Quick Guide
Hide Quick Guide
  • MELAWAN
  • RINGKASAN POSITA BANDING
  • KETENTUAN FORMAL PENINJAUAN KEMBALI
  • ALASAN PENINJAUAN KEMBALI
  • PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH AGUNG
  • MENGADILI
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium

PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
1911/B/PK/PJK/2017

 
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
 
MAHKAMAH AGUNG
Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara:
 
DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tempat kedudukan di Jalan Jenderal Gatot Subroto Nomor. 40-42 Jakarta, dalam hal ini memberi kuasa kepada:
1. CATUR RINI WIDOSARI, Direktur Keberatan dan Banding, Direktorat Jenderal Pajak.
2. BUDI CHRISTIADI, Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding.
3. HERU MARHANTO UTOMO, Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding.
4. ANNDY DAILAMI, Penelaah Keberatan, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding.
 
Keempatnya berkedudukan di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak Jalan Jenderal Gatot Subroto Nomor 40-42 Jakarta,
 
berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-1232/PJ./2013 tanggal 17 Juni 2013;
 
untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon Peninjauan Kembali.
 

MELAWAN

 
PT. KELIAN EQUATORIAL MINING, beralamat keputusan di Jalan Jenderal Sudirman Nomor 561 PO. Box 269, Balikpapan 76114 dan beralamat korespondensi di Menara Anugrah Lantai 15, Kantor Taman E3.3, Jalan Mega Kuningan Lot 8.6-8.7, Setiabudi, Jakarta 12950;
 
untuk selanjutnya disebut sebagai Termohon Peninjauan Kembali; 
 
Mahkamah Agung tersebut;
 
Membaca surat-surat yang bersangkutan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari putusan ini;
 
Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding, telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.43954/PP/M.VIII/16/2013, Tanggal 18 Maret 2013 yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Pemohon Banding, dengan posita perkara sebagai berikut:
 

RINGKASAN POSITA BANDING

 
Bahwa Pemohon Banding dalam Surat Banding Nomor Ref.No.146/III/TS.KEM/2012 tanggal 30 Maret 2012, pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
 
Bahwa sehubungan dengan diterbitkannya Keputusan Terbanding Nomor: KEP-12/WPJ.19/2012 tanggal 5 Januari 2012 tentang Keberatan Pemohon Banding atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Nomor 00391/207/08/091/10 tanggal 29 Oktober 2008 Masa Pajak Oktober 2008;
 
KETENTUAN FORMAL
Bahwa menurut Pemohon Banding, Banding ini diajukan sesuai dengan:
 
Bahwa Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut "UU KUP"), menyatakan sebagai berikut:
"Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1)";
 
Bahwa selanjutnya Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut "UU Pengadilan Pajak") menyatakan sebagai berikut:
"Banding diajukan dengan Surat Banding dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak”;
 
Bahwa Surat Banding atas Surat Keputusan Terbanding diajukan Pemohon Banding dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak. Dengan demikian, Surat Banding ini telah memenuhi ketentuan formal pengajuan banding berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UU KUP dan Pasal 35 ayat (1) UU Pengadilan Pajak;
 
Bahwa Pasal 27 ayat (3) UU KUP menyatakan sebagai berikut:
“Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas paling lama 3 (tiga) bulan sejak Keputusan Keberatan diterima dan dilampiri dengan salinan surat Keputusan Keberatan tersebut”;
 
Bahwa Pasal 35 ayat (2) UU Pengadilan Pajak menyatakan sebagai berikut:
"Banding diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima Keputusan yang dibanding, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan perpajakan"; 
 
Bahwa menurut Pemohon Banding Surat Banding disusun secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas dan diajukan sebelum melewati masa tiga bulan sejak diterimanya Keputusan Keberatan. Tanggal keputusan Keberatan berdasarkan KEP-12/WPJ.19/2012 tertanggal 05 Januari 2012, sehingga batas waktu pemasukan surat banding adalah tanggal 04 April 2012. Dengan demikian, Surat Banding Pemohon Banding telah memenuhi ketentuan formal pengajuan banding berdasarkan Pasal 27 ayat 3 UU KUP dan Pasal 35 ayat 2 UU Pengadilan Pajak;
 
Bahwa Pasal 36 ayat (1) UU Pengadilan Pajak menyatakan sebagai berikut:
"Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding";
 
Bahwa Pemohon Banding mengajukan surat banding ini hanya atas 1 (satu) surat keputusan keberatan, yaitu Surat Keputusan Terbanding Nomor KEP-12/WPJ.19/2012 tertanggal 05 Januari 2012;
 
Bahwa Pasal 36 ayat (2) UU Pengadilan Pajak menyatakan sebagai berikut:
"Surat Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas, dan dicantumkan tanggal diterima surat keputusan yang dibanding”;
 
Bahwa Pemohon Banding telah mencantumkan alasan-alasan yang jelas dan diajukan sebelum melewati masa tiga bulan sejak diterimanya Keputusan Keberatan. Tanggal keputusan Keberatan berdasarkan KEP-12/WPJ.19/2012 tertanggal 05 Januari 2012, sehingga batas waktu pemasukan surat banding adalah tanggal 04 April 2012. Dengan demikian, Surat Banding Pemohon Banding telah memenuhi ketentuan formal pengajuan banding berdasarkan Pasal 36 ayat 2 UU Pengadilan Pajak;
 
Bahwa Pasal 36 ayat (3) UU Pengadilan Pajak menyatakan sebagai berikut:
"Pada Surat Banding dilampirkan salinan keputusan yang akan dibanding";
 
Bahwa Pemohon Banding telah melampirkan salinan Surat Keputusan Terbanding Nomor KEP-12/WPJ.19/2012 tertanggal 05 Januari 2012 yang dibanding pada surat banding;
 
Pasal 36 ayat (4) UU Pengadilan Pajak menyatakan sebagai berikut:
"Selain dari persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) serta Pasal 35, dalam hal Banding diajukan terhadap besarnya jumlah pajak yang terutang, Banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50% (lima puluh persen)”;
 
Bahwa menurut Pemohon Banding, Surat Keputusan Terbanding yang disampaikan oleh Kantor Wilayah (Kanwil) DJP Wajib Pajak Besar menyebutkan bahwa jumlah PPN yang masih harus dibayar sebesar Rp1.758.418.227,00. Dalam hal ini, Pemohon Banding telah membayar seluruh PPN yang ditetapkan dalam SKPKB PPN sebesar Rp1.758.418.227,00 pada tanggal 25 November 2010; 
 
Bahwa dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, maka Surat Banding ini diajukan dalam tenggang waktu dan menurut tata cara yang telah disyaratkan oleh undang-undang, khususnya Pasal 27 ayat (1) dan (3) UU KUP, Pasal 35 ayat (1) dan (2), serta Pasal 36 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) UU Pengadilan Pajak. Oleh karena itu, surat banding ini telah memenuhi ketentuan formal pengajuan banding dan sudah sepatutnya dapat diterima oleh Pengadilan Pajak;
 
LATAR BELAKANG DAN KOREKSI YANG DILAKUKAN OLEH PIHAK TERBANDING
Bahwa Pada tanggal 29 Oktober 2010, Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Satu telah menerbitkan SKPKB PPN Nomor 00391/207/081091/10 untuk masa pajak Oktober 2008 atas nama PT Kelian Equatorial Mining, dengan perincian sebagai berikut: 
 
 
Bahwa atas SKPKB PPN masa Oktober 2008 tersebut, Pemohon Banding telah mengajukan keberatan melalui surat Nomor 097-TAX.I.11 tertanggal 20 Januari 2011 yang diterima oleh KPP Wajib Pajak Besar Satu pada tanggal yang sama berdasarkan Bukti Penerimaan Surat nomor PEM-000351 091\jan\2011;
 
Bahwa atas surat keberatan tersebut, Kanwil DJP Wajib Pajak Besar selaku Pihak Terbanding telah menerbitkan Surat Keputusan Terbanding Nomor KEP-12/WPJ.19/2012 tertanggal 05 Januari 2012 yang memutuskan menolak keberatan Pemohon Banding, dengan perincian sebagai berikut: 
 
