Quick Guide
Hide Quick Guide
  • MELAWAN
  • RINGKASAN POSITA BANDING
  • KETENTUAN FORMAL PENINJAUAN KEMBALI
  • ALASAN PENINJAUAN KEMBALI
  • PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH AGUNG
  • MENGADILI
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium

PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
1839/B/PK/PJK/2017

 
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH AGUNG

Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara:
 
 
 
 
 
 
 
PT ARUN NATURAL GAS LIQUEFACTION, tempat kedudukan di Wisma Nusantara Lantai 11, Jalan MH. Thamrin, Nomor 59, Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat (10350);

untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Penggugat;
 
 
 
 
 
 
 

MELAWAN

 
 
 
 
 
 
 
DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tempat kedudukan di Jalan Jenderal Gatot Subroto, Nomor 40-42, Jakarta 12190, dalam hal ini memberi kuasa kepada:
1.
TEGUH BUDIHARTO, Direktur Keberatan dan Banding, Direktorat Jenderal Pajak;
2.
DAYAT PRATIKNO, Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
3.
FARCHAN ILYAS, Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
4.
FRANSISCA WARASTUTI, Penelaah Keberatan, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
 
 
 
 
 
 
 
Semuanya berkantor di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak di Jalan Jenderal Gatot Subroto, Nomor 40-42, Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-1856/PJ./2017 tanggal 5 Mei 2017; Termohon Peninjauan Kembali dahulu Tergugat;

Mahkamah Agung tersebut;

Membaca surat-surat yang bersangkutan;

Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Penggugat telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.66255/PP/M.XIA/99/2015 tanggal 30 November 2015 yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Tergugat, dengan posita perkara sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 

RINGKASAN POSITA BANDING

 
 
 
 
 
 
 
Latar Belakang/Duduk Perkara (Posita);
1.
Pada tanggal 09 Oktober 2013, Kantor Pelayanan Pajak Minyak dan Gas Bumi (KPP Migas) menerbitkan Surat kepada Penggugat Nomor S-5370/WPJ.07/KP.10/2013 perihal pemberitahuan akan diterbitkan Surat Tagihan Pajak, dengan alasan sebagai berikut:

Pada tanggal 13 Desember 2012, Direktur Peraturan Perpajakan I menerbitkan Surat yang ditujukan kepada KPP Wajib Pajak Besar Tiga dengan Surat Nomor S-1234/PJ.02/2012 yang menegaskan bahwa:
 
a.
PPN atas biaya pengolahan dan transportasi LNG yang dibayarkan oleh PT Pertamina (Persero) dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2010 maupun yang dibayarkan langsung oleh trustee dari tahun 2011 sampai dengan Februari 2012, bukan merupakan Pajak Masukan PT Pertamina (Persero) karena bukan untuk perolehan BKP/JKP dari PT Pertamina (Persero);
 
b.
Karena bukan merupakan Pajak Masukan PT Pertamina (Persero), maka Faktur Pajak yang diterbitkan atas nama PT Pertamina (Persero) salah;
 
c.
Bahwa sesuai Pasal 14 ayat (1) huruf e dan Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang KUP, maka KPP Migas akan menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) berupa sanksi administrasi denda 2% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP);
 
 
 
 
 
 
 
 
Perlu diketahui bahwa sampai dengan surat gugatan ini Penggugat laporkan, Penggugat belum bisa memperoleh Surat No. S-1234/PJ.12/2012 tersebut, sehingga Penggugat tidak mengetahui isi surat tersebut;
 
 
 
 
 
 
 
2.
Pada tanggal 18 November 2013, KPP Migas menerbitkan STP Nomor 00005/107/05/081/13, dengan perincian sebagai berikut:
 
Tabel 1 put MA 1839/B/PK/PJK/2017
 
 
 
 
 
 
 
3.
Pada tanggal 30 Januari 2014, dengan surat Nomor PD/152 tertanggal 13 Januari 2014, Penggugat mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan STP yang tidak benar atas STP tersebut kepada KPP Migas;
 
 
 
 
 
 
 
4.
Kemudian pada tanggal 15 Juli 2014, Kanwil DJP Jakarta Khusus menerbitkan Keputusan Tergugat Nomor KEP-1814/WPJ.07/2014 tanggal 15 Juli 2014 tentang Pembatalan Ketetapan Pajak Atas Surat Tagihan Pajak Berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf c karena Permohonan Wajib Pajak, yang menetapkan bahwa menolak permohonan Penggugat dan mempertahankan jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam STP tersebut.

Penggugat tidak setuju dengan alasan dan pendapat dari KPP Migas, oleh karena itu perkenankanlah Penggugat untuk mengajukan permohonan gugatan atas Keputusan Tergugat Nomor KEP-1814/WPJ.07/2014, dengan uraian sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
Pokok Sengketa;
Yang menjadi pokok sengketa adalah alasan penerbitan STP, yang menurut Penggugat, tidak sesuai dengan Peraturan Perpajakan yang berlaku, sehingga Surat Tagihan Pajak tersebut cacat hukum dan harus dibatalkan;
 
 
 
 
 
 
 
Pemenuhan Ketentuan Formal Pengajuan Gugatan;
Menurut Penggugat, permohonan Gugatan yang Penggugat ajukan kepada Pengadilan Pajak telah memenuhi persyaratan formal sesuai dengan Pasal 40 dan 41 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dengan alasan sebagai berikut:
1.
Gugatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak;
2.
Jangka waktu untuk mengajukan Gugatan terhadap Keputusan adalah tidak melampaui 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima keputusan yang digugat. Keputusan Tergugat Nomor KEP-1814/WPJ.07/2014 tanggal 15 Juli 2014 tentang Pembatalan Ketetapan Pajak Atas Surat Tagihan Pajak Berdasarkan Pasal 36 ayat (1) Huruf C Karena Permohonan Wajib Pajak, Penggugat terima pada tanggal 23 Juli 2014, sedang gugatan Penggugat masukkan ke Pengadilan Pajak pada tanggal 14 Agustus 2014;
3.
Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Gugatan;
4.
Surat Gugatan ditandatangani oleh Gusti Azis selaku Direktur Utama sehingga telah memenuhi persyaratan Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Pengadilan Pajak;
5.
Gugatan dilampiri dengan salinan Surat Keputusan yang digugat dan disertai dengan alasan-alasan yang jelas;
 
 
 
 
 
 
 
Pembahasan Pokok Sengketa dan Argumentasi/Dalil-Dalil Penggugat;
Penggugat tidak setuju dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak yang diterbitkan oleh Tergugat melalui KEP-1814/WPJ.07/2014 tentang Pembatalan Ketetapan Pajak Atas Surat Tagihan Pajak Berdasarkan Pasal 36 Ayat (1) Huruf C Karena Permohonan Wajib Pajak dengan perincian sebagai berikut:
 
 
 
 
 
 
 
1.
Penggugat telah melakukan transaksi komersial dengan PT Pertamina (Persero);
 
Penggugat menyediakan jasa pengolahan gas alam menjadi gas cair (Liquid Natural Gas/LNG) kepada PT Pertamina (Persero) dan mengirimkan hasil pengolahan tersebut kepada PT Pertamina (Persero). Hal ini dibuktikan dengan kontrak-kontrak yang ada sebagai berikut:
 
a.
Principles of Plant Lease Agreement dan Shareholders Agreement tanggal 16 Maret 1974 yaitu perjanjian pokok antara PT Pertamina (Persero) dan Exxon Mobil Oil Indonesia Inc (EMOI) yang mengatur pelaksanaan monetisasi gas bumi yang dihasilkan di wilayah kerja masing-masing kontraktor PSC terkait, mencakup pembagian tugas dari masing-masing pihak, kontraktor PSC mengembangkan lapangan dan memproduksi gas, PT Pertamina (Persero) membangun kilang LNG, membentuk operator kilang LNG (Penggugat) dan menjual LNG secara keseluruhan (single seller);
 
 
 
 
 
 
 
 
b.
Agreement for Use and Operation of Plant tanggal 26 Agustus 1974 dan terakhir diubah pada tanggal 1 April 1985, yaitu kesepakatan antara PT Pertamina (Persero) (pemilik kilang) dengan Penggugat (operator kilang) yang mengatur tentang pengoperasian dan pemanfaatan kilang LNG Arun oleh Penggugat;
 
 
 
 
 
 
 
 
c.
LNG Processing Agreement tanggal 26 Agustus 1974 dan terakhir diubah pada tanggal 01 April 1989, yaitu Perjanjian antara PT Pertamina (Persero) dan EMOI dengan Penggugat yang mengatur kegiatan pemrosesan gas bumi yang di supply kontraktor PSC menjadi LNG oleh Penggugat hingga dimuat ke kapal LNG;

Dalam perjanjian ini juga disebutkan bahwa semua biaya yang dikeluarkan oleh Penggugat dalam pemrosesan gas ini (biaya operasi dan biaya kapital) ditanggung oleh produsen (PT Pertamina (Persero) dan EMOI) yang akan dibayarkan melalui Trustee dengan mekanisme Cash Call. Bahwa berdasarkan perjanjian tersebut, pada Article 10 tentang Consideration menjelaskan “The processing and other services performed by the Liquefaction Company (PT Arun NGL) for the Producers shall be on a non-profit, cost-of-service basis“;

Selanjutnya, di dalam perjanjian ini juga disebutkan bahwa PT Pertamina (Persero) diberikan mandat untuk menerima LNG yang diproses oleh Penggugat yang selanjutnya dikirimkan kepada pembeli. Pembiayaan pemrosesan LNG oleh Penggugat dilakukan dengan mekanisme Cash Call, yakni dengan mengirimkan dokumen penagihan beserta kelengkapannya kepada PT Pertamina (Persero) sebagai pihak yang menerima mandat dari Pemerintah dan Produsen;
 
 
 
 
 
 
 
 
d.
Penugasan Kementerian ESDM kepada PT Pertamina (Persero) melalui Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 1869 K/10/MEM/2007 tanggal 19 Juni 2007 tentang Pelaksanaan Kegiatan Bisnis Liquified Natural Gas (LNG) Arun dan Liquid Natural Gas (LNG) Badak, yang menetapkan PT Pertamina (Persero) sebagai pelaksana pengelolaan Aset Kilang LNG Arun dan kilang LNG Arun yang pengoperasiannya masing-masing dilakukan oleh Penggugat dan PT Badak NGL;

Dalam pelaksanaan pengelolaan aset kilang LNG Arun Kilang LNG Badak sebagaimana dimaksud dalam diktum kesatu (di atas) Badan Pelaksana mengusahakan kepada PT Pertamina (Persero) untuk tetap bertindak sebagai pihak dalam perjanjian dan/atau kesepakatan, antara lain Trustee and Paying Agent Agreement, Loan Agreement, Supply Agreement, Agreement for Use and Operation of Plant, Processing Agreement, Principles of Agreement dan Producer Agreement. Dan selanjutnya Badan Pelaksana menindaklanjuti secara tertulis pelaksanaan pengusahaan kepada PT Pertamina (Persero);
 
 
 
 
 
 
 
2.
Mekanisme penerbitan invoice komersial yang ditujukan kepada PT Pertamina (Persero) telah sesuai dengan kontrak yang ditandatangani; 
 
Sesuai dengan Arun LNG and LPG Processing Agreement tanggal 5 April 1989, yang dibuat antara Penggugat dengan PT Pertamina (Persero) dan ExxonMobil Oil Indonesia, diatur mengenai tata cara penerbitan invoice oleh Penggugat kepada PT Pertamina (Persero).

