Quick Guide
Hide Quick Guide
- Menimbang
- Mengingat
- Menetapkan
- Pasal 1
- Pasal 2
- Pasal 3
- Pasal 4
- Pasal 5
- Pasal 6
- Pasal 7
- Pasal 8
- Pasal 9
- Pasal 10
- Pasal 11
- Pasal 12
- Pasal 13
- Pasal 14
- Pasal 15
- Pasal 16
- Pasal 17
- Pasal 18
- Pasal 19
- Pasal 20
- Pasal 21
- Pasal 22
- Pasal 23
- Pasal 24
- Pasal 25
- Pasal 26
- Pasal 27
- Pasal 28
- Pasal 29
- Pasal 30
- Pasal 31
- Pasal 32
- Pasal 33
- Pasal 34
- Pasal 35
- Pasal 36
- Pasal 37
- Pasal 38
- Pasal 39
- Pasal 40
- Pasal 41
- Pasal 42
- Pasal 43
- Pasal 44
- Pasal 45
- Pasal 46
- Pasal 47
- Pasal 48
- Pasal 49
- Pasal 51
- Pasal 52
- Pasal 53
- Pasal 54
- Pasal 55
- Pasal 56
- Pasal 57
- Pasal 58
- Pasal 59
- Pasal 60
- Pasal 61
- Pasal 62
- Pasal 63
- Pasal 64
- Pasal 65
- Pasal 66
- Pasal 67
- Pasal 68
- Pasal 69
- Pasal 70
- Pasal 71
- Pasal 72
- Pasal 73
- Pasal 74
- Pasal 75
- Pasal 76
- Pasal 77
- Pasal 78
- Pasal 79
- Pasal 80
- Pasal 81
- Pasal 82
- PENJELASAN
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Premium
Terjemahan Dokumen
Ini Belum Tersedia
Ini Belum Tersedia
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 37 TAHUN 2023
TENTANG
PENGELOLAAN TRANSFER KE DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
|
|
|
|
|
Menimbang |
||||
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 139 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Transfer ke Daerah;
|
||||
|
|
|
|
|
Mengingat |
||||
1.
|
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
|||
2.
|
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
|
|||
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
||||
Menetapkan |
||||
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGELOLAAN TRANSFER KE DAERAH.
|
||||
|
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1 |
||||
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
|
||||
1.
|
Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat dengan TKD adalah dana yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan merupakan bagian dari belanja negara yang dialokasikan dan disalurkan kepada daerah untuk dikelola oleh daerah dalam rangka mendanai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.
|
|||
2.
|
Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah bagian dari TKD yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan tertentu dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan kinerja tertentu, yang dibagikan kepada daerah penghasil dengan tujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara pemerintah dan daerah, serta kepada daerah lain nonpenghasil dalam rangka menanggulangi eksternalitas negatif dan/atau meningkatkan pemerataan dalam satu wilayah.
|
|||
3.
|
Dana Alokasi Umum yang selanjutnya disingkat DAU adalah bagian dari TKD yang dialokasikan dengan tujuan mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan dan layanan publik antardaerah.
|
|||
4.
|
Dana Alokasi Khusus yang selanjutnya disingkat DAK adalah bagian dari TKD yang dialokasikan dengan tujuan untuk mendanai program, kegiatan, dan/atau kebijakan tertentu yang menjadi prioritas nasional dan membantu operasionalisasi layanan publik, yang penggunaannya telah ditentukan oleh pemerintah.
|
|||
5.
|
Dana Alokasi Khusus Fisik yang selanjutnya disingkat DAK Fisik adalah bagian dari TKD yang dialokasikan untuk mendukung pembangunan/pengadaan sarana dan prasarana layanan publik daerah dalam rangka mencapai prioritas nasional, mempercepat pembangunan daerah, mengurangi kesenjangan layanan publik, dan/atau mendorong pertumbuhan perekonomian daerah.
|
|||
6.
|
Dana Alokasi Khusus Nonfisik yang selanjutnya disingkat DAK Nonfisik adalah DAK yang dialokasikan untuk membantu operasionalisasi layanan publik daerah yang penggunaannya telah ditentukan oleh pemerintah pusat.
|
|||
7.
|
Dana Otonomi Khusus adalah bagian dari TKD yang dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai pelaksanaan otonomi khusus sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang mengenai otonomi khusus.
|
|||
8.
|
Dana Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta yang selanjutnya disebut Dana Keistimewaan adalah bagian dari TKD yang dialokasikan untuk mendukung urusan keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang mengenai keistimewaan Yogyakarta.
|
|||
9.
|
Dana Desa adalah bagian dari TKD yang diperuntukkan bagi desa dengan tujuan untuk mendukung pendanaan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan.
|
|||
10.
|
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
|
|||
11.
|
Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
|
|||
12.
|
Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu, baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
|
|||
13.
|
Dana Bagi Hasil Pajak yang selanjutnya disebut DBH Pajak adalah dana bagi hasil yang dihitung berdasarkan pendapatan Pajak Penghasilan, Pajak Bumi dan Bangunan, dan cukai hasil tembakau.
|
|||
14.
|
Dana Bagi Hasil Pajak Penghasilan yang selanjutnya disebut DBH PPh adalah DBH Pajak yang berasal dari Pajak Penghasilan Pasal 21, Pajak Penghasilan Pasal 25, dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri, termasuk dari Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri yang pemungutannya bersifat final berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
15.
|
Dana Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan yang selanjutnya disingkat DBH PBB adalah DBH Pajak yang berasal dari penerimaan pajak atas bumi dan/atau bangunan selain Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan.
|
|||
16.
|
Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau yang selanjutnya disingkat DBH CHT adalah DBH Pajak yang berasal dari penerimaan cukai hasil tembakau yang dibuat di dalam negeri.
|
|||
17.
|
Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam yang selanjutnya disingkat DBH SDA adalah dana bagi hasil yang dihitung berdasarkan penerimaan sumber daya alam kehutanan, mineral dan batu hara, minyak bumi dan gas bumi, panas bumi, dan perikanan.
|
|||
18.
|
Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
|
|||
19.
|
Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
|
|||
20.
|
Pemerintah Daerah adalah kepala Daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
|
|||
21.
|
Kementerian Keuangan yang selanjutnya disebut Kementerian adalah perangkat pemerintah yang membidangi urusan pemerintahan di bidang Keuangan Negara.
|
|||
22.
|
Pendapatan Daerah adalah semua hak Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
|
|||
23.
|
Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan penyelenggara pemerintahan daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat.
|
|||
24.
|
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
|
|||
25.
|
Belanja Daerah adalah semua kewajiban Daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
|
|||
26.
|
Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disingkat PAD adalah Pendapatan Daerah yang diperoleh dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli Daerah yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
|
|||
27.
|
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan peraturan Daerah.
|
|||
28.
|
Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.
|
|||
29.
|
Daerah Istimewa Yogyakarta yang selanjutnya disingkat DIY adalah Daerah provinsi yang mempunyai keistimewaan dalam Pemerintahan dalam penyelenggaraan Urusan Pemerintahan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
|
|||
30.
|
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat Daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
|
|||
31.
|
Rekening Kas Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKUN adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri selaku bendahara umum negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara pada bank sentral.
|
|||
32.
|
Rekening Kas Umum Daerah yang selanjutnya disingkat RKUD adalah rekening tempat penyimpanan uang Daerah yang ditentukan oleh gubernur, bupati, atau wali kota untuk menampung seluruh penerimaan Daerah dan membayar seluruh pengeluaran Daerah pada bank yang ditetapkan.
|
|||
33.
|
Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban Daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang serta segala bentuk kekayaan yang dapat dijadikan milik Daerah berhubung dengan hak dan kewajiban Daerah tersebut.
|
|||
34.
|
Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, yang selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
|
|||
35.
|
Kepala Daerah adalah gubernur bagi Daerah provinsi atau bupati bagi Daerah kabupaten atau wali kota bagi Daerah kota.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 2 |
||||
(1)
|
Kebijakan TKD mengacu pada rencana pembangunan jangka menengah nasional dan peraturan perundang-undangan terkait, selaras dengan rencana kerja Pemerintah Pusat dan dituangkan dalam nota keuangan dan rancangan APBN tahun anggaran berikutnya.
|
|||
(2)
|
Menteri mengoordinasikan perumusan kebijakan TKD bersama menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan menteri/lembaga terkait sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangannya.
|
|||
(3)
|
Rumusan kebijakan TKD yang telah dikoordinasikan oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibahas lebih lanjut dalam forum dewan pertimbangan otonomi daerah sebelum penyampaian nota keuangan dan rancangan APBN ke Dewan Perwakilan Rakyat.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB II
DANA BAGI HASIL
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 3 |
||||
DBH terdiri atas:
|
||||
a.
|
DBH Pajak; dan
|
|||
b.
|
DBH SDA.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 4 |
||||
DBH Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a terdiri atas:
|
||||
a.
|
DBH PPh;
|
|||
b.
|
DBH PBB; dan
|
|||
c.
|
DBH CHT.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 5 |
||||
(1)
|
DBH PPh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a dibagikan kepada:
|
|||
|
a.
|
provinsi yang bersangkutan;
|
||
|
b.
|
kabupaten/kota penghasil; dan
|
||
|
c.
|
kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
|
||
(2)
|
Kabupaten/kota penghasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah kabupaten/kota tempat wajib pajak terdaftar.
|
|||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran wajib pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 6 |
||||
(1)
|
DBH PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b dibagikan kepada:
|
|||
|
a.
|
provinsi yang bersangkutan;
|
||
|
b.
|
kabupaten/kota penghasil; dan
|
||
|
c.
|
kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
|
||
(2)
|
DBH PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan sebesar 100% (seratus persen) untuk Daerah.
|
|||
(3)
|
DBH PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk untuk biaya operasional pemungutan.
|
|||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 7 |
||||
DBH CHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c dibagikan kepada:
|
||||
a.
|
provinsi yang bersangkutan;
|
|||
b.
|
kabupaten/kota penghasil; dan
|
|||
c.
|
kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 8 |
||||
Besaran pembagian DBH PPh, DBH PBB, dan DBH CHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 9 |
||||
DBH SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b terdiri atas:
|
||||
a.
|
DBH kehutanan;
|
|||
b.
|
DBH mineral dan batu hara;
|
|||
c.
|
DBH minyak bumi dan gas bumi;
|
|||
d.
|
DBH panas bumi; dan
|
|||
e.
|
DBH perikanan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 10 |
||||
(1)
|
DBH kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a bersumber dari penerimaan:
|
|||
|
a.
|
iuran izin usaha pemanfaatan hutan;
|
||
|
b.
|
provisi sumber daya hutan; dan
|
||
|
c.
|
dana reboisasi.
|
||
(2)
|
DBH kehutanan yang bersumber dari penerimaan iuran izin usaha pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibagikan kepada:
|
|||
|
a.
|
provinsi yang bersangkutan; dan
|
||
|
b.
|
kabupaten/kota penghasil.
