No.
|
UU KUP KONSOLIDASI SETELAH UU CIPTA KERJA
|
UU HARMONISASI PERATURAN PERPAJAKAN (HPP)
|
1
|
Pasal 2
|
(1)
|
Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
|
|
(1)
|
Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.
|
|
|
(1a)
|
Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Wajib Pajak orang pribadi yang merupakan penduduk Indonesia menggunakan nomor induk kependudukan.
|
|
(2)
|
Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
|
|
(2)
|
Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
|
|
(3)
|
Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan:
|
|
a.
|
tempat pendaftaran dan/atau tempat pelaporan usaha selain yang ditetapkan pada ayat (1) dan ayat (2); dan/atau
|
|
b.
|
tempat pendaftaran pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal dan kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan, bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu.
|
|
(3)
|
Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan:
|
|
a.
|
tempat pendaftaran dan/atau tempat pelaporan usaha selain yang ditetapkan pada ayat (1) dan ayat (2); dan/atau
|
|
b.
|
tempat pendaftaran pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal dan kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha dilakukan, bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu
|
|
(4)
|
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2).
|
|
(4)
|
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2).
|
|
(4a)
|
Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkannya sebagai Pengusaha Kena Pajak.
|
|
(4a)
|
Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkannya sebagai Pengusaha Kena Pajak.
|
|
(5)
|
Jangka waktu pendaftaran dan pelaporan serta tata cara pendaftaran dan pengukuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) termasuk penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
|
|
(6)
|
Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila:
|
|
a.
|
diajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak oleh Wajib Pajak dan/atau ahli warisnya apabila Wajib Pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
|
|
b.
|
Wajib Pajak badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha;
|
|
c.
|
Wajib Pajak bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia; atau
|
|
d.
|
dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan Nomor Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
|
(6)
|
Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila:
|
|
a.
|
diajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak oleh Wajib Pajak dan/atau ahli warisnya apabila Wajib Pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
|
|
b.
|
Wajib Pajak badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha;
|
|
c.
|
Wajib Pajak bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia; atau
|
|
d.
|
dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan Nomor Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
|
(7)
|
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan untuk Wajib Pajak orang pribadi atau 12 (dua belas) bulan untuk Wajib Pajak badan, sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.
|
|
(7)
|
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan untuk Wajib Pajak orang pribadi atau 12 (dua belas) bulan untuk Wajib Pajak badan, sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.
|
|
(8)
|
Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat melakukan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
|
|
(8)
|
Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat melakukan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
|
|
(9)
|
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas permohonan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.
|
|
(9)
|
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas permohonan pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.
|
|
|
(10)
|
Dalam rangka penggunaan nomor induk kependudukan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1a), menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri memberikan data kependudukan dan data balikan dari pengguna kepada Menteri Keuangan untuk diintegrasikan dengan basis data perpajakan.
|
|
2
|
Pasal 8
|
(1)
|
Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.
|
|
(1)
|
Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.
|
|
(1a)
|
Dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan.
|
|
(1a)
|
Dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan Surat Pemberitahuan harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan.
|
|
(2)
|
Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|
(2)
|
Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian Surat Pemberitahuan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|
(2a)
|
Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Masa yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|
(2a)
|
Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Masa yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|
(2b)
|
Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (2a) dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 5% (lima persen) dan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi.
|
|
(2b)
|
Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (2a) dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 5% (lima persen) dan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi.
|
|
(3)
|
Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan bukti permulaan, Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat mengungkapkan dengan pernyataan tertulis mengenai ketidakbenaran perbuatannya, yaitu sebagai berikut:
|
|
a.
|
tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
|
|
b.
|
menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar
|
|
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 atau Pasal 39 ayat (1) huruf c dan huruf d sepanjang mulainya penyidikan belum diberitahukan kepada Penuntut Umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
|
|
(3)
|
Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan bukti permulaan, Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat mengungkapkan dengan pernyataan tertulis mengenai ketidakbenaran perbuatannya, yaitu sebagai berikut:
|
|
a.
|
tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
|
|
b.
|
menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar
|
|
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 atau Pasal 39 ayat (1) huruf c dan huruf d sepanjang mulainya penyidikan belum diberitahukan kepada Penuntut Umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
|
|
(3a)
|
Pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.
|
|
(3a)
|
Pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.
