Hide
Sumber Peraturan | Tanggal Berlaku | |
---|---|---|
[P1] | UU 9 Tahun 1994 | 1 Jan 1995 |
[P2] | UU 16 Tahun 2000 | 1 Jan 2001 |
[P3] | UU 28 Tahun 2007 | 1 Jan 2008 |
[P4] | UU 16 Tahun 2009 | 25 Mar 2009 |
[P5] | UU 11 Tahun 2020 | 2 Nov 2020 |
[P6] | UU 7 Tahun 2021 | 29 Okt 2021 |
[P7] | UU 6 Tahun 2023 | 31 Mar 2023 |
UU KUP Konsolidasi setelah UU 6 Tahun 2023
Penjelasan Umum
Untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan guna mewujudkan masyarakat adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diperlukan berbagai upaya dari Pemerintah untuk mengambil berbagai langkah kebijakan fiskal yang konsolidatif. Kebijakan fiskal yang konsolidatif tersebut dapat diwujudkan dengan melakukan langkah strategis yang berfokus pada perbaikan defisit anggaran dan peningkatan rasio pajak (tax ratio) yang antara lain melalui penerapan kebijakan peningkatan kinerja penerimaan pajak, reformasi administrasi perpajakan, peningkatan basis perpajakan, penciptaan sistem perpajakan yang mengedepankan prinsip keadilan dan kepastian hukum, serta peningkatan kepatuhan sukarela Wajib Pajak. Pada tataran global, negara-negara di dunia juga menerapkan berbagai kebijakan perpajakan yang diharapkan mampu untuk meningkatkan penerimaan dengan memperluas basis pajak dan melakukan penyesuaian tarif pajak. Dalam rangka peningkatan rasio pajak (tax ratio), Pemerintah telah melakukan berbagai upaya antara lain melalui reformasi perpajakan yang berfokus pada organisasi, sumber daya manusia, teknologi informasi berbasis data, proses bisnis, dan regulasi perpajakan. Hal ini dilaksanakan di antaranya dengan peningkatan fungsi pelayanan, implementasi program Pengampunan Pajak, pelaksanaan skema Automatic Exchange of Financial Account Information, penguatan efektifitas fungsi ekstensifikasi, dan penegakan hukum. Namun, hal tersebut belum cukup untuk mengimbangi perubahan pola bisnis dan dinamika globalisasi yang sangat dinamis serta mengatasi praktik aggressive tax planning yang ada. Oleh karena itu, sejalan dengan reformasi perpajakan secara berkesinambungan khususnya pada aspek regulasi dan proses bisnis, diperlukan penyesuaian pengaturan kebijakan perpajakan yang bersifat komprehensif, konsolidatif, dan harmonis, sehingga perlu membentuk Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Penyesuaian pengaturan kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian; mengoptimalkan penerimaan negara guna membiayai pembangunan nasional secara mandiri menuju masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera; mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum; melaksanakan reformasi administrasi, kebijakan perpajakan yang konsolidatif, dan perluasan basis perpajakan; dan meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak. Kebijakan perpajakan yang bersifat komprehensif, konsolidatif, dan harmonis dilakukan melalui pengaturan meliputi Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak, Pajak Karbon, dan Cukai. Materi Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan memuat beberapa ketentuan yang diubah dan/atau ditambah antara lain mengenai kerja sama bantuan penagihan pajak antarnegara, kuasa Wajib Pajak, pemberian data dalam rangka penegakan hukum dan kerja sama untuk kepentingan negara, dan daluwarsa penuntutan pidana pajak. Dalam materi Pajak Penghasilan terdapat beberapa ketentuan yang diubah dan/atau ditambah antara lain mengenai perubahan pengenaan pajak atas natura dan/atau kenikmatan, tarif Pajak Penghasilan orang pribadi dan badan, penyusutan dan amortisasi, serta kesepakatan/perjanjian internasional di bidang perpajakan. Perubahan materi Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah meliputi antara lain pengurangan pengecualian objek Pajak Pertambahan Nilai, pengaturan kembali fasilitas Pajak Pertambahan Nilai, perubahan tarif Pajak Pertambahan Nilai, dan pengenaan tarif pajak Pertambahan Nilai final. Untuk mendorong kepatuhan Wajib Pajak terdapat materi Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak yang memberikan kesempatan kepada wajib Pajak untuk mengungkapkan hartanya yang belum diungkapkan. selanjutnya terdapat pengaturan baru mengenai pajak karbon yang dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup. Pengenaan pajak karbon dilakukan dengan memperhatikan peta jalan pajak karbon dan/atau peta jalan pasar karbon. Adapun perubahan ketentuan pada materi Cukai antara lain penambahan Barang Kena cukai, kewenangan Pejabat Bea dan cukai, penyidikan, serta pembayaran sanksi administratif.
KETENTUAN UMUM
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
|
1.
|
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. --[P3]
|
2.
|
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. --[P3]
|
3.
|
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. --[P3]
|
4.
|
Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean. --[P3]
|
5.
|
Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya. --[P3]
|
6.
|
Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. --[P3]
|
7.
|
Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini. --[P3]
|
8.
|
Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. --[P3]
|
9.
|
Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak. --[P3]
|
10.
|
Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. --[P3]
|
11.
|
Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. --[P3]
|
12.
|
Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak. --[P3]
|
13.
|
Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak. --[P3]
|
14.
|
Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. --[P3]
|
15.
|
Surat ketetapan pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar. --[P3]
|
16.
|
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar. --[P3]
|
17.
|
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan. --[P3]
|
18.
|
Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. --[P3]
|
19.
|
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang. --[P3]
|
20.
|
Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda. --[P3]
|
21.
|
Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak. --[P3]
|
22.
|
Kredit Pajak untuk Pajak Penghasilan adalah pajak yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak ditambah dengan pokok pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak karena Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar, ditambah dengan pajak yang dipotong atau dipungut, ditambah dengan pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri, dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak, yang dikurangkan dari pajak yang terutang. --[P3]
|
23.
|
Kredit Pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan setelah dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak atau setelah dikurangi dengan pajak yang telah dikompensasikan, yang dikurangkan dari pajak yang terutang. --[P3]
|
24.
|
Pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja. --[P3]
|
25.
|
Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. --[P3]
|
26.
|
Bukti Permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. --[P3]
|
27.
|
Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan. --[P3]
|
28.
|
Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. --[P3]
|
29.
|
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut. --[P3]
|
30.
|
Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya. --[P3]
|
31.
|
Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya. --[P3]
|
32.
|
Penyidik adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. --[P3]
|
33.
|
Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga. --[P3]
|
34.
|
Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap surat ketetapan pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak. --[P3]
|
35.
|
Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak. --[P3]
|
36.
|
Putusan Gugatan adalah putusan badan peradilan pajak atas gugatan terhadap hal-hal yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapat diajukan gugatan. --[P3]
|
37.
|
Putusan Peninjauan Kembali adalah putusan Mahkamah Agung atas permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Wajib Pajak atau oleh Direktur Jenderal Pajak terhadap Putusan Banding atau Putusan Gugatan dari badan peradilan pajak. --[P3]
|
38.
|
Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak adalah surat keputusan yang menentukan jumlah pengembalian pendahuluan kelebihan pajak untuk Wajib Pajak tertentu. --[P3]
|
39.
|
Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga adalah surat keputusan yang menentukan jumlah imbalan bunga yang diberikan kepada Wajib Pajak. --[P3]
|
40.
|
Tanggal dikirim adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimili, atau dalam hal disampaikan secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan disampaikan secara langsung. --[P3]
|
41.
|
Tanggal diterima adalah tanggal stempel pos pengiriman, tanggal faksimili, atau dalam hal diterima secara langsung adalah tanggal pada saat surat, keputusan, atau putusan diterima secara langsung. --[P3]
|
NOMOR POKOK WAJIB PAJAK, PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK, SURAT PEMBERITAHUAN, DAN TATA CARA PEMBAYARAN PAJAK
(1)
|
Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak. --[P3]
|
|
(1a)
|
Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Wajib Pajak orang pribadi yang merupakan penduduk Indonesia menggunakan nomor induk kependudukan. --[P6]
|
|
(2)
|
Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. --[P3]
|
|
(3)
|
Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan:
|
|
|
a.
|
tempat pendaftaran dan/atau tempat pelaporan usaha selain yang ditetapkan pada ayat (1) dan ayat (2); dan/atau
|
|
b.
|
tempat pendaftaran pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal dan kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan, bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu. --[P3]
|
(4)
|
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2). --[P3]
|
|
(4a)
|
Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkannya sebagai Pengusaha Kena Pajak. --[P3]
|
|
(5)
|
Dihapus. --[P6]
|
|
(6)
|
Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila:
|
|
|
a.
|
diajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak oleh Wajib Pajak dan/atau ahli warisnya apabila Wajib Pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
|
|
b.
|
Wajib Pajak badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha;
|
|
c.
|
Wajib Pajak bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia; atau
|
|
d.
|
dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan Nomor Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. --[P3]
|
(7)
|
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan untuk Wajib Pajak orang pribadi atau 12 (dua belas) bulan untuk Wajib Pajak badan, sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap. --[P3]
|
|
(8)
|
Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat melakukan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. --[P3]
|
|
(9)
|
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas permohonan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap. --[P3]
|
|
(10)
|
Dalam rangka penggunaan nomor induk kependudukan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1a), menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri memberikan data kependudukan dan data balikan dari pengguna kepada Menteri Keuangan untuk diintegrasikan dengan basis data perpajakan. --[P6]
|
Masa Pajak sama dengan 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan paling lama 3 (tiga) bulan kalender. --[P3]
|
Cukup jelas.
