Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Premium
Terjemahan Dokumen
Ini Belum Tersedia
Ini Belum Tersedia
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP) Konsolidasi |
|
Susunan dalam Satu Naskah dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2000
|
|
|
|
PENJELASAN UMUM
|
|
Pajak sebagai sumber utama penerimaan negara perlu terus ditingkatkan sehingga pembangunan nasional dapat dilaksanakan dengan kemampuan sendiri berdasarkan prinsip kemandirian. peningkatan kesadaran masyarakat di bidang perpajakan harus ditunjang dengan iklim yang mendukung peningkatan peran aktif masyarakat serta pemahaman akan hak dan kewajibannya dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Peran serta masyarakat Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban pembayaran pajak berdasarkan ketentuan perpajakan sangat diharapkan. Namun, dalam kenyataannya masih dijumpai adanya tunggakan pajak sebagai akibat tidak dilunasinya utang pajak sebagaimana mestinya.
Perkembangan jumlah tunggakan pajak dari waktu ke waktu menunjukkan jumlah yang semakin besar. Peningkatan jumlah tunggakan pajak ini masih belum dapat diimbangi dengan kegiatan pencairannya, namun demikian secara umum penerimaan di bidang pajak semakin meningkat. Terhadap tunggakan pajak dimaksud perlu dilaksanakan tindakan penagihan pajak yang mempunyai kekuatan hukum yang memaksa.
Kepatuhan Wajib Pajak dalam membayar pajak merupakan posisi strategis dalam peningkatan penerimaan pajak. Dengan demikian pengkajian terhadap faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan Wajib Pajak sangat perlu mendapatkan perhatian. Sebagaimana dikemukakan di atas, di dalam sistem self assessment yang berlaku sekarang ini maka penagihan pajak yang dilaksanakan secara konsisten dan berkesinambungan merupakan wujud law enforcement untuk meningkatkan kepatuhan yang menimbulkan aspek psikologis bagi Wajib Pajak.
Tindakan penagihan pajak yang selama ini dilaksanakan adalah berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Dengan undang-undang penagihan pajak yang demikian itu diharapkan dapat memberikan penekanan yang lebih pada keseimbangan antara kepentingan masyarakat Wajib Pajak dan kepentingan negara. Keseimbangan kepentingan dimaksud berupa pelaksanaan hak dan kewajiban oleh kedua belah pihak yang tidak berat sebelah atau tidak memihak, adil, serasi, dan selaras dalam wujud tata aturan yang jelas dan sederhana serta memberikan kepastian hukum.
Sejalan dengan perkembangan perekonomian Indonesia saat ini dan didukung dengan semangat reformasi, perlu kiranya dilakukan pembaharuan undang-undang penagihan pajak, dengan dilandasi pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
|
|
1.
|
Memperhatikan ketentuan perundang-undangan lain, seperti Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah;
|
2.
|
Menegakkan keadilan;
|
3.
|
Memberikan perlindungan hukum, baik kepada Penanggung Pajak maupun pihak ketiga berupa hak untuk mengajukan gugatan; dan
|
4.
|
Melaksanakan law enforcement secara konsisten dengan berdasar pada jadwal waktu penagihan yang telah ditentukan.
|
|
|
Beberapa pokok perubahan yang menjadi perhatian dan pembaharuan undang-undang penagihan pajak ini adalah sebagai berikut:
|
|
1.
|
Mempertegas proses pelaksanaan penagihan pajak dengan menambahkan ketentuan penerbitan Surat Teguran, Surat Peringatan dan surat lain yang sejenis sebelum Surat Paksa dilaksanakan;
|
2.
|
Mempertegas jangka waktu pelaksanaan penagihan aktif;
|
3.
|
Mempertegas pengertian Penanggung Pajak yang meliputi juga komisaris, pemegang saham, pemilik modal;
|
4.
|
Menaikkan nilai peralatan usaha yang dikecualikan dari penyitaan dalam rangka menjaga kelangsungan usaha Penanggung Pajak;
|
5.
|
Menambah jenis barang yang penjualannya dikecualikan dari lelang;
|
6.
|
Mempertegas besarnya biaya penagihan pajak, yang didasarkan atas prosentase tertentu dari hasil penjualan;
|
7.
|
Mempertegas bahwa pengajuan keberatan atau permohonan banding oleh Wajib Pajak tidak menunda pembayaran dan pelaksanaan penagihan pajak;
|
8.
|
Memberi kemudahan pelaksanaan lelang dengan cara memberi batasan nilai barang yang diumumkan tidak melalui media massa dalam rangka efisiensi;
|
9.
|
Memperjelas hak Penanggung Pajak untuk memperoleh ganti rugi dan pemulihan nama baik dalam hal gugatannya dikabulkan; dan
|
10.
|
Mempertegas pemberian sanksi pidana kepada pihak yang sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan pelaksanaan penagihan pajak.
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
|
Dalam Undang-Undang ini, yang dimaksud dengan:
|
|
1.
|
Pajak adalah semua jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, termasuk Bea Masuk dan Cukai, dan pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, menurut undang-undang dan peraturan daerah.
|
2.
|
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu.
|
3.
|
Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
4.
|
Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya.
|
5.
|
Pejabat adalah pejabat yang berwenang mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak, menerbitkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Surat Pencabutan Sita, Pengumuman lelang, Surat Penentuan Harga limit, Pembatalan Lelang, Surat Perintah Penyanderaan dan surat lain yang diperlukan untuk penagihan pajak sehubungan dengan Penanggung Pajak tidak melunasi sebagian atau seluruh utang pajak menurut undang-undang dan peraturan daerah.
|
6.
|
Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan.
|
7.
|
Pengadilan Negeri adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tindakan penagihan pajak dilaksanakan.
|
8.
|
Utang Pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya berdasarkan ketentuan peralihan perundang-undangan perpajakan.
|
9.
|
Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.
|
10.
|
Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur atau memperingatkan kepada Wajib Pajak untuk melunasi utang pajaknya.
|
11.
|
Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, Masa Pajak, dan Tahun Pajak.
|
12.
|
Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.
|
13.
|
Biaya Penagihan Pajak adalah biaya pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Pengumuman Lelang, Pembatalan Lelang, Jasa Penilai dan biaya lainnya sehubungan dengan penagihan pajak.
|
14.
|
Penyitaan adalah tindakan Jurusita Pajak untuk menguasai barang Penanggung Pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-undangan.
|
15.
|
Objek Sita adalah barang Penanggung Pajak yang dapat dijadikan jaminan utang pajak.
|
16.
|
Barang adalah tiap benda atau hak yang dapat dijadikan objek sita.
|
17.
|
Lelang adalah setiap penjualan barang di muka umum dengan cara penawaran harga secara lisan dan atau tertulis melalui usaha pengumpulan peminat atau calon pembeli.
|
18.
|
Kantor Lelang adalah kantor yang berwenang melaksanakan penjualan secara lelang.
|
19.
|
Risalah Lelang adalah Berita Acara Pelaksanaan Lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang atau kuasanya dalam bentuk yang ditentukan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan lelang.
|
20.
|
Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap Penanggung Pajak tertentu untuk keluar dari wilayah Negara Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
21.
|
Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan Penanggung Pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu.
|
22.
|
Gugatan atau Sanggahan adalah upaya hukum terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau kepemilikan barang sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
|
23.
|
Kepala Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota.
|
24.
|
Pemerintah Daerah adalah pemerintah daerah yang wilayah hukumnya meliputi tempat tindakan penagihan pajak dilaksanakan.
|
25.
|
Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
|
26.
|
Hari adalah hari kalender.
|
Penjelasan Pasal 1
|
Cukup jelas.
|
|
Aturan Terkait
|
Tidak ada peraturan terkait.
|
BAB II
PEJABAT DAN JURUSITA PAJAK
Pasal 2 |
|||
(1)
|
Menteri berwenang menunjuk Pejabat untuk penagihan pajak pusat.
|
||
(2)
|
Kepala Daerah berwenang menunjuk Pejabat untuk penagihan pajak daerah.
|
||
(3)
|
Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) berwenang:
|
||
|
a.
|
mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak;
|
|
|
b.
|
menerbitkan:
|
|
|
|
1)
|
Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis;
|
|
|
2)
|
Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus;
|
|
|
3)
|
Surat Paksa;
|
|
|
4)
|
Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan;
|
|
|
5)
|
Surat Perintah Penyanderaan;
|
|
|
6)
|
Surat Pencabutan Sita;
|
|
|
7)
|
Surat Pencabutan Sita;
|
|
|
8)
|
Surat Penentuan Harga Unit;
|
|
|
9)
|
Pembatalan Lelang; dan
|
|
|
10)
|
surat lain yang diperlukan untuk pelaksanaan penagihan pajak.
|
Penjelasan Pasal 2
|
Ayat (1)
Ketentuan ini memberi kewenangan kepada Menteri menunjuk Pejabat untuk penagihan pajak pusat. Yang dimaksud dengan Pejabat untuk penagihan pajak pusat antara lain Kepala Kantor Pelayanan Pajak atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan. Adapun yang dimaksud dengan pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, antara lain, Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Masuk dan Cukai.
Ayat (2)
Kewenangan menunjuk Pejabat untuk penagihan pajak daerah diberikan kepada Kepala Daerah. Yang dimaksud dengan Pejabat untuk penagihan pajak daerah misalnya Kepala Dinas Pendapatan Daerah. Adapun yang dimaksud dengan pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, antara lain, Pajak Hotel dan Restoran, Pajak Penerangan Jalan, dan Pajak Kendaraan Bermotor.
Ayat (3)
Ayat ini mengatur ketentuan tentang pemberian kewenangan kepada Pejabat di bidang penagihan pajak untuk mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak, menerbitkan Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis, Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Surat Perintah Penyanderaan, Surat Pencabutan Sita, Pengumuman Lelang, Surat Penentuan Harga Limit, Pembatalan Lelang, atau menerbitkan surat lain.