|
|
(4)
|
Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, yang dapat mengakibatkan:
|
|
a.
|
pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih kecil;
|
|
b.
|
rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau lebih besar;
|
|
c.
|
jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil; atau
|
|
d.
|
jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil
|
|
dan pemeriksaan tetap dilanjutkan.
|
|
(4)
|
Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menyampaikan surat pemberitahuan hasil pemeriksaan, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, dan proses pemeriksaan tetap dilanjutkan.
|
|
(5)
|
Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri disampaikan beserta sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dari pajak yang kurang dibayar, yang dihitung sejak:
|
|
a.
|
batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, untuk pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan; atau
|
|
b.
|
jatuh tempo pembayaran berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, untuk pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan Masa
|
|
dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|
(5)
|
Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri disampaikan beserta sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dari pajak yang kurang dibayar, yang dihitung sejak:
|
|
a.
|
batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, untuk pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan Tahunan; atau
|
|
b.
|
jatuh tempo pembayaran berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, untuk pengungkapan ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan Masa
|
|
dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|
(5a)
|
Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 10% (sepuluh persen) dan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi.
|
|
(5a)
|
Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 10% (sepuluh persen) dan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi.
|
|
(6)
|
Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan yang telah disampaikan, dalam hal Wajib Pajak menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan yang akan dibetulkan tersebut, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.
|
|
(6)
|
Wajib Pajak dapat membetulkan Surat Pemberitahuan Tahunan yang telah disampaikan, dalam hal Wajib Pajak menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan yang akan dibetulkan tersebut, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.
|
|
3
|
Pasal 13
|
(1)
|
Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal-hal sebagai berikut:
|
|
a.
|
apabila berdasarkan hasil pemeriksaan, pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
|
|
b.
|
apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;
|
|
c.
|
apabila berdasarkan hasil pemeriksaan mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai tarif 0% (nol persen);
|
|
d.
|
apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau Pasal 29 tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang;
|
|
e.
|
apabila kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4a); atau
|
|
f.
|
Pengusaha Kena Pajak tidak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan/atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan atau telah mengkreditkan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6e) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.
|
|
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam hal sebagai berikut:
|
|
a.
|
terdapat pajak yang tidak atau kurang dibayar;
|
|
b.
|
Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;
|
|
c.
|
terdapat Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai tarif 0% (nol persen);
|
|
d.
|
terdapat kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau Pasal 29 yang tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang;
|
|
e.
|
kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4a); atau
|
|
f.
|
Pengusaha Kena Pajak tidak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan/atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan atau telah mengkreditkan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6e) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.
|
|
(2)
|
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf e ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|
(2)
|
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf e ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|
(2a)
|
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dihitung sejak saat jatuh tempo pembayaran kembali berakhir sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|
(2a)
|
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dihitung sejak saat jatuh tempo pembayaran kembali berakhir sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|
(2b)
|
Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (2a) dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 15% (lima belas persen) dan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi.
|
|
(2b)
|
Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (2a) dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 15% (lima belas persen) dan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi.
|
|
(3)
|
Jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar:
|
|
a.
|
50% (lima puluh persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam satu Tahun Pajak;
|
|
b.
|
100% (seratus persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dipotong, tidak atau kurang dipungut, tidak atau kurang disetor, dan dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetor; atau
|
|
c.
|
100% (seratus persen) dari Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang tidak atau kurang dibayar.
|
|
(3)
|
Jumlah pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d ditambah dengan sanksi administratif berupa:
|
|
a.
|
bunga dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar dalam 1 (satu) Tahun Pajak;
|
|
b.
|
bunga dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dipotong atau dipungut;
|
|
c.
|
kenaikan sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang tidak atau kurang dibayar; atau
|
|
d.
|
kenaikan sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) dari Pajak Penghasilan yang dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang disetor.
|
|
(3a)
|
Dalam hal terdapat penerapan sanksi administrasi berupa bunga dan kenaikan berdasarkan hasil pemeriksaan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf c, hanya diterapkan satu jenis sanksi administrasi yang tertinggi nilai besaran sanksinya.
|
|
(3a)
|
Dalam hal terdapat penerapan sanksi administrasi berupa bunga dan kenaikan berdasarkan hasil pemeriksaan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf c, hanya diterapkan satu jenis sanksi administrasi yang tertinggi nilai besaran sanksinya.