(1)
|
Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. --[P3]
|
|
(1a)
|
Wajib Pajak yang telah mendapat izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan satuan mata uang selain Rupiah yang diizinkan, yang pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. --[P3]
|
|
(1b)
|
Penandatanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara biasa, dengan tanda tangan stempel, atau tanda tangan elektronik atau digital, yang semuanya mempunyai kekuatan hukum yang sama, yang tata cara pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. --[P3]
|
|
(2)
|
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a) mengambil sendiri Surat Pemberitahuan di tempat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak atau mengambil dengan cara lain yang tata cara pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. --[P3]
|
|
(3)
|
Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah:
|
|
|
a.
|
untuk Surat Pemberitahuan Masa, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak;
|
|
b.
|
untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak; atau
|
|
c.
|
untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak. --[P3]
|
(3a)
|
Wajib Pajak dengan kriteria tertentu dapat melaporkan beberapa Masa Pajak dalam 1 (satu) Surat Pemberitahuan Masa. --[P3]
|
|
(3b)
|
Wajib Pajak dengan kriteria tertentu dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3a) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. --[P3]
|
|
(3c)
|
Batas waktu dan tata cara pelaporan atas pemotongan dan pemungutan pajak yang dilakukan oleh bendahara pemerintah dan badan tertentu diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. --[P3]
|
|
(4)
|
Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk paling lama 2 (dua) bulan dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atau dengan cara lain kepada Direktur Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. --[P3]
|
|
(5)
|
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus disertai dengan penghitungan sementara pajak yang terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak dan Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. --[P3]
|
|
(5a)
|
Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan sesuai batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dapat diterbitkan Surat Teguran. --[P3]
|
|
(6)
|
Bentuk dan isi Surat Pemberitahuan serta keterangan dan/atau dokumen yang harus dilampirkan, dan cara yang digunakan untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. --[P3]
|
|
(7)
|
Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan apabila:
|
|
|
a.
|
Surat Pemberitahuan tidak ditandatangani sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
|
|
b.
|
Surat Pemberitahuan tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan/atau dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (6);
|
|
c.
|
Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar disampaikan setelah 3 (tiga) tahun sesudah berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dan Wajib Pajak telah ditegur secara tertulis; atau
|
|
d.
|
Surat Pemberitahuan disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan atau menerbitkan surat ketetapan pajak. --[P3]
|
(7a)
|
Apabila Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Direktur Jenderal Pajak wajib memberitahukan kepada Wajib Pajak. --[P3]
|
|
(8)
|
Dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Wajib Pajak Pajak Penghasilan tertentu yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. --[P3]
|
a.
|
pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak;
|
b.
|
penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak;
|
c.
|
harta dan kewajiban; dan/atau
|
d.
|
pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
a.
|
pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran; dan
|
b.
|
pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
a.
|
benar adalah benar dalam perhitungan, termasuk benar dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dalam penulisan, dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya;
|
b.
|
lengkap adalah memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan; dan
|
c.
|
jelas adalah melaporkan asal-usul atau sumber dari objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan.
|
a.
|
menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk beberapa Masa Pajak sekaligus dengan syarat pembayaran seluruh pajak yang wajib dilunasi menurut Surat Pemberitahuan Masa tersebut dilakukan sekaligus paling lama dalam Masa Pajak yang terakhir; dan/atau
|
b.
|
menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa selain yang disebut pada huruf a untuk beberapa Masa Pajak sekaligus dengan syarat pembayaran untuk masing-masing Masa Pajak dilakukan sesuai batas waktu untuk Masa Pajak yang bersangkutan.
|
(1)
|
Wajib Pajak wajib mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, jelas, dan menandatanganinya. --[P3]
|
(2)
|
Surat Pemberitahuan Wajib Pajak badan harus ditandatangani oleh pengurus atau direksi. --[P3]
|
(3)
|
Dalam hal Wajib Pajak menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk mengisi dan menandatangani Surat Pemberitahuan, surat kuasa khusus tersebut harus dilampirkan pada Surat Pemberitahuan. --[P3]
|
(4)
|
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan harus dilampiri dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi serta keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak. --[P3]
|
(4a)
|
Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah laporan keuangan dari masing-masing Wajib Pajak. --[P3]
|
(4b)
|
Dalam hal laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4a) diaudit oleh Akuntan Publik tetapi tidak dilampirkan pada Surat Pemberitahuan, Surat Pemberitahuan dianggap tidak lengkap dan tidak jelas, sehingga Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (7) huruf b. --[P3]
|
(5)
|
Tata cara penerimaan dan pengolahan Surat Pemberitahuan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. --[P3]
|
Untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan, Direktur Jenderal Pajak dalam hal-hal tertentu dapat menentukan tempat lain bukan tempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
|
(1)
|
Surat Pemberitahuan yang disampaikan langsung oleh Wajib Pajak ke kantor Direktorat Jenderal Pajak harus diberi tanggal penerimaan oleh pejabat yang ditunjuk dan kepada Wajib Pajak diberikan bukti penerimaan. --[P3]
|
(2)
|
Penyampaian Surat Pemberitahuan dapat dikirimkan melalui pos dengan tanda bukti pengiriman surat atau dengan cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. --[P3]
|
(3)
|
Tanda bukti dan tanggal pengiriman surat untuk penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penerimaan sepanjang Surat Pemberitahuan tersebut telah lengkap. --[P3]
|
(1)
|
Apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) atau batas waktu perpanjangan penyampaian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4), dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Masa lainnya, dan sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan serta sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi. --[P3]
|
|
(2)
|
Pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan terhadap:
|
|
|
a.
|
Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia;
|
|
b.
|
Wajib Pajak orang pribadi yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas;
|
|
c.
|
Wajib Pajak orang pribadi yang berstatus sebagai warga negara asing yang tidak tinggal lagi di Indonesia;
|
|
d.
|
Bentuk Usaha Tetap yang tidak melakukan kegiatan lagi di Indonesia;
|
|
e.
|
Wajib Pajak badan yang tidak melakukan kegiatan usaha lagi tetapi belum dibubarkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
|
|
f.
|
Bendahara yang tidak melakukan pembayaran lagi;
|
|
g.
|
Wajib Pajak yang terkena bencana, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan; atau
|
|
h.
|
Wajib Pajak lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. --[P3]
|
(1)
|
Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan. --[P3]
|
|
(1a)
|
Dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan. --[P3]
|
|
(2)
|
Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. --[P5]
|
|
(2a)
|
Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Masa yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. --[P5]
|
|
(2b)
|
Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (2a) dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 5% (lima persen) dan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi. --[P5]
|
|
(3)
|
Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan bukti permulaan, Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat mengungkapkan dengan pernyataan tertulis mengenai ketidakbenaran perbuatannya, yaitu sebagai berikut:
|
|
|
a.
|
tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
|
|
b.
|
menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar,
|
|
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 atau Pasal 39 ayat (1) huruf c dan huruf d sepanjang mulainya Penyidikan belum diberitahukan kepada Penuntut Umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. --[P5]
|
|
(3a)
|
Pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar. --[P5]
|
|
(4)
|
Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, dan proses pemeriksaan tetap dilanjutkan. --[P6]
|
|
(5)
|
Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri disampaikan beserta sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dari pajak yang kurang dibayar, yang dihitung sejak:
|
|
|
a.
|
batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, untuk pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan; atau
|
|
b.