Berdasarkan kontrak tersebut, maka sudah jelas bahwa invoice komersial yang dibuat Wajib Pajak ditujukan kepada PT Pertamina (Persero) sudah sesuai dengan kontrak yang ditandatangani oleh Penggugat dan PT Pertamina (Persero);

Selanjutnya, Penggugat siap menunjukkan seluruh invoice komersial di dalam persidangan, dalam hal diperlukan oleh Majelis Hakim;
 
 
 
 
 
 
 
3.
Pembayaran invoice komersial dilakukan oleh PT Pertamina (Persero); 
 
Sesuai dengan Arun LNG and LPG Processing Agreement tanggal 5 April 1989, yang dibuat antara Penggugat dengan PT Pertamina (Persero) dan Exxon Mobil Oil Indonesia, diatur mengenai tata cara pelunasan tagihan tersebut;

Berdasarkan kontrak tersebut, maka sudah jelas bahwa PT Pertamina (Persero) sebagai pihak yang menggunakan jasa pengolahan dari Penggugat telah melakukan pembayaran di muka (cash advance) kepada Penggugat untuk biaya jasa pengolahan LNG yang diperlukan Penggugat;

Selanjutnya, Penggugat siap memberikan menunjukkan bukti transfer atas pembayaran yang dimaksud di dalam persidangan, dalam hal diperlukan oleh Majelis Hakim;
 
 
 
 
 
 
 
4.
Penerbitan Faktur Pajak kepada PT Pertamina (Persero) sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan;
 
Penggugat menerbitkan Faktur Pajak dengan identitas pembeli kepada PT Pertamina (Persero) adalah sudah sesuai dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
 
a.
Bahwa penerbitan Faktur Pajak atas nama PT Pertamina (Persero) telah sesuai dengan Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang PPN Nomor 18 Tahun 2000 huruf b, sebagai berikut:
 
 
“(5)
Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:
 
 
 
b.
Nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak”;
 
 
 
 
 
 
 
 
b.
Point 3 Surat Menteri Keuangan Nomor S-721/PJ.3/1989 yang ditujukan kepada Direktur Utama PT Pertamina (Persero) perihal PPN atas LNG/LPG, telah disetujui oleh Menteri Pertambangan dan Energi, Menteri Keuangan, BPKP, dan PT Pertamina (Persero), bahwa atas LNG/LPG yang diproses oleh Penggugat dan PT Badak ditetapkan sebagai BKP, oleh karena itu atas ekspor LNG/LPG terutang PPN dengan tarif 0% dan Pajak Masukan yang dibayar untuk menghasilkan LNG/LPG sejak tanggal 01 Juni 1989 dapat dikreditkan atau diminta kembali sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1988;
 
 
 
 
 
 
 
 
c.
Surat dari Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak Nomor S-1936/PJ.51/1992 tanggal 30 Oktober 1992, disebutkan sebagai berikut:

Point 1 paragraf 1:
Dalam usahanya, PT Arun NGL Co. dan PT Badak NGL Co. menerima bahan baku (gas alam) dari kontraktor KPS/-PT Pertamina untuk diolah menjadi barang jadi (liquefaction process) yaitu LNG/LPG, yang kemudian diserahkan kepada PT Pertamina (Persero) untuk diekspor;

Point 2 paragraf 2:
PPN atas jasa pengolahan LNG/LPG tersebut merupakan Pajak Keluaran bagi PT Arun NGL Co. atau PT Badak NGL Co. dan merupakan Pajak Masukan bagi Pertamina;
 
 
 
 
 
 
 
 
d.
Surat dari Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak Nomor S-65/PJ.51/1993 tanggal 18 Januari 1993, disebutkan sebagai berikut:

Point 1 paragraf 1:
Sesuai dengan penjelasan dari pihak Pertamina, kegiatan utama PT Arun NGL Co. dan PT Badak NGL Co. adalah mengolah gas alam menjadi LNG/LPG atas pesanan/suruhan Pertamina;
 
 
 
 
 
 
 
 
e.
Surat dari PT Pertamina (Persero) Nomor 319/H0400/93 tanggal 05 Agustus 1993, perihal Petunjuk Pelaksanaan Tatacara PPN LNG/LPG yang mulai berlaku 01 Januari 1993, mengatur sebagai berikut:
 
 
(1)
Bab II seksi 3 point 5:
 
 
 
Faktur Pajak yang dipergunakan untuk penagihan PPN yang terutang oleh PT Arun NGL Co. dan PT Badak NGL Co kepada PT Pertamina (Persero) adalah Faktur Pajak yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1117/KMK.04/1988. Akan tetapi untuk memudahkan administrasi PT Arun NGL Co. dan PT Badak NGL Co diperkenankan menggunakan Faktur Pajak Gabungan untuk setiap Masa Pajak;

Faktur Pajak Gabungan harus dibuat oleh PT Arun NGL Co. dan PT Badak NGL Co. selambat-lambatnya satu hari kerja setelah Cash Advance yang terakhir diterima dalam suatu bulan dan harus dikirimkan dan diterima PT Pertamina (Persero) selambat-lambatnya satu hari kerja sebelum akhir bulan masa pajak yang sama;

PT Pertamina (Persero) harus membukukan Faktur Pajak yang diterima PT Arun NGL Co. dan PT Badak NGL Co sebagai Pajak Masukan, dan melaksanakan pembayarannya selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya kepada PT Arun NGL Co. dan PT Badak NGL Co;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
(2)
Bab III seksi 2 point 2.2:
 
 
 
Faktur Pajak lembar kesatu (asli) dikirim dengan surat pengantar kepada Divisi Akuntansi Dit. Keuangan PT Pertamina (Persero) dengan tembusan surat pengantar dilengkapi copy Faktur Pajak kepada Divisi Perbendaharaan dan Dinas Akuntansi Umum selambat-lambatnya satu hari kerja sebelum akhir bulan pada Masa Pajak yang sama;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
(3)
Bab II seksi 1 point 1.3:
 
 
 
Jasa Pengolahan (Jasa Processing) LNG/LPG adalah rangkaian jasa yang diberikan oleh PT Arun NGL Co. dan PT Badak NGL. Co mulai dari titik penerimaan gas alam, pengolahan gas alam, pengolahan gas alam menjadi LNG/LPG, penyimpanan LNG/LPG sampai pada titik penyerahan LNG/LPG dimuat dalam kapal untuk diekspor sesuai dengan Processing Agreement antara PT Pertamina (Persero) dan Kontraktor Kontrak Bagi Hasil atau Kontraktor Production Sharing yang untuk selanjutnya disingkat KPS dengan PT Arun NGL.Co dan PT Badak NGL. Co;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
(4)
Bab IV seksi 3 point 3.1.b:
 
 
 
Semua Pajak Masukan yang dibayar atas pembangunan kilang, jasa pengolahan (jasa processing), jasa pengangkutan dan jasa pemasaran LNG/LPG pada dasarnya dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran. Pajak Masukan tersebut adalah:
 
 
 
b.
Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan jasa pengolahan (jasa processing) LNG/LPG oleh PT Arun NGL. Co dan PT Badak NGL. Co;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Penerbitan Faktur Pajak tersebut telah sesuai dengan kontrak-kontrak sehingga dengan demikian telah sesuai dengan hukum perdata, mengingat kontrak-kontrak antara wajib pajak dengan PT Pertamina (Persero) sudah sesuai dengan Pasal 1338 KUH Perdata ayat (1) menyatakan bahwa:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”;

Sehingga berdasarkan hal tersebut di atas, maka kontrak yang terjadi antara Penggugat dan PT Pertamina (Persero) berlaku sebagai Undang-Undang bagi Wajib Pajak dan PT Pertamina (Persero);

Penggugat dengan demikian tidak bisa dipersalahkan apabila menerbitkan Faktur Pajak atas nama Pertamina. Sekiranya pihak Pertamina, menurut Direktorat Jenderal Pajak, dianggap tidak berwenang melakukan pengkreditan terhadap pajak masukan dengan bukti Faktur Pajak-Faktur Pajak yang diterbitkan wajib pajak tersebut, maka jelas bahwa hal itu tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban kepada Penggugat;
 
 
 
 
 
 
 
Kesimpulan;
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa:
1.
Penerbitan Faktur Pajak oleh Penggugat kepada PT Pertamina (Persero) dengan identitas pembeli PT Pertamina (Persero) sudah sesuai dengan kontrak dan ketentuan perpajakan yang dijelaskan di atas, sehingga penerbitan faktur pajak oleh Penggugat sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (5) b Undang-Undang PPN;
2.
Surat dari Direktur Peraturan Perpajakan I kepada KPP Wajib Pajak Besar Tiga Nomor S-1234/PJ.02/2012 yang diterbitkan tanggal 13 Desember 2012 seharusnya tidak dapat dijadikan dasar bagi KPP Migas untuk menerbitkan STP selama Tahun Pajak 2004-2007, karena selama tahun 2004-2007 Penggugat sudah melaksanakan kewajiban perpajakan atas penerbitan Faktur Pajak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang telah dijelaskan di atas;
3.
Bahwa Surat Tagihan Pajak Nomor 00005/107/05/081/13 tidak mempunyai dasar hukum, dan karena itu menjadi cacat hukum, sehingga tidak sah, dan harus dibatalkan, karena telah melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dan bertentangan dengan asas keadilan dan kepastian hukum;
 
 
 
 
 
 
 
Tuntutan (Petitum);
Sesuai dengan penjelasan, bukti-bukti dan dalil-dalil Penggugat, Penggugat mohon Majelis Hakim Pengadilan Pajak Yang Mulia agar membatalkan Surat Tagihan Pajak Nomor 00005/107/05/081/13 tertanggal 18 November 2013;
 
 
 
 
 
 
 
Menimbang, bahwa amar Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.66255/PP/M.XIA/99/2015 tanggal 30 November 2015 yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut:

Menyatakan menolak gugatan Penggugat terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-1814/WPJ.07/2014 tanggal 15 Juli 2014 tentang Pembatalan Ketetapan Pajak atas Surat Tagihan Pajak berdasarkan Pasal 36 Ayat (1) Huruf C karena Permohonan Wajib Pajak, atas nama: PT Arun Natural Gas Liquefaction, NPWP 01.307.771.4-081.000, beralamat di Wisma Nusantara Lantai 11, Jalan MH. Thamrin No. 59, Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat (10350);
 
