Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Premium
Terjemahan Dokumen
Ini Belum Tersedia
Ini Belum Tersedia
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Perubahan dan kondisi terakhir tidak berlaku karena diganti/dicabut
PERATURAN MENTERI KEUANGAN
|
||||||
|
||||||
Menimbang |
||||||
a.
|
bahwa dalam rangka memberikan kepastian hukum dan meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak untuk memperoleh pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan, perlu mengatur kembali ketentuan mengenai pemberian pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan;
|
|||||
b.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan.
|
|||||
|
|
|||||
Mengingat |
||||||
1.
|
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3312) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3569);
|
|||||
2.
|
Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005.
|
|||||
|
|
|||||
MEMUTUSKAN:
|
||||||
Menetapkan: | ||||||
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEMBERIAN PENGURANGAN PAJAK BUMI DAN BANGUNAN.
|
||||||
Pasal 1 |
||||||
Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini, yang dimaksud dengan:
|
||||||
1.
|
Undang-Undang Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang PBB adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994.
|
|||||
2.
|
Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disebut dengan Pengurangan adalah pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang PBB.
|
|||||
3.
|
Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disebut dengan SPPT adalah Surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya PBB yang terutang kepada Wajib Pajak.
|
|||||
4.
|
Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disebut dengan SKP PBB adalah Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang PBB.
|
|||||
5.
|
Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang selanjutnya disebut dengan KPP Pratama adalah KPP Pratama tempat objek pajak terdaftar.
|
|||||
6.
|
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang selanjutnya disebut dengan Kanwil DJP adalah Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang membawahkan KPP Pratama.
|
|||||
|
|
|||||
Pasal 2 |
||||||
(1)
|
Pengurangan dapat diberikan kepada Wajib Pajak:
|
|||||
|
a.
|
karena kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak dan/atau karena sebab-sebab tertentu lainnya;
|
||||
|
b.
|
dalam hal objek pajak terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa.
|
||||
(2)
|
Kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak dan/ atau karena sebab-sebab tertentu lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk:
|
|||||
|
a.
|
Wajib Pajak orang pribadi meliputi:
|
||||
|
|
1)
|
objek pajak yang Wajib Pajak-nya orang pribadi veteran pejuang kemerdekaan, veteran pembela kemerdekaan, penerima tanda jasa bintang gerilya, atau janda/ dudanya;
|
|||
|
|
2)
|
objek pajak berupa lahan pertanian/ perkebunan/ perikanan/ peternakan yang hasilnya sangat terbatas yang Wajib Pajak-nya orang pribadi yang berpenghasilan rendah;
|
|||
|
|
3)
|
objek pajak yang Wajib Pajak-nya orang pribadi yang penghasilannya semata-mata berasal dari pensiunan, sehingga kewajiban PBB-nya sulit dipenuhi;
|
|||
|
|
4)
|
objek pajak yang Wajib Pajak-nya orang pribadi yang berpenghasilan rendah, sehingga kewajiban PBB-nya sulit dipenuhi; dan/ atau
|
|||
|
|
5)
|
objek pajak yang Wajib Pajak-nya orang pribadi yang berpenghasilan rendah yang Nilai Jual Objek Pajak per meter perseginya meningkat akibat perubahan lingkungan dan dampak positif pembangunan;
|
|||
|
b.
|
Wajib Pajak badan meliputi:
|
||||
|
|
objek pajak yang Wajib Pajak-nya adalah Wajib Pajak badan yang mengalami kerugian dan kesulitan likuiditas pada Tahun Pajak sebelumnya sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban rutin.
|
||||
(3)
|
Bencana alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
|
|||||
(4)
|
Sebab lain yang luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi kebakaran, wabah penyakit tanaman, dan/ atau wabah hama tanaman.
|
|||||
|
|
|||||
Pasal 3 |
||||||
(1)
|
Pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diberikan kepada Wajib Pajak atas PBB yang terutang yang tercantum dalam SPPT dan/atau SKP PBB.
