Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Premium
Terjemahan Dokumen
Ini Belum Tersedia
Ini Belum Tersedia
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
|
||
|
|
|
Menimbang |
||
bahwa untuk mendukung sinergi antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan dalam penegakan hukum di sektor jasa keuangan, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 49 dalam Pasal 8 angka 21 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan;
|
||
|
|
|
Mengingat |
||
1.
|
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
|
2.
|
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);
|
|
3.
|
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841);
|
|
4.
|
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6845);
|
|
5.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 290, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5772);
|
|
6.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pelaksanaan Koordinasi, Pengawasan, dan Pembinaan Teknis Terhadap Kepolisian Khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, dan Bentuk-Bentuk Pengamanan Swakarsa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5298);
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
||
Menetapkan |
||
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENYIDIKAN TINDAK PIDANA DI SEKTOR JASA KEUANGAN.
|
||
|
|
|
Pasal 1 |
||
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
|
||
1.
|
Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan adalah setiap tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai sektor jasa keuangan.
|
|
2.
|
Penyidik Otoritas Jasa Keuangan adalah penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.
|
|
3.
|
Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
|
|
4.
|
Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga negara yang independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
|
|
5.
|
Koordinasi adalah suatu hubungan kerja yang menyangkut bidang fungsi kepolisian atas dasar sendi sendi hubungan fungsional dengan mengindahkan tugas dan kewenangan masing-masing.
|
|
6.
|
Pegawai Tertentu adalah pegawai tetap Otoritas Jasa Keuangan dan pegawai negeri sipil yang merupakan pejabat penyidik pegawai negeri sipil.
|
|
|
|
|
Pasal 2 |
||
(1)
|
Penyidik Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan terdiri atas:
|
|
|
a.
|
pejabat penyidik pada Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
|
|
b.
|
Penyidik Otoritas Jasa Keuangan.
|
(2)
|
Penyidik Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
|
|
|
a.
|
pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia;
|
|
b.
|
pejabat pegawai negeri sipil tertentu; dan
|
|
c.
|
Pegawai Tertentu,
|
|
yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan.
|
|
(3)
|
Pejabat penyidik pada Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berwenang dan bertanggung jawab melakukan Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
|
|
(4)
|
Penyidik Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berwenang dan bertanggung jawab:
|
|
|
a.
|
menerima laporan, pemberitahuan, atau pengaduan dari seseorang tentang adanya Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan;
|
|
b.
|
melakukan penelitian atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan;
|
|
c.
|
melakukan penelitian terhadap Setiap Orang yang diduga melakukan atau terlibat dalam Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan;
|
|
d.
|
memanggil, memeriksa, dan meminta keterangan dan barang bukti dari Setiap Orang yang disangka melakukan, atau sebagai saksi dalam Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan;
|
|
e.
|
meminta kepada instansi yang berwenang untuk melakukan pencegahan terhadap warga negara Indonesia dan/atau orang asing serta penangkalan terhadap orang asing yang disangka melakukan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan;
|
|
f.
|
melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan;
|
|
g.
|
meminta bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan yang sedang ditangani;
|
|
h.
|
melakukan penggeledahan di setiap tempat tertentu yang diduga terdapat setiap barang bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap barang yang dapat dijadikan bahan bukti dalam perkara Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan;
|
|
i.
|
memblokir rekening pada bank atau lembaga keuangan lain dari Setiap Orang yang diduga melakukan atau terlibat dalam Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan;
|
|
j.
|
meminta data, dokumen, atau alat bukti lain baik cetak maupun elektronik kepada penyelenggara jasa telekomunikasi atau penyelenggara jasa penyimpanan data dan/atau dokumen;
|
|
k.
|
meminta keterangan dari lembaga jasa keuangan tentang keadaan keuangan pihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
|
|
l.
|
meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan;
|
|
m.
|
melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana asal berupa Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan;
|
|
n.
|
meminta bantuan aparat penegak hukum lain; dan
|
|
o.