 
 
 
 
 
 

KETENTUAN FORMAL PENINJAUAN KEMBALI

 
 
 
 
 
 
 
Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.66255/PP/M.XIA/99/2015 tanggal 30 November 2015, diberitahukan kepada Pemohon Peninjauan Kembali pada tanggal 23 Desember 2015 diajukan permohonan peninjauan kembali secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada tanggal 17 Maret 2016 sebagaimana ternyata dari Akta Permohonan Peninjauan Kembali Nomor PKA-1000/PAN.Wk/2016 yang dibuat oleh Wakil Panitera Pengadilan Pajak dengan disertai alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal itu juga;

Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada tanggal 13 April 2017, kemudian terhadapnya oleh pihak lawannya diajukan jawaban yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 12 Mei 2017;

Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasan-alasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka permohonan peninjauan kembali tersebut secara formal dapat diterima;
 
 
 
 
 
 
 

ALASAN PENINJAUAN KEMBALI

 
 
 
 
 
 
 
Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan peninjauan kembali yang pada pokoknya sebagai berikut:
I.
SUBSTANSI PERMOHONAN PENINJAUAN KEMBALI;
 
Bersama ini Pemohon sampaikan penjelasan singkat mengenai latar belakang Pemohon, pokok sengketa, serta bagaimana pandangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak terkait hal tersebut;
 
1.
LATAR BELAKANG DAN POKOK SENGKETA;
 
 
Pemohon (PT Arun Natural Gas Liquefaction) pada dasarnya dibentuk secara khusus untuk melakukan jasa liquefaction, di mana berdasarkan "Arun LNG and LPG Processing Agreement" (selanjutnya disebut sebagai "Processing Agreement"), Pemohon akan mengelola pasokan gas bumi yang diperoleh oleh Produsen dan kemudian menyerahkan hasil proses liquefaction berupa LNG dan kondensat kembali kepada Produsen dengan memuat hasil produksi tersebut ke dalam tangki kapal. Adapun definisi Produsen sebagaimana diatur dalam Processing Agreement mengacu pada Pertamina dan Mobil Oil Indonesia Inc;

Gambaran singkat atas transaksi penyediaan jasa liquefaction tersebut adalah sebagai berikut:
 
Gambar Bagan 1 Transaksi penyediaan jasa liquefaction
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Sebagaimana telah dijelaskan di dalam proses persidangan, Pemohon merupakan suatu entitas non profit karena pendirian perusahaan Pemohon didasari oleh kebutuhan KKKS dan Pemerintah Indonesia untuk mendirikan suatu perusahaan yang mengoperasikan kilang LNG Arun dengan tugas melakukan proses liquefaction atas Gas Alam yang diproduksi oleh Produsen menjadi LNG dan LPG, sehingga seluruh biaya untuk melakukan proses liquefaction ini akan ditagihkan kembali at cost kepada Produsen;

Sebagaimana dijelaskan dalam Processing Agreement bahwa proses penagihan ini akan dilakukan berupa adanya laporan berkala atas seluruh biaya-biaya yang dibutuhkan oleh Pemohon untuk melakukan jasa liquefaction tersebut, dan kemudian Pemohon akan menerima pembayaran (sesuai instruksi Produsen) dari agen pembayaran yang telah ditunjuk;

Mengingat bahwa seluruh hasil alam (termasuk LNG, LPG, dan kondensat yang telah diproduksi oleh Pemohon) berada pada kepemilikan Pemerintah Indonesia sampai dengan titik bagi hasil antara Pemerintah dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), maka dapat dikatakan bahwa penyerahan hasil jasa liquefaction yang dilakukan Pemohon sepenuhnya diserahkan kepada Pemerintah Indonesia (melalui Pertamina sebagai pihak yang terikat dalam perjanjian Processing Agreement tersebut mewakili Pemerintah Republik Indonesia). Sesuai dengan mekanisme tersebut di atas, Pemohon telah menerbitkan Faktur Pajak yang ditujukan kepada Pertamina;

Terkait dengan penerbitan Faktur Pajak kepada Pertamina tersebut di atas, Termohon kemudian menerbitkan STP 05/2013 yang pada intinya menyatakan bahwa Pemohon tidak seharusnya menerbitkan Faktur Pajak tersebut kepada Pertamina, dan bahwa Faktur Pajak tersebut seharusnya diterbitkan kepada BP Migas;

Adapun penerbitan STP tersebut oleh Termohon telah didasarkan pada ketentuan yang terdapat pada Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 63 Undang-Undang Migas terkait pembentukan BP Migas yang dianggap telah mengambil alih hak dan kewajiban Pertamina yang telah diatur di dalam Processing Agreement. Dengan diterbitkannya STP 05/2013 tersebut, Pemohon kemudian dikenakan sanksi administrasi berdasarkan Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ("UU KUP") berupa denda sebesar 2% dari Dasar Pengenaan pajak karena Pemohon dianggap telah menerbitkan Faktur Pajak yang tidak lengkap karena telah ditujukan kepada Pertamina dan bukan kepada BP Migas;

Atas penerbitan STP 05/2013 tersebut, Pemohon kemudian mengajukan permohonan pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar, berdasarkan ketentuan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang KUP, namun demikian permohonan tersebut kemudian ditolak oleh Termohon. Kemudian, Pemohon mengajukan gugatan kepada Pengadilan Pajak terhadap keputusan Termohon untuk menolak permohonan pembatalan STP yang tidak benar tersebut, dan kemudian pengajuan gugatan tersebut juga ditolak oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak melalui Putusan Pengadilan Pajak 66255 yang Pemohon ajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung ini;
 
 
 
 
 
 
 
 
2.
PANDANGAN MAJELIS HAKIM PENGADILAN PAJAK;
 
 
Untuk mempermudah Majelis Hakim Agung dalam memahami permohonan Peninjauan Kembali ini, perkenankanlah kami untuk dapat mengutip pendapat Majelis Hakim Pengadilan Pajak atas pokok sengketa tersebut di atas;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Pandangan suara terbanyak Majelis Hakim Pengadilan Pajak; Pandangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak dapat dilihat pada halaman 40-45 dari Putusan Pengadilan Pajak 66255, sebagai berikut:

"Menimbang bahwa yang menjadi sengketa dalam gugatan ini adalah Penerbitan Keputusan Tergugat Nomor KEP-1814/WPJ.07/2014 tanggal 15 Juli 2014 tentang Pembatalan Ketetapan Pajak atas Surat Tagihan Pajak berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf c karena Permohonan Wajib Pajak yang tidak disetujui oleh Penggugat;


Bahwa Tergugat telah menerbitkan Surat Tagihan Pajak Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak Januari s.d. Juni 2005 Nomor 00005/107/05/081/13 tanggal 18 November 2013;


Bahwa atas Surat Tagihan Pajak a quo, Penggugat mengajukan Permohonan Pengurangan atau Pembatalan STP yang Tidak Benar berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf c Undang-Undang KUP dengan surat Nomor PD/152 tanggal 13 Januari 2014;
 
 
A.
Pandangan suara terbanyak Majelis Hakim Pengadilan Pajak;
 
 
 
Pandangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak dapat dilihat pada halaman 40-45 dari Putusan Pengadilan Pajak 66255, sebagai berikut:

Menimbang bahwa yang menjadi sengketa dalam gugatan ini adalah Penerbitan Keputusan Tergugat Nomor KEP-1814/WPJ.07/2014 tanggal 15 Juli 2014 tentang Pembatalan Ketetapan Pajak atas Surat Tagihan Pajak berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf c karena Permohonan Wajib Pajak yang tidak disetujui oleh Penggugat;

Bahwa Tergugat telah menerbitkan Surat Tagihan Pajak Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak Januari s.d. Juni 2005 Nomor 00005/107/05/081/13 tanggal 18 November 2013;

Bahwa atas Surat Tagihan Pajak a quo, Penggugat mengajukan Permohonan Pengurangan atau Pembatalan STP yang Tidak Benar berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf c Undang-Undang KUP dengan surat Nomor PD/152 tanggal 13 Januari 2014;

Bahwa atas Permohonan Pengurangan atau Pembatalan STP a quo, Tergugat menerbitkan Keputusan Nomor KEP-1814/WPJ.07/2014 tanggal 15 Juli 2014 yang menyatakan Menolak Permohonan Pengurangan atau Pembatalan STP Penggugat dan Mempertahankan Jumlah yang masih harus dibayar dalam Surat Tagihan Pajak a quo;

Bahwa atas Keputusan Tergugat a quo, dengan surat Nomor PD/146 tanggal 13 Agustus 2014 Penggugat mengajukan gugatan;

Bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis diketahui bahwa penerbitan Surat Tagihan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak Januari s.d. Juni 2005 Nomor 00005/107/05/081/13 tanggal 18 November 2013 berdasarkan Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009;

Bahwa menurut Majelis, terdapat perbedaan penafsiran antara Tergugat dengan Penggugat yaitu menurut Tergugat, Penggugat telah membuat Faktur Pajak Keluaran untuk Masa Pajak Januari s.d. Juni 2005 tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang PPN yaitu salah mencantumkan identitas pembeli jasa kena pajak PT Pertamina, sedangkan menurut Penggugat Faktur Pajak Keluaran untuk Masa Pajak Januari s.d. Juni 2005 sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang PPN yaitu kepada pembeli jasa kena pajak PT Pertamina;

Bahwa menurut Tergugat, PT Pertamina tidak sebagai pembeli Jasa Kena Pajak sebagaimana dijelaskan dalam surat Direktur Peraturan Perpajakan I Nomor S-1234/PJ.02/2012 tanggal 13 Desember 2012 yang pada pokoknya menyatakan hal sebagai berikut:
 
 
 
1)
Bahwa sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, PT Pertamina (Persero) tidak lagi bertindak sebagai pemilik bisnis LNG melainkan hanya sebagai penjual LNG yang ditunjuk oleh BPMIGAS dan produsen gas kepada pembeli;
 
 
 
2)
Bahwa seluruh hasil penjualan tidak lagi dicatat oleh PT Pertamina (Persero) karena hasil penjualan LNG tidak diterima oleh PT Pertamina (Persero) melainkan masuk ke rekening trustee yang pengelolaannya dilaksanakan oleh PT Pertamina (Persero) LNG Joint Management Group (JMG) yang di dalamnya terdapat manajemen yang disupervisi oleh BPMIGAS dan produsen gas;
 
 
 
3)
Bahwa atas jasa penjualan LNG kepada pembeli, PT Pertamina (Persero) mendapatkan marketing fee dari JMG melalui rekening trustee dan dicatat dalam pembukuan PT Pertamina (Persero). Atas marketing fee tersebut telah dipungut PPN dan telah dilaporkan dalam SPT PPh Badan;
 
 
 
