Quick Guide
Hide Quick Guide
  • MELAWAN
  • RINGKASAN POSITA BANDING
  • KETENTUAN FORMAL PENINJAUAN KEMBALI
  • ALASAN PENINJAUAN KEMBALI
  • PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH AGUNG
  • MENGADILI
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium

PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
860/B/PK/PJK/2012

 
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
 
MAHKAMAH AGUNG
Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara:
 
Direktur Jenderal Pajak, tempat kedudukan di Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 40-42, Jakarta 12190, dalam hal ini memberikan kuasa kepada:
1.
Catur Rini Widosari, Direktur Keberatan dan Banding, Direktorat Jenderal Pajak;
2.
Budi Christiadi, Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
3.
Yudi Asmara Jaka Lelana, Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
4.
Andri Setiawan, Penelaah Keberatan, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
 
Keempatnya beralamat di Kantor Pusat Direktur Jenderal Pajak, Jalan Jenderal Gatot Subroto No. 40-42, Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-1333/PJ/2011, tanggal 6 Oktober 2011;
 
untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Terbanding;
 

MELAWAN

 
PT. Tapian Nadenggan, tempat kedudukan di Plaza BII Menara II Lantai 30, Jl. M.H Thamrin Kav.22 No. 51 Gondangdia - Menteng, Jakarta Pusat;
 
untuk selanjutnya disebut sebagai Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Banding;
 
Mahkamah Agung tersebut;
 
Membaca surat-surat yang bersangkutan;
 
Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding, telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Jakarta Nomor PUT.32083/PP/M.V/13/2011, tanggal 20 Juni 2011 yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Pemohon Banding dengan posita perkara sebagai berikut:
 

RINGKASAN POSITA BANDING

 
Bahwa Pemohon Banding dalam Surat Bandingnya pada pokoknya mengemukakan hal sebagai berikut:
 
Bahwa sehubungan dengan telah diterbitkannya Keputusan Terbanding Nomor KEP-449/PJ.07/2009 tanggal 15 Juni 2009 tentang Keberatan Pemohon Banding atas SKPKB PPh Pasal 26 Nomor 00009/204/06/073/08 tanggal 31 Maret 2008 untuk Masa Pajak Januari sampai dengan Desember 2006, yang Pemohon Banding terima pada tanggal 18 Juni 2009;
 
KETENTUAN FORMAL BANDING
bahwa sesuai dengan Pasal 35 ayat (1) dan (2) Nomor 14 Tahun 2002 menyebutkan bahwa:
(1)
Banding diajukan dengan Surat Banding dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak;
(2)
Banding diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima Keputusan yang dibanding, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan perpajakan;
 
 
Bahwa sesuai dengan Pasal 36 ayat (1), (2), (3), dan (4) UU Nomor 14 Tahun 2002 menyebutkan bahwa:
(1)
Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding;
(2)
Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas, dan dicantumkan tanggal diterima surat keputusan yang dibanding;
(3)
Pada Surat Banding dilampirkan salinan Keputusan yang dibanding;
(4)
Selain dari persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) serta Pasal 35, dalam hal Banding diajukan terhadap besarnya jumlah Pajak yang terutang, Banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang yang dimaksud telah dibayar sebesar 50% (lima puluh persen). Untuk memenuhi persyaratan formal banding kami, kami telah membayar jumlah pajak yang terutang sebesar Rp1.235.435.885,00;
 
 
Bahwa sesuai dengan Pasal 37 ayat (1) bahwa Banding hanya dapat diajukan oleh pengurus yaitu Direksi;
 
KRONOLOGIS DAN DASAR KOREKSI PEMERIKSA
Bahwa pada tanggal 31 Maret 2008, Terbanding menerbitkan SKPKB PPh Pasal 26 tahun 2006 Nomor 00009/204/06/073/08 dengan perincian sebagai berikut:
 
 
Bahwa selanjutnya, Pemohon Banding telah mengajukan permohonan Keberatan atas SKPKB PPh Pasal 26 tahun 2006 Nomor: 00009/204/06/073/08 melalui surat permohonan nomor 043/TND/IV/2008 tanggal 28 April 2008 yang diterima oleh Terbanding pada tanggal 20 Juni 2008 dimana Pemohon Banding tidak setuju atas koreksi pemeriksa terhadap Objek PPh Pasal 26 tahun 2006 tersebut;
 
Bahwa menanggapi surat keberatan Pemohon Banding, pada tanggal 15 Juni 2009 Terbanding menerbitkan Keputusan Terbanding Nomor: KEP-449/PJ.07/2009 yang isinya menerima sebagian permohonan keberatan Pemohon Banding dengan rincian sebagai berikut:
 
 
PEMOHON BANDING
Bahwa Pemohon Banding mengajukan Banding atas Keputusan Terbanding Nomor KEP-449/PJ.07/2009 tanggal 15 Juni 2009 dengan perincian dan alasan sebagai berikut:
 
 
Koreksi atas Objek PPh Pasal 26 sebesar Rp5.574.619.027,00
Bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan koreksi yang dipertahankan Penelaah atas objek PPh Pasal 26 atas biaya bunga atas pinjaman afiliasi sebesar Rp5.574.619.027,00 dengan penjelasan sebagai berikut:
 
 
1.
adapun bunga pinjaman yang dibayarkan kepada Goederhand Finance BV (GFBV) adalah sebesar Rp5.574.619.027,00. Bunga yang dibayarkan ini sesuai dengan perjanjian pinjaman term loan facility antara Pemohon Banding dan Goederhand Finance BV dan memiliki jangka waktu yang dimulai dari tanggal 21 September 2004 sampai dengan tanggal 26 Desember 2009;
 
 
2.
Goederhand Finance BV merupakan perusahaan yang berdomisili di Belanda sesuai dengan Surat Keterangan Domisili (SKD) untuk tahun pajak 2006 yang diterbitkan oleh Competent Authority Belanda. Ketentuan adanya Surat Keterangan Domisili ini telah sesuai dengan SE-03/PJ.101/1996 tanggal 29 Maret 1996 tentang Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B);
 
 
3.
Perjanjian pinjaman antara Pemohon Banding dan GFBV mengacu kepada P3B antara Indonesia dengan Belanda dan SE-03/PJ.101/1996 tanggal 29 Maret 1996 tentang Penerapan Penghindaran Pajak Berganda. Berdasarkan hal tersebut maka atas bunga yang kami bayarkan kepada GFBV-Belanda tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 26 karena sesuai dengan Pasal 11 ayat 4 P3B Indonesia dengan Belanda disebutkan bahwa:
Menyimpang dari ketentuan-ketentuan dalam ayat 2, bunga yang timbul di salah satu Negara hanya akan dikenakan pajak di Negara lainnya jika pemilik manfaat dari bunga tersebut merupakan penduduk Negara lainnya dan jika bunga tersebut dibayarkan atas hutang yang dibuat untuk jangka waktu lebih dari 2 (dua) tahun;
 
Bahwa berdasarkan hal tersebut, Pemohon Banding sudah menerapkan ketentuan P3B pasal 11 ayat 4 bahwa untuk bunga yang dibayarkan kepada penduduk Belanda atas hutang yang dibuat untuk jangka waktu lebih dari dua tahun yaitu dari tanggal 21 September 2004 sampai dengan tanggal 26 Desember 2009 maka hak pemajakan atas bunga ada di negara Belanda;
 
 
4.
Mengenai koreksi PPh Pasal 26 berdasarkan SE-17/PJ./2005: tanggal 1 Juni 2005 dapat Pemohon Banding tanggapi bahwa SE-17 tersebut terlihat tidak konsisten dimana SE-17 dibuat hanya berdasarkan penafsiran dengan mengedepankan kepentingan satu pihak semata saja yaitu hanya dari pihak Indonesia saja dan tidak melibatkan pihak Belanda;
 
Bahwa dalam SE-17 juga mengutip P3B Indonesia dengan Belanda (terlampir) Pasal 11 ayat (5) yang menyatakan bahwa "Pejabat yang berwenang dari kedua negara melalui persetujuan bersama akan mengatur cara-cara untuk menerapkan ayat 2, 3, dan 4", sehingga jelas bahwa untuk mengatur hak pemajakan atas bunga atas hutang yang dibuat untuk jangka waktu lebih dari 2 tahun diperlukan persetujuan bersama antara Indonesia dengan Belanda;
 
