Susunan dalam Satu Naskah dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
Perubahan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai ini bertujuan sebagai berikut.
|
|
1.
|
Meningkatkan kepastian hukum dan keadilan bagi pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
|
|
Perkembangan transaksi bisnis, terutama jasa, telah menciptakan jenis dan pola transaksi baru yang perlu ditegaskan lebih lanjut pengenaannya dalam UndangUndang Pajak Pertambahan Nilai.
|
2.
|
Menyederhanakan sistem Pajak Pertambahan Nilai.
|
|
Penyederhanaan sistem Pajak Pertambahan Nilai dilakukan dengan mengubah atau menyempurnakan ketentuan dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang menyulitkan Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
|
3.
|
Mengurangi biaya kepatuhan.
|
|
Penyederhanaan sistem Pajak Pertambahan Nilai diharapkan pula dapat mengurangi biaya, baik biaya administrasi bagi Wajib Pajak dalam rangka melaksanakan hak dan kewajibannya maupun biaya pengawasan yang dikeluarkan oleh Pemerintah dalam rangka mengawasi kepatuhan Wajib Pajak.
|
4.
|
Meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.
|
|
Tercapainya tujuan tersebut diharapkan dapat meningkatkan tingkat kepatuhan sukarela Wajib Pajak. Tingkat kepatuhan sukarela yang tinggi diharapkan dapat meningkatkan penerimaan pajak yang tercermin dengan naiknya rasio pajak (tax ratio).
|
5.
|
Tidak mengganggu penerimaan Pajak Pertambahan Nilai.
|
|
Di samping tujuan di atas, fungsi pajak sebagai sumber penerimaan negara tetap menjadi pertimbangan.
|
6.
|
Mengurangi distorsi dan peningkatan kegiatan ekonomi.
|
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
|
1.
|
Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang yang mengatur mengenai kepabeanan.
|
2.
|
Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud.
|
3.
|
Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
|
4.
|
Penyerahan Barang Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak.
|
5.
|
Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
|
6.
|
Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
|
7.
|
Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak.
|
8.
|
Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
|
9.
|
Impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean.
|
10.
|
Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
|
11.
|
Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud adalah setiap kegiatan mengeluarkan Barang Kena Pajak Berwujud dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean.
|
12.
|
Perdagangan adalah kegiatan usaha membeli dan menjual, termasuk kegiatan tukar-menukar barang, tanpa mengubah bentuk dan/atau sifatnya.
|
13.
|
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
|
14.
|
Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
|
15.
|
Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang ini.
|
16.
|
Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk dan/atau sifat suatu barang dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau mempunyai daya guna baru atau kegiatan mengolah sumber daya alam, termasuk menyuruh orang pribadi atau badan lain melakukan kegiatan tersebut.
|
17.
|
Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
|
18.
|
Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
|
19.
|
Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
|
20.
|
Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut menurut Undang-Undang ini.
|
21.
|
Pembeli adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar harga Barang Kena Pajak tersebut.
|
22.
|
Penerima Jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar Penggantian atas Jasa Kena Pajak tersebut.
|
23.
|
Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
|
24.
|
Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak.
|
25.
|
Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak.
|
26.
|
Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.
|
27.
|
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendahara pemerintah, badan, atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendahara pemerintah, badan, atau instansi pemerintah tersebut.
|
28.
|
Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari dalam Daerah Pabean di luar Daerah Pabean.
|
29.
|
Ekspor Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak ke luar Daerah Pabean.
|
(1)
|
Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
|
|
|
a.
|
penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;
|
|
b.
|
pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing);
|
|
c.
|
penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
|
|
d.
|
pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak;
|
|
e.
|
Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan;
|
|
f.
|
penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang;
|
|
g.
|
dihapus; dan
|
|
h.
|
penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak.
|
(2)
|
Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
|
|
|
a.
|
penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
|
|
b.
|
penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang;
|
|
c.
|
penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan pemusatan tempat pajak terutang;
|
|
d.
|
pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, serta pengalihan Barang Kena Pajak untuk tujuan setoran modal pengganti saham, dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak; dan
|
|
e.
|
Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.
|
(1)
|
Dalam hal Harga Jual atau Penggantian dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka Harga Jual atau Penggantian dihitung atas dasar harga pasar wajar pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak itu dilakukan.
|
|
(2)
|
Hubungan istimewa dianggap ada apabila:
|
|
|
a.