 
Bahwa perlu diketahui bahwa koreksi Pemeriksa PPN masa Oktober 2008 yang dipertahankan oleh tim Penelaah Keberatan berkaitan dengan koreksi DPP PPN Penyerahan yang harus dipungut sendiri sebesar Rp7.996.046.422,00 dan koreksi Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sebesar Rp147.198.864,00;
 
ALASAN TERBANDING DAN ALASAN PEMOHON BANDING
Menurut Pihak Terbanding
 
Menurut Tim Pemeriksa
Bahwa koreksi Penyerahan Yang PPN-nya Harus dipungut Sendiri;
 
Bahwa Pemeriksa melakukan koreksi positif terhadap Dasar Pengenaan PPN masa Oktober 2008, sebesar Rp7.996.046.422,00 atau setara dengan US$808,351. Koreksi tersebut diperoleh dari selisih harga penjualan inventory-parts kepada PT Primanru Jaya yang dihargai sebesar US$61,406.24 terhadap nilai perolehannya sebesar US$869,757.24. Write off selisih nilai penjualan dengan perolehan tersebut tidak dapat diterima karena tidak didasari sebuah penilaian yang valid dan logis dari pihak independen (appraisal) atas kondisi parts sebenarnya dan nilainya yang wajar;
 
Bahwa Landasan Pemikiran dan Dasar Hukum yang digunakan:
Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 tentang PPN sebagaimana diubah dengan UU No. 18 Tahun 2000 pasal 16D dinyatakan bahwa: "Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan";
 
Bahwa menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 143 Tahun 2000 sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24/2002 pasal 8 ayat (2) dinyatakan: "atas aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan dan persediaan Barang Kena Pajak yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, serta atas pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma, Dasar Pengenaan Pajak dihitung berdasarkan nilai lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan";
 
Bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 251/KMK.03/2002 pasal 2 huruf f dinyatakan bahwa: "untuk aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan sepanjang Pajak Pertambahan Nilai atas perolehan aktiva tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan, adalah harga pasar wajar";
 
Bahwa dalam Surat Tanggapan atas SPHP, Pemohon Banding mengakui bahwa harga jual parts tersebut adalah harga rugi;
 
Bahwa dalam penentuan harga pasar wajar, di samping karena mekanisme pasar (pertemuan penawaran dengan permintaan), selalu berangkat dari 'berapa harga perolehan' suatu barang dan 'berapa tingkat margin yang diinginkan dari barang tersebut;
 
Bahwa karena atas parts yang dijual ini tidak ada detail jenis dan model partnya, pemeriksa tidak dapat mencari harga pasar pembandingnya sehingga pemeriksa menggunakan Nilai Sisa Buku (NSB) atas parts yang dijual sebagai Dasar Pengenaan Pajak. Karena Pemohon Banding tidak menyusutkan parts ini, maka NSB adalah sebesar nilai perolehannya;
 
Bahwa Koreksi Pajak Masukan Dalam Negeri yang Dapat Dikreditkan;
 
Bahwa Pemeriksa melakukan koreksi positif terhadap Pajak Masukan Dalam Negeri yang dapat dikreditkan sebesar Rp147.198.864,00 dengan alasan bahwa Pajak Masukan yang berasal dari PPN atas perolehan BKP/JKP dalam rangka kegiatan reklamasi dan penutupan tambang tidak dapat dikreditkan Karena tidak berkaitan dengan penyerahan yang terutang PPN (Pasal 9 ayat 5 UU PPN) dan tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha (Pasal 9 ayat 8 huruf b UU PPN);
 
Bahwa Landasan Pemikiran dan Dasar hukum yang digunakan:
 
Bahwa Pasal 9 ayat (8) huruf b UU Nomor 8 Tahun 1983 stdd UU Nomor 18 Tahun 2000 yang berbunyi:
"Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha";
 
Bahwa dalam penjelasan pasal 9 ayat (8) huruf b UU PPN dinyatakan:
"Yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran-pengeluaran untuk produksi, distribusi, pemasaran dan manajemen. Ketentuan ini berlaku untuk semua bidang usaha”;
 
Bahwa dalam hal ini reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan untuk memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya. Sedangkan penutupan tambang adalah kegiatan yang sama seperti reklamasi sebagai akibat dihentikannya penambangan. Jadi reklamasi dan penutupan tambang bukan dalam rangka menciptakan Barang Kena Pajak (produksi);
 
Bahwa dengan dasar pasal tersebut, Pemeriksa mengambil kesimpulan bahwa PPN atas perolehan BKP dalam rangka reklamasi dan penutupan tambang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha (dalam hal ini produksi) sehingga tidak dapat dikreditkan;
 
Bahwa Menurut Tim Penelaah Keberatan;
 
Bahwa Koreksi Penyerahan Yang PPN-nya Harus dipungut Sendiri;
 
Bahwa Hasil Penelitian Keberatan untuk tetap mempertahankan koreksi terhadap DPP PPN Penyerahan yang harus dipungut sendiri sebesar Rp7.996.046.442,00 dengan alasan bahwa koreksi Pemeriksa sudah benar sebab atas penjualan persediaan barang kena pajak yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan adalah terutang PPN dengan nilai DPP adalah sebesar harga pasar wajar. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 1A ayat (1) huruf e UU PPN jo Pasal 8 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 2002 jo Pasal 2 huruf e Keputusan Menteri Keuangan Nomor 251/KMK.03/2002;
 
Bahwa Pemohon Banding tidak dapat membuktikan bahwa harga penjualan yang sebesar USD61.406,24 atau 8% dari nilai perolehan adalah merupakan harga pasar wajar yang ditunjukkan misalnya berdasarkan hasil penilaian Appraisal Independen;
 
Bahwa Koreksi Pajak Masukan Dalam Negeri yang Dapat Dikreditkan Bahwa sedangkan untuk Koreksi Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sebesar Rp147.198.864,00 tetap dipertahankan dengan alasan bahwa sudah sangat jelas bahwa berdasar Pasal 9 ayat (8) huruf b UU PPN bahwa Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah yang berhubungan langsung dengan usaha yaitu terkait kegiatan produksi, distribusi, pemasaran dan manajemen sehingga Pajak Masukan yang terkait kegiatan penutupan dan reklamasi tambang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha;
 
Menurut Pemohon Banding
Bahwa Penyerahan Yang PPN-nya Harus dipungut Sendiri;
 
Bahwa Pemohon Banding tidak sependapat atas koreksi berkaitan dengan pengenaan objek PPN terhadap selisih harga perolehan inventory-parts yang dijual kepada PT Primanru Jaya dengan nilai US$808,351 atau setara dengan DPP sebesar Rp7.996.046.422,00. Adapun alasan yang menjadi dasar keberatan bagi pemohon banding adalah sebagai berikut:
 
Latar belakang penjualan 
Bahwa setelah berakhirnya proses penambangan pada tahun 2005, Pemohon Banding mulai memasuki tahap sterilisasi areal bekas tambang sehingga banyak mesin-mesin produksi yang tidak digunakan lagi dan beberapa bangunan dan fasilitas pendukung lainnya seperti office, mess karyawan dan warehouse mulai dibongkar. Sebagai konsekuensinya, banyak dari alat-alat berat yang sebelumnya digunakan dalam proses penambangan dan beberapa inventaris yang memenuhi warehouse telah mulai dipindahtangankan;
 
Bahwa setelah proses pemindahtanganan terhadap instalasi pengolahan dan alat-alat berat lainnya dilaksanakan sejak tahun 2005, kemudian diikuti dengan pemindahtanganan spareparts yang tidak dapat digunakan lagi mengingat alat beratnya sudah dipindahtangankan terlebih dahulu (surplus spareparts);
 
Bahwa proses penjualan surplus spareparts yang dimiliki oleh Pemohon Banding tidaklah mudah mengingat spareparts tersebut berkaitan dengan alat berat dengan tahun pembuatan yang sudah amat lampau (tahun 1990an) dan kini sudah tidak diproduksi lagi sehingga sangat sulit untuk mendapatkan pembeli;
 
Bahwa penawaran juga telah disampaikan kepada PT Trakindo Mama, PT Madhani Talatah Nusantara dan Emeco Internasional yang pada tahun-tahun sebelumnya ikut ambil bagian dalam pembelian surplus parts tersebut. Setelah melihat barang yang ditawarkan, mereka bahkan tidak melakukan penawaran karena tidak berminat. Alasan utamanya adalah karena parts tersebut sangat beragam/various dan merupakan kategori slow moving parts yang tidak banyak dibutuhkan. Satu-satunya pembeli yang tertarik adalah PT Primanru Jaya yang bertindak sebagai perantara penjualan alat-alat berat eks-tambang. PT Primanru Jaya sendiri dalam hal ini bukanlah related party dari Pemohon Banding;
 