|
||
(3)
|
DBH kehutanan yang bersumber dari penerimaan provisi sumber daya hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibagikan kepada:
|
|||
|
a.
|
provinsi yang bersangkutan;
|
||
|
b.
|
kabupaten/kota penghasil;
|
||
|
c.
|
kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil; dan
|
||
|
d.
|
kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
|
||
(4)
|
DBH kehutanan yang bersumber dari penerimaan dana reboisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dibagikan kepada provinsi penghasil.
|
|||
(5)
|
Kabupaten/kota penghasil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf b, serta provinsi penghasil sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang kehutanan.
|
|||
(6)
|
Kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 11 |
||||
(1)
|
DBH mineral dan batu hara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b, DBH minyak bumi dan gas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c, dan DBH panas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf d dibagikan kepada:
|
|||
|
a.
|
provinsi penghasil;
|
||
|
b.
|
kabupaten/kota penghasil;
|
||
|
c.
|
kabupaten/kota pengolah;
|
||
|
d.
|
kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil;
|
||
|
e.
|
provinsi yang bersangkutan; dan/atau
|
||
|
f.
|
kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan,
|
||
|
sesuai dengan undang-undang yang mengatur mengenai hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
|
|||
(2)
|
Provinsi penghasil dan kabupaten/kota penghasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.
|
|||
(3)
|
Kabupaten/kota pengolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral dan/atau menteri/pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian terkait.
|
|||
(4)
|
Kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 12 |
||||
(1)
|
Alokasi untuk kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) huruf c dan Pasal 11 ayat (1) huruf d dihitung secara proporsional berdasarkan tingkat eksternalitas negatif yang dialami masing-masing Daerah.
|
|||
(2)
|
Perhitungan eksternalitas negatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh kementerian/lembaga terkait yang sesuai dengan tugas dan fungsinya.
|
|||
(3)
|
Dalam hal perhitungan eksternalitas negatif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum tersedia, Menteri dapat menggunakan data indeks lingkungan hidup atau data lain yang dapat dipertanggungjawabkan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 13 |
||||
(1)
|
DBH Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf e dibagikan:
|
|||
|
a.
|
sebesar 60% (enam puluh persen) secara merata kepada:
|
||
|
|
1.
|
kabupaten/kota di seluruh Indonesia; dan
|
|
|
|
2.
|
Daerah provinsi yang tidak terbagi dalam Daerah kabupaten/kota otonom; dan
|
|
|
b.
|
sebesar 40% (empat puluh persen) kepada:
|
||
|
|
1.
|
kabupaten/kota; dan
|
|
|
|
2.
|
provinsi yang tidak terbagi ke dalam Daerah kabupaten/kota otonom,
|
|
|
|
yang memiliki luas wilayah laut secara proporsional terhadap total luas wilayah laut.
|
||
(2)
|
Luas wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan oleh instansi Pemerintah Pusat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 14 |
||||
Besaran pembagian DBH kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), DBH mineral dan batu bara, DBH minyak bumi dan gas bumi, DBH panas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, dan DBH Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 sesuai dengan undang-undang yang mengatur mengenai hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 15 |
||||
Dalam hal wilayah Ibu Kata Nusantara ditetapkan sebagai daerah penghasil sumber daya alam kehutanan, mineral dan batu bara, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan/atau panas bumi, ketentuan bagi hasil untuk kabupaten/kata yang berbatasan dengan Ibu Kata Nusantara dan/atau pengalah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 16 |
||||
(1)
|
Selain DBH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pemerintah Pusat dapat menetapkan jenis DBH lainnya.
|
|||
(2)
|
DBH lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari penerimaan negara yang dapat diidentifikasi Daerah penghasilnya.
|
|||
(3)
|
DBH lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk mendanai kegiatan tertentu sesuai dengan kewenangan Daerah dan/atau prioritas nasional.
|
|||
(4)
|
Penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dibagihasilkan paling sedikit memenuhi kriteria sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
merupakan penerimaan setiap tahun anggaran secara berkelanjutan;
|
||
|
b.
|
dialokasikan kepada Daerah dengan persentase tertentu mempertimbangkan kemampuan Keuangan Negara;
|
||
|
c.
|
merupakan penerimaan yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan; dan
|
||
|
d.
|
pelaksanaan pemungutan oleh Pemerintah Pusat dengan melibatkan Pemerintah Daerah.
|
||
(5)
|
Menteri melakukan penilaian atas pemenuhan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
|
|||
(6)
|
Dalam hal berdasarkan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) telah memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pemerintah Pusat menetapkan jenis DBH lainnya dalam Peraturan Pemerintah setelah berkonsultasi dengan komisi yang membidangi keuangan pada Dewan Perwakilan Rakyat.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pengalokasian
Pasal 17 |
||||
(1)
|
Pagu DBH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ditetapkan berdasarkan realisasi penerimaan 1 (satu) tahun sebelumnya.
|
|||
(2)
|
Dalam hal realisasi penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersedia, dapat digunakan perkiraan realisasi penerimaan negara sampai dengan akhir tahun anggaran.
|
|||
(3)
|
Data realisasi penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau perkiraan realisasi penerimaan sampai dengan akhir tahun anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersumber dari Kementerian dan/atau kementerian/lembaga pemerintah terkait.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 18 |
||||
(1)
|
Berdasarkan pagu DBH Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, alokasi DBH Pajak per Daerah provinsi/kabupaten/kota dihitung berdasarkan pembobotan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
90% (sembilan puluh persen) berdasarkan persentase bagi hasil dan penetapan Daerah penghasil; dan
|
||
|
b.
|
10% (sepuluh persen) berdasarkan kinerja Pemerintah Daerah.
|
||
(2)
|
Kinerja Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang menjadi dasar perhitungan DBH Pajak merupakan kinerja dalam mendukung optimalisasi penerimaan negara dan dapat didukung kinerja lainnya.
|
|||
(3)
|
Alokasi DBH Pajak berdasarkan kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan kepada Daerah penerima DBH Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 yang mencapai tingkat kinerja tertentu.
|
|||
(4)
|
Menteri menetapkan indikator kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tingkat kinerja tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
|
|||
(5)
|
Data indikator atas kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersumber dari Kementerian dan/atau kementerian/lembaga pemerintah terkait.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 19 |
||||
(1)
|
Berdasarkan pagu DBH SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, alokasi DBH SDA per Daerah provinsi/kabupaten/kota dihitung berdasarkan pembobotan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
90% (sembilan puluh persen) berdasarkan persentase bagi hasil dan penetapan Daerah penghasil; dan
|
||
|
b.
|
10% (sepuluh persen) berdasarkan kinerja Pemerintah Daerah.
|
||
(2)
|
Kinerja Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang menjadi dasar perhitungan DBH SDA merupakan kinerja dalam pemeliharaan lingkungan dan dapat didukung kinerja lainnya.
|
|||
(3)
|
Alokasi DBH SDA berdasarkan kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan kepada Daerah penerima DBH SDA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 yang mencapai tingkat kinerja tertentu.
|
|||
(4)
|
Menteri menetapkan indikator kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tingkat kinerja tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
|
|||
(5)
|
Data indikator atas kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersumber dari Kementerian dan/atau kementerian/lembaga pemerintah terkait.
|
|||
(6)
|
Dalam menetapkan indikator kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Menteri dapat berkoordinasi dengan menteri/pimpinan lembaga terkait.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 20 |
||||
(1)
|
Kementerian melakukan penghitungan rincian alokasi DBH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 per Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(2)
|
Rincian alokasi DBH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Peraturan Presiden yang mengatur mengenai rincian APBN.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB III
DANA ALOKASI UMUM
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 21 |
||||
(1)
|
DAU dialokasikan untuk:
|
|||
|
a.
|
provinsi; dan
|
||
|
b.
|
kabupaten/kota.
|
||
(2)
|
Pagu nasional DAU ditetapkan dengan mempertimbangkan:
|
|||
|
a.
|
kebutuhan pelayanan publik sebagai bagian dari pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah;
|
||
|
b.
|
pagu TKD secara keseluruhan;
|
||
|
c.
|
target pembangunan nasional; dan
|
||
|
d.
|
kemampuan Keuangan Negara.
|
||
(3)
|
Penghitungan kebutuhan pelayanan publik mempertimbangkan prioritas nasional dan sinergi pendanaan pelaksanaan urusan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
|
|||
(4)
|
Proporsi pagu DAU antara Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota mempertimbangkan kebutuhan pendanaan dalam rangka pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah antara provinsi dan kabupaten/kota.
|
|||
(5)
|
Proporsi pagu DAU Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan karakteristik tertentu.
|
|||
(6)
|
Karakteristik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yaitu karakteristik kewilayahan seperti letak geografis dan perekonomian Daerah.
|
|||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelompokan dan penghitungan pagu DAU masing-masing kelompok sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diatur dengan Peraturan Menteri.
|
|||
(8)
|
Pengelompokan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), dapat dikoordinasikan dengan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional dan menteri/pimpinan lembaga terkait.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pengalokasian
Pasal 22 |
||||
(1)
|
DAU untuk setiap Daerah dialokasikan berdasarkan celah fiskal untuk 1 (satu) tahun anggaran.
|
|||
(2)
|
Celah fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sebagai selisih antara kebutuhan fiskal Daerah dan potensi Pendapatan Daerah.
|
|||
(3)
|
Kebutuhan fiskal Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan kebutuhan pendanaan Daerah dalam rangka penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
|
|||
(4)
|
Potensi Pendapatan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan penjumlahan dari potensi PAD, alokasi DBH, dan alokasi DAK Nonfisik.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 23 |
||||
(1)
|
Kebutuhan pendanaan Daerah dalam rangka penyelenggaraan Urusan Pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) dihitung berdasarkan perkiraan satuan biaya dikalikan dengan jumlah unit target layanan untuk tiap urusan dan dikalikan dengan faktor penyesuaian serta mempertimbangkan kebutuhan dasar penyelenggaraan pemerintahan.
|
|||
(2)
|
Kebutuhan dasar penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memperhitungkan kebutuhan penggajian aparatur sipil negara di Pemerintah Daerah.
|
|||
(3)
|
Penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Urusan Pemerintahan di bidang pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, dan layanan umum.
|
|||
(4)
|
Urusan Pemerintahan di bidang pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pemerintahan Daerah.
|
|||
(5)
|
Urusan Pemerintahan di bidang layanan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi semua Urusan Pemerintahan di luar bidang pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan umum.
|
|||
(6)
|
Satuan biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhitungkan biaya investasi dalam rangka penyelenggaraan untuk setiap Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
|
|||
(7)
|
Biaya investasi untuk setiap Urusan Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dihitung berdasarkan rerata 3 (tiga) tahun Belanja Daerah untuk Urusan Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibagi dengan rerata 3 (tiga) tahun jumlah unit target layanan pada urusan yang bersangkutan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 24 |
||||
Ketentuan lebih lanjut mengenai target layanan untuk setiap urusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 25 |
||||
(1)
|
Faktor penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dihitung berdasarkan penjumlahan luas wilayah, variabel karakteristik wilayah, indeks kemahalan konstruksi, kepadatan penduduk, dan indikator lainnya, dengan bobot tertentu.