|
menyampaikan hasil penyidikan kepada Jaksa untuk dilakukan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|
|
|
Pasal 3 |
||
(1)
|
Pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a diberikan penugasan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
|
|
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penugasan pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepolisian.
|
|
|
|
|
Pasal 4 |
||
Penyidik Otoritas Jasa Keuangan yang berasal dari pejabat pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b diangkat oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
|
||
|
|
|
Pasal 5 |
||
(1)
|
Pegawai Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c ditetapkan dan diberi wewenang khusus sebagai penyidik setelah memenuhi kualifikasi oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.
|
|
(2)
|
Untuk menjadi Penyidik Otoritas Jasa Keuangan, Pegawai Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c, harus memenuhi persyaratan dan kualifikasi sebagai berikut:
|
|
|
a.
|
memiliki masa kerja sebagai pegawai tetap Otoritas Jasa Keuangan atau pegawai negeri sipil yang berasal dari kementerian/lembaga paling singkat 2 (dua) tahun;
|
|
b.
|
memiliki pangkat paling rendah Penata Muda golongan ruang III/a atau yang sederajat;
|
|
c.
|
berpendidikan paling rendah sarjana hukum atau sarjana lain yang setara;
|
|
d.
|
bertugas di bidang teknis operasional penegakan hukum;
|
|
e.
|
sehat jasmani dan rohani yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter pada rumah sakit pemerintah;
|
|
f.
|
paling sedikit bernilai baik dalam 2 (dua) tahun terakhir dalam setiap unsur penilaian kinerja; dan
|
|
g.
|
mengikuti dan lulus pendidikan dan pelatihan di bidang penyidikan yang diselenggarakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia bekerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan.
|
(3)
|
Pegawai Tertentu yang telah memenuhi persyaratan dan kualifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diusulkan sebagai Penyidik Otoritas Jasa Keuangan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
|
|
(4)
|
Administrasi pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, dan pelantikan penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
|
|
(5)
|
Pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, dan pelantikan Penyidik Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b dilakukan atas dasar pertimbangan dan peraturan yang berlaku pada kementerian/lembaga asal Penyidik Otoritas Jasa Keuangan.
|
|
|
|
|
Pasal 6 |
||
Dalam melaksanakan kewenangan dan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4), Penyidik Otoritas Jasa Keuangan berada di bawah Koordinasi dan pengawasan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
|
||
|
|
|
Pasal 7 |
||
(1)
|
Koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dilaksanakan melalui kegiatan operasional Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan dengan mengutamakan prinsip keadilan restoratif dan ultimum remedium.
|
|
(2)
|
Koordinasi kegiatan operasional Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan penyidik yang lebih dahulu menangani Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan.
|
|
(3)
|
Koordinasi kegiatan operasional Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara:
|
|
|
a.
|
Penyidik Otoritas Jasa Keuangan mengirimkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada penyidik pada Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk diteruskan kepada penuntut umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
|
b.
|
perencanaan kegiatan dalam rangka pelaksanaan penyidikan bersama sesuai dengan kewenangan masing-masing;
|
|
c.
|
pelaksanaan gelar perkara dalam rangka peningkatan penyidikan, penetapan tersangka, penghentian penyidikan, atau upaya paksa lainnya;
|
|
d.
|
penyidik pada Kepolisian Negara Republik Indonesia memberikan bantuan teknis, upaya paksa, dan konsultasi penyidikan kepada Penyidik Otoritas Jasa Keuangan;
|
|
e.
|
Penyidik Otoritas Jasa Keuangan mengirimkan berkas perkara hasil penyidikan kepada penyidik pada Kepolisian Negara Republik Indonesia dan meneruskan kepada penuntut umum sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
|
|
f.
|
penyidik pada Kepolisian Negara Republik Indonesia menghadiri atau menyelenggarakan gelar perkara yang ditangani oleh Penyidik Otoritas Jasa Keuangan;
|
|
g.