|
jatuh tempo pembayaran berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, untuk pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan Masa
|
dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. --[P5] | ||
(5a)
|
Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 10% (sepuluh persen) dan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi. --[P5]
|
|
(6)
|
Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan yang telah disampaikan, dalam hal Wajib Pajak menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan yang akan dibetulkan tersebut, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan. --[P5]
|
(1)
|
Menteri Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak, paling lama 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak. --[P3]
|
(2)
|
Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan disampaikan. --[P3]
|
(2a)
|
Pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang dihitung sejak berakhirnya tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. --[P7]
|
(2b)
|
Atas pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan, dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang dihitung sejak berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sampai dengan tanggal pembayaran, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. --[P7]
|
(2c)
|
Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) dan ayat (2b) dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 5% (lima persen) dan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi. --[P5]
|
(3)
|
Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan. --[P3]
|
(3a)
|
Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu, jangka waktu pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diperpanjang paling lama menjadi 2 (dua) bulan yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. --[P3]
|
(4)
|
Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak termasuk kekurangan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. --[P5]
|
(1)
|
Wajib Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. --[P3]
|
(1a)
|
Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh Pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapatkan validasi, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. --[P3]
|
(2)
|
Tata cara pembayaran, penyetoran pajak, dan pelaporannya serta tata cara mengangsur dan menunda pembayaran pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. --[P3]
|
(1)
|
Atas permohonan Wajib Pajak, kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 17B, Pasal 17C, atau Pasal 17D dikembalikan dengan ketentuan bahwa apabila ternyata Wajib Pajak mempunyai utang pajak, langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak tersebut. --[P3]
|
(1a)
|
Kelebihan pembayaran pajak sebagai akibat adanya Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, dan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, serta Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga dikembalikan kepada Wajib Pajak dengan ketentuan jika ternyata Wajib Pajak mempunyai utang pajak langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak tersebut. --[P3]
|
(2)
|
Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a) dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diterima sehubungan dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), atau sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17B, atau sejak diterbitkannya Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C atau Pasal 17D, atau sejak diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, atau sejak diterimanya Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak. --[P3]
|
(3)
|
Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah jangka waktu 1 (satu) bulan, Pemerintah memberikan imbalan bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan atas keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dihitung sejak batas waktu penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak berakhir sampai dengan saat dilakukan pengembalian kelebihan dan diberikan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. --[P5]
|
(3a)
|
Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung berdasarkan suku bunga acuan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga. --[P5]
|
(4)
|
Tata cara penghitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. --[P3]
|
a.
|
untuk Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan tertulis tentang pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
|
b.
|
untuk Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17B, dihitung sejak tanggal penerbitan;
|
c.
|
untuk Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Pasal 17D, dihitung sejak tanggal penerbitan;
|
d.
|
untuk Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, dihitung sejak tanggal penerbitan;
|
e.
|
untuk Putusan Banding dihitung sejak diterimanya Putusan Banding oleh Kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan putusan pengadilan; atau
|
f.
|
untuk Putusan Peninjauan Kembali dihitung sejak diterimanya Putusan Peninjauan Kembali oleh Kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan putusan pengadilan,
|
sampai dengan saat diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.
|
PENETAPAN DAN KETETAPAN PAJAK
(1)
|
Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. --[P3] |
(2)
|
Jumlah Pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. --[P3] |
(3)
|
Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang. --[P3] |
a.
|
pada suatu saat, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak ketiga; |
b.
|
pada akhir masa, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pemberi kerja, atau yang dipungut oleh pihak lain atas kegiatan usaha, atau oleh Pengusaha Kena Pajak atas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah; atau |
c.
|
pada akhir Tahun Pajak, untuk Pajak Penghasilan. |
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam hal sebagai berikut: | |
|
a.
|
terdapat pajak yang tidak atau kurang dibayar; |
|
b.
|
Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran; |
|
c.
|
terdapat Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai tarif 0% (nol persen); |
|
d.
|
terdapat kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau Pasal 29 yang tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang; |
|
e.
|
kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4a); atau |
|
f.
|
Pengusaha Kena Pajak tidak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan/atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan atau telah mengkreditkan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6e) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya. --[P6] |
(2)
|
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf e ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. --[P5] | |
(2a)
|
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dihitung sejak saat jatuh tempo pembayaran kembali berakhir sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. --[P5] | |
(2b)
|
Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (2a) dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 15% (lima belas persen) dan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi. --[P5] | |
(3)
|
Jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d ditambah dengan sanksi administratif berupa: | |
|
a.
|
bunga dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam 1 (satu) Tahun Pajak; |
|
b.
|
bunga dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dipotong atau dipungut; |
|
c.
|
kenaikan sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang tidak atau kurang dibayar; atau |
|
d.
|
kenaikan sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetor. --[P6] |
(3a)
|
Dalam hal terdapat penerapan sanksi administrasi berupa bunga dan kenaikan berdasarkan hasil pemeriksaan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf c, hanya diterapkan satu jenis sanksi administrasi yang tertinggi nilai besaran sanksinya. --[P5] | |
(3b)
|
Bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. --[P6] | |
(3c)
|
Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3b) dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 20% (dua puluh persen) dan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi. --[P6] | |
(4)
|
Besarnya pajak yang terutang yang diberitahukan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan menjadi pasti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak tidak diterbitkan surat ketetapan pajak, kecuali Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dalam Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak dimaksud. --[P5] | |
(5)
|
Dihapus. --[P5] | |
(6)
|
Tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. --[P3] |
Dihapus. --[P5]
|
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila:
|
||
|
a.
|
Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar; | |
|
b.
|
dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung; | |
|
c.
|
Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda dan/atau bunga; | |
|
d.
|
pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak membuat faktur pajak atau terlambat membuat faktur pajak; | |
|
e.
|
pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak mengisi Faktur Pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (6) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, selain identitas pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak serta nama dan tanda tangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b dan huruf g Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya dalam hal penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran; | |
|
f.
|
dihapus; | |
|
g.
|
dihapus; | |
|
h.
|
terdapat imbalan bunga yang seharusnya tidak diberikan kepada Wajib Pajak, dalam hal: | |
|
|
1.
|
diterbitkan keputusan; |
|
|
2.
|
diterima putusan; atau |
|
|
3.
|
ditemukan data atau informasi, |
|
|
yang menunjukkan adanya imbalan bunga yang seharusnya tidak diberikan kepada Wajib Pajak; atau | |
|
i.
|
terdapat jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dalam jangka waktu sesuai dengan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4). --[P6] | |
(2)
|
Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak. --[P3] | ||
(3)
|
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administratif berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. --[P5] | ||
(4)
|
Terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d atau huruf e masing-masing, selain wajib menyetor pajak yang terutang, dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 1% (satu persen) dari Dasar Pengenaan Pajak. --[P5] | ||
(5)
|
Dihapus. --[P5] | ||
(5a)
|
Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 5% (lima persen) dan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi. --[P5] | ||
(5b)
|
Surat Tagihan Pajak diterbitkan paling lama 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak. --[P5] | ||
(5c)
|
Dikecualikan dari ketentuan jangka waktu penerbitan sebagaimana dimaksud pada ayat (5b): | ||
|
a.
|
Surat Tagihan Pajak atas sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) diterbitkan paling lama sesuai dengan daluwarsa penagihan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah; | |
|
b.
|
Surat Tagihan Pajak atas sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (9) dapat diterbitkan paling lama 5 (lima) tahun sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan apabila Wajib Pajak tidak mengajukan upaya banding; dan | |
|
c.
|
Surat Tagihan Pajak atas sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (5d) dapat diterbitkan paling lama dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal Putusan Banding diucapkan oleh hakim Pengadilan Pajak dalam sidang terbuka untuk umum. --[P5] | |
(6)
|
Tata cara penerbitan Surat Tagihan Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. --[P3] |
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. --[P3] |
(2)
|
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan ditambah dengan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut. --[P7] |
(3)
|
Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan itu diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis dari Wajib Pajak atas kehendak sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. --[P3] |
(4)
|
Dihapus. --[P5] |
(5)
|
Tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. --[P5] |
Dengan demikian, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tidak dapat diterbitkan sebelum didahului dengan penerbitan surat ketetapan pajak. Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dilakukan dengan syarat adanya data baru termasuk data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak sebelumnya. Sejalan dengan itu, setelah Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan sebagai akibat telah lewat waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan diterbitkan hanya dalam hal ditemukan data baru termasuk data yang semula belum terungkap. Dalam hal masih ditemukan lagi data baru termasuk data yang semula belum terungkap pada saat diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan/atau data baru termasuk data yang semula belum terungkap yang diketahui kemudian oleh Direktur Jenderal Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan masih dapat diterbitkan lagi.
a.
|
tidak diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan beserta lampirannya (termasuk laporan keuangan); dan/atau | ||||||||
b.
|
pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan data dan/atau memberikan keterangan lain secara benar, lengkap, dan terinci sehingga tidak memungkinkan fiskus dapat menerapkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan benar dalam menghitung jumlah pajak yang terutang.
|
1.
|
Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan tertulis adanya biaya iklan Rp10.000.000,00, (sepuluh juta rupiah) sedangkan sesungguhnya biaya tersebut terdiri atas Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) biaya iklan di media massa dan Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) sisanya adalah sumbangan atau hadiah yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Apabila pada saat penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian tersebut sehingga fiskus tidak melakukan koreksi atas pengeluaran berupa sumbangan atau hadiah sehingga pajak yang terutang tidak dapat dihitung secara benar, data mengenai pengeluaran berupa sumbangan atau hadiah tersebut tergolong data yang semula belum terungkap. |
||||||||
2.
|
Dalam Surat Pemberitahuan dan/atau laporan keuangan disebutkan pengelompokan harta tetap yang disusutkan tanpa disertai dengan perincian harta pada setiap kelompok yang dimaksud, demikian pula pada saat pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak mengungkapkan perincian tersebut sehingga fiskus tidak dapat meneliti kebenaran pengelompokan dimaksud, misalnya harta yang seharusnya termasuk dalam kelompok harta berwujud bukan bangunan kelompok 3, tetapi dikelompokkan ke dalam kelompok 2. Akibatnya, atas kesalahan pengelompokan harta tersebut tidak dilakukan koreksi, sehingga pajak yang terutang tidak dapat dihitung secara benar. Apabila setelah itu diketahui adanya data yang menyatakan bahwa pengelompokan harta tersebut tidak benar, maka data tersebut termasuk data yang semula belum terungkap. | ||||||||
3.
