atau dikeluarkan dari PLB, Gudang Berikat, Kawasan Berikat, Kawasan Bebas, atau KEK, dengan jumlah Barang dan Bahan yang tercantum dalam Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2); atau
|
|
|
b.
|
nilai BM DTP atas Barang dan Bahan yang diimpor atau dikeluarkan dari PLB, Gudang Berikat, Kawasan Berikat, Kawasan Bebas, atau KEK, dengan nilai BM DTP yang tercantum dalam Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2),
|
|
|
atas selisih lebih jumlah Barang dan Bahan dan selisih lebih nilai BM DTP tersebut, tidak dapat diberikan BM DTP dan perusahaan Industri Sektor Tertentu wajib melunasi bea masuk yang terutang.
|
||
(4)
|
Dalam hal dalam Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terdapat penetapan tarif dan/atau nilai pabean oleh Pejabat Bea dan Cukai atau Direktur Jenderal yang mengakibatkan kurang bayar atau lebih bayar, kurang bayar atau lebih bayar tersebut diselesaikan sesum dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
|
||
|
|
||
Pasal 15 |
|||
Perusahaan yang telah melakukan realisasi pemanfaatan BM DTP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1), harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
|
|||
a.
|
menyelenggarakan pembukuan atas impor Barang dan Bahan dengan mendapat BM DTP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau pengeluaran Barang dan Bahan dengan mendapat BM DTP sebagaimana dimaksud Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, Pasal 6 ayat (1), Pasal 6 ayat (3), dan Pasal 7, untuk keperluan audit di bidang kepabeanan; dan
|
||
b.
|
menyimpan dokumen, catatan, dan pembukuan sehubungan dengan pemberian BM DTP selama 10 (sepuluh) tahun pada tempat usahanya.
|
||
|
|
||
BAB VII
PENGESAHAN TAGIHAN BELANJA SUBSIDI BM DTP
Pasal 16 |
|||
(1)
|
Perusahaan Industri Sektor Tertentu harus menyampaikan Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 kepada KPA Bendahara Umum Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), untuk proses pengesahan Belanja Subsidi BM DTP dan pendapatan BM DTP.
|
||
(2)
|
Penyampaian Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
||
|
a.
|
Pemberitahuan Pabean harus disampaikan paling lambat pada tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya terhitung sejak tanggal Pemberitahuan Pabean mendapatkan nomor pendaftaran; dan
|
|
|
b.
|
Pemberitahuan Pabean dengan tanggal pendaftaran pada bulan Desember, harus disampaikan paling lambat tanggal 4 Januari 2022.
|
|
(3)
|
Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) jatuh pada hari libur, dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan pada hari kerja berikutnya.
|
||
(4)
|
Dalam hal perusahaan Industri Sektor Tertentu tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), BM DTP tidak dapat diberikan atas impor Barang dan Bahan yang diberitahukan pada Pemberitahuan Pabean dimaksud pada ayat (1).
|
||
|
|
||
Pasal 17 |
|||
(1)
|
Atas Pemberitahµan Pabean yang disampaikan oleh Perusahaan Industri Sektor Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, KPA Bendahara Umum Negara melakukan konfirmasi kepada Direktur Jenderal c.q. Direktur.
|
||
(2)
|
PPK Belanja Subsidi BM DTP melakukan pengujian secara formal dan material terhadap kelengkapan dan kebenaran administrasi tagihan Belanja Subsidi BM DTP dalam DIPA BUN atas Pemberitahuan Pabean yang telah dikonfirmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
||
(3)
|
Dalam hal pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sudah dinyatakan lengkap dan benar, PPK Belanja Subsidi BM DTP:
|
||
|
a.
|
menyusun SPTJM untuk ditandatangani oleh KPA Bendahara Umum Negara Belanja Subsidi BM DTP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dengan menggunakan contoh format penyusunan SPTJM BM DTP yang tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dart Peraturan Menteri ini; dan
|
|
|
b.
|
menerbitkan SPP Belanja Subsidi BM DTP yang bersifat permintaan pengesahan pendapatan BM DTP dan Belanja Subsidi BM DTP, yang disusun dengan mencatat:
|
|
|
|
1.