|
Pengusaha mempunyai penyertaan langsung atau tidak langsung sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih kepada Pengusaha lain, atau hubungan antara Pengusaha dengan penyertaan 25% (dua puluh lima persen) atau lebih pada dua Pengusaha atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Pengusaha atau lebih yang disebut terakhir; atau
|
|
b.
|
Pengusaha menguasai Pengusaha lainnya atau dua atau lebih Pengusaha berada di bawah penguasaan Pengusaha yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
|
|
c.
|
Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat dan/atau kesamping satu derajat.
|
-
|
faktur kepemilikan atau penyertaan;
|
-
|
adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi.
|
a)
|
Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan kepemilikan yang berupa penyertaan modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih, baik secara langsung ataupun tidak langsung.
|
|
Contoh:
|
|
Kalau PT. A mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT. B, pemilikan saham oleh PT. A merupakan penyertaan langsung. Selanjutnya apabila PT. B tersebut mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT. C, maka PT. A sebagai pemegang saham PT. B secara tidak langsung mempunyai penyertaan pada PT. C sebesar 25% (dua puluh lima persen). Dalam hal demikian, antara PT. A, PT. B dan PT. C dianggap terdapat hubungan istimewa. Apabila PT. A juga memiliki 25% (dua puluh lima persen) saham PT. D, maka antara PT. B, PT. C dan PT. D dianggap terdapat hubungan istimewa. Hubungan kepemilikan seperti tersebut diatas juga dapat terjadi antara orang pribadi dan badan.
|
b)
|
Hubungan antara pengusaha seperti digambarkan pada huruf a dapat juga terjadi karena penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi, kendatipun tidak terdapat hubungan kepemilikan.
|
|
Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan berada di bawah penguasaan pengusaha yang sama. Demikian juga hubungan antara beberapa perusahaan yang berada dalam penguasaan pengusahan yang sama tersebut.
|
c)
|
Yang dimaksud dengan hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat adalah ayah, ibu, dan anak, sedangkan hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan ke samping satu derajat adalah kakak dan adik.
|
|
Yang dimaksud dengan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat adalah mertua dan anak tiri, sedangkan hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan ke samping satu derajat adalah ipar.
|
|
Apabila antara suami istri mempunyai perjanjian pemisahan harta dan penghasilan, maka hubungan antara suami istri tersebut termasuk dalam pengertian hubungan istimewa menurut Undang-undang ini.
|
ATURAN TERKAIT: |
1. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-18/PJ.53/1995 |
(1)
|
Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan huruf h, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang.
|
(1a)
|
Pengusaha kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
|
(2)
|
Pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
(3)
|
Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d dan/atau yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang yang penghitungan dan tata caranya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
|
(1)
|
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:
|
|
|
a.
|
penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
|
|
b.
|
impor Barang Kena Pajak;
|
|
c.
|
penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha;
|
|
d.
|
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
|
|
e.
|
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
|
|
f.
|
ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
|
|
g.
|
ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan
|
|
h.
|
ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
|
(2)
|
Ketentuan mengenai batasan kegiatan dan jenis Jasa Kena Pajak yang atas ekspornya dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
|
a)
|
penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;
|
b)
|
penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa; dan
|
c)
|
penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi;
|
(1)
|
Dihapus.
|
|
(2)
|
Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut:
|
|
|
a.
|
barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, tidak termasuk hasil pertambangan batu bara;
|
|
b.
|
barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
|
|
c.
|
makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan
|
|
d.
|
uang, emas batangan, dan surat berharga.
|
(3)
|
Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut:
|
|
|
a.
|
jasa pelayanan kesehatan medis;
|
|
b.
|
jasa pelayanan sosial;
|
|
c.
|
jasa pengiriman surat dengan perangko;
|
|
d.
|
jasa keuangan;
|
|
e.
|
jasa asuransi;
|
|
f.
|
jasa keagamaan;
|
|
g.
|
jasa pendidikan;
|
|
h.
|
jasa kesenian dan hiburan;
|
|
i.
|
jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;
|
|
j.
|
jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;
|
|
k.
|
jasa tenaga kerja;
|
|
l.
|
jasa perhotelan;
|
|
m.
|
jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum;
|
|
n.
|
jasa penyediaan tempat parkir;
|
|
o.
|
jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;
|
|
p.
|
jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan
|
|
q.
|
jasa boga atau katering.
