Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Premium
Terjemahan Dokumen
Ini Belum Tersedia
Ini Belum Tersedia
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Perubahan atau penyempurnaan
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
|
|||
Menimbang |
|||
a.
|
bahwa dalam melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak atas belanja pemerintah, Instansi Pemerintah harus membuat bukti pemotongan dan/atau pemungutan pajak;
|
||
b.
|
bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 231/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, serta Pemotongan dan/atau Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak bagi Instansi Pemerintah, pelaporan atas pemotongan dan/atau pemungutan pajak oleh Instansi Pemerintah dilakukan dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Instansi Pemerintah atau Surat Pemberitahuan Masa Unifikasi Instansi Pemerintah;
|
||
c.
|
bahwa untuk memberikan kepastian hukum serta meningkatkan pelayanan dan kemudahan kepada Wajib Pajak Instansi Pemerintah dalam pembuatan bukti pemotongan dan/atau pemungutan pajak serta penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Instansi Pemerintah atau Surat Pemberitahuan Masa Unifikasi Instansi Pemerintah, diperlukan pengaturan atas bukti pemotongan dan/atau pemungutan pajak serta Surat Pemberitahuan Masa dimaksud;
|
||
d.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 26 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan ketentuan Pasal 6 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 12/PMK.03/2017 tentang Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak tentang Bentuk dan Tata Cara Pembuatan Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak, serta Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian, dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa bagi Instansi Pemerintah;
|
||
|
|
||
Mengingat |
|||
1.
|
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
|
||
2.
|
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
|
||
3.
|
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
|
||
4.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2010 tentang Tarif Pemotongan dan Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5174);
|
||
5.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 162, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5268) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2021 tentang Perlakuan Perpajakan Untuk Mendukung Kemudahan Berusaha (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6621);
|
||
6.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.03/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemotongan Pajak atas Penghasilan Sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi;
|
||
7.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 262/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota Polri, dan Pensiunannya atas Penghasilan yang Menjadi Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 601);
|
||
8.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1973) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 153);
|
||
9.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT) (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1974) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 153);
|
||
10.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 12/PMK.03/2017 tentang Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 248);
|
||
11.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 231/PMK.03/2019 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, serta Pemotongan dan/atau Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak bagi Instansi Pemerintah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1746);
|
||
12.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 63/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan serta Penerbitan, Penandatanganan, dan Pengiriman Keputusan atau Ketetapan Pajak Secara Elektronik (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 659);
|
||
13.
|
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2016 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 Sehubungan Dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi;
|
||
14.
|
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-02/PJ/2021 tentang Tata Cara Pemberian dan Penggunaan Nomor Identitas Subunit Organisasi Instansi Pemerintah serta Kewajiban Pelaporan Pajak Instansi Pemerintah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-13/PJ/2021 tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-02/PJ/2021 tentang Tata Cara Pemberian dan Penggunaan Nomor Identitas Subunit Organisasi Instansi Pemerintah serta Kewajiban Pelaporan Pajak Instansi Pemerintah;
|
||
|
|
||
MEMUTUSKAN:
|
|||
Menetapkan |
|||
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG BENTUK DAN TATA CARA PEMBUATAN BUKTI PEMOTONGAN DAN/ATAU PEMUNGUTAN PAJAK, SERTA BENTUK, ISI, TATA CARA PENGISIAN, DAN PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN MASA BAGI INSTANSI PEMERINTAH.
|
|||
|
|||
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
|||
Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini, yang dimaksud dengan:
|
|||
1.
|
Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang selanjutnya disebut Undang-Undang KUP adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
|
||
2.
|
Undang-Undang Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPh adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
|
||
3.
|
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPN adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
|
||
4.
|
Pajak Penghasilan yang selanjutnya disingkat PPh adalah Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPh.
|
||
5.
|
Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disingkat PPN adalah Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN.
|
||
6.
|
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang selanjutnya disingkat PPnBM adalah Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN.
|
||
7.
|
Instansi Pemerintah adalah instansi pemerintah pusat, instansi pemerintah daerah, dan instansi pemerintah desa, yang melaksanakan kegiatan pemerintahan serta memiliki kewenangan dan tanggung jawab penggunaan anggaran.
|
||
8.
|
Subunit Organisasi Instansi Pemerintah yang selanjutnya disebut Subunit Organisasi adalah unit pelaksana di bawah Instansi Pemerintah yang diberikan kewenangan oleh Instansi Pemerintah untuk melakukan tindakan dan pertanggungjawaban penerimaan pendapatan pemerintah dan/atau pengeluaran atas beban anggaran belanja serta tidak menyelenggarakan akuntansi dan tidak menyusun laporan keuangan sesuai standar akuntansi pemerintahan.
|
||
9.
