Quick Guide
Hide Quick Guide
    Aktifkan Mode Highlight
    Premium
    File Lampiran
    Peraturan Terkait
    IDN
    ENG
    Fitur Terjemahan
    Premium
    Terjemahan Dokumen
    Ini Belum Tersedia
    Bagikan
    Tambahkan ke My Favorites
    Download as PDF
    Download Document
    Premium
    Status : Berlaku

    PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
    NOMOR 169/PMK.04/2017

     
    TENTANG
     
    PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 111/PMK.04/2013 TENTANG TATA CARA PENAGIHAN BEA MASUK DAN/ATAU CUKAI
     
    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
    MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
     

    Menimbang

    a.
    bahwa ketentuan mengenai tata cara penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.04/2013 tentang Tata Cara Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai;
    b.
    bahwa untuk mengatur ketentuan mengenai penagihan kekurangan Cukai sebagai akibat kenaikan golongan Pengusaha Pabrik dan/atau penggolongan harga jual eceran per batang atau gram, menyesuaikan pihak yang melakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Hasil Tembakau, dan melakukan optimalisasi kegiatan penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai kepada Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai, perlu melakukan penyempurnaan terhadap ketentuan mengenai tata cara penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
    c.
    bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.04/2013 tentang Tata Cara Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai;
     
     

    Mengingat

    Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.04/2013 tentang Tata Cara Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1003);
     
     
    MEMUTUSKAN:

    Menetapkan

    PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 111/PMK.04/2013 TENTANG TATA CARA PENAGIHAN BEA MASUK DAN/ATAU CUKAI.
     

    Pasal I

    Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.04/2013 tentang Tata Cara Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1003), diubah sebagai berikut:
     
     
    1.
    Ketentuan Pasal 1 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
     
     
     
    Pasal 1
     
    Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
     
    1.
    Undang-Undang Kepabeanan adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
     
    2.
    Undang-Undang Cukai adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.
     
    3.
    Bea Masuk adalah pungutan negara berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan yang dikenakan terhadap barang yang diimpor.
     
    4.
    Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undang-Undang Cukai.
     
    5.
    Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai melunasi utang Bea Masuk dan/atau Cukai, Biaya Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai, dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan Penagihan Seketika dan Sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan Pencegahan, melaksanakan Penyitaan, melaksanakan Penyanderaan, dan menjual barang yang telah disita.
     
    6.
    Utang Bea Masuk dan/atau Cukai adalah pajak berupa Bea Masuk dan/atau Cukai yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan dan/atau Undang-Undang Cukai.
     
    7.
    Kantor Pelayanan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang selanjutnya disebut Kantor Pelayanan adalah Kantor di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, meliputi:
     
     
    a.
    Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai;
     
     
    b.
    Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya; atau
     
     
    c.
    Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Pratama.
     
    8.
    Pejabat Bea dan Cukai yang selanjutnya disebut Pejabat adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan dan Undang-Undang Cukai.
     
    9.
    Surat Tagihan di Bidang Cukai yang selanjutnya disebut STCK-1 adalah surat berupa ketetapan yang digunakan untuk melakukan tagihan utang Cukai yang tidak dibayar pada waktunya, kekurangan Cukai, sanksi administrasi berupa denda, dan/atau bunga.
     
    10.
    Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur atau memperingatkan penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai untuk melunasi utang Bea Masuk dan/atau Cukai, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan/atau Pajak Penghasilan (PPh) yang tercantum dalam surat penetapan yang tidak dibayar pada waktunya.
     
    11.
    Surat Teguran di Bidang Cukai yang selanjutnya disebut STCK-2 adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur atau memperingatkan penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai untuk melunasi utang Cukai yang tidak dibayar pada waktunya, kekurangan Cukai, sanksi administrasi berupa denda, dan/atau bunga.
     
    12.
    Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran Bea Masuk, Cukai, sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban kepabeanan dan cukai termasuk Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK) menurut Undang-Undang Kepabeanan dan Undang-Undang Cukai.
     
    13.
    Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya.
     
