Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Premium
Terjemahan Dokumen
Ini Belum Tersedia
Ini Belum Tersedia
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Perubahan atau penyempurnaan
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
|
||||
Menimbang |
||||
a.
|
bahwa berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000, Peraturan Pemerintah Nomor 135 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyitaan Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa, Peraturan Pemerintah Nomor 136 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penjualan Barang Sitaan Yang Dikecualikan Dari Penjualan Secara Lelang Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa, dan Peraturan Pemerintah Nomor 137 Tahun 2000 tentang Tempat Dan Tata Cara Penyanderaan, Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak, Dan Pemberian Ganti Rugi Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa, diatur mengenai tata cara penagihan pajak dengan surat paksa;
|
|||
b.
|
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 41 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006, pelaksanaan penagihan utang dan penghapusan penagihan utang yang tidak dapat ditagih berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku;
|
|||
c.
|
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, ketentuan dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan berlaku pula bagi Undang-Undang perpajakan lainnya kecuali apabila ditentukan lain;
|
|||
d.
|
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000, yang dimaksud dengan pajak adalah semua jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat, termasuk bea masuk dan cukai, dan pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah, menurut Undang-Undang dan peraturan daerah;
|
|||
e.
|
bahwa dalam rangka penagihan bea masuk dan/atau cukai perlu pengaturan khusus dengan berdasarkan pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
|
|||
f.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, serta dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 10A Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000, Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007, Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 135 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyitaan Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa, Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 136 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penjualan Barang Sitaan Yang Dikecualikan Dari Penjualan Secara Lelang Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Penagihan Bea Masuk Dan/Atau Cukai;
|
|||
|
|
|||
Mengingat |
||||
1.
|
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
|
|||
2.
|
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
|
|||
3.
|
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3613) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4755);
|
|||
4.
|
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3686) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3987);
|
|||
5.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 135 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penyitaan Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 247, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4049);
|
|||
6.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 136 Tahun 2000 tentang Tata Cara Penjualan Barang Sitaan Yang Dikecualikan Dari Penjualan Secara Lelang Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 248, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4050);
|
|||
7.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 137 Tahun 2000 tentang Tempat Dan Tata Cara Penyanderaan, Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak, Dan Pemberian Ganti Rugi Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 249, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4051);
|
|||
|
|
|||
MEMUTUSKAN:
|
||||
Menetapkan |
||||
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PENAGIHAN BEA MASUK DAN/ATAU CUKAI.
|
||||
BAB I
KETENTUAN UMUM
|
||||
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
|
||||
1.
|
Undang-Undang Kepabeanan adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006.
|
|||
2.
|
Undang-Undang Cukai adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007.
|
|||
3.
|
Bea Masuk adalah pungutan negara berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan yang dikenakan terhadap barang yang diimpor.
|
|||
4.
|
Cukai adalah pungutan, negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undang-Undang Cukai.
|
|||
5.
|
Penagihan Bea Masuk dan atau Cukai adalah serangkaian tindakan agar penanggung bea masuk dan/atau cukai melunasi utang Bea Masuk dan/atau Cukai, biaya penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai, dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang telah disita.
|
|||
6.
|
Utang Bea Masuk dan/atau Cukai adalah pajak berupa bea masuk dan/atau cukai yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan dan/atau Undang-Undang Cukai.
|
|||
7.
|
Kantor Pelayanan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang selanjutnya disebut Kantor Pelayanan adalah Kantor di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, meliputi:
|
|||
|
a.
|
Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai;
|
||
|
b.
|
Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya; atau
|
||
|
c.
|
Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Pratama.
|
||
8.
|
Pejabat Bea dan Cukai yang selanjutnya disebut Pejabat adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan dan Undang-Undang Cukai.
|
|||
9.
|
Surat Tagihan Di Bidang Cukai yang selanjutnya disebut STCK-1 adalah surat berupa ketetapan yang digunakan untuk melakukan tagihan utang Cukai yang tidak dibayar pada waktunya, kekurangan Cukai, sanksi administrasi berupa denda, dan/atau bunga.
|
|||
10.
|
Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur atau memperingatkan penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai untuk melunasi utang Bea Masuk dan/atau Cukai, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), dan/atau Pajak Penghasilan (PPh) yang tercantum dalam surat penetapan yang tidak dibayar pada waktunya.
|
|||
11.
|
Surat Teguran Di Bidang Cukai yang selanjutnya disebut STCK-2 adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur atau memperingatkan penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai untuk melunasi utang Cukai yang tidak dibayar pada waktunya, kekurangan Cukai, sanksi administrasi berupa denda, dan/atau bunga.
|
|||
12.
|
Surat Penyerahan Penagihan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang selanjutnya disebut STCK-3 adalah surat penyerahan penagihan PPN atas barang kena Cukai ke Direktorat Jenderal Pajak.
|
|||
13.
|
Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran Bea Masuk, Cukai, sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban kepabeanan dan cukai termasuk Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK) menurut Undang-Undang Kepabeanan dan Undang-Undang Cukai.
|
|||
14.
|
Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya.
|
|||
15.
|
Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai yang dilaksanakan oleh jurusita bea dan cukai kepada Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh Utang Bea Masuk dan/atau Cukai.
|
|||
16.
|
Pemblokiran adalah tindakan pengamanan harta kekayaan milik Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai yang tersimpan pada bank dengan tujuan agar terhadap harta kekayaan dimaksud tidak terdapat perubahan apapun, selain penambahan jumlah atau nilai.
|
|||
17.
|
Kustodian adalah pihak yang memberikan jasa penitipan efek dan harta lain yang berkaitan dengan efek serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga dan hak-hak lain, menyelesaikan transaksi efek dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya.
|
|||
18.
|
Surat Paksa adalah surat perintah membayar Utang Bea Masuk dan/atau Cukai dan biaya Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai.
|
|||
19.
|
Penyitaan adalah tindakan Jurusita Bea dan Cukai untuk menguasai barang Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai, guna dijadikan jaminan untuk melunasi Utang Bea Masuk dan/atau Cukai menurut peraturan.perundang- undangan.
|
|||
20.
|
Pencegahan adalah larangan sementara terhadap Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai tertentu untuk keluar dari wilayah Negara Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
|
|||
21.
|
Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai dengan menempatkannya di tempat tertentu.
|
|||
22.
|
Jurusita Bea dan Cukai adalah pelaksana tindakan Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai yang meliputi Penagihan Seketika dan Sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, Penyitaan, dan Penyanderaan.
|
|||
23.
|
Biaya Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai adalah biaya pelaksanaan Surat Paksa, surat perintah melaksanakan Penyitaan, pengumuman lelang, pembatalan lelang, jasa penilai dan biaya lainnya sehubungan dengan Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai.
|
|||
|
|
|||
BAB II
PENAGIHAN
|
||||
(1)
|
Dalam rangka pelaksanaan Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai, Menteri Keuangan menunjuk Pejabat untuk melaksanakan Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai.
|
|||
(2)
|
Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Kepala Kantor Pelayanan.
|
|||
|
|
|||
Pasal 3 |
||||
Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berwenang untuk mengangkat dan memberhentikan Jurusita Bea dan Cukai, serta menerbitkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, surat perintah melaksanakan Penyitaan, surat pencabutan sita, pengumuman lelang, surat penentuan harga limit, pembatalan lelang, surat perintah Penyanderaan, dan surat lain yang diperlukan untuk Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai, sehubungan dengan Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai tidak melunasi sebagian atau seluruh Utang Bea Masuk dan/atau Cukai menurut Undang-Undang Kepabeanan dan Undang-Undang Cukai.