|
Pemotong/Pemungut Pajak adalah Instansi Pemerintah yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diwajibkan untuk melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak.
|
||
10.
|
Penerima Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah orang pribadi dengan status sebagai subjek pajak dalam negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang tidak dikecualikan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan, dari Pemotong/Pemungut Pajak sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan yang dilakukan baik dalam hubungannya sebagai pegawai maupun bukan pegawai, termasuk penerima pensiun.
|
||
11.
|
Penerima Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26 adalah orang pribadi dengan status sebagai subjek pajak luar negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang tidak dikecualikan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan, dari Pemotong/Pemungut Pajak sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa atau kegiatan yang dilakukan baik dalam hubungannya sebagai pegawai maupun bukan pegawai, termasuk penerima pensiun.
|
||
12.
|
Penerima Penghasilan adalah Penerima Penghasilan yang meliputi Penerima Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 dan/atau Penerima Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26.
|
||
13.
|
Nomor Pokok Wajib Pajak yang selanjutnya disingkat NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
|
||
14.
|
Surat Pemberitahuan Masa PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 Instansi Pemerintah yang selanjutnya disebut SPT 21/26 Instansi Pemerintah adalah Surat Pemberitahuan Masa yang digunakan oleh Pemotong/Pemungut Pajak untuk melaporkan kewajiban pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26, serta penyetoran atas pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dalam 1 (satu) Masa Pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
||
15.
|
Surat Pemberitahuan Masa Unifikasi Instansi Pemerintah yang selanjutnya disebut SPT Unifikasi Instansi Pemerintah adalah Surat Pemberitahuan Masa yang digunakan oleh Pemotong/Pemungut Pajak untuk melaporkan kewajiban pemotongan dan/atau pemungutan pajak, serta penyetoran atas pemotongan dan/atau pemungutan pajak dalam 1 (satu) Masa Pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
||
16.
|
Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau Bukti Pemotongan PPh Pasal 26 Instansi Pemerintah yang selanjutnya disebut Bukti Pemotongan 21/26 Instansi Pemerintah adalah dokumen yang dibuat Pemotong/Pemungut Pajak sebagai bukti atas pemotongan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 dan menunjukkan besarnya PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang telah dipotong.
|
||
17.
|
Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Instansi Pemerintah adalah dokumen yang dibuat oleh Pemotong/Pemungut Pajak sebagai bukti atas pemotongan/pemungutan PPh dan menunjukkan besarnya PPh yang telah dipotong/dipungut.
|
||
18.
|
Bukti Pemotongan 21/26 Instansi Pemerintah Pembetulan adalah Bukti Pemotongan 21/26 Instansi Pemerintah yang dibuat untuk membetulkan kekeliruan dalam pengisian Bukti Pemotongan 21/26 Instansi Pemerintah yang telah dibuat sebelumnya dan telah dilaporkan di SPT 21/26 Instansi Pemerintah.
|
||
19.
|
Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Instansi Pemerintah Pembetulan adalah Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Instansi Pemerintah yang dibuat untuk membetulkan kekeliruan dalam pengisian Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Instansi Pemerintah yang telah dibuat sebelumnya dan telah dilaporkan di SPT Unifikasi Instansi Pemerintah.
|
||
20.
|
Bukti Pemotongan 21/26 Instansi Pemerintah Pembatalan adalah Bukti Pemotongan 21/26 Instansi Pemerintah yang dibuat untuk membatalkan Bukti Pemotongan 21/26 Instansi Pemerintah yang telah dibuat sebelumnya dan telah dilaporkan di SPT 21/26 Instansi Pemerintah.
|
||
21.
|
Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Instansi Pemerintah Pembatalan adalah Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Instansi Pemerintah yang dibuat untuk membatalkan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Instansi Pemerintah yang telah dibuat sebelumnya dan telah dilaporkan di SPT Unifikasi Instansi Pemerintah.
|
||
22.
|
Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah yang selanjutnya disebut PKP Rekanan Pemerintah adalah Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada Instansi Pemerintah.
|
||
23.
|
Bukti Pemungutan PPN/PPnBM adalah bukti pungutan PPN dan/atau PPnBM atas PKP Rekanan Pemerintah yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Instansi Pemerintah dan menunjukkan besarnya PPN dan/atau PPnBM yang telah dipungut.
|
||
24.
|
Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
|
||
25.
|
Dokumen Elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
|
||
26.
|
Aplikasi e-Bupot Instansi Pemerintah adalah perangkat lunak yang disediakan di laman milik Direktorat Jenderal Pajak atau saluran tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak yang dapat digunakan untuk membuat Bukti Pemotongan 21/26 Instansi Pemerintah dan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Instansi Pemerintah, serta mengisi, dan menyampaikan SPT 21/26 Instansi Pemerintah dan SPT Unifikasi Instansi Pemerintah.