|
|||
(2)
|
Variabel karakteristik wilayah yang diperhitungkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) karakteristik Daerah kepulauan, karakteristik Daerah pariwisata, karakteristik Daerah konservasi hutan, karakteristik Daerah pertanian, karakteristik Daerah perikanan, dan/atau karakteristik Daerah lainnya.
|
|||
(3)
|
Variabel karakteristik wilayah dan bobot perhitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk variabel karakteristik wilayah, indeks kemahalan konstruksi, kepadatan penduduk, dan indikator lainnya, serta masing-masing variabel karakteristik wilayah ditetapkan oleh Menteri.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 26 |
||||
(1)
|
Potensi PAD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4) merupakan perkiraan PAD dengan mempertimbangkan minimal faktor pertumbuhan produk domestik regional bruto dan PAD tahun anggaran sebelumnya.
|
|||
(2)
|
Potensi PAD untuk Daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk PAD yang dibagihasilkan ke kabupaten dan kota.
|
|||
(3)
|
Potensi PAD untuk Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk PAD yang dibagihasilkan dari provinsi.
|
|||
(4)
|
Alokasi DBH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4) merupakan alokasi DBH tahun anggaran sebelumnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(5)
|
Alokasi DBH sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak termasuk DBH yang penggunaannya telah ditentukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(6)
|
Alokasi DAK Nonfisik yang diperhitungkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4) merupakan alokasi DAK Nonfisik sektor pendidikan dan sektor kesehatan tahun anggaran sebelumnya.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 27 |
||||
(1)
|
DAU suatu provinsi dihitung berdasarkan perkalian bobot provinsi yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh provinsi dalam kelompok berdasarkan karakteristik tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5).
|
|||
(2)
|
Bobot provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan membagi celah fiskal provinsi yang bersangkutan dengan total celah fiskal seluruh provinsi dalam kelompok berdasarkan karakteristik tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5).
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 28 |
||||
(1)
|
DAU suatu kabupaten/kota dihitung berdasarkan perkalian bobot kabupaten/kota yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh kabupaten/kota dalam kelompok berdasarkan karakteristik tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5).
|
|||
(2)
|
Bobot kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan membagi celah fiskal kabupaten/kota yang bersangkutan dengan total celah fiskal seluruh kabupaten/kota dalam kelompok berdasarkan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (5).
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 29 |
||||
Rincian alokasi DAU per Daerah ditetapkan dalam Peraturan Presiden mengenai rincian APBN.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 30 |
||||
(1)
|
Data untuk menghitung kebutuhan fiskal Daerah dan potensi Pendapatan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) dan ayat (4) diperoleh dari kementerian/lembaga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(2)
|
Dalam hal data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum lengkap, dapat digunakan data tahun sebelumnya.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB IV
DANA ALOKASI KHUSUS
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 31 |
||||
(1)
|
DAK terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
DAK Fisik;
|
||
|
b.
|
DAK Nonfisik; dan
|
||
|
c.
|
Hibah kepada Daerah.
|
||
(2)
|
DAK Fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a digunakan untuk mendukung pembangunan/pengadaan sarana prasarana layanan publik di Daerah.
|
|||
(3)
|
DAK Nonfisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b digunakan untuk mendukung operasionalisasi layanan publik Daerah.
|
|||
(4)
|
Hibah kepada Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c digunakan untuk mendukung pembangunan fisik dan/atau layanan publik di Daerah tertentu yang didasarkan pada perjanjian antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
|
|||
(5)
|
Hibah kepada Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c bersumber dari:
|
|||
|
a.
|
penerimaan dalam negeri;
|
||
|
b.
|
pinjaman luar negeri; dan/atau
|
||
|
c.
|
hibah luar negeri.
|
||
(6)
|
Hibah kepada Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diberikan dalam bentuk uang.
|
|||
(7)
|
Kementerian/lembaga dapat memberikan hibah kepada Daerah dalam bentuk selain uang sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
|
|||
(8)
|
Hibah dalam bentuk selain uang sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dicatat sebagai pendapatan transfer pada laporan keuangan Pemerintah Daerah.
|
|||
(9)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pencatatan hibah kepada Daerah dalam bentuk selain uang diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Perencanaan dan Penganggaran
Pasal 32 |
||||
(1)
|
Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional mengoordinasikan penyusunan rancangan arah kebijakan DAK bersama Menteri.
|
|||
(2)
|
Rancangan arah kebijakan DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan:
|
|||
|
a.
|
arah kebijakan DAK dalam rencana pembangunan jangka menengah;
|
||
|
b.
|
arahan Presiden;
|
||
|
c.
|
evaluasi kinerja pelaksanaan DAK tahun sebelumnya;
|
||
|
d.
|
evaluasi kinerja pelaksanaan DAK dan kebijakan DAK tahun berjalan;
|
||
|
e.
|
sinergi dengan pendanaan lainnya; dan
|
||
|
f.
|
kerangka pendanaan jangka menengah berdasarkan perencanaan DAK lintas tahun.
|
||
(3)
|
Rancangan arah kebijakan DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi bagian dari sasaran, arah kebijakan, dan prioritas pembangunan yang akan disampaikan kepada Presiden oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional.
|
|||
(4)
|
Rancangan arah kebijakan DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah disetujui oleh Presiden menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari rancangan awal Rencana Kerja Pemerintah.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 33 |
||||
(1)
|
Sinergi dengan pendanaan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf e dapat dilakukan minimal dengan:
|
|||
|
a.
|
TKD lainnya;
|
||
|
b.
|
belanja kementerian/lembaga;
|
||
|
c.
|
Pembiayaan utang Daerah; dan/atau
|
||
|
d.
|
kerja sama pemerintah dan badan usaha.
|
||
(2)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai sinergi dengan pendanaan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 34 |
||||
(1)
|
Berdasarkan rancangan arah kebijakan DAK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), kementerian yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional bersama dengan Kementerian membahas dan menyepakati rancangan tema/jenis/bidang/subbidang DAK beserta indikasi Daerah prioritas.
|
|||
(2)
|
Rancangan tema/jenis/bidang/subbidang DAK beserta indikasi Daerah prioritas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan arah kebijakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1).
|
|||
(3)
|
Berdasarkan kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional menetapkan tema/jenis/bidang/subbidang DAK dan indikasi Daerah prioritas.
|
|||
(4)
|
Dalam hal terdapat arahan Presiden setelah dilakukan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional melakukan penyesuaian tema/jenis/bidang/subbidang DAK dan indikasi Daerah prioritas.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 35 |
||||
Berdasarkan tema/jenis/bidang/subbidang DAK dan indikasi Daerah prioritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3), Kementerian, kementerian yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional, kementerian yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan kementerian/lembaga menyepakati paling sedikit:
|
||||
a.
|
arah kebijakan jenis/bidang/subbidang;
|
|||
b.
|
target/sasaran;
|
|||
c.
|
Daerah prioritas;
|
|||
d.
|
kebutuhan pendanaan jenis/bidang/subbidang DAK untuk 3 (tiga) tahun ke depan; dan
|
|||
e.
|
pemetaan output yang didanai dari DAK dan belanja kementerian/lembaga.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 36 |
||||
Arah kebijakan tema/jenis/bidang/subbidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) meliputi:
|
||||
a.
|
tema tertentu yang merupakan integrasi dari beberapa sektor/bidang/subbidang DAK; dan/atau
|
|||
b.
|
pengalihan belanja kementerian/lembaga yang masih mendanai urusan Daerah menjadi DAK dalam hal Daerah telah memiliki kinerja baik dalam pengelolaan APBD.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 37 |
||||
(1)
|
Pengalihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf b dapat mempertimbangkan penugasan dari Presiden kepada kementerian/lembaga.
|
|||
(2)
|
Pengalihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup kegiatan dan pendanaannya.
|
|||
(3)
|
Pengalihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibahas bersama Kementerian dan kementerian yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional untuk selanjutnya disepakati dengan kementerian/lembaga.
|
|||
(4)
|
Tata cara pengalihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 38 |
||||
(1)
|
Perencanaan hibah kepada Daerah yang bersumber dari pinjaman luar negeri dan hibah luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (5) huruf b dan huruf c dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
menteri/pimpinan lembaga mengusulkan rencana kegiatan yang dibiayai penerusan hibah yang bersumber dari pinjaman luar negeri dan hibah luar negeri kepada menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional;
|
||
|
b.
|
menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional melakukan penilaian kelayakan usulan kegiatan yang diajukan oleh menteri/pimpinan lembaga sebagaimana dimaksud dalam huruf a sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
||
|
c.
|
penilaian kelayakan terhadap usulan rencana kegiatan mempertimbangkan keselarasan dengan sumber pendanaan lain;
|
||
|
d.
|
menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional, berdasarkan penilaian sebagaimana dimaksud dalam huruf b menuangkan usulan kegiatan yang dibiayai dari pinjaman luar negeri dalam daftar rencana pinjaman luar negeri jangka menengah;
|
||
|
e.
|
menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional, berdasarkan penilaian sebagaimana dimaksud dalam huruf b menuangkan usulan kegiatan yang dibiayai dari hibah luar negeri dalam daftar rencana kegiatan hibah;
|
||
|
f.
|
menteri/pimpinan lembaga, berdasarkan daftar rencana pinjaman luar negeri jangka menengah dan daftar rencana kegiatan hibah sebagaimana dimaksud dalam huruf d dan huruf e mengusulkan Pembiayaan kegiatan kepada Menteri;
|
||
|
g.
|
Menteri, berdasarkan usulan sebagaimana dimaksud dalam huruf f menetapkan jumlah alokasi peruntukan pinjaman luar negeri yang dihibahkan dan hibah luar negeri yang diterushibahkan sebelum pelaksanaan perundingan dengan calon pemberi pinjaman luar negeri atau pemberi hibah luar negeri.
|
||
(2)
|
Berdasarkan alokasi peruntukan pinjaman luar negeri yang dihibahkan dan hibah luar negeri yang diterushibahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g:
|
|||
|
a.
|
menteri/pimpinan lembaga mengusulkan besaran hibah kepada Daerah dan daftar Pemerintah Daerah penerima, yang bersumber dari pinjaman luar negeri dan hibah luar negeri kepada Menteri;
|
||
|
b.
|
pengusulan Pemerintah Daerah sebagai penerima hibah kepada Daerah mempertimbangkan:
|
||
|
|
1.
|
kesesuaian kegiatan dan lokasi dengan program dan prioritas dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional;
|
|
|
|
2.
|
kriteria atau persyaratan teknis yang diusulkan oleh kementerian/lembaga terkait;
|
|
|
|
3.
|
kapasitas fiskal Daerah dalam hal pelaksanaan hibah melalui Pembiayaan awal (pre-financing);
|
|
|
|
4.
|
kinerja Daerah pada program hibah sebelumnya atau program hibah yang sedang dilaksanakan; dan/atau
|
|
|
|
5.
