Quick Guide
Hide Quick Guide
    Aktifkan Mode Highlight
    Premium
    File Lampiran
    Peraturan Terkait
    IDN
    ENG
    Fitur Terjemahan
    Premium
    Terjemahan Dokumen
    Ini Belum Tersedia
    Bagikan
    Tambahkan ke My Favorites
    Download as PDF
    Download Document
    Premium
    Status : Berlaku

    PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
    NOMOR 28 TAHUN 2024


    TENTANG

    PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2023 TENTANG KESEHATAN

    DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
    PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Menimbang

    bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 25 ayat (5), Pasal 33 ayat (5), Pasal 36, Pasal 40 ayat (6), Pasal 43 ayat (2), Pasal 49, Pasal 50 ayat (6), Pasal 51 ayat (5), Pasal 52 ayat (5), Pasal 53 ayat (6), Pasal 59, Pasal 62, Pasal 69, Pasal 73, Pasal 85, Pasal 92, Pasal 95, Pasal 96 ayat (6), Pasal 97 ayat (6), Pasal 101, Pasal 107, Pasal 108 ayat (4), Pasal 113, Pasal 122, Pasal 126 ayat (2), Pasal 134, Pasal 136, Pasal 137 ayat (3), Pasal 144, Pasal 145 ayat (4), Pasal 152 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 159, Pasal 164, Pasal 171, Pasal 172 ayat (5), Pasal 175 ayat (2), Pasal 177 ayat (3), Pasal 178 ayat (6), Pasal 179 ayat (2), Pasal 183, Pasal 187 ayat (11), Pasal 196, Pasal 200 ayat (2), Pasal 206, Pasal 226, Pasal 230, Pasal 231 ayat (6), Pasal 233 ayat (2), Pasal 234 ayat (4), Pasal 235 ayat (4), Pasal 236 ayat (2), Pasal 237 ayat (4), Pasal 239, Pasal 240 ayat (2), Pasal 245, Pasal 247, Pasal 257, Pasal 258 ayat (5), Pasal 262, Pasal 266, Pasal 267 ayat (4), Pasal 271, Pasal 272 ayat (5), Pasal 278, Pasal 283 ayat (6), Pasal 285 ayat (3), Pasal 289, Pasal 290 ayat (4), pasal 299, Pasal 301 ayat (3), Pasal 304 ayat (5), Pasal 309, pasal 313 ayat (2), Pasal 314 ayat (7), Pasal 320 ayat (8), pasal 321 ayat (3), Pasal 324 ayat (4), Pasal 330, Pasal 333, pasal 337 ayat (3), Pasal 342 ayat (3), Pasal 344, Pasal 349 ayat (12), Pasal 353 ayat (4), Pasal 355, Pasal 360 ayat (9), pasal 365, Pasal 367, Pasal 368 ayat (3), Pasal 380, Pasal 381 ayat (4), Pasal 388 ayat (3), Pasal 395 ayat (4), Pasal 397 ayat (2), Pasal 398 ayat (2), Pasal 402 ayat (5), Pasal 408, Pasal 417 ayat (4), dan Pasal 423 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, perlu menetapkan Peraturan pemerintah tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan;
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Mengingat

    1.
    Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2.
    Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6887);
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    MEMUTUSKAN:

    Menetapkan

    PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2023 TENTANG KESEHATAN.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB I
    KETENTUAN UMUM
     

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
    1.
    Kesehatan adalah keadaan sehat seseorang, baik secara fisik, jiwa, maupun sosial dan bukan sekadar terbebas dari penyakit untuk memungkinkannya hidup produktif.
    2.
    Upaya Kesehatan adalah segala bentuk kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat Kesehatan masyarakat dalam bentuk promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
    3.
    Pelayanan Kesehatan adalah segala bentuk kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan pelayanan yang diberikan secara langsung kepada perseorangan atau masyarakat untuk memelihara dan meningkatkan derajat Kesehatan masyarakat dalam bentuk promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif.
    4.
    Sumber Daya Kesehatan adalah segala sesuatu yang diperlukan untuk menyelenggarakan Upaya Kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
    5.
    Sumber Daya Manusia Kesehatan adalah seseorang yang bekerja secara aktif di bidang Kesehatan, baik yang memiliki pendidikan formal Kesehatan maupun tidak, yang untukjenis tertentu memerlukan kewenangan dalam melakukan Upaya Kesehatan.
    6.
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah tempat dan/atau alat yang digunakan untuk menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan kepada perseorangan ataupun masyarakat dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.
    7.
    Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama yang menyelenggarakan dan mengoordinasikan Pelayanan Kesehatan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif dengan mengutamakan promotif dan preventif di wilayah kerjanya.
    8.
    Rumah Sakit adalah Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan perseorangan secara paripurna melalui Pelayanan Kesehatan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif dengan menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.
    9.
    Rumah Sakit Pendidikan Penyelenggara Utama yang selanjutnya disingkat RSPPU adalah Rumah Sakit pendidikan yang menjadi penyelenggara utama pendidikan tinggi tenaga medis dan tenaga kesehatan spesialis dan subspesialis.
    10.
    Perbekalan Kesehatan adalah semua bahan dan peralatan yang diperlukan untuk menyelenggarakan Upaya Kesehatan.
    11.
    Sediaan Farmasi adalah obat, bahan obat, obat bahan alam, termasuk bahan obat bahan alam, kosmetik, suplemen Kesehatan, dan obat kuasi.
    12.
    Alat Kesehatan adalah instrumen, aparatus, mesin, peralatan, implan, reagen dan kalibrator in vitro, perangkat lunak, serta material atau sejenisnya yang digunakan pada manusia untuk tujuan medis dan tidak mencapai kerja utama melalui proses farmakologi, imunologi, atau metabolisme.
    13.
    Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga yang selanjutnya disingkat PKRT adalah alat, bahan, dan/atau campuran bahan untuk pemeliharaan dan perawatan yang berdampak pada Kesehatan manusia yang ditujukan pada penggunaan di rumah tangga dan fasilitas umum.
    14.
    Obat adalah bahan, paduan bahan, termasuk produk biologi, yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan Kesehatan, dan kontrasepsi untuk manusia.
    15.
    Bahan Obat adalah bahan yang berkhasiat atau tidak berkhasiat yang digunakan dalam pengolahan Obat dengan standar dan mutu sebagai bahan farmasi.
    16.
    Obat Bahan Alam adalah bahan, ramuan bahan, atau produk yang berasal dari sumber daya alam berupa tumbuhan, hewan, jasad renik, mineral, atau bahan lain dari sumber daya alam, atau campuran dari bahan tersebut yang telah digunakan secara turun temurun, atau sudah dibuktikan berkhasiat, aman, dan bermutu, digunakan untuk pemeliharaan Kesehatan, peningkatan Kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan, dan/atau pemulihan Kesehatan berdasarkan pembuktian secara empiris dan/atau ilmiah.
    17.
    Obat Kuasi adalah bahan atau sediaan yang mengandung bahan aktif dengan efek farmakologi yang bersifat nonsistemik atau lokal dan untuk mengatasi keluhan ringan.
    18.
    Suplemen Kesehatan adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk melengkapi kebutuhan zat gizi, memelihara, meningkatkan, dan/atau memperbaiki fungsi Kesehatan, mempunyai nilai gizi dan/atau efek fisiologis, mengandung satu atau lebih bahan berupa vitamin, mineral, asam amino, dan/atau bahan lain bukan tumbuhan yang dapat dikombinasi dengan tumbuhan.
    19.
    Kosmetik adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia seperti epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ genital bagian luar, atau gigi dan membran mukosa mulut, terutama untuk membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan dan/atau memperbaiki bau badan, atau melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik.
    20.
    Farmakovigilans adalah seluruh kegiatan pendeteksian, penilaian, pemahaman, komunikasi, pengendalian dan pencegahan efek samping atau masalah lainnya terkait dengan penggunaan Obat, Obat Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Kosmetik, dan Obat Kuasi.
    21.
    Vigilans adalah seluruh kegiatan tentang pendeteksian, penilaian, pemahaman, komunikasi, pengendalian, dan pencegahan efek samping atau masalah lainnya terkait dengan penggunaan Alat Kesehatan dan PKRT.
    22.
    Teknologi Kesehatan adalah segala bentuk alat, produk, dan/atau metode yang ditujukan untuk membantu menegakkan diagnosis, pencegahan, dan penanganan permasalahan Kesehatan manusia.
    23.
    Sistem Informasi Kesehatan adalah sistem yang mengintegrasikan berbagai tahapan pemrosesan, pelaporan, dan penggunaan informasi yang diperlukan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan Kesehatan serta mengarahkan tindakan atau keputusan yang berguna dalam mendukung pembangunan Kesehatan.
    24.
    Sistem Informasi Kesehatan Nasional adalah Sistem Informasi Kesehatan yang dikelola oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan yang mengintegrasikan dan menstandardisasi seluruh Sistem Informasi Kesehatan dalam mendukung pembangunan Kesehatan.
    25.
    Data Kesehatan adalah angka dan fakta kejadian berupa keterangan dan tanda-tanda yang secara relatif belum bermakna bagi pembangunan Kesehatan.
    26.
    Informasi Kesehatan adalah Data Kesehatan yang telah diolah atau diproses menjadi bentuk yang mengandung nilai dan makna yang berguna untuk meningkatkan pengetahuan dalam mendukung pembangunan Kesehatan.
    27.
    Telekesehatan adalah pemberian dan fasilitasi layanan Kesehatan, termasuk Kesehatan masyarakat, layanan Informasi Kesehatan, dan layanan mandiri, melalui telekomunikasi dan teknologi komunikasi digital.
    28.
    Telemedisin adalah pemberian dan fasilitasi layanan klinis melalui telekomunikasi dan teknologi komunikasi digital.
    29.
    Gawat Darurat adalah keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis dan/atau psikologis segera guna penyelamatan nyawa dan pencegahan kedisabilitasan.
    30.
    Registrasi adalah pencatatan resmi tenaga medis dan tenaga kesehatan yang telah memiliki sertifikat kompetensi dan/atau sertifikat profesi.
    31.
    Surat Tanda Registrasi yang selanjutnya disingkat STR adalah bukti tertulis yang diberikan kepada tenaga medis dan tenaga kesehatan yang telah diregistrasi.
    32.
    Surat Izin Praktik yang selanjutnya disingkat SIP adalah bukti tertulis yang diberikan kepada tenaga medis dan tenaga kesehatan sebagai pemberian kewenangan untuk menjalankan praktik.
    33.
    Sertifikat Kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap kompetensi tenaga medis dan tenaga kesehatan yang telah lulus uji kompetensi untuk dapat menjalankan praktik di seluruh Indonesia.
    34.
    Sertifikat Profesi adalah surat tanda pengakuan untuk melakukan praktik profesi yang diperoleh lulusan pendidikan profesi.
    35.
    Wabah Penyakit Menular yang selanjutnya disebut Wabah adalah meningkatnya kejadian luar biasa penyakit menular yang ditandai dengan jumlah kasus dan/atau kematian meningkat dan menyebar secara cepat dalam skala luas.
    36.
    Kewaspadaan Wabah adalah serangkaian kegiatan sebagai sikap tanggap menghadapi kemungkinan terjadinya Wabah.
    37.
    Kejadian Luar Biasa yang selanjutnya disingkat KLB adalah meningkatnya kejadian, kesakitan, kematian, dan/atau kedisabilitasan akibat penyakit dan masalah Kesehatan yang bermakna secara epidemiologis di suatu daerah pada kurun waktu tertentu.
    38.
    Pintu Masuk Negara yang selanjutnya disebut Pintu Masuk adalah tempat masuk dan keluarnya alat angkut, orang, dan/atau barang dari dan ke luar negeri, baik berbentuk pelabuhan, bandar udara, maupun pos lintas batas negara.
    39.
    Daerah Terjangkit adalah daerah yang secara epidemiologis terdapat penyebaran penyakit dan/atau faktor risiko penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah.
    40.
    Dokumen Karantina Kesehatan adalah surat keterangan Kesehatan yang dimiliki setiap alat angkut, orang, dan barang yang memenuhi persyaratan, baik nasional maupun internasional.
    41.
    Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
    42.
    Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
    43.
    Konsil adalah lembaga yang melaksanakan tugas secara independen dalam rangka meningkatkan mutu praktik dan kompetensi teknis keprofesian tenaga medis dan tenaga kesehatan serta memberikan pelindungan dan kepastian hukum kepada masyarakat.
    44.
    Kolegium adalah kumpulan ahli dari setiap disiplin ilmu Kesehatan yang mengampu cabang disiplin ilmu tersebut yang menjalankan tugas dan fungsi secara independen dan merupakan alat kelengkapan Konsil.
    45.
    Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
    46.
    Pemerintah Desa adalah kepala desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa.
    47.
    Tenaga Medis adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang Kesehatan serta memiliki sikap profesional, pengetahuan, dan keterampilan melalui pendidikan profesi kedokteran atau kedokteran gigi yang memerlukan kewenangan untuk melakukan Upaya Kesehatan.
    48.
    Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang Kesehatan serta memiliki sikap profesional, pengetahuan, dan keterampilan melalui pendidikan tinggi yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan Upaya Kesehatan.
    49.
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia Lulusan Luar Negeri adalah Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara Indonesia lulusan pendidikan bidang Kesehatan di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    50.
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing Lulusan Dalam Negeri adalah Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara asing lulusan pendidikan bidang Kesehatan di dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    51.
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing Lulusan Luar Negeri adalah Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara asing lulusan pendidikan bidang Kesehatan di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    52.
    Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan adalah setiap orang yang bukan Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang bekerja untuk mendukung atau menunjang penyelenggaraan Upaya Kesehatan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan atau institusi lain bidang Kesehatan.
    53.
    Petugas Karantina Kesehatan adalah Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang memiliki kompetensi dan kewenangan dalam urusan karantina Kesehatan untuk melakukan pengawasan dan tindakan penanggulangan penyakit dan/atau faktor risiko penyebab penyakit atas alat angkut, orang, barang, dan/atau lingkungan.
    54.
    Setiap Orang adalah orang perseorangan, termasuk korporasi.
    55.
    Pasien adalah setiap orang yang memperoleh Pelayanan Kesehatan dari Tenaga Medis dan/atau Tenaga Kesehatan.
    56.
    Orang yang Berisiko adalah orang yang mempunyai masalah fisik, mental, sosial, ekonomi, pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga memiliki risiko mengalami gangguan jiwa.
    57.
    Orang dengan Gangguan Jiwa yang selanjutnya disingkat ODGJ adalah orang yang mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk sekumpulan gejala, dan/atau perubahan perilaku bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi sebagai manusia dan terdiagnosis sebagai gangguan jiwa sesuai kriteria diagnosis yang ditetapkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB II
    UPAYA KESEHATAN
     
    Bagian Kesatu
    Umum
     

    Pasal 2

    (1)
    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan Upaya Kesehatan yang bermutu, aman, efisien, merata, dan terjangkau oleh masyarakat.
    (2)
    Upaya Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk mewujudkan derajat Kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat dalam bentuk Upaya Kesehatan perseorangan dan Upaya Kesehatan masyarakat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 3

    (1)
    Upaya Kesehatan perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) merupakan Upaya Kesehatan yang bersifat promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif yang berdampak hanya kepada individu.
    (2)
    Upaya Kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) metupakan Upaya Kesehatan yang bersifat promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif yang berdampak pada masyarakat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 4

    (1)
    Penyelenggaraan Upaya Kesehatan meliputi:
     
    a.
    Kesehatan ibu, bayi dan anak, remaja, dewasa, dan lanjut usia;
     
    b.
    Kesehatan penyandang disabilitas;
     
    c.
    Kesehatan reproduksi;
     
    d.
    keluarga berencana;
     
    e.
    gizi;
     
    f.
    Kesehatan gigi dan mulut;
     
    g.
    Kesehatan penglihatan dan pendengaran;
     
    h.
    Kesehatan jiwa;
     
    i.
    penanggulangan penyakit menular dan penanggulangan penyakit tidak menular;
     
    j.
    Kesehatan keluarga;
     
    k.
    Kesehatan sekolah;
     
    l.
    Kesehatan kerja;
     
    m.
    Kesehatan olahraga;
     
    n.
    Kesehatan lingkungan;
     
    o.
    Kesehatan matra;
     
    p.
    Kesehatan bencana;
     
    q.
    pelayanan darah;
     
    r.
    transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, terapi berbasis sel dan/atau sel punca, serta bedah plastik rekonstruksi dan estetika;
     
    s.
    pengamanan dan penggunaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan PKRT;
     
    t.
    pengamanan makanan dan minuman;
     
    u.
    pengamanan zat adiktif;
     
    v.
    pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum;
     
    w.
    Pelayanan Kesehatan tradisional; dan
     
    x.
    Upaya Kesehatan lainnya.
    (2)
    Upaya Kesehatan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf x ditetapkan oleh Menteri sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan pembangunan bidang Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 5

    Upaya Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dilakukan secara terintegrasi sesuai siklus hidup yang meliputi ibu, bayi dan anak, remaja, dewasa, dan lanjut usia.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Kesehatan Ibu, Bayi dan Anak, Remaja, Dewasa, dan Lanjut Usia
     
    Paragraf 1
    Umum
     

    Pasal 6

    (1)
    Upaya Kesehatan ibu, bayi dan anak, remaja, dewasa, dan lanjut usia diselenggarakan sesuai dengan standar, aman, bermutu, dan terjangkau.
    (2)
    Penyelenggaraan Upaya Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melibatkan partisipasi masyarakat, termasuk peran keluarga.
    (3)
    Upaya Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan tempat penyelenggaraan Upaya Kesehatan bersumber daya masyarakat, satuan pendidikan, tempat kerja, komunitas, dan/atau institusi lain dimana sasaran berada.
    (4)
    Upaya Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan, dan tenaga lain sesuai kompetensi dan kewenangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 7

    Setiap ibu, bayi dan anak, remaja, dewasa, dan lanjut usia berhak memperoleh akses ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Pelayanan Kesehatan yang sesuai dengan standar, aman, bermutu, dan terjangkau.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 8

    Penyelenggaraan Upaya Kesehatan ibu, bayi dan anak, remaja, dewasa, dan lanjut usia harus dilakukan pencatatan dan pelaporan melalui Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem lnformasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Kesehatan Ibu
     

    Pasal 9

    (1)
    Upaya Kesehatan ibu ditujukan untuk melahirkan anak yang sehat, cerdas, dan berkualitas serta menurunkan angka kematian ibu.
    (2)
    Selain tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Upaya Kesehatan ibu juga ditujukan untuk mencapai kehidupan ibu yang sehat dan mencegah kedisabilitasan pada anak.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 10

    (1)
    Upaya Kesehatan ibu dilakukan pada masa sebelum hamil, masa kehamilan, persalinan, dan pascapersalinan.
    (2)
    Upaya Kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui upaya promotif, preventif, kuratif, dan/atau rehabilitatif.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 11

    (1)
    Upaya Kesehatan ibu pada masa sebelum hamil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) meliputi:
     
    a.
    pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi;
     
    b.
    pelayanan konseling;
     
    c.
    pelayanan skrining Kesehatan;
     
    d.
    pemberian imunisasi;
     
    e.
    pemberian suplementasi gizi;
     
    f.
    pelayanan medis;
     
    g.
    keluarga berencana; dan/atau
     
    h.
    Pelayanan Kesehatan lainnya.
    (2)
    Upaya Kesehatan ibu pada masa kehamilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) berupa pelayanan antenatal sesuai standar dan secara terpadu.
    (3)
    Pelayanan antenatal sesuai standar dan secara terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
     
    a.
    pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi;
     
    b.
    pelayanan konseling;
     
    c.
    pelayanan skrining faktor risiko dan komplikasi kehamilan;
     
    d.
    pendampingan ibu hamil dengan risiko tinggi;
     
    e.
    pemberian suplementasi gizi;
     
    f.
    pelayanan medis;
     
    g.
    rujukan pada kasus komplikasi kehamilan; dan
     
    h.
    Pelayanan Kesehatan lainnya.
    (4)
    Upaya Kesehatan ibu pada persalinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) paling sedikit meliputi:
     
    a.
    pencegahan infeksi;
     
    b.
    pemantauan dan deteksi dini faktor risiko dan komplikasi;
     
    c.
    pertolongan persalinan sesuai standar;
     
    d.
    pelaksanaan inisiasi menyusu dini; dan
     
    e.
    tata laksana dan rujukan kasus komplikasi ibu dan bayi baru lahir ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan dengan tepat waktu sesuai dengan mekanisme sistem rujukan.
    (5)
    Upaya Kesehatan ibu pada pascapersalinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) diberikan untuk ibu dan bayi baru lahir.
    (6)
    Upaya Kesehatan ibu pada pascapersalinan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling sedikit berupa:
     
    a.
    pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi;
     
    b.
    pelayanan konseling;
     
    c.
    pelayanan skrining komplikasi;
     
    d.
    tata laksana dan rujukan kasus komplikasi; dan
     
    e.
    pelayanan kontrasepsi.
    (7)
    lbu dan bayi dengan faktor risiko, komplikasi, dan kegawatdaruratan pada masa kehamilan, persalinan, dan pascapersalinan dirujuk ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan dengan tepat waktu sesuai dengan mekanisme sistem rujukan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 12

    (1)
    Upaya Kesehatan ibu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dilakukan oleh Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya.
    (2)
    Upaya Kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibantu oleh Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 13

    Dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan ibu, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab:
    a.
    menyediakan Pelayanan Kesehatan ibu yang sesuai dengan standar, aman, bermutu, dan terjangkau;
    b.
    menginisiasi, memfasilitasi, dan menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam Upaya Kesehatan ibu;
    c.
    menyediakan rujukan nasional dan regional; dan
    d.
    menyediakan tempat tunggu kelahiran dengan memperhatikan akses ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 14

    (1)
    Dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan ibu, keluarga berperan:
     
    a.
    mendukung ibu dalam merencanakan kehamilan;
     
    b.
    memperhatikan Kesehatan ibu;
     
    c.
    memastikan ibu mendapatkan Pelayanan Kesehatan; dan
     
    d.
    mendukung ibu selama masa sebelum hamil, masa kehamilan, persalinan, dan pascapersalinan.
    (2)
    Dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan ibu, masyarakat berperan:
     
    a.
    memantau Kesehatan ibu;
     
    b.
    memberikan dukungan bagi ibu dalam mengakses Fasilitas Pelayanan Kesehatan; dan
     
    c.
    menyelenggarakan Upaya Kesehatan bersumber daya masyarakat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 15

    Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Upaya Kesehatan ibu pada masa sebelum hamil, masa kehamilan, persalinan, dan pascapersalinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dan Pasal 11 diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Kesehatan Bayi dan Anak
     

    Pasal 16

    Upaya Kesehatan bayi dan anak ditujukan untuk menjaga bayi dan anak tumbuh dan berkembang dengan sehat, cerdas, dan berkualitas, serta menurunkan angka kesakitan, kematian, dan kedisabilitasan bayi dan anak.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 17

    (1)
    Upaya Kesehatan bayi dan anak dilakukan sejak masih dalam kandungan, dilahirkan, setelah dilahirkan, sampai sebelum berusia 18 (delapan belas) tahun.
    (2)
    Masa setelah dilahirkan sampai sebelum berusia 18 (delapan belas) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas kelompok sasaran:
     
    a.
    bayi baru lahir;
     
    b.
    bayi, balita, dan prasekolah; dan
     
    c.
    anak usia sekolah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 18

    Upaya Kesehatan bayi dan anak meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif yang dilaksanakan berdasarkan kelompok sasaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 19

    (1)
    Upaya promotif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 meliputi promosi Kesehatan termasuk Kesehatan reproduksi, gizi, pola asuh, stimulasi perkembangan, dan penyediaan lingkungan yang sehat dan aman.
    (2)
    Upaya preventif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 paling sedikit meliputi:
     
    a.
    pelayanan esensial bayi baru lahir;
     
    b.
    imunisasi;
     
    c.
    skrining Kesehatan;
     
    d.
    pemantauan pertumbuhan dan perkembangan; dan
     
    e.
    surveilans kelainan bawaan/kongenital.
    (3)
    Skrining Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c bertujuan mendeteksi secara dini kelainan bawaan dan masalah Kesehatan untuk dapat dilakukan intervensi dini dalam rangka mencegah kesakitan, kematian, dan kedisabilitasan.
    (4)
    Skrining Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) termasuk skrining bayi baru lahir dan skrining Kesehatan lainnya.
    (5)
    Upaya kuratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 meliputi tata laksana dan rujukan sesuai kondisi Kesehatan untuk mengurangi faktor risiko, mengobati penyakit, mencegah atau mengurangi penyulit, dan meningkatkan kualitas hidup.
    (6)
    Upaya rehabilitatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 meliputi rehabilitasi dan perawatan jangka panjang pada penyakit kronis, langka, atau disabilitas.
    (7)
    Upaya paliatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 meliputi Pelayanan Kesehatan untuk meningkatkan kualitas hidup pada penyakit yang mengancam kehidupan dan akhir kehidupan.
    (8)
    Upaya Kesehatan bayi dan anak dilakukan dengan memperhatikan keadilan, kesetaraan gender, penjaminan privasi dan kerahasiaan, dan biaya yang terjangkau.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 20

    (1)
    Setiap bayi dan anak berhak terlindungi dan terhindar dari segala bentuk diskriminasi dan tindak kekerasan yang dapat mengganggu Kesehatan bayi dan anak.
    (2)
    Upaya pelindungan bayi dan anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
    (3)
    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan Pelayanan Kesehatan, pelindungan, dan pendampingan hukum akibat perlakuan diskriminasi dan tindak kekerasan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 21

    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab:
    a.
    menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan bayi dan anak yang sesuai standar, aman, bermutu, dan terjangkau;
    b.
    melakukan koordinasi secara berkala dan berkelanjutan dalam pelindungan bayi dan anak;
    c.
    menyediakan serta melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap tempat dan sarana untuk pengasuhan dan bermain anak agar sesuai dengan standar Kesehatan dan keamanan; dan
    d.
    menggerakkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan bayi dan anak.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 22

    (1)
    Dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan bayi dan anak, keluarga berperan:
     
    a.
    memantau Kesehatan bayi dan anak secara mandiri;
     
    b.
    memperhatikan pemenuhan asupan gizi cukup dan seimbang;
     
    c.
    memastikan bayi dan anak mendapatkan Pelayanan Kesehatan; dan
     
    d.
    mendukung pola asuh dan lingkungan yang sehat dan aman.
    (2)
    Dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan bayi dan anak, masyarakat berperan:
     
    a.
    memantau Kesehatan bayi dan anak;
     
    b.
    mendukung kemudahan akses dalam menjangkau pelayanan dan mendapatkan Informasi Kesehatan;
     
    c.
    menciptakan suasana yang kondusif dalam upaya pemenuhan hak bayi dan anak mendapatkan Pelayanan Kesehatan; dan
     
    d.
    menyelenggarakan Upaya Kesehatan bersumber daya masyarakat.
    (3)
    Dalam hal masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa badan usaha, peran atas penyelenggaraan Upaya Kesehatan bayi dan anak dapat dilakukan melalui:
     
    a.
    kerja sama pemenuhan Upaya Kesehatan bayi dan anak dengan Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah; dan
     
    b.
    menjamin Pelayanan Kesehatan bayi dan anak sesuai dengan standar, aman, bermutu, dan terjangkau.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 23

    Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan upaya promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif pada Upaya Kesehatan bayi dan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 19 diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 24

    (1)
    Setiap bayi berhak memperoleh air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan sampai usia 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis.
    (2)
    Pemberian air susu ibu dilanjutkan sampai dengan usia 2 (dua) tahun disertai pemberian makanan pendamping.
    (3)
    Selain atas dasar indikasi medis, pemberian air susu ibu eksklusif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan untuk kondisi ibu tidak ada atau ibu terpisah dari bayi.
    (4)
    Indikasi medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Tenaga Medis sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional.
    (5)
    Dalam hal di daerah tertentu tidak terdapat Tenaga Medis, penentuan indikasi medis dapat dilakukan oleh bidan atau perawat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 25

    Pemberian air susu ibu eksklusif ditujukan untuk:
    a.
    memenuhi kebutuhan bayi dengan zat gizi terbaik untuk tumbuh kembang yang optimal;
    b.
    meningkatkan daya tahan tubuh bayi sehingga dapat mencegah penyakit dan kematian; dan
    c.
    mencegah penyakit tidak menular di usia dewasa.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 26

    (1)
    Setiap ibu melahirkan berhak difasilitasi dan mendapatkan dukungan untuk melakukan inisiasi menyusu dini dan memberikan air susu ibu eksklusif kepada bayi yang dilahirkannya.
    (2)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Tenaga Medis, dan Tenaga Kesehatan wajib menempatkan ibu dan bayi dalam 1 (satu) ruangan atau rawat gabung kecuali atas indikasi medis yang ditetapkan oleh Tenaga Medis.
    (3)
    Penempatan dalam 1 (satu) ruangan atau rawat gabung dimaksudkan untuk memudahkan ibu setiap saat memberikan air susu ibu eksklusif kepada bayi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 27

    (1)
    Dalam hal ibu kandung tidak dapat memberikan air susu ibu eksklusif bagi bayinya karena terdapat indikasi medis, ibu tidak ada, atau ibu terpisah dari bayinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, bayi dapat diberikan air susu ibu dari donor.
    (2)
    Pemberian air susu ibu dari donor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan persyaratan:
     
    a.
    permintaan ibu kandung atau keluarga bayi yang bersangkutan;
     
    b.
    identitas, agama, dan alamat donor air susu ibu diketahui dengan jelas oleh ibu atau keluarga dari bayi penerima air susu ibu;
     
    c.
    persetujuan donor air susu ibu setelah mengetahui identitas bayi yang diberi air susu ibu;
     
    d.
    donor air susu ibu dalam kondisi Kesehatan baik dan tidak mempunyai indikasi medis; dan
     
    e.
    air susu ibu dari donor tidak diperjualbelikan.
    (3)
    Pemberian air susu ibu dari donor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib dilaksanakan berdasarkan norma agama dan mempertimbangkan aspek sosial budaya, mutu, dan keamanan air susu ibu.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian air susu ibu dari donor diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 28

    (1)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Tenaga Medis, dan Tenaga Kesehatan wajib memberikan informasi dan edukasi air susu ibu eksklusif kepada ibu dan/atau anggota keluarga dari bayi sejak pemeriksaan kehamilan sampai dengan periode pemberian air susu ibu eksklusif selesai.
    (2)
    Selain dilakukan oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Tenaga Medis, dan Tenaga Kesehatan, pemberian informasi dan edukasi air susu ibu eksklusif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat dilakukan oleh Upaya Kesehatan bersumber daya masyarakat dan kader Kesehatan.
    (3)
    Pemberian informasi dan edukasi air susu ibu eksklusif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dilakukan melalui penyuluhan, konseling, dan pendampingan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 29

    Dalam hal pemberian air susu ibu eksklusif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan air susu ibu dari donor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 tidak dimungkinkan, bayi dapat diberikan susu formula bayi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 30

    Dalam memberikan susu formula bayi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan wajib memberikan peragaan dan penjelasan atas penggunaan dan penyajian susu formula bayi kepada ibu dan/atau keluarga yang memerlukan susu formula bayi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 31

    (1)
    Setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Upaya Kesehatan bersumber daya masyarakat, Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, dan kader Kesehatan dilarang memberikan susu formula bayi dan/atau produk pengganti air susu ibu lainnya yang dapat menghambat pemberian air susu ibu eksklusif kecuali dalam hal diperuntukkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dan Pasal 27.
    (2)
    Setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Upaya Kesehatan bersumber daya masyarakat, Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, dan kader Kesehatan dilarang menerima dan/atau mempromosikan susu formula bayi dan/atau produk pengganti air susu ibu lainnya.
    (3)
    Setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Upaya Kesehatan bersumber daya masyarakat, Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, dan kader Kesehatan dilarang menyediakan Pelayanan Kesehatan atas biaya dari produsen dan/atau distributor susu formula bayi dan/atau produk pengganti air susu ibu lainnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 32

    (1)
    Dalam hal terjadi bencana atau keadaan kedaruratan, air susu ibu eksklusif serta lanjutan air susu ibu sampai minimal usia 2 (dua) tahun tetap diberikan.
    (2)
    Dalam hal terjadi bencana atau keadaan kedaruratan, penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan dapat menerima bantuan susu formula bayi dan/atau produk pengganti air susu ibu lainnya untuk tujuan kemanusiaan setelah mendapat persetujuan dari kepala dinas kesehatan kabupaten/kota setempat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 33

    Produsen atau distributor susu formula bayi dan/atau produk pengganti air susu ibu lainnya dilarang melakukan kegiatan yang dapat menghambat pemberian air susu ibu eksklusif berupa:
    a.
    pemberian contoh produk susu formula bayi dan/atau produk pengganti air susu ibu lainnya secara cuma-cuma, penawaran kerja sama, atau bentuk apa pun kepada Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Upaya Kesehatan bersumber daya masyarakat, Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, kader Kesehatan, ibu hamil, atau ibu yang baru melahirkan;
    b.
    penawaran atau penjualan langsung susu formula bayi dan/atau produk pengganti air susu ibu lainnya ke rumah;
    c.
    pemberian potongan harga atau tambahan atau sesuatu dalam bentuk apa pun atas pembelian susu formula bayi dan/atau produk pengganti air susu ibu lainnya sebagai daya tarik dari penjual;
    d.
    penggunaan Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, kader Kesehatan, tokoh masyarakat, dan pemengaruh media sosial untuk memberikan informasi mengenai susu formula bayi dan/atau produk pengganti air susu ibu lainnya kepada masyarakat;
    e.
    pengiklanan susu formula bayi dan/atau produk pengganti air susu ibu lainnya dan susu formula lanjutan yang dimuat dalam media massa, baik cetak maupun elektronik, media luar ruang, dan media sosial; dan/atau
    f.
    promosi secara tidak langsung atau promosi silang produk pangan dengan susu formula bayi dan/atau produk pengganti air susu ibu lainnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 34

