Quick Guide
Hide Quick Guide
    Aktifkan Mode Highlight
    Premium
    File Lampiran
    Peraturan Terkait
    Bagikan
    Tambahkan ke My Favorites
    Download as PDF
    Download Document
    Premium
    Status : Berlaku

    PERATURAN DAERAH KOTA PADANG
    NOMOR 1 TAHUN 2024

     

    TENTANG

    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
    WALI KOTA PADANG,
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Menimbang

    bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
    1.
    Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2.
    Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kota Besar Dalam Lingkungan Daerah Propinsi Sumatera Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 20);
    3.
    Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843);
    4.
    Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
    5.
    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
    6.
    Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1980 tentang Perubahan Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Padang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1980 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3164);
    7.
    Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4502) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 171, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5340);
    8.
    Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6628);
    9.
    Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646);
    10.
    Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pemungutan Pajak Barang dan Jasa Tertentu Atas Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6848);
    11.
    Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Dengan Persetujuan Bersama
    DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA PADANG
    dan
    WALI KOTA PADANG
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    MEMUTUSKAN:

    Menetapkan

    PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB I
    KETENTUAN UMUM
     

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan:
    1.
    Daerah adalah Kota Padang.
    2.
    Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
    3.
    Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
    4.
    Wali Kota adalah Wali Kota Padang.
    5.
    Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
    6.
    Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BUMD adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Daerah.
    7.
    Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disingkat BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
    8.
    Pendapatan Daerah adalah semua hak Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
    9.
    Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan peraturan Daerah.
    10.
    Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disingkat PAD adalah Pendapatan Daerah yang diperoleh dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
    11.
    Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
    12.
    Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atan diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
    13.
    Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak.
    14.
    Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar Pajak, pemotong Pajak, dan pemungut Pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    15.
    Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
    16.
    Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi, termasuk pemungut Retribusi tertentu.
    17.
    Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, BUMD, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
    18.
    Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah Pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan.
    19.
    Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.
    20.
    Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
    21.
    Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, nilai jual objek pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejerıis, atau nilai perolehan baru, atau nilai jual objek pajak pengganti.
    22.
    Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan.
    23.
    Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
    24.
    Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta Bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan Bangunan.
    25.
    Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
    26.
    Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan jasa tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir.
    27.
    Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.
    28.
    Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan Makanan dan/atau Minuman dengan dipungut bayaran.
    29.
    Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
    30.
    Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
    31.
    Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor.
    32.
    Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
    33.
    Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame.
    34.
    Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial, memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
    35.
    Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
    36.
    Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah Pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
    37.
    Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara.
    38.
    Pajak Sarang Burung Walet adalah Pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
    39.
    Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia maxima, collocalia esculanta, dan collocalia linchi.
    40.
    Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
    41.
    Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    42.
    Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    43.
    Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
    44.
    Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NPWPD adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan daerah yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan daerahnya.
    45.
    Nomor Objek Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NOPD adalah nomor identitas objek Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan dengan ketentuan tertentu.
    46.
    Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang selanjutnya disingkat SPOP adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data subjek dan objek PBB-P2 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
    47.
    Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
    48.
    Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
    49.
    Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
    50.
    Bangunan Gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.
    51.
    Persetujuan Bangunan Gedung yang selanjutnya disebut PBG adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik Bangunan Gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat Bangunan Gedung sesuai dengan standar teknis Bangunan Gedung.
    52.
    Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SLF adalah sertifikat yang diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk menyatakan kelaikan fungsi Bangunan Gedung sebelum dapat dimanfaatkan.
    53.
    Surat Bukti Kepemilikan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SBKBG adalah surat tanda bukti hak atas status kepemilikan Bangunan Gedung.
    54.
    Prasarana dan Sarana Bangunan Gedung adalah fasilitas kelengkapan di dalam dan di luar Bangunan Gedung yang mendukung pemenuhan terselenggaranya fungsi Bangunan Gedung.
    55.
    Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan Subjek Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, penentuan besarnya Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang terutang sampai kegiatan Penagihan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah kepada Wajib Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta pengawasan penyetorannya.
    56.
    Penagihan adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan Penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang telah disita.
    57.
    Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan Pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
    58.
    Surat Tagihan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat STRD adalah surat untuk melakukan tagihan Retribusi dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
    59.
    Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja perangkat daerah atau unit satuan kerja perangkat daerah pada satuan kerja perangkat daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 2

    Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ini bertujuan untuk:
    a.
    meningkatkan pendapatan asli Daerah dalam rangka meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat di Daerah;
    b.
    memberikan pedoman bagi aparatur Daerah serta masyarakat dalam melakukan pungutan terhadap Pajak dan Retribusi; dan
    c.
    optimalisasi tata kelola penyelenggaraan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 3

    Ruang lingkup Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah:
    a.
    Pajak;
    b.
    Retribusi;
    c.
    Pemungutan Pajak dan Retribusi; dan
    d.
    pembinaan dan pengawasan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB II
    PAJAK
     
    Bagian Kesatu
    Umum
     

    Pasal 4

    (1)
    Jenis Pajak dipungut oleh Pemerintah Daerah terdiri atas:
     
    a.
    PBB-P2;
     
    b.
    BPHTB;
     
    c.
    PBJT atas:
     
     
    1.
    makanan dan/atau minuman;
     
     
    2.
    tenaga listrik;
     
     
    3.
    jasa perhotelan;
     
     
    4.
    jasa parkir; dan
     
     
    5.
    jasa kesenian dan hiburan;
     
    d.
    Pajak Reklame;
     
    e.
    PAT;
     
    f.
    Pajak MBLB;
     
    g.
    Pajak Sarang Burung Walet;
     
    h.
    Opsen PKB; dan
     
    i.
    Opsen BBNKB.
    (2)
    Pemerintah Daerah dilarang memungut Pajak selain jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 5

    (1)
    Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf d, huruf e, huruf h, dan huruf i merupakan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota.
    (2)
    Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf f, dan huruf g merupakan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak.
    (3)
    Dokumen yang digunakan sebagai dasar Pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
     
    a.
    surat ketetapan Pajak;
     
    b.
    surat pemberitahuan Pajak Terutang; dan/atau
     
    c.
    dokumen lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Dokumen yang digunakan sebagai dasar Pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
     
    a.
    surat pemberitahuan Pajak; dan/atau
     
    b.
    dokumen lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Dokumen surat pemberitahuan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    PBB-P2
     

    Pasal 6

    (1)
    Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
    (2)
    Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.
    (3)
    Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
     
    a.
    Bumi dan/atau Bangunan kantor Pemerintah, kantor Pemerintahan Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
     
    b.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dibidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
     
    c.
    Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
     
    d.
    Bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
     
    e.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
     
    f.
    Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh Badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah bidang keuangan;
     
    g.
    Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis;
     
    h.
    Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Wali Kota; dan
     
    i.
    Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut Pajak bumi dan bangunan oleh Pemerintah Pusat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 7

    (1)
    Subjek Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
    (2)
    Wajib Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 8

    (1)
    Dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP.
    (2)
    NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
    (3)
    NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek Pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.
    (4)
    Besaran NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Wali Kota.
    (5)
    NJOP tidak kena Pajak ditetapkan sebesar Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
    (6)
    Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di Daerah, NJOP tidak kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
    (7)
    NJOP yang digunakan untuk perhitungan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena Pajak.
    (8)
    Besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (7) atas kelompok objek PBB-P2 dilakukan dengan mempertimbangkan:
     
    a.
    kenaikan NJOP hasil penilaian;
     
    b.
    bentuk pemanfaatan objek Pajak; dan/atau
     
    c.
    klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Daerah.
    (9)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
    (10)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali Kota yang berpedoman pada Peraturan Menteri mengenai penilaian PBB-P2.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 9

    (1)
    Tarif PBB-P2 ditetapkan sebesar:
     
    a.
    untuk NJOP sampai dengan Rp.2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah) ditetapkan sebesar 0,2% (nol koma dua persen);
     
    b.
    untuk NJOP diatas Rp.2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah) sampai dengan Rp3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah) ditetapkan sebesar 0,3% (nol koma tiga persen);
     
    c.
    untuk NJOP diatas Rp.3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah) sampai dengan Rp.5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) ditetapkan sebesar 0,4% (nol koma empat persen); dan
     
    d.
    untuk NJOP diatas Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) ditetapkan sebesar 0,5% (nol koma lima persen).
    (2)
    Tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan sebesar 0,1% (nol koma satu persen).
    (3)
    Lahan produksi pangan dan ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Walikota setelah dilakukan pendataan oleh Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian berkoordinasi dengan:
     
    a.
    Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang tata ruang; dan
     
    b.
    Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang Pendapatan Daerah.
    (4)
    Dalam hal pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat
    (3)
    belum dilakukan, lahan produksi pangan dan ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditetapkan oleh Wali Kota dengan Keputusan Wali Kota, dengan mempertimbangkan usulan Wajib Pajak.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan lahan produksi pangan dan ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 10

    Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (7) dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 11

    (1)
    Tahun Pajak PBB-P2 adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender.
    (2)
    Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau Bangunan.
    (3)
    Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan menurut keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
    (4)
    Wilayah Pemungutan PBB-P2 yang terutang merupakan wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2.
    (5)
    Termasuk dalam wilayah Pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan wilayah Daerah tempat Bumi dan/atau Bangunan berikut berada:
     
    a.
    laut pedalaman dan perairan darat serta Bangunan di atasnya; dan
     
    b.
    Bangunan yang berada di luar laut pedalaman dan perairan darat yang konstruksi tekniknya terhubung dengan Bangunan yang berada di daratan, kecuali pipa dan kabel bawah laut.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    BPHTB
     

    Pasal 12

    (1)
    Objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
    (2)
    Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    pemindahan hak karena:
     
     
    1.
    jual beli;
     
     
    2.
    tukar-menukar;
     
     
    3.
    hibah;
     