|
Pengusaha Kena Pajak melakukan pembelian sejumlah barang dari Pengusaha Kena Pajak lain dan atas pembelian tersebut oleh Pengusaha Kena Pajak penjual diterbitkan faktur pajak. Barang-barang tersebut sebagian digunakan untuk kegiatan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usahanya, seperti pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen, dan sebagian lainnya tidak mempunyai hubungan langsung. Seluruh faktur pajak tersebut dikreditkan sebagai Pajak Masukan oleh Pengusaha Kena Pajak pembeli. Apabila pada saat penetapan semula Pengusaha Kena Pajak tidak mengungkapkan rincian penggunaan barang tersebut dengan benar sehingga tidak dilakukan koreksi atas pengkreditan Pajak Masukan tersebut oleh fiskus, sebagai akibatnya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang tidak dapat dihitung secara benar. Apabila setelah itu diketahui adanya data atau keterangan tentang kesalahan mengkreditkan Pajak Masukan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dimaksud, data atau keterangan tersebut merupakan data yang semula belum terungkap. |
(1)
|
Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Direktur Jenderal Pajak dapat membetulkan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. --[P3] |
(2)
|
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permohonan pembetulan diterima, harus memberi keputusan atas permohonan pembetulan yang diajukan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). --[P3] |
(3)
|
Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah lewat, tetapi Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan pembetulan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan. --[P3] |
(4)
|
Apabila diminta oleh Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis mengenai hal-hal yang menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1). --[P3] |
Apabila ditemukan kesalahan atau kekeliruan baik oleh fiskus maupun berdasarkan permohonan Wajib Pajak, kesalahan atau kekeliruan tersebut harus dibetulkan. Yang dapat dibetulkan karena kesalahan atau kekeliruan adalah sebagai berikut:
a.
|
surat ketetapan pajak, yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; |
b.
|
Surat Tagihan Pajak;
|
c.
|
Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak;
|
d.
|
Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga;
|
e.
|
Surat Keputusan Pembetulan;
|
f.
|
Surat Keputusan Keberatan;
|
g.
|
Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi;
|
h.
|
Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi;
|
i.
|
Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak; atau
|
j.
|
Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak.
|
a.
|
kesalahan tulis, antara lain kesalahan yang dapat berupa nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, nomor surat ketetapan pajak, jenis pajak, Masa Pajak atau Tahun Pajak, dan tanggal jatuh tempo;
|
b.
|
kesalahan hitung, antara lain kesalahan yang berasal dari penjumlahan dan/atau pengurangan dan/atau perkalian dan/atau pembagian suatu bilangan; atau
|
c.
|
kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan, yaitu kekeliruan dalam penerapan tarif, kekeliruan penerapan persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto, kekeliruan penerapan sanksi administrasi, kekeliruan Penghasilan Tidak Kena Pajak, kekeliruan penghitungan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan, dan kekeliruan dalam pengkreditan pajak.
|
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang. --[P3] |
(2)
|
Berdasarkan permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak, setelah meneliti kebenaran pembayaran pajak, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila terdapat pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. --[P3] |
(3)
|
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar masih dapat diterbitkan lagi apabila berdasarkan hasil pemeriksaan dan/atau data baru ternyata pajak yang lebih dibayar jumlahnya lebih besar daripada kelebihan pembayaran pajak yang telah ditetapkan. --[P3] |
a.
|
Pajak Penghasilan apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang; |
b.
|
Pajak Pertambahan Nilai apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang. Jika terdapat pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, jumlah pajak yang terutang dihitung dengan cara jumlah Pajak Keluaran dikurangi dengan pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tersebut; atau |
c.
|
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah apabila jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang.
|
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Nihil apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada pembayaran pajak. --[P3]
|
(2)
|
Tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Nihil diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. --[P3] |
a.
|
Pajak Penghasilan apabila jumlah kredit pajak sama dengan pajak yang terutang atau pajak yang tidak terutang dan tidak ada kredit pajak; |
b. | Pajak Pertambahan Nilai apabila jumlah kredit pajak sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. Jika terdapat pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, jumlah pajak yang terutang dihitung dengan cara jumlah Pajak Keluaran dikurangi dengan pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tersebut; atau |
c. | Pajak Penjualan Atas Barang Mewah apabila jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan tidak ada pembayaran pajak. |
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, selain permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D, harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap. --[P3]
|
|
(1a)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap Wajib Pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. --[P3] | |
(2) | Apabila setelah melampaui jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar harus diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu tersebut berakhir. --[P3] | |
(3) | Apabila Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar terlambat diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar. --[P7] | |
(4) | Apabila pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1a): | |
a. | tidak dilanjutkan dengan penyidikan; | |
b. | dilanjutkan dengan penyidikan, tetapi tidak dilanjutkan dengan penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan; atau | |
c. | dilanjutkan dengan penyidikan dan penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan, tetapi diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, --[P7] | |
dan dalam hal kepada Wajib Pajak diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar. --[P5] | ||
(5) | Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak diberikan dalam hal pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan: --[P7] | |
a. | tidak dilanjutkan dengan penyidikan karena Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3); atau | |
b. | dilanjutkan dengan penyidikan, tetapi tidak dilanjutkan dengan penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan karena dilakukan penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B. --[P5] | |
(6) | Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diberikan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. --[P5] | |
(7) | Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dihitung berdasarkan suku bunga acuan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga. --[P5] |
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai. --[P3] | |
(2) | Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: | |
a. | tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan; | |
b. | tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak; | |
c. | Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut; dan | |
d. | tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir. --[P3] | |
(3) | Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. --[P3] | |
(4) | Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan menerbitkan surat ketetapan pajak, setelah melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak. --[P3] | |
(5) | Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah kekurangan pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pembayaran pajak. --[P3] | |
(6) | Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak apabila: | |
a. | terhadap Wajib Pajak tersebut dilakukan tindakan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan; | |
b. | terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu jenis pajak tertentu 2 (dua) Masa Pajak berturut-turut; | |
c. | terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa untuk suatu jenis pajak tertentu 3 (tiga) Masa Pajak dalam 1 (satu) tahun kalender; atau | |
d. | terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan. --[P3] | |
(7) | Tata cara penetapan Wajib Pajak dengan kriteria tertentu diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. --[P3] |
a.
|
3 (tiga) bulan untuk Pajak Penghasilan;
|
b.
|
1 (satu) bulan untuk Pajak Pertambahan Nilai
|
a.
|
tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan dalam 3 (tiga) tahun terakhir; |
b.
|
dalam Tahun Pajak terakhir, penyampaian Surat Pemberitahuan Masa untuk Masa Pajak Januari sampai dengan November yang terlambat tidak lebih dari 3 (tiga) Masa Pajak untuk setiap jenis pajak dan tidak berturut-turut; dan |
c.
|
Surat Pemberitahuan Masa yang terlambat sebagaimana dimaksud dalam huruf b telah disampaikan tidak lewat dari batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Masa Pajak berikutnya.
|
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu, menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan, dan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai. --[P3] | |
(2)
|
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak adalah: | |
|
a.
|
Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas; |
|
b.
|
Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu; |
|
c.
|
Wajib Pajak badan dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu; atau |
|
d.
|
Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan jumlah penyerahan dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu. --[P3] |
(3)
|
Batasan jumlah peredaran usaha, jumlah penyerahan, dan jumlah lebih bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. --[P3] | |
(4)
|
Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menerbitkan surat ketetapan pajak setelah melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak. --[P3] | |
(5)
|
Jika berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah pajak yang kurang dibayar ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen). --[P3] |
Orang pribadi yang bukan subjek pajak dalam negeri yang melakukan pembelian Barang Kena Pajak di dalam daerah pabean yang tidak dikonsumsi di daerah pabean dapat diberikan pengembalian Pajak Pertambahan Nilai yang telah dibayar, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. --[P3]
|
PENAGIHAN PAJAK
(1)
|
Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, merupakan dasar penagihan pajak. --[P3]
|
(2)
|
Dihapus. --[P3]
|
(1)
|
Apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, pada saat jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar, atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar itu dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan untuk seluruh masa, yang dihitung sejak berakhirnya tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pembayaran atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. --[P7]
|
|||||||||
(2)
|
Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak juga dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dari jumlah pajak yang masih harus dibayar dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. --[P5]
|
|||||||||
(3)
|
Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan menunda penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan dan ternyata penghitungan sementara pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) kurang dari jumlah pajak yang sebenarnya terutang atas kekurangan pembayaran pajak tersebut, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang dihitung sejak berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b dan huruf c sampai dengan tanggal dibayarnya kekurangan pembayaran tersebut dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. --[P7]
|
|||||||||
(4)
|
Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dihitung berdasarkan suku bunga acuan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi. --[P5]
|
(1)
|
Atas jumlah pajak yang masih harus dibayar, yang berdasarkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, yang tidak dibayar oleh Penanggung Pajak sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) dilaksanakan penagihan pajak dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. --[P3]
|
|||||||||||
(2)
|
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penagihan seketika dan sekaligus dilakukan apabila:
|
|||||||||||
|
a.