|
kesesuaian dengan kriteria daerah yang telah ditentukan oleh kementerian/lembaga pemerintah.
|
|
|
|
|
|
|
Pasal 39 |
||||
(1)
|
Berdasarkan kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dan kebijakan pengalihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf b, pengguna anggaran bendahara umum negara mengenai TKD menghitung indikasi kebutuhan DAK.
|
|||
(2)
|
Menteri menetapkan pagu indikatif bendahara umum negara DAK dengan mempertimbangkan indikasi kebutuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||
(3)
|
Penetapan pagu indikatif bendahara umum negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyusunan rencana kerja dan anggaran.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 40 |
||||
(1)
|
Berdasarkan pagu indikatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2), Kementerian dan kementerian yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional bersama-sama menyusun rencana pemanfaatan DAK.
|
|||
(2)
|
Rencana pemanfaatan DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pagu indikatif DAK yang dirinci per bidang/jenis.
|
|||
(3)
|
Rencana pemanfaatan DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada kementerian/lembaga melalui surat bersama Menteri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional tentang pagu indikatif kementerian/lembaga.
|
|||
(4)
|
Dalam hal terdapat perubahan pagu indikatif DAK, dibahas dan disepakati bersama oleh Kementerian dan kementerian yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional.
|
|||
(5)
|
Menteri/pimpinan lembaga melakukan sinkronisasi terhadap belanja Pemerintah Pusat dan DAK.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Pengalokasian
Pasal 41 |
||||
(1)
|
Berdasarkan tema/jenis/bidang/subbidang DAK dan indikasi Daerah prioritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Daerah menyampaikan usulan DAK Fisik.
|
|||
(2)
|
Penyampaian usulan DAK Fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sistem informasi perencanaan dan penganggaran yang terintegrasi.
|
|||
(3)
|
Kementerian/lembaga dan kementerian yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional melakukan penilaian atas usulan DAK Fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 42 |
||||
(1)
|
Berdasarkan kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Daerah menyampaikan usulan hibah kepada Daerah yang bersumber dari dalam negeri.
|
|||
(2)
|
Kementerian/lembaga melakukan penilaian atas usulan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||
(3)
|
Hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Menteri.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 43 |
||||
(1)
|
Kementerian melakukan penghitungan alokasi DAK Fisik per bidang/subbidang per Daerah dengan mempertimbangkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3), pagu anggaran, kinerja pelaksanaan DAK Fisik, kapasitas fiskal Daerah, dan/atau pertimbangan lainnya.
|
|||
(2)
|
Kementerian dan kementerian/lembaga melakukan penghitungan alokasi DAK Nonfisik per jenis per Daerah dengan mempertimbangkan kebutuhan Daerah, kapasitas fiskal, dan/atau kinerja Daerah.
|
|||
(3)
|
Kementerian dan kementerian/lembaga melakukan penghitungan alokasi hibah kepada Daerah dengan mempertimbangkan kebutuhan program hibah kepada Daerah, kapasitas fiskal, dan/atau kinerja Daerah.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 44 |
||||
Rincian alokasi:
|
||||
a.
|
DAK Fisik per bidang/subbidang per Daerah;
|
|||
b.
|
DAK Nonfisik per jenis per Daerah; dan
|
|||
c.
|
Alokasi hibah kepada Daerah per jenis per Daerah
|
|||
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ditetapkan dalam Peraturan Presiden mengenai rincian APBN.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 45 |
||||
(1)
|
Alokasi hibah kepada Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) dapat dilakukan perubahan dalam hal terdapat:
|
|||
|
a.
|
percepatan pelaksanaan kegiatan hibah kepada Daerah yang bersumber dari pinjaman atau hibah luar negeri; dan/atau
|
||
|
b.
|
perubahan perjanjian pinjaman luar negeri atau perjanjian hibah luar negeri.
|
||
(2)
|
Perubahan alokasi hibah kepada Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri mengenai tata cara revisi anggaran.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 46 |
||||
(1)
|
Menteri menerbitkan surat penetapan pemberian hibah kepada Pemerintah Daerah untuk hibah kepada Daerah yang bersumber dari pinjaman luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (5) huruf b setelah perjanjian pinjaman luar negeri ditandatangani dan pagu alokasi ditetapkan dalam APBN berdasarkan usulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf a.
|
|||
(2)
|
Menteri menerbitkan surat persetujuan penerusan hibah kepada Pemerintah Daerah untuk hibah kepada Daerah yang bersumber dari hibah luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (5) huruf c setdah perjanjian hibah luar negeri ditandatangani berdasarkan usulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf a.
|
|||
(3)
|
Berdasarkan surat penetapan pemberian hibah kepada Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau surat persetujuan penerusan hibah kepada Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan penandatanganan perjanjian hibah kepada Daerah.
|
|||
(4)
|
Dalam hal perjanjian pinjaman luar negeri atau perjanjian hibah luar negeri mengalami perubahan, perjanjian hibah kepada Daerah atau perjanjian penerusan hibah kepada Daerah harus disesuaikan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 47 |
||||
Dalam hal undang-undang mengenai APBN telah ditetapkan, penerusan hibah kepada Daerah yang bersumber dari hibah luar negeri dapat dilaksanakan untuk dianggarkan dalam undang-undang mengenai perubahan atas APBN dan/atau dilaporkan dalam laporan keuangan Pemerintah Pusat.
|
||||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Persiapan Pelaksanaan DAK Fisik
Pasal 48 |
||||
(1)
|
Dalam rangka menjaga capaian keluaran DAK Fisik, Pemerintah Daerah menyampaikan rencana kegiatan untuk mendapat persetujuan.
|
|||
(2)
|
Kementerian/lembaga dan kementerian yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional memberikan persetujuan atas rencana kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||
(3)
|
Persetujuan oleh kementerian yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan terhadap bidang/subbidang DAK Fisik yang penghitungan alokasinya berdasarkan pertimbangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1).
|
|||
(4)
|
Persetujuan oleh kementerian/lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan setelah dilakukan penilaian terhadap kesesuaian volume dan standar biaya.
|
|||
(5)
|
Persetujuan oleh kementerian yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan setelah dilakukan penilaian terhadap kesesuaian lokasi kegiatan dengan tema prioritas nasional.
|
|||
(6)
|
Tata cara persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai petunjuk teknis DAK Fisik.
|
|||
(7)
|
Rencana kegiatan yang telah disetujui sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi dasar Pemerintah Daerah melaksanakan pengadaan barang dan jasa.
|
|||
(8)
|
Dalam kondisi tertentu, rencana kegiatan yang telah disetujui sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan perubahan.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB V
DANA OTONOMI KHUSUS
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 49 |
||||
Pengelolaan Dana Otonomi Khusus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Perencanaan dan Penganggaran
Pasal 50
|
||||
(1)
|
Pengelolaan Dana Otonomi Khusus mengacu pada rencana induk yang selaras dan sinkron dengan rencana pembangunan jangka panjang nasional dalam rangka otonomi khusus dan/atau penggunaan Dana Otonomi Khusus.
|
|||
(2)
|
Rencana induk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan dokumen perencanaan pembangunan dalam rangka otonomi khusus yang menjadi pedoman bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
|
|||
(3)
|
Rencana induk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat paling sedikit:
|
|||
|
a.
|
isu, permasalahan, dan tantangan pembangunan;
|
||
|
b.
|
visi, misi, sasaran, arah kebijakan dan strategi pembangunan;
|
||
|
c.
|
prioritas dan fokus pembangunan selama masa otonomi khusus berlaku;
|
||
|
d.
|
sinergi pembangunan antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat; dan
|
||
|
e.
|
pelaksanaan, pelaporan, pengawasan, pemantauan dan evaluasi.
|
||
(4)
|
Rencana induk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi acuan bagi dokumen perencanaan jangka panjang, dokumen perencanaan jangka menengah, dan dokumen perencanaan jangka pendek dengan memperhatikan kekhususan Daerah otonomi khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(5)
|
Dalam penyusunan rencana anggaran dan program Dana Otonomi Khusus, Pemerintah Daerah berpedoman pada rencana induk sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||
(6)
|
Penyusunan rencana anggaran dan program Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (5) melibatkan seluruh pemangku kepentingan dan peran serta masyarakat melalui musyawarah perencanaan pembangunan otonomi khusus sebagai rangkaian tahapan penyusunan rencana kerja Pemerintah Daerah yang pelaksanaannya merupakan bagian kegiatan yang tidak terpisahkan dengan pelaksanaan musyawarah perencanaan pembangunan.
|
|||
(7)
|
Rencana anggaran dan program Dana Otonomi Khusus dievaluasi secara berjenjang oleh pemerintah provinsi dan Pemerintah Pusat.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 51 |
||||
(1)
|
Kementerian menghitung indikasi kebutuhan Dana Otonomi Khusus berdasarkan besaran yang ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(2)
|
Menteri menetapkan pagu indikatif berdasarkan indikasi kebutuhan Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Pengalokasian
Pasal 52 |
||||
(1)
|
Alokasi Dana Otonomi Khusus dibagi antara bagian provinsi provinsi dan bagian kabupaten/kota secara proporsional dengan mempertimbangkan belanja urusan sesuai kewenangan.
|
|||
(2)
|
Alokasi Dana Otonomi Khusus bagian kabupaten/kota dibagi antarkabupaten/kota secara proporsional dengan mempertimbangkan:
|
|||
|
a.
|
aspek kewilayahan;
|
||
|
b.
|
aspek kependudukan;
|
||
|
c.
|
aspek kesejahteraan; dan
|
||
|
d.
|
aspek lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
(3)
|
Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dialokasikan berdasarkan prinsip keadilan, transparan, akuntabel, dan tepat sasaran.
|
|||
(4)
|
Pembagian alokasi antara bagian provinsi dan bagian kabupaten/kota serta antarkabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan Pemerintah Pusat atas usulan pemerintah provinsi.
|
|||
(5)
|
Rincian pembagian alokasi Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dalam Peraturan Presiden mengenai rincian APBN.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VI
DANA KEISTIMEWAAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
Bagian Kesatu
Perencanaan dan Penganggaran
Pasal 53 |
||||
(1)
|
Pemerintah Provinsi DIY menyusun rencana induk keistimewaan dengan memperhatikan prinsip pengelolaan keuangan yang baik dan dibahas dengan DPRD.
|
|||
(2)
|
Dalam rangka sinergi kebijakan keistimewaan, penyusunan rencana induk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan dengan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional dan kementerian/lembaga terkait.
|
|||
(3)
|
Rencana induk keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi pedoman bagi:
|
|||
|
a.
|
Pemerintah Pusat dalam melakukan asistensi dan evaluasi pelaksanaan keistimewaan DIY;
|
||
|
b.
|
Pemerintah Daerah dan DPRD dalam melaksanakan perencanaan dan penganggaran program atau kegiatan prioritas pelaksanaan keistimewaan DIY; dan
|
||
|
c.
|
Dunia usaha dan masyarakat dalam berkontribusi mewujudkan cita-cita dan keistimewaan DIY sesuai dengan mekanisme perencanaan partisipatif.
