Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Premium
Terjemahan Dokumen
Ini Belum Tersedia
Ini Belum Tersedia
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Sudah tidak berlaku karena diganti/dicabut
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
|
|||
|
|||
Menimbang |
|||
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Penentuan Jumlah, Pembayaran, dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Terutang;
|
|||
Mengingat |
|||
1.
|
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
||
2.
|
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3687);
|
||
|
|
||
MEMUTUSKAN:
|
|||
Menetapkan |
|||
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG TATA CARA PENENTUAN JUMLAH, PEMBAYARAN, DAN PENYETORAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG TERUTANG.
|
|||
|
|||
BAB I
KETENTUAN UMUM Pasal 1 |
|||
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
|
|||
1.
|
Penerimaan Negara Bukan Pajak adalah seluruh penerimaan Pemerintah Pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan.
|
||
2.
|
Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
|
||
3.
|
Instansi Pemerintah adalah Departemen dan Lembaga Non Departemen.
|
||
4.
|
Pimpinan Instansi Pemerintah adalah menteri atau pimpinan lembaga non departemen.
|
||
5.
|
Pejabat Instansi Pemerintah adalah pejabat yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan bertanggung jawab atas penentuan jumlah, pembayaran termasuk angsuran dan penundaan pembayaran, penagihan, dan penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak.
|
||
6.
|
Wajib Bayar adalah orang pribadi atau badan yang ditentukan untuk melakukan kewajiban membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
7.
|
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang harus dibayar pada suatu saat, atau dalam suatu periode tertentu menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
|
|
||
BAB II
PENENTUAN JUMLAH PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG TERUTANG Pasal 2 |
|||
Penerimaan Negara Bukan Pajak menjadi terutang:
|
|||
a.
|
sebelum Wajib Bayar menerima manfaat atas kegiatan Instansi Pemerintah; atau
|
||
b.
|
sesudah Wajib Bayar menerima manfaat atas kegiatan Instansi Pemerintah.
|
||
|
|
||
Pasal 3 |
|||
(1)
|
Jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang ditentukan dengan cara:
|
||
|
a.
|
ditetapkan oleh Instansi Pemerintah; atau
|
|
|
b.
|
dihitung sendiri oleh Wajib Bayar.
|
|
(2)
|
Dalam hal Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang dihitung sendiri oleh Wajib Bayar, Pimpinan Instansi Pemerintah atau Pejabat Instansi Pemerintah dapat menetapkan jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang.
|
||
|
|
||
Pasal 4 |
|||
(1)
|
Jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang dihitung dengan menggunakan tarif:
|
||
|
a.
|
spesifik; dan/atau
|
|
|
b.
|
advalorem.
|
|
(2)
|
Jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang yang dihitung dengan menggunakan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan volume.
|
||
(3)
|
Selain dihitung dengan menggunakan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
|
|
||
BAB III
PEMBAYARAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG TERUTANG Pasal 5 |
|||
(1)
|
Wajib Bayar wajib membayar seluruh Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang secara tunai paling lambat pada saat jatuh tempo pembayaran sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
(2)
|
Dalam hal pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang melampaui jatuh tempo pembayaran yang ditetapkan, Wajib Bayar dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) per bulan dari bagian yang terutang dan bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan penuh.
|
||
(3)
|
Sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
|
||
|
|
||
Pasal 6 |
|||
(1)
|
Dalam hal terjadi kekurangan pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang, Wajib Bayar wajib segera melunasi kekurangan pembayaran tersebut.
|
||
(2)
|
Dalam hal terjadi keterlambatan pembayaran kekurangan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Bayar dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah kekurangan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang dan bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan penuh.
|
||
(3)
|
Sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
|
||
|
|
||
Pasal 7 |
|||
(1)
|
Pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang, kekurangan pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang, dan/atau sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6 dilakukan secepatnya ke Kas Negara.
|
||
(2)
|
Wajib Bayar yang menghitung sendiri Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang harus menyampaikan surat tanda bukti pembayaran yang sah kepada Menteri c.q, Direktur Jenderal Anggaran.
|
||
|
|
||
Pasal 8 |
|||
(1)
|
Dalam hal berdasarkan penghitungan Wajib Bayar terdapat kelebihan pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang, Wajib Bayar dapat mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran tersebut kepada Pimpinan Instansi Pemerintah disertai dengan dokumen pendukung yang sah dan lengkap.
|
||
(2)
|
Pimpinan Instansi Pemerintah memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan Wajib Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
||
(3)
|
Dalam hal permohonan pengembalian kelebihan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disetujui oleh Pimpinan Instansi Pemerintah, kelebihan pembayaran diperhitungkan sebagai pembayaran di muka atas jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang dari Wajib Bayar yang bersangkutan pada periode berikutnya.