|
|||||
(2)
|
PBB yang terutang yang tercantum dalam SKP PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pokok pajak ditambah dengan denda administrasi.
|
|||||
(3)
|
SKP PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah diberikan Pengurangan tidak dapat dimintakan pengurangan denda administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 Undang-Undang PBB.
|
|||||
|
|
|||||
Pasal 4 |
||||||
Pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat diberikan:
|
||||||
a.
|
sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari PBB yang terutang dalam hal kondisi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a angka 1);
|
|||||
b.
|
sebesar paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen) dari PBB yang terutang dalam hal kondisi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a angka 2), angka 3), angka 4), dan/atau angka 5), atau Pasal 2 ayat (2) huruf b; atau
|
|||||
c.
|
sebesar paling tinggi 100% (seratus persen) dari PBB yang terutang dalam hal objek pajak terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) atau ayat (4).
|
|||||
|
|
|||||
Pasal 5 |
||||||
(1)
|
Pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat diberikan berdasarkan permohonan Wajib Pajak.
|
|||||
(2)
|
Permohonan Pengurangan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan secara:
|
|||||
|
a.
|
perseorangan, untuk PBB yang terutang yang tercantum dalam SKP PBB; atau
|
||||
|
b.
|
perseorangan atau kolektif, untuk PBB yang terutang yang tercantum dalam SPPT.
|
||||
(3)
|
Permohonan Pengurangan secara kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diajukan:
|
|||||
|
a.
|
sebelum SPPT diterbitkan dalam hal kondisi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a angka 1) dengan PBB yang terutang paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah); atau
|
||||
|
b.
|
setelah SPPT diterbitkan dalam hal:
|
||||
|
|
1)
|
kondisi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a angka 1) dengan PBB yang terutang paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
|
|||
|
|
2)
|
kondisi tertentu, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a angka 2), angka 3), angka 4), atau angka 5), dengan PBB yang terutang paling banyak Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah); atau
|
|||
|
|
3)
|
objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) atau ayat (4) dengan PBB yang terutang paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
|
|||
|
|
|
|
|||
Pasal 6 |
||||||
(1)
|
Permohonan Pengurangan yang diajukan secara perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) harus memenuhi persyaratan:
|
|||||
|
a.
|
1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) SPPT atau SKP PBB;
|
||||
|
b.
|
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mencantumkan besarnya persentase Pengurangan yang dimohon disertai alasan yang jelas,
|
||||
|
c.
|
diajukan kepada Kepala KPP Pratama;
|
||||
|
d.
|
dilampiri fotokopi SPPT atau SKP PBB yang dimohonkan Pengurangan;
|
||||
|
e.
|
surat permohonan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal Surat permohonan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak berlaku ketentuan sebagai berikut:
|
||||
|
|
1)
|
surat permohonan harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus, untuk:
|
|||
|
|
|
a)
|
Wajib Pajak Badan; atau
|
||
|
|
|
b)
|
Wajib Pajak orang pribadi dengan PBB yang terutang lebih banyak dari Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah);
|
||
|
|
2)
|
Surat permohonan harus dilampiri dengan surat kuasa, untuk Wajib Pajak orang pribadi dengan PBB yang terutang paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah);
|
|||
|
f.
|
diajukan dalam jangka waktu:
|
||||
|
|
1)
|
3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya SPPT;
|
|||
|
|
2)
|
1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya SKP PBB;
|
|||
|
|
3)
|
1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya Surat Keputusan Keberatan PBB;
|
|||
|
|
4)
|
3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal terjadinya bencana alam; atau
|
|||
|
|
5)
|
3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal terjadinya sebab lain yang luar biasa,
|
|||
|
|
kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa dalam jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya;
|
||||
|
g.
|
tidak memiliki tunggakan PBB Tahun Pajak sebelumnya atas objek pajak yang dimohonkan Pengurangan, kecuali dalam hal objek pajak terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa; dan
|
||||
|
h.
