Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Premium
Terjemahan Dokumen
Ini Belum Tersedia
Ini Belum Tersedia
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Sudah tidak berlaku karena diganti/dicabut
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
|
|||
|
|
|
|
Menimbang |
|||
a.
|
bahwa wabah Corona virus Disease 2019 (COVID-19) merupakan bencana nasional yang mempengaruhi stabilitas ekonomi dan produktivitas sektor tertentu;
|
||
b.
|
bahwa untuk menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi, daya beli masyarakat, dan produktivitas sektor tertentu sehubungan dengan wabah Corona virus Disease 2019 (COVID-19) sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu memberikan insentif pajak dalam rangka mendukung penanggulangan dampak virus corona dimaksud;
|
||
c.
|
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 6 huruf e Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Pemerintah bertanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi pengalokasian anggaran penanggulangan bencana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang memadai, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 17C ayat (7) dan Pasal 17D ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang, Pasal 22 ayat (2) dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, dan Pasal 9 ayat (4d) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, perlu mengatur pemberian insentif pajak bagi Wajib Pajak terdampak wabah virus corona;
|
||
d.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Wabah Virus Corona;
|
||
|
|
||
Mengingat |
|||
1.
|
Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
||
2.
|
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);
|
||
3.
|
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);
|
||
4.
|
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);
|
||
5.
|
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
|
||
6.
|
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara tentang Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723);
|
||
7.
|
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
|
||
|
|
||
MEMUTUSKAN:
|
|||
Menetapkan |
|||
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG INSENTIF PAJAK UNTUK WAJIB PAJAK TERDAMPAK WABAH VIRUS CORONA.
|
|||
|
|||
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
|||
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
|
|||
1.
|
Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPh, adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
|
||
2.
|
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, yang selanjutnya disebut Undang-Undang PPN, adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
|
||
3.
|
Pajak Penghasilan, yang selanjutnya disingkat PPh, adalah Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPh.
|
||
4.
|
Pegawai adalah adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja, berdasarkan perjanjian atau kesepakatan kerja baik secara tertulis maupun tidak tertulis, untuk melaksanakan suatu pekerjaan dalam jabatan atau kegiatan tertentu dengan memperoleh imbalan yang dibayarkan berdasarkan periode tertentu, penyelesaian pekerjaan, atau ketentuan lain yang ditetapkan pemberi kerja.
|
||
5.
|
Nomor Pokok Wajib Pajak, yang selanjutnya disingkat NPWP, adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
|
||
6.
|
Kantor Pelayanan Pajak, yang selanjutnya disebut KPP, adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak.
|
||
7.
|
Wajib Pajak Berstatus Pusat, yang selanjutnya disebut Wajib Pajak Pusat, adalah Wajib Pajak yang terdaftar di KPP dan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dengan kode 3 (tiga) digit terakhirnya adalah 000.
|
||
8.
|
Kemudahan Impor Tujuan Ekspor, yang selanjutnya disebut KITE, meliputi Kemudahan Impor Tujuan Ekspor Pembebasan, Kemudahan Impor Tujuan Ekspor Pengembalian, dan/atau Kemudahan Impor Tujuan Ekspor Industri Kecil dan Menengah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
|
||
9.
|
Perusahaan KITE adalah badan usaha yang telah memenuhi ketentuan dan ditetapkan melalui keputusan Menteri Keuangan untuk mendapatkan fasilitas KITE sesuai perundang-undangan di bidang kepabeanan.
|
||
10.
|
Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang KUP.
|
||
11.
|
Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
|
||
12.
|
Pajak Pertambahan Nilai, yang selanjutnya disingkat PPN, adalah Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN.
|
||
13.
|
Pengusaha Kena Pajak, yang selanjutnya disingkat PKP, adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN.
|
||
|
|
||
BAB II
INSENTIF PPh PASAL 21
Pasal 2 |
|||
(1)
|
Penghasilan yang diterima Pegawai dengan kriteria sebagai berikut:
|
||
|
a.
|
menerima atau memperoleh penghasilan dari pemberi kerja yang:
|
|
|
|
1.
|
memiliki kode Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini; dan/atau
|
|
|
2.
|
telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE;
|
|
b.
|
memiliki NPWP; dan
|
|
|
c.
|
pada masa pajak yang bersangkutan menerima atau memperoleh Penghasilan Bruto yang bersifat tetap dan teratur yang disetahunkan tidak lebih dari Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah),
|
|
|
wajib dipotong PPh Pasal 21 setiap bulan oleh pemberi kerja dengan menerapkan tarif Pasal 17 ayat (1) huruf a Undang-Undang PPh.
|
||
(2)
|
Pajak Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditanggung Pemerintah.
|
||
(3)
|
Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1 adalah sesuai Klasifikasi Lapangan Usaha yang tercantum dan telah dilaporkan pemberi kerja dalam Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Tahun Pajak 2018.