Yang dimaksud dengan surat lain yang diperlukan untuk pelaksanaan penagihan pajak antara lain surat permintaan tanggal dan jadwal waktu pelelangan ke kantor lelang, surat permintaan Surat keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) kepada Badan Pertanahan Nasional/Kantor Pertanahan, surat permintaan bantuan kepada kepolisian atau surat permintaan pencegahan.
|
|
Aturan Terkait
|
Seluruh aturan terkait dapat dilihat pada tautan berikut.
|
Pasal 3 |
|
(1)
|
Jurusita Pajak diangkat dan diberhentikan oleh Pejabat.
|
(2)
|
Syarat-syarat, tata cara pengangkatan dan pemberhentian sebagai Jurusita Pajak ditetapkan oleh Menteri.
|
Penjelasan Pasal 3
|
Ayat (1) dan ayat (2)
Jurusita Pajak dalam melaksanakan tugasnya merupakan pelaksana eksekusi dari putusan yang sama kedudukannya dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Oleh karena itu, untuk dapat diangkat sebagai Jurusita Pajak, harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang ditetapkan oleh Menteri, misalnya, pendidikan serendah-rendahnya Sekolah Menengah Umum atau yang sederajat serta telah mengikuti pendidikan dan pelatihan khusus Jurusita Pajak.
Dengan pertimbangan bahwa Jurusita Pajak harus ada pada setiap kantor Pejabat, baik Pejabat untuk penagihan pajak pusat maupun Pejabat untuk penagihan pajak daerah, maka kewenangan pengangkatan dan pemberhentian Jurusita Pajak diberikan kepada Pejabat dengan berpedoman pada syarat-syarat dan tata cara yang ditetapkan oleh Menteri.
|
|
Aturan Terkait
|
Tidak ada peraturan terkait.
|
Pasal 4 |
|
Sebelum memangku jabatannya, Jurusita Pajak diambil sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaan oleh Pejabat yang berbunyi sebagai berikut:
"Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk memangku jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan saya ini, tiada sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun juga sesuatu janji atau pemberian".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala Undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia".
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, saksama dan dengan tidak membeda-bedakan orang dalam melaksanakan kewajiban saya dan akan berlaku sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang Jurusita Pajak yang berbudi baik dan jujur, menegakkan hukum dan keadilan".
|
Penjelasan Pasal 4
|
Cukup jelas.
|
|
Aturan Terkait
|
Tidak ada peraturan terkait.
|
Pasal 5 |
||
(1)
|
Jurusita Pajak bertugas:
|
|
|
a.
|
melaksanakan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus;
|
|
b.
|
memberitahukan Surat Paksa;
|
|
c.
|
melaksanakan penyitaan atas barang Penanggung Pajak berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan; dan
|
|
d.
|
melaksanakan penyanderaan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan.
|
(2)
|
Jurusita Pajak dalam melaksanakan tugasnya harus dilengkapi dengan kartu tanda pengenal Jurusita Pajak dan harus diperlihatkan kepada Penanggung Pajak.
|
|
(3)
|
Dalam melaksanakan penyitaan, Jurusita Pajak berwenang memasuki dan memeriksa semua ruangan termasuk membuka lemari, laci, dan tempat lain untuk menemukan objek sita di tempat usaha, di tempat kedudukan, atau di tempat tinggal Penanggung Pajak, atau di tempat lain yang dapat diduga sebagai tempat penyimpanan objek sita.
|
|
(4)
|
Dalam melaksanakan tugasnya, Jurusita Pajak dapat meminta bantuan Kepolisian, Kejaksaan, Departemen yang membidangi hukum dan perundang-undangan, Pemerintah Daerah setempat, Badan Pertanahan Nasional, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Pengadilan Negeri, Bank atau pihak lain.
|
|
(5)
|
Jurusita Pajak menjalankan tugas di wilayah kerja Pejabat yang mengangkatnya, kecuali ditetapkan lain dengan Keputusan Menteri atau Keputusan Kepala Daerah.
|
Penjelasan Pasal 5
|
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan memberitahukan Surat Paksa adalah menyampaikan Surat Paksa secara resmi kepada Penanggung Pajak dengan pernyataan dan penyerahan salinan Surat Paksa.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Jurusita Pajak melaksanakan penyanderaan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan dari Pejabat sesuai dengan izin yang diberikan oleh Menteri atau Gubernur.
Ayat (2)
Ketentuan ini mengatur keharusan Jurusita Pajak dalam melaksanakan kewajibannya dilengkapi dengan kartu tanda pengenal yang diterbitkan oleh Pejabat. Hal ini dimaksudkan sebagai bukti diri bagi Jurusita Pajak bahwa yang bersangkutan adalah Jurusita Pajak yang sah dan betul-betul bertugas untuk melaksanakan tindakan penagihan pajak.
Ayat (3)
Ketentuan ini mengatur kewenangan Jurusita Pajak dalam melaksanakan penyitaan untuk menemukan objek sita yang ada di tempat usaha, tempat kedudukan, atau tempat tinggal Penanggung Pajak dengan memperhatikan norma yang berlaku dalam masyarakat, misalnya, dengan terlebih dahulu meminta izin dari Penanggung Pajak. Kewenangan ini pada hakekatnya tidak sama dengan penggeledahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Ayat (4)
Jurusita Pajak dalam melaksanakan tugas dapat meminta bantuan pihak lain, misalnya, dalam hal Penanggung Pajak tidak memberi izin atau menghalangi pelaksanaan penyitaan, Jurusita Pajak dapat meminta bantuan Kepolisian atau Kejaksaan. Demikian juga dalam hal penyitaan terhadap barang tidak bergerak seperti tanah, Jurusita Pajak dapat meminta bantuan kepada Badan Pertanahan Nasional atau Pemerintah Daerah untuk meneliti kelengkapan dokumen berupa keterangan kepemilikan atau dokumen lainnya. Dalam hal penyitaan terhadap kapal laut dengan isi kotor tertentu dapat meminta bantuan kepada Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.
Ayat (5)
Pada dasarnya Jurusita Pajak melaksanakan tugas di wilayah kerja Pejabat yang mengangkatnya, namun apabila dalam suatu kota terdapat beberapa wilayah kerja Pejabat, misalnya, di Jakarta, maka Menteri atau Kepala Daerah berwenang menetapkan bahwa Jurusita Pajak dapat melaksanakan tugasnya di luar wilayah kerja Pejabat yang mengangkatnya.
Contoh:
Dalam hal telah ada keputusan Menteri, maka Jurusita Pajak dari Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Menteng dapat melaksanakan penyitaan barang Penanggung Pajak yang berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Pasar Minggu.
|
|
Aturan Terkait
|
Seluruh aturan terkait dapat dilihat pada tautan berikut.
|
Pasal 6 |
||
(1)
|
Jurusita Pajak melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran berdasarkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus yang diterbitkan oleh Pejabat apabila:
|
|
|
a.
|
Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;
|
|
b.
|
Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;
|
|
c.
|
terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya, atau menggabungkan usahanya, atau memekarkan usahanya, atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya;
|
|
d.
|
badan usaha akan dibubarkan oleh Negara; atau
|
|
e.
|
terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.
|
(2)
|
Surat Perintah Penagihan Seketika dan sekaligus sekurang-kurangnya memuat:
|
|
|
a.
|
nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak dan Penanggung Pajak;
|
|
b.
|
besarnya utang Pajak;
|
|
c.
|
perintah untuk membayar; dan
|
|
d.
|
saat pelunasan pajak.
|
(3)
|
Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus diterbitkan sebelum penerbitan Surat Paksa.
|
Penjelasan Pasal 6
|
Ayat (1)
Pengertian penagihan seketika dan sekaligus adalah penagihan pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran terhadap seluruh utang pajak dan semua jenis pajak, Masa Pajak dan Tahun Pajak.
Penyampaian Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus dilaksanakan secara langsung oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak.
Dalam hal diketahui oleh Jurusita Pajak bahwa barang milik Penanggung Pajak akan disita oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan, atau Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya, memekarkan usaha, memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya, Jurusita Pajak segera melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus dengan melaksanakan penyitaan terhadap sebagian besar barang milik Penanggung Pajak dimaksud setelah Surat Paksa diberitahukan.
Yang dimaksud dengan terdapat tanda-tanda adalah petunjuk yang kuat bahwa Penanggung Pajak mengurangi atau menjual/memindahtangankan barang-barangnya sehingga tidak ada barang yang akan disita.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
|
|
Aturan Terkait
|
Tidak ada peraturan terkait.
|
BAB III
SURAT PAKSA Pasal 7 |
||
(1)
|
Surat Paksa berkepala kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA", mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
|
|
(2)
|
Surat Paksa sekurang-kurangnya harus memuat:
|
|
|
a.
|
nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak dan Penanggung Pajak;
|
|
b.
|
dasar penagihan;
|
|
c.
|
besarnya utang pajak; dan
|
|
d.
|
perintah untuk membayar.
|
Penjelasan Pasal 7
|
Ayat (1)
Agar tercapai efektivitas dan efisiensi penagihan pajak yang didasari Surat Paksa, ketentuan ini memberikan kekuatan eksekutorial serta memberi kedudukan hukum yang sama dengan grosse akte yaitu putusan pengadilan perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan demikian, Surat Paksa langsung dapat dilaksanakan tanpa bantuan putusan pengadilan lagi dan tidak dapat diajukan banding.
Ayat (2)
Cukup jelas.
|
|
Aturan Terkait
|
Tidak ada peraturan terkait.
|
Pasal 8 |
||
(1)
|
Surat Paksa diterbitkan apabila:
|
|
|
a.
|
Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya telah diterbitkan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis;
|
|
b.
|
terhadap Penanggung Pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus; atau
|
|
c.
|
Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.
|
(2)
|
Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis diterbitkan apabila Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajaknya sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran.
|
Penjelasan Pasal 8
|
Ayat (1)
Huruf a dan Huruf b
Pada dasarnya Surat Paksa diterbitkan setelah Surat Teguran, Surat Peringatan, atau surat lain yang sejenis diterbitkan oleh Pejabat. Dalam hal penagihan seketika dan sekaligus Surat Paksa diterbitkan oleh Pejabat baik sebelum maupun sesudah penerbitan Surat Teguran, atau Surat Peringatan, atau surat lain yang sejenis.
Pengertian surat lain yang sejenis meliputi surat atau bentuk lain yang fungsinya sama dengan Surat Teguran atau Surat Peringatan dalam upaya penagihan pajak sebelum Surat Paksa diterbitkan.
Huruf c
Dalam hal-hal tertentu, misalnya, karena Penanggung Pajak mengalami kesulitan likuiditas, kepada Penanggung Pajak atas dasar permohonannya dapat diberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak melalui keputusan Pejabat. Oleh karena itu, keputusan dimaksud mengikat kedua belah pihak.