Bahwa di sisi lain, tuntutan untuk segera mungkin memindahtangankan inventaris tersebut semakin mendesak mengingat areal tempat penyimpanannya (warehouse) akan ikut disterilisasi sebagai bagian dari proses tutup tambang;
 
Dasar Penetapan harga jual;
Bahwa mengingat penentuan harga pasar wajar (fair market value) sebagaimana dimaksud dalam PP 143 Tahun 2000 yang diubah dengan PP 24 Tahun 2002 Pasal 8 ayat (2) juncto Keputusan Menteri Keuangan Nomor 251/KMK.03/2002 pasal 2 huruf f tidak secara tegas dijelaskan menyangkut kriteria dan mekanismenya, maka Wajib Pajak mengacu pada ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Standar Akuntansi Keuangan Indonesia (PSAK 48) mengenai Penurunan Nilai Aktiva untuk menentukan harga pasar wajar;
 
Bahwa secara nature, inventaris (spareparts) telah mengalami penurunan nilai (impairment) sehingga secara akuntansi pun Wajib Pajak telah mencadangkan (provisi) penurunan nilainya. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:
1. Terdapat bukti keusangan (obsolete) atau kerusakan fisik aktiva,
2. Tidak adanya lagi alat berat yang dapat menggunakan spareparts tersebut,
3. Pada masa kini, alat berat yang dapat menggunakan spareparts tersebut sudah tidak diproduksi lagi.
   
Bahwa oleh karena itu, pendapat Pemeriksa yang menyatakan bahwa selain mekanisme pasar, penentuan harga pasar wajar selalu berangkat dari berapa harga perolehan suatu barang dan berapa tingkat margin yang diinginkan, dalam konteks ini tidaklah tepat mengingat hal ini bukan berkaitan dengan barang dagangan yang dibeli untuk dapat dijual kembali dengan mendapatkan keuntungan melainkan berkaitan dengan inventaris (spareparts) yang sudah usang dan nilainya memang telah mengalami penurunan;
 
Bahwa PSAK 48 (revisi 2009) memberikan acuan penetapan nilai wajar melalui beberapa tahap:
 
Bahwa Nilai wajar terbaik suatu asset adalah harga dalam suatu perjanjian penjualan mengikat yang dibuat dalam suatu transaksi wajar (par.25). Kriteria transaksi yang wajar adalah:
1. Melibatkan para pihak yang berkeinginan melakukan transaksi,
2. Para pihak memiliki pengetahuan yang memadai,
3. Transaksi tanpa dilandasi unsur paksaan, dan
4. Dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki keterkaitan (afiliasi) untuk mendapatkan keuntungan;
   
Bahwa jika tidak terdapat perjanjian mengikat namun aktiva diperdagangkan di pasar aktif, maka nilai wajar adalah harga pasar aktiva tersebut. Pasar aktif didefinisikan: asset yang diperdagangkan bersifat homogen, pembeli dan penjual berkeinginan untuk bertransaksi dan dapat ditemui setiap saat, dan harga tersedia untuk publik (par.26);
 
Bahwa jika tidak terdapat perjanjian penjualan mengikat atau pasar aktif, nilai wajar didasarkan pada informasi terbaik yang tersedia untuk menggambarkan jumlah yang dapat diperoleh entitas. Dalam menentukan jumlah tersebut, entitas mempertimbangkan hasil dari transaksi terkini untuk asset serupa dalam industri yang sama (par.27); 
 
Bahwa dengan pertimbangan di atas dan mengingat fakta dalam hal ini bahwa Pemohon Banding memiliki perjanjian jual beli dengan PT Primanru Jaya yang bukan related party-nya, maka Pemohon Banding berkeyakinan bahwa harga penjualan yang terjadi merupakan harga pasar wajar sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 251/KMK.03/2002 Pasal 2 huruf (f). Oleh karenanya penentuan nilai perolehan awal aktiva sebagai nilai penjualan ke PT Primanru Jaya oleh Pemeriksa tidaklah tepat;
 
Kondisi setelah transaksi;
Bahwa sebagaimana diketahui bahwa transaksi penjualan surplus inventaris (spareparts) kepada PT Primanru Jaya dilakukan berdasarkan perjanjian Kerjasama Pembelian Suku Cadang tertanggal 10 Oktober 2008 dengan harga kesepakatan sebesar USD69,600 termasuk PPN (setara 8% dari nilai peroleh awal senilai USD870,000) dengan kurs konversi yang disepakati sebesar Rp9.600,- untuk 1 (satu) dollar Amerika Serikat. Mengingat invoice diterbitkan dalam rupiah, maka dalam pembukuan (general ledger) Pemohon Banding setara dengan USD61,406.24;
 
Bahwa penjualan dilakukan secara kredit dengan penyerahan barang dilakukan terlebih dahulu kemudian diikuti pembayarannya. Namun demikian, hingga saat surat banding ini dibuat, pihak PT Primanru Jaya tidak memiliki itikad baik untuk melunasi pembelian tersebut dengan alasan krisis keuangan dan karena belum adanya pembeli akhir yang berminat atas barang tersebut. Persoalan ini bahkan telah sampai ke tingkat Pengadilan untuk penyelesaian permasalahan hutang piutang karena PT Primanru Jaya melalaikan kewajibannya dengan tidak bisa dihubungi;
 
Bahwa alih-alih menerima pelunasan atas penjualan inventaris dengan nilai penjualan sebesar 8% dari nilai perolehannya yang Pemohon Banding anggap sebagai transaksi wajar, Pemohon Banding justru menerima tagihan PPN sebesar 10% dari nilai perolehan inventaris tersebut yang harus Pemohon Banding bayar karena dianggap menetapkan harga jual tidak sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku. Oleh karenanya Pemohon Banding menganggap ketetapan tersebut sangat tidak adil dan amat memberatkan bagi Pemohon Banding yang sudah tidak lagi mempunyai penghasilan;
 
Kesimpulan Pemohon Banding atas Penyerahan Terutang PPN;
Bahwa berdasarkan penjelasan dan fakta yang di atas, Pemohon Banding berkeyakinan bahwa transaksi yang Pemohon Banding lakukan telah sesuai dengan prinsip arm's length transaction sehingga memenuhi ketentuan nilai pasar wajar sebuah transaksi penjualan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perpajakan;
 
Pajak Masukan Dalam Negeri yang Dapat Dikreditkan
Bahwa terkait dengan koreksi atas Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, Pemohon Banding berpendapat bahwa interpretasi Terbanding akan hal ini tidak tepat. Oleh karenanya Pemohon Banding tidak sependapat dengan koreksi positif yang dilakukan terhadap Pajak Masukan bulan Oktober 2008 sebesar Rp147.198.864,00;
 
Latarbelakang dan Fakta;
Bahwa Pemohon Banding adalah perusahaan penambangan yang beroperasi berdasarkan Kontrak Karya dengan Pemerintah Indonesia;
 
Bahwa Pemohon Banding adalah Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat (14) UU PPN;
 
Bahwa Pemohon Banding melakukan penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 UU PPN;
 
Bahwa secara historis, Pemohon Banding mengkreditkan Pajak Masukannya terhadap Pajak Keluaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 UU PPN;
 
Bahwa berdasarkan ketentuan pasal 26 Kontrak Karya, pasal 39 ayat (2) UU Pertambangan Mineral dan Batubara (UU No.4 Tahun 2009), maupun Peraturan Menteri ESDM Nomor 18 Tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang secara khusus pasal 45 secara tegas memuat sanksi bagi Perusahaan yang mengabaikan proses reklamasi dan tutup tambang;
 
Bahwa pengeluaran untuk reklamasi dan tutup tambang jelas berkaitan langsung dengan kegiatan usaha pertambangan Pemohon Banding dan berhubungan langsung dengan penyerahan Barang Kena Pajak meskipun pengeluaran tersebut terjadi saat penyerahan BKP telah berhenti. Pengeluaran ini tetap harus terjadi untuk memungkinkan Pemohon Banding memproduksi BKP pada awalnya;
 
