Quick Guide
Hide Quick Guide
- MELAWAN
- RINGKASAN POSITA BANDING
- KETENTUAN FORMAL PENINJAUAN KEMBALI
- ALASAN PENINJAUAN KEMBALI
- PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH AGUNG
- MENGADILI
- MENGADILI KEMBALI
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
|
|||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
|
|||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
MAHKAMAH AGUNG
|
|||||||||||||||||||||||||
Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara:
PT PLN (PERSERO) KANTOR PUSAT, beralamat di Jalan Trunojoyo Blok M 1/135 Melawai, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan;
untuk selanjutnya disebut sebagai Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Banding; |
|||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
MELAWAN |
|||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
DIREKTUR JENDERAL PAJAK, berkedudukan di Jalan Jenderal Gatot Subroto Nomor 4042 Jakarta, dalam hal ini memberi kuasa kepada:
|
|||||||||||||||||||||||||
1.
|
Peni Hirjanto, jabatan Direktur Keberatan dan Banding, Direktorat Jenderal Pajak;
|
||||||||||||||||||||||||
2.
|
Dayat Pratikno, jabatan Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
|
||||||||||||||||||||||||
3.
|
Farchan Ilyas, jabatan Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
|
||||||||||||||||||||||||
4.
|
Ari Murti, jabatan Penelaah Keberatan, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
|
||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
Berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-2841/PJ./2016, tanggal 15 Agustus 2016;
untuk selanjutnya disebut sebagai Termohon Peninjauan Kembali dahulu Terbanding; Mahkamah Agung tersebut; Membaca surat-surat yang bersangkutan; Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Pemohon Banding, telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT-59881/PP/M.IIB/13/2015, tanggal 26 Februari 2015, yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding, dengan posita perkara sebagai berikut: |
|||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
RINGKASAN POSITA BANDING |
|||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
Menimbang, bahwa Pemohon Banding dalam Surat Banding 5918/547/DITKEU/2012 tanggal 13 Agustus 2012, pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
Bahwa sehubungan dengan telah diterbitkannya SK Terbanding Nomor KEP-660/WPJ.19/2012 tanggal 25 Mei 2012 tentang keberatan Pemohon Banding atas SKPKB PPh Pasal 26 Nomor 00006/204/07/051/11 tanggal 30 Juni 2011 untuk Masa Pajak Januari-Desember 2007, yang Pemohon Banding terima tanggal 29 Mei 2012, maka Pemohon Banding mengajukan permohonan banding atas SK Terbanding dengan alasan dan penjelasan sebagai berikut: PENJELASAN UMUM
Bahwa pada tanggal 30 Juni 2011, Kantor Pelayanan Pajak Badan Usaha Milik Negara telah menerbitkan SKPKB PPh Pasal 26 Nomor 00062/203/08/051/11 Masa Pajak Januari-Desember 2007 atas nama PT PLN (Persero) Kantor Pusat dengan perhitungan sebagai berikut: |
|||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
Bahwa atas SKPKB PPh Pasal 26 tersebut, Pemohon Banding mengajukan permohonan keberatan melalui surat Nomor 07210/547/DITKEU/2011 tertanggal 6 September 2011 dengan Bukti Penerimaan Surat Nomor PEM: 01007709/051/sep/2011 tanggal 6 September 2011;
Bahwa atas surat keberatan tersebut telah diterbitkan Surat Keputusan Terbanding Nomor KEP-660/WPJ.19/2012 tanggal 25 Mei 2012, yang isinya menolak seluruh keberatan Pemohon Banding dengan perincian sebagai berikut: |
|||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
PEMENUHAN KETENTUAN FORMAL PENGAJUAN BANDING
Bahwa Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut UU KUP), menyatakan sebagai berikut: “Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1)”; Bahwa selanjutnya Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut "UU Pengadilan Pajak") menyatakan sebagai berikut: "Banding diajukan dengan Surat Banding dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak"; Bahwa Pemohon Banding mengajukan Surat Banding dalam Bahasa Indonesia terhadap Surat Keputusan Keberatan kepada Pengadilan Pajak, dengan demikian, Surat Banding ini telah memenuhi ketentuan formal pengajuan banding berdasarkan Pasal 27 ayat (1) UU KUP dan Pasal 35 ayat (1) UU Pengadilan Pajak; Bahwa Pasal 36 ayat (1), Pasal 36 (2), dan Pasal 36 ayat (3) UU Pengadilan Pajak menyatakan sebagai berikut: |
|||||||||||||||||||||||||
(1)
|
"Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding."
|
||||||||||||||||||||||||
(2)
|
"Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas, dan dicantumkan tanggal diterima surat keputusan yang dibanding."
|
||||||||||||||||||||||||
(3)
|
"Pada Surat Banding dilampirkan salinan Keputusan yang dibanding." Bahwa Pasal 27 ayat (3) UU KUP menyatakan sebagai berikut:
|
||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
"Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas paling lama 3 (tiga) bulan sejak Surat Keputusan Keberatan diterima dan dilampiri dengan salinan Surat Keputusan Keberatan tersebut";
Bahwa Pasal 35 ayat (2) UU Pengadilan Pajak menyatakan sebagai berikut: "Banding diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima Keputusan yang dibanding, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan perpajakan"; Bahwa dalam hal ini, Surat Permohonan Banding ini telah disusun secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas dan diajukan sebelum lewat tiga bulan sejak diterimanya Keputusan Keberatan yang salinannya Pemohon Banding lampirkan dalam surat ini. Dengan demikian, Surat Permohonan Banding Pemohon Banding telah memenuhi ketentuan formal pengajuan banding berdasarkan Pasal 27 ayat (3) UU KUP dan Pasal 35 ayat (2) UU Pengadilan Pajak; bahwa Pasal 36 ayat (4) UU Pengadilan Pajak menyatakan sebagai berikut: "Selain dari persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) serta Pasal 35, dalam hal Banding diajukan terhadap besarnya jumlah pajak yang terutang, Banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50% (lima puluh persen)";
bahwa Pasal 27 ayat (5a), (5b), dan (5c) UU KUP menyatakan sebagai berikut: |
|||||||||||||||||||||||||
(5a)
|
"Dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), ayat (3a), atau Pasal 25 ayat (7), atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding;"
|
||||||||||||||||||||||||
(5b)
|
"Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5a) tidak termasuk sebagai utang pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a)";
|
||||||||||||||||||||||||
(5c)
|
"Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan banding belum merupakan pajak yang terutang sampai dengan Putusan Banding diterbitkan.";
|
||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
Bahwa Pemohon Banding juga telah melunasi pembayaran pajak sebesar Rp316.944.382.730,00 pada tanggal 27 Juli 2011 sesuai dengan jumlah PPh yang masih harus dibayar menurut SKPKB;
Bahwa dengan demikian, Surat Permohonan Banding Pemohon Banding telah memenuhi ketentuan formal pengajuan banding berdasarkan Pasal 27 ayat (5a), (5b) dan (5c) UU KUP maupun Pasal 36 ayat (4) UU Pengadilan Pajak; Bahwa dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas, maka pengajuan Surat Banding atas Keputusan Keberatan di atas, telah dilakukan dalam jangka waktu dan menurut tata cara yang disyaratkan oleh Undang-Undang, khususnya Pasal 27 ayat (1), (3), (5a), (5b), dan (5c) UU KUP serta Pasal 35 ayat (1) dan (2), dan Pasal 36 ayat (1), (2), (3), dan (4) UU Pengadilan Pajak, dengan demikian, surat permohonan banding ini telah memenuhi ketentuan formal pengajuan banding dan dapat diterima oleh Pengadilan Pajak; MATERI POKOK BANDING Bahwa pokok sengketa Pemohon Banding dengan Pihak Pemeriksa dan Pihak Penelaah Keberatan (selanjutnya disebut "Pihak Terbanding") adalah koreksi yang dilakukan oleh pihak Terbanding atas Beban Bunga Obligasi Internasional sebesar Rp1.081.112.049.765,00, yang dikenakan pemotongan PPh Pasal 26 dengan tarif 20% dengan rincian sebagai berikut: |
|||||||||||||||||||||||||
ALASAN DAN DASAR PERMOHONAN BANDING
Koreksi terhadap objek PPh Pasal 26 atas Biaya Bunga Obligasi Internasional sebesar Rp1.081.112.049.765,00 Menurut Pihak Terbanding Menurut Tim Pemeriksa Bahwa koreksi positif sebesar Rp1.081.112.049.765,00 dikarenakan adanya biaya-biaya yang menjadi objek PPh Pasal 26 yang belum dilaporkan menjadi objek PPh Pasal 26; Menurut Tim Penelaah Keberatan Bahwa Penelaah Keberatan menolak seluruhnya permohonan keberatan Pemohon Banding atas koreksi biaya bunga obligasi internasional sebesar Rp1.081.112.049.765,00 dengan alasan sebagai berikut: Bahwa Majapahit Holding BV sesuai dengan SKD/COD merupakan penduduk Negara Belanda tetapi berdasarkan data dan fakta yang ada bukan sebagai Beneficial Owner yang sebenarnya. Pemilik sebenarnya atas penghasilan bunga obligasi internasional tersebut adalah pemegang obligasi internasional yang tersebar di berbagai negara. Majapahit Holding BV semata mata hanyalah perusahaan bertujuan khusus (SPV/Special Purpose Vehicles) yang didirikan untuk menerbitkan obligasi internasional; Bahwa P3B Indonesia-Belanda Pasal 11 ayat (4) menyatakan bahwa syarat untuk dapat dilakukan pemajakan di negara Belanda atas penghasilan bunga obligasi internasional yang diterbitkan oleh Majapahit Holding BV tersebut adalah jika pemilik manfaat dari bunga tersebut merupakan penduduk negara Belanda dan jika bunga tersebut dibayarkan atas utang yang dibuat untuk jangka waktu lebih dari 2 (dua) tahun; Bahwa atas obligasi internasional tersebut telah dicatatkan di Bursa Efek Singapura. Pemegang obligasi bisa kapan saja memperjualbelikan obligasi yang dipegangnya, tidak dipotongnya PPh Pasal 26 atas bunga obligasi internasional Majapahit Holding BV dan Majapahit Finance BV tidak memenuhi persyaratan sebagaimana tersebut di atas; Menurut Pihak Pemohon Banding Bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan koreksi sehubungan dengan Biaya Bunga Obligasi Internasional sebesar Rp1.081.565.949.765,00 dengan alasan sebagai berikut: Bahwa pertama-tama perlu disampaikan bahwa Pemohon Banding membayarkan bunga kepada Majapahit Finance BV dan bukan kepada Majapahit Holding BV (di dalam argumentasinya, Terbanding (Tim Penelaah Keberatan), sebagaimana tersebut di atas, mendasarkan analisanya terhadap Majapahit Holding BV sebagai penerima pendapatan bunga); Bahwa alasan yang dipakai oleh pihak Terbanding dalam menentukan bahwa Majapahit Holding (yang mana seharusnya Majapahit Finance BV) bukan Beneficial Owner dari bunga yang dibayarkan oleh Pemohon Banding tidak berdasarkan fakta yang benar. Perlu Pemohon Banding tambahkan pula bahwa para ahli perpajakan internasional berpendapat Beneficial Owner adalah international tax language sehingga menjadi tidak tepat jika istilah yang tidak diberi definisi kemudian merujuk pada Undang-Undang domestik. Sejumlah pendapat para ahli perpajakan internasional menyebutkan sebagai berikut: |
|||||||||||||||||||||||||
a)
|
Menurut Edwardes-Ker, istilah “Beneficial Owner” adalah international tax language. Karena itu maka pemberian interpretasinya harus menerapkan autonomous approach (du Toit, halaman 173);
|
||||||||||||||||||||||||
b)
|
Dalam Kongres International Fiscal Association Tahun 1998, delegasi dari Swiss berpendapat sebagai berikut:
“... The Beneficial Ownership should be a Treaty concept. The application of Article 3 (2), in other words, the application of given rules in this field of domestic law could in my view undermine Treaty solutions and could also lead to some kind of treaty override. I think that since one grants benefits by way of a Treaty one should also say under what circumstances such benefits will be denied. And this should not be done based on domestic law but on Treaty provisions.”; |
||||||||||||||||||||||||
c)
|
Pendapat di atas juga didukung oleh delegasi dari Belanda, Perancis dan Swedia yang berpendapat bahwa pemberian interpretasi dari ”Beneficial Owner” harus dalam kerangka Treaty;
|
||||||||||||||||||||||||
d)
|
Pendapat di atas juga sesuai dengan pendapat Lang sebagai berikut:
“according to Article 3 (2), a contextual meaning overrides a domestic law meaning if the context so requires. Thus, even though the starting point of Article 3 (2) is the lex fori approach, the context may require a universal meaning to prevail. Therefore, the fact how the phrase, context requiring, is interpreted is of great relevance. The choice between two differing meanings of domestic tax law and of Treaty context depends on how broadly the term context must require a meaning differing from domestic law meaning in order for the contextual meaning to be used (Lang, 2001, halaman 86); |
||||||||||||||||||||||||
e)
|
Prokisch, sangat mendukung pendapat tentang pentingnya “international tax language” untuk mencegah interpretasi yang salah sehingga masing-masing pihak mempunyai pengertian yang sama (du Toit, halaman 182);
|
||||||||||||||||||||||||
f)
|
Du toit (halaman 183) berpendapat bahwa “Beneficial Owner” masuk dalam kategori “international tax language”, yaitu istilah yang tidak diberi definisi di dalam Undang-Undang domestik. Selanjutnya Du Toit melemparkan pertanyaan apakah suatu istilah yang tidak diberi definisi dalam suatu P3B harus diartikan seperti istilah-istilah lain dalam OECD Model yang tidak diberi definisi. Du Toit mengutip pendapat Vogel dalam menjawab pertanyaan tersebut (du Toit, halaman 183), sebagai berikut:
“Where OECD member States conclude tax treaties following the text of the Model Convention, it is presumed that those states want the Treaty provision to convey the meaning intended by the Model Convention and its Commentary, as long as no particular circumstances indicate to the contrary”; |
||||||||||||||||||||||||
g)
|
Vogel (halaman 562) menyatakan bahwa “the first and foremost reason why the term cannot be interpreted by reference to the domestic law of the State applying the Treaty is that none of the national tax systems in question offer a precise definition of the terms 'Beneficial Owner'. The terms must, therefore, be interpreted with reference to the context of the Treaty and particularly with a view to the purpose pursued by the restriction”;