|
|
|
(3b)
|
Bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|
|
(3c)
|
Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3b) dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 20% (dua puluh persen) dan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi.
|
|
(4)
|
Besarnya pajak yang terutang yang diberitahukan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan menjadi pasti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak tidak diterbitkan surat ketetapan pajak, kecuali Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dalam Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak dimaksud.
|
|
(4)
|
Besarnya pajak yang terutang yang diberitahukan oleh Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan menjadi pasti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak tidak diterbitkan surat ketetapan pajak, kecuali Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dalam Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak dimaksud.
|
|
|
|
(6)
|
Tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
|
(6)
|
Tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
|
4
|
Pasal 14
|
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila:
|
|
a.
|
Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
|
|
b.
|
dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung;
|
|
c.
|
Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga;
|
|
d.
|
pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak membuat faktur pajak atau terlambat membuat faktur pajak;
|
|
e.
|
pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak mengisi Faktur Pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (6) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, selain identitas pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak serta nama dan tanda tangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b dan huruf g Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya dalam hal penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran;
|
|
f.
|
dihapus;
|
|
g.
|
dihapus; atau
|
|
h.
|
terdapat imbalan bunga yang seharusnya tidak diberikan kepada Wajib Pajak, dalam hal:
|
|
|
1.
|
diterbitkan keputusan;
|
|
|
2.
|
diterima putusan; atau
|
|
|
3.
|
ditemukan data atau informasi
|
|
|
yang menunjukkan adanya imbalan bunga yang seharusnya tidak diberikan kepada Wajib Pajak.
|
|
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila:
|
|
a.
|
Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
|
|
b.
|
dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung;
|
|
c.
|
Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda dan/atau bunga;
|
|
d.
|
pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak membuat faktur pajak atau terlambat membuat faktur pajak;
|
|
e.
|
pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak mengisi Faktur Pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (6) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, selain identitas pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak serta nama dan tanda tangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b dan huruf g Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya dalam hal penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran;
|
|
f.
|
dihapus;
|
|
g.
|
dihapus;
|
|
h.
|
terdapat imbalan bunga yang seharusnya tidak diberikan kepada Wajib Pajak, dalam hal:
|
|
|
1.
|
diterbitkan keputusan;
|
|
|
2.
|
diterima putusan; atau
|
|
|
3.
|
ditemukan data atau informasi,
|
|
|
yang menunjukkan adanya imbalan bunga yang seharusnya tidak diberikan kepada Wajib Pajak; atau
|
|
i.
|
terdapat jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar dalam jangka waktu sesuai dengan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4).
|
|
(2)
|
Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak.
|
|
(2)
|
Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak.
|
|
(3)
|
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administratif berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|
(3)
|
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditambah dengan sanksi administratif berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
|
|
(4)
|
Terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d atau huruf e masing-masing, selain wajib menyetor pajak yang terutang, dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 1% (satu persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
|
|
(4)
|
Terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d atau huruf e masing-masing, selain wajib menyetor pajak yang terutang, dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 1% (satu persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
|
|
|
|
(5a)
|
Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 5% (lima persen) dan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi.
|
|
(5a)
|
Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 5% (lima persen) dan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi.
|
|
(5b)
|
Surat Tagihan Pajak diterbitkan paling lama 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak.
|
|
(5b)
|
Surat Tagihan Pajak diterbitkan paling lama 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak.
|
|
(5c)
|
Dikecualikan dari ketentuan jangka waktu penerbitan sebagaimana dimaksud pada ayat (5b):
|
|
a.
|
Surat Tagihan Pajak atas sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) diterbitkan paling lama sesuai dengan daluwarsa penagihan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah;
|
|
b.
|
Surat Tagihan Pajak atas sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (9) dapat diterbitkan paling lama 5 (lima) tahun sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan apabila Wajib Pajak tidak mengajukan upaya banding; dan
|
|
c.
|
Surat Tagihan Pajak atas sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (5d) dapat diterbitkan paling lama dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal Putusan Banding diucapkan oleh hakim Pengadilan Pajak dalam sidang terbuka untuk umum.