Posisi Legal
Bahwa input PPN dapat dikreditkan untuk perusahaan yang menghasilkan PPN. Berdasarkan UU PPN jelas disebutkan bahwa perusahaan yang melakukan kegiatan menghasilkan BKP berhak untuk mengklaim Pajak Masukannya atas pengeluaran yang terjadi dalam melakukan kegiatan usahanya;
 
Bahwa tidak ada ketentuan dalam UU PPN yang menetapkan bahwa Pajak Masukan tidak dapat diklaim dalam tahap akhir dad suatu kegiatan usaha yang sebelumnya pernah menghasilkan BKP; 
 
Bahwa pengaturan mengenai pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan diatur diatur secara khusus dalam pasal 9 (8) dari UU PPN. Tidak ada satupun ketentuan di dalam pasal 9 (8) ataupun dalam UU PPN yang menetapkan bahwa Pajak Masukan tidak dapat diklaim dalam tahap akhir dari suatu kegiatan usaha yang sebelumnya pernah menghasilkan BKP;
 
Bahwa biaya reklamasi diakui sebagai biaya yang berhubungan dengan Penghasilan Kena Pajak dalam konsep Pajak Penghasilan sehingga seharusnya diakui sebagai kredit pajak untuk PPN. Pada kenyataannya, Wajib Pajak dapat mengakui biayanya dan mengklaim Pajak Masukan dalam periode dimana tidak ada penyerahan BKP justru merupakan konsep yang diakui dalam UU PPN;
 
Bahwa Pasal 9 (2a) dari UU PPN menganut konsep bahwa pajak masukan dapat dikreditkan sepanjang "pernah" melakukan penyerahan kena pajak;
 
Bahwa berdasarkan pasal 9 ayat (2) UU PPN bahkan ditegaskan bahwa Wajib Pajak berhak untuk mengklaim Pajak Masukan pada tahap Praproduksi meskipun mereka belum melakukan penyerahan terutang pajak. Dalam perubahan ketiga UU PPN, disyaratkan bahwa Pajak Masukan yang telah diklaim Wajib Pajak harus dibayarkan kembali jika dalam waktu tiga tahun jika tidak dapat melakukan penyerahan BKP sejak klaim terjadi. Amandemen ini dilakukan mengingat adanya kekhawatiran bahwa Wajib Pajak melakukan klaim Pajak Masukan namun tidak pernah melakukan penyerahan BKP;
 
Bahwa reklamasi adalah pengeluaran yang berhubungan dengan aktivitas usaha;
 
Bahwa hak untuk melakukan pengkreditan Pajak Masukan bergantung pada pengeluaran yang berhubungan dengan kegiatan usaha untuk menghasilkan BKP dan pengakuan bahwa penyerahan pada kenyataannya bisa terjadi di tahap yang lain dari kegiatan usaha Wajib Pajak. Dalam tahap penurunan aktivitas usaha, tidak ada klausul dalam UU PPN yang secara khusus menyoroti hal menyangkut keabsahan untuk mengklaim Pajak Masukan yang aktivitas usahanya semata-mata berkaitan dengan menghasilkan BKP - yang secara terbukti dihasilkan (sebagaimana halnya dalam kasus Pemohon Banding); Sebab hal ini secara jelas terbukti bahwa pengeluaran yang terjadi benar-benar berkaitan dengan penyerahan BKP, meskipun dalam periode sebelumnya. Pengeluaran berkaitan dengan tahap tutup tambang dalam hal ini merupakan bagian integral dari aktivitas bisnis secara keseluruhan;
 
Tanggapan atas Pendapat Terbanding
Bahwa koreksi Terbanding tampaknya didasarkan pada argumen bahwa Pemohon Banding tidak lagi menghasilkan BKP sehingga Pajak Masukan tidak dapat diklaim. Hal ini berdasarkan pada pasal 9 ayat (5) dan ayat (8) UU PPN;
 
Pasal 9 ayat (5)
Bahwa Pasal 9 ayat (5) tidak relevan dengan kasus yang dihadapi Pemohon Banding. Pasal tersebut menetapkan bahwa apabila dalam suatu Masa Pajak Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak;
 
Argumen:
Bahwa Pemohon Banding pernah menghasilkan Barang Kena Pajak. Sejak saat dikukuhkan sebagai PKP, sampai sekarang, Pemohon Banding hanya pernah memproduksi gold granule yang merupakan penyerahan barang kena pajak. Pemohon Banding tidak pernah melakukan penyerahan bukan barang kena pajak sehingga pasal ini seharusnya tidak dapat diberlakukan untuk Pemohon Banding;
 
Bahwa selain itu di dalam penjelasan pasal 9 ayat (5) disebutkan bahwa:
"....penyerahan yang tidak terutang pajak adalah penyerahan barang dan jasa yang tidak dikenai PPN sebagaimana dimaksud dalam pasal 4A dan yang dibebaskan dari pengenaan PPN sebagaimana dimaksud dalam pasal 16B..."
 
Berdasarkan penjelasan ini jelas bahwa pajak masukan sehubungan dengan tidak adanya Produksi (tidak adanya penyerahan), tidak diatur dalam pasal ini. Sekali lagi, pasal ini hanya menekankan kepada penyerahan yang tidak terutang;
 
Pasal 9 ayat (8) huruf b
Bahwa Pasal 9 ayat (8) huruf (b) menetapkan bahwa Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan bagi pengeluaran untuk memperoleh Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
 
Argumen:
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa biaya reklamasi dan tutup tambang yang dikeluarkan oleh Pemohon Banding berkaitan langsung dengan kegiatan usaha. Pengeluaran ini merupakan bagian yang integral dari aktivitas bisnis secara keseluruhan dan juga merupakan suatu kewajiban hukum untuk meyakinkan bahwa reklamasi dan tutup tambang dilakukan secara tepat. Biaya ini tidak dapat dipisahkan ataupun diabaikan dalam aktivitas bisnis secara keseluruhan. Kegiatan bisnis akan terus berlanjut sampai keseluruhan aktivitas Wajib Pajak berakhir, dalam hal ini adalah sewaktu aktivitas reklamasi dan tutup tambang telah diselesaikan dan memuaskan Pemerintah Indonesia;
 
Bahwa apabila pengeluaran reklamasi ini dianggap sebagai tidak berhubungan dengan usaha, maka hal ini menjadi tidak sejalan dengan prinsip biaya dalam Undang¬undang PPh sebagaimana diatur dalam pasal 9.1.c UU PPh;
 
Kesimpulan Pendapat Pemohon Banding
Bahwa dengan demikian, menurut pendapat Pemohon Banding, interpretasi Terbanding akan hal ini tidak tepat karena:
1. Pemohon Banding adalah Pengusaha Kena Pajak yang hanya memproduksi Barang Kena Pajak,
2. Pengeluaran reklamasi dan tutup tambang berkaitan langsung dengan kegiatan usaha Pemohon Banding sehingga dengan demikian Pemohon Banding berhak untuk mengkreditkan Pajak Masukannya dari pengeluaran yang relevan. Kenyataan bahwa pengeluaran tersebut terjadi setelah produksi aktual dari Barang Kena Pajak adalah tidak relevan. Pengeluaran ini memang harus terjadi agar Pemohon Banding dapat memproduksi Barang Kena Pajak di awalnya. Jika Pemohon Banding tidak mempunyai komitmen untuk melakukan reklamasi dan tutup tambang, maka Pemohon Banding tidak akan pernah diizinkan untuk mendapatkan Kontrak Karya dan akhirnya tidak akan pernah mampu menghasilkan Barang Kena Pajak;
3. Kegiatan penutupan tambang ini juga telah mendapat persetujuan dari Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral dalam suratnya Nomor 893/40/DJG/2005 tanggal 13 April 2005 tentang Persetujuan Rencana Penutupan Tambang Pemohon Banding.
   