     
    4.
    hibah wasiat;
     
     
    5.
    waris;
     
     
    6.
    pemasukan dalam perseroan atau Badan hukum lain;
     
     
    7.
    pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
     
     
    8.
    penunjukan pembeli dalam lelang;
     
     
    9.
    pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
     
     
    10.
    penggabungan usaha;
     
     
    11.
    peleburan usaha;
     
     
    12.
    pemekaran usaha; atau
     
     
    13.
    hadiah;
     
    b.
    pemberian hak baru karena:
     
     
    1.
    kelanjutan pelepasan hak; atau
     
     
    2.
    di luar pelepasan hak.
    (3)
    Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    hak milik;
     
    b.
    hak guna usaha;
     
    c.
    hak guna bangunan;
     
    d.
    hak pakai;
     
    e.
    hak milik atas satuan rumah susun; dan
     
    f.
    hak pengelolaan.
    (4)
    Yang dikecualikan dari objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
     
    a.
    untuk kantor Pemerintah, Pemerintahan Daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
     
    b.
    oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
     
    c.
    untuk Badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas Badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur yang diatur dengan Peraturan Menteri;
     
    d.
    untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
     
    e.
    oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
     
    f.
    oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
     
    g.
    oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
     
    h.
    untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf h yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Wali Kota.
    (6)
    Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 13

    (1)
    Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
    (2)
    Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 14

    (1)
    Dasar pengenaan BPHTB adalah nilai perolehan objek Pajak.
    (2)
    Nilai perolehan objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
     
    a.
    harga transaksi untuk jual beli;
     
    b.
    nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau Badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan
     
    c.
    harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
    (3)
    Dalam hal nilai perolehan objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
    (4)
    Dalam menentukan besaran BPHTB terutang, Pemerintah Daerah menetapkan nilai perolehan objek Pajak tidak kena Pajak sebagai pengurang dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar Rp.80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak.
    (5)
    Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, nilai perolehan objek Pajak tidak kena Pajak ditetapkan sebesar Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
    (6)
    Selain perolehan hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud pada ayat (5), untuk hibah wasiat atau waris yang diterima orang pribadi berupa tanah ulayat/kaum ditetapkan nilai perolehan objek Pajak tidak kena Pajak ditetapkan sebesar Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 15

    Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 16

    (1)
    Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) setelah dikurangi nilai perolehan objek Pajak tidak kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
    (2)
    Wilayah Pemungutan BPHTB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat tanah dan/atau bangunan berada.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 17

    (1)
    Saat terutangnya BPHTB ditetapkan:
     
    a.
    pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
     
    b.
    pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, hibah wasiat tertentu pemasukan dalam perseroan atau Badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
     
    c.
    pada tanggal penerima waris, penerima waris tertentu atau yang diberi kuasa oÎeh penerima waris atau penerima waris tertentu mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk waris atau waris tertentu;
     
    d.
    pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
     
    e.
    pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; dan
     
    f.
    pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
    (2)
    Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Pajak Barang dan Jasa Tertentu
     

    Pasal 18

    Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi:
    a.
    Makanan dan/atau Minuman;
    b.
    Tenaga Listrik;
    c.
    Jasa Perhotelan;
    d.
    Jasa Parkir; dan
    e.
    Jasa Kesenian dan Hiburan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 19

    (1)
    Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
     
    a.
    Restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian Makanan dan/atau Minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
     
    b.
    penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
     
     
    1.
    proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
     
     
    2.
    penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
     
     
    3.
    penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
     
    a.
    dengan nilai penjualan kurang dari Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah) per bulan;
     
    b.
    dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak hanya menjual Makanan dan/atau Minuman;
     
    c.
    dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman; atau
     
    d.
    disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada Bandar udara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 20

    (1)
    Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf b adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
    (2)
    Yang dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
     
    a.
    konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah dan penyelenggara negara lainnya;
     
    b.
    konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing berdasarkan asas timbal balik;
     
    c.
    konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
     
    d.
    konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait; dan
     
    e.
    konsumsi Tenaga Listrik pada rumah singgah, pos pemuda, pos ronda, atau pos keamanan keliling.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 21

    (1)
    Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia jasa perhotelan, meliputi:
     
    a.
    hotel;
     
    b.
    hostel;
     
    c.
    vila;
     
    d.
    pondok wisata;
     
    e.
    motel;
     
    f.
    losmen;
     
    g.
    wisma pariwisata;
     
    h.
    pesanggrahan;
     
    i.
    rumah penginapan/guest house/bungalo/resort/cottage;
     
    j.
    tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
     
    k.
    glamping.
    (2)
    Yang dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
     
    b.
    jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
     
    c.
    jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
     
    d.
    jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
     
    e.
    jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 22

    (1)
    Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf d meliputi:
     
    a.
    penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
     
    b.
    pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet).
    (2)
    Dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
     
    b.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri;
     
    c.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik; dan
     
    d.
    jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh rumah ibadah, lembaga pendidikan, atau satuan pendidikan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 23

    (1)
    Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf e meliputi:
     
    a.
    tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
     
    b.
    pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
     
    c.
    kontes kecantikan;
     
    d.
    kontes binaraga;
     
    e.
    pameran;
     
    f.
    pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
     
    g.
    pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
     
    h.
    permainan ketangkasan;
     
    i.
    olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
     
    j.
    rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
     
    k.
    panti pijat dan pijat refleksi; dan
     
    l.
    diskotek, karaoke, kelab malam, bar dan mandi uap/spa.
    (2)
    Yang dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
     
    a.
    promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran;
     
    b.
    kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran;
     
    c.
    kegiatan keagamaan dengan tidak dipungut bayaran; dan/atau
     
    d.
    kegiatan sosial untuk penggalangan dana korban bencana alam dengan tidak dipungut bayaran.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 24

    (1)
    Subjek Pajak PBJT adalah konsumen barang dan jasa tertentu.
    (2)
    Wajib Pajak PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 25

    (1)
    Dasar pengenaan PBJT adalah jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu yang meliputi:
     
    a.
    jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
     
    b.
    nilai jual Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
     
    c.
    jumlah pembayaran kepada penyedia Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
     
    d.
    jumlah pembayaran kepada penyelenggara tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
     
    e.
    jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas kesenian dan hiburan.
    (2)
    Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan voucher atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut.
    (3)
    Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah.
    (4)
    Dalam hal Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, khusus untuk PBJT atas Jasa Parkir, Pemerintah Daerah dapat menetapkan dasar pengenaan sebesar tarif parkir sebelum dikenakan potongan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 26

    (1)
    Nilai jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:
     
    a.
    tenaga listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran; dan
     
    b.
    tenaga listrik yang dihasilkan sendiri.
    (2)
    Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dihitung berdasarkan:
     
    a.
    jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pascabayar; dan
     
    b.
    jumlah pembelian Tenaga Listrik untuk prabayar.
    (3)
    Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dihitung berdasarkan:
     
    a.
    kapasitas tersedia;
     
    b.
    tingkat penggunaan listrik;
     
    c.
    jangka waktu pemakaian listrik; dan
     
    d.
    harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan.
    (4)
    Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3), penyedia Tenaga Listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan pemungutan PBJT atas Tenaga Listrik untuk penggunaan Tenaga Listrik yang dijual atau diserahkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 27

    (1)
    Tarif PBJT ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
    (2)
    Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan sebesar 50% (lima puluh persen).
    (3)
    Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
     
    a.
    konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, ditetapkan sebesar 3% (tiga persen); dan
     
    b.
    konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 28

    (1)
    Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27.
    (2)
    Wilayah Pemungutan PBJT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.
    (3)
    Saat terutangnya PBJT dihitung sejak saat pembayaran/penyerahan/konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan, meliputi:
     
    a.
    pembayaran/penyerahan atas Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
     
    b.
    konsumsi/pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
     
    c.
    pembayaran/penyerahan atas jasa perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
     
    d.
    pembayaran/penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
     
    e.
    pembayaran/penyerahan atas jasa kesenian dan hiburan untuk PBJT atas Kesenian dan Hiburan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Pajak Reklame
     

    Pasal 29

    (1)
    Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.
    (2)
    Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    Reklame papan (billboard/videotron/megatron);
     
    b.
    Reklame kain;
     
    c.
    Reklame melekat/stiker;
     
    d.
    Reklame selebaran;
     
    e.
    Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
     
    f.
    Reklame udara;
     
    g.
    Reklame apung;
     
    h.
    Reklame film/slide; dan
     
    i.
    Reklame peragaan.
    (3)
    Dikecualikan dari objek Pajak Reklame adalah:
     
    a.
    penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
     
    b.
    label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
     
    c.
    nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklamenya ditetapkan oleh Wali Kota dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
     
    d.
    Reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
     
    e.
    Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial; dan
     
    f.
    Reklame yang diselenggarakan untuk kepentingan pendidikan yang tidak disertai dengan iklan komersial.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 30

    (1)
    Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
    (2)
    Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 31

    (1)
    Dasar Pengenaan Pajak Reklame adalah nilai sewa Reklame.
    (2)
    Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
    (3)
    Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame.
    (4)
    Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
    (5)
    Perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 32

    Tarif Pajak Reklame ditetapkan:
    a.
    reklame papan/billboard/videotron/megatron sebesar 15% (lima belas persen);
    b.
    reklame kain sebesar 10% (sepuluh persen);
    c.
    reklame melekat, stiker sebesar 15% (lima belas persen);
    d.
    reklame selebaran sebesar 25% (dua puluh lima persen);
    e.
    reklame berjalan, termasuk pada kenderaan sebesar 15% (lima belas persen);
    f.
    reklame udara sebesar 15% (lima belas persen);
    g.
    reklame apung sebesar 15% (lima belas persen);
    h.
    reklame film/slide sebesar 15% (lima belas persen); dan
    i.
    reklame peragaan sebesar 15% (lima belas persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 33