    14.
    Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai yang dilaksanakan oleh Jurusita Bea dan Cukai kepada Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh Utang Bea Masuk dan/atau Cukai.
     
    15.
    Pemblokiran adalah tindakan pengamanan harta kekayaan milik Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai yang tersimpan pada bank dengan tujuan agar terhadap harta kekayaan dimaksud tidak terdapat perubahan apapun, selain penambahan jumlah atau nilai.
     
    16.
    Kustodian adalah pihak yang memberikan Jasa penitipan efek dan harta lain yang berkaitan dengan efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak-hak lain, menyelesaikan transaksi efek dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya.
     
    17.
    Surat Paksa adalah surat perintah membayar Utang Bea Masuk dan/atau Cukai dan Biaya Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai.
     
    18.
    Penyitaan adalah tindakan Jurusita Bea dan Cukai untuk menguasai barang Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai, guna dijadikan jaminan untuk melunasi Utang Bea Masuk dan/atau Cukai menurut peraturan perundang-undangan.
     
    19.
    Pencegahan adalah larangan sementara terhadap Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai tertentu untuk keluar dari wilayah Negara Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
     
    20.
    Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai dengan menempatkannya di tempat tertentu.
     
    21.
    Jurusita Bea dan Cukai adalah pelaksana tindakan Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai yang meliputi Penagihan Seketika dan Sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, Penyitaan, dan Penyanderaan.
     
    22.
    Biaya Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai adalah biaya pelaksanaan Surat Paksa, surat perintah melaksanakan Penyitaan, pengumuman lelang, pembatalan lelang, jasa penilai, dan biaya lainnya sehubungan dengan Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai.
     
    23.
    Tempat Penyanderaan adalah rumah tahanan negara yang dijadikan tempat pengekangan sementara waktu kebebasan Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai yang terpisah dari tahanan lain.
     
    24.
    Pengusaha Pabrik adalah orang yang mengusahakan Pabrik.
     
     
     
    2.
    Ketentuan ayat (1), ayat (2), dan ayat (5) Pasal 4 diubah, ayat (4) dihapus, serta ditambahkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (6), sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:
     
     
     
     
    Pasal 4
     
    (1)
    Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 melaksanakan Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai dalam hal Utang Bea Masuk dan/atau Cukai sebagaimana tercantum dalam surat penetapan, surat keputusan, surat tagihan, dan/atau putusan peninjauan kembali, yang menyebabkan timbulnya Utang Bea Masuk dan/atau Cukai, tidak dilunasi sampai dengan tanggal jatuh tempo.
     
    (2)
    Tata cara penerbitan surat penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara penetapan tarif, nilai pabean, dan sanksi administrasi, serta penetapan Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau Pejabat.
     
    (3)
    Surat keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah putusan banding.
     
    (4)
    Dihapus.
     
    (5)
    Surat tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa STCK-1 diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan atau pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan, dengan ketentuan sebagai berikut:
     
     
    a.
    dalam jangka waktu 1 (satu) hari kerja setelah berakhirnya jangka waktu penundaan atau pembayaran berkala;
     
     
    b.
    untuk kekurangan Cukai yang ditemukan oleh Pejabat pada Kantor Pelayanan, dalam jangka waktu 1 (satu) hari kerja setelah ditemukannya kekurangan cukai;
     
     
    c.
    untuk kekurangan Cukai yang ditemukan oleh selain Pejabat pada Kantor Pelayanan, dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari setelah diterbitkannya surat mengenai temuan kekurangan cukai dimaksud;
     
     
    d.
    untuk sanksi administrasi berupa denda yang ditemukan oleh Pejabat pada Kantor Pelayanan, dalam jangka waktu 1 (satu) hari kerja setelah ditemukannya pelanggaran yang dikenai sanksi administrasi berupa denda; dan/atau
     
     
    e.
    untuk sanksi administrasi berupa denda yang ditemukan oleh selain Pejabat pada Kantor Pelayanan, dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) hari setelah diterbitkannya surat mengenai temuan sanksi administrasi berupa denda dimaksud.
     