Dengan demikian, apabila kemudian Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak, maka Surat Paksa dapat diterbitkan langsung tanpa Surat Teguran, Surat Peringatan, atau surat lain yang sejenis.
Ayat (2)
Cukup jelas.
|
|
Aturan Terkait
|
Tidak ada peraturan terkait.
|
Pasal 9 |
|
(1)
|
Dalam hal terjadi keadaan di luar kekuasaan Pejabat atau sebab lain, Surat Paksa pengganti dapat diterbitkan oleh Pejabat karena jabatan.
|
(2)
|
Surat Paksa pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1).
|
Penjelasan Pasal 9
|
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengatur bahwa apabila terjadi keadaan di luar kekuasaan Pejabat, misalnya, kecurian, kebanjiran, kebakaran, atau gempa bumi yang menyebabkan asli Surat Paksa rusak, tidak terbaca atau oleh sebab lain misalnya Surat Paksa hilang atau tidak dapat diketemukan lagi, Pejabat karena jabatan dapat menerbitkan Surat Paksa pengganti yang mempunyai kekuatan dan kedudukan hukum yang sama dengan Surat Paksa.
|
|
Aturan Terkait
|
Tidak ada peraturan terkait.
|
Pasal 10 |
||
(1)
|
Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak dengan pernyataan dan penyerahan Salinan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak.
|
|
(2)
|
Pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan dalam Berita Acara yang sekurang-kurangnya memuat hari dan tanggal pemberitahuan Surat Paksa, nama Jurusita Pajak, nama yang menerima, dan tempat pemberitahuan Surat Paksa.
|
|
(3)
|
Surat Paksa terhadap orang pribadi diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada:
|
|
|
a.
|
Penanggung Pajak di tempat tinggal, tempat usaha atau di tempat lain yang memungkinkan;
|
|
b.
|
orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun yang bekerja di tempat usaha Penanggung Pajak, apabila Penanggung Pajak yang bersangkutan tidak dapat dijumpai;
|
|
c.
|
salah seorang ahli waris atau pelaksana wasiat atau yang mengurus harta peninggalannya, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan belum dibagi; atau
|
|
d.
|
para ahli waris, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan telah dibagi.
|
(4)
|
Surat Paksa terhadap badan diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada:
|
|
|
a.
|
pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal, baik di tempat kedudukan badan yang bersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun di tempat lain yang memungkinkan; atau
|
|
b.
|
pegawai tetap di tempat kedudukan atau tempat usaha badan yang bersangkutan apabila Jurusita Pajak tidak dapat menjumpai salah seorang sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
|
(5)
|
Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, Surat Paksa diberitahukan kepada Kurator, Hakim Pengawas atau Balai Harta Peninggalan, dan dalam hal Wajib Pajak dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, Surat Paksa diberitahukan kepada orang atau badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan, atau likuidator.
|
|
(6)
|
Dalam hal Wajib Pajak menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakan, Surat Paksa dapat diberitahukan kepada penerima kuasa dimaksud.
|
|
(7)
|
Apabila pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) tidak dapat dilaksanakan, Surat Paksa disampaikan melalui Pemerintah Daerah setempat.
|
|
(8)
|
Dalam hal Wajib Pajak atau Penanggung Pajak tidak diketahui tempat tinggalnya, tempat usaha, atau tempat kedudukannya, penyampaian Surat Paksa dilaksanakan dengan cara menempelkan Surat Paksa pada papan pengumuman kantor Pejabat yang menerbitkannya, mengumumkan melalui media massa, atau cara lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri atau Keputusan Kepala Daerah.
|
|
(9)
|
Dalam hal Surat Paksa harus dilaksanakan di luar wilayah kerja Pejabat, Pejabat dimaksud meminta bantuan kepada Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat pelaksanaan Surat Paksa, kecuali ditetapkan lain dengan Keputusan Menteri atau Keputusan Kepala Daerah.
|
|
(10)
|
Pejabat yang diminta bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) wajib membantu dan memberitahukan tindakan yang telah dilaksanakannya kepada Pejabat yang meminta bantuan.
|
|
(11)
|
Dalam hal Penanggung Pajak atau pihak-pihak yang dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) menolak untuk menerima Surat paksa, Jurusita Pajak meninggalkan Surat Paksa dimaksud dan mencatatnya dalam Berita Acara bahwa Penanggung Pajak tidak mau menerima Surat Paksa, dan Surat Paksa dianggap telah diberitahukan.
|
|
(12)
|
Pengajuan keberatan oleh Wajib Pajak tidak mengakibatkan penundaan pelaksanaan Surat Paksa.
|
Penjelasan Pasal 10
|
||||||||
Ayat (1)
Mengingat Surat Paksa mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan grosse akte, yaitu putusan pengadilan perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka pemberitahuan kepada Penanggung Pajak oleh Jurusita Pajak dilaksanakan dengan cara membacakan isi Surat Paksa dan kedua belah pihak menandatangani Berita Acara sebagai pernyataan bahwa Surat Paksa telah diberitahukan. Selanjutnya salinan Surat Paksa diserahkan kepada Penanggung Pajak, sedangkan asli Surat Paksa disimpan di kantor Pejabat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Terhadap Wajib Pajak yang meninggal dunia dan meninggalkan warisan yang telah dibagi, Surat Paksa diterbitkan dan diberitahukan kepada masing-masing ahli waris. Surat Paksa dimaksud memuat antara lain, jumlah utang pajak yang telah dibagi sebanding dengan besarnya warisan yang diterima oleh masing-masing ahli waris. Dalam hal ahli waris belum dewasa, Surat Paksa diserahkan kepada wali atau pengampunya.
Ayat (4)
Huruf a
Pemberitahuan Surat Paksa terhadap badan dapat disampaikan:
Huruf b
Pengertian pegawai tetap adalah pegawai perusahaan yang membidangi keuangan, pembukuan, perpajakan, personalia, hubungan masyarakat, atau bagian umum dan bukan pegawai harian.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan seorang kuasa pada ayat ini adalah orang pribadi atau badan yang menerima kuasa khusus untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakan.
Ayat (7)
Apabila Jurusita Pajak tidak menjumpai seorang pun sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4), Salinan Surat Paksa disampaikan kepada Penanggung Pajak melalui aparat Pemerintah Daerah setempat sekurang-kurangnya setingkat Sekretaris Kelurahan atau Sekretaris Desa dengan membuat Berita Acara, yang selanjutnya Salinan Surat Paksa dimaksud akan segera diserahkan kepada Penanggung Pajak yang bersangkutan.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Pada dasarnya apabila Surat Paksa akan dilaksanakan di luar wilayah kerja Pejabat, Pejabat dimaksud harus meminta bantuan kepada Pejabat lain. Menyimpang dari ketentuan tersebut di atas, apabila di suatu kota terdapat beberapa wilayah kerja Pejabat, dan telah ada Keputusan Menteri atau Keputusan Kepala Daerah, Pejabat dimaksud dapat langsung memerintahkan Jurusitanya untuk melaksanakan Surat Paksa di luar wilayah kerjanya tanpa harus meminta bantuan Pejabat setempat.
Contoh:
Dalam hal telah ada keputusan Menteri, maka Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Jakarta Utara dapat langsung memerintahkan Jurusitanya untuk melaksanakan Surat Paksa di tempat Penanggung Pajak di Pasar Minggu Jakarta Selatan, tanpa harus meminta bantuan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Jakarta Selatan.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Apabila Penanggung Pajak menolak menerima Surat Paksa dengan berbagai alasan, misalnya, karena Wajib Pajak sedang mengajukan keberatan, salinan Surat Paksa dimaksud ditinggalkan di tempat tinggal, tempat usaha, atau tempat kedudukan Penanggung Pajak dan dicatat dalam Berita Acara bahwa Penanggung Pajak tidak mau atau menolak menerima salinan Surat Paksa. Dengan demikian, Surat Paksa dianggap telah diberitahukan.
Ayat (12)
Cukup jelas.
|
||||||||
|
||||||||
Aturan Terkait
|
||||||||
Tidak ada peraturan terkait.
|
Pasal 10A |
Tata cara pelaksanaan penagihan seketika dan sekaligus, dan pelaksanaan Surat Paksa ditetapkan dengan Keputusan Menteri atau Keputusan Kepala Daerah.
|
Penjelasan Pasal 10A
|
Cukup jelas.
|
|
Aturan Terkait
|
Seluruh aturan terkait dapat dilihat pada tautan berikut.
|
Pasal 11 |
Pelaksanaan Surat Paksa tidak dapat dilanjutkan dengan penyitaan sebelum lewat waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam setelah Surat Paksa diberitahukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
|
Penjelasan Pasal 11
|
Jangka waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada Penanggung Pajak melunasi utang pajak sebagaimana tercantum dalam Surat Paksa yang bersangkutan.
|
|
Aturan Terkait
|
Tidak ada peraturan terkait.
|
BAB IV
PENYITAAN
Pasal 12 |
||
(1)
|
Apabila utang pajak tidak dilunasi Penanggung Pajak dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pejabat menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan.
|
|
(2)
|
Penyitaan dilaksanakan oleh Jurusita Pajak dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang yang telah dewasa, penduduk Indonesia, dikenal oleh Jurusita Pajak, dan dapat dipercaya.
|
|
(3)
|
Setiap melaksanakan penyitaan, Jurusita Pajak membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita yang ditandatangani oleh Jurusita Pajak, penanggung Pajak dan saksi-saksi.
|
|
(3a)
|
Dalam hal Penanggung Pajak adalah Badan maka Berita Acara Pelaksanaan Sita ditandatangani oleh pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal atau pegawai tetap perusahaan.
|
|
(4)
|
Walaupun Penanggung Pajak tidak hadir, penyitaan tetap dapat dilaksanakan dengan syarat salah seorang saksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), berasal dari Pemerintah Daerah setempat.
|
|
(5)
|
Dalam hal penyitaan dilaksanakan tidak dihadiri oleh Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), Berita Acara Pelaksanaan Sita ditandatangani Jurusita Pajak dan saksi-saksi.
|
|
(6)
|
Berita Acara Pelaksanaan Sita tetap mempunyai kekuatan mengikat, meskipun Penanggung Pajak menolak menandatangani Berita Acara Pelaksanaan Sita sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
|
|
(7)
|
Salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita dapat ditempelkan pada barang bergerak atau barang tidak bergerak yang disita, atau di tempat barang bergerak atau barang tidak bergerak yang disita berada, dan atau di tempat-tempat umum.
|
|
(8)
|
Atas barang yang disita dapat ditempel atau diberi segel sita.
|
Penjelasan Pasal 12
|
||||||||
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kehadiran para saksi dimaksudkan untuk meyakinkan bahwa pelaksanaan penyitaan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Ayat (3)
Berita Acara Pelaksanaan Sita merupakan pemberitahuan kepada Penanggung Pajak dan masyarakat bahwa penguasaan Penanggung Pajak telah berpindah dari Penanggung Pajak kepada Pejabat. Oleh karena itu, dalam setiap penyitaan, Jurusita Pajak harus membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita secara jelas dan lengkap yang sekurang-kurangnya memuat hari dan tanggal, nomor, nama Jurusita Pajak, nama Penanggung Pajak, nama dan jenis barang yang disita, dan tempat penyitaan.