|
||||
|
||||
Pasal 4 |
||||
(1)
|
Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 melaksanakan Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai dalam hal Utang Bea Masuk dan/atau Cukai sebagaimana tercantum dalam surat penetapan, surat keputusan, dan/atau surat tagihan, yang menyebabkan timbulnya Utang Bea Masuk dan/atau Cukai, tidak dilunasi sampai dengan tanggal jatuh tempo.
|
|||
(2)
|
Tata cara penerbitan surat penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara penetapan tarif, nilai pabean, dan sanksi administrasi, serta penetapan Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau pejabat bea dan cukai.
|
|||
(3)
|
Surat keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah putusan banding.
|
|||
(4)
|
Tata cara penerbitan surat keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai banding di bidang kepabeanan dan cukai.
|
|||
(5)
|
Surat tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa STCK-1 diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan atau pejabat yang ditunjuknya, dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
dalam jangka waktu 1 (satu) hari kerja setelah berakhirnya jangka waktu penundaan atau pembayaran berkala;
|
||
|
b.
|
untuk kekurangan Cukai, dalam jangka waktu 1 (satu) hari kerja setelah ditemukannya kekurangan cukai; dan/atau
|
||
|
c.
|
untuk sanksi administrasi berupa denda, dalam jangka waktu 1 (satu) hari kerja setelah ditemukannya pelanggaran yang dikenai sanksi administrasi berupa denda.
|
||
|
|
|
||
Pasal 5 |
||||
(1)
|
Surat Penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) berupa Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPTNP), Surat Penetapan Pabean (SPP), Surat Penetapan Sanksi Administrasi (SPSA), Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP) atau keputusan keberatan harus dilunasi oleh Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan.
|
|||
(2)
|
STCK-1 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5) harus dilunasi oleh Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima.
|
|||
(3)
|
Putusan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), harus dilunasi oleh Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak salinan putusan pengadilan pajak diterima oleh Kepala Kantor Pelayanan.
|
|||
(4)
|
Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai harus menyerahkan tanda bukti pelunasan kepada Kepala Kantor Pelayanan atau pejabat yang ditunjuknya.
|
|||
|
|
|||
Pasal 6 |
||||
(1)
|
Dalam hal Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai mengajukan keberatan atas Surat Penetapan, Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPTNP), Surat Penetapan Pabean (SPP), Surat Penetapan Sanksi Administrasi (SPSA), atau STCK-1, jatuh tempo pelunasan Utang Bea Masuk dan/atau Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (2) dapat ditangguhkan sampai dengan 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal penerbitan surat keputusan keberatan.
|
|||
(2)
|
Dalam hal Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai mengajukan banding atas Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP), atau keputusan keberatan, jatuh tempo pelunasan Utang Bea Masuk dan/atau Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dapat ditangguhkan sampai dengan 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak salinan putusan banding diterima Kepala Kantor Pelayanan.
|
|||
|
|
|||
Pasal 7 |
||||
Penangguhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) tidak menunda proses pencairan jaminan atas Utang Bea Masuk dan/atau Cukai dalam hal keberatan yang diajukan ditolak.
|
||||
|
||||
BAB III
SURAT TEGURAN
|
||||
(1)
|
Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dilakukan dengan terlebih dahulu menerbitkan Surat Teguran atau STCK-2 oleh Pejabat.
|
|||
(2)
|
Surat Teguran atau STCK-2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diterbitkan terhadap Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai yang telah:
|
|||
|
a.
|
disetujui untuk mengangsur atau menunda pembayaran Utang Bea Masuk dan/atau Cukai;
|
||
|
b.
|
melunasi Utang Bea Masuk dan/atau Cukai, utang Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), dan Pajak Penghasilan (PPh);
|
||
|
c.
|
mengajukan keberatan; atau
|
||
|
d.
|
mengajukan banding.
|
||
(3)
|
Surat Teguran atau STCK-2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan paling cepat 7 (tujuh) hari terhitung setelah tanggal jatuh tempo pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (3).
|
|||
|
|
|||
BAB IV
PENAGIHAN SEKETIKA DAN SEKALIGUS
|
||||
Jurusita Bea dan Cukai melaksanakan Penagihan Seketika dan Sekaligus tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran berdasarkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus yang diterbitkan oleh Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dalam hal:
|
||||
a.
|
Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai akan meninggalkan Indonesia untuk selamanya atau berniat untuk itu;
|
|||
b.
|
Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai memindahtangankan barang yang dimiliki atau dikuasai dalam rangka menghentikan, atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;
|
|||
c.
|
terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai akan membubarkan badan usaha, menggabungkan usaha, memekarkan usaha, memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau dikuasai, atau melakukan perubahan bentuk lainnya;
|
|||
d.
|
badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau
|
|||
e.
|
terjadi Penyitaan atas barang milik Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.
|
|||
|
|
|||
Pasal 10 |
||||
Penerbitan surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus oleh Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
||||
a.
|
diterbitkan sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran;
|
|||
b.
|
diterbitkan tanpa didahului Surat Teguran atau STCK-2;
|
|||
c.
|
diterbitkan sebelum jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari terhitung sejak Surat Teguran atau STCK-2 diterbitkan; atau
|
|||
d.
|
diterbitkan sebelum penerbitan Surat Paksa.
|
|||
|
|
|||
BAB V
SURAT PAKSA
|
||||
(1)
|
Surat Paksa diterbitkan atas Utang Bea Masuk dan/atau Cukai dalam hal:
|
|||
|
a.
|
tidak dilunasi oleh Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai setelah lewat waktu 21 (dua puluh satu) hari terhitung sejak tanggal diterbitkan Surat Teguran atau STCK-2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1);
|
||
|
b.
|
terhadap Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai telah dilaksanakan Penagihan Seketika dan Sekaligus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10; atau
|
||
|
c.
|
Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran Utang Bea Masuk dan/atau Cukai.
|
||
(2)
|
Atas tagihan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), dan Pajak Penghasilan (PPh), pada hari yang sama dengan penerbitan Surat Paksa, diterbitkan:
|
|||
|
a.
|
Surat Pemberitahuan Piutang Pajak Dalam Rangka Impor (SP3DRI); atau
|
||
|
b.
|
STCK-3.
|
||
|
|
|
||
Pasal 12 |
||||
(1)
|
Surat Paksa diterbitkan oleh Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan diberitahukan oleh Jurusita Bea dan Cukai dengan pernyataan dan penyerahan salinan Surat Paksa kepada Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai.
|
|||
(2)
|
Pemberitahuan Surat Paksa, kepada Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan membacakan isi Surat Paksa oleh Jurusita Bea dan Cukai dan dituangkan dalam berita acara pemberitahuan Surat Paksa sebagai pernyataan bahwa Surat Paksa telah diberitahukan.
|
|||
(3)
|
Berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditandatangani oleh Jurusita Bea dan Cukai dan Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai.
|
|||
(4)
|
Hasil penyampaian Surat Paksa kepada Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai dilaporkan kepada Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa dengan menggunakan laporan pelaksanaan Surat Paksa.
|
|||
|
|
|||
Pasal 13 |
||||
Surat Paksa terhadap orang pribadi diberitahukan oleh Jurusita Bea dan Cukai kepada:
|
||||
a.