|
||
(4)
|
Dalam hal terjadi pengakhiran kegiatan usaha Wajib Bayar, Pimpinan Instansi Pemerintah menyampaikan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri disertai rekomendasi tertulis.
|
||
(5)
|
Menteri berdasarkan pertimbangan tertentu dapat menyetujui atau menolak permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
|
||
(6)
|
Dalam hal permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disetujui, Menteri menerbitkan penetapan persetujuan pengembalian kelebihan pembayaran secara tunai.
|
||
(7)
|
Pengembalian kelebihan pembayaran secara tunai sebagaimana dimaksud pada ayat (6) kepada Wajib Bayar dilakukan paling lambat 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal penetapan persetujuan oleh Menteri.
|
||
(8)
|
Dalam hal pengembalian kelebihan pembayaran dilakukan melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7), kelebihan pembayaran tersebut dikembalikan kepada Wajib Bayar ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
|
||
(9)
|
Dalam hal permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditolak, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran dikembalikan kepada Pimpinan Instansi Pemerintah.
|
||
(10)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengembalian kelebihan pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak secara tunai diatur dengan Peraturan Menteri.
|
||
|
|
||
Pasal 9 |
|||
(1)
|
Wajib Bayar dapat mengajukan permohonan kepada Pimpinan Instansi Pemerintah untuk mengangsur dan/atau menunda pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang.
|
||
(2)
|
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis kepada Pimpinan Instansi Pemerintah paling lambat 20 (dua puluh) hari sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang disertai alasan, data pendukung, dan dokumen lainnya secara lengkap.
|
||
(3)
|
Pimpinan Instansi Pemerintah menyampaikan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilampiri rekomendasi tertulis kepada Menteri paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan Wajib Bayar diterima secara lengkap.
|
||
(4)
|
Menteri berdasarkan pertimbangan tertentu dapat menyetujui atau menolak permohonan mengangsur dan/atau menunda pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang yang disampaikan oleh Pimpinan Instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau menentukan lain pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang.
|
||
(5)
|
Menteri menerbitkan surat persetujuan atau penolakan atas permohonan mengangsur dan/atau menunda pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang dan menyampaikannya kepada Pimpinan Instansi Pemerintah paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak surat permohonan Pimpinan Instansi Pemerintah diterima secara lengkap.
|
||
(6)
|
Pimpinan Instansi Pemerintah memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan Wajib Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 7 (tujuh) hari setelah mendapat persetujuan atau penolakan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
|
||
(7)
|
Dalam hal permohonan angsuran dan/atau penundaan pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang disetujui, jumlah dan jangka waktu angsuran atau penundaan pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang ditetapkan dalam surat persetujuan Menteri.
|
||
(8)
|
Pengangsuran dan/atau penundaan pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dikenakan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dari bagian yang terutang dan bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan penuh.
|
||
(9)
|
Dalam hal permohonan angsuran dan/atau penundaan pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang ditolak, Pimpinan Instansi Pemerintah wajib menagih seluruh Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang kepada Wajib Bayar paling lambat 7 (tujuh) hari sejak Surat Penolakan diterima oleh Wajib Bayar.
|
||
|
|
||
Pasal 10 |
|||
(1)
|
Wajib Bayar yang menghitung sendiri jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b, dapat dilakukan pemeriksaan oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
(2)
|
Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap Wajib Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat kekurangan pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang, Pimpinan Instansi Pemerintah menerbitkan penetapan atas kekurangan tersebut.
|
||
(3)
|
Kekurangan pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilunasi oleh Wajib Bayar dengan ditambah sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) per bulan dari kekurangan tersebut untuk waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang.
|
||
|
|
||
Pasal 11 |
|||
(1)
|
Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan terdapat kelebihan pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang, Pimpinan Instansi Pemerintah menerbitkan penetapan atas kelebihan tersebut.
|
||
(2)
|
Kelebihan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diperhitungkan sebagai pembayaran di muka atas jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang dari Wajib Bayar yang bersangkutan pada periode berikutnya.
|
||
(3)
|
Dalam hal terjadi pengakhiran kegiatan usaha Wajib Bayar, pengembalian kelebihan pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang dilaksanakan sesuai ketentuan Pasal 8 ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8).