KESIMPULAN DAN PERHITUNGAN PAJAK MENURUT PEMOHON BANDING
Bahwa berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku dan penjelasan Pemohon Banding di atas maka koreksi PPN Barang dan Jasa masa Oktober 2008 terhadap Penyerahan Terutang PPN dan Pajak Masukan yang dapat Dikreditkan di atas sudah seyogyanya dibatalkan sehingga perhitungan pajak yang masih harus dibayar menjadi sebagai berikut: 
 
 
Bahwa demikian surat banding ini Pemohon Banding sampaikan kepada Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang Terhormat agar alasan dan penjelasan di atas dapat dijadikan bahan pertimbangan dengan penuh keadilan;
 
Bahwa selanjutnya, Pemohon Banding mohon untuk diundang dalam persidangan banding agar dapat menyampaikan dokumen dan penjelasan lain yang sekiranya dipedukan. Mengingat berkas permohonan banding sebelumnya untuk masa Pajak Agustus 2008, September 2008, November 2008 dan Desember 2008 sedang ditangani oleh Majelis VIII;
 
Pemohon Banding mohon agar permohonan banding Pemohon Banding ini dapat sekaligus ditangani oleh Majelis VIII Pengadilan Pajak;
 
Menimbang, bahwa amar Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.43954/PP/M.VIII/16/2013, Tanggal 18 Maret 2013 yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut:
 
Mengabulkan sebagian permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-12/WPJ.19/2012 tanggal 05 Januari 2012 tentang keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak Oktober 2008 Nomor: 00391/207/08/091/10 tanggal 29 Oktober 2010, atas nama: PT Kelian Equatorial Mining, NPWP: 01.061.520.1-091.000, Alamat Keputusan Jl. Jenderal Sudirman No. 561 PO. Box 269, Balikpapan 76114, Alamat korespondensi di Menara Anugrah Lt. 15, Kantor Taman E3.3, Jl. Mega Kuningan Lot 8.6-8.7, Setiabudi, Jakarta 12950, sehingga Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak Oktober 2008 dihitung kembali menjadi sebagai berikut: 
 
 

KETENTUAN FORMAL PENINJAUAN KEMBALI

 
Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.43954/PP/M.VIII/16/2013, Tanggal 18 Maret 2013, diberitahukan kepada Pemohon Peninjauan Kembali pada Tanggal 01 April 2013, kemudian terhadapnya oleh Pemohon Peninjauan Kembali dengan perantaraan kuasanya berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-1232/PJ/2013, Tanggal 17 Juni 2013, diajukan permohonan peninjauan kembali secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada Tanggal 26 Juni 2013, dengan disertai alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada Tanggal 26 Juni 2013;
 
Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada Tanggal 04 Februari 2015, akan tetapi Termohon Peninjauan Kembali tidak mengajukan Jawaban Memori Peninjauan Kembali;
 
Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasan-alasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka permohonan peninjauan kembali tersebut secara formal dapat diterima.
 

ALASAN PENINJAUAN KEMBALI

 
Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan Peninjauan Kembali yang pada pokoknya sebagai berikut:
I. Tentang Pokok Sengketa Pengajuan Memori Peninjauan Kembali
 
Bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam permohonan Peninjauan Kembali ini adalah sebagai berikut: 
Tentang Koreksi Positif Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sebesar Rp147.198.864,00 yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
   
II. Tentang Pembahasan Pokok Sengketa Peninjauan Kembali
 
Bahwa setelah Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) membaca, meneliti dan mempelajari lebih lanjut atas Putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT.43954/PP/M.VIII/16/2013 tanggal 18 Maret 2013 tersebut, maka dengan ini menyatakan sangat keberatan atas putusan Pengadilan Pajak tersebut, karena Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah salah dan keliru dengan telah mengabaikan fakta-fakta hukum (rechtsfeit) dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku dalam pemeriksaan Banding di Pengadilan Pajak (tegenbewijs) atau setidak-tidaknya telah membuat suatu kekhilafan baik berupa error facti maupun error juris dalam membuat pertimbangan-pertimbangan hukumnya, sehingga pertimbangan hukum dan penerapan dasar hukum yang telah digunakan menjadi tidak tepat serta menghasilkan putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (contra legem), khususnya peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, dengan dalil-dalil dan alasan-alasan hukum sebagai berikut:
 
Tentang Koreksi Positif Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan sebesar Rp147.198.864,00 yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
  1.
Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sangat keberatan dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak, yang antara lain berbunyi sebagai berikut:
Halaman 29 alinea ke-6 dan ke-8
“Bahwa berdasarkan uraian di atas Majelis berkesimpulan bahwa proses reklamasi yang dilakukan oleh Pemohon Banding pasca penutupan tambang masih berkaitan langsung dengan kegiatan usaha Pemohon Banding sehingga Faktur Pajak yang terkait dengan reklamasi yang dilakukan oleh Pemohon Banding sebesar Rp147.198.864,00 dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan;”
 
”Bahwa berdasarkan uraian di atas Majelis berpendapat bahwa koreksi positif Terbanding atas Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sebesar Rp147.198.864,00 tidak mempunyai dasar dan alasan yang kuat sehingga tidak dapat dipertahankan;” 
     
  2.
Bahwa pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyebutkan sebagai berikut:
Pasal 69 ayat (1)
“Alat bukti dapat berupa:
    a. surat atau tulisan;
    b. keterangan ahli;
    c. keterangan para saksi;
    d. pengakuan para pihak; dan/atau
    e. pengetahuan Hakim.
    Kemudian dalam penjelasan Pasal 69 ayat (1) menyebutkan bahwa “Pengadilan Pajak menganut prinsip pembuktian bebas. Majelis atau Hakim Tunggal sedapat mungkin mengusahakan bukti berupa surat atau tulisan sebelum menggunakan alat bukti lain.”
     
  3.
Bahwa pasal 76 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyebutkan bahwa
“Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1).”
 
Kemudian dalam memori penjelasan pasal 76 alinea 1 dan 2 menyebutkan bahwa
“Pasal ini memuat ketentuan dalam rangka menentukan kebenaran materiil, sesuai dengan asas yang dianut dalam Undang-Undang perpajakan.
 
Oleh karena itu, Hakim berupaya untuk menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian, penilaian yang adil bagi para pihak dan sahnya bukti dari fakta yang terungkap dalam persidangan, tidak terbatas pada fakta dan hal-hal yang diajukan oleh para pihak.”
     
  4.
Bahwa Pasal 78 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyebutkan bahwa
“Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan hakim.”
 
Kemudian dalam memori penjelasan pasal 78 menyebutkan bahwa
“Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.”
     
  5. Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) melakukan koreksi atas Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sebesar Rp147.198.864,00 terkait dengan kegiatan reklamasi yang dilakukan oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding).
     
  6.
Bahwa untuk memberikan gambaran yang utuh kepada Majelis Hakim Mahkamah Agung tentang kegiatan usaha Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding), karena hal ini berkaitan erat dengan sengketa a quo, maka dapat Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) uraikan fakta-fakta sebagai berikut:
    a. Bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) adalah sebuah perusahaan pertambangan berbadan hukum Indonesia yang 90% sahamnya dimiliki oleh Rio Tinto Ltd dari Australia dan 10% oleh PT. Narita Jayaraya dari Indonesia. Kegiatan Perusahaan adalah dalam bidang pertambangan emas dan perak. Hak atas tambang diperoleh berdasarkan Kontrak Karya (KK) yang ditandatangani Presiden RI dengan Keputusan Presiden No. B06/Pres/1/1985 yang dikeluarkan pada Januari 1985, dan berdasarkan rekomendasi Ketua DPR Nomor HM00/4051/DPRRI/1984 tanggal 18 Desember 1984. KK ini memberikan landasan hukum bagi beroperasinya tambang dimana Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) memiliki kendali dan tanggung jawab penuh atas semua hal dan operasional untuk jangka waktu 30 tahun sejak 1 Januari 1992 sampai dengan 31 Desember 2021.
    b. Bahwa Tambang Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) ada di wilayah Kelian, Kampung Tuning, Kecamatan Linggang Bigung, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Kutai Barat merupakan hasil pemekaran wilayah Kabupaten Kutai tahun 1999. Pemekaran ini berdasarkan pada UU Nomor 47 Tahun 1999. Secara geografis, Kutai Barat terletak antara 113°45 05-116°31 19 Bujur Timur serta diantara 1°31 35 Lintang Utara dan 1°10 16 Lintang Selatan. Wilayah Kutai Barat seluas sekitar 31.628,70 Km persegi atau 15 persen dari luas Kalimantan Timur.
    c. Bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) mulai mengoperasikan tambang emas di Kelian, Kampung Tutung Kecamatan Linggang Bigung, Kutai Barat, Kalimantan Timur pada tahun 1992 Operasi penambangan di lubang tambang terbuka berakhir pada Mei 2003. Produksi pengolahan berakhir pada Februari 2005. Tahap pengakhiran tambang pada Februari 2005 sampai tahun 2008. Pemantauan pasca pengakhiran tambang dilakukan tahun 2009 sampai 2013 dan selanjutnya areal pinjam pakai diserahkan kembali kepada pemerintah, yang selanjutnya pemantauan lingkungan berkelanjutan dari tahun 2013 sampai seterusnya akan dilakukan oleh PT. Hutan Lindung Kelian Lestari (HLKL).
    d. Bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) diketahui bahwa operasi penambangan di lubang tambang terbuka berakhir pada Mei 2003 dan produksi pengolahan berakhir pada Februari 2005. Hal ini berarti bahwa untuk tahun 2010, Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dalam tahap pemantauan pasca pengakhiran tambang yang ditandai dengan kegiatan reklamasi dan revegetasi yang merupakan rangkaian penutupan tambang. Artinya, pada tahap ini sudah tidak ada lagi produk (barang kena pajak) yang dihasilkan.
    e.
Bahwa secara garis besar, tahapan kegiatan usaha pertambangan terbagi dalam tiga tahapan, yaitu Tahap Pra Produksi, Tahap Produksi, dan Tahap Pasca Produksi.
 