|
pendapatan BM DTP sebesar nilai yang tercantum dalam Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
|
|
|
2.
|
Belanja Subsidi BM DTP dengan nilai yang sama dengan nilai Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam huruf a; dan
|
|
|
3.
|
jumlah total nilai pengesahan pendapatan BM DTP sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan jumlah total nilai pengesahan Belanja Subsidi BM DTP sebagaimana dimaksud pada angka 2 bernilai sama besar.
|
(4)
|
PPK Belanja Subsidi BM DTP menyampaikan SPP Belanja Subsidi BM DTP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b kepada PPSPM, dengan dilampiri Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan SPTJM sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a.
|
||
|
|
||
Pasal 18 |
|||
(1)
|
Berdasarkan SPP Belanja Subsidi BM DTP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4), PPSPM Belanja Subsidi BM DTP melakukan pengujian secara formal terhadap kelengkapan dan kebenaran administrasi tagihan dan ketersediaan alokasi anggaran Belanja Subsidi BM DTP dalam DIPA BUN.
|
||
(2)
|
Dalam hal SPP Belanja Subsidi BM DTP dinyatakan lengkap dan benar, PPSPM Belanja Subsidi BM DTP menerbitkan dan menyampaikan SPM Belanja Subsidi BM DTP kepada KPPN dengan dilampiri SPTJM beserta arsip data komputer SPM.
|
||
(3)
|
Dalam hal SPP Belanja Subsidi BM DTP dinyatakan tidak lengkap dan tidak benar, PPSPM mengembalikan SPP Belanja Subsidi BM DTP secara tertulis disertai dengan alasan penolakan atau pengembalian SPP Belanja Subsidi BM DTP tersebut paling lama 1 (satu) hari kerja setelah SPP dimaksud diterima.
|
||
(4)
|
SPM Belanja Subsidi BM DTP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat perintah pengesahan pendapatan BM DTP dan Belanja Subsidi BM DTP.
|
||
|
|
||
Pasal 19 |
|||
(1)
|
KPPN menerima dan melakukan penelitian dan pengujian atas SPM Belanja Subsidi BM DTP yang disampaikan oleh PPSPM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2).
|
||
(2)
|
Penelitian dan pengujian SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri mengenai tata cara pencairan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atas beban Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara pada KPPN.
|
||
(3)
|
Berdasarkan hasil penelitian dan pengujian SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPPN menerbitkan SP2D Belanja Subsidi BM DTP.
|
||
(4)
|
SP2D Belanja Subsidi BM DTP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bersifat pengesahan terhadap pendapatan BM DTP dan Belanja Subsidi BM DTP.
|
||
|
|
||
Pasal 20 |
|||
(1)
|
KPA Bendahara Umum Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), menyampaikan data Pemberitahuan Pabean yang diajukan oleh perusahaan Industri Sektor Tertentu yang telah diterbitkan SP2D dan disampaikan kepada Direktur Jenderal c.q. direktur di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang tugas dan fungsinya di bidang penerimaan dan perencanaan strategis.
|
||
(2)
|
Data Pemberitahuan Pabean yang diajukan oleh perusahaan Industri Sektor Tertentu dan telah diterbitkan SP2D sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat nomor dan. tanggal Pemberitahuan Pabean, nomor dan tanggal SPM, nomor dan tanggal SP2D, nilai BM DTP, nama perusahaan, dan Nomor Pokok Wajib Pajak.
|
||
(3)
|
Jika terdapat importasi BM DTP yang belum masuk dalam penyampaian terakhir data Pemberitahuan Pabean Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2), KPA pendapatan BM DTP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) melakukan perhitungan bea masuk terutang perusahaan Industri Sektor Tertentu dan diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
|
||
|
|
||
Pasal 21 |
|||
SPM Belanja Subsidi BM DTP yang telah diterbitkan SP2D menjadi dasar bagi:
|
|||
a.
|
KPA Bendahara Umum Negara Belanja Subsidi BM DTP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), untuk mengakui dan mencatat realisasi Belanja Subsidi BM DTP pada laporan keuangan BUN Pengelolaan Belanja Subsidi sesuai dengan Peraturan Menteri mengenai sistem akuntansi dan pelaporan keuangan belanja subsidi; dan
|
||
b.