|
||
|
|
||
BAB IV
PENAGIHAN, PEMUNGUTAN, DAN PENYETORAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG TERUTANG Pasal 12 |
|||
(1)
|
Terhadap Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang yang jumlahnya ditetapkan oleh Instansi Pemerintah, Pimpinan Instansi Pemerintah selaku Pengguna Anggaran wajib melakukan penagihan dan/atau pemungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang.
|
||
(2)
|
Penagihan dan/atau pemungutan jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan perhitungan dengan menggunakan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
|
||
(3)
|
Pimpinan Instansi Pemerintah selaku Pengguna Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengangkat Bendahara Penerimaan untuk menerima pembayaran, menyimpan, menyetorkan, menatausahakan, dan mempertanggungjawabkan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang diterima sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penagihan dan/atau pemungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang diatur dengan Peraturan Menteri.
|
||
|
|
||
Pasal 13 |
|||
(1)
|
Terhadap Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang yang jumlahnya dihitung sendiri oleh Wajib Bayar, Pimpinan Instansi Pemerintah wajib melakukan penagihan terhadap Wajib Bayar yang sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran yang ditentukan belum melunasi kewajibannya dan/atau masih terdapat kekurangan pembayaran jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang.
|
||
(2)
|
Dalam melaksanakan penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pimpinan Instansi Pemerintah menerbitkan Surat Tagihan Pertama atas Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang.
|
||
(3)
|
Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal Surat Tagihan Pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan Wajib Bayar belum atau tidak melunasi kewajibannya, Instansi Pemerintah menerbitkan Surat Tagihan Kedua.
|
||
(4)
|
Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal Surat Tagihan Kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan Wajib Bayar belum atau tidak melunasi kewajibannya, Instansi Pemerintah menerbitkan Surat Tagihan Ketiga.
|
||
(5)
|
Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal Surat Tagihan Ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diterbitkan Wajib Bayar belum atau tidak melunasi kewajibannya, Instansi Pemerintah menerbitkan Surat Penyerahan Tagihan kepada instansi yang berwenang mengurus Piutang Negara untuk diproses lebih lanjut penyelesaiannya.
|
||
|
|
||
Pasal 14 |
|||
(1)
|
Dalam hal tertentu, Wajib Bayar dapat mengajukan permohonan kepada Pimpinan Instansi Pemerintah untuk ditinjau kembali dari kewajiban pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang dan/atau sanksi administrasi berupa denda.
|
||
(2)
|
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis kepada Pimpinan Instansi Pemerintah disertai penjelasan, dokumen, dan data pendukung.
|
||
(3)
|
Pimpinan Instansi Pemerintah menyampaikan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Menteri dilengkapi dengan rekomendasi tertulis.
|
||
(4)
|
Menteri berdasarkan pertimbangan tertentu dapat menyetujui atau menolak permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk sebagian atau seluruhnya.
|
||
(5)
|
Menteri menerbitkan surat persetujuan atau surat penolakan atas permohonan untuk ditinjau kembali pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang dan menyampaikannya kepada Pimpinan Instansi Pemerintah.
|
||
(6)
|
Pimpinan Instansi Pemerintah memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan Wajib Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah mendapat persetujuan atau penolakan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lambat 15 (lima belas) hari kerja.
|
||
(7)
|
Dalam hal permohonan untuk ditinjau kembali pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang ditolak, Pimpinan Instansi Pemerintah wajib menagih seluruh Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang kepada Wajib Bayar paling lambat 1 (satu) bulan sejak surat penolakan diterbitkan.
|
||
(8)
|
Penetapan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) bersifat final.
|
||
(9)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara untuk ditinjau kembali dari kewajiban pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang dan/atau sanksi administrasi berupa denda diatur dengan Peraturan Menteri.
|
||
|
|
||
Pasal 15 |
|||
(1)
|
Seluruh Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang wajib disetor secepatnya ke Kas Negara.
|
||
(2)
|
Penyetoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
|
|
||
Pasal 16 |
|||
(1)
|
Bendahara Penerimaan wajib menyampaikan pertanggungjawaban atas penerimaan dan penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak bulan sebelumnya kepada Pimpinan Instansi Pemerintah pada departemen/lembaga yang bersangkutan, paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) setiap bulan.
|
||
(2)
|
Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan oleh Pimpinan Instansi Pemerintah yang bersangkutan kepada Menteri paling lambat tanggal 20 (dua puluh) setiap bulan.
|
||
|
|
||
BAB V
KETENTUAN PENUTUP Pasal 17 |
|||
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
|
|||
|
|||
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
|
|||
|
|||
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 24 Maret 2009 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 24 Maret 2009 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd
ANDI MATTALATTA LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 58
|
|||
|
PENJELASANATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 29 TAHUN 2009
TENTANG
TATA CARA PENENTUAN JUMLAH, PEMBAYARAN, DAN PENYETORAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK YANG TERUTANG
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
I.
|
UMUM
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Untuk melaksanakan pembangunan Nasional yang berkelanjutan di segala bidang diperlukan upaya-upaya optimalisasi penerimaan negara, salah satu di antaranya adalah melalui optimalisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berasal dari berbagai sumber penerimaan Pemerintah Pusat di luar penerimaan perpajakan.