bahwa dengan kata lain, Vogel berpendapat bahwa Beneficial Owner harus diberi arti dalam konteks international tax language meaning dan bukan diperoleh dari ketentuan domestic negara dari negara yang melaksanakan Treaty. Menurut Vogel, hal ini dikarenakan tidak ada suatu sistem perpajakan suatu negara yang mampu menawarkan definisi yang tepat atas definisi Beneficial Owner. Oleh karena itu, menurut Vogel, interpretasi atas Beneficial Owner harus ditafsirkan berdasarkan konteks dari P3B terutama pandangan terhadap tujuan yang ingin dicapai dengan adanya pembatasan dalam P3B;. bahwa dengan mempertimbangkan pemikiran bahwa Beneficial Owner adalah international language, sehingga tidak masuk dalam cakupan Pasal 3 ayat (2) P3B, maka interpretasinya harus merujuk kepada object dan purpose dari P3B secara keseluruhan, ini dilakukan dengan mempertimbangkan ketentuan-ketentuan di dalam P3B dimaksud; bahwa dengan demikian, kesepahaman terlebih dahulu antara kedua negara mengenai pengertian dan definisi Beneficial Owner mutlak diperlukan, dalam hal ini, definisi Beneficial Owner perlu disepakati terlebih dahulu secara bersama-sama antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Belanda; bahwa dengan demikian, pendapat Pihak Terbanding bahwa Majapahit Finance B.V bukan Beneficial Owner atas bunga yang dibayarkan oleh Pemohon Banding sesungguhnya tidak memiliki dasar yang kuat. Pengertian Beneficial Owner tidak dapat didefinisikan secara sepihak oleh pemerintah Indonesia saja, karena aturan/kesepakatan P3B adalah kesepakatan yang melibatkan 2 (dua) Negara. Juga apabila dikaitkan dengan pertanyaan siapa yang lebih berkompetensi di dalam menentukan status Beneficial Owner dari Majapahit Finance B.V, apakah otoritas pajak negara Belanda atau negara Indonesia, maka Pemohon Banding berpendapat, seharusnya otoritas pajak negara Belanda yang lebih berkompetensi, mengingat Majapahit Finance B.V adalah perusahaan yang didirikan di negara Belanda (demikian juga dalam hal penentuan tax residency dari satu perusahaan). Oleh karena itu, dengan mengacu pada Pasal 11 ayat (4) P3B Indonesia dan Belanda serta pemahaman bahwa definisi Beneficial Owner seharusnya disepakati antara Indonesia dan Belanda terlebih dahulu, maka Indonesia tidak memiliki hak pemajakan atas bunga yang dibayarkan oleh Pemohon Keberatan kepada Majapahit Finance BV. Dengan demikian, tidak ada PPh Pasal 26 yang seharusnya terutang di Indonesia karena hak pemajakan sesungguhnya berada di Negara Belanda; |
||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
Bahwa Majapahit Finance B.V merupakan Beneficial Owner dari bunga yang diterima dari Pemohon Banding dan bukan perusahaan yang didirikan tanpa “substance” begitu saja di Negara Belanda;
Bahwa Majapahit Finance B.V merupakan Wajib Pajak Belanda yang dibuktikan dengan penerbitan Surat Keterangan Domisili (SKD) oleh Otoritas Pajak Negara Belanda; Bahwa Majapahit Finance B.V merupakan perusahaan yang didirikan di negara Belanda dan merupakan wajib pajak negara Belanda yang dibuktikan dengan adanya SKD yang diterbitkan oleh Otoritas Pajak Negara Belanda. Disamping itu, Penerbitan SKD oleh Otoritas Pajak Negara Belanda juga mengkonfirmasikan bahwa Majapahit Finance B.V merupakan penduduk (resident) negara Belanda yang berdasarkan Pasal 1 Tax Treaty Indonesia-Belanda berhak untuk menggunakan segala ketentuan yang tercantum di dalam Tax Treaty Indonesia-Belanda, hal ini sejalan dengan Pasal 1 Tax Treaty Indonesia-Belanda yang lebih lanjut menyatakan bahwa “This Agreement shall apply to persons who are residents of one or both of the two States”; Bahwa mempermasalahkan Beneficial Owner Majapahit Finance B.V sama saja dengan mempermasalahkan status residency/penduduk dari Majapahit Finance B.V. Padahal status tersebut telah dikonfirmasi dan dibuktikan dengan penerbitan SKD oleh Otoritas Pajak negara Belanda; Bahwa Majapahit Finance B.V merupakan perusahaan yang berdomisili di Belanda dengan setoran modal pada Tahun 2007 adalah sebesar USD2,005,184,549.00; Bahwa salah satu indikator bahwa Majapahit Finance B.V merupakan perusahaan yang memiliki “substance” adalah dari besarnya jumlah setoran modal/penyetoran pemegang saham; Bahwa dengan nilai setoran modal Tahun 2007 sebesar USD2,005,184,549.00 maka sangat jelas bahwa Majapahit Finance B.V merupakan perusahaan Belanda yang memiliki substance; Bahwa sebagaimana diketahui perusahaan dengan kategori “conduit” atau “paper box” atau “pass through” biasanya memiliki jumlah setoran modal yang relatif kecil (dengan maksud resiko dari pemegang saham juga menjadi kecil); Bahwa pembayaran Bunga kepada Majapahit Finance BV telah memenuhi persyaratan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 11 ayat (4) Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Indonesia-Belanda; bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan koreksi Terbanding atas objek PPh Pasal 26 untuk pembayaran bunga ke Majapahit Finance BV sebesar Rp1.081.112.049.765,00 yang mana oleh Pihak Terbanding ditetapkan terutang PPh Pasal 26 dengan tarif 20%, perlu disampaikan bahwa Majapahit Finance BV adalah sebuah perusahaan yang didirikan di Belanda dan berdomisili di Belanda yang dibuktikan dengan adanya Surat Keterangan Domisili dari Competent Tax Authority Belanda, adapun biaya bunga tersebut berkaitan dengan pemberian utang oleh Majapahit Finance BV kepada Pemohon Banding untuk jangka waktu lebih dari 2 tahun dengan rincian pengembalian jatuh tempo sebagai berikut: |
|||||||||||||||||||||||||
a.
|
16 Oktober 2006-16 Oktober 2011,
|
||||||||||||||||||||||||
b.
|
16 Oktober 2006-16 Oktober 2016,
|
||||||||||||||||||||||||
c.
|
28 Juni 2007-28 Juni 2017,
|
||||||||||||||||||||||||
d.
|
28 Juni 2007-28 Juni 2037;
|
||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
Bahwa karena kewajiban perpajakan transaksi di atas melibatkan otoritas negara yang berbeda (Indonesia dan Belanda), maka analisa perpajakan atas permasalahan ini haruslah didasarkan pada Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Indonesia-Belanda. Pengaturan pembatasan hak pemajakan Otoritas Pajak Indonesia dengan Belanda terkait transaksi Bunga diatur dalam Pasal 11 P3B Indonesia-Belanda. Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) sampai dengan ayat 5 P3B Indonesia-Belanda disebutkan bahwa:
|
|||||||||||||||||||||||||
1.
|
Bunga yang timbul di salah satu Negara dan dibayarkan kepada penduduk Negara lainnya dapat dikenakan pajak di Negara lainnya;
|
||||||||||||||||||||||||
2.
|
Namun demikian, bunga tersebut dapat juga dikenakan pajak di Negara di mana bunga tersebut berasal dan sesuai dengan perundang-undangan Negara tersebut; akan tetapi, apabila pemilik manfaat dari bunga tersebut adalah penduduk Negara lainnya, maka pajak yang dikenakan tidak akan melebihi 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto bunga;
|
||||||||||||||||||||||||
3.
|
Menyimpang dari ketentuan-ketentuan dalam ayat (2), bunga yang timbul di salah satu Negara hanya akan dikenakan pajak di Negara lainnya sepanjang bunga tersebut diperoleh:
|
||||||||||||||||||||||||
4.
|
bahwa menyimpang dari ketentuan-ketentuan dalam ayat (2), bunga yang timbul di salah satu Negara hanya akan dikenakan pajak di Negara lainnya jika pemilik manfaat dari bunga tersebut merupakan penduduk Negara lainnya dan jika bunga tersebut dibayarkan atas utang yang dibuat untuk jangka waktu lebih dari 2 (dua) tahun atau yang dibayarkan sehubungan dengan penjualan kredit perlengkapan industri, dagang atau ilmu pengetahuan;
|
||||||||||||||||||||||||
5.
|
bahwa Pejabat yang berwenang dari kedua Negara melalui persetujuan bersama akan mengatur cara-cara untuk menerapkan ayat (2), 3 dan 4;
|
||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
Bahwa dengan mengacu pada Pasal 11 ayat (4) P3B Indonesia-Belanda, dapat dipahami bahwa bunga yang timbul di Indonesia hanya akan dikenakan pajak di negara Belanda jika pemilik manfaat dari bunga tersebut merupakan penduduk negara Belanda dan jika bunga tersebut dibayarkan atas utang yang dibuat untuk jangka waktu lebih dari 2 (dua) tahun;
Bahwa berdasarkan pemahaman di atas, dapat diketahui bahwa hak pemajakan atas bunga yang timbul tidak berada pada Indonesia, jika transaksi bunga tersebut memenuhi persyaratan kumulatif sebagai berikut: |
|||||||||||||||||||||||||
1)
|
Pemilik manfaat dari bunga tersebut merupakan penduduk negara Belanda dan,
|
||||||||||||||||||||||||
2)
|
Bunga tersebut dibayarkan atas utang yang dibuat untuk jangka waktu lebih dari 2 (dua) tahun;
|
||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
Bahwa merujuk pada pemahaman di atas, dapat diketahui bahwa transaksi pembayaran bunga pinjaman Pemohon Banding kepada Majapahit Finance BV sesungguhnya telah memenuhi kedua persyaratan kumulatif tersebut di atas di mana Majapahit Finance BV merupakan pemilik manfaat dari bunga tersebut (yang mana bunga tersebut tidak dibiayakan sebagai bunga kepada pihak lain, tetapi sebagai dividen kepada pemegang saham) Majapahit Finance BV merupakan penduduk Negara Belanda yang dibuktikan dengan diterbitkannya Surat Keterangan Domisili oleh Competent Tax Authority Belanda dan bunga yang dibayarkan Pemohon Banding kepada Majapahit Finance BV terkait dengan utang yang dibuat untuk jangka waktu lebih dari 2 (dua) tahun;
Bahwa alasan pihak Terbanding yang mengaitkan dengan fakta bahwa obligasi internasional tersebut telah dicatatkan di Bursa Efek Singapura sehingga Pemegang Obligasi bisa kapan saja memperjualbelikan obligasi yang dipegangnya, adalah tidak relevan dengan sengketa ini. Hal ini dikarenakan obligasi internasional yang diperdagangkan di Bursa Efek Singapura adalah obligasi yang diterbitkan oleh Majapahit Holding BV, sementara sengketa ini terkait dengan pinjaman Pemohon Banding dari Majapahit Finance BV (dan bukan dari Majapahit Holding BV); KESIMPULAN Bahwa berdasarkan uraian dan penjelasan Pemohon Banding di atas, maka pengenaan PPh Pasal 26 atas Biaya Bunga Obligasi Internasional ke Majapahit Finance BV dengan tarif 20% sebagaimana tersebut di atas harus dibatalkan. Dengan demikian, Surat Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP 660/WPJ.19/2012 Tanggal 25 Mei 2012 seharusnya memuat perincian sebagai berikut sehingga diperoleh Jumlah PPh yang lebih dibayar sebesar Rp316.944.382.730,00: |
|||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
Menimbang, bahwa amar Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT-59881/PP/M.IIB/13/2015, tanggal 26 Februari 2015, yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut:
MENGADILI
Menyatakan menolak banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-660/WPJ.19/2012 tanggal 25 Mei 2012, tentang keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 26 Masa Pajak Januari sampai dengan Desember 2007 Nomor 00006/204/07/051/11 tanggal 30 Juni 2011, atas nama: PT. PLN (Persero) Kantor Pusat, NPWP 01.001.629.3051.000, beralamat di Jalan Trunojoyo Blok M 1/135 Melawai, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12160;
|
|||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
KETENTUAN FORMAL PENINJAUAN KEMBALI |
|||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT-59881/PP/M.IIB/13/2015, tanggal 26 Februari 2015, diberitahukan kepada Pemohon Banding pada tanggal 31 Mei 2015, kemudian terhadapnya oleh Pemohon Banding diajukan permohonan peninjauan kembali secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada tanggal 23 Juni 2015, dengan disertai alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal itu juga;
Menimbang, bahwa tentang permohonan Peninjauan Kembali tersebut telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada tanggal 26 Agustus 2016, kemudian terhadapnya oleh pihak lawannya diajukan Jawaban yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 26 Agustus 2016; Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasan-alasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka permohonan peninjauan kembali tersebut secara formal dapat diterima; |
|||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
ALASAN PENINJAUAN KEMBALI |
|||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan-alasan Peninjauan Kembali yang pada pokoknya sebagai berikut:
POKOK SENGKETA Di bawah ini Pemohon Peninjauan Kembali akan menguraikan alasan-alasan Permohonan Peninjauan Kembali bahwa sudah semestinya Putusan Pengadilan Pajak tersebut dibatalkan oleh Majelis Hakim Agung pada Mahkamah Agung yang mulia dan selanjutnya Majelis Hakim Agung yang mulia mengabulkan permohonan peninjauan kembali Pemohon Peninjauan Kembali untuk seluruhnya; |
|||||||||||||||||||||||||
1.
|
Di bawah ini Pemohon Peninjauan Kembali akan mengutip pertimbangan-pertimbanganhukum dari Majelis Hakim Pengadilan Pajak dan memberikan uraian-uraian mengenai alasan-alasan Pemohon Peninjauan Kembali mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.59881/PP/M.IIB/13/2015 tanggal 26 Februari 2015;
|
||||||||||||||||||||||||
2.
|
Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali dengan tegas menolak semua dalil yang dikemukakan oleh Termohon Peninjauan Kembali, semula Terbanding, termasuk dalam Surat Uraian Bandingnya, kecuali yang kebenarannya diakui secara tegas oleh Pemohon Peninjauan Kembali dalam Memori Peninjauan Kembali ini;
|
||||||||||||||||||||||||
3.
|
Bahwa sebagaimana yang akan diuraikan di bawah ini pertimbangan-pertimbanganhukum dan kesimpulankesimpulan Majelis Hakim Pengadilan Pajak dalam perkara a quo nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
Uraian di bawah ini menjelaskan pertimbangan-pertimbangan hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; |
||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
|
3.1.A.
|
Pendapat Majelis Hakim Pengadilan Pajak
|
|||||||||||||||||||||||
|
|
a.
|
bahwa dalam memutus sengketa banding a quo, Majelis berlandaskan ketentuan peraturan perundangan yang terkait dari fakta-fakta persidangan sebagai berikut:
Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang PPh sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2000 (UU PPh); bahwa dalam Pasal 26 ayat (1) UU PPh diatur bahwa atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, yang dibayarkan atau yang terutang oleh Badan Pemerintah, Subyek Pajak dalam negeri, penyelenggara Badan kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan:
|
||||||||||||||||||||||
|
|
|
a)
|
dividen,
|
|||||||||||||||||||||
|
|
|
b)
|
bunga termasuk: premium, diskonto, premi swap, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian hutang,
|
|||||||||||||||||||||
|
|
|
c)
|
royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta,
|
|||||||||||||||||||||
|
|
|
d)
|
imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan;
|
|||||||||||||||||||||
|
|
|
e)
|
hadiah dan penghargaan,
|
|||||||||||||||||||||
|
|
|
f)
|
pensiunan dan pembayaran berkala lainnya;
|
|||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
|
|
b.