    (1)
    Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
    (2)
    Saat terutang Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan Reklame.
    (3)
    Wilayah Pemungutan Pajak Reklame yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penyelenggaraan Reklame.
    (4)
    Khusus untuk Reklame berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf e, Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat usaha penyelenggaraan Reklame terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 34

    Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan bentuk Reklame, pengecualian objek Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3), tata cara perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dan tata cara penyelenggaraan Reklame diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    Pajak Air Tanah
     

    Pasal 35

    (1)
    Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (2)
    Dikecualikan dari objek PAT adalah pengambilan untuk:
     
    a.
    keperluan dasar rumah tangga;
     
    b.
    pengairan pertanian rakyat;
     
    c.
    perikanan rakyat;
     
    d.
    peternakan rakyat;
     
    e.
    keperluan keagamaan;
     
    f.
    keperluan panti asuhan;
     
    g.
    keperluan panti jompo;
     
    h.
    panti sosial; dan
     
    i.
    rumah singgah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 36

    (1)
    Subjek PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (2)
    Wajib PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 37

    (1)
    Dasar pengenaan PAT adalah nilai perolehan Air Tanah.
    (2)
    Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
    (3)
    Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
    (4)
    Bobot Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor berikut:
     
    a.
    jenis sumber air;
     
    b.
    lokasi sumber air;
     
    c.
    tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
     
    d.
    volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
     
    e.
    kualitas air; dan
     
    f.
    tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 38

    (1)
    Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) didasarkan pada Peraturan Gubernur.
    (2)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya nilai perolehan Air Tanah dalam Daerah diatur dengan Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada nilai perolehan Air Tanah yang ditetapkan oleh Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 39

    Tarif PAT ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 40

    (1)
    Besaran pokok PAT yang terutang dihitung yaitu dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39.
    (2)
    Wilayah Pemungutan PAT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
    (3)
    Saat terutangnya PAT ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketujuh
    Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
     

    Pasal 41

    (1)
    Objek Pajak MBLB adalah kegiatan pengambilan MBLB yang meliputi:
     
    a.
    asbes;
     
    b.
    batu tulis;
     
    c.
    batu setengah permata;
     
    d.
    batu kapur;
     
    e.
    batu apung;
     
    f.
    batu permata;
     
    g.
    bentonit;
     
    h.
    dolomit;
     
    i.
    feldspar;
     
    j.
    garam batu (halite);
     
    k.
    grafit;
     
    l.
    granit/andesit;
     
    m.
    gips;
     
    n.
    kalsit;
     
    o.
    kaolin;
     
    p.
    leusit;
     
    q.
    magnesit;
     
    r.
    mika;
     
    s.
    marmer;
     
    t.
    nitrat;
     
    u.
    obsidian;
     
    v.
    oker;
     
    w.
    pasir dan kerikil;
     
    x.
    pasir kuarsa;
     
    y.
    perlit;
     
    z.
    fosfat;
     
    aa.
    talk;
     
    bb.
    tanah serap (Fullers earth);
     
    cc.
    tanah diatom;
     
    dd.
    tanah liat;
     
    ee.
    tawas (alum);
     
    ff.
    tras;
     
    gg.
    yarosit;
     
    hh.
    zeolit;
     
    ii.
    basal;
     
    jj.
    trakhit;
     
    kk.
    belerang;
     
    ll.
    MBLB ikutan dalam suatu pertambangan mineral; dan
     
    mm.
    MBLB lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Dikecualikan dari objek Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pengambilan MBLB:
     
    a.
    untuk keperluan rumah tangga dan tidak diperjualbelikan/dipindahtangankan;
     
    b.
    untuk keperluan pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel, penanaman pipa, dan sejenisnya yang tidak mengubah fungsi permukaan tanah;
     
    c.
    untuk keperluan pembangunan rumah ibadah yang dikerjakan secara swadaya oleh masyarakat;
     
    d.
    untuk keperluan pembangunan panti asuhan;
     
    e.
    untuk keperluan pembangunan panti jompo; dan
     
    f.
    untuk keperluan pembangunan panti sosial.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 42

    (1)
    Subjek Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
    (2)
    Wajib Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 43

    (1)
    Dasar pengenaan Pajak MBLB adalah nilai jual hasil pengambilan MBLB.
    (2)
    Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian volume/tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan setiap jenis MBLB.
    (3)
    Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan harga jual rata-rata setiap jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di wilayah Daerah.
    (4)
    Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batu bara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 44

    Tarif Pajak MBLB ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 45

    (1)
    Besaran pokok Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) dengan tarif Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44.
    (2)
    Saat terutang Pajak MBLB ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan MBLB di lokasi atau mulut tambang
    (3)
    Wilayah Pemungutan Pajak MBLB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedelapan
    Pajak Sarang Burung Walet
     

    Pasal 46

    (1)
    Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
    (2)
    Yang dikecualikan dari objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
     
    a.
    pengambilan sarang Burung Walet yang telah dikenakan penerimaan negara bukan Pajak; dan
     
    b.
    pengambilan sarang burung walet dari habitat alaminya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 47

    (1)
    Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 48

    (1)
    Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah nilai jual sarang Burung Walet.
    (2)
    Nilai jual sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum sarang Burung Walet yang berlaku di Daerah dengan volume sarang Burung Walet.
    (3)
    Saat terutangnya Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
    (4)
    Wilayah Pemungutan Pajak Sarang Burung Walet yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 49

    Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 50

    Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) dengan tarif Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesembilan
    Opsen
     

    Pasal 51

    Opsen PKB dikenakan atas Pajak terutang dari PKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 52

    (1)
    Wajib Pajak Opsen PKB merupakan wajib PKB.
    (2)
    Pemungutan Opsen PKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari PKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 53

    (1)
    Dasar pengenaan Opsen PKB merupakan PKB terutang.
    (2)
    Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.
    (3)
    Wilayah Pemungutan Opsen PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 54

    Tarif Opsen PKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Pasal 55
    Besaran pokok Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) dengan tarif Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesepuluh
    Opsen BBNKB
     

    Pasal 56

    Opsen BBNKB dikenakan atas Pajak terutang dari BBNKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 57

    (1)
    Wajib Pajak Opsen BBNKB merupakan Wajib Pajak BBNKB.
    (2)
    Pemungutan Opsen BBNKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari BBNKB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 58

    (1)
    Dasar Pengenaan Opsen BBNKB merupakan BBNKB terutang.
    (2)
    Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.
    (3)
    Wilayah Pemungutan Opsen BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 59

    Tarif Opsen BBNKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 60

    Besaran pokok Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) dengan tarif Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesebelas
    Penerimaan Pajak yang diarahkan Penggunaannya
     

    Pasal 61

    (1)
    Hasil penerimaan atas jenis Pajak berikut:
     
    a.
    Opsen PKB;
     
    b.
    PBJT atas Tenaga Listrik; dan
     
    c.
    PAT,
     
    dapat dialokasikan untuk mendanai kegiatan yang telah ditentukan penggunaannya.
    (2)
    Opsen PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit 10% (sepuluh persen) dialokasikan untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
    (3)
    Hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit sebesar 10% (sepuluh persen) wajib dialokasikan untuk penyediaan penerangan jalan umum.
    (4)
    Kegiatan penyediaan penerangan jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
     
    a.
    penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum; dan
     
    b.
    pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan jalan umum.
    (5)
    Hasil penerimaan PAT dimaksud pada ayat (1) huruf c paling sedikit 10% (sepuluh persen) dialokasikan untuk pencegahan, penanggulangan dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam Daerah yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas air tanah, yang meliputi:
     
    a.
    penanaman pohon;
     
    b.
    pembuatan lubang atau sumur resapan;
     
    c.
    pelestarian hutan atau pepohonan;
     
    d.
    pengelolaan limbah; dan/atau
     
    e.
    kegiatan pencegahan, penanggulangan dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup lainnya yang berdampak terhadap air tanah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua Belas
    Masa Pajak
     

    Pasal 62

    (1)
    Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam satu kurun waktu tertentu dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
    (2)
    Masa Pajak berlaku untuk jenis Pajak yang dibayar sendiri berdasarkan penghitungan oleh Wajib Pajak, kecuali untuk BPHTB.
    (3)
    Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender, yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang
    (4)
    Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai masa Pajak dan tahun Pajak diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga Belas
    Konfirmasi Status Wajib Pajak
     

    Pasal 63

    (1)
    Pemerintah Daerah melakukan konfirmasi status Wajib Pajak sebelum memberikan layanan publik tertentu.
    (2)
    Konfirmasi status Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sistem informasi pada Pemerintah Daerah atau aplikasi lainnya setelah berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan di bidang keuangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 64

    Selain melakukan konfirmasi status wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) Pemerintah Daerah dapat melakukan penelitian terhadap pemenuhan kewajiban Pajak Daerah dari pemohon layanan tertentu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 65

    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara konfirmasi status Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dan penelitian terhadap pemenuhan kewajiban Pajak Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat Belas
    Kewajiban Wajib Pajak
     

    Pasal 66

    (1)
    Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), Pasal 13 ayat (2), Pasal 24 ayat (2), Pasal 30 ayat (2), Pasal 36 ayat (2), Pasal 42 ayat (2) dan Pasal 47 ayat (2), wajib membayar Pajak terutang.
    (2)
    Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:
     
    a.
    teguran lisan;
     
    b.
    teguran tertulis;
     
    c.
    pemasangan stiker, spanduk, papan pengumuman dan/atau pengumuman di media massa bahwa Wajib Pajak tidak taat dalam melakukan pembayaran Pajak; dan/atau
     
    d.
    denda administratif sebesar 1% (satu persen) per bulan dari Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar atau disetor, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan dan ditagih menggunakan STPD.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB III
    RETRIBUSI
     
