Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Premium
Terjemahan Dokumen
Ini Belum Tersedia
Ini Belum Tersedia
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
|
||||
|
|
|||
Menimbang |
||||
a.
|
bahwa ketentuan mengenai kawasan pabean dan tempat penimbunan sementara telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.04/2015 tentang Kawasan Pabean dan Tempat Penimbunan Sementara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 133/PMK.04/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.04/2015 tentang Kawasan Pabean dan Tempat Penimbunan Sementara;
|
|||
b.
|
bahwa untuk meningkatkan kinerja sistem logistik nasional, memperbaiki iklim investasi, dan meningkatkan daya saing perekonomian nasional, perlu menyelaraskan ketentuan mengenai Kawasan Pabean dan Tempat Penimbunan Sementara sebagaimana dimaksud dalam huruf a dengan penerapan Ekosistem Logistik Nasional (National Logistic Ecosystem/NLE);
|
|||
c.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 5 ayat (4) dan Pasal 43 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Kawasan Pabean dan Tempat Penimbunan Sementara;
|
|||
|
|
|||
Mengingat |
||||
1.
|
Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
|||
2.
|
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
|
|||
3.
|
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
|
|||
4.
|
Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
|
|||
5.
|
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1862) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.01/2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1745);
|
|||
|
|
|||
MEMUTUSKAN:
|
||||
Menetapkan |
||||
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG KAWASAN PABEAN DAN TEMPAT PENIMBUNAN SEMENTARA.
|
||||
|
||||
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
||||
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
|
||||
1.
|
Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan.
|
|||
2.
|
Kawasan Pabean adalah kawasan dengan batas-batas tertentu di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang ditetapkan untuk lalu lintas barang yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||
3.
|
Pelabuhan Laut adalah pelabuhan yang dapat digunakan untuk melayani kegiatan angkutan laut dan/atau angkutan penyeberangan yang terletak di laut atau di sungai.
|
|||
4.
|
Bandar Udara adalah kawasan di daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu yang digunakan sebagai tempat pesawat udara mendarat dan, lepas landas, naik turun penumpang, bongkar muat barang, dan tempat perpindahan intra dan antarmoda transportasi, yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan penerbangan, serta fasilitas pokok dan fasilitas penunjang lainnya.
|
|||
5.
|
Tempat Lain Yang Ditetapkan Untuk Lalu Lintas Barang yang selanjutnya disebut Tempat Lain adalah:
|
|||
|
a.
|
tempat selain Pelabuhan Laut dan Bandar Udara, yang dipergunakan untuk bongkar muat barang impor dan/atau barang ekspor;
|
||
|
b.
|
kawasan perbatasan yang di dalamnya terdapat pos lintas batas atau pos pemeriksaan lintas batas;
|
||
|
c.
|
tempat yang dipergunakan untuk lalu lintas barang impor dan/atau barang ekspor di kantor tempat penyelesaian kewajiban pabean atas layanan pos sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan mengenai pos; atau
|
||
|
d.
|
kawasan penunjang Pelabuhan Laut atau Bandar Udara yang ditunjuk oleh penyelenggara Pelabuhan Laut atau Bandar Udara untuk lalu lintas barang impor dan/atau barang ekspor.
|
||
6.
|
Penyelenggara Pelabuhan Laut adalah otoritas pelabuhan atau unit penyelenggara pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai pelayaran.
|
|||
7.
|
Penyelenggara Bandar Udara adalah otoritas Bandar Udara sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai penerbangan.
|
|||
8.
|
Tempat Penimbunan Sementara yang selanjutnya disingkat TPS adalah bangunan dan/atau lapangan atau tempat lain yang disamakan dengan itu di Kawasan Pabean untuk menimbun barang, sementara menunggu pemuatan atau pengeluarannya.
|
|||
9.
|
Tempat Penimbunan Sementara Pusat Distribusi yang selanjutnya disebut TPS Pusat Distribusi adalah TPS yang memiliki fungsi utama untuk menimbun barang impor atau ekspor untuk diangkut lanjut.
|
|||
10.
|
Tempat Penimbunan Sementara Barang Bawaan Penumpang, Awak Sarana Pengangkut, dan Pelintas Batas yang selanjutnya disebut TPS Barang Bawaan Penumpang, Awak Sarana Pengangkut, dan Pelintas Batas adalah TPS yang ditujukan untuk menimbun barang penumpang, barang awak sarana pengangkut, dan barang pelintas batas yang belum diselesaikan kewajiban pabean atau barang yang tertinggal atau tidak diketahui pemiliknya (lost and found).
|
|||
11.
|
Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Kepabeanan.
|
|||
12.
|
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
|
|||
13.
|
Kantor Wilayah adalah Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||
14.
|
Kantor Pelayanan Utama adalah Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai.
|
|||
15.
|
Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||
16.
|
Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan.
|
|||
|
|
|||
BAB II
KAWASAN PABEAN
Bagian Kesatu
Penetapan Kawasan Pabean
Pasal 2 |
||||
(1)
|
Kawasan di Pelabuhan Laut, Bandar Udara, atau Tempat Lain yang digunakan untuk lalu lintas barang impor dan/atau barang ekspor, harus ditetapkan sebagai Kawasan Pabean.
|
|||
(2)
|
Kawasan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kawasan yang terbatas untuk kegiatan pelayanan dan pengawasan kepabeanan.
|
|||
(3)
|
Dalam hal Kawasan Pabean di Pelabuhan Laut atau Bandar Udara:
|
|||
|
a.
|
tidak cukup untuk menampung volume barang impor dan/atau barang ekspor; dan/atau
|
||
|
b.
|
tidak tersedia tempat khusus yang digunakan untuk menimbun barang-barang konsolidasi, barang berbahaya, barang yang memiliki sifat merusak atau mempengaruhi barang lain, dan/atau barang yang memerlukan instalasi atau penanganan khusus,
|
||
|
kawasan penunjang Pelabuhan Laut atau Bandar Udara yang akan dipergunakan untuk lalu lintas barang impor dan/atau barang ekspor, dapat ditetapkan sebagai Kawasan Pabean.
|
|||
(4)
|
Penetapan kawasan penunjang Pelabuhan Laut atau Bandar Udara sebagai Kawasan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berdasarkan keterangan tertulis dari Penyelenggara Pelabuhan Laut atau Penyelenggara Bandar Udara.
|
|||
(5)
|
Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama atas nama Menteri menetapkan suatu Kawasan sebagai Kawasan Pabean.
|
|||
(6)
|
Kawasan penunjang Pelabuhan Laut atau Bandar Udara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan Kawasan Pabean yang bersifat sementara.
|
|||
(7)
|
Terhadap kawasan penunjang Pelabuhan Laut atau Bandar Udara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan evaluasi oleh Kepala Kantor Pabean setiap tahun.
|
|||
|
|
|||
Pasal 3 |
||||
(1)
|
Untuk memperoleh penetapan sebagai Kawasan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, pengelola Pelabuhan Laut, Bandar Udara, atau Tempat Lain, mengajukan permohonan kepada Menteri melalui:
|
|||
|
a.
|
Kepala Kantor Wilayah melalui Kepala Kantor Pabean; atau
|
||
|
b.
|
Kepala Kantor Pelayanan Utama.
|
||
(2)
|
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat data mengenai:
|
|||
|
a.
|
identitas penanggung jawab;
|
||
|
b.
|
pengelola Pelabuhan Laut, Bandar Udara, atau Tempat Lain;
|
||
|
c.
|
lokasi kawasan; dan
|
||
|
d.
|
batas-batas dan pintu keluar atau pintu masuk kawasan yang dimintakan penetapan sebagai Kawasan Pabean.
|
||
(3)
|
Dalam hal pengelola Pelabuhan Laut, Bandar Udara, atau Tempat Lain merupakan badan usaha, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan:
|
|||
|
a.
|
salinan akte pendirian perusahaan sebagai badan hukum;
|
||
|
b.
|
surat izin usaha dari instansi terkait;
|
||
|
c.