Bahwa tahapan Pra Produksi atau tahap pra tambang terdiri dari kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, dan konstruksi prasarana dan lokasi tambang.
 
Bahwa tahapan Produksi atau tahap tambang terdiri dari kegiatan penambangan (mengambil galian bahan tambang), pengolahan bahan galian tambang, pemurnian (memisahkan hasil tambang dari unsur yang tidak diinginkan), pengangkutan, dan penjualan hasil akhir tambang. Bahwa pada Tahapan Pasca Produksi atau Pasca Tambang, kegiatan yang dilakukan adalah reklamasi (tata guna lahan bekas tambang agar dapat berfungsi dan berdaya guna) dan revegetasi (penanaman kembali pohon di bekas lokasi tambang).
    f. Bahwa kewajiban dan ketentuan reklamasi tambang diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 18 tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang. Menurut Pasal 1 Peraturan ini, reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menatakegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya. 
    g. Bahwa Pelaksanaan reklamasi wajib dilakukan pada lahan terganggu akibat kegiatan usaha pertambangan. Lahan terganggu ini meliputi lahan bekas tambang dan lahan di luar bekas tambang yang tidak digunakan lagi. Kegiatan reklamasi dilaksanakan setelah selesainya kegiatan usaha pertambangan pada suatu lahan pertambangan.
     
  7.
Bahwa ketentuan tentang Pengkreditan Pajak Masukan diatur dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 18 Tahun 2000 (Undang-Undang PPN), diantaranya adalah sebagai berikut:
    “(2) Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang sama.
    (2a) Dalam hal belum ada Pajak Keluaran dalam suatu Masa Pajak, maka Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan.
    (5) Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak.
    (8) Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan menurut cara sebagaimana diatur dalam ayat (2) bagi pengeluaran untuk:
      b. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
     
   
Selanjutnya dalam penjelasannya disebutkan bahwa
“Yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran untuk kegiatan-kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen. Ketentuan ini berlaku untuk semua bidang usaha.”
    (9) Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.”
     
  9.
Bahwa berdasarkan tahapan kegiatan usaha pertambangan, kegiatan reklamasi masuk pada tahap pasca produksi atau pasca tambang yang berarti bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) untuk tahun 2008 berada di fase penutupan tambang. Ini juga berarti bahwa pengeluaran yang dilakukan pada periode ini adalah pengeluaran dalam rangka kegiatan penutupan tambang, bukan pengeluaran dalam rangka produksi, distribusi dan pemasaran produk maupun manajemen terkait dengan produk barang kena pajak atau jasa kena pajak.
 
Bahwa hal itu karena untuk tahun 2010 Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) sudah tidak berproduksi lagi dan tidak menghasilkan Barang Kena Pajak, sehingga tidak ada lagi pengeluaran dalam rangka produksi, distribusi dan pemasaran produk maupun manajemen.
     
  10.
Bahwa berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Pasal 9 ayat (2), ayat (2a), ayat (5), ayat (8) dan ayat (9) Undang-Undang PPN sebagaimana tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah:
    a. Pajak Masukan yang diperoleh dalam Masa Pajak yang sama dengan Pajak Keluaran (Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang PPN);
    b. Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak (Pasal 9 ayat (5) Undang-Undang PPN);
    c. Pajak Masukan yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha yaitu pengeluaran untuk kegiatan-kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen (Pasal 9 ayat (8) huruf b Undang-Undang PPN);
    d. Pajak Masukan yang diperoleh dalam masa pajak yang tidak sama dengan Pajak Keluaran (Pasal 9 ayat (9) Undang-Undang PPN).
     
    Bahwa dari kesimpulan tersebut di atas dapat diketahui bahwa Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tersebut berhubungan dengan hasilnya berupa Pajak Keluaran atau dengan kata lain ada input berupa Pajak Masukan maka outputnya berupa Pajak Keluaran, bukan sebaliknya. Bahwa adapun ketentuan dalam Pasal 9 ayat (2a) Undang-Undang PPN mengatur bahwa dalam hal belum ada Pajak Keluaran dalam suatu Masa Pajak, maka Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan, dimana makna “belum ada” berarti diperoleh sebelum menghasilkan BKP/JKP atau dalam tahap permulaan usaha, bukan diperoleh setelah tidak ada produksi.
     
  11.
Bahwa dari ketentuan Pasal 9 Undang-Undang PPN tersebut dapat dimaknai pula bahwa dengan adanya atau setidaknya akan adanya penyerahan yang terutang PPN, maka beban pajak yang timbul dari kegiatan produksi, distribusi, pemasaran dan manajemen akan dapat dialihkan kepada konsumen sebagai pemikul beban pajak.
     
  12. Bahwa salah satu legal character yang melekat pada PPN adalah “Indirect tax”, yaitu pemikul beban PPN dengan penanggung jawab atas pembayaran pajak (PPN) ke kas negara berada pada pihak yang berbeda. Bahwa di dalam penerapannya, yang menjadi penanggung pajak (PPN) adalah konsumen selaku pihak yang mengkonsumsi, sedangkan produsen (Pengusaha Kena Pajak) bertugas memungut PPN tersebut dan memperhitungkan dengan PPN yang telah dibayar pada saat perolehan BKP/JKP dalam rangka membuat atau memproduksi BKP/JKP, karena PPN yang telah dibayarkan oleh produsen (Pengusaha Kena Pajak) tersebut pada akhirnya akan dibebankan kepada konsumen. Karakter ini terlihat dengan mekanisme penerbitan Faktur Pajak dan pengkreditan Pajak Masukan.
     
  13.
Bahwa metode penerapan sistem PPN di Indonesia yakni metode “Indirect Subtraction Method”, dimana dalam menentukan nilai PPN yang harus disetor oleh Pengusaha Kena Pajak, Pengusaha Kena Pajak tersebut dapat mengkreditkan jumlah pajak yang telah dipungut oleh Supplier atau yang disebut Pajak Masukan dari jumlah pajak yang dipungut dari Konsumen atau yang disebut Pajak Keluaran.
 
Bahwa dengan demikian, Konsumen merupakan penanggung beban pajak (destinataris) yang terakhir, sehingga dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan pembelian BKP/JKP yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha, maka Pengusaha Kena Pajak tersebut menjadi destinataris PPN.
 
Bahwa dengan kata lain, dalam hal Pengusaha Kena Pajak berperan sebagai konsumen, maka PPN yang dibayarkannya tidak dapat dikreditkan dalam menghitung jumlah PPN yang disetor ke kas negara.
 
Bahwa dualisme peran dari Pengusaha Kena Pajak ini yaitu sebagai konsumen maupun sebagai produsen, menyebabkan perlunya kehati-hatian dalam menentukan apakah PPN yang telah dibayarkan atau yang disebut dengan Pajak Masukan dapat dikreditkan atau tidak.
     
  14.
Bahwa dalam kasus ini, posisi Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) adalah sebagai konsumen (pemikul beban pajak) yang ditandai dengan adanya beban pajak (PPN) yang dibayarkannya. Karena Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tidak lagi menghasilkan dan menyerahkan BKP, maka beban PPN tersebut tidak dapat dialihkan (shifting) lagi.
 