|
|
(5c)
|
Dikecualikan dari ketentuan jangka waktu penerbitan sebagaimana dimaksud pada ayat (5b):
|
|
a.
|
Surat Tagihan Pajak atas sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) diterbitkan paling lama sesuai dengan daluwarsa penagihan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah;
|
|
b.
|
Surat Tagihan Pajak atas sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (9) dapat diterbitkan paling lama 5 (lima) tahun sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan apabila Wajib Pajak tidak mengajukan upaya banding; dan
|
|
c.
|
Surat Tagihan Pajak atas sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (5d) dapat diterbitkan paling lama dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal Putusan Banding diucapkan oleh hakim Pengadilan Pajak dalam sidang terbuka untuk umum.
|
|
(6)
|
Tata cara penerbitan Surat Tagihan Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
|
(6)
|
Tata cara penerbitan Surat Tagihan Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
|
5
|
Pasal 20A
|
|
(1)
|
Menteri Keuangan berwenang melakukan kerja sama untuk pelaksanaan bantuan penagihan pajak dengan negara mitra atau yurisdiksi mitra.
|
|
|
(2)
|
Pelaksanaan bantuan penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak, yang meliputi pemberian bantuan penagihan pajak dan permintaan bantuan penagihan pajak kepada negara mitra atau yurisdiksi mitra.
|
|
|
(3)
|
Pemberian bantuan penagihan pajak dan permintaan bantuan penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan perjanjian internasional secara resiprokal.
|
|
|
(4)
|
Negara mitra atau yurisdiksi mitra sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan negara atau yurisdiksi yang terikat dengan Pemerintah Indonesia dalam perjanjian internasional.
|
|
|
(5)
|
Perjanjian internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan perjanjian bilateral atau multilateral yang mengatur kerja sama mengenai hal yang berkaitan dengan bantuan penagihan pajak, meliputi:
|
|
a.
|
persetujuan penghindaran pajak berganda;
|
|
b.
|
konvensi tentang bantuan administratif bersama di bidang perpajakan; atau
|
|
c.
|
perjanjian bilateral atau multilateral lainnya.
|
|
|
(6)
|
Bantuan penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan setelah diterima klaim pajak dari negara mitra atau yurisdiksi mitra.
|
|
|
(7)
|
Klaim pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) merupakan instrumen legal dari negara mitra atau yurisdiksi mitra yang paling sedikit memuat:
|
|
a.
|
nilai klaim pajak yang dimintakan bantuan penagihan; dan
|
|
b.
|
identitas penanggung pajak atas klaim pajak.
|
|
|
(8)
|
Klaim pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (7) merupakan dasar penagihan pajak yang dilaksanakan penagihan pajak dengan Surat Paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku mutatis mutandis dengan ketentuan penagihan pajak yang berlaku di negara mitra atau yurisdiksi mitra.
|
|
|
(9)
|
Hasil penagihan pajak atas klaim pajak dari negara mitra atau yurisdiksi mitra ditampung dalam rekening pemerintah lainnya sebelum dikirimkan ke negara mitra atau yurisdiksi mitra.
|
|
6
|
Pasal 25
|
(1)
|
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu:
|
|
a.
|
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
|
|
b.
|
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
|
|
c.
|
Surat Ketetapan Pajak Nihil;
|
|
d.
|
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
|
|
e.
|
pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
|
(1)
|
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu:
|
|
a.
|
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
|
|
b.
|
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
|
|
c.
|
Surat Ketetapan Pajak Nihil;
|
|
d.
|
Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar; atau
|
|
e.
|
pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
|
(2)
|
Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan yang menjadi dasar penghitungan.
|
|
(2)
|
Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang, jumlah pajak yang dipotong atau dipungut, atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan yang menjadi dasar penghitungan.
|
|
(3)
|
Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
|
|
(3)
|
Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
|
|
(3a)
|
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak, Wajib Pajak wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan.
|
|
(3a)
|
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak, Wajib Pajak wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum surat keberatan disampaikan.
|
|
(4)
|
Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (3a) bukan merupakan surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.
|
|
(4)
|
Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (3a) bukan merupakan surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.
|
|
(5)
|
Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk menerima surat keberatan atau tanda pengiriman surat keberatan melalui pos dengan bukti pengiriman surat, atau melalui cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan menjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan.