|
penyidik pada Kepolisian Negara Republik Indonesia menerima pemberitahuan mengenai penghentian penyidikan dari Penyidik Otoritas Jasa Keuangan dan diteruskan kepada penuntut umum;
|
|
h.
|
pertukaran data dan informasi mengenai dugaan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan yang penyidikannya dilakukan oleh Penyidik Otoritas Jasa Keuangan; dan
|
|
i.
|
penyidik pada Kepolisian Negara Republik Indonesia menghadiri rapat berkala yang diselenggarakan oleh Penyidik Otoritas Jasa Keuangan.
|
Pasal 8 |
||
(1)
|
Selain Koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Koordinasi Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan dilaksanakan melalui gelar perkara khusus, yaitu:
|
|
|
a.
|
menentukan penyelidikan, penghentian penyelidikan, menentukan penyidikan, dan penghentian penyidikan;
|
|
b.
|
menentukan penyidik yang paling pertama menangani, dalam hal penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a dan huruf b, pada saat yang bersamaan melakukan penyidikan terhadap obyek perkara yang sama;
|
|
c.
|
dalam hal Penyidik Otoritas Jasa Keuangan melakukan Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan ditemukan tindak pidana umum, Penyidik Otoritas Jasa Keuangan melimpahkan kepada penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a;
|
|
d.
|
menentukan tindak lanjut penyidikan oleh pejabat penyidik pada Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a, dalam hal Penyidik Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b akan atau telah menghentikan penyelidikan atau penyidikan berdasarkan prinsip keadilan restoratif dan prinsip ultimum remedium; dan
|
|
e.
|
melakukan penyidikan bersama.
|
(2)
|
Gelar perkara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan atas inisiatif Otoritas Jasa Keuangan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia.
|
|
|
|
|
Pasal 9 |
||
(1)
|
Otoritas Jasa Keuangan menetapkan dimulainya, tidak dilakukannya, atau dihentikannya penyidikan terhadap Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan setelah berkoordinasi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
|
|
(2)
|
Penyelidikan terhadap dugaan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan dilakukan oleh Penyidik Otoritas Jasa Keuangan yang ditunjuk berdasarkan informasi dan temuan adanya Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan.
|
|
(3)
|
Pada tahap penyelidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pihak yang diduga melakukan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan dapat mengajukan permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk penyelesaian pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
|
|
(4)
|
Penilaian terhadap permohonan penyelesaian pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan perhitungan nilai kerugian atas pelanggaran dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan dengan melibatkan penyelidik, penyidik, dan/atau pihak lain.
|
|
(5)
|
Dalam melakukan penilaian terhadap permohonan penyelesaian pelanggaran dan perhitungan nilai kerugian atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Otoritas Jasa Keuangan mempertimbangkan paling sedikit:
|
|
|
a.
|
ada atau tidaknya penyelesaian atas kerugian yang timbul akibat tindak pidana;
|
|
b.
|
nilai transaksi dan/atau nilai kerugian atas pelanggaran; dan
|
|
c.
|
dampak terhadap sektor jasa keuangan, lembaga jasa keuangan, dan/atau kepentingan nasabah, pemodal atau investor, dan/atau masyarakat.
|
(6)
|
Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menyetujui permohonan penyelesaian pelanggaran, pihak yang mengajukan permohonan penyelesaian pelanggaran wajib melaksanakan kesepakatan termasuk membayar ganti rugi.
|
|
(7)
|
Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) telah dipenuhi seluruhnya oleh pihak yang mengajukan permohonan penyelesaian pelanggaran, Otoritas Jasa Keuangan menghentikan penyelidikan.
|
|
(8)
|
Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) merupakan hak dari pihak yang dirugikan dan bukan merupakan pendapatan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|
(9)
|
Selain ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (8), Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan tindakan administratif berupa pemberian sanksi administratif terhadap pihak yang diduga melakukan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan.
|
|
(10)
|
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (9) meliputi:
|
|
|
a.
|
peringatan tertulis;
|
|
b.