    (6)
    Kekurangan Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b antara lain ditemukan karena:
     
     
    a.
    kesalahan hitung dalam dokumen pemberitahuan atau pemesanan pita cukai;
     
     
    b.
    hasil pencacahan;
     
     
    c.
    kenaikan golongan Pengusaha Pabrik; dan/atau
     
     
    d.
    penggolongan harga jual eceran per batang atau gram.
     
     
     
     
    3.
    Ketentuan ayat (2) Pasal 8 diubah, sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai berikut:
     
     
     
     
     
    Pasal 8
     
    (1)
    Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dilakukan dengan terlebih dahulu menerbitkan Surat Teguran atau STCK-2 oleh Pejabat.
     
    (2)
    Surat Teguran atau STCK-2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditunda penerbitannya terhadap Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai yang telah:
     
     
    a.
    disetujui untuk mengangsur atau menunda pembayaran Utang Bea Masuk dan/atau Cukai;
     
     
    b.
    dihapus;
     
     
    c.
    mengajukan keberatan; atau
     
     
    d.
    mengajukan banding.
     
    (3)
    Surat Teguran atau STCK-2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan paling cepat 7 (tujuh) hari · terhitung setelah tanggal jatuh tempo pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 5 ayat (2), dan Pasal 5 ayat (3).
     
     
     
     
    4.
    Ketentuan ayat (2) Pasal 11 diubah, sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai berikut:
     
     
     
     
     
    Pasal 11
     
    (1)
    Surat Paksa diterbitkan atas Utang Bea Masuk dan/atau Cukai dalam hal:
     
     
    a.
    tidak dilunasi oleh Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai setelah lewat waktu 21 (dua puluh satu) hari terhitung sejak tanggal diterbitkan Surat Teguran atau STCK-2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1);
     
     
    b.
    terhadap Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai telah dilaksanakan Penagihan Seketika dan Sekaligus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10; atau
     
     
    c.
    Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran Utang Bea Masuk dan/atau Cukai.
     
    (2)
    Atas tagihan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan Pajak Penghasilan (PPh), pada hari yang sama dengan penerbitan Surat Paksa, diterbitkan Surat Pemberitahuan Piutang Pajak Dalam Rangka Impor (SP3DRI).
     
     
     
     
    5.
    Ketentuan ayat (3) Pasal 15 diubah, sehingga Pasal 15 berbunyi sebagai berikut:
     
     
     
     
     
    Pasal 15
     
    (1)
    Dalam hal Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai dinyatakan pailit, Surat Paksa diberitahukan kepada kurator, hakim pengawas, atau balai harta peninggalan.
     
    (2)
    Dalam hal Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, Surat Paksa diberitahukan kepada orang atau badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan atau likuidator.
     
    (3)
    Dalam hal Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai tidak ditemukan dan Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan kewajiban kepabeanan dan cukai, Surat Paksa dapat diberitahukan kepada penerima kuasa.
     
     
     
    6.
    Ketentuan ayat (1) Pasal 18 diubah, sehingga Pasal 18 berbunyi sebagai berikut:
     
     
     
     
    Pasal 18
     
    (1)
    Permintaan bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
     
    a.
    surat permohonan bantuan pelaksanaan Surat Paksa diterbitkan dan disampaikan segera setelah Surat Paksa diterbitkan oleh Pejabat; dan
     
     
    b.
    Pejabat yang menerima surat permohonan bantuan pelaksanaan Surat Paksa, memberikan bantuan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak menerima surat permohonan bantuan.
     
    (2)
    Bantuan yang telah dilaksanakan oleh Pejabat yang menerima permohonan bantuan, diberitahukan secara tertulis kepada Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak permohonan bantuan Surat Paksa diterima, dengan dilampiri:
     
     
    a.
    berita acara pemberitahuan Surat Paksa; dan
     
     
    b.
    laporan pelaksanaan Surat Paksa.
     