|
bukti penetapan sebagai Pelabuhan Laut atau Bandar Udara, dalam hal kawasan berada di Pelabuhan Laut atau Bandar Udara;
|
||
|
d.
|
bukti status kepemilikan dan/atau penguasaan kawasan;
|
||
|
e.
|
rekomendasi dari Penyelenggara Pelabuhan Laut atau Penyelenggara Bandar Udara, dalam hal kawasan berada di Pelabuhan Laut atau di Bandar Udara, kecuali terminal khusus;
|
||
|
f.
|
keterangan tertulis dari Penyelenggara Pelabuhan Laut atau Penyelenggara Bandar Udara, dalam hal kawasan merupakan kawasan penunjang Pelabuhan Laut atau Bandar Udara;
|
||
|
g.
|
bukti pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak, kecuali kawasan berada di kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas; dan
|
||
|
h.
|
gambar denah lokasi dengan batas-batas yang jelas dan tata ruang yang meliputi pintu masuk atau pintu keluar dan tempat pembongkaran atau pemuatan barang.
|
||
(4)
|
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara elektronik melalui portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||
(5)
|
Dalam hal portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (4) belum tersedia atau mengalami gangguan, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan secara manual.
|
|||
|
|
|||
Pasal 4 |
||||
(1)
|
Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama melakukan penelitian terhadap permohonan penetapan sebagai Kawasan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
|
|||
(2)
|
Dalam hal diperlukan, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dapat melakukan pemeriksaan lapangan.
|
|||
(3)
|
Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama atas nama Menteri memberikan persetujuan atau penolakan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap.
|
|||
(4)
|
Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) disetujui, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama atas nama Menteri menerbitkan Keputusan Menteri mengenai penetapan suatu kawasan sebagai Kawasan Pabean.
|
|||
(5)
|
Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) ditolak, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama atas nama Menteri menyampaikan surat pemberitahuan penolakan dengan menyebutkan alasan penolakan.
|
|||
|
|
|||
Pasal 5 |
||||
(1)
|
Penetapan suatu kawasan sebagai Kawasan Pabean dapat dilakukan tanpa didahului dengan pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
|
|||
(2)
|
Penetapan sebagai Kawasan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan terhadap:
|
|||
|
a.
|
Tempat Lain berupa kawasan perbatasan yang di dalamnya terdapat pos lintas batas atau pos pemeriksaan lintas batas; dan
|
||
|
b.
|
Pelabuhan Laut, Bandar Udara, atau Tempat Lain berupa kawasan penunjang Pelabuhan Laut atau Bandar Udara yang ditunjuk oleh Penyelenggara Pelabuhan Laut atau Penyelenggara Bandar Udara untuk lalu lintas barang impor dan/atau barang ekspor, yang dikelola oleh lembaga pemerintah atau badan usaha milik negara atau daerah.
|
||
(3)
|
Penetapan Pelabuhan Laut, Bandar Udara, atau Tempat Lain sebagai Kawasan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kepala Kantor Pelayanan Utama atas nama Menteri.
|
|||
(4)
|
Penetapan Pelabuhan Laut, Bandar Udara, atau Tempat Lain sebagai Kawasan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan berdasarkan usulan dari:
|
|||
|
a.
|
Kepala Kantor Pabean yang mengawasi Pelabuhan Laut, Bandar Udara, atau Tempat Lain, dalam hal ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah atas nama Menteri; atau
|
||
|
b.
|
Kepala Bidang di lingkungan Kantor Pelayanan Utama yang tugas dan fungsinya di bidang pelayanan pabean, dalam hal ditetapkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Utama atas nama Menteri.
|
||
(5)
|
Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
Pelabuhan Laut, Bandar Udara, atau Tempat Lain dimaksud belum pernah dimohonkan penetapan sebagai Kawasan Pabean;
|
||
|
b.
|
terdapat kegiatan lalu lintas barang ekspor dan/atau barang impor; dan
|
||
|
c.
|
memiliki batas-batas tertentu untuk lalu lintas barang ekspor dan/atau barang impor.
|
||
(6)
|
Pihak yang mengelola Pelabuhan Laut, Bandar Udara, atau tempat lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan sebagai pengelola Kawasan Pabean.
|
|||
|
|
|||
Pasal 6 |
||||
Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama atas nama Menteri menetapkan batas-batas kawasan dan pintu keluar atau pintu masuk Kawasan Pabean dalam Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 5 (1) untuk kepentingan pengawasan di bidang kepabeanan.
|
||||
|
||||
Bagian Kedua
Sarana dan Prasarana di Kawasan Pabean
Pasal 7 |
||||
(1)
|
Pengelola Kawasan Pabean harus menyediakan sarana dan prasarana untuk terselenggaranya kegiatan pelayanan dan pengawasan kepabeanan.
|
|||
(2)
|
Sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
|||
|
a.
|
ruangan dan/atau area yang dipergunakan untuk:
|
||
|
|
1.
|
pelayanan dan penyelenggaraan administrasi;
|
|
|
|
2.
|
pemeriksaan fisik barang yang tidak ditimbun di TPS;
|
|
|
|
3.
|
pemeriksaan badan;
|
|
|
|
4.
|
penimbunan barang penumpang, awak sarana pengangkut, dan pelintas batas yang belum diselesaikan kewajiban pabeannya, dan barang tegahan; dan
|
|
|
|
5.
|
pengawasan;
|
|
|
b.
|
kamera Closed Circuit Television (CCTV) yang dapat diakses oleh Pejabat Bea dan Cukai; dan
|
||
|
c.
|
alat pemindai yang sesuai dengan karakteristik barang impor atau barang ekspor, dalam hal Kawasan Pabean berupa:
|
||
|
|
1.
|
Bandar udara;
|
|
|
|
2.
|
Pelabuhan Laut yang memiliki terminal khusus untuk melayani penumpang;
|
|
|
|
3.
|
Tempat Lain berupa kawasan perbatasan yang di dalamnya terdapat pos lintas batas atau pos pemeriksaan lintas batas yang berbentuk Pos Lintas Batas Negara (PLBN); atau
|
|
|
|
4.
|
tempat selain Pelabuhan Laut dan Bandar Udara yang dipergunakan untuk bongkar muat barang impor dan/atau barang ekspor yang mendapatkan penetapan sebagai Kawasan Pelayanan Pabean Terpadu (KPPT).
|
|
(3)
|
Pengelola Kawasan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c yang merupakan instansi pemerintah, dapat menyerahkan aset berupa alat pemindai kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||
(4)
|
Penyerahan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik negara.
|
|||
(5)
|
Kepala Kantor Pabean yang mengawasi Kawasan Pabean memberikan peringatan tertulis kepada pengelola Kawasan Pabean jika sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak lagi tersedia.
|
|||
|
|
|||
Bagian Ketiga
Larangan Penimbunan Barang Selain Barang Impor atau Barang Ekspor di Kawasan Pabean
Pasal 8 |
||||
(1)
|
Barang selain barang impor dan/atau barang ekspor dilarang untuk dimasukkan dan/atau ditimbun di Kawasan Pabean, kecuali untuk:
|
|||
|
a.
|
tujuan pengangkutan selanjutnya;
|
||
|
b.
|
kegiatan operasional dalam Kawasan Pabean; atau
|
||
|
c.
|
tujuan lainnya berdasarkan pertimbangan Kepala Kantor Pabean yang mengawasi kawasan pabean.
|
||
(2)
|
Dalam hal barang yang digunakan untuk kegiatan operasional dalam Kawasan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan barang yang berasal dari impor, kewajiban pabean atas barang yang bersangkutan harus diselesaikan terlebih dahulu.
|
|||
(3)
|
Kepala Kantor Pabean yang mengawasi Kawasan Pabean menyampaikan peringatan tertulis kepada pengelola Kawasan Pabean jika pengelola Kawasan Pabean tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||
(4)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk Kawasan Pabean yang berada di kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.