|
Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;
|
||||||||||
|
b.
|
Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;
|
||||||||||
|
c.
|
terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usaha atau menggabungkan atau memekarkan usaha, atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau yang dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya;
|
||||||||||
|
d.
|
badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau
|
||||||||||
|
e.
|
terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan. --[P3]
|
||||||||||
(3)
|
Penagihan pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. --[P3]
|
(1)
|
Menteri Keuangan berwenang melakukan kerja sama untuk pelaksanaan bantuan penagihan pajak dengan negara mitra atau yurisdiksi mitra. --[P6]
|
||||||||||
(2)
|
Pelaksanaan bantuan penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak, yang meliputi pemberian bantuan penagihan pajak dan permintaan bantuan penagihan pajak kepada negara mitra atau yurisdiksi mitra. --[P6]
|
||||||||||
(3)
|
Pemberian bantuan penagihan pajak dan permintaan bantuan penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan perjanjian internasional secara resiprokal. --[P6]
|
||||||||||
(4)
|
Negara mitra atau yurisdiksi mitra sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan negara atau yurisdiksi yang terikat dengan Pemerintah Indonesia dalam perjanjian internasional. --[P6]
|
||||||||||
(5)
|
Perjanjian internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan perjanjian bilateral atau multilateral yang mengatur kerja sama mengenai hal yang berkaitan dengan bantuan penagihan pajak, meliputi:
|
||||||||||
|
a.
|
persetujuan penghindaran pajak berganda;
|
|||||||||
|
b.
|
konvensi tentang bantuan administratif bersama di bidang perpajakan; atau
|
|||||||||
|
c.
|
perjanjian bilateral atau multilateral lainnya. --[P6]
|
|||||||||
(6)
|
Bantuan penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan setelah diterima klaim pajak dari negara mitra atau yurisdiksi mitra. --[P6]
|
||||||||||
(7)
|
Klaim pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) merupakan instrumen legal dari negara mitra atau yurisdiksi mitra yang paling sedikit memuat:
|
||||||||||
|
a.
|
nilai klaim pajak yang dimintakan bantuan penagihan; dan
|
|||||||||
|
b.
|
identitas penanggung pajak atas klaim pajak. --[P6]
|
|||||||||
(8)
|
Klaim pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (7) merupakan dasar penagihan pajak yang dilaksanakan penagihan pajak dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku mutatis mutandis dengan ketentuan penagihan pajak yang berlaku di negara mitra atau yurisdiksi mitra. --[P6]
|
||||||||||
(9)
|
Hasil penagihan pajak atas klaim pajak dari negara mitra atau yurisdiksi mitra ditampung dalam rekening pemerintah lainnya sebelum dikirimkan ke negara mitra atau yurisdiksi mitra. --[P6]
|
(1)
|
Negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik Penanggung Pajak. --[P3]
|
||||||||
(2)
|
Ketentuan tentang hak mendahulu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak. --[P3]
|
||||||||
(3)
|
Hak mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap:
|
||||||||
|
a.
|
biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak;
|
|||||||
|
b.
|
biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud; dan/atau
|
|||||||
|
c.
|
biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan. --[P3]
|
|||||||
(3a)
|
Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi maka kurator, likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang membagikan harta Wajib Pajak dalam pailit, pembubaran atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditur lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak Wajib Pajak tersebut. --[P3]
|
||||||||
(4)
|
Hak mendahulu hilang setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal diterbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah. --[P3]
|
||||||||
(5)
|
Perhitungan jangka waktu hak mendahulu ditetapkan sebagai berikut:
|
||||||||
|
a.
|
dalam hal Surat Paksa untuk membayar diberitahukan secara resmi maka jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dihitung sejak pemberitahuan Surat Paksa; atau
|
|||||||
|
b.
|
dalam hal diberikan penundaan pembayaran atau persetujuan angsuran pembayaran maka jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut dihitung sejak batas akhir penundaan diberikan. --[P3]
|
(1)
|
Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali. --[P3]
|
|||||||||
(2)
|
Daluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila:
|
|||||||||
|
a.
|
diterbitkan Surat Paksa;
|
||||||||
|
b.
|
ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung;
|
||||||||
|
c.
|
diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5), atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4); atau
|
||||||||
|
d.
|
dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. --[P3]
|
a.
|
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan dan memberitahukan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak yang tidak melakukan pembayaran utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran. Dalam hal seperti itu, daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal pemberitahuan Surat Paksa tersebut.
|
b.
|
Wajib Pajak menyatakan pengakuan utang pajak dengan cara mengajukan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran utang pajak sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran. Dalam hal seperti itu, daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal surat permohonan angsuran atau penundaan pembayaran utang pajak diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.
|
c.
|
Terdapat Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang diterbitkan terhadap Wajib Pajak karena Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dan tindak pidana lain yang dapat merugikan pendapatan negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam hal seperti itu, daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak tersebut.
|
d.
|
Terhadap Wajib Pajak dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Perintah Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
|
(1)
|
Dihapus. --[P3]
|
||||||||||
(2)
|
Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap:
|
||||||||||
|
a.
|
pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;
|
|||||||||
|
b.
|
keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;
|
|||||||||
|
c.
|
keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau
|
|||||||||
|
d.
|
penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
|
|||||||||
|
hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak. --[P3]
|
||||||||||
(3)
|
Dihapus. --[P3]
|
Tata cara penghapusan piutang pajak dan penetapan besarnya penghapusan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. --[P3]
|
KEBERATAN DAN BANDING
(1)
|
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu:
|
||||||||||
|
a.
|
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
|
|||||||||
|
b.
|
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
|
|||||||||
|
c.
|
Surat Ketetapan Pajak Nihil;
|
|||||||||
|
d.
|
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
|
|||||||||
|
e.
|
pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. --[P3]
|
|||||||||
(2)
|
Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan yang menjadi dasar penghitungan. --[P3]
|
||||||||||
(3)
|
Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. --[P3]
|
||||||||||
(3a)
|
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak, Wajib Pajak wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan. --[P3]
|
||||||||||
(4)
|
Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (3a) bukan merupakan surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.
|
||||||||||
(5)
|
Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk menerima surat keberatan atau tanda pengiriman surat keberatan melalui pos dengan bukti pengiriman surat, atau melalui cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan menjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan. --[P3]
|
||||||||||
(6)
|
Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi, atau pemotongan atau pemungutan pajak. --[P3]
|
||||||||||
(7)
|
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan. --[P3]
|
||||||||||
(8)
|
Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak termasuk sebagai utang pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a). --[P3]
|
||||||||||
(9)
|
Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. --[P6]
|
||||||||||
(10)
|
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak dikenakan. --[P6]
|
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan. --[P3]
|
|||||||||
(2)
|
Sebelum surat keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis. --[P3]
|
|||||||||
(3)
|
Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar. --[P3]
|
|||||||||
(4)
|
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b dan huruf d, Wajib Pajak yang bersangkutan harus dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut. --[P3]
|
|||||||||
(5)
|
Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan. --[P3]
|
(1)
|
Tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. --[P3]
|
||
(2)
|
Tata cara pengajuan dan penyelesaian keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain, mengatur tentang pemberian hak kepada Wajib Pajak untuk hadir memberikan keterangan atau memperoleh penjelasan mengenai keberatannya. --[P3]
|
||
(3)
|
Apabila Wajib Pajak tidak menggunakan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), proses keberatan tetap dapat diselesaikan. --[P3]
|
||
(4)
|
Wajib Pajak yang mengungkapkan pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dalam proses keberatan yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan, selain data dan informasi yang pada saat pemeriksaan belum diperoleh Wajib Pajak dari pihak ketiga, pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dimaksud tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatannya. --[P3]
|
(1)
|
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1). --[P3]
|
||||||||
(2)
|
Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di lingkungan peradilan tata usaha negara. --[P3]
|
||||||||
(3)
|
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas paling lama 3 (tiga) bulan sejak Surat Keputusan Keberatan diterima dan dilampiri dengan salinan Surat Keputusan Keberatan tersebut. --[P3]
|
||||||||
(4)
|
Dihapus. --[P3]
|
||||||||
(4a)
|
Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan permohonan banding, Direktur Jenderal Pajak harus memberikan keterangan secara tertulis hal yang menjadi dasar Surat Keputusan Keberatan yang diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak permintaan tertulis diterima oleh Direktur Jenderal Pajak. --[P6]
|
||||||||
(5)
|
Dihapus. --[P3]
|
||||||||
(5a)
|
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), ayat (3a), atau Pasal 25 ayat (7), atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding. --[P3]
|
||||||||
(5b)
|
Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5a) tidak termasuk sebagai utang pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a). --[P3]
|
||||||||
(5c)
|
Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan banding tidak termasuk sebagai utang pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a) sampai dengan Putusan Banding diterbitkan. --[P6]
|
||||||||
(5d)
|
Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. --[P6]
|
||||||||
(5e)
|
Dalam hal Wajib Pajak atau Direktur Jenderal Pajak mengajukan permohonan peninjauan kembali, pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak tidak ditangguhkan atau dihentikan. --[P6]
|
||||||||
(5f)
|
Dalam hal Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. --[P6]
|
||||||||
(5g)
|
Surat Tagihan Pajak atas sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5f) diterbitkan paling lama 2 (dua) tahun sejak tanggal diterima Putusan Peninjauan Kembali oleh Direktur Jenderal Pajak. --[P6]
|
||||||||
(6)
|
Badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dalam Pasal 23 ayat (2) diatur dengan undang-undang. --[P3]
|
Dihapus. --[P5]
|
(1)
|
Wajib Pajak diberikan imbalan bunga dalam hal pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali yang dikabulkan sebagian atau seluruhnya sehingga menyebabkan kelebihan pembayaran pajak. --[P5]
|
|||||||||
(2)
|
Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan terhadap kelebihan pembayaran pajak paling banyak sebesar jumlah lebih bayar yang disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar yang telah diterbitkan:
|
|||||||||
|
a.