Bahwa ketidak-konsistenan pada SE-17 ini nampak disebutkan pada kalimat sebagai berikut:
Bahwa terhadap ketentuan Pasal 11 ayat (4), mengingat tata cara pelaksanaannya belum dibicarakan antara "Pejabat yang berwenang" Indonesia dan Belanda maka berlaku ketentuan sebagaimana tercantum dalam butir 1 tersebut di atas, yaitu Wajib Pajak Indonesia yang mempunyai hutang atau pinjaman kepada penduduk Belanda baik perseorangan maupun Badan, diwajibkan untuk melakukan pemotongan PPh Pasal 26 dengan tarif 10% dari jumlah bruto bunga yang dibayarkan;
 
Bahwa menurut Pemohon Banding bahwa petunjuk pelaksanaan yang diatur dalam SE-17 tersebut tidak dapat digunakan karena petunjuk pelaksanaannya sangat bertentangan dengan isi ketentuan P3B itu sendiri. dimana ketentuan P3B Pasal 11 ayat (4) menyatakan bahwa pejabat berwenang dari kedua negara melalui persetujuan bersama akan mengatur cara-cara untuk menerapkan ayat 2, 3, dan 4 sedangkan SE-17 mewajibkan Wajib Pajak untuk melakukan pemotongan PPh Pasal 26 dengan sepihak saja yaitu dari pihak Indonesia;
 
Bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, maka dapat dijelaskan bahwa dalam sistem perpajakan Indonesia, tax treaty merupakan lex specialist dari UU PPh. Sesuai dengan asas lex specialis derogat legi generalum disebutkan bahwa ketentuan di dalam tax treaty meniadakan ketentuan yang sama dengan yang terdapat di dalam UU PPh.
 
Dengan demikian, ketentuan material mengenai pemajakan terhadap Wajib Pajak Luar Negeri mengikuti ketentuan tax treaty yang berlaku;
 
Bahwa oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa kedudukan P3B adalah lebih tinggi dari Undang-Undang, sementara kedudukan aturan pelaksanaan (antara lain Surat Edaran) berada di bawah Undang-Undang, sehingga aturan pelaksana seperti Surat Edaran seharusnya hanya dapat mengatur mengenai masalah administratif saja dan seyogyanya tidak dapat mengubah substansi dari aturan dalam P3B;
 
Bahwa berdasarkan uraian di atas maka biaya bunga yang dibayarkan ke Goederhand Finance BV bukan merupakan obyek PPh Pasal 26;
 
 
Koreksi atas Kredit Pajak PPh Pasal 26 atas biaya bunga bank pihak ketiga (West LB) sebesar Rp97.963.844,00
bahwa selisih PPh pasal 26 terhutang atas biaya bunga bank-pihak ketiga (West LB) menurut Pemeriksa/Penelaah dan Pemohon Banding dapat dijelaskan sebagai berikut:
 
 
1.
Menurut Pemeriksa, PPh Pasal 26 atas akrual biaya bunga West LB untuk periode 20 Desember 2006-31 Desember 2006 dengan DPP sebesar Rp1.125.161.481,00 dan PPh Pasal 26 sebesar Rp112.516.148,00 belum dipotong, disetorkan dan dilaporkan oleh Pemohon Banding;
 
 
2.
Pemohon Banding tidak setuju dengan koreksi Pemeriksa tersebut karena Pemohon Banding telah melakukan pemotongan PPh Pasal 26 atas biaya bunga periode 20 Desember 2006-31 Desember 2006 tersebut sebesar Rp113.469.723,00 pada saat melakukan pembayaran biaya bunga untuk periode 20 Desember 2006-19 Januari 2007 ke West LB pada bulan Januari 2007 berdasarkan kurs KMK yang berlaku pada saat pemotongan terjadi. Pemotongan PPh Pasal 26 tersebut telah Pemohon Banding setor dan laporkan pada SPM PPh Pasal 26 masa Januari 2007. Rekonsiliasi antara pembayaran bunga ke West LB dan penyetoran SPM PPh pasal 26 adalah sebagai berikut: (bukti potong, SPM PPh Pasal 26 dan jurnal pencatatan di general ledger);
 
 
 
 
Bahwa adapun rekonsiliasi perhitungan biaya bunga selama tahun 2006 dengan pembayaran PPh Pasal 26 terhutang adalah sebagai berikut:
 
 
 
 
Bahwa perbedaan kurs yang berlaku pada saat pencatatan dan pemotongan PPh Pasal 26 sebesar Rp15.505.879,00, sesuai dengan rekonsiliasi pemotongan dan pembayaran PPh Pasal 26 dengan biaya bunga West LB tahun 2006 di atas, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan kurs pencatatan dengan kurs pemotongan PPh Pasal 26 yang menggunakan kurs KMK, sehingga PPh Pasal 26 yang disetor dan dilapor di dalam SPM PPh Pasal 26 lebih besar Rp15.505.879 dengan perhitungan sebagai berikut:
 
 
 
 
Bahwa sesuai dengan uraian di atas, menurut Pemohon Banding jumlah PPh Pasal 26 yang masih harus dibayar adalah NIHIL dengan perincian sebagai berikut:
 
 
 
Menimbang, bahwa amar Putusan Pengadilan Pajak Jakarta Nomor PUT-32083/PP/M.V/13/2011, tanggal 20 Juni 2011 yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut:
 
MENGADILI
Mengabulkan sebagian banding Pemohon Banding terhadap keputusan Terbanding Nomor: KEP-449/PJ.07/2009 tanggal 15 Juni 2009 mengenai Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 26 Nomor: 00009/204/06/073/08 tanggal 31 Mei 2008 Masa Pajak Januari sampai dengan Desember 2006, atas nama: PT. Tapian Nadenggan, NPWP: j 01.213.180.1-073.000, Alamat: Plaza BII Menara II Lt. 30, Jl. M.H Thamrin Kav. 22 No. 51 Gondangdia - Menteng, Jakarta Pusat, sehingga jumlah Pajak Penghasilan Pasal 26 Masa Januari sampai dengan Desember 2006 yang masih harus dibayar menjadi sebagai berikut:
 
 

KETENTUAN FORMAL PENINJAUAN KEMBALI

 
Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak Jakarta Nomor PUT-32083/PP/M.V/13/2011, tanggal 20 Juni 2011, diberitahukan kepada Pemohon Peninjauan Kembali pada tanggal 14 Juli 2011 kemudian terhadapnya oleh Pemohon Peninjauan Kembali dengan perantaraan kuasanya berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-1333/PJ./2011 tanggal 06 Oktober 2011 diajukan permohonan peninjauan kembali secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak Jakarta pada tanggal 12 Oktober 2011 dengan disertai alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 12 Oktober 2011;
 
Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada tanggal 07 November 2011 kemudian terhadapnya oleh pihak lawannya diajukan Jawaban yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 05 Desember 2011;
 
Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasan-alasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka permohonan peninjauan kembali tersebut secara formal dapat diterima;
 

ALASAN PENINJAUAN KEMBALI

 
Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan Peninjauan Kembali yang pada pokoknya sebagai berikut:
 
A.
Tentang Putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT.32083/PP/M.V/13/2011 tanggal 20 Juni 2011 yang cacat hukum (Juridisch Gebrek) karena telah diputus dengan melewati jangka waktu yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
 
 
 
1.
Bahwa Putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT.32083/PP/M.V/13/2011 tanggal 20 Juni 2011 nyata-nyata telah cacat hukum karena telah melewati jangka waktu pemeriksaan banding sebagaimana yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini khususnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;
 
 
 
 
2.
Bahwa setelah membaca, meneliti dan mempelajari lebih lanjut Putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT.32083/PP/M.V/13/2011 tanggal 20 Juni 2011, maka dapat diketahui secara jelas dan nyata-nyata bahwa proses pemeriksaan dan persidangan atas sengketa banding yang diajukan oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) terhadap Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-449/PJ.07/2009, tanggal 15 Juni 2009 mengenai Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 26 Masa Pajak Januari s.d Desember 2006 Nomor: 00009/204/06/073/08, tanggal 31 Maret 2008, atas nama: PT. Tapian Nadenggan NPWP: 01.213.180.1-073.000, dilakukan melalui pemeriksaan dengan acara biasa sebagaimana yang dimaksud dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak pada Bab IV, Hukum Acara, Bagian Kelima perihal Pemeriksaan Dengan Acara Biasa, antara lain ketentuan Pasal 49, Pasal 50, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 59 dan Pasal 64;
 
 
 
 
3.
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 81 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, menyebutkan sebagai berikut:
Ayat (1)
:
“Putusan pemeriksaan dengan acara biasa atas Banding diambil dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak Surat Banding diterima”;
Ayat (3)
:
“Dalam hal-hal khusus, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperpanjang paling lama 3 (tiga) bulan.”
 