Dalam rangka melaksanakan optimalisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak dimaksud, diperlukan suatu tindak lanjut dengan cara menetapkan langkah-langkah yang lebih efektif dalam pengumpulan penerimaan (dana) dengan cara mengikutsertakan partisipasi dari seluruh pihak yang telah memperoleh manfaat ekonomi sebagai bagian dari tanggung jawabnya dalam mewujudkan maksud tersebut di atas.
Sebagai tindak lanjut atas upaya optimalisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak yang lebih efektif, perlu untuk menetapkan suatu Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang Tata Cara Penentuan Jumlah, Pembayaran, dan Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
II.
|
PASAL DEMI PASAL
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Penerimaan Negara Bukan Pajak menjadi Terutang sebelum Wajib Bayar menerima manfaat atas kegiatan Pemerintah seperti pemberian hak paten, pelayanan pendidikan, sedangkan Penerimaan Negara Bukan Pajak menjadi terutang sesudah menerima manfaat seperti pemanfaatan sumber daya alam.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Contoh jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang yang ditetapkan oleh Instansi Pemerintah antara lain pemberian paten, pelayanan pendidikan, pelayanan kesehatan, dan penjualan karcis masuk.
Huruf b
Contoh jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang yang dihitung sendiri oleh Wajib Bayar antara lain pemanfaatan dari sumber daya alam.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “dapat menetapkan” adalah terhadap Wajib Bayar yang menghitung sendiri Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang dapat dilakukan koreksi dalam bentuk penetapan oleh Instansi Pemerintah untuk mendapatkan jumlah yang tepat dan benar.
Pasal 4
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tarif spesifik” adalah tarif yang ditetapkan dengan nilai nominal uang.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tarif advalorem” adalah tarif yang ditetapkan dengan persentase (%) dikalikan dengan dasar pengenaan tertentu. Dasar pengenaan tertentu merupakan satuan nilai yang digunakan sebagai dasar perhitungan, antara lain Harga Patokan (HP), indeks harga, kurs, pendapatan kotor, atau penjualan bersih.
Ayat (2)
Contoh penghitungan (tarif spesifik):
Jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang = tarif x volume
Tarif = Rp50,00/m3
Volume = 1.000 m3
Maka jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang adalah: Rp50,00/m3 x 1.000 m3 = Rp50.000,00.
Contoh penghitungan (tarif advalorem):
Jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang = tarif x volume
Tarif = persentase x dasar pengenaan
Besaran persentase = 10%
Dasar pengenaan = Rp1.000,00/m3
Tarif = 10% x Rp1.000,00/m3
Volume = 1.000 m3
Maka jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang adalah: (10% x Rp1.000,00/m3) x 1.000 m3 = Rp100.000,00
Ayat (3)
Penghitungan jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang yang penghitungannya tidak dapat dihitung dengan menggunakan tarif spesifik dan/atau advalorem antara lain penetapan berdasarkan formula, kontrak, putusan pengadilan, dan hasil lelang.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh perhitungan sanksi administrasi berupa denda Pokok Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang = Rp100.000.000,00
Jatuh tempo tanggal = 2 Januari 2006
Pembayaran tanggal = 3 Januari 2006
Keterlambatan = 1 hari, dihitung 1 bulan
Maka, jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang = (2% x Rp100.000.000,00) + Rp100.000.000,00 = Rp102.000.000,00.
Apabila pembayaran dilakukan pada tanggal 3 Februari 2006, maka jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang = (2% x Rp102.000.000,00) + Rp102.000.000,00 = Rp104.040.000,00.
Ayat (3)
Selama Wajib Bayar tidak melunasi jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang, sanksi administrasi berupa denda diperhitungkan sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang. Pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebesar 2% (dua persen) hanya untuk selama 24 (dua puluh empat) bulan sejak jatuh tempo, setelah itu tidak dikenakan denda lagi.
Contoh:
Pokok Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang = Rp100.000.000,00
Jatuh tempo tanggal = 2 Januari 2006
Pembayaran tanggal = 3 Januari 2006
Keterlambatan = 1 hari , dihitung 1 bulan
Maka, jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang = (2% x Rp100.000.000,00) + Rp100.000.000,00 = Rp102.000.000,00.