|
KPA pendapatan BM DTP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), untuk mengakui dan mencatat realisasi pendapatan BM DTP pada Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga sesuai dengan Peraturan Menteri mengenai pedoman penyusunan dan penyampaian laporan keuangan kementerian negara/lembaga.
|
||
|
|
||
BAB VIII
MONITORING DAN EVALUASI
Pasal 22 |
|||
Menteri c.q. Kepala Badan Kebijakan Fiskal dan/atau Pembina Sektor Industri melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pemberian BM DTP atas impor atau pengeluaran Barang dan Bahan untuk memproduksi barang dan/atau jasa oleh perusahaan Industri Sektor Tertentu.
|
|||
|
|||
Pasal 23 |
|||
(1)
|
Direktur, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kepala Kantor Bea dan Cukai, atau pejabat bea dan cukai yang ditunjuk, melakukan monitoring dan evaluasi berdasarkan manajemen risiko terhadap impor atau pengeluaran Barang dan Bahan yang dilakukan oleh perusahaan yang mendapat BM DTP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2).
|
||
(2)
|
Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan unit atau instansi teknis terkait.
|
||
|
|
||
BAB IX
PENYALAHGUNAAN
Pasal 24 |
|||
(1)
|
Terhadap Barang dan Bahan yang diimpor atau dikeluarkan dari Gudang Berikat, Kawasan Berikat, Kawasan Bebas atau PLB, atau KEK, dengan telah mendapat Keputusan Menteri mengenai pemberian BM DTP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2):
|
||
|
a.
|
wajib dipergunakan untuk memproduksi barang dan/atau jasa untuk tujuan konsumsi dalam negeri;
|
|
|
b.
|
wajib digunakan sesuai dengan peruntukannya oleh perusahaan Industri Sektor Tertentu yang bersangkutan; dan
|
|
|
c.
|
tidak dapat dilakukan Pemindahtanganan kepada pihak lain.
|
|
(2)
|
Dalam hal perusahaan Industri Sektor Tertentu tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dicabut dan perusahaan Industri Sektor Tertentu wajib melunasi bea masuk yang terhutang.
|
||
(3)
|
Dalam hal kegiatan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 menemukan adanya penyalahgunaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
|
||
|
a.
|
Direktur;
|
|
|
b.
|
direktur di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang tugas dan fungsinya di bidang audit kepabeanan dan cukai;
|
|
|
c.
|
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
|
|
|
d.
|
Kepala Kantor Bea dan Cukai; dan/atau
|
|
|
e.
|
pejabat bea dan cukai yang ditunjuk,
|
|
|
menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur untuk dilakukan pencabutan terhadap Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2).
|
||
(4)
|
Pemungutan dan penagihan bea masuk yang terutang sebagai akibat dari:
|
||
|
a.
|
tidak dilaksanakannya ketentuan mengenai pemenuhan kewajiban pabean atas impor atau pengeluaran Barang dan Bahan yang mendapat BM DTP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);
|
|
|
b.
|
selisih lebih jumlah Barang dan Bahan dan selisih lebih nilai BM DTP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3);
|
|
|
c.
|
pencabutan Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3);
|
|
|
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
|
||
|
|
|
|
BAB X
PELIMPAHAN WEWENANG
Pasal 25 |
|||
(1)
|
Direktur yang menerima pelimpahan wewenang dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) dan ayat (3):
|
||
|
a.
|
wajib memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan;dan
|
|
|
b.
|
tidak dapat melimpahkan kembali pelimpahan kewenangan yang diterima kepada pejabat lain.
|
|
(2)
|
Dalam hal Direktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhalangan sementara atau tetap, wewenang yang diterima dapat dilakukan oleh Pejabat Pelaksana Harian (Plh) atau Pejabat Pelaksana Tugas (Plt) yang ditunjuk.
|
||
(3)
|
Pejabat pelaksana harian (Plh) atau pejabat pelaksana tugas (Plt) yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertanggung jawab secara substansi atas pelaksanaan pelimpahan wewenang yang diberikan kepada yang bersangkutan.