Ayat (3a)
Penandatanganan Berita Acara Pelaksanaan Sita:
Penandatanganan ini dimaksudkan untuk memberi pengertian bahwa mereka turut bertanggung jawab atas kewajiban badan usaha tersebut sehingga barang-barang milik mereka juga dapat dijadikan jaminan utang pajak (dapat disita).
Ayat (4)
Salah seorang saksi dari Pemerintah Daerah setempat, sekurang-kurangnya Sekretaris Kelurahan atau Sekretaris Desa.
Ayat (5)
Dalam pelaksanaan sita yang tidak dihadiri oleh Penanggung Pajak, Berita Acara Pelaksanaan Sita harus memuat alasan. ketidakhadiran Penanggung Pajak. Diperlukannya saksi dari Pemerintah Daerah setempat berfungsi sebagai saksi legalisator. Dengan demikian, Berita Acara Pelaksanaan Sita. dimaksud tetap sah dan mempunyai kekuatan mengikat.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Pada dasarnya terhadap barang yang disita harus ditempeli salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita, kecuali jika terdapat barang yang disita yang sesuai sifatnya tidak dapat ditempeli salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita, misalnya, uang tunai atau sebidang tanah.
Ayat (8)
Penempelan atau pemberian segel sita pada barang yang disita dimaksudkan sebagai pengumuman bahwa penyitaan telah dilaksanakan, baik dihadiri ataupun tidak dihadiri oleh Penanggung Pajak.
|
||||||||
|
||||||||
Aturan Terkait
|
||||||||
Tidak ada peraturan terkait.
|
Pasal 13 |
|
Pengajuan keberatan oleh Wajib Pajak tidak mengakibatkan penundaan pelaksanaan penyitaan.
|
Penjelasan Pasal 13
|
Ketentuan ini sejalan dengan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 yang, antara lain, mengatur bahwa pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak. Oleh karena itu, penyitaan tetap dapat dilaksanakan walaupun Wajib Pajak mengajukan keberatan.
|
|
Aturan Terkait
|
Tidak ada peraturan terkait.
|
Pasal 14 |
||
(1)
|
Penyitaan dilaksanakan terhadap barang milik Penanggung Pajak yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan, atau di tempat lain termasuk yang penguasaannya berada di tangan pihak lain atau yang dijaminkan sebagai pelunasan utang tertentu yang dapat berupa:
|
|
|
a.
|
barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai dan deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, obligasi saham, atau surat berharga lainnya, piutang, dan penyertaan modal pada perusahaan lain; dan atau
|
|
b.
|
barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan, dan kapal dengan isi kotor tertentu.
|
(1a)
|
Penyitaan terhadap Penanggung Pajak Badan dapat dilaksanakan terhadap barang milik perusahaan, pengurus kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal, baik di tempat kedudukan yang bersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun di tempat lain.
|
|
(2)
|
Penyitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sampai dengan nilai barang yang disita diperkirakan cukup oleh Jurusita Pajak untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak.
|
|
(3)
|
Hak lainnya yang dapat disita selain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
Penjelasan Pasal 14
|
Ayat (1)
Tujuan penyitaan adalah memperoleh jaminan pelunasan utang pajak dari Penanggung Pajak. Oleh karena itu, penyitaan dapat dilaksanakan terhadap semua barang Penanggung Pajak, baik yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan Penanggung Pajak, atau di tempat lain maupun yang penguasaannya berada di tangan pihak lain.
Pada dasarnya penyitaan dilaksanakan dengan mendahulukan barang bergerak, namun dalam keadaan tertentu penyitaan dapat dilaksanakan langsung terhadap barang tidak bergerak tanpa melaksanakan penyitaan terhadap barang bergerak. Keadaan tertentu, misalnya, Jurusita Pajak tidak menjumpai barang bergerak yang dapat dijadikan objek sita, atau barang bergerak yang dijumpainya tidak mempunyai nilai, atau harganya tidak memadai jika dibandingkan dengan utang pajaknya.
Pengertian kepemilikan atas tanah meliputi, antara lain, hak milik, hak pakai, hak guna bangunan, dan hak guna usaha.
Yang dimaksud dengan penguasaan berada di tangan pihak lain, misalnya, disewakan atau dipinjamkan, sedangkan yang dimaksud dengan dibebani dengan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, misalnya, barang yang dihipotekkan, digadaikan, atau diagunkan.
Ayat (1a)
Pada dasarnya penyitaan terhadap badan dilakukan terhadap barang milik perusahaan. Namun apabila nilai barang tersebut tidak mencukupi atau barang milik perusahaan tidak dapat ditemukan atau karena kesulitan dalam melaksanakan penyitaan terhadap barang milik perusahaan, maka penyitaan dapat dilakukan terhadap barang-barang milik pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal atau ketua untuk yayasan.
Ayat (2)
Dalam memperkirakan nilai barang yang disita, Jurusita Pajak harus memperhatikan jumlah dan jenis barang berdasarkan harga wajar sehingga Jurusita Pajak tidak dapat melakukan penyitaan secara berlebihan. Dalam hal tertentu Jurusita Pajak dimungkinkan untuk meminta bantuan Jasa Penilai.
Ayat (3)
Ketentuan ini diperlukan untuk menampung kemungkinan perluasan objek sita berupa hak lainnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
|
|
Aturan Terkait
|
Seluruh aturan terkait dapat dilihat pada tautan berikut.
|
Pasal 15 |
||
(1)
|
Barang bergerak milik Penanggung Pajak yang dikecualikan dari penyitaan adalah:
|
|
|
a.
|
pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannya yang digunakan oleh Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya;
|
|
b.
|
persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan beserta peralatan memasak yang berada di rumah;
|
|
c.
|
perlengkapan Penanggung Pajak yang bersifat dinas yang diperoleh dari negara;
|
|
d.
|
buku-buku yang bertalian dengan jabatan atau pekerjaan Penanggung Pajak dan alat-alat yang dipergunakan untuk pendidikan, kebudayaan dan keilmuan;
|
|
e.
|
peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk melaksanakan pekerjaan atau usaha sehari-hari dengan jumlah seluruhnya tidak lebih dari Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah); atau
|
|
f.
|
peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya.
|
(2)
|
Perubahan besarnya nilai peralatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e ditetapkan dengan Keputusan Menteri atau Keputusan Kepala Daerah.
|
|
(2a)
|
Dalam hal barang yang disita mudah rusak atau cepat busuk, dikecualikan dari penjualan secara lelang.
|
|
(3)
|
Penambahan jenis barang bergerak yang dikecualikan dari penyitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf f diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
Penjelasan Pasal 15
|
Pengertian makanan dan minuman termasuk obat-obatan yang dipergunakan/diminum dalam hal penanggung pajak dan atau keluarganya sakit. Sedangkan obat-obatan untuk diperdagangkan tidak termasuk dalam objek yang dikecualikan dari penyitaan.
|
|
Aturan Terkait
|
Tidak ada peraturan terkait.
|
Pasal 16 |
||
Barang yang telah disita dititipkan kepada Penanggung Pajak, kecuali apabila menurut Jurusita Pajak barang dimaksud perlu disimpan di kantor Pejabat atau di tempat lain.
|
Penjelasan Pasal 16
|
Meskipun barang yang telah disita penguasaannya beralih dari Penanggung Pajak kepada Pejabat, penyimpanannya dititipkan kepada Penanggung Pajak, misalnya, tanah dan atau bangunan. Namun, ada barang yang karena sifatnya atau karena pertimbangan tertentu dari Jurusita Pajak, penyimpanannya dapat dititipkan pada bank, atau kantor pegadaian, atau disimpan di kantor Pejabat seperti perhiasan atau peralatan elektronik.
|
|
Aturan Terkait
|
Tidak ada peraturan terkait.
|
Pasal 17 |
|
(1)
|
Penyitaan terhadap deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu dilaksanakan dengan pemblokiran terlebih dahulu.
|
(2)
|
Dalam hal penyitaan dilaksanakan terhadap barang yang kepemilikannya terdaftar, salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita diserahkan kepada instansi tempat kepemilikan barang dimaksud terdaftar.
|
(3)
|
Dalam hal penyitaan dilaksanakan terhadap barang tidak bergerak yang kepemilikannya belum terdaftar, Jurusita Pajak menyampaikan salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita kepada Pemerintah Daerah dan Pengadilan Negeri setempat untuk diumumkan menurut cara yang lazim di tempat itu.
|
Penjelasan Pasal 17
|
Ayat (1)
Penyitaan atas kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan di bank berupa deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu dilaksanakan dengan cara pemblokiran terlebih dahulu yang pelaksanaannya mengacu pada ketentuan mengenai rahasia bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (2)
Penyitaan barang yang kepemilikannya terdaftar seperti kendaraan bermotor diberitahukan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia; tanah diberitahukan kepada Badan Pertanahan Nasional; penyitaan kapal laut dengan isi kotor tertentu diberitahukan kepada Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. Pemberitahuan ini dimaksudkan agar barang sitaan dimaksud tidak dapat dipindahtangankan sebelum utang pajak beserta biaya penagihan pajak dan biaya lainnya dilunasi oleh Penanggung Pajak.
Pemberitahuan dilakukan dengan penyerahan salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita.