|
|||
|
|
|||
Bagian Keempat
Perubahan Data Kawasan Pabean
Pasal 9 |
||||
(1)
|
Pengelola Kawasan Pabean harus memberitahukan perubahan data tersebut kepada Kepala Kantor Pabean yang mengawasi Kawasan Pabean, dalam hal terdapat perubahan terhadap data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2).
|
|||
(2)
|
Kepala Kantor Pabean yang mengawasi Kawasan Pabean menyampaikan perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Kepala Kantor Wilayah.
|
|||
(3)
|
Dalam hal Kawasan Pabean berada di bawah pengawasan Kantor Pelayanan Utama, pengelola Kawasan Pabean memberitahukan adanya perubahan terhadap data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) kepada Kepala Kantor Pelayanan Utama.
|
|||
(4)
|
Perubahan data yang diberitahukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), menjadi dasar dalam melakukan perubahan terhadap Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai Kawasan Pabean yang bersangkutan.
|
|||
(5)
|
Kepala Kantor Pabean yang mengawasi Kawasan Pabean memberikan peringatan tertulis kepada pengelola Kawasan Pabean jika data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) tidak sesuai lagi.
|
|||
|
|
|||
Bagian Kelima
Pencabutan Penetapan Kawasan Pabean
Pasal 10 |
||||
(1)
|
Keputusan Menteri mengenai penetapan suatu kawasan sebagai Kawasan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) dicabut dalam hal:
|
|||
|
a.
|
tidak terdapat kegiatan kepabeanan di Kawasan Pabean dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
|
||
|
b.
|
pengelola Kawasan Pabean tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5) dan Pasal 9 ayat (5) dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal surat peringatan;
|
||
|
c.
|
pengelola Kawasan Pabean terbukti bersalah melakukan tindak pidana di bidang kepabeanan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
|
||
|
d.
|
pengelola Kawasan Pabean dinyatakan pailit;
|
||
|
e.
|
pengelola Kawasan Pabean mengajukan permohonan untuk dilakukan pencabutan; atau
|
||
|
f.
|
berdasarkan keterangan tertulis dari penyelenggara Pelabuhan Laut atau Bandar Udara tidak diperlukan lagi kawasan penunjang Pelabuhan Laut atau Bandar Udara sebagai Kawasan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
|
||
(2)
|
Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama atas nama Menteri menerbitkan Keputusan Menteri mengenai pencabutan atas Keputusan Menteri mengenai penetapan suatu kawasan sebagai Kawasan Pabean.
|
|||
|
|
|||
BAB III
TEMPAT PENIMBUNAN SEMENTARA
Bagian Kesatu
Fungsi dan Bentuk TPS
Pasal 11 |
||||
(1)
|
Barang impor sementara menunggu pengeluarannya dari Kawasan Pabean, dapat ditimbun di TPS.
|
|||
(2)
|
Barang ekspor sementara menunggu pemuatannya, dapat ditimbun di TPS.
|
|||
|
|
|||
Pasal 12 |
||||
(1)
|
Bangunan dan/atau lapangan atau tempat lain yang dipersamakan dengan itu yang digunakan untuk menimbun barang impor dan/atau barang ekspor, harus ditetapkan sebagai TPS.
|
|||
(2)
|
Bentuk TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
|
|||
|
a.
|
lapangan penimbunan;
|
||
|
b.
|
lapangan penimbunan peti kemas;
|
||
|
c.
|
gudang penimbunan; dan/atau
|
||
|
d.
|
tangki penimbunan.
|
||
|
|
|
||
Bagian Kedua
Penetapan TPS
Pasal 13 |
||||
(1)
|
Untuk memperoleh penetapan sebagai TPS, Pengusaha tempat penimbunan mengajukan permohonan penetapan suatu bangunan dan/atau lapangan atau tempat lain yang dipersamakan dengan itu sebagai TPS kepada Menteri melalui:
|
|||
|
a.
|
Kepala Kantor Wilayah melalui Kantor Pabean; atau
|
||
|
b.
|
Kepala Kantor Pelayanan Utama.
|
||
(2)
|
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat data mengenai:
|
|||
|
a.
|
identitas penanggung jawab TPS;
|
||
|
b.
|
badan usaha pengelola TPS;
|
||
|
c.
|
lokasi tempat penimbunan; dan
|
||
|
d.
|
ukuran luas dan/atau daya tampung (volume) serta batas-batas tempat penimbunan yang dimintakan penetapan sebagai TPS.
|
||
(3)
|
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan:
|
|||
|
a.
|
salinan akte pendirian perusahaan sebagai badan hukum;
|
||
|
b.
|
izin usaha penimbunan dan/atau pergudangan dari instansi pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah;
|
||
|
c.
|
bukti kepemilikan atas tempat penimbunan atau penguasaan atas tempat penimbunan paling singkat 2 (dua) tahun;
|
||
|
d.
|
rekomendasi dari Penyelenggara Pelabuhan Laut atau Penyelenggara Bandar Udara, dalam hal tempat penimbunan berada di Pelabuhan Laut atau di Bandar Udara, kecuali terminal khusus;
|
||
|
e.
|
bukti pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak, kecuali tempat penimbunan berada di kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas;
|
||
|
f.
|
gambar denah lokasi dan tata ruang yang meliputi:
|
||
|
|
1.
|
tempat penimbunan barang impor, barang ekspor, dan/atau barang asal Daerah Pabean yang diangkut ke tempat lain dalam Daerah Pabean melalui luar Daerah Pabean;
|
|
|
|
2.
|
tempat pemeriksaan fisik barang,
|
|
|
|
3.
|
ruang kerja Pejabat Bea dan Cukai; dan/atau
|
|
|
|
4.
|
tempat lain yang menunjang kegiatan pengelolaan TPS;
|
|
|
g.
|
daftar peralatan dan fasilitas penunjang kegiatan usaha yang dimiliki dan surat pernyataan kesanggupan untuk menyediakan peralatan dan fasilitas yang memadai yang disesuaikan dengan volume kegiatan;
|
||
|
h.
|
data mengenai profil perusahaan;
|
||
|
i.
|
surat pernyataan mengenai kesanggupan melunasi bea masuk dan/atau cukai, sanksi administrasi berupa denda, serta pajak dalam rangka impor, dalam hal terdapat kewajiban pelunasan oleh pengusaha TPS; dan
|
||
|
j.
|
surat keterangan dari pengelola Kawasan Pabean tentang penggunaan bangunan dan/atau lapangan atau tempat lain yang dipersamakan dengan itu, dalam hal pengusaha tempat penimbunan bukan pengelola Kawasan Pabean.
|
||
(4)
|
Dalam hal tempat penimbunan berupa tangki penimbunan, selain harus melampirkan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3), permohonan juga dilampiri dengan:
|
|||
|
a.
|
hasil peneraan atas tangki penimbunan dari instansi yang berwenang; dan
|
||
|
b.
|
daftar alat ukur yang dimiliki disertai hasil peneraan atas alat ukur dari instansi yang berwenang atau surat pernyataan sanggup untuk menyediakan alat ukur yang memadai.
|
||
(5)
|
Dalam hal tempat penimbunan akan digunakan untuk menimbun barang curah, selain harus melampirkan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3), permohonan juga dilampiri dengan daftar alat ukur yang dimiliki disertai hasil peneraan atas alat ukur dari instansi yang berwenang atau surat pernyataan sanggup untuk menyediakan alat ukur yang memadai.
|
|||
(6)
|
Dalam hal pengelola Kawasan Pabean dan pengusaha TPS merupakan pihak yang sama, dan lokasi tempat penimbunan yang akan dimintakan penetapan sebagai TPS belum ditetapkan sebagai Kawasan Pabean, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat digabung dalam 1 (satu) permohonan dengan permohonan penetapan suatu kawasan sebagai Kawasan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1).
|
|||
(7)
|
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara elektronik melalui portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
|||
(8)
|
Dalam hal portal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (7) belum tersedia atau mengalami gangguan, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan secara manual.