|
a)
|
sewa guna usaha dengan hak opsi;
|
b)
|
anjak piutang;
|
c)
|
usaha kartu kredit; dan/atau
|
d)
|
pembiayaan konsumen;
|
(1)
|
Di samping pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dikenai juga Pajak Penjualan atas Barang Mewah terhadap:
|
|
|
a.
|
penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang tersebut di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya; dan
|
|
impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
|
|
(2)
|
Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan hanya 1 (satu) kali pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah oleh pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.
|
ATURAN TERKAIT: |
1. Peraturan Pemerintah Nomor 1 TAHUN 2012 |
(1)
|
Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas penyerahan Barang Kena Pajak yang dikembalikan dapat dikurangkan dari Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang dalam Masa Pajak terjadinya pengembalian Barang Kena Pajak tersebut.
|
(2)
|
Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Jasa Kena Pajak yang dibatalkan, baik seluruhnya maupun sebagian, dapat dikurangkan dari Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dalam Masa Pajak terjadinya pembatalan tersebut.
|
(3)
|
Ketentuan mengenai tata cara pengurangan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengurangan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
|
(1) | Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen). | |
(2) |
Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:
|
|
|
a.
|
ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
|
|
b.
|
ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan
|
c. |
ekspor Jasa Kena Pajak.
|
|
(3) |
Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
(1)
|
Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah ditetapkan paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen).
|
(2)
|
Ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dikenai pajak dengan tarif 0% (nol persen).
|
(3)
|
Ketentuan mengenai kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
(4)
|
Ketentuan mengenai jenis barang yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
(1)
|
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dengan Dasar Pengenaan Pajak yang meliputi Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain.
|
(2)
|
Ketentuan mengenai nilai lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
(1)
|
Dihapus.
|
||
(2)
|
Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran dalam Masa Pajak yang sama.
|
||
(2a)
|
Bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan/atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, serta pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah pabean dapat dikreditkan sepanjang memenuhi ketentuan pengkreditan sesuai dengan Undang-Undang ini.
|
||
(2b)
|
Pajak Masukan yang dikreditkan harus menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9).
|
||
(3)
|
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor oleh Pengusaha Kena Pajak.
|
||
(4)
|
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran, selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.
|
||
(4a)
|
Atas kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diajukan permohonan pengembalian pada akhir tahun buku.
|
||
(4b)
|
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (4a), atas kelebihan Pajak Masukan dapat diajukan permohonan pengembalian pada setiap Masa Pajak oleh:
|
||
|
a.
|
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
|
|
|
b.
|
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai;
|
|
|
c.
|
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang Pajak Pertambahan Nilainya tidak dipungut;
|
|
|
d.
|
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud;
|
|
|
e.
|
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan ekspor Jasa Kena Pajak; dan/atau
|
|
|
f.
|
Dihapus.
|
|
|
Pengembalian kelebihan Pajak Masukan kepada Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4b) huruf a sampai dengan huruf e, yang mempunyai kriteria sebagai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah, dilakukan dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.
|
||
(4d)
|
Ketentuan mengenai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah yang diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4c) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
|
||
(4e)
|
Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4c) dan menerbitkan surat ketetapan pajak setelah melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.
|
||
(4f)
|
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4e), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, jumlah kekurangan pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.
|
||
(5)
|
Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak.
|
||
(6)
|
Apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
|
||
(6a)
|
Apabila sampai dengan jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak Masa Pajak pengkreditan pertama kali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) Pengusaha Kena Pajak belum melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan/atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak terkait dengan Pajak Masukan tersebut, Pajak Masukan yang telah dikreditkan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan
|
||
(6b)
|
Dihapus.
|
||
(6c)
|
Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6a) bagi sektor usaha tertentu dapat ditetapkan lebih dari 3 (tiga) tahun.
|
||
(6d)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6a) berlaku juga bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pembubaran (pengakhiran) usaha, melakukan pencabutan Pengusaha Kena Pajak, atau dilakukan pencabutan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak Masa Pajak pengkreditan pertama kali Pajak Masukan.
|
||
(6e)
|
Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud pada ayat (6a):
|
||
|
a.
|
wajib dibayar kembali ke kas negara oleh Pengusaha Kena Pajak, dalam hal Pengusaha Kena Pajak:
|
|
|
|
1.
|
telah menerima pengembalian kelebihan pembayaran pajak atas Pajak Masukan dimaksud; dan/atau
|
|
|
2.