|
|
(5)
|
Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk menerima surat keberatan atau tanda pengiriman surat keberatan melalui pos dengan bukti pengiriman surat, atau melalui cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan menjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan.
|
|
(6)
|
Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi, atau pemotongan atau pemungutan pajak.
|
|
(6)
|
Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi, atau pemotongan atau pemungutan pajak.
|
|
(7)
|
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.
|
|
(7)
|
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.
|
|
(8)
|
Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak termasuk sebagai utang pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a).
|
|
(8)
|
Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak termasuk sebagai utang pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a).
|
|
(9)
|
Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
|
|
(9)
|
Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
|
|
(10)
|
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% (lima puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak dikenakan.
|
|
(10)
|
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak dikenakan.
|
|
7
|
Pasal 27
|
(1)
|
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1).
|
|
(1)
|
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1).
|
|
(2)
|
Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di lingkungan peradilan tata usaha negara.
|
|
(2)
|
Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di lingkungan peradilan tata usaha negara.
|
|
(3)
|
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas paling lama 3 (tiga) bulan sejak Surat Keputusan Keberatan diterima dan dilampiri dengan salinan Surat Keputusan Keberatan tersebut.
|
|
(3)
|
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas paling lama 3 (tiga) bulan sejak Surat Keputusan Keberatan diterima dan dilampiri dengan salinan Surat Keputusan Keberatan tersebut.
|
|
|
|
(4a)
|
Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan permohonan banding, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar Surat Keputusan Keberatan yang diterbitkan.
|
|
(4a)
|
Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan permohonan banding, Direktur Jenderal Pajak harus memberikan keterangan secara tertulis hal yang menjadi dasar Surat Keputusan Keberatan yang diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak permintaan tertulis diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.
|
|
|
|
(5a)
|
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), ayat (3a), atau Pasal 25 ayat (7), atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
|
|
(5a)
|
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), ayat (3a), atau Pasal 25 ayat (7), atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
|
|
(5b)
|
Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5a) tidak termasuk sebagai utang pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a).
|
|
(5b)
|
Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5a) tidak termasuk sebagai utang pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a).
|
|
(5c)
|
Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan banding belum merupakan pajak yang terutang sampai dengan Putusan Banding diterbitkan.
|
|
(5c)
|
Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan banding tidak termasuk sebagai utang pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a) sampai dengan Putusan Banding diterbitkan.
|
|
(5d)
|
Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
|
|
(5d)
|
Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
|
|
|
(5e)
|
Dalam hal Wajib Pajak atau Direktur Jenderal Pajak mengajukan permohonan peninjauan kembali, pelaksanaan putusan Pengadilan Pajak tidak ditangguhkan atau dihentikan.
|
|
|
(5f)
|
Dalam hal Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Peninjauan Kembali dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
|
|
|
(5g)
|
Surat Tagihan Pajak atas sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5f) diterbitkan paling lama 2 (dua) tahun sejak tanggal diterima Putusan Peninjauan Kembali oleh Direktur Jenderal Pajak.
|
|
(6)
|
Badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dalam Pasal 23 ayat (2) diatur dengan Undang-Undang.
|
|
(6)
|
Badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dalam Pasal 23 ayat (2) diatur dengan undang-undang.
|
|
8
|
Pasal 27C
|
|
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak berwenang melaksanakan prosedur persetujuan bersama untuk mencegah atau menyelesaikan permasalahan yang timbul dalam penerapan persetujuan penghindaran pajak berganda.
|
|
|
(2)
|
Prosedur persetujuan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan oleh:
|
|
a.
|
Wajib Pajak dalam negeri;
|
|
b.
|
Direktur Jenderal Pajak;
|
|
c.
|
pejabat berwenang negara mitra atau yurisdiksi mitra persetujuan penghindaran pajak berganda; atau
|
|
d.
|
warga negara Indonesia melalui Direktur Jenderal Pajak terkait perlakuan diskriminatif di negara mitra atau yurisdiksi mitra persetujuan penghindaran pajak berganda yang bertentangan dengan ketentuan mengenai nondiskriminasi,
|
|
sesuai dengan ketentuan dan batas waktu sebagaimana diatur dalam persetujuan penghindaran pajak berganda.
