Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Premium
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 54 TAHUN 2023
TENTANG
PENGHENTIAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG CUKAI UNTUK KEPENTINGAN PENERIMAAN NEGARA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
|
|
|
|
MENIMBANG |
|||
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 64 ayat (9) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penghentian Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Cukai untuk Kepentingan Penerimaan Negara;
|
|||
|
|
|
|
MENGINGAT |
|||
1.
|
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
||
2.
|
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3613) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736);
|
||
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
|||
Menetapkan |
|||
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGHENTIAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG CUKAI UNTUK KEPENTINGAN PENERIMAAN NEGARA.
|
|||
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
|||
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
|
|||
1.
|
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
|
||
2.
|
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
|
||
|
|
|
|
BAB II
TATA CARA PENGHENTIAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG CUKAI UNTUK KEPENTINGAN PENERIMAAN NEGARA
Pasal 2 |
|||
(1)
|
Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri atau pejabat yang ditunjuk, Jaksa Agung atau pejabat yang ditunjuk dapat menghentikan Penyidikan tindak pidana di bidang cukai paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan.
|
||
(2)
|
Penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan atas tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, Pasal 52, Pasal 54, Pasal 56, dan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, setelah yang bersangkutan membayar sanksi administratif berupa denda sebesar 4 (empat) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar.
|
||
|
|
|
|
Pasal 3 |
|||
(1)
|
Dalam Penyidikan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), penyidik memberitahukan kepada tersangka bahwa yang bersangkutan dapat mengajukan penghentian Penyidikan di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara dengan membayar sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
|
||
(2)
|
Dalam hal tersangka bermaksud mengajukan penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tersangka menyampaikan permohonan penghentian Penyidikan di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
|
||
|
|
|
|
Pasal 4 |
|||
(1)
|
Berdasarkan permohonan tersangka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), Menteri atau pejabat yang ditunjuk melakukan penelitian permohonan untuk memastikan tindak pidana yang dilanggar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan besaran sanksi administratif berupa denda yang harus dibayar.
|
||
(2)
|
Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memenuhi ketentuan penghentian Penyidikan tindak pidana di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara, Menteri atau pejabat yang ditunjuk menyampaikan kepada tersangka surat persetujuan atas permohonan penghentian Penyidikan berikut besaran sanksi administratif berupa denda yang harus dibayar dan batas waktu pembayaran.
|
||
(3)
|
Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memenuhi ketentuan penghentian Penyidikan tindak pidana di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara, Menteri atau pejabat yang ditunjuk menyampaikan kepada tersangka surat penolakan atas permohonan penghentian Penyidikan dengan disertai alasan.
|
||
|
|
|
|
Pasal 5 |
|||
Tersangka membayar sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) ke rekening Pemerintah yang ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
|
|||
|
|
|
|
Pasal 6 |
|||
(1)
|
Tersangka menyampaikan bukti pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 disertai dengan surat pernyataan pengakuan bersalah kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
|
||
(2)
|
Menteri atau pejabat yang ditunjuk menyampaikan surat permintaan penghentian Penyidikan tindak pidana di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara kepada Jaksa Agung atau pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak bukti pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima.
|
||
(3)
|
Surat permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dengan melampirkan:
|
||
|
a.
|
laporan kejadian;
|
|
|
b.
|
surat perintah tugas Penyidikan;
|
|
|
c.
|
surat pemberitahuan dimulainya Penyidikan;
|
|
|
d.
|
resume Penyidikan;
|
|
|
e.
|
surat permohonan penghentian Penyidikan;
|
|
|
f.
|
surat persetujuan atas permohonan penghentian Penyidikan;
|
|
|
g.
|
surat pernyataan pengakuan bersalah dari tersangka; dan
|
|
|
h.
|
bukti pembayaran sanksi administratif berupa denda.
|
|
|
|
|
|
Pasal 7 |
|||
Dalam hal tersangka tidak atau kurang membayar sanksi administratif berupa denda sebesar 4 (empat) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar sampai dengan batas waktu pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), Penyidikan dilanjutkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
Pasal 8 |
|||
(1)
|
Berdasarkan surat permintaan penghentian Penyidikan tindak pidana di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), Jaksa Agung atau pejabat yang ditunjuk melakukan penelitian terhadap pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3).