|
Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai di tempat tinggal, tempat usaha atau di tempat lain yang memungkinkan;
|
|||
b.
|
orang dewasa yang bertempat tinggal bersama atau yang bekerja di tempat usaha Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai, dalam hal Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai yang bersangkutan tidak dapat dijumpai;
|
|||
c.
|
salah seorang ahli waris atau pelaksana wasiat atau yang mengurus harta peninggalannya, dalam hal Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai telah meninggal dunia dan harta warisan belum dibagi; atau
|
|||
d.
|
ahli waris, dalam hal Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai telah meninggal dunia dan harta warisan telah dibagi.
|
|||
|
|
|||
Pasal 14 |
||||
Surat Paksa terhadap badan diberitahukan oleh Jurusita Bea dan Cukai kepada:
|
||||
a.
|
pengurus meliputi direksi, komisaris, pemegang saham pengendali atau mayoritas untuk perseroan terbuka, pemegang saham untuk perseroan tertutup, atau orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam menjalankan perseroan, untuk perseroan terbatas;
|
|||
b.
|
kepala perwakilan, kepala cabang, atau penanggung jawab, untuk bentuk usaha tetap;
|
|||
c.
|
direktur, pemilik modal, atau orang yang ditunjuk untuk melaksanakan dan mengendalikan serta bertanggung jawab atas perusahaan, untuk badan usaha lainnya seperti kontrak investasi kolektif, persekutuan, firma, dan perseroan komanditer;
|
|||
d.
|
ketua atau orang yang melaksanakan dan mengendalikan serta bertanggung jawab atas yayasan, untuk yayasan; atau
|
|||
e.
|
pegawai tetap di tempat kedudukan atau tempat usaha badan yang bersangkutan, dalam hal Jurusita Bea dan Cukai tidak dapat menjumpai salah seorang sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, atau huruf d.
|
|||
|
|
|||
Pasal 15 |
||||
(1)
|
Dalam hal Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai dinyatakan pailit, Surat Paksa diberitahukan kepada kurator, hakim pengawas, atau balai harta peninggalan.
|
|||
(2)
|
Dalam hal Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, Surat Paksa diberitahukan kepada orang atau badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan atau likuidator.
|
|||
(3)
|
Dalam hal Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus termasuk Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK) untuk menjalankan hak dan kewajiban kepabeanan, Surat Paksa dapat diberitahukan kepada penerima kuasa.
|
|||
|
|
|||
Pasal 16 |
||||
(1)
|
Dalam hal Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai atau pihak-pihak yang dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 15 menolak untuk menerima Surat Paksa, Jurusita Bea dan Cukai meninggalkan Surat Paksa dimaksud dan mencatatnya dalam berita acara bahwa Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai tidak mau menerima Surat Paksa, dan Surat Paksa dianggap telah diberitahukan.
|
|||
(2)
|
Dalam hal pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 15 tidak dapat dilaksanakan, Surat Paksa disampaikan melalui pemerintah daerah setempat.
|
|||
(3)
|
Dalam hal Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai tidak diketahui tempat tinggalnya, tempat usaha, atau tempat kedudukannya, penyampaian Surat Paksa dilaksanakan dengan cara menempelkan salinan Surat Paksa pada papan pengumuman di kantor Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa, mengumumkan melalui media massa, atau cara lain.
|
|||
|
|
|||
Pasal 17 |
||||
(1)
|
Dalam hal pelaksanaan Surat Paksa harus dilakukan di luar wilayah kerja Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa meminta bantuan dengan menerbitkan surat permohonan bantuan pelaksanaan Surat Paksa kepada Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat pelaksanaan Surat Paksa untuk menyampaikan Surat Paksa.
|
|||
(2)
|
Dalam hal di 1 (satu) kota terdapat lebih dari 1 (satu) wilayah kerja dari beberapa Pejabat, Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa dapat memerintahkan Jurusita Bea dan Cukai untuk melaksanakan Surat Paksa di luar wilayah kerjanya sepanjang masih berada di kota tersebut.
|
|||
(3)
|
Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memberitahukan pelaksanaan Surat Paksa yang telah dilakukan kepada Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat pelaksanaan Surat Paksa.
|
|||
(4)
|
Dalam hal pelaksanaan Surat Paksa harus dilakukan di luar kota tempat kedudukan kantor Pejabat namun masih dalam wilayah kerjanya, Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa harus.
|
|||
|
a.
|
meminta bantuan untuk melaksanakan Surat Paksa kepada Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat pelaksanaan Surat Paksa; atau
|
||
|
b.
|
memerintahkan Jurusita Bea dan Cukai untuk melaksanakan Surat Paksa secara langsung tanpa meminta bantuan kepada Pejabat setempat disertai dengan pemberitahuan kepada Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat pelaksanaan Surat Paksa.
|
||
(5)
|
Pejabat yang diminta untuk memberikan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) huruf a wajib membantu dan memberitahukan tindakan yang telah dilaksanakannya kepada Pejabat yang meminta bantuan.
|
|||
|
|
|||
Pasal 18 |
||||
(1)
|
Permintaan bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
surat permohonan bantuan pelaksanaan Surat Paksa diterbitkan dan disampaikan paling lambat 5 (lima) hari kerja terhitung sejak Surat Paksa diterbitkan oleh Pejabat; dan
|
||
|
b.
|
Pejabat yang menerima surat permohonan bantuan pelaksanaan Surat Paksa, memberikan bantuan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak menerima surat permohonan bantuan.
|
||
(2)
|
Bantuan yang telah dilaksanakan oleh Pejabat yang menerima permohonan bantuan, diberitahukan secara tertulis kepada Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak permohonan bantuan Surat Paksa diterima, dengan dilampiri:
|
|||
|
a.
|
berita acara pemberitahuan Surat Paksa; dan
|
||
|
b.
|
laporan pelaksanaan Surat Paksa.
|
||
|
|
|
||
Pasal 19 |
||||
(1)
|
Dalam hal terjadi keadaan di luar kekuasaan Pejabat atau sebab lain yang mengakibatkan Surat Paksa rusak, hilang, atau tidak terbaca, Pejabat karena jabatan menerbitkan Surat Paksa pengganti.
|
|||
(2)
|
Surat Paksa pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan Surat Paksa.
|
|||
|
|
|||
Pasal 20 |
||||
(1)
|
Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai dapat mengajukan permohonan pembetulan atau penggantian kepada Pejabat terhadap Surat Teguran dan/atau Surat Paksa yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan atau kekeliruan.
|
|||
(2)
|
Pejabat dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak tanggal diterima permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberi keputusan atas permohonan yang diajukan.
|
|||
(3)
|
Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Pejabat tidak memberikan keputusan, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap dikabulkan dan Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai ditunda untuk sementara waktu.
|
|||
(4)
|
Pejabat karena jabatan dapat membetulkan Surat Teguran, surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, dan Surat Paksa yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan atau kekeliruan.
|
|||
(5)
|
Tindakan pelaksanaan Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai dilanjutkan setelah kesalahan atau kekeliruan dibetulkan oleh Pejabat.
|
|||
|
|
|||
BAB VI
PENYITAAN
|
||||
(1)
|
Apabila setelah lewat waktu 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam sejak Surat Paksa diberitahukan kepada Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Utang Bea Masuk dan/atau Cukai tidak dilunasi oleh Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai, Pejabat menerbitkan surat perintah melaksanakan Penyitaan.