|
telah mengkreditkan Pajak Masukan dimaksud dengan Pajak Keluaran yang terutang dalam suatu Masa Pajak;
|
|
|
dan/atau
|
|
|
b.
|
tidak dapat dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya dan tidak dapat diajukan permohonan pengembalian, setelah jangka waktu 3 (tiga) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (6a) berakhir atau pada saat pembubaran (pengakhiran) usaha, atau pencabutan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6d) oleh Pengusaha Kena Pajak, dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan kompensasi atas kelebihan pembayaran pajak dimaksud.
|
|
(6f)
|
Pembayaran kembali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (6e) huruf a dilakukan paling lambat:
|
||
|
a.
|
akhir bulan berikutnya setelah tanggal berakhirnya jangka waktu 3 (tiga) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (6a);
|
|
|
b.
|
akhir bulan berikutnya setelah tanggal berakhirnya jangka waktu bagi sektor usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (6c); atau
|
|
|
c.
|
akhir bulan berikutnya setelah tanggal pembubaran (pengakhiran) usaha atau pencabutan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6d).
|
|
(6g)
|
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan kewajiban pembayaran kembali sesuai dengan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6f), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atas jumlah pajak yang seharusnya dibayar kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (6e) huruf a oleh Pengusaha Kena Pajak ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan perubahannya.
|
||
(7)
|
Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang peredaran usahanya dalam 1 (satu) tahun tidak melebihi jumlah tertentu, kecuali Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (7a), dapat dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.
|
||
(7a)
|
Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan.
|
||
(7b)
|
Ketentuan mengenai peredaran usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (7), kegiatan usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (7a), dan pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (7a) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
||
(8)
|
Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk:
|
||
|
a.
|
dihapus;
|
|
|
b.
|
perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
|
|
|
c.
|
perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;
|
|
|
d.
|
dihapus;
|
|
|
e.
|
dihapus;
|
|
|
f.
|
perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
|
|
|
g.
|
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6);
|
|
|
h.
|
dihapus;
|
|
|
i.
|
dihapus; dan
|
|
|
j.
|
dihapus;
|
|
(9)
|
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) bulan Masa Pajak setelah berakhirnya Masa Pajak saat Faktur Pajak dibuat sepanjang belum dibebankan sebagai biaya atau belum ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak serta memenuhi ketentuan pengkreditan sesuai dengan Undang-Undang ini.
|
||
(9a)
|
Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak serta pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak dengan menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan sebesar 80% (delapan puluh persen) dari Pajak Keluaran yang seharusnya dipungut.
|
||
(9b)
|
Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, serta pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai yang diberitahukan dan/atau ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak sepanjang memenuhi ketentuan pengkreditan sesuai dengan Undang-Undang ini.
|
||
Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, serta pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak sebesar jumlah pokok Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam ketetapan pajak dengan ketentuan ketetapan pajak dimaksud telah dilakukan pelunasan dan tidak dilakukan upaya hukum serta memenuhi ketentuan pengkreditan sesuai dengan Undang-Undang ini.
|
|||
(10)
|
Dihapus.
|
||
(11)
|
Dihapus.
|
||
(12)
|
Dihapus.
|
||
(13)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai:
|
||
|
a.
|
kriteria belum melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan/atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2a);
|
|
|
b.
|
penghitungan dan tata cara pengembalian kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4a), ayat (4b), dan ayat (4c);
|
|
|
c.
|
penentuan sektor usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (6c);
|
|
|
d.
|
tata cara pembayaran kembali Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (6e) huruf a; dan
|
|
|
e.
|
tata cara pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (9a), ayat (9b), dan ayat (9c)
|
|
|
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
||
(14)
|
Dalam hal terjadi pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang dialihkan yang belum dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang mengalihkan dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menerima pengalihan, sepanjang Faktur Pajaknya diterima setelah terjadinya pengalihan dan Pajak Masukan tersebut belum dibebankan sebagai biaya atau dikapitalisasi.
|
Masa Pajak Mei 2010
|
|||
Pajak Keluaran
|
=
|
Rp2.000.000,00
|
|
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
|
=
|
Rp4.500.000,00
|
|
|
|
|
(-)
|
Pajak yang lebih dibayar
|
=
|
Rp2.500.000,00
|
|
Pajak yang lebih dibayar tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak Juni 2010.