|
|||
|
|
|||
Pasal 14 |
||||
(1)
|
Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama melakukan penelitian terhadap permohonan penetapan sebagai TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1).
|
|||
(2)
|
Dalam hal diperlukan, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dapat melakukan pemeriksaan lapangan.
|
|||
(3)
|
Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama atas nama Menteri memberikan persetujuan atau penolakan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap.
|
|||
(4)
|
Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) disetujui, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama atas nama Menteri menerbitkan Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai TPS.
|
|||
(5)
|
Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6) disetujui, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama atas nama Menteri menerbitkan Keputusan Menteri mengenai penetapan suatu kawasan sebagai Kawasan Pabean dan Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai TPS.
|
|||
(6)
|
Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) atau Pasal 13 ayat (6) ditolak, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama atas nama Menteri menyampaikan surat pemberitahuan penolakan dengan menyebutkan alasan penolakan.
|
|||
(7)
|
Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) berlaku:
|
|||
|
a.
|
selama 5 (lima) tahun; atau
|
||
|
b.
|
sampai dengan berakhirnya masa penguasaan, dalam hal masa penguasaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) huruf d kurang dari 5 (lima) tahun.
|
||
(8)
|
Untuk dapat diberikan perpanjangan penetapan sebagai TPS, Pengusaha TPS harus mengajukan permohonan perpanjangan penetapan TPS sebelum masa berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (7) berakhir.
|
|||
(9)
|
Permohonan perpanjangan penetapan TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (8) disampaikan kepada Menteri melalui Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama.
|
|||
(10)
|
Dalam hal penetapan sebagai TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau ayat (5) berakhir karena masa penguasaan tempat penimbunan berakhir, perpanjangan penetapan TPS dilampiri dengan bukti perpanjangan masa penguasaan tempat penimbunan.
|
|||
(11)
|
Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama atas nama Menteri memberikan persetujuan atau penolakan terhadap permohonan perpanjangan penetapan TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (8) paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap.
|
|||
|
|
|||
Bagian Ketiga
Penimbunan Barang di TPS
Pasal 15 |
||||
(1)
|
Penimbunan barang di dalam TPS harus dipisahkan antara barang impor, barang ekspor, dan barang asal Daerah Pabean yang diangkut ke tempat lain dalam Daerah Pabean melalui luar Daerah Pabean.
|
|||
(2)
|
Barang berbahaya, barang yang memiliki sifat merusak atau mempengaruhi barang lain, dan/atau barang yang memerlukan instalasi atau penanganan khusus, harus ditimbun di tempat khusus yang disediakan untuk itu.
|
|||
(3)
|
Peti kemas kosong harus ditimbun di tempat khusus yang disediakan untuk itu.
|
|||
|
|
|||
Pasal 16 |
||||
(1)
|
Peti kemas atau kemasan barang lainnya yang ditimbun di TPS hanya dapat dibuka untuk kepentingan pemeriksaan fisik barang dan/atau pengambilan contoh barang dalam rangka pemeriksaan pabean dan/atau pemeriksaan karantina.
|
|||
(2)
|
Pemeriksaan fisik barang dalam rangka pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan fisik barang dalam rangka pemeriksaan karantina secara terpadu.
|
|||
(3)
|
Dalam hal terdapat permohonan tertulis dari pemilik barang atau kuasanya, Kepala Kantor Pabean dapat memberikan persetujuan untuk membuka peti kemas atau kemasan barang untuk tujuan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||
|
|
|||
Pasal 17 |
||||
(1)
|
Penimbunan barang di TPS dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal penimbunan.
|
|||
(2)
|
Dalam hal terhadap barang di TPS dilakukan pemindahan lokasi penimbunan ke TPS lain di:
|
|||
|
a.
|
Kawasan Pabean yang sama, jangka waktu penimbunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak ditimbun di TPS asal; atau
|
||
|
b.
|
Kawasan Pabean lain, jangka waktu penimbunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak ditimbun di TPS di Kawasan Pabean lain.
|
||
|
|
|
||
Bagian Keempat
Kewajiban dan Tanggung Jawab Pengusaha TPS
Pasal 18 |
||||
(1)
|
Pengusaha TPS wajib:
|
|||
|
a.
|
menyediakan dan melakukan pemeliharaan tempat pemeriksaan fisik barang;
|
||
|
b.
|
menyediakan dan melakukan pemeliharaan sarana pendukung pemeriksaan fisik barang dalam jumlah memadai yang disesuaikan dengan volume kegiatan penimbunan barang impor atau ekspor;
|
||
|
c.
|
menyediakan dan memastikan ketersediaan tenaga kerja bongkar muat untuk membantu mengangkat dan memindahkan barang dari dan ke dalam peti kemas serta membuka kemasan barang;
|
||
|
d.
|
menyediakan dan melakukan pemeliharaan sarana keamanan, kesehatan dan keselamatan kerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang keselamatan kerja;
|
||
|
e.
|
menyediakan Sistem Penyerahan Petikemas (SP2) secara elektronik yang terhubung dengan Ekosistem Logistik Nasional (National Logistic Ecosystem/NLE) dalam hal TPS berada di Pelabuhan Laut;
|
||
|
f.
|
menyediakan dan melakukan pemeliharaan alat pemindai yang sesuai dengan karakteristik barang impor atau ekspor; dan
|
||
|
g.
|
memberikan penangguhan pembayaran biaya penimbunan di TPS atas barang impor dan/atau barang ekspor yang telah dinyatakan sebagai barang yang dinyatakan tidak dikuasai dan barang yang dikuasai negara yang dipindahkan ke TPP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai barang yang dinyatakan tidak dikuasai, barang yang dikuasai negara, dan barang yang menjadi milik negara.
|
||
(2)
|
Bentuk tempat pemeriksaan fisik barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yakni sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
untuk TPS berupa lapangan penimbunan, tempat pemeriksaan fisik barang berupa lapangan yang disediakan khusus untuk pemeriksaan fisik barang yang dilengkapi dengan atap pelindung dan tersedia tempat yang cukup untuk menempatkan seluruh barang yang dikeluarkan dari dalam kemasan;
|
||
|
b.
|
untuk TPS berupa lapangan penimbunan peti kemas, tempat pemeriksaan fisik barang berupa:
|
||
|
|
1.
|
lapangan yang disediakan khusus untuk pemeriksaan fisik barang yang dilengkapi dengan atap pelindung dan tersedia tempat yang cukup untuk menempatkan barang yang dikeluarkan dari dalam peti kemas; dan/atau
|
|
|
|
2.
|
bangunan (long room inspection) yang bersifat permanen dan beratap, yang memungkinkan dapat dilakukannya pengeluaran, pemeriksaan, dan pemasukan kembali barang impor dari dan ke dalam peti kemas;
|
|
|
c.
|
untuk TPS berupa gudang penimbunan, tempat pemeriksaan fisik barang berupa tempat tertentu dalam gudang yang disediakan khusus untuk pemeriksaan fisik barang; dan
|
||
|
d.
|
untuk TPS berupa tangki penimbunan, tempat pemeriksaan fisik barang berupa tempat dipasangnya alat ukur dan saluran pengeluaran barang yang memungkinkan dilakukannya pengambilan contoh barang.
|
||
(3)
|
Sarana pendukung pemeriksaan fisik barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa:
|
|||
|
a.
|
alat transportasi pengangkutan dan peralatan untuk memindahkan barang dan/atau peti kemas ke dan dari tempat pemeriksaan fisik barang, seperti RTG (Rubber Tyred Gantry), reach stacker, dan truk;
|
||
|
b.
|
peralatan untuk mengangkat, memindahkan, dan/atau mengambil barang dari dan ke dalam peti kemas atau kemasan lainnya, seperti forklift, hand pallet, dan trolley;
|
||
|
c.
|
penerangan yang memungkinkan untuk pemeriksaan pada malam hari atau kondisi lain yang membutuhkan penerangan; dan/atau
|
||
|
d.
|
alat ukur panjang dan/atau alat ukur berat.