|
||
(4)
|
Rencana induk keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi acuan bagi rencana pembangunan jangka panjang Daerah, rencana pembangunan jangka menengah Daerah, dan rencana kerja pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(5)
|
Rencana induk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disinkronkan dengan rencana pembangunan jangka panjang nasional, rencana pembangunan jangka menengah nasional, dan rencana strategis kementerian/lembaga terkait.
|
|||
(6)
|
Rencana induk keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat materi paling sedikit:
|
|||
|
a.
|
isu dan permasalahan pembangunan;
|
||
|
b.
|
visi, misi, sasaran, arah kebijakan dan strategi pembangunan;
|
||
|
c.
|
prioritas dan fokus pembangunan;
|
||
|
d.
|
sinergi pembangunan antara DIY dan Pemerintah Pusat; dan
|
||
|
e.
|
pelaksanaan, pelaporan, pemantauan dan evaluasi.
|
||
(7)
|
Rencana induk keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
|
|||
(8)
|
Rencana induk keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) untuk 20 (dua puluh) tahun pertama ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal Peraturan Pemerintah ini diundangkan.
|
|||
(9)
|
Pemutakhiran atas rencana induk keistimewaan dapat dilakukan berdasarkan hasil evaluasi bersama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah DIY.
|
|||
(10)
|
Pemerintah Daerah DIY menyusun rencana program dan kegiatan atas penggunaan Dana Keistimewaan berpedoman kepada rencana induk sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||
(11)
|
Penyusunan rencana program dan kegiatan atas penggunaan Dana Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dapat dilakukan dengan memperhatikan usulan kebutuhan dan prioritas program/kegiatan kabupaten/kota yang sesuai dengan urusan keistimewaan Pemerintah Daerah DIY.
|
|||
(12)
|
Penyusunan rencana program dan kegiatan atas penggunaan Dana Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) disinkronkan dengan rencana kerja kementerian/lembaga terkait.
|
|||
(13)
|
Rencana program dan kegiatan atas penggunaan Dana Keistimewaan dievaluasi secara berjenjang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 54 |
||||
(1)
|
Menteri menghitung indikasi kebutuhan Dana Keistimewaan berdasarkan:
|
|||
|
a.
|
hasil evaluasi atas usulan rencana anggaran dan program penggunaan Dana Keistimewaan Pemerintah Daerah DIY;
|
||
|
b.
|
hasil evaluasi kinerja anggaran dan kinerja output; dan
|
||
|
c.
|
kemampuan Keuangan Negara.
|
||
(2)
|
Menteri menetapkan pagu indikatif berdasarkan indikasi kebutuhan Dana Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pengalokasian
Pasal 55 |
||||
(1)
|
Menteri menetapkan alokasi Dana Keistimewaan berdasarkan pagu Dana Keistimewaan dalam hasil pembahasan Rancangan undang-undang mengenai APBN antara Pemerintah Pusat dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
|
|||
(2)
|
Alokasi Dana Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Peraturan Presiden mengenai rincian APBN.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VII
DANA DESA
Bagian Kesatu
Perencanaan dan Penganggaran
Pasal 56 |
||||
(1)
|
Menteri menghitung indikasi kebutuhan Dana Desa.
|
|||
(2)
|
Penghitungan indikasi kebutuhan Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan:
|
|||
|
a.
|
kebutuhan Desa yang menjadi kewenangan Desa;
|
||
|
b.
|
prioritas nasional;
|
||
|
c.
|
hasil pengalihan belanja kementerian/lembaga yang masih mendanai kewenangan Desa; dan/atau
|
||
|
d.
|
kemampuan Keuangan Negara.
|
||
(3)
|
Menteri menetapkan pagu indikatif berdasarkan indikasi kebutuhan Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Pengalokasian
Pasal 57 |
||||
(1)
|
Berdasarkan pagu indikatif Dana Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 Menteri melakukan penghitungan rincian Dana Desa:
|
|||
|
a.
|
setiap Desa; dan
|
||
|
b.
|
setiap kabupaten/kota.
|
||
(2)
|
Rincian Dana Desa setiap Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dialokasikan dengan mempertimbangkan pemerataan dan keadilan yang dihitung berdasarkan kinerja Desa, jumlah Desa, jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis.
|
|||
(3)
|
Rincian Dana Desa setiap kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan penjumlahan Dana Desa setiap Desa di wilayah kabupaten/kota.
|
|||
(4)
|
Penghitungan rincian Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara:
|
|||
|
a.
|
sekaligus; atau
|
||
|
b.
|
bertahap.
|
||
(5)
|
Dalam hal penghitungan rincian Dana Desa dilakukan secara sekaligus sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, maka penghitungannya dilakukan berdasarkan formula pengalokasian.
|
|||
(6)
|
Dalam hal penghitungan rincian Dana Desa dilakukan secara bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, maka penghitungannya dilakukan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
sebagian Dana Desa dihitung pada tahun anggaran sebelum tahun anggaran berjalan; dan
|
||
|
b.
|
sebagian Dana Desa dihitung pada tahun anggaran berjalan.
|
||
(7)
|
Sebagian Dana Desa yang dihitung pada tahun anggaran sebelum tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a dilakukan berdasarkan formula pengalokasian sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
|
|||
(8)
|
Sebagian Dana Desa yang dihitung pada tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b dapat dialokasikan sebagai insentif Desa berdasarkan kriteria tertentu dan/atau digunakan untuk melaksanakan kebijakan Pemerintah Pusat.
|
|||
(9)
|
Rincian Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) huruf a untuk setiap kabupaten/kota ditetapkan dalam Peraturan Presiden mengenai rincian APBN.
|
|||
(10)
|
Data jumlah Desa, jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, tingkat kesulitan geografis, kinerja Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan data terkait kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (8) bersumber dari kementerian/lembaga terkait dan/atau integrasi data kementerian/lembaga.
|
|||
(11)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai rincian Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) dan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur dengan Peraturan Menteri.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 58 |
||||
Dalam hal terdapat pembentukan atau penetapan Desa baru, pengalokasian Dana Desa dilakukan dengan cara sebagai berikut:
|
||||
a.
|
pada tahun anggaran berikutnya apabila Desa tersebut ditetapkan sebelum tanggal 30 Juni tahun anggaran berjalan; atau
|
|||
b.
|
pada tahun kedua setelah penetapan Desa apabila Desa tersebut ditetapkan setelah tanggal 30 Juni tahun anggaran berjalan.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VIII
TRANSFER KE DAERAH UNTUK DAERAH PERSIAPAN
Pasal 59 |
||||
(1)
|
Menteri mengalokasikan bagian dana TKD berupa DBH dan DAU untuk Daerah persiapan.
|
|||
(2)
|
Bagian dana TKD untuk Daerah persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung secara proporsional dari alokasi dana TKD yang diterima Daerah induk berdasarkan jumlah penduduk, luas wilayah, target layanan, dan/atau lokasi.
|
|||
(3)
|
Daerah induk menganggarkan bagian dana TKD untuk Daerah persiapan sesuai dengan alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagai anggaran Belanja Daerah persiapan dalam APBD Daerah induk.
|
|||
(4)
|
Dalam hal Daerah persiapan berada di wilayah Daerah yang memiliki otonomi khusus atau yang memiliki keistimewaan, pengalokasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk Dana Otonomi Khusus atau Dana Keistimewaan.
|
|||
(5)
|
Pengalokasian dana TKD untuk Daerah persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) diberikan dalam jangka waktu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB IX
TRANSFER KE DAERAH UNTUK DAERAH BARU
Pasal 60 |
||||
(1)
|
Dana TKD untuk Daerah baru dialokasikan secara mandiri pada tahun anggaran berikutnya sejak undang-undang pembentukan Daerah tersebut diundangkan.
|
|||
(2)
|
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk Daerah baru yang undang-undang pembentukannya diundangkan sebelum atau pada tanggal 30 Juni tahun berkenaan.
|
|||
(3)
|
Dalam hal undang-undang pembentukan Daerah baru diundangkan setelah tanggal 30 Juni tahun berkenaan, dana TKD untuk Daerah baru diperhitungkan secara proporsional dari dana TKD yang dialokasikan untuk Daerah induk.
|
|||
(4)
|
Proporsi dana TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dihitung sekurang-kurangnya berdasarkan jumlah kegiatan, jumlah penduduk, luas wilayah, target layanan, lokasi, dan/atau status Daerah penghasil DBH.
|
|||
(5)
|
Dalam hal provinsi sebagai Daerah baru belum siap, pengalokasian TKD untuk kabupaten/kota dalam wilayah provinsi sebagai Daerah baru tersebut dilakukan oleh Pemerintah Pusat.
|
|||
(6)
|
Dalam hal undang-undang pembentukan Daerah baru diundangkan setelah penetapan APBN tahun berikutnya, pembagian TKD antara Daerah induk dengan Daerah baru dituangkan dalam Peraturan Presiden.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB X
PENYALURAN
Pasal 61 |
||||
(1)
|
Penyaluran TKD dilakukan melalui:
|
|||
|
a.
|
pemindahbukuan dari RKUN ke RKUD;
|
||
|
b.
|
pemindahbukuan dari RKUN ke rekening penerima manfaat antara lain satuan pendidikan atau kesehatan; atau
|
||
|
c.
|
skema pengelolaan kas Daerah yang terpadu.
|
||
(2)
|
Penyaluran TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk Dana Desa dilakukan melalui mekanisme pemindahbukuan dari RKUN ke RKUD dan pemindahbukuan dari RKUD ke rekening kas Desa pada waktu bersamaan.
|
|||
(3)
|
Penyaluran hibah kepada Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (6) yang bersumber dari pinjaman dan/atau hibah luar negeri dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(4)
|
Penyaluran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara sekaligus atau bertahap.
|
|||
(5)
|
Penyaluran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan kinerja tertentu berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 62 |
||||
(1)
|
Dalam hal penyaluran DBH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 lebih kecil dari nilai realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan sampai dengan akhir tahun anggaran, Menteri menetapkan kurang bayar.
|
|||
(2)
|
Jangka waktu penyelesaian kurang bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mempertimbangkan kemampuan Keuangan Negara.
|
|||
(3)
|
Dalam hal penyaluran DBH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 lebih besar dari nilai realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan sampai dengan akhir tahun anggaran, Menteri menetapkan lebih bayar.
|
|||
(4)
|
Realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dapat memperhitungkan belanja pemerintah yang manfaatnya diterima oleh Daerah.
|
|||
(5)
|
Ketentuan mengenai penetapan kurang bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan lebih bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan tata cara penyaluran kurang bayar dan/atau penyelesaian lebih bayar diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 63 |
||||
Pemerintah dapat menghentikan dan/atau menunda penyaluran TKD dalam hal:
|
||||
a.
|
terjadi penyalahgunaan wewenang oleh kepala Daerah, kepala Desa, dan/atau aparat Desa;
|
|||
b.
|
terdapat permasalahan administrasi;
|
|||
c.