    (1)
    Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf e dikecualikan jika dilakukan pada media cetak khusus tentang Kesehatan.
    (2)
    Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah memenuhi persyaratan:
     
    a.
    mendapat persetujuan Menteri; dan
     
    b.
    memuat keterangan bahwa susu formula bayi bukan sebagai pengganti air susu ibu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 35

    (1)
    Setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan, satuan pendidikan, organisasi profesi di bidang Kesehatan, serta Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan termasuk keluarganya dilarang menerima hadiah dan/atau bantuan dari produsen atau distributor susu formula bayi dan/atau produk pengganti air susu ibu lainnya yang dapat menghambat keberhasilan pemberian air susu ibu.
    (2)
    Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diterima hanya untuk tujuan membiayai kegiatan pelatihan, penelitian dan pengembangan, pertemuan ilmiah, dan/atau kegiatan lainnya yang sejenis.
    (3)
    Pemberian bantuan untuk tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dengan ketentuan:
     
    a.
    secara terbuka;
     
    b.
    tidak bersifat mengikat;
     
    c.
    hanya melalui Fasilitas Pelayanan Kesehatan, satuan pendidikan, dan/atau organisasi profesi di bidang Kesehatan; dan
     
    d.
    tidak menampilkan logo dan nama produk susu formula bayi dan/atau produk pengganti air susu ibu lainnya pada saat dan selama kegiatan berlangsung yang dapat menghambat pemberian air susu ibu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 36

    (1)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang menerima bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) wajib memberikan pernyataan tertulis kepada atasannya bahwa bantuan tersebut tidak mengikat dan tidak menghambat keberhasilan pemberian air susu ibu.
    (2)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang menerima bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) wajib memberikan pernyataan tertulis kepada Menteri bahwa bantuan tersebut tidak mengikat dan tidak menghambat keberhasilan pemberian air susu ibu.
    (3)
    Satuan pendidikan yang menerima bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) wajib memberikan pernyataan tertulis kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan bahwa bantuan tersebut tidak mengikat dan tidak menghambat keberhasilan pemberian air susu ibu.
    (4)
    Organisasi profesi di bidang Kesehatan yang menerima bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) wajib memberikan pernyataan tertulis kepada Menteri bahwa bantuan tersebut tidak mengikat dan tidak menghambat keberhasilan pemberian air susu ibu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 37

    Dalam hal Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah menerima bantuan dari produsen atau distributor susu formula bayi untuk biaya pelatihan, penelitian dan pengembangan, pertemuan ilmiah, dan/atau kegiatan lainnya yang sejenis, penggunaannya harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 38

    (1)
    Setiap produsen atau distributor susu formula bayi dan/atau produk pengganti air susu ibu lainnya dilarang memberikan hadiah dan/atau bantuan kepada Fasilitas Pelayanan Kesehatan, satuan pendidikan, organisasi profesi di bidang Kesehatan, serta Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan termasuk keluarganya yang dapat menghambat keberhasilan pemberian air susu ibu, kecuali diberikan untuk tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2).
    (2)
    Setiap produsen atau distributor susu formula bayi dan/atau produk pengganti air susu ibu lainnya yang melakukan pemberian bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan laporan kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
    (3)
    Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat:
     
    a.
    nama penerima dan pemberi bantuan;
     
    b.
    tujuan diberikan bantuan;
     
    c.
    jumlah dan jenis bantuan; dan
     
    d.
    jangka waktu pemberian bantuan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 39

    (1)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan, satuan pendidikan, dan/atau organisasi profesi di bidang Kesehatan yang menerima bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) huruf c wajib memberikan laporan kepada Menteri, menteri/pimpinan lembaga terkait, gubernur, bupati/wali kota, atau pejabat yang ditunjuk.
    (2)
    Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
     
    a.
    nama pemberi dan penerima bantuan;
     
    b.
    tujuan diberikan bantuan;
     
    c.
    jumlah dan jenis bantuan; dan
     
    d.
    jangka waktu pemberian bantuan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 40

    Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan Pasal 39 disampaikan paling singkat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan bantuan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 41

    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan susu formula bayi dan produk pengganti air susu ibu lainnya diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 42

    (1)
    Setiap Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2), Pasal 28 ayat (1), Pasal 30, Pasal 31, Pasal 35 ayat (1), dan Pasal 36 ayat (1) dikenai sanksi administratif oleh pejabat yang berwenang berupa:
     
    a.
    teguran lisan;
     
    b.
    teguran tertulis; dan/atau
     
    c.
    pencabutan izin.
    (2)
    Setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2), Pasal 28 ayat (1), Pasal 31, Pasal 35 ayat (1), Pasal 36 ayat (2), dan Pasal 39 ayat (1) dikenai sanksi administratif oleh pejabat yang berwenang berupa:
     
    a.
    teguran lisan; dan/atau
     
    b.
    teguran tertulis.
    (3)
    Setiap satuan pendidikan dan organisasi profesi di bidang Kesehatan yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (3) dan ayat (4) dan Pasal 39 ayat (1) dikenai sanksi administratif oleh pejabat yang berwenang berupa:
     
    a.
    teguran lisan; dan/atau
     
    b.
    teguran tertulis.
    (4)
    Setiap produsen atau distributor susu formula bayi dan/atau produk pengganti air susu ibu lainnya yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dan Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2) dikenai sanksi administratif oleh pejabat yang berwenang berupa:
     
    a.
    teguran lisan; dan/atau
     
    b.
    teguran tertulis.
    (5)
    Setiap Upaya Kesehatan bersumber daya masyarakat dan kader Kesehatan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 dikenai sanksi administratif oleh pejabat yang berwenang berupa:
     
    a.
    teguran lisan; dan/atau
     
    b.
    teguran tertulis.
    (6)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 43

    (1)
    Pengurus atau pengelola tempat kerja dan penyelenggara tempat fasilitas umum harus mendorong dan memfasilitasi pemberian air susu ibu eksklusif melalui kebijakan yang mendukung program air susu ibu eksklusif.
    (2)
    Ketentuan mengenai dukungan program pemberian air susu ibu eksklusif di tempat kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau melalui perjanjian kerja bersama.
    (3)
    Pengurus atau pengelola tempat kerja dan penyelenggara tempat fasilitas umum wajib membuat peraturan internal/perusahaan yang mendukung keberhasilan pemberian air susu ibu eksklusif.
    (4)
    Pengurus atau pengelola tempat kerja dan penyelenggara tempat fasilitas umum harus menyediakan fasilitas khusus untuk menyusui dan/atau memerah air susu ibu sesuai dengan kondisi kemampuan perusahaan.
    (5)
    Selain penyediaan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pengurus atau pengelola tempat kerja juga wajib memberikan kesempatan kepada ibu yang bekerja untuk memberikan air susu ibu eksklusif kepada bayi atau memerah air susu ibu selama waktu kerja di tempat kerja.
    (6)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyediaan fasilitas khusus menyusui dan/atau memerah air susu ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 44

    Setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus mendukung keberhasilan pemberian air susu ibu eksklusif.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 45

    Setiap pengurus atau pengelola ternpat kerja dan/atau penyelenggara ternpat fasilitas umum yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 46

    (1)
    Masyarakat harus mendukung keberhasilan pemberian air susu ibu eksklusif baik secara perseorangan, kelompok, maupun organisasi.
    (2)
    Dukungan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:
     
    a.
    pemberian sumbangan pemikiran terkait dengan penentuan kebijakan dan/atau pelaksanaan pemberian air susu ibu eksklusif;
     
    b.
    penyebarluasan informasi kepada masyarakat luas terkait dengan pemberian air susu ibu eksklusif;
     
    c.
    pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program pemberian air susu ibu eksklusif; dan/atau
     
    d.
    penyediaan waktu dan tempat bagi ibu dalam pemberian air susu ibu eksklusif.
    (3)
    Dukungan pemberian air susu ibu eksklusif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk dukungan dari keluarga terutama ayah.
    (4)
    Dukungan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 47

    (1)
    Menteri, menteri/pimpinan lembaga terkait, gubernur, dan bupati/wali kota melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pemberian air susu ibu eksklusif sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing.
    (2)
    Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk:
     
    a.
    meningkatkan peran Sumber Daya Manusia Kesehatan, Fasilitas Pelayanan Kesehatan, dan satuan pendidikan dalam mendukung keberhasilan pemberian air susu ibu eksklusif;
     
    b.
    meningkatkan peran dan dukungan keluarga dan masyarakat untuk keberhasilan pemberian air susu ibu eksklusif; dan
     
    c.
    meningkatkan peran dan dukungan pengurus atau pengelola tempat kerja dan penyelenggara tempat fasilitas umum untuk keberhasilan pemberian air susu ibu eksklusif.
    (3)
    Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:
     
    a.
    advokasi dan sosialisasi peningkatan pemberian air susu ibu eksklusif;
     
    b.
    pelatihan dan peningkatan kualitas Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, dan tenaga terlatih; dan/atau
     
    c.
    pemantauan dan evaluasi.
    (4)
    Menteri, menteri/pimpinan lembaga terkait, gubernur, dan bupati/wali kota dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat mengikutsertakan masyarakat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 48

    (1)
    Pengawasan terhadap produsen atau distributor susu formula bayi dan/atau produk pengganti air susu ibu lainnya yang melakukan kegiatan pengiklanan yang dimuat dalam media massa, baik cetak maupun elektronik, dan media luar ruang dilaksanakan oleh lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan, Menteri, gubernur, dan bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya.
    (2)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan terhadap produsen atau distributor susu formula bayi dan/atau produk pengganti air susu ibu lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan dan Peraturan Menteri sesuai dengan kewenangannya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Kesehatan Remaja
     

    Pasal 49

    Upaya Kesehatan remaja ditujukan untuk mempersiapkan remaja menjadi orang dewasa yang sehat, cerdas, berkualitas, dan produktif.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 50

    (1)
    Upaya Kesehatan remaja dilakukan melalui upaya promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif.
    (2)
    Upaya promotif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
     
    a.
    gizi seimbang;
     
    b.
    gaya hidup sehat;
     
    c.
    perkembangan psikososial positif;
     
    d.
    Kesehatan reproduksi; dan
     
    e.
    akses layanan Kesehatan.
    (3)
    Upaya preventif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    imunisasi;
     
    b.
    skrining Kesehatan untuk deteksi dini penyakit;
     
    c.
    pemberian suplementasi gizi; dan
     
    d.
    pencegahan lainnya.
    (4)
    Upaya kuratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tata laksana dan rujukan sesuai kondisi Kesehatan untuk mengurangi faktor risiko, mengobati penyakit, mencegah atau mengurangi penyulit, dan meningkatkan kualitas hidup.
    (5)
    Upaya rehabilitatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi rehabilitasi dan perawatan jangka panjang pada penyakit kronis, langka, atau disabilitas.
    (6)
    Upaya paliatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Pelayanan Kesehatan untuk meningkatkan kualitas hidup pada penyakit yang mengancam kehidupan dan akhir kehidupan.
    (7)
    Upaya Kesehatan remaja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selain ditujukan kepada remaja juga ditujukan kepada orang tua atau pengasuh.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 51

    (1)
    Setiap remaja berhak untuk berpartisipasi aktif dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan remaja.
    (2)
    Partisipasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui keikutsertaan remaja secara aktif dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi penyelenggaraan Upaya Kesehatan remaja serta pemberdayaan konselor remaja dan/atau kader Kesehatan remaja.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 52

    Penyelenggaraan Upaya Kesehatan remaja dilakukan tanpa diskriminasi, memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender, menjamin privasi dan kerahasiaan, mempromosikan kemandirian remaja, serta menjamin akses dan biaya yang terjangkau.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 53

    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggungjawab:
    a.
    menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan remaja yang sesuai dengan standar, aman, bermutu, dan terjangkau; dan
    b.
    menggerakkan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan remaja.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 54

    (1)
    Dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan remaja, keluarga berperan memberikan dukungan dalam pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan, dan pelindungan kepada remaja.
    (2)
    Dukungan keluarga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan agar:
     
    a.
    remaja dapat tumbuh sehat dan bebas dari kekerasan dan diskriminasi sesuai degan kemampuan, minat, dan bakatnya;
     
    b.
    mencegah perkawinan anak; dan
     
    c.
    memfasilitasi remaja mendapatkan Pelayanan Kesehatan sesuai dengan standar.
    (3)
    Dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan remaja, masyarakat berperan:
     
    a.
    melakukan pemantauan penyelenggaraan Kesehatan remaja oleh pemerintah;
     
    b.
    mendukung akses remaja ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Pelayanan Kesehatan;
     
    c.
    mendukung dan memberdayakan kelompok remaja;
     
    d.
    menyelenggarakan Upaya Kesehatan remaja berbasis masyarakat; dan
     
    e.
    mendukung perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan pengawasan Kesehatan remaja.
    (4)
    Masyarakat berupa kelompok remaja dapat berperan:
     
    a.
    memberikan komunikasi, informasi, dan edukasi kepada teman sebaya;
     
    b.
    aktif dalam kegiatan masyarakat; dan
     
    c.
    mengembangkan aktifitas positif sesuai hobi yang bebas dari kekerasan dan diskriminasi.
    (5)
    Masyarakat berupa badan usaha dapat berperan:
     
    a.
    keterlibatan dalam pelaksanaan, pemantauan, dan pengawasan Upaya Kesehatan remaja yang bebas dari kekerasan dan diskriminasi;
     
    b.
    memberikan bantuan Sumber Daya Kesehatan;
     
    c.
    memberikan dukungan kegiatan penelitian dan pengembangan Kesehatan remaja;
     
    d.
    memberikan bimbingan dan penyuluhan serta penyebarluasan informasi; dan
     
    e.
    membentuk wadah peningkatan peran serta remaja di sekolah, kelompok remaja, dan masyarakat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 55

    Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan upaya promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif pada Upaya Kesehatan remaja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Kesehatan Dewasa
     

    Pasal 56

    Upaya Kesehatan dewasa ditujukan untuk menjaga agar seseorang tetap hidup sehat dan produktif.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 57

    Upaya Kesehatan dewasa dilakukan pada kelompok usia 18 (delapan belas) tahun sampai dengan usia 59 (lima puluh sembilan) tahun.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 58

    (1)
    Upaya Kesehatan dewasa dilakukan melalui upaya promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif.
    (2)
    Upaya promotif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
     
    a.
    gizi seimbang;
     
    b.
    gaya hidup sehat;
     
    c.
    Kesehatan jiwa;
     
    d.
    Kesehatan reproduksi;
     
    e.
    kehidupan sosial yang sehat;
     
    f.
    aktivitas fisik;
     
    g.
    konseling; dan
     
    h.
    akses Pelayanan Kesehatan.
    (3)
    Upaya preventif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    imunisasi;
     
    b.
    skrining Kesehatan untuk deteksi dini penyakit;
     
    c.
    pelayanan kontrasepsi; dan
     
    d.
    pencegahan lainnya.
    (4)
    Upaya kuratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tata laksana dan rujukan sesuai kondisi Kesehatan untuk mengurangi faktor risiko, mengobati penyakit, mencegah atau mengurangi penyulit, dan meningkatkan kualitas hidup.
    (5)
    Upaya rehabilitatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi rehabilitasi dan perawatan jangka panjang pada penyakit kronis, langka, atau disabilitas.
    (6)
    Upaya paliatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Pelayanan Kesehatan untuk meningkatkan kualitas hidup pada penyakit yang mengancam kehidupan dan akhir kehidupan.
    (7)
    Upaya Kesehatan dewasa dilakukan dengan memperhatikan keadilan, kesetaraan gender, penjaminan privasi dan kerahasiaan, dan biaya yang terjangkau.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 59

    (1)
    Pemerintah Pusat bertanggung jawab atas penyelenggaraan Upaya Kesehatan dewasa meliputi:
     
    a.
    penyusunan kebijakan dalam lingkup nasional dan lintas provinsi;
     
    b.
    penyelenggaraan Upaya Kesehatan dewasa yang sesuai dengan standar, aman, bermutu, dan terjangkau;
     
    c.
    pembinaan dan evaluasi manajemen program yang meliputi aspek perencanaan, implementasi, pemantauan, dan evaluasi dalam lingkup nasional dan lintas provinsi;
     
    d.
    pembinaan sistem rujukan, sistem informasi, dan sistem surveilans dalam lingkup nasional dan lintas provinsi; dan
     
    e.
    penyediaan serta koordinasi dan advokasi dukungan Sumber Daya Kesehatan di lingkup nasional dan lintas provinsi.
    (2)
    Pemerintah Daerah provinsi bertanggung jawab atas penyelenggaraan Upaya Kesehatan dewasa meliputi:
     
    a.
    penyelenggaraan Upaya Kesehatan dewasa yang sesuai dengan standar, aman, bermutu, dan terjangkau;
     
    b.
    penyelenggaraan dan fasilitasi pelayanan, program, bimbingan, dan koordinasi dalam lingkup provinsi dan lintas kabupaten/kota dalam provinsi;
     
    c.
    pembinaan dan evaluasi manajemen program meliputi aspek perencanaan, implementasi, pemantauan, dan evaluasi dalam lingkup provinsi dan lintas kabupaten/kota;
     
    d.
    pengelolaan, koordinasi dan pembinaan sistem rujukan, sistem informasi, dan sistem surveilans dalam lingkup provinsi dan lintas kabupaten/kota;
     
    e.
    pemetaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan; dan
     
    f.
    penyediaan serta koordinasi dan advokasi dukungan Sumber Daya Kesehatan di lingkup provinsi dan lintas kabupaten/kota.
    (3)
    Pemerintah Daerah kabupaten/kota bertanggung jawab atas penyelenggaraan Upaya Kesehatan dewasa meliputi:
     
    a.
    penyelenggaraan Upaya Kesehatan dewasa yang sesuai dengan standar, aman, bermutu, dan terjangkau;
     
    b.
    penyelenggaraan dan fasilitasi Pelayanan Kesehatan primer dan lanjutan;
     
    c.
    penyelenggaraan manajemen program meliputi aspek perencanaan, implementasi, pemantauan, dan evaluasi dalam lingkup kabupaten/kota;
     
    d.
    penyelenggaraan sistem rujukan, sistem informasi, dan sistem surveilans dalam lingkup kabupaten/kota;
     
    e.
    pemetaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama dan tingkat lanjut; dan
     
    f.
    penyediaan serta koordinasi dan advokasi dukungan Sumber Daya Kesehatan di lingkup kabupaten/kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 60

    Dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan dewasa, masyarakat berperan mendukung perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi Upaya Kesehatan dewasa.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 61

    Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan upaya promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif pada Upaya Kesehatan dewasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Kesehatan Lanjut Usia
     

    Pasal 62

    Upaya Kesehatan lanjut usia ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat, berkualitas, dan produktif sesuai dengan martabat kemanusiaan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 63

    Upaya Kesehatan lanjut usia dilakukan sejak seseorang berusia 60 (enam puluh) tahun atau usia lain yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 64

    Upaya Kesehatan lanjut usia dilakukan melalui upaya promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 65

    (1)
    Upaya Kesehatan lanjut usia yang bersifat promotif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64, berupa fasilitasi lanjut usia paling sedikit meliputi:
     
    a.
    menjaga kebersihan diri;
     
    b.
    mengonsumsi gizi seimbang;
     
    c.
    melakukan aktivitas fisik secara rutin;
     
    d.
    memiliki kehidupan sosial;
     
    e.
    memiliki kesempatan berkarya; dan
     
    f.
    memiliki lingkungan yang ramah lanjut usia.
    (2)
    Fasilitasi lanjut usia untuk dapat menjaga kebersihan diri dan mengonsumsi gizi seimbang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilakukan melalui pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi yang mudah diakses kepada lanjut usia, keluarganya, pendamping, dan masyarakat.
    (3)
    Dalam hal lanjut usia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hidup sendiri atau terlantar, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan bantuan sosial untuk mencukupi kebutuhan konsumsi gizi seimbang dan kebutuhan lainnya yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Fasilitasi lanjut usia untuk dapat melakukan aktivitas fisik secara rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan melalui kegiatan yang ada di Puskesmas, Puskesmas pembantu, pos pelayanan terpadu, atau unit Pelayanan Kesehatan di tingkat desa/kelurahan.
    (5)
    Fasilitasi lanjut usia untuk dapat memiliki kehidupan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan melalui kegiatan secara berkala di Puskesmas, Puskesmas pembantu, pos pelayanan terpadu, unit Pelayanan Kesehatan di tingkat desa/kelurahan, atau fasilitas lainnya yang ada di masyarakat.
    (6)
    Fasilitasi lanjut usia untuk dapat memiliki kesempatan berkarya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dilakukan melalui kebijakan afirmasi pemberian kesempatan kerja kepada lanjut usia sesuai kemampuannya dan fasilitas lingkungan kerja ramah lanjut usia.
    (7)
    Fasilitasi lanjut usia untuk dapat memiliki lingkungan yang ramah lanjut usia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dilakukan paling sedikit melalui penyediaan:
     
    a.
    jalur khusus pejalan kaki dan sarana bagi lanjut usia berkebutuhan khusus;
     
    b.
    taman dan sarana olahraga;
     
    c.
    transportasi umum ramah lanjut usia;
     
    d.
    rumah atau perumahan ramah lanjut usia; dan/atau
     
    e.
    fasilitas publik lainnya yang ramah lanjut usia.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 66

    (1)
    Upaya Kesehatan lanjut usia yang bersifat preventif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 berupa:
     
    a.
    pencegahan penyakit; dan
     
    b.
    deteksi dini termasuk skrining.
    (2)
    Skrining sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
     
    a.
    skrining tingkat kemandirian untuk mengetahui kebutuhan pendampingan atau bantuan bagi lanjut usia dalam memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari akibat ketidakmampuan fisik, mental, dan/atau intelektual; dan/atau
     
    b.
    skrining Kesehatan terrnasuk status gizi, penyakit menular, penyakit tidak menular, dan Kesehatan jiwa.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 67

    (1)
    Upaya Kesehatan lanjut usia yang bersifat kuratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 diberikan sesuai kondisi medis dan hasil skrining tingkat kemandirian dan skrining Kesehatan.
    (2)
    Dalam hal hasil skrining tingkat kemandirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan status mandiri, lanjut usia dijaga agar tetap sehat dan produktif.
    (3)
    Dalam hal hasil skrining tingkat kemandirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan status ketergantungan ringan, lanjut usia diberikan tata laksana sesuai kondisi ketergantungan yang dimiliki agar dapat melakukan aktivitas sehari-hari.
    (4)
    Dalam hal hasil skrining tingkat kemandirian menunjukkan status ketergantungan sedang, berat, dan total, lanjut usia diberikan tata laksana sesuai kondisi ketergantungan yang dimiliki dan perlu dibantu oleh pendamping agar terpenuhi kebutuhan dasar sehari-hari.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 68

    Upaya Kesehatan lanjut usia yang bersifat rehabilitatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 diberikan dalam bentuk pelayanan rehabilitasi sebagai lanjutan dari pelayanan kuratif untuk pemulihan Kesehatan lanjut usia.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 69

    Upaya Kesehatan lanjut usia yang bersifat paliatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 meliputi Pelayanan Kesehatan yang diberikan kepada lanjut usia dengan penyakit terminal untuk mengurangi keluhan yang diderita agar dapat menjalani akhir kehidupan yang bermartabat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 70

    Upaya Kesehatan lanjut usia diselenggarakan melalui penyediaan akses atas Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Pelayanan Kesehatan lanjut usia serta partisipasi masyarakat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 71

    Pelayanan Kesehatan lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 diselenggarakan melalui:
    a.
    pelayanan lanjut usia di Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
    b.
    perawatan jangka panjang di Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama, Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut, rumah perawatan, fasilitas pelayanan di luar Fasilitas Pelayanan Kesehatan, dan di keluarga; dan
    c.
    Pelayanan Kesehatan berbasis masyarakat meliputi promosi dan skrining Kesehatan secara proaktif dengan melibatkan keluarga dan mengutamakan partisipasi masyarakat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 72

    (1)
    Pelayanan lanjut usia di Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf a diberikan melalui:
     
    a.
    penyediaan sarana yang aman dan mudah diakses;
     
    b.
    pemberian prioritas antrean kepada lanjut usia; dan
     
    c.
    pemberian pelayanan secara terpadu dalam satu tempat.
    (2)
    Pelayanan lanjut usia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara proaktif untuk menjangkau sebanyak mungkin sasaran lanjut usia termasuk melalui kunjungan rumah, Telekesehatan, dan Telemedisin.
    (3)
    Pelayanan lanjut usia di Fasilitas Pelayanan Kesehatan diberikan oleh Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, dan Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan terlatih sesuai dengan kompetensi dan kewenangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 73

    (1)
    Perawatan jangka panjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf b merupakan pelayanan pada lanjut usia yang memerlukan pendampingan dan bantuan dalam memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari akibat ketidakmampuan fisik, mental, dan/atau intelektual.
    (2)
    Perawatan jangka panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    perawatan umum dan perawatan khusus sesuai masalah yang dialami oleh lanjut usia;
     
    b.
    pemenuhan gizi;
     
    c.
    pertolongan pertama dalam kondisi Gawat Darurat;
     
    d.
    penanganan gangguan perilaku dengan demensia; dan
     
    e.
    pengelolaan stres dan gangguan lainnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 74

    (1)
    Perawatan jangka panjang di Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf b berupa kunjungan rumah dan pelayanan perawatan di rumah.
    (2)
    Perawatan jangka panjang di Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf b merupakan pelayanan yang berkesinambungan dari rujukan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama dan/atau pascaperawatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut.
    (3)
    Perawatan jangka panjang di Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, dan Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan terlatih sesuai dengan kompetensi dan kewenangan.
    (4)
    Perawatan jangka panjang di rumah perawatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf b dilakukan oleh Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, dan Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan terlatih sesuai dengan kompetensi dan kewenangan mencakup layanan keperawatan, rehabilitasi, paliatif, dan/atau kebutuhan Kesehatan lainnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 75

    (1)
    Perawatan jangka panjang di fasilitas pelayanan di luar Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 hurufb diselenggarakan di panti sosial dan lembaga sosial lainnya.
    (2)
    Perawatan jangka panjang di panti sosial dan lembaga sosial lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi:
     
    a.
    aspek asuhan klinis berupa perencanaan asuhan, pelayanan medis, tata laksana nyeri, pencegahan jatuh dan mobilisasi, dan penyediaan makanan;
     
    b.
    aspek asuhan sosial berupa upaya peningkatan harga diri, asuhan Kesehatan mental dan psikososial, lingkungan tempat tinggal termasuk sarana dan prasarana ramah lanjut usia; dan
     
    c.
    aspek pengelolaan dan organisasi yang baik berupa peningkatan kapasitas petugas, pengelolaan sumber daya, dan kesiapsiagaan dalam kondisi darurat.
    (3)
    Perawatan jangka panjang di panti sosial dan lembaga sosial lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, dan/atau Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan terlatih sesuai dengan kompetensi dan kewenangan.
    (4)
    Panti sosial dan lembaga sosial lainnya dalam menyelenggarakan perawatan jangka panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) harus berkoordinasi dengan Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
    (5)
    Penyelenggaraan perawatan jangka panjang di panti sosial dan lembaga sosial lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapatkan izin dari Pemerintah Daerah setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 76

    Perawatan jangka panjang di keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf b dilakukan oleh anggota keluarga dengan pemantauan dari Tenaga Medis dan/atau Tenaga Kesehatan setempat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 77

    Pendanaan perawatan jangka panjang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 dapat ditanggung Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 78

    Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan lanjut usia di luar Fasilitas Pelayanan Kesehatan mengacu pada standar pelayanan yang ditetapkan oleh Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 79

    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas penyelenggaraan Upaya Kesehatan lanjut usia meliputi:
    a.
    penyelenggaraan Upaya Kesehatan lanjut usia yang sesuai dengan standar, aman, bermutu, dan terjangkau; dan
    b.
    penyediaan Sumber Daya Kesehatan secara merata dan terjangkau.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 80

    (1)
    Dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan lanjut usia, keluarga berperan untuk berpartisipasi aktif dalam menjaga Kesehatan, kebugaran, aktivitas fisik dan stimulasi kognitif, pemenuhan gizi seimbang, dan melakukan pemantauan Kesehatan secara berkala, mendukung kehidupan sosial agar tetap berkarya, serta pendampingan lanjut usia yang membutuhkan perawatan jangka panjang.
    (2)
    Dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan lanjut usia, masyarakat berperan memberikan dukungan terselenggaranya promosi Kesehatan, pemantauan Kesehatan, akses ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan, dan Upaya Kesehatan bersumber daya masyarakat serta memberi kesempatan lanjut usia untuk berkarya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 81

    Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan upaya promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif pada Upaya Kesehatan lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dan Pelayanan Kesehatan lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Kesehatan Penyandang Disabilitas
     

    Pasal 82

    Upaya Kesehatan penyandang disabilitas merupakan segala bentuk kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan untuk mencegah kedisabilitasan dan memelihara serta meningkatkan derajat Kesehatan penyandang disabilitas.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 83

    Upaya Kesehatan penyandang disabilitas ditujukan untuk menjaga agar penyandang disabilitas tetap hidup sehat, produktif, dan bermartabat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 84

    Setiap penyandang disabilitas berhak:
    a.
    memperoleh akses atas Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Pelayanan Kesehatan yang sesuai standar, aman, bermutu, dan terjangkau;
    b.
    memperoleh informasi dan komunikasi yang mudah diakses dan dipahami sesuai ragam disabilitas;
    c.
    memperoleh kesamaan dan kesempatan secara mandiri menentukan Pelayanan Kesehatan yang diperlukan bagi dirinya;
    d.
    memperoleh alat bantu Kesehatan berdasarkan kebutuhannya;
    e.
    memperoleh pelindungan dari kecelakaan akibat kerja, tindak kekerasan, dan perdagangan orang;
    f.
    memperoleh Obat yang bermutu dengan efek samping yang rendah;
    g.
    memperoleh pelindungan dari upaya percobaan medis;
    h.
    memperoleh pelindungan dalam penelitian dan pengembangan Kesehatan yang mengikutsertakan manusia sebagai subjek; dan
    i.
    memperoleh identitas kedisabilitasan, narahubung, dan akses terhadap bantuan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 85

    (1)
    Upaya Kesehatan penyandang disabilitas dilakukan melalui upaya promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif.
    (2)
    Upaya Kesehatan penyandang disabilitas dilakukan sepanjang usia penyandang disabilitas.
    (3)
    Upaya Kesehatan penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan pada seluruh siklus hidup meliputi:
     
    a.
    calon ibu dan ibu hamil;
     
    b.
    anak;
     
    c.
    usia dewasa; dan
     
    d.
    lanjut usia.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 86

    (1)
    Upaya Kesehatan penyandang disabilitas calon ibu dan ibu hamil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (3) huruf a paling sedikit meliputi:
     
    a.
    edukasi Kesehatan untuk menjaga Kesehatan dan menghindari faktor risiko yang dapat menyebabkan anak yang dikandung menyandang disabilitas;
     
    b.
    pemeriksaan Kesehatan calon pengantin dan perencanaan kehamilan bagi pasangan usia subur untuk memastikan Kesehatan fisik dan mental sebelum hamil;
     
    c.
    pelayanan antenatal untuk memantau pertumbuhan dan perkembangan janin;
     
    d.
    deteksi dini faktor risiko dan/atau skrining genetik/kromosom dan/atau skrining infeksi yang dapat menyebabkan kelahiran anak dengan disabilitas;
     
    e.
    pemberian asupan gizi sebelum dan selama kehamilan;
     
    f.
    tata laksana penyakit pada ibu hamil berisiko;
     
    g.
    mendapatkan vaksin sesuai rekomendasi untuk mencegah penyakit yang dapat menyebabkan kelainan janin;
     
    h.
    Pelayanan Kesehatan reproduksi termasuk pelayanan kontrasepsi; dan
     
    i.
    tata laksana dan rujukan dan/atau rehabilitasi serta perawatan jangka panjang bagi calon ibu dan ibu penyandang disabilitas.
    (2)
    Upaya Kesehatan penyandang disabilitas anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (3) huruf b dilakukan terhadap anak yang dideteksi akan mengalami disabilitas atau dilahirkan sebagai penyandang disabilitas paling sedikit meliputi:
     
    a.
    edukasi keluarga/pendamping tentang faktor risiko, kondisi Kesehatan, cara merawat anak penyandang disabilitas, serta informasi tentang sumber daya dan dukungan yang tersedia;
     
    b.
    stimulasi, deteksi, dan intervensi dini gangguan pertumbuhan dan perkembangan secara berkala;
     
    c.
    deteksi dini atau skrining kelainan bawaan, penyakit genetik, dan kondisi lain yang dapat menyebabkan kedisabilitasan;
     
    d.
    terapi dan/atau perawatan intensif serta rehabilitasi;
     
    e.
    Pelayanan Kesehatan reproduksi termasuk edukasi pengenalan dan cara menjaga kebersihan organ reproduksi, cara melindungi diri dengan menolak sentuhan terhadap bagian tubuh yang dilarang disentuh orang lain, serta mampu menolak hubungan seksual;
     
    f.
    konseling dan dukungan untuk orang tua/pendamping dalam melakukan perawatan dan melatih kemandirian anak; dan
     
    g.
    tata laksana dan rujukan dan/atau rehabilitasi serta perawatan jangka panjang bagi anak penyandang disabilitas.
    (3)
    Upaya Kesehatan penyandang disabilitas usia dewasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (3) huruf c paling sedikit meliputi:
     
    a.
    edukasi tentang faktor risiko, pemeliharaan Kesehatan, akses informasi dan Pelayanan Kesehatan;
     
    b.
    akses ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Pelayanan Kesehatan yang mendukung kebutuhan penyandang disabilitas;
     
    c.
    program terapi dan rehabilitasi;
     
    d.
    Pelayanan Kesehatan reproduksi termasuk edukasi perilaku seksual yang sehat, aman dan bertanggung jawab, mampu menolak hubungan seksual yang tidak dikehendaki, perencanaan kehamilan, dan keluarga berencana;
     
    e.
    konseling dan dukungan psikososial bagi penyandang disabilitas dan keluarga/pendamping;
     
    f.
    peningkatan keterampilan agar mandiri, mencapai potensi optimal, dan produktif; dan
     
    g.
    partisipasi dalam kegiatan pendidikan, sosial, dan ekonomi untuk meningkatkan kualitas hidup.
    (4)
    Upaya Kesehatan penyandang disabilitas lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (3) huruf d paling sedikit meliputi:
     
    a.
    edukasi tentang faktor risiko, pemeliharaan Kesehatan, akses informasi dan Pelayanan Kesehatan;
     
    b.
    akses ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Pelayanan Kesehatan yang mendukung kebutuhan penyandang disabilitas;
     
    c.
    program terapi dan rehabilitasi;
     
    d.
    perawatan jangka panjang seperti perawatan rumah atau Pelayanan Kesehatan di fasilitas khusus; dan
     
    e.
    konseling dan dukungan psikososial bagi penyandang disabilitas dan keluarga/pendamping.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 87