|
||
|
|
|
|
BAB XI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 26 |
|||
(1)
|
Realisasi impor atau pengeluaran Barang dan Bahan yang mendapat Keputusan Menteri mengenai pemberian BM DTP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2), dilakukan paling lambat pada tanggal 31 Desember pada tahun anggaran berjalan yang dibuktikan dengan:
|
||
|
a.
|
tanggal pendaftaran Pemberitahuan Pabean Impor BC 2.0, untuk impor barang dari luar daerah pabean;
|
|
|
b.
|
tanggal pendaftaran Pemberitahuan Pabean Impor BC 2.8, untuk pengeluaran Barang dan Bahan dari PLB;
|
|
|
c.
|
tanggal pendaftaran Pemberitahuan Pabean Impor BC 2.5, untuk pengeluaran Barang dan Bahan dari Gudang Berikat atau Kawasan Berikat;
|
|
|
d.
|
tanggal pendaftaran PPFTZ 01 pengeluaran, untuk pengeluaran Barang dan Bahan dari Kawasan Bebas; atau
|
|
|
e.
|
tanggal pendaftaran Pemberitahuan Pabean KEK.
|
|
(2)
|
Terhadap permohonan untuk mendapat BM DTP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), tidak dapat diberikan persetujuan pengeluaran barang impor untuk dipakai dengan menggunakan jaminan (vooruitslag).
|
||
(3)
|
Terhadap Barang dan Bahan yang telah dilakukan importasinya dengan membayar bea masuk tidak dapat diberikan pengembalian bea masuk (restitusi).
|
||
(4)
|
Terhadap Barang dan Bahan yang salah kirim, rusak atau reject sehingga tidak dapat diolah, dirakit, atau dipasang, yang telah mendapatkan izin dari pejabat minimal setingkat pimpinan tinggi pratama dari kementerian yang membidangi sektor industri, dapat dimusnahkan atau diekspor.
|
||
(5)
|
Barang yang telah dilakukan pemusnahan atau diekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (4), bea masuk yang telah dibayarkan dengan ditanggung pemerintah tidak dipungut kembali.
|
||
(6)
|
Dalam hal importasi atau pengeluaran Barang dan Bahan oleh perusahaan Industri Sektor Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), Pasal 4, Pasal 6 ayat (1), Pasal 6 ayat (3), dan Pasal 7, terkena ketentuan larangan dan/atau pembatasan impor, ketentuan tersebut harus dipenuhi pada saat Barang dan Bahan tersebut diimpor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengawasan terhadap impor barang larangan dan/atau pembatasan.
|
||
|
|
||
BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 27 |
|||
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, untuk kegiatan pemasukan atau pengeluaran barang ke dan dari KEK oleh sektor industri perbaikan dan/atau perawatan (maintenance, repair, and overhaul) pesawat terbang sebelum diberlakukannya Sistem Aplikasi KEK, diberlakukan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
a.
|
Pelaku Usaha yang sudah beroperasi komersial yang bukan berasal dari Kawasan Bebas, sejak berlakunya Peraturan Menteri ini sampai dengan diberlakukannya Sistem Aplikasi KEK dan penggunaan dokumen Pemberitahuan Pabean KEK, kegiatan pemasukan dan/atau pengeluaran barang ke dan dari KEK dilakukan dengan menggunakan sistem dan dokumen Tempat Penimbunan Berikat setelah ditetapkan sebagai Kawasan Pabean;dan
|
||
b.
|
Pelaku Usaha KEK yang berasal dari Kawasan Bebas, sejak berlakunya Peraturan Menteri ini sampai dengan diberlakukannya Sistem Aplikasi KEK dan penggunaan dokumen Pemberitahuan Pabean KEK, kegiatan pemasukan dan/atau pengeluaran barang ke dan dari KEK dilakukan dengan menggunakan sistem dan dokumen Kawasan Bebas.
|
||
|
|
||
BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 28 |
|||
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan sampai dengan tanggal 31 Desember 2021.
|
|||
|
|||
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
|
|||
|
|||
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juni 2021
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
SRI MULYANI INDRAWATI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 Juni 2021
KEPALA BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
WIDODO EKATJAHJANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2021 NOMOR 715
|