     
     
     
    7.
    Ketentuan ayat (1) Pasal 21 diubah, sehingga Pasal 21 berbunyi sebagai berikut:
     
     
     
     
     
    Pasal 21
     
    (1)
    Apabila setelah lewat waktu 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam sejak Surat Paksa diberitahukan kepada Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dan Utang Bea Masuk dan/atau Cukai tidak dilunasi oleh Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai, Pejabat menerbitkan surat perintah melaksanakan Penyitaan.
     
    (2)
    Berdasarkan surat perintah melaksanakan Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Jurusita Bea dan Cukai melaksanakan Penyitaan terhadap barang milik Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai.
     
     
     
    8.
    Ketentuan ayat (1) dan ayat (3) Pasal 34 diubah serta ayat (2) dihapus, sehingga Pasal 34 berbunyi sebagai berikut:
     
     
     
     
    Pasal 34
     
    (1)
    Penjualan secara lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf g dilakukan melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang.
     
    (2)
    Dihapus.
     
    (3)
    Jika hasil lelang sudah mencapai jumlah yang cukup untuk melunasi Utang Bea Masuk dan/atau Cukai dan Biaya Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai, pelaksanaan lelang dihentikan dan sisa barang serta kelebihan uang hasil lelang dikembalikan oleh Pejabat kepada Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai segera setelah hasil lelang diterima dari Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang.
     
     
     
    9.
    Ketentuan Pasal 37 ditambahkan 1 (satu) ayat, yakni ayat (6), sehingga Pasal 37 berbunyi sebagai berikut:
     
     
     
     
    Pasal 37
     
    (1)
    Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa mengajukan permohonan Pencegahan kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
     
    (2)
    Pencegahan hanya dapat dilakukan berdasarkan Keputusan Pencegahan yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan.
     
    (3)
    Pencegahan dapat dilaksanakan terhadap beberapa orang sebagai Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai atau ahli waris.
     
    (4)
    Pencegahan terhadap Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai tidak mengakibatkan hapusnya Utang Bea Masuk dan/atau Cukai dan terhentinya pelaksanaan Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai.
     
    (5)
    Pencegahan dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pelaksanaan Pencegahan dan Penangkalan
     
    (6)
    Keputusan Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicabut, jika memenuhi ketentuan sebagai berikut:
     
     
    a.
    Utang Bea Masuk dan/atau Cukai dan Biaya Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai telah dibayar lunas; atau
     
     
    b.
    berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
     
     
     
    10.
    Pasal 38 dihapus.
     
     
     
     
    11.
    Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 disisipkan 5 (lima) pasal, yakni Pasal 38A, Pasal 38B, Pasal 38C, Pasal 38D, dan Pasal 38E, yang berbunyi sebagai berikut:
     
     
     
     
     
    Pasal 38A
     
    (1)
    Penyanderaan terhadap Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dilaksanakan berdasarkan surat perintah Penyanderaan yang diterbitkan oleh Pejabat setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri Keuangan.
     
    (2)
    Pejabat mengajukan permohonan izin Penyanderaan kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
     
    (3)
    Permohonan izin Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat:
     
     
    a.
    identitas Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai yang akan disandera;
     
     
    b.
    jumlah utang Bea Masuk dan/atau Cukai yang belum dilunasi;
     
     
    c.
    tindakan penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai yang telah dilaksanakan; dan
     
     
    d.
    uraian tentang adanya petunjuk bahwa Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai diragukan itikad baiknya dalam pelunasan utang Bea Masuk dan/atau Cukai.
     
    (4)
    Surat perintah Penyanderaan diterbitkan oleh Pejabat segera setelah diterimanya izin tertulis dari Menteri Keuangan.
     
    (5)
    Surat perintah Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling sedikit memuat:
     
     
    a.
    identitas Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai;
     
     
    b.
    alasan Penyanderaan;
     
     
    c.
    izin Penyanderaan;
     
     
    d.
    lama Penyanderaan; dan
     
     
    e.
    Tempat Penyanderaan.
     
    (6)
    Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai yang disandera ditempatkan di rumah tahanan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau dititipkan di rumah tahanan negara dan terpisah dari tahanan lain dengan syarat sebagai berikut:
     
     
    a.
    tertutup dan terasing dari masyarakat;
     
     
    b.
    mempunyai fasilitas terbatas; dan
     
     
    c.
    mempunyai sistem pengamanan dan pengawasan yang memadai.
     