|
Ketentuan Tax Treaty (P3B) tanggal 29 Januari 2002
bahwa berdasarkan Pasal 11 P3B antara Pemerintah Indonesia dan Belanda dinyatakan sebagai berikut: |
||||||||||||||||||||||
|
|
|
1.
|
Bunga yang timbul di salah satu Negara dan dibayarkan kepada penduduk Negara lainnya dapat dikenakan pajak di Negara lainnya;
|
|||||||||||||||||||||
|
|
|
2.
|
Namun demikian, bunga tersebut dapat juga dikenakan pajak di Negara di mana bunga tersebut berasal dan sesuai dengan perundang-undangan Negara tersebut; akan tetapi, apabila pemilik manfaat dari bunga tersebut adalah penduduk Negara lainnya, maka pajak yang dikenakan tidak akan melebihi 10% (sepuluh persen) dan jumlah bruto bunga;
|
|||||||||||||||||||||
|
|
|
3.
|
Menyimpang dari ketentuan-ketentuan dalam ayat (2), bunga yang timbul di salah satu Negara hanya akan dikenakan pajak di Negara lainnya sepanjang bunga tersebut diperoleh:
|
|||||||||||||||||||||
|
|
|
|
a)
|
Pemerintah Negara lainnya, termasuk bagian ketatanegaraannya dan pemerintah daerahnya; atau
|
||||||||||||||||||||
|
|
|
|
b)
|
Bank Sentral Negara lainnya; atau
|
||||||||||||||||||||
|
|
|
|
c)
|
Lembaga keuangan yang dimiliki atau dikendalikan oleh Pemerintah Negara lainnya termasuk bagian ketatanegaraannya dan pemerintah daerahnya; atau
|
||||||||||||||||||||
|
|
|
|
d)
|
setiap penduduk Negara lainnya sehubungan dengan piutang yang dijamin oleh Pemerintah Negara lainnya termasuk bagian ketatanegaraannya dan pemerintah daerahnya, Bank Sentral Negara lainnya, atau setiap lembaga keuangan yang dimiliki atau dikendalikan oleh Pemerintah tersebut;
|
||||||||||||||||||||
|
|
|
4.
|
Menyimpang dari ketentuan-ketentuan dalam ayat (2), bunga yang timbul di salah satu Negara hanya akan dikenakan pajak di Negara lainnya jika pemilik manfaat dari bunga tersebut merupakan penduduk Negara lainnya dan jika bunga tersebut dibayarkan atas utang yang dibuat untuk jangka waktu lebih dari 2 (dua) tahun atau yang dibayarkan sehubungan dengan penjualan kredit perlengkapan industri, dagang, atau ilmu pengetahuan;
|
|||||||||||||||||||||
|
|
|
5.
|
Pejabat yang berwenang dari kedua Negara melalui persetujuan bersama akan mengatur cara-cara untuk menerapkan ayat 2, 3, dan 4;
|
|||||||||||||||||||||
|
|
|
6.
|
Istilah "bunga" sebagaimana digunakan dalam Pasal ini berarti penghasilan dari semua jenis tagihan piutang, baik yang dijamin dengan hipotik maupun tidak, dan baik yang mempunyai hak atas pembagian laba maupun tidak, dan khususnya, penghasilan dari sekuritas yang diterbitkan oleh pemerintah dan penghasilan dari surat-surat obligasi atau surat-surat utang, termasuk premi dan hadiah yang melekat pada sekuritas, obligasi, atau surat utang tersebut. Untuk kepentingan Pasal ini, denda atas keterlambatan pembayaran tidak dianggap sebagai bunga. Lebih lanjut, istilah "bunga" juga mencakup penghasilan yang diatur dalam Pasal 10;
|
|||||||||||||||||||||
|
|
|
7.
|
ketentuan-ketentuan dalam ayat (1) dan 2 tidak akan berlaku apabila penerima bunga tersebut, yang merupakan penduduk salah satu Negara, mempunyai bentuk usaha tetap di Negara lainnya di mana bunga tersebut timbul dan tagihan piutang yang menghasilkan bunga tersebut mempunyai hubungan efektif dengan bentuk usaha tetap tersebut. Dalam hal demikian, ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 akan berlaku;
|
|||||||||||||||||||||
|
|
|
8.
|
Bunga dianggap timbul di salah satu Negara apabila pihak yang membayar bunga tersebut adalah Negara itu sendiri, bagian ketatanegaraannya, pemerintah daerahnya,atau penduduk Negara tersebut. Namun demikian, apabila orang/badan yang membayar bunga tersebut, tanpa memandang apakah ia penduduk salah satu Negara atau tidak, mempunyai bentuk usaha tetap di salah satu Negara yang kemudian mempunyai utang sehingga menimbulkan biaya bunga, dan bunga tersebut menjadi beban bentuk usaha tetap tersebut, maka bunga tersebut akan dianggap timbul di Negara di mana bentuk usaha tetap tersebut berada;
|
|||||||||||||||||||||
|
|
|
9.
|
Apabila karena alasan adanya hubungan istimewa antara pembayar dan penerima bunga atau antara keduanya dan orang/badan lain, jumlah bunga yang dibayarkan, dengan memperhatikan besarnya utang yang menghasilkan bunga tersebut, melebihi jumlah yang seharusnya disepakati antara pembayar dan penerima bunga seandainya mereka tidak mempunyai hubungan istimewa, maka ketentuan-ketentuan dalam Pasal ini akan berlaku hanya atas jumlah yang disebutkan terakhir tersebut. Dalam hal demikian, jumlah kelebihan pembayaran tersebut akan tetap dikenakan pajak sesuai dengan perundang-undangan Negara masing-masing dengan tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan lainnya dalam Persetujuan ini;
|
|||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
|
|
c.
|
bahwa dalam Pasal 11 ayat (2) diatur bahwa Namun demikian, bunga tersebut dapat juga dikenakan pajak di Negara di mana bunga tersebut berasal dan sesuai dengan perundang-undangan negara tersebut; akan tetapi, apabila pemilik manfaat dari bunga tersebut adalah penduduk Negara lainnya, maka pajak yang dikenakan tidak akan melebihi 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto bunga;
|
||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
|
|
d.
|
bahwa sesuai dengan Pasal 11 ayat (4) diatur bahwa Menyimpang dari ketentuan-ketentuan ayat (2), bunga yang timbul di salah satu negara, hanya akan dikenakan pajak di Negara lainnya jika memenuhi syarat akumulatif sebagai berikut:
|
||||||||||||||||||||||
|
|
|
◾
|
jika pemilik manfaat (Beneficial Owner (BO)) dari bunga tersebut merupakan penduduk negara lainnya dan
|
|||||||||||||||||||||
|
|
|
◾
|
jika bunga tersebut dibayarkan atas utang yang dibuat untuk jangka waktu lebih dari 2 (dua) tahun atau yang dibayarkan sehubungan dengan penjualan kredit perlengkapan industri, dagang, atau ilmu pengetahuan;
|
|||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
|
|
e.
|
bahwa menurut Majelis, kedua kondisi tersebut perlu diteliti secara cermat, agar P3B dapat diterapkan dengan sebenar-benarnya dan mengingat hak pemajakan Negara Indonesia amat ditentukan oleh pemenuhan kondisi-kondisi tersebut, menurut ketentuan Pasal 11 ayat (4) apabila terdapat kondisi yang tidak terpenuhi, Indonesia masih mempunyai hak pemajakan atas penghasilan bunga sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 11 ayat (2);
|
||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
|
|
f.
|
bahwa makna yang diatur dalam ketentuan Pasal 11 ayat (2) P3B Indonesia-Belanda yaitu:
|
||||||||||||||||||||||
|
|
|
◾
|
Indonesia berhak mengenakan pajak atas bunga sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di Indonesia, di mana Indonesia dapat mengenakan tarif PPh sebesar 20% sesuai Pasal 26 Undang-Undang PPh;
|
|||||||||||||||||||||
|
|
|
◾
|
Namun, apabila penerima manfaat atas penghasilan bunga (Beneficial Owner) adalah penduduk Belanda, pajak yang dikenakan tidak boleh melebihi 10% dari jumlah bruto bunga;
|
|||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
|
|
g.
|
bahwa dengan demikian ketentuan Pasal 11 ayat (2) dan (4) P3B Indonesia-Belanda tersebut sangat jelas mengatur hak pemajakan Indonesia, apabila penerima manfaat bunga bukan pihak yang secara substansial nyata-nyata merupakan pemilik manfaat yang sesungguhnya (Beneficial Owner), maka Indonesia dapat mengenakan pajak dengan tarif 20% sesuai dengan Pasal 26 UU PPh;
|
||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
|
|
h.
|
bahwa mengingat sengketa ini berkaitan dengan perkara siapa yang berkedudukan sebagai Beneficial Owner (BO) dan untuk selanjutnya disebut BO, dalam pembayaran Bunga Obligasi Internasional, Majelis juga mempertimbangkan Pengertian Beneficial Owner sebagai berikut:
|
||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
|
|
i.
|
bahwa Berdasarkan Bab II Definisi-Definisi, Pasal 3 Pengertian pengertian umum ayat (2) P3B antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Kerajaan Belanda diatur bahwa untuk kepentingan penerapan Persetujuan setiap saat oleh salah satu Negara pihak pada Persetujuan, setiap istilah yang tidak didefinisikan dalam persetujuan ini, kecuali jika dari hubungan kalimatnya harus diartikan lain, mempunyai suatu arti yang sesuai dengan perundang-undangan Negara tersebut yang berkenaan dengan pajak-pajak di mana Persetujuan itu berlaku, dengan ketentuan bahwa setiap arti yang didasarkan pada Undang-Undang perpajakan Negara tersebut mengalahkan arti yang didasarkan pada perundang-undangan lainnya dari Negara tersebut;
|
||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
|
|
j.
|
bahwa menurut Majelis, dari Pasal 3 ayat (2) P3B Indonesia-Belanda tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa:
|
||||||||||||||||||||||
|
|
|
1.
|
istilah yang tidak didefinisikan atau tidak ada batasan dalam P3B Indonesia-Belanda mempunyai makna sesuai dengan ketentuan perpajakan domestik negara yang bersangkutan;
|
|||||||||||||||||||||
|
|
|
2.
|
bahwa istilah Beneficial Owner tidak ditemukan definisinya dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Kerajaan Belanda;
|
|||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
|
3.1.B.
|
Pendapat Pemohon Peninjauan Kembali
|
|||||||||||||||||||||||
|
|
Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang menyatakan bahwa definisi BO dapat mengikuti pengaturan berdasarkan ketentuan perpajakan yang berlaku di Indonesia dengan merujuk kepada Pasal 3 ayat (2) P3B Indonesia-Belanda adalah tidak tepat. Adapun istilah BO antara lain tertuang/digunakan di dalam Pasal 11 ayat (2) dan ayat (4) dari P3B Indonesia-Belanda. Penerapan Pasal 11 ayat (2) dan ayat (4) tidak terlepas dari pengaturan di dalam Pasal 11 ayat (5) P3B yang menyatakan mengenai pejabat yang berwenang dari kedua negara, melalui persetujuan bersama akan mengatur cara-cara untuk menerapkan ayat (2), (3), dan (4);
Jadi berdasarkan Pasal 11 ayat (5) tersebut, nampak bahwa definisi BO tidak dapat ditetapkan secara sepihak oleh suatu negara berdasarkan Undang-Undang domestiknya. Hal ini sejalan dengan pendapat para ahli yang antara lain mengatakan: |
|||||||||||||||||||||||
|
|
a.
|
Menurut EdwardesKer, istilah “Beneficial Owner” adalah international tax language. Karena itu maka pemberian interpretasinya harus menerapkan autonomous approach (du Toit, halaman 173);
|
||||||||||||||||||||||
|
|
b.
|
Pendapat di atas juga sesuai dengan pendapat Lang sebagai berikut:
“according to Article 3 (2), a contextual meaning overrides a domestic law meaning if the context so requires. Thus, even though the starting point of Article 3 (2) is the lex fori approach, the context may require a universal meaning to prevail. Therefore, the fact how the phrase, context requiring, is interpreted is of great relevance. The choice between two differing meanings of domestic tax law and of Treaty context depends on how broadly the term context must require a meaning differing from domestic law meaning in order for the contextual meaning to be used (Lang, 2001, halaman 86); |
||||||||||||||||||||||
|
|
c.
|
Prokisch, sangat mendukung pendapat tentang pentingnya “international tax language” untuk mencegah interpretasi yang salah sehingga masing-masing pihak mempunyai pengertian yang sama (du Toit, halaman 182);
|
||||||||||||||||||||||
|
|
d.
|
Du toit (hal 183) berpendapat bahwa “Beneficial Owner” masuk dalam kategori “international tax language”, yaitu istilah yang tidak diberi definisi di dalam Undang-Undang domestik. Selanjutnya Du Toit melemparkan pertanyaan apakah suatu istilah yang tidak diberi definisi dalam suatu P3B harus diartikan seperti istilah-istilah lain dalam OECD Model yang tidak diberi definisi. Du Toit mengutip pendapat Vogel dalam menjawab pertanyaan tersebut (du Toit, halaman 183), sebagai berikut:
“Where OECD member States conclude tax treaties following the text of the Model Convention, it is presumed that those states want the Treaty provision to convey the meaning intended by the Model Convention and its Commentary, as long as no particular circumstances indicate to the contrary.”; |
||||||||||||||||||||||
|
|
e.
|
Vogel (hal 562) menyatakan bahwa “the first and foremost reason why the term cannot be interpreted by reference to the domestic law of the State applying the Treaty is that none of the national tax systems in question offer a precise definition of the terms ‘Beneficial Owner’. The terms must, therefore, be interpreted with reference to the context of the Treaty and particularly with a view to the purpose pursued by the restriction”;
Dengan kata lain, Vogel berpendapat bahwa Beneficial Owner harus diberi arti dalam konteks international tax language meaning dan bukan diperoleh dari ketentuan domestik negara dari negara yang melaksanakan Treaty. Menurut Vogel, hal ini dikarenakan tidak ada suatu sistem perpajakan suatu negara yang mampu menawarkan definisi yang tepat atas definisi Beneficial Owner. Oleh karena itu, menurut Vogel, interpretasi atas Beneficial Owner harus ditafsirkan berdasarkan konteks dari P3B terutama pandangan terhadap tujuan yang ingin dicapai dengan adanya pembatasan dalam P3B; Dengan mempertimbangkan pemikiran bahwa “Beneficial Owner” adalah international language, sehingga tidak masuk dalam cakupan Pasal 3 ayat (2) P3B, maka interpretasinya harus merujuk kepada object dan purpose dari P3B secara keseluruhan. Ini dilakukan dengan mempertimbangkan ketentuan-ketentuan di dalam P3B dimaksud; Dengan demikian, kesepahaman terlebih dahulu antara kedua negara mengenai pengertian dan definisi Beneficial Owner mutlak diperlukan. Dalam hal ini, definisi Beneficial Owner perlu disepakati terlebih dahulu secara bersama-sama antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Belanda; Dengan demikian, pendapat Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang menyatakan bahwa istilah yang tidak didefinisikan atau tidak ada batasan dalam P3B Indonesia-Belanda mempunyai makna sesuai dengan ketentuan perpajakan domestik negara yang bersangkutan, adalah tidak tepat. Hal ini karena definisi Beneficial Owner perlu disepakati terlebih dahulu secara bersama-sama antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Belanda; |
||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
|
4.2.A.