|
tidak diajukan keberatan atas SPPT atau SKP PBB yang dimohonkan Pengurangan, atau dalam hal diajukan keberatan telah diterbitkan Surat Keputusan Keberatan dan atas Surat Keputusan Keberatan dimaksud tidak diajukan Banding.
|
||||
(2)
|
Permohonan Pengurangan yang diajukan secara kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a harus memenuhi persyaratan:
|
|||||
|
a.
|
1 (satu) permohonan untuk beberapa objek pajak dengan Tahun Pajak yang sama;
|
||||
|
b.
|
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mencantumkan besarnya persentase Pengurangan yang dimohon disertai alasan yang jelas;
|
||||
|
c.
|
diajukan kepada Kepala KPP Pratama melalui pengurus Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) setempat atau pengurus organisasi terkait lainnya;
|
||||
|
d.
|
diajukan paling lambat tanggal 10 Januari Tahun Pajak yang bersangkutan; dan
|
||||
|
e.
|
tidak memiliki tunggakan PBB Tahun Pajak sebelumnya atas objek pajak yang dimohonkan Pengurangan.
|
||||
(3)
|
Permohonan Pengurangan yang diajukan secara kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf b harus memenuhi persyaratan:
|
|||||
|
a.
|
1 (satu) permohonan untuk beberapa SPPT Tahun Pajak yang sama;
|
||||
|
b.
|
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mencantumkan besarnya persentase Pengurangan yang dimohon disertai alasan yang jelas;
|
||||
|
c.
|
diajukan kepada Kepala KPP Pratama melalui:
|
||||
|
|
1)
|
pengurus Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) setempat atau pengurus organisasi terkait untuk pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf b angka 1); atau
|
|||
|
|
2)
|
Kepala Desa/Lurah setempat, untuk pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf b angka 2) dan objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf b angka 3);
|
|||
|
d.
|
dilampiri fotokopi SPPT yang dimohonkan Pengurangan;
|
||||
|
e.
|
diajukan dalam jangka waktu:
|
||||
|
|
1)
|
3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya SPPT;
|
|||
|
|
2)
|
3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal terjadinya bencana alam; atau
|
|||
|
|
3)
|
3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal terjadinya sebab lain yang luar biasa,
|
|||
|
|
kecuali apabila Wajib Pajak melalui pengurus LVRI setempat, pengurus organisasi terkait lainnya, atau Kepala Desa/Lurah, dapat menunjukkan bahwa dalam jangka waktu tersebut tidak, dapat dipenuhi karena kecelakaan di luar kekuasaannya;
|
||||
|
f.
|
tidak memiliki tunggakan PBB Tahun Pajak sebelumnya atas objek pajak yang dimohonkan Pengurangan, kecuali dalam hal objek pajak terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa; dan
|
||||
|
g.
|
tidak diajukan keberatan atas SPPT yang dimohonkan Pengurangan.
|
||||
|
|
|
||||
Pasal 7 |
||||||
(1)
|
Permohonan Pengurangan secara perseorangan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dianggap bukan sebagai permohonan sehingga tidak dapat dipertimbangkan.
|
|||||
(2)
|
Permohonan Pengurangan secara kolektif yang tidak memenuhi:
|
|||||
|
a.
|
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a dan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2); atau
|
||||
|
b.
|
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf b dan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3),
|
||||
|
dianggap bukan sebagai permohonan sehingga tidak dapat dipertimbangkan.
|
|||||
(3)
|
Dalam hal permohonan Pengurangan tidak dapat dipertimbangkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), Kepala KPP Pratama dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak tanggal permohonan tersebut diterima, harus memberitahukan secara tertulis disertai alasan yang mendasari kepada:
|
|||||
|
a.
|
Wajib Pajak atau kuasanya dalam hal permohonan diajukan secara perseorangan; atau
|
||||
|
b.
|
pengurus LVRI setempat, pengurus organisasi terkait lainnya, atau Kepala Desa/Lurah setempat dalam hal permohonan diajukan secara kolektif.