    (1)
    Upaya Kesehatan penyandang disabilitas diselenggarakan melalui penyediaan akses atas Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Pelayanan Kesehatan yang inklusif serta sesuai standar menurut ragam disabilitas.
    (2)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan bagi penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi standar berupa:
     
    a.
    standar bangunan dan sarana prasarana;
     
    b.
    standar sumber daya manusia; dan
     
    c.
    standar penyediaan alat bantu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 88

    (1)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan bagi penyandang disabilitas terdiri atas Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama dan jaringannya serta Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut.
    (2)
    Selain pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelayanan Kesehatan penyandang disabilitas dapat diberikan di fasilitas di luar Fasilitas Pelayanan Kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Fasilitas di luar Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit:
     
    a.
    pusat rehabilitasi sosial;
     
    b.
    lembaga kesejahteraan sosial;
     
    c.
    unit layanan disabilitas pada satuan pendidikan; dan
     
    d.
    Upaya,Kesehatan berbasis masyarakat.
    (4)
    Dalam memberikan Pelayanan Kesehatan, fasilitas di luar Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib bekerja sama dengan Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 89

    (1)
    Pelayanan Kesehatan penyandang disabilitas dilaksanakan melalui:
     
    a.
    Pelayanan Kesehatan ramah disabilitas yang inklusif dan dapat diakses secara mandiri tanpa bantuan orang lain di Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut;
     
    b.
    perawatan jangka panjang di Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut, panti sosial, lembaga sosial lainnya, dan/atau keluarga; dan
     
    c.
    Pelayanan Kesehatan penyandang disabilitas berbasis masyarakat.
    (2)
    Pelayanan Kesehatan ramah disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
     
    a.
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang mudah diakses oleh penyandang disabilitas;
     
    b.
    tersedia alur dan prioritas khusus bagi penyandang disabilitas;
     
    c.
    Pelayanan Kesehatan diberikan secara terpadu;
     
    d.
    petugas memiliki sensitivitas terhadap kebutuhan khusus penyandang disabilitas;
     
    e.
    petugas memiliki keterampilan komunikasi efektif dengan penyandang disabilitas;
     
    f.
    penyediaan Sediaan Farmasi dan alat bantu Kesehatan berdasarkan kebutuhan;
     
    g.
    penyediaan layanan khusus yang mengakomodasi kebutuhan spesifik penyandang disabilitas;
     
    h.
    penyediaan materi edukasi Kesehatan yang mudah dimengerti penyandang disabilitas dan/atau media alternatif kepada penyandang disabilitas; dan
     
    i.
    penyediaan dukungan konseling dan psikososial bagi penyandang disabilitas dan keluarga terkait kondisi disabilitas.
    (3)
    Pelayanan Kesehatan penyandang disabilitas di Fasilitas Pelayanan Kesehatan diberikan oleh Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sesuai kompetensi dan kewenangan, serta didukung oleh Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan.
    (4)
    Perawatan jangka panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan pelayanan dan dukungan yang diberikan secara berkelanjutan kepada penyandang disabilitas yang meliputi:
     
    a.
    perawatan medis;
     
    b.
    rehabilitasi untuk meningkatkan mobilitas, fungsi fisik, dan kemampuan komunikasi;
     
    c.
    dukungan psikososial melalui konseling bagi penyandang disabilitas dan keluarga;
     
    d.
    perawatan khusus untuk mengakomodasi kebutuhan spesifik penyandang disabilitas;
     
    e.
    penyediaan pendidikan dan pelatihan khusus untuk meningkatkan keterampilan dan kemandirian penyandang disabilitas;
     
    f.
    pemberian bantuan dalam melaksanakan aktivitas harian;
     
    g.
    koordinasi antar layanan Kesehatan; dan
     
    h.
    dukungan penyesuaian fasilitas tempat tinggal dan aksesibilitas yang mendukung kemandirian penyandang disabilitas.
    (5)
    Perawatan jangka panjang di luar Kesehatari diberikan oleh Tenaga Kesehatan dan Tenaga Penunjang Kesehatan yang terlatih.
    (6)
    Perawatan jangka panjang bagi penyandang disabilitas di keluarga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan oleh anggota keluarga dan/atau pendamping.
    (7)
    Pelayanan Kesehatan penyandang disabilitas berbasis masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi edukasi dan pemantauan Kesehatan berkala secara proaktif dengan melibatkan keluarga serta mengutamakan partisipasi masyarakat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 90

    Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan penyandang disabilitas di luar Fasilitas Pelayanan Kesehatan mengacu pada standar pelayanan yang ditetapkan oleh Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 91

    Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Fasilitas Pelayanan Kesehatan, dan masyarakat yang menyelenggarakan Upaya Kesehatan penyandang disabilitas harus melakukan pencatatan dan pelaporan yang mencakup registri penyakit berdasarkan ragam disabilitas melalui Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 92

    (1)
    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab melakukan koordinasi secara berkala dan berkelanjutan dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan penyandang disabilitas.
    (2)
    Pemerintah Pusat bertanggung jawab atas penyelenggaraan Upaya Kesehatan penyandang disabilitas yang meliputi:
     
    a.
    penjaminan bagi penyandang disabilitas untuk mempunyai hak yang sama sebagai warga negara;
     
    b.
    perumusan kebijakan yang berfokus pada Kesehatan penyandang disabilitas;
     
    c.
    penelitian dan pengembangan di bidang Kesehatan penyandang disabilitas;
     
    d.
    pengawasan dan evaluasi guna memastikan kualitas dan efektivitas program dan Pelayanan Kesehatan;
     
    e.
    pelatihan dan peningkatan kapasitas Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan untuk meningkatkan kompetensi dalam merawat dan mendukung penyandang disabilitas; dan
     
    f.
    pelaksanaan koordinasi dan kolaborasi dengan lembaga internasional untuk mengadopsi praktik terbaik dan standar internasional dalam Pelayanan Kesehatan penyandang disabilitas.
    (3)
    Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas penyelenggaraan Upaya Kesehatan penyandang disabilitas yang meliputi:
     
    a.
    penjaminan bagi penyandang disabilitas untuk mempunyai hak yang sama sebagai warga negara;
     
    b.
    pengimplementasian kebijakan nasional Kesehatan penyandang disabilitas yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat;
     
    c.
    penyediaan Pelayanan Kesehatan primer dan Pelayanan Kesehatan lanjutan untuk mendukung kebutuhan Kesehatan penyandang disabilitas;
     
    d.
    penyediaan aksesibilitas fasilitas dan layanan penyandang disabilitas;
     
    e.
    pengumpulan data dan informasi terkait penyandang disabilitas untuk memahami kebutuhan dan tantangan penyandang disabilitas;
     
    f.
    pembinaan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang isu Kesehatan penyandang disabilitas dan mengurangi stigma;
     
    g.
    penyelenggaraan pendidikan inklusif dan program rehabilitasi; dan
     
    h.
    pelaksanaan koordinasi dengan Pemerintah Pusat dan lembaga terkait lainnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 93

    (1)
    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas pendanaan untuk Upaya Kesehatan bagi penyandang disabilitas yang dilakukan melalui bantuan sosial dan asuransi Kesehatan.
    (2)
    Selain pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Upaya Kesehatan bagi penyandang disabilitas dilakukan melalui pendanaan berbasis masyarakat dan pendanaan mandiri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 94

    (1)
    Dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan penyandang disabilitas, keluarga berperan:
     
    a.
    memberikan pendampingan bagi anggota keluarga yang merupakan penyandang disabilitas;
     
    b.
    melakukan partisipasi aktif yang bebas kekerasan dan diskriminasi dalam menjaga Kesehatan, kebugaran, dan meningkatkan kemandirian;
     
    c.
    melakukan stimulasi kognitif dan pemenuhan gizi seimbang;
     
    d.
    melakukan pemeriksaan Kesehatan secara berkala; dan
     
    e.
    melaksanakan perawatan jangka panjang bagi yang membutuhkan.
    (2)
    Dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan penyandang disabilitas, masyarakat berperan:
     
    a.
    mendukung terselenggaranya promosi Kesehatan;
     
    b.
    melakukan pemantauan Kesehatan;
     
    c.
    memberikan dukungan bagi penyandang disabilitas yang bebas kekerasan dan diskriminasi dalam mengakses Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Upaya Kesehatan bersumber daya masyarakat;
     
    d.
    menyediakan lingkungan yang ramah disabilitas; dan
     
    e.
    memberi kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk berkarya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 95

    Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan upaya promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif pada Upaya Kesehatan penyandang disabilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 dan Pasal 86 diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Kesehatan Reproduksi
     

    Pasal 96

    Kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi, bukan semata-mata bebas dari penyakit atau kedisabilitasan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 97

    (1)
    Upaya Kesehatan reproduksi ditujukan untuk menjaga dan meningkatkan sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada laki-laki dan perempuan.
    (2)
    Selain tujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Upaya Kesehatan reproduksi juga bertujuan untuk:
     
    a.
    menjamin pemenuhan hak Kesehatan reproduksi dan seksual pada laki-laki dan perempuan; dan
     
    b.
    menjamin Kesehatan reproduksi pada laki-laki dan perempuan untuk membentuk generasi yang sehat dan berkualitas.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 98

    Upaya Kesehatan reproduksi dilaksanakan dengan menghormati nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma agama.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 99

    (1)
    Upaya Kesehatan reproduksi meliputi:
     
    a.
    masa sebelum hamil, masa kehamilan, persalinan, dan pascapersalinan;
     
    b.
    pengaturan kehamilan, pelayanan kontrasepsi, dan Kesehatan seksual; dan
     
    c.
    Kesehatan sistem reproduksi.
    (2)
    Upaya Kesehatan reproduksi dilaksanakan melalui upaya promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif secara menyeluruh dan terpadu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 100

    Upaya Kesehatan reproduksi dilakukan melalui:
    a.
    Upaya Kesehatan sistem reproduksi sesuai siklus hidup;
    b.
    pelayanan pengaturan kehamilan;
    c.
    Pelayanan Kesehatan reproduksi dengan bantuan; dan
    d.
    Upaya Kesehatan seksual.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 101

    (1)
    Upaya Kesehatan sistem reproduksi sesuai siklus hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 huruf a meliputi:
     
    a.
    Kesehatan sistem reproduksi bayi, balita, dan anak prasekolah;
     
    b.
    Kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja;
     
    c.
    Kesehatan sistem reproduksi dewasa;
     
    d.
    Kesehatan sistem reproduksi calon pengantin; dan
     
    e.
    Kesehatan sistem reproduksi lanjut usia.
    (2)
    Upaya Kesehatan sistem reproduksi sesuai siklus hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pencegahan dan pelindungan organ dan fungsi reproduksi agar terbebas dari gangguan, penyakit, atau kedisabilitasan.
    (3)
    Upaya Kesehatan sistem reproduksi sesuai siklus hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan hal spesifik dan tahapan perkembangan pada masing-masing sistem reproduksi perempuan dan laki-laki.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 102

    Upaya Kesehatan sistem reproduksi bayi, balita, dan anak prasekolah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) huruf a paling sedikit berupa:
    a.
    menghapus praktik sunat perempuan;
    b.
    mengedukasi balita dan anak prasekolah agar mengetahui organ reproduksinya;
    c.
    mengedukasi mengenai perbedaan organ reproduksi laki­ laki dan perempuan;
    d.
    mengedukasi untuk menolak sentuhan terhadap organ reproduksi dan bagian tubuh yang dilarang untuk disentuh;
    e.
    mempraktikkan perilaku hidup bersih dan sehat pada organ reproduksi; dan
    f.
    memberikan pelayanan klinis medis pada kondisi tertentu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 103

    (1)
    Upaya Kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) huruf b paling sedikit berupa pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi, serta Pelayanan Kesehatan reproduksi.
    (2)
    Pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mengenai:
     
    a.
    sistem, fungsi, dan proses reproduksi;
     
    b.
    menjaga Kesehatan reproduksi;
     
    c.
    perilaku seksual berisiko dan akibatnya;
     
    d.
    keluarga berencana;
     
    e.
    melindungi diri dan mampu menolak hubungan seksual; dan
     
    f.
    pemilihan media hiburan sesuai usia anak.
    (3)
    Pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan melalui bahan ajar atau kegiatan belajar mengajar di sekolah dan kegiatan lain di luar sekolah.
    (4)
    Pelayanan Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
     
    a.
    deteksi dini penyakit atau skrining;
     
    b.
    pengobatan;
     
    c.
    rehabilitasi;
     
    d.
    konseling; dan
     
    e.
    penyediaan alat kontrasepsi.
    (5)
    Konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf d dilaksanakan dengan memperhatikan privasi dan kerahasiaan, serta dilakukan oleh Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, konselor, dan/atau konselor sebaya yang memiliki kompetensi sesuai dengan kewenangannya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 104

    (1)
    Upaya Kesehatan sistem reproduksi dewasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) huruf c paling sedikit berupa pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi, serta Pelayanan Kesehatan reproduksi.
    (2)
    Pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mengenai:
     
    a.
    sistem, fungsi, dan proses reproduksi;
     
    b.
    perilaku seksual yang sehat, aman, dan bertanggung jawab;
     
    c.
    perilaku seksual berisiko dan akibatnya;
     
    d.
    masalah Kesehatan atau penyakit terkait Kesehatan reproduksi;
     
    e.
    keluarga berencana;
     
    f.
    perencanaan kehamilan, kehamilan, persalinan, dan nifas;
     
    g.
    akses terhadap Pelayanan Kesehatan reproduksi; dan
     
    h.
    melindungi diri dan mampu menolak hubungan seksual yang tidak dikehendaki.
    (3)
    Pelayanan Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa:
     
    a.
    deteksi dini penyakit atau skrining;
     
    b.
    pengobatan;
     
    c.
    rehabilitasi;
     
    d.
    konseling; dan
     
    e.
    penyediaan alat kontrasepsi bagi pasangan usia subur dan kelompok yang berisiko.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 105

    (1)
    Upaya Kesehatan sistem reproduksi calon pengantin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) huruf d paling sedikit berupa pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi, pelayanan imunisasi, konseling, deteksi dini atau skrining Kesehatan calon pengantin, dan perbaikan status Kesehatan calon pengantin.
    (2)
    Pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mengenai:
     
    a.
    kondisi Kesehatan yang harus diwaspadai oleh calon pengantin;
     
    b.
    pengenalan faktor risiko yang mempengaruhi kehamilan, bayi yang dilahirkan, dan keselamatan ibu;
     
    c.
    menunda kehamilan bagi calon pengantin yang mempunyai faktor risiko dan/atau masalah Kesehatan;
     
    d.
    kehidupan dan gangguan seksual suami atau istri;
     
    e.
    menjaga Kesehatan jiwa untuk hubungan harmonis pasangan suami istri; dan
     
    f.
    kesetaraan peran suami atau istri.
    (3)
    Pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan pada nasihat perkawinan yang disampaikan pada saat bimbingan perkawinan.
    (4)
    Setiap calon pengantin harus melaksanakan pemeriksaan Kesehatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
    (5)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menerbitkan surat keterangan pemeriksaan Kesehatan yang dapat digunakan bagi calon pengantin untuk melaksanakan perkawinan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 106

    (1)
    Upaya Kesehatan sistem reproduksi lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) huruf e dilaksanakan sesuai dengan Upaya Kesehatan sistem reproduksi dewasa.
    (2)
    Selain dilaksanakan sesuai dengan Upaya Kesehatan sistem reproduksi dewasa, Upaya Kesehatan sistem reproduksi lanjut usia juga meliputi pelaksanaan edukasi tentang menghadapi dan menjalani perilaku seksual yang sehat pada masa menopause atau andropause.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 107

    (1)
    Upaya Kesehatan sistem reproduksi diselenggarakan melalui penyediaan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Pelayanan Kesehatan reproduksi sesuai standar, aman, bermutu, terjangkau, tidak diskriminatif, menjaga privasi, dan kesetaraan gender.
    (2)
    Setiap orang berhak memperoleh akses terhadap Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Pelayanan Kesehatan reproduksi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 108

    (1)
    Upaya Kesehatan reproduksi dilakukan oleh Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, dan Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan sesuai dengan kompetensi dan kewenangan.
    (2)
    Upaya Kesehatan reproduksi dilakukan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
    (3)
    Selain Upaya Kesehatan reproduksi dilakukan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan juga dapat dilakukan pada:
     
    a.
    pos pelayanan terpadu;
     
    b.
    satuan pendidikan;
     
    c.
    tempat kerja;
     
    d.
    lembaga keagamaan, rumah ibadah, atau kantor urusan agama;
     
    e.
    rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan;
     
    f.
    pusat rehabilitasi sosial; dan
     
    g.
    lembaga kesejahteraan sosial.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 109

    (1)
    Pelayanan pengaturan kehamilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 huruf b bertujuan membantu pasangan usia subur dalam mengambil keputusan tentang usia ideal untuk hamil, jumlah ideal anak, dan jarak ideal kelahiran anak, serta kondisi Kesehatannya.
    (2)
    Pelayanan pengaturan kehamilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui penyelenggaraan program keluarga berencana, termasuk melalui pelayanan kontrasepsi.
    (3)
    Pelayanan kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan terhadap usia subur yang terdiri atas:
     
    a.
    pasangan usia subur; dan
     
    b.
    kelompok usia subur yang berisiko.
    (4)
    Setiap usia subur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berhak:
     
    a.
    memperoleh informasi tentang pelayanan kontrasepsi;
     
    b.
    memperoleh akses ke pelayanan kontrasepsi; dan
     
    c.
    memilih metode kontrasepsi untuk dirinya tanpa paksaan.
    (5)
    Metode kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c dilakukan sesuai pilihan pasangan usia• subur dengan mempertimbangkan usia, jumlah persalinan, jumlah anak, kondisi Kesehatan, dan norma agama.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 110

    (1)
    Pelayanan kontrasepsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (2) dilakukan dengan cara yang aman, bermutu, dan bertanggung jawab.
    (2)
    Pelayanan kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    kegiatan prapelayanan kontrasepsi;
     
    b.
    tindakan pemberian pelayanan kontrasepsi, termasuk pelayanan kontrasepsi darurat; dan
     
    c.
    kegiatan pascapelayanan kontrasepsi.
    (3)
    Pelayanan kontrasepsi darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diberikan pada ibu yang tidak terlindungi kontrasepsi atau korban perkosaan untuk mencegah kehamilan.
    (4)
    Pemberian pelayanan kontrasepsi harus dilakukan sesuai standar oleh Tenaga Medis dan/atau Tenaga Kesehatan sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya.
    (5)
    Pelayanan kontrasepsi dapat dilakukan pada:
     
    a.
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama;
     
    b.
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut;
     
    c.
    pos pelayanan terpadu;
     
    d.
    fasilitas pelayanan kefarmasian;
     
    e.
    saat kunjungan rumah; dan
     
    f.
    unit pelayanan kontrasepsi yang dibuat oleh pemerintah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 111

    (1)
    Pelayanan Kesehatan reproduksi dengan bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 huruf c dilakukan pada pasangan suami istri yang sah, dengan basil pemeriksaan medis mengalami ketidaksuburan atau infertilitas untuk memperoleh keturunan.
    (2)
    Reproduksi dengan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan menggunakan basil pembuahan sperma dan ovum yang berasal dari suami istri yang bersangkutan dan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal.
    (3)
    Reproduksi dengan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tidak bertentangan dengan norma agama.
    (4)
    Reproduksi dengan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan oleh Tenaga Medis yang mempunyai keahlian dan kewenangan.
    (5)
    Reproduksi dengan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk tujuan memilihjenis kelamin anak yang akan dilahirkan, kecuali untuk menghindari penyakit genetik yang berhubungan dengan jenis kelamin.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 112

    (1)
    Dalam hal proses kehamilan pada reproduksi dengan bantuan menyisakan kelebihan embrio hasil pembuahan di luar tubuh manusia, embrio yang tidak ditanamkan pada rahim harus disimpan sampai lahirnya bayi hasil reproduksi dengan bantuan.
    (2)
    Penyimpanan kelebihan embrio dapat diperpanjang atas keinginan pasangan suami istri untuk kepentingan kehamilan berikutnya.
    (3)
    Kelebihan embrio dilarang ditanam pada:
     
    a.
    rahim ibu jika ayah embrio meninggal atau bercerai; atau
     
    b.
    rahim perempuan lain.
    (4)
    Dalam hal pasangan suami istri pemiliknya tidak memperpanjang masa simpan kelebihan embrio, Fasilitas Pelayanan Kesehatan penyelenggara reproduksi dengan bantuan harus memusnahkan kelebihan embrio.
    (5)
    Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, dan/atau Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dikenai sanksi administratif oleh Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya berupa:
     
    a.
    teguran tertulis;
     
    b.
    denda administratif; dan/atau
     
    c.
    pencabutan perizinan berusaha.
    (6)
    Tata cara pengenaan sanksi administratif berupa pencabutan perizinan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (7)
    Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a dan huruf b diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 113

    (1)
    Pelayanan reproduksi dengan bantuan dilaksanakan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan tertentu yang ditetapkan oleh Menteri.
    (2)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan dan standar.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan standar Fasilitas Pelayanan Kesehatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 114

    (1)
    Upaya Kesehatan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 huruf d ditujukan agar Setiap Orang dapat menjalani kehidupan seksual yang sehat meliputi:
     
    a.
    terbebas dari disfungsi dan gangguan orientasi seksual; dan
     
    b.
    terbebas dari kekerasan fisik dan mental, termasuk kekerasan seksual.
    (2)
    Upaya Kesehatan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan melalui:
     
    a.
    upaya promotif, meliputi edukasi atau konseling tentang perilaku seksual yang sehat dan aman, serta akibat perilaku berisiko, dan pencegahan kekerasan seksual;
     
    b.
    upaya preventif, meliputi deteksi dini gangguan seksual dan kekerasan seksual;
     
    c.
    upaya kuratif, meliputi tata laksana masalah Kesehatan seksual dan tata laksana terhadap korban kekerasan seksual; dan
     
    d.
    upaya rehabilitatif, meliputi tata laksana untuk memulihkan dari gangguan terhadap kondisi fisik dan jiwa, agar dapat melaksanakan perannya kembali secara wajar, baik sebagai individu, anggota keluarga, maupun masyarakat, yang ditujukan terhadap korban kekerasan seksual maupun pelaku kekerasan seksual.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 115

    (1)
    Setiap Orang berhak menerima pelayanan dan pemulihan Kesehatan akibat tindak pidana kekerasan seksual.
    (2)
    Selain hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Setiap Orang yang menjadi korban tindak pidana kekerasan seksual juga berhak atas penanganan, pelindungan, dan pemulihan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 116

    Setiap Orang dilarang melakukan aborsi, kecuali atas indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan sesuai dengan ketentuan dalam kitab undang-undang hukum pidana.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 117

    Indikasi kedaruratan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 meliputi:
    a.
    kehamilan yang mengancam nyawa dan Kesehatan ibu; dan/atau
    b.
    kondisi Kesehatan janin dengan cacat bawaan yang tidak dapat diperbaiki sehingga tidak memungkinkan hidup di luar kandungan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 118

    Kehamilan akibat tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 dibuktikan dengan:
    a.
    surat keterangan dokter atas usia kehamilan sesuai dengan kejadian tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan; dan
    b.
    keterangan penyidik mengenai adanya dugaan perkosaan dan/atau kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 119

    (1)
    Pelayanan aborsi yang diperbolehkan hanya dapat dilakukan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut yang memenuhi Sumber Daya Kesehatan sesuai standar yang ditetapkan oleh Menteri.
    (2)
    Pelayanan aborsi hanya dapat dilakukan oleh Tenaga Medis dan dibantu oleh Tenaga Kesehatan sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 120

    (1)
    Pelayanan aborsi diberikan oleh tim pertimbangan dan dokter yang memiliki kompetensi dan kewenangan.
    (2)
    Tim pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan pertimbangan dan keputusan dalam melakukan pelayanan aborsi karena adanya kehamilan yang memiliki indikasi kedaruratan medis dan/atau kehamilan akibat tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain.
    (3)
    Dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas melakukan pelayanan aborsi karena adanya kehamilan yang memiliki indikasi kedaruratan medis dan/atau kehamilan akibat tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 121

    (1)
    Tim pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 ayat (2) dibentuk oleh pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut untuk pelayanan aborsi.
    (2)
    Tim pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diketuai oleh komite medik Rumah Sakit dengan paling sedikit 1 (satu) anggota Tenaga Medis yang memiliki kompetensi dan kewenangan.
    (3)
    Dokter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 ayat (3) dalam melakukan pelayanan aborsi dibantu oleh Tenaga Kesehatan yang memiliki kompetensi dan kewenangan.
    (4)
    Dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bukan merupakan anggota tim pertimbangan.
    (5)
    Dalam hal di daerah tertentu tim pertimbangan tidak mencukupi, dokter sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat menjadi anggota tim pertimbangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 122

    (1)
    Pelayanan aborsi hanya dapat dilakukan atas persetujuan perempuan hamil yang bersangkutan dan dengan persetujuan suami, kecuali korban tindak pidana perkosaan.
    (2)
    Pengecualian persetujuan suami sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku terhadap korban tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan.
    (3)
    Dalam hal pelaksanaan pelayanan aborsi dilakukan pada orang yang dianggap tidak cakap dalam mengambil keputusan, persetujuan dapat dilakukan oleh keluarga lainnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 123

    Dalam pelayanan aborsi harus diberikan pendampingan dan konseling sebelum dan setelah aborsi, yang dilakukan oleh Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, dan/atau tenaga lainnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 124

    (1)
    Dalam hal korban tindak pidana perkosaan dan/atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan memutuskan untuk membatalkan keinginan melakukan aborsi setelah mendapatkan pendampingan dan konseling, korban diberikan pendampingan oleh konselor selama masa kehamilan, persalinan, dan pascapersalinan.
    (2)
    Anak yang dilahirkan dari ibu korban tindak pidana perkosaan dan/atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan berhak diasuh oleh ibu dan/atau keluarganya.
    (3)
    Dalam hal ibu dan/atau keluarga tidak dapat melakukan pengasuhan, anak dapat diasuh oleh lembaga asuhan anak atau menjadi anak yang dipelihara oleh negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 125

    Setiap penyelenggaraan Upaya Kesehatan reproduksi harus dilakukan pencatatan dan pelaporan melalui Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 126

    Dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan reproduksi Pemerintah Pusat bertanggung jawab:
    a.
    menyusun kebijakan Kesehatan reproduksi lingkup nasional dan lintas provinsi;
    b.
    menyediakan Sumber Daya Kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau, termasuk pada situasi bencana atau krisis Kesehatan;
    c.
    melakukan penyiapan dan penunjukan Fasilitas Pelayanan Kesehatan penyedia Pelayanan Kesehatan reproduksi tertentu;
    d.
    pembinaan sistem rujukan, sistem informasi, dan sistem surveilans dalam lingkup nasional dan lintas provinsi;
    e.
    melakukan pemetaan, penyediaan, dan peningkatan kapasitas Tenaga Kesehatan reproduksi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
    f.
    menyelenggarakan pemantauan dan penilaian kualitas Pelayanan Kesehatan reproduksi;
    g.
    melakukan koordinasi dan advokasi dukungan Sumber Daya Kesehatan lingkup nasional dan lintas provinsi; dan
    h.
    melakukan pembinaan dan evaluasi manajemen program Kesehatan reproduksi lingkup nasional dan lintas provinsi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 127

    Dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan reproduksi Pemerintah Daerah provinsi bertanggung jawab:
    a.
    menyelenggarakan dan memfasilitasi Pelayanan Kesehatan reproduksi;
    b.
    menyediakan Sumber Daya Kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau serta Obat dan Alat Kesehatan reproduksi termasuk pada situasi bencana atau krisis Kesehatan;
    c.
    melakukan pemetaan, penyediaan, dan peningkatan kapasitas Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
    d.
    melakukan koordinasi dan advokasi dukungan Sumber Daya Kesehatan dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan reproduksi lingkup provinsi dan lintas kabupaten/kota;
    e.
    memastikan tersedianya Pelayanan Kesehatan reproduksi yang sesuai standar, aman, bermutu, dan terjangkau serta inklusif dengan memperhatikan aspek yang khas pada perempuan dan laki-laki; dan
    f.
    melakukan pembinaan dan evaluasi manajemen program Kesehatan reproduksi lingkup provinsi dan lintas kabupaten/kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 128

    Dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan reproduksi Pemerintah Daerah kabupaten/kota bertanggung jawab:
    a.
    menyelenggarakan dan memfasilitasi pelaksanaan Pelayanan Kesehatan reproduksi pada lingkup kabupaten/kota dengan melibatkan Fasilitas Pelayanan Kesehatan swasta;
    b.
    menyediakan Sumber Daya Kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau, serta Obat dan Alat Kesehatan reproduksi pada lingkup kabupaten/kota, termasuk pada situasi bencana atau krisis Kesehatan;
    c.
    melakukan pemetaan, pemerataan, dan peningkatan kapasitas Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan pada lingkup kabupaten/kota; dan
    d.
    menyelenggarakan pemantauan dan penilaian kualitas Pelayanan Kesehatan reproduksi pada lingkup kabupaten/kota, termasuk kualitas pelayanan kontrasepsi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 129

    (1)
    Dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan reproduksi, keluarga berperan:
     
    a.
    melakukan partisipasi aktif untuk meningkatkan pengetahuan dan melakukan upaya pencegahan dan pelindungan Kesehatan reproduksi;
     
    b.
    mendukung pola asuh dan lingkungan yang aman untuk menghindari terjadinya kekerasan seksual;
     
    c.
    memantau secara mandiri kondisi Kesehatan sistem reproduksi;
     
    d.
    memastikan semua anggota keluarga mendapatkan Pelayanan Kesehatan reproduksi, termasuk calon pengantin; dan
     
    e.
    memastikan setiap pasangan usia subur berpartisipasi dan mendukung pilihan metode kontrasepsi pasangannya.
    (2)
    Dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan reproduksi masyarakat berperan:
     
    a.
    mendukung kemudahan akses dalam mendapatkan informasi dan Pelayanan Kesehatan reproduksi melalui Upaya Kesehatan bersumber daya masyarakat;
     
    b.
    melakukan partisipasi aktif untuk meningkatkan pemahaman dan peran serta masyarakat dalam Kesehatan reproduksi sejak usia dini, termasuk pencegahan kekerasan seksual;
     
    c.
    memeriksakan Kesehatan reproduksi calon pengantin sebelum melaksanakan pernikahan;
     
    d.
    memberikan dukungan bagi korban tindak pidana perkosaan atau kekerasan seksual lainnya, baik yang melakukan aborsi maupun melanjutkan kehamilan agar terbebas dari stigma dan diskriminasi; dan
     
    e.
    melindungi dan mencegah perempuan dari tindakan aborsi yang tidak aman, tidak bermutu, tidak bertanggung jawab, dan bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Dalam hal masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa badan usaha, berperan:
     
    a.
    melakukan kerja sama pemenuhan Upaya Kesehatan reproduksi dengan pemerintah; dan
     
    b.
    menyediakan Pelayanan Kesehatan reproduksi yang sesuai dengan standar, aman, bermutu, dan terjangkau.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 130

    Ketentuan lebih lanjut mengenai Upaya Kesehatan sistem reproduksi sesuai siklus hidup, pelayanan pengaturan kehamilan, Pelayanan Kesehatan reproduksi dengan bantuan, dan Upaya Kesehatan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 sampai dengan Pasal 114, serta pelayanan aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 sampai dengan Pasal 124 diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Gizi
     

    Pasal 131

    (1)
    Upaya pemenuhan gizi ditujukan untuk peningkatan mutu gizi perseorangan dan masyarakat.
    (2)
    Mutu gizi perseorangan dan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kondisi terpenuhinya kebutuhan gizi sesuai standar angka kecukupan gizi dan tercapainya status gizi yang baik pada perseorangan dan masyarakat.
    (3)
    Standar angka kecukupan gizi dan status gizi ditetapkan oleh Menteri.
    (4)
    Upaya pemenuhan gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada seluruh siklus kehidupan sejak dalam kandungan sampai dengan lanjut usia, dengan memberikan perhatian khusus kepada:
     
    a.
    ibu hamil dan menyusui;
     
    b.
    bayi dan balita; dan
     
    c.
    remaja perempuan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 132

    Peningkatan mutu gizi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (1) dilakukan melalui:
    a.
    perbaikan pola konsumsi makanan yang beragam, bergizi seimbang, dan aman;
    b.
    peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi yang sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi; dan
    c.
    peningkatan sistem kewaspadaan dan peringatan dini terhadap kerawanan pangan dan gizi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 133