     
     
     
     
    Pasal 38B
     
    (1)
    Jurusita Bea dan Cukai harus menyampaikan surat perintah Penyanderaan kepada Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai dan salinannya disampaikan kepada Kepala Tempat Penyanderaan.
     
    (2)
    Dalam hal Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai yang akan disandera tidak dapat ditemukan, Jurusita Bea dan Cukai melalui Kepala Kantor Pelayanan dapat meminta bantuan Kepolisian atau Kejaksaan untuk menghadirkan Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai yang tidak dapat ditemukan tersebut. 
     
    (3)
    Dalam hal Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai yang akan disandera berada di luar wilayah kerja Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa, atau Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai yang akan disandera tersebut melarikan diri atau bersembunyi di luar wilayah kerja Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa, Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa dapat:
     
     
    a.
    menerbitkan Surat Perintah Penyanderaan, dan memerintahkan Jurusita Bea dan Cukai untuk melaksanakan Penyanderaan terhadap Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai yang berada di luar wilayah kerjanya; dan/atau
     
     
    b.
    meminta bantuan kepada Pejabat yang wilayah kerjanya merupakan tempat kedudukan, tempat keberadaan, atau tempat persembunyian Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai yang akan disandera.
     
    (4)
    Pejabat yang diminta untuk memberikan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b harus memberikan bantuan, antara lain:
     
     
    a.
    memberikan keterangan dan informasi tentang keberadaan Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai dimaksud;
     
     
    b.
    memperbantukan Jurusita Bea dan Cukai dan membantu menghadirkan saksi;
     
     
    c.
    melakukan koordinasi dengan aparat Pemerintah Daerah/Kepolisian setempat; dan/atau
     
     
    d.
    menyediakan sarana dan prasarana yang diperlukan untuk pelaksanaan Penyanderaan.
     
     
     
     
     
    Pasal 38C
     
    (1)
    Penyanderaan mulai dilaksanakan pada saat surat perintah Penyanderaan diterima oleh Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai yang bersangkutan.
     
    (2)
    Penyanderaan dilaksanakan oleh Jurusita Bea dan Cukai disaksikan oleh 2 (dua) orang penduduk Indonesia yang telah dewasa, dikenal oleh Jurusita Bea dan Cukai dan dapat dipercaya.
     
    (3)
    Dalam melaksanakan Penyanderaan, Jurusita Bea dan Cukai dapat meminta bantuan Kepolisian atau Kejaksaan.
     
    (4)
    Jurusita Bea dan Cukai membuat berita acara Penyanderaan pada saat Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai ditempatkan di Tempat Penyanderaan, dan berita acara Penyanderaan ditandatangani oleh Jurusita Bea dan Cukai, Kepala Tempat Penyanderaan dan saksi.
     
    (5)
    Berita acara Penyanderaan paling sedikit memuat:
     
     
    a.
    nomor dan tanggal surat perintah Penyanderaan;
     
     
    b.
    izin tertulis Menteri Keuangan;
     
     
    c.
    identitas Jurusita Bea dan Cukai;
     
     
    d.
    identitas Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai yang disandera;
     
     
    e.
    Tempat Penyanderaan;
     
     
    f.
    lamanya Penyanderaan; dan
     
     
    g.
    identitas saksi Penyanderaan
     
    (6)
    Salinan berita acara Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada Kepala Tempat Penyanderaan, Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai yang disandera, dan Bupati atau Wali kota tempat tinggal sesuai dengan identitas Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai.
     
     
     
     
     
    Pasal 38D
     
    (1)
    Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai yang disandera dapat dilepaskan, jika memenuhi ketentuan sebagai berikut:
     
     
    a.
    Utang Bea Masuk dan/atau Cukai dan Biaya Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai telah dibayar lunas;
     
     
    b.
    jangka waktu yang ditetapkan dalam surat perintah Penyanderaan telah dipenuhi;
     
     
    c.
    berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
     
     
    d.
    berdasarkan pertimbangan tertentu dari Menteri Keuangan.
     