|
Daerah tidak memenuhi anggaran yang diwajibkan dalam peraturan perundang-undangan atau menunggak membayar iuran yang diwajibkan dalam peraturan perundang-undangan; atau
|
|||
d.
|
pengendalian belanja APBN dan/atau APBD.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XI
PENGGUNAAN
Pasal 64 |
||||
(1)
|
Penggunaan DBH CHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c untuk:
|
|||
|
a.
|
peningkatan kualitas bahan baku;
|
||
|
b.
|
pembinaan industri;
|
||
|
c.
|
pembinaan lingkungan sosial;
|
||
|
d.
|
sosialisasi ketentuan di bidang cukai;
|
||
|
e.
|
pemberantasan barang kena cukai ilegal; dan/atau
|
||
|
f.
|
kegiatan lainnya.
|
||
(2)
|
Penggunaan DBH kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf c untuk:
|
|||
|
a.
|
rehabilitasi hutan dan lahan;
|
||
|
b.
|
kegiatan pendukung rehabilitasi hutan dan lahan; dan/atau
|
||
|
c.
|
kegiatan lainnya.
|
||
(3)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan DBH CHT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penggunaan DBH kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan kementerian/lembaga.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 65 |
||||
(1)
|
Alokasi DAU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 untuk setiap Daerah terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
bagian DAU yang ditentukan penggunaannya; dan
|
||
|
b.
|
bagian DAU yang tidak ditentukan penggunaannya.
|
||
(2)
|
Bagian DAU yang ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk urusan layanan umum pada Daerah provinsi/kabupaten/kota dipergunakan untuk:
|
|||
|
a.
|
mendukung penggajian Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Daerah;
|
||
|
b.
|
mendukung pembangunan sarana dan prasarana, pemberdayaan masyarakat di kelurahan; dan
|
||
|
c.
|
kegiatan lainnya.
|
||
(3)
|
Bagian DAU yang ditentukan penggunaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk Urusan Pemerintahan di bidang pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan umum pada Daerah, dihitung berdasarkan capaian kinerja Daerah dalam memenuhi target standar pelayanan minimal pada tiap Urusan Pemerintahan Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(4)
|
Dalam hal data capaian kinerja Daerah dalam memenuhi target standar pelayanan minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum memadai, digunakan data indikator yang mencerminkan tingkat kinerja Daerah untuk tiap Urusan Pemerintahan Daerah.
|
|||
(5)
|
Data untuk menghitung capaian kinerja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4) diperoleh dari lembaga pemerintah yang berwenang menerbitkan data sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(6)
|
Dalam hal data sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4) untuk perencanaan tahun anggaran berikutnya belum tersedia, digunakan data perencanaan tahun anggaran sebelumnya.
|
|||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai indikator yang mencerminkan tingkat kinerja Daerah dan petunjuk teknis bagian DAU yang ditentukan penggunaannya diatur dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 66 |
||||
(1)
|
Penggunaan DAK Fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 dilaksanakan sesuai petunjuk teknis DAK Fisik.
|
|||
(2)
|
Petunjuk teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Peraturan Presiden.
|
|||
(3)
|
Pemerintah Daerah dapat menggunakan alokasi per jenis per bidang/subbidang/tema DAK Fisik untuk mendanai kegiatan penunjang.
|
|||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran dana dan rincian kegiatan penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 67 |
||||
Pelaksanaan DAK Nonfisik di Daerah berpedoman pada petunjuk teknis DAK Nonfisik yang ditetapkan oleh kementerian/lembaga.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 68 |
||||
Penggunaan hibah kepada Daerah berpedoman pada petunjuk pelaksanaan dan/atau petunjuk teknis yang ditetapkan oleh kementerian/lembaga selaku pelaksana program dan/atau kegiatan hibah (executing agency).
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 69 |
||||
Penggunaan Dana Otonomi Khusus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 70 |
||||
(1)
|
Penggunaan Dana Keistimewaan untuk mendanai kewenangan dalam urusan keistimewaan yang meliputi:
|
|||
|
a.
|
tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang gubernur dan wakil gubernur;
|
||
|
b.
|
kelembagaan Pemerintah Daerah DIY;
|
||
|
c.
|
kebudayaan;
|
||
|
d.
|
pertanahan; dan
|
||
|
e.
|
tata ruang.
|
||
(2)
|
Dana Keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c sampai dengan huruf e diprioritaskan untuk mendanai kegiatan yang berdampak langsung pada pemberdayaan ekonomi masyarakat, pengurangan kemiskinan, serta peningkatan kebudayaan.
|
|||
(3)
|
Kewenangan urusan keistimewaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c sampai dengan huruf e dapat diserahkan kepada dan/atau dilaksanakan oleh kabupaten/kota.
|
|||
(4)
|
Dalam hal kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c sampai dengan huruf e diserahkan kepada kabupaten/kota, penyerahan kewenangan diikuti dengan penyerahan alokasi Dana Keistimewaan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 71 |
||||
(1)
|
Penggunaan Dana Desa diprioritaskan untuk mendanai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.
|
|||
(2)
|
Selain penggunaan Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat dapat menentukan fokus penggunaan Dana Desa setiap tahunnya sesuai dengan prioritas nasional yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan mengenai perencanaan nasional dan alokasi TKD.
|
|||
(3)
|
Rincian prioritas penggunaan Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan petunjuk operasional ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang desa, pembangunan daerah tertinggal dan transmigrasi setelah berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional, kementerian yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan kementerian/lembaga terkait.
|
|||
(4)
|
Petunjuk operasional atas fokus penggunaan Dana Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang desa, pembangunan daerah tertinggal dan transmigrasi setelah berkoordinasi dengan kementerian/lembaga paling lambat sebelum tahun anggaran berjalan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 72 |
||||
Dalam hal perkiraan realisasi penerimaan negara tidak sesuai dengan target, adanya perkiraan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, pengeluaran melebihi pagu yang ditetapkan dalam APBN, kinerja anggaran telah tercapai, dan/atau untuk menjaga keberlanjutan fiskal maka Pemerintah Pusat dapat melakukan penyesuaian TKD.
|
||||
|
|
|
|
|
BAB XII
PELAPORAN
Pasal 73 |
||||
(1)
|
Kepala Daerah menyampaikan laporan pelaksanaan TKD kepada Menteri dan/atau menteri/pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian.
|
|||
(2)
|
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
|
|||
|
a.
|
realisasi penyerapan;
|
||
|
b.
|
capaian keluaran; dan/atau
|
||
|
c.
|
dampak dan manfaat pelaksanaan kegiatan.
|
||
(3)
|
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui penyediaan data dan/atau informasi pada sistem informasi yang terinterkoneksi dengan sistem informasi Keuangan Daerah.
|
|||
(4)
|
Pemerintah Daerah yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XIII
PEMANTAUAN DAN EVALUASI
Pasal 74 |
||||
(1)
|
Kementerian dan kementerian/lembaga secara sendiri sendiri atau bersama-sama melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap TKD.
|
|||
(2)
|
Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berkala paling sedikit terhadap:
|
|||
|
a.
|
realisasi penyerapan;
|
||
|
b.
|
capaian keluaran; dan
|
||
|
c.
|
dampak dan manfaat pelaksanaan kegiatan.
|
||
(3)
|
Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan data laporan yang telah disampaikan oleh Pemerintah Daerah dan/atau data lainnya yang diperoleh melalui interkoneksi sistem informasi Kementerian, kementerian/lembaga dengan Pemerintah Daerah.
|
|||
(4)
|
Hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam laporan hasil pemantauan dan evaluasi untuk digunakan sebagai bahan perumusan kebijakan serta pembinaan dan pengawasan.
|
|||
(5)
|
Dalam hal berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdapat ketidaksesuaian pengelolaan TKD, kementerian/lembaga dapat menyampaikan rekomendasi tindak lanjut kepada Menteri.
|
|||
(6)
|
Berdasarkan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Menteri dapat mengenakan sanksi penundaan dan/atau penghentian penyaluran atas alokasi dan/atau penggunaan TKD yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XIV
PENGAWASAN
Pasal 75 |
||||
(1)
|
Menteri selaku bendahara umum negara melakukan pengawasan atas pengelolaan TKD.
|
|||
(2)
|
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pelaksanaan fungsi pengawasan Menteri selaku pengelola fiskal.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XV
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 76 |
||||
(1)
|
Menteri sebagai bendahara umum negara dapat memberikan insentif fiskal atas pencapaian kinerja Daerah berdasarkan kriteria tertentu.
|
|||
(2)
|
Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa perbaikan dan/atau pencapaian kinerja Pemerintahan Daerah.
|
|||
(3)
|
Perbaikan dan/atau pencapaian kinerja Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain pengelolaan Keuangan Daerah, pelayanan umum pemerintahan, dan pelayanan dasar.
|
|||
(4)
|
Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan kriteria yang mendukung kebijakan strategis nasional dan/atau pelaksanaan kebijakan fiskal nasional.
|
|||
(5)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa alokasi dana atau fasilitas tertentu.
|
|||
(6)
|
Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berdasarkan mekanisme penilaian dengan menerapkan prinsip transparansi, akuntabilitas, kesetaraan dan efisiensi serta memperhatikan kemampuan Keuangan Negara.
|
|||
(7)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB XVI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 77 |
||||
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, penerapan DAU sesuai dengan ketentuan undang-undang mengenai hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah tidak mengakibatkan penurunan alokasi DAU per Daerah sampai dengan Tahun Anggaran 2027.
|
||||
|
|
|
|
|
BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 78 |
||||
Alokasi DAU dilaksanakan sepenuhnya mulai Tahun Anggaran 2028 berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 79 |
||||
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, ketentuan mengenai Hibah Daerah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Hibah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5272), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 80 |
||||
Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4575), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 81 |
||||
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
|
||||
1.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4575);
|
|||
2.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5864),
|
|||
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 82 |
||||
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
|
||||
|
|
|
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
|
||||
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 24 Juli 2023
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
JOKO WIDODO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 24 Juli 2023
MENTERI SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
PRATIKNO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2023 NOMOR 100
|
||||
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 37 TAHUN 2023
TENTANG
PENGELOLAAN TRANSFER KE DAERAH
|
|
|
|||||||||||||||||||
I.
|
UMUM
|
||||||||||||||||||||
|
Dalam rangka menciptakan alokasi sumber daya nasional yang efisien melalui hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan, guna mewujudkan pemerataan layanan publik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di seluruh pelosok Negara Kesatuan Republik Indonesia, telah diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Penyempurnaan dari undang-undang tersebut antara lain mempertajam arah kebijakan dengan meminimalkan ketimpangan vertikal dan horizontal melalui kebijakan TKD serta harmonisasi belanja antara pemerintah dan Daerah untuk menyelenggarakan layanan publik yang optimal dan menjaga kesinambungan fiskal.