Ayat (3)
Atas penyitaan barang tidak bergerak, misalnya, tanah yang kepemilikannya belum terdaftar di Badan Pertanahan Nasional, Berita Acara Pelaksanaan Sita disampaikan kepada Pemerintah Daerah setempat untuk digunakan sebagai dasar penerbitan Surat Keterangan Riwayat Tanah dan untuk mencegah pemindahtanganan tanah dimaksud. Penyampaian Berita Acara Pelaksanaan Sita ke Pengadilan Negeri dimaksudkan untuk didaftarkan kepada kepaniteraan Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri dan Pemerintah Daerah setempat selanjutnya mengumumkan penyitaan dimaksud.
|
|
Aturan Terkait
|
Tidak ada peraturan terkait.
|
Pasal 18 |
|
(1)
|
Terhadap barang yang telah disita oleh Kejaksaan atau Kepolisian sebagai barang bukti dalam kasus pidana, Jurusita Pajak menyampaikan Surat Paksa dengan dilampiri surat pemberitahuan yang menyatakan bahwa barang dimaksud akan disita apabila proses pembuktian telah selesai dan diputuskan bahwa barang bukti dikembalikan kepada Penanggung Pajak.
|
(2)
|
Kejaksaan atau Kepolisian segera memberitahukan kepada Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa agar segera melaksanakan penyitaan sebelum barang dimaksud dikembalikan kepada Penanggung Pajak.
|
(3)
|
Dalam hal barang yang disita oleh Kejaksaan atau Kepolisian telah dikembalikan kepada Penanggung Pajak tanpa pemberitahuan kepada Pejabat, penyitaan terhadap barang dimaksud tetap dapat dilaksanakan.
|
Penjelasan Pasal 18
|
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan ini dimaksudkan agar penyitaan dapat dilaksanakan sebelum barang dikembalikan kepada Penanggung Pajak.
Dalam hal Kejaksaan atau Kepolisian lalai memberitahukan kepada Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa, sehubungan dengan akan dikembalikannya barang yang disita kepada Penanggung Pajak, kepada yang bersangkutan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (3)
Cukup jelas.
|
|
Aturan Terkait
|
Tidak ada peraturan terkait.
|
Pasal 19 |
||
(1)
|
Penyitaan tidak dapat dilaksanakan terhadap barang yang telah disita oleh Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang.
|
|
(2)
|
Terhadap barang yang telah disita sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Jurusita Pajak menyampaikan Surat Paksa kepada Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang.
|
|
(3)
|
Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dalam sidang berikutnya menetapkan barang yang telah disita dimaksud sebagai jaminan pelunasan utang pajak.
|
|
(4)
|
Instansi lain yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), setelah menerima Surat Paksa menjadikan barang yang telah disita dimaksud sebagai jaminan pelunasan utang pajak.
|
|
(5)
|
Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang menentukan pembagian hasil penjualan barang dimaksud berdasarkan ketentuan hak mendahulu Negara untuk tagihan pajak.
|
|
(6)
|
Hak mendahulu untuk tagihan pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap:
|
|
|
a.
|
biaya perkara yang semata-mata disebabkan suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan atau barang tidak bergerak;
|
|
b.
|
biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud;
|
|
c.
|
biaya perkara yang semata-mata disebabkan pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.
|
(7)
|
Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap segera disampaikan oleh Pengadilan Negeri kepada Kantor Lelang untuk dipergunakan sebagai dasar pembagian hasil lelang.
|
Penjelasan Pasal 19
|
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi penegasan bahwa terhadap semua jenis barang yang telah disita oleh Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang, tidak boleh disita lagi oleh Jurusita Pajak. Adapun yang dimaksud dengan instansi lain yang berwenang adalah instansi lain yang juga berwenang adalah instansi lain yang juga berwenang melakukan penyitaan, misalnya, Panitia Urusan Piutang Negara.
Ayat (2)
Penyerahan salinan Surat Paksa oleh Jurusita Pajak kepada Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang dimaksudkan agar Pengadilan Negeri atau instansi lain yang berwenang menentukan bahwa penyitaan atas barang dimaksud juga berlaku sebagai jaminan untuk pelunasan utang pajak yang tercantum dalam Surat Paksa.
Ayat (3)
Pengadilan Negeri setelah menerima salinan Surat Paksa selanjutnya dalam sidang berikutnya menetapkan bahwa barang yang telah disita dimaksud juga sebagai jaminan pelunasan utang pajak.
Dengan demikian, berdasarkan penetapan Pengadian Negeri dimaksud pihak lain yang berkepentingan dapat mengetahuinya secara resmi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Ayat ini menetapkan kedudukan Negara sebagai kreditur preferen yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik Penanggung Pajak yang akan dijual kecuali terhadap biaya perkara yang semata-mata disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan atau barang tidak bergerak, biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud, atau biaya perkara yang semata-mata disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan. Hasil penjualan barang-barang milik Penanggung Pajak terlebih dahulu untuk membayar biaya-biaya tersebut di atas dan sisanya dipergunakan untuk melunasi utang pajak.
Ayat (7)
Sebagai kelanjutan dari penetapan Pengadilan Negeri yang menentukan pembagian hasil penjualan barang sitaan dengan memperhatikan hak mendahulu untuk tagihan pajak, apabila putusan dimaksud kemudian telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Pengadilan Negeri segera mengirimkan putusannya ke Kantor Lelang untuk dipergunakan sebagai dasar pembagian hasil lelang.
|
|
Aturan Terkait
|
Tidak ada peraturan terkait.
|
Pasal 20 |
|
(1)
|
Dalam hal objek sita berada di luar wilayah kerja Pejabat yang menerbitkan surat Paksa, Pejabat meminta bantuan kepada Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat objek sita berada untuk menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan terhadap objek sita dimaksud, kecuali ditetapkan lain oleh Keputusan Menteri atau Keputusan Kepala Daerah.
|
(2)
|
Dalam hal objek sita letaknya berjauhan dengan tempat kedudukan Pejabat tetapi masih dalam wilayah kerjanya, Pejabat dimaksud dapat meminta bantuan kepada Pejabat yang wilayah kerjanya juga meliputi tempat objek sita berada untuk menerbitkan surat Perintah Melaksanakan Penyitaan.
|
(3)
|
Pejabat yang diminta bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) memberitahukan pelaksanaan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan dimaksud kepada Pejabat yang meminta bantuan segera setelah penyitaan dilaksanakan dengan mengirimkan Berita Acara Pelaksanaan sita.
|
Penjelasan Pasal 20
|
Ayat (1)
Pada dasarnya apabila objek sita berada di luar wilayah kerja Pejabat, Pejabat dimaksud harus meminta bantuan kepada Pejabat lain atau untuk menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan terhadap objek sita dimaksud. Menyimpang dari ketentuan tersebut di atas, apabila di suatu kota terdapat beberapa wilayah kerja Pejabat, dan telah ada Keputusan Menteri atau Keputusan Kepala Daerah, Pejabat dimaksud dapat menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan dan memerintahkan Jurusita Pajak untuk melaksanakan penyitaan terhadap objek sita yang berada di luar wilayah kerjanya tanpa harus meminta bantuan Pejabat setempat.
Contoh:
Dalam hal telah ada keputusan Menteri, maka Jurusita Pajak Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Matraman dapat langsung melaksanakan penyitaan terhadap objek sita yang berada di wilayah Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Tanjung Priok tanpa meminta bantuan dari Jurusita Pajak Kantor Pelayanan Pajak Jakarta Tanjung Priok.
Ayat (2)
Ketentuan ini dimaksudkan agar pejabat yang menerbitkan Surat Paksa dapat meminta bantuan kapada Pejabat lain untuk menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan dan memerintahkan Jurusita Pajak untuk melaksankan penyitaan terhadap barang yang berada jauh dari tempat kedudukan Pejabat dimaksud sekalipun masih berada dalam wilayah kerjanya. Misalnya, apabila Kepala Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Negara dan Daerah di Jakarta yang wilayah kerjanya meliputi seluruh Indonesia akan melakukan penyitaan terhadap barang milik Penanggung Pajak yang berada di Kupang, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Negara dan Daerah dapat meminta bantuan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Kupang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
|
|
Aturan Terkait
|
Tidak ada peraturan terkait.
|
Pasal 21 |
|
Penyitaan tambahan dapat dilaksanakan apabila:
|
|
a.
|
nilai barang yang disita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) nilainya tidak cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang Pajak; atau
|
b.
|
hasil lelang barang yang telah disita tidak cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak.
|
Penjelasan Pasal 21
|
Ketentuan ini dimaksudkan agar Jurusita Pajak dapat melaksanakan penyitaan terhadap barang milik Penanggung Pajak yang ditemukan atau diketahui kemudian apabila nilai barang yang telah disita terdahulu tidak cukup untuk membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak. Dengan demikian penyitaan dapat dilaksanakan lebih dari satu kali sampai dengan jumlah yang cukup untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan baik sebelum lelang maupun setelah lelang dilaksanakan.
|
|
Aturan Terkait
|
Tidak ada peraturan terkait.
|
Pasal 22 |
|
(1)
|
Pencabutan sita dilaksanakan apabila Penanggung Pajak telah melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak atau berdasarkan putusan pengadilan atau putusan badan peradilan pajak atau ditetapkan lain dengan Keputusan Menteri atau Keputusan Kepala Daerah.
|
(2)
|
Pencabutan sita sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan berdasarkan Surat Pencabutan Sita yang diterbitkan oleh Pejabat.
|
(3)
|
Dalam hal penyitaan dilaksanakan terhadap barang yang kepemilikannya terdaftar, tindasan Surat Pencabutan sita disampaikan kepada instansi tempat barang tersebut terdaftar.
|
Penjelasan Pasal 22
|
Ayat (1)
Ketentuan ini memberi kewenangan kepada Menteri atau Kepala Daerah untuk melakukan pencabutan sita karena adanya sebab-sebab di luar kekuasaan Pejabat yang bersangkutan, misalnya objek pajak terbakar, hilang, atau musnah.
Yang dimaksud dengan putusan pengadilan adalah putusan hakim dari Peradilan Umum. Putusan Peradilan Umum, misalnya putusan atas sanggahan pihak ketiga terhadap kepemilikan barang yang disita, sedangkan putusan badan peradilan pajak, misalnya putusan atas gugatan Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan sita.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ketentuan ini dimaksudkan agar instansi tempat barang tersebut terdaftar mengetahui bahwa penyitaan terhadap barang dimaksud telah dicabut sehingga penguasaan barang dikembalikan kepada Penanggung Pajak.