|
||
27.
|
Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas informasi elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan informasi elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.
|
||
28.
|
Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam transaksi elektronik yang dikeluarkan oleh Penyelenggara Sertifikasi Elektronik.
|
||
29.
|
Kode Otorisasi Direktorat Jenderal Pajak yang selanjutnya disebut Kode Otorisasi DJP adalah alat verifikasi dan autentikasi yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melakukan Tanda Tangan Elektronik tidak tersertifikasi yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
|
||
30.
|
Surat Setoran Pajak yang selanjutnya disingkat SSP adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan.
|
||
31.
|
Bukti Penerimaan Negara yang selanjutnya disingkat BPN adalah dokumen yang diterbitkan oleh Bank/Pos Persepsi dan Lembaga Persepsi Lainnya atas transaksi penerimaan negara dengan teraan Nomor Transaksi Penerimaan Negara dan Nomor Transaksi Bank/Nomor Transaksi Pos sebagai sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan SSP.
|
||
32.
|
Pemindahbukuan adalah suatu proses memindahbukukan penerimaan pajak untuk dibukukan pada penerimaan pajak yang sesuai.
|
||
33.
|
Bukti Pemindahbukuan yang selanjutnya disebut Bukti Pbk adalah bukti yang menunjukkan bahwa telah dilakukan Pemindahbukuan.
|
||
34.
|
Surat Keterangan Pajak Penghasilan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 yang selanjutnya disebut Surat Keterangan PP No. 23 Tahun 2018 adalah surat yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak yang menerangkan bahwa Wajib Pajak dikenai PPh berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
|
||
|
|
||
Pasal 2 |
|||
(1)
|
Pemotong/Pemungut Pajak yang melakukan pemotongan dan/atau pemungutan pajak atas belanja pemerintah harus:
|
||
|
a.
|
membuat bukti pemotongan/pemungutan pajak;
|
|
|
b.
|
menyerahkan bukti pemotongan/pemungutan pajak kepada pihak yang dipotong dan/atau dipungut; dan
|
|
|
c.
|
melaporkan bukti pemotongan/pemungutan pajak kepada Direktorat Jenderal Pajak menggunakan Surat Pemberitahuan Masa bagi Instansi Pemerintah.
|
|
(2)
|
Bukti pemotongan/pemungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||
|
a.
|
Bukti Pemotongan 21/26 Instansi Pemerintah;
|
|
|
b.
|
Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Instansi Pemerintah; dan
|
|
|
c.
|
Bukti Pemungutan PPN/PPnBM.
|
|
(3)
|
Surat Pemberitahuan Masa bagi Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||
|
a.
|
SPT 21/26 Instansi Pemerintah; dan
|
|
|
b.
|
SPT Unifikasi Instansi Pemerintah.
|
|
(4)
|
SPT Unifikasi Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b meliputi beberapa jenis pajak, yaitu:
|
||
|
a.
|
PPh Pasal 4 ayat (2);
|
|
|
b.
|
PPh Pasal 15;
|
|
|
c.
|
PPh Pasal 22;
|
|
|
d.
|
PPh Pasal 23;
|
|
|
e.
|
PPh Pasal 26, selain yang dilaporkan dalam SPT 21/26 Instansi Pemerintah; dan
|
|
|
f.
|
PPN dan/atau PPnBM.
|
|
(5)
|
Bukti pemotongan/pemungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan Surat Pemberitahuan Masa bagi Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berbentuk Dokumen Elektronik yang dibuat dan dilaporkan melalui Aplikasi e-Bupot Instansi Pemerintah.
|
||
(6)
|
Pemotong/Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat:
|
||
|
a.
|
melakukan pembetulan atau pembatalan bukti pemotongan/pemungutan PPh;
|
|
|
b.
|
membuat bukti pemotongan/pemungutan PPh tambahan; dan/atau
|
|
|
c.
|
melakukan penggantian atau pembatalan Bukti Pemungutan PPN/PPnBM.
|
|
(7)
|
Pemotong/Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Masa bagi Instansi Pemerintah yang telah disampaikan.
|
||
(8)
|
Pemotong/Pemungut Pajak dapat menunjuk Subunit Organisasi dalam pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan tertentu untuk dan atas nama Pemotong/Pemungut Pajak, termasuk dalam pembuatan dan penyerahan bukti pemotongan/pemungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b.
|
||
|
|
||
BAB III
BENTUK DAN TATA CARA PEMBUATAN BUKTI PEMOTONGAN/PEMUNGUTAN PAJAK
Pasal 3 |
|||
(1)
|
Bukti Pemotongan 21/26 Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a terdiri dari:
|
||
|
a.