|
pembatasan produk dan/atau layanan dan/atau kegiatan usaha untuk sebagian atau seluruhnya;
|
|
c.
|
pembekuan produk dan/atau layanan dan/atau kegiatan usaha untuk sebagian atau seluruhnya;
|
|
d.
|
pemberhentian pengurus;
|
|
e.
|
denda administratif;
|
|
f.
|
pencabutan izin produk dan/atau layanan;
|
|
g.
|
pencabutan izin usaha; dan/atau
|
|
h.
|
sanksi administratif lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
|
(11)
|
Dalam hal:
|
|
|
a.
|
Otoritas Jasa Keuangan tidak menyetujui permohonan penyelesaian atas pelanggaran; atau
|
|
b.
|
pihak yang mengajukan permohonan penyelesaian pelanggaran tidak memenuhi sebagian atau seluruh kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6),
|
|
Otoritas Jasa Keuangan berwenang melanjutkan ke tahap penyidikan.
|
|
(12)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (11) dilakukan sesuai dengan karakteristik masing-masing sektor jasa keuangan.
|
|
(13)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian pelanggaran dan permohonan penyelesaian atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (11) diatur dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
|
|
|
|
Pasal 10 |
||
Dalam pelaksanaan penyelidikan berdasarkan prinsip keadilan restoratif dan prinsip ultimum remedium sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, penyidik pada Kepolisian Negara Republik Indonesia berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||
|
|
|
Pasal 11 |
||
(1)
|
Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 melakukan pengawasan terhadap kegiatan penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Otoritas Jasa Keuangan.
|
|
(2)
|
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|
|
a.
|
pelaksanaan gelar perkara;
|
|
b.
|
pemantauan proses penyidikan dan penyerahan berkas perkara;
|
|
c.
|
pelaksanaan supervisi atas permintaan pimpinan Penyidik Otoritas Jasa Keuangan;
|
|
d.
|
pendataan penanganan perkara oleh Penyidik Otoritas Jasa Keuangan; dan
|
|
e.
|
analisis dan evaluasi pelaksanaan tugas penyidikan secara berkala.
|
|
|
|
Pasal 12 |
||
(1)
|
Dalam rangka pelaksanaan Koordinasi dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Kepolisian Negara Republik Indonesia melaksanakan pembinaan teknis terhadap Penyidik Otoritas Jasa Keuangan.
|
|
(2)
|
Pembinaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:
|
|
|
a.
|
pendidikan dan pelatihan; dan
|
|
b.
|
peningkatan kemampuan operasional penyidikan.
|
(3)
|
Peningkatan kemampuan operasional penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat dilakukan melalui penyegaran dan seminar/workshop bidang penyidikan.
|
|
|
|
|
Pasal 13 |
||
(1)
|
Dalam melaksanakan tugas dan wewenang, Penyidik Otoritas Jasa Keuangan harus berpegang pada kode etik.
|
|
(2)
|
Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|
|
a.
|
mengutamakan kepentingan negara, bangsa, dan masyarakat dari kepentingan pribadi dan golongan;
|
|
b.
|
menjunjung tinggi hak asasi manusia;
|
|
c.
|
mendahulukan kewajiban daripada hak;
|
|
d.
|
memperlakukan semua orang sama di muka hukum;
|
|
e.
|
bersikap jujur dan tanggung jawab dalam melaksanakan tugas;
|
|
f.
|
tidak memublikasikan nama terang tersangka dan saksi;
|
|
g.
|
tidak memublikasikan tata cara, taktik, dan teknik penyidikan;
|
|
h.
|
mengamankan dan memelihara barang bukti yang berada dalam penguasaannya karena terkait dengan penyelesaian perkara;
|
|
i.
|
menjunjung tinggi hukum, norma yang hidup dan berlaku di masyarakat, norma agama, norma kesopanan, norma kesusilaan dan hak asasi manusia; dan
|
|
j.
|
senantiasa memegang teguh rahasia jabatan atau menurut perintah kedinasan harus dirahasiakan.