Contoh:
dalam hal penyitaan tanah dan bangunan; tindasan Surat Pencabutan Sita disampaikan kepada Badan Pertanahan Nasional/Kantor Pertanahan.
|
|
Aturan Terkait
|
Tidak ada peraturan terkait.
|
Pasal 23 |
||
(1)
|
Penanggung Pajak dilarang:
|
|
|
a.
|
memindahkan hak, memindahtangankan, menyewakan, meminjamkan, menyembunyikan, menghilangkan, atau merusak barang yang telah disita;
|
|
b.
|
membebani barang tidak bergerak yang telah disita dengan hak tanggungan untuk pelunasan utang tertentu;
|
|
c.
|
membebani barang bergerak yang telah disita dengan fidusia atau diagunkan untuk pelunasan utang tertentu; dan atau
|
|
d.
|
merusak, mencabut, atau menghilangkan segel sita atau salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita yang telah ditempel pada barang sitaan.
|
(2)
|
Dihapus.
|
Penjelasan Pasal 23
|
Ayat (1)
Karena penguasaan barang yang disita telah beralih dari Penanggung Pajak kepada Pejabat, maka Penanggung Pajak dilarang untuk memindahtangankan, menyembunyikan, menghilangkan, memindahkan hak atas barang yang disita, misalnya, dengan cara menjual, menghibahkan, mewariskan, mewakafkan, atau menyumbang kepada pihak lain.
Selain itu, Penanggung Pajak juga dilarang membebani barang yang telah disita dengan hak tanggungan untuk pelunasan utang tertentu atau menyewakan. Larangan dimaksud berlaku baik untuk seluruh maupun sebagian barang yang disita.
Dalam pengertian menyembunyikan termasuk memindahkan barang yang disita ke tempat lain sehingga objek sita tidak terletak atau tidak berada lagi di tempat sebagaimana tercantum dalam Berita Acara Pelaksanaan Sita.
Ayat (2)
Cukup jelas.
|
|
Aturan Terkait
|
Tidak ada peraturan terkait.
|
Pasal 24 |
Ketentuan mengenai tata cara penyitaan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
Penjelasan Pasal 24
|
Cukup jelas.
|
|
Aturan Terkait
|
Tidak ada peraturan terkait.
|
Pasal 25 |
||
(1)
|
Apabila utang pajak dan atau biaya penagihan pajak tidak dilunasi setelah dilaksanakan penyitaan, Pejabat berwenang melaksanakan penjualan secara lelang terhadap barang yang disita melalui Kantor Lelang.
|
|
(2)
|
Barang yang disita berupa uang tunai, deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, obligasi, saham, atau surat berharga lainnya, piutang dan penyertaan modal pada perusahaan lain, dikecualikan dari penjualan secara lelang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
|
|
(3)
|
Barang yang disita sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) digunakan untuk membayar biaya penagihan pajak dan utang pajak dengan cara:
|
|
|
a.
|
uang tunai disetor ke Kas Negara atau Kas Daerah;
|
|
b.
|
deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu dipindahbukukan ke Kas Negara atau Kas Daerah atas permintaan Pejabat kepada Bank yang bersangkutan;
|
|
c.
|
obligasi, saham, atau surat berharga lainnya yang diperdagangkan di bursa efek dijual di bursa efek atas permintaan Pejabat;
|
|
d.
|
obligasi, saham, atau surat berharga lainnya yang tidak diperdagangkan di bursa efek segera dijual oleh Pejabat;
|
|
e.
|
piutang dibuatkan berita acara persetujuan tentang pengalihan hak menagih dari Penanggung Pajak kepada Pejabat;
|
|
f.
|
penyertaan modal pada perusahaan lain dibuatkan akte persetujuan pengalihan hak menjual dari Penanggung Pajak kepada Pejabat.
|
(4)
|
Dalam hal penjualan yang dikecualikan dari lelang, biaya penagihan pajak ditambah 1% (satu persen) dari hasil penjualan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
|
|
(5)
|
Ketentuan mengenai tata cara penjualan barang yang dikecualikan dari penjualan secara lelang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
Penjelasan Pasal 25
|
Ayat (1)
Sekalipun Penanggung Pajak telah melunasi utang pajak, tetapi belum melunasi biaya penagihan pajak, penjualan secara lelang terhadap barang yang telah disita tetap dapat dilaksanakan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pemindahbukuan objek sita yang tersimpan di bank berupa deposita berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu dilaksanakan dengan mengacu kepada ketentuan mengenai rahasia bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (4)
Mengingat pelaksanaan penagihan pajak sampai penjualan barang sitaan mengalami proses yang panjang, rumit dan penuh resiko maka biaya penagihan pajak sebesar 1% (satu persen) dari hasil penjualan merupakan insentif bagi Jurusita Pajak.
Ayat (5)
Cukup jelas.
|
|
Aturan Terkait
|
Seluruh aturan terkait dapat dilihat pada tautan berikut.
|
Pasal 26 |
|
(1)
|
Penjualan secara lelang terhadap barang yang disita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) dilaksanakan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah pengumuman lelang melalui media massa.
|
(1a)
|
pengumuman lelang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah penyitaan.
|
(1b)
|
Pengumuman lelang untuk barang bergerak dilakukan 1 (satu) kali dan untuk barang tidak bergerak dilakukan 2 (dua) kali.
|
(1c)
|
Pengumuman lelang terhadap barang dengan nilai paling banyak Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) tidak harus diumumkan melalui media massa.
|
(2)
|
Pejabat bertindak sebagai penjual atas barang yang disita mengajukan permintaan lelang kepada Kantor Lelang sebelum lelang dilaksanakan.
|
(3)
|
Pejabat atau yang mewakilinya menghadiri pelaksanaan lelang untuk menentukan dilepas atau tidaknya barang yang dilelang dan menandatangani asli Risalah Lelang.
|
(4)
|
Pejabat dan Jurusita Pajak tidak diperbolehkan membeli barang sitaan yang dilelang.
|
(5)
|
Larangan terhadap Pejabat dan Jurusita Pajak untuk membeli barang sitaan yang dilelang, berlaku juga terhadap istri, keluarga sedarah dan semenda dalam keturunan garis lurus, serta anak angkat.
|
(6)
|
Pejabat dan Jurusita Pajak yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
(7)
|
Perubahan besarnya nilai barang yang tidak harus diumumkan melalui media massa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1c) ditetapkan dengan Keputusan Menteri atau Keputusan Kepala Daerah.
|
Penjelasan Pasal 26
|
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada Penanggung Pajak melunasi utang pajaknya sebelum pelelangan terhadap barang yang disita dilaksanakan. Sesuai dengan ketentuan dalam peraturan lelang setiap penjualan secara lelang harus didahului dengan Pengumuman Lelang.
Ayat (1a)
Cukup jelas.
Ayat (1b)
Dalam hal barang tidak bergerak yang akan dilelang bersama barang bergerak, Pengumuman Lelang dilakukan 2 (dua) kali untuk barang tidak bergerak, 1 (satu) kali bersama-sama barang bergerak pada pengumuman pertama, sehingga penjualan barang bergerak dapat didahulukan.
Ayat (1c)
Pengertian tidak harus diumumkan melalui media massa misalnya dengan selebaran atau pengumuman yang ditempelkan di tempat umum, misalnya di kantor kelurahan atau di papan pengumuman kantor Pejabat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Kehadiran pejabat atau yang mewakilinya dalam pelaksanaan lelang diperlukan untuk menentukan dilepas atau tidaknya barang yang dilelang apabila harga penawaran yang diajukan oleh calon pembeli lelang lebih rendah dari harga limit yang ditentukan.
Selain itu, kehadiran Pejabat atau yang mewakilinya juga diperlukan untuk menghentikan lelang apabila hasil lelang sudah cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
|
|
Aturan Terkait
|
Tidak ada peraturan terkait.
|
Pasal 27 |
|
(1)
|
Lelang tetap dapat dilaksanakan walaupun keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak belum memperoleh keputusan keberatan.
|
(2)
|
Lelang tetap dapat dilaksanakan tanpa dihadiri oleh Penanggung Pajak.
|
(3)
|
Lelang tidak dilaksanakan apabila Penanggung Pajak telah melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak, atau berdasarkan putusan pengadilan, atau putusan badan peradilan pajak, atau objek lelang musnah.
|
Penjelasan Pasal 27
|
Ayat (1)
Mengingat bahwa lelang merupakan tindak lanjut eksekusi dari Surat Paksa yang kedudukannya sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka sekalipun Wajib Pajak mengajukan keberatan dan belum memperoleh keputusan, lelang tetap dapat dilaksanakan.
Ayat (2)
Karena penguasaan barang yang disita telah berpindah dari Penanggung Pajak kepada Pejabat maka Pejabat yang bersangkutan mempunyai wewenang untuk menjual barang yang disita dimaksud. Mengingat Penanggung Pajak yang memiliki barang yang disita telah diberitahukan bahwa barang yang disita akan dijual secara lelang pada waktu yang telah ditentukan, lelang tetap dapat dilaksanakan walaupun tanpa dihadiri oleh Penanggung Pajak.
Ayat (3)
Pada dasarnya lelang tidak dilaksanakan apabila Penanggung Pajak telah melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak. Namun, dalam hal terdapat putusan pengadilan yang mengabulkan gugatan pihak ketiga atas kepemilikan barang yang disita, atau putusan badan peradilan pajak yang mengabulkan gugatan Penanggung Pajak atas pelaksanaan penagihan pajak, atau barang sitaan yang akan dilelang musnah karena terbakar atau bencana alam, lelang tetap tidak dilaksanakan walaupun utang pajak dan biaya penagihan pajak belum dilunasi.
|
|
Aturan Terkait
|
Tidak ada peraturan terkait.
|
Pasal 28 |
|
(1)
|
Hasil Lelang dipergunakan terlebih dahulu untuk membayar biaya penagihan pajak yang belum dibayar dan sisanya untuk membayar utang pajak.
|
(1a)
|
Dalam hal penjualan secara lelang, biaya penagihan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditambah 1% (satu persen) dari pokok lelang.
|
(2)
|
Dalam hal hasil lelang sudah mencapai jumlah yang cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak, pelaksanaan lelang dihentikan oleh Pejabat walaupun barang yang akan dilelang masih ada.
|
(3)
|
Sisa barang beserta kelebihan uang hasil lelang dikembalikan oleh Pejabat kepada Penanggung pajak segera setelah pelaksanaan lelang.
|
(4)
|
Pejabat yang lalai melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3), dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
(5)
|
Hak Penanggung Pajak atas barang yang telah dilelang berpindah kepada pembeli dan kepadanya diberikan Risalah Lelang yang merupakan bukti otentik sebagai dasar pendaftaran dan pengalihan hak.
|
Penjelasan Pasal 28
|
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (1a)
Mengingat pelaksanaan penagihan pajak sampai penjualan barang sitaan secara lelang mengalami proses yang panjang, rumit dan penuh resiko maka biaya penagihan pajak sebesar 1% (satu persen) dari pokok lelang merupakan insentif bagi Jurusita Pajak.