4)
Bahwa biaya-biaya terkait operasional LNG juga tidak lagi dicatat oleh PT Pertamina (Persero). Namun demikian, tagihan dan faktur pajak diterbitkan kepada PT Pertamina (Persero). Pembayaran tagihan dan PPN atas jasa operasional tersebut adalah sebagai berikut:
 
 
 
 
1.
Sebelum 2011, tagihan atas biaya operasional tidak termasuk PPN dibayarkan langsung oleh trustee atas perintah JMG kepada pemberi jasa. PPN dibayarkan dan dikreditkan oleh PT Pertamina (Persero);
 
 
 
 
2.
Sejak tahun 2011 s.d. Februari 2012, tagihan atas biaya operasional termasuk PPN dibayar langsung oleh trustee atas perintah JMG kepada pemberi jasa. PPN tersebut dikreditkan oleh PT Pertamina (Persero);
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa menurut Tergugat skema Jasa Pengelolaan LNG yang dilakukan oleh Penggugat dapat digambarkan sebagai berikut:
 
Gambar 1 skema Jasa Pengelolaan LNG
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Keterangan:
 
 
 
 
1.
Penyerahan Jasa;
 
 
 
 
2.
PT Arun NGL Mengirim Invoice ke Pertamina;
 
 
 
 
3.
Pertamina minta pembayaran Pokok ke Trustee;
 
 
 
 
3b.
Pertamina Membayar Tunai PPN-nya ke Arun NGL;
 
 
 
 
3c.
Bayar PPN ke Kas Negara;
 
 
 
 
4.
Pembayaran Trustee Kepada Arun NGL;
 
 
 
 
5.
Kredit/Restitusi PPN oleh pertamina;
 
 
 
 
6.
Distribusi Net Revenue kepada Project Owner;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa PT Pertamina diberi kewenangan untuk melakukan kuasa pertambangan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara;

Bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, maka kuasa pertambangan yang diberikan Pemerintah kepada PT Pertamina berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara telah dicabut dan diserahkan kepada Badan Pelaksana sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001;

Bahwa dari bukti pembayaran yang diserahkan oleh Penggugat pada persidangan tanggal 2 Februari 2015, terdapat fakta bahwa pembayaran atas invoice pengelolaan LNG tersebut dilakukan oleh Trustee, bukan oleh PT Pertamina;

Bahwa sesuai ketentuan Pasal 63 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 yang mulai berlaku pada tanggal 23 November 2001, maka semua hak, kewajiban, dan akibat yang timbul dari Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) antara Pertamina dan pihak lain beralih kepada Badan Pelaksana dan kontrak lain yang berkaitan dengan kontrak sebagaimana tersebut di atas antara Pertamina dan pihak lain beralih kepada Badan Pelaksana;

Bahwa menurut Penggugat, Faktur Pajak Keluaran yang diterbitkan Penggugat ditujukan kepada PT Pertamina sebagai penerima jasa kena pajak sesuai dengan:
 
 
 
1)
Pasal 4 dan 6 Arun LNG and LPG Processing Agreement tanggal 5 April 1989 yang ditandatangani oleh PT Pertamina (Persero), Mobil Oil Indonesia Inc, dan PT Arun NG;
 
 
 
2)
Surat-surat yang diterbitkan oleh DJP:
 
 
 
 
1.
Angka 2 dari S-1936/PJ.51/1992,·
 
 
 
 
2.
Angka 1 dari S-65/PJ.51/1993;
 
 
 
3)
Petunjuk Pelaksanaan Tata Cara PPN LNG yang diterbitkan oleh Pertamina:
 
 
 
 
3.
Pasal II. Ketentuan Umum angka 5;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa Pembayaran atas penggantian Jasa Kena Pajak yang diterima oleh Penggugat dilakukan oleh Trustee yang dibentuk bersama antara PT Pertamina (Persero), Mobil Oil Indonesia Inc., dan Bank yang ditunjuk sesuai dengan ketentuan;
 
 
 
1)
Arun LNG and LPG Processing Agreement tanggal 5 April 1989 pada bagian General Provision angka 2 mengenai Billing and Statements;
 
 
 
2)
Bukti penerimaan Bank Mandiri milik PT Arun NGL;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa menurut Penggugat, faktanya tidak ada perubahan kontrak Arun LNG and LPG Processing Agreement tanggal 5 April 1989 antara Pertamina, Mobil Oil Indonesia Inc., dan PT Arun NGL yang mengatur mengenai penyerahan Jasa Kena Pajak oleh Penggugat kepada PT Pertamina (Persero) beralih kepada Badan Pelaksana sesuai dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi;

Bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 1869K/10/MEM/2007 tentang Pelaksanaan Kegiatan Bisnis Liquified Natural Gas (LNG) Arun dan Liquified Natural Gas (LNG) Badak ("KepMen ESDM 1869") pada bagian Kedua Penetapan disebutkan bahwa "Dalam pelaksanaan pengelolaan aset Kilang LNG Arun dan Kilang LNG Badak sebagaimana dimaksud dalam Diktum Kesatu, Badan Pelaksana menguasakan kepada PT Pertamina (Persero) untuk tetap bertindak sebagai pihak dalam perjanjian dan/atau kesepakatan antara lain Trustee and Paying Agent Agreement, Loan Agreement, Supply Agreement, Agreement for Use and Operation of Plant, Processing Agreement, Principles of Agreement dan Producers Agreement, dan selanjutnya Badan Pelaksana menindaklanjuti secara tertulis pelaksanaan penguasaan kepada PT Pertamina (Persero)";

Bahwa menurut Penggugat identitas PT Pertamina dalam Faktur Pajak Keluaran diterbitkan oleh Penggugat telah benar dan sesuai dengan Pasal 13 ayat (5) huruf b Undang-Undang PPN No. 18/2000 karena pihak Penerima Jasa Kena Pajak dan pihak Pembayar atas penggantian Jasa Kena Pajak adalah PT Pertamina (Persero);

Bahwa menurut Penggugat, invoice komersial dan Faktur Pajak Keluaran merupakan penyerahan jasa kena pajak dari Penggugat kepada PT Pertamina sudah sesuai dengan ketentuan:
 
 
 
1)
LNG Processing Agreement tanggal 26 Agustus 1974 dan terakhir diubah pada tanggal 1 April 1989, yaitu Perjanjian antara PT Pertamina (Persero) dan EMOI dengan PT Arun NGL yang mengatur kegiatan pemrosesan gas bumi yang di supply kontraktor PSC menjadi LNG oleh PT Arun NGL hingga dimuat ke kapal LNG;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
2)
Point 3 Surat Menteri Keuangan No. S-721/PJ.3/1989 yang ditujukan kepada Direktur Utama PT Pertamina (Persero) perihal PPN atas LNG/LPG, telah disetujui oleh Menteri Pertambangan dan Energi, Menteri Keuangan, BPKP, dan PT Pertamina (Persero), bahwa atas LNG/LPG yang diproses oleh PT Arun NGL dan PT Badak ditetapkan sebagai BKP, oleh karena itu atas ekspor LNG/LPG terutang PPN dengan tarif 0% dan Pajak Masukan yang dibayar untuk menghasilkan LNG/LPG sejak tanggal 1 Juni 1989 dapat dikreditkan atau diminta kembali sesuai dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 jo. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1988;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3)
Surat dari Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak No. S-1936/PJ.51/1992 tanggal 30 Oktober 1992, disebutkan sebagai berikut:

Point 1 paragraf 1:
Dalam usahanya, PT Arun NGL Co. dan PT Badak NGL Co. menerima bahan baku (gas alam) dari kontraktor KPS/PT Pertamina untuk diolah menjadi barang jadi (liquefaction process) yaitu LNG/LPG, yang kemudian diserahkan kepada PT Pertamina (Persero) untuk diekspor;

Point 2 paragraf 2:
PPN atas jasa pengolahan LNG/LPG tersebut merupakan Pajak Keluaran bagi PT Arun NGL CO. atau PT Badak NGL Co. dan merupakan Pajak Masukan bagi Pertamina;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
4)
Surat dari Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak No. S-65/PJ.51/1993 tanggal 18 Januari 1993, disebutkan sebagai berikut:

Point 1 paragraf 1
Sesuai dengan penjelasan dari pihak Pertamina, kegiatan utama PT Arun NGL Co. dan PT Badak NGL CO. adalah mengolah gas alam menjadi LNG/LPG atas pesanan/suruhan Pertamina;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
5)
Surat dari PT Pertamina (Persero) No. 319/H0400/93 tanggal 5 Agustus 1993, perihal Petunjuk Pelaksanaan Tata Cara PPN LNG/LPG yang mulai berlaku 1 Januari 1993, mengatur sebagai berikut:

Bab II seksi 3 point 5:
Faktur Pajak yang dipergunakan untuk penagihan PPN yang terutang oleh PT Arun NGL Co. dan PT Badak NGL Co kepada PT Pertamina (Persero) adalah Faktur Pajak yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1117/KMK.04/1988;

Bahwa menurut pendapat Majelis, dengan berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, maka menurut ketentuan Pasal 63 diatur sebagai berikut:
 
 
 
 
a.
Dengan terbentuknya Badan Pelaksana, semua hak, kewajiban, dan akibat yang timbul dari Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) antara Pertamina dan pihak lain beralih kepada Badan Pelaksana;
 
 
 
 
b.
Dengan terbentuknya Badan Pelaksana, kontrak lain yang berkaitan dengan kontrak sebagaimana tersebut pada huruf a antara Pertamina dan pihak lain beralih kepada Badan Pelaksana;
 
 
 
 
c.
Semua kontrak sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya kontrak yang bersangkutan;
 
 
 
 
d.
Hak, kewajiban, dan akibat yang timbul dari kontrak, perjanjian atau perikatan selain sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b tetap dilaksanakan oleh Pertamina sampai dengan terbentuknya Persero yang didirikan untuk itu dan beralih kepada Persero tersebut;
 
 
 
 
e.
Pelaksanaan perundangan atau negosiasi antara Pertamina dan pihak lain dalam rangka kerja sama Eksplorasi dan Eksploitasi beralih pelaksanaannya kepada Menteri;
 
 
 
 
f.
Bahwa menurut ketentuan Pasal 63 Undang-Undang Migas, seluruh kontrak yang sudah berjalan antara PT Pertamina dengan pihak lain tetap berlaku sesuai dengan ketentuan Pasal 63 ayat c Undang-Undang Migas dan semua hak, kewajiban, dan akibat yang timbul dari Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) antara Pertamina dan pihak lain beralih kepada Badan Pelaksana sesuai dengan Pasal 63 ayat (a) Undang-Undang Migas;
 