    Bagian Kesatu
    Umum
     

    Pasal 67

    Jenis Retribusi terdiri atas:
    a.
    Retribusi Jasa Umum;
    b.
    Retribusi Jasa Usaha; dan
    c.
    Retribusi Perizinan Tertentu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Retribusi Jasa Umum
     

    Pasal 68

    Retribusi Jasa Umum merupakan Retribusi yang dipungut atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan pemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 69

    (1)
    Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Umum.
    (2)
    Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa umum.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 70

    (1)
    Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 meliputi:
     
    a.
    pelayanan kesehatan;
     
    b.
    pelayanan kebersihan;
     
    c.
    pelayanan parkir di tepi jalan umum; dan
     
    d.
    pelayanan pasar.
    (2)
    Retribusi Jasa Umum yang tidak dipungut oleh Pemerintah Daerah adalah Retribusi pengendalian lalu lintas.
    (3)
    Pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (5)
    Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Wali Kota sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (6)
    Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (7)
    Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Wali Kota ditetapkan.
    (8)
    Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa umum yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 71

    Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf a adalah pelayanan kesehatan di puskesmas, puskesmas keliling, puskesmas pembantu, balai pengobatan, rumah sakit umum daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 72

    (1)
    Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf b adalah pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
     
    a.
    pengambilan atau pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
     
    b.
    pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir sampah atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
     
    c.
    penyediaan lokasi pembuangan atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
     
    d.
    penyediaan dan/atau penyedotan kakus; dan
     
    e.
    pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan industri.
    (2)
    Dikecualikan dari pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
     
    a.
    pelayanan kebersihan jalan umum;
     
    b.
    pelayanan kebersihan taman; dan
     
    c.
    pelayanan kebersihan tempat ibadah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 73

    Pelayanan parkir di tepi jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal ayat (1) huruf c adalah penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 74

    Pelayanan pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf d adalah penyediaan fasilitas pasar tradisional atau sederhana berupa pelataran, los, dan kios yang dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 75

    (1)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan kesehatan diukur berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan dan/atau jangka waktu pelayanan.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan kesehatan bagi penjamin BPJS Kesehatan atau BPJS Ketenagakerjaan dihitung berdasarkan nilai kapitasi dan atau klaim paket pelayanan sesuai peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 76

    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan kebersihan diukur berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, volume dan/atau jenis sampah atau limbah kakus atau limbah cair.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 77

    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan parkir di tepi jalan umum diukur berdasarkan jenis kendaraan, jenis/kawasan lokasi parkir, frekuensi pelayanan dan/atau jangka waktu pemakaian tempat parkir.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 78

    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan pasar diukur berdasarkan frekuensi pelayanan, jangka waktu pemakaian fasilitas pasar dan/atau jenis pemakaian fasilitas pasar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 79

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
    (2)
    Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
    (3)
    Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
    (4)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 80

    Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77 dan Pasal 78 dengan tarif Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 81

    Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum atas pelayanan Kesehatan tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 82

    Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum atas pelayanan kebersihan tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 83

    Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum atas pelayanan parkir di tepi jalan umum tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 84

    Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum atas pelayanan pasar tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 85

    (1)
    Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (2)
    Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Umum.
    (3)
    Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 86

    (1)
    Wajib Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) wajib membayar atas pelayanan Retribusi yang diterima.
    (2)
    Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:
     
    a.
    teguran lisan;
     
    b.
    teguran tertulis;
     
    c.
    pemasangan stiker, spanduk, papan pengumuman dan/atau pengumuman di media massa dan/atau di tempat lainnya bahwa Wajib Retribusi tidak taat dalam melakukan pembayaran Retribusi; dan/atau
     
    d.
    denda administratif sebesar 1% (satu persen) per bulan dari Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan ditagih dengan menggunakan STRD.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 87

    (1)
    Pemanfaatan dari penerimaan jenis Retribusi jasa umum diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
    (2)
    Penerimaan Retribusi jasa umum yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi jasa umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Retribusi Jasa Usaha
     
    Paragraf 1
    Umum
     

    Pasal 88

    (1)
    Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Usaha.
    (2)
    Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas jenis pelayanan Jasa Usaha.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 89

    (1)
    Jenis penyediaan atau pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha meliputi:
     
    a.
    penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
     
    b.
    penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
     
    c.
    penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila;
     
    d.
    pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
     
    e.
    pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
     
    f.
    penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
     
    g.
    pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi asset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Penyediaan atau pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa atau pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
    (4)
    Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Wali Kota sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (6)
    Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat
    (4)
    disampaikan kepada Menteri, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Wali Kota ditetapkan.
    (7)
    Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa yang dilakukan oleh Pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 90

    Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir, dan fasilitas pasar atau pertokoan yang dikontrakkan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan atau diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 91

    Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1) huruf b merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 92

    Penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 93

    Pelayanan rumah pemotongan hewan ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1) huruf d merupakan pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak, termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 94

    Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1) huruf e merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 95

    Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1) huruf f merupakan penjualan hasil produksi usaha daerah oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 96

    (1)
    Khusus untuk pemanfaatan barang milik Daerah berupa:
     
    a.
    sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
     
    b.
    kerja sama pemanfaatan;
     
    c.
    bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
     
    d.
    kerja sama penyediaan infrastruktur, ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
    (2)
    Penetapan Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah.
    (3)
    Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan ketentuan:
     
    a.
    tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
     
    b.
    tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
     
    c.
    tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
    (4)
    Pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 97

    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 98

    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha penyediaan tempat kegiatan usaha diukur berdasarkan luas tempat usaha, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas pasar grosir, pertokoan, dan/atau tempat usaha lainnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 99

    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus parkir di luar badan jalan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 100

    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 101

    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha pelayanan rumah pemotongan hewan ternak diukur berdasarkan jenis hewan ternak, jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas rumah potong hewan;
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 102

    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olah raga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata,
    dan olah raga.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 103

    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha penjualan produksi usaha Daerah diukur berdasarkan jenis dan/atau volume produksi usaha Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 104

    Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha pemanfaatan aset Daerah diukur berdasarkan jenis pemanfaatan aset, jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemanfaatan aset daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 105

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha ditujukan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
    (2)
    Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan Jasa Usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
    (3)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 106

    Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99, Pasal 100, Pasal 101, Pasal 102, Pasal 103 dan Pasal 104 dengan tarif Retribusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 107

    Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha atas penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 108

    Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha atas penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 109

    Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha atas penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 110

    Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha atas pelayanan rumah pemotongan hewan ternak tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 111

    Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha atas pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 112

    Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha atas penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah tercantum dalam Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 113

    Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha atas pemanfaatan aset Daerah tercantum dalam Lampiran XI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 114

    (1)
    Tarif Retribusi jasa usaha ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (2)
    Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi.
    (3)
    Penetapan peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 115

    (1)
    Wajib Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (2), wajib membayar atas pelayanan yang diterima.
    (2)
    Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:
     
    a.
    teguran lisan;
     
    b.
    teguran tertulis;
     
    c.
    pemasangan stiker, spanduk, papan pengumuman dan/atau pengumuman di media massa dan/atau di tempat lainnya bahwa Wajib Retribusi tidak taat dalam melakukan pembayaran Retribusi; dan/atau
     
    d.
    denda administratif sebesar 1% (satu persen) per bulan dari Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan ditagih dengan menggunakan STRD.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 116

    (1)
    Pemanfaatan dari penerimaan jenis Retribusi jasa usaha diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan barang atau pelayanan jasa yang bersangkutan.
    (2)
    Penerimaan Retribusi jasa usaha yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi jasa usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Retribusi Perizinan Tertentu
     

    Pasal 117

    (1)
    Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
    (2)
    Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang Pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 118

    (1)
    Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 terdiri atas:
     
    a.
    PBG; dan
     
    b.
    Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
    (2)
    Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan perizinan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 119

    (1)
    Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (1) huruf a adalah penerbitan:
     
    a.
    PBG; dan
     
    b.
    SLF Bangunan Gedung.
     
    sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Penerbitan PBG dan SLF Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    kegiatan layanan konsultasi pemenuhan standar teknis;
     
    b.
    penerbitan persetujuan Bangunan Gedung;
     
    c.
    inspeksi bangunan gedung;
     
    d.
    penerbitan SLF dan SBKBG; dan
     
    e.
    pencetakan plakat SLF.
    (3)
    Penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan untuk permohonan persetujuan:
     
    a.
    Pembangunan baru;
     
    b.
    Bangunan Gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki PBG dan/atau SLF;
     
    c.
    PBG perubahan untuk:
     
     
    1.
    perubahan fungsi Bangunan Gedung;
     
     
    2.
    perubahan lapis Bangunan Gedung;
     
     
    3.
    perubahan luas Bangunan Gedung;
     
     
    4.
    perubahan tampak Bangunan Gedung;
     
     
    5.
    perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada Bangunan Gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan;
     
     
    6.
    perkuatan Bangunan Gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
     
     
    7.
    perlindungan dan/atau pengembangan Bangunan Gedung cagar budaya; atau
     
     
    8.
    perbaikan Bangunan Gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
    (4)
    PBG perubahan tidak diperlukan untuk pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan perawatan.
    (5)
    Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pemberian izin persetujuan Bangunan milik pemerintah pusat, Pemerintah Daerah, atau bangunan yang memiliki fungsi keagamaan atau peribadatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 120

    (1)
    Pelayanan penggunaan tenaga asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan di Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
    (2)
    Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu penggunaan tenaga kerja asing oleh instansi pemerintah pusat, instansi pemerintah daerah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 121