|
|||
(2)
|
Berdasarkan surat perintah melaksanakan Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Jurusita Bea dan Cukai melaksanakan Penyitaan terhadap barang milik Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai.
|
|||
|
|
|||
Pasal 22 |
||||
(1)
|
Barang milik Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai yang dapat disita adalah barang yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan, atau di tempat lain termasuk yang penguasaannya berada di tangan pihak lain atau yang dijaminkan sebagai pelunasan utang tertentu yang dapat berupa:
|
|||
|
a.
|
barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai, deposito, tabungan, saldo. rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi, saham, atau surat berharga lainnya, piutang, dan penyertaan modal pada perusahaan lain; dan/atau
|
||
|
b.
|
barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan, dan kapal dengan isi kotor paling sedikit 20 (dua puluh) meter kubik.
|
||
(2)
|
Terhadap Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai yang merupakan orang pribadi, Penyitaan dapat dilaksanakan atas barang pribadi milik yang bersangkutan, barang pribadi milik suami atau isteri, dan barang pribadi milik anak yang masih dalam tanggungan, kecuali dikehendaki secara tertulis oleh suami atau istri berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan.
|
|||
(3)
|
Terhadap Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai yang merupakan badan, Penyitaan dilaksanakan atas barang milik perusahaan, baik di tempat kedudukan perusahaan atau tempat lain.
|
|||
(4)
|
Dalam hal nilai barang milik perusahaan tidak mencukupi, tidak ditentukan, atau kesulitan dalam melakukan penyitaan, penyitaan dapat dilakukan terhadap barang milik pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, atau pemilik modal, baik di tempat kedudukan yang bersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun di tempat lain;
|
|||
(5)
|
Dalam hal dilakukan penyitaan terhadap barang milik pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, atau pemilik modal, sebagaimana dimaksud pada ayat 4, Pejabat menerbitkan Surat Keterangan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan merupakan pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, atau pemilik modal perusahaan.
|
|||
(6)
|
Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai yang merupakan orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai yang merupakan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), termasuk Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK).
|
|||
(7)
|
Jurusita Bea dan Cukai melaksanakan Penyitaan dengan mendahulukan Penyitaan terhadap barang bergerak.
|
|||
(8)
|
Dalam hal Jurusita Bea dan Cukai tidak menjumpai barang bergerak yang dapat dijadikan objek sita atau barang bergerak yang dijumpai tidak mempunyai nilai atau harganya tidak memadai jika dibandingkan dengan Utang Bea Masuk dan/atau Cukai, Penyitaan dilaksanakan terhadap barang tidak bergerak.
|
|||
(9)
|
Urutan barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak yang disita ditentukan oleh Jurusita Bea dan Cukai dengan memperhatikan jumlah Utang Bea Masuk dan/atau Cukai dan Biaya Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai, kemudahan penjualan atau pencairannya.
|
|||
|
|
|||
|
||||
Pasal 23 |
||||
(1)
|
Penyitaan dilaksanakan oleh Jurusita Bea dan Cukai dengan disaksikan oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
saksi telah dewasa;
|
||
|
b.
|
saksi merupakan penduduk Indonesia;
|
||
|
c.
|
saksi dikenal oleh Jurusita dan Bea Cukai; dan
|
||
|
d.
|
saksi dapat dipercaya.
|
||
(2)
|
Dalam melaksanakan Penyitaan, Jurusita Bea dan Cukai harus:
|
|||
|
a.
|
memperlihatkan kartu tanda pengenal Jurusita Bea dan Cukai;
|
||
|
b.
|
memperlihatkan surat perintah melaksanakan Penyitaan; dan
|
||
|
c.
|
memberitahukan tentang maksud dan tujuan Penyitaan.
|
||
(3)
|
Setiap melaksanakan Penyitaan, Jurusita Bea dan Cukai harus membuat berita acara pelaksanaan sita yang ditandatangani oleh Jurusita Bea dan Cukai, Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai, dan saksi-saksi.
|
|||
(4)
|
Dalam hal Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai menolak untuk menandatangani berita acara pelaksanaan sita, Jurusita Bea dan Cukai harus mencantumkan penolakan tersebut dalam berita acara pelaksanaan sita yang ditandatangani oleh Jurusita Bea dan Cukai dan saksi-saksi, dan berita acara pelaksanaan sita tersebut tetap sah dan mempunyai kekuatan hukum mengikat.
|
|||
(5)
|
Penyitaan tetap dapat dilaksanakan walaupun Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai tidak hadir, sepanjang salah seorang saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari pemerintah daerah setempat, paling rendah setingkat sekretaris kelurahan atau sekretaris desa.
|
|||
(6)
|
Dalam hal pelaksanaan Penyitaan tidak dihadiri oleh Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai, berita acara pelaksanaan sita ditandatangani oleh Jurusita Bea dan Cukai dan saksi-saksi, dan berita acara pelaksanaan sita tersebut tetap sah dan mempunyai kekuatan mengikat.
|
|||
(7)
|
Salinan berita acara pelaksanaan sita dapat ditempelkan pada barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak yang disita, atau di tempat barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak yang disita berada, atau di tempat-tempat umum.
|
|||
(8)
|
Salinan berita acara pelaksanaan sita disampaikan kepada:
|
|||
|
a.
|
Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai;
|
||
|
b.
|
Kepolisian untuk barang bergerak yang kepemilikannya sudah terdaftar;
|
||
|
c.
|
Badan Pertanahan Nasional, untuk tanah yang kepemilikannya sudah terdaftar;
|
||
|
d.
|
pemerintah daerah dan Pengadilan Negeri setempat, untuk tanah yang kepemilikannya belum terdaftar;
|
||
|
e.
|
Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, untuk kapal; dan/atau
|
||
|
f.
|
Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, untuk pesawat udara.
|
||
|
|
|
||
Pasal 24 |
||||
(1)
|
Penyitaan terhadap perhiasan emas, permata dan seterusnya dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
membuat rincian tentang jenis, jumlah dan harga perhiasan yang disita dalam suatu daftar yang merupakan lampiran berita acara pelaksanaan sita; dan
|
||
|
b.
|
membuat berita acara pelaksanaan sita.
|
||
(2)
|
Penyitaan terhadap uang tunai termasuk mata uang asing dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
menghitung terlebih dahulu uang tunai yang disita dan membuat rinciannya dalam suatu daftar yang merupakan lampiran berita acara pelaksanaan sita;
|
||
|
b.
|
membuat berita acara pelaksanaan sita; dan
|
||
|
c.
|
menyimpan uang tunai yang telah disita dalam tempat penyimpanan yang selanjutnya ditempeli dengan segel sita dan kemudian menitipkannya pada Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai atau menitipkannya pada bank.
|
||
(3)
|
Penyitaan terhadap harta kekayaan Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai yang disimpan di bank berupa deposito, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu dilaksanakan setelah dilakukan Pemblokiran dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
Pejabat mengajukan permintaan Pemblokiran kepada bank disertai dengan penyampaian salinan, Surat Paksa dan surat perintah melaksanakan Penyitaan;
|
||
|
b.
|
bank wajib memblokir seketika setelah menerima permintaan Pemblokiran dari Pejabat dan membuat berita acara Pemblokiran serta menyampaikan salinannya kepada Pejabat dan Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai;
|
||
|
c.
|
Jurusita Bea dan Cukai, setelah menerima berita acara Pemblokiran dari bank, memerintahkan Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai untuk memberi kuasa kepada bank agar memberitahukan harta kekayaan Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai yang tersimpan pada bank tersebut kepada Jurusita Bea dan Cukai;
|
||
|
d.