|
Pendapat Majelis Pengadilan Pajak
|
|||||||||||||||||||||||
|
|
-
|
bahwa Majelis juga memperhatikan pengertian Beneficial Owner, menurut ketentuan Negara Indonesia adalah sebagai berikut:
|
||||||||||||||||||||||
|
|
|
a.
|
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.34/2005 tanggal 07 Juli 2005 tentang Petunjuk Penerapan Kriteria Beneficial Owner Sebagaimana Tercantum Dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda antara Indonesia dengan Negara Lainnya juncto Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE 03/PJ.03/2008 tanggal 22 Agustus 2008 tentang Penentuan Status Beneficial Owner sebagaimana dimaksud dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Indonesia dengan negara mitra dijelaskan bahwa:
|
|||||||||||||||||||||
|
|
|
|
1)
|
Beneficial Owner adalah pemilik yang sebenarnya dari penghasilan berupa dividen, bunga, dan/atau royalti yang berhak sepenuhnya untuk menikmati secara langsung manfaat penghasilan-penghasilan tersebut.
|
||||||||||||||||||||
|
|
|
|
2)
|
Dengan demikian, maka Special Purpose Vehicles dalam bentuk conduit company, paper box company, pass-through company serta sejenis lainnya, tidak termasuk dalam pengertian Beneficial Owner;
|
||||||||||||||||||||
|
|
|
b.
|
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-62/PJ./2009 tanggal 05 November 2009 tentang Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda jo, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ./2010 tanggal 30 April 2010 tentang Perubahan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-62/PJ./2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dijelaskan bahwa Beneficial Owner adalah pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis dari penghasilan, yaitu penerima penghasilan yang:
|
|||||||||||||||||||||
|
|
|
|
1)
|
Bertindak tidak sebagai agen;
|
||||||||||||||||||||
|
|
|
|
2)
|
Bertindak tidak sebagai nominee; dan
|
||||||||||||||||||||
|
|
|
|
3)
|
Bukan perusahaan conduit;
|
||||||||||||||||||||
|
|
-
|
bahwa pengertian Beneficial Owner, menurut ketentuan Negara Belanda adalah sebagai berikut: (sumber dari buku "Beneficial Ownership of Royalties in Billateral Treaty" yang ditulis oleh Carl P du Toil) dijelaskan bahwa:
Underminister Of Finance responded on the term of Beneficial Owner: |
||||||||||||||||||||||
|
|
|
●
|
Application of certain Treaty provision is not always warranted based on apparent circumstances, but these provision are only applicable if the taxpayers is the ultimate, i.e. the real beneficiary of the income; Back to back structure does not result in entitlement to Treaty application, In that light it is not necessary to provide for more precise description of the term "Beneficial Owner". Incidentally, in such cases, the factual circumstance of each individual case are of crucial importance, which make 1t difficult to provide more precise description;
|
|||||||||||||||||||||
|
|
|
●
|
(the meaning of) the term "Beneficial Owner" in international tax law is strongly determined by factual circumstances. It is therefore not possible to give further meaning to this term in a general manner. Recommendations in this area therefore completely lacking in the OECD model convention;
|
|||||||||||||||||||||
|
|
|
●
|
The Netherland takes the viewpoint that a person cannot be considered the Beneficial Owner if he is; for example, contractually obliged to pay the largest part of the income to third parties;
|
|||||||||||||||||||||
|
|
-
|
bahwa di dalam paragraph 9 Commentary dari Pasal 11 OECD Model Tax Convention on Income and on Capital July 2005, dijelaskan bahwa: The term "Beneficial Owner" is not used in a narrow technical sense, rather, it should be understood in its context and in light of the object and purposes of the Convention, including avoiding double taxation and the prevention of fiscal evasion and avoidance;
|
||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
|
3.2.B.
|
Pendapat Pemohon Peninjauan Kembali
|
|||||||||||||||||||||||
|
|
Adapun rujukan Majelis Hakim Pengadilan Pajak kepada Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-62/PJ./2009 tanggal 05 November 2009 tentang Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda juncto, Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ./2010 tanggal 30 April 2010 adalah tidak tepat untuk sengketa ini karena sengketa ini adalah untuk tahun pajak 2008 sedangkan kedua peraturan tersebut di atas berlaku sejak tanggal 1 Januari 2010;
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa sengketa ini adalah atas pembayaran bunga oleh Pemohon Peninjauan Kembali kepada MFBV. Di dalam persidangan telah dapat dibuktikan keabsahan atas transaksi tersebut yang didukung dengan adanya perjanjian Intercompany loan Agreement antara Pemohon Peninjauan Kembali dengan MFBV, dokumen tentang pembayaran bunga oleh Pemohon Peninjauan Kembali untuk akun MFBV dan SKD atas nama MFBV;
Apabila merujuk kepada peraturan perpajakan yang sekarang berlaku, yaitu Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-61/PJ/2009 (PER-61),Per 62/PJ/2009 (PER-62), Per24/PJ/2010 (Per24) dan PER-25/PJ/2010 |
|||||||||||||||||||||||
|
|
1.
|
Pembentukan perusahaan dan/atau struktur transaksi tidak dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan dari Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda.
|
||||||||||||||||||||||
|
|
2.
|
Perusahaan memiliki manajemennya sendiri dalam menjalankan bisnis dan manajemen tersebut memiliki kewenangannya sendiri.
|
||||||||||||||||||||||
|
|
3.
|
Perusahaan memiliki karyawannya sendiri.
|
||||||||||||||||||||||
|
|
4.
|
Perusahaan menjalankan usaha aktif.
|
||||||||||||||||||||||
|
|
5.
|
Penghasilan yang diperoleh perusahaan telah dikenakan pajak di negara yang bersangkutan.
|
||||||||||||||||||||||
|
|
6.
|
Tidak lebih dari 50% dari pendapatan yang diterima perusahaan digunakan untuk melakukan pembayaran kepada pihak lain dalam bentuk bunga, royalti dan kompensasi lainnya;
|
||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
|
|
Adalah pengertian Wajib Pajak bahwa seluruh pengaturan tersebut di atas dan persyaratan adanya Form DGT-1 dengan enam pertanyaan tersebut di atas dimaksudkan untuk meyakinkan pihak Termohon Peninjauan Kembali (Direktorat Jenderal Pajak) bahwa hal-hal mengenai masalah penyalahgunaan P3B, masalah Beneficial Owner (BO) dan perusahaan perantara (Tax Treaty) telah teratasi;
Dalam hal income receiver menyerahkan Form DGT-1 kepada wajib pajak Indonesia (income payor) di mana seluruh enam pertanyaan tersebut di jawab ”Yes”, maka peraturan-peraturan tersebut di atas tidak mengatur mengenai kewajiban bagi wajib pajak Indonesia tersebut untuk memverifikasi apakah jawaban ”Yes” atas keenam pertanyaan tersebut sudah benar. Jadi jiwa dari peraturan-peraturan yang sekarang berlaku tersebut adalah memberikan kepercayaan kepada pihak wajib pajak luar negeri sebagai income receiver untuk menentukan apakah seluruh enam persyaratan tersebut telah terpenuhi atau tidak. Apabila ada keraguan dari sisi Termohon Peninjauan Kembali apakah jawaban yang diberikan oleh wajib pajak luar negeri tersebut telah benar, maka Termohon Peninjauan Kembali dapat menggunakan mekanisme ”exchange of information” (sebagaimana diatur di dalam P3B terkait) untuk memverifikasi dengan pihak otoritas perpajakan dari negara terkait mengenai keabsahan/kebenaran atas jawaban dari ke enam pertanyaan tersebut di atas; Dalam sengketa ini bahkan pihak Pemohon Peninjauan Kembali telah mendapatkan surat dari pihak otoritas pajak di negara Belanda yang menyatakan bahwa MFBV adalah Beneficial Owner dari bunga yang dibayarkan oleh Pemohon Banding, yaitu melalui surat konfirmasi tertanggal 22 Desember 2006 (lampiran Bukti PK12) yang diterbitkan oleh otoritas pajak Belanda yang menyatakan bahwa MFBV merupakan “pemilik yang sebenarnya” (Beneficial Owner) sehubungan dengan bunga yang bersumber dari Indonesia (dalam hal ini pendapatan bunga dari Pemohon Banding). Perlu ditambahkan bahwa pihak yang berkompetensi untuk menetapkan apakah MFBV adalah Beneficial Owner dari pendapatan bunga yang dibayarkan oleh Pemohon Peninjauan Kembali adalah Otoritas Perpajakan di negara Belanda (sebagaimana dijelaskan di atas bahwa jiwa dari peraturan perpajakan Nomor PER-61, PER-62, PER-24 dan PER-25 adalah memberikan kepercayaan kepada pihak penerima pendapatan (income receiver) untuk menentukan apakah mereka telah memenuhi seluruh persyaratan sebagaimana diatur dalam bentuk enam pertanyaan tersebut di atas). di dalam mengklarifikasikan mengenai status BO dari MFBV sebagaimana yang dinyatakan oleh Otoritas Perpajakan di negara Belanda, pihak Termohon Peninjauan Kembali dapat menggunakan Pasal 28 dari P3B antara Indonesia-Belanda tentang “Exchange of information”. Tetapi hal ini tidak dilakukan, dan sebaliknya secara subjektif Termohon Peninjauan Kembali menetapkan bahwa MFBV bukanlah BO atas pendapatan bunga yang dibayarkan oleh Pemohon Peninjauan Kembali. Pemohon Peninjauan Kembali meminta agar bukti ini menjadi pertimbangan Majelis Hakim pada Mahkamah Agung di dalam memutus sengketa PPh Pasal 26 ini. Surat konfirmasi tersebut menunjukkan adanya pengakuan dari otoritas pajak Belanda bahwa hak pemajakan atas bunga tersebut berada di Negara Belanda, sehingga apabila terjadi pengenaan pajak di sisi negara Indonesia maka pajak tersebut tidak dapat dikreditkan di negara Belanda. Sebagaimana diketahui Pendapatan bunga yang diterima MFBV dari Pemohon Peninjauan Kembali telah dikenakan pajak di negara Belanda. Dengan Termohon Peninjauan Kembali juga mengenakan pemotongan PPh Pasal 26 dengan tarif 20% dan dengan pihak Otoritas Pajak di negara Belanda tidak mengizinkan pengkreditan PPh Pasal 26 tersebut di negara Belanda (karena hak pemajakan ada di negara Belanda, sehingga tidak ada pajak yang dikenakan/dipotong di negara Indonesia) maka telah terjadi pengenaan pajak berganda dan hal ini tentunya menimbulkan ketidakadilan bagi Pemohon Peninjauan Kembali. Hal ini sangatlah bertentangan dengan jiwa/spirit dari P3B yang bertujuan untuk menghindari terjadinya pengenaan pajak berganda tersebut. Sesuai dengan prinsip “in dubio pro publico” maka tidak seharusnya pihak Termohon Peninjauan Kembali mengenakan PPh Pasal 26 dengan tarif 20% tersebut di atas; Tetapi dalam sengketa ini pihak Termohon Peninjauan Kembali sama sekali tidak melakukan tindakan verifikasi apakah MFBV memiliki substansi sebagai wajib pajak Belanda, apakah MFBV adalah penerima manfaat dari pendapatan bunga (Beneficial Owner) dan apakah MFBV merupakan perusahaan perantara (conduit company), dengan menghubungi pihak otoritas perpajakan di negara Belanda. Juga Majelis Hakim Pengadilan Pajak tidak mempertanyakan masalah mengapa pihak Termohon Peninjauan Kembali tidak melakukan verifikasi lebih lanjut untuk mendapatkan keyakinan atas masalah BO ini dari pihak otoritas pajak di negara Belanda. Malahan Majelis Hakim Pengadilan Pajak justru langsung menyetujui pendapat Termohon Peninjauan Kembali tanpa melakukan verifikasi lebih lanjut atas masalah ini. Berdasarkan uraian di atas nampak jelas bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah memutus semata-mata berdasarkan pendapat Termohon Peninjauan Kembali yang bersifat subjektif dan tidak didukung dengan bukti-bukti yang memadai; Berdasarkan bagan yang tersaji di bagian depan dari Memori PK ini nampak bahwa MFBV dimiliki 100% oleh MHBV dan MFBV ada melakukan pembayaran lain-lain kepada pihak ketiga tetapi dalam jumlah yang relatif kecil dan tidak signifikan (seperti biaya jasa manajemen dan administrasi dan biaya audit). Jadi dalam transaksi ini MFBV tidak melakukan pembayaran yang bersifat ”back to back” (transaksi di mana MFBV mendapatkan bunga dari Pemohon Peninjauan Kembali kemudian jumlah yang sama atau sebagian besar dari pendapatan bunga tersebut dibayarkan kembali oleh MFBV sebagai biaya bunga atau biaya jasa/royalty kepada pihak lain). MFBV hanya melakukan pembayaran dividen kepada MHBV sebagai pihak pemegang saham. Bahwa MHBV, sebagai pemegang saham dari MFBV, meminta MFBV untuk membagikan dan membayarkan dividen kepada MHBV, hal tersebut adalah transaksi yang wajar dan hal ini dilakukan berdasarkan anggaran dasar dari MFBV terkait dengan pembagian dan pembayaran dividen tersebut. Jadi MFBV merupakan BO karena MFBV adalah ”ujung” atau ”ultimate party” sebagai penerima pendapatan dari transaksi pembayaran bunga oleh Pemohon Peninjauan Kembali; Sebagai referensi, dapat ditambahkan bahwa di dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-61/PJ/2009, PER-62/PJ/2009, PER-24/PJ/2010, PER-25/PJ/2010, antara lain diatur bahwa pembayaran dividen kepada pemegang saham tidak termasuk ke dalam kategori pembayaran yang harus tunduk pada batasan “50%” sebagaimana tertuang di dalam kuesioner nomor 12 Part V dari formulir Form DGT-1. Sebagaimana diketahui kuisioner nomor 12 tersebut dimaksudkan untuk menghindari terjadinya pemanfaatan P3B untuk transaksi “back to back” di mana diatur bahwa pendapatan yang diterima oleh perusahaan tersebut tidak boleh sejumlah 50% atau lebih digunakan untuk melakukan pembayaran kepada pihak lain dalam bentuk bunga, royalti dan kompensasi lainnya kecuali untuk pembayaran gaji karyawan dan dividen. Jadi nampak jelas Termohon Peninjauan Kembali sendiri menyadari bahwa pembagian dan pembayaran dividen bukan merupakan pembayaran yang tunduk atas test 50% terkait dengan transaksi “back to back”; Berdasarkan uraian di atas nampak jelas bahwa MFBV merupakan BO atas pembayaran bunga dari Pemohon Peninjauan Kembali dan pembagian dividen oleh MFBV kepada MHBV tidak dapat menggugurkan status MFBV sebagai BO atas pendapatan bunga yang diterima dari Pemohon Peninjauan Kembali; |
|||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
|
3.3.A.