|
||
(2)
|
Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Jaksa Agung atau pejabat yang ditunjuk menolak permintaan penghentian Penyidikan tindak pidana di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara.
|
||
(3)
|
Dalam hal hasil penelitian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak lengkap, Jaksa Agung atau pejabat yang ditunjuk mengembalikan kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk untuk dilengkapi.
|
||
(4)
|
Terhadap permintaan penghentian Penyidikan tindak pidana di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara yang dikembalikan oleh Jaksa Agung atau pejabat yang ditunjuk untuk dilengkapi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri atau pejabat yang ditunjuk melengkapi selanjutnya menyampaikan kembali surat permintaan penghentian Penyidikan tindak pidana di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara kepada Jaksa Agung atau pejabat yang ditunjuk.
|
||
(5)
|
Jaksa Agung atau pejabat yang ditunjuk menetapkan penghentian Penyidikan tindak pidana di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara terhadap permintaan penghentian Penyidikan tindak pidana di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
||
(6)
|
Dalam keadaan tertentu, Jaksa Agung dapat menolak permintaan penghentian Penyidikan tindak pidana di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
||
|
|
|
|
Pasal 9 |
|||
(1)
|
Dalam hal tindak pidana di bidang cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dilakukan oleh lebih dari 1 (satu) tersangka, permintaan penghentian Penyidikan tindak pidana di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilakukan setelah:
|
||
|
a.
|
seluruh tersangka baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama mengajukan permohonan penghentian Penyidikan tindak pidana di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara; dan
|
|
|
b.
|
sanksi administratif berupa denda sebesar 4 (empat) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) telah dibayar.
|
|
(2)
|
Pembayaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sesuai kesepakatan para tersangka.
|
||
|
|
|
|
Pasal 10 |
|||
(1)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan penghentian Penyidikan tindak pidana di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara, pembayaran sanksi administratif berupa denda, dan permintaan penghentian Penyidikan tindak pidana di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara diatur dengan Peraturan Menteri.
|
||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghentian Penyidikan tindak pidana di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara diatur dengan Peraturan Kejaksaan.
|
||
|
|
|
|
BAB III
PENYELESAIAN BARANG KENA CUKAI DAN BARANG LAIN
Pasal 11 |
|||
(1)
|
Barang kena cukai yang terkait tindak pidana di bidang cukai yang telah dilakukan penghentian Penyidikan tindak pidana di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) ditetapkan menjadi barang milik negara.
|
||
(2)
|
Barang lain yang terkait tindak pidana di bidang cukai yang telah dilakukan penghentian Penyidikan tindak pidana di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dapat ditetapkan menjadi barang milik negara.
|
||
(3)
|
Barang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
|
||
|
a.
|
sarana pengangkut;
|
|
|
b.
|
peralatan komunikasi;
|
|
|
c.
|
media atau tempat penyimpanan;
|
|
|
d.
|
dokumen dan surat; dan
|
|
|
e.
|
benda lain yang tersangkut tindak pidana di bidang cukai.
|
|
(4)
|
Barang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang akan ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk menjadi barang milik negara harus memenuhi ketentuan:
|
||
|
a.
|
dapat dibuktikan bahwa barang lain tersebut merupakan milik tersangka; dan
|
|
|
b.
|
telah dilakukan penyitaan oleh penyidik.
|
|
|
|
|
|
Pasal 12 |
|||
(1)
|
Menteri atau pejabat yang ditunjuk menyatakan status barang kena cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan barang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) menjadi barang milik negara dengan menerbitkan keputusan mengenai penetapan sebagai barang milik negara.
|
||
(2)
|
Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya keputusan Jaksa Agung atau pejabat yang ditunjuk mengenai penghentian Penyidikan tindak pidana di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara.
|
||
|
|
|
|
Pasal 13 |
|||
Barang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) yang tidak ditetapkan menjadi barang milik negara dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak.
|
|||
|
|
|
|
Pasal 14 |
|||
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian barang milik negara yang berasal dari tindak pidana di bidang cukai yang telah dilakukan penghentian Penyidikan tindak pidana di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 diatur dengan Peraturan Menteri.