|
dalam hal Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai tidak memberikan kuasa kepada bank sebagaimana dimaksud pada huruf c, Pejabat meminta kepada Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan melalui Menteri Keuangan agar memerintahkan bank untuk memberitahukan harta kekayaan Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai yang tersimpan pada bank dimaksud;
|
||
|
e.
|
setelah harta kekayaan Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai yang tersimpan pada bank diketahui, Jurusita Bea dan Cukai melaksanakan Penyitaan dan membuat berita acara pelaksanaan sita yang ditandatangani oleh Jurusita Bea dan Cukai, saksi-saksi, dan pejabat bank;
|
||
|
f.
|
menyampaikan salinan berita acara pelaksanaan sita kepada Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai dan pejabat bank yang bersangkutan;
|
||
|
g.
|
Pejabat mengajukan permintaan pencabutan Pemblokiran kepada bank setelah Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai melunasi Utang Bea Masuk dan/atau Cukai dan Biaya Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai; dan
|
||
|
h.
|
Pejabat mengajukan permintaan pencabutan Pemblokiran terhadap harta kekayaan Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai setelah dikurangi dengan jumlah yang disita jika Utang Bea Masuk dan/atau Cukai dan Biaya Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai tidak dilunasi oleh Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai sekalipun telah dilakukan Pemblokiran.
|
||
(4)
|
Pelaksanaan Penyitaan terhadap surat berharga berupa obligasi, saham, dan sejenisnya yang diperdagangkan di bursa efek dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
Pemblokiran rekening efek pada Kustodian dilakukan berdasarkan permintaan tertulis dari Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau pejabat yang ditunjuk kepada Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dengan menyebutkan nama pemegang rekening atau nomor pemegang rekening sebagai Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai, sebab dan alasan perlunya Pemblokiran tersebut dilakukan;
|
||
|
b.
|
berdasarkan permintaan Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada huruf a, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dapat menyampaikan perintah tertulis kepada Kustodian untuk melakukan Pemblokiran terhadap rekening efek Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai;
|
||
|
c.
|
berdasarkan perintah tertulis dari Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada huruf b, Kustodian melakukan Pemblokiran;
|
||
|
d.
|
dalam hal permintaan Pemblokiran tersebut disertai dengan permintaan keterangan tentang rekening efek pada Kustodian, maka permintaan tertulis dari Direktur Jenderal Bea dan Cukai harus memuat nama Pejabat yang berwenang mendapat keterangan tersebut;
|
||
|
e.
|
Kustodian yang melakukan Pemblokiran dan memberikan keterangan tentang rekening efek pemegang rekening, membuat berita acara Pemblokiran, dan berita acara pemberian keterangan;
|
||
|
f.
|
berita acara pemblokiran dan berita acara pemberian keterangan tersebut disampaikan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai dan salinannya disampaikan kepada Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dan pemegang rekening sebagai Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai, paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah Pemblokiran dan pemberian keterangan tersebut dilakukan;
|
||
|
g.
|
Jurusita Bea dan Cukai melaksanakan Penyitaan atas efek dan/atau dana dalam rekening efek pada Kustodian segera setelah menerima berita acara Pemblokiran dan berita acara pemberian keterangan;
|
||
|
h.
|
Jurusita Bea dan Cukai yang melakukan Penyitaan harus membuat berita acara pelaksanaan sita yang ditandatangani oleh Jurusita Bea dan Cukai, Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai, dan saksi-saksi;
|
||
|
i.
|
dalam hal Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai tidak hadir, berita acara pelaksanaan sita ditandatangani oleh Jurusita Bea dan Cukai dan saksi-saksi;
|
||
|
j.
|
berita acara pelaksanaan sita disampaikan kepada Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai, dan salinannya disampaikan kepada Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dan Kustodian;
|
||
|
k.
|
Pejabat mengajukan permintaan pencabutan Pemblokiran terhadap rekening efek Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai kepada Kustodian, setelah Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai melunasi Utang Bea Masuk dan/atau Cukai dan Biaya Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai;
|
||
|
l.
|
Pejabat mengajukan permintaan pencabutan Pemblokiran terhadap rekening efek Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai setelah dikurangi dengan jumlah yang disita, jika Utang Bea Masuk dan/atau Cukai dan Biaya Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai tidak dilunasi oleh Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai sekalipun telah dilakukan Pemblokiran; dan
|
||
|
m.
|
efek yang diperdagangkan di bursa yang telah disita, dijual di bursa melalui perantara pedagang efek anggota bursa atas permintaan Pejabat.
|
||
(5)
|
Penyitaan terhadap surat berharga berupa obligasi, saham, dan sejenisnya yang tidak diperdagangkan di bursa efek dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
melakukan inventarisasi dan membuat rincian tentang jenis, jumlah, dan nilai nominal atau perkiraan nilai lainnya dari surat berharga yang disita, dalam suatu daftar yang merupakan lampiran berita acara pelaksanaan sita;
|
||
|
b.
|
membuat berita acara pelaksanaan sita; dan
|
||
|
c.
|
membuat berita acara pengalihan hak surat berharga atas nama Penanggung Bea Masuk dan atau Cukai kepada Pejabat.
|
||
(6)
|
Penyitaan terhadap piutang dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
Pejabat menyampaikan surat peringatan kepada Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai bahwa piutang Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai pada satu atau beberapa debitur akan disita dan digunakan untuk melunasi Utang Bea Masuk dan/atau Cukai dan Biaya Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai;
|
||
|
b.
|
apabila setelah batas waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal surat peringatan sebagaimana dimaksud pada huruf a, Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai tidak melunasi Utang Bea Masuk dan/atau Cukai dan Biaya Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai, Pejabat memerintahkan Jurusita Bea dan Cukai untuk melaksanakan Penyitaan;
|
||
|
c.
|
melakukan inventarisasi, dan membuat rincian tentang jenis dan jumlah piutang yang disita dalam suatu daftar yang merupakan lampiran berita acara pelaksanaan sita;
|
||
|
d.
|
membuat berita acara pelaksanaan sita; dan
|
||
|
e.
|
membuat berita acara persetujuan pengalihan hak menagih piutang dari Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai kepada Pejabat, dan salinannya disampaikan kepada Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai dan pihak yang berkewajiban membayar utang.
|
||
7.
|
Penyitaan terhadap penyertaan modal pada perusahaan lain yang tidak ada surat sahamnya dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
melakukan inventarisasi dan membuat rincian tentang jumlah penyertaan modal pada perusahaan lain dalam suatu daftar yang merupakan lampiran berita acara pelaksanaan sita;
|
||
|
b.
|
membuat berita acara pelaksanaan sita; dan
|
||
|
c.
|
membuat akta persetujuan pengalihan hak penyertaan modal pada perusahaan lain dari Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai kepada Pejabat dan salinannya disampaikan kepada perusahaan tempat penyertaan modal.
|
||
|
|
|
||
Pasal 25 |
||||
Penyitaan terhadap barang milik Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai dilaksanakan sampai dengan jumlah nilai barang yang disita diperkirakan cukup untuk melunasi Utang Bea Masuk dan/atau Cukai dan Biaya Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai.
|
||||
|
||||
Pasal 26 |
||||
Penyitaan terhadap barang yang telah disita oleh Kejaksaan atau Kepolisian sebagai barang bukti dalam kasus pidana, baru dapat dilaksanakan setelah barang bukti tersebut dikembalikan kepada Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai.