 
 
 
g.
Bahwa secara hukum, semua hak, kewajiban dan akibat yang timbul dari Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) antara Pertamina dan pihak lain beralih kepada Badan Pelaksana, maka semua perjanjian yang sedang berjalan yang ditandatangani oleh Pertamina secara hukum beralih kepada Badan Pelaksana meskipun tidak ada perubahan kontrak perjanjian;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa dengan berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Migas, menurut Majelis Faktur Pajak Keluaran seharusnya ditujukan kepada "Badan Pelaksana Migas (BP Migas cq PT Pertamina (Persero) LNG Joint Management Group (JMG))" tidak lagi kepada PT Pertamina karena "PT Pertamina bukan Pemilik LNG (pemilik BKP) dan bukan sebagai penerima kuasa pertambangan" sesuai dengan Pasal 4 ayat (3), Pasal 63 Undang-Undang No 22 Tahun 2001 tentang Migas;

Bahwa menurut pendapat Majelis, Faktur Pajak yang dikeluarkan atas nama yang bukan pemilik BKP (PT Pertamina), maka Faktur Pajak tersebut termasuk "Faktur Pajak Cacat" yang diterbitkan karena tidak memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Atas Faktur Pajak Cacat tersebut, apabila Pajak Masukannya dikreditkan oleh PT Pertamina, maka berpotensi dapat merugikan keuangan Negara sebesar Pajak Masukan yang tercantum dalam Faktur Pajak Keluaran tersebut;

Bahwa menurut Majelis, penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP) atas Faktur Pajak yang pengisiannya "tidak sesuai" dengan ketentuan Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 oleh Tergugat sudah sesuai dengan Ketentuan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009;

Bahwa sesuai Pasal 78 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak yang menyatakan bahwa: "Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim";

Bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut di atas Majelis berpendapat penerbitan Surat Tagihan Pajak Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak Januari s.d. Juni 2005 Nomor 00005/107/05/081/13 tanggal 18 November 2013 memenuhi ketentuan Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir dengan Undang Nomor 16 Tahun 2009";

[catatan: penebalan dan garis bawah dilakukan oleh Pemohon];
 
 
 
 
 
 
 
 
 
B.
Pandangan berbeda (dissenting opinion) Hakim Arif Subekti;
 
 
 
Selain dari pandangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak di atas, terdapat pula pandangan berbeda yang dikemukakan oleh Hakim Arif Subekti yang terdapat pada halaman 45 dari Putusan Pengadilan Pajak 66255, sebagai berikut:
"Menimbang, bahwa terhadap sengketa gugatan ini, Hakim Arif Subekti berbeda pendapat (dissenting opinions) mengenai hasil pemeriksaan, dengan pertimbangan sebagai berikut:

Bahwa atas penerbitan Surat Tagihan Pajak Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak Januari s.d. Juni 2005 Nomor 00005/107/05/081/13 tanggal 18 November 2013, mengingat sengketa yang diajukan oleh Penggugat bersifat materi bukan prosedur Hakim Arif Subekti berpendapat atas Keputusan tergugat terhadap permohonan pengurangan dan pembatalan STP, Pengadilan Pajak di samping memeriksa prosedur penerbitan STP tersebut juga berwenang memeriksa kebenaran materi sebagaimana dimaksud Pasal 76 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2004 tentang Pengadilan Pajak beserta penjelasannya, mengingat ketentuan Pasal 25 Undang-Undang KUP tentang sengketa yang bersifat material tidak termasuk sengketa keberatan atas Surat Tagihan Pajak;

Bahwa Hakim Arif Subekti berpendapat hubungan Penggugat dengan PT Pertamina (persero) dan Exxon Mobil Oil Indonesia Inc (EMOI) adalah hubungan perdata antara pemberi kerja dan penerima kerja yang ditandatangani pada tanggal 26 Agustus 1974;

Bahwa kesepakatan tersebut menjadi sah dan mengikat para pihak sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata;

Bahwa berdasarkan asas pacta sunt servanda, perjanjian tersebut merupakan hukum bagi kedua belah pihak yang harus dipatuhi;

Bahwa sudah benar Faktur Pajak yang dibuat ditujukan kepada PT Pertamina Persero;

Bahwa sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang menyatakan PT Pertamina (persero) tidak lagi bertindak sebagai pemilik bisnis LNG melainkan sebagai penjual LNG yang ditunjuk oleh BP Migas dan produsen gas kepada pembeli;

Bahwa sehubungan perubahan status PT Pertamina tersebut sampai dengan Tahun 2005 tidak ada perubahan atas perjanjian kontrak kerja atau pemberitahuan berkenaan dengan Faktur Pajak yang dibuat oleh Penggugat;

Bahwa dalam hal Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Penggugat dikreditkan oleh PT Pertamina (Persero) sepenuhnya tanggung jawab dari PT Pertamina (Persero);

Bahwa surat Direktur Peraturan Perpajakan I Nomor S-1234/PJ.02/2012 tidak mengikat Penggugat untuk peristiwa hukum (penerbitan Faktur Pajak) di Tahun 2004;


Bahwa berdasarkan hal tersebut Hakim Arif Subekti berpendapat Faktur Pajak yang diterbitkan Penggugat telah sesuai dengan Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 oleh sehingga penerbitan Surat Tagihan Pajak Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak Januari s.d. Juni 2005 Nomor 00005/107/05/081/13 tanggal 18 November 2013 tidak sesuai ketentuan yang berlaku;

[catatan: penambahan garis bawah dilakukan oleh Pemohon];
 
 
 
 
 
 
 
 
Pemohon mengajukan permohonan Peninjauan Kembali atas Putusan Pengadilan Pajak tersebut di atas, khususnya terkait dengan Putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak dengan suara terbanyak yang telah menetapkan bahwa STP 05/2013 yang telah diterbitkan berdasarkan interpretasi Termohon atas Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 63 Undang-Undang Migas yang telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi, telah diterbitkan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang KUP yang berlaku;
 
 
 
 
 
 
 
II.
MATERI PENINJAUAN KEMBALI;
 
PUTUSAN PENGADILAN PAJAK 66255 TELAH MELANGGAR KETENTUAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN;
 
Dari kutipan Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak dalam Putusan Pengadilan Pajak 66255 tersebut di atas, Pemohon menemukan bahwa Putusan Pengadilan Pajak 66255 telah secara nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yakni:
 
A.
Ketidaksesuaian dan pertentangan dengan UUD 1945 dan Undang-Undang Migas:
 
 
Bahwa menurut Pemohon, Putusan Pengadilan Pajak 66255 nyata-nyata tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya bertentangan dengan UUD 1945 dan Undang-Undang Migas. Adapun Putusan Pengadilan Pajak telah menetapkan bahwa berdasarkan Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 63 Undang-Undang Migas, seluruh hak, kewajiban dan akibat hukum yang sebelumnya dimiliki oleh Pertamina telah beralih kepada Badan Pelaksana (BP Migas). Namun demikian, ketentuan Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 63 Undang-Undang Migas yang telah digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak merupakan ketentuan yang telah dinyatakan tidak sah dan tidak mengikat secara hukum oleh Mahkamah Konstitusi karena telah bertentangan dengan UUD 1945;

Lebih lanjut, Pemohon juga ingin menegaskan bahwa pencabutan Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 63 oleh Mahkamah Konstitusi ternyata bahkan telah dilakukan bahkan sebelum STP 05/2013 ditetapkan oleh Termohon. Hal ini tentunya lebih memperkuat posisi bahwa STP 05/2013 memang merupakan STP yang keliru dan tidak memiliki dasar hukum, sehingga harus dibatalkan;

Untuk mempermudah Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam memahami fakta kronologis pembatalan Pasal-Pasal dalam Undang-Undang Migas, penerbitan STP 05/2013 dan proses Gugatan Pemohon, berikut Pemohon sampaikan tabel kronologi atas proses terkait:
 
Tabel 2 put MA 1839/B/PK/PJK/2017
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Sebagaimana dapat dilihat dalam informasi kronologis di atas, dapat diketahui bahwa:
 
 
1.
Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 63 Undang-Undang Migas terkait pembentukan BP Migas merupakan bagian dari beberapa Pasal di dalam Undang-Undang Migas yang ditetapkan telah bertentangan dengan UUD 1945 sehingga oleh Mahkamah Konstitusi, Pasal-Pasal tersebut dinyatakan tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sejak tanggal diundangkannya Undang-Undang Migas tersebut;

Berikut ini adalah kutipan dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 terkait pencabutan Pasal-Pasal tersebut:
 
"5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Menyatakan:
 
 
1.
Mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk sebagian;
 
 
 
1.1.
Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
 
 
 
1.2.
Pasal 1 angka 23, Pasal 4 ayat (3), Pasal 41 ayat (2), Pasal 44, Pasal 45, Pasal 48 ayat (1), Pasal 59 huruf a, Pasal 61, dan Pasal 63 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu, Moh. Mahfud MD, sebagai Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Harjono, Hamdan Zoelva, M. Akil Mochtar, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Anwar Usman masing-masing sebagai Anggota, pada hari Senin, tanggal lima, bulan November, tahun dua ribu dua belas, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Selasa, tanggal tiga belas, bulan November, tahun dua ribu dua belas, oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu…";

[catatan: penebalan dan penambahan garis bawah dilakukan oleh Pemohon];
 
 
 
 
 
 
 
 
 
2.
STP 05/2013 telah diterbitkan pada tanggal 18 November 2013 (setahun sejak Pasal-Pasal yang digunakan dinyatakan melanggar UUD 1945 dan tidak mengikat) berdasarkan Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 63 Undang-Undang Migas, sebagaimana dapat dilihat di dalam tanggapan Termohon yang tercatat pada halaman 23-34 dari Putusan Pengadilan Pajak 66255;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.
Di dalam persidangan, Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah mencatat bahwa yang menjadi sengketa dalam kasus gugatan yang diajukan oleh Pemohon adalah Penerbitan Keputusan Tergugat Nomor KEP-1814/WPJ.07/2014 tanggal 15 Juli 2014 tentang Pembatalan Ketetapan Pajak atas STP 05/2013, dimana permohonan tersebut tidak disetujui oleh Termohon;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
4.
Selanjutnya, Majelis Hakim juga mengetahui bahwa STP 05/2013 tersebut telah diterbitkan oleh Termohon karena Termohon berpandangan bahwa Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Pemohon seharusnya tidak diterbitkan kepada Pertamina, melainkan kepada BP Migas karena seluruh hak, kewajiban dan akibat dari kontrak yang dahulu ditandatangani oleh Pertamina dianggap telah beralih kepada BP Migas sesuai dengan Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 63 Undang-Undang Migas;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
5.
Adapun pemahaman Majelis Hakim Pengadilan Pajak atas pandangan Termohon dapat dilihat sebagai berikut:
"Bahwa menurut Tergugat, PT Pertamina tidak sebagai pembeli Jasa Kena Pajak sebagaimana dijelaskan dalam surat Direktur Peraturan Perpajakan I Nomor S-234/PJ.02/2012 tanggal 13 Desember 2012 yang pada pokoknya menyatakan hal sebagai berikut:
 
 
 