    (2)
    Pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pembayaran Bea Masuk dan/atau Cukai.
     
    (3)
    Putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berupa salinan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
     
    (4)
    Pertimbangan tertentu dari Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d berupa surat rekomendasi/surat pemberitahuan Menteri Keuangan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai dengan pertimbangan:
     
     
    a.
    Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai sanggup melunasi Utang Bea Masuk dan/atau Cukai dan Biaya Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai dengan menyerahkan bank garansi;
     
     
    b.
    Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai sanggup melunasi Utang Bea Masuk dan/atau Cukai dengan menyerahkan harta kekayaannya yang sama nilainya dengan Utang Bea Masuk dan/atau Cukai dan Biaya Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
     
     
    c.
    Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai telah berumur 75 (tujuh puluh lima) tahun atau lebih; atau
     
     
    d.
    untuk kepentingan perekonomian negara dan kepentingan umum.
     
    (5)
    Dalam hal Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai akan dilepas dari Penyanderaan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf c, atau huruf d, Pejabat memberitahukan secara tertulis kepada Kepala Tempat Penyanderaan.
     
    (6)
    Dalam hal Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pejabat menyampaikan permohonan rekomendasi kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Bea dan Cukai u.p. Direktur yang melaksanakan tugas dan fungsi di bidang penerimaan dan penagihan dengan melampirkan:
     
     
    a.
    fotokopi surat jaminan bank/surat pernyataan penyerahan harta kekayaan Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai; dan
     
     
    b.
    dokumen atau keterangan lain yang berkaitan dengan usulan tersebut.
     
    (7)
    Direktur Jenderal Bea dan Cukai u.p. Direktur yang melaksanakan tugas dan fungsi di bidang penerimaan dan penagihan setelah menerima rekomendasi/pemberitahuan tertulis dari Menteri Keuangan segera mengirimkannya kepada Pejabat yang bersangkutan.
     
    (8)
    Kepala Tempat Penyanderaan segera memberitahukan secara tertulis kepada Pejabat apabila Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai telah dilepas dari Penyanderaan.
     
    (9)
    Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai yang melarikan diri dari tempat Penyanderaan dalam masa Penyanderaan, disandera kembali berdasarkan surat perintah Penyanderaan yang sebelumnya diterbitkan terhadapnya dengan kewajiban membayar biaya yang timbul karena pelarian tersebut.
     
    (10)
    Masa Penyanderaan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (9) yaitu sama dengan masa Penyanderaan menurut surat perintah Penyanderaan yang sebelumnya diterbitkan terhadapnya dengan memperhitungkan masa Penyanderaan yang telah dijalani sebelum Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai melarikan diri.
     
    (11)
    Penyanderaan dapat dilaksanakan terhadap Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai yang telah dilakukan pencegahan.
     
    (12)
    Penyanderaan tidak boleh dilaksanakan dalam hal Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai sedang beribadah atau sedang mengikuti sidang resmi atau sedang mengikuti pemilihan umum.
     
    (13)
    Biaya Penyanderaan dibebankan kepada Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai yang disandera dan diperhitungkan sebagai Biaya Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai.
     
     
     
     
    Pasal 38E
     
    (1)
    Selama dalam Penyanderaan Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai berhak untuk:
     
     
    a.
    melakukan ibadah di tempat Penyanderaan sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing;
     
     
    b.
    memperoleh pelayanan kesehatan yang layak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
     
     
    c.
    mendapat makanan yang layak termasuk menerima kiriman dari keluarga;
     
     
    d.
    menyampaikan keluhan tentang perlakuan petugas;
     
     
    e.
    memperoleh bahan bacaan dan informasi lainnya atas biaya Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai yang disandera; dan/atau
     
     
    f.
    menerima kunjungan dari keluarga, pengacara, dokter pribadi atas biaya sendiri, dan rohaniawan.
     
    (2)
    Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai yang disandera selama dalam masa Penyanderaan wajib mematuhi tata tertib dan disiplin di Tempat Penyanderaan.
     