 
 
 
 
Berdasarkan Penjelasan Pasal 81 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, menyebutkan sebagai berikut:
Ayat (1)
:
"Penghitungan jangka waktu 12 (dua belas) bulan dalam pengambilan putusan dapat diberikan contoh sebagai berikut:
Banding diterima tanggal 5 April 2002, putusan harus diambil selambat-lambatnya tanggal 4 April 2003”;
Ayat (3)
:
“Yang dimaksud dengan “dalam hal-hal khusus” antara lain pembuktian sengketa rumit, pemanggilan saksi memerlukan waktu yang cukup lama”;
 
 
 
 
4.
Bahwa berdasarkan pemeriksaan sengketa banding di Pengadilan Pajak dan berdasarkan Putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT.32083/PP/M.V/13/2011 tanggal 20 Juni 2011, dapat diketahui fakta-fakta sebagai berikut:
 
 
a.
Bahwa Surat Banding Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) Nomor: 062/TND/VIII/2009 tanggal 18 Agustus 2009 diterima oleh Sekretariat Pengadilan Pajak pada tanggal 8 September 2009 (diantar) dan tercatat dalam berkas perkara Nomor: 13-044306-2006;
 
 
b.
Bahwa berdasarkan pemeriksaan pemenuhan ketentuan formal atas pengajuan permohonan banding yang dilakukan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak, yang memeriksa dan mengadili sengketa banding tersebut, diketahui bahwa formal pengajuan banding, formal pengajuan keberatan dan formal penerbitan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-449/PJ.07/2009, tanggal 15 Juni 2009 (objek sengketa banding) telah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, sehingga telah memenuhi ketentuan formal pengajuan banding sebagaimana yang ditentukan oleh ketentuan Pasal 35, Pasal 36 dan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. (vide Putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT.32083/PP/M.V/13/2011 tanggal 20 Juni 2011, halaman 20 - 24);
 
 
c.
Bahwa oleh karena pemenuhan ketentuan formal pengajuan banding di Pengadilan Pajak telah terpenuhi, maka selanjutnya Majelis Hakim Pengadilan Pajak, yang memeriksa dan mengadili sengketa banding tersebut, melakukan pemeriksaan terhadap materi sengketa banding yang diajukan oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) di dalam Surat Banding Nomor: 062/TND/VIII/2009 tanggal 18 Agustus 2009;
 
 
d.
Bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak kemudian telah memutus sengketa banding tersebut pada tanggal 29 November 2010 melalui Putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT.32083/PP/M.V/13/2011 tanggal 20 Juni 2011 dan putusannya tersebut kemudian diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada tanggal 20 Juni 2011;
 
 
e.
Bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, dapat diketahui secara jelas dan nyata-nyata bahwa Surat Banding Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) Nomor: 062/TND/VIII/2009 tanggal 18 Agustus 2009 telah diterima oleh Sekretariat Pengadilan Pajak pada tanggal 8 September 2009.
 
 
 
 
 
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak beserta Penjelasannya, maka sengketa banding tersebut seharusnya diputus selambat-lambatnya 12 (dua belas) bulan sejak tanggal 8 September 2009 atau pada tanggal 7 September 2010, kecuali ada hal-hal khusus sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 81 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;
 
 
 
 
5.
Bahwa fakta yang terjadi adalah Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah memutus sengketa banding tersebut pada tanggal 29 November 2010 atau telah diputus dengan lewat 83 (delapan puluh tiga) hari dari jangka waktu yang seharusnya yang ditentukan oleh Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak beserta Penjelasannya;
 
 
 
 
6.
Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 81 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak beserta Penjelasannya, maka Majelis Hakim Pengadilan Pajak berwenang untuk memperpanjang jangka waktu pengambilan putusan atas sengketa banding dimaksud untuk paling lama 3 (tiga) bulan setelah tanggal jatuh tempo putusan bilamana hal-hal yang bersifat khusus sebagaimana yang dimaksud Pasal 81 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak terpenuhi;
 
 
 
 
7.
Bahwa setelah membaca, meneliti dan mempelajari lebih lanjut Putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT.32083/PP/M.V/13/2011 tanggal 20 Juni 2011 tersebut, tidak ditemukan satupun amar pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang menyatakan adanya hal-hal khusus dimaksud yang menjadi alasan atau penyebab harus adanya perpanjangan jangka waktu pengambilan putusan atas sengketa banding dimaksud;
 
 
 
 
8.
Bahwa dengan demikian, oleh karena tidak adanya hal-hal khusus dimaksud yang menjadi alasan atau penyebab harus adanya perpanjangan jangka waktu pengambilan putusan atas sengketa banding dimaksud, maka sengketa banding tersebut seharusnya diputus selambat-lambatnya pada tanggal 7 September 2010;
 
 
 
 
9.
Bahwa oleh karena itu, maka Majelis Hakim Pengadilan Pajak, yang memeriksa dan mengadili sengketa banding tersebut, telah terbukti dengan nyata-nyata telah melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (contra legem) dengan memutus sengketa banding dimaksud dengan melewati jangka waktu yang seharusnya yang ditentukan oleh ketentuan Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak beserta Penjelasannya;
 
 
 
 
10.
Bahwa dengan demikian, Putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT.32083/PP/M.V/13/2011 tanggal 20 Juni 2011 tersebut secara nyata-nyata telah terbukti sebagai suatu Putusan yang cacat hukum. Sehingga oleh karenanya, Putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT.32083/PP/M.V/13/2011 tanggal 20 Juni 2011 tersebut harus dibatalkan demi hukum;
 
 
 
B.
Tentang Koreksi DPP Objek PPh Pasal 26 atas pembayaran bunga ke luar negeri sebesar Rp5.574.619.027,00 yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
 
 
 
1.
Bahwa jika seandainya-pun, Majelis Hakim Mahkamah Agung Yang Terhormat, yang memeriksa dan mengadili sengketa peninjauan kembali ini berpendapat lain selain daripada dalil-dalil yang disampaikan dan diuraikan oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) tersebut di atas, namun pada pokoknya Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) tetap tidak sependapat dan keberatan atas pertimbangan dan putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak sebagaimana yang dituangkan dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT.32083/PP/M.V/13/2011 tanggal 20 Juni 2011;
 
 
 
 
2.
Bahwa setelah Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) membaca, memeriksa dan meneliti Putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT.32083/PP/M.V/13/2011 tanggal 20 Juni 2011 tersebut, maka dengan ini menyatakan sangat keberatan atas putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak tersebut, karena Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah salah dan keliru dengan telah mengabaikan fakta-fakta hukum (rechtsfeit) dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku dalam pemeriksaan Banding di Pengadilan Pajak (tegenbewijs) atau setidak-tidaknya telah membuat suatu kekhilafan baik berupa error facti maupun error juris dalam membuat pertimbangan-pertimbangan hukumnya;
 
 
 
 
3.
Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sangat keberatan dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak, yang antara lain berbunyi sebagai berikut:
 
Halaman 29 Alinea ke-7
”bahwa berdasarkan uraian di atas, Majelis berkesimpulan koreksi Terbanding atas DPP PPh Pasal 26 sebesar Rp5.574.619.027,00 tidak dapat dipertahankan”;
 
 
 
 
4.
Bahwa berkenaan dengan amar pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang tertuang dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT.32083/PP/M.V/13/2011 tanggal 20 Juni 2011 tersebut di atas, maka Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) dengan ini menyatakan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang telah memeriksa dan mengadili sengketa banding tersebut telah salah dan keliru atau setidak-tidaknya telah membuat suatu kekhilafan (error facti) dalam membuat pertimbangan-pertimbangan hukumnya dengan telah mengabaikan fakta hukum dan/atau prinsip perpajakan yang berlaku yang berlaku, sehingga hal tersebut nyata-nyata telah melanggar asas kepastian hukum dalam bidang perpajakan di Indonesia;
 
 
 
 
5.
Bahwa setelah Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) membaca, memeriksa dan meneliti Putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT.32083/PP/M.V/13/2011 tanggal 20 Juni 2011 tersebut, maka dengan ini menyatakan sangat keberatan atas putusan Pengadilan Pajak tersebut, karena nyata-nyata amar pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah mengabaikan fakta-fakta yang Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) ajukan;
 
 
 
 
6.
Bahwa Pasal 78 beserta penjelasannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut dengan UU PP) menyebutkan sebagai berikut:
 
Pasal 78
“Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan hakim”;
 
Penjelasan Pasal 78
“Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan”;
 
 
 
 
7.
Bahwa Pasal 28 ayat (1), ayat (3) dan ayat (11) dan Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000, menyebutkan sebagai berikut:
 
Pasal 28 Ayat (1)
"Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia, wajib menyelenggarakan pembukuan”;
 