|
Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 bagi Pegawai Tetap atau Penerima Pensiun atau Tunjangan Hari Tua/Jaminan Hari Tua Berkala (Formulir 1721-A1);
|
|
|
b.
|
Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 bagi Pegawai Negeri Sipil atau Anggota Tentara Nasional Indonesia atau Anggota Polisi Republik Indonesia atau Pejabat Negara atau Pensiunannya (Formulir 1721-A2);
|
|
|
c.
|
Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 Final/Tidak Final (Formulir 1721-B1); dan
|
|
|
d.
|
Bukti Pemotongan PPh Pasal 26 (Formulir 1721-26).
|
|
(2)
|
Bukti Pemotongan 21/26 Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan ketentuan:
|
||
|
a.
|
terhadap pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan yang diberikan kepada Pegawai Tetap, Penerima Pensiun, Tunjangan Hari Tua/Jaminan Hari Tua Berkala, dibuatkan Bukti Pemotongan Formulir 1721-A1 untuk setiap tahun;
|
|
|
b.
|
terhadap pemotongan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan yang diberikan kepada Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia Anggota Polisi Republik Indonesia, Pejabat Negara dan Pensiunannya, dibuatkan Bukti Pemotongan Formulir 1721-A2 untuk setiap tahun;
|
|
|
c.
|
terhadap pemotongan pajak atas penghasilan selain penghasilan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, dibuatkan Bukti Pemotongan Formulir 1721-B1 dan/atau Formulir 1721-26, untuk setiap transaksi atau untuk 1 (satu) Masa Pajak.
|
|
(3)
|
Pemotong/Pemungut Pajak harus memberikan Bukti Pemotongan Formulir 1721-A1 dan/atau Formulir 1721-A2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b kepada Penerima Penghasilan paling lama 1 (satu) bulan setelah tahun kalender berakhir.
|
||
(4)
|
Dalam hal Pegawai Tetap pindah ke Instansi Pemerintah lain atau berhenti bekerja sebelum bulan Desember, pemberian Bukti Pemotongan Formulir 1721-A1 dan/atau Formulir 1721-A2 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dilakukan paling lama 1 (satu) bulan setelah yang bersangkutan pindah ke Instansi Pemerintah lain atau berhenti bekerja.
|
||
(5)
|
Pemotong/Pemungut Pajak harus memberikan Bukti Pemotongan Formulir 1721-B1 dan/atau Formulir 1721-26 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c kepada Penerima Penghasilan untuk setiap kali pembuatan Bukti Pemotongan.
|
||
(6)
|
Satu Bukti Pemotongan Formulir 1721-A1 dan Formulir 1721-A2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b digunakan untuk:
|
||
|
a.
|
1 (satu) Penerima Penghasilan;
|
|
|
b.
|
1 (satu) kode objek pajak; dan
|
|
|
c.
|
1 (satu) Masa Pajak atau lebih dalam tahun kalender yang bersangkutan.
|
|
(7)
|
Satu Bukti Pemotongan Formulir 1721-B1 dan Formulir 1721-26 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c hanya dapat digunakan untuk:
|
||
|
a.
|
1 (satu) Penerima Penghasilan;
|
|
|
b.
|
1 (satu) kode objek pajak; dan
|
|
|
c.
|
1 (satu) Masa Pajak.
|
|
(8)
|
Bukti Pemotongan Formulir 1721-B1 dan Formulir 1721-26 dapat dibuat sekali untuk 1 (satu) Masa Pajak dalam hal Penerima Penghasilan menerima atau memperoleh penghasilan lebih dari 1 (satu) kali dalam 1 (satu) Masa Pajak dan sepanjang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7).
|
||
(9)
|
Bukti Pemotongan 21/26 Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai:
|
||
|
a.
|
contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf A; dan
|
|
|
b.
|
tata cara pembuatan Bukti Pemotongan 21/26 Instansi Pemerintah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf B,
|
|
|
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini
|
||
(10)
|
Kode objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b dan ayat (7) huruf b ini dapat diubah dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak
|
||
|
|
||
Pasal 4 |
|||
(1)
|
Bukti Pemotongan 21/26 Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 tidak perlu dibuat dalam hal tidak terdapat pemotongan PPh.
|
||
(2)
|
Bukti Pemotongan 21/26 Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 tetap dibuat dalam hal:
|
||
|
a.
|
tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 21 karena jumlah penghasilan yang diterima tidak melebihi:
|
|
|
|
1.
|
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP); atau
|
|
|
2.
|
batasan penghasilan harian atau kumulatif bulanan yang diatur dalam peraturan perpajakan yang berlaku;
|
|
b.
|
jumlah PPh Pasal 21 yang dipotong nihil karena:
|
|
|
|
1.