    (3)
    Dalam hal Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai yang disandera menderita sakit keras yang memerlukan tindakan cepat, petugas Tempat Penyanderaan dapat segera membawa ke klinik kesehatan dan/atau rumah sakit terdekat dan memberitahukan kepada Pejabat yang bersangkutan serta Kepolisian untuk pengawalan.
     
    (4)
    Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), berlaku juga bagi Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai yang disandera yang menderita gangguan jiwa.
     
    (5)
    Masa perawatan medis di luar Tempat Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), tidak dihitung sebagai masa Penyanderaan.
     
    (6)
    Dalam hal Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai yang disandera meninggal dunia di Tempat Penyanderaan karena sakit, Kepala Tempat Penyanderaan segera memberitahukan kepada Pejabat yang menyandera dan keluarga dari Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai yang disandera disertai berita acara kematian.
     
    (7)
    Pemberitahuan dan berita acara kematian disampaikan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Direktur Jenderal Permasyarakatan, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Kepolisian.
     
    (8)
    Barang atau uang milik Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai yang disandera yang meninggal dunia sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diserahkan kepada keluarganya dengan tanda bukti penerimaan.
     
    (9)
    Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai yang disandera dapat mengajukan pelaksanaan Penyanderaan Pengadilan Negeri.
     
    (10)
    Gugatan Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak dapat diajukan setelah masa Penyanderaan berakhir.
     
     
     
    12.
    Ketentuan Pasal 39 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
     
     
     
     
    Pasal 39
     
    (1)
    Surat Pemberitahuan Piutang Pajak Dalam Rangka Impor (SP3DRI) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), disampaikan kepada:
     
     
    a.
    Direktur Jenderal Pajak u.p. Direktur yang melaksanakan tugas dan fungsi di bidang penagihan pajak; dan
     
     
    b.
    Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
     
    (2)
    Dalam hal telah diterbitkan Surat Pemberitahuan Piutang Pajak Dalam Rangka Impor (SP3DRI) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tidak melakukan penagihan lagi atas piutang pajak berupa Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
     
    (3)
    Proses penagihan atas piutang pajak berupa Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang telah dilimpahkan dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Piutang Pajak Dalam Rangka Impor (SP3DRI) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
     
     
     
    13.
    Ketentuan ayat (1) Pasal 40 diubah, sehingga Pasal 40 berbunyi sebagai berikut:
     
     
     
     
     
    Pasal 40
     
    (1)
    Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPTNP), Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP), STCK-1, Surat Teguran, STCK-2, dan Surat Pemberitahuan Piutang Pajak Dalam Rangka Impor (SP3DRI), disampaikan kepada yang berhak paling lambat pada hari kerja berikutnya setelah diterbitkan dengan cara:
     
     
    a.
    disampaikan secara langsung;
     
     
    b.
    dikirimkan melalui pos;
     
     
    c.
    dikirimkan melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir;
     
     
    d.
    disampaikan melalui data elektronik; atau
     
     
    e.
    dikirimkan melalui media lainnya.
     
    (2)
    Dalam hal Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPTNP), Surat Penetapan Pabean (SPP), Surat Penetapan Sanksi Administrasi (SPSA), Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP), STCK-1, rusak, hilang dan/atau tidak dapat ditemukan lagi, Pejabat dapat menerbitkan surat penetapan pengganti atau surat tagihan pengganti.
     
    (3)
    Surat penetapan pengganti atau surat tagihan pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memiliki jatuh tempo yang sama dengan surat tagihan atau surat penetapan asli.
     
    (4)
    Surat penetapan pengganti atau surat tagihan pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat tagihan atau surat penetapan asli. 
     