|
||||
|
||||
Pasal 27 |
||||
(1)
|
Barang yang telah disita dapat dititipkan kepada Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai, kecuali apabila menurut pertimbangan Jurusita Bea dan Cukai barang sitaan tersebut perlu disimpan di kantor Pejabat atau di tempat lain.
|
|||
(2)
|
Pertimbangan Jurusita Bea dan Cukai untuk menentukan barang sitaan dititipkan di kantor Pejabat atau tempat lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
resiko kehilangan, pencurian, atau kerusakan; dan
|
||
|
b.
|
jenis, sifat, ukuran, atau jumlah barang yang disita.
|
||
(3)
|
Dalam hal Penyitaan tidak dihadiri oleh Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai:
|
|||
|
a.
|
barang bergerak yang telah disita dapat dititipkan kepada aparat pemerintah daerah setempat yang menjadi saksi dalam pelaksanaan sita; atau
|
||
|
b.
|
barang tidak bergerak pengawasannya diserahkan kepada aparat pemerintah daerah setempat yang menjadi saksi dalam pelaksanaan sita tersebut.
|
||
(4)
|
Tempat lain yang dapat digunakan sebagai tempat penitipan barang yang telah disita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kantor pegadaian, bank, kantor pos atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai atas nama Menteri Keuangan.
|
|||
|
|
|||
Pasal 28 |
||||
Penyitaan tambahan dapat dilaksanakan dalam hal:
|
||||
a.
|
nilai barang yang disita nilainya tidak cukup untuk melunasi Utang Bea Masuk dan/atau Cukai dan Biaya Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai; atau
|
|||
b.
|
hasil lelang barang yang telah disita tidak cukup untuk melunasi Utang Bea Masuk dan/atau Cukai dan Biaya Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai.
|
|||
|
|
|||
Pasal 29 |
||||
(1)
|
Atas barang yang disita dapat ditempeli atau diberi segel sita.
|
|||
(2)
|
Penempelan segel sita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan jenis, sifat dan bentuk barang sitaan.
|
|||
|
|
|||
Pasal 30 |
||||
(1)
|
Pencabutan sita dilaksanakan dalam hal Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai telah melunasi Utang Bea Masuk dan/atau Cukai dan Biaya Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai, berdasarkan putusan pengadilan, putusan pengadilan pajak, atau ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
|
|||
(2)
|
Pencabutan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan surat pencabutan sita yang diterbitkan oleh Pejabat.
|
|||
(3)
|
Surat pencabutan sita sekaligus berfungsi sebagai pencabutan berita acara pelaksanaan sita, disampaikan oleh Jurusita Bea dan Cukai kepada Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai dan instansi yang terkait, dan diikuti dengan pengembalian penguasaan barang yang disita kepada Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai.
|
|||
(4)
|
Pencabutan sita dilakukan terhadap:
|
|||
|
a.
|
deposito, tabungan, saldo rekening koran, giro atau yang dipersamakan dengan itu, dilaksanakan dengan menyampaikan surat pencabutan sita kepada Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai dan tembusannya disampaikan kepada bank yang bersangkutan;
|
||
|
b.
|
surat berharga berupa obligasi, saham atau sejenisnya baik yang diperdagangkan maupun yang tidak diperdagangkan di bursa efek, dilaksanakan dengan menyampaikan surat pencabutan sita kepada Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai dan tembusannya disampaikan kepada pihak terkait yang sekaligus berfungsi sebagai pembatalan berita acara pengalihan hak atas surat berharga tersebut;
|
||
|
c.
|
piutang, dilaksanakan dengan menyampaikan surat pencabutan sita kepada Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai dan tembusannya disampaikan kepada pihak yang berutang yang sekaligus berfungsi sebagai pembatalan berita acara persetujuan pengalihan hak menagih piutang; atau
|
||
|
d.
|
penyertaan modal pada perusahaan lain, dilaksanakan dengan menyampaikan surat pencabutan sita kepada Penanggung Bea Masuk
dan/atau Cukai dan tembusannya disampaikan kepada pihak terkait serta membuat akta pembatalan pengalihan hak. |
||
|
|
|
||
Pasal 31 |
||||
(1)
|
Dalam hal objek sita berada di luar wilayah kerja Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa, Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa meminta bantuan dengan surat permohonan bantuan pelaksanaan Penyitaan kepada Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat objek sita berada untuk menerbitkan surat perintah melaksanakan Penyitaan.
|
|||
(2)
|
Dalam hal di 1 (satu) kota terdapat lebih dari 1 (satu) wilayah kerja dari beberapa Pejabat, Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa dapat memerintahkan Jurusita Bea dan Cukai untuk melaksanakan Penyitaan terhadap objek sita yang berada di luar wilayah kerjanya sepanjang masih berada di kota bersangkutan.
|
|||
(3)
|
Pejabat yang memerintahkan Jurusita Bea dan Cukai untuk melaksanakan Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memberitahukan pelaksanaan Penyitaan yang telah dilakukan kepada Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat objek sita berada.
|
|||
(4)
|
Dalam hal objek sita terletak berjauhan atau di luar kota tempat kedudukan kantor Pejabat namun masih dalam wilayah kerjanya, Pejabat dimaksud dapat:
|
|||
|
a.
|
meminta bantuan kepada Pejabat yang wilayah kerjanya juga meliputi tempat objek sita berada untuk menerbitkan surat perintah melaksanakan Penyitaan; atau
|
||
|
b.
|
memerintahkan Jurusita Bea dan Cukai untuk melaksanakan Penyitaan secara langsung tanpa meminta bantuan Pejabat setempat, disertai dengan pemberitahuan kepada Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat pelaksanaan Surat Paksa.
|
||
(5)
|
Pejabat yang diminta bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) huruf a harus membantu dan memberitahukan pelaksanaan surat perintah melaksanakan Penyitaan dimaksud kepada Pejabat yang meminta bantuan.
|
|||
|
|
|||
Pasal 32 |
||||
(1)
|
Permintaan bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
surat permohonan bantuan diterbitkan dan disampaikan paling cepat 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam setelah Surat Paksa diberitahukan.
|
||
|
b.
|
Pejabat yang menerima surat permohonan bantuan pelaksanaan Penyitaan, memberikan bantuan paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak menerima surat permohonan bantuan.
|
||
(2)
|
Bantuan yang telah dilaksanakan oleh Pejabat yang menerima permohonan bantuan, dilaporkan secara tertulis kepada Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa dengan dilampiri:
|
|||
|
a.
|
surat perintah melaksanakan Penyitaan;
|
||
|
b.
|
berita acara pelaksanaan sita; dan
|
||
|
c.
|
lampiran berita acara pelaksanaan sita.
|
||
|
|
|
||
Pasal 33 |
||||
(1)
|
Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak penyitaan, Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai tidak melunasi Utang Bea Masuk dan/atau Cukai dan Biaya Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai, berlaku ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
dalam hal objek sita berupa uang tunai termasuk mata uang asing, Pejabat segera memindahbukukan harta kekayaan Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai ke kas negara dengan jumlah sebagaimana tercantum dalam berita acara pelaksanaan sita;
|
||
|
b.
|
dalam hal objek sita berupa harta kekayaan Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai yang disimpan di bank, Pejabat segera meminta kepada pimpinan bank untuk memindahbukukan harta kekayaan Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai yang tersimpan pada bank ke kas negara dengan jumlah sebagaimana tercantum dalam berita acara pelaksanaan sita;
|
||
|
c.