Bahwa sejak penutupan pertambangan yang berarti Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tidak ada lagi kegiatan usaha untuk menghasilkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, dengan kata lain Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tidak menghasilkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sehingga kepadanya disebut juga konsumen akhir, dan sesuai karakteristik Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Pertambahan Nilai ditanggung atau dibayar oleh konsumen.
 
Bahwa dalam ketentuan terbaru (UU Nomor 42 Tahun 2009) Pasal 9 ayat (6a) yang menyatakan “Pajak Masukan yang telah dikreditkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) dan telah diberikan pengembalian wajib dibayar kembali oleh Pengusaha Kena Pajak dalam hal Pengusaha Kena Pajak tersebut mengalami keadaan gagal berproduksi dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak Masa Pajak Pengkreditan Pajak Masukan dimulai.” semakin mempertegas bahwa Undang-Undang PPN tidak memperbolehkan adanya Pajak Masukan yang dikreditkan oleh Pengusaha Kena Pajak yang tidak memungkinkan lagi untuk melakukan penyerahan yang terutang PPN.
 
Bahwa hal ini selaras dengan ketentuan Pasal 9 ayat (5) Undang-Undang PPN di atas yang mensyaratkan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak (PPN).
     
  15. Bahwa dengan demikian telah keliru dan tidak benar pendapat Majelis sebagaimana dimuat pada halaman 29 alinea ke-3 yaitu “bahwa berdasarkan uraian di atas Majelis berkesimpulan bahwa proses reklamasi yang dilakukan oleh Pemohon Banding pasca penutupan tambang masih berkaitan langsung dengan kegiatan usaha Pemohon Banding sehingga Faktur Pajak yang terkait dengan reklamasi yang dilakukan oleh Pemohon Banding sebesar Rp147.198.864,00 dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan;” dengan uraian dan alasan yang telah dijelaskan pada angka 1 sampai dengan angka 14.
     
  16.
Bahwa Majelis dalam mengambil kesimpulan telah menyamakan pengertian “mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha” yang tercantum dalam Undang-Undang PPN dengan pengertian “mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha” yang tercantum dalam Undang-Undang PPh, padahal meskipun sama-sama diatur/tercantum dalam kedua Undang-Undang tersebut namun keduanya memiliki arti yang tidak persis sama, sehingga dengan pertimbangan bahwa kegiatan reklamasi/rehabilitasi alam merupakan kewajiban bagi Pemohon Banding yang menjadi satu kesatuan dengan usaha pertambangan, Majelis berkesimpulan bahwa proses reklamasi yang dilakukan oleh Pemohon Banding pasca penutupan tambang masih berkaitan langsung dengan kegiatan usaha Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding).
 
Bahwa pendapat Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) yang menyatakan meskipun sama-sama diatur/tercantum dalam kedua Undang-Undang tersebut namun keduanya memiliki arti yang tidak persis sama, khususnya terkait dengan kegiatan reklamasi dan penutupan tambang ,dapat dibuktikan sebagai berikut:
    a. Bahwa dalam Undang-Undang PPN, pengertian Pajak Masukan yang “mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha” adalah pengeluaran untuk kegiatan-kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen (Pasal 9 ayat (8) huruf b beserta penjelasannya), sedangkan dalam Undang-Undang PPh pengertian “mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha” adalah kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (Pasal 6 ayat (1) huruf a beserta penjelasannya).
    b.
Bahwa dalam Undang-Undang PPN, pengertian Pajak Masukan yang “mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha ”jelas secara spesifik disebutkan kegiatan apa saja yang termasuk kriteria mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha, sehingga memenuhi persyaratan untuk dapat dikreditkan terhadap Pajak Keluaran, sehingga seharusnya Majelis membuktikan atau setidaknya menganalisis apakah Pajak Masukan yang disengketakan itu merupakan pengeluaran untuk kegiatan-kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen, namun faktanya Majelis sama sekali tidak membuktikan hal itu, Majelis hanya dengan pertimbangan bahwa kegiatan reklamasi/rehabilitasi alam merupakan kewajiban bagi Pemohon Banding yang menjadi satu kesatuan dengan usaha pertambangan, Majelis berkesimpulan bahwa proses reklamasi yang dilakukan oleh Pemohon Banding pasca penutupan tambang masih berkaitan langsung dengan kegiatan usaha Pemohon Banding. 
 
Bahwa sebagai contoh dalam Kamus Ensiklopedia, kegiatan produksi didefinisikan sebagai aktivitas yang dilakukan untuk mengolah atau membuat bahan mentah atau bahan setengah jadi menjadi barang jadi, sedangkan dalam Ilmu Akuntansi, biaya produksi adalah biaya-biaya yang dikeluarkan untuk mengolah atau membuat bahan mentah atau bahan setengah jadi menjadi barang jadi. Dari definisi kedua sumber tersebut menguatkan fakta bahwa jika dikaitkan dengan sengketa a quo maka Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tersebut berhubungan dengan hasilnya berupa Pajak Keluaran atau dengan kata lain ada input berupa Pajak Masukan maka output-nya berupa Pajak Keluaran, bukan sebaliknya.
    c. Bahwa berdasarkan Pasal 9 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (Undang-Undang PPh) antara lain diatur bahwa untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
    d. Bahwa berdasarkan Pasal 9 ayat (8) huruf b Undang-Undang PPN antara lain diatur bahwa pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha. Selanjutnya pada penjelasan Pasal 9 ayat (8) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen.
    e. Bahwa berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan antara lain diatur bahwa apabila selesai melakukan penambangan bahan galian pada suatu tempat pekerjaan, pemegang kuasa pertambangan yang bersangkutan diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian rupa, sehingga tidak menimbulkan penyakit atau bahaya lainnya bagi masyarakat sekitarnya. 
    f. Bahwa berdasarkan Pasal 16 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81/PMK.03/2009 tentang Pembentukan atau Pemupukan Dana Cadangan Yang Boleh Dikurangkan Sebagai Biaya antara lain diatur:
     
Ayat (1), Besarnya cadangan biaya reklamasi untuk perusahaan yang melakukan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf d adalah yang sebenarnya dibebankan pada perkiraan cadangan biaya reklamasi.
      Ayat (2), Cadangan biaya reklamasi untuk perusahaan yang melakukan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan energi dan sumber daya mineral.
      Ayat (3), Apabila setelah berakhirnya masa kontrak atau selesainya penambangan terdapat selisih antara jumlah cadangan biaya reklamasi dengan jumlah biaya reklamasi yang sebenarnya dikeluarkan, selisih tersebut merupakan penghasilan atau kerugian pada tahun yang bersangkutan.
    g. Bahwa berdasarkan Pasal 1 butir c Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1211 Tahun 1995 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perusakan dan Pencemaran Lingkungan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan disebutkan bahwa reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan umum, agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai dengan peruntukannya.
    h. Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas pada huruf c sampai dengan g, Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) menyampaikan bahwa:
      Reklamasi merupakan kegiatan yang wajib dilakukan oleh pemegang kuasa pertambangan dan dilakukan setelah selesai melakukan penambangan bahan galian pada suatu lahan tambang.
      Wajib Pajak yang bergerak di bidang usaha pertambangan dapat mencadangkan dana untuk kegiatan reklamasi sebesar jumlah yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan energi dan sumber daya mineral.
      Besarnya cadangan biaya reklamasi untuk perusahaan yang melakukan usaha pertambangan adalah yang sebenarnya dibebankan pada perkiraan cadangan biaya reklamasi
      Sesuai dengan beberapa ketentuan tersebut di atas, maka Pajak Masukan atas perolehan BKP/JKP untuk kegiatan reklamasi tidak dapat dikreditkan. Namun demikian Pajak Masukan atas perolehan BKP/JKP tersebut dapat dibebankan pada cadangan biaya reklamasi.
     
    Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) berpendapat pendapat Majelis Hakim Pengadilan Pajak bahwa kegiatan reklamasi/rehabilitasi alam merupakan kewajiban bagi Pemohon Banding yang menjadi satu kesatuan dengan usaha pertambangan, sehingga Majelis berkesimpulan bahwa proses reklamasi yang dilakukan oleh Pemohon Banding pasca penutupan tambang masih berkaitan langsung dengan kegiatan usaha Pemohon Banding menjadi tidak tepat dan dapat menimbulkan penyesatan hukum (rechtsdwaling) serta tidak dapat dibenarkan.
       