|
Pendapat Majelis Pengadilan Pajak
|
|||||||||||||||||||||||
|
|
-
|
bahwa oleh karena definisi Beneficial Owner tidak ditemukan dalam P3B Indonesia-Belanda, maka landasan hukum yang harus digunakan untuk memahami terminologi Beneficial Owner juga haruslah dengan mempertimbangkan sumber-sumber hukum internasional. Dalam Pasal 38 ayat (1) dari Statuta the International Court of Justice, sumber-sumber hukum internasional terdiri dari:
|
||||||||||||||||||||||
|
|
|
1)
|
Treaty atau traktat yang berlaku
bahwa Treaty atau traktat yang menjadi sumber hukum dalam sengketa pajak antara Pemohon Banding dan Terbanding, di sini, adalah P3B Indonesia-Belanda yang telah diratifikasi oleh kedua negara; bahwa dalam hal pelaksanaannya, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 26 Viena Convention of Law of Treaties "setiap perjanjian yang berlaku adalah mengikat terhadap para pihak perjanjian tersebut dan harus dilaksanakan oleh mereka dengan itikad baik"; |
|||||||||||||||||||||
|
|
|
2)
|
Hukum Kebiasaan Internasional
bahwa yang dimaksud dengan kebiasaan internasional adalah perilaku atau praktek negara-negara yang dilakukan dalam pergaulan internasional, yang berlaku secara umum dan telah diakui atau diterima sebagai bagian hukum internasional, dalam sengketa pajak ini salah satu hukum kebiasaan internasional yang menjadi rujukan adalah doktrin substance over form, doktrin ini berlaku secara umum telah diakui atau diterima sebagai bagian hukum internasional, dalam doktrin substance over form dan berdasarkan pendekatan ekonomi, Beneficial Owner adalah pihak yang secara substansial nyata-nyata merupakan pemilik yang sesungguhnya dari suatu penghasilan yang dengan bebas dapat menikmati penghasilan tersebut; |
|||||||||||||||||||||
|
|
|
3)
|
Prinsip-prinsip umum tentang hukum
bahwa Prinsip-prinsip hukum umum seperti disinggung dalam Pasal 38 ayat (1) butir c Statute Mahkamah Internasional menyebutkan, adalah Prinsip-prinsip atas asas-asas yang fundamental yang diakui oleh bangsabangsa beradab, dalam sengketa pajak ini, salah satu prinsip umum yang menjadi rujukan adalah asas kebenaran materiil, asas ini selain telah diakui oleh bangsa-bangsa beradab juga telah diadopsi dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak sebagaimana disebutkan dalam memori penjelasan Pasal 76 yang berbunyi "Pasal ini memuat ketentuan dalam rangka menentukan kebenaran materiil, sesuai dengan asas yang dianut dalam Undang-Undang perpajakan; |
|||||||||||||||||||||
|
|
-
|
bahwa berdasarkan uraian-uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa Beneficial Owner memiliki makna yang tidak berlandaskan pada pengertian hukum atau formal semata, melainkan juga mengandung makna ekonomis yang melihat lebih kepada substansi. Hal ini sejalan pula dengan prinsip perundang-undangan perpajakan Indonesia yang menganut asas material atau "substance over form”;
|
||||||||||||||||||||||
|
|
-
|
bahwa menurut Vogel dalam bukunya On Double Taxation Convention 1977, halaman 561562 mengatakan Treaty benefits seharusnya tidak diberikan kepada orang atau badan yang secara formal berhak atas dividen, royalti dan bunga, melainkan kepada orang atau badan yang menjadi pemegang "real" title. Dalam hal ini maka harus diterapkan prinsip "substance over form". Masalah substance atas hak untuk menerima suatu penghasilan mengandung dua aspek: yaitu hak untuk menentukan apakah hasil tersebut direalisasikan atau tidak, yang dalam hal ini menyangkut apakah kekayaan atau aktiva dimaksud akan digunakan atau disediakan untuk digunakan, hak untuk menggunakan hasil tersebut;
|
||||||||||||||||||||||
|
|
-
|
bahwa pengertian BO menurut Vogel, adalah mereka yang bebas untuk menentukan apakah kekayaan atau aktiva lainnya harus digunakan atau disediakan untuk digunakan oleh orang lain, atau bagaimana hasil dari kekayaan tersebut akan digunakan;
|
||||||||||||||||||||||
|
|
-
|
bahwa sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/28/PBI/2009, Beneficial Owner adalah setiap orang yang memiliki dana, yang mengendalikan transaksi nasabah, yang memberikan kuasa atas terjadinya suatu transaksi dan/atau yang melakukan pengendalian melalui badan hukum atau perjanjian;
|
||||||||||||||||||||||
|
|
-
|
bahwa pada paragraf 12 OECD MTC (Model Tax Convention) 1977, diberikan penegasan bahwa terminology Beneficial Owner tidak meliputi Agen maupun Nominee. Jika dalam transaksi pembayaran bunga terdapat pihak perantara seperti Agen dan Nominee, maka fasilitas pengurangan tarif Pajak di negara sumber tidak dapat diberikan;
|
||||||||||||||||||||||
|
|
-
|
bahwa dalam persidangan, Pemohon Banding tidak memberikan bantahan yang didukung dengan bukti pendukung berkaitan dengan ciri-ciri pokok Majapahit Holding BV dan Majapahit Finance BV bukan sebagai BO, tetapi hanya sebagai pass through/conduit company, sebagaimana pendapat Terbanding, antara lain:
|
||||||||||||||||||||||
|
|
|
◾
|
Majapahit Holding BV dan Majapahit Finance BV tidak memiliki pegawai yang melaksanakan operasional perusahaan sehingga tidak terdapat biaya remunerasi pegawai;
|
|||||||||||||||||||||
|
|
|
◾
|
penandatangan management report Laporan Keuangan yang sama untuk Majapahit Holding BV dan Majapahit Finance BV yaitu Member A (Mr. A. Hakam) dan Member B (Deuthsche International Trust Company NV) dan merupakan karyawan Pemohon Banding juga;
|
|||||||||||||||||||||
|
|
|
◾
|
Majapahit Holding BV, Majapahit Finance BV dan Deutche International Trust Company N.V. mempunyai alamat yang sama yaitu Herengracht 450, 1017CA Amsterdam,
|
|||||||||||||||||||||
|
|
|
◾
|
sebagian besar dana yang diperoleh dari obligasi yang diterbitkan Majapahit Holding BV langsung disalurkan kepada Majapahit Finance BV dan penghasilan bunga yang diterima diteruskan dengan Jumlah yang hampir sama dari Majapahit Finance BV ke Majapahit Holding BV,
|
|||||||||||||||||||||
|
|
|
◾
|
adanya struktur biaya Majapahit Holding BV di mana biaya bunga yang dibayarkan kepada pemilik obligasi merupakan biaya/pengeluaran yang porsinya paling besar dibanding biaya lainnya (operating expenses), yaitu lebih dari 90%;
|
|||||||||||||||||||||
|
|
-
|
bahwa dalam persidangan Pemohon Banding Majapahit Finance BV sebagai BO dan dilengkapi dengan SKD, namun Pemohon Banding tidak dapat menunjukkan SKD atas nama pemilik Obligasi sebagai BO;
|
||||||||||||||||||||||
|
|
-
|
bahwa Majelis berpendapat sesuai dengan pengertian secara umum mengenai 80, menurut Majelis, dalam hal pembayaran bunga Pemohon Banding a quo kepada Majapahit Holding BV atau Majapahit Finance BV, dan kekuasaan atau kontrol untuk menggunakan bunga tersebut dikendalikan sendiri oleh Penerima, tanpa dapat diatur atau diperintah oleh pihak lain atau dilakukan secara independen, maka pihak Majapahit Holding BV atau Majapahit Finance BV tersebut dapat dikatakan sebagai BO, tetapi jika berlaku sebaliknya, yaitu jika Majapahit Holding BV atau Majapahit Finance BV tersebut tidak punya kekuasaan atau kontrol atas bunga yang diterimanya (misalnya bunga yang diterima akan ditransfer ke pihak lain), maka Majapahit Holding BV atau Majapahit Finance BV tersebut bukanlah sebagai BO;
|
||||||||||||||||||||||
|
|
-
|
bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut serta bukti-bukti dokumen dan keterangan para pihak dalam persidangan, Majelis berpendapat bahwa dana pinjaman aqua berasal dari penerbitan obligasi internasional yang lewat (pass through) Majapahit Holding BV dan Majapahit Finance BV kepada Pemohon Banding. Mengingat bunga yang dibayar oleh Pemohon Banding secara substansi sesungguhnya adalah Pembayaran Bunga Obligasi International, maka pihak yang sesungguhnya menikmati pembayaran bunga tersebut sesungguhnya adalah pemegang Obligasi International. Bahwa Majapahit Holding BV dan Majapahit Finance BV adalah Wajib Pajak Belanda yang dibuktikan dengan adanya SKD tidak dapat mempengaruhi fakta atau substansi pembayaran bunga a quo;
|
||||||||||||||||||||||
|
|
-
|
bahwa dari uraian tersebut di atas, Majelis berpendapat secara formal pembayaran bunga dilakukan oleh Pemohon Banding kepada Majapahit Holding BV atau Majapahit Finance BV, namun secara substance akan digunakan untuk pembayaran bunga Obligasi International yang jatuh tempo dari Pemilik Obligasi. Artinya, dalam skema ini, Majelis berpendapat Majapahit Holding BV atau Majapahit Finance BV tidak secara bebas menggunakan penghasilan berupa bunga yang diterima dari Pemohon Banding, melainkan untuk membayar bunga Obligasi yang jatuh tempo dari Pemilik Obligasi;
|
||||||||||||||||||||||
|
|
-
|
bahwa dengan demikian, Majelis berpendapat bahwa Beneficial Owner dari pembayaran bunga Obligasi Internasional a quo secara substansi adalah bukan Majapahit Holding BV dan/atau Majapahit Finance BV sebagai residen di Belanda, sehingga pengenaan PPh Pasal 26 atas bunga tersebut tidak berdasarkan P3B Indonesia-Belanda karena tidak memenuhi 2 (dua) syarat akumulatif sebagaimana diatur di dalamnya, tetapi berdasarkan Undang-Undang PPh Indonesia;
|
||||||||||||||||||||||
|
|
-
|
bahwa dengan demikian, atas pembayaran bunga pinjaman Obligasi Internasional kepada Majapahit Holding BV atau Majapahit Finance BV oleh Terbanding dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 26 dengan tarif 20% adalah sudah benar, sehingga Majelis berpendapat koreksi Terbanding atas biaya Bunga Obligasi International sebesar Rp1.081.112.049.765 tetap dipertahankan;
|
||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
|
3.3.B.
|
Pendapat Pemohon Peninjauan Kembali
|
|||||||||||||||||||||||
|
|
Perlu ditegaskan sekali lagi bahwa masalah BO adalah terkait dengan pembayaran bunga oleh Pemohon Peninjauan Kembali kepada MFBV dan bukan kepada MHBV. Oleh karena itu penyebutan MHBV sebagai BO dalam sengketa ini adalah tidak relevan;
Definisi Beneficial Owner menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/28/PBI/2009 (terlampir sebagai Bukti PK10) sebagaimana digunakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak adalah setiap orang yang memiliki dana, yang mengendalikan transaksi nasabah, yang memberikan kuasa atas terjadinya suatu transaksi dan/atau yang melakukan pengendalian melalui badan hukum atau perjanjian. Lebih lanjut dalam Pasal 12 peraturan tersebut dijelaskan bahwa Bank wajib mengidentifikasi dan mengklasifikasikan calon nasabah atau nasabah ke dalam kelompok perseorangan, perusahaan, atau Beneficial Owner. Lebih lanjut dalam Pasal 13 nya diatur prosedur administrasi yang harus dilakukan oleh Bank untuk mengetahui profil calon nasabahnya (biasa dikenal dengan istilah ”know your customer/KYC”). Berdasarkan definisi, Pasal 12, dan Pasal 13 tersebut dapat diketahui bahwa dalam dunia perbankan memang dikenal istilah Beneficial Owner dan Beneficial Owner tersebut harus secara nyata disampaikan kepada pihak Bank apabila nasabah memiliki Beneficial Owner terkait dengan transaksi-transaksi yang akan dilakukan dengan Bank tersebut. Pemohon Peninjauan Kembali berpendapat bahwa definisi BO berdasarkan peraturan Bank Indonesia ini tidak dapat diterapkan dalam sengketa ini karena konteksnya/tujuannya berbeda. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia di atas, Beneficial Owner dipahami sebagai pihak yang memiliki dana, mengendalikan transaksi nasabah, yang memberikan kuasa atas terjadinya suatu transaksi dan/atau melakukan pengendalian salah satunya melalui perjanjian. Namun demikian dengan mengacu pada pemahaman atas definisi Beneficial Owner menurut peraturan ini, dapat dipastikan bahwa MFBV merupakan Beneficial Owner atas pendapatan bunga yang diterima dari Pemohon Banding karena MFBV sepenuhnya memiliki kuasa atas penggunaan dana dari pendapatan bunga tersebut; Salah satu pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak di dalam memutus sengketa ini adalah bahwa dari ketentuan dan fakta-fakta tersebut, Majelis berkesimpulan BO adalah setiap orang yang memiliki dana/uang, yang memberikan kuasa kepada pihak lain (badan) untuk melakukan terjadinya transaksi (merujuk kepada definisi BO di dalam Peraturan Bank Indonesia tersebut di atas). Dengan kata lain, Pemilik Obligasi Internasional (pemilik dana/uang) memberikan kuasa kepada Majapahit Holding BV dan/atau Majapahit Finance BV (melalui perjanjian jual beli Obligasi) untuk melakukan terjadinya transaksi, dalam hal ini transaksi dengan Pemohon Banding (pinjaman/loan); bahwa jikalau demikian, maka Pemilik Obligasi (pemilik dana/uang) sebagai BO, sedangkan peran Majapahit Holding BV atau Majapahit Finance BV hanya bertindak sebagai perantara (agent) sehingga pengenaan pajak tidak boleh mendapatkan fasilitas P3B; Pemohon Peninjauan Kembali berpendapat bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak tidak memiliki bukti bahwa MHBV dan/atau MFBV adalah kuasa dari Pemilik Obligasi Internasional dalam melakukan transaksi dengan Pemohon Peninjauan Kembali. Jadi pendapat ini sangatlah subjektif dan tidak berdasar; Sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 26 Viena Convention of Law of Treaties bahwa setiap perjanjian yang berlaku adalah mengikat terhadap para pihak perjanjian tersebut dan harus dilaksanakan oleh mereka dengan itikad baik. Di sini nampak bahwa baik Termohon Peninjauan Kembali maupun Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang memutuskan sengketa ini tidak memiliki itikad baik dalam menerapkan P3B antara Indonesia dan Belanda. Uraian-uraian yang telah disajikan di muka maupun yang akan disampaikan pada bagian-bagian selanjutnya dari Memori PK ini menunjukkan secara jelas bahwa alasan-alasan yang dikemukakan adalah tidak berdasar, dicari-cari, dan sangat bersifat subjektif yang tidak menunjukkan itikad baik dalam memutuskan sengketa ini secara adil. Ada kesan bahwa sengketa ini harus dimenangkan oleh Termohon Peninjauan Kembali meskipun tidak ada dasar hukum dari Undang-Undang Perpajakan yang melandasinya. Menurut Pemohon Peninjauan Kembali, Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.59997/PP/M.IIB/13/2015 merupakan putusan yang tidak sesuai dengan Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUH Perdata tentang syarat suatu perjanjian serta kebebasan berkontrak. |
|||||||||||||||||||||||
|
|
●
|
Pasal 1388 Kitab Ketiga Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) mengatur para pihak dalam kebebasan berkontrak di mana menyatakan bahwa:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya”. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh Undang-Undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. |
||||||||||||||||||||||
|
|
●
|
Lebih lanjut, Pasal 1320 KUH Perdata juga menganut bahwa:
|
||||||||||||||||||||||
|
|
|
1.
|
sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
|
|||||||||||||||||||||
|
|
|
2.
|
kecakapan untuk membuat suatu perikatan
|
|||||||||||||||||||||
|
|
|
3.
|
suatu hal tertentu
|
|||||||||||||||||||||
|
|
|
4.
|
suatu sebab yang halal”
|
|||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
|
|
Berdasarkan ketentuan di atas, transaksi dapat ditentukan oleh pihak pihak yang membuat perjanjian. Dalam kasus ini, sesuai perjanjian yang telah disepakati oleh Pemohon Peninjauan Kembali dan MFBV, pemberian pinjaman oleh MFBV kepada Pemohon Peninjauan Kembali dan konsekuensi pembayaran bunga oleh Pemohon Peninjauan Kembali kepada MFBV merupakan hasil negosiasi komersial yang bebas dan wajar serta sesuai dengan kelaziman bisnis dan bahwa negosiasi serta kesepakatan yang dibuat oleh Pemohon Peninjauan Kembali dan MFBV merupakan suatu perkara yang sah secara hukum serta memenuhi ketentuan Pasal 1320 dan 1338 KUH Perdata, termasuk tidak adanya unsur paksaan atau penipuan sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 1321 KUH Perdata.