    (1)
    Pola konsumsi makanan yang beragam, bergizi seimbang, dan aman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 huruf a disusun sesuai sasaran seluruh siklus kehidupan, kebutuhan khusus, dan kondisi darurat.
    (2)
    Sasaran kebutuhan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa penderita penyakit dan kelompok sasaran dengan kebutuhan gizi tertentu.
    (3)
    Makanan yang beragam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan makanan dengan komposisi yang terdiri dari kelompok makanan pokok, kelompok lauk pauk, kelompok sayuran, kelompok buah-buahan, dan air.
    (4)
    Makanan yang bergizi seimbang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan makanan yang mengandung jenis dan jumlah zat gizi yang sesuai dengan kebutuhan tubuh.
    (5)
    Makanan yang aman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan makanan yang jika dikonsumsi tidak mengganggu, merugikan, dan membahayakan Kesehatan manusia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan.
    (6)
    Pola konsumsi makanan yang beragam, bergizi seimbang, dan aman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicapai melalui:
     
    a.
    penyediaan akses pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan aman;
     
    b.
    pemenuhan gizi;
     
    c.
    promosi perilaku konsumsi makanan yang beragam, bergizi seimbang, dan aman; dan
     
    d.
    pengayaan zat gizi pangan tertentu.
    (7)
    Pengayaan zat gizi pangan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf d dilakukan melalui fortifikasi pangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (8)
    Jenis dan jumlah zat gizi yang ditambahkan pada pangan yang difortifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan oleh Menteri dan direkomendasikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian atau lembaga pemerintah yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan.
    (9)
    Pembinaan dan pengawasan terhadap pemenuhan persyaratan keamanan pangan, mutu pangan, dan gizi pangan untuk pangan yang wajib difortifikasi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (10)
    Dalam hal pangan olahan wajib fortifikasi yang diproduksi oleh usaha mikro kecil, selain dilakukan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) juga dilakukan pembinaan dan pengawasan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 134

    (1)
    Peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi yang sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 huruf b dilakukan melalui peningkatan fasilitas, sarana dan prasarana, serta penerapan standar asuhan pelayanan gizi yang didukung oleh tenaga gizi dan Tenaga Kesehatan lain.
    (2)
    Pelayanan gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara terintegrasi dalam Pelayanan Kesehatan, sesuai sasaran siklus hidup, kebutuhan khusus, dan kondisi darurat dengan prioritas pada kelompok rawan gizi.
    (3)
    Pelayanan gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama dan jejaringnya, Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut, institusi atau fasilitas lainnya, lokasi situasi darurat, dan masyarakat.
    (4)
    Pelayanan gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, dan/atau Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan sesuai dengan kompetensi dan kewenangan.
    (5)
    Pelayanan gizi dilakukan sesuai dengan standar pelayanan gizi yang ditetapkan oleh Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 135

    (1)
    Peningkatan sistem kewaspadaan dan peringatan dini terhadap kerawanan pangan dan gizi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 huruf c dilakukan secara terpadu dengan melibatkan seluruh sektor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Sistem peringatan dini kerawanan pangan dan gizi merupakan bagian dari sistem informasi pangan dan gizi yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
    (3)
    Sistem informasi pangan dan gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi informasi tentang ketersediaan pangan, keterjangkauan pangan, dan pemanfaatan pangan.
    (4)
    Informasi tentang ketersediaan dan keterjangkauan pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikembangkan dan dikelola oleh lembaga pemerintah yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pangan.
    (5)
    Informasi tentang pemanfaatan pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi konsumsi dan status gizi disediakan oleh Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 136

    (1)
    Upaya perbaikan gizi ditujukan untuk mengatasi masalah gizi melalui perbaikan status gizi perseorangan dan masyarakat.
    (2)
    Upaya perbaikan gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui surveilans gizi, pendidikan gizi, tata laksana gizi, dan suplementasi gizi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 137

    (1)
    Surveilans gizi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) merupakan kegiatan analisis secara sistematis dan terus-menerus terhadap masalah gizi dan indikator pembinaan gizi agar dapat dilakukan respons dan penanggulangan secara efektif dan efisien terhadap masalah gizi.
    (2)
    Indikator pembinaan gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi status gizi dan cakupan intervensi gizi serta indikator lainnya yang ditetapkan oleh Menteri.
    (3)
    Hasil surveilans gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan dan penyusunan kebijakan perbaikan gizi di suatu wilayah.
    (4)
    Surveilans gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sistem informasi gizi yang terintegrasi dengan Sistern Informasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 138

    (1)
    Pendidikan gizi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) dilakukan melalui komunikasi, informasi, dan edukasi dalam rangka menerapkan perilaku gizi seimbang.
    (2)
    Pendidikan gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan baik secara langsung maupun melalui media sesuai dengan kemajuan teknologi.
    (3)
    Pendidikan gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan, dan/atau kelompok masyarakat yang terlatih.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 139

    (1)
    Tata laksana gizi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) merupakan rangkaian tindakan yang bertujuan untuk perbaikan atau pemulihan pada gagal tumbuh, berat badan kurang, gizi kurang, gizi buruk, stunting, gizi berlebih, dan defisiensi mikronutrien, serta masalah gizi akibat penyakit.
    (2)
    Tata laksana gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan melalui pelayanan gizi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 140

    (1)
    Suplementasi gizi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) merupakan penambahan produk untuk melengkapi makanan, yang mengandung satu atau lebih zat gizi, yang dikonsumsi secara oral dengan dosis tertentu dalam bentuk pil, tablet, kapsul, bubuk, atau cairan, dan makanan tambahan.
    (2)
    Suplementasi gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk memenuhi kecukupan gizi masyarakat dengan prioritas kepada bayi dan balita, anak sekolah, remaja perempuan, ibu hamil, ibu nifas, ibu menyusui, dan pekerja wanita.
    (3)
    Suplementasi gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
     
    a.
    kapsul vitamin A;
     
    b.
    tablet tambah darah;
     
    c.
    makanan tambahan bagi ibu hamil bermasalah gizi;
     
    d.
    makanan tambahan bagi bayi dan balita bermasalah gizi;
     
    e.
    makanan tambahan anak sekolah; dan
     
    f.
    vitamin dan/atau mineral lainnya.
    (4)
    Ketentuan mengenai standar suplementasi gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
    (5)
    Standar produk untuk suplementasi gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 141

    Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Fasilitas Pelayanan Kesehatan, dan masyarakat yang menyelenggarakan upaya pemenuhan dan perbaikan gizi harus melakukan pencatatan dan pelaporan dalam Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 142

    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap ketersediaan bahan makanan secara merata, terjangkau, dan memenuhi standar mutu gizi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 143

    (1)
    Dalam upaya pemenuhan dan perbaikan gizi, keluarga berperan:
     
    a.
    menjamin pemenuhan gizi seluruh anggota keluarga;
     
    b.
    menerapkan pemberian makanan bayi dan anak yang benar;
     
    c.
    menerapkan perilaku gizi seimbang dalam keluarga;
     
    d.
    melakukan pemantauan Kesehatan dan gizi ibu selama kehamilan dan pascapersalinan; dan
     
    e.
    melakukan pemantauan pertumbuhan dan perkembangan anak.
    (2)
    Dalam upaya pemenuhan dan perbaikan gizi, masyarakat berperan:
     
    a.
    menggerakkan Setiap Orang untuk menerapkan perilaku gizi seimbang;
     
    b.
    membantu melakukan penanganan terhadap terjadinya masalah gizi;
     
    c.
    mendukung kemudahan akses dalam menjangkau pelayanan gizi;
     
    d.
    menyelenggarakan pelayanan gizi berbasis masyarakat;
     
    e.
    mengelola sumber daya alam sebagai makanan tambahan; dan
     
    f.
    melakukan upaya perbaikan gizi melalui pemberdayaan masyarakat disesuaikan dengan kondisi setempat, baik pedesaan maupun perkotaan.
    (3)
    Dalam hal masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa badan usaha, badan usaha berperan:
     
    a.
    melakukan kerja sama pemenuhan dan perbaikan gizi dengan pemerin tah; dan
     
    b.
    menjamin pemenuhan dan perbaikan gizi yang sesuai dengan standar, aman, bermutu, dan terjangkau.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 144

    Ketentuan lebih lanjut mengenai upaya peningkatan mutu gizi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 huruf a dan huruf b dan upaya perbaikan gizi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    Kesehatan Jiwa
     

    Pasal 145

    (1)
    Kesehatan jiwa merupakan kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya.
    (2)
    Upaya Kesehatan jiwa diselenggarakan untuk:
     
    a.
    menjamin setiap orang dapat mencapai kualitas hidup yang baik, menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu Kesehatan jiwa; dan
     
    b.
    menjamin setiap orang dapat mengembangkan berbagai potensi kecerdasan dan potensi psikologis lainnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 146

    Upaya Kesehatan jiwa diberikan secara proaktif, terintegrasi, komprehensif, dan berkesinambungan sepanjang siklus kehidupan manusia bagi Orang yang Berisiko, ODGJ, dan masyarakat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 147

    Orang yang Berisiko berhak:
    a.
    mendapatkan Pelayanan Kesehatan jiwa di Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang mudah dijangkau dan sesuai dengan standar Pelayanan Kesehatan jiwa;
    b.
    memperoleh informasi yang jujur dan lengkap tentang Data Kesehatan jiwanya termasuk tindakan yang telah maupun yang akan diterimanya dari Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dengan kompetensi di bidang Kesehatan jiwa;
    c.
    memperoleh lingkungan yang kondusif bagi perkembangan jiwa; dan
    d.
    memperoleh akses sarana dan prasarana yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan jiwa.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 148

    ODGJ berhak:
    a.
    mendapatkan Pelayanan Kesehatan jiwa di Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang mudah dijangkau dan sesuai dengan standar Pelayanan Kesehatan jiwa;
    b.
    mendapatkan jaminan atas ketersediaan Obat termasuk Obat psikofarmaka sesuai dengan indikasi medis;
    c.
    memberikan persetujuan atas tindakan medis yang dilakukan terhadapnya, kecuali yang mengalami gangguan jiwa berat yang dianggap tidak cakap dalam membuat keputusan dan tidak memiliki pendamping serta dalam keadaan kedaruratan;
    d.
    memperoleh informasi yang jujur dan lengkap tentang Data Kesehatan jiwanya, termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dengan kompetensi di bidang Kesehatan jiwa;
    e.
    mendapatkan pelindungan dari setiap bentuk penelantaran, kekerasan, eksploitasi, diskriminasi, stigma dari masyarakat, dan mendapatkan aktivitas yang bermakna;
    f.
    mendapatkan kebutuhan sosial sesuai dengan tingkat gangguan jiwa; dan
    g.
    mengelola sendiri harta benda miliknya dan/atau yang diserahkan kepadanya dan hanya dapat dibatalkan atas penetapan pengadilan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 149

    Orang yang Berisiko dan ODGJ mempunyai hak yang sama sebagai warga negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Pasal 150
    Upaya Kesehatan jiwa diselenggarakan melalui upaya yang bersifat promotif, preventif, kuratif, dan/atau rehabilitatif.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 151

    (1)
    Upaya Kesehatan jiwa yang bersifat promotif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 bertujuan untuk:
     
    a.
    mempertahankan dan meningkatkan derajat Kesehatan jiwa masyarakat secara optimal;
     
    b.
    menghilangkan stigma, diskriminasi, dan pelanggaran hak asasi ODGJ sebagai bagian dari masyarakat;
     
    c.
    meningkatkan pemahaman, penerimaan, dan peran serta masyarakat terhadap Kesehatan jiwa; dan
     
    d.
    meningkatkan pola komunikasi, kemampuan adaptasi, dan ketahanan jiwa.
    (2)
    Upaya Kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bersifat promotif paling sedikit terdiri atas:
     
    a.
    pola asuh positif;
     
    b.
    komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai Kesehatan jiwa, termasuk pengembangan keterampilan hidup dan pertolongan pertama pada Iuka psikologis;
     
    c.
    menciptakan lingkungan yang kondusif untuk mendukung perkembangan jiwa yang sehat; dan
     
    d.
    meningkatkan partisipasi masyarakat datam Upaya Kesehatan jiwa.
    (3)
    Upaya Kesehatan jiwa yang bersifat promotif dilaksanakan di lingkungan:
     
    a.
    keluarga;
     
    b.
    masyarakat;
     
    c.
    tempat kerja;
     
    d.
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
     
    e.
    lembaga/institusi; dan
     
    f.
    media komunikasi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 152

    Upaya Kesehatan jiwa yang bersifat preventif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 bertujuan untuk pencegahan gangguan jiwa dan pencegahan bunuh diri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 153

    (1)
    Pencegahan gangguan jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 paling sedikit terdiri atas:
     
    a.
    pencegahan terjadinya masalah kejiwaan;
     
    b.
    pencegahan timbulnya dan/atau kambuhnya gangguan jiwa;
     
    c.
    pengurangan faktor risiko akibat gangguan jiwa pada masyarakat secara umum atau perorangan; dan/atau
     
    d.
    pencegahan timbulnya dampak masalah psikososial.
    (2)
    Pencegahan gangguan jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
     
    a.
    pelaksanaan deteksi dini;
     
    b.
    konseling; dan
     
    c.
    dukungan psikologis awal.
    (3)
    Pelaksanaan deteksi dini sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan melalui skrining Kesehatan jiwa untuk masyarakat sesuai siklus kehidupan dengan menggunakan instrumen standar.
    (4)
    Konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diberikan kepada Orang yang Berisiko dan dilakukan di tempat yang mendukung privasi untuk membantu seseorang dalam memecahkan permasalahan berdasarkan keputusan diri sendiri.
    (5)
    Dukungan psikologis awal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c diberikan kepada seseorang yang bertujuan untuk meningkatkan ketahanan jiwa dalam bentuk pertolongan pertama dalam situasi darurat atau khusus dan pemberian intervensi psikologis sederhana oleh kader atau tenaga terlatih lainnya.
    (6)
    Deteksi dini dan konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilaksanakan oleh Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan, dan tenaga profesional lain.
    (7)
    Deteksi dini dan konseling sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilaksanakan di masyarakat, Fasilitas Pelayanan Kesehatan, satuan pendidikan, tempat kerja, lembaga sosial, lembaga pemasyarakatan, rumah tahanan, dan lembaga/institusi lain sesuai dengan kebutuhan.
    (8)
    Dukungan psikologis awal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diberikan oleh Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan, dan tenaga profesional lain.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 154

    (1)
    Pencegahan bunuh diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 paling sedikit terdiri atas:
     
    a.
    pencegahan faktor risiko bunuh diri;
     
    b.
    pencegahan timbulnya pemikiran tentang menyakiti diri sendiri; dan
     
    c.
    pencegahan percobaan bunuh diri.
    (2)
    Pencegahan faktor risiko bunuh diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat berupa pengaturan pemberitaan yang benar dan bertanggung jawab tentang bunuh diri di media massa dan media sosial.
    (3)
    Pencegahan timbulnya pemikiran tentang menyakiti diri sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan melalui pengembangan keterampilan hidup sosial emosional.
    (4)
    Pencegahan percobaan bunuh diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terdiri atas:
     
    a.
    membatasi akses terhadap alat, bahan, dan fasilitas yang dapat digunakan untuk melakukan bunuh diri;
     
    b.
    menyediakan akses pelayanan konseling melalui layanan saluran siaga;
     
    c.
    memberikan dukungan melalui kelompok penyintas; dan
     
    d.
    penanganan gangguan fisik dan JlWa akibat percobaan bunuh diri.
    (5)
    Akses pelayanan konseling melalui layanan saluran siaga sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b diselenggarakan oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan baik milik pemerintah maupun masyarakat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 155

    (1)
    Dalam rangka upaya pencegahan bunuh diri diselenggarakan registri bunuh diri.
    (2)
    Registri bunuh diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan sistem pencatatan kasus percobaan bunuh diri dan kasus kematian akibat bunuh diri.
    (3)
    Registri bunuh diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat data yang mencakup variabel jenis kelamin, usia, lokasi, metode, dan faktor risiko, latar belakang, alasan, dan/atau penyebab bunuh diri.
    (4)
    Sumber data registri bunuh diri berasal dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, kependudukan dan catatan sipil, lembaga pemerintah nonkementerian yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang kegiatan statistik, dan/atau Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
    (5)
    Menteri mengoordinasikan dan menyelenggarakan registri bunuh diri.
    (6)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai registri bunuh diri diatur dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 156

    Upaya Kesehatan jiwa yang bersifat preventif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 dilaksanakan di lingkungan:
    a.
    keluarga;
    b.
    lembaga/institusi; dan
    c.
    masyarakat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 157

    (1)
    Upaya Kesehatan jiwa yang bersifat kuratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 ditujukan untuk penyembuhan atau pemulihan, pengurangan penderitaan, pengendalian disabilitas, dan/atau pengendalian gejala penyakit.
    (2)
    Upaya Kesehatan jiwa yang bersifat kuratif dilaksanakan terhadap ODGJ, pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.
    (3)
    Upaya Kesehatan jiwa yang bersifat kuratif dilaksanakan melalui proses diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat.
    (4)
    Penatalaksanaan yang tepat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi tata laksana farmakologis, tata laksana nonfarmakologis, serta rujukan dan rujuk balik oleh Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sesuai kompetensi dan kewenangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 158

    (1)
    Tindakan medis dalam rangka tata laksana ODGJ, pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya harus mendapatkan persetujuan tindakan secara tertulis dari ODGJ, pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya yang bersangkutan.
    (2)
    Dalam hal ODGJ dianggap tidak cakap dalam membuat keputusan, persetujuan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan oleh:
     
    a.
    suami atau istri;
     
    b.
    orang tua;
     
    c.
    anak atau saudara kandung yang paling sedikit berusia 18 (delapan belas) tahun;
     
    d.
    wali atau pengampu; atau
     
    e.
    pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Penentuan kecakapan ODGJ untuk mengambil keputusan dalam memberikan persetujuan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh dokter spesialis kedokteran jiwa atau dokter yang memberikan layanan medis saat itu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 159

    (1)
    Upaya Kesehatan jiwa yang bersifat rehabilitatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 merupakan kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan Pelayanan Kesehatan jiwa yang ditujukan untuk:
     
    a.
    mencegah atau mengendalikan disabilitas;
     
    b.
    memulihkan fungsi sosial;
     
    c.
    memulihkan fungsi okupasional; dan
     
    d.
    mempersiapkan dan memberi kemampuan ODGJ agar mandiri di masyarakat.
    (2)
    Upaya Kesehatan jiwa yang bersifat rehabilitatif terdiri atas:
     
    a.
    rehabilitasi psikiatrik/psikososial;
     
    b.
    rehabilitasi medik; dan
     
    c.
    rehabilitasi sosial.
    (3)
    Rehabilitasi psikiatrik/psikososial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a bertujuan mengembalikan fungsi kognitif, emosi, adaptasi sosial, dan spiritual ke dalam kondisi yang optimal melalui:
     
    a.
    farmakoterapi dan psikoterapi;
     
    b.
    psikoedukasi;
     
    c.
    pelatihan keterampilan hidup mandiri; dan/atau
     
    d.
    memberikan dukungan psikologis pada Pasien dan keluarga.
    (4)
    Rehabilitasi medik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan dengan cara memberikan terapi fisik sesuai dengan kebutuhan.
    (5)
    Rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan dengan cara meningkatkan keterampilan sosial, dan membentuk serta mempertahankan sistem dukungan sosial bagi ODGJ, pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 160

    (1)
    Keluarga dengan ODGJ, pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya yang dalam proses rehabilitasi atau telah menyelesaikan rehabilitasi harus diberikan dukungan berupa:
     
    a.
    kemudahan akses ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan; dan
     
    b.
    dukungan sosial oleh tenaga profesional.
    (2)
    Dukungan sosial oleh tenaga profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa dukungan emosional, pengetahuan, dan keterampilan pengasuhan dan/atau perawatan, keterampilan berelasi, serta penguatan kapabilitas dan tanggung jawab sosial keluarga.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 161

    (1)
    Setiap Orang dilarang melakukan pemasungan, penelantaran, kekerasan, dan/atau menyuruh orang lain untuk melakukan pemasungan, penelantaran, dan/atau kekerasan terhadap Orang yang Berisiko atau ODGJ, atau tindakan lainnya yang melanggar hak asasi Orang yang Berisiko dan ODGJ.
    (2)
    Pemasungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan segala bentuk pembatasan gerak yang mengakibatkan hilangnya hak kebebasan, termasuk hilangnya hak atas Pelayanan Kesehatan untuk membantu pemulihan.
    (3)
    Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindakan langsung maupun tidak langsung yang membuat seseorang tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya, tidak terpelihara, tidak terawat, dan tidak terurus.
    (4)
    Kekerasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penyalahgunaan kekuatan dan kekuasaan, ancaman, tindakan, atau pembiaran yang disengaja baik secara fisik maupun psikis terhadap seseorang yang berpotensi mengakibatkan gangguan fisik, gangguan jiwa, perampasan kemerdekaan secara melawan hukum, atau kematian.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 162

    (1)
    Untuk menjamin pelindungan terhadap ODGJ, dilakukan penghapusan praktik pemasungan dan penanganan kasus pemasungan.
    (2)
    Penghapusan praktik pemasungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
     
    a.
    menjamin keberlangsungan pengobatan;
     
    b.
    pemberdayaan ODGJ pascarehabilitasi;
     
    c.
    penyediaan tempat tinggal bagi ODGJ yang tidak memiliki keluarga; dan
     
    d.
    penyediaan lingkungan sosial yang mendukung pemulihan ODGJ.
    (3)
    Penanganan kasus pemasungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
     
    a.
    penilaian dan penatalaksanaan awal, termasuk aspek kegawatdaruratan;
     
    b.
    pembebasan;
     
    c.
    rujukan; dan
     
    d.
    pencegahan pemasungan berulang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 163

    Penanganan terhadap penelantaran dan kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 ayat (3) dan ayat (4) dilaksanakan melalui:
    a.
    penilaian dan penatalaksanaan awal termasuk aspek kegawatdaruratan;
    b.
    rujukan; dan
    c.
    rehabilitasi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 164

    (1)
    Upaya Kesehatan JlWa dilaksanakan dengan mengedepankan peran keluarga dan masyarakat termasuk upaya rehabilitasi terhadap ODGJ.
    (2)
    Peran keluarga dalam Upaya Kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:
     
    a.
    menerapkan pola asuh positif dalam keluarga;
     
    b.
    memberikan pertolongan pertama bagi anggota keluarga yang mengalami Iuka psikologis;
     
    c.
    mengenali gejala awal gangguan jiwa di keluarga;
     
    d.
    melaporkan adanya ODGJ dalam keluarga yang membutuhkan pertolongan;
     
    e.
    memberikan dukungan dalam menjangkau akses Pelayanan Kesehatan bagi Orang yang Berisiko dan ODGJ di keluarga;
     
    f.
    menerapkan perilaku saling mendukung antaranggota keluarga dalam pemulihan ODGJ; dan
     
    g.
    berpartisipasi dalam proses pemulihan anggota keluarga lainnya yang berisiko atau mengalami gangguan jiwa dengan mengikuti sesi psikoterapi sesuai dengan rekomendasi penyedia Pelayanan Kesehatan jiwa.
    (3)
    Peran serta masyarakat dalam Upaya Kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara perseorangan dan/atau berkelompok, dengan cara:
     
    a.
    memberikan bantuan tenaga, dana, fasilitas, serta sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan jiwa;
     
    b.
    melaporkan adanya ODGJ yang membutuhkan pertolongan;
     
    c.
    melaporkan tindakan kekerasan yang dialami serta yang dilakukan ODGJ;
     
    d.
    menciptakan iklim yang kondusif bagi ODGJ;
     
    e.
    memberikan pelatihan keterampilan khusus kepada ODGJ;
     
    f.
    memberikan sosialisasi kepada masyarakat mengenai pentingnya peran keluarga dalam penyembuhan ODGJ; dan
     
    g.
    mengawasi fasilitas pelayanan di bidang Kesehatan jiwa.
    (4)
    Dalam hal masyarakat berupa badan usaha berperan memberikan bantuan tenaga, dana, fasilitas, serta sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan jiwa untuk menunjang pemenuhan ketahanan keluarga.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 165

    Penyelenggaraan Upaya Kesehatan jiwa didukung oleh sumber daya manusia, fasilitas pelayanan di bidang Kesehatan jiwa, dan pendanaan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 166

    (1)
    Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165 terdiri atas:
     
    a.
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dengan kompetensi dan kewenangan di bidang Kesehatan jiwa; dan
     
    b.
    Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan.
    (2)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dengan kompetensi dan kewenangan di bidang Kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
     
    a.
    dokter;
     
    b.
    dokter spesialis kedokteran jiwa;
     
    c.
    dokter spesialis lainnya;
     
    d.
    psikolog klinis;
     
    e.
    perawat;
     
    f.
    ners spesialis jiwa; dan
     
    g.
    Tenaga Kesehatan lainnya yang mendukung Kesehatan jiwa.
    (3)
    Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi tenaga profesional lainnya dan tenaga lain yang terlatih di bidang Kesehatan jiwa.
    (4)
    Tenaga profesional lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
     
    a.
    tenaga profesi psikolog;
     
    b.
    pekerja sosial;
     
    c.
    konselor; dan
     
    d.
    guru bimbingan konseling.
    (5)
    Tenaga lain yang terlatih di bidang Kesehatan JlWa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
     
    a.
    tokoh masyarakat;
     
    b.
    tokoh agama;
     
    c.
    kader Kesehatan; dan
     
    d.
    pendidik dan tenaga kependidikan.
    (6)
    Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berperan sebagai mitra Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam menyelenggarakan Upaya Kesehatan jiwa sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 167

    (1)
    Fasilitas pelayanan di bidang Kesehatanjiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165 terdiri atas:
     
    a.
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan; dan
     
    b.
    fasilitas pelayanan di luar sektor Kesehatan dan fasilitas pelayanan berbasis masyarakat.
    (2)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut.
    (3)
    Fasilitas pelayanan di luar sektor Kesehatan dan fasilitas pelayanan berbasis masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
     
    a.
    pos pelayanan terpadu;
     
    b.
    praktik profesi psikologi;
     
    c.
    praktik pekerja sosial;
     
    d.
    pusat kesejahteraan sosial;
     
    e.
    pusat rehabilitasi sosial;
     
    f.
    lembaga kesejahteraan sosial;
     
    g.
    rumah pelindungan sosial;
     
    h.
    pesantren/institusi berbasis keagamaan;
     
    i.
    rumah singgah; dan
     
    j.
    bentuk lainnya yang menyelenggarakan Upaya Kesehatan jiwa.
    (4)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyelenggarakan Upaya Kesehatan jiwa yang bersifat promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
    (5)
    Fasilitas pelayanan di luar sektor Kesehatan dan fasilitas pelayanan berbasis masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menyelenggarakan rehabilitasi sosial untuk penanganan ODGJ, pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya agar menjadi produktif.
    (6)
    Fasilitas pelayanan di luar sektor Kesehatan dan fasilitas pelayanan berbasis masyarakat selain menyelenggarakan rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (5), juga dapat menyelenggarakan Upaya Kesehatan jiwa yang bersifat promotif, preventif, dan kuratif.
    (7)
    Fasilitas pelayanan di luar sektor Kesehatan dan fasilitas pelayanan berbasis masyarakat dalam menyelenggarakan Upaya Kesehatan jiwa yang bersifat kuratif sebagaimana dimaksud pada ayat (6) wajib bekerja sama dengan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan dikoordinasikan oleh Puskesmas penanggung jawab wilayah.
    (8)
    Upaya Kesehatan jiwa yang diselenggarakan oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan, fasilitas pelayanan di luar sektor Kesehatan, dan fasilitas pelayanan berbasis masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sampai dengan ayat (7) wajib dilaksanakan sesuai dengan standar Pelayanan Kesehatan jiwa.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 168

    (1)
    Setiap fasilitas pelayanan di luar sektor Kesehatan dan fasilitas pelayanan berbasis masyarakat yang tidak melaksanakan kewajiban kerja sama dalam menyelenggarakan Upaya Kesehatan jiwa yang bersifat kuratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (7) dikenakan sanksi administratif oleh pejabat yang berwenang berupa:
     
    a.
    peringatan tertulis;
     
    b.
    pembekuan kegiatan;
     
    c.
    pencabutan izin; dan/atau
     
    d.
    penutupan fasilitas pelayanan di bidang Kesehatan jiwa.
    (2)
    Setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan, fasilitas pelayanan di luar sektor Kesehatan, dan fasilitas pelayanan berbasis masyarakat yang tidak memberikan Upaya Kesehatan jiwa sesuai standar Pelayanan Kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (8) dikenakan sanksi administratif oleh pejabat yang berwenang berupa:
     
    a.
    peringatan tertulis;
     
    b.
    pembekuan kegiatan;
     
    c.
    pencabutan izin; dan/atau
     
    d.
    penutupan fasilitas pelayanan di bidang Kesehatan jiwa.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 169

    Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan fasilitas pelayanan di luar sektor Kesehatan dan fasilitas pelayanan berbasis masyarakat serta standar Pelayanan Kesehatan jiwa pada fasilitas pelayanan di luar sektor Kesehatan dan fasilitas pelayanan berbasis masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 diatur dengan Peraturan Menteri berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 170

    (1)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan, fasilitas pelayanan di luar sektor Kesehatan, dan fasilitas pelayanan berbasis masyarakat wajib melakukan pencatatan dan pelaporan setiap pelayanan dalam rangka Upaya Kesehatan jiwa melalui Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
    (2)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai integrasi sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 171

    (1)
    Untuk kepentingan penegakan hukum, seseorang yang diduga ODGJ yang melakukan tindak pidana harus mendapatkan pemeriksaan Kesehatan jiwa sesuai dengan pedoman pemeriksaan Kesehatan jiwa.
    (2)
    Pemeriksaan Kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk:
     
    a.
    menentukan kemampuan seseorang dalam mempertanggungjawabkan tindak pidana yang telah dilakukannya; dan/atau
     
    b.
    menentukan kecakapan hukum seseorang untuk menjalani proses peradilan.
    (3)
    Untuk kepentingan keperdataan, seseorang yang diduga ODGJ harus mendapatkan pemeriksaan Kesehatan jiwa sesuai dengan pedoman pemeriksaan Kesehatan jiwa.
    (4)
    Pemeriksaan Kesehatan jiwa untuk kepentingan perkara perdata bertujuan untuk menemukan ada tidaknya gangguan jiwa tertentu dan/atau penentuan kecakapan seseorang untuk melakukan perbuatan hukum.
    (5)
    Pemeriksaan Kesehatan Jiwa untuk kepentingan penegakan hukum perkara pidana harus diselenggarakan di Rumah Sakit milik Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
    (6)
    Pemeriksaan Kesehatan jiwa untuk kepentingan penegakan hukum perkara perdata diselenggarakan di Rumah Sakit atau klinik utama milik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau masyarakat.
    (7)
    Pemeriksaan Kesehatan jiwa untuk kepentingan penegakan hukum dilakukan setelah terperiksa dan/atau keluarganya diberikan informasi mengenai:
     
    a.
    prosedur pemeriksaan Kesehatan jiwa; dan
     
    b.
    hasil pemeriksaan Kesehatan jiwa hanya diberikan kepada instansi pemohon.
    (8)
    Pemeriksaan Kesehatan jiwa untuk kepentingan penegakan hukum perkara pidana hanya dapat dilaksanakan atas dasar surat permohonan resmi dari:
     
    a.
    Kepolisian Negara Republik Indonesia;
     
    b.
    Kejaksaan Republik Indonesia;
     
    c.
    pengadilan; atau
     
    d.
    lembaga negara penegak hukum lainnya yang ditetapkan undang-undang.
    (9)
    Ketentuan mengenai pedoman pemeriksaan Kesehatan jiwa diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 172

    (1)
    Untuk melaksanakan pekerjaan tertentu atau menduduki jabatan tertentu, setiap orang wajib dilakukan pemeriksaan Kesehatan jiwa.
    (2)
    Pemeriksaan Kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan sebelum melaksanakan pekerjaan tertentu atau menduduki jabatan tertentu sesuai kebutuhan.
    (3)
    Pekerjaan tertentu atau jabatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pekerjaan danjabatan yang memenuhi kriteria dan/atau dipersyaratkan untuk dilakukan pemeriksaan Kesehatan jiwa.
    (4)
    Kriteria pekerjaan tertentu atau jabatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
     
    a.
    pejabat publik yang membuat keputusan penting;
     
    b.
    pekerjaan yang dapat membahayakan diri sendiri atau orang lain;
     
    c.
    pekerjaan yang berhubungan dengan kelompok rentan; dan/atau
     
    d.
    pekerjaan atau jabatan lain yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Dalam hal diperlukan, pemeriksaan Kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan selama dan sesudah melaksanakan pekerjaan tertentu atau menduduki jabatan tertentu sesuai kebutuhan.
    (6)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeriksaan Kesehatan jiwa untuk kepentingan pekerjaan tertentu atau jabatan tertentu diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 173

    (1)
    Dalam rangka penyelenggaraan Upaya Kesehatan jiwa termasuk upaya penghapusan pemasungan, penelantaran, dan kekerasan terhadap Orang yang Berisiko atau ODGJ dilakukan koordinasi lintas sektor untuk penggerakan Kesehatan jiwa masyarakat.
    (2)
    Penggerakan Kesehatan jiwa masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
     
    a.
    penanganan dan penghapusan pemasungan, penelantaran, dan kekerasan kepada Orang yang Berisiko atau ODGJ dengan menjunjung pemenuhan hak asasi manusia; dan
     
    b.
    penyelenggaraan upaya promotif dan preventif Kesehatan jiwa di masyarakat.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai penggerakan Kesehatan jiwa masyarakat diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang pembangunan manusia dan kebudayaan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 174