1)
Bahwa sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, PT Pertamina (Persero) tidak lagi bertindak sebagai pemilik bisnis LNG melainkan hanya sebagai penjual LNG yang ditunjuk oleh BPMIGAS dan produsen gas kepada pembeli;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa PT Pertamina diberi kewenangan untuk melakukan kuasa pertambangan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara;

Bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, maka kuasa pertambangan yang diberikan Pemerintah kepada PT Pertamina berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara telah dicabut dan diserahkan kepada Badan Pelaksana sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001;

Bahwa dari bukti pembayaran yang diserahkan oleh Penggugat pada persidangan tanggal 2 Februari 2015, terdapat fakta bahwa pembayaran atas invoice pengelolaan LNG tersebut dilakukan oleh Trustee, bukan oleh PT Pertamina;

Bahwa sesuai ketentuan Pasal 63 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 yang mulai berlaku pada tanggal 23 November 2001, maka semua hak, kewajiban, dan akibat yang timbul dari Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) antara Pertamina dan pihak lain beralih kepada Badan Pelaksana dan kontrak lain yang berkaitan dengan kontrak sebagaimana tersebut di atas antara Pertamina dan pihak lain beralih kepada Badan Pelaksana";

[catatan: penebalan dan garis bawah dilakukan oleh Pemohon];
 
 
 
 
 
 
 
 
 
6.
Majelis Hakim Pengadilan Pajak kemudian mempertahankan pandangan Termohon tersebut di atas, dan melalui Putusan Pengadilan Pajak 66255 telah menetapkan bahwa STP yang diterbitkan Termohon sudah benar karena berdasarkan Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 63 Undang-Undang Migas yang juga telah digunakan oleh Termohon, maka Faktur Pajak Pemohon menjadi tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang PPN;

Kutipan pandangan dari Majelis Hakim Pengadilan Pajak tersebut adalah sebagai berikut:
"Bahwa menurut pendapat Majelis, dengan berlakunya Undang-Undang No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, maka menurut ketentuan Pasal 63 diatur sebagai berikut:
 
 
 
a.
Dengan terbentuknya Badan Pelaksana, semua hak, kewajiban, dan akibat yang timbul dari Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) antara Pertamina dan pihak lain beralih kepada Badan Pelaksana;
 
 
 
b.
Dengan terbentuknya Badan Pelaksana, kontrak lain yang berkaitan dengan kontrak sebagaimana tersebut pada huruf a antara Pertamina dan pihak Jain beralih kepada Badan Pelaksana;
 
 
 
c.
Semua kontrak sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya kontrak yang bersangkutan;
 
 
 
d.
Hak, kewajiban, dan akibat yang timbul dari kontrak, perjanjian atau perikatan selain sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b tetap dilaksanakan oleh Pertamina sampai dengan terbentuknya Persero yang didirikan untuk itu dan beralih kepada Persero tersebut;
 
 
 
e.
Pelaksanaan perundangan atau negosiasi antara Pertamina dan pihak lain dalam rangka kerja sama Eksplorasi dan Eksploitasi beralih pelaksanaannya kepada Menteri;
 
 
 
f.
Bahwa menurut ketentuan Pasal 63 Undang-Undang Migas, seluruh kontrak yang sudah berjalan antara PT Pertamina dengan pihak lain tetap berlaku sesuai dengan ketentuan Pasal 63 ayat c Undang-Undang Migas dan semua hak, kewajiban, dan akibat yang timbul dari Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) antara Pertamina dan pihak lain beralih kepada Badan Pelaksana sesuai dengan Pasal 63 ayat (a) Undang-Undang Migas;
 
 
 
g.
Bahwa secara hukum, semua hak, kewajiban dan akibat yang timbul dari Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) antara Pertamina dan pihak lain beralih kepada Badan Pelaksana, maka semua perjanjian yang sedang berjalan yang ditandatangani oleh Pertamina secara hukum beralih kepada Badan Pelaksana meskipun tidak ada perubahan kontrak perjanjian;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa dengan berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Migas, menurut Majelis Faktur Pajak Keluaran seharusnya ditujukan kepada "Badan Pelaksana Migas (BP Migas cq PT Pertamina (Persero) LNG Joint Management Group (JMG))" tidak lagi kepada PT Pertamina karena "PT Pertamina bukan Pemilik LNG (pemilik BKP) dan bukan sebagai penerima kuasa pertambangan" sesuai dengan Pasal 4 ayat (3), Pasal 63 Undang-Undang No 22 Tahun 2001 tentang Migas;

Bahwa menurut pendapat Majelis, Faktur Pajak yang dikeluarkan atas nama yang bukan pemilik BKP (PT Pertamina), maka faktur pajak tersebut termasuk Faktur Pajak Cacat yang diterbitkan karena tidak memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Atas Faktur Pajak Cacat tersebut, apabila Pajak Masukannya dikreditkan oleh PT Pertamina, maka berpotensi dapat merugikan keuangan Negara sebesar Pajak Masukan yang tercantum dalam Faktur Pajak Keluaran tersebut;

Bahwa menurut Majelis, penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP) atas Faktur Pajak yang pengisiannya "tidak sesuai" dengan ketentuan Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 oleh Tergugat sudah sesuai dengan Ketentuan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir dengan Undang Nomor 16 Tahun 2009";
[catatan: penebalan dan garis bawah dilakukan oleh Pemohon];
 
 
 
 
 
 
 
 
 
7.
Pemohon berpandangan bahwa STP yang diterbitkan oleh Termohon dan juga Putusan Pengadilan Pajak 66255 telah melanggar ketentuan UUD 1945 dan telah melanggar ketentuan Undang-Undang Migas karena telah didasarkan pada ketentuan Pasal-Pasal yang melanggar ketentuan UUD 1945 dan telah dinyatakan dicabut oleh Mahkamah Konstitusi dan tidak pernah mengikat dalam Undang-Undang Migas;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Dengan demikian telah dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan bahwa Putusan Pengadilan Pajak 66255 telah melanggar ketentuan UUD 1945 dan Undang-Undang Migas karena telah diputuskan dengan menggunakan dasar hukum berupa ketentuan Pasal-Pasal dalam Undang-Undang Migas yang oleh Mahkamah Konstitusi telah dinyatakan melanggar UUD 1945 dan tidak mengikat secara hukum;
 
 
 
 
 
 
 
 
B.
Ketidaksesuaian dan pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang PPN:
 
 
Adapun pandangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak di dalam Putusan Pengadilan Pajak 66255 terkait penerbitan Faktur Pajak Pemohon kepada Pertamina adalah sebagai berikut:

"Bahwa dengan berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Migas, menurut Majelis Faktur Pajak Keluaran seharusnya ditujukan kepada Badan Pelaksana Migas (BP Migas cq PT Pertamina (Persero) LNG Joint Management Group (JMG)) tidak lagi kepada PT Pertamina karena PT Pertamina bukan Pemilik LNG (pemilik BKP) dan bukan sebagai penerima kuasa pertambangan sesuai dengan Pasal 4 ayat (3), Pasal 63 Undang-Undang No 22 Tahun 2001 tentang Migas;

Bahwa menurut pendapat Majelis, Faktur Pajak yang dikeluarkan atas nama yang bukan pemilik BKP (PT Pertamina), maka Faktur Pajak tersebut termasuk Faktur Pajak Cacat yang diterbitkan karena tidak memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Atas Faktur Pajak Cacat tersebut, apabila Pajak Masukannya dikreditkan oleh PT Pertamina, maka berpotensi dapat merugikan keuangan Negara sebesar Pajak Masukan yang tercantum dalam Faktur Pajak Keluaran tersebut;

Bahwa menurut Majelis, penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP) atas Faktur Pajak yang pengisiannya tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 oleh Tergugat sudah sesuai dengan Ketentuan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah beberapa kali dan terakhir dengan Undang Nomor 16 Tahun 2009";

[catatan: penebalan dan garis bawah dilakukan oleh Pemohon];

Berdasarkan pandangan di atas, Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Migas (khususnya Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 63), maka pemilik dari hasil produksi LNG bukanlah Pertamina, melainkan telah beralih kepada BP Migas. Pandangan ini merupakan pandangan yang keliru dan tidak sesuai dengan fakta transaksi;

Sebagaimana telah Pemohon jelaskan dalam bagian Latar Belakang dan Pokok Permasalahan, bahwa bagan proses jasa liquefaction yang dilakukan oleh Pemohon berdasarkan Processing Agreement, adalah sebagai berikut: 
 
Gambar Bagan 2 Transaksi penyediaan jasa liquefaction
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Penjelasan dari diagram tersebut di atas adalah sebagai berikut:
 
 
1.
Pemohon (sesuai dengan tujuan pendiriannya) hanya memberikan jasa liquefaction kepada Produsen, dimana Pemohon menerima pasokan gas alam dari Produsen dan kemudian mengembalikannya kepada Produsen. Terkait dengan pemberian jasa ini, Pemohon kemudian menagihkan biaya-biaya yang diperlukan untuk menjalankan proses liquefaction tersebut kepada Produsen at cost (tanpa mark-up);
 
 
2.
Sebagaimana dijelaskan dalam Processing Agreement bahwa proses penagihan ini akan dilakukan berupa adanya laporan berkala atas seluruh biaya-biaya yang dibutuhkan oleh Pemohon untuk melakukan jasa liquefaction tersebut, dan kemudian Pemohon akan menerima pembayaran (sesuai instruksi Produsen) dari agen pembayaran yang telah ditunjuk;
 
 
3.
Yang dimaksud dengan Produsen berdasarkan Processing Agreement adalah Pertamina dan KKKS (dalam hal ini Mobil Oil Indonesia Inc. atau sekarang dikenal dengan nama BUT Exxon Mobil Oil Indonesia Inc.);
 
 
4.
Mengingat bahwa seluruh hasil alam (termasuk LNG, LPG, dan kondensat yang telah diproduksi oleh Pemohon) tetap berada pada kepemilikan Pemerintah Indonesia sampai dengan titik bagi hasil antara Pemerintah dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), maka dapat dikatakan bahwa penyerahan hasil jasa liquefaction yang dilakukan Pemohon sepenuhnya diserahkan kepada Pemerintah Indonesia (melalui Pertamina sebagai pihak yang terikat dalam perjanjian Processing Agreement tersebut mewakili Pemerintah Republik Indonesia);
 
 
5.
Sesuai dengan mekanisme tersebut di atas, Pemohon telah menerbitkan Faktur Pajak yang ditujukan kepada Pertamina;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Adapun pandangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan bahwa Faktur Pajak tersebut dianggap cacat apabila diterbitkan kepada Pertamina dan bukan kepada BP Migas. Namun demikian, Majelis Hakim Pengadilan Pajak tidak mempertimbangkan bahwa sesuai dengan fakta transaksi berdasarkan perjanjian yang ada (Processing Agreement), tidak pernah terdapat penyerahan apapun kepada BP Migas;