|
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
|
||||||||
|
b.
|
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
|
||||||||
|
c.
|
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
|
||||||||
|
d.
|
Surat Ketetapan Pajak Nihil. --[P5]
|
||||||||
(3)
|
Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam hal permohonan pembetulan, permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak, atau permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang dikabulkan sebagian atau seluruhnya sehingga menyebabkan kelebihan pembayaran pajak. --[P7]
|
|||||||||
(4)
|
Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diberikan:
|
|||||||||
|
a.
|
berdasarkan tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan suku bunga acuan dibagi 12 (dua belas); dan
|
||||||||
|
b.
|
diberikan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. --[P5]
|
||||||||
(5)
|
Tarif bunga per bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang digunakan sebagai dasar penghitungan imbalan bunga adalah tarif bunga per bulan yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga. --[P5]
|
|||||||||
(6)
|
Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, atau Surat Ketetapan Pajak Nihil sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali. --[P5]
|
|||||||||
(7)
|
Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung:
|
|||||||||
|
a.
|
sejak tanggal pembayaran Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak; --[P7]
|
||||||||
|
b.
|
sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Nihil sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak; atau --[P7]
|
||||||||
|
c.
|
sejak tanggal pembayaran Surat Tagihan Pajak sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak. --[P7]
|
||||||||
(8)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian imbalan bunga diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. --[P5]
|
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak berwenang melaksanakan prosedur persetujuan bersama untuk mencegah atau menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan persetujuan penghindaran pajak berganda. --[P6]
|
|||||||||
(2)
|
Prosedur persetujuan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh:
|
|||||||||
|
a.
|
Wajib Pajak dalam negeri;
|
||||||||
|
b.
|
Direktur Jenderal Pajak;
|
||||||||
|
c.
|
pejabat berwenang negara mitra atau yurisdiksi mitra persetujuan penghindaran pajak berganda; atau
|
||||||||
|
d.
|
warga negara Indonesia melalui Direktur Jenderal Pajak terkait perlakuan diskriminatif di negara mitra atau yurisdiksi mitra persetujuan penghindaran pajak berganda yang bertentangan dengan ketentuan mengenai nondiskriminasi,
|
||||||||
|
sesuai dengan ketentuan dan batas waktu sebagaimana diatur dalam persetujuan penghindaran pajak berganda.
|
|||||||||
(3)
|
Permintaan pelaksanaan prosedur persetujuan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c dapat diajukan bersamaan dengan permohonan Wajib Pajak dalam negeri untuk mengajukan:
|
|||||||||
|
a.
|
keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25;
|
||||||||
|
b.
|
permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27; atau
|
||||||||
|
c.
|
pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b. --[P6]
|
||||||||
(4)
|
Dalam hal pelaksanaan prosedur persetujuan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b belum menghasilkan persetujuan bersama sampai dengan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali diucapkan, Direktur Jenderal Pajak:
|
|||||||||
|
a.
|
melanjutkan perundingan, dalam hal materi sengketa yang diputus dalam Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali bukan merupakan materi yang diajukan prosedur persetujuan bersama; atau
|
||||||||
|
b.
|
menggunakan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali sebagai posisi dalam perundingan atau menghentikan perundingan, dalam hal materi sengketa yang diputus merupakan materi yang diajukan prosedur persetujuan bersama. --[P6]
|
||||||||
(5)
|
Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti hasil pelaksanaan prosedur persetujuan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan menerbitkan surat keputusan tentang persetujuan bersama. --[P6]
|
|||||||||
(6)
|
Surat keputusan tentang persetujuan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (5) termasuk dasar pengembalian pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1a) atau dasar penagihan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. --[P6]
|
PEMBUKUAN DAN PEMERIKSAAN
(1)
|
Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan. --[P3]
|
||||||||
(2)
|
Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tetapi wajib melakukan pencatatan, adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. --[P3]
|
||||||||
(3)
|
Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya. --[P3]
|
||||||||
(4)
|
Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan. --[P3]
|
||||||||
(5)
|
Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas. --[P3]
|
||||||||
(6)
|
Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak. --[P3]
|
||||||||
(7)
|
Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang. --[P3]
|
||||||||
(8)
|
Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat izin Menteri Keuangan. --[P3]
|
||||||||
(9)
|
Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang dikenai pajak yang bersifat final. --[P3]
|
||||||||
(10)
|
Dihapus. --[P3]
|
||||||||
(11)
|
Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi on-line wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak badan. --[P3]
|
||||||||
(12)
|
Bentuk dan tata cara pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. --[P3]
|
a.
|
stelsel pengakuan penghasilan;
|
b.
|
tahun buku;
|
c.
|
metode penilaian persediaan; atau
|
d.
|
metode penyusutan dan amortisasi.
|
1)
|
Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus meliputi seluruh penjualan, baik yang tunai maupun yang bukan. Dalam menghitung harga pokok penjualan harus diperhitungkan seluruh pembelian dan persediaan.
|
2)
|
Dalam memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak-hak yang dapat diamortisasi, biaya-biaya yang dikurangkan dari penghasilan hanya dapat dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi.
|
3)
|
Pemakaian stelsel kas harus dilakukan secara taat asas (konsisten).
|
a.
|
Tahun buku 1 Juli 2008 sampai dengan 30 Juni 2009 adalah Tahun Pajak 2008.
|
b.
|
Tahun buku 1 Oktober 2008 sampai dengan 30 September 2009 adalah Tahun Pajak 2009.
|
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. --[P3]
|
|||||||||
(2)
|
Untuk keperluan pemeriksaan, petugas pemeriksa harus memiliki tanda pengenal pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan serta memperlihatkannya kepada Wajib Pajak yang diperiksa. --[P3]
|
|||||||||
(3)
|
Wajib Pajak yang diperiksa wajib:
|
|||||||||
|
a.
|
memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
|
||||||||
|
b.
|
memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan; dan/atau
|
||||||||
|
c.
|
memberikan keterangan lain yang diperlukan. --[P3]
|
||||||||
(3a)
|
Buku, catatan, dan dokumen, serta data, informasi, dan keterangan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dipenuhi oleh Wajib Pajak paling lama 1 (satu) bulan sejak permintaan disampaikan. --[P3]
|
|||||||||
(3b)
|
Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sehingga tidak dapat dihitung besarnya penghasilan kena pajak, penghasilan kena pajak tersebut dapat dihitung secara jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. --[P3]
|
|||||||||
(4)
|
Apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta keterangan yang diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakannya, maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1). --[P3] |
a.
|
menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak; dan/atau
|
b.
|
tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
a.
|
pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan;
|
b.
|
penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak;
|
c.
|
pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
|
d.
|
Wajib Pajak mengajukan keberatan;
|
e.
|
pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto;
|
f.
|
pencocokan data dan/atau alat keterangan;
|
g.
|
penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil;
|
h.
|
penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai;
|
i.
|
pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;
|
j.
|
penentuan saat mulai berproduksi sehubungan dengan fasilitas perpajakan; dan/atau
|
k.
|
pemenuhan permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda.
|
a.
|
surat pernyataan tidak diaudit oleh Kantor Akuntan Publik;
|
b.
|
keterangan bahwa fotokopi dokumen yang dipinjamkan sesuai dengan aslinya;
|
c.
|
surat pernyataan tentang kepemilikan harta; atau
|
d.
|
surat pernyataan tentang perkiraan biaya hidup.
|
a.
|
wawancara tentang proses pembukuan Wajib Pajak;
|
b.
|
wawancara tentang proses produksi Wajib Pajak; atau
|
c.
|
wawancara dengan manajemen tentang transaksi-transaksi yang bersifat khusus.
|
Terhadap Wajib Pajak badan yang pernyataan pendaftaran emisi sahamnya telah dinyatakan efektif oleh badan pengawas pasar modal dan menyampaikan Surat Pemberitahuan dengan dilampiri Laporan Keuangan yang telah diaudit oleh Akuntan Publik dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian yang:
|
|
a.