|
||
(4)
|
PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibayarkan secara tunai oleh pemberi kerja pada saat pembayaran penghasilan kepada Pegawai, termasuk dalam hal pemberi kerja memberikan tunjangan PPh Pasal 21 atau menanggung PPh Pasal 21 kepada Pegawai.
|
||
(5)
|
PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah yang diterima oleh Pegawai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dari pemberi kerja tidak diperhitungkan sebagai penghasilan yang dikenakan pajak.
|
||
(6)
|
PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan sejak Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak September 2020.
|
||
(7)
|
Contoh penghitungan PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
||
|
|
||
Pasal 3 |
|||
(1)
|
Pemanfaatan insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dilakukan dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis oleh pemberi kerja kepada Kepala KPP tempat pemberi kerja terdaftar secara langsung menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
||
(2)
|
Insentif PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), berlaku sejak Masa Pajak pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan sampai dengan Masa Pajak September 2020.
|
||
(3)
|
Surat pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang disampaikan oleh pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a angka 2 harus dilampiri dengan Keputusan Menteri Keuangan mengenai penetapan sebagai perusahaan yang mendapat fasilitas KITE.
|
||
(4)
|
Dalam hal pemberi kerja yang telah menyampaikan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a, Kepala KPP dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja sejak menerima pemberitahuan, menerbitkan surat pemberitahuan tidak berhak memanfaatkan insentif PPh Pasal 21 DTP sesuai format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
||
|
|
||
Pasal 4 |
|||
(1)
|
Pemberi kerja harus menyampaikan laporan realisasi PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah kepada Kepala KPP tempat pemberi kerja terdaftar dengan menggunakan formulir sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
||
(2)
|
Atas PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) wajib dibuatkan Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing yang dibubuhi cap atau tulisan "PPh PASAL 21 DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK NOMOR ... /PMK.03/2020" oleh pemberi kerja.
|
||
(3)
|
Laporan realisasi PPh Pasal 21 ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampirkan dengan formulir dan Surat Setoran Pajak atau cetakan kode billing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan paling lambat:
|
||
|
a.
|
tanggal 20 Juli 2020, untuk Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak Juni 2020; dan
|
|
|
b.
|
tanggal 20 Oktober 2020, untuk Masa Pajak Juli 2020 sampai dengan Masa Pajak September 2020.
|
|
|
|
|
|
Pasal 5 |
|||
Pelaksanaan dan pertanggungjawaban belanja subsidi pajak ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai mekanisme pelaksanaan dan pertanggungjawaban atas pajak ditanggung Pemerintah.
|
|||
|
|
||
BAB III
INSENTIF PPh PASAL 22 IMPOR
Pasal 6 |
|||
(1)
|
PPh Pasal 22 Impor dipungut oleh Bank Devisa atau Direktorat Jenderal Bea dan Cukai pada saat Wajib Pajak melakukan impor barang.
|
||
(2)
|
Besarnya tarif PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan mengenai pemungutan PPh Pasal 22 sehubungan dengan pembayaran atas penyerahan barang dan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
|
||
(3)
|
PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari pemungutan kepada Wajib Pajak yang:
|
||
|
a.
|
memiliki kode Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf F yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini; dan/atau
|
|
|
b.
|
telah ditetapkan sebagai Perusahaan KITE.
|
|
(4)
|
Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a adalah sesuai Klasifikasi Lapangan Usaha yang tercantum dan telah dilaporkan Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan Tahunan PPh Tahun Pajak 2018.
|
||
(5)
|
Pembebasan dari pemungutan PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan melalui Surat Keterangan Bebas Pemungutan PPh Pasal 22 Impor.
|
||
(6)
|
Permohonan Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diajukan oleh Wajib Pajak secara tertulis kepada Kepala KPP tempat Wajib Pajak Pusat terdaftar dengan menggunakan formulir sebagaimana dimaksud dalam Lampiran huruf G yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
||
(7)
|
Bagi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b pengajuan Surat Keterangan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilampiri dengan Keputusan Menteri Keuangan mengenai penetapan sebagai perusahaan yang mendapat fasilitas KITE.
|
||
(8)
|
Kepala KPP dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan diterima menerbitkan:
|
||
|
a.
|
Surat Keterangan Bebas Pemungutan PPh Pasal 22 Impor, apabila Wajib Pajak memenuhi; atau
|
|
|
b.
|
Surat Penolakan, apabila Wajib Pajak tidak memenuhi;
|
|
|
kriteria Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan/atau Perusahaan KITE sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dengan menggunakan format sebagaimana dimaksud dalam Lampiran huruf H dan huruf I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
||
(9)
|
Jangka waktu pembebasan dari pemungutan PPh sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku sejak tanggal Surat Keterangan Bebas diterbitkan sampai dengan tanggal 30 September 2020.