Akibatnya, pandangan Majelis Hakim yang menyatakan bahwa Faktur Pajak tersebut harus diterbitkan kepada BP Migas agar tidak dianggap sebagai Faktur Pajak yang cacat justru malah tidak mencerminkan fakta transaksi yang sebenarnya;

Terkait dengan penerbitan Faktur Pajak, Majelis Hakim Pengadilan Pajak juga tidak mempertimbangkan ketentuan Pasal 13 ayat (9) UU PPN yang mengatur sebagai berikut:
 
 
"(9)
Faktur Pajak harus memenuhi persyaratan formal dan material;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Di dalam bagian Penjelasan Pasal 13 ayat (9), ketentuan di atas dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:

"Ayat (9):
Faktur Pajak memenuhi persyaratan formal apabila diisi secara lengkap, jelas, dan benar sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) atau persyaratan yang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6);

Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak memenuhi persyaratan material apabila berisi keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;

Dengan demikian, walaupun Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sudah memenuhi ketentuan formal dan sudah dibayar Pajak Pertambahan Nilainya, apabila keterangan yang tercantum dalam Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak tersebut tidak memenuhi syarat material";

[catatan: penebalan dan garis bawah dilakukan oleh Pemohon];

Berdasarkan Pasal 13 ayat (9) Undang-Undang PPN dan penjelasannya tersebut di atas, persyaratan utama yang sesungguhnya harus dipenuhi dalam suatu penerbitan Faktur Pajak adalah persyaratan material, yakni terkait apakah Faktur Pajak tersebut telah menggambarkan transaksi yang sebenarnya. Sebagaimana telah Pemohon jelaskan di atas, bahwa fakta transaksi menunjukkan bahwa Produk LNG, LPG, dan kondensat yang dihasilkan Pemohon dikembalikan kepada Produsen (melalui Pertamina) untuk dapat dijual oleh Pertamina. Perlu Pemohon tegaskan bahwa sampai dengan saat ini, Pemohon masih menjalankan proses liquefaction sesuai dengan Processing Agreement yang berlaku, dan belum ada ketentuan lain yang mengamandemen ataupun menggantikan Processing Agreement tersebut;

Dengan demikian, agar dapat memenuhi persyaratan material, Faktur Pajak yang dibuat oleh Pemohon justru seharusnya diterbitkan kepada Pertamina (sesuai dengan fakta transaksi) dan bukan kepada BP Migas. Hal ini telah sesuai dengan penerbitan Faktur Pajak Pemohon selama ini yang telah ditujukan kepada Pertamina;

Pemohon juga ingin menegaskan, bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (9) dan Penjelasannya, Faktur Pajak yang selama ini diterbitkan Pemohon kepada Pertamina justru telah memenuhi ketentuan persyaratan Faktur Pajak yang disyaratkan dalam Undang-Undang PPN dan telah memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat (5) terkait persyaratan informasi apa saja yang harus dicantumkan dalam sebuah Faktur Pajak dan juga telah memenuhi ketentuan Pasal 13 ayat (9) Undang-Undang PPN terkait persyaratan formal dan material dari suatu Faktur Pajak;

Adapun fakta transaksi tersebut di atas pada dasarnya telah dikonfirmasikan oleh Termohon berdasarkan Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-1936/PJ.51/1992 tanggal 30 Oktober 1992 (S-1936) menyebutkan bahwa:
 
 
1.
Dalam usahanya, PT Arun NGL Co. dan PT Badak NGL Co. menerima bahan baku (gas alam) dari kontraktor KPS/Pertamina untuk diolah menjadi barang jadi (liquefaction process) yaitu LNG/LPG, yang kemudian diserahkan kepada Pertamina untuk diekspor;

Sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 juncto Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1988, atas penyerahan jasa pengolahan LNG/LPG dari PT Arun NGL Co. dan PT Badak NGL kepada Pertamina terutang PPN;

Dasar Pengenaan Pajak atas jasa pengolahan tersebut adalah nilai penggantian yang diterima oleh PT Arun NGL Co. dan PT Badak NGL Co. dari Pertamina, walaupun nilai penggantian tersebut berupa penggantian biaya (cost reimbursement) pada hakekatnya penggantian biaya tersebut adalah sama dengan nilai penggantian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf p Undang-Undang PPN 1984;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
2.
Oleh karena PT Arun NGL Co. dan PT Badak NGL Co. berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1988 sebagai pemungut PPN demikian juga Pertamina adalah pemungut PPN, maka atas penyerahan jasa pengolahan LNG/LPG oleh PT Arun NGL Co. dan PT Badak NGL Co., PPN yang terutang diberlakukan sesuai dengan ketentuan umum yaitu PPN dikenakan dan disetor oleh PT Arun NGL Co. dan PT Badak NGL Co;

PPN atas jasa pengolahan LNG/LPG tersebut merupakan Pajak Keluaran bagi PT Arun NGL Co. dan PT Badak NGL Co. dan merupakan Pajak Masukan bagi Pertamina. (Bukan bagi pihak kontraktor KPS atau pihak lainnya);

[catatan: penebalan dan garis bawah dilakukan oleh Pemohon];
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Oleh karenanya, dapat dibuktikan bahwa Putusan Pengadilan Pajak 66255 yang menyatakan bahwa Faktur Pajak Pemohon merupakan Faktur Pajak yang cacat karena telah diterbitkan kepada Pertamina dan bukan kepada BP Migas, merupakan putusan yang justru bertentangan dengan ketentuan Pasal 13 ayat (9) Undang-Undang PPN yang justru mensyaratkan bahwa Faktur Pajak seharusnya dibuat sesuai dengan fakta transaksi yang ada;

Pemohon juga ingin menegaskan bahwa terkait sengketa ini, terdapat pula Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.68373/PP/M.XIB/99/2016 atas nama PT Badak NGL untuk sengketa yang sama, dimana Termohon juga telah menerbitkan STP atas Faktur Pajak yang telah dibuat kepada PT Pertamina berdasarkan asumsi pemahaman Termohon terhadap Undang-Undang Migas;

Namun kemudian, di dalam Putusan tersebut di atas, Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang telah mengadili sengketa tersebut telah memutuskan, antara lain:
 
 
1.
Bahwa Faktur Pajak yang dibuat dan ditujukan kepada PT Pertamina adalah sesuai dengan perjanjian antara Penggugat dengan PT Pertamina;
 
 
2.
Bahwa walaupun Undang-Undang Migas telah diundangkan, di mana dinyatakan PT Pertamina tidak lagi bertindak sebagai pemilik bisnis LNG melainkan sebagai penjual LNG yang ditunjuk oleh BP Migas dan produsen gas kepada pembeli, namun tidak pernah terdapat perubahan atas perjanjian kontrak kerja atas perubahan status PT Pertamina tersebut sampai dengan Tahun 2006 dan tidak terdapat pemberitahuan berkenaan dengan Faktur Pajak yang dibuat oleh Penggugat;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Dengan demikian, Putusan Pengadilan Pajak atas nama PT Badak NGL tersebut kemudian memutuskan bahwa Faktur Pajak yang diterbitkan oleh PT Badak NGL telah diterbitkan sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang PPN. Sebagai bahan pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung, Pemohon menyampaikan Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.68373/PP/M.XIB/99/2016 atas nama PT Badak NGL sebagai Bukti Pemohon-5;

Dengan demikian, Pemohon memohon agar Majelis Hakim Mahkamah Agung dapat membatalkan Putusan Pengadilan Pajak 66255 karena telah melanggar ketentuan Pasal 13 ayat (9) Undang-Undang PPN sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 91 huruf e Undang-Undang Pengadilan Pajak;
 
 
 
 
 
 
 
 
C.
Ketidaksesuaian dengan ketentuan Pasal 1338, Pasal 1339, dan Pasal 1340 KUHPer:
 
 
Adapun ketentuan Pasal 1338, Pasal 1339, dan Pasal 1340 KUHPer mengatur sebagai berikut:

"Pasal 1338:
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya;

Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh Undang-Undang dinyatakan cukup untuk itu.

Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik;


Pasal 1339:
Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau Undang-Undang;

Pasal 1340:
Persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Persetujuan tidak dapat merugikan pihak ketiga; persetujuan tidak dapat memberi keuntungan kepada pihak ketiga selain dalam hal yang ditentukan dalam Pasal 1317";

Memperhatikan fakta transaksi dan ketentuan KUHPer tersebut di atas, Pemohon ingin menyampaikan penjelasan sebagai berikut:
 
 
1.
Pemenuhan ketentuan Pasal 1338 KUHPer:
 
 
 
Processing Agreement merupakan perjanjian yang sah dan mengikat bagi pihak yang membuatnya, antara lain Pemohon dan Pertamina. Sesuai dengan klausul-klausul di dalam Processing Agreement, maka Pemohon memang memiliki kewajiban untuk membuat tagihan komersial yang ditujukan kepada Pertamina;

Ketentuan tersebut jelas mengikat bagi Pemohon dan tidak dapat diabaikan kecuali terdapat kesepakatan dengan Pertamina. Dalam hal ini, Pertamina tidak pernah menginstruksikan bahwa tagihan komersial maupun Faktur Pajak harus ditujukan kepada BP Migas;

Lebih lanjut, dasar hukum yang selama ini digunakan oleh Termohon maupun Majelis Hakim Pengadilan Pajak (yakni Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 63 Undang-Undang Migas) justru tidak dapat diterapkan karena telah melanggar UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat;

Dengan demikian, Putusan Pengadilan Pajak 66255 yang telah menetapkan bahwa Faktur Pajak Pemohon seharusnya diterbitkan kepada BP Migas justru telah melanggar ketentuan Pasal 1338
KUHPer tersebut;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
2.
Pemenuhan ketentuan Pasal 1339 KUHPer:
 
 
 
Ketentuan Pasal 1339 KUHPer pada dasarnya mensyaratkan bahwa pelaksanaan suatu perjanjian juga harus sejalan dengan kepatutan, kebiasaan, dan atau Undang-Undang;

Dalam sengketa yang dihadapi oleh Pemohon, Pemohon tentunya tidak dapat menerbitkan Faktur Pajak kepada BP Migas tanpa memperhatikan fakta transaksi yang sebenar-benarnya (bahwa penyerahan memang ditujukan kepada Pertamina) serta pemenuhan persyaratan formal dan material suatu Faktur Pajak;

Apabila Pemohon menerbitkan Faktur Pajak kepada BP Migas, sebagaimana telah Pemohon jelaskan dalam Butir III Huruf B di atas, Pemohon justru akan melanggar ketentuan Pasal 13 ayat (9) Undang-Undang PPN terkait dengan syarat material suatu Faktur Pajak;

Dengan demikian, Putusan Pengadilan Pajak 66255 yang telah menetapkan bahwa Faktur Pajak Pemohon seharusnya diterbitkan kepada BP Migas justru telah melanggar ketentuan Pasal 1339 KUHPer tersebut;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
3.
Pemenuhan ketentuan Pasal 1340 KUHPer:
 
 
 