Pasal 28 Ayat (3)
“Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya”;
 
Pasal 28 Ayat (11)
“Buku-buku, catatan-catatan, dokumen-dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau di tempat tinggal bagi Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan bagi Wajib Pajak badan”;
 
Penjelasan Pasal 28 ayat (11)
“Buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen termasuk hasil pengolahan data elektronik yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan harus disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, dengan maksud agar apabila Direktur Jenderal Pajak akan mengeluarkan surat ketetapan pajak, bahan pembukuan atau pencatatan yang diperlukan masih tetap ada dan dapat segera disediakan. Kurun waktu 10 (sepuluh) tahun penyimpanan buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan adalah sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai batas daluwarsa penetapan pajak";
 
Pasal 29 ayat (3)
Wajib Pajak yang diperiksa wajib:
 
 
a.
memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
 
 
 
 
 
8.
Bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (selanjutnya disebut UU PPh), menyebutkan sebagai berikut:
 
Pasal 26 ayat (1)
“Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang dibayarkan atau yang terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan:
 
 
a.
dividen;
 
 
b.
bunga, termasuk premium, diskonto, premi swap dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;
 
 
c.
royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
 
 
d.
imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
 
 
e.
hadiah dan penghargaan;
 
 
f.
pensiun dan pembayaran berkala lainnya”;
 
 
 
 
 
 
Memori Penjelasan Pasal 26
“Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri dari Indonesia, Undang-Undang ini menganut dua sistem pengenaan pajak, yaitu pemenuhan sendiri kewajiban perpajakannya bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, dan pemotongan oleh pihak yang wajib membayar bagi Wajib Pajak luar negeri lainnya;
 
Ketentuan ini mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang bersumber di Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap.
 
Memori Penjelasan Pasal 26 Ayat (1)
Pemotongan pajak berdasarkan ketentuan ini wajib dilakukan oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang melakukan pembayaran kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dengan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto. Jenis-jenis penghasilan yang wajib dilakukan pemotongan dapat digolongkan dalam:
 
 
1)
penghasilan yang bersumber dari modal dalam bentuk dividen, bunga termasuk premium, diskonto, premi swap sehubungan dengan interest swap dan imbalan karena jaminan pengembalian utang, royalti, dan sewa serta penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
 
 
2)
imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, atau kegiatan;
 
 
3)
hadiah dan penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun;
 
 
4)
pensiun dan pembayaran berkala lainnya”;
 
 
 
 
 
 
Pasal 32 A
“Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak";
 
 
 
 
9.
Bahwa sesuai dengan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Belanda (selanjutnya disebut P3B Indonesia - Belanda) menyebutkan beberapa hal sebagai berikut:
 
Pasal 1
“Persetujuan ini berlaku terhadap orang dan badan yang menjadi penduduk salah satu atau kedua Negara”;
 
Pasal 11
 
 
1.
“Bunga yang timbul di salah satu Negara dan dibayarkan kepada penduduk Negara lainnya dapat dikenakan pajak di Negara lainnya;
 
 
2.
Namun demikian, bunga tersebut dapat juga dikenakan pajak di Negara dimana bunga tersebut berasal dan sesuai dengan perundang-undangan Negara tersebut; akan tetapi, apabila pemilik manfaat dari bunga tersebut adalah penduduk Negara lainnya, maka pajak yang dikenakan tidak akan melebihi 10% (sepuluh persen) dan jumlah bruto bunga;
 
 
3.
Menyimpang dari ketentuan-ketentuan dalam ayat 2, bunga yang timbul di salah satu Negara hanya akan dikenakan pajak di Negara lainnya sepanjang bunga tersebut diperoleh:
 
 
 
(a)
Pemerintah Negara lainnya, termasuk bagian ketatanegaraannya dan pemerintah daerahnya; atau
 
 
 
(b)
Bank Sentral Negara lainnya; atau
 
 
 
(c)
Lembaga keuangan yang dimiliki atau dikendalikan oleh Pemerintah Negara lainnya termasuk bagian ketatanegaraannya dan pemerintah daerahnya; atau
 
 
 
(d)
setiap penduduk Negara lainnya sehubungan dengan piutang yang dijamin oleh Pemerintah Negara lainnya termasuk bagian ketatanegaraannya dan pemerintah daerahnya, Bank Sentral Negara lainnya, atau setiap lembaga keuangan yang dimiliki atau dikendalikan oleh Pemerintah tersebut;
 
 
4.
Menyimpang dari ketentuan-ketentuan dalam ayat 2, bunga yang timbul di salah satu Negara hanya akan dikenakan pajak di Negara lainnya jika pemilik manfaat dari bunga tersebut merupakan penduduk Negara lainnya dan jika bunga tersebut dibayarkan atas hutang yang dibuat untuk jangka waktu lebih dari 2 (dua) tahun atau yang dibayarkan sehubungan dengan penjualan kredit perlengkapan industri, dagang, atau ilmu pengetahuan;
 
 
5.
Pejabat yang berwenang dari kedua Negara melalui persetujuan bersama akan mengatur cara-cara untuk menerapkan ayat 2, 3, dan 4;
 
 
6.
Istilah "bunga" sebagaimana digunakan dalam Pasal ini berarti penghasilan dari semua jenis tagihan piutang, baik yang dijamin dengan hipotik maupun tidak, dan baik yang mempunyai hak atas pembagian laba maupun tidak, dan khususnya, penghasilan dari sekuritas yang diterbitkan oleh pemerintah dan penghasilan dari surat-surat obligasi atau surat-surat utang, termasuk premi dan hadiah yang melekat pada sekuritas, obligasi, atau surat utang tersebut. Untuk kepentingan Pasal ini, denda atas keterlambatan pembayaran tidak dianggap sebagai bunga. Lebih lanjut, istilah "bunga" juga mencakup penghasilan yang diatur dalam Pasal 10;
 
 
7.
Ketentuan-ketentuan dalam ayat 1 dan 2 tidak akan berlaku apabila penerima bunga tersebut, yang merupakan penduduk salah satu Negara, mempunyai bentuk usaha tetap di Negara lainnya dimana bunga tersebut timbul dan tagihan piutang yang menghasilkan bunga tersebut mempunyai hubungan efektif dengan bentuk usaha tetap tersebut. Dalam hal demikian, ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 akan berlaku.;
 
 
8.
Bunga dianggap timbul di salah satu Negara apabila pihak yang membayar bunga tersebut adalah Negara itu sendiri, bagian ketatanegaraannya, pemerintah daerahnya, atau penduduk Negara tersebut. Namun demikian, apabila orang/badan yang membayar bunga tersebut, tanpa memandang apakah ia penduduk salah satu Negara atau tidak, mempunyai bentuk usaha tetap di salah satu Negara yang kemudian mempunyai utang sehingga menimbulkan biaya bunga, dan bunga tersebut menjadi beban bentuk usaha tetap tersebut, maka bunga tersebut akan dianggap timbul di Negara dimana bentuk usaha tetap tersebut berada;
 
 
9.
Apabila karena alasan adanya hubungan istimewa antara pembayar dan penerima bunga atau antara keduanya dan orang/badan lain, jumlah bunga yang dibayarkan, dengan memperhatikan besarnya utang yang menghasilkan bunga tersebut, melebihi jumlah yang seharusnya disepakati antara pembayar dan penerima bunga seandainya mereka tidak mempunyai hubungan istimewa, maka ketentuan-ketentuan dalam Pasal ini akan berlaku hanya atas jumlah yang disebutkan terakhir tersebut. Dalam hal demikian, jumlah kelebihan pembayaran tersebut akan tetap dikenakan pajak sesuai dengan perundang-undangan Negara masing-masing dengan tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan lainnya dalam Persetujuan ini";
 
 
 
 
 
10.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-17/PJ./2005 tanggal 01 Juni 2005 tentang Petunjuk Perlakuan Pajak Penghasilan Terhadap Pasal 11 Tentang Bunga Pada Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Antara Indonesia Dengan Belanda menyebutkan beberapa hal sebagai berikut:
 
Ketentuan Pasal 11 ayat (5) di atas menyebutkan bahwa tata cara pelaksanaan ayat (2), (3) dan (4) akan disusun oleh "Pejabat yang Berwenang" antara kedua belah pihak yaitu Indonesia dan Belanda. Dalam hal ini, baik Direktorat Jenderal Pajak selaku "Pejabat yang Berwenang" Indonesia maupun "Pejabat yang Berwenang" Belanda, belum melakukan pembicaraan tentang aturan pelaksanaan ayat-ayat tersebut; Petunjuk pelaksanaan perlakuan pajak penghasilan terhadap bunga yang dibayarkan oleh Wajib Pajak Indonesia atas utang kepada Penduduk Belanda baik perorangan maupun badan berkaitan dengan Pasal 11 ayat (2) dan ayat (4) P3B Indonesia - Belanda adalah sebagai berikut:
 