|
|||
|
|
|
|
BAB IV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 15 |
|||
Penyidikan atas tindak pidana dalam Pasal 50, Pasal 52, Pasal 54, Pasal 56, dan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang belum dilakukan penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum, proses penghentian Penyidikan tindak pidana di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
|
|||
|
|
|
|
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 16 |
|||
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, ketentuan yang mengatur mengenai cukai sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 1996 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Kepabeanan dan Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3651), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
|||
|
|
|
|
Pasal 17 |
|||
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
|
|||
|
|
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
|
|||
|
|
|
|
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 22 November 2023
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
JOKO WIDODO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 22 November 2023
MENTERI SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
PRATIKNO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2023 NOMOR 150
|
|||
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 54 TAHUN 2023
TENTANG
PENGHENTIAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA DI BIDANG CUKAI UNTUK KEPENTINGAN PENERIMAAN NEGARA
|
|
|
|
I.
|
UMUM
|
||
|
Ketentuan penyelesaian tindak pidana di bidang cukai dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dimaksudkan untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan, mendukung percepatan pemulihan perekonomian, mengoptimalkan penerimaan negara guna membiayai pembangunan nasional, serta mewujudkan penegakan hukum di bidang cukai yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum.
Pengenaan cukai mempunyai dua fungsi yaitu fungsi anggaran (budgetair) dan fungsi mengatur (regulerend) sehingga kebijakan yang berkaitan dengan cukai harus dapat memberikan kontribusi yang optimal sebagai sumber pendapatan negara, termasuk ketentuan mengenai sanksi atas pelanggaran di bidang cukai.
Mayoritas pelanggaran di bidang cukai merupakan tindak pidana yang diselesaikan melalui proses Penyidikan. Namun penyelesaian pelanggaran melalui proses Penyidikan, belum memberikan efek jera bagi pelaku dan penerimaan negara dari pidana denda sangat kecil karena terpidana memilih menjalani pidana kurungan sebagai pengganti pidana denda.
Mengingat filosofi cukai merupakan instrumen fiskal dan salah satu tujuan hukum adalah kemanfaatan maka penerapan sanksi administratif berupa denda dipandang akan lebih memberikan efek jera dan manfaat dibandingkan penerapan sanksi pidana. Sanksi pidana sebagai upaya terakhir dalam penegakan hukum di bidang cukai (ultimum remedium).
Pemidanaan akan dilakukan dalam hal pelaku tidak membayar sanksi administratif berupa denda. Penerapan konsep ultimum remedium atas pelanggaran pidana di bidang cukai selaras dengan konsep penegakan hukum di bidang perpajakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, dinilai sebagai perwujudan keadilan restoratif (restorative justice) yang lebih obyektif.
|
||
|
|||
|
|||
|
|||
|
|||
|
|
|
|
II.
|
PASAL DEMI PASAL
|
||
|
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Yang dimaksud dengan “rekening Pemerintah” adalah rekening yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai secara resmi yang telah mendapat penetapan oleh kantor pelayanan perbendaharaan negara setempat untuk dijadikan sebagai rekening penampungan sementara.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “surat pernyataan pengakuan bersalah” adalah pernyataan tertulis yang dibuat oleh tersangka bahwa yang bersangkutan mengakui telah melanggar tindak pidana Pasal 50, Pasal 52, Pasal 54, Pasal 56, dan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Huruf h
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” adalah adanya kepentingan hukum yang lebih besar seperti hasil tindak pidana cukai yang dipergunakan sebagai pendanaan terorisme atau terindikasi adanya kerugian negara yang lebih besar.
Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “secara sendiri-sendiri” adalah masing-masing tersangka mengajukan permohonan penghentian Penyidikan tindak pidana di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Yang dimaksud dengan “secara bersama-sama” adalah para tersangka mengajukan permohonan penghentian Penyidikan tindak pidana di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk dalam 1 (satu) permohonan.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kesepakatan para tersangka” adalah penghitungan porsi dalam rangka pembayaran sanksi administratif berupa denda sebesar 4 (empat) kali nilai cukai yang seharusnya dibayar berdasarkan kesepakatan para tersangka.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Contoh benda lain yang tersangkut tindak pidana di bidang cukai seperti mesin pembuat barang kena cukai, mesin pengemas barang kena cukai, kemasan barang kena cukai, pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya, uang tunai, atau benda lain yang tersangkut tindak pidana di bidang cukai.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
|
||
|
|
|
|
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6902
|