|
|||
|
|||
Masa Pajak Juni 2010
|
|||
Pajak Keluaran
|
=
|
Rp3.000.000,00
|
|
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
|
=
|
Rp2.000.000,00
|
|
|
|
|
(-)
|
Pajak yang kurang dibayar
|
=
|
Rp1.000.000,00
|
|
Pajak yang lebih dibayar dari Masa Pajak Mei 2010 yang dikompensasikan ke Masa Pajak Juni 2010
|
=
|
Rp2.500.000,00
|
|
|
|
|
(-)
|
Pajak yang lebih dibayar Masa Pajak Juni 2010
|
=
|
Rp1.500.000,00
|
|
Pajak yang lebih dibayar tersebut dikompensasikan ke Masa Pajak Juli 2010.
|
(1)
|
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dengan Dasar Pengenaan Pajak.
|
(2)
|
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang sudah dibayar pada waktu perolehan atau impor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah, tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Pertambahan Nilai maupun Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang dipungut berdasarkan Undang-undang ini.
|
(3)
|
Pengusaha Kena Pajak yang mengekspor Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah dapat meminta kembali Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang telah dibayar pada waktu perolehan Barang Kena Pajak Yang Tergolong Mewah yang diekspor tersebut.
|
-
|
Dasar Pengenaan Pajak
|
=
|
Rp5.000.000,00
|
-
|
Pajak Pertambahan Nilai:
|
|
|
|
10% x Rp5.000.000,00
|
=
|
Rp500.000,00
|
-
|
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah:
|
|
|
|
20% x Rp5.000.000,00
|
=
|
Rp1.000.000,00
|
-
|
Dasar Pengenaan Pajak
|
=
|
Rp50.000.000,00
|
-
|
Pajak Pertambahan Nilai:
|
|
|
|
10% x Rp50.000.000,00
|
=
|
Rp5.000.000,00
|
-
|
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah:
|
|
|
|
35% x Rp50.000.000,00
|
=
|
Rp17.500.000,00
|
(1)
|
Terutangnya pajak terjadi pada saat:
|
||
|
a.
|
penyerahan Barang Kena Pajak;
|
|
|
b.
|
impor Barang Kena Pajak;
|
|
|
c.
|
penyerahan Jasa Kena Pajak;
|
|
|
d.
|
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean;
|
|
|
e.
|
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean;
|
|
|
f.
|
ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
|
|
|
g.
|
ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; atau
|
|
|
h.
|
ekspor Jasa Kena Pajak.
|
|
(2)
|
Dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan Barang Kena Pajak atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak atau dalam hal pembayaran dilakukan sebelum dimulainya pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, saat terutangnya pajak adalah pada saat pembayaran.
|
||
(3)
|
Dihapus.
|
||
(4)
|
Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan saat lain sebagai saat terutangnya pajak dalam hal saat terutangnya pajak sukar ditetapkan atau terjadi perubahan ketentuan yang dapat menimbulkan ketidakadilan.
|
||
(5)
|
Dihapus.
|
(1)
|
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan/atau huruf h terutang pajak di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan atau tempat lain selain tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha dilakukan yang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
|
(2)
|
Atas pemberitahuan secara tertulis dari Pengusaha Kena Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan 1 (satu) tempat atau lebih sebagai tempat pajak terutang.
|
(3)
|
Dalam hal impor, terutangnya pajak terjadi di tempat Barang Kena Pajak dimasukkan dan dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
|
(4)
|
Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d dan huruf e terutang pajak di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha.
|
(1)
|
Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap:
|
||
|
a.
|
penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a atau huruf f dan/atau Pasal 16D;
|
|
|
b.
|
penyerahan Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c;
|
|
|
c.
|
ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g; dan/atau
|
|
|
d.
|
ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf h.
|
|
(1a)
|
Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat pada:
|
||
|
a.
|
saat penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
|
|
|
b.
|
saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
|
|
|
c.
|
saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan; atau
|
|
|
d.
|
saat lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
|
(2)
|
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengusaha Kena Pajak dapat membuat 1 (satu) Faktur Pajak meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama 1 (satu) bulan kalender.
|
||
(2a)
|
Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan.
|
||
(3)
|
Dihapus.
|
||
(4)
|
Dihapus.
|
||
(5)
|
Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:
|
||
|
a.
|
nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
|
|
|
b.
|
identitas pembeli Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang meliputi:
|
|
|
|
1.