    (1)
    Besarnya Retribusi PBG yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas penyediaan layanan dan harga satuan retribusi PBG.
    (2)
    Tingkat penggunaan jasa atas penyediaan layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan pelayanan.
    (3)
    Harga satuan Retribusi PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
     
    a.
    standar harga satuan tertinggi untuk Bangunan Gedung; atau
     
    b.
    harga satuan retribusi prasarana bangunan Gedung untuk Prasarana Bangunan Gedung
    (4)
    Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas formula untuk:
     
    a.
    Bangunan Gedung; dan
     
    b.
    prasarana Bangunan Gedung.
    (5)
    Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a terdiri atas:
     
    a.
    luas total lantai;
     
    b.
    Indeks Lokalitas;
     
    c.
    indeks terintegrasi; dan
     
    d.
    indeks Bangunan Gedung terbangun.
    (6)
    Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b terdiri atas:
     
    a.
    volume;
     
    b.
    indeks prasarana Bangunan Gedung; dan
     
    c.
    indeks Bangunan Gedung Terbangun.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 122

    Tingkat penggunaan jasa Retribusi penggunaan Tenaga Kerja Asing, diukur berdasarkan frekuensi penyediaan pelayanan dan/atau jangka waktu pelayanan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 123

    (1)
    Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
    (2)
    Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
    (3)
    Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (1), biaya penyelenggaraan layanan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Bangunan Gedung.
    (4)
    Pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120, biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 124

    Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu atas PBG tercantum dalam Lampiran XII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 125

    (1)
    Retribusi penggunaan tenaga kerja asing dibayarkan sesuai dengan jangka waktu persetujuan pengesahan rencana penggunaan Tenaga Kerja Asing perpanjangan dan dibayarkan dimuka.
    (2)
    Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayarkan dengan rupiah berdasarkan kurs yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan bidang keuangan untuk kepentingan perpajakan yang berlaku pada saat SKRD diterbitkan.
    (3)
    Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu atas penggunaan Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tercantum dalam Lampiran XIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 126

    (1)
    Tarif Retribusi merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi yang terutang.
    (2)
    Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang keuangan untuk kepentingan perpajakan.
    (3)
    Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
    (4)
    Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Perizinan Tertentu.
    (5)
    Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) khusus pelayanan PBG hanya dilakukan terhadap besaran harga atau indeks dalam tabel HSBGN atau SHST dan Indeks Lokalitas.
    (6)
    Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) khusus pelayanan PTKA berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
    (7)
    Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 127

    (1)
    Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (2) wajib membayar atas pelayanan yang diterima.
    (2)
    Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:
     
    a.
    teguran lisan;
     
    b.
    teguran tertulis;
     
    c.
    pemasangan stiker, spanduk, papan pengumuman dan/atau pengumuman di media massa dan/atau di tempat lainnya bahwa Wajib Retribusi tidak taat dalam melakukan pembayaran Retribusi; dan/atau
     
    d.
    dalam hal Wajib Retribusi tertentu tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang membayar, Wajib Retribusi dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan ditagih dengan menggunakan STRD.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 128

    (1)
    Pemanfaatan dari penerimaan jenis Retribusi perizinan tertentu diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
    (2)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi perizinan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB IV
    PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI
     
    Bagian Kesatu
    Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak dan Retribusi
     

    Pasal 129

    (1)
    Pemungutan Pajak dan Retribusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum dan tata cara Pemungutan Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Ketentuan umum dan tata cara Pemungutan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan mengenai:
     
    a.
    pendaftaran dan pendataan;
     
    b.
    penetapan besaran Pajak terutang;
     
    c.
    pembayaran dan penyetoran;
     
    d.
    pelaporan;
     
    e.
    pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
     
    f.
    pemeriksaan;
     
    g.
    penagihan;
     
    h.
    keberatan;
     
    i.
    gugatan;
     
    j.
    penghapusan piutang oleh Walikota; dan
     
    k.
    pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara Pemungutan Pajak.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemungutan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Ketentuan umum dan tata cara Pemungutan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan mengenai:
     
    a.
    pendaftaran dan pendataan;
     
    b.
    penetapan besaran Retribusi terutang;
     
    c.
    pembayaran dan penyetoran;
     
    d.
    pelaporan;
     
    e.
    pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
     
    f.
    pemeriksaan;
     
    g.
    penagihan;
     
    h.
    keberatan;
     
    i.
    gugatan;
     
    j.
    penghapusan piutang oleh Walikota; dan
     
    k.
    pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara Pemungutan Retribusi.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemungutan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 130

    (1)
    Dalam rangka penyelenggaraan Pajak, Pemerintah Daerah memberikan NPWPD kepada Wajib Pajak.
    (2)
    Pemberian NPWD kepada Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan:
     
    a.
    untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Walikota, Wajib Pajak wajib mendaftarkan objek Pajak kepada Pemerintah Daerah dengan menggunakan:
     
     
    1.
    SPOP untuk PBB-P2; dan
     
     
    2.
    surat pendaftaran objek Pajak untuk Pajak Reklame, Pajak Air tanah, Opsen PKB, dan Opsen BBNKB;
     
    b.
    untuk jenis Pajak yang dibayar sendiri berdasarkan penghitungan oleh Wajib Pajak, Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri kepada Pemerintah Daerah.
    (3)
    Untuk jenis Pajak yang memerlukan registrasi objek Pajak, Pemerintah Daerah dapat menerbitkan nomor registrasi, NOPD, atau jenis penomoran lain yang dipersamakan untuk jenis Pajak yang memerlukan pendaftaran objek Pajak.
    (4)
    NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk orang pribadi dihubungkan dengan nomor induk kependudukan.
    (5)
    NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) untuk badan dihubungkan dengan nomor induk berusaha.
    (6)
    Khusus untuk:
     
    a.
    Wajib Pajak bahan bakar kendaraan bermotor dan pemungut Pajak bahan bakar kendaraan bermotor yang berstatus BUMN atau BUMD; dan
     
    b.
    Wajib Pajak penyedia Tenaga Listrik yang berstatus BUMN atau BUMD.
     
    dapat didaftarkan dengan nomor pokok wajib pajak yang digunakan dalam administrasi perpajakan pusat.
    (7)
    Dalam hal Wajib Pajak tidak mendaftarkan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Walikota menerbitkan NPWPD berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 131

    (1)
    Pemerintah Daerah melakukan pendataan Wajib Pajak dan objek Pajak.
    (2)
    Khusus untuk PBB-P2, pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi seluruh Bumi dan/atau Bangunan dalam wilayah Daerah.
    (3)
    Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak yakni BPHTB, PBJT, Pajak MBLB, dan Pajak Sarang Burung Walet, wajib mengisi SPTPD.
    (4)
    SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mencakup BPHTB, PBJT, Pajak MBLB, dan Pajak Sarang Burung Walet, terutang yang telah dibayar oleh Wajib Pajak.
    (5)
    SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit memuat peredaran usaha dan jumlah Pajak terutang per jenis Pajak dalam satu masa Pajak.
    (6)
    SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Wali Kota setelah berakhirnya masa Pajak dengan dilampiri SSPD sebagai bukti pelunasan Pajak.
    (7)
    Khusus untuk BPHTB, SSPD dipersamakan sebagai SPTPD.
    (8)
    SSPD BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dianggap telah disampaikan setelah dilakukannya pembayaran.
    (9)
    Pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan setiap masa Pajak.
    (10)
    Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (9) merupakan jangka waktu yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk menghitung Pajak terutang yang harus dibayarkan atau disetorkan ke kas Daerah dan dilaporkan dalam SPTPD.
    (11)
    Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (10), Walikota menetapkan jangka waktu penyampaian SPIPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah berakhirnya masa Pajak.
    (12)
    Ketentuan masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
    (11)
    dikecualikan untuk BPHTB.
    (13)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan penyampaian SPTPD, penentuan masa Pajak untuk setiap jenis Pajak, dan batas waktu penyampaian SPTPD diatur dengan Peraturan Wali Kota.
    (14)
    Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda.
    (15)
    Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (14) ditetapkan dengan STPD sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk setiap SPTPD.
    (16)
    Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (14) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).
    (17)
    Keadaan kahar (force majeure) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (14) meliputi:
     
    a.
    bencana alam;
     
    b.
    kebakaran; dan/atau
     
    c.
    kerusuhan massal atau huru-hara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 132

    (1)
    Dalam hal Wajib Pajak tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (2), Wali Kota atau atas dasar permohonan Wajib Pajak dapat melakukan penonaktifan atau penghapusan NPWPD, nomor registrasi, NOPD, dan/atau jenis penomoran lain yang dipersamakan.
    (2)
    Dalam hal penonaktifan atau penghapusan NPWPD, nomor registrasi, NOPD, dan/atau jenis penomoran lain yang dipersamakan dilakukan berdasarkan permohonan Wajib Pajak, Walikota harus menerbitkan keputusan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.
    (3)
    Penonaktifan atau penghapusan NPWPD, nomor registrasi, NOPD, dan/atau jenis penomoran lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan sepanjang Wajib Pajak:
     
    a.
    tidak memiliki tunggakan pajak; dan/atau
     
    b.
    tidak sedang mengajukan upaya hukum berupa keberatan, banding, gugatan, atau peninjauan kembali.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 133

    (1)
    Dalam rangka penyelenggaraan Retribusi, pemungutan Retribusi diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah dengan ketentuan;
     
    a.
    Wajib Retribusi melakukan pembayaran Retribusi terutang yang ditetapkan dalam SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan ke kas Daerah; atau
     
    b.
    melalui Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut.
    (2)
    Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyetorkan seluruh penerimaan Retribusi yang dipungut ke kas Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Dalam hal Retribusi dipungut atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD, pembayaran Retribusi oleh Wajib Retribusi disetorkan ke Rekening Kas BLUD sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibayarkan sekaligus sebelum pelayanan diberikan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 134