|
adanya Surat Keterangan Bebas; atau
|
|
|
2.
|
dikenakan tarif 0% (nol persen);
|
|
c.
|
PPh Pasal 21 yang dipotong ditanggung Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
|
|
|
d.
|
PPh Pasal 21 yang dipotong diberikan fasilitas PPh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan/atau
|
|
|
e.
|
jumlah PPh Pasal 26 yang dipotong nihil berdasarkan ketentuan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang ditunjukkan dengan adanya Surat Keterangan Domisili dan/atau tanda terima Surat Keterangan Domisili Wajib Pajak Luar Negeri.
|
|
|
|
||
Pasal 5 |
|||
(1)
|
Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b terdiri dari:
|
||
|
a.
|
Bukti Pemotongan/Pemungutan PPh Pasal 4 ayat (2), Pasal 15, Pasal 22, dan Pasal 23 (Formulir BPPU); dan
|
|
|
b.
|
Bukti Pemotongan PPh Pasal 26 (Formulir BPPU-26).
|
|
(2)
|
Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
|
||
|
a.
|
nomor Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Instansi Pemerintah;
|
|
|
b.
|
jenis pemotongan/pemungutan PPh;
|
|
|
c.
|
identitas pihak yang dipotong/dipungut berupa:
|
|
|
|
1.
|
NPWP, Nomor Induk Kependudukan, dan/atau Tax Identification Number; dan
|
|
|
2.
|
nama;
|
|
d.
|
Masa Pajak dan Tahun Pajak;
|
|
|
e.
|
kode objek pajak;
|
|
|
f.
|
dasar pengenaan pajak;
|
|
|
g.
|
tarif;
|
|
|
h.
|
PPh yang dipotong/dipungut/ditanggung Pemerintah;
|
|
|
i.
|
dokumen yang menjadi dasar pemotongan/pemungutan PPh;
|
|
|
j.
|
identitas Pemotong/Pemungut Pajak, berupa NPWP dan nama Pemotong/Pemungut Pajak, serta nama dan tanda tangan pejabat penandatangan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Instansi Pemerintah;
|
|
|
k.
|
tanggal Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Instansi Pemerintah ditandatangani; dan
|
|
|
l.
|
kode verifikasi.
|
|
(3)
|
Satu Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan untuk:
|
||
|
a.
|
1 (satu) pihak yang dipotong/dipungut;
|
|
|
b.
|
1 (satu) kode objek pajak; dan
|
|
|
c.
|
1 (satu) Masa Pajak.
|
|
(4)
|
Dalam hal pada suatu Masa Pajak terdapat 2 (dua) atau lebih transaksi pemotongan/pemungutan PPh atas pihak yang sama dan dengan kode objek pajak yang sama, Pemotong/Pemungut Pajak dapat membuat 1 (satu) Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Instansi Pemerintah atas transaksi dimaksud.
|
||
(5)
|
Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sesuai:
|
||
|
a.
|
contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf A;
|
|
|
b.
|
kode objek pajak sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf B; dan
|
|
|
c.
|
tata cara pembuatan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf C,
|
|
|
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
(6)
|
Kode objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat diubah dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
|
||
|
|
||
Pasal 6 |
|||
(1)
|
Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 tidak perlu dibuat dalam hal tidak terdapat pemotongan atau pemungutan PPh.
|
||
(2)
|
Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 tetap dibuat dalam hal:
|
||
|
a.
|
jumlah PPh yang dipotong/dipungut nihil karena adanya Surat Keterangan Bebas;
|
|
|
b.
|
transaksi dilakukan dengan Wajib Pajak yang memiliki Surat Keterangan PP No. 23 Tahun 2018 yang terkonfirmasi;
|
|
|
c.
|
jumlah PPh Pasal 26 yang dipotong nihil berdasarkan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang ditunjukkan dengan adanya Surat Keterangan Domisili dan/atau tanda terima Surat Keterangan Domisili Wajib Pajak Luar Negeri;
|
|
|
d.
|
PPh yang dipotong/dipungut ditanggung Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
|
|
|
e.
|
PPh yang dipotong/dipungut diberikan fasilitas PPh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan/atau
|
|
|
f.
|
pemotongan/pemungutan PPh dilakukan dengan menggunakan SSP, BPN, atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan SSP.
|
|
(3)
|
SSP tetap dibuat dalam hal terjadi transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
|
||
|
|
||
Pasal 7 |
|||
Bukti Pemungutan PPN/PPnBM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c meliputi:
|
|||
a.
|
Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak; dan
|
||
b.
|
Surat Setoran Pajak, BPN, atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak,
|
||
yang dibuat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PPN.