 
1.
Terhadap ketentuan Pasal 11 ayat (2), tidak diperlukan tata cara pelaksanaannya, sehubungan dengan tidak terdapat permasalahan dalam pelaksanaannya. Wajib Pajak Indonesia yang mempunyai utang atau pinjaman kepada penduduk Belanda baik perorangan maupun badan, diwajibkan melakukan pemotongan PPh Pasal 26 dengan tarif 10% (sepuluh perseratus) dari jumlah bruto bunga yang dibayarkan;
 
 
2.
Terhadap ketentuan Pasal 11 ayat (4), mengingat tata cara pelaksanaannya belum dibicarakan antara "Pejabat yang Berwenang" Indonesia dan Belanda, maka berlaku ketentuan sebagaimana tercantum dalam butir 1 tersebut di atas yaitu wajib pajak Indonesia yang mempunyai utang atau pinjaman kepada penduduk Belanda baik perorangan maupun badan, diwajibkan untuk melakukan pemotongan PPh Pasal 26 dengan tarif 10% (sepuluh perseratus) dari jumlah bruto bunga yang dibayarkan";
 
 
 
 
 
11.
Bahwa Surat Edaran Direktur Jenderal Nomor SE-04/PJ.34/2005 menyebutkan sebagai berikut:
“Sehubungan dengan masih adanya persepsi yang berbeda, yaitu seolah-olah Wajib Pajak luar negeri yang menunjukkan Surat Keterangan Domisili dari suatu negara yang mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang paripurna dengan Indonesia, maka Wajib Pajak tersebut secara langsung dapat menikmati fasilitas penurunan tarif. Padahal menurut Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang bersangkutan, Wajib Pajak dalam negeri dari negara mitra perjanjian, dapat menikmati pengurangan tarif apabila Wajib Pajak tersebut adalah "beneficial owner" dari penghasilan berupa Dividen, Bunga dan Royalti, yang berkenaan. Oleh karena itu, Direktorat Jenderal Pajak memandang perlu untuk memberikan penjelasan guna menciptakan kepastian hukum mengenai pengertian dan kriteria tentang "beneficial owner" sebagai berikut:
 
 
a.
Yang dimaksud dengan "beneficial owner" adalah pemilik yang sebenarnya dari penghasilan berupa Dividen, Bunga dan atau Royalti baik Wajib Pajak Perorangan maupun Wajib pajak Badan, yang berhak sepenuhnya untuk menikmati secara langsung manfaat penghasilan-penghasilan tersebut;
 
 
b.
Dengan demikian, maka "special purpose vehicles" dalam bentuk "conduit company", "paper box company","pass-through company" serta yang sejenis lainnya, tidak termasuk dalam pengertian "beneficial owner" tersebut di atas;
 
 
c.
Apabila terdapat pihak-pihak lain yang bukan merupakan "beneficial owner" sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b tersebut, yang menerima pembayaran Dividen, Bunga dan/atau Royalti yang bersumber dari Indonesia, maka pihak yang membayarkan Dividen, Bunga dan atau Royalti tersebut diwajibkan melakukan pemotongan PPh Pasal 26 sesuai Undang-Undang Pajak Penghasilan Indonesia dengan tarif 20% (dua puluh perseratus) dari jumlah bruto yang dibayarkan”;
 
 
 
 
 
12.
Bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku dan berdasarkan hasil pemeriksaan sengketa banding di Pengadilan Pajak sebagaimana yang telah dituangkan dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT.32083/PP/M.V/13/2011 tanggal 20 Juni 2011 serta berdasarkan penelitian atas dokumen-dokumen milik Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding), maka telah dapat diketahui secara jelas dan nyata-nyata adanya fakta-fakta sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
a.
bahwa pokok sengketa dalam perkara ini adalah koreksi Dasar Pengenaan Pajak Pajak Penghasilan Pasal 26 berupa pembayaran bunga sebesar Rp5.574.619.027,00 kepada Goederhand Finance B.V (selanjutnya disebut GFBV) yang berkedudukan di Belanda yang belum dipotong dan dilaporkan sebagai objek PPh Pasal 26 dalam SPT Masa PPh Pasal 26;
 
 
 
 
 
 
b.
bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) dalam proses keberatan telah menolak permohonan keberatan Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) atas koreksi pembayaran bunga kepada GFBV sebesar Rp5.574.619.027,00 karena koreksi yang dilakukan tersebut telah sesuai dengan Pasal 11 P3B Indonesia - Belanda dan SE-17/PJ./2005 tanggal 01 Juni 2005;
 
 
 
 
 
 
c.
bahwa ketentuan pasal 11 ayat (4) yang mengatur bahwa pajak atas bunga yang dibayarkan untuk pinjaman yang melebihi jangka waktu 2 tahun atau yang dibayarkan sehubungan dengan penjualan kredit perlengkapan industri, dagang atau ilmu pengetahuan, dikenakan di negara tempat pemberi pinjaman berkedudukan, telah menimbulkan multi penafsiran dan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan P3B Indonesia - Belanda. Multi penafsiran terhadap Pasal 11 ayat (4) tersebut antara lain menyangkut permasalahan sebagai berikut:
 
 
 
1.
apakah ketentuan Pasal 11 ayat (4) hanya berlaku terhadap bunga yang dibayarkan setelah jangka waktu 2 (dua) tahun atau pembayaran bunga sejak bulan pertama dibayarkan;
 
 
 
2.
apakah ketentuan tersebut berlaku terhadap bunga untuk pinjaman yang semula berjangka waktu kurang dari 2 tahun kemudian diperpanjang menjadi lebih dari 2 tahun;
 
 
 
3.
bagaimana perlakuan terhadap bunga pinjaman yang jangka waktu pinjamannya semula lebih dari 2 tahun tetapi kemudian dilunasi sebelum 2 tahun.
 
 
 
 
 
 
 
d.
bahwa sementara itu, terbukanya peluang penyalahgunaan Pasal 11 ayat (4) apabila diterapkan tanpa adanya tata cara pelaksanaannya antara lain menyangkut hal-hal sebagai berikut:
 
 
 
1.
Pinjaman luar negeri Pemohon Banding sedapat mungkin dibuat melalui perusahaan di Belanda dan akan senantiasa dibentuk untuk jangka waktu lebih dari 2 (dua) tahun sehingga mendapat pembebasan pemotongan PPh Pasal 26 di Indonesia;
 
 
 
2.
Pembelian kredit atas perlengkapan industri, dagang, atau ilmu pengetahuan dapat dilakukan melalui perusahaan di negara Belanda meskipun sebenarnya perlengkapan tersebut bukan diproduksi di Belanda.
 
 
 
 
 
 
 
e.
bahwa berdasarkan hal-hal tersebut pada huruf c dan d secara jelas dan nyata dapat disimpulkan bahwa:
 
 
 
Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 11 ayat (5) P3B Indonesia - Belanda, mode of application akan dibentuk dalam rangka penerapan Pasal 11 ayat (4). Meskipun demikian, sampai dengan saat ini hal tersebut masih dalam tahap perundingan antara competent authority perpajakan Indonesia dan Belanda. Berbeda dengan Pasal 11 ayat (2) dan (3), yang tidak menimbulkan potensi permasalahan karena merupakan ketentuan yang umum berlaku dalam P3B Indonesia, pasal 11 ayat (4) telah berpotensi mengakibatkan beberapa masalah sebagaimana telah diuraikan di atas sehingga diperlukan pembentukan mode of application untuk pelaksanaannya;
 
 
 
Oleh karena itu, dalam rangka pelaksanaan amanat P3B secara umum, yakni untuk mencegah pengenaan pajak berganda dan pengelakan serta penghindaran pajak, dan Pasal 11 ayat (5) secara khusus, Direktorat Jenderal pajak melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-17/PJ./2005 tanggal 01 Juni 2005 menegaskan bahwa sehubungan dengan belum adanya tata cara pelaksanaan (mode of application) antara pemerintah Indonesia dan Belanda maka Pasal 11 ayat (4) P3B Indonesia - Belanda belum dapat diterapkan;
 
 
 
sebagai konsekuensi logis dari belum dapat diterapkannya pasal 11 ayat (4) maka perlakuan perpajakan terhadap pembayaran bunga dari Indonesia ke belanda, apabila terpenuhi seluruh persyaratan yang ditentukan, diberlakukan ketentuan pasal 11 ayat (2) P3B Indonesia - Belanda.
 