    (1)
    Pemerintah Daerah dapat melakukan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga dalam melakukan Pemungutan Retribusi.
    (2)
    Kerja sama atau penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk penetapan tarif, pengawasan, dan pemeriksaan.
    (3)
    Pemungutan Retribusi oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan pertimbangan, efisiensi, dan efektivitas pemungutan Retribusi dengan tidak menambah beban Wajib Retribusi.
    (4)
    Penerimaan retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetor ke rekening kas umum daerah secara bruto.
    (5)
    Pemberian imbal jasa kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui belanja anggaran pendapatan dan belanja daerah.
    (6)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga dalam melakukan Pemungutan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Sistem Informasi Pajak dan Retribusi
     

    Pasal 135

    (1)
    Dalam penyelenggaraan Pajak dan Retribusi, Pemerintah Daerah dapat membentuk dan mengembangkan sistem informasi Pajak dan Retribusi secara elektronik.
    (2)
    Pemerintah Daerah dapat melakukan Pemungutan Pajak dan Retribusi secara elektronik dalam rangka efisiensi dan efektifitas Pemungutan Pajak dan Retribusi.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengembangan sistem informasi dan pemungutan Pajak dan Retribusi secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Pemberian Keringanan, Pengurangan, dan Pembebasan Pajak dan Retribusi
     

    Pasal 136

    (1)
    Wali Kota dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak dan Retribusi dan/atau sanksi Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Pemberian Fasilitas Pajak dan Retribusi
     

    Pasal 137

    (1)
    Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Wali Kota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha.
    (2)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
    (3)
    Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Wali Kota berdasarkan pertimbangan:
     
    a.
    kemampuan membayar Wajib Pajak dan Wajib Retribusi;
     
    b.
    kondisi tertentu objek Pajak;
     
    c.
    untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
     
    d.
    untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
     
    e.
    untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.
    (4)
    Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan kepada DPRD dengan melampirkan pertimbangan Wali Kota dalam memberikan insentif fiskal tersebut.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Kemudahan Perpajakan Daerah
     

    Pasal 138

    Wali Kota memberikan kemudahan perpajakan daerah kepada Wajib Pajak, berupa:
    a.
    perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak; dan/atau
    b.
    pemberian fasilitas angsuran atau penundaan Pajak Terutang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 139

    (1)
    Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan di luar kekuasaannya sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pajak pada waktunya.
    (2)
    Keadaan di luar kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
     
    a.
    bencana alam;
     
    b.
    kebakaran;
     
    c.
    kerusuhan massal atau huru-hara;
     
    d.
    wabah penyakit; dan/atau
     
    e.
    keadaan lain berdasarkan pertimbangan Walikota.
    (3)
    Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Wali Kota atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 140

    (1)
    Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan Pajak Terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau kondisi lain sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya.
    (2)
    Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan Walikota berdasarkan permohonan Wajib Pajak.
    (3)
    Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Daerah memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dengan Peraturan Wali Kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    Penetapan Target Penerimaan Pajak dan Retribusi dalam APBD
     

    Pasal 141

    (1)
    Penganggaran Pajak dan Retribusi dalam APBD mempertimbangkan paling sedikit:
     
    a.
    kebijakan makroekonomi Daerah; dan
     
    b.
    potensi Pajak dan Retribusi.
    (2)
    Kebijakan makroekonomi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi struktur ekonomi Daerah, proyeksi pertumbuhan ekonomi Daerah, ketimpangan pendapatan, indeks pembangunan manusia, kemandirian fiskal, tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, dan daya saing Daerah.
    (3)
    Kebijakan makroekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diselaraskan dengan kebijakan makroekonomi regional dan kebijakan makroekonomi yang mendasari penyusunan APBN.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketujuh
    Kerja Sama Pemanfaatan Data Dalam pemungutan Pajak
     

    Pasal 142

    (1)
    Dalam upaya mengoptimalkan penerimaan Pajak, Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kerja sama optimalisasi pemungutan Pajak dengan:
     
    a.
    Pemerintah;
     
    b.
    Pemerintah Daerah lain; dan
     
    c.
    pihak ketiga.
    (2)
    Bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat meliputi:
     
    a.
    pertukaran dan/atau pemanfaatan data dan/atau informasi perpajakan, perizinan, serta data dan/atau informasi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
     
    b.
    pengawasan Wajib Pajak bersama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
     
    c.
    pemanfaatan program/kegiatan peningkatan pelayanan kepada masyarakat, khususnya di bidang perpajakan;
     
    d.
    pendampingan dan dukungan kapasitas di bidang perpajakan;
     
    e.
    peningkatan pengetahuan dan kemampuan aparatur/sumber daya manusia di bidang perpajakan;
     
    f.
    penggunaan jasa layanan pembayaran oleh pihak ketiga; dan
     
    g.
    bentuk kegiatan lainnya yang dipandang perlu untuk dilaksanakan dengan didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik serta saling menguntungkan.
    (3)
    Bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g dapat dilaksanakan bersama dengan Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah lain.
    (4)
    Bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g dapat dilaksanakan bersama dengan pihak ketiga.
    (5)
    Kerja sama optimalisasi pemungutan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibiayai oleh kedua pihak, tanpa mengenakan tambahan biaya bagi Wajib Pajak.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 143

    (1)
    Pemerintah Daerah dapat:
     
    a.
    mengajukan penawaran kerja sama kepada pihak yang dituju sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 ayat (1); dan
     
    b.
    menerima penawaran kerja sama dari pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 ayat (1).
    (2)
    Kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 ayat (2) dituangkan dalam bentuk dokumen perjanjian kerja sama.
    (3)
    Khusus untuk bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 ayat (2) huruf a, dokumen perjanjian kerja sama ditetapkan oleh Wali Kota bersama mitra kerja sama.
    (4)
    Dokumen perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit mengatur ketentuan mengenai:
     
    a.
    subjek kerja sama, maksud dan tujuan;
     
    b.
    ruang lingkup;
     
    c.
    hak dan kewajiban para pihak yang terlibat;
     
    d.
    jangka waktu perjanjian;
     
    e.
    sumber pembiayaan;
     
    f.
    penyelesaian perselisihan;
     
    g.
    sanksi;
     
    h.
    korespondensi; dan
     
    i.
    perubahan.
    (5)
    Penyelenggaraan kerja sama optimalisasi pemungutan Pajak antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 144

    (1)
    Dalam rangka optimalisasi pemungutan Pajak, Pemerintah Daerah dapat meminta data dan/atau informasi kepada pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan.
    (2)
    Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa data dan/atau informasi yang berkaitan dengan orang pribadi atau Badan yang terdaftar dan memiliki omzet.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedelapan
    Kerahasiaan Data Wajib Pajak
     

    Pasal 145

    (1)
    Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
    (2)
    Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Walikota untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
    (3)
    Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
     
    a.
    pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
     
    b.
    pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Walikota untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
    (4)
    Untuk kepentingan Daerah, Wali Kota berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
    (5)
    Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Walikota dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
    (6)
    Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesembilan
    Insentif Pemungutan Pajak dan Retribusi
     

    Pasal 146

    (1)
    Perangkat Daerah yang melaksanakan Pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
    (2)
    Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui APBD.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB V
    KETENTUAN PENYIDIKAN
     

    Pasal 147

    (1)
    Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
    (2)
    Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
     
    a.
    menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang Pajak dan Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
     
    b.
    meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana Pajak dan Retribusi;
     
    c.
    meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang Pajak dan Retribusi;
     
    d.
    memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang Pajak dan Retribusi;
     
    e.
    melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
     
    f.
    meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang Pajak dan Retribusi;
     
    g.
    menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
     
    h.
    memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang Pajak dan Retribusi;
     
    i.
    memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
     
    j.
    menghentikan penyidikan; dan/atau
     
    k.
    melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana dibidang Pajak dan Retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VI
    KETENTUAN PIDANA
     

    Pasal 148

    (1)
    Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak mengisi dengan benar dan lengkap serta tidak menyampaikan dokumen surat pemberitahuan Pajak kepada Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5), sehingga merugikan Keuangan Daerah dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
    (2)
    Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak mengisi dengan benar dan lengkap serta tidak menyampaikan dokumen surat pemberitahuan Pajak kepada Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5), sehingga merugikan Keuangan Daerah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 149

    Tindak pidana di bidang Pajak tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak:
    a.
    saat Pajak terutang;
    b.
    masa Pajak berakhir;
    c.
    bagian Tahun Pajak berakhir; atau
    d.
    Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 150

    (1)
    Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (1), Pasal 115 ayat (1), dan Pasal 127 ayat (1), sehingga merugikan Keuangan Daerah, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak 3 (tiga) kali dari jumlah Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
    (2)
    Sanksi Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipenuhi.
    (3)
    Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 151

    Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 152

    Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 dan Pasal 150 merupakan pendapatan Negara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VII
    KETENTUAN PERALIHAN
     

    Pasal 153

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini diundangkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak dan Retribusi yang ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 154

    Ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 155

    Ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak dan Retribusi, hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 156

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku peraturan Wali Kota yang merupakan peraturan pelaksanaan dari:
    1.
    Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Daerah Kota Padang Tahun 2011 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kota Padang Nomor 28);
    2.
    Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak Air Tanah (Lembaran Daerah Kota Padang Tahun 2011 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kota Padang Nomor 29);
    3.
    Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pajak Restoran (Lembaran Daerah Kota Padang Tahun 2011 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kota Padang Nomor 30);
    4.
    Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pajak Hiburan (Lembaran Daerah Kota Padang Tahun 2011 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kota Padang Nomor 31);
    5.
    Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kota Padang Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Kota Padang Nomor 34);
    6.
    Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kota Padang Tahun 2011 Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Kota Padang Nomor 35);
    7.
    Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kota Padang Tahun 2011 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah Kota Padang Nomor 38) sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 1 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kota Padang Tahun 2019 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kota Padang Nomor 106);
    8.
    Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kota Padang Tahun 2011 Nomor 12, Tambahan Lembaran Daerah Kota Padang Nomor 39) sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 9 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kota Padang Tahun 2018 Nomor 9, Tambahan Lembaran Daerah Kota Padang Nomor 105);
    9.
    Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Kota Padang Tahun 2011 Nomor 13, Tambahan Lembaran Daerah Kota Padang Nomor 40) sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 2 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Kota Padang Tahun 2019 Nomor 2 Tambahan Lembaran Daerah Kota Padang Nomor 107),
    dinyatakan tetap berlaku sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VIII
    KETENTUAN PENUTUP
     