|
|||
|
|||
Pasal 8 |
|||
(1)
|
Dalam pembuatan Bukti Pemotongan 21/26 Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a dan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b, pihak yang dipotong dan/atau dipungut harus memberikan informasi identitas berupa:
|
||
|
a.
|
bagi Wajib Pajak dalam negeri, yaitu:
|
|
|
|
1.
|
NPWP; atau
|
|
|
2.
|
Nomor Induk Kependudukan, bagi orang pribadi yang tidak memiliki NPWP; atau
|
|
b.
|
bagi Wajib Pajak luar negeri, yaitu Tax Identification Number atau identitas perpajakan lainnya,
|
|
|
kepada Pemotong/Pemungut Pajak.
|
||
(2)
|
Dalam hal Wajib Pajak luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ingin menerapkan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, Wajib Pajak luar negeri dimaksud harus memberikan Surat Keterangan Domisili dan/atau tanda terima Surat Keterangan Domisili sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
||
|
|
||
BAB III
BENTUK, ISI, TATA CARA PENGISIAN, DAN PENYAMPAIAN SURAT PEMBERITAHUAN MASA BAGI INSTANSI PEMERINTAH
Pasal 9 |
|||
(1)
|
SPT 21/26 Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a terdiri dari:
|
||
|
a.
|
Induk SPT 21/26 Instansi Pemerintah (Formulir 1721);
|
|
|
b.
|
Daftar Pemotongan PPh Pasal 21 bagi Pegawai Tetap dan Penerima Pensiun atau Tunjangan Hari Tua/Jaminan Hari Tua Berkala serta bagi Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia, Anggota Polisi Republik Indonesia, Pejabat Negara dan Pensiunannya (Formulir 1721-A);
|
|
|
c.
|
Daftar Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 Final, PPh Pasal 21 Tidak Final dan/atau PPh Pasal 26 (Formulir 1721-B); dan
|
|
|
d.
|
Daftar SSP dan/atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan SSP (Formulir 1721-SSP);
|
|
(2)
|
SPT 21/26 Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
|
||
|
a.
|
Masa Pajak dan Tahun Pajak;
|
|
|
b.
|
status Surat Pemberitahuan normal/pembetulan;
|
|
|
c.
|
identitas Instansi Pemerintah;
|
|
|
d.
|
jumlah penghasilan bruto;
|
|
|
e.
|
jumlah PPh dipotong;
|
|
|
f.
|
jumlah nilai PPh ditanggung Pemerintah;
|
|
|
g.
|
jumlah nilai kompensasi dari Masa Pajak sebelumnya;
|
|
|
h.
|
jumlah PPh yang disetor;
|
|
|
i.
|
tanggal pemotongan dan tanggal penyetoran PPh;
|
|
|
j.
|
nama dan tanda tangan pejabat penandatangan SPT 21/26 Instansi Pemerintah; dan
|
|
|
k.
|
tanggal SPT 21/26 Instansi Pemerintah dibuat.
|
|
(3)
|
SPT 21/26 Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
|
||
|
a.
|
dibuat sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf C; dan
|
|
|
b.
|
diisi sesuai petunjuk sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf D,
|
|
|
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|||
Pasal 10 |
|||
(1)
|
SPT Unifikasi Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b terdiri dari:
|
||
|
a.
|
Induk Surat Pemberitahuan Masa PPh dan PPN bagi Instansi Pemerintah (Formulir SPT Unifikasi Instansi Pemerintah);
|
|
|
b.
|
Daftar Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Instansi Pemerintah (Formulir DBPP);
|
|
|
c.
|
Daftar Bukti Pemungutan PPN/PPnBM (Formulir DBPPN); dan
|
|
|
d.
|
Daftar SSP, BPN, dan/atau Bukti Pbk (Formulir DSS).
|
|
(2)
|
SPT Unifikasi Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
|
||
|
a.
|
Masa Pajak dan Tahun Pajak;
|
|
|
b.
|
status Surat Pemberitahuan normal/pembetulan;
|
|
|
c.
|
identitas Instansi Pemerintah;
|
|
|
d.
|
jenis pajak;
|
|
|
e.
|
jumlah dasar pengenaan pajak;
|
|
|
f.
|
jumlah nilai PPh yang dipotong, dipungut, dan/atau ditanggung Pemerintah;
|
|
|
g.
|
jumlah nilai PPN dan/atau PPnBM yang dipungut atau ditanggung Pemerintah;
|
|
|
h.
|
jumlah total pajak yang dipotong, dipungut, dan/atau ditanggung Pemerintah;
|
|
|
i.
|
jumlah PPh, PPN dan/atau PPnBM yang disetor;
|
|
|
j.
|
tanggal pemotongan/pemungutan dan tanggal penyetoran PPh, PPN dan/atau PPnBM;
|
|
|
k.