TKD adalah dana yang bersumber dari APBN dan merupakan bagian dari belanja negara yang dialokasikan dan disalurkan kepada Daerah dalam rangka mendanai penyelenggaraan urusan pemerintah yang menjadi kewenangan Daerah. TKD terdiri atas DBH, DAU, DAK, Dana Otonomi Khusus, Dana Keistimewaan DIY, serta Dana Desa. TKD dikelola secara tertib, taat pada ketentuan peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Selain jenis TKD di atas, pemerintah juga dapat memberikan insentif fiskal kepada Daerah dengan kriteria tertentu dan diatur penegasan bahwa insentif dapat diberikan dalam bentuk dana atau fasilitas tertentu.
DBH bertujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara pemerintah dan Daerah, serta kepada Daerah lain nonpenghasil dalam rangka menanggulangi eksternalitas negatif dan/atau meningkatkan pemerataan dalam suatu wilayah. DBH dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan tertentu dalam APBN dan kinerja tertentu.
DAU bertujuan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan dan layanan publik Daerah. DAU dialokasikan berdasarkan celah fiskal yang merupakan selisih antara kebutuhan fiskal Daerah dan potensi Pendapatan Daerah. Proporsi pagu DAU provinsi dan kabupaten/kota dibagi menjadi beberapa kelompok berdasarkan karakteristik wilayah seperti letak geografis dan perekonomian Daerah.
DAK bertujuan untuk mendanai program, kegiatan, dan/atau kebijakan tertentu yang menjadi prioritas nasional dan membantu operasional layanan publik, yang penggunaannya telah ditentukan oleh pemerintah. DAK dilaksanakan berdasarkan tema, sasaran, dan arah kebijakan DAK, serta dapat disinergikan dengan pendanaan lainnya.
Dana Otonomi Khusus dimaksudkan untuk mendanai pelaksanaan otonomi khusus sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang mengenai otonomi khusus. Perhitungan alokasi antara provinsi dan kabupaten/kota secara proporsional mempertimbangkan belanja urusan sesuai kewenangan. Dalam rangka sinkronisasi, Pemerintah Daerah menyusun rencana anggaran dan program Dana Otonomi Khusus dengan berpedoman pada rencana induk pembangunan.
Dana Keistimewaan DIY dimaksudkan untuk mendukung urusan keistimewaan DIY sebagaimana ditetapkan dalam undang-undang mengenai keistimewaan Yogyakarta. Sejalan dengan Dana Otonomi Khusus, Pemerintah DIY menyusun rencana induk keistimewaan program dan kegiatan Dana Keistimewaan DIY sebagai pedoman dalam perencanaan program dan kegiatan.
Dana Desa diperuntukkan untuk Desa dan dimaksudkan untuk mendukung pendanaan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan. Kebijakan pengalokasian dan penggunaan Dana Desa diarahkan lebih fleksibel guna mengantisipasi adanya kebijakan nasional di tahun berjalan.
|
||||||||||||||||||||
|
|
|
|||||||||||||||||||
II.
|
PASAL DEMI PASAL
|
||||||||||||||||||||
|
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Huruf a
DBH PPh tidak termasuk PPh yang ditanggung pemerintah.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "provinsi yang bersangkutan" adalah provinsi tempat kabupaten/kota penghasil berada.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan" adalah kabupaten/kota yang berada pada provinsi yang sama dengan kabupaten/kota penghasil.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "provinsi yang bersangkutan" adalah provinsi tempat kabupaten/kota penghasil berada.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota tempat objek pajak berada.
Objek pajak yang tidak dapat diidentifikasi kabupaten/kota penghasilnya dibagikan kepada seluruh kabupaten/kota berdasarkan formula tertentu sesuai dengan Peraturan Menteri.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan" adalah kabupaten/kota yang berada pada provinsi yang sama dengan kabupaten/kota penghasil.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Biaya operasional antara lain belanja barang dan belanja aset tetap yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat dalam rangka pemungutan PBB.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 7
Huruf a
Yang dimaksud dengan "provinsi yang bersangkutan" adalah provinsi tempat kabupaten/kota penghasil berada.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota tempat penerimaan cukai hasil tembakau berasal yang ditetapkan oleh Menteri, dan/atau lokasi kebun yang menghasilkan tanaman tembakau yang ditetapkan oleh menteri yang membidangi Urusan Pemerintahan di bidang pertanian.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan" adalah kabupaten/kota yang berada pada provinsi yang sama dengan kabupaten/kota penghasil.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "provinsi yang bersangkutan" adalah provinsi tempat kabupaten/kota penghasil berada.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota tempat penerimaan iuran izin usaha pemanfaatan hutan.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "provinsi yang bersangkutan" adalah provinsi tempat kabupaten/kota penghasil berada.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil" adalah kabupaten/kota tempat penerimaan provisi sumber daya hutan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan" adalah kabupaten/kota yang berada pada provinsi yang sama dengan kabupaten/kota penghasil.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "provinsi penghasil" adalah provinsi yang menjadi tempat pengusahaan hutan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "provinsi penghasil untuk DBH mineral dan batu bara" adalah provinsi yang menjadi wilayah pertambangan mineral dan batu bara, dan provinsi yang menjadi tambang mineral dan batu bara yang telah berproduksi dan menghasilkan komoditas tambang mineral dan batu bara.
Yang dimaksud dengan "provinsi penghasil untuk DBH minyak bumi dan gas bumi" adalah provinsi yang menghasilkan minyak bumi dan gas bumi.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil DBH mineral dan batu bara" adalah kabupaten/kota yang menjadi wilayah pertambangan mineral dan batu bara dan menjadi lokasi tambang mineral dan batu bara yang telah berproduksi dan menghasilkan komoditas tambang mineral dan batu bara.
Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil untuk DBH minyak bumi dan gas bumi" adalah kabupaten/kota yang menghasilkan minyak bumi dan gas bumi.
Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota penghasil untuk DBH panas bumi" adalah kabupaten/kota yang menjadi wilayah kerja panas bumi.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota pengolah untuk DBH mineral dan batu bara" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi pengolahan dan/atau pemurnian mineral, dan/atau lokasi pengembangan dan/atau pemanfaatan batu bara, dan berisiko terkena dampak eksternalitas negatif.
Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota pengolah untuk DBH minyak bumi dan gas bumi" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi pengolahan, yaitu kegiatan memurnikan, memperoleh bagian-bagian, mempertinggi mutu, dan mempertinggi nilai tambah minyak bumi dan gas bumi, dan berisiko terkena dampak eksternalitas negatif.
Tidak termasuk dalam pengolahan adalah kegiatan pengolahan lapangan, yaitu kegiatan pengolahan hasil produksi sendiri sebagai kelanjutan dan/atau rangkaian kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi dan gas bumi sepanjang tidak ditujukan untuk memperoleh keuntungan dan/atau laba atau untuk tujuan komersial.
Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota pengolah untuk DBH panas bumi" adalah kabupaten/kota yang menjadi lokasi pembangkit listrik tenaga panas bumi dan berisiko terkena dampak eksternalitas negatif.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "provinsi yang bersangkutan" adalah provinsi tempat kabupaten/kota penghasil berada.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan" adalah kabupaten/kota yang berada pada provinsi yang sama dengan kabupaten/kota penghasil.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Menteri/pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian terkait antara lain menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perindustrian.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "data lain yang dapat dipertanggungjawabkan" adalah data yang diterbitkan oleh kementerian/lembaga sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Instansi Pemerintah Pusat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan antara lain instansi Pemerintah Pusat yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang geospasial.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Termasuk dalam pertimbangan terkait kemampuan Keuangan Negara diantaranya adalah keberlanjutan program prioritas nasional yang didanai dari APBN.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "peraturan perundang-undangan" adalah undang-undang sektoral.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (5)
Menteri mempertimbangkan diantaranya alokasi transfer ke Daerah lainnya.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kinerja dalam mendukung optimalisasi penerimaan negara antara lain meliputi kinerja dalam mendukung optimalisasi penerimaan pajak pusat untuk DBH PPh dan/atau DBH PBB, dan penerimaan cukai hasil tembakau untuk DBH CHT.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Kementerian/lembaga pemerintah terkait antara lain kementerian yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang pertanian dan kementerian yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang kesehatan.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kinerja dalam pemeliharaan lingkungan antara lain kinerja dalam pengelolaan kualitas udara, air, dan/atau lahan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Menteri/pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian terkait antara lain kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Daerah kabupaten/kota yang ada di wilayah Provinsi DKI Jakarta tidak menerima DAU karena otonomi Provinsi DKI Jakarta diletakkan pada lingkup provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pagu nasional DAU ditetapkan dapat mempertimbangkan proporsi pagu DAU terhadap pagu TKD secara keseluruhan tahun-tahun sebelumnya.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Alokasi DAU untuk tiap-tiap Daerah dihitung dengan menggunakan formula:
DAU = Celah Fiskal
Ayat (2)
Celah Fiskal (CF) = Kebutuhan Fiskal - Potensi Pendapatan Daerah
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Potensi Pendapatan Daerah = Potensi PAD + alokasi DBH + alokasi DAK Nonfisik
Alokasi DBH dan alokasi DAK Nonfisik antara lain Bidang Pendidikan dan Kesehatan menggunakan alokasi T-1.
Pasal 23
Ayat (1)
Kebutuhan pendanaan Daerah dalam rangka penyelenggaraan Urusan Pemerintahan dihitung dengan menggunakan formula:
\(\mathrm {Kebutuhan\ Fiskal} = \mathrm {\Sigma \ (satuan\ biaya \times jumlah\ target\ layanan\times faktor\ penyesuaian) + \\kebutuhan\ dasar\ penyelenggaraan\ pemerintahan}\)
Ayat (2)
Aparatur sipil negara di Pemerintah Daerah meliputi Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Biaya investasi untuk setiap Urusan Pemerintahan Daerah dihitung menggunakan formula:
\(Biaya\ investasi\ urusan _i = {rata-rata\ belanja\ urusan_i\ 3\ tahun \over rata-rata\ penerima\ layanan\ urusan_i\ 3\ tahun} \)
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Ayat (1)
Faktor penyesuaian dihitung dengan menggunakan formula:
\(Faktor\ penyesuaian\ (FP) = {\alpha_1\ Indeks\ Luas\ Wilayah\ +\ \alpha_2\ IKK\ +\\ \alpha_3\ Indeks\ Karakteristik\ Wilayah_1\ +\\ \alpha_4\ Indeks\ Karakteristik\ Wilayah_2\ +\ …\\ +\ \alpha_n\ Indeks\ Karakterisktik\ Wilayah_n}\)
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Data tahun sebelumnya yaitu data t-2 untuk menghitung potensi PAD t-1.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Alokasi DBH menggunakan data alokasi t-1.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
DAK Nonfisik sektor pendidikan meliputi BOS, BOP PAUD, TPG, TKG, dan Tamsil, sedangkan DAK Nonfisik sektor kesehatan meliputi BOK dan BOKB, atau jenis DAK Nonfisik sektor pendidikan dan sektor kesehatan lainnya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Alokasi DAK Nonfisik menggunakan data alokasi t-1.