|
|
|
(3)
|
Permintaan pelaksanaan prosedur persetujuan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c dapat diajukan bersamaan dengan permohonan Wajib Pajak dalam negeri untuk mengajukan:
|
|
a.
|
keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25;
|
|
b.
|
permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27; atau
|
|
c.
|
pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b.
|
|
|
(4)
|
Dalam hal pelaksanaan prosedur persetujuan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b belum menghasilkan persetujuan bersama sampai dengan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali diucapkan, Direktur Jenderal Pajak:
|
|
a.
|
melanjutkan perundingan, dalam hal materi sengketa yang diputus dalam Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali bukan merupakan materi yang diajukan prosedur persetujuan bersama; atau
|
|
b.
|
menggunakan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali sebagai posisi dalam perundingan atau menghentikan perundingan, dalam hal materi sengketa yang diputus merupakan materi yang diajukan prosedur persetujuan bersama.
|
|
|
(5)
|
Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti hasil pelaksanaan prosedur persetujuan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan menerbitkan surat keputusan tentang persetujuan bersama.
|
|
|
(6)
|
Surat keputusan tentang persetujuan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (5) termasuk dasar pengembalian pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1a) atau dasar penagihan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
|
|
9
|
Pasal 32
|
(1)
|
Dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak diwakili dalam hal:
|
|
a.
|
badan oleh pengurus;
|
|
b.
|
badan yang dinyatakan pailit oleh kurator;
|
|
c.
|
badan dalam pembubaran oleh orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan;
|
|
d.
|
badan dalam likuidasi oleh likuidator;
|
|
e.
|
suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya; atau
|
|
f.
|
anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau pengampunya.
|
|
(1)
|
Dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak diwakili dalam hal:
|
|
a.
|
badan oleh pengurus;
|
|
b.
|
badan yang dinyatakan pailit oleh kurator;
|
|
c.
|
badan dalam pembubaran oleh orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan;
|
|
d.
|
badan dalam likuidasi oleh likuidator;
|
|
e.
|
suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya; atau
|
|
f.
|
anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau pengampunya.
|
|
(2)
|
Wakil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggungjawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut.
|
|
(2)
|
Wakil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggungjawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut.
|
|
(3)
|
Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
|
(3)
|
Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
|
|
(3a)
|
Seorang kuasa yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus mempunyai kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan, kecuali kuasa yang ditunjuk merupakan suami, istri, atau keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua.
|
|
|
(4)
|
Termasuk dalam pengertian pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah orang yang nyatanyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan.
|
|
(4)
|
Termasuk dalam pengertian pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan.
|
|
10
|
Pasal 32A
|
|
(1)
|
Menteri Keuangan menunjuk pihak lain untuk melakukan pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|
|
(2)
|
Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pihak yang terlibat langsung atau memfasilitasi transaksi antarpihak yang bertransaksi.
|
|
|
(3)
|
Penetapan, penagihan, upaya hukum, dan pengenaan sanksi terhadap Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan berlaku secara mutatis mutandis terhadap pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
|
|
(4)
|
Dalam hal pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan penyelenggara sistem elektronik, selain dikenai sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), terhadap penyelenggara sistem elektronik dimaksud dapat dikenai sanksi berupa pemutusan akses setelah diberikan teguran.
|
|
|
(5)
|
Dalam hal pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah melakukan pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan setelah diberikan teguran, terhadap pihak lain tidak dikenai sanksi pemutusan akses.
|
|
|
(6)
|
Dalam hal pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah melakukan pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan setelah dilakukan pemutusan akses, terhadap pihak lain dilakukan normalisasi akses kembali.
|
|
|
(7)
|
Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika berwenang melakukan pemutusan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan melakukan normalisasi akses sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berdasarkan permintaan Menteri Keuangan.
|
|
11
|
Pasal 34
|
(1)
|
Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
|
(1)
|
Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
|
(2)
|
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
|
(2)
|
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
|
(2a)
|
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
|
|
a.
|
pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan; atau
|
|
b.
|
pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan Menteri Keuangan untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara.
|
|
(2a)
|
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
|
|
a.
|
pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan; atau
|
|
b.
|
pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan Menteri Keuangan untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara.