Contoh:
Penghitungan sanksi administrasi berupa denda selama 24 (dua puluh empat) bulan
Pokok Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang = Rp100.000.000,00
Jatuh tempo tanggal = 2 Januari 2006
Pembayaran tanggal = 3 Januari 2008
Keterlambatan = 1 hari , dihitung 1 bulan
Maka, jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang bulan ke-1 = Rp100.000.000,00 + (Rp100.000.000,00 x 2%) = Rp102.000.000,00.
Jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang bulan ke-2 = Rp100.000.000,00 + ((Rp102.000.000,00 x 2%) + Rp2.000.000,00)) = Rp104.040.000,00.
dst.
Sehingga,
Apabila pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang tanggal 3 Nopember 2008
Maka, Jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang bulan ke-23 = Rp100.000.000,00 + ((Rp157.597.967,08 x 2%) + Rp54.597.967,08)) = Rp157.689.926,42.
Apabila pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang tanggal 3 Desember 2008
Maka, Jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang bulan ke-24 = Rp100.000.000,00 + ((Rp157.689.926,42 x 2%) + Rp57.689.926,42)) = Rp160.843.724,95.
Pasal 6
Ayat (1)
Penyebab kekurangan pembayaran antara lain adalah kesalahan penghitungan tarif, volume, dasar pengenaan tertentu, atau kesalahan administrasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “surat tanda bukti pembayaran yang sah” antara lain fotokopi tanda bukti yang sudah dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang.
Pasal 8
Ayat (1)
Penyebab kelebihan pembayaran antara lain adalah kesalahan penghitungan, tarif, volume, dasar pengenaan tertentu, atau kesalahan administrasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “rekomendasi tertulis” adalah surat menteri teknis yang menjelaskan bahwa pengakhiran kegiatan usaha karena:
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “pertimbangan tertentu”, misalnya Wajib Bayar yang izin usahanya berakhir atau pailit dapat ditolak permohonannya apabila masih mempunyai tunggakan terhadap Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Penghitungan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah kelebihan terhitung sejak tanggal diterbitkannya penetapan.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “data pendukung” antara lain adalah laporan keuangan perusahaan yang meliputi neraca, laporan laba-rugi, dan laporan arus kas (cash flow) yang telah diaudit sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun buku berturut-turut serta data penunjang keuangan lainnya.
Yang dimaksud dengan “dokumen lainnya” antara lain adalah surat keterangan dari instansi yang berwenang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “pertimbangan tertentu” pada ketentuan ini antara lain adalah kondisi keuangan perusahaan atau bencana alam (force majeur).
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Contoh pengangsuran Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang:
Pokok Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang = Rp100.000.000,00.
Berdasarkan ketetapan Instansi Pemerintah, Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang diangsur selama 5 (lima) bulan dan pembayaran dimulai pada tanggal 2 Januari sampai dengan 2 Mei 2008 masing-masing sebesar Rp20.000.000,00 setiap bulan ditambah bunga 2% sebulan dari jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Pemeriksaan dalam ketentuan ini untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan dalam rangka melaksanakan peraturan perundang-undangan tersebut.
Yang dimaksud dengan “instansi yang berwenang” adalah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan dan Badan Pemeriksa Keuangan tetap dapat melaksanakan pengawasan dan pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Untuk dapat melaksanakan kegiatannya secara bertanggung jawab, Bendahara Penerimaan harus diangkat oleh Pimpinan Instansi Pemerintah. Bendahara Penerimaan yang karena jabatannya dan/atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “hal tertentu” misalnya kegiatan sosial, kepentingan keagamaan, kepentingan nasional, hubungan internasional, Wajib Bayar tidak mampu membayar kewajiban Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang karena perusahaan tidak beroperasi lagi, mengalami kerugian yang dibuktikan dengan rekomendasi dari instansi yang berwenang melakukan pemeriksaan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “dokumen” antara lain surat keterangan dari instansi yang berwenang.
Yang dimaksud dengan “data pendukung” antara lain adalah laporan keuangan perusahaan yang meliputi neraca, laporan laba-rugi dan laporan arus kas (cash flow) yang telah diaudit sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun buku berturut-turut, serta data penunjang keuangan lainnya.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “rekomendasi tertulis” adalah surat menteri teknis yang menjelaskan bahwa pemohon secara teknis telah memenuhi kewajiban perusahaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “pertimbangan tertentu” antara lain keabsahan dokumen pendukung dan kondisi keuangan negara.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4995
|