Fakta bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah menyatakan bahwa pembayaran bunga dibayarkan kepada Pemilik Obligasi International, maka secara tidak langsung Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyangkal eksistensi adanya transaksi pembayaran bunga kepada MFBV tersebut. Dalam hal ini, berdasarkan Pasal 1320 dan 1338 KUH Perdata, Pemohon Peninjauan Kembali berpendapat bahwa transaksi pembayaran bunga tersebut harus dilihat sebagai suatu transaksi yang sah secara hukum. Dari seluruh fakta yang ada di atas, Pemohon Peninjauan Kembali berpendapat bahwa transaksi pembayaran bunga oleh Pemohon Peninjauan Kembali kepada MFBV merupakan suatu transaksi yang sah secara hukum. Apabila Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyangkal eksistensi adanya transaksi tersebut, maka secara tidak langsung Majelis Hakim Pengadilan Pajak juga menyangkal adanya pemberian pinjaman yang mengawali munculnya transaksi pembayaran bunga oleh Pemohon Peninjauan Kembali kepada MFBV, sehingga tidak terdapat kepastian hukum bagi Pemohon Peninjauan Kembali maupun MFBV. Berdasarkan seluruh penjelasan Pemohon Peninjauan Kembali di atas, dapat disimpulkan bahwa Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.59997/PP/M.IIB/13/2015 merupakan putusan yang telah melanggar ketentuan perpajakan yang berlaku, yakni: |
|||||||||||||||||||||||
|
|
1.
|
Pasal 78 UU Pengadilan Pajak terkait dengan Putusan Pengadilan Pajak yang didasarkan pada hasil penilaian pembuktian, peraturan perundang-undangan perpajakan dan keyakinan Hakim;
|
||||||||||||||||||||||
|
|
2.
|
Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUH Perdata tentang syarat suatu perjanjian serta kebebasan berkontrak, dan
|
||||||||||||||||||||||
|
|
3.
|
Tidak mencerminkan rasa keadilan dan menimbulkan ketidakpastian hukum karena tidak mencerminkan rasa keadilan dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
|
||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
|
|
Oleh karenanya, Pemohon Peninjauan Kembali memohon kepada Majelis Hakim Agung agar dapat membatalkan Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT.59997/PP/M.IIB/13/2015 tersebut. Karena Putusan Pengadilan tersebut merupakan suatu putusan yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum dan perpajakan yang berlaku.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, fakta bahwa MFBV adalah Beneficial Owner dari bunga yang dibayarkan oleh Pemohon Banding telah dikonfirmasikan melalui surat konfirmasi tertanggal 22 Desember 2006 (lampiran Bukti PK11) yang diterbitkan oleh otoritas pajak Belanda yang menyatakan bahwa MFBV merupakan “pemilik yang sebenarnya” (Beneficial Owner) sehubungan dengan bunga yang bersumber dari Indonesia (dalam hal ini pendapatan bunga dari Pemohon Banding). Perlu ditambahkan bahwa pihak yang berkompetensi untuk menetapkan apakah MFBV adalah Beneficial Owner dari pendapatan bunga yang dibayarkan oleh Pemohon Peninjauan Kembali adalah Otoritas Perpajakan di negara Belanda. di dalam mengklarifikasikan mengenai status BO dari MFBV sebagaimana yang dinyatakan oleh Otoritas Perpajakan di negara Belanda, pihak Termohon Peninjauan Kembali dapat menggunakan Pasal 28 dari P3B antara Indonesia-Belanda tentang “Exchange of information”. Tetapi hal ini tidak dilakukan, dan sebaliknya, secara subjektif Termohon Peninjauan Kembali menetapkan bahwa MFBV bukanlah BO atas pendapatan bunga yang dibayarkan oleh Pemohon Peninjauan Kembali. Pemohon Peninjauan Kembali meminta agar bukti ini menjadi pertimbangan Majelis Hakim di dalam memutus sengketa PPh Pasal 26 ini. Surat konfirmasi tersebut menunjukkan adanya pengakuan dari otoritas pajak Belanda bahwa hak pemajakan atas bunga tersebut berada di Negara Belanda, sehingga apabila terjadi pengenaan pajak di sisi negara Indonesia maka pajak tersebut tidak dapat dikreditkan di negara Belanda. Sebagaimana diketahui Pendapatan bunga yang diterima MFBV dari Pemohon Peninjauan Kembali telah dikenakan pajak di negara Belanda. Dengan Termohon Peninjauan Kembali juga mengenakan pemotongan PPh Pasal 26 dengan tarif 20% dan dengan pihak Otoritas Pajak di negara Belanda tidak mengizinkan pengkreditan PPh Pasal 26 tersebut di negara Belanda (karena hak pemajakan ada di negara Belanda, sehingga tidak ada pajak yang dikenakan/dipotong di negara Indonesia) maka telah terjadi pengenaan pajak berganda dan hal ini tentunya menimbulkan ketidakadilan bagi Pemohon Peninjauan Kembali. Hal ini sangatlah bertentangan dengan jiwa/spirit dari P3B yang bertujuan untuk menghindari terjadinya pengenaan pajak berganda tersebut. Sesuai dengan prinsip “in dubio pro publico” maka tidak seharusnya pihak Termohon Peninjauan Kembali mengenakan PPh Pasal 26 dengan tarif 20% tersebut di atas; Terkait dengan prinsip “substance over the form”, pihak Termohon Peninjauan Kembali maupun Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang memutus sengketa ini telah menginterpretasikannya secara keliru karena yang telah dilakukan oleh pihak Termohon Peninjauan Kembali dan Majelis Hakim Pengadilan Pajak adalah mengubah suatu transaksi menjadi transaksi lainnya dan hal ini dilakukan tidak didukung dengan ketentuan perpajakan yang ada; Secara umum prinsip “substance over the form” harus diterapkan atas suatu transaksi dan dianalisa transaksi tersebut secara hukum/legal/form dan secara substansi/substance nya. Misalnya Tn A menyatakan meminjam uang dari Tn B dengan menyerahkan rumah sebagai jaminannya dan atas transaksi tersebut Tn A membayar bunga kepada Tn B. Apabila dokumen hukumnya menunjukkan transaksi tersebut di atas sebagai transaksi pinjam meminjam uang, maka prinsip “substance over the form” memungkinkan transaksi tersebut untuk di analisa lebih lanjut apakah transaksi tersebut memang sesuai dengan legal formnya atau substansi transaksi tersebut sesungguhnya/substance nya adalah, misalnya, sebagai transaksi sale and lease back. Dalam transaksi sale and lease back Tn A menjual rumah kepada Tn B dan kemudian Tn A menyewa rumah tersebut dari Tn B dan karenanya Tn A membayar uang sewa rumah kepada Tn B. Legal Form dan substance nya memberikan implikasi perpajakan yang berbeda. Dalam transaksi form nya sebagai pinjam meminjam uang, maka pendapatan bunga harus dipotong PPh Pasal 23 oleh Tn A dan pendapatan bunga merupakan objek pajak bagi Tn B. Tetapi apabila secara substansinya transaksi tersebut adalah transaksi sale and lease back, maka atas transaksi penyerahan rumah Tn A akan dikenakan PPh final 5% dan BPHTB 5% serta transaksi tersebut dapat terutang PPN. Di lain pihak atas transaksi pembayaran sewa rumah juga dikenakan PPh final 10% final dan terutang PPN. Jadi apabila prinsip “substance over the form” diterapkan dalam sengketa ini, maka yang perlu dianalisa, baik secara hukum/form maupun secara substance/substansinya, adalah atas transaksi pembayaran bunga oleh Pemohon Peninjauan Kembali kepada MFBV; Apabila contoh di atas diterapkan dalam sengketa ini maka atas transaksi pembayaran bunga oleh Pemohon Peninjauan Kembali kepada MFBV (legal/formnya) memang benar transaksi pembayaran bunga atau substansinya adalah transaksi lain, seperti sewa-menyewa. Jadi atas transaksi yang satu dianalisa apakah transaksi berdasarkan legal/form nya sama dengan transaksi berdasarkan substansinya; Tetapi yang telah dilakukan oleh Termohon Peninjauan Kembali maupun oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak adalah menghilangkan keberadaan MFBV dan MHBV dalam struktur transaksi legalnya dan mengubah: |
|||||||||||||||||||||||
|
|
-
|
transaksi Pinjam Meminjam Uang antara Pemohon Peninjauan Kembali dan MFBV menjadi transaksi Pinjam Meminjam Uang antara Pemohon Peninjauan Kembali dengan Pemegang Obligasi Internasional/Investor;
|
||||||||||||||||||||||
|
|
-
|
transaksi pembayaran bunga oleh Pemohon Peninjauan Kembali kepada MFBV menjadi transaksi pembayaran bunga dari Pemohon Peninjauan Kembali kepada Pemegang Obligasi Internasional/Investor;
|
||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
|
|
Yang menjadi pertanyaan adalah apa dasar hukum yang digunakan oleh Termohon Peninjauan Kembali maupun oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak dalam mengubah transaksi-transaksi tersebut. Pemohon Peninjauan Kembali berpendapat bahwa tidak ada dasar hukum yang mendasari koreksi Termohon Peninjauan Kembali maupun keputusan yang telah dibuat oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak;
Padahal untuk mengubah substansi sebuah transaksi, kewenangan yang diberikan kepada Termohon Peninjauan Kembali untuk melakukan hal itu harus dinyatakan secara tegas di dalam Undang-Undang. Undang-Undang Pajak Penghasilan (Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008) memang mengatur beberapa kewenangan kepada Termohon Peninjauan Kembali untuk mengubah substansi suatu transaksi menjadi transaksi yang lain. Berikut adalah beberapa contohnya: |
|||||||||||||||||||||||
|
|
a.
|
Pasal 18 ayat (3) dari UU PPh yang menyatakan bahwa Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Pasal 18 ayat (3) ini memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menetapkan transaksi pemberian utang menjadi transaksi setoran modal (mengubah suatu transaksi menjadi transaksi lain), sepanjang transaksi tersebut terjadi antara pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa dan transaksi tersebut dianggap tidak wajar. Jadi nampak jelas bahwa sepanjang kondisi-kondisi lainnya terpenuhi, pihak Termohon Peninjauan Kembali diberikan kewenangan oleh Undang-Undang Pajak untuk mengubah suatu transaksi pemberian utang yang sah secara hukum menjadi suatu transaksi setoran modal. Secara perpajakan perubahan ini akan mengakibatkan besarnya biaya bunga yang nyata-nyata dibayarkan atas utang tersebut harus dihitung ulang di mana biaya bunga yang terkait dengan porsi utang yang ditetapkan menjadi setoran modal menjadi tidak dapat dikurangkan dalam menghitung PPh Badan;
|
||||||||||||||||||||||
|
|
b.
|
Pasal 18 ayat (3c) UU PPh, yang menyatakan bahwa “Penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara (conduit company atau special purpose company) yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak (tax haven country) yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia dapat ditetapkan sebagai penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia.” Sebagaimana diketahui Pasal 26 ayat (2) dari UU PPh dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 434/KMK.04/1999 mengatur antara lain bahwa atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak Luar Negeri dari penjualan atau pengalihan saham perusahaan dalam negeri (bukan perusahaan publik/Tbk) terutang pemotongan Pajak Penghasilan sebesar 5% dan bersifat final;
|
||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
|
|
Atas transaksi penjualan saham PT ABC oleh X Corp akan dikenakan pajak final dengan tarif 5% atas nilai transaksi tersebut;
Pasal 18 ayat (3c) mengatur transaksi sebagai berikut: |
|||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
|
|
●
|
Transaksi yang terjadi secara hukum:
|
||||||||||||||||||||||
|
|
|
-
|
X Corp memiliki saham di Y Corp
|
|||||||||||||||||||||
|
|
|
-
|
Y Corp memiliki saham di PT ABC
|
|||||||||||||||||||||
|
|
|
-
|
X Corp menjual saham di Y Corp
|
|||||||||||||||||||||
|
|
|
-
|
Sepanjang Y Corp adalah perusahaan antara dan didirikan di Negara “Tax Haven” serta antara X Corp dan PT ABC terdapat hubungan istimewa, maka dapat ditetapkan bahwa X Corp adalah menjual saham PT ABC sehingga Pasal 26 ayat (2) dapat diterapkan dan PPh final 5% akan dikenakan atas transaksi tersebut di atas.