|
||||
(4)
|
Dalam hal permohonan Pengurangan tidak dapat dipertimbangkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2), Wajib Pajak masih dapat mengajukan permohonan Pengurangan kembali sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), ayat (2), atau ayat (3).
|
|||||
|
|
|||||
Pasal 8 |
||||||
(1)
|
Kepala KPP Pratama atas nama Menteri Keuangan berwenang memberikan keputusan atas permohonan Pengurangan dalam hal PBB yang terutang paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
|
|||||
(2)
|
Kepala Kanwil DJP atas nama Menteri Keuangan berwenang memberikan keputusan atas permohonan Pengurangan dalam hal PBB yang terutang lebih banyak dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
|
|||||
(3)
|
Direktur Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan berwenang memberikan keputusan atas permohonan Pengurangan dalam hal PBB yang terutang lebih banyak dari Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
|
|||||
|
|
|||||
Pasal 9 |
||||||
(1)
|
Keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, atau menolak permohonan Wajib Pajak.
|
|||||
(2)
|
Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan hasil penelitian.
|
|||||
(3)
|
Wajib Pajak yang telah diberikan suatu keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat lagi mengajukan permohonan Pengurangan untuk SPPT atau SKP PBB yang sama.
|
|||||
|
|
|||||
Pasal 10 |
||||||
(1)
|
Kepala KPP Pratama dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan Pengurangan, harus memberi suatu keputusan atas permohonan Pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), kecuali dalam hal permohonan Pengurangan secara kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a, suatu keputusan diberikan segera setelah SPPT diterbitkan.
|
|||||
(2)
|
Kepala Kanwil DJP dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan Pengurangan, harus memberi suatu keputusan atas permohonan Pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2).
|
|||||
(3)
|
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan Pengurangan, harus memberi suatu keputusan atas permohonan Pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3).
|
|||||
(4)
|
Tanggal diterimanya permohonan Pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) adalah:
|
|||||
|
a.
|
tanggal terima surat permohonan Pengurangan dalam hal disampaikan secara langsung oleh Wajib Pajak atau kuasanya kepada petugas Tempat Pelayanan Terpadu (TPT) atau petugas yang ditunjuk; atau
|
||||
|
b.
|
tanggal tanda pengiriman Surat permohonan Pengurangan, dalam hal disampaikan melalui pos dengan bukti pengiriman surat.
|
||||
(5)
|
Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), atau ayat (3) telah terlampaui dan keputusan belum diterbitkan, permohonan Pengurangan dianggap dikabulkan, dan diterbitkan keputusan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak jangka waktu dimaksud berakhir.
|
|||||
(6)
|
Dalam hal besarnya persentase Pengurangan yang diajukan permohonan Pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) melebihi ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 4, besarnya Pengurangan ditetapkan sebesar persentase paling tinggi sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
|
|||||
|
|
|||||
Pasal 11 |
||||||
Bentuk format Keputusan Menteri Keuangan tentang Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan dan Keputusan Menteri Keuangan tentang Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan Secara Kolektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 adalah sebagaimana ditetapkan pada Lampiran I dan Lampiran II Peraturan Menteri Keuangan ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.
|
||||||
|
||||||
Pasal 12 |
||||||
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian permohonan Pengurangan diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
|
||||||
|
||||||
Pasal 13 |
||||||
Dengan berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini, terhadap permohonan Pengurangan yang telah diajukan sebelum berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini dan belum mendapatkan keputusan, penyelesaiannya tetap dilakukan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 362/KMK.04/1999 tentang Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan.
|
||||||
|
||||||
Pasal 14 |
||||||
Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 362/KMK.04/1999 tentang Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
||||||
|
||||||
Pasal 15 |
||||||
Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku setelah 60 (enam puluh) hari sejak tanggal diundangkan.
|
||||||
|
||||||
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
|
||||||
|
||||||
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 17 Juni 2009 MENTERI KEUANGAN, SRI MULYANI INDRAWATI Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 17 Juni 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA, ANDI MATTALATTA BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 146
|