     
     
     
    14.
    Ketentuan Pasal 44 diubah, sehingga berbunyi sebagai berikut:
     
     
     
     
     
    Pasal 44
     
    (1)
    Dokumen berupa:
     
     
    a.
    STCK-1 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5);
     
     
    b.
    Surat Teguran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1);
     
     
    c.
    STCK-2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1);
     
     
    d.
    surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9;
     
     
    e.
    Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1);
     
     
    f.
    Surat Pemberitahuan Piutang Pajak Dalam Rangka Impor (SP3DRI) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2);
     
     
    g.
    surat permohonan bantuan pelaksanaan Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1);
     
     
    h.
    surat perintah melaksanakan Penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 24 ayat (3) huruf a;
     
     
    i.
    surat permintaan pemblokiran kekayaan Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai yang tersimpan di bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf a;
     
     
    j.
    surat perintah pemberian kuasa kepada bank untuk memberitahukan harta kekayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf c;
     
     
    k.
    surat permintaan pencabutan blokir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf g dan ayat (4) huruf k;
     
     
    l.
    surat permintaan pemblokiran obligasi/saham dan sejenisnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4) huruf a;
     
     
    m.
    surat peringatan untuk Penyitaan piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (6) huruf a;
     
     
    n.
    surat pencabutan sita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2);
     
     
    o.
    surat permohonan bantuan pelaksanaan Penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1);
     
     
    p.
    surat permohonan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1);
     
     
    q.
    surat perintah Penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38A ayat (1);
     
     
    r.
    surat permohonan izin Penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38A ayat (2);
     
     
    s.
    surat permintaan bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38B ayat (2); dan
     
     
    t.
    surat pemberitahuan pelepasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38D ayat (5),
     
     
    dibuat sesuai dengan contoh format tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
    (2)
    Petunjuk pelaksanaan mengenai:
     
     
    a.
    penerbitan STCK-1 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5);
     
     
    b.
    pelunasan STCK-1 dan STCK-2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 8 ayat (3);
     
     
    c.
    penerbitan Surat Teguran atau STCK-2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3);
     
     
    d.
    penerbitan surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10;
     
     
    e.
    penerbitan Surat Pemberitahuan Piutang Pajak Dalam Rangka Impor (SP3DRI) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2); dan
     
     
    f.
    penerbitan, pemberitahuan, biaya penyampaian, penatausahaan, dan laporan pelaksanaan Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12,
     
     
    tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
    (3)
    Dokumen berupa:
     
     
    a.
    berita acara pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2);
     
     
    b.
    berita acara pelaksanaan sita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3);
     
     
    c.
    format lampiran berita acara pelaksanaan sita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf a, Pasal 24 ayat (2) huruf a, Pasal 24 ayat (5) huruf a, Pasal 24 ayat (6) huruf c, Pasal 24 ayat (7) huruf a;
     
     
    d.
    berita acara pemblokiran rekening bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf b;
     
     
    e.
    berita acara pemblokiran rekening efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4) huruf e;
     
     
    f.
    berita acara pemberian keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4) huruf e;
     
     
    g.
    berita acara pengalihan hak surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (5) huruf c;
     
     
    h.
    berita acara persetujuan pengalihan hak menagih piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (6) huruf e;
     
     
    i.
    segel sita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1);
     
     
    j.
    berita acara Penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38C ayat (4); dan
     
     
    k.
    berita acara kematian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38E ayat (6) dan ayat (7).
     
     
    dibuat sesuai dengan contoh format tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
     
    (4)
    Dokumen berupa laporan pelaksanaan Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) dibuat dengan menggunakan format sesuai contoh tercantum dalam Lampiran IV Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.04/2013 tentang Tata Cara Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai.
     
    (5)
    Cara penghitungan bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dilakukan sesuai contoh ilustrasi tercantum dalam Lampiran V Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.04/2013 tentang Tata Cara Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai.
     
     
     
    15.
    Lampiran I, Lampiran II, dan Lampiran III diubah, sehingga menjadi Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Ini.
     
     
     

    Pasal II

     
    Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.
     
     
     
    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
     
     
     
    Ditetapkan di Jakarta
    pada tanggal 20 November 2017
    MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
    ttd.
    SRI MULYANI INDRAWATI
     
    Diundangkan di Jakarta
    pada tanggal 21 November 2017
    DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
    KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
    ttd.
    WIDODO EKATJAHJANA
     
    BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2017 NOMOR 1656

    Peraturan Menteri Keuangan 169/PMK.04/2017 - Perpajakan DDTC