|
||
(10)
|
Wajib Pajak yang telah mendapatkan pembebasan PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus menyampaikan laporan realisasi pembebasan PPh Pasal 22 Impor setiap 3 (tiga) bulan kepada Kepala KPP dengan menggunakan formulir sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf J yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
||
(11)
|
Laporan realisasi pembebasan PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (10) disampaikan paling lambat:
|
||
|
a.
|
tanggal 20 Juli 2020, untuk Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak Juni 2020; dan
|
|
|
b.
|
tanggal 20 Oktober 2020, untuk Masa Pajak Juli 2020 sampai dengan Masa Pajak September 2020.
|
|
|
|
|
|
BAB IV
INSENTIF ANGSURAN PPh PASAL 25
Pasal 7 |
|||
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 dalam Tahun Pajak berjalan yang masih harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan dihitung berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam:
|
|||
a.
|
Pasal 25 Undang-Undang PPh; dan/atau
|
||
b.
|
Peraturan Menteri Keuangan mengenai penghitungan angsuran Pajak Penghasilan dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak baru, bank, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak masuk bursa, Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala dan Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu.
|
||
|
|
||
Pasal 8 |
|||
(1)
|
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf a dan/atau huruf b, diberikan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebesar 30% (tiga puluh persen) dari angsuran PPh Pasal 25 yang seharusnya terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
|
||
(2)
|
Pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menyampaikan pemberitahuan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 secara tertulis kepada Kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar secara langsung menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
||
(3)
|
Pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku sejak Masa Pajak pemberitahuan pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan Masa Pajak September 2020.
|
||
(4)
|
Contoh penghitungan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf K yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
||
|
|
||
Pasal 9 |
|||
Terhadap Wajib Pajak yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) huruf a dan/atau huruf b, Kepala KPP dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja sejak menerima pemberitahuan pengurangan angsuran PPh Pasal 25 menerbitkan surat pemberitahuan bahwa Wajib Pajak bersangkutan tidak berhak mendapatkan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 menggunakan format sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
|||
|
|||
Pasal 10 |
|||
(1)
|
Wajib Pajak yang memanfaatkan pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) harus menyampaikan laporan realisasi pengurangan besarnya angsuran PPh Pasal 25 setiap 3 (tiga) bulan kepada Kepala KPP dengan menggunakan formulir sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf L yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
|
||
(2)
|
Laporan realisasi pengurangan angsuran PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat:
|
||
|
a.
|
tanggal 20 Juli 2020, untuk Masa Pajak April 2020 sampai dengan Masa Pajak Juni 2020; dan
|
|
|
b.
|
tanggal 20 Oktober 2020, untuk Masa Pajak Juli 2020 sampai dengan Masa Pajak September 2020.
|
|
|
|
||
BAB V
INSENTIF PPN
Pasal 11 |
|||
(1)
|
Wajib Pajak yang:
|
||
|
a.
|
memiliki Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf F yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini; atau
|
|
|
b.
|
telah ditetapkan sebagai Perusahaan KlTE,
|
|
|
dan menyampaikan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak sebagai PKP berisiko rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang PPN.
|
||
(2)
|
Pengusaha Kena Pajak yang telah mendapatkan fasilitas KlTE sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus melampirkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai penetapan sebagai perusahaan yang mendapat fasilitas KITE, dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN yang diajukan permohonan pengembalian pendahuluan dalam SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai yang diajukan permohonan pengembalian pendahuluan.
|
||
(3)
|
Surat Pemberitahuan Masa PPN yang diberikan pengembalian pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi SPT Masa PPN termasuk pembetulan Surat Pemberitahuan Masa PPN, untuk Masa Pajak sejak berlakunya Peraturan Menteri ini sampai dengan Masa Pajak September 2020 dan disampaikan paling lama tanggal 31 Oktober 2020.
|
||
(4)
|
PKP berisiko rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pengembalian pendahuluan, dengan ketentuan sebagai berikut:
|
||
|
a.
|
PKP dimaksud tidak perlu menyampaikan permohonan penetapan sebagai PKP berisiko rendah;
|
|
|
b.
|
Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan keputusan penetapan secara jabatan sebagai PKP berisiko rendah; dan
|
|
|
c.
|
PKP memiliki Klasifikasi Lapangan Usaha sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf F yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini atau fasilitas KITE yang diberikan kepada PKP masih berlaku pada saat penyampaian Surat Pemberitahuan lebih bayar restitusi.
|
|
(5)
|
Tata cara atas pengembalian pendahuluan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali penelitian terhadap pemenuhan kegiatan tertentu, dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak.
|
||
|
|
|
|
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 12 |
|||
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 2020.
|
|||
|
|||
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
|
|||
|
|
||
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Maret 2020
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
SRI MULYANI INDRAWATI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 23 Maret 2020
DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
WIDODO EKATJAHJANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2020 NOMOR 277
|