|
Surat Pemberitahuan Tahunan Wajib Pajak menyatakan lebih bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B; atau
|
b.
|
terpilih untuk diperiksa berdasarkan analisis risiko
|
dapat dilakukan pemeriksaan melalui Pemeriksaan Kantor. --[P3]
|
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan penyegelan tempat atau ruangan tertentu serta barang bergerak dan/atau tidak bergerak apabila Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) huruf b. --[P3]
|
||||||||
(2)
|
Tata cara penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. --[P3]
|
(1)
|
Tata cara pemeriksaan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. --[P3]
|
||||||||
(2)
|
Tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di antaranya mengatur tentang pemeriksaan ulang, jangka waktu pemeriksaan, kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak, dan hak Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan. --[P3]
|
||||||||
(3)
|
Apabila dalam pelaksanaan pemeriksaan Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) sehingga penghitungan penghasilan kena pajak dilakukan secara jabatan, Direktur Jenderal Pajak wajib menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada Wajib Pajak dan memberikan hak kepada Wajib Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang ditentukan. --[P3]
|
KETENTUAN KHUSUS
(1)
|
Dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak diwakili dalam hal:
|
|||||||||
|
a.
|
badan oleh pengurus;
|
||||||||
|
b.
|
badan yang dinyatakan pailit oleh kurator;
|
||||||||
|
c.
|
badan dalam pembubaran oleh orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan;
|
||||||||
|
d.
|
badan dalam likuidasi oleh likuidator;
|
||||||||
|
e.
|
suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya; atau
|
||||||||
|
f.
|
anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau pengampunya. --[P3]
|
||||||||
(2)
|
Wakil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggungjawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut. --[P3]
|
|||||||||
(3)
|
Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. --[P3]
|
|||||||||
(3a)
|
Seorang kuasa yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus mempunyai kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan, kecuali kuasa yang ditunjuk merupakan suami, istri, atau keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua. --[P6]
|
|||||||||
(4)
|
Termasuk dalam pengertian pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan. --[P3]
|
(1)
|
Menteri Keuangan menunjuk pihak lain untuk melakukan pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. --[P6]
|
|||||||||
(2)
|
Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pihak yang terlibat langsung atau memfasilitasi transaksi antarpihak yang bertransaksi. --[P6]
|
|||||||||
(3)
|
Penetapan, penagihan, upaya hukum, dan pengenaan sanksi terhadap Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan berlaku secara mutatis mutandis terhadap pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2). --[P6]
|
|||||||||
(4)
|
Dalam hal pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan penyelenggara sistem elektronik, selain dikenai sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), terhadap penyelenggara sistem elektronik dimaksud dapat dikenai sanksi berupa pemutusan akses setelah diberikan teguran. --[P6]
|
|||||||||
(5)
|
Dalam hal pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah melakukan pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan setelah diberikan teguran, terhadap pihak lain tidak dikenai sanksi pemutusan akses. --[P6]
|
|||||||||
(6)
|
Dalam hal pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah melakukan pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan setelah dilakukan pemutusan akses, terhadap pihak lain dilakukan normalisasi akses kembali. --[P6]
|
|||||||||
(7)
|
Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika berwenang melakukan pemutusan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan melakukan normalisasi akses sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berdasarkan permintaan Menteri Keuangan. --[P6]
|
Dihapus. --[P3]
|
Dihapus.
(1)
|
Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. --[P3]
|
||
(2)
|
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. --[P3]
|
||
(2a)
|
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
|
||
|
a.
|
pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan; atau
|
|
|
b.
|
pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan Menteri Keuangan untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara. --[P3]
|
|
(3)
|
Demi kepentingan negara, dalam rangka penyidikan, penuntutan, atau dalam rangka mengadakan kerja sama dengan lembaga negara, instansi pemerintah, badan hukum yang dibentuk melalui Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah, atau pihak lain, Menteri Keuangan berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk. --[P6]
|
||
(4)
|
Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan Hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata, Menteri Keuangan dapat memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya. --[P3]
|
||
(5)
|
Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta. --[P3]
|
a.
|
Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan lain-lain yang dilaporkan oleh Wajib Pajak;
|
b.
|
data yang diperoleh dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan;
|
c.
|
dokumen dan/atau data yang diperoleh dari pihak ketiga yang bersifat rahasia;
|
d.
|
dokumen dan/atau rahasia Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkenaan.
|
1.
|
nama Wajib Pajak;
|
2.
|
Nomor Pokok Wajib Pajak;
|
3.
|
alamat Wajib Pajak;
|
4.
|
alamat kegiatan usaha;
|
5.
|
merek usaha; dan/atau
|
6.
|
kegiatan usaha Wajib Pajak.
|
a.
|
penerimaan pajak secara nasional;
|
b.
|
penerimaan pajak per Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan/atau per Kantor Pelayanan Pajak;
|
c.
|
penerimaan pajak per jenis pajak;
|
d.
|
penerimaan pajak per klasifikasi lapangan usaha;
|
e.
|
jumlah Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak terdaftar;
|
f.
|
register permohonan Wajib Pajak;
|
g.
|
tunggakan pajak secara nasional; dan/atau
|
h.
|
tunggakan pajak per Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan/atau per Kantor Pelayanan Pajak.
|
(1)
|
Apabila dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperlukan keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan/atau pihak ketiga lainnya, yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan pajak, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, atas permintaan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak, pihak-pihak tersebut wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta. --[P3]
|
|||||||||
(2)
|
Dalam hal pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terikat oleh kewajiban merahasiakan, untuk keperluan pemeriksaan, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, kewajiban merahasiakan tersebut ditiadakan, kecuali untuk bank, kewajiban merahasiakan ditiadakan atas permintaan tertulis dari Menteri Keuangan. --[P3]
|
|||||||||
(3)
|
Tata cara permintaan keterangan atau bukti dari pihak-pihak yang terikat oleh kewajiban merahasiakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. --[P3]
|
(1)
|
Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2). --[P3]
|
|||||||||
(2)
|
Dalam hal data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi, Direktur Jenderal Pajak berwenang menghimpun data dan informasi untuk kepentingan penerimaan negara yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2). --[P3]
|
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat:
|
||||||||||
|
a.
|
mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
|
|||||||||
|
b.
|
mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar;
|
|||||||||
|
c.
|
mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 yang tidak benar; atau
|
|||||||||
|
d.
|
membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
|
|||||||||
|
|
1.
|
penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau
|
||||||||
|
|
2.
|
pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak. --[P3]
|
||||||||
(1a)
|
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c hanya dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 2 (dua) kali. --[P3]
|
||||||||||
(1b)
|
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d hanya dapat diajukan oleh Wajib Pajak 1 (satu) kali. --[P3]
|
||||||||||
(1c)
|
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima, harus memberi keputusan atas permohonan yang diajukan. --[P3]
|
||||||||||
(1d)
|
Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1c) telah lewat tetapi Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap dikabulkan. --[P3]
|
||||||||||
(1e)
|
Apabila diminta oleh Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1c). --[P3]
|
||||||||||
(2)
|
Ketentuan pelaksanaan ayat (1), ayat (1a), ayat (1b), ayat (1c), ayat (1d), dan ayat (1e) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. --[P3]
|
(1)
|
Pegawai pajak yang karena kelalaiannya atau dengan sengaja menghitung atau menetapkan pajak tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
--[P3] |
|||||||||
(2)
|
Pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya dengan sengaja bertindak di luar kewenangannya yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dapat diadukan ke unit internal Departemen Keuangan yang berwenang melakukan pemeriksaan dan investigasi dan apabila terbukti melakukannya dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. --[P3]
|
|||||||||
(3)
|
Pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya terbukti melakukan pemerasan dan pengancaman kepada Wajib Pajak untuk menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. --[P3]
|
|||||||||
(4)
|
Pegawai pajak yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan perubahannya. --[P3]
|
|||||||||
(5)
|
Pegawai pajak tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, apabila dalam melaksanakan tugasnya didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. --[P3]
|
(1)
|
Menteri Keuangan berkewajiban untuk membuat kode etik pegawai Direktorat Jenderal Pajak. --[P3]
|
|||||||||
(2)
|
Pegawai Direktorat Jenderal Pajak wajib mematuhi kode etik pegawai Direktorat Jenderal Pajak. --[P3]
|
|||||||||
(3)
|
Pengawasan pelaksanaan dan penampungan pengaduan pelanggaran kode etik pegawai Direktorat Jenderal Pajak dilaksanakan oleh Komite Kode Etik yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
--[P3] |
Menteri Keuangan membentuk komite pengawas perpajakan, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. --[P3]
|
(1)
|
Direktorat Jenderal Pajak dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu. --[P3]
|
(2)
|
Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. --[P3]
|
(3)
|
Tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. --[P3]
|
Perubahan besarnya imbalan bunga dan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan, diatur dengan Peraturan Pemerintah. --[P2]
|
(1)
|
Wajib Pajak yang menyampaikan pembetulan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebelum Tahun Pajak 2007, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar dan dilakukan paling lambat tanggal 28 Pebruari 2009, dapat diberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi berupa bunga atas keterlambatan pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. --[P4]
|
(2)
|
Wajib Pajak orang pribadi yang secara sukarela mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak paling lama 1 (satu) tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini diberikan penghapusan sanksi administrasi atas pajak yang tidak atau kurang dibayar untuk Tahun Pajak sebelum diperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak dan tidak dilakukan pemeriksaan pajak, kecuali terdapat data atau keterangan yang menyatakan bahwa Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak tidak benar atau menyatakan lebih bayar. --[P3]
|
KETENTUAN PIDANA
Setiap orang yang karena kealpaannya:
|
|
a.