 
 
 
 
 
13.
Bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tidak setuju atas koreksi objek PPh Pasal 26 sebesar Rp5.574.619.027,00 atas pembayaran bunga pinjaman GFBV dengan alasan yang intinya adalah sebagai berikut:
 
 
a.
bahwa GFBV adalah perusahaan yang berdomisili di Belanda. Hal ini dapat dibuktikan dengan Surat Keterangan Domisili GFBV yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda;
 
 
b.
bahwa bunga pinjaman yang dibayarkan kepada GFBV adalah merupakan bunga atas pinjaman dengan jangka waktu lebih dari 2 tahun;
 
 
c.
bahwa petunjuk pelaksanaan yang diatur dalam SE-17/PJ./2005 tanggal 01 Juni 2005 tersebut tidak dapat digunakan karena petunjuk pelaksanaannya sangat bertentangan dengan isi ketentuan P3B itu sendiri, dimana ketentuan P3B Pasal 11 ayat (4) menyatakan bahwa pejabat berwenang dan kedua negara melalui persetujuan bersama akan mengatur cara-cara untuk menerapkan ayat 2, 3, dan 4 sedangkan SE-17/PJ./2005 tanggal 01 Juni 2005 mewajibkan Wajib Pajak untuk melakukan pemotongan PPh Pasal 26 dengan sepihak saja yaitu dari pihak Indonesia;
 
 
d.
bahwa berdasarkan hal tersebut di atas maka biaya bunga yang dibayarkan ke Goederhand Finance BV bukan merupakan obyek PPh Pasal 26;
 
 
 
 
 
14.
Bahwa dalam setiap naskah Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, secara eksplisit ditegaskan bahwa tujuan pembentukan suatu Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda adalah untuk menghindari pengenaan pajak berganda dan untuk mencegah penghindaran pajak yang berkenaan dengan pajak atas penghasilan.
 
 
 
 
15.
Bahwa orang pribadi atau badan yang dicakup dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda adalah orang pribadi atau badan yang merupakan subjek pajak dalam negeri dari negara mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda.
 
 
 
 
16.
Bahwa Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda tidak diterapkan dalam hal terjadi penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, meskipun penerima penghasilan adalah orang pribadi atau badan yang merupakan subjek pajak dalam negeri dari negara mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda tersebut.
 
 
 
 
17.
Bahwa penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dapat terjadi dalam hal:
 
 
a.
transaksi yang tidak mempunyai substansi ekonomi dilakukan dengan menggunakan struktur/skema sedemikian rupa dengan maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;
 
 
b.
transaksi dengan struktur/skema yang format hukumnya (legal form) berbeda dengan substansi ekonomisnya (economic substance) sedemikian rupa dengan maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda; atau
 
 
c.
penerima penghasilan bukan merupakan pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis dari penghasilan (beneficial owner);
 
 
 
 
 
18.
Bahwa dalam pelaksanaan Pasal 11 ayat (4) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Kerajaan Belanda diperlukan pembentukan mode of application, dikarenakan terbukanya peluang penyalahgunaan pasal tersebut yang antara lain menyangkut hal-hal sebagai berikut:
 
 
a.
Pinjaman luar negeri Wajib Pajak sedapat mungkin dibuat melalui perusahaan di Belanda dan akan senantiasa dibentuk untuk jangka waktu lebih dari 2 (dua) tahun sehingga mendapat pembebasan pemotongan PPh Pasal 26 di Indonesia;
 
 
b.
Pembelian kredit atas perlengkapan industri, dagang atau ilmu pengetahuan dapat dilakukan melalui perusahaan di negara Belanda meskipun sebenarnya perlengkapan tersebut bukan di produksi di Belanda dan lain-lain;
 
 
 
 
 
19.
Bahwa oleh karena itu maka dalam rangka pelaksanaan amanat P3B secara umum dan Pasal 11 ayat (5) secara khusus, Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-17/PJ./2005 tanggal 1 Juni 2005 menegaskan bahwa sehubungan dengan belum adanya tata cara pelaksanaan (mode of application) antara pemerintah Indonesia dengan Belanda, maka Pasal 11 ayat (4) P3B Indonesia - Belanda belum dapat diterapkan, sehingga sebagai konsekuensi logis dari belum dapat diterapkannya Pasal 11 ayat (4) maka perlakuan perpajakan terhadap pembayaran bunga dari Indonesia ke Belanda, apabila terpenuhi seluruh persyaratan yang ditentukan, diberlakukan ketentuan Pasal 11 ayat (2) P3B antara Indonesia dan Belanda;
 
 
 
 
20.
Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 11 ayat (2), negara sumber diberikan hak pemajakan atas pembayaran bunga sesuai dengan ketentuan perpajakan domestiknya. Namun demikian, apabila penerima bunga tersebut merupakan beneficial owner, maka hak pemajakan negara sumber dibatasi paling tinggi 10% dari jumlah bruto pembayaran bunga;
 
 
 
 
21.
Bahwa berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa putusan Majelis yang mengabulkan sebagian banding Termohon Peninjauan kembali (semula Pemohon Banding) dengan pertimbangan bahwa SE-17/PJ./2005 tanggal 01 Juni 2005 tentang Petunjuk Perlakuan Pajak Penghasilan Terhadap Pasal 11 Tentang Bunga Pada Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Antara Indonesia Dengan Belanda tidak dapat diterapkan karena isinya bertentangan dengan norma yang dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4) P3B Indonesia dan Belanda, telah keliru dan bertentangan dengan amanat P3B secara umum, yakni untuk mencegah pengenaan pajak berganda dan pengelakan serta penghindaran pajak dengan terbukanya peluang penyalahgunaan Pasal 11 ayat (4) yang diterapkan tanpa adanya tata cara pelaksanaanya;
 
 
 
 
22.
Bahwa dalam menerapkan Pasal 11 ayat (4) P3B Indonesia dan Belanda dalam memutus sengketa a quo Majelis sama sekali tidak menguji/membahas apakah Goederhand Finance BV adalah pemilik manfaat atau “Beneficial Owner, sesuai dengan Pasal 11 ayat (4) P3B Indonesia dan Belanda bahwa “bunga yang timbul di salah satu Negara hanya akan dikenakan pajak di Negara lainnya jika memenuhi 3 syarat yaitu:
 
 
a.
pemilik manfaat dari bunga tersebut;
 
 
b.
merupakan penduduk Negara lainnya dan,
 
 
c.
jika bunga tersebut dibayarkan atas hutang yang dibuat untuk jangka waktu lebih dari 2 (dua) tahun atau yang dibayarkan sehubungan dengan penjualan kredit perlengkapan industri, dagang, atau ilmu pengetahuan;
 
 
 
 
 
23.
Bahwa dalam Pasal 1 Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Kerajaan Belanda disebutkan bahwa “This Agreement shall apply to persons who are residents of one or both of the two States”. Selanjutnya dalam Pasal 4 ayat (1) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Indonesia - Belanda disebutkan bahwa “For the purposes of this Agreement, the term "resident of one of the two States" means any person who, under the law of that State, is liable to taxation therein by reason of his domicile, residence, place of management or any other criterion of a similar nature”. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Indonesia - Belanda berlaku hanya untuk Wajib Pajak orang pribadi dan badan yang menjadi penduduk (resident) salah satu atau kedua Negara yaitu Indonesia - Belanda. Untuk dapat mengetahui bahwa Wajib Pajak tersebut adalah penduduk dari Indonesia atau Belanda, maka Wajib Pajak tersebut harus dapat menunjukkan Surat Keterangan Domisili dari Kantor Pajak di Negara asalnya. Dengan demikian, Surat Keterangan Domisili merupakan syarat administrative;
 
 
 
 
24.
Bahwa terkait dengan ketentuan Pasal 11 ayat (1) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Indonesia - Belanda tersebut, Commentary pada OECD Model menyebutkan bahwa paragraf 1 tidak mengatur hak pemajakan secara penuh (exclusive) kepada negara tempat penduduk yang membayar bunga. Oleh karena itu kata yang digunakan adalah “may be taxed”. yang dimaksudkan bahwa Negara domisili diberikan hak untuk mengenakan pajak apabila dimungkinkan dalam ketentuan domestiknya. Sejalan dengan hal tersebut, maka pada Pasal 11 ayat (2) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Indonesia - Belanda juga memberikan hak pemajakan kepada negara tempat penduduk yang membayarkan bunga tersebut berdasarkan Undang-Undang yang berlaku. Pasal 26 UU PPh mengatur bahwa atas bunga yang dibayarkan atau yang terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto. Namun demikian, dalam hal penerima bunga adalah Beneficial Owner, maka hak pemajakan pada negara tempat penduduk yang membayar bunga tersebut dan pajak yang dikenakan tidak akan melebihi 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto bunga. Sedangkan dalam hal penerima bunga bukan Beneficial Owner, maka diberlakukan ketentuan tarif berdasarkan Pasal 26 UU PPh;
 