|
nama dan tanda tangan pejabat penandatangan SPT Unifikasi Instansi Pemerintah; dan
|
|
|
l.
|
tanggal SPT Unifikasi Instansi Pemerintah dibuat.
|
|
(3)
|
SPT Unifikasi Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
|
||
|
a.
|
dibuat sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf D; dan
|
|
|
b.
|
diisi sesuai petunjuk sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf E,
|
|
|
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
||
Pasal 11 |
|||
(1)
|
Bukti pemotongan/pemungutan pajak yang telah dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa bagi Instansi Pemerintah melalui Aplikasi e-Bupot Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 5 dapat dilakukan:
|
||
|
a.
|
pembetulan atas Bukti Pemotongan 21/26 Instansi Pemerintah dan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6) huruf a, dalam hal terdapat kekeliruan dalam pengisian bukti pemotongan/pemungutan pajak atau terdapat transaksi retur;
|
|
|
b.
|
penggantian atas Bukti Pemungutan PPN/PPnBM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6) huruf c, dalam hal terdapat kekeliruan dalam pengisian Bukti Pemungutan PPN/PPnBM atau terdapat transaksi retur; atau
|
|
|
c.
|
pembatalan atas Bukti Pemotongan 21/26 Instansi Pemerintah, Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Instansi Pemerintah, dan Bukti Pemungutan PPN/PPnBM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6) huruf a dan huruf c, dalam hal terdapat transaksi yang dibatalkan.
|
|
(2)
|
Pemotong/Pemungut Pajak dapat membuat Bukti Pemotongan 21/26 Instansi Pemerintah dan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Instansi Pemerintah tambahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (6) huruf b atas objek pajak yang belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa bagi Instansi Pemerintah.
|
||
(3)
|
Pembetulan, pembatalan, atau penggantian bukti pemotongan/pemungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau pembuatan bukti pemotongan/pemungutan pajak tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan pemeriksaan atau pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka terhadap Masa Pajak yang bersangkutan.
|
||
(4)
|
Pembetulan, pembatalan, penggantian, dan penambahan bukti pemotongan/pemungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaporkan dalam pembetulan Surat Pemberitahuan Masa bagi Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (7).
|
||
(5)
|
Pembetulan, pembatalan, penggantian, dan penambahan bukti pemotongan/pemungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan sesuai dengan:
|
||
|
a.
|
tata cara sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf B untuk Bukti Pemotongan 21/26 Instansi Pemerintah; dan
|
|
|
b.
|
tata cara sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf C untuk Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Instansi Pemerintah,
|
|
|
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
||
Pasal 12 |
|||
(1)
|
Pembetulan Surat Pemberitahuan Masa bagi Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) dilakukan dengan memberi tanda pada tempat yang disediakan dalam Surat Pemberitahuan Masa bagi Instansi Pemerintah.
|
||
(2)
|
Pembetulan Surat Pemberitahuan Masa bagi Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan pemeriksaan atau pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka terhadap Masa Pajak yang bersangkutan.
|
||
(3)
|
Pembetulan Surat Pemberitahuan Masa bagi Instansi Pemerintah dilakukan sesuai dengan:
|
||
|
a.
|
tata cara sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf D untuk SPT 21/26 Instansi Pemerintah; dan
|
|
|
b.
|
tata cara sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf E untuk SPT Unifikasi Instansi Pemerintah,
|
|
|
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
|
||
|
|
||
Pasal 13 |
|||
(1)
|
Dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan Masa bagi Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 mengakibatkan adanya:
|
||
|
a.
|
pajak yang kurang disetor, maka Pemotong/Pemungut Pajak terlebih dahulu melunasi jumlah pajak yang kurang disetor tersebut; atau
|
|
|
b.
|
pajak yang lebih disetor, maka atas kelebihan penyetoran pajak yang terdapat dalam:
|
|
|
|
1.
|
SPT 21/26 Instansi Pemerintah, dapat dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya oleh Pemotong/Pemungut Pajak; atau
|
|
|
2.
|
SPT Unifikasi Instansi Pemerintah, dapat diajukan Pemindahbukuan oleh Pemotong/Pemungut Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan mengenai tata cara pembayaran dan penyetoran pajak.
|
(2)
|
Jumlah pajak yang kurang disetor akibat pembetulan Surat Pemberitahuan Masa bagi Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang disetorkan setelah tanggal jatuh tempo penyetoran dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2a) Undang-Undang KUP.
|
||
|
|
||
Pasal 14 |
|||
(1)
|
Bukti Pemotongan 21/26 Instansi Pemerintah dan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a dan huruf b yang dibuat melalui Aplikasi e-Bupot Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) ditandatangani secara elektronik dengan Tanda Tangan Elektronik.