    Dalam penyelenggaraan tanggung jawab pada Upaya Kesehatan jiwa, Pemerintah Pusat melakukan:
    a.
    penyelenggaraan Upaya Kesehatan jiwa bagi Orang yang Berisiko, ODGJ, dan masyarakat di Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
    b.
    penetapan kebijakan dan strategi nasional penyelenggaraan Upaya Kesehatan jiwa;
    c.
    koordinasi dan kerja sama dengan kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian yang terkait, serta kerja sama internasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    d.
    penyediaan sumber daya manusia, sarana, prasarana, Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan, dan pendanaan yang menunjang Pelayanan Kesehatan jiwa;
    e.
    pengembangan sistem data dan informasi Upaya Kesehatan jiwa yang terintegrasi;
    f.
    penetapan institusi/lembaga yang melaksanakan fungsi sebagai pusat penelitian, pengembangan, dan pemanfaatan teknologi dan produk teknologi dalam bidang Kesehatan jiwa;
    g.
    pemastian tersedianya lingkungan yang mendukung tercapainya Kesehatan jiwa; dan
    h.
    sosialisasi kebijakan dan fasilitasi Upaya Kesehatan jiwa bagi Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 175

    Dalam penyelenggaraan tanggung jawab pada Upaya Kesehatan jiwa, Pemerintah Daerah provinsi melakukan:
    a.
    penetapan kebijakan penyelenggaraan Upaya Kesehatan jiwa di tingkat provinsi dengan berpedoman pada kebijakan dan strategi nasional penyelenggaraan Upaya Kesehatan jiwa;
    b.
    koordinasi dan kerja sama dengan organisasi perangkat daerah yang terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    c.
    pengelolaan dan pelaksanaan sistem data dan informasi Upaya Kesehatan jiwa;
    d.
    fasilitasi Upaya Kesehatan jiwa di wilayah kerjanya;
    e.
    penjaminan ketersediaan sumber daya manusia, sarana, prasarana, Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan, dan pendanaan yang menunjang Pelayanan Kesehatan jiwa;
    f.
    penyediaan Pelayanan Kesehatan jiwa di Rumah Sakit;
    g.
    pemastian tersedianya lingkungan yang mendukung tercapainya Kesehatan jiwa; dan
    h.
    penyelenggaraan Upaya Kesehatan jiwa secara terstruktur, sistematis, dan berkelanjutan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 176

    Dalam penyelenggaraan tanggung jawab pada Upaya Kesehatan jiwa, Pemerintah Daerah kabupaten/kota melakukan:
    a.
    penetapan kebijakan penyelenggaraan Upaya Kesehatan jiwa di tingkat kabupaten/kota dengan berpedoman pada kebijakan dan strategi nasional penyelenggaraan Upaya Kesehatan jiwa dan kebijakan Pemerintah Daerah provinsi;
    b.
    kerjasama dengan instansi terkait di tingkat kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    c.
    pengelolaan dan pelaksanaan sistem data dan informasi Upaya Kesehatan jiwa;
    d.
    penjaminan ketersediaan sumber daya manusia, sarana, prasarana, Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan, dan pendanaan yang menunjang Pelayanan Kesehatan jiwa;
    e.
    penyediaan Pelayanan Kesehatan jiwa di Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama di kabupaten/kota;
    f.
    penyediaan Pelayanan Kesehatan jiwa di Rumah Sakit;
    g.
    pemastian tersedianya lingkungan mendukung tercapainya Kesehatan jiwa; dan
    h.
    penyelenggaraan Upaya Kesehatan jiwa secara terstruktur, sistematis, dan berkelanjutan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 177

    Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Upaya Kesehatan jiwa yang bersifat promotif, preventif, kuratif, dan/atau rehabilitatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 sampai dengan Pasal 160 diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketujuh
    Penanggulangan Penyakit Menular
     

    Pasal 178

    (1)
    Penanggulangan penyakit menular diselenggarakan secara terkoordinasi, terpadu, dan berkesinambungan dalam bentuk promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif dengan mempertimbangkan aspek determinan Kesehatan.
    (2)
    Penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penyakit yang dapat menular ke manusia yang disebabkan oleh mikroorganisme.
    (3)
    Penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berdasarkan cara penularannya dikelompokkan menjadi:
     
    a.
    penyakit menular langsung; dan
     
    b.
    penyakit tular vektor dan binatang pembawa penyakit.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 179

    Penanggulangan penyakit menular dilakukan untuk melindungi masyarakat dari tertularnya penyakit untuk menurunkan jumlah yang sakit, disabilitas, dan/atau meninggal dunia serta mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat penyakit menular.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 180

    (1)
    Penanggulangan penyakit menular dilakukan melalui:
     
    a.
    promosi Kesehatan;
     
    b.
    surveilans penyakit menular;
     
    c.
    pengendalian faktor risiko;
     
    d.
    penemuan kasus;
     
    e.
    penanganan kasus;
     
    f.
    pemberian kekebalan;
     
    g.
    pemberian Obat pencegahan; dan/atau
     
    h.
    kegiatan lain yang ditetapkan oleh Menteri.
    (2)
    Promosi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kemauan, dan kemampuan berperilaku hidup sehat, serta mencegah terjadinya penularan penyakit.
    (3)
    Promosi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa advokasi, sosialisasi, kampanye Kesehatan, gerakan masyarakat, serta komunikasi, informasi, dan edukasi.
    (4)
    Surveilans penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan untuk:
     
    a.
    tersedianya informasi situasi, kecenderungan penyakit, dan faktor risiko yang mempengaruhi sebagai bahan pengambilan keputusan;
     
    b.
    terselenggaranya kewaspadaan dini terhadap kemungkinan terjadinya KLB penyakit menular atau Wabah dan dampaknya;
     
    c.
    terselenggaranya investigasi dan penanggulangan KLB penyakit menular atau Wabah dan dampaknya; dan
     
    d.
    dasar penyampaian Informasi Kesehatan kepada para pihak yang berkepentingan sesuai dengan pertimbangan Kesehatan.
    (5)
    Surveilans penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan melalui pengumpulan data, pengolahan data, analisis data, dan diseminasi sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan untuk menghasilkan informasi yang objektif, terukur, dapat diperbandingkan antarwaktu, antarwilayah, dan antarkelompok masyarakat sebagai bahan pengambilan keputusan.
    (6)
    Pengendalian faktor risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditujukan untuk memutus rantai penularan melalui:
     
    a.
    intervensi atau rekayasa lingkungan;
     
    b.
    pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit;
     
    c.
    peningkatan daya tahan tubuh;
     
    d.
    perbaikan kualitas media lingkungan; dan
     
    e.
    pembudayaan perilaku hidup bersih dan sehat.
    (7)
    Penemuan kasus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d ditujukan untuk mengetahui dan mengidentifikasi adanya faktor risiko dan kasus penyakit menular di masyarakat.
    (8)
    Penemuan kasus sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan melalui skrining dan deteksi dini terhadap faktor risiko dan penyakit pada individu atau populasi berisiko yang diduga terinfeksi agen penyebab penyakit.
    (9)
    Penanganan kasus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e ditujukan untuk penyembuhan penyakit, mencegah dan membatasi disabilitas dan kematian, menghapus stigma dan diskriminasi penderita yang diakibatkan oleh penyakit menular, serta memutus rantai penularan.
    (10)
    Penanganan kasus sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dilakukan melalui tata laksana terhadap kasus dan kontak, perawatan mandiri kasus, penegakan diagnosis, tata laksana dini, pengobatan, dan perawatan, termasuk perawatan rehabilitatif dan/atau paliatif, serta rujukan dan rujuk balik.
    (11)
    Pemberian kekebalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f ditujukan untuk memutus rantai penularan penyakit yang dilakukan melalui imunisasi.
    (12)
    Pemberian Obat pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g ditujukan untuk memutus rantai penularan penyakit yang dilakukan melalui pemberian Obat pencegahan secara massal, pada kelompok masyarakat tertentu, atau perseorangan.
    (13)
    Pemberian Obat pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (12) dilaksanakan dengan memperhatikan tingkat endemisitas masing-masing wilayah dan/atau faktor risiko yang mempengaruhinya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 181

    Penanggulangan penyakit menular dapat dilakukan bekerja sama dengan lintas sektor, lintas program, dan lintas disiplin baik di tingkat lokal, nasional, regional, maupun global.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 182

    (1)
    Penanggulangan penyakit tular vektor dan binatang pembawa penyakit sebagai akibat dari interaksi antara manusia, hewan, dan lingkungan, dilakukan melalui pendekatan satu Kesehatan.
    (2)
    Pendekatan satu Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upaya yang dilakukan secara terpadu dengan melibatkan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian, dan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup, serta kementerian/lembaga lain yang terkait untuk terwujudnya tujuan penanggulangan penyakit menular.
    (3)
    Pendekatan satu Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam penanggulangan penyakit menular dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 183

    (1)
    Dalam penanggulangan penyakit menular dibutuhkan ketersediaan:
     
    a.
    Tenaga Medis dan/atau Tenaga Kesehatan yang merata dan mencukupi, serta Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan;
     
    b.
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan, termasuk sarana prasarana;
     
    c.
    Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Perbekalan Kesehatan lainnya;
     
    d.
    pendanaan yang memadai sesuai kebutuhan dengan prinsip efektif dan efisien; dan
     
    e.
    pemberdayaan Upaya Kesehatan bersumber daya masyarakat.
    (2)
    Tenaga Medis dan/atau Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berwenang memeriksa:
     
    a.
    orang atau sekelompok orang yang diduga tertular penyakit atau memiliki faktor risiko penyakit menular; dan/atau
     
    b.
    tempat yang dicurigai berkembangnya vektor dan sumber penyakit lain.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 184

    Penanggulangan penyakit menular menggunakan pendekatan berfokus pada masyarakat berupa:
    a.
    peningkatan pengetahuan masyarakat tentang penyakit menular dan kondisinya;
    b.
    dukungan dan pendampingan untuk menyelesaikan pengobatan dan pemantauannya dari keluarga, komunitas, Tenaga Medis, dan/atau Tenaga Kesehatan;
    c.
    pelindungan bagi penderita dari stigma dan diskriminasi; dan
    d.
    dukungan psikososial bagi orang yang terinfeksi penyakit menular.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 185

    (1)
    Dalam penanggulangan penyakit menular, Pemerintah Pusat bertanggung jawab:
     
    a.
    melakukan penanggulangan penyakit menular melalui kegiatan pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular serta bertanggung jawab terhadap akibat yang ditimbulkannya;
     
    b.
    menetapkan kebijakan dan strategi nasional penanggulangan penyakit menular;
     
    c.
    menyediakan Sumber Daya Kesehatan;
     
    d.
    melakukan advokasi dan kerja sama lintas program, lintas sektor, lintas disiplin, masyarakat, dan dengan negara lain; dan
     
    e.
    melakukan penelitian dan pengembangan.
    (2)
    Dalam penanggulangan penyakit menular, Pemerintah Daerah bertanggung jawab:
     
    a.
    melakukan penanggulangan penyakit menular melalui kegiatan pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular serta bertanggung jawab terhadap akibat yang ditimbulkannya;
     
    b.
    membuat dan melaksanakan kebijakan penanggulangan penyakit menular dengan mengacu pada kebijakan dan strategi nasional penanggulangan penyakit menular;
     
    c.
    menyediakan Sumber Daya Kesehatan;
     
    d.
    melakukan advokasi dan kerja sama lintas program, lintas sektor, lintas disiplin, dan masyarakat; dan
     
    e.
    melakukan penelitian dan pengembangan.
    (3)
    Dalam penanggulangan penyakit menular, Pemerintah Desa bertanggung jawab:
     
    a.
    melaksanakan kebijakan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
     
    b.
    menyediakan Sumber Daya Kesehatan;
     
    c.
    melakukan advokasi dan kerja sama lintas program dan lintas sektor; dan
     
    d.
    menyelenggarakan Upaya Kesehatan bersumber daya masyarakat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 186

    (1)
    Menteri menetapkan program prioritas dan target penanggulangan penyakit menular di tingkat nasional maupun daerah.
    (2)
    Pemerintah Daerah melaksanakan program prioritas dan target penanggulangan penyakit menular yang ditetapkan oleh Menteri.
    (3)
    Selain melaksanakan program prioritas dan target penanggulangan penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Daerah dapat menetapkan program prioritas dan target lain sesuai dengan kebutuhan wilayahnya.
    (4)
    Penetapan sebagai program prioritas dan target sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) didasarkan pada kriteria sebagai berikut:
     
    a.
    tingkat endemisitas;
     
    b.
    penyakit menular potensial KLB atau Wabah;
     
    c.
    fatalitas atau angka kematian tinggi;
     
    d.
    dampak sosial, ekonomi, politik, dan ketahanan yang luas;
     
    e.
    sasaran reduksi, eliminasi, dan eradikasi yang merupakan komitmen global; dan/atau
     
    f.
    kriteria lain yang ditetapkan oleh Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 187

    Dalam penanggulangan penyakit menular, masyarakat berperan:
    a.
    meningkatkan pengetahuan terhadap penyakit menular;
    b.
    memelihara dan menjaga Kesehatan dirinya;
    c.
    mencegah penyebaran penyakit menular melalui perilaku hidup bersih dan sehat, ikut berperan dalam perbaikan kualitas media lingkungan, pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit, serta melengkapi imunisasi sesuai standar;
    d.
    memberikan dukungan psikososial serta mencegah stigma dan diskriminasi terhadap orang yang terinfeksi penyakit menular dan orang terdampak lainnya; dan
    e.
    melakukan deteksi dini penyakit menular dan melaporkan kepada pihak yang berwenang terkait penyakit menular potensial KLB dan/atau Wabah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 188

    (1)
    Setiap Orang dilarang:
     
    a.
    menyebarluaskan atau memperjualbelikan mikroorganisme penyebab penyakit menular; dan/atau
     
    b.
    merekayasa mikroorganisme menjadi lebih virulen dan/atau menjadi kebal terhadap antimikroba.
    (2)
    Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif.
    (3)
    Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
     
    a.
    peringatan tertulis;
     
    b.
    denda administratif;
     
    c.
    penghentian sementara dari kegiatan produksi dan/atau peredaran;
     
    d.
    penarikan dan pemusnahan produk dari peredaran; dan/atau
     
    e.
    pencabutan perizinan berusaha.
    (4)
    Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya.
    (5)
    Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dikenakan sesuai dengan besaran yang telah ditetapkan sebagai penerimaan negara bukan pajak atau pendapatan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (6)
    Tata cara pengenaan sanksi administratif berupa pencabutan perizinan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (7)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a sampai dengan huruf d diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 189

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman penanggulangan penyakit menular diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedelapan
    Penanggulangan Penyakit Tidak Menular
     

    Pasal 190

    (1)
    Penanggulangan penyakit tidak menular diselenggarakan secara terkoordinasi, terpadu, dan berkesinambungan dalam bentuk promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif dengan mempertimbangkan aspek determinan Kesehatan.
    (2)
    Penyakit tidak menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penyakit yang tidak dapat ditularkan dari satu orang ke orang lain dan cenderung berdurasi panjang atau kronis yang diakibatkan dari kombinasi faktor risiko genetik, lingkungan, dan perilaku.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 191

    Penanggulangan penyakit tidak menular dilakukan untuk:
    a.
    meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kemauan, dan kemampuan berperilaku hidup sehat;
    b.
    mencegah terjadinya penyakit tidak menular beserta akibat yang ditimbulkan;
    c.
    menurunkan jumlah yang sakit, disabilitas, dan/atau meninggal dunia; dan
    d.
    mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat penyakit tidak menular.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 192

    (1)
    Penanggulangan penyakit tidak menular dilaksanakan melalui:
     
    a.
    promosi Kesehatan;
     
    b.
    deteksi dini faktor risiko;
     
    c.
    pengendalian faktor risiko;
     
    d.
    pelindungan khusus;
     
    e.
    penemuan dini kasus;
     
    f.
    tata laksana dini;
     
    g.
    penanganan kasus berupa Pelayanan Kesehatan kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif; dan
     
    h.
    kegiatan lain yang ditetapkan oleh Menteri.
    (2)
    Promosi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kemauan dan kemampuan berperilaku hidup sehat, dan mencegah terjadinya penyakit tidak menular.
    (3)
    Promosi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa advokasi, sosialisasi, kampanye Kesehatan, gerakan masyarakat, serta komunikasi, informasi, dan edukasi.
    (4)
    Deteksi dini faktor risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditujukan untuk menemukan kondisi dan kebiasaan seseorang yang berisiko terjadinya penyakit tidak menular melalui anamnesa dan pemeriksaan.
    (5)
    Pengendalian faktor risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat berupa kegiatan:
     
    a.
    pengendalian konsumsi gula, garam, dan lemak;
     
    b.
    pengendalian produk tembakau dan turunannya;
     
    c.
    pembiasaan aktivitas fisik dan olahraga;
     
    d.
    mengonsumsi makanan yang beragam, bergizi seimbang, dan aman;
     
    e.
    istirahat yang cukup dan kelola stres;
     
    f.
    tidak merokok dan menghindari paparan asap rokok dan polutan;
     
    g.
    tidak mengonsumsi alkohol;
     
    h.
    pengendalian lingkungan obesogenik; dan
     
    i.
    pengendalian karsinogenik.
    (6)
    Pelindungan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dapat berupa pemberian imunisasi dan penggunaan alat pelindung terhadap paparan tertentu.
    (7)
    Penemuan dini kasus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dilakukan melalui skrining dan deteksi dini terhadap faktor risiko dan penyakit tidak menular.
    (8)
    Tata laksana dini sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dilakukan melalui pengobatan dan perawatan terhadap faktor risiko yang dapat menyebabkan penyakit tidak menular.
    (9)
    Penanganan kasus berupa Pelayanan Kesehatan kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g dilakukan melalui penegakan diagnosis, pengobatan, dan perawatan termasuk perawatan rehabilitatif dan/atau paliatif, serta tindakan rujukan dan rujuk balik.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 193

    (1)
    Dalam rangka pengendalian faktor risiko penyakit tidak menular, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota bertanggung jawab meningkatkan advokasi, sosialisasi, kampanye Kesehatan, serta komunikasi, informasi, dan edukasi kepada masyarakat.
    (2)
    Dalam pelaksanaan kegiatan advokasi, sosialisasi, kampanye Kesehatan, serta komunikasi, informasi, dan edukasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), keluarga dan masyarakat termasuk swasta harus terlibat dan berperan secara aktif guna terwujudnya perubahan perilaku masyarakat yang terhindar dari risiko penyakit tidak menular.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 194

    (1)
    Dalam rangka pengendalian konsumsi gula, garam, dan lemak, Pemerintah Pusat menentukan batas maksimal kandungan gula, garam, dan lemak dalam pangan olahan, termasuk pangan olahan siap saji.
    (2)
    Penentuan batas maksimal kandungan gula, garam, dan lemak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang pembangunan manusia dan kebudayaan dengan mengikutsertakan kementerian dan lembaga terkait.
    (3)
    Penentuan batas maksimal kandungan gula, garam, dan lemak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan:
     
    a.
    kajian risiko; dan/atau
     
    b.
    standar internasional.
    (4)
    Selain penetapan batas maksimum kandungan gula, garam, dan lemak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat dapat menetapkan pengenaan cukai terhadap pangan olahan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 195

    (1)
    Setiap Orang yang memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan pangan olahan termasuk pangan olahan siap saji wajib:
     
    a.
    memenuhi ketentuan batas maksimum kandungan gula, garam dan lemak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 194; dan
     
    b.
    mencantumkan label gizi termasuk kandungan gula, garam, dan lemak pada kemasan untuk pangan olahan atau pada media informasi untuk pangan olahan siap saji.
    (2)
    Setiap Orang yang memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan pangan olahan termasuk pangan olahan siap saji yang melebihi ketentuan batas maksimum kandungan gula, garam, dan lemak dilarang melakukan iklan, promosi, dan sponsor kegiatan pada waktu, lokasi, dan kelompok sasaran tertentu.
    (3)
    Setiap Orang dilarang melakukan penjualan atau peredaran pangan olahan termasuk pangan olahan siap saji yang melebihi ketentuan batas maksimum kandungan gula, garam dan lemak pada kawasan tertentu.
    (4)
    Setiap Orang yang memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan pangan olahan termasuk pangan olahan siap saji dibatasi dan/atau dilarang menggunakan zat/bahan yang berisiko menimbulkan penyakit tidak menular.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 196

    (1)
    Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 195 dikenai sanksi administratif.
    (2)
    Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
     
    a.
    peringatan tertulis;
     
    b.
    denda administratif;
     
    c.
    penghentian sementara dari kegiatan produksi dan/atau peredaran produk;
     
    d.
    penarikan pangan olahan dari peredaran; dan/atau
     
    e.
    pencabutan perizinan berusaha.
    (3)
    Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh Menteri, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian, kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya.
    (4)
    Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dikenakan sesuai dengan besaran yang telah ditetapkan sebagai penerimaan negara bukan pajak atau pendapatan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Tata cara pengenaan sanksi administratif berupa pencabutan perizinan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (6)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d diatur dengan Peraturan Menteri, peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan, peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian, dan/atau peraturan kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan kewenangannya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 197

    (1)
    Penanggulangan penyakit tidak menular didukung dengan kegiatan surveilans faktor risiko, registri penyakit, dan surveilans kematian.
    (2)
    Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memperoleh informasi yang esensial serta dapat digunakan untuk pengambilan keputusan dalam upaya penanggulangan penyakit tidak menular.
    (3)
    Surveilans faktor risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memantau dan mengumpulkan data faktor risiko penyakit tidak menular melalui survei berbasis masyarakat atau institusi dan deteksi dini faktor risiko perilaku.
    (4)
    Registri penyakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mengumpulkan informasi kasus penyakit tidak menular.
    (5)
    Surveilans kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memantau dan mengumpulkan data penyebab kematian akibat penyakit tidak menular.
    (6)
    Surveilans faktor risiko, registri penyakit, dan surveilans kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berbasis populasi, klinis, laboratorium, dan kejadian.
    (7)
    Pelaksanaan surveilans faktor risiko, registri penyakit, dan surveilans kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara terkoordinasi antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
    (8)
    Pelaksanaan surveilans faktor risiko, registri penyakit, dan surveilans kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 198

    Penanggulangan penyakit tidak menular dilakukan melalui kerja sama lintas program, lintas sektor, pemangku kepentingan terkait, dan masyarakat, serta dengan membentuk jejaring, baik nasional maupun internasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 199

    (1)
    Dalam penanggulangan penyakit tidak menular dibutuhkan ketersediaan:
     
    a.
    Tenaga Medis dan/atau Tenaga Kesehatan yang merata dan mencukupi, serta Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan;
     
    b.
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama beserta jejaringnya dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut, dan fasilitas pelayanan lain, termasuk sarana prasarana;
     
    c.
    Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Perbekalan Kesehatan lainnya;
     
    d.
    pendanaan yang memadai sesuai kebutuhan dengan prinsip efektif dan efisien; dan
     
    e.
    pemberdayaan Upaya Kesehatan bersumber daya masyarakat.
    (2)
    Pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dapat diperoleh dari hibah, tanggung jawab sosial perusahaan, dan sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 200

    (1)
    Dalam penanggulangan penyakit tidak menular, Pemerintah Pusat bertanggung jawab:
     
    a.
    menetapkan kebijakan dan strategi nasional penanggulangan penyakit tidak menular termasuk pencantuman informasi nilai gizi dan/atau batas maksimum kandungan gula, garam, dan lemak pada pangan olahan termasuk pangan olahan siap saji;
     
    b.
    menetapkan ketentuan pelarangan iklan, promosi, dan sponsor pada pangan olahan termasuk pangan olahan siap saji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 195 ayat (2);
     
    c.
    menetapkan ketentuan mengenai informasi kandungan gula, garam, lemak, pesan Kesehatan, dan label gizi depan kemasan pada pangan olahan dan/atau pangan olahan siap saji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 195 ayat (1);
     
    d.
    menetapkan program edukasi kepada masyarakat dalam pengendalian konsumsi gula, garam, dan lemak;
     
    e.
    menyediakan Sumber Daya Kesehatan;
     
    f.
    melakukan advokasi dan kerja sama lintas program, lintas sektor, masyarakat, dan dengan negara lain secara terkoordinasi dan terpadu; dan
     
    g.
    melakukan penelitian dan pengembangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Dalam penyelenggaraan penanggulangan penyakit tidak menular, Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota bertanggung jawab:
     
    a.
    menetapkan kebijakan dan melaksanakan penanggulangan penyakit tidak menular sebagai program prioritas daerah dengan mengacu pada kebijakan dan strategi nasional penanggulangan penyakit tidak menular;
     
    b.
    menyediakan Sumber Daya Kesehatan;
     
    c.
    melakukan advokasi dan kerja sama lintas program, lintas sektor, dan masyarakat;
     
    d.
    melakukan penelitian dan pengembangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
     
    e.
    menetapkan dan melaksanakan ketentuan mengenai kawasan pangan rendah gula, garam, dan lemak.
    (3)
    Dalam penanggulangan penyakit tidak menular, Pemerintah Desa bertanggung jawab:
     
    a.
    melaksanakan penanggulangan penyakit tidak menular dengan mengacu pada kebijakan dan strategi nasional penanggulangan penyakit tidak menular dan kebijakan Pemerintah Daerah;
     
    b.
    menyediakan Sumber Daya Kesehatan;
     
    c.
    melakukan advokasi dan kerja sama lintas program dan lintas sektor; dan
     
    d.
    melaksanakan Upaya Kesehatan bersumber daya masyarakat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 201

    (1)
    Menteri menetapkan program prioritas dan target penanggulangan penyakit tidak menular di tingkat nasional maupun daerah.
    (2)
    Pemerintah Daerah melaksanakan program prioritas dan target penanggulangan penyakit tidak menular yang ditetapkan oleh Menteri.
    (3)
    Selain melaksanakan program prioritas dan target penanggulangan penyakit tidak menular sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Daerah dapat menetapkan program prioritas dan target lain sesuai dengan kebutuhan wilayahnya.
    (4)
    Penetapan program prioritas dan target sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) didasarkan padajenis penyakit tidak menular dengan kriteria:
     
    a.
    dapat dilakukan pencegahan, pengobatan, dan/atau rehabilitasi; dan
     
    b.
    tingginya angka kematian, kesakitan, disabilitas, dan/atau beban biaya pengobatan.
    (5)
    Selain kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Menteri dapat menetapkan kriteria lain dalam penetapan program prioritas dan target penanggulangan penyakit tidak menular.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 202

    Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota berwenang menetapkan kebijakan pengendalian faktor risiko penyakit tidak menular berupa:
    a.
    pengaturan dan pembinaan kepada pedagang penjualan makanan dan minuman yang berjualan di sekitar sekolah dan tempat kerja;
    b.
    pengawasan promosi dan kampanye pangan;
    c.
    pengawasan pangan industri rumah tangga, pangan olahan siap saji termasuk porsi makanan dan minuman yang disajikan pada tempat usaha, serta pangan jajanan anak sekolah di wilayahnya;
    d.
    memastikan ketersediaan buah, sayur, dan pangan sehat yang terjangkau;
    e.
    peningkatan kemampuan untuk melakukan aktivitas fisik melalui pemenuhan sarana dan prasarana aktivitas fisik dan sarana olahraga termasuk sarana mobilitas untuk transportasi aktif;
    f.
    pemenuhan sarana ruang terbuka hijau dan pemanfaatan lahan untuk promosi Kesehatan lingkungan dan faktor risiko lingkungan, termasuk penanggulangan polusi udara dan pelarangan pembakaran terbuka;
    g.
    pembiasaan aktivitas fisik dan olahraga terutama di lingkungan perkantoran dan industri;
    h.
    pembinaan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran pencegahan dan pengendalian penyakit tidak menular; dan
    i.
    upaya pengendalian faktor risiko lainnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 203

    Dalam penanggulangan penyakit tidak menular, masyarakat berperan:
    a.
    meningkatkan pengetahuan dan partisipasi aktif dalam kegiatan promosi Kesehatan, pencegahan dan pengendalian faktor risiko, serta bentuk penanggulangan penyakit tidak menular lain yang memerlukan kolaborasi masyarakat; dan
    b.
    mendukung penyediaan Sumber Daya Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 204

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman penanggulangan penyakit tidak menular diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesembilan
    Upaya Kesehatan Penglihatan dan Pendengaran
     

    Pasal 205

    (1)
    Upaya Kesehatan penglihatan dan pendengaran ditujukan untuk meningkatkan derajat Kesehatan penglihatan dan pendengaran masyarakat serta menurunkan angka disabilitas.
    (2)
    Upaya Kesehatan penglihatan dan pendengaran diselenggarakan secara terpadu, komprehensif, efektif, efisien, dan berkelanjutan.
    (3)
    Upaya Kesehatan penglihatan dan pendengaran dilakukan pada seluruh siklus hidup dalam bentuk promotif, preventif, kuratif, dan/atau rehabilitatif.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 206

    (1)
    Penyelenggaraan Upaya Kesehatan penglihatan dan pendengaran diprioritaskan pada penyakit dengan kriteria sebagai berikut:
     
    a.
    dapat dilakukan pencegahan, pengobatan, dan/atau rehabilitasi; dan
     
    b.
    tingginya angka kesakitan, angka disabilitas, dan/atau tingginya beban biaya pengobatan.
    (2)
    Penyelenggaraan Upaya Kesehatan penglihatan dan pendengaran dilakukan melalui:
     
    a.
    promosi Kesehatan;
     
    b.
    pengendalian faktor risiko;
     
    c.
    penemuan kasus;
     
    d.
    pelindungan khusus; dan
     
    e.
    penanganan kasus.
    (3)
    Promosi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kemauan, dan kemampuan berperilaku hidup sehat, dan mencegah terjadinya gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran.
    (4)
    Promosi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa advokasi, sosialisasi, kampanye Kesehatan, gerakan masyarakat, serta komunikasi, informasi, dan edukasi.
    (5)
    Promosi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dipublikasikan melalui media resmi.
    (6)
    Pengendalian faktor risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat berupa kegiatan:
     
    a.
    pengendalian kebisingan di tempat kerja, tempat hiburan atau rekreasi, satuan pendidikan, dan fasilitas umum lainnya;
     
    b.
    pengaturan tingkat pencahayaan di tempat kerja dan satuan pendidikan;
     
    c.
    pengendalian penyakit tidak menular dan komplikasi penyakit;
     
    d.
    pengendalian pajanan zat kimia dan/atau Obat yang bersifat ototoksik; dan
     
    e.
    perubahan perilaku berisiko yang menyebabkan gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran.
    (7)
    Penemuan kasus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan melalui skrining dan deteksi dini sesuai dengan siklus hidup terhadap faktor risiko dan penyakit mata atau telinga.
    (8)
    Pelindungan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dapat berupa pemberian imunisasi dan penggunaan alat pelindungan terhadap paparan tertentu.
    (9)
    Penanganan kasus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dapat dilakukan melalui penegakan diagnosis, tata laksana, habilitasi, dan rehabilitasi, serta tindakan rujukan dan rujuk balik.
    (10)
    Rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dapat dilakukan melalui Upaya Kesehatan bersumber daya masyarakat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 207

    (1)
    Upaya Kesehatan penglihatan dan pendengaran didukung oleh kegiatan surveilans faktor risiko, registri penyakit, dan surveilans disabilitas.
    (2)
    Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memperoleh informasi yang esensial serta dapat digunakan untuk pengambilan keputusan dalam Upaya Kesehatan penglihatan dan pendengaran.
    (3)
    Surveilans faktor risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memantau dan mengumpulkan data faktor risiko perilaku dan lingkungan.
    (4)
    Registri penyakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mengumpulkan informasi penyakit mata atau telinga yang didiagnosis berbasis Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
    (5)
    Surveilans disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memantau dan mengumpulkan data disabilitas akibat gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran.
    (6)
    Kegiatan surveilans faktor risiko, registri penyakit, dan surveilans disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terkoordinasi antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
    (7)
    Kegiatan surveilans faktor risiko, registri penyakit, dan surveilans disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Sistem lnformasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 208

    Dalam Upaya Kesehatan penglihatan dan pendengaran dibutuhkan ketersediaan:
    a.
    Tenaga Medis dan/atau Tenaga Kesehatan serta Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan yang merata dan mencukupi;
    b.
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama beserta jejaringnya, Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut, dan fasilitas pelayanan lain yang mendukung Upaya Kesehatan penglihatan dan pendengaran, termasuk sarana dan prasarana sesuai standar;
    c.
    Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Perbekalan Kesehatan lainnya, termasuk alat bantu Kesehatan bagi penyandang gangguan penglihatan dan/atau gangguan pendengaran yang aman, berkhasiat atau bermanfaat, dan bermutu;
    d.
    pendanaan yang memadai sesuai kebutuhan dengan prinsip efektif dan efisien; dan
    e.
    pemberdayaan Upaya Kesehatan bersumber daya masyarakat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 209

    Tanggung jawab Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa, dan masyarakat dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan penglihatan dan pendengaran sesuai dengan ketentuan tanggung jawab Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa, dan masyarakat dalam penyelenggaraan penanggulangan penyakit tidak menular.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 210

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman penyelenggaraan Upaya Kesehatan penglihatan dan pendengaran diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesepuluh
    Upaya Kesehatan Keluarga
     

    Pasal 211

    (1)
    Upaya Kesehatan keluarga ditujukan agar tercipta interaksi dinamis yang positif antaranggota keluarga yang memungkinkan setiap anggota keluarga mengalami kesejahteraan fisik, jiwa, dan sosial yang optimal.
    (2)
    Keluarga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri atas:
     
    a.
    suami dan istri;
     
    b.
    suami, istri, dan anaknya;
     
    c.
    ayah dan anaknya; atau
     
    d.
    ibu dan anaknya.
    (3)
    Selain keluarga sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Upaya Kesehatan keluarga juga diselenggarakan pada keluarga lain yang sedarah maupun keluarga yang tidak sedarah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 212