  17.
Bahwa salah satu ahli Pajak Pertambahan Nilai yaitu Untung Sukardji, dalam bukunya yang berjudul ”Pokok-Pokok Pajak Pertambahan Nilai Indonesia, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2011, Halaman 136, menyatakan:
“Berhubungan langsung dengan kegiatan usaha mengandung pengertian bahwa BKP/JKP yang terkait dimaksudkan untuk melakukan kegiatan penyerahan kena pajak atau dengan kalimat lain untuk tujuan yang bersifat produktif.”
 
Bahwa pendapat Untung Sukardji tersebut semakin menguatkan pendapat Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) yaitu bahwa Pajak Pertambahan Nilai terkait dengan kegiatan reklamasi dan penutupan tambang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha karena tidak dimaksudkan untuk melakukan kegiatan penyerahan kena pajak, sehingga tidak dapat dikreditkan.
       
  18.
Bahwa salah satu dasar pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak dalam mengambil putusan adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor 215/B/PK/PJK 2010 tanggal 11 Juli 2011 mengenai Peninjauan Kembali atas Putusan Pengadilan Pajak terkait sengketa biaya Reklamasi antara Direktur Jenderal Pajak selaku Pemohon Peninjauan Kembali melawan PT Newmont Minahasa Raya selaku Termohon Peninjauan Kembali. Dalam putusannya, Mahkamah Agung telah menolak permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Direktur Jenderal Pajak dan tetap mempertahankan putusan Pengadilan Pajak dengan pertimbangan bahwa biaya reklamasi terkait dengan Kegiatan Usaha Termohon Peninjauan Kembali sehingga Faktur Pajak yang terkait dengan reklamasi dapat dikreditkan sebagai pajak masukan.
 
Bahwa dengan mempertimbangkan uraian penjelasan sebagaimana disebutkan di atas, Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) berpendapat bahwa pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung adalah tidak tepat, karena berdasarkan fakta yang terungkap, berdasarkan pengertian dan definisi kegiatan usaha menurut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (yaitu terkait kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen), terbukti bahwa kegiatan reklamasi dan penutupan tambang, menurut ketentuan Pajak Pertambahan Nilai, tidak terkait dengan kegiatan usaha Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding), dan karenanya pajak masukan atas pengeluaran dalam rangka kegiatan reklamasi dan penutupan tambang tersebut, tidak dapat dikreditkan.
       
  19. Bahwa berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pengeluaran dalam rangka Kegiatan Reklamasi dan Penutupan Tambang merupakan pengeluaran yang“tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha”, sehingga sesuai ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf b Undang-Undang PPN, Pajak Masukan yang terkait dengan pengeluaran dalam rangka Kegiatan Reklamasi dan Penutupan Tambang tidak dapat dikreditkan, yang dengan demikian terbukti secara jelas dan nyata-nyata bahwa Koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) terhadap Pajak Masukan sebesar Rp147.198.864,00 sudah sesuai dengan ketentuan.
       
  20. Bahwa dengan demikian pendapat Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang tidak mempertahankan koreksi atas Pajak Masukan sebesar Rp147.198.864,00 nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
       
Bahwa dengan demikian, telah terbukti pula secara nyata-nyata bahwa amar pertimbangan dan amar putusan (dictum) Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang telah dituangkan dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT.43954/PP/M.VIII/16/2013 tanggal 18 Maret 2013 tersebut telah dibuat dengan tidak berdasarkan kepada fakta-fakta yang ada dan yang telah nyata-nyata terungkap dalam pemeriksaan sengketa banding tersebut, sehingga hal tersebut nyata-nyata telah melanggar ketentuan Pasal 78 dan telah memenuhi kriteria Pasal 91 huruf e Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yaitu bahwa terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan oleh karena itu maka Putusan Pengadilan Pajak Nomor: PUT.43954/PP/M.VIII/16/2013 tanggal 18 Maret 2013 tersebut adalah cacat secara hukum dan harus dibatalkan. Bahwa dengan demikian, putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak Nomor: PUT.43954/PP/M.VIII/16/2013tanggal 18 Maret 2013 yang menyatakan:
Mengabulkan sebagian permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-12/WPJ.19/2012 tanggal 05 Januari 2012 tentang keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak Oktober 2008 Nomor: 00391/207/08/091/10 tanggal 29 Oktober 2010, atas nama: PT Kelian Equatorial Mining, NPWP: 01.061.520.1-091.000, Alamat Keputusan Jl. Jendral Sudirman No. 561, PO Box 269, Balikpapan 76114, Alamat korespondensi di Menara Anugrah Lt.15, Kantor Taman E3.3, Jl. Mega Kuningan Lot 8.6-8.7, Setiabudi, Jakarta 12950,dengan perhitungan sebagaimana tersebut di atas;
 
Adalah tidak benar sama sekali serta telah nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
   

PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH AGUNG

 
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:
 
Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat dibenarkan, karena putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan sebagian permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Terbanding Nomor: KEP-12/WPJ.19/2012 tanggal 05 Januari 2012, mengenai keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak Oktober 2008 Nomor: 00391/207/08/091/10 tanggal 29 Oktober 2010, atas nama Pemohon Banding, NPWP: 01.061.520.1-091.000, sehingga pajak yang masih harus dibayar menjadi Rp4.891.922,00; adalah sudah tepat dan benar dengan pertimbangan:
a. Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali dalam perkara a quo yaitu Koreksi Positif Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sebesar Rp147.198.864,00 yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak tidak dapat dibenarkan, karena setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan dalam Memori Peninjauan Kembali oleh Pemohon Peninjauan Kembali dan Termohon Peninjauan Kembali tidak mengajukan Kontra Memori Peninjauan Kembali tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Pengadilan Pajak, karena dalam perkara a quo berupa proses reklamasi yang dilakukan Pemohon Banding sekarang Termohon Peninjauan Kembali pasca penutupan tambang yang masih berkaitan langsung memiliki hubungan langsung dengan 3M (Mendapatkan, Menagih dan Memelihara) penghasilan, sehingga Faktur Pajak yang dikaitkan dengan kegiatan reklamasi dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan yang telah diperiksa, diputus dan diadili oleh Majelis Pengadilan Pajak dengan benar, sehingga Majelis Hakim Agung mengambil alih pertimbangan hukum dan menguatkan putusan Pengadilan Pajak a quo dan oleh karenanya koreksi Terbanding (sekarang Pemohon Peninjauan Kembali) dalam perkara a quo tidak dapat dipertahankan karena tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 29 ayat (2) Alinea Ketiga Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan juncto Pasal 9 ayat (8) huruf b dan Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
b.
Bahwa dengan demikian, tidak terdapat putusan Pengadilan Pajak yang nyata-nyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 91 huruf e Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, sehingga pajak yang masih harus dibayar dihitung kembali menjadi sebesar Rp4.891.922,00; dengan perincian sebagai berikut: 
 
 
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali: DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tersebut tidak beralasan sehingga harus ditolak; 
 
Menimbang, bahwa dengan ditolaknya permohonan peninjauan kembali, maka Pemohon Peninjauan Kembali dinyatakan sebagai pihak yang kalah, dan karenanya dihukum untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali;
 
Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak serta peraturan perundang-undangan yang terkait.
 

MENGADILI

Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali: DIREKTUR JENDERAL PAJAK tersebut;
 
Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan Peninjauan Kembali ini sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu Rupiah);
 
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari: Rabu, tanggal 08 November 2017, oleh Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., M.S., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Dr. Yosran, S.H., M.Hum., dan Is Sudaryono, S.H., M.H., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota Majelis dan dibantu oleh Muhammad Usahawan, S.H., Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak.
 
Anggota Majelis
ttd.
Dr. Yosran, S.H., M.Hum.
ttd.
Is Sudaryono, S.H., M.H.
Ketua Majelis
ttd.
Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., M.S.
 
 
 
Panitera Pengganti
ttd.
Muhammad Usahawan, S.H.
Gunakan Akun Perpajakan DDTC
Dapatkan akses harian untuk baca berbagai dokumen di kanal Sumber Hukum

1911/B/PK/PJK/2017