|
||
(4)
|
Untuk kepentingan kelancaran arus barang, pengusaha TPS di pelabuhan bongkar dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan persyaratan harus bekerja sama dengan Pengusaha TPS lain yang berada dalam 1 (satu) Kawasan Pabean yang memiliki tempat, sarana, dan tenaga kerja bongkar muat untuk pemeriksaan fisik barang.
|
|||
(5)
|
Alat pemindai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dapat dipergunakan secara bersama-sama dengan pengusaha TPS lain yang lokasinya berdekatan berdasarkan persetujuan Kepala Kantor Pabean yang mengawasi TPS.
|
|||
(6)
|
Dalam TPS dapat ditempatkan sarana dan peralatan untuk pemeriksaan fisik barang dalam rangka pemeriksaan karantina.
|
|||
(7)
|
Kepala Kantor Pabean yang mengawasi TPS dapat memberikan pengecualian dari kewajiban penyediaan alat pemindai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f untuk TPS dengan volume kegiatan tertentu.
|
|||
|
|
|||
Pasal 19 |
||||
(1)
|
Pengusaha TPS yang berada di bawah pengawasan Kantor Pabean yang telah menerapkan sistem komputer pelayanan TPS Online secara mandatory, wajib:
|
|||
|
a.
|
memiliki sistem elektronik pengelolaan penimbunan barang di TPS; dan
|
||
|
b.
|
menyediakan media komunikasi data elektronik yang terhubung (online computer) dengan sistem komputer pelayanan pada Kantor Pabean yang mengawasi TPS.
|
||
(2)
|
Media komunikasi data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus:
|
|||
|
a.
|
secara real time menerima dan mengirim respon dan/atau data dari dan ke sistem komputer pelayanan pada Kantor Pabean; dan
|
||
|
b.
|
terhubung dengan sistem komputer pelayanan pada Kantor Pabean selama 24 (dua puluh empat) jam setiap hari dan 7 (tujuh) hari dalam 1 (satu) minggu.
|
||
(3)
|
Pengusaha TPS yang berada di bawah pengawasan Kantor Pabean yang telah menerapkan sistem pintu otomatis (autogate system), wajib menerapkan sistem pintu otomatis pada pintu masuk atau pintu keluar yang terintegrasi dengan sistem pengelolaan penimbunan barang.
|
|||
(4)
|
Penerapan secara mandatory atas TPS Online sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan sistem pintu otomatis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk Kantor Pabean ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
|
|||
|
|
|||
Pasal 20 |
||||
(1)
|
Pengusaha TPS harus menyediakan ruangan, sarana, dan fasilitas kerja yang layak serta memadai bagi Pejabat Bea dan Cukai untuk menjalankan fungsi pelayanan dan pengawasan kepabeanan.
|
|||
(2)
|
Pengusaha TPS harus memasang:
|
|||
|
a.
|
papan petunjuk identitas yang jelas dengan ukuran paling kurang 60 (enam puluh) cm x 90 (sembilan puluh) cm; dan
|
||
|
b.
|
kamera Closed Circuit Television (CCTV) pada pintu masuk atau pintu keluar, tempat penimbunan barang, dan tempat pemeriksaan fisik barang yang dapat diakses oleh Pejabat Bea dan Cukai.
|
||
|
|
|
||
Pasal 21 |
||||
(1)
|
Pengusaha TPS yang akan memulai operasional kegiatan sebagai TPS harus memiliki izin operasional dari Kepala Kantor Pabean yang mengawasi TPS.
|
|||
(2)
|
Izin operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Kepala Kantor Pabean berdasarkan surat pemberitahuan memulai operasional kegiatan sebagai TPS dari pengusaha TPS setelah dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pasal 19, dan Pasal 20.
|
|||
|
|
|||
Pasal 22 |
||||
(1)
|
Dalam hal terdapat perubahan terhadap data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) dan/atau tata ruang TPS, pengusaha TPS harus memberitahukan adanya perubahan data tersebut kepada Kepala Kantor Pabean yang mengawasi TPS.
|
|||
(2)
|
Kepala Kantor Pabean yang mengawasi TPS menyampaikan perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Kepala Kantor Wilayah.
|
|||
(3)
|
Dalam hal TPS berada di bawah pengawasan Kantor Pelayanan Utama, perubahan terhadap data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) dan/atau tata ruang TPS harus diberitahukan oleh pengusaha TPS kepada Kepala Kantor Pelayanan Utama yang mengawasi TPS.
|
|||
(4)
|
Perubahan data yang diberitahukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar dalam melakukan perubahan terhadap Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai TPS yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4).
|
|||
|
|
|||
Pasal 23 |
||||
(1)
|
Pengusaha TPS wajib menyelenggarakan pembukuan serta menyimpan catatan dan dokumen termasuk data elektronik, yang berkaitan dengan pemasukan dan pengeluaran barang yang ditimbun di TPS untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun.
|
|||
(2)
|
Pengusaha TPS wajib menyerahkan laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan untuk kepentingan audit kepabeanan.
|
|||
|
|
|||
Pasal 24 |
||||
(1)
|
Pengusaha TPS wajib menyampaikan:
|
|||
|
a.
|
daftar kemasan dan/atau peti kemas atau jumlah barang curah yang telah ditimbun di TPS paling lama:
|
||
|
|
1.
|
12 (dua belas) Jam setelah selesainya penimbunan barang, untuk Kantor Pabean yang telah menerapkan sistem komputer pelayanan TPS Online; dan
|
|
|
|
2.
|
24 (dua puluh empat) jam setelah selesainya penimbunan barang, untuk Kantor Pabean yang belum menerapkan sistem komputer pelayanan TPS Online;
|
|
|
b.
|
daftar kemasan dan/atau peti kemas atau jumlah barang curah yang telah dikeluarkan dari TPS paling lama:
|
||
|
|
1.
|
12 (dua belas) jam setelah pengeluaran barang, untuk Kantor Pabean yang telah menerapkan sistem komputer pelayanan TPS Online; dan
|
|
|
|
2.
|
24 (dua puluh empat) jam setelah pengeluaran barang, untuk Kantor Pabean yang belum menerapkan sistem komputer pelayanan TPS Online; dan/atau
|
|
|
c.
|
daftar kemasan dan/atau peti kemas atau jumlah barang curah yang ditimbun di TPS yang telah melewati jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17,
|
||
|
kepada Kepala Kantor Pabean.
|
|||
(2)
|
Penyampaian daftar barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk tulisan di atas formulir atau melalui media elektronik.
|
|||
(3)
|
Dalam hal TPS berada di bawah pengawasan Kantor Pabean yang telah menerapkan sistem komputer pelayanan TPS Online secara mandatory, penyampaian daftar barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk data elektronik melalui media komunikasi data elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19.
|
|||
(4)
|
Dalam hal sistem komputer pelayanan TPS Online sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengalami gangguan, daftar barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan secara manual.
|
|||
(5)
|
Dalam hal sistem komputer pelayanan TPS Online sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sudah dapat beroperasi kembali, daftar barang yang telah disampaikan secara manual sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kembali melalui sistem komputer pelayanan TPS Online.
|
|||
(6)
|
Untuk menguji kebenaran daftar barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Bea dan Cukai dapat melakukan penelitian terhadap fisik barang di TPS.
|
|||
|
|
|||
Pasal 25 |
||||
(1)
|
Pengusaha TPS wajib menyiapkan barang impor untuk dilakukan pemeriksaan fisik.
|
|||
(2)
|
Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemeriksaan pabean di bidang impor.
|
|||
(3)
|
Dalam hal importir dan/atau kuasanya tidak menyaksikan pemeriksaan fisik barang impor, pengusaha TPS menyaksikan pemeriksaan fisik barang impor yang dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai.
|
|||
|
|
|||
Pasal 26 |
||||
(1)
|
Pengusaha TPS bertanggung jawab atas bea masuk dan/atau cukai serta pajak dalam rangka impor yang terutang atas barang yang ditimbun dalam TPS terhitung sejak saat penimbunan sampai dengan tanggal pemberitahuan pabean atas impor.