    (1)
    Upaya Kesehatan keluarga meliputi aspek:
     
    a.
    proses sosial dan emosional dalam keluarga;
     
    b.
    kebiasaan hidup sehat dalam keluarga;
     
    c.
    sumber daya keluarga untuk hidup sehat; dan
     
    d.
    dukungan sosial eksternal untuk hidup sehat.
    (2)
    Proses sosial dan emosional dalam keluarga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan proses internal antaranggota keluarga hingga terjalin hubungan komunikasi, kestabilan emosional, dan kepuasan, serta dukungan keluarga dalam mencegah dan menangani masalah Kesehatan.
    (3)
    Kebiasaan hidup sehat dalam keluarga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan perilaku hidup sehat setiap individu dalam keluarga.
    (4)
    Sumber daya keluarga untuk hidup sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan ketersediaan materi dan nonmateri yang dibutuhkan keluarga dalam menjamin keberlangsungan Kesehatan anggota keluarga.
    (5)
    Dukungan sosial eksternal untuk hidup sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan bantuan atau dukungan masyarakat atau pemerintah yang dibutuhkan keluarga dalam menjamin keberlangsungan Kesehatan anggota keluarga.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 213

    (1)
    Penyelenggaraan Upaya Kesehatan keluarga dilakukan menggunakan pendekatan siklus hidup.
    (2)
    Penyelenggaraan Upaya Kesehatan keluarga paling sedikit dilakukan melalui kegiatan:
     
    a.
    pengasuhan positif;
     
    b.
    pembiasaan hidup sehat dalam keluarga;
     
    c.
    pemberian Pelayanan Kesehatan dan kedokteran keluarga;
     
    d.
    pemanfaatan data dan Informasi Kesehatan berbasis keluarga; dan
     
    e.
    kunjungan keluarga.
    (3)
    Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara komprehensif dan terintegrasi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 214

    (1)
    Pengasuhan positif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 213 ayat (2) huruf a bertujuan untuk memenuhi pelindungan hak anak dan mengoptimalkan tumbuh kembang anak.
    (2)
    Pengasuhan positif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh ayah dan/atau ibu dari keluarga yang sedarah atau keluarga yang tidak sedarah.
    (3)
    Pengasuhan positif merupakan pemberian pengasuhan pertama dalam menjaga Kesehatan anak yang dapat berupa pemberian makanan bergizi seimbang, pembiasaan perilaku sehat, dan mengenali tanda masalah Kesehatan serta proaktif dalam perawatan Kesehatan.
    (4)
    Ayah dan/atau ibu dari keluarga yang sedarah atau keluarga yang tidak sedarah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam pengasuhan positif harus menerapkan pengetahuan dan keterampilan pengasuhan anak yang tepat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 215

    (1)
    Pembiasaan hidup sehat dalam keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 213 ayat (2) huruf b bertujuan untuk membudayakan pola perilaku hidup sehat dalam keluarga hingga tercermin dalam tata perilaku sehari-hari untuk keberlangsungan Kesehatan anggota keluarga.
    (2)
    Pembiasaan hidup sehat dalam keluarga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    melakukan aktivitas fisik;
     
    b.
    menjaga pola makan sehat;
     
    c.
    menghindari kebiasaan buruk yang berdampak terhadap Kesehatan;
     
    d.
    melakukan skrining Kesehatan;
     
    e.
    menjaga Kesehatan lingkungan rumah; dan
     
    f.
    perilaku lainnya yang berkorelasi pada Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 216

    (1)
    Pemberian Pelayanan Kesehatan dan kedokteran keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 213 ayat (2) huruf c bertujuan untuk mewujudkan keadaan yang sehat secara menyeluruh bagi keluarga melalui pelayanan yang bersifat promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif.
    (2)
    Pelayanan Kesehatan dan kedokteran keluarga diberikan oleh:
     
    a.
    Tenaga Medis termasuk yang memiliki kompetensi kedokteran keluarga; dan/atau
     
    b.
    Tenaga Kesehatan.
    (3)
    Puskesmas bertanggung jawab mengoordinasikan pelaksanaan Pelayanan Kesehatan dan kedokteran keluarga di wilayahnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 217

    (1)
    Pemanfaatan data dan Informasi Kesehatan berbasis keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 213 ayat (2) huruf d bertujuan untuk:
     
    a.
    mempermudah proses pelayanan;
     
    b.
    mengetahui status Kesehatan keluarga;
     
    c.
    sebagai dasar kunjungan keluarga;
     
    d.
    menentukan prioritas sasaran; dan
     
    e.
    melakukan intervensi.
    (2)
    Data dan Informasi Kesehatan berbasis keluarga merupakan data dan lnformasi Kesehatan seluruh anggota keluarga yang diperoleh dari rekam medis, pencatatan dan/atau pelaporan kegiatan Pelayanan Kesehatan, serta data dan informasi mengenai perilaku dan lingkungan keluarga.
    (3)
    Data dan Informasi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diselenggarakan melalui sistem informasi data keluarga oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
    (4)
    Sistem informasi data keluarga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 218

    (1)
    Kunjungan keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 213 ayat (2) huruf e bertujuan memastikan agar seluruh anggota keluarga mendapatkan akses terhadap Pelayanan Kesehatan.
    (2)
    Kunjungan keluarga merupakan kegiatan kunjungan rumah yang dilakukan oleh kader, Tenaga Medis, dan/atau Tenaga Kesehatan kepada keluarga yang berada di wilayah kerjanya.
    (3)
    Kunjungan keluarga dikoordinasikan oleh unit Pelayanan Kesehatan di tingkat desa/kelurahan.
    (4)
    Hasil dari kunjungan keluarga dianalisis untuk merumuskan rencana kerja dan intervensi berikutnya oleh unit Pelayanan Kesehatan di tingkat desa/kelurahan.
    (5)
    Dalam hal unit Pelayanan Kesehatan di tingkat desa/kelurahan tidak mampu menangam masalah Kesehatan keluarga di wilayahnya, Puskesmas bertanggung jawab untuk menangani masalah Kesehatan secara komprehensif.
    (6)
    Kunjungan rumah oleh kader sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan terhadap keluarga secara berkala dengan mengutamakan:
     
    a.
    anggota keluarga yang tidak datang pada saat jadwal pelayanan pos pelayanan terpadu atau Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
     
    b.
    anggota keluarga yang memerlukan pendampingan dalam kepatuhan pengobatan; dan/atau
     
    c.
    anggota keluarga dengan risiko masalah Kesehatan.
    (7)
    Kader sebagaimana dimaksud pada ayat (6) sebelum melaksanakan kunjungan rumah harus mendapatkan pembekalan terkait pendampingan Kesehatan.
    (8)
    Kunjungan rumah oleh Tenaga Medis dan/atau Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan terhadap anggota keluarga yang mempunyai masalah Kesehatan yang harus dipantau berdasarkan hasil Pelayanan Kesehatan atau hasil kunjungan rumah oleh kader.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 219

    Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah Desa bertanggung jawab atas penyelenggaraan Upaya Kesehatan keluarga sesuai kewenangan masing-masing.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 220

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman penyelenggaraan Upaya Kesehatan keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 211 sampai dengan Pasal 218 diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesebelas
    Kesehatan Sekolah
     

    Pasal 221

    (1)
    Kesehatan sekolah diselenggarakan untuk meningkatkan kemampuan hidup sehat bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas serta mewujudkan lingkungan sekolah yang sehat.
    (2)
    Kesehatan sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan pada satuan pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan.
    (3)
    Kesehatan sekolah yang diselenggarakan pada satuan pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diselenggarakan sesuai dengan kemampuan satuan pendidikan.
    (4)
    Kesehatan sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan melalui:
     
    a.
    pendidikan Kesehatan;
     
    b.
    Pelayanan Kesehatan; dan
     
    c.
    pembinaan lingkungan sekolah sehat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 222

    (1)
    Pendidikan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 221 ayat (4) huruf a ditujukan untuk peningkatan pengetahuan, sikap, dan perilaku serta keterampilan hidup sehat.
    (2)
    Pendidikan Kesehatan dilaksanakan melalui kegiatan intrakurikuler, kokurikuler, dan/atau ekstrakurikuler.
    (3)
    Pendidikan Kesehatan diberikan oleh pendidik dan dapat berkolaborasi dengan Tenaga Medis dan/atau Tenaga Kesehatan atau kader Kesehatan yang memiliki kompetensi dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 223

    (1)
    Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 221 ayat (4) huruf b dilaksanakan dengan mengutamakan pelayanan promotif dan preventif, tanpa mengesampingkan pelayanan kuratif dan rehabilitatif.
    (2)
    Pelayanan promotif dilaksanakan melalui pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi Kesehatan dalam kegiatan intrakurikuler, kokurikuler, dan/atau ekstrakurikuler.
    (3)
    Pelayanan preventif dilaksanakan melalui pemberian imunisasi, pelaksanaan skrining Kesehatan, pemberian suplementasi gizi, dan pemberian Sediaan Farmasi untuk pencegahan penyakit.
    (4)
    Pelayanan kuratif dilaksanakan melalui pertolongan pertama pada kecelakaan, pertolongan pertama pada penyakit, dan rujukan Kesehatan.
    (5)
    Pelayanan rehabilitatif dilaksanakan melalui pemberian pelayanan psikososial pada korban perundungan atau kekerasan dan masalah Kesehatan jiwa lainnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 224

    (1)
    Pelayanan promotif dilaksanakan oleh satuan pendidikan dan dapat berkolaborasi dengan Puskesmas penanggung jawab wilayah.
    (2)
    Pelayanan preventif, kuratif, dan rehabilitatif dilaksanakan oleh Puskesmas penanggung jawab wilayah atau oleh satuan pendidikan setelah berkoordinasi dengan Puskesmas penanggung jawab wilayah.
    (3)
    Pelayanan preventif, kuratif, dan rehabilitatif diberikan oleh Tenaga Medis dan/atau Tenaga Kesehatan yang memiliki kompetensi dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Tenaga Medis dan/atau Tenaga Kesehatan dalam melaksanakan pelayanan preventif, kuratif, dan rehabilitatif melibatkan atau berkolaborasi dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang kompeten, dan/atau kader Kesehatan sekolah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 225

    (1)
    Pembinaan lingkungan sekolah sehat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 221 ayat (4) huruf c ditujukan untuk mewujudkan lingkungan satuan pendidikan yang sehat, aman, nyaman, dan inklusif.
    (2)
    Pembinaan lingkungan sekolah sehat dilaksanakan melalui pembinaan lingkungan fisik dan pembinaan lingkungan sosial emosional.
    (3)
    Pembinaan lingkungan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
     
    a.
    pemenuhan akses air bersih, sanitasi, dan kebersihan;
     
    b.
    fasilitasi kantin sehat atau pangan jajanan anak sekolah yang sehat, aman, bermutu, dan bergizi;
     
    c.
    penciptaan lingkungan satuan pendidikan yang bersih, indah, nyaman, tertib, aman, dan rindang;
     
    d.
    penyehatan media lingkungan, pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit, serta pengamanan limbah, sampah, dan zat berbahaya lainnya;
     
    e.
    peningkatan kesiapsiagaan bencana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
     
    f.
    penerapan kawasan tanpa rokok dan bebas dari penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.
    (4)
    Pembinaan lingkungan sosial emosional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
     
    a.
    penciptaan lingkungan satuan pendidikan yang responsif terhadap kebutuhan anak termasuk anak yang berkebutuhan khusus; dan
     
    b.
    penerapan satuan pendidikan bebas kekerasan, pelecehan, pornografi, pornoaksi, dan ketergantungan internet.
    (5)
    Pembinaan lingkungan sekolah sehat dilakukan oleh satuan pendidikan dan dapat berkolaborasi dengan Puskesmas penanggung jawab wilayah dan/atau pihak lain sesuai kebutuhan.
    (6)
    Masyarakat di lingkungan sekolah harus mendukung dan melaksanakan pembinaan lingkungan sekolah sehat melalui:
     
    a.
    penciptaan kawasan tanpa rokok, tanpa kekerasan, serta bebas dari penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;
     
    b.
    pemenuhan pangan jajanan anak sekolah yang sehat, aman, bermutu, dan bergizi; dan
     
    c.
    menjaga kebersihan dan keamanan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 226

    (1)
    Tenaga pendidik pada satuan pendidikan bertanggung jawab memberikan pendidikan Kesehatan dan memastikan kegiatan Kesehatan sekolah termasuk pembiasaan hidup sehat di satuan pendidikan berjalan dengan baik.
    (2)
    Tenaga kependidikan pada satuan pendidikan bertanggung jawab memfasilitasi pelaksanaan Kesehatan sekolah di satuan pendidikan.
    (3)
    Peserta didik pada satuan pendidikan bertanggung jawab ikut berpartisipasi aktif dalam implementasi Kesehatan sekolah dan menjadi pelopor atau agen perubahan hidup sehat di satuan pendidikan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 227

    (1)
    Setiap pelaksanaan kegiatan Kesehatan sekolah harus dilakukan pencatatan dan pelaporan.
    (2)
    Pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sistem informasi pada satuan pendidikan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 228

    (1)
    Dalam penyelenggaraan Kesehatan sekolah, satuan pendidikan melakukan asesmen mandiri terhadap penyelenggaraan sekolah sehat dan kampus sehat.
    (2)
    Satuan pendidikan yang telah melaksanakan asesmen mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan stratifikasi oleh pemerintah.
    (3)
    Satuan pendidikan yang telah mencapai tingkat stratifikasi tertentu dapat diberikan penghargaan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 229

    (1)
    Pedoman dalam penyelenggaraan Kesehatan sekolah pada satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 221 sampai dengan 228 disusun oleh Menteri berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.
    (2)
    Pedoman sebagaimana yang dimaksud oleh ayat (1) ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama sesuai dengan kewenangannya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 230

    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan koordinasi, pembinaan, dan pengawasan penyelenggaraan Kesehatan sekolah secara berkala dan berkelanjutan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 231

    Dalam penyelenggaraan Kesehatan sekolah, masyarakat berperan:
    a.
    memberikan asistensi, konsultasi, atau bimbingan teknis;
    b.
    memberikan penyuluhan atau penyebarluasan Informasi Kesehatan;
    c.
    memberikan dukungan fasilitasi penyelenggaraan Kesehatan sekolah;
    d.
    memberikan dukungan pendanaan; dan
    e.
    memberikan dukungan kegiatan penelitian dan pengembangan Kesehatan sekolah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua Belas
    Upaya Kesehatan Kerja
     

    Pasal 232

    (1)
    Upaya Kesehatan kerja ditujukan untuk melindungi pekerja dan orang lain yang ada di tempat kerja agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan Kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan dan gangguan Kesehatan lainnya.
    (2)
    Upaya Kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari keselamatan dan Kesehatan kerja.
    (3)
    Upaya Kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di tempat kerja pada sektor formal dan informal serta pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
    (4)
    Upaya Kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku juga untuk pekerjaan di lingkungan matra.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 233

    (1)
    Penyelenggaraan Upaya Kesehatan kerja meliputi:
     
    a.
    upaya promotif;
     
    b.
    upaya preventif;
     
    c.
    upaya kuratif;
     
    d.
    upaya rehabilitatif; dan
     
    e.
    upaya paliatif.
    (2)
    Upaya promotif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
     
    a.
    identifikasi risiko atau bahaya dan masalah Kesehatan;
     
    b.
    peningkatan pengetahuan Kesehatan dan faktor risiko Kesehatan;
     
    c.
    pembudayaan perilaku hidup bersih dan sehat;
     
    d.
    pembudayaan keselamatan dan Kesehatan kerja;
     
    e.
    pemenuhan gizi seimbang pekerja;
     
    f.
    peningkatan Kesehatan fisik dan jiwa; dan
     
    g.
    Kesehatan reproduksi.
    (3)
    Upaya promotif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan di tempat kerja.
    (4)
    Upaya preventif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
     
    a.
    pencegahan penyakit akibat kerja; dan
     
    b.
    pencegahan penyakit lainnya di tempat kerja.
    (5)
    Upaya preventif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling sedikit dilakukan melalui:
     
    a.
    identifikasi, penilaian, dan pengendalian potensi bahaya Kesehatan;
     
    b.
    pemenuhan persyaratan Kesehatan lingkungan kerja;
     
    c.
    perlindungan Kesehatan reproduksi;
     
    d.
    pemeriksaan Kesehatan;
     
    e.
    penilaian kelaikan kerja;
     
    f.
    pemberian imunisasi dan/atau profilaksis bagi pekerja berisiko tinggi;
     
    g.
    pelaksanaan kewaspadaan standar; dan
     
    h.
    surveilans Kesehatan kerja.
    (6)
    Upaya kuratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
     
    a.
    pertolongan pertama pada cedera dan sakit yang terjadi di tempat kerja;
     
    b.
    diagnosa dan tata laksana penyakit menular, penyakit tidak menular, dan/atau diakibatkan karena pekerjaan dan lingkungan kerja; dan
     
    c.
    penanganan kasus kegawatdaruratan medik dan/atau rujukan.
    (7)
    Upaya rehabilitatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi:
     
    a.
    pemulihan medis; dan
     
    b.
    pemulihan kerja.
    (8)
    Pemulihan medis sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan medis.
    (9)
    Pemulihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf b dilaksanakan melalui penilaian kondisi dan lingkungan kerja, kelayakan kerja, dan program kembali bekerja sesuai dengan standar dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (10)
    Upaya paliatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dilaksanakan melalui pemberian Pelayanan Kesehatan untuk meningkatkan kualitas hidup pada penyakit yang mengancam kehidupan dan akhir kehidupan pada pekerja yang berhubungan dengan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 234

    Penyelenggaraan Upaya Kesehatan kerja harus didukung dengan:
    a.
    sumber daya manusia;
    b.
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
    c.
    peralatan keselamatan dan Kesehatan kerja;
    d.
    pendanaan; dan
    e.
    pencatatan dan pelaporan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 235

    Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 234 huruf a terdiri atas Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, dan Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 236

    (1)
    Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 235 harus memiliki kompetensi untuk menyelenggarakan Upaya Kesehatan kerja yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan.
    (2)
    Pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa pelatihan di bidang kedokteran kerja atau pelatihan di bidang Kesehatan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 237

    (1)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 234 huruf b harus memenuhi standar yang ditetapkan oleh Menteri.
    (2)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disediakan melalui skema kerja sama.
    (3)
    Selain Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggaraan Upaya Kesehatan kerjajuga dapat dilakukan oleh unit Kesehatan kerja.
    (4)
    Unit Kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dimiliki oleh setiap tempat kerja sesuai dengan kemampuannya dan memenuhi standar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan unit Kesehatan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dalam menyelenggarakan Upaya Kesehatan kerja berkoordinasi dengan Puskesmas setempat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 238

    Peralatan keselamatan dan Kesehatan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 234 huruf c merupakan peralatan untuk pengukuran, pemeriksaan, dan peralatan lainnya termasuk alat pelindung diri sesuai dengan faktor risiko atau bahaya kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, dan penyakit lainnya pada pekerja.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 239

    (1)
    Pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 234 huruf d termasuk dapat menggunakan jaminan sosial Kesehatan dan jaminan sosial ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Selain jaminan sosial Kesehatan dan jaminan sosial ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pendanaan Kesehatan bagi pekerja juga dapat dipenuhi melalui asuransi Kesehatan lainnya atau pembiayaan penuh tempat kerja.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 240

    Pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 234 huruf e dilaksanakan oleh pemberi kerja, pengurus atau pengelola ternpat kerja, dan/atau Fasilitas Pelayanan Kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan dan terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 241

    (1)
    Upaya Kesehatan kerja sesuai dengan standar Kesehatan kerja wajib diselenggarakan oleh pemberi kerja dan pengurus atau pengelola tempat kerja di semua tempat kerja.
    (2)
    Standar Kesehatan kerja diatur dengan:
     
    a.
    Peraturan Menteri untuk standar Kesehatan kerja yang bersifat teknis Kesehatan; dan
     
    b.
    peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan untuk penerapan standar Kesehatan kerja bagi pekerja di perusahaan.
    (3)
    Penerapan standar Kesehatan kerja dapat dikembangkan oleh kementerian/lembaga terkait sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik bidang masing-masing.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 242

    (1)
    Pekerja berhak mendapatkan Upaya Kesehatan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 233.
    (2)
    Orang lain di tempat kerja berhak mendapatkan jaminan keselamatan dan Kesehatan kerja saat berada di lingkungan tempat kerja.
    (3)
    Pekerja wajib berpartisipasi aktif menjaga Kesehatan, menjaga lingkungan tempat kerja yang sehat dan aman, serta menaati peraturan keselamatan dan Kesehatan kerja yang berlaku di tempat kerja.
    (4)
    Orang lain di tempat kerja wajib berpartisipasi menjaga lingkungan tempat kerja yang sehat dan menaati peraturan keselamatan dan Kesehatan kerja yang berlaku di tempat kerja.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 243

    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab:
    a.
    menetapkan kebijakan dan melaksanakan Upaya Kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem keselamatan dan Kesehatan kerja;
    b.
    melakukan koordinasi secara berkala dan berkelanjutan dalam pelaksanaan Upaya Kesehatan kerja; dan
    c.
    meningkatkan kapasitas sumber daya dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan kerja.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 244

    Dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan kerja, masyarakat berperan dalam meningkatkan pemahaman dan mendukung penerapan terhadap Upaya Kesehatan kerja bagi pekerja dan orang lain yang berada di tempat kerja.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga Belas
    Kesehatan Lingkungan
     

    Pasal 245

    (1)
    Upaya Kesehatan lingkungan ditujukan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat secara fisik, kimia, biologi, dan sosial yang memungkinkan Setiap Orang mencapai derajat Kesehatan yang setinggi-tingginya.
    (2)
    Upaya Kesehatan lingkungan merupakan upaya pencegahan penyakit dan/atau gangguan Kesehatan dari faktor risiko lingkungan.
    (3)
    Upaya Kesehatan lingkungan diselenggarakan secara terpadu dan berkesinambungan, termasuk pada kondisi matra dan ancaman global perubahan iklim melalui upaya penyehatan, pengamanan, dan pengendalian.
    (4)
    Upaya Kesehatan lingkungan diselenggarakan pada lingkungan pemukiman, tempat kerja, tempat rekreasi, serta tempat dan fasilitas umum.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 246

    (1)
    Upaya penyehatan, pengamanan, dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (3) dilaksanakan untuk memenuhi standar baku mutu Kesehatan lingkungan dan persyaratan Kesehatan pada media lingkungan.
    (2)
    Media lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    air;
     
    b.
    udara;
     
    c.
    tanah;
     
    d.
    pangan;
     
    e.
    sarana dan bangunan;
     
    f.
    vektor dan binatang pembawa penyakit; dan
     
    g.
    media lingkungan lain.
    (3)
    Media air sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi:
     
    a.
    air minum; dan
     
    b.
    air untuk kolam renang, solus per aqua, dan pemandian umum.
    (4)
    Media udara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
     
    a.
    udara dalam ruang; dan
     
    b.
    udara ambien yang memajan langsung pada manusia dan memiliki risiko Kesehatan.
    (5)
    Media tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c meliputi tanah yang terbatas yang ditempati oleh manusia, makhluk hidup, dan unsur lingkungan hidup lainnya yang berada di lingkungan pemukiman, tempat kerja, tempat rekreasi, serta tempat dan fasilitas umum.
    (6)
    Media pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d meliputi:
     
    a.
    pangan segar;
     
    b.
    pangan olahan; dan
     
    c.
    pangan olahan siap saji.
    (7)
    Media sarana dan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e meliputi tempat dan wujud fisik basil pekerjaan konstruksi dan fasilitas pendukung yang menyatu dengan tempat kedudukannya yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatan di lingkungan pemukiman, tempat kerja, tempat rekreasi, serta tempat dan fasilitas umum.
    (8)
    Media vektor dan binatang pembawa penyakit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f meliputi hewan yang termasuk dalam kelompok artropoda dan selain artropoda yang dapat menularkan, memindahkan, dan/atau menjadi sumber penular penyakit.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 247

    (1)
    Standar baku mutu Kesehatan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 246 ayat (1) merupakan spesifikasi teknis atau nilai yang dibakukan dari aspek fisik, kimia, dan biologi pada media lingkungan yang meliputi:
     
    a.
    parameter;
     
    b.
    kadar dalam rentang minimum dan maksimum yang diperbolehkan;
     
    c.
    kadar yang dilarang; dan/atau
     
    d.
    lama pajanan.
    (2)
    Persyaratan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 246 ayat (1) merupakan kriteria atau ketentuan teknis Kesehatan dari aspek sosial yang berkaitan dengan perlakuan manusia terhadap media lingkungan.
    (3)
    Persyaratan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit berupa:
     
    a.
    memastikan air dalam keadaan terlindung dari kontaminasi fisik, kimia, dan biologi, binatang pembawa penyakit, dan tempat perkembangbiakan vektor;
     
    b.
    menerapkan sistem penghawaan atau ventilasi yang menjamin terjadinya pergantian udara;
     
    c.
    menerapkan prinsip higiene sanitasi dalam pengelolaan pangan;
     
    d.
    memastikan tanah aman dari kontaminasi bahan berbahaya dan beracun atau limbah berbahaya dan beracun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
     
    e.
    memastikan sarana dan bangunan kuat, aman, mudah dibersihkan, dan mudah pemeliharaannya.
    (4)
    Standar baku mutu Kesehatan lingkungan dan persyaratan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.
    (5)
    Menteri dalam menetapkan standar baku mutu Kesehatan lingkungan dan persyaratan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus berdasarkan pada:
     
    a.
    hasil penelitian dan pengembangan;
     
    b.
    peraturan perundang-undangan; dan/atau
     
    c.
    standar atau panduan internasional.
    (6)
    Standar baku mutu Kesehatan lingkungan dan persyaratan Kesehatan pada media pangan segar dan pangan olahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 246 ayat (6) huruf a dan huruf b ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 248

    (1)
    Upaya penyehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (3) dilakukan untuk menjaga atau meningkatkan kualitas media air, udara, tanah, pangan, dan sarana dan bangunan.
    (2)
    Upaya pengamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (3) dilakukan untuk mencegah terjadinya kontaminasi akibat limbah dan radiasi pada media lingkungan yang dapat menimbulkan gangguan Kesehatan.
    (3)
    Upaya pengendalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (3) dilakukan untuk mengurangi dan/atau mengendalikan vektor dan binatang pembawa penyakit.
    (4)
    Upaya penyehatan, pengamanan, dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) dilaksanakan melalui:
     
    a.
    pengamatan;
     
    b.
    uji laboratorium;
     
    c.
    analisis risiko;
     
    d.
    rekomendasi tindak lanjut;
     
    e.
    rekayasa lingkungan; dan/atau
     
    f.
    pemanfaatan dan pengembangan teknologi tepat guna.
    (5)
    Upaya penyehatan, pengamanan, dan pengendalian pada media pangan berupa pangan segar dan pangan olahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 246 ayat (6) huruf a dan huruf b ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (6)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai upaya penyehatan, pengamanan, dan pengendalian diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 249

    (1)
    Dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan lingkungan, Pemerintah Pusat bertanggung jawab:
     
    a.
    menetapkan kebijakan dan strategi nasional penyelenggaraan Kesehatan lingkungan;
     
    b.
    menetapkan kebijakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim bidang Kesehatan;
     
    c.
    melakukan aksi mitigasi dan aksi adaptasi perubahan iklim bidang Kesehatan di lintas provinsi dan lintas batas negara;
     
    d.
    menetapkan kebijakan dan melaksanakan penyelenggaraan Kesehatan lingkungan pada kondisi matra;
     
    e.
    melaksanakan surveilans, promosi Kesehatan, serta penelitian dan pengembangan penyelenggaraan Kesehatan lingkungan tingkat nasional;
     
    f.
    melakukan pengelolaan dan pengembangan Sistem Informasi Kesehatan lingkungan untuk mendukung pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan Kesehatan lingkungan tingkat nasional;
     
    g.
    melakukan kerja sama dengan lembaga nasional dan internasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
     
    h.
    memfasilitasi penyelenggaraan Upaya Kesehatan lingkungan di lintas provinsi dan lintas batas negara.
    (2)
    Dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan lingkungan, Pemerintah Daerah provinsi bertanggung jawab:
     
    a.
    menetapkan kebijakan penyelenggaraan Kesehatan lingkungan di tingkat provinsi dengan berpedoman pada kebijakan dan strategi nasional;
     
    b.
    menetapkan kebijakan dan strategi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim bidang Kesehatan di tingkat provinsi dengan berpedoman pada kebijakan yang ditetapkan secara nasional;
     
    c.
    melakukan aksi mitigasi dan aksi adaptasi perubahan iklim bidang Kesehatan an tarkabupaten/kota;
     
    d.
    menetapkan kebijakan dan melaksanakan penyelenggaraan Kesehatan lingkungan pada kondisi matra;
     
    e.
    melaksanakan surveilans, promosi Kesehatan, serta penelitian dan pengembangan penyelenggaraan Kesehatan lingkungan tingkat provinsi;
     
    f.
    melakukan pengelolaan dan pengembangan Sistem Informasi Kesehatan lingkungan untuk mendukung pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan Kesehatan lingkungan di tingkat provinsi;
     
    g.
    melakukan kerja sama dengan lembaga nasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan; dan
     
    h.
    melaksanakan fasilitasi Kesehatan lingkungan antarkabupaten/kota.
    (3)
    Dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan lingkungan, Pemerintah Daerah kabupaten/kota bertanggung jawab:
     
    a.
    menetapkan kebijakan untuk melaksanakan penyelenggaraan Kesehatan lingkungan, standar baku mutu Kesehatan lingkungan, dan persyaratan Kesehatan di tingkat kabupaten/kota dengan berpedoman pada kebijakan dan strategi nasional dan kebijakan yang ditetapkan Pemerintah Daerah provinsi;
     
    b.
    menetapkan kebijakan dan strategi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim bidang Kesehatan di tingkat kabupaten/kota dengan berpedoman pada kebijakan yang ditetapkan Pemerintah Daerah provinsi;
     
    c.
    melakukan aksi mitigasi dan aksi adaptasi perubahan iklim bidang Kesehatan di kabupaten/kota;
     
    d.
    menetapkan kebijakan dan melaksanakan penyelenggaraan Kesehatan lingkungan pada kondisi matra;
     
    e.
    melaksanakan surveilans, promosi Kesehatan, serta penelitian dan pengembangan penyelenggaraan Kesehatan lingkungan tingkat kabupaten/kota;
     
    f.
    memfasilitasi penyelenggaraan kabupaten/kota sehat melalui pemberdayaan masyarakat; dan
     
    g.
    melakukan kerja sama dengan lembaga nasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 250

    (1)
    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya menyelenggarakan Upaya Kesehatan lingkungan dalam keadaan tertentu.
    (2)
    Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    kondisi matra; dan
     
    b.
    ancaman global perubahan iklim.
    (3)
    Upaya Kesehatan lingkungan dalam kondisi matra sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan sebelum kejadian, saat kejadian, dan setelah kejadian kondisi matra.
    (4)
    Upaya Kesehatan lingkungan dalam ancaman global perubahan iklim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan melalui kegiatan mitigasi dan adaptasi.
    (5)
    Upaya Kesehatan lingkungan dalam ancaman global perubahan iklim sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan untuk mewujudkan sistem Kesehatan yang berketahanan iklim.
    (6)
    Sistem Kesehatan yang berketahanan iklim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) meliputi area intervensi:
     
    a.
    mengatasi berbagai dampak Kesehatan dari perubahan iklim, termasuk pencegahan dan pengendalian penyakit sensitif iklim;
     
    b.
    menguatkan Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang berketahanan iklim dan lestari lingkungan; dan
     
    c.
    mempromosikan manfaat Kesehatan yang diperoleh dari mitigasi perubahan iklim pada sektor lain.
    (7)
    Ketentuan mengenai area intervensi sistem Kesehatan yang berketahanan iklim sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 251

    (1)
    Setiap pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab lingkungan permukiman, tempat kerja, tempat rekreasi, serta tempat dan fasilitas umum wajib menyelenggarakan Kesehatan lingkungan.
    (2)
    Penyelenggaraan Kesehatan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terus-menerus dan berkelanjutan.
    (3)
    Dalam menyelenggarakan Kesehatan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab lingkungan permukiman, tempat kerja, tempat rekreasi, serta tempat dan fasilitas umum mendayagunakan Tenaga Kesehatan lingkungan atau pihak lain yang berkompeten, memenuhi kualifikasi, dan/atau terakreditasi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 252

    (1)
    Setiap pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab lingkungan permukiman, tempat kerja, tempat rekreasi, serta tempat dan fasilitas umum yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 251 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
    (2)
    Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
     
    a.
    teguran lisan;
     
    b.
    teguran tertulis;
     
    c.
    penghentian sementara kegiatan atau usaha; dan/atau
     
    d.
    pencabutan atau rekomendasi pencabutan izin.
    (3)
    Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi, atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 253

    Setiap penghuni dan/atau keluarga yang bertempat tinggal di lingkungan permukiman harus menyelenggarakan Kesehatan lingkungan untuk memelihara kualitas media lingkungan sesuai standar baku mutu Kesehatan lingkungan dan persyaratan Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 254