Ayat (2)
Tujuan utama lelang adalah untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak dengan tetap memberi perlindungan kepada Penanggung Pajak agar lelang tidak dilaksanakan secara berlebihan. Selain itu, ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi Penanggung Pajak agar Pejabat tidak berbuat sewenang-wenang dalam melakukan penjualan secara lelang. Sisa barang sitaan beserta kelebihan uang hasil lelang dikembalikan oleh Pejabat kepada Penanggung Pajak segera setelah dibuatnya Risalah Lelang sebagai tanda bahwa lelang telah selesai dilaksanakan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Risalah Lelang antara lain, memuat keterangan tentang barang sitaan telah terjual. Sebagai syarat pengalihan hak dari Penanggung Pajak kepada pembeli lelang dan juga sebagai perlindungan hukum terhadap hak pembeli lelang, kepadanya harus diberikan Risaiah Lelang yang berfungsi sebagai akte jual beli yang merupakan bukti otentik sebagai dasar pendaftaran dan pengalihan hak.
|
|
Aturan Terkait
|
Tidak ada peraturan terkait.
|
BAB V
PENCEGAHAN DAN PENYANDERAAN
Pasal 29 |
Pencegahan hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang mempunyai jumlah utang pajak sekurang-kurangnya sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak.
|
Penjelasan Pasal 29
|
Pencegahan diperlukan sebagai salah satu upaya penagihan pajak. Namun, agar pelaksanaan pencegahan tidak sewenang-wenang, maka pelaksanaan pencegahan sebagai upaya penagihan pajak diberikan syarat-syarat, baik yang bersifat kuantitatif, yakni harus memenuhi utang pajak dalam jumlah tertentu maupun yang bersifat kualitatif, yakni diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak sehingga pencegahan hanya dilaksanakan secara sangat selektif dan hati-hati.
|
|
Aturan Terkait
|
Tidak ada peraturan terkait.
|
Pasal 30 |
||
(1)
|
Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 hanya dapat dilakukan berdasarkan keputusan pencegahan yang diterbitkan oleh Menteri atas permintaan Pejabat atau atasan Pejabat yang bersangkutan.
|
|
(2)
|
Keputusan pencegahan memuat sekurang-kurangnya:
|
|
|
a.
|
identitas Penanggung Pajak yang dikenakan pencegahan;
|
|
b.
|
alasan untuk melakukan pencegahan; dan
|
|
c.
|
jangka waktu pencegahan.
|
(3)
|
Jangka waktu pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang untuk selama-lamanya 6 (enam) bulan.
|
|
(4)
|
Keputusan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Penanggung Pajak yang dikenakan pencegahan, Menteri Kehakiman, Pejabat yang memohon pencegahan, atasan Pejabat yang bersangkutan, dan Kepala Daerah setempat.
|
|
(5)
|
Pencegahan dapat dilaksanakan terhadap beberapa orang sebagai Penanggung Pajak Wajib Pajak badan atau ahli waris.
|
Penjelasan Pasal 30
|
Ayat (1)
Pelaksanaan pencegahan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan keputusan Menteri sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian yang, antara lain, menentukan bahwa yang berwenang dan bertanggung jawab atas pencegahan adalah Menteri sepanjang menyangkut urusan piutang negara.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
|
|
Aturan Terkait
|
Tidak ada peraturan terkait.
|
Pasal 31 |
Pencegahan terhadap Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya utang pajak dan terhentinya pelaksanaan penagihan pajak.
|
Penjelasan Pasal 31
|
Berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, utang pajak hapus apabila sudah dibayar lunas atau karena kedaluwarsa. Dengan demikian, pencegahan Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya utang pajak. Oleh karena itu, sekalipun terhadap Penanggung Pajak telah dilakukan pencegahan, tindakan penagihan pajak tidak terhenti dan tetap dapat dilaksanakan.
|
|
Aturan Terkait
|
Tidak ada peraturan terkait.
|
Pasal 32 |
Pencegahan terhadap Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya utang pajak dan terhentinya pelaksanaan penagihan pajak.
|
Penjelasan Pasal 32
|
Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian.
|
|
Aturan Terkait
|
Seluruh aturan terkait dapat dilihat pada tautan berikut.
|
Pasal 33 |
||
(1)
|
Penyanderaan hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang mempunyai utang pajak sekurang-kurangnya sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan diragukan itikad baiknya dalam melunasi utang pajak.
|
|
(2)
|
Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilaksanakan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan yang diterbitkan oleh Pejabat setelah mendapat izin tertulis dari Menteri atau Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.
|
|
(3)
|
Masa penyanderaan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang untuk selama-lamanya 6 (enam) bulan.
|
|
(4)
|
Surat Perintah Penyanderaan memuat sekurang-kurangnya:
|
|
|
a.
|
identitas Penanggung Pajak;
|
|
b.
|
alasan penyanderaan;
|
|
c.
|
izin penyanderaan;
|
|
d.
|
lamanya penyanderaan; dan
|
|
e.
|
tempat penyanderaan.
|
(5)
|
Penyanderaan tidak boleh dilaksanakan dalam hal Penanggung Pajak sedang beribadah, atau sedang mengikuti sidang resmi, atau sedang mengikuti Pemilihan Umum.
|
|
(6)
|
Besarnya jumlah utang pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dalam Pasal 29 dapat diubah dengan Peraturan Pemerintah.
|
Penjelasan Pasal 33
|
Ayat (1)
Penyanderaan merupakan salah satu upaya penagihan pajak yang wujudnya berupa pengekangan sementara waktu terhadap kebebasan Penanggung Pajak dengan menempatkannya pada tempat tertentu. Agar penyanderaan tidak dilaksanakan sewenang-wenang dan juga tidak bertentangan dengan rasa keadilan bersama, maka diberikan syarat-syarat tertentu, baik syarat yang bersifat kuantitatif, yakni harus memenuhi utang pajak dalam jumlah tertentu, maupun syarat yang bersifat kualitatif, yakni diragukan itikad baik Penanggung Pajak dalam melunasi utang pajak, serta telah dilaksanakan penagihan pajak sampai dengan Surat Paksa. Dengan demikian, Pejabat mendapatkan data atau informasi yang akurat yang diperlukan sebagai bahan pertimbangan untuk mengajukan permohonan izin penyanderaan. Penyanderaan hanya dilaksanakan secara sangat selektif, hati-hati, dan merupakan upaya terakhir.
Ayat (2)
Persyaratan izin penyanderaan dari Menteri atau Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dimaksudkan agar penyanderaan dilakukan secara sangat selektif dan hati-hati. Oleh karena itu, Pejabat tidak boleh menerbitkan Surat Perintah Penyanderaan sebelum mendapat izin tertulis dari Menteri atau Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
|
|
Aturan Terkait
|
Tidak ada peraturan terkait.
|
Pasal 34 |
||
(1)
|
Penanggung Pajak yang disandera dilepas:
|
|
|
a.
|
apabila utang pajak dan biaya penagihan pajak telah dibayar lunas;
|
|
b.
|
apabila jangka waktu yang ditetapkan dalam Surat Perintah Penyanderaan itu telah terpenuhi;
|
|
c.
|
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
|
|
d.
|
berdasarkan pertimbangan tertentu dari Menteri atau Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.
|
(2)
|
Sebelum Penanggung Pajak dilepas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf c, dan huruf d, Pejabat segera memberitahukan secara tertulis kepada kepala tempat penyanderaan sebagaimana tercantum dalam Surat Perintah Penyanderaan.
|
|
(3)
|
Penanggung Pajak yang disandera dapat mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan penyanderaan hanya kepada Pengadilan Negeri.
|
|
(4)
|
Dalam hal gugatan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikabulkan dan putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Penanggung Pajak dapat memohon rehabilitasi nama baik dan ganti rugi atas masa penyanderaan yang telah dijalaninya.
|
|
(5)
|
Besarnya ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) setiap hari.
|
|
(6)
|
Perubahan besarnya nilai ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan oleh Menteri.
|
|
(7)
|
Penanggung Pajak tidak dapat mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan penyanderaan setelah masa penyanderaan berakhir.
|
Penjelasan Pasal 34
|
Cukup Jelas.
|
|
Aturan Terkait
|
Tidak ada peraturan terkait.
|
Pasal 35 |
||
Penyanderaan terhadap Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya utang pajak dan terhentinya pelaksanaan penagihan pajak.
|
Penjelasan Pasal 35
|
Berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, utang pajak hapus apabila sudah dibayar lunas atau karena kedaluwarsa. Dengan demikian, penyanderaan Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya utang pajak.
Oleh karena itu, sekalipun terhadap Penanggung Pajak telah dilakukan penyanderaan, tindakan penagihan pajak tidak terhenti dan tetap dilaksanakan.
|
|
Aturan Terkait
|
Tidak ada peraturan terkait.
|
Pasal 36 |
||
Ketentuan mengenai tempat penyanderaan, tata cara penyanderaan, rehabilitasi nama baik Penanggung Pajak, dan pemberian ganti rugi diatur dengan Peraturan Pemerintah.
|
Penjelasan Pasal 36
|
Sebelum tempat penyanderaan ditentukan dengan Peraturan Pemerintah, Penanggung Pajak yang disandera dititipkan sementara di rumah tahanan negara.
|
|
Aturan Terkait
|
Seluruh aturan terkait dapat dilihat pada tautan berikut.
|
BAB VI
GUGATAN
Pasal 37 |
|
(1)
|
Gugatan Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak.
|
(1a)
|
Dalam hal gugatan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikabulkan, Penanggung Pajak dapat memohon pemulihan nama baik dan ganti rugi kepada Pejabat.
|
(1b)
|
Besarnya ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1a) paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
|
(1c)
|
Perubahan besarnya ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1b) ditetapkan dengan Keputusan Menteri atau Keputusan Kepala Daerah.
|
(2)
|
Gugatan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang dilaksanakan.
|
(3)
|
Dihapus.
|
Penjelasan Pasal 37
|
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan hak kepada Penanggung Pajak untuk mengajukan gugatan kepada badan peradilan pajak dalam hal Penanggung Pajak tidak setuju dengan pelaksanaan penagihan pajak yang meliputi pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan atau Pengumuman Lelang.