 
 
 
25.
Bahwa penggunaan terminologi Resident di Pasal 11 ayat (1) dan Beneficial Owner di Pasal 11 ayat (2) (dan Paragraph 4) secara terpisah mengandung makna bahwa Resident tidak otomatis sebagai Beneficial Owner. Bahwa Beneficial Owner merupakan syarat substantif yang harus dipenuhi agar pihak-pihak yang bertransaksi dapat menggunakan tarif sesuai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda;
 
 
 
 
26.
Bahwa untuk memahami istilah “Beneficial Owner” terdapat beberapa referensi yang dapat dijadikan acuan untuk memahami maksud dari istilah Beneficial Owner tersebut. Mengingat Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda antara pemerintahan Republik Indonesia dan pemerintahan Kerajaan Belanda merupakan perjanjian International antara Indonesia dengan negara mitra, maka referensi yang dijadikan acuan untuk memperoleh pengertian tentang istilah Beneficial Owner harus merupakan referensi yang digunakan secara internasional pula. Dalam Paragraf 10 Commentary dari Pasal 11 OECD Model Tax Convention on Income on Capital, Juli 2005, menyebutkan bahwa “10. Relief or exemption in respect of an item of income is granted by the State of source to a resident of the other Contracting State to avoid in whole or in part the double taxation that would otherwise arise from the concurrent taxation of that income by the State of residence. Where an item of income is received by a resident of a Contracting State acting in the capacity of a agent or nominee it would be inconsistent with the object and purpose of the Convention for the State of source to grant relief or exemption merely on account of the status of the immediate recipient of the income as a resident of the other Contracting State. The immediate recipient of the income in this situation qualifies as a resident but no a potential double taxation arises as a consequence of that status since the recipient is not treated as the owner of the income for tax purposes in the State of resident. It would be equally inconsistent with the object and purpose of the Convention for the State of source to grant relief or exemption where a resident of a Contracting State, otherwise than through an agency or nominee relationship, simply acts as a conduit for the another person who in fact receives the benefit of the income concerned. For these reasons, the report from the Committee on Fiscal Affairs entitled “Double Taxation Conventions and the Use of Conduit Companies” concludes that a conduit company cannot normally be regarded as the Beneficial Owner if, though the formal owner, it has, as a practical matter, very narrow powers which render it, in relation to the income concerned, a mere fiduciary or administrator acting on account of the interested parties.”. Mengacu pada isi paragraf 10 tersebut, dapat disimpulkan sebagai berikut:
 
 
a.
bahwa pengertian istilah Beneficial Owner tidak dapat diterapkan kepada orang atau badan yang bertindak sebagai agent atau nominee. Hal tersebut disebabkan bahwa penghasilan yang diperoleh agent atau nominee tidak akan dikenakan pajak baik secara nominal ataupun secara efektif sehingga dalam hal ini tidak ada resiko timbulnya pengenaan pajak berganda;
 
 
b.
bahwa mengacu kepada laporan Committee on Fiscal Affairs yang berjudul “Double Taxation Conventions and the Use of Conduit Companies” yang juga diadopsi di dalam Commentary tersebut di atas, disebutkan bahwa secara normal, conduit company bukan merupakan Beneficial Owner, meskipun merupakan pemilik penghasilan secara formal, tetapi dalam prakteknya ia mempunyai kekuasaan yang sempit atas penghasilan tersebut, hanya sebagai pihak yang diberi kepercayaan belaka, atau sebagai pengadministrasi yang bertindak untuk pihak-pihak yang berkepentingan;
 
 
 
 
 
27.
Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) telah melakukan permintaan data atau keterangan kepada Otoritas Perpajakan Belanda melalui Direktorat Peraturan Perpajakan DJP melalui surat Kepala Kantor Wilayah DJP Wajib Besar Nomor: S-797/WPJ.19/2008 tanggal 23 September 2008 hal Permintaan Konfirmasi. Data atau keterangan yang diminta adalah:
 
 
a.
Akta Pendirian GFBV;
 
 
b.
Jumlah dan struktur pemegang saham GFBV;
 
 
c.
Struktur dewan direksi GFBV;
 
 
d.
Penjelasan tertulis mengenai substansi usaha GFBV.
 
 
Namun sampai dengan saat ini, belum diperoleh tanggapan/respon dari pihak otoritas perpajakan Belanda mengenai permintaan data tersebut.
 
 
 
 
28.
Bahwa terdapat beberapa pendekatan yang diberikan oleh OECD terkait dengan Beneficial Owner, yaitu sebagai berikut:
 
 
a.
Look Through Approach;
Secara sederhana, pendekatan ini beranggapan bahwa manfaat Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda tidak dapat dinikmati oleh orang atau badan yang merupakan penduduk dari negara mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda apabila orang atau badan tersebut dikendalikan oleh orang atau badan yang bukan merupakan penduduk negara mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda tersebut;
 
 
b.
Subject To Tax Approach;
Pendekatan ini secara ringkas mensyaratkan bahwa untuk memenuhi kriteria sebagai Beneficial Owner, maka penerima penghasilan harus merupakan penduduk negara mitra Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang telah dikenakan pajak di negara tersebut;
 
 
c.
Bonafide Transaction Approach;
Bahwa pendirian suatu perusahaan harus dilandasi oleh motivasi bisnis (business profit motive) dan bukan semata-mata hanya untuk menikmati fasilitas Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda. Menurut pendekatan ini, penerima penghasilan dianggap sebagai Beneficial Owner apabila pendiriannya dilandasi oleh motivasi bisnis dan tidak semata-mata untuk mendapatkan manfaat Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang ditunjukkan dengan memiliki karakteristik yang bonafide, antara lain sahamnya diperdagangkan di bursa efek misalnya;
 
 
 
 
 
29.
Bahwa sebagai tambahan informasi, berdasarkan dari beberapa situs di internet diketahui hal-hal sebagai berikut:
 
 
a.
www.profundo.nl/files/download/WWF0512.pdf
Website tersebut berisi Laporan Penelitian yang ditulis oleh Jan Willem van Gelder yang dipersiapkan untuk WWF Indonesia. Pada halaman 35, diterangkan bahwa Golden Agri Resources Ltd. mempunyai financial company yang bernama GFBV/Goederhand Finance B.V. yang di Belanda di-manage oleh Amaco (Belanda);
 
 
b.
www.taxjustice.nl/dialogs/download.aspx?oid=719140d5-6deb-4192-bca0-31cf8247fbd1
Website tersebut berisi laporan penelitian yang dikeluarkan SOMO, yaitu organisasi internasional yang bergerak dalam bidang penelitian atas kegiatan-kegiatan internasional dari perusahaan-perusahaan multinasional. Dalam Laporan tersebut (halaman 28) diterangkan bahwa Amaco Management Services B.V. sebagai perusahaan trust yang mengelola GFBV adalah salah satu trust terbesar di Belanda dengan jumlah mailbox companies sebanyak 994 perusahaan. Hampir semua mailbox companies yang di-manage oleh Amaco beralamat di Amsteldijk 166 hg 1079 LH Amsterdam, yang mana alamat ini sama dengan alamat GFBV yang tertera dalam Surat Keterangan Domisili (SKD). Kesamaan alamat ini menunjukkan bahwa memang benar adanya bahwa GVBV hanya merupakan mailbox companies, karena tidak mungkin dalam satu alamat yang sama terdapat beberapa perusahaan, kecuali hanya Post Office Box. Dengan demikian terbukti bahwa GFBV adalah mailbox companies yang dimiliki oleh Golden Agri Resources Ltd. dan di-manage oleh Amaco Management Service;
 
 
 
 
 
30.
Bahwa oleh karena itu, meskipun GFBV telah memiliki SKD, tidak dengan sendirinya merupakan Beneficial Owner, sehingga Majelis seharusnya melakukan pengujian atau analisis untuk membuktikan apakah GFBV merupakan Beneficial Owner atau bukan.
 