    (1)
    Dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan lingkungan, masyarakat berperan:
     
    a.
    mendukung perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, penilaian, dan pengawasan;
     
    b.
    memberikan bantuan sarana, tenaga ahli, dan finansial;
     
    c.
    mendukung kegiatan penelitian dan pengembangan Kesehatan lingkungan;
     
    d.
    memberikan bimbingan dan penyuluhan serta penyerbarluasan informasi; dan
     
    e.
    memberikan sumbangan pemikiran dan pertimbangan berkenaan dengan penentuan kebijakan dan/atau penyelenggaraan Kesehatan lingkungan.
    (2)
    Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan pada kegiatan:
     
    a.
    sanitasi total berbasis masyarakat;
     
    b.
    penyelenggaraan kabupaten/kota sehat; dan
     
    c.
    adaptasi dan mitigasi pada kondisi matra dan ancaman global perubahan iklim.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 255

    (1)
    Dalam rangka upaya pengamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248 ayat (2), limbah medis yang berasal dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan masyarakat harus dikelola dengan ketentuan:
     
    a.
    menggunakan teknologi yang ramah lingkungan dan alat pelindung diri untuk meminimalisir risiko Kesehatan dan pencemaran lingkungan;
     
    b.
    lokasi pengelolaan limbah medis tidak berdekatan dengan kegiatan pelayanan dan permukiman; dan
     
    c.
    alat, sarana, dan prasarana yang digunakan sesuai dengan standar.
    (2)
    Limbah medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa limbah padat, cair, dan gas.
    (3)
    Pengelolaan limbah medis yang berasal dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan pengurangan, pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, penyimpanan, pengolahan, dan penimbunan limbah.
    (4)
    Dalam hal limbah medis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memiliki karakteristik limbah bahan berbahaya dan beracun, pengelolaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Proses pengelolaan limbah medis yang berasal dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib memenuhi persyaratan teknis yang ditetapkan oleh Menteri.
    (6)
    Proses Pengelolaan limbah medis yang berasal dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan dapat dilakukan oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang memenuhi persyaratan teknis atau bekerja sama dengan pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 256

    (1)
    Dalam penyelenggaraan pengelolaan limbah medis yang berasal dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota dapat melakukan fasilitasi kepada Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang tidak mampu mengelola limbah medisnya sendiri melalui penyediaan pengelola.
    (2)
    Penyediaan pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui pembentukan unit pelaksana teknis daerah, badan usaha milik daerah, dan/atau bekerja sama dengan pihak swasta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 257

    Dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan lingkungan dibutuhkan sumber daya yang meliputi:
    a.
    sumber daya manusia, baik Tenaga Kesehatan maupun Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan, yang merata dan mencukupi;
    b.
    sarana dan prasarana serta Alat Kesehatan;
    c.
    pendanaan; dan
    d.
    teknologi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat Belas
    Kesehatan Matra
     

    Pasal 258

    (1)
    Kesehatan matra sebagai bentuk khusus Upaya Kesehatan diselenggarakan untuk mewujudkan derajat Kesehatan yang setinggi-tingginya dalam lingkungan matra yang serba berubah di lingkungan darat, laut, dan udara.
    (2)
    Lingkungan matra yang serba berubah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kondisi lingkungan yang berubah secara bermakna dan berpengaruh terhadap Kesehatan individu baik dari aspek fisik, biologi, kimia, psikis, maupun sosial.
    (3)
    Untuk dapat mengadaptasi lingkungan matra diperlukan peralatan khusus.
    (4)
    Pengawakan peralatan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan setelah melalui pendidikan dan pelatihan teknis maupun manajerial.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 259

    (1)
    Kesehatan matra meliputi:
     
    a.
    Kesehatan matra darat;
     
    b.
    Kesehatan matra laut; dan
     
    c.
    Kesehatan matra udara.
    (2)
    Kesehatan matra darat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan Kesehatan matra yang berhubungan dengan pekerjaan atau kegiatan di darat yang bersifat temporer pada lingkungan yang berubah.
    (3)
    Kesehatan matra laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan Kesehatan matra yang berhubungan dengan pekerjaan atau kegiatan di laut dan berhubungan dengan keadaan lingkungan yang bertekanan tinggi.
    (4)
    Kesehatan matra udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan Kesehatan matra yang berhubungan dengan penerbangan dan Kesehatan ruang angkasa dengan keadaan lingkungan yang bertekanan rendah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 260

    Penyelenggaraan Kesehatan matra dilakukan melalui kegiatan:
    a.
    promosi Kesehatan;
    b.
    surveilans Kesehatan dan surveilans faktor risiko;
    c.
    pengendalian faktor risiko;
    d.
    imunisasi dan/atau profilaksis;
    e.
    penanganan kasus; dan/atau
    f.
    kegiatan lain yang ditetapkan oleh Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 261

    (1)
    Penyelenggaraan Kesehatan matra dilaksanakan sesuai dengan standar dan persyaratan yang ditetapkan pada masing-masing Kesehatan matra darat, laut, dan udara.
    (2)
    Standar dan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri atau menteri/pimpinan lembaga ter.kait sesuai dengan tugas dan kewenangan masmg-masmg.
    (3)
    Menteri atau menteri/pimpinan lembaga terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam menetapkan standar dan persyaratan harus saling berkoordinasi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 262

    (1)
    Kesehatan matra diselenggarakan secara terkoordinasi, terpadu, dan berkesinambungan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
    (2)
    Pemerintah Pusat dalam menyelenggarakan Kesehatan matra dapat bekerja sama dengan negara lain atau organisasi internasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 263

    (1)
    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab:
     
    a.
    menetapkan keqijakan dan strategi;
     
    b.
    menyediakan sumber daya; dan
     
    c.
    melakukan penelitian dan pengembangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Sumber daya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi sumber daya manusia termasuk pendidikan dan pelatihan, Fasilitas Pelayanan Kesehatan, teknologi, sarana dan prasarana, Perbekalan Kesehatan, dan pendanaan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 264

    Setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang menyelenggarakan Kesehatan matra wajib melakukan pencatatan dan pelaporan melalui Sistem lnformasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 265

    Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan dalam penyelenggaraan Kesehatan matra darat, laut, dan udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 260 sampai dengan Pasal 262 diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima Belas
    Pelayanan Kesehatan pada Bencana
     

    Pasal 266

    Pelayanan Kesehatan pada bencana merupakan serangkaian kegiatan pelayanan yang direncanakan dan dipersiapkan saat prabencana serta dilaksanakan pada saat bencana dan pascabencana untuk memelihara dan meningkatkan derajat Kesehatan masyarakat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 267

    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya, fasilitas, dan pelaksanaan Pelayanan Kesehatan pada bencana secara menyeluruh dan berkesinambungan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 268

    Pelayanan Kesehatan pada bencana diselenggarakan untuk menjamin sistem Kesehatan yang tangguh untuk menghadapi ancaman bencana dalam rangka mengurangi risiko dan dampak Kesehatan pada masyarakat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 269

    (1)
    Pelayanan Kesehatan pada bencana dilakukan melalui serangkaian kegiatan:
     
    a.
    perencanaan Kesehatan prabencana;
     
    b.
    Pelayanan Kesehatan saat bencana; dan
     
    c.
    Pelayanan Kesehatan pascabencana.
    (2)
    Perencanaan Kesehatan prabencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa:
     
    a.
    mitigasi risiko;
     
    b.
    penyiapan Sumber Daya Kesehatan;
     
    c.
    perencanaan Pelayanan Kesehatan;
     
    d.
    koordinasi; dan
     
    e.
    kegiatan lain yang dibutuhkan.
    (3)
    Pelayanan Kesehatan saat bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b bertujuan untuk menyelamatkan nyawa, mencegah kedisabilitasan, dan memastikan Pelayanan Kesehatan esensial tetap berjalan sesuai dengan standar pelayanan minimal Pelayanan Kesehatan.
    (4)
    Pelayanan Kesehatan saat bencana meliputi pelayanan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif sesuai dengan kebutuhan.
    (5)
    Pelayanan Kesehatan pascabencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c bertujuan untuk memulihkan serta meningkatkan kondisi Kesehatan terhadap penduduk terdampak bencana.
    (6)
    Pelayanan Kesehatan pascabencana paling sedikit meliputi pemulihan fisik dan mental.
    (7)
    Pelayanan Kesehatan pada bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melibatkan seluruh sumber daya manusia yang terlatih, baik dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, maupun masyarakat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 270

    (1)
    Dalam menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan pada tanggap darurat bencana, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat menerima bantuan Sumber Daya Kesehatan dari luar negeri.
    (2)
    Bantuan Sumber Daya Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pendanaan Kesehatan, tim Gawat Darurat medis, dan bantuan Obat, Alat Kesehatan, dan Perbekalan Kesehatan lainnya.
    (3)
    Penerimaan bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terkoordinasi melalui Pemerintah Pusat.
    (4)
    Penerimaan bantuan Sumber Daya Kesehatan dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil analisis kebutuhan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah terdampak.
    (5)
    Penerimaan bantuan Sumber Daya Kesehatan yang berasal dari luar negeri pada saat bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 271

    (1)
    Dalam keadaan darurat, setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan, baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, maupun masyarakat wajib memberikan Pelayanan Kesehatan pada bencana untuk penyelamatan nyawa, pencegahan kedisabilitasan lebih lanjut, dan kepentingan terbaik bagi Pasien.
    (2)
    Untuk menjalankan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib melaksanakan program Fasilitas Pelayanan Kesehatan aman bencana yang dilakukan sejak prabencana.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai standar Fasilitas Pelayanan Kesehatan aman bencana diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 272

    (1)
    Untuk mendukung Pelayanan Kesehatan pada bencana, diperlukan:
     
    a.
    pengorganisasian Kesehatan bencana;
     
    b.
    manajemen penanggulangan Kesehatan bencana; dan
     
    c.
    sistem informasi.
    (2)
    Pengorganisasian Kesehatan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a menggunakan sistem klaster Kesehatan untuk meningkatkan koordinasi, kolaborasi, dan integrasi dalam penanggulangan Kesehatan bencana, guna memenuhi kebutuhan penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan.
    (3)
    Pada situasi tanggap darurat bencana, mekanisme kerja sistem klaster Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berada dalam satu komando koordinator klaster Kesehatan.
    (4)
    Manajemen penanggulangan Kesehatan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan pada tahap prabencana, saat bencana, dan pascabencana.
    (5)
    Sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan Sistem Informasi Kesehatan bencana yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 273

    (1)
    Manajemen penanggulangan Kesehatan bencana pada prabencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 272 ayat (4) meliputi upaya:
     
    a.
    mengurangi ancaman bahaya yang berkaitan langsung dengan Kesehatan;
     
    b.
    mengurangi kerentanan masyarakat dengan memperkuat status Kesehatan;
     
    c.
    mengurangi kerentanan infrastruktur Fasilitas Pelayanan Kesehatan terhadap segala ancaman bahaya;
     
    d.
    meningkatkan kapasitas dan kemampuan Sumber Daya Kesehatan; dan
     
    e.
    meningkatkan koordinasi klaster Kesehatan dan non­-Kesehatan dalam persiapan prabencana.
    (2)
    Upaya mengurangi ancaman bahaya yang berkaitan langsung dengan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit berupa penanggulangan penyakit menular dan manaJemen bahaya terkait Kesehatan lingkungan.
    (3)
    Upaya mengurangi kerentanan masyarakat dengan memperkuat status Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan memperkuat masyarakat rentan, mengurangi masalah Kesehatan masyarakat berdasarkan beban penyakit/epidemiologi, dan meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat.
    (4)
    Upaya mengurangi kerentanan infrastruktur Fasilitas Pelayanan Kesehatan terhadap segala ancaman bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c terintegrasi dengan proses perizinan mendirikan bangunan serta penerbitan sertifikat laik fungsi bangunan gedung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Upaya meningkatkan kapasitas dan kemampuan Sumber Daya Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan melalui kajian risiko, perencanaan, mitigasi, kesiapsiagaan, penerapan Fasilitas Pelayanan Kesehatan aman bencana, penyiapan sistem peringatan dini, serta sistem penanggulangan Gawat Darurat terpadu.
    (6)
    Upaya meningkatkan koordinasi klaster Kesehatan dan non-Kesehatan dalam persiapan prabencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, meliputi koordinasi tentang keterlibatan dan dukungan institusi non­-Kesehatan dalam penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan pada bencana.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 274

    Manajemen penanggulangan Kesehatan bencana pada saat bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 272 ayat (4) meliputi:
    a.
    penilaian cepat Kesehatan;
    b.
    aktivasi klaster Kesehatan;
    c.
    meningkatkan sistem penanggulangan Gawat Darurat terpadu;
    d.
    menyusun dan melaksanakan rencana operasi darurat Kesehatan bencana;
    e.
    mobilisasi Sumber Daya Kesehatan;
    f.
    monitoring dan evaluasi Pelayanan Kesehatan saat bencana; dan
    g.
    komunikasi risiko dan komunikasi krisis.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 275

    (1)
    Manajemen penanggulangan Kesehatan bencana pada pascabencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 272 ayat (4) dilakukan dalam rangka pemulihan Kesehatan masyarakat terdampak serta penguatan sistem Kesehatan menjadi lebih baik dari sebelum bencana.
    (2)
    Manajemen penanggulangan Kesehatan bencana pada pascabencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    pengkajian kebutuhan pascabencana;
     
    b.
    penyusunan dan pelaksanaan rencana rehabilitasi dan rekonstruksi Kesehatan pascabencana;
     
    c.
    pemantauan dan pengawasan; dan
     
    d.
    pembelajaran dan evaluasi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 276

    (1)
    Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota melakukan pencatatan dan pelaporan terhadap seluruh kegiatan penanggulangan Kesehatan bencana pada seluruh tahapan bencana dan/atau di luar situasi bencana.
    (2)
    Pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sistem informasi penanggulangan Kesehatan akibat bencana yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
    (3)
    Sistem informasi penanggulangan Kesehatan akibat bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didukung dengan sistem komunikasi Gawat Darurat terpadu melalui satu nomor call center nasional.
    (4)
    Pencatatan dan pelaporan pada Kesehatan bencana dilakukan satu pintu melalui klaster Kesehatan pusat dan daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 277

    (1)
    Pelayanan Kesehatan pada bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 269 dan upaya pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 272 merupakan satu sistem dengan upaya penanggulangan krisis Kesehatan.
    (2)
    Upaya penanggulangan krisis Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upaya penanggulangan pada status darurat bencana maupun tidak atau belum ada penetapan status darurat bencana namun memenuhi kriteria krisis Kesehatan.
    (3)
    Upaya penanggulangan krisis Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak atau belum ada penetapan status darurat bencana namun memenuhi kriteria krisis Kesehatan ditetapkan oleh Menteri, kepala dinas kesehatan daerah provinsi, atau kepala dinas kesehatan daerah kabupaten/kota.
    (4)
    Kriteria krisis Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat indikator yang meliputi:
     
    a.
    peningkatan jumlah korban;
     
    b.
    berdampak masalah Kesehatan masyarakat;
     
    c.
    keterbatasan kapasitas Kesehatan setempat; dan
     
    d.
    terganggunya akses Pelayanan Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 278

    Ketentuan lebih lanjut mengenai penanggulangan krisis Kesehatan diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam Belas
    Pelayanan Darah
     

    Pasal 279

    (1)
    Pelayanan darah merupakan Upaya Kesehatan yang memanfaatkan darah manusia sebagai bahan dasar dengan tujuan kemanusiaan, penyembuhan penyakit dan pemulihan Kesehatan, serta tidak untuk tujuan komersial.
    (2)
    Darah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari donor darah sukarela yang sehat, memenuhi kriteria seleksi sebagai donor, dan atas persetujuan donor.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 280

    Pengaturan pelayanan darah bertujuan untuk:
    a.
    menyediakan pelayanan darah dan darah yang aman dan bermutu; dan
    b.
    memudahkan akses memperoleh darah dan informasi tentang ketersediaan darah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 281

    (1)
    Pelayanan darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 279 ayat (1) terdiri atas pengelolaan darah dan pelayanan transfusi darah.
    (2)
    Pelaksanaan pelayanan darah dilakukan dengan menjaga keselamatan dan Kesehatan donor darah, penerima darah, Tenaga Medis, dan Tenaga Kesehatan yang dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan darah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 282

    (1)
    Pengelolaan darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 281 ayat (1) meliputi:
     
    a.
    perencanaan;
     
    b.
    pengerahan dan pelestarian donor darah;
     
    c.
    penyeleksian donor darah;
     
    d.
    pengambilan darah;
     
    e.
    pengujian darah;
     
    f.
    pengolahan darah;
     
    g.
    penyimpanan darah; dan
     
    h.
    pendistribusian darah.
    (2)
    Pengelolaan darah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh unit pengelola darah.
    (3)
    Unit pengelola darah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertanggung jawab menyelenggarakan pengelolaan darah dalam wilayah kerjanya.
    (4)
    Unit pengelola darah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Fasilitas Pelayanan Kesehatan, dan/atau organisasi kemanusiaan yang tugas pokok dan fungsinya di bidang kepalangmerahan Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 283

    (1)
    Perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (1) huruf a dilakukan untuk memenuhi kebutuhan darah dan komponen darah.
    (2)
    Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh unit pengelola darah.
    (3)
    Menteri menyusun perencanaan nasional setiap tahun dengan melibatkan Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, dan unit pengelola darah.
    (4)
    Menteri dalam menyusun perencanaan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mempertimbangkan perencanaan dari unit pengelola darah sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
    (5)
    Perencanaan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun dengan mengacu pada rencana induk bidang Kesehatan menggunakan Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 284

    (1)
    Pengerahan dan pelestarian donor darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (1) huruf b dilakukan dalam rangka menyediakan darah sesuai dengan perencanaan kebutuhan.
    (2)
    Pengerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan memotivasi, mengumpulkan, dan mengerahkan masyarakat dari kelompok risiko rendah agar bersedia menjadi donor darah sukarela.
    (3)
    Pelestarian donor darah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upaya yang dilakukan untuk mempertahankan donor darah sukarela untuk dapat melakukan donor darah secara berkesinambungan dan teratur dalam hidupnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 285

    Penyeleksian donor darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (1) huruf c dilakukan untuk menjamin keamanan dan mutu darah melalui pemilihan donor darah sesuai kriteria seleksi donor.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 286

    Pengambilan darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (1) huruf d dilakukan terhadap donor darah yang memenuhi kriteria seleksi sesuai standar pengambilan darah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 287

    (1)
    Pengujian darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (1) huruf e dilakukan sesuai dengan standar pengujian darah untuk menjamin keamanan darah dan menghindari risiko penularan infeksi dari donor kepada resipien.
    (2)
    Pengujian darah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 288

    (1)
    Pengolahan darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (1) huruf f dilakukan untuk memenuhi kebutuhan komponen darah sesuai standar pengolahan darah dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
    (2)
    Pemerintah Pusat menetapkan biaya pengganti pengolahan darah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 289

    Penyimpanan darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (1) huruf g dilakukan untuk menjaga keamanan dan mutu darah dan komponen darah sesuai dengan standar penyimpanan dalam rangka pelayanan darah maupun kepentingan lainnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 290

    (1)
    Pendistribusian darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (1) huruf h dilakukan untuk memenuhi pelayanan transfusi darah.
    (2)
    Unit pengelola darah mendistribusikan darah kepada fasilitas pelaya:nan transfusi darah dan/atau unit pengelola darah lain dengan memenuhi standar distribusi darah dan/atau komponen darah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 291

    (1)
    Pelayanan transfusi darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 281 ayat (1) meliputi:
     
    a.
    perencanaan;
     
    b.
    penyimpanan;
     
    c.
    pengujian pratransfusi;
     
    d.
    pendistribusian darah; dan
     
    e.
    tindakan medis pemberian darah kepada Pasien.
    (2)
    Penyelenggaraan pelayanan transfusi darah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di Rumah Sakit dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan lain dengan memperhatikan keselamatan Pasien.
    (3)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi Puskesmas dan klinik.
    (4)
    Puskesmas dan klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) khusus untuk mengatasi kondisi Gawat Darurat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 292

    (1)
    Perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 291 ayat (1) huruf a dilakukan berdasarkan kebutuhan lingkup Rumah Sakit dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan lain untuk pelayanan transfusi darah dan/atau komponen darah.
    (2)
    Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun setiap tahun dengan memperhatikan jumlah Pasien rutin maupun kedaruratan yang memerlukan transfusi darah atau komponen darah.
    (3)
    Perencanaan disusun dengan mengacu pada rencana induk bidang Kesehatan menggunakan Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 293

    Penyimpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 291 ayat (1) huruf b dilakukan untuk menjaga keamanan dan mutu darah dan komponen darah sesuai dengan standar penyimpanan dalam rangka pelayanan transfusi darah pada Rumah Sakit dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan lain.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 294

    Pengujian pratransfusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 291 ayat (1) huruf c dilakukan sesuai dengan standar untuk mencegah risiko ketidakcocokan darah Pasien dengan darah donor serta risiko transfusi darah sebelum tindakan medis pemberian darah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 295

    Pendistribusian darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 291 ayat (1) huruf d dilakukan untuk menyampaikan darah dari bank darah kepada instalasi/bagian yang melaksanakan pelayanan transfusi darah di lingkup Rumah Sakit dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan lain sesuai dengan standar distribusi darah dalam pelayanan transfusi darah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 296

    Tindakan medis pemberian darah kepada Pasien sebagaimana dimaksud dalam Pasal 291 ayat (1) huruf e dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan medis Pasien, menggunakan darah atau komponen darah yang telah dilakukan uji pratransfusi sesuai dengan standar pelayanan transfusi darah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 297

    (1)
    Darah yang tidak memenuhi persyaratan dan standar untuk digunakan dalam transfusi darah wajib dimusnahkan sesuai dengan standar pemusnahan darah.
    (2)
    Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh unit pengelola darah, Rumah Sakit, dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan lain penyelenggara transfusi darah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 298

    (1)
    Setiap unit pengelola darah, Rumah Sakit, dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan lain penyelenggara pelayanan transfusi darah yang melaksanakan pelayanan darah tidak sesuai dengan standar pelayanan darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 281 ayat (2) dikenakan sanksi administratif oleh pejabat yang berwenang berupa:
     
    a.
    peringatan tertulis;
     
    b.
    perintah pemusnahan darah atau komponen darah;
     
    c.
    penghentian sementara kegiatan berusaha; dan/atau
     
    d.
    pencabutan perizinan berusaha.
    (2)
    Tata cara pengenaan sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan berusaha atau pencabutan perizinan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 299

    Setiap unit pengelola darah, Rumah Sakit, dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan lain penyelenggara pelayanan transfusi darah harus melakukan pencatatan dan pelaporan terhadap ketersediaan darah melalui Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 300

    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin pembiayaan dalam penyelenggaraan pelayanan darah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 301

    (1)
    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelayanan darah yang aman, mudah diakses, dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
    (2)
    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas ketersediaan darah yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk pelayanan darah.
    (3)
    Pemerintah Pusat bertanggung jawab melakukan pemantauan dan evaluasi unit pengelola darah, Rumah Sakit, dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan lain penyelenggara pelayanan transfusi darah.
    (4)
    Menteri bertanggung jawab dalam penyusunan dan penetapan standar pelayanan darah.
    (5)
    Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap pelayanan darah di wilayahnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 302

    Masyarakat berperan aktif sebagai donor darah dalam upaya pemenuhan ketersediaan darah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 303

    Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pengelolaan darah dan pelayanan transfusi darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 281 sampai dengan Pasal 301 diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 304

    (1)
    Plasma dapat digunakan untuk tujuan penyembuhan penyakit dan pemulihan Kesehatan melalui pengolahan dan produksi.
    (2)
    Plasma sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikumpulkan dari donor untuk kepentingan memproduksi produk Obat derivat plasma.
    (3)
    Selain dari donor plasma sebagaimana dimaksud pada ayat (2), plasma juga dapat berasal dari plasma yang tidak digunakan dalam Pelayanan Kesehatan.
    (4)
    Pengumpulan plasma dilakukan atas persetujuan donor plasma.
    (5)
    Pengumpulan plasma dilakukan dengan menjaga keselamatan dan Kesehatan donor plasma, Tenaga Medis, dan Tenaga Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 305

    (1)
    Plasma yang dikumpulkan dari donor untuk kepentingan memproduksi produk Obat derivat plasma sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304 ayat (2) dikumpulkan oleh bank plasma.
    (2)
    Plasma yang tidak digunakan dalam Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 304 ayat (3) didapat dari unit pengelola darah.
    (3)
    Bank plasma sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Fasilitas Pelayanan Kesehatan, lembaga penelitian, dan/atau organisasi kemanusiaan tertentu yang mendapatkan izin dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Donor plasma dapat diberikan kompensasi oleh bank plasma.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 306

    (1)
    Dalam rangka pengumpulan plasma sebagaimana dimaksud dalam Pasal 305 ayat (1) dilakukan pengelolaan plasma.
    (2)
    Pengelolaan plasma sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    perencanaan;
     
    b.
    pengerahan dan pelestarian donor plasma;
     
    c.
    penyeleksian donor plasma;
     
    d.
    pengambilan plasma;
     
    e.
    pengujian plasma;
     
    f.
    pengolahan plasma;
     
    g.
    penyimpanan plasma; dan
     
    h.
    pendistribusian plasma.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 307

    (1)
    Perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 306 ayat (2) huruf a dilakukan untuk memenuhi kebutuhan plasma sebagai bahan baku produk Obat derivat plasma.
    (2)
    Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh bank plasma.
    (3)
    Menteri menyusun perencanaan nasional setiap tahun dengan melibatkan bank plasma, unit pengelola darah, dan fasilitas fraksionasi plasma.
    (4)
    Menteri dalam menyusun perencanaan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mempertimbangkan perencanaan yang disusun oleh bank plasma sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan rencana produksi dari fasilitas fraksionasi plasma untuk memenuhi kebutuhan produksi produk Obat derivat plasma.
    (5)
    Perencanaan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun dengan mengacu pada rencana induk bidang Kesehatan menggunakan Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem lnformasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 308

    (1)
    Pengerahan dan pelestarian donor plasma sebagaimana dimaksud dalam Pasal 306 ayat (2) huruf b dilakukan oleh bank plasma dalam rangka menyediakan plasma sesuai dengan perencanaan.
    (2)
    Pengerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan mengumpulkan dan mengerahkan masyarakat dari kelompok risiko rendah agar bersedia menjadi donor plasma sukarela.
    (3)
    Pelestarian donor plasma sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upaya yang dilakukan untuk mempertahankan donor plasma sukarela untuk dapat memberikan plasma secara berkesinambungan dan teratur.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 309

    Penyeleksian donor plasma sebagaimana dimaksud dalam Pasal 306 ayat (2) huruf c dilakukan oleh bank plasma untuk menjamin keamanan dan mutu plasma melalui pemilihan donor plasma sesuai dengan kriteria seleksi donor.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 310

    (1)
    Pengambilan plasma sebagaimana dimaksud dalam Pasal 306 ayat (2) huruf d dilakukan oleh bank plasma terhadap donor plasma yang memenuhi kriteria seleksi donor.
    (2)
    Pengambilan plasma sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan sesuai dengan standar pengambilan plasma.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 311

    (1)
    Pengujian plasma sebagaimana dimaksud dalam Pasal 306 ayat (2) huruf e dilakukan oleh bank plasma.
    (2)
    Pengujian plasma sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan sesuai dengan standar pengujian plasma untuk menjamin keamanan dan mutu plasma.
    (3)
    Selain dilaksanakan sesuai dengan standar pengujian plasma sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pengujian plasma juga dilakukan dengan memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 312

    (1)
    Pengolahan plasma sebagaimana dimaksud dalam Pasal 306 ayat (2) huruf f dilakukan oleh bank plasma untuk memenuhi kebutuhan plasma sebagai bahan baku produk Obat derivat plasma.
    (2)
    Pengolahan plasma sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan sesuai dengan standar pengolahan plasma.
    (3)
    Selain dilaksanakan sesuai dengan standar pengolahan plasma sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pengolahan plasma juga dilakukan dengan memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 313

    (1)
    Penyimpanan plasma sebagaimana dimaksud dalam Pasal 306 ayat (2) huruf g dilakukan oleh bank plasma untuk menjaga keamanan dan mutu plasma.
    (2)
    Penyimpanan plasma sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan sesuai dengan standar penyimpanan plasma.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 314

    (1)
    Pendistribusian plasma sebagaimana dimaksud dalam Pasal 306 ayat (2) huruf h dilakukan oleh bank plasma untuk memenuhi kebutuhan produksi produk Obat derivat plasma.
    (2)
    Selain dilakukan oleh bank plasma, pendistribusian plasma juga dapat dilakukan oleh unit pengelola darah untuk plasma yang tidak digunakan dalam Pelayanan Kesehatan.
    (3)
    Bank plasma dan/atau unit pengelola darah wajib mendistribusikan plasma kepada fasilitas fraksionasi plasma sesuai dengan standar pendistribusian plasma.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 315

    (1)
    Plasma yang akan didistribusikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 314 ayat (3) harus dilaporkan kepada Menteri.
    (2)
    Menteri mengatur pendistribusian plasma kepada fasilitas fraksionasi plasma dengan mempertimbangkan rencana produksi fasilitas fraksionasi plasma.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 316

    (1)
    Produk Obat derivat plasma diperoleh melalui proses fraksionasi plasma.
    (2)
    Fraksionasi plasma sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pemilahan plasma menjadi fraksi protein individual untuk menghasilkan produk Obat derivat plasma.
    (3)
    Plasma yang digunakan untuk fraksionasi plasma harus diperoleh dari bank plasma atau unit pengelola darah yang telah memenuhi standar cara pembuatan Obat yang baik.
    (4)
    Produk Obat derivat plasma yang dihasilkan oleh fasilitas fraksionasi plasma harus memenuhi standar keamanan, khasiat, dan mutu, serta memperoleh izin edar Obat dari kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai standar cara pembuatan Obat yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan peraturan kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 317

    (1)
    Fraksionasi plasma harus dilakukan di fasilitas fraksionasi plasma dalam negeri.
    (2)
    Fasilitas fraksionasi plasma dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan dan ditetapkan oleh Menteri.
    (3)
    Fasilitas fraksionasi plasma untuk dapat melaksanakan fraksionasi plasma harus memiliki sertifikat cara pembuatan Obat yang baik dari kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan.
    (4)
    Fasilitas fraksionasi plasma dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melakukan fraksionasi plasma wajib sesuai dengan standar cara pembuatan Obat yang baik.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 318

    (1)
    Dalam hal fasilitas fraksionasi plasma belum memiliki sertifikat cara pembuatan Obat yang baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 317 ayat (3), pelaksanaan fraksionasi plasma dapat diselenggarakan secara kontrak oleh fasilitas fraksionasi plasma dalam negeri dengan fasilitas fraksionasi plasma di luar negen setelah mendapatkan persetujuan Menteri.
    (2)
    Dalam rangka pelaksanaan fraksionasi plasma secara kontrak, fasilitas fraksionasi plasma dapat melakukan pengiriman plasma ke fasilitas fraksionasi plasma di luar negeri.
    (3)
    Pengiriman plasma ke fasilitas fraksionasi plasma diluar negeri wajib dilakukan sesuai dengan standar pendistribusian plasma dan disertai dengan perjanjian alih material sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 319

    (1)
    Plasma yang tidak memenuhi persyaratan dan standar untuk digunakan dalam fraksionasi plasma wajib dimusnahkan sesuai dengan standar pemusnahan plasma.
    (2)
    Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh bank plasma, unit pengelola darah, dan/atau fasilitas fraksionasi plasma.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 320

    (1)
    Bank plasma yang melaksanakan kegiatan tidak sesuai dengan standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 310, Pasal 311 ayat (2), Pasal 312 ayat (2), Pasal 313, Pasal 314 ayat (3), dan Pasal 319 ayat (1) dikenakan sanksi administratif oleh pejabat yang berwenang berupa:
     
    a.
    peringatan tertulis;
     
    b.
    perintah pemusnahan plasma;
     
    c.
    penghentian sementara kegiatan berusaha; dan/atau
     
    d.
    pencabutan perizinan berusaha.
    (2)
    Unit pengelola darah yang melaksanakan kegiatan tidak sesuai dengan standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 314 ayat (3) dan Pasal 319 ayat (1) dikenakan sanksi administratif oleh pejabat yang berwenang berupa:
     
    a.
    peringatan tertulis;
     
    b.
    perintah pemusnahan plasma;
     
    c.
    penghentian sementara kegiatan berusaha; dan/atau
     
    d.
    pencabutan perizinan berusaha.
    (3)
    Fasilitas fraksionasi plasma yang melaksanakan fraksionasi plasma tidak sesuai dengan standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 317 ayat (4) dan melakukan pemusnahan plasma tidak sesuai standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 319 ayat (1) dikenakan sanksi administratif oleh pejabat yang berwenang berupa:
     
    a.
    peringatan tertulis;
     
    b.
    larangan untuk sementara waktu dan/atau perintah untuk menarik produk dari peredaran;
     
    c.
    perintah pemusnahan produk;
     
    d.
    penghentian sementara kegiatan berusaha; dan/atau
     
    e.
    pencabutan perizinan berusaha.
    (4)
    Tata cara pengenaan sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan berusaha atau pencabutan perizinan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d, ayat (2) huruf c dan huruf d, dan ayat (3) huruf d dan huruf e dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, ayat (2) huruf a dan huruf b, dan ayat (3) huruf a sampai dengan huruf c diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 321

    Setiap bank plasma dan fasilitas fraksionasi plasma harus melakukan pencatatan dan pelaporan terkait dengan pengumpulan plasma dan/atau produksi produk Obat derivat plasma melalui Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 322

    (1)
    Pemerintah Pusat bertanggung jawab atas ketersediaan plasma dan produk Obat derivat plasma yang aman, berkhasiat, bermutu, dan terjangkau sesuai dengan kebutuhan Pelayanan Kesehatan.
    (2)
    Pemerintah Pusat mengendalikan biaya pengolahan plasma dan produk Obat derivat plasma.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 323

    Masyarakat berperan serta dalam penyelenggaraan pengumpulan plasma dan fraksionasi plasma.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 324