|
nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak atau nomor induk kependudukan atau nomor paspor bagi subjek pajak luar negeri orang pribadi; atau
|
|
|
2.
|
nama dan alamat, dalam hal pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak merupakan subjek pajak luar negeri badan atau bukan merupakan subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan;
|
|
c.
|
jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
|
|
|
d.
|
Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
|
|
|
e.
|
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
|
|
|
f.
|
kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
|
|
|
g.
|
nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
|
|
(5a)
|
Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran dapat membuat Faktur Pajak tanpa mencantumkan keterangan mengenai identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual dalam hal melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pembeli dengan karakteristik konsumen akhir yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan.
|
||
(6)
|
Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.
|
||
(7)
|
Dihapus.
|
||
(8)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Faktur Pajak dan tata cara pembetulan atau penggantian Faktur Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan
|
||
(9)
|
Faktur Pajak harus memenuhi persyaratan formal dan material.
|
(1)
|
Orang pribadi atau badan yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dilarang membuat Faktur Pajak.
|
(2)
|
Dalam hal Faktur Pajak telah dibuat, maka orang pribadi atau badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyetorkan jumlah pajak yang tercantum dalam Faktur Pajak ke Kas Negara.
|
Dihapus.
Ketentuan Pasal 15 yang mengatur tentang kewajiban melaporkan penghitungan pajak dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Masa dihapus dan dipindahkan ke dalam Undang-undang nomor 9 Tahun 1994 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
(1)
|
Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai oleh Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) harus dilakukan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan.
|
(2)
|
Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai disampaikan paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya Masa Pajak.
|
(1)
|
Pajak yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dipungut, disetor, dan dilaporkan oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
|
(2)
|
Tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan pajak oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
|
(1)
|
Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk:
|
|
|
a.
|
kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;
|
|
b.
|
penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;
|
|
c.
|
impor Barang Kena Pajak tertentu;
|
|
d.
|
pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; dan
|
|
e.
|
pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean,
|
|
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
|
(2)
|
Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai dapat dikreditkan.
|
|
(3)
|
Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan.
|
(1)
|
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sudah dibayar atas pembelian Barang Kena Pajak yang dibawa ke luar Daerah Pabean oleh orang pribadi pemegang paspor luar negeri dapat diminta kembali.
|
|
(2)
|
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dapat diminta kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat:
|
|
|
a.
|
nilai Pajak Pertambahan Nilai paling sedikit Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) dan dapat disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah;
|
|
b.
|
pembelian Barang Kena Pajak dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum keberangkatan ke luar Daerah Pabean; dan
|
|
c.
|
Faktur Pajak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5), kecuali pada kolom Nomor Pokok Wajib Pajak dan alamat pembeli diisi dengan nomor paspor dan alamat lengkap di negara yang menerbitkan paspor atas penjualan kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri yang tidak mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak.
|
(3)
|
Permintaan kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat orang pribadi pemegang paspor luar negeri meninggalkan Indonesia dan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Direktorat Jenderal Pajak di bandar udara yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
|
|
(4)
|
Dokumen yang harus ditunjukkan pada saat meminta kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah:
|
|
|
a.
|
paspor;
|
|
b.
|
pas naik (boarding pass) untuk keberangkatan orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke luar Daerah Pabean; dan
|
|
c.
|
Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c.
|
(5)
|
Ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian permintaan kembali Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
(1)
|
Dengan berlakunya undang-undang ini:
|
|
|
a.
|
Semua penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dan impor Barang Kena Pajak yang telah dilakukan sebelum Undang-undang ini berlaku, tetap terutang pajak menurut Undang-undang Pajak Penjualan 1951;
|
|
b.
|
Selama peraturan pelaksanaan Undang-undang ini belum dikeluarkan, maka peraturan pelaksanaan yang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini yang belum dicabut dan diganti dinyatakan masih berlaku.
|
(2)
|
Ketentuan pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.
|
-
|
kontrak jangka panjang atau kontrak yang masa berlakunya meliputi dua masa undang-undang seperti tersebut di atas;
|
-
|
sisa Harga Jual atau Penggantian yang belum dibayar;
|
-
|
persediaan Barang yang belum ada Pajak Masukannya.
|
Mengalami kendala dalam menemukan dokumen yang Anda cari? Kami siap membantu, serta mengharapkan kritik dan saran dari Anda.