    Pasal 157

    Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
    a.
    Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Daerah Kota Padang Tahun 2011 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kota Padang Nomor 28);
    b.
    Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak Air Tanah (Lembaran Daerah Kota Padang Tahun 2011 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kota Padang Nomor 29);
    c.
    Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pajak Restoran (Lembaran Daerah Kota Padang Tahun 2011 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kota Padang Nomor 30);
    d.
    Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pajak Hiburan (Lembaran Daerah Kota Padang Tahun 2011 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kota Padang Nomor 31);
    e.
    Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kota Padang Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Kota Padang Nomor 34);
    f.
    Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kota Padang Tahun 2011 Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Kota Padang Nomor 35);
    g.
    Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kota Padang Tahun 2011 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah Kota Padang Nomor 38) sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 1 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kota Padang Tahun 2019 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kota Padang Nomor 106);
    h.
    Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kota Padang Tahun 2011 Nomor 12, Tambahan Lembaran Daerah Kota Padang Nomor 39) sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 9 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kota Padang Tahun 2018 Nomor 9, Tambahan Lembaran Daerah Kota Padang Nomor 105);
    i.
    Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Kota Padang Tahun 2011 Nomor 13, Tambahan Lembaran Daerah Kota Padang Nomor 40) sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 2 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Kota Padang Tahun 2019 Nomor 2 Tambahan Lembaran Daerah Kota Padang Nomor 107),
    dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 158

    Ketentuan mengenai Opsen PKB dan Opsen BBNKB sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2025.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 159

    Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Padang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Ditetapkan di Padang
    pada tanggal 5 Januari 2024
    WALI KOTA PADANG,
    dto.
    HENDRI SEPTA

    Diundangkan di Padang
    pada tanggal 5 Januari 2024
    SEKRETARIS DAERAH KOTA PADANG,
    dto.
    ANDREE HARMADI ALGAMAR

    LEMBARAN DAERAH KOTA PADANG TAHUN 2024 NOMOR 1
     

    PENJELASAN

    ATAS

    PERATURAN DAERAH KOTA PADANG
    NOMOR 1 TAHUN 2024

     
    TENTANG

    PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
     
     
     
     
    I.
    UMUM
     
    Pada prinsipnya pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Pemberian otonomi daerah dapat dipahami bahwa Daerah diberikan hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut asas otonomi dan tugas pembantuan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam rangka mewujudkan tujuan negara.

    Untuk mewujudkan tujuan negara tersebut maka diperlukan sumber keuangan bagi Daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah. Pemberian sumber pendapatan kepada Daerah harus seimbang dengan beban atau Urusan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah. Keseimbangan sumber pendapatan ini merupakan jaminan terselenggaranya urusan pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah.

    Daerah sebagai daerah otonom diharapkan mampu membiayai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang diserahkan, dengan mengoptimalkan potensi pendapatan daerah. Pendapatan daerah antara lain diperoleh melalui Pajak dan Retribusi. Pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, terjadi beberapa perubahan mendasar dalam pengaturan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yakni dengan diamanatkannya pengaturan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam satu peraturan daerah.

    Selain itu juga terdapat restrukturisasi jenis Pajak, pemberian sumber perpajakan Daerah yang baru dan penyederhanaan jenis Retribusi. Restrukturisasi Pajak dilakukan melalui reklasifikasi 5 (lima) jenis Pajak yang berbasis konsumsi menjadi satu jenis Pajak, yaitu PBJT. Hal ini bertujuan untuk menyelaraskan Objek Pajak antara pajak pusat dan pajak daerah sehingga menghindari adanya duplikasi pemungutan pajak, menyederhanakan administrasi perpajakan sehingga manfaat yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya pemungutan, memudahkan pemantauan pemungutan Pajak terintegrasi oleh Pemerintah Daerah, dan mempermudah masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, sekaligus mendukung kemudahan berusaha dengan adanya simplifikasi administrasi perpajakan.

    Kemudian juga terdapat jenis pajak baru bagi Daerah yakni Opsen Pajak atas PKB dan BBNKB yang sejatinya merupakan pengalihan dari bagi hasil pajak provinsi. Selanjutnya dalam Undang-Undang tersebut juga mengamanatkan penyederhanaan retribusi yang dilakukan melalui rasionalisasi jumlah Retribusi. Retribusi diklasifikasikan dalam 3 (tiga) jenis, yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu. Jumlah atas jenis Objek Retribusi disederhanakan dari 32 (tiga puluh dua) jenis menjadi 18 (delapan belas) jenis pelayanan. Rasionalisasi tersebut memiliki tujuan agar Retribusi yang akan dipungut Pemerintah Daerah dapat dipungut dengan efektif dengan biaya pemungutan yang rendah. Selain itu, rasionalisasi dimaksudkan untuk mengurangi beban masyarakat dalam mengakses layanan dasar publik yang menjadi kewajiban Pemerintah Daerah.

    Saat ini, dalam menyelenggarakan perpajakan dan Retribusi Pemerintah Daerah telah mempunyai Peraturan Daerah yakni:
     
     
     
     
     
     
    1.
    Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan;
     
    2.
    Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak Air Tanah;
     
    3.
    Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pajak Restoran;
     
    4.
    Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pajak Hiburan;
     
    5.
    Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan;
     
    6.
    Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah;
     
    7.
    Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 1 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum;
     
    8.
    Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 9 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Retribusi Jasa Usaha; dan
     
    9.
    Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 2 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu.
     
     
     
     
     
    Peraturan Daerah tersebut diatas sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan kondisi khas/khusus Daerah, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yang Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah sehingga perlu dicabut dan diganti dengan Peraturan Daerah baru. Hal ini selaras dengan eksistensi Peraturan Daerah sebagai bagian dari satu kesatuan sistem hukum nasional.

    Lebih lanjut Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ini diharapkan berfungsi sebagai budgeter dan reguleren yakni meningkatkan pendapatan daerah di satu sisi dan menjadi alat pengatur masyarakat di Daerah di sisi lainnya. Dengan fungsi tersebut, Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ini diharapkan juga mampu menjamin kemudahan berusaha dan ekosistem investasi di Daerah sehingga meningkatkan pertumbuhan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat di Daerah.

    Secara umum Peraturan Daerah ini memuat materi-materi pokok yang disusun secara sistematis sebagai berikut, Pajak Daerah, Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, Retribusi Perizinan Tertentu, Pemungutan Pajak dan Retribusi, Pembinaan dan Pengawasan.
     
     
     
     
     