|
|||
(2)
|
Pengusaha TPS dibebaskan dari tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal barang yang ditimbun di TPS-nya:
|
|||
|
a.
|
musnah tanpa sengaja;
|
||
|
b.
|
telah diekspor kembali, diimpor untuk dipakai, atau diimpor sementara;
|
||
|
c.
|
telah dipindahkan ke TPS lain, tempat penimbunan berikat, atau tempat penimbunan pabean; atau
|
||
|
d.
|
dimusnahkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
(3)
|
Penghitungan bea masuk dan/atau cukai serta pajak dalam rangka impor yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sepanjang tidak dapat mendasarkan pada tarif dan nilai pabean barang yang bersangkutan, penghitungan tersebut mendasarkan pada tarif tertinggi untuk golongan barang yang tertera dalam pemberitahuan pabean pada saat barang tersebut ditimbun di TPS dan nilai pabean ditetapkan oleh Pejabat Bea dan Cukai.
|
|||
(4)
|
Pengusaha TPS yang tidak dapat mempertanggungjawabkan barang yang seharusnya berada di TPS, selain wajib membayar bea masuk dan/atau cukai serta pajak dalam rangka impor yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar.
|
|||
|
|
|||
Bagian Kelima
Penghargaan Bagi Pengusaha TPS
Pasal 27 |
||||
(1)
|
Pengusaha TPS yang telah memiliki kerja sama pengangkutan barang impor atau barang ekspor melalui integrasi sistem dengan pengusaha yang membidangi transportasi darat dalam ekosistem logistik nasional (National Logistic Ecosystem/NLE), dapat diberikan penghargaan.
|
|||
(2)
|
Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa perpanjangan masa berlaku Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai TPS sampai dengan masa penguasaan kawasan berakhir.
|
|||
(3)
|
Pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan menerbitkan Keputusan Menteri mengenai perubahan atas Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai TPS oleh Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama atas nama Menteri.
|
|||
(4)
|
Dalam hal pengusaha TPS tidak lagi melakukan kerja sama pengangkutan melalui integrasi sistem sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masa berlaku Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
|
|||
|
a.
|
menjadi sama dengan jangka waktu pada saat sebelum diperpanjang, apabila masa berlaku Keputusan Menteri mengenai penetapan sebelumnya belum berakhir; atau
|
||
|
b.
|
menjadi paling lama 6 (enam) bulan sejak perubahan Keputusan Menteri ditetapkan, apabila masa berlaku penetapan sebelumnya telah berakhir.
|
||
|
|
|
||
Bagian Keenam
Sanksi Bagi Pengusaha TPS
Pasal 28 |
||||
Kepala Kantor Pabean yang mengawasi TPS memberikan peringatan tertulis kepada pengusaha TPS, jika pengusaha TPS:
|
||||
a.
|
tidak mematuhi ketentuan mengenai kewajiban pemisahan penimbunan barang impor, barang ekspor, dan barang asal Daerah Pabean yang diangkut ke tempat lain dalam Daerah Pabean melalui luar Daerah Pabean, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1);
|
|||
b.
|
menimbun barang berbahaya, barang yang memiliki sifat merusak atau mempengaruhi barang lain, dan/atau barang yang memerlukan instalasi atau penanganan khusus, tidak di tempat khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2);
|
|||
c.
|
menimbun peti kemas kosong tidak di tempat khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3);
|
|||
d.
|
tidak lagi memenuhi ketentuan mengenai kewajiban penyediaan dan/atau pemeliharaan:
|
|||
|
1.
|
tempat pemeriksaan fisik;
|
||
|
2.
|
sarana pendukung pemeriksaan fisik;
|
||
|
3.
|
tenaga kerja bongkar muat;
|
||
|
4.
|
sarana keselamatan kerja;
|
||
|
5.
|
sistem penyerahan petikemas secara elektronik,
|
||
|
6.
|
mesin pemindai; dan/atau
|
||
|
7.
|
penangguhan pembayaran biaya penimbunan,
|
||
|
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18;
|
|||
e.
|
tidak menyediakan ruangan, sarana, dan fasilitas kerja yang layak serta memadai bagi Pejabat Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1);
|
|||
f.
|
tidak memasang papan petunjuk identitas dan/atau kamera Closed Circuit Television (CCTV) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf b;
|
|||
g.
|
melakukan operasional kegiatan TPS sebelum mendapatkan izin dari Kepala Kantor Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1);
|
|||
h.
|
tidak memberitahukan adanya perubahan data dan/atau tata ruang TPS sebagaimana dimaksud dalam pasal 22, berdasarkan rekomendasi atau temuan Pejabat Bea dan Cukai;
|
|||
i.
|
tidak menyampaikan daftar kemasan dan/atau peti kemas atau jumlah barang curah yang telah ditimbun di TPS, yang telah dikeluarkan dari TPS, dan/atau yang ditimbun di TPS yang telah melewati jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24; dan/atau
|
|||
j.
|
tidak menyiapkan barang impor untuk dilakukan pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.
|
|||
|
|
|||
Pasal 29 |
||||
(1)
|
Operasional kegiatan TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dibekukan jika:
|
|||
|
a.
|
pengusaha TPS menimbun barang selain barang impor, barang ekspor, dan/atau barang asal Daerah Pabean yang diangkut ke tempat lain dalam Daerah Pabean melalui luar Daerah Pabean di TPS;
|
||
|
b.
|
Pengusaha TPS:
|
||
|
|
1.
|
tidak menerapkan sistem elektronik pengelolaan penimbunan barang di TPS;
|
|
|
|
2.
|
tidak menyediakan media komunikasi data elektronik, dan/atau
|
|
|
|
3.
|
tidak menerapkan sistem pintu otomatis (autogate system),
|
|
|
|
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19;
|
||
|
c.
|
Pengusaha TPS tidak menyelenggarakan pembukuan dan/atau tidak menyerahkan dokumen dan pembukuan lainnya sehubungan dengan audit kepabeanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23;
|
||
|
d.
|
Pengusaha TPS tidak memenuhi kewajiban pelunasan bea masuk dan/atau cukai serta pajak dalam rangka impor, dan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) dalam jangka waktu yang ditetapkan;
|
||
|
e.
|
Pengusaha TPS tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal surat peringatan;
|
||
|
f.
|
TPS direkomendasikan oleh unit pengawasan untuk dibekukan; dan/atau
|
||
|
g.
|
Keputusan Menteri mengenai penetapan suatu kawasan sebagai Kawasan Pabean tempat lokasi TPS dicabut.
|
||
(2)
|
Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama atas nama Menteri melakukan pembekuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan menerbitkan surat pemberitahuan pembekuan atas operasional kegiatan TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1).
|
|||
|
|
|||
Pasal 30 |
||||
(1)
|
Pembekuan operasional kegiatan TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dicabut jika:
|
|||
|
a.
|
pengusaha TPS telah mengeluarkan barang selain barang impor, barang ekspor, dan/atau barang asal Daerah Pabean yang diangkut ke tempat lain dalam Daerah Pabean melalui luar Daerah Pabean dari TPS;
|
||
|
b.
|
pengusaha TPS telah memiliki sistem elektronik pengelolaan penimbunan barang di TPS, menyediakan media komunikasi data elektronik dan/atau sistem pintu otomatis (autogate system) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19;
|
||
|
c.
|
pengusaha TPS telah menyelenggarakan pembukuan dan menyerahkan dokumen yang diminta sehubungan dengan audit kepabeanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23;
|
||
|
d.
|
pengusaha TPS telah memenuhi kewajiban pelunasan bea masuk dan/atau cukai serta pajak dalam rangka impor, dan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4);
|
||
|
e.
|
pengusaha TPS telah memenuhi ketentuan yang menjadi dasar diterbitkannya peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28;
|
||
|
f.