|
dalam hal objek sita berupa obligasi, saham, dan sejenisnya yang diperdagangkan di bursa efek, Pejabat segera meminta kepada perantara pedagang efek anggota bursa untuk menjual dan memindahbukukan harta kekayaan Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai ke kas negara dengan jumlah sebagaimana tercantum dalam berita acara pelaksanaan sita;
|
||
|
d.
|
dalam hal objek sita berupa obligasi, saham, dan sejenisnya yang tidak diperdagangkan di bursa efek, Pejabat segera menjual dan memindahbukukan harta kekayaan Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai ke kas negara dengan jumlah sebagaimana tercantum dalam berita acara pelaksanaan sita;
|
||
|
e.
|
dalam hal objek sita berupa piutang, Pejabat menjual piutang kepada pembeli atau disetor langsung oleh pihak yang berkewajiban membayar utang ke kas negara atas permintaan Pejabat dengan jumlah sebagaimana tercantum dalam berita acara pelaksanaan sita;
|
||
|
f.
|
dalam hal objek sita berupa penyertaan modal pada perusahaan lain yang tidak ada surat sahamnya, Pejabat menjual penyertaan modal kepada pembeli atau mencairkan penyertaan modal oleh perusahaan lain ke kas negara atas permintaan Pejabat dengan jumlah sebagaimana tercantum dalam berita acara pelaksanaan sita; atau
|
||
|
g.
|
dalam hal objek sita berupa barang selain barang sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f, Pejabat melakukan penjualan secara lelang.
|
||
(2)
|
Sebelum jangka waktu 14 (empat belas) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir, Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai dapat mengajukan permohonan kepada Pejabat untuk menggunakan barang sitaan dimaksud setelah melunasi Utang Bea Masuk dan/atau Cukai dan Biaya Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai.
|
|||
|
|
|||
BAB VII
PELELANGAN
|
||||
(1)
|
Penjualan secara lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf g dilakukan melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang dan dilaksanakan paling cepat setelah jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak pengumuman lelang.
|
|||
(2)
|
Pengumuman lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk barang bergerak dilakukan 1 (satu) kali dan untuk barang tidak bergerak dilakukan 2 (dua) kali.
|
|||
(3)
|
Jika hasil lelang sudah mencapai jumlah yang cukup untuk melunasi Utang Bea Masuk dan/atau Cukai dan Biaya Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai, pelaksanaan lelang dihentikan dan sisa barang serta kelebihan uang hasil lelang dikembalikan oleh Pejabat kepada Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai paling lambat 3 (tiga) hari setelah pelaksanaan lelang.
|
|||
|
|
|||
Pasal 35 |
||||
Pelaksanaan lelang diatur sesuai peraturan perundang-undangan mengenai petunjuk pelaksanaan lelang.
|
||||
BAB VIII
PENCEGAHAN DAN PENYANDERAAN
|
||||
(1)
|
Pencegahan dan Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai yang mempunyai jumlah Utang Bea Masuk dan/atau Cukai paling sedikit sebesar Rp100,000.000,00 (seratus juta rupiah) dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi Utang Bea Masuk dan/atau Cukai.
|
|||
(2)
|
Pencegahan dan Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai yang tidak melunasi Utang Bea Masuk dan/atau Cukai setelah lewat jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal Surat Paksa diberitahukan kepada Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai.
|
|||
(3)
|
Jangka waktu Pencegahan dan Penyanderaan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang untuk paling lama 6 (enam) bulan.
|
|||
|
|
|||
Pasal 37 |
||||
(1)
|
Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa mengajukan permohonan Pencegahan kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Bea dan Cukai:
|
|||
(2)
|
Pencegahan hanya dapat dilakukan berdasarkan Keputusan Pencegahan yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan.
|
|||
(3)
|
Pencegahan dapat dilaksanakan terhadap beberapa orang sebagai Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai atau ahli waris.
|
|||
(4)
|
Pencegahan terhadap Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai tidak mengakibatkan hapusnya Utang Bea Masuk dan/atau Cukai dan terhentinya pelaksanaan Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai.
|
|||
(5)
|
Pencegahan dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pelaksanaan Pencegahan dan penangkalan.
|
|||
|
|
|||
Pasal 38 |
||||
(1)
|
Penyanderaan terhadap Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai dilaksanakan berdasarkan surat perintah Penyanderaan yang diterbitkan oleh Pejabat setelah memperoleh izin tertulis dari Menteri Keuangan.
|
|||
(2)
|
Pejabat mengajukan permohonan izin Penyanderaan kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||
(3)
|
Surat perintah Penyanderaan diterbitkan oleh Pejabat segera setelah diterimanya izin tertulis dari Menteri Keuangan.
|
|||
(4)
|
Jurusita Bea dan Cukai harus menyampaikan surat perintah Penyanderaan kepada Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai dan salinannya disampaikan kepada kepala tempat Penyanderaan.
|
|||
(5)
|
Penyanderaan mulai dilaksanakan pada saat surat perintah Penyanderaan diterima oleh penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai yang bersangkutan.
|
|||
(6)
|
Jurusita Bea dan Cukai, membuat berita acara Penyanderaan pada saat Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai ditempatkan di tempat Penyanderaan, dan berita acara Penyanderaan ditandatangani oleh Jurusita Bea Cukai, kepala tempat Penyanderaan dan saksi-saksi.
|
|||
(7)
|
Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai yang disandera dapat dilepaskan, jika memenuhi ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
Utang Bea Masuk dan/atau Cukai dan Biaya Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai telah dibayar lunas;
|
||
|
b.
|
jangka waktu yang ditetapkan dalam surat perintah Penyanderaan telah dipenuhi;
|
||
|
c.
|
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
|
||
|
d.
|
berdasarkan pertimbangan tertentu dari Menteri Keuangan.
|
||
(8)
|
Penyanderaan dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan mengenai tempat dan tata cara Penyanderaan, rehabilitasi nama baik penanggung pajak, dan pemberian ganti rugi dalam rangka penagihan pajak dengan surat paksa.
|
|||
|
|
|||
BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
|
||||
(1)
|
Surat Pemberitahuan Piutang Pajak Dalam Rangka Impor (SP3DRI) atau STCK-3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), disampaikan kepada:
|
|||
|
a.
|
Direktur Jenderal Pajak u.p. Direktur yang menangani penagihan pajak; dan
|
||
|
b.
|
Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
|
||
(2)
|
Dalam hal telah diterbitkan SP3DRI atau STCK-3 sebagaimana dimaksud pada ayat 1, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tidak melakukan penagihan lagi atas piutang pajak berupa Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan/atau Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM).
|
|||
(3)
|
Proses penagihan atas piutang pajak berupa Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan/atau Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) yang telah dilimpahkan dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Piutang Pajak Dalam Rangka Impor (SP3DRI) atau STCK-3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pajak sesuai ketentuan perpajakan.
|
|||
|
|
|||
Pasal 40 |
||||
(1)
|
Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPTNP), Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP), STCK-1, Surat Teguran, STCK-2, Surat Pemberitahuan Piutang Pajak Dalam Rangka Impor (SP3DRI), dan STCK-3, disampaikan kepada yang berhak paling lambat pada hari kerja berikutnya setelah diterbitkan dengan cara:
|
|||
|
a.