Pasal 27
Ayat (1)
DAU Provinsi = Bobot provinsi x jumlah DAU provinsi dalam kelompok provinsi
Ayat (2)
\(Bobot\ Provinsi_i = \frac {CF\ Provinsi_i} {\Sigma CF\ Provinsi}\)
di mana,
Pasal 28
Ayat (1)
DAU kabupaten/kota = Bobot kabupaten/kotai x jumlah DAU kabupaten dan kota dalam kelompok kabupaten/kota
Ayat (2)
\(Bobot\ Kab/Kota_i = \frac {CF\ Kab/Kota_i} {\Sigma CF\ Kab\ dan\ Kota}\)
di mana,
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Hibah kepada Daerah dalam bentuk selain uang berupa barang yang berasal dari belanja kementerian/lembaga yang mendanai kewenangan Daerah.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Usulan Daerah termasuk usulan yang disampaikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam memperjuangkan Daerah pemilihan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penilaian oleh kementerian yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional berupa Daerah prioritas dan kesesuaian target output kegiatan per bidang/subbidang terhadap pencapaian prioritas nasional.
Penilaian oleh kementerian negara/lembaga berupa penilaian teknis kegiatan, target output, harga satuan terhadap pencapaian target sektor.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Pertimbangan lainnya seperti indeks teknis dan indeks lokasi prioritas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Kondisi tertentu antara lain bencana alam, bencana non-alam, dan/atau bencana sosial.
Pasal 49
Yang dimaksud dengan "peraturan perundang-undangan" adalah peraturan perundang-undangan mengenai otonomi khusus.
Pengelolaan Dana Otonomi Khusus untuk Papua dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan antara lain peraturan pemerintah mengenai pengelolaan penerimaan dalam rangka otonomi khusus di wilayah Papua.
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Musyawarah perencanaan pembangunan adalah forum antarpelaku dalam rangka menyusun rencana pembangunan nasional dan rencana pembangunan Daerah.
Musyawarah perencanaan pembangunan otonomi khusus adalah forum antarpelaku dalam rangka menyusun rencana pembangunan nasional dan rencana pembangunan Daerah dalam rangka otonomi khusus yang dilaksanakan dalam satu rangkaian dengan musyawarah perencanaan pembangunan jangka menengah dan musyawarah perencanaan pembangunan tahunan Daerah.
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan "pemerintah" adalah Kementerian, kementerian yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional, kementerian yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan kementerian/lembaga terkait.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Belanja urusan sesuai kewenangan dalam laporan keuangan Pemerintah Daerah yang sudah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
Kewenangan dimaksud merupakan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan termasuk kewenangan dalam rangka otonomi khusus.
Ayat (2)
Huruf a
Aspek kewilayahan dapat meliputi antara lain luas wilayah dan jumlah kabupaten/kota.
Huruf b
Aspek kependudukan dapat meliputi antara lain jumlah penduduk.
Huruf c
Aspek kesejahteraan dapat meliputi antara lain tingkat capaian pembangunan seperti Indeks Pembangunan Manusia, dan tingkat kemiskinan.
Huruf d
Aspek lainnya dapat meliputi antara lain kinerja kualitas pengelolaan Dana Otonomi Khusus seperti kepatuhan dalam penyampaian rencana penggunaan, kepatuhan dalam penyampaian laporan, dan pengelolaan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran Dana Otonomi Khusus.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "hasil evaluasi" adalah yang dilakukan melalui forum multilateral antara Kementerian, kementerian/lembaga terkait.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "kebutuhan Desa yang menjadi kewenangan Desa" adalah proyeksi kebutuhan dana yang memperhatikan kebutuhan layanan dasar antara lain bidang kesehatan, infrastruktur, dan kebutuhan lainnya.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "prioritas nasional" adalah prioritas yang berdasarkan pada rencana pembangunan jangka menengah nasional dan kebijakan Presiden lainnya.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 57
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penghitungan bertahap dilakukan antara lain dalam rangka memberikan insentif atas kinerja Desa.
Ayat (5)
Formula pengalokasian memperhatikan antara lain alokasi dasar, alokasi formula, alokasi afirmasi, dan alokasi kinerja.
Yang dimaksud dengan "alokasi dasar" adalah alokasi yang dibagi secara proporsional kepada setiap Desa.
Yang dimaksud dengan "alokasi formula" adalah alokasi yang dihitung dengan memperhatikan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis.
Yang dimaksud dengan "alokasi kinerja" adalah alokasi yang dibagi kepada Desa dengan kinerja terbaik.
Yang dimaksud dengan "alokasi afirmasi" adalah alokasi yang dibagi secara proporsional kepada Desa tertinggal dan Desa sangat tertinggal dan dapat mempertimbangkan jumlah penduduk miskin tinggi di Desa tertinggal dan Desa sangat tertinggal.
Data pengalokasian Dana Desa bersumber dari kementerian terkait dan/atau lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang statistik.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Kebijakan Pemerintah Pusat antara lain berupa burden sharing pendanaan.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Data tingkat kesulitan geografis ditunjukkan oleh indeks kemahalan konstruksi dan/atau indeks kesulitan geografis.
Data jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan indeks kemahalan konstruksi dan/atau indeks kesulitan geografis bersumber dari kementerian/lembaga yang berwenang.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "jumlah kegiatan" adalah jumlah kegiatan DAK Fisik di Daerah baru.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "kondisi belum siap" adalah kondisi antara lain:
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 61
Ayat (1)
Huruf a
Penyaluran Dana Desa dilakukan melalui mekanisme pemindahbukuan dari RKUN ke RKUD dan pemindahbukuan dari RKUD ke Rekening Kas Desa pada waktu bersamaan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Hal ini dapat dilakukan melalui penggunaan akun tertentu yang dikelola oleh pemerintah yang merepresentasikan rekening kas tiap-tiap Daerah.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "rekening kas Desa" adalah rekening tempat menyimpan uang pemerintahan Desa yang menampung seluruh penerimaan Desa dan digunakan untuk membayar seluruh pengeluaran Desa dalam 1 (satu) Rekening pada bank yang ditetapkan.
Ayat (3)
Penyaluran dari RKUN ke RKUD sebagai dasar pencatatan penerimaan dalam APBD, penyaluran ke rekening yang ditetapkan oleh Menteri sebagai dasar pencatatan belanja dalam APBD.
Ayat (4)
Penyaluran bertahap dapat berupa sebagian TKD disalurkan dalam bentuk nontunai melalui pemindahbukuan dari RKUN ke RKUD yang kemudian secara bersamaan dilakukan pemindahbukuan ke rekening yang ditetapkan oleh Menteri seperti rekening surat berharga negara, treasury deposit facility.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 62
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan" adalah realisasi penerimaan negara 1 (satu) tahun sebelumnya yang telah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 63
Huruf a
Yang dimaksud dengan "penyalahgunaan wewenang" adalah tindakan yang dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan
.
Huruf b
Permasalahan administrasi antara lain tidak/terlambat menyampaikan persyaratan penyaluran, ketidakjelasan status hukum, dan/atau status keberadaan Desa.
Huruf c
Yang dimaksud dengan anggaran yang diwajibkan dalam peraturan perundang-undangan antara lain kewajiban anggaran pendidikan, anggaran kesehatan, alokasi Dana Desa, dan iuran jaminan kesehatan.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 64
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "peningkatan kualitas bahan baku" antara lain meliputi pelatihan peningkatan kualitas tembakau, penanganan panen dan pasca panen, penerapan inovasi teknis, dan/atau dukungan sarana dan prasarana usaha tani tembakau.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "pembinaan industri" antara lain meliputi penyediaan/pemeliharaan sarana dan/atau prasarana pengolahan limbah industri tembakau, pembinaan dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia pada usaha industri hasil tembakau kecil dan menengah, pembangunan, pengelolaan, dan pengembangan kawasan industri hasil tembakau dan/atau sentra industri hasil tembakau, dan/atau penyediaan/pemeliharaan infrastruktur yang mendukung industri hasil tembakau.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "pembinaan lingkungan sosial" antara lain meliputi kegiatan untuk meningkatkan pelayanan dan sarana dan prasarana di bidang kesehatan, dan/atau kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "sosialisasi ketentuan di bidang cukai" antara lain meliputi penyampaian informasi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai kepada masyarakat dan/atau pemangku kepentingan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "pemberantasan barang kena cukai ilegal" antara lain meliputi pengumpulan informasi peredaran barang kena cukai ilegal, operasi pemberantasan barang kena cukai ilegal, dan/atau penyediaan/pemeliharaan sarana dan/atau prasarana pendukung kegiatan pemberantasan barang kena cukai ilegal.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "kegiatan lainnya" adalah kegiatan yang ditetapkan dalam Undang-Undang mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "kegiatan lainnya" adalah kegiatan yang dilaksanakan berdasarkan antara lain direktif Presiden dan/atau Peraturan Menteri.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 65
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Daerah yang tidak menerima alokasi DAU, untuk mendukung dukungan pembangunan sarana dan prasarana serta pemberdayaan masyarakat di kelurahan diperhitungkan dari alokasi DBH.
Yang dimaksud dengan "kegiatan lainnya" antara lain kegiatan sesuai arahan Presiden yang harus dilakukan oleh seluruh Daerah dalam urusan layanan umum.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud sebagai data capaian kinerja standar pelayanan minimal yang belum tersedia yaitu belum tersedianya data tersebut secara lengkap untuk seluruh Daerah di Indonesia.
Yang dimaksud dengan "data indikator yang mencerminkan tingkat kinerja Daerah untuk tiap Urusan Pemerintahan Daerah" adalah kewenangan Daerah dan indikator output yang setara dengan indikator standar pelayanan minimal.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pembangunan" meliputi tetapi tidak terbatas pada pelayanan dasar dan lingkungan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Peraturan menteri yang dimaksud merupakan peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang desa, pembangunan daerah tertinggal dan transmigrasi mengenai petunjuk operasional ditetapkan setelah Undang-Undang mengenai APBN diundangkan.
Pasal 72
Yang dimaksud dengan "penyesuaian TKD" termasuk melakukan pengutamaan penggunaan anggaran yang disesuaikan secara otomatis (automatic adjustment), realokasi anggaran, pemotongan TKD, dan/atau penyesuaian pagu TKD.
Pasal 73
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "penyediaan data" antara lain pada inputing data transaksi harian.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 74
Ayat (1)
Pemantauan dan evaluasi DBH dan DAU diutamakan terhadap pemanfaatan dan teknis pelaksanaan kegiatan yang didanai dari DBH dan DAU yang penggunaannya telah ditentukan.
Pemantauan dan evaluasi terhadap pengelolaan Dana Otonomi Khusus selain dilakukan oleh Kementerian dan kementerian/lembaga, dilakukan juga oleh pemerintah provinsi sesuai kewenangan masing-masing.
Pemerintah provinsi melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pengelolaan Dana Keistimewaan yang diserahkan kepada kabupaten/kota.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan capaian keluaran untuk DAK Fisik termasuk hasil keluaran jangka pendek.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
|
||||||||||||||||||||
|
|
|
|||||||||||||||||||
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6883
|