|
|
(3)
|
Untuk kepentingan negara, Menteri Keuangan berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) supaya memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
|
|
(3)
|
Demi kepentingan negara, dalam rangka penyidikan, penuntutan, atau dalam rangka mengadakan kerja sama dengan lembaga negara, instansi pemerintah, badan hukum yang dibentuk melalui Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah, atau pihak lain, Menteri Keuangan berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
|
|
(4)
|
Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan Hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata, Menteri Keuangan dapat memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
|
|
(4)
|
Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan Hakim sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata, Menteri Keuangan dapat memberi izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
|
|
(5)
|
Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
|
|
(5)
|
Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
|
|
12
|
Pasal 40
|
Tindak pidana di bidang perpajakan tidak dapat dituntut setelah lampau waktu sepuluh tahun sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, berakhirnya Bagian Tahun Pajak, atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan.
|
Tindak pidana di bidang perpajakan tidak dapat dilakukan penuntutan setelah lampau waktu 10 (sepuluh) tahun sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, berakhirnya Bagian Tahun Pajak, atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan.
|
13
|
Pasal 43A
|
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan berwenang melakukan pemeriksaan bukti permulaan sebelum dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
|
|
(1)
|
Direktur Jenderal Pajak berdasarkan informasi, data, laporan, dan pengaduan berwenang melakukan pemeriksaan bukti permulaan sebelum dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
|
|
|
(1a)
|
Pemeriksaan Bukti Permulaan dilaksanakan oleh Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang menerima surat perintah pemeriksaan bukti permulaan.
|
|
(2)
|
Dalam hal terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan yang menyangkut petugas Direktorat Jenderal Pajak, Menteri Keuangan dapat menugasi unit pemeriksa internal di lingkungan Departemen Keuangan untuk melakukan pemeriksaan bukti permulaan.
|
|
(2)
|
Dalam hal terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan yang menyangkut petugas Direktorat Jenderal Pajak, Menteri Keuangan dapat menugasi unit pemeriksa internal di lingkungan Kementerian Keuangan untuk melakukan pemeriksaan bukti permulaan.
|
|
(3)
|
Apabila dari bukti permulaan ditemukan unsur tindak pidana korupsi, pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang tersangkut wajib diproses menurut ketentuan hukum Tindak Pidana Korupsi.
|
|
(3)
|
Apabila dari bukti permulaan ditemukan unsur tindak pidana korupsi, pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang tersangkut wajib diproses menurut ketentuan hukum Tindak Pidana Korupsi.
|
|
(4)
|
Tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
|
(4)
|
Tata cara pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
|
14
|
Pasal 44
|
(1)
|
Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan.
|
|
(1)
|
Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan.
|
|
(2)
|
Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
|
a.
|
menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
|
|
b.
|
meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
|
|
c.
|
meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
|
|
d.
|
memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
|
|
e.
|
melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
|
|
f.
|
meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan;
|
|
g.
|
menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
|
|
h.
|
memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
|
|
i.
|
memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
|
|
j.
|
menghentikan penyidikan; dan/atau
|
|
k.
|
melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|
(2)
|
Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
|
|
a.
|
menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
|
|
b.
|
meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
|
|
c.
|
meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
|
|
d.
|
memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
|
|
e.
|
melakukan penggeledahan untuk mendapatkan barang bukti berupa pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta barang bukti lain yang diduga terkait dengan tindak pidana di bidang perpajakan dan/atau melakukan penyitaan terhadap barang bukti tersebut;
|
|
f.
|
meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan;
|
|
g.
|
menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
|
|
h.
|
memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
|
|
i.
|
memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
|
|
j.
|
melakukan pemblokiran harta kekayaan milik tersangka sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau penyitaan harta kekayaan milik tersangka sesuai dengan Undang-Undang yang mengatur mengenai hukum acara pidana, termasuk tetapi tidak terbatas dengan adanya izin ketua pengadilan negeri setempat;
|
|
k.
|
menghentikan penyidikan; dan/atau
|
|
l.
|
melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|
(3) |
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
|
|
(3)
|
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
|
|
(4)
|
Dalam rangka pelaksanaan kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyidik dapat meminta bantuan aparat penegak hukum lain.