     
    II.
    PASAL DEMI PASAL
     
    Pasal 1
    Cukup jelas.
    Pasal 2
    Cukup jelas.
    Pasal 3
    Cukup jelas.
    Pasal 4
    Cukup jelas.
    Pasal 5
    Cukup jelas.
    Pasal 6
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Yang dimaksud dengan "Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis" adalah jalur rel yang digunakan sebagai infrastruktur perhubungan untuk moda berbasis rel dimaksud, tidak termasuk area lain pada stasiun seperti kantor, gedung parkir, lounge, fasilitas makan/minum, dan fasilitas hiburan di stasiun.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Huruf i
    Cukup jelas.
    Pasal 7
    Cukup jelas.
    Pasal 8
    Cukup jelas.
    Pasal 9
    Cukup jelas.
    Pasal 10
    Cukup jelas.
    Pasal 11
    Cukup jelas.
    Pasal 12
    Cukup jelas.
    Pasal 13
    Cukup jelas.
    Pasal 14
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Yang dimaksud dengan “untuk perolehan hak pertama wajib pajak” adalah nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak yang diberikan terhadap wajib pajak untuk perolehan hak pertama wajib pajak di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB, tidak dapat digunakan untuk menghitung BPHTB perolehan hak kedua dan seterusnya.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Yang dimaksud dengan “untuk hibah wasiat atau waris yang diterima orang pribadi berupa tanah ulayat/kaum” adalah perolehan hak berupa tanah ulayat/kaum di mana tanah/bangunan yang diperoleh tidak dapat dijual atau harus diwariskan kembali.
    Pasal 15
    Cukup jelas.
    Pasal 16
    Cukup jelas.
    Pasal 17
    Cukup jelas.
    Pasal 18
    Cukup jelas.
    Pasal 19
    Ayat (1)
    Huruf a
    Contoh Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
    1.
    Toko Roti A melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti A untuk dijual kepada konsumen. Toko Roti A tidak menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti A tidak memenuhi kriteria Restoran, sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai.
    2.
    Toko Roti dengan merek dagang B pada Mal X di Kota Z melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti B untuk dijual kepada konsumen. Untuk meningkatkan pelayanannya kepada konsumen, Toko Roti B menyediakan meja dan kursi kepada konsumen untuk menyantap di tempat. Oleh karena itu, toko roti dimaksud merupakan Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan terutang PBJT bukan objek pajak pertambahan nilai.
    3.
    Toko Roti dengan merek dagang B pada Pusat Pertokoan Y di Kota Z melakukan produksi (proses pembuatan dan pengolahan bahan menjadi roti) sekaligus penjualan roti kepada konsumen. Toko dimaksud hanya melakukan pembuatan dan penjualan langsung kepada konsumen tanpa menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti dimaksud tidak memenuhi kriteria Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai. Dengan demikian, meskipun atas toko roti yang memiliki merek dagang yang sama, dapat terjadi perbedaan perlakuan perpajakan, bergantung pada pelayanan riil toko roti apakah hanya menjual (distribusi) atau memberikan pelayanan selayaknya Restoran.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 20
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Yang dimaksud dengan “konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait” adalah pemakaian tenaga listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas di bawah 5.000 watt, dengan ketentuan ketika terjadi pemadaman listrik maka tidak dipungut pajaknya.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Pasal 21
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Yang dimaksud dengan "persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel" adalah ruangan yang disewa oleh pelaku usaha untuk penyelenggaraan kegiatan usaha seperti kantor, toko, atau mesin anjungan tunai mandiri (ATM) di dalam hotel.
    Pasal 22
    Cukup jelas.
    Pasal 23
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Yang dimaksud dengan "permainan ketangkasan" adalah bentuk permainan yang berada di dalam kawasan arena dan/atau taman bermain yang dipungut bayaran, baik yang berada di dalam ruangan maupun di luar ruangan seperti permainan ding-dong, lempar bola ke dalam keranjang, paintball, dan sebagainya.
    Huruf i
    Yang dimaksud dengan "olahraga permainan" adalah bentuk persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran (fitness center), lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggunaannya.
    Huruf j
    Cukup jelas.
    Huruf k
    Cukup jelas.
    Huruf l
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 24
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Penjualan atau penyerahan barang dan jasa tertentu oleh Wajib Pajak termasuk penyediaan akomodasi yang dipasarkan oleh pihak ketiga berupa tempat tinggal yang difungsikan sebagai hotel. Dalam kondisi dimaksud, yang menjadi Wajib Pajak PBJT adalah pemilik atau pihak yang menguasai tempat tinggal, yang menyerahkan jasa akomodasi kepada konsumen akhir, bukan penyedia jasa pemasaran atau pengelolaan melalui platform digital.
    Pasal 25
    Cukup jelas.
    Pasal 26
    Cukup jelas.
    Pasal 27
    Cukup jelas.
    Pasal 28
    Cukup jelas.
    Pasal 29
    Cukup jelas.
    Pasal 30
    Cukup jelas.
    Pasal 31
    Cukup jelas.
    Pasal 32
    Cukup jelas.
    Pasal 33
    Cukup jelas.
    Pasal 34
    Cukup jelas.
    Pasal 35
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan “pemanfaatan” adalah penggunaan Air Tanah di sumbernya tanpa dilakukan pengambilan.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 36
    Cukup jelas.
    Pasal 37
    Cukup jelas.
    Pasal 38
    Cukup jelas.
    Pasal 39
    Cukup jelas.
    Pasal 40
    Cukup jelas.
    Pasal 41
    Cukup jelas.
    Pasal 42
    Cukup jelas.
    Pasal 43
    Cukup jelas.
    Pasal 44
    Cukup jelas.
    Pasal 45
    Cukup jelas.
    Pasal 46
    Cukup jelas.
    Pasal 47
    Cukup jelas.
    Pasal 48
    Cukup jelas.
    Pasal 49
    Cukup jelas.
    Pasal 50
    Cukup jelas.
    Pasal 51
    Cukup jelas.
    Pasal 52
    Cukup jelas.
    Pasal 54
    Cukup jelas.
    Pasal 55
    Cukup jelas.
    Pasal 56
    Cukup jelas.
    Pasal 57
    Cukup jelas.
    Pasal 58
    Cukup jelas.
    Pasal 59
    Cukup jelas.
    Pasal 60
    Cukup jelas.
    Pasal 61
    Cukup jelas.
    Pasal 62
    Cukup jelas.
    Pasal 63
    Cukup jelas.
    Pasal 64
    Cukup jelas.
    Pasal 65
    Cukup jelas.
    Pasal 66
    Cukup jelas.
    Pasal 67
    Cukup jelas.
    Pasal 68
    Cukup jelas.
    Pasal 69
    Cukup jelas.
    Pasal 70
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Penyesuaian detail rincian objek dalam Peraturan Wali Kota dapat dilakukan sepanjang detail rincian objek yang baru merupakan bagian dari rincian objek yang telah diatur dalam Perda.
     
    Contoh:
    Pada tahun 2025, RSUD X pada Kota Y menyediakan pelayanan kesehatan berupa pelayanan penyakit mulut dan pelayanan konservasi gigi. Pelayanan tersebut ditetapkan dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi sebagai berikut:
     
    Perda PDRD:
    1.
    objek Retribusi: Retribusi pelayanan kesehatan
    1.1.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan penyakit mulut
    1.2.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan konservasi gigi
     
    Pada tahun 2027, RSUD X pada Kota Y memiliki inovasi dan membuka 2 (dua) pelayanan baru berupa pelayanan farmasi dan pelayanan bedah yang merupakan bagian dari pelayanan konservasi gigi. Maka, untuk memungut Retribusi atas kedua pelayanan baru tersebut, Pemerintah Kota Y menyempurnakan ketentuan Pemungutan yang telah ditetapkan dalam Perda mengenai Pajak dan Retribusi dengan menetapkan Peraturan Walikota sebagai berikut:
     
    Peraturan Walikota:
    1.
    objek Retribusi: Retribusi pelayanan kesehatan
    1.1.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan penyakit mulut
    1.2.
    rincian objek Retribusi: Pelayanan konservasi gigi
    1.2.1.
    detail rincian objek Retribusi: Pelayanan farmasi
    1.2.2.
    detail rincian objek Retribusi: Pelayanan bedah
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Pasal 71
    Cukup jelas.
    Pasal 72
    Cukup jelas.
    Pasal 73
    Cukup jelas.
    Pasal 74
    Cukup jelas.
    Pasal 75
    Cukup jelas.
    Pasal 76
    Cukup jelas.
    Pasal 77
    Cukup jelas.
    Pasal 78
    Cukup jelas.
    Pasal 79
    Cukup jelas.
    Pasal 80
    Cukup jelas.
    Pasal 81
    Cukup jelas.
    Pasal 82
    Cukup jelas.
    Pasal 83
    Cukup jelas.
    Pasal 84
    Cukup jelas.
    Pasal 85
    Cukup jelas.
    Pasal 86
    Cukup jelas.
    Pasal 87
    Cukup jelas.
    Pasal 88
    Cukup jelas.
    Pasal 89
    Cukup jelas.
    Pasal 90
    Cukup jelas.
    Pasal 91
    Cukup jelas.
    Pasal 92
    Cukup jelas.
    Pasal 93
    Cukup jelas.
    Pasal 94
    Cukup jelas.
    Pasal 95
    Cukup jelas.
    Pasal 96
    Cukup jelas.
    Pasal 97
    Cukup jelas.
    Pasal 98
    Cukup jelas.
    Pasal 99
    Cukup jelas.
    Pasal 100
    Cukup jelas.
    Pasal 101
    Cukup jelas.
    Pasal 102
    Cukup jelas.
    Pasal 103
    Cukup jelas.
    Pasal 104
    Cukup jelas.
    Pasal 105
    Cukup jelas.
    Pasal 106
    Cukup jelas.
    Pasal 107
    Cukup jelas.
    Pasal 108
    Cukup jelas.
    Pasal 109
    Cukup jelas.
    Pasal 110
    Cukup jelas.
    Pasal 111
    Cukup jelas.
    Pasal 112
    Cukup jelas.
    Pasal 113
    Cukup jelas.
    Pasal 114
    Cukup jelas.
    Pasal 115
    Cukup jelas.
    Pasal 116
    Cukup jelas.
    Pasal 117
    Cukup jelas.
    Pasal 118
    Cukup jelas.
    Pasal 119
    Cukup jelas.
    Pasal 120
    Cukup jelas.
    Pasal 121
    Cukup jelas.
    Pasal 122
    Cukup jelas.
    Pasal 123
    Cukup jelas.
    Pasal 124
    Cukup jelas.
    Pasal 125
    Cukup jelas.
    Pasal 126
    Cukup jelas.
    Pasal 127
    Cukup jelas.
    Pasal 128
    Cukup jelas.
    Pasal 129
    Cukup jelas.
    Pasal 130
    Cukup jelas.
    Pasal 131
    Cukup jelas.
    Pasal 132
    Cukup jelas.
    Pasal 133
    Cukup jelas.
    Pasal 134
    Cukup jelas.
    Pasal 135
    Cukup jelas.
    Pasal 136
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi antara lain adalah kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi.
Kondisi objek Pajak antara lain adalah lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, dan nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu.
    Pasal 137
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Kondisi tertentu objek Pajak antara lain objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 138
    Cukup jelas.
    Pasal 139
    Cukup jelas.
    Pasal 140
    Cukup jelas.
    Pasal 141
    Cukup jelas.
    Pasal 142
    Cukup jelas.
    Pasal 143
    Cukup jelas.
    Pasal 144
    Cukup jelas.
    Pasal 145
    Cukup jelas.
    Pasal 146
    Cukup jelas.
    Pasal 147
    Cukup jelas.
    Pasal 148
    Cukup jelas.
    Pasal 149
    Cukup jelas.
    Pasal 150
    Cukup jelas.
    Pasal 151
    Cukup jelas.
    Pasal 152
    Cukup jelas.
    Pasal 153
    Cukup jelas.
    Pasal 154
    Cukup jelas.
    Pasal 155
    Cukup jelas.
    Pasal 156
    Cukup jelas.
    Pasal 157
    Cukup jelas.
    Pasal 158
    Cukup jelas.
    Pasal 159
    Cukup jelas.
     
     
    TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KOTA PADANG TAHUN 2024 NOMOR 137

    Perda Nomor: 1 TAHUN 2024