Sebagaimana telah kami jelaskan di atas, bahwa Pihak yang bertransaksi dalam Processing Agreement adalah Pemohon dan Pertamina (bukan BP Migas). Dalam hal ini, Pemohon telah menerbitkan Faktur Pajak sesuai dengan apa yang telah disepakati dalam Processing Agreement tersebut;

Mengingat bahwa BP Migas tidak pernah menjadi salah satu Pihak Dalam Perjanjian, apabila Pemohon menerbitkan Faktur Pajak kepada BP Migas, maka Pemohon akan melanggar ketentuan Pasal 1340 KUHPer, karena Perjanjian Processing Agreement tersebut seharusnya hanya berlaku bagi pihak yang membuatnya, dan BP Migas bukanlah pihak yang membuat perjanjian;

Dengan memperhatikan fakta bahwa Processing Agreement tersebut masih berlaku dan tidak pernah direvisi atau diganti dengan perjanjian lainnya, maka tidak ada alasan bagi Pemohon untuk menerbitkan Faktur Pajak di luar kesepakatan yang terjadi di dalam Processing Agreement tersebut;

Merujuk pada penjelasan Pemohon pada Butir III huruf A Peninjauan Kembali ini, bahwa tidak ada dasar hukum ataupun ketentuan regulasi lainnya yang dapat menggantikan kesepakatan yang telah dibuat antara Pemohon dan Pertamina tersebut. Dengan demikian, baik sebelum ataupun setelah penerbitan Undang-Undang Migas, Pertamina tetap merupakan pihak yang bertindak sebagai Pihak dalam Perjanjian, sehingga ketentuan-ketentuan dalam Processing Agreement tersebut seharusnya hanya berlaku bagi Pertamina dan bukan BP Migas;

Dengan demikian, Putusan Pengadilan Pajak 66255 yang telah menetapkan bahwa Faktur Pajak Pemohon seharusnya diterbitkan kepada BP Migas justru telah melanggar ketentuan Pasal 1340 KUHPer tersebut;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Tanpa mengurangi bobot penjelasan kami di atas, sebagaimana telah kami sampaikan pula dalam penjelasan Pemohon di bagian III huruf B di atas, Pemohon mendapati bahwa Pengadilan Pajak telah menerbitkan Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.68373/PP/M.XIB/99/2016 atas nama PT Badak NGL, yang telah memutuskan sebagai berikut:
 
 
1.
Bahwa Faktur Pajak yang dibuat dan ditujukan kepada PT Pertamina adalah sesuai dengan perjanjian antara Penggugat dengan PT Pertamina;
 
 
2.
Bahwa walaupun Undang-Undang Migas telah diundangkan, dimana dinyatakan PT Pertamina tidak lagi bertindak sebagai pemilik bisnis LNG melainkan sebagai penjual LNG yang ditunjuk oleh BP Migas dan produsen gas kepada pembeli, namun tidak pernah terdapat perubahan atas perjanjian kontrak kerja atas perubahan status PT Pertamina tersebut sampai dengan Tahun 2006 dan tidak terdapat pemberitahuan berkenaan dengan Faktur Pajak yang dibuat oleh Penggugat;
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Dari Putusan Pengadilan Pajak tersebut di atas, dapat dilihat bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang telah memeriksa sengketa atas nama PT Badak NGL telah memperhatikan dan menghormati adanya perjanjian antara Penggugat (PT Badak NGL) dan PT Pertamina, sehingga putusannya telah sesuai dengan ketentuan Pasal 1338, Pasal 1339, dan Pasal 1340 KUHPer. Hal ini sangat bertentangan dengan Putusan Pengadilan Pajak 66255 yang sama sekali tidak mempertimbangkan adanya perjanjian yang sah antara Pemohon dan PT Pertamina, sehingga telah melanggar ketentuan Pasal 1338, Pasal 1339, dan Pasal 1340 KUHPer;

Sebagai bahan pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Agung, Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.68373/PP/M.XIB/99/2016 atas nama PT Badak NGL telah Pemohon sampaikan sebagai Bukti Pemohon-5;

Dengan demikian, Pemohon meminta agar Majelis Hakim Agung dapat membatalkan Putusan Pengadilan Pajak 66255 karena telah melanggar ketentuan Pasal 1338, Pasal 1339, dan Pasal 1340 KUHPer sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 91 huruf e Undang-Undang Pengadilan Pajak;
 
 
 
 
 
 
 
III.
KESIMPULAN;
 
Berdasarkan bukti-bukti dan penjelasan yang telah Pemohon sampaikan, dapat disimpulkan bahwa Putusan Pengadilan Pajak 66255 adalah Putusan yang tidak sesuai dan telah melanggar dengan ketentuan perundang-undangan di Indonesia sehingga harus dibatalkan. Adapun ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah dilanggar tersebut adalah sebagai berikut:
 
a.
Putusan Pengadilan Pajak 66255 telah melanggar UUD 1945 dan Undang-Undang Migas karena telah diputuskan dengan menggunakan Pasal-Pasal yang oleh Mahkamah Konstitusi telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat;
 
b.
Putusan Pengadilan Pajak 66255 telah melanggar ketentuan Pasal 13 ayat (9) Undang-Undang PPN karena dengan menyatakan bahwa Faktur Pajak seharusnya diterbitkan kepada BP Migas, hal ini justru akan menyebabkan Faktur Pajak menjadi diterbitkan tidak sesuai dengan fakta transaksi yang ada sehingga melanggar persyaratan material dari suatu Faktur Pajak yang sah;
 
c.
Putusan Pengadilan Pajak 66255 telah melanggar ketentuan Pasal 1338, Pasal 1339, dan Pasal 1340 KUHPer karena Pihak yang terikat dalam perjanjian seharusnya adalah Pemohon dan Pertamina (bukan BP Migas), sehingga Pemohon tidak dapat secara sepihak mengabaikan klausul yang telah diperjanjikan dalam Processing Agreement tersebut dan harus tetap menerbitkan Faktur Pajak sesuai dengan Processing Agreement tersebut (yakni membuat Faktur Pajak yang diterbitkan kepada Pertamina);
 
 
 
 
 
 
 

PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH AGUNG

Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:
1.
Bahwa yang menjadi sengketa dalam gugatan ini adalah penerbitan Keputusan Tergugat Nomor KEP-1814/WPJ.07/2014, tanggal 15 Juli 2014 tentang Pembatalan Ketetapan Pajak atas Surat Tagihan Pajak berdasarkan Pasal 36 ayat (1) huruf c karena Permohonan Wajib Pajak yang tidak disetujui oleh Penggugat;
2.
Bahwa Penggugat (sekarang Pemohon Peninjauan Kembali) menerbitkan Faktur Pajak Keluaran atas jasanya kepada PT Pertamina (Persero) dari tahun 2002 s.d. Februari 2012;
3.
Bahwa menurut Tergugat (sekarang Termohon Peninjauan Kembali) berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, Penggugat tidak boleh menerbitkan Faktur Pajak atas transaksi jasa pengolahan LNG kepada PT Pertamina (Persero), karena bukan untuk perolehan BKP/JKP PT Pertamina (Persero), sehingga Tergugat berpendapat Faktur Pajak yang diterbitkan Penggugat bertentangan dengan Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, karenanya harus dikenakan sanksi sesuai dengan Surat Tagihan Pajak Sanksi Administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang KUP;
4.
Bahwa menurut Penggugat penerbitan Faktur Pajak Keluaran tersebut didasarkan pada Kontrak antara Penggugat dengan PT Pertamina (Persero), sehingga berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”. Faktur Pajak yang diterbitkan oleh Penggugat kepada PT Pertamina (Persero) telah benar dan sesuai dengan Pasal 13 ayat (5) huruf b Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, karena pihak Penerima Jasa Kena Pajak dan pihak Pembayar atas Penggantian Jasa Kena Pajak adalah PT Pertamina (Persero). Oleh karena itu, Faktur Pajak Keluaran tersebut sah secara hukum;
5.
Bahwa berdasarkan fakta hukum di atas terdapat perbedaan penafsiran antara Penggugat dengan Tergugat atas ketentuan Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, sehingga yang menjadi pokok persengketaannya adalah:
6.
Apakah pencantuman PT Pertamina dalam Faktur Pajak Keluaran atas jasa pengolahan LNG PT Pertamina (Persero) bertentangan dengan Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai?
7.
Bahwa alasan-alasan peninjauan kembali yang dikemukakan oleh Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat dibenarkan, karena Judex Facti telah tepat menafsirkan ketentuan Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, dengan pertimbangan sebagai berikut:
8.
Bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang tersebut, badan yang melakukan pengendalian kegiatan usaha hulu di bidang Migas telah beralih kepada Badan Pelaksana Migas, sehingga semua hak dan kewajiban serta akibat hukum yang timbul dari Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) beralih kepada Badan Pelaksana Migas, dan karenanya Faktur Pajak Keluaran seharusnya ditujukan kepada Badan Pelaksana Migas, bukan PT Pertamina (Persero), karena PT Pertamina (Persero) bukan pemilik LNG/bukan untuk perolehan BKP/JKP;
9.
Bahwa oleh karena itu, koreksi Tergugat (sekarang Termohon Peninjauan Kembali) dalam perkara a quo tetap dipertahankan karena telah sesuai dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf e, Pasal 36 ayat (1) huruf c, Penjelasan Pasal 29 ayat (2) Alenia Ketiga Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan jo. Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai jo. Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 63 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi;
 
 
 
 
 
 
 
Bahwa dengan demikian tidak terdapat Putusan Pengadilan Pajak yang nyata-nyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur maksud dalam Pasal 91 huruf e Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali: PT ARUN NATURAL GAS LIQUEFACTION tersebut adalah tidak beralasan, sehingga harus ditolak;

Menimbang, bahwa dengan ditolaknya permohonan peninjauan kembali, maka Pemohon Peninjauan Kembali dinyatakan sebagai pihak yang kalah, dan karenanya dihukum untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali ini;

Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait;
 
 
 
 
 
 
 

MENGADILI

Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali: PT ARUN NATURAL GAS LIQUEFACTION tersebut;

Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan peninjauan kembali ini sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu Rupiah);

Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Selasa, tanggal 7 November 2017 oleh Dr. H. Irfan Fachruddin, S.H., C.N., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Dr. Yosran, S.H., M.Hum. dan Is Sudaryono, S.H., M.H., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota Majelis tersebut dan dibantu oleh Maftuh Effendi, S.H., M.H. Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak.
 
Anggota Majelis
ttd.
Dr. Yosran, S.H., M.Hum.
ttd.
H. Is Sudaryono, S.H., M.H.
Ketua Majelis
ttd.
Dr. Irfan Fachruddin, S.H., C.N.
 
 
 
Panitera Pengganti
ttd.
Maftuh Effendi, S.H., M.H.
Gunakan Akun Perpajakan DDTC
Dapatkan akses harian untuk baca berbagai dokumen di kanal Sumber Hukum

1839/B/PK/PJK/2017