|
|
(4)
|
Dalam rangka pelaksanaan kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyidik dapat meminta bantuan aparat penegak hukum lain.
|
|
15
|
Pasal 44A
|
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) menghentikan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) huruf j dalam hal tidak terdapat cukup bukti, atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan, atau penyidikan dihentikan karena peristiwanya telah daluwarsa, atau tersangka meninggal dunia.
|
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) menghentikan Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) huruf k dalam hal:
|
a.
|
Wajib Pajak melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (3);
|
b.
|
tidak terdapat cukup bukti;
|
c.
|
peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan; atau
|
d.
|
demi hukum.
|
|
16
|
Pasal 44B
|
(1)
|
Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan.
|
|
(1)
|
Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan.
|
|
(2)
|
Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan setelah Wajib Pajak melunasi utang pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 3 (tiga) kali jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar, atau yang tidak seharusnya dikembalikan.
|
|
(2)
|
Penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan setelah Wajib Pajak atau tersangka melunasi:
|
|
a.
|
kerugian pada pendapatan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 1 (satu) kali jumlah kerugian pada pendapatan negara;
|
|
b.
|
kerugian pada pendapatan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 3 (tiga) kali jumlah kerugian pada pendapatan negara; atau
|
|
c.
|
jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39A ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.
|
|
|
(2a)
|
Dalam hal perkara pidana telah dilimpahkan ke pengadilan, terdakwa tetap dapat melunasi:
|
|
a.
|
kerugian pada pendapatan negara ditambah dengan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a atau huruf b; atau
|
|
b.
|
jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak ditambah dengan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c.
|
|
|
(2b)
|
Pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), menjadi pertimbangan untuk dituntut tanpa disertai penjatuhan pidana penjara.
|
|
|
(2c)
|
Dalam hal pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak, tersangka, atau terdakwa pada tahap penyidikan sampai dengan persidangan belum memenuhi jumlah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), atas pembayaran tersebut dapat diperhitungkan sebagai pembayaran pidana denda yang dibebankan kepada terdakwa.
|
|
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai permintaan penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
|
|
17
|
Pasal 44C
|
|
(1)
|
Pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39A tidak dapat digantikan dengan pidana kurungan dan wajib dibayar oleh terpidana.
|
|
|
(2)
|
Dalam hal terpidana tidak membayar pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, jaksa melakukan penyitaan dan pelelangan terhadap harta kekayaan terpidana untuk membayar pidana denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|
|
(3)
|
Dalam hal setelah dilakukan penelusuran dan penyitaan harta kekayaan, terpidana orang tidak memiliki harta kekayaan yang mencukupi untuk membayar pidana denda, dapat dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi pidana penjara yang diputus.
|
|
18
|
Pasal 44D
|
|
(1) |
Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara tindak pidana di bidang perpajakan tetap dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadiran terdakwa.
|
|
|
(2)
|
Dalam hal terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hadir pada sidang sebelum putusan dijatuhkan, terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang.
|
|
19
|
BAB IXA
PENDELEGASIAN KEWENANGAN
|
20
|
Pasal 44E |
|
(1)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian data dalam rangka integrasi basis data kependudukan dengan basis data perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (10) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
|
|
|
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai:
|
|
a.
|
jangka waktu pendaftaran dan pelaporan serta tata cara pendaftaran dan pengukuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) termasuk penggunaan nomor induk kependudukan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak, penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
|
|
b.
|
pemberian dan permintaan bantuan penagihan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20A ayat (2);
|
|
c.
|
penampungan dan pengiriman hasil penagihan pajak atas klaim pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20A ayat (9);
|
|
d.
|
pelaksanaan prosedur persetujuan bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27C ayat (1);
|
|
e.
|
pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan oleh seorang kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) serta kompetensi tertentu yang harus dimiliki seorang kuasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3a);
|
|
f.
|
penunjukan, pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan pajak yang telah dipotong atau dipungut oleh pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32A ayat (2);
|
|
g.
|
penetapan, penagihan, dan upaya hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32A ayat (3);
|
|
h.
|
pemberian teguran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32A ayat (4) serta permintaan pemutusan dan normalisasi akses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32A ayat (7); dan
|
|
i.
|
permintaan penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (1) dan pelunasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) dan ayat (2a),
|
|
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
|
|