|
tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
|
b.
|
menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar,
|
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana denda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun. --[P7]
|
(1)
|
Setiap orang yang dengan sengaja:
|
|
|
a.
|
tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
|
|
b.
|
menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
|
|
c.
|
tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
|
|
d.
|
menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap;
|
|
e.
|
menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;
|
|
f.
|
memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya;
|
|
g.
|
tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;
|
|
h.
|
tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi on-line di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (11); atau
|
|
i.
|
tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. --[P3]
|
(2)
|
Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan. --[P3]
|
|
(3)
|
Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan. --[P3]
|
Setiap orang yang dengan sengaja:
|
|
a.
|
menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; atau
|
b.
|
menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak,
|
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak. --[P3]
|
Tindak pidana di bidang perpajakan tidak dapat dilakukan penuntutan setelah lampau waktu 10 (sepuluh) tahun sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, berakhirnya Bagian Tahun Pajak, atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan. --[P6]
|
(1)
|
Pejabat yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban merahasiakan hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah). --[P3]
|
(2)
|
Pejabat yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya atau seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). --[P3]
|
(3)
|
Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar. --[P3]
|
Setiap orang yang wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah). --[P3]
|
Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah). --[P3]
|
(1)
|
Setiap orang yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). --[P3]
|
(2)
|
Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban pejabat dan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). --[P3]
|
(3)
|
Setiap orang yang dengan sengaja tidak memberikan data dan informasi yang diminta oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). --[P3]
|
(4)
|
Setiap orang yang dengan sengaja menyalahgunakan data dan informasi perpajakan sehingga menimbulkan kerugian kepada negara dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). --[P3]
|
Dihapus. --[P1]
|
(1)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A, berlaku juga bagi wakil, kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan. --[P3]
|
(2)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A dan Pasal 41B berlaku juga bagi yang menyuruh melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan. --[P3]
|
PENYIDIKAN
(1) | Direktur Jenderal Pajak berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan berwenang melakukan pemeriksaan bukti permulaan sebelum dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. --[P3] |
(1a) | Pemeriksaan Bukti Permulaan dilaksanakan oleh Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang menerima surat perintah pemeriksaan bukti permulaan. --[P6] |
(2) | Dalam hal terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan yang menyangkut petugas Direktorat Jenderal Pajak, Menteri Keuangan dapat menugasi unit pemeriksa internal di lingkungan Kementerian Keuangan untuk melakukan pemeriksaan bukti permulaan. --[P6] |
(3) | Apabila dari bukti permulaan ditemukan unsur tindak pidana korupsi, pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang tersangkut wajib diproses menurut ketentuan hukum Tindak Pidana Korupsi. --[P3] |
(4) | Tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. --[P3] |
(1) | Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan. --[P3] | |
(2) | Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1): | |
a. | menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas; | |
b. | meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan; | |
c. | meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan; | |
d. | memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan; | |
e. | melakukan penggeledahan untuk mendapatkan barang bukti berupa pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta barang bukti lain yang diduga terkait dengan tindak pidana di bidang perpajakan dan/atau melakukan penyitaan terhadap barang bukti tersebut; | |
f. | meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan; | |
g. | menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa; | |
h. | memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan; | |
i. | memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; | |
j. | melakukan pemblokiran harta kekayaan milik tersangka sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau penyitaan harta kekayaan milik tersangka sesuai dengan Undang-Undang yang mengatur mengenai hukum acara pidana, termasuk tetapi tidak terbatas dengan adanya izin ketua pengadilan negeri setempat; | |
k. | menghentikan penyidikan; dan/atau | |
l. | melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan. --[P6] | |
(3) | Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana. --[P6] | |
(4) | Dalam rangka pelaksanaan kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyidik dapat meminta bantuan aparat penegak hukum lain. --[P3] |
1.
|
harus memperoleh izin ketua pengadilan negeri setempat;
|
2.
|
dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak, penyidik dapat melakukan penyitaan dan segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.
|
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) menghentikan Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) huruf k dalam hal:
|
|
a.
|
Wajib Pajak melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3);
|
b.
|
tidak terdapat cukup bukti;
|
c.
|
peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan; atau
|
d.
|
demi hukum. --[P6]
|
(1)
|
Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan. --[P5]
|
|
(2)
|
Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan setelah Wajib Pajak atau tersangka melunasi:
|
|
|
a.
|
kerugian pada pendapatan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 1 (satu) kali jumlah kerugian pada pendapatan negara;
|
|
b.
|
kerugian pada pendapatan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 3 (tiga) kali jumlah kerugian pada pendapatan negara; atau
|
|
c.
|
jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39A ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak. --[P6]
|
(2a)
|
Dalam hal perkara pidana telah dilimpahkan ke pengadilan, terdakwa tetap dapat melunasi:
|
|
|
a.
|
kerugian pada pendapatan negara ditambah dengan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a atau huruf b; atau
|
|
b.
|
jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak ditambah dengan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c. --[P6]
|
(2b)
|
Pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), menjadi pertimbangan untuk dituntut tanpa disertai penjatuhan pidana penjara. --[P6]
|
|
(2c)
|
Dalam hal pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak, tersangka, atau terdakwa pada tahap penyidikan sampai dengan persidangan belum memenuhi jumlah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), atas pembayaran tersebut dapat diperhitungkan sebagai pembayaran pidana denda yang dibebankan kepada terdakwa. --[P6]
|
|
(3)
|
Dihapus. --[P6]
|
1.
|
A harus melunasi sebesar
(Rp15.000.000,00/Rp20.000.000,00) x Rp100.000.000,00 = Rp75.000.000,00 |
2.
|
B harus melunasi sebesar
(Rp5.000.000,00/Rp20.000.000,00) x Rp100.000.000,00 = Rp25.000.000,00 |
(1)
|
Pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A tidak dapat digantikan dengan pidana kurungan dan wajib dibayar oleh terpidana. --[P6]
|
(2)
|
Dalam hal terpidana tidak membayar pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, jaksa melakukan penyitaan dan pelelangan terhadap harta kekayaan terpidana untuk membayar pidana denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. --[P6]
|
(3)
|
Dalam hal setelah dilakukan penelusuran dan penyitaan harta kekayaan, terpidana orang tidak memiliki harta kekayaan yang mencukupi untuk membayar pidana denda, dapat dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi pidana penjara yang diputus. --[P6]
|
(1) | Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara tindak pidana di bidang perpajakan tetap dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadiran terdakwa. --[P6] |
(2) | Dalam hal terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hadir pada sidang sebelum putusan dijatuhkan, terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang. --[P6] |
PENDELEGASIAN KEWENANGAN
(1)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian data dalam rangka integrasi basis data kependudukan dengan basis data perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (10) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. --[P6]
|
|
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai:
|
|
|
a.
|
jangka waktu pendaftaran dan pelaporan serta tata cara pendaftaran dan pengukuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) termasuk penggunaan nomor induk kependudukan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak, penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
|
|
b.
|
pemberian dan permintaan bantuan penagihan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20A ayat (2);
|
|
c.
|
penampungan dan pengiriman hasil penagihan pajak atas klaim pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20A ayat (9);
|
|
d.
|
pelaksanaan prosedur persetujuan bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27C ayat (1);
|
|
e.
|
pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan oleh seorang kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) serta kompetensi tertentu yang harus dimiliki seorang kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3a);
|
|
f.
|
penunjukan, pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan pajak yang telah dipotong atau dipungut oleh pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32A ayat (2);
|
|
g.
|
penetapan, penagihan, dan upaya hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32A ayat (3);
|
|
h.
|
pemberian teguran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32A ayat (4) serta permintaan pemutusan dan normalisasi akses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32A ayat (7); dan
|
|
i.
|
permintaan penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (1) dan pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) dan ayat (2a),
|
|
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. --[P6]
|
KETENTUAN PERALIHAN
Terhadap pajak-pajak yang terutang pada suatu saat, untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang berakhir sebelum saat berlakunya Undang-Undang ini, tetap berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan lama, sampai dengan tanggal 31 Desember 1988.
|
Dengan berlakunya Undang-Undang ini semua peraturan pelaksanaan di bidang perpajakan yang lama tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
|
Dihapus. --[P1]
|
Terhadap semua hak dan kewajiban perpajakan Tahun Pajak 1995 sampai dengan Tahun Pajak 2000, diberlakukan ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 sebelum dilakukan perubahan berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000. --[P2]
|
KETENTUAN PENUTUP
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
|
Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku pula bagi Undang-Undang perpajakan lainnya, kecuali apabila ditentukan lain.
|
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1984.
|