|
|
|
|
Pasal 14 |
||
(1)
|
Masyarakat dapat melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan adanya dugaan terjadinya pelanggaran kode etik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) yang dilakukan oleh Penyidik Otoritas Jasa Keuangan.
|
|
(2)
|
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didukung dengan data dan alat bukti yang dapat dipertanggungjawabkan.
|
|
(3)
|
Berdasarkan laporan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibentuk tim penegakan kode etik yang bersifat ad hoc.
|
|
|
|
|
Pasal 15 |
||
Ketentuan mengenai tata cara penegakan kode etik dan pembentukan tim penegakan kode etik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 diatur dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
|
||
|
|
|
Pasal 16 |
||
(1)
|
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, selain Penyidik Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a dan huruf b, dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun atau sesuai kesepakatan antara Otoritas Jasa Keuangan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegawai negeri sipil dapat diangkat sebagai Penyidik Otoritas Jasa Keuangan yang merupakan Pegawai Tertentu.
|
|
(2)
|
Pegawai tetap Otoritas Jasa Keuangan dapat diangkat sebagai Penyidik Otoritas Jasa Keuangan setelah jangka waktu 5 (lima) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku atau sesuai jangka waktu yang disepakati oleh Otoritas Jasa Keuangan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
|
|
|
|
|
Pasal 17 |
||
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
|
||
|
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
|
||
|
|
|
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Januari 2023 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 30 Januari 2023 MENTERI SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd. PRATIKNO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2023 NOMOR 23 |
||
PENJELASANATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2023
TENTANG PENYIDIKAN TINDAK PIDANA DI SEKTOR JASA KEUANGAN |
|
|
|
I.
|
UMUM
|
|
Pengembangan dan penguatan sektor keuangan di Indonesia perlu didukung dengan efektivitas penegakan hukum di sektor jasa keuangan. Hal ini sejalan dengan perkembangan industri jasa keuangan yang semakin kompleks dan beragam, perekonomian nasional dan internasional yang bergerak cepat, kompetitif, dan terintegrasi, serta sistem keuangan yang semakin maju.
Dukungan terhadap efektivitas penegakan hukum di sektor jasa keuangan telah diatur dalam Pasal 49 dalam Pasal 8 angka 21 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. Efektivitas penegakan hukum di sektor jasa keuangan memerlukan kerja sama dan sinergi antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan.
Oleh karena itu, Peraturan Pemerintah ini mengatur mengenai sinergi antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan untuk mendukung efektivitas penegakan hukum di sektor jasa keuangan, serta bertujuan untuk memberikan panduan bagi Penyidik Otoritas Jasa Keuangan dalam pelaksanaan tugas Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan dan kewenangan Koordinasi serta pengawasan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia kepada Penyidik Otoritas Jasa Keuangan dalam pelaksanaan tugasnya.
Peraturan Pemerintah ini mengatur juga di antaranya mengenai kewenangan Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan yang dilaksanakan baik oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia maupun Penyidik Otoritas Jasa Keuangan, kewenangan dan tanggung jawab Penyidik Otoritas Jasa Keuangan, pelaksanaan Koordinasi dan pengawasan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia kepada Penyidik Otoritas Jasa Keuangan, pembinaan teknis oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia kepada Penyidik Otoritas Jasa Keuangan, persyaratan dan kualifikasi Pegawai Tertentu untuk menjadi Penyidik Otoritas Jasa Keuangan, serta kode etik Penyidik Otoritas Jasa Keuangan.
|
|
|
II.
|
PASAL DEMI PASAL
|
|
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Yang dimaksud dengan "pengawasan" adalah proses pengamatan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap pelaksanaan fungsi kepolisian terbatas yang dilakukan oleh Penyidik Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "pembinaan teknis" adalah segala upaya, kegiatan, dan tindakan untuk memberikan pendidikan dan pelatihan, serta peningkatan kemampuan teknis terhadap Penyidik Otoritas Jasa Keuangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
|
|
|
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6849
|