|
||
(2)
|
Surat Pemberitahuan Masa bagi Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) yang dibuat melalui Aplikasi e-Bupot Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) ditandatangani secara elektronik dengan Tanda Tangan Elektronik dan disampaikan melalui Aplikasi e-Bupot Instansi Pemerintah.
|
||
(3)
|
Bukti Pemotongan 21/26 Instansi Pemerintah dan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta Surat Pemberitahuan Masa bagi Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditandatangani secara elektronik oleh wakil Pemotong/Pemungut Pajak dengan menggunakan Sertifikat Elektronik atau Kode Otorisasi DJP milik wakil Pemotong/Pemungut Pajak dimaksud.
|
||
(4)
|
Dalam hal kewajiban membuat dan menyerahkan bukti pemotongan/pemungutan pajak dilaksanakan oleh Subunit Organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (8), Bukti Pemotongan 21/26 Instansi Pemerintah dan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada (1):
|
||
|
a.
|
dibuat melalui Aplikasi e-Bupot Instansi Pemerintah; dan
|
|
|
b.
|
ditandatangani secara elektronik oleh pihak pada Subunit Organisasi, yaitu kepala Subunit Organisasi atau kuasa pengguna anggaran atau pejabat yang ditunjuk oleh Instansi Pemerintah, dengan Sertifikat Elektronik atau Kode Otorisasi DJP milik pejabat dimaksud.
|
|
(5)
|
Wakil Pemotong/Pemungut Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan pihak pada Subunit Organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang:
|
||
|
a.
|
belum memiliki Sertifikat Elektronik atau Kode Otorisasi DJP; atau
|
|
|
b.
|
memiliki Sertifikat Elektronik atau Kode Otorisasi DJP namun masa berlakunya telah berakhir,
|
|
|
harus mengajukan permohonan penerbitan Sertifikat Elektronik atau Kode Otorisasi DJP sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan serta penerbitan, penandatanganan, dan pengiriman keputusan atau ketetapan pajak secara elektronik.
|
||
|
|
||
Pasal 15 |
|||
(1)
|
Pelaporan bukti pemotongan/pemungutan pajak dilakukan dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa bagi Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c paling lama 20 (dua puluh) hari setelah berakhirnya Masa Pajak.
|
||
(2)
|
Dalam hal Surat Pemberitahuan Masa bagi Instansi Pemerintah tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemotong/Pemungut Pajak dikenai sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 7 Undang-Undang KUP berupa:
|
||
|
a.
|
denda sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk SPT 21/26 Instansi Pemerintah;
|
|
|
b.
|
denda sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah), untuk SPT Unifikasi Instansi Pemerintah jenis pajak PPh, yang dikenakan sebagai satu kesatuan dan tidak dihitung bagi tiap-tiap jenis PPh; dan
|
|
|
c.
|
denda sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah), untuk SPT Unifikasi Instansi Pemerintah jenis pajak PPN dan/atau PPnBM.
|
|
(3)
|
Jumlah pajak yang disetorkan setelah tanggal jatuh tempo penyetoran dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2a) Undang-Undang KUP.
|
||
(4)
|
Dalam hal terjadi keadaan yang mengakibatkan tidak dapat dilaksanakannya penyampaian Surat Pemberitahuan Masa bagi Instansi Pemerintah, berupa kebakaran, bencana alam, kerusuhan, dan/atau keadaan luar biasa lainnya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak, pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
||
|
|
||
BAB IV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 16 |
|||
Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku:
|
|||
1.
|
Kewajiban penyampaian Surat Pemberitahuan Masa PPh dan Surat Pemberitahuan Masa PPN untuk Masa Pajak sebelum Masa Pajak September 2021 dilaksanakan berdasarkan:
|
||
|
a.
|
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-147/PJ/2006 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) bagi Pemungut PPN;
|
|
|
b.
|
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-53/PJ/2009 tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Final Pasal 4 Ayat (2), Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 15, Pasal 22, Pasal 23 dan/atau Pasal 26 serta Bukti Pemotongan dan/atau Pemungutannya;
|
|
|
c.
|
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-14/PJ/2013 tentang Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 serta Bentuk Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26; atau
|
|
|
d.
|
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-04/PJ/2017 tentang Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 23 dan/atau Pasal 26 serta Bentuk Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 dan/atau Pasal 26;
|
|
2.
|
Sertifikat Elektronik Pemotong/Pemungut Pajak yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Wajib Pajak dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak serta Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dapat digunakan untuk melakukan Tanda Tangan Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) sampai dengan paling lambat tanggal 31 Desember 2022.
|
||
|
|
|
|
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 17 |
|||
Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku sejak Masa Pajak September 2021.
|
|||
|
|
|
|
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 Agustus 2021
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd.
SURYO UTOMO
|