Ayat (1a)
Permohonan ganti rugi diajukan oleh Penanggung Pajak yang gugatannya dikabulkan kepada Pejabat tempat pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan atau Pengumuman Lelang dilakukan. Pemulihan nama baik dan ganti rugi yang diberikan hanya dalam bentuk uang.
Ayat (1b)
Cukup jelas.
Ayat (1c)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Jangka waktu 14 (empat belas) hari untuk mengajukan gugatan terhadap Surat Paksa dihitung sejak pemberitahuan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak, untuk Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan dihitung sejak pembuatan Berita Acara Pelaksanaan Sita, dan untuk Pengumuman Lelang dihitung sejak diumumkan. Dengan demikian, lelang tidak boleh dilaksanakan sebelum lewat 14 (empat belas) hari sejak Pengumuman Lelang. Apabila dalam jangka waktu dimaksud Penanggung Pajak tidak mengajukan gugatan, maka hak Penanggung Pajak untuk menggugat dinyatakan gugur.
Ayat (3)
Cukup jelas.
|
|
Aturan Terkait
|
Tidak ada peraturan terkait.
|
Pasal 38 |
|
(1)
|
Sanggahan pihak ketiga terhadap kepemilikan barang yang disita hanya dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri.
|
(2)
|
Pengadilan Negeri yang menerima surat sanggahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberitahukan secara tertulis kepada Pejabat.
|
(3)
|
Pejabat menangguhkan pelaksanaan penagihan pajak hanya terhadap barang yang disanggah kepemilikannya sejak menerima pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
|
(4)
|
Sanggahan pihak ketiga terhadap kepemilikan barang yang disita tidak dapat diajukan setelah lelang dilaksanakan.
|
Penjelasan Pasal 38
|
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pada dasarnya pihak ketiga dapat mengajukan sanggahan terhadap kepemilikan barang yang disita oleh Jurusita Pajak melalui proses perdata. Namun, apabila Pejabat Lelang telah menunjuk seorang pembeli sebagai pemenang lelang dalam proses lelang yang sedang berlangsung, maka sanggahan tidak dapat diajukan lagi terhadap kepemilikan barang yang telah terjual dimaksud. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dan melindungi kepentingan pembeli lelang karena kepada pihak ketiga, telah diberikan kesempatan yang cukup untuk mengajukan sanggahan sebelum lelang dilaksanakan.
|
|
Aturan Terkait
|
Tidak ada peraturan terkait.
|
BAB VII
KETENTUAN KHUSUS
Pasal 39 |
|
(1)
|
Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan pembetulan atau penggantian kepada Pejabat terhadap Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis, Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Surat Perintah Penyanderaan, Pengumuman Lelang dan Surat Penentuan Harga Limit yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan atau kekeliruan.
|
(1a)
|
Pejabat dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal diterima permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus memberi keputusan atas permohonan yang diajukan.
|
(1b)
|
Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1a) Pejabat tidak memberikan keputusan, permohonan Penanggung Pajak dianggap dikabulkan dan penagihan ditunda untuk sementara waktu.
|
(2)
|
Pejabat karena jabatan dapat membetulkan Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis, Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Surat Perintah Penyanderaan, Pengumuman Lelang dan Surat Penentuan Harga Limit yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan atau kekeliruan.
|
(3)
|
Tindakan pelaksanaan penagihan pajak dilanjutkan setelah kesalahan atau kekeliruan dibetulkan oleh Pejabat.
|
(4)
|
Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditolak, tindakan pelaksanaan penagihan pajak dilanjutkan sesuai jangka waktu semula.
|
Penjelasan Pasal 39
|
Ayat (1)
Ketentuan ini mengatur pembetulan atas kesalahan atau kekeliruan dalam penulisan nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, jumlah utang pajak, atau keterangan lainnya yang tercantum dalam Surat Teguran, Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus. Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, Surat Perintah Penyanderaan, Pengumuman Lelang, atau Surat Penentuan Harga Limit yang permohonannya diajukan oleh Penanggung Pajak kepada Pejabat. Dalam hal Penanggung Pajak mengajukan permohonan penggantian surat-surat dimaksud, baik karena hilang maupun rusak, atau karena alasan lain, penggantiannya diberikan dalam bentuk salinan atau turunan yang ditandatangani oleh Pejabat.
Ayat (1a)
Cukup jelas.
Ayat (1b)
Pengertian ditunda untuk sementara waktu adalah ditunda hingga Pejabat membetulkan kesalahannya atau mengganti dokumen penagihan yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan atau kekeliruan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
|
|
Aturan Terkait
|
Tidak ada peraturan terkait.
|
Pasal 40 |
|
(1)
|
Apabila setelah pelaksanaan lelang Wajib Pajak memperoleh keputusan keberatan atau putusan banding yang mengakibatkan utang pajak menjadi berkurang atau nihil sehingga menimbulkan kelebihan pembayaran pajak, Wajib Pajak tidak dapat meminta atau tidak berhak menuntut pengembalian barang yang telah dilelang.
|
(2)
|
Pejabat mengembalikan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam bentuk uang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
Penjelasan Pasal 40
|
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum dan perlindungan hak bagi pembeli barang sitaan melalui penjualan secara lelang.
Ayat (2)
Dalam hal barang yang dimiliki oleh Penanggung Pajak telah dilelang dan kemudian diperoleh keputusan keberatan atau putusan banding yang mengakibatkan utang pajak menjadi berkurang atau nihil sehingga menimbulkan kelebihan pembayaran pajak, kelebihan pembayaran dimaksud hanya dapat dikembalikan dalam bentuk uang.
|
|
Aturan Terkait
|
Tidak ada peraturan terkait.
|
Pasal 41 |
|
(1)
|
Penagihan pajak tidak dilaksanakan apabila telah daluwarsa sebagaimana diatur dalam undang-undang dan peraturan daerah.
|
(2)
|
Pengajuan keberatan atau permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.
|
(3)
|
Gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) dan dalam Pasal 37 ayat (1) tidak menunda pelaksanaan penagihan pajak.
|
Penjelasan Pasal 41
|
Cukup jelas.
|
|
Aturan Terkait
|
Tidak ada peraturan terkait.
|
BAB VIIA
KETENTUAN PIDANA
Pasal 41A |
|
(1)
|
Penanggung Pajak yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
|
(2)
|
Apabila pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f tidak melaksanakan kewajibannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan 2 (dua) minggu dan denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
|
(3)
|
Setiap orang yang dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang, atau dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan dalam melaksanakan ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh Jurusita Pajak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan 2 (dua) minggu dan denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
|
Penjelasan Pasal 41A
|
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pihak-pihak dalam Pasal 25 ayat (3) huruf b adalah bank termasuk lembaga keuangan lainnya, huruf c adalah bursa efek, huruf d adalah Pejabat, huruf e adalah Notaris dan debitur, dan huruf f adalah Notaris.
Ayat (3)
Cukup jelas.
|
|
Aturan Terkait
|
Tidak ada peraturan terkait.
|
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 42 |
||
(1)
|
Tindakan pelaksanaan penagihan pajak berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara Dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 63 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 1850) yang belum dapat diselesaikan pada saat berlakunya Undang-undang ini ditetapkan sebagai berikut:
|
|
|
a.
|
dalam hal Surat Paksa sudah diterbitkan tetapi belum diberitahukan kepada Penanggung Pajak yang bersangkutan, Surat Paksa dimaksud dinyatakan batal demi hukum;
|
|
b.
|
dalam hal Surat Paksa sudah diberikan kepada Penanggung Pajak yang bersangkutan, pelaksanaan sita yang belum diproses diselesaikan berdasarkan Undang-undang ini;
|
|
c.
|
dalam hal Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan sudah diterbitkan tetapi belum dilaksanakan, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan dimaksud dinyatakan batal demi hukum;
|
|
d.
|
dalam hal lelang sudah diproses tetapi belum diselesaikan, tetap diselesaikan berdasarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara Dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 63 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 1850).
|
(2)
|
Gugatan Penanggung Pajak terhadap tindakan pelaksanaan penagihan pajak sebelum tanggal 1 Januari 1998 diajukan kepada badan peradilan yang bersangkutan.
|
Penjelasan Pasal 42
|
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan ini dimaksudkan agar gugatan Penanggung Pajak terhadap pelaksanaan penagihan pajak yang telah diajukan kepada Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tata Usaha Negara sebelum Badan Penyelesaian Sengketa Pajak terbentuk, tetap diselesaikan oleh badan peradilan yang bersangkutan.
|
|
Aturan Terkait
|
Tidak ada peraturan terkait.
|
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 43 |
|
(1)
|
Dengan berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara Dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Tahun 1959 Nomor 63 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 1850) dinyatakan tidak berlaku.
|
(2)
|
Dengan berlakunya Undang-undang ini, semua peraturan pelaksanaan di bidang penagihan pajak tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini atau belum diganti dengan peraturan pelaksanaan yang baru.
|
Penjelasan Pasal 43
|
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan pelaksanaan yang masih berlaku, antara lain, ketentuan tentang tata cara angsuran dan penundaan pembayaran pajak, ketentuan tentang tata cara pelaksanaan penagihan pajak dan penunjukan Pejabat yang berwenang mengeluarkan Surat Paksa, ketentuan mengenai besarnya biaya penagihan pajak, dan ketentuan tentang tata cara penghapusan piutang pajak dan besarnya piutang pajak.
|
|
Aturan Terkait
|
Tidak ada peraturan terkait.
|
Pasal 44 |
|
Undang-undang ini mulai dinamakan Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
|
Penjelasan Pasal 44
|
Cukup jelas.
|
|
Aturan Terkait
|
Tidak ada peraturan terkait.
|
Pasal 45 |
|
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.
|
|
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
|
Penjelasan Pasal 45
|
Cukup jelas.
|
|
Aturan Terkait
|
Tidak ada peraturan terkait.
|