|
|||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
|
|
Jadi nampak jelas bahwa Pasal 18 ayat (3c) dari UU PPh memberikan wewenang kepada Direktur Jenderal Pajak/Termohon Peninjauan Kembali untuk mengubah substansi suatu transaksi menjadi transaksi lainnya yaitu untuk menetapkan penjualan atau pengalihan saham perusahaan antara (conduit company atau special purpose company) yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan perlindungan pajak (tax haven country) yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia, menjadi transaksi penjualan atau pengalihan saham badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia;
Kembali kepada pokok materi sengketa, Termohon Peninjauan Kembali telah menetapkan bahwa pembayaran bunga oleh Pemohon Peninjauan Kembali kepada MFBV ditetapkan sebagai pembayaran bunga oleh Pemohon Peninjauan Kembali kepada Pemegang Obligasi Internasional/Investor karena transaksi pinjaman dari MFBV kepada Pemohon Peninjauan Kembali ditetapkan menjadi transaksi pinjaman Investor kepada Pemohon Peninjauan Kembali, sebagaimana dapat digambarkan sebagai berikut: |
|||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
|
|
Jadi nampak bahwa Termohon Peninjauan Kembali telah mengabaikan keberadaan MFBV dan MHBV di dalam transaksi di atas, padahal atas pendapatan bunga tersebut telah dikenakan pajak di negara Belanda. Pemohon Peninjauan Kembali tidak setuju dengan penetapan oleh pihak Termohon Peninjauan Kembali dan Majelis Hakim Pengadilan Pajak tersebut di atas karena tidak ada dasar hukum yang melandasi penetapan tersebut (tidak ada pasal di dalam Undang-Undang Pajak yang memberikan kewenangan kepada Termohon Peninjauan Kembali untuk mengubah substansi transaksi pembayaran bunga oleh Pemohon Banding kepada MFBV menjadi transaksi pembayaran bunga oleh Pemohon Banding kepada pihak lain, dalam hal ini Pemegang Obligasi Internasional/investor). Dengan kata lain penetapan tersebut di atas adalah bersifat subjektif dan merupakan pendapat Termohon Peninjauan Kembali dan Majelis Hakim Pengadilan Pajak semata yang karenanya koreksi tersebut di atas harus batal demi hukum;
Berikut adalah contoh lain: Ilustrasi ini akan menjelaskan bahwa suatu struktur transaksi yang berbeda dapat memberikan implikasi perpajakan yang berbeda, tetapi dalam contoh ini tidak ada ketentuan dalam Undang-Undang perpajakan yang memberikan wewenang kepada Termohon Peninjauan Kembali untuk mengubah struktur suatu transaksi (struktur I) menjadi transaksi yang lain (struktur II): Struktur I |
|||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
|
|
Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat dijelaskan bahwa PT. A dimiliki oleh PT. Q sebesar 35%. Di lain pihak, PT. Q dimiliki oleh PT. B dan PT. C dengan masing-masing kepemilikan sebesar 57% dan 43%. Struktur kepemilikan tersebut di atas adalah struktur yang sah secara hukum di Indonesia. Dengan struktur kepemilikan tersebut di atas maka dividen yang dibagikan oleh PT A kepada PT Q bukan merupakan objek pajak sebagaimana diatur di dalam Pasal 4 (3f) dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Hal yang sama terjadi pada saat PT Q membagikan dividen kepada PT B dan PT C, di mana dividen tersebut bukan merupakan objek pajak. Oleh karena itu dividen yang dibagikan oleh PT A dan pada akhirnya diterima oleh PT B dan PT C tidak terkena pajak. Sepengetahuan Pemohon Banding, struktur kepemilikan ini diterapkan oleh beberapa perusahaan di Indonesia.
Apabila dalam struktur I di atas keberadaan PT Q dihilangkan maka diperoleh struktur kepemilikan sebagai berikut: Struktur II |
|||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
|
|
Berdasarkan Struktur II ini, dividen yang dibagikan oleh PT A kepada PT B dan PT C akan terutang pajak karena dividen tersebut merupakan objek pajak bagi PT B dan PT C sebagai pemegang saham (karena persentase kepemilikannya di bawah 25%);
Kedua struktur kepemilikan tersebut di atas adalah sah secara hukum (berdasarkan Undang-Undang Perseroan Terbatas). Pemohon Peninjauan Kembali berpendapat bahwa terhadap struktur I di atas Termohon Peninjauan Kembali/Direktorat Jenderal Pajak tidak dapat mengubah substansi transaksi di dalam struktur I menjadi substansi transaksi di dalam struktur II (dengan menghilangkan keberadaan PT. Q), karena memang Undang-Undang pajak yang ada tidak mengatur pemberian kewenangan kepada Termohon Peninjauan Kembali/Direktorat Jenderal Pajak untuk mengubah substansi transaksi tersebut di atas. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa apabila kewenangan untuk mengubah substansi suatu transaksi menjadi transaksi lain diberikan kepada Termohon Peninjauan Kembali/Direktorat Jenderal Pajak, maka hal ini harus secara jelas diatur di dalam Undang-Undang Pajak, misalnya sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 18 (3) dan Pasal 18 (3c) dari Undang-Undang Nomor 36/2008; Berdasarkan uraian di atas nampak jelas bahwa penetapan oleh Termohon Peninjauan Kembali dan Majelis Hakim Pengadilan Pajak atas: |
|||||||||||||||||||||||
|
|
-
|
transaksi Pinjam Meminjam Uang antara Pemohon Peninjauan Kembali dan MFBV menjadi transaksi Pinjam Meminjam Uang antara Pemohon Peninjauan Kembali dengan Pemegang Obligasi Internasional/Investor;
|
||||||||||||||||||||||
|
|
-
|
transaksi pembayaran bunga oleh Pemohon Peninjauan Kembali kepada MFBV menjadi transaksi pembayaran bunga dari Pemohon Peninjauan Kembali kepada Pemegang Obligasi Internasional/Investor;
|
||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
|
|
merupakan tindakan yang tidak berlandaskan hukum perundang-undangan perpajakan yang berlaku di Indonesia dan sangat tidak adil bagi Pemohon Peninjauan Kembali;
Dalam salah satu pertimbangannya Majelis Hakim Pengadilan Pajak menetapkan bahwa MHBV dan MFBV merupakan perantara (agent) dalam transaksi ini (lihat paragraf 4 halaman 88 dari 91 dari Putusan Pengadilan Pajak). Pemohon Peninjauan Kembali ingin menegaskan bahwa penetapan Majelis Hakim Pengadilan Pajak bahwa MHBV dan MFBV sebagai perantara/agent merupakan kekeliruan yang fatal atas pemahaman Majelis Hakim Pengadilan Pajak terkait dengan proses penerbitan obligasi internasional. Para Investor Internasional tidak akan membeli obligasi ini apabila MHBV dan MFBV hanya bertindak sebagai perantara/agent. Majelis Hakim Pengadilan Pajak tidak menunjukkan dokumen-dokumen yang menjadi dasar dalam menetapkan MHBV dan MFBV sebagai perantara/agent. Juga Majelis Hakim Pengadilan Pajak tidak dapat menunjukkan bukti/dokumen bahwa baik MHBV dan MFBV mendapatkan pendapatan berupa komisi/fee terkait dengan jasa perantara/keagenannya; Merujuk pada salah satu Putusan Pengadilan Pajak yaitu Nomor PUT.29050/PP/M.III/13/2011 (Bukti PK23) yang antara lain membahas sengketa mengenai definisi Beneficial Owner dan penerapan Pasal 11 ayat (4) dari P3B Indonesia-Belanda, Majelis Hakim Pengadilan Pajak, di dalam salah satu pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa sesuai dengan prinsip universal Wajib Pajak pada dasarnya bebas untuk mengatur bagaimana mereka bertransaksi untuk menekan pajaknya sepanjang tidak melanggar Undang-Undang perpajakan, sesuai dengan prinsip bahwa pajak adalah pemungutan negara yang dipaksakan dengan batasan-batasan yang ditentukan dalam Undang-Undang yang bersangkutan. Dengan demikian, struktur kepemilikan seperti dijelaskan di atas, pada dasarnya tetap sesuai dengan prinsip universal tersebut. di mana Pemohon Peninjauan Kembali, MHBV maupun MFBV diberikan kebebasan untuk mengatur bagaimana mereka bertransaksi untuk menekan pajaknya sepanjang tidak melanggar Undang-Undang perpajakan; Berdasarkan uraian di atas sangat jelas bahwa Putusan Pengadilan Pajak dalam sengketa ini harus dibatalkan oleh Majelis Hakim Agung pada Mahkamah Agung yang menangani sengketa ini karena tidak berdasarkan pada peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku di Indonesia; |
|||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
|
3.4.A.
|
Pendapat Majelis Pengadilan Pajak
|
|||||||||||||||||||||||
|
|
-
|
bahwa menurut Majelis, dalam sengketa banding ini terdapat beberapa faktor/fakta persidangan yang perlu dipertimbangkan Majelis dalam memutus sengketa a quo yaitu:
|
||||||||||||||||||||||
|
|
|
1.
|
Kepemilikan perusahaan:
|
|||||||||||||||||||||
|
|
|
|
bahwa Pemohon Banding mendirikan Majapahit Holding BV di Belanda dengan saham 100% dimiliki oleh Pemohon Banding. Selanjutnya Majapahit Holding BV mendirikan Majapahit Finance BV juga di Belanda dengan saham 100% dimiliki oleh Majapahit Holding BV. Dengan demikian, baik Majapahit Holding BV maupun Majapahit Finance. BV, keduanya secara langsung maupun tidak langsung adalah dimiliki oleh Pemohon Banding, atau dengan kata lain Pemohon Banding memiliki dan/atau mengendalikan Majapahit Holding BV maupun Majapahit Finance BV;
bahwa dengan demikian, Majelis berpendapat antara Pemohon Banding dengan Majapahit Holding BV serta Majapahit Finance BV memiliki hubungan istimewa di mana baik Majapahit Holding BV maupun Majapahit Finance BV secara langsung maupun tidak langsung sepenuhnya dimiliki oleh Pemohon Banding. Menurut Majelis, kenyataan ini memberikan implikasi bahwa skema transaksi dalam hal ini pinjam meminjam serta pembayaran bunganya sepenuhnya dapat diatur dan ditentukan oleh Pemohon Banding karena sepenuhnya menjadi kekuasaan dan hak Pemohon Banding dan tidak ada pihak yang independen yang dapat menghalanginya; |
|||||||||||||||||||||
|
|
|
2.
|
Mekanisme Pinjam Meminjam:
|
|||||||||||||||||||||
|
|
|
|
bahwa pada tahun 2006, Pemohon Banding melalui anak perusahaannya, Majapahit Holding, B.V. menerbitkan obligasi internasional tahun 2006 sebesar US$1 milyar, yang terdiri atas 2 (dua) trance yaitu:
|
|||||||||||||||||||||
|
|
|
|
◾
|
Senilai US$450 juta, jatuh tempo 2011 dengan kupon sebesar 7,250% per tahun;
|
||||||||||||||||||||
|
|
|
|
◾
|
Senilai US$550 juta, jatuh tempo 2016 dengan kupon sebesar 7,75% per tahun;
|
||||||||||||||||||||
|
|
|
|
bahwa hasil (Proceed) yang diperoleh Majapahit Holding, BV selanjutnya dipinjamkan ke Pemohon Banding dengan mekanisme intercompany loan;
bahwa berdasarkan Intercompany loan Agreement antara Pemohon Banding dengan Majapahit Holding, BV tanggal 16 Oktober 2006 sebagaimana telah diamandemen dengan Amendment Agreement tanggal 14 September 200, tingkat bunga pinjaman yang dikenakan kepada Pemohon Banding adalah sebagai berikut: |
|||||||||||||||||||||
|
|
|
|
◾
|
Tranche A: 7,25% per tahun, Dutch Margin 0.8485%, jatuh tempo 17 Oktober 2011;
|
||||||||||||||||||||
|
|
|
|
◾
|
Tranche B: 7,75% per tahun, Dutch Margin 0,8485%, jatuh tempo 17 Oktober 2011;
|
||||||||||||||||||||
|
|
|
|
bahwa pada tahun 2007, Pemohon Banding melalui anak perusahaannya, Majapahit Holding, B.V. menerbitkan Obligasi Internasional tahun 2007 sebesar US$1 milyar, yang terdiri atas 2 (dua) trance yaitu:
|
|||||||||||||||||||||
|
|
|
|
◾
|
Senilai US$500 juta, jatuh tempo 2017 dengan kupon sebesar 7,250% per tahun;
|
||||||||||||||||||||
|
|
|
|
◾
|
Senilai US$500 juta, jatuh tempo 2037 dengan kupon sebesar 7,875% per tahun;
|
||||||||||||||||||||
|
|
|
|
bahwa hasil (Proceed) yang diperoleh Majapahit Holding, BV selanjutnya disetorkan sebagai modal (equity) pada Majapahit Finance, BV; untuk selanjutnya dipinjamkan ke Pemohon Banding dengan mekanisme intercompany loan;
bahwa berdasarkan Intercompany loan Agreement antara Pemohon Banding dengan Majapahit Finance, BV tanggal 28 Juni 2007 diketahui bahwa Majapahit Holding BV merupakan pemilik 100% saham Majapahit Finance BV. Tingkat bunga pinjaman yang dikenakan kepada Pemohon Banding adalah sebagai berikut: |
|||||||||||||||||||||
|
|
|
|
◾
|
Tranche A: 7,25% per tahun, Dutch Margin 0.9155%, jatuh tempo 28 Juni 2017,
|
||||||||||||||||||||
|
|
|
|
◾
|
Tranche B: 7,875% per tahun, Dutch Margin 0,9155%, jatuh tempo 29 Juni 2037;
|
||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
|
|
|
|
bahwa listing penerbitan Obligasi International a quo dilakukan di Singapore, bukan di Negeri Belanda;
bahwa dari sudut pemanfaatan hasil penerbitan Obligasi International, maka sesungguhnya pihak yang sepenuhnya memanfaatkan Proceed atau hasil tersebut adalah Pemohon Banding sehingga Majelis berpendapat bahwa yang sesungguhnya secara riil berkepentingan atas penerbitan obligasi internasional adalah Pemohon Banding; bahwa Majelis berpendapat hubungan pinjam meminjam secara riil berdasarkan fakta atau substansi adalah antara Pemohon Banding dengan Majapahit Holding BV, sebagaimana juga dinyatakan dalam Laporan Keuangan Pemohon Banding. Dalam kaitannya dengan pinjaman ini fungsi Majapahit Finance BV tidak jelas dan Majelis melihatnya hanya sebagai skema untuk tujuan tertentu yang tidak berdasarkan atau tidak sesuai dengan Adat Pedagang Yang Baik. Pada intinya dana pinjaman tersebut diperoleh dari penerbitan obligasi oleh Majapahit Holding BV yang selanjutnya "dipinjamkan" semula secara langsung kepada Pemohon Banding dan kemudian dimodifikasi menjadi melalui Majapahit Finance BV; bahwa secara substansi Majelis berpendapat yang menikmati bunga pinjaman a quo sesungguhnya adalah Pemegang Obligasi. Hal ini terbukti dari Laporan Auditor Independen yang selalu membukukan pembayaran bunga Pemohon Banding dengan nama "Pembayaran Bunga Obligasi International" dan besarnya pun dipengaruhi oleh kondisi Obligasi International; Bahwa listing penerbitan obligasi international a quo dilaksanakan di Singapore sehingga tidak ada jaminan bahwa pemegang obligasi adalah warga negara Belanda; |
|||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
|
|
|
3.