|
disampaikan secara langsung;
|
||
|
b.
|
dikirimkan melalui pos;
|
||
|
c.
|
dikirimkan melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir;
|
||
|
d.
|
disampaikan melalui data elektronik; atau
|
||
|
e.
|
dikirimkan melalui media lainnya.
|
||
(2)
|
Dalam hal Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPTNP), Surat Penetapan Pabean (SPP), Surat Penetapan Sanksi Administrasi (SPSA), Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP), STCK-1, rusak, hilang dan/atau tidak dapat ditemukan lagi, Pejabat dapat menerbitkan surat penetapan pengganti atau surat tagihan pengganti.
|
|||
(3)
|
Surat penetapan pengganti atau surat tagihan pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memiliki jatuh tempo yang sama dengan surat tagihan atau surat penetapan asli.
|
|||
(4)
|
Surat penetapan pengganti atau surat tagihan pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat tagihan atau surat penetapan asli.
|
|||
|
|
|||
Pasal 41 |
||||
(1)
|
Kekurangan pembayaran Bea Masuk, Cukai dan/atau sanksi administrasi berupa denda kepada negara yang tidak dibayar atau kurang dibayar dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) setiap bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak tanggal jatuh tempo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6 sampai hari pembayarannya, dan bagian bulan dihitung 1 (satu) bulan.
|
|||
(2)
|
Perhitungan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada pokok Utang Bea Masuk dan/atau Cukai yang belum dibayar sampai dengan tanggal jatuh tempo.
|
|||
(3)
|
Bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung 1 (satu) bulan penuh jika telah lewat tanggal jatuh tempo sampai dengan 30 (tiga puluh) hari.
|
|||
(4)
|
Dalam rangka Penagihan Utang Bea Masuk dan/atau Cukai, harus memperhitungkan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||
|
|
|||
Pasal 42 |
||||
(1)
|
Biaya Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai dibebankan kepada Penanggung Bea Masuk dan/atau Cukai.
|
|||
(2)
|
Biaya Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai terdiri dari:
|
|||
|
a.
|
biaya pelaksanaan Surat Paksa (biaya perjalanan dinas dan/atau uang harian Jurusita Bea dan Cukai);
|
||
|
b.
|
biaya pelaksanaan surat perintah melaksanakan Penyitaan (biaya perjalanan dinas dan/atau uang harian juru sita serta saksi-saksi);
|
||
|
c.
|
pengumuman dan pembatalan lelang;
|
||
|
d.
|
jasa penilai; dan/atau
|
||
|
e.
|
biaya lainnya sehubungan dengan Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai.
|
||
(3)
|
Biaya Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibiayai terlebih dahulu dari anggaran Kantor Pelayanan terkait.
|
|||
|
|
|||
Pasal 43 |
||||
(1)
|
Proses penagihan atas Utang Bea Masuk dan/atau Cukai, wajib ditatausahakan oleh Pejabat, pejabat yang menangani perbendaharaan, dan/atau Jurusita Bea dan Cukai.
|
|||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai petunjuk pelaksanaan penatausahaan Penagihan Bea Masuk dan/atau Cukai dengan Surat Paksa diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||
|
|
|||
Pasal 44 |
||||
(1)
|
Dokumen berupa:
|
|||
|
a.
|
STCK-1 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5);
|
||
|
b.
|
Surat Teguran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1);
|
||
|
c.
|
STCK-2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1);
|
||
|
d.
|
surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9;
|
||
|
e.
|
Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1);
|
||
|
f.
|
Surat Pemberitahuan Piutang Pajak Dalam Rangka Impor (SP3DRI) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a;
|
||
|
g.
|
STCK-3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b;
|
||
|
h.
|
surat permohonan bantuan pelaksanaan Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1);
|
||
|
i.
|
surat perintah melaksanakan penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 24 ayat (3) huruf a;
|
||
|
j.
|
surat permohonan bantuan pelaksanaan Penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1);
|
||
|
k.
|
surat pencabutan sita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2);
|
||
|
l.
|
surat permintaan pemblokiran kekayaan penanggung bea masuk dan/atau cukai yang tersimpan di bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf a;
|
||
|
m.
|
surat permintaan pemblokiran obligasi/saham dan sejenisnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4) huruf a;
|
||
|
n.
|
surat perintah pemberian kuasa kepada bank untuk memberitahukan harta kekayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf c;
|
||
|
o.
|
surat permintaan pencabutan blokir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf g dan ayat (4) huruf k;
|
||
|
p.
|
surat peringatan untuk penyitaan piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (6) huruf a;
|
||
|
q.
|
surat permohonan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1);
|
||
|
r.
|
surat permohonan izin Penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2); dan
|
||
|
s.
|
surat perintah Penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1),
|
||
|
dibuat dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
|||
(2)
|
Petunjuk pelaksanaan mengenai:
|
|||
|
a.
|
penerbitan STCK-1 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (5);
|
||
|
b.
|
penerbitan Surat Teguran atau STCK-2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3);
|
||
|
c.
|
penerbitan surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10;
|
||
|
d.
|
penerbitan, pemberitahuan, biaya penyampaian, penatausahaan dan laporan pelaksanaan Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12;
|
||
|
e.
|
penerbitan Surat Pemberitahuan Piutang Pajak Dalam Rangka Impor (SP3DRI) atau STCK-3 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a dan huruf b; dan
|
||
|
f.
|
pelunasan STCK-1 dan STCK-2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 8 ayat (3),
|
||
|
sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
|||
(3)
|
Dokumen berupa:
|
|||
|
a.
|
berita acara pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2);
|
||
|
b.
|
berita acara pelaksanaan sita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3);
|
||
|
c.
|
format lampiran berita acara pelaksanaan sita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf a, Pasal 24 ayat (2) huruf a, Pasal 24 ayat (5) huruf a, Pasal 24 ayat (6) huruf c, Pasal 24 ayat (7) huruf a;
|
||
|
d.
|
berita acara pemblokiran rekening bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) huruf b;
|
||
|
e.
|
berita acara pemblokiran rekening efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4) huruf e;
|
||
|
f.
|
berita acara pemberian keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4) huruf e;
|
||
|
g.
|
berita acara pengalihan hak surat berharga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (5) huruf c;
|
||
|
h.
|
berita acara persetujuan pengalihan hak menagih piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (6) huruf e;
|
||
|
i.
|
berita acara penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (6); dan
|
||
|
j.
|
segel sita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1),
|
||
|
dibuat dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
|||
(4)
|
Dokumen berupa laporan pelaksanaan Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) dibuat dengan menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
|||
(5)
|
Cara penghitungan bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dilakukan sesuai contoh ilustrasi sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
|||
|
|
|||
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
|
||||
Pada saat Peraturan Menteri ini berlaku:
|
||||
a.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 24/PMK.04/2011 tentang Tata Cara Penagihan Di Bidang Cukai;
|
|||
b.
|
Pasal 16 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 51/PMK.04/2008 tentang Tata Cara Penetapan Tarif, Nilai Pabean, Dan Sanksi Administrasi, Serta Penetapan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai Atau Pejabat Bea Dan Cukai sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 122/PMK.04/2011,
|
|||
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
||||
|
||||
Pasal 46 |
||||
Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.
|
||||
|
||||
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
|
||||
|
||||
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Agustus 2013 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, ttd. MUHAMAD CHATIB BASRI Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 Agustus 2013 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd. AMIR SYAMSUDIN BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 1003
|