 
 
 
31.
Bahwa untuk mendukung pendapat Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) bahwa begitu pentingnya untuk membahas apakah GFBV - Belanda adalah pemilik manfaat atau “Beneficial Owner" dari bunga yang dibayarkan oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding), berikut dikemukakan pendapat para ahli perpajakan, sebagai berikut:
Vogel, dalam bukunya On Double Taxation Conventions, 1977, halaman 561-562, mengatakan treaty benefits seharusnya tidak diberikan kepada orang atau badan yang secara formal berhak atas dividen, royalty dan bunga, melainkan kepada orang atau badan yang menjadi pemegang "real" title. Dalam hal ini maka harus diterapkan prinsip "substance over form". Masalah "substance" atas hak untuk menerima suatu penghasilan mengandung dua aspek, yaitu: hak untuk menentukan apakah hasil tersebut direalisasikan atau tidak, yang dalam hal ini menyangkut apakah kekayaan atau aktiva dimaksud akan digunakan atau disediakan untuk digunakan, hak untuk menggunakan hasil dimaksud;
 
Jadi dapat dikatakan "beneficial owner", menurut Vogel, adalah, mereka yang bebas untuk menentukan: apakah kekayaan atau aktiva lainnya harus digunakan atau disediakan untuk digunakan oleh orang lain; atau bagaimana hasil dari kekayaan tersebut akan digunakan; atau ke dua hal yang disebutkan di muka.
 
Uraian di atas menunjukkan bahwa Vogel melihat masalah "control" merupakan faktor utama untuk menentukan "beneficial owner";
 
Maka masalah pembayaran bunga ke Belanda di atas, jika kontrol untuk menggunakan bunga tersebut dipegang oleh perusahaan Belanda tanpa dapat diatur atau diperintah oleh perusahaan lain, maka perusahaan di Belanda tersebut dapat dikatakan sebagai Beneficial Owner, tapi berlaku sebaliknya, jika perusahaan di Belanda tersebut tidak punya kontrol atas bunga yang diterimanya, maka perusahaan di Belanda tersebut bukan lah Beneficial Owner;
 
 
 
 
32.
Bahwa berdasarkan fakta-fakta dan fundamentum petendi tersebut di atas, maka dapat diketahui secara jelas hal-hal sebagai berikut:
 
 
a.
Bahwa Majelis tidak menjadikan tujuan pembentukan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yaitu dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak sebagai bahan pertimbangan utama, karena ketentuan yang diatur pada pasal 11 ayat (4) P3B Indonesia - Belanda baru dapat dilaksanakan setelah aturan pelaksanaanya (mode of application) dibuat/disetujui kedua belah pihak untuk menghindari multitafsir yang membuka peluang penyalahgunaan P3B (pengelakan pajak) seperti:
 
 
 
Pinjaman luar negeri Wajib Pajak sedapat mungkin dibuat melalui perusahaan di Belanda dan akan senantiasa dibentuk untuk jangka waktu lebih dari 2 (dua) tahun sehingga mendapat pembebasan pemotongan PPh Pasal 26 di Indonesia;
 
 
 
Pembelian kredit atas perlengkapan industri, dagang atau ilmu pengetahuan dapat dilakukan melalui perusahaan di negara Belanda meskipun sebenarnya perlengkapan tersebut bukan diproduksi di Belanda dan lain-lain;
 
 
b.
Bahwa dalam menerapkan Pasal 11 ayat (4) P3B Indonesia dan Belanda dalam memutus sengketa a quo Majelis sama sekali tidak menguji/membahas apakah Goederhand Finance BV adalah pemilik manfaat atau “Beneficial Owner", sesuai dengan Pasal 11 ayat (4) P3B Indonesia dan Belanda bahwa “bunga yang timbul di salah satu Negara hanya akan dikenakan pajak di Negara lainnya jika memenuhi 3 syarat yaitu:
 
 
 
pemilik manfaat dari bunga tersebut
 
 
 
merupakan penduduk Negara lainnya dan,
 
 
 
jika bunga tersebut dibayarkan atas hutang yang dibuat untuk jangka waktu lebih dari 2 (dua) tahun atau yang dibayarkan sehubungan dengan penjualan kredit perlengkapan industri, dagang, atau ilmu pengetahuan;
 
 
 
 
 
 
33.
Bahwa dengan demikian, telah terbukti pula secara nyata-nyata bahwa amar pertimbangan dan amar putusan (dictum) Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang telah dituangkan dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT.32083/PP/M.V/13/2011 tanggal 20 Juni 2011 tersebut telah dibuat dengan tidak berdasarkan kepada fakta-fakta aturan perpajakan yang berlaku khususnya mengenai perlakuan pajak penghasilan terhadap pasal 11 tentang bunga pada Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda antara Indonesia dan Belanda, sehingga nyata-nyata Putusan Pengadilan Pajak diambil tidak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 78 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dan Penjelasannya, dan oleh sebab itu Putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT.32083/PP/M.V/13/2011 tanggal 20 Juni 2011 tersebut harus dibatalkan;
 
 
 
 
34.
Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum (fundamentum petendi) tersebut di atas secara keseluruhan telah membuktikan secara jelas dan nyata-nyata bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah mengabaikan fakta-fakta yang terungkap di persidangan dan dasar-dasar hukum perpajakan yang berlaku dalam amar pertimbangan dan amar putusannya tersebut, sehingga pertimbangan dan amar putusan Majelis Hakim pada pemeriksaan sengketa banding di Pengadilan Pajak nyata-nyata telah salah dan keliru serta tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (contra legem), khususnya dalam bidang perpajakan;
 
 
 
Bahwa dengan demikian, putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak Nomor: PUT.32083/PP/M.V/13/2011 tanggal 20 Juni 2011 yang menyatakan:
Mengabulkan sebagian banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Terbanding Nomor: KEP-449/PJ.07/2009 tanggal 15 Juni 2009 mengenai Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 26 Nomor: 00009/204/06/073/08 tanggal 31 Mei 2008 Masa Pajak Januari sampai dengan Desember 2006, atas nama: PT. Tapian Nadenggan, NPWP: 01.213.180.1-073.000, Alamat: Plaza BII Menara II Lt. 30, Jl. M.H Thamrin Kav. 22 No. 51, Gondangdia - Menteng, Jakarta Pusat, dengan perhitungan sebagaimana tersebut di atas;
adalah tidak benar sama sekali serta telah cacat hukum dan nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;
 

PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH AGUNG

 
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:
 
Bahwa putusan Pengadilan Pajak sudah tepat dan benar karena:
 
Mengenai alasan butir A
Bahwa alasan tersebut tentang jangka waktu yang berkaitan dengan proses administrasi penyelesaian perkara, yang tidak dapat membatalkan putusan;
 
 
Mengenai alasan butir B
Bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan karena pertimbangan hukum dan putusan Pengadilan Pajak yang mengabulkan sebagian permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Terbanding Nomor: KEP-449/PJ.07/2009 tanggal 15 Juni 2009 mengenai Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 26 Nomor: 00009/204/06/073/08 tanggal 31 Mei 2008 Masa Pajak Januari sampai dengan Desember 2006, atas nama: PT. Tapian Nadenggan, sehingga jumlah yang masih harus dibayar menjadi sebesar Rp127.352.944,00 sudah tepat dan benar;
 
 
Bahwa, selanjutnya, Mahkamah Agung mengambil alih pertimbangan hukum putusan Pengadilan Pajak tersebut;
Bahwa, dengan demikian tidak terjadi putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagaimana disebut Pasal 91 huruf e Undang-Undang No. 14 Tahun 2002;
 
 
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali: Direktur Jenderal Pajak, tersebut tidak beralasan sehingga harus ditolak;
 
Menimbang, bahwa dengan ditolaknya permohonan peninjauan kembali, maka Pemohon Peninjauan Kembali dinyatakan sebagai pihak yang dikalahkan, dan karenanya dihukum untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali;
 
Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak serta peraturan perundang-undangan yang terkait;
 

MENGADILI

Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali: Direktur Jenderal Pajak, tersebut;
 
Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan Peninjauan Kembali ini sebesar Rp2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu Rupiah);
 
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Senin tanggal 25 Maret 2013 oleh Widayatno Sastrohardjono, S.H., M.Sc., Ketua Muda Pembinaan yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, H. Yulius, S.H., M.H., dan Dr. H. Imam Soebechi, S.H., M.H., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota Majelis tersebut dan dibantu oleh Elly Tri Pangestuti, S.H., M.H., Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh pihak.
 
Anggota Majelis
ttd.
Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., M.S.
ttd.
Marina Sidabutar, S.H., M.H.
Ketua Majelis
ttd.
Widayatno Sastrohardjono, S.H., M.Sc.
 
 
 
Panitera Pengganti
ttd.
Elly Tri Pangestuti, S.H., M.H.
Gunakan Akun Perpajakan DDTC
Dapatkan akses harian untuk baca berbagai dokumen di kanal Sumber Hukum

860/B/PK/PJK/2012