|
pengusaha TPS telah memenuhi ketentuan yang menjadi alasan dibuatnya rekomendasi untuk dibekukannya TPS oleh unit pengawasan; dan/atau
|
||
|
g.
|
TPS berlokasi kembali dalam Kawasan Pabean.
|
||
(2)
|
Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama atas nama Menteri melakukan pencabutan pembekuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan menerbitkan surat pemberitahuan pencabutan pembekuan atas operasional kegiatan TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1).
|
|||
|
|
|||
Pasal 31 |
||||
(1)
|
Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) dicabut dalam hal:
|
|||
|
a.
|
Operasional Kegiatan TPS dalam status pembekuan selama 6 (enam) bulan secara terus-menerus;
|
||
|
b.
|
TPS tidak menjalankan kegiatan/usaha di bidang kepabeanan selama 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
|
||
|
c.
|
pengusaha TPS terbukti bersalah telah melakukan pelanggaran tindak pidana di bidang kepabeanan berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
|
||
|
d.
|
telah berakhirnya masa penguasaan atas tempat penimbunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) huruf c;
|
||
|
e.
|
TPS dinyatakan pailit; dan/atau
|
||
|
f.
|
Pengusaha TPS mengajukan permohonan untuk dilakukan pencabutan.
|
||
(2)
|
Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama atas nama Menteri melakukan pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan menerbitkan Keputusan Menteri mengenai pencabutan atas Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai TPS.
|
|||
(3)
|
Pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan tanggung jawab pengusaha TPS untuk menyelesaikan kewajiban pabean dan kewajiban lain yang menjadi tanggung jawabnya.
|
|||
|
|
|||
Pasal 32 |
||||
(1)
|
Pengusaha TPS dilarang memasukkan barang impor, barang ekspor, dan/atau barang asal Daerah Pabean yang diangkut ke tempat lain dalam Daerah Pabean melalui luar Daerah Pabean ke dalam TPS jika:
|
|||
|
a.
|
Operasional kegiatan TPS dibekukan;
|
||
|
b.
|
Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai TPS telah berakhir; atau
|
||
|
c.
|
permohonan perpanjangan jangka waktu penetapan sebagai TPS belum mendapatkan persetujuan perpanjangan sampai dengan penetapan sebagai TPS berakhir.
|
||
(2)
|
Dalam hal Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai TPS telah berakhir atau Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai TPS dicabut, berlaku ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
untuk kepentingan penyelesaian barang yang masih ditimbun, tempat penimbunan dianggap sebagai tempat lain yang diperlakukan sama dengan TPS; dan
|
||
|
b.
|
pengusaha TPS harus melakukan pemindahan lokasi penimbunan barang ke TPS lain paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai TPS berakhir atau Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai TPS dicabut.
|
||
|
|
|
||
Bagian Keenam
TPS Pusat Distribusi
Pasal 33 |
||||
Barang impor dan/atau barang ekspor, sementara menunggu pengeluarannya dari Kawasan Pabean untuk diangkut Lanjut keluar Daerah Pabean, dapat ditimbun di TPS Pusat Distribusi.
|
||||
|
||||
Pasal 34 |
||||
(1)
|
Kepala Kantor Pabean dapat menunjuk atau menetapkan bangunan dan/atau lapangan atau tempat lain yang disamakan dengan itu yang telah ditetapkan sebagai TPS, sebagai TPS Pusat Distribusi.
|
|||
(2)
|
Penunjukan sebagai TPS Pusat Distribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas seluruh atau sebagian dari lokasi TPS yang telah ditetapkan.
|
|||
(3)
|
Pengusaha TPS mengajukan permohonan penunjukan TPS Pusat Distribusi kepada Kepala Kantor Pabean untuk dapat ditunjuk sebagai TPS Pusat Distribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||
(4)
|
Dalam hal Kantor Pabean merupakan Kantor Pelayanan Utama, penunjukan sebagai TPS Pusat Distribusi dilakukan oleh Kepala Bidang yang menangani fungsi perizinan di bidang kepabeanan dan cukai atas nama Kepala Kantor Pelayanan Utama.
|
|||
(5)
|
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit memuat data:
|
|||
|
a.
|
identitas penanggung jawab;
|
||
|
b.
|
lokasi TPS yang akan ditunjuk sebagai TPS Pusat Distribusi; dan
|
||
|
c.
|
ukuran, luas, dan/atau daya tampung (volume), serta batas-batas TPS yang akan ditunjuk sebagai TPS Pusat Distribusi.
|
||
(6)
|
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dilampiri dengan:
|
|||
|
a.
|
Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai TPS;
|
||
|
b.
|
bukti penerapan aplikasi TPS Online, dalam hal Kantor Pabean telah menerapkan aplikasi TPS Online;
|
||
|
c.
|
diagram alir (flowchart) yang memuat rencana sistem pergerakan barang di dalam TPS Pusat Distribusi; dan
|
||
|
d.
|
denah (layout) TPS Pusat Distribusi termasuk detail pembagian ruangan di dalam TPS Pusat Distribusi.
|
||
(7)
|
Dalam hal Kantor Pabean belum menerapkan sistem komputer pelayanan TPS Online, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilampiri dengan bukti penerapan sistem IT Inventory untuk pemasukan, pengeluaran, dan penimbunan barang di TPS Pusat Distribusi yang dapat terhubung dengan Kantor Pabean.
|
|||
|
|
|||
Pasal 35 |
||||
(1)
|
Kepala Kantor Pabean atau Kepala Bidang yang menangani fungsi perizinan di bidang kepabeanan dan cukai atas nama Kepala Kantor Pelayanan Utama, melakukan penelitian terhadap permohonan penunjukan TPS Pusat Distribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3).
|
|||
(2)
|
Dalam hal diperlukan, Kepala Kantor Pabean atau Kepala Bidang yang menangani fungsi perizinan di bidang kepabeanan dan cukai atas nama Kepala Kantor Pelayanan Utama dapat melakukan pemeriksaan lapangan.
|
|||
(3)
|
Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Kantor Pabean atau Kepala Bidang yang menangani fungsi perizinan di bidang kepabeanan dan cukai atas nama Kepala Kantor Pelayanan Utama memberikan persetujuan atau penolakan paling lama 2 (dua) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap.
|
|||
(4)
|
Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) disetujui, Kepala Kantor Pabean atau Kepala Bidang yang menangani fungsi perizinan di bidang kepabeanan dan cukai atas nama Kepala Kantor Pelayanan Utama menerbitkan surat penunjukan sebagai TPS Pusat Distribusi.
|
|||
(5)
|
Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) ditolak, Kepala Kantor Pabean atau Kepala Bidang yang menangani fungsi perizinan di bidang kepabeanan dan cukai atas nama Kepala Kantor Pelayanan Utama menerbitkan surat pemberitahuan dengan menyebutkan alasan penolakan.
|
|||
(6)
|
Penunjukan sebagai TPS Pusat Distribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku sampai dengan berakhirnya Keputusan Menteri penetapan sebagai TPS.
|
|||
(7)
|
Dalam hal Keputusan Menteri penetapan sebagai TPS diperpanjang, masa waktu penunjukan TPS Pusat Distribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tetap berlaku sampai dengan masa perpanjangan TPS berakhir.
|
|||
|
|
|||
Pasal 36 |
||||
TPS Pusat Distribusi dapat diberikan kemudahan pelayanan kegiatan kepabeanan berupa:
|
||||
a.
|
pekerjaan sederhana seperti pemasangan aksesoris dan pemberian label pengangkutan;
|
|||
b.
|
penggabungan dan pemecahan barang angkut lanjut;
|
|||
c.
|
perubahan peti kemas barang ekspor untuk diangkut lanjut;
|
|||
d.
|
penimbunan langsung ke TPS Pusat Distribusi setelah barang impor atau barang ekspor angkut lanjut dibongkar dari sarana Pengangkut;
|
|||
e.
|
pemuatan langsung barang impor atau barang ekspor angkut lanjut dari TPS Pusat Distribusi ke sarana pengangkut; dan/atau
|
|||
f.