|
Fakta Pembayaran Bunga dari Pemohon Banding:
|
|||||||||||||||||||||
|
|
|
|
bahwa dalam Laporan Keuangan Audited Pemohon Banding dinyatakan bahwa utang Pemohon Banding seluruhnya adalah kepada Majapahit Holding, B.V., dan ada dokumen yang dikonfirmasi dari bank kepada Majapahit Holding, B.V;
bahwa berdasarkan Laporan Keuangan Independen sama sekali tidak ada penyebutan pembayaran bunga atas pinjaman dari Majapahit Holding BV maupun Majapahit Finance BV, melainkan keseluruhannya dengan judul pembayaran bunga obligasi international. Hal ini membuktikan bahwa hasil penerbitan obligasi international a quo hanya pass through Majapahit Holding BV/Majapahit Finance BV ke Pemohon Banding sehingga di dalam kenyataan pembukuan Pemohon Banding, pihak yang membayar bunganya adalah Pemohon Banding; bahwa sesuai dengan pernyataan dari Laporan Keuangan Induk berakhiran 31 Desember 2008 dan 2007 (halaman 54 dan Nomor 31) dan Laporan Auditor Independent Osman Bing Satro & Rekan diketahui, Majapahit Holding BV Belanda, anak perusahaan yang bertujuan khusus yang sepenuhnya milik Pemohon Banding ditugasi untuk menerbitkan obligasi terjamin dengan jatuh tempo 2017 dan 2037 pada tanggal 28 Juni 2007, dan obligasi terjamin dengan jatuh tempo 2011 dan 2016 pada tanggal 16 Oktober 2011 dan 2016 pada tanggal 16 Oktober 2006. Obligasi ini dicatatkan pada Bursa Efek Singapura; bahwa berdasarkan dokumen bagan pemegang saham, kepemilikan Pemohon Banding alas modal Majapahit Holding BV (MHBV) adalah 100% (seratus persen), kepemilikan Majapahit Holding BV alas modal Majapahit Finance BV (MFBV) adalah 100% (seratus persen); bahwa didasarkan pada bagan kepemilikan saham tersebut, Majelis berpendapat antara Pemohon Banding dengan Majapahit Holding BV (MHBV) dan Majapahit Finance BV (MFBV) mempunyai hubungan istimewa. Dalam hal ini, kedudukan Pemohon Banding dalam menentukan kebijakan sangat kuat MHBV dan MFBV, dan dapat mempengaruhi jalannya seluruh kegiatan operasional MHBV dan MFBV termasuk transaksi pinjaman/loan yang disengketakan dalam banding ini; bahwa berdasarkan catatan atas Laporan Keuangan a quo, Majapahit Holding BV menerbitkan obligasi terjamin tahun 2007 sejumlah USD 1 miliar dengan Deutxhe Bank Trust Company Americas sebagai wali amanat. Bunga dibayarkan setiap enam bulan sejak 28 Desember 2007 sampai dengan tanggal jatuh tempo obligasi. Penerbitan obligasi terjamin tahun 2006, sejumlah USD 1 miliar dengan Deutxhe Bank Trust Company Americas sebagai wali amanat. Bunga dibayarkan setiap enam bulan sejak 17 April 2007 sampai dengan tanggal jatuh tempo obligasi; bahwa atas penerbitan obligasi a quo, Majapahit Holding BV mempunyai opsi untuk menebus kembali obligasi terjamin dengan harga 101% dari nilai nominal dan ditambah bunga. Transaksi ini menurut Majelis, Majapahit Holding BV mempunyai tanggungjawab untuk membayar pokok dan bunga obligasi yang terjual (penebusan), jika ada penawaran dari pembeli obligasi tersebut; bahwa menurut Pemohon Banding, dana hasil penjualan obligasi terjamin tidak secara langsung diberikan oleh Majapahit Holding BV kepada Pemohon Banding, melainkan terlebih dahulu diserahkan kepada Majapahit Finance BV dalam bentuk penyertaan modal (dengan kepemilikan modal 100%) dan untuk selanjutnya diserahkan Majapahit Finance BV kepada Pemohon Banding dalam bentuk pinjaman/loan (perjanjian); bahwa dari skema penerbitan obligasi tersebut, diketahui MHBV mempunyai kewajiban membayar penebusan obligasi senilai 101% ditambah bunga kepada pemilik obligasi, walaupun dana hasil perolehan dari penerbitan obligasi tidak secara langsung diserahkan MHBV kepada Pemohon Banding, melainkan diserahkan kepada MFBV berbentuk penyertaan modal, berarti MFBV mempunyai kewajiban membayar dividen kepada MHBV karena pemegang saham tunggal; bahwa menurut Pemohon Banding, pinjaman diperoleh dari Majapahit Finance BV, sehingga bunga dibayarkan kepada Majapahit Finance BV dan bukan kepada Majapahit Holding BV. Majapahit Finance BV merupakan BO, karena pihak yang memberi pinjaman kepada Pemohon Banding; bahwa menurut Pemohon Banding dari penghasilan bunga tersebut, kemudian Majapahit Finance BV membagikan dividen kepada Majapahit Holding. BV dan Majapahit Finance BV tidak pernah membayarkan bunga kepada investor obligasi (bond holders); |
|||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
|
3.4.B.
|
Pendapat Pemohon Peninjauan Kembali
|
|||||||||||||||||||||||
|
|
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa transaksitransaksi di atas adalah transaksi penerbitan obligasi internasional yang dibeli oleh para investor internasional (pihak-pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa) sehingga hal-hal yang menyangkut “terms and conditions” dari obligasi internasional tersebut telah mengikuti standar internasional dan karenanya hal-hal yang diangkat oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak dalam pertimbangannya terkait dengan masalah “terms and conditions” atas obligasi internasional tersebut di atas adalah tidak relevan dalam sengketa ini;
Terkait dengan pembayaran bunga dari Pemohon Peninjauan Kembali kepada MFBV telah dapat dibuktikan dalam proses persidangan. Dokumen-dokumen yang kami sampaikan kepada Termohon Peninjauan Kembali berupa Bukti Kas/Bank Pengeluaran PLN dan Nota Dinas PLN (Bukti PK12) telah dapat mendukung fakta pembayaran bunga dari Pemohon Peninjauan Kembali kepada Majapahit Finance, BV; Majelis Hakim Pengadilan Pajak juga menggunakan informasi berupa indikasi bahwa Laporan Keuangan Pemohon Peninjauan Kembali menunjukkan adanya pembayaran kepada MHBV. Sebagaimana yang telah dijelaskan di dalam proses persidangan bahwa Akuntan Publik hanya mengaudit Laporan Keuangan Konsolidasi dari Pemohon Peninjauan Kembali, yang mana juga sudah memasukkan hasil konsolidasi Laporan Keuangan MHBV (sebagaimana diketahui Laporan Keuangan MFBV juga dikonsolidasikan ke dalam Laporan Keuangan MHBV di negara Belanda). Oleh karena itu alasan-alasan yang diangkat oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak terkait dengan Laporan Keuangan dan Laporan Akuntan Publik tidaklah tepat dan justru dapat menyesatkan; Perlu disampaikan bahwa MFBV adalah sebuah perusahaan yang didirikan di Belanda dan berdomisili di Belanda yang dibuktikan dengan adanya Surat Keterangan Domisili dari Competent Tax Authority Belanda. Adapun biaya bunga tersebut berkaitan dengan pemberian utang oleh MFBV kepada Pemohon Peninjauan Kembali untuk jangka waktu lebih dari 2 tahun dengan rincian pengembalian jatuh tempo sebagai berikut: |
|||||||||||||||||||||||
|
|
i.
|
16 Oktober 2006-16 Oktober 2011
|
||||||||||||||||||||||
|
|
ii.
|
16 Oktober 2006-16 Oktober 2016
|
||||||||||||||||||||||
|
|
iii.
|
28 Juni 2007-28 Juni 2017
|
||||||||||||||||||||||
|
|
iv.
|
28 Juni 2007-28 Juni 2037
|
||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
|
|
Dengan mengacu pada Pasal 11 ayat (4) P3B Indonesia-Belanda, dapat dipahami bahwa bunga yang timbul di Indonesia hanya akan dikenakan pajak di Negara Belanda jika pemilik manfaat dari bunga tersebut merupakan penduduk Negara Belanda dan jika bunga tersebut dibayarkan atas utang yang dibuat untuk jangka waktu lebih dari 2 (dua) tahun;
Merujuk pada pemahaman di atas, dapat diketahui bahwa transaksi pembayaran bunga pinjaman Pemohon Peninjauan Kembali kepada MFBV telah memenuhi kedua persyaratan kumulatif tersebut di atas di mana MFBV merupakan pemilik manfaat (Beneficial Owner) dari bunga tersebut (yang mana bunga tersebut tidak dibiayakan sebagai pembayaran bunga/royalti/jasa kepada pihak lain, tetapi sebagai dividen kepada pemegang saham). MFBV merupakan penduduk Negara Belanda yang dibuktikan dengan diterbitkannya Surat Keterangan Domisili oleh Competent Tax Authority Belanda dan bunga yang dibayarkan Pemohon Peninjauan Kembali kepada MFBV terkait dengan utang yang dibuat untuk jangka waktu lebih dari 2 (dua) tahun; Berdasarkan hal itu, Pemohon Peninjauan Kembali berpendapat bahwa pengenaan PPh Pasal 26 dengan tarif 20% atas Biaya Bunga Obligasi Internasional tidak tepat dan mengandung ketidakadilan bagi Pemohon Peninjauan Kembali dan karenanya Permohonan Peninjauan Kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali harus dikabulkan seluruhnya, yaitu tidak ada pengenaan pemotongan PPh Pasal 26 atas Biaya Bunga sebesar Rp2.102.841.913.949, karena berdasarkan penerapan Pasal 11 ayat (4) dari P3B antara Indonesia dan Belanda, hak pemajakannya berada di Negara Belanda; |
|||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
|
Bahwa berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak dalam perkara a quo telah memberikan pertimbangan-pertimbangan hukum yang sangat keliru dan bertentangan secara nyata dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 91 huruf e Undang-Undang Pengadilan Pajak, yang mengakibatkan putusan tersebut nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga juga menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang sangat nyata;
|
||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH AGUNG |
|||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:
Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali dapat dibenarkan, karena putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan menolak banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Terbanding Nomor KEP 660/WPJ.19/2012, tanggal 25 Mei 2012, mengenai keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pajak Penghasilan Pasal 26, Masa Pajak Januari sampai dengan Desember 2007, Nomor 00006/204/07/051/11, tanggal 30 Juni 2011, atas nama Pemohon Banding, NPWP: 01.001.629.3 051.000, adalah nyata-nyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan pertimbangan: |
|||||||||||||||||||||||||
a.
|
Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali dalam perkara a quo yaitu Pengenaan PPh Pasal 26 dengan tarif 20% terhadap objek PPh Pasal 26 berupa Biaya Bunga yang dibayarkan oleh Pemohon Peninjauan Kembali kepada Majapahit Finance BV (perusahaan yang didirikan di Negara Belanda) sebesar Rp1.081.112.049.765,00 yang dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak tidak dapat dibenarkan, karena setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil yang diajukan dalam Memori Peninjauan Kembali oleh Pemohon Peninjauan Kembali dihubungkan dengan Kontra Memori dari Termohon Peninjauan Kembali tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Pengadilan Pajak, karena dalam perkara a quo terikat dengan prinsip hukum lex specialis derogat lex generalis dan lex superior derogat legi inferiori, di mana bukti-bukti pendukung yang cukup memadai yaitu berupa penghasilan bunga yang diterima oleh Majapahit Finance BV (perusahaan yang didirikan di Negara Belanda) adalah sebagai pemilik manfaat (beneficial owner) dan jangka waktu dibuat dalam kurun waktu pinjaman lebih dari 2 (dua) tahun, serta Surat Keterangan Domisili (SKD) yang telah diyakini kebenarannya oleh Majelis Hakim Agung, dan oleh karenanya koreksi Terbanding (sekarang Termohon Peninjauan Kembali) mengenai perkara a quo tidak dapat dipertahankan karena tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (4) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Indonesia-Belanda;
|
||||||||||||||||||||||||
b.
|
Bahwa dengan demikian, dalil-dalil pemohon Peninjauan Kembali cukup berdasar dan patut untuk dikabulkan, karena terdapat putusan Pengadilan Pajak yang sebagaimana diatur dalam Pasal 91 huruf e Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;
|
||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
||||||||||||||||||||
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali: PT PLN (Persero) Kantor Pusat dan membatalkan Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT-59881/PP/M.IIB/13/2015, tanggal 26 Februari 2015, serta Mahkamah Agung akan mengadili kembali perkara ini dengan amar sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini;
Menimbang, bahwa Majelis Hakim Agung telah membaca dan mempelajari Jawaban Memori Peninjauan Kembali dari Termohon Peninjauan Kembali, namun tidak ditemukan hal-hal yang dapat melemahkan alasan Peninjauan Kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali; Menimbang, bahwa dengan dikabulkannya permohonan peninjauan kembali, maka Termohon Peninjauan Kembali: Direktur Jenderal Pajak dinyatakan sebagai pihak yang kalah, dan karenanya dihukum untuk membayar biaya perkara dalam Peninjauan Kembali ini; Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, serta peraturan perundang-undangan yang terkait; |
|||||||||||||||||||||||||
|
|
|
|
|
|
MENGADILI
Mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali: PT PLN (PERSERO) KANTOR PUSAT tersebut;
Membatalkan Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT-59881/PP/M.IIB/13/2015, tanggal 26 Februari 2015;
Membatalkan Putusan Pengadilan Pajak Nomor PUT-59881/PP/M.IIB/13/2015, tanggal 26 Februari 2015;
MENGADILI KEMBALI
Mengabulkan permohonan banding dari Pemohon Banding: PT PLN (PERSERO) KANTOR PUSAT tersebut;
Menghukum Termohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan Peninjauan Kembali ini sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu Rupiah);
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Kamis, tanggal 16 Februari 2017, oleh Dr. H. Yulius, S.H., M.H., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., M.S., dan Dr. Irfan Fachruddin, S.H., C.N., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota Majelis tersebut dan dibantu oleh Heni Hendrarta Widya Sukmana Kurniawan, S.H., M.H., Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak.
Menghukum Termohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan Peninjauan Kembali ini sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu Rupiah);
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Kamis, tanggal 16 Februari 2017, oleh Dr. H. Yulius, S.H., M.H., Hakim Agung yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., M.S., dan Dr. Irfan Fachruddin, S.H., C.N., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota Majelis tersebut dan dibantu oleh Heni Hendrarta Widya Sukmana Kurniawan, S.H., M.H., Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak.
Anggota Majelis:
ttd. Dr. H. M. Hary Djatmiko, S.H., M.S. ttd. Dr. Irfan Fachruddin, S.H., C.N. |
Ketua Majelis,
ttd. Dr. H. Yulius, S.H., M.H. |
||||||
|
|
||||||
|
Panitera Pengganti
ttd. Heni Hendrarta Widya Sukmana Kurniawan, S.H., M.H |
Gunakan Akun Perpajakan DDTC
Dapatkan akses harian untuk baca berbagai dokumen di kanal Sumber Hukum