|
kemudahan prosedural pelayanan lainnya berdasarkan pertimbangan Kepala Kantor Pabean.
|
|||
|
|
|||
Pasal 37 |
||||
Barang impor untuk diangkut lanjut yang ditimbun di TPS Pusat Distribusi dilarang untuk:
|
||||
a.
|
dikeluarkan untuk diimpor untuk dipakai;
|
|||
b.
|
dikeluarkan untuk ditimbun di tempat penimbunan berikat;
|
|||
c.
|
dikeluarkan untuk ditimbun di TPS lain yang bukan merupakan TPS Pusat Distribusi; dan/atau
|
|||
d.
|
dilakukan perubahan keasalan barang pada surat keterangan asal barang (certificate of origin) maupun pada label barang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|||
Pasal 38 |
||||
(1)
|
Penunjukan TPS Pusat Distribusi dicabut jika:
|
|||
|
a.
|
Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai TPS dicabut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1);
|
||
|
b.
|
tidak memenuhi persyaratan sebagai TPS Pusat Distribusi;
|
||
|
c.
|
Pengusaha TPS Pusat Distribusi tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37; dan/atau
|
||
|
d.
|
pengusaha TPS Pusat Distribusi mengajukan permohonan untuk dilakukan pencabutan.
|
||
(2)
|
Pencabutan penetapan sebagai TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan pencabutan atas penunjukan TPS Pusat Distribusi.
|
|||
(3)
|
Pencabutan penunjukan TPS Pusat Distribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d, dilakukan oleh Kepala Kantor Pabean atau Kepala Bidang yang menangani fungsi perizinan di bidang kepabeanan dan cukai atas nama Kepala Kantor Pelayanan Utama dengan menerbitkan surat pencabutan penunjukan sebagai TPS Pusat Distribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3).
|
|||
|
|
|||
Bagian Ketujuh
TPS Barang Bawaan Penumpang, Awak Sarana Pengangkut, dan Pelintas Batas
Pasal 39 |
||||
(1)
|
Barang penumpang, barang awak sarana pengangkut, dan barang pelintas batas yang belum diselesaikan kewajiban pabean atau barang yang tertinggal atau tidak diketahui pemiliknya (lost and found) di Kawasan Pabean di tempat kedatangan dari luar Daerah Pabean, ditimbun di TPS Barang Bawaan Penumpang, Awak Sarana Pengangkut, dan Pelintas Batas.
|
|||
(2)
|
Pengajuan permohonan penetapan sebagai TPS Barang Bawaan Penumpang, Awak Sarana Pengangkut, dan Pelintas Batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari ketentuan melampirkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) huruf b.
|
|||
(3)
|
Pengusaha TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari ketentuan:
|
|||
|
a.
|
kewajiban dan tanggung jawab untuk menyediakan:
|
||
|
|
1.
|
tempat pemeriksaan fisik;
|
|
|
|
2.
|
sarana pendukung pemeriksaan fisik
|
|
|
|
3.
|
tenaga kerja bongkar muat;
|
|
|
|
4.
|
sarana keselamatan kerja;
|
|
|
|
5.
|
sistem delivery order online;
|
|
|
|
6.
|
sistem penyerahan petikemas secara elektronik,
|
|
|
|
7.
|
mesin pemindai; dan/atau
|
|
|
|
8.
|
penangguhan pembayaran biaya penimbunan,
|
|
|
|
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18;
|
||
|
b.
|
memiliki sistem elektronik pengelolaan penimbunan barang di TPS dan menyediakan media komunikasi data elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19;
|
||
|
c.
|
menyediakan ruangan, sarana, dan fasilitas kerja yang layak serta memadai bagi Pejabat Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1); dan
|
||
|
d.
|
menyiapkan barang impor untuk dilakukan pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1).
|
||
(4)
|
TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus:
|
|||
|
a.
|
memasang papan petunjuk identitas dan Closed Circuit Television (CCTV) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) yang sesuai dengan kondisi TPS; dan
|
||
|
b.
|
menyampaikan daftar kemasan barang yang telah ditimbun di TPS dan barang yang telah dikeluarkan dari TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 paling lama pada hari berikutnya.
|
||
|
|
|
||
BAB IV
KETENTUAN LAlN-LAlN
Pasal 40 |
||||
Dalam hal Pengelola Kawasan Pabean dan pengusaha TPS merupakan pihak yang sama, penyediaan:
|
||||
a.
|
sarana dan prasarana untuk terselenggaranya kegiatan pelayanan dan pengawasan kepabeanan oleh pengelola Kawasan. Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a dan huruf b; dan
|
|||
b.
|
ruangan, sarana, dan fasilitas kerja yang layak serta memadai oleh pengusaha TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1),
|
|||
dapat disatukan dalam 1 (satu) tempat pelayanan dan pengawasan setelah mendapat surat persetujuan dari Kepala Kantor Pabean dalam rangka efisiensi dan efektivitas pelayanan dan pengawasan.
|
||||
|
||||
Pasal 41 |
||||
(1)
|
Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama yang menerima pelimpahan wewenang dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5), Pasal 4 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 5 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 6, Pasal 10 ayat (2), Pasal 14 ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (11), Pasal 27 ayat (3), Pasal 29 ayat (2), Pasal 30 ayat (2), Pasal 31 ayat (2):
|
|||
|
a.
|
wajib memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
||
|
b.
|
bertanggung jawab secara substansi atas pelaksanaan pelimpahan wewenang yang diberikan kepada yang bersangkutan; dan
|
||
|
c.
|
tidak dapat melimpahkan kembali pelimpahan kewenangan yang diterima kepada pihak lainnya.
|
||
(2)
|
Dalam hal Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhalangan sementara atau tetap, wewenang yang diterima dapat dilakukan oleh pejabat pelaksana harian (Plh) atau pejabat pelaksana tugas (Plt) yang ditunjuk.
|
|||
(3)
|
Pejabat pelaksana harian (Plh) atau Pejabat pelaksana tugas (Plt) yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bertanggung jawab secara substansi atas pelimpahan wewenang yang diberikan kepada yang bersangkutan.
|
|||
|
|
|||
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 42 |
||||
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
|
||||
1.
|
Keputusan Menteri mengenai penetapan suatu kawasan sebagai Kawasan Pabean dan/atau Keputusan Menteri mengenai penetapan sebagai TPS yang telah diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, masih tetap berlaku sampai dengan berakhirnya Keputusan Menteri tersebut;
|
|||
2.
|
permohonan penetapan sebagai Kawasan Pabean dan/atau TPS yang diajukan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini berlaku dan masih dalam tahap pemrosesan, diselesaikan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri ini; dan
|
|||
3.
|
pemenuhan kewajiban penyediaan mesin pemindai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c dan Pasal 18 ayat (1) huruf f dilaksanakan:
|
|||
|
a.
|
paling lama 1 (satu) tahun, dalam hal belum tersedia mesin pemindai di Kawasan Pabean atau TPS; atau
|
||
|
b.
|
pada saat mesin pemindai yang tersedia telah ditarik penggunaannya oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau sudah tidak dapat digunakan dikarenakan sebab lain, dalam hal telah tersedia mesin pemindai dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai di Kawasan Pabean atau TPS.
|
||
|
|
|
||
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 43 |
||||
Petunjuk teknis pelaksanaan ketentuan mengenai kawasan pabean dan tempat penimbunan sementara dapat ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
|
||||
|
||||
Pasal 44 |
||||
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.04/2015 tentang Kawasan Pabean dan Tempat Penimbunan Sementara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 213) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 133/PMK.04/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.04/2015 tentang Kawasan Pabean dan Tempat Penimbunan Sementara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 1321), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
||||
|
||||
Pasal 45 |
||||
Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.
|
||||
|
||||
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
|
||||
|
||||
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 11 Agustus 2020
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
SRI MULYANI INDRAWATI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 11 Agustus 2020
DIREKTUR JENDERAL PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
WIDODO EKATJAHJANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2020 NOMOR 897
|