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan plasma sebagaimana dimaksud dalam Pasal 306 sampai dengan Pasal 315 dan fraksionasi plasma sebagaimana dimaksud dalam Pasal 317 sampai dengan Pasal 319 diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketujuh Belas
    Transplantasi Organ dan/atau Jaringan Tubuh
     
    Paragraf 1
    Umum
     

    Pasal 325

    Dalam rangka penyembuhan penyakit dan pemulihan Kesehatan dapat dilakukan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 326

    (1)
    Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh bertujuan untuk penyembuhan penyakit dan pemulihan Kesehatan serta hanya untuk tujuan kemanusian.
    (2)
    Organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang dikomersialkan atau diperjualbelikan dengan alasan apa pun.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 327

    (1)
    Donor pada transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh terdiri atas:
     
    a.
    donor hidup; dan
     
    b.
    donor mati.
    (2)
    Donor hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan donor yang organ dan/atau jaringannya diambil pada saat yang bersangkutan masih hidup atas persetujuan yang bersangkutan.
    (3)
    Donor mati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan donor yang organ dan/atau jaringannya diambil pada saat yang bersangkutan telah dinyatakan mati oleh Tenaga Medis pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan harus atas persetujuan keluarganya secara tertulis.
    (4)
    Dalam hal donor mati semasa hidupnya telah menyatakan dirinya bersedia sebagai donor, transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh dapat dilakukan pada saat yang bersangkutan mati tanpa persetujuan keluarganya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 328

    (1)
    Keluarga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 327 ayat (3) dan ayat (4) meliputi:
     
    a.
    suami atau istri;
     
    b.
    anak yang sudah dewasa;
     
    c.
    orang tua kandung; dan/atau
     
    d.
    saudara kandung, donor.
    (2)
    Dalam hal suami atau istri, anak yang sudah dewasa, orang tua kandung, atau saudara kandung donor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat memberikan persetujuan karena tidak diketahui keberadaannya, tidak cakap secara hukum, tidak ada, atau mati, persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 327 ayat (3) tidak diperlukan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 329

    (1)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus mendukung upaya meningkatkan donasi dan ketersediaan organ dan jaringan tubuh melalui kegiatan pengerahan donor.
    (2)
    Pengerahan donor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa fasilitasi pembuatan wasiat medik dan kegiatan pengerahan donor lain.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Transplantasi Organ
     

    Pasal 330

    Transplantasi organ hanya dapat diselenggarakan di Rumah Sakit setelah memiliki perizinan berusaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 331

    (1)
    Dalam rangka penyelenggaraan transplantasi organ, Rumah Sakit penyelenggara transplantasi organ dapat membentuk jejaring antar-Rumah Sakit penyelenggara transplantasi organ, termasuk Rumah Sakit yang dapat menyediakan donor mati batang otak/mati otak.
    (2)
    Penyelenggaraan jejaring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh Menteri.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan jejaring antar-Rumah Sakit penyelenggara transplantasi organ diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 332

    (1)
    Donor pada transplantasi organ dapat berasal dari:
     
    a.
    donor yang memiliki hubungan darah atau suami atau istri dengan resipien; atau
     
    b.
    donor yang tidak memiliki hubungan darah dengan resipien.
    (2)
    Hubungan darah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa ayah kandung, ibu kandung, anak kandung, dan saudara kandung donor.
    (3)
    Pelaksanaan transplantasi organ pada donor yang memiliki hubungan darah atau suami atau istri dengan resipien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak memerlukan daftar tunggu.
    (4)
    Pelaksanaan transplantasi organ pada donor yang tidak memiliki hubungan darah dengan resipien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan sesuai dengan daftar tunggu.
    (5)
    Urutan daftar tunggu disusun memperhatikan kebutuhan medis resipien dengan menggunakan sistem informasi transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
    (6)
    Berdasarkan kebutuhan medis resipien sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat ditetapkan urutan prioritas.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 333

    (1)
    Setiap Pasien yang membutuhkan transplantasi organ dapat menjadi calon resipien.
    (2)
    Calon resipien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Pasien dengan:
     
    a.
    indikasi medis; dan
     
    b.
    tidak memiliki kontraindikasi medis, untuk dilakukan transplantasi organ.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 334

    (1)
    Transplantasi organ dapat dilakukan pada calon resipien warga negara asmg.
    (2)
    Calon resipien warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki calon donor yang berasal dari negara yang sama dan memiliki hubungan darah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 335

    (1)
    Penyelenggaraan proses Pelayanan Kesehatan dalam transplantasi organ dengan donor hidup dilakukan melalui kegiatan:
     
    a.
    pendaftaran calon donor hidup dan calon resipien;
     
    b.
    pemeriksaan kelayakan calon donor hidup;
     
    c.
    pemeriksaan kecocokan antara donor hidup dan resipien organ; dan
     
    d.
    operasi transplantasi dan penatalaksanaan pascaoperasi transplantasi organ.
    (2)
    Kegiatan penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan dalam transplantasi organ dengan donor hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan paket biaya pelayanan yang terdiri atas:
     
    a.
    biaya Pelayanan Kesehatan bagi calon donor serta pemeriksaan kelayakan dan kecocokan antara resipien dan donor;
     
    b.
    biaya Pelayanan Kesehatan, pemeriksaan kelayakan, dan kecocokan bagi calon donor yang gagal menjadi donor;
     
    c.
    biaya operasi transplantasi organ bagi donor dan resipien; dan
     
    d.
    biaya perawatan pascaoperasi transplantasi organ bagi donor dan resipien.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 336

    Pendaftaran calon donor hidup dan calon resipien sebagaimana dimaksud dalam Pasal 335 ayat (1) huruf a dilakukan setelah memenuhi persyaratan administratif.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 337

    (1)
    Persyaratan administratif untuk pendaftaran calon donor hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 336 paling sedikit terdiri atas:
     
    a.
    berusia paling rendah 18 (delapan belas) tahun;
     
    b.
    membuat pernyataan tertulis tentang kesediaan menyumbangkan organ tubuhnya secara sukarela tanpa meminta imbalan;
     
    c.
    mendapat persetujuan keluarga;
     
    d.
    memahami indikasi, kontraindikasi, risiko, prosedur transplantasi organ, panduan hidup pascaoperasi transplantasi organ, dan pernyataan persetujuannya; dan
     
    e.
    membuat pernyataan tidak melakukan penjualan organ maupun melakukan perjanjian dengan resipien yang bermakna jual beli atau pemberian imbalan.
    (2)
    Untuk transplantasi sumsum tulang pada penyakit tertentu, persyaratan usia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dikecualikan atas pertimbangan medis.
    (3)
    Ketentuan mengenai persetujuan dan mekanisme persetujuan keluarga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 327 dan Pasal 328.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 338

    Dalam hal donor hidup hanya akan mendonorkan organ tubuhnya kepada resipien hubungan darah atau suami atau istri dengan donor, persyaratan administratif calon donor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 336 dan Pasal 337 harus disertai dengan keterangan hubungan darah atau suami atau istri dengan resipien dari perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kependudukan dan catatan sipil.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 339

    Persyaratan administratif untuk pendaftaran calon resipien sebagaimana dimaksud dalam Pasal 336 terdiri atas:
    a.
    memiliki keterangan dari dokter penanggung jawab pelayanan di Rumah Sakit tentang adanya indikasi medis dan tidak memiliki kontraindikasi medis untuk dilakukan transplantasi organ;
    b.
    bersedia membayar biaya penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan dalam transplantasi organ dengan donor hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 335 ayat (2) secara mandiri, mekanisme jaminan kesehataq nasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, atau melalui asuransi penjamin lainnya;
    c.
    memahami indikasi, kontraindikasi, risiko, dan prosedur transplantasi organ, serta memberikan persetujuan dilakukannya transplantasi organ; dan
    d.
    bersedia tidak melakukan pembelian organ maupun melakukan perjanjian dengan calon donor yang bermakna jual beli atau pemberian imbalan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 340

    Pendaftaran terhadap setiap calon donor hidup dan calon resipien yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 336 sampai dengan Pasal 339 dilakukan melalui sistem informasi transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 341

    (1)
    Pemeriksaan kelayakan calon donor hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 335 ayat (1) huruf b terdiri atas pemeriksaan:
     
    a.
    medis;
     
    b.
    psikologis; dan
     
    c.
    sosioyuridis.
    (2)
    Pemeriksaan medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa pemeriksaan medis awal dan skrining di Rumah Sakit yang ditetapkan sebagai penyelenggara transplantasi organ dalam rangka memastikan kelayakan sebagai donor dilihat dari segi Kesehatan donor.
    (3)
    Pemeriksaan psikologis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan pemeriksaan untuk mengidentifikasi dan memahami berbagai aspek psikologis calon donor melalui pemeriksaan Kesehatan mental, kepribadian, kemampuan kognitif, dan kualifikasi tertentu dalam konteks keputusan untuk mendonorkan organnya.
    (4)
    Pemeriksaan sosioyuridis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan pemeriksaan untuk mengidentifikasi pelaksanaan transplantasi sesuai dengan norma agama, budaya, etik, dan hukum.
    (5)
    Pemeriksaan kelayakan calon donor hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat lebih dari 1 (satu) calon donor.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 342

    (1)
    Pemeriksaan kecocokan antara donor hidup dan resipien organ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 335 ayat (1) huruf c dilihat dari segi medis dan nonmedis.
    (2)
    Pemeriksaan kecocokan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh tim transplantasi pada Rumah Sakit penyelenggara transplantasi organ.
    (3)
    Selain dilaksanakan di Rumah Sakit penyelenggara transplantasi organ sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemeriksaan kecocokan juga dapat dilaksanakan pada laboratorium tertentu di luar Rumah Sakit penyelenggara transplantasi organ.
    (4)
    Dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan kecocokan antara donor hidup dan resipien organ dari segi nonmedis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan verifikasi lapangan.
    (5)
    Verifikasi lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan untuk memastikan hubungan calon resipien dan calon donor hidup, latar belakang penyumbangan organ, dan tidak adanya unsur jual beli organ.
    (6)
    Verifikasi lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat dilakukan melalui koordinasi dengan Pemerintah Daerah dan/atau instansi lain yang dibutuhkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 343

    (1)
    Operasi transplantasi organ dan penatalaksanaan pascaoperasi transplantasi organ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 335 ayat (1) huruf d dilakukan oleh tim transplantasi Rumah Sakit penyelenggara transplantasi organ.
    (2)
    Penatalaksanaan pascaoperasi transplantasi organ sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap:
     
    a.
    donor hidup dan resipien selama proses pemulihan di Rumah Sakit; dan
     
    b.
    donor hidup dan resipien setelah proses pemulihan di Rumah Sakit yang dilakukan dalam bentuk monitoring dan evaluasi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 344

    (1)
    Setiap donor hidup pada transplantasi organ berhak:
     
    a.
    mengetahui identitas resipien atas persetujuan resipien;
     
    b.
    dibebaskan dari seluruh biaya Pelayanan Kesehatan selama perawatan transplantasi organ;
     
    c.
    memperoleh prioritas sebagai resipien apabila memerlukan transplantasi organ; dan
     
    d.
    mencabut pendaftaran dirinya dalam data calon donor sampai sebelum tindakan persiapan operasi transplantasi organ dimulai.
    (2)
    Setiap donor hidup pada transplantasi organ berkewajiban:
     
    a.
    menjaga kerahasiaan resipien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
     
    b.
    tidak melakukan perjanjian khusus dengan resipien terkait dengan transplantasi organ; dan
     
    c.
    mematuhi petunjuk pemeliharaan Kesehatan bagi donor.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 345

    (1)
    Setiap resipien pada transplantasi organ dengan donor hidup berhak:
     
    a.
    mengetahui identitas donor dan informasi medis yang terkait dengan transplantasi organ atas persetujuan donor; dan
     
    b.
    mengetahui urutan daftar tunggu calon resipien untuk memperoleh donor.
    (2)
    Setiap resipien pada transplantasi organ dengan donor hidup berkewajiban:
     
    a.
    menjaga kerahasiaan informasi medis donor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
     
    b.
    membayar paket biaya transplantasi organ secara mandiri, mekanisme jaminan kesehatan nasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan, atau melalui asuransi penjamin lainnya;
     
    c.
    mematuhi petunjuk pemeliharaan Kesehatan bagi resipien;
     
    d.
    melakukan uji Kesehatan sesuai petunjuk dokter; dan
     
    e.
    tidak melakukan perjanjian khusus dengan donor terkait dengan transplantasi organ.
    (3)
    Paket biaya transplantasi organ sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan paket biaya transplantasi organ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 335 ayat (2).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 346

    (1)
    Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan dalam transplantasi organ dengan donor mati dilakukan melalui kegiatan:
     
    a.
    pendaftaran calon donor mati dan calon resipien;
     
    b.
    pemeriksaan kelayakan calon donor mati dilihat dari segi medis, psikologis, dan sosioyuridis;
     
    c.
    pemeriksaan kecocokan antara donor mati dan resipien organ; dan
     
    d.
    operasi transplantasi dan penatalaksanaan pascaoperasi transplantasi organ.
    (2)
    Dalam keadaan tertentu, pemeriksaan kelayakan dari segi psikologis dan sosioyuridis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dikecualikan.
    (3)
    Kegiatan penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan dalam transplantasi organ dengan donor mati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenakan biaya pelayanan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 335 ayat (2).
    (4)
    Selain biaya pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), biaya pelayanan juga mencakup biaya perawatan medis, pengangkatan organ, dan perawatan jenazah pascapengangkatan organ.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 347

    (1)
    Pendaftaran calon donor mati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 346 ayat (1) huruf a dilakukan oleh calon donor mati pada saat yang bersangkutan masih hidup dengan memenuhi persyaratan administratif.
    (2)
    Ketentuan mengenai persyaratan administratif bagi calon donor mati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan persyaratan administratif bagi pendaftaran calon donor hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 337.
    (3)
    Untuk penyakit tertentu, persyaratan usia paling rendah 18 (delapan belas) tahun dapat dikecualikan bagi calon donor mati.
    (4)
    Calon donor mati yang telah memenuhi persyaratan administratif akan terdaftar sebagai donor organ pada sistem informasi transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
    (5)
    Pendaftaran calon donor mati juga dapat dilakukan pada saat donor telah dinyatakan mati atas persetujuan keluarga.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 348

    Ketentuan persyaratan administratif bagi calon resipien pada penyelenggaraan transplantasi organ dengan donor mati dilakukan sesuai dengan ketentuan persyaratan administratif bagi pendaftaran calon resipien sebagaimana dimaksud dalam Pasal 339.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 349

    (1)
    Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan dalam transplantasi organ dengan donor mati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 346 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf d dilakukan saat yang bersangkutan telah dinyatakan mati setelah memenuhi kriteria diagnosis kematian.
    (2)
    Dalam hal calon donor organ dirawat di Rumah Sakit dengan menunjukan adanya gejala klinis yang mengarah pada mati batang otak/mati otak, calon donor harus dilakukan uji mati batang otak/mati otak.
    (3)
    Dalam hal hasil uji mati batang otak/mati otak menunjukan positif mati batang otak/mati otak, calon donor dapat ditetapkan sebagai donor organ.
    (4)
    Diagnosis kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan berdasarkan kriteria:
     
    a.
    kematian klinis/konvensional atau berhentinya fungsi sistem jantung sirkulasi secara permanen; atau
     
    b.
    kematian mati batang otak/mati otak.
    (5)
    Diagnosis kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan setelah memenuhi persyaratan pemeriksaan, prosedur pemeriksaan, penyimpulan mati klinis atau mati batang otak/mati otak, dan penetapan waktu kematian.
    (6)
    Pemeriksaan untuk penentuan diagnosis kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menjunjung tinggi nilai dan norma agama, moral, etika, dan hukum.
    (7)
    Diagnosis kematian klinis/konvensional atau berhentinya fungsi sistem jantung sirkulasi secara permanen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dapat dilakukan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan atau di luar Fasilitas Pelayanan Kesehatan sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan, dan standar operasional prosedur.
    (8)
    Penetapan waktu kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan pada saat dinyatakan mati batang otak/mati otak, bukan saat terapi bantuan hidup dihentikan atau jantung berhenti berdenyut.
    (9)
    Setelah calon donor ditetapkan mati batang otak/mati otak, terhadap terapi bantuan hidup tetap diteruskan sampai organ yang dibutuhkan diambil.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 350

    (1)
    Diagnosis kematian di Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus dilakukan oleh:
     
    a.
    dokter atau dokter spesialis untuk mati klinis/konvensional; dan
     
    b.
    dokter spesialis sesuai dengan kompetensinya untuk mati batang otak/mati otak.
    (2)
    Diagnosis kematian klinis/konvensional di luar Fasilitas Pelayanan Kesehatan merupakan penentuan kematian yang dilakukan oleh dokter atau dokter spesialis.
    (3)
    Dalam hal tidak ada dokter atau dokter spesialis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, penentuan kematian dapat dilakukan oleh perawat atau bidan.
    (4)
    Diagnosis kematian mati batang otak/mati otak paling sedikit dilakukan oleh 2 (dua) orang dokter spesialis yang bukan merupakan dokter yang terlibat dalam tindakan transplantasi.
    (5)
    Dokter spesialis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri dari dokter spesialis anestesi dan dokter spesialis saraf.
    (6)
    Dalam hal diperlukan, penentuan mati batang otak/mati otak dapat melibatkan dokter spesialis lain sesuai dengan kebutuhan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 351

    (1)
    Orang yang telah ditetapkan mati batang otak/mati otak dan tidak diketahui identitasnya dapat menjadi donor mati.
    (2)
    Pemanfaatan organ dari donor mati batang otak/mati otak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan upaya identifikasi terlebih dahulu oleh instansi yang berwenang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 352

    Ketentuan mengenai pemeriksaan kelayakan calon donor mati dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pemeriksaan kelayakan calon donor hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 341.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 353

    (1)
    Pemeriksaan kecocokan antara donor mati dan resipien organ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 346 ayat (1) huruf c dilihat dari segi medis.
    (2)
    Pemeriksaan kecocokan antara donor mati dan resipien dari segi medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pemeriksaan kecocokan antara donor hidup dan resipien dari segi medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 342.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 354

    (1)
    Operasi transplantasi organ dan penatalaksanaan pascaoperasi transplantasi organ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 346 ayat (1) huruf d dilakukan oleh tim transplantasi Rumah Sakit penyelenggara transplantasi organ.
    (2)
    Dalam hal organ berasal dari calon donor mati, operasi transplantasi organ sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didahului dengan penandatanganan surat persetujuan oleh keluarga.
    (3)
    Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam hal calon donor mati semasa hidupnya sudah terdaftar sebagai donor organ, operasi transplantasi organ tidak memerlukan persetujuan keluarga.
    (4)
    Penatalaksanaan pascaoperasi transplantasi organ sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap resipien selama proses pemulihan di Rumah Sakit dan setelah proses pemulihan di Rumah Sakit yang dilakukan dalam bentuk monitoring dan evaluasi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 355

    Setiap calon donor mati pada transplantasi organ berhak:
    a.
    dibebaskan dari seluruh biaya Pelayanan Kesehatan setelah ditetapkan mati batang otak/mati otak;
    b.
    memperoleh prioritas sebagai resipien apabila memerlukan transplantasi organ;
    c.
    mencabut pendaftaran dirinya dalam data calon donor mati semasa hidupnya;
    d.
    memilih jenis organ yang akan didonorkan pada saat melakukan pendaftaran sebagai calon donor mati; dan
    e.
    dibebaskan dari biaya pemulasaraan jenazah di Rumah Sakit.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 356

    (1)
    Setiap resipien pada transplantasi organ dengan donor mati berhak mengetahui urutan daftar tunggu calon resipien untuk memperoleh donor.
    (2)
    Setiap resipien pada transplantasi organ dengan donor mati berkewajiban:
     
    a.
    membayar paket biaya transplantasi organ, baik secara mandiri maupun melalui asuransi penjaminnya;
     
    b.
    mematuhi petunjuk pemeliharaan Kesehatan bagi resipien; dan
     
    c.
    melakukan uji Kesehatan sesuai petunjuk dokter.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 357

    (1)
    Setiap donor pada transplantasi organ dapat memperoleh penghargaan karena tidak dapat melakukan kegiatan atau pekerjaan secara optimal selama proses transplantasi dan pemulihan Kesehatan.
    (2)
    Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan imbalan, bukan jual beli, dan hanya untuk tujuan kemanusiaan, serta tidak dikomersialkan.
    (3)
    Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh resipien.
    (4)
    Dalam hal resipien tidak mampu, penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.
    (5)
    Resipien tidak mampu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan resipien yang memenuhi kriteria sebagai peserta penerima bantuan iuran jaminan kesehatan nasional.
    (6)
    Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), bentuk dan/atau nilainya ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 358

    (1)
    Pendanaan penyelenggaraan transplantasi organ berasal dari sumber:
     
    a.
    anggaran pendapatan dan belanja negara;
     
    b.
    anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan/atau
     
    c.
    sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Pendanaan yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dipergunakan untuk kegiatan:
     
    a.
    sosialisasi dan peningkatan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan transplantasi organ;
     
    b.
    pembinaan Rumah Sakit penyelenggara transplantasi organ;
     
    c.
    pemeriksaan kelayakan calon donor; dan
     
    d.
    pengambilan organ donor mati batang otak/mati otak.
    (3)
    Pendanaan yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dipergunakan untuk kegiatan:
     
    a.
    sosialisasi dan peningkatan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan transplantasi organ;
     
    b.
    pembinaan Rumah Sakit penyelenggara transplantasi organ milik Pemerintah Daerah;
     
    c.
    pemeriksaan kelayakan calon donor yang tidak didanai oleh anggaran pendapatan dan belanja negara; dan
     
    d.
    pengambilan organ donor mati batang otak/mati otak yang tidak didanai oleh anggaran pendapatan dan belanja negara.
    (4)
    Selain dipergunakan untuk kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah dapat digunakan untuk penghargaan bagi donor dalam hal resipien tidak mampu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 357.
    (5)
    Penggunaan anggaran pendapatan dan belanja daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan jika penghargaan bagi donor tidak didanai oleh anggaran pendapatan dan belanja negara.
    (6)
    Pemberian penghargaan bagi donor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah sesuai dengan kemampuan keuangan negara atau keuangan daerah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 359

    Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan dalam transplantasi organ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 335 sampai dengan Pasal 358 diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Transplantasi Jaringan Tubuh
     

    Pasal 360

    (1)
    Transplantasi jaringan tubuh meliputi transplantasi jaringan mata dan transplantasi jaringan tubuh lain.
    (2)
    Jaringan pada transplantasi jaringan mata dan jaringan tubuh lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dari berbagai jenis jaringan, termasuk sisa jaringan hasil operasi, dan jaringan lain yang sudah tidak dibutuhkan lagi oleh donor sesuai dengan wasiat dan/atau persetujuan donor.
    (3)
    Jaringan yang diperoleh dari berbagai jenis jaringan, termasuk sisa jaringan hasil operasi, dan jaringan lain yang sudah tidak dibutuhkan lagi oleh donor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dilakukan pendataan oleh bank mata dan/atau bank jaringan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 361

    (1)
    Transplantasi jaringan tubuh hanya dapat diselenggarakan di Rumah Sakit atau klinik utama yang memenuhi persyaratan dan standar.
    (2)
    Klinik utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya menyelenggarakan transplantasi jaringan tubuh untuk jaringan tertentu yang dilaksanakan sesuai dengan standar profesi.
    (3)
    Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dengan kompetensi dan kewenangan di bidang transplantasi jaringan.
    (4)
    Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan berdasarkan penyelenggaraan masmg­ masing transplantasi jaringan.
    (5)
    Standar Rumah Sakit atau klinik utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 362

    (1)
    Bank mata dan bank jaringan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 360 ayat (3) dapat diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat sesuai kebutuhan dan/atau kemampuan daerah.
    (2)
    Bank mata dan bank jaringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapatkan izin dari Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 363

    (1)
    Bank mata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 362 bertugas menyediakan jaringan mata berupa kornea, sklera, dan jaringan lain dari mata yang bermutu untuk pelayanan transplantasi jaringan.
    (2)
    Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bank mata paling sedikit menyelenggarakan fungsi:
     
    a.
    pengerahan donor;
     
    b.
    pendaftaran calon donor dan calon resipien;
     
    c.
    seleksi donor melalui pemeriksaan kesehatan yang meliputi pemeriksaan fisik dan laboratorium;
     
    d.
    pengambilan jaringan kornea dan/atau sklera dan penyimpanan sementara serta pemulihan estetik donor;
     
    e.
    pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pelabelan, dan sterilisasi jaringan, serta pemeliharaan;
     
    f.
    pengendalian mutu jaringan dari organ mata;
     
    g.
    pendistribusian jaringan;
     
    h.
    pencatatan dan pendokumentasian;
     
    i.
    pendidikan dan pelatihan; dan
     
    j.
    penelitian dan pengembangan.
    (3)
    Dalam rangka melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf c, bank mata dapat membentuk jejaring pelayanan bank mata.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 364

    (1)
    Untuk memenuhi penyediaan jaringan mata berupa kornea, sklera, dan jaringan lain dari mata secara nasional, Menteri membentuk bank mata pusat sebagai bank mata rujukan nasional.
    (2)
    Selain memiliki tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 363 ayat (1), bank mata pusat bertugas:
     
    a.
    mendatangkan dan mengirimkan jaringan mata dari dan ke luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
     
    b.
    melakukan koordinasi pengumpulan jaringan mata tingkat nasional; dan
     
    c.
    menyediakan jaringan mata donor secara nasional.
    (3)
    Tugas mendatangkan jaringan mata dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan melalui jejaring bank mata internasional.
    (4)
    Tugas mengirimkan jaringan mata ke luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan dalam hal kebutuhan jaringan mata dalam negeri telah terpenuhi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 365

    Ketentuan lebih lanjut mengenai bank mata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 362 sampai dengan Pasal 364 diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 366

    (1)
    Donor pada transplantasi jaringan terdiri atas donor hidup dan donor mati.
    (2)
    Transplantasi jaringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk jaringan mata meliputi transplantasi kornea, sklera, dan jaringan lain dari mata.
    (3)
    Ketentuan mengenai calon resipien transplantasi jaringan tubuh dilaksanakan sesuai dengan ketentuan calon resipien transplantasi organ.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 367

    Transplantasi jaringan tubuh dilaksanakan melalui tahapan kegiatan:
    a.
    pendaftaran calon donor dan calon resipien;
    b.
    pemeriksaan kelayakan calon donor dilihat dari segi tindakan, psikologis, dan sosioyuridis;
    c.
    pemeriksaan kecocokan antara donor dan resipien jaringan tubuh; dan
    d.
    operasi transplantasi dan penatalaksanaan pascaoperasi transplantasi jaringan tubuh.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 368

    (1)
    Untuk terdaftar sebagai calon donor jaringan tubuh, setiap calon donor di bank mata dan/atau bank jaringan harus memenuhi persyaratan.
    (2)
    Persyaratan calon donor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri atas:
     
    a.
    membuat pernyataan tertulis tentang kesediaan donor menyumbangkan jaringan mata dan/atau jaringan lain secara sukarela tanpa meminta imbalan;
     
    b.
    mendapat persetujuan keluarga; dan
     
    c.
    memahami indikasi, kontraindikasi, risiko, prosedur transplantasi jaringan tubuh, panduan hidup pascatransplantasi jaringan tubuh, dan bersedia membuat surat persetujuannya.
    (3)
    Ketentuan mengenru keluarga dan mekanisme persetujuan keluarga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b sesuai dengan ketentuan keluarga dan mekanisme persetujuan keluarga pada calon donor organ sebagaimana dimaksud dalam Pasal 328.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 369

    Persyaratan untuk terdaftar sebagai calon resipien terdiri atas:
    a.
    memiliki keterangan dari dokter penanggung jawab pelayanan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan tentang adanya indikasi medis untuk dilakukan transplantasi jaringan tubuh;
    b.
    bersedia membayar biaya penggantian pengambilan dan pemrosesan jaringan tubuh atau memberikan surat penjaminan biaya penggantian pengambilan dan pemrosesan jaringan tubuh, untuk calon resipien yang dijamin asuransi atau lembaga penjamin lain;
    c.
    memahami indikasi, kontraindikasi, risiko, dan tata cara transplantasi jaringan tubuh, serta memberikan persetujuan dilakukannya transplantasi jaringan tubuh; dan
    d.
    membuat pernyataan tidak melakukan pembelian jaringan tubuh maupun melakukan perjanjian dengan calon donor yang bermakna jual beli atau komersialisasi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 370

    Ketentuan pemeriksaan kelayakan calon donor transplantasi jaringan tubuh dilakukan melalui pemeriksaan medis yang dilakukan di laboratorium yang dimiliki oleh bank mata atau bank jaringan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 371

    (1)
    Pengambilan jaringan tubuh dalam rangka penyiapan jaringan tubuh dapat dilaksanakan oleh Rumah Sakit atau klinik utama yang bekerja sama dengan bank mata atau bank jaringan.
    (2)
    Selain Rumah Sakit atau klinik utama, untuk pengambilanjaringan mata dapat dilakukan di tempat lain yang memungkinkan untuk dilakukan pengambilan jaringan mata sesuai standar.
    (3)
    Pengambilan jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Tenaga Medis dan/atau Tenaga Kesehatan yang terlatih.
    (4)
    Hasil pengambilanjaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pengolahan dan penyimpanan.
    (5)
    Jaringan tubuh yang telah dilakukan pengolahan dan penyimpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus memenuhi standar kelayakan jaringan tubuh untuk ditransplantasi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 372

    (1)
    Operasi transplantasi dan penatalaksanaan pascaoperasi jaringan tubuh dilakukan oleh Tenaga Medis yang mempunyai keahlian dan kewenangan.
    (2)
    Tenaga Medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penanggungjawab pelayanan di Rumah Sakit atau klinik utama penyelenggara.
    (3)
    Dalam melaksanakan operasi transplantasi dan penatalaksanaan pascaoperasi jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Tenaga Medis dapat dibantu oleh Tenaga Kesehatan yang terlatih.
    (4)
    Operasi transplantasi jaringan tubuh berupa jaringan mata dilakukan bekerja sama dengan bank mata dalam rangka penyediaan jaringan mata.
    (5)
    Penatalaksanaan pascaoperasi transplantasi Janngan tubuh harus dilakukan terhadap resipien melalui monitoring dan evaluasi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 373

    Bank mata dan/atau bank jaringan melakukan pelaporan terhadap penyelenggaraan kegiatan sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing kepada Menteri melalui sistem informasi transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 374

    (1)
    Setiap donor pada transplantasi jaringan tubuh berhak dijaga kerahasiaan identitas dan hasil pemeriksaan kesehatannya.
    (2)
    Dalam hal hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditemukan kelainan atau penyakit tertentu, donor hidup dapat meminta pemberitahuan hasil pemeriksaan kesehatan dengan tetap terjaga kerahasiaannya.
    (3)
    Donor hidup pada transplantasi jaringan tubuh berkewajiban memberikan informasi yang jujur, lengkap, dan akurat sesuai dengan kemampuan dan pengetahuannya tentang masalah kesehatannya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 375

    (1)
    Setiap resipien pada transplantasi jaringan tubuh berhak mengetahui urutan daftar tunggu calon resipien untuk memperoleh jaringan tubuh.
    (2)
    Setiap resipien pada transplantasi jaringan tubuh wajib:
     
    a.
    mengikuti prosedur pelaksanaan transplantasi jaringan tubuh;
     
    b.
    membayar seluruh biaya penyelenggaraan transplantasi jaringan tubuh, baik secara mandiri atau melalui asuransi penjaminnya; dan
     
    c.
    mengganti biaya pemrosesan dan biaya pengembangan jaringan tubuh.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 376

    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat memberikan bantuan pendanaan pengembangan bank mata dan bank jaringan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 377

    (1)
    Pendanaan penyelenggaraan transplantasijaringan tubuh berasal dari sum ber:
     
    a.
    anggaran pendapatan dan belanja negara;
     
    b.
    anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan/atau
     
    c.
    sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Pendanaan yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dipergunakan untuk kegiatan:
     
    a.
    sosialisasi dan peningkatan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan transplantasijaringan tubuh;
     
    b.
    pembinaan Rumah Sakit penyelenggara transplantasi jaringan tubuh;
     
    c.
    pemeriksaan kelayakan calon donor; dan
     
    d.
    pengambilan jaringan tubuh donor mati.
    (3)
    Pendanaan yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dipergunakan untuk kegiatan:
     
    a.
    sosialisasi dan peningkatan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan transplantasi jaringan tubuh;
     
    b.
    pembinaan Rumah Sakit penyelenggara transplantasi jaringan tubuh milik Pemerintah Daerah;
     
    c.
    pemeriksaan kelayakan calon donor yang tidak didanai oleh anggaran pendapatan dan belanja negara; dan
     
    d.
    pengambilan jaringan tubuh donor mati yang tidak didanai oleh anggaran pendapatan dan belanja negara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 378

    Ketentuan lebih lanjut mengenai teknis pelaksanaan penyelenggaraan transplantasi jaringan tubuh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 360, Pasal 361, dan Pasal 366 sampai dengan Pasal 377 diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Sistem Informasi Transplantasi Organ dan/atau Jaringan Tubuh
     

    Pasal 379

    (1)
    Dalam rangka mendukung penyelenggaraan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, Menteri membentuk sistem informasi transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
    (2)
    Setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan penyelenggara transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh harus melakukan pencatatan dan pelaporan penyelenggaraan transplantasi melalui sistem informasi transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh.
    (3)
    Sistem informasi transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyediakan data dan informasi terkait penyelenggaraan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, wadah dan sarana komunikasi bagi masyarakat, dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan penyelenggara transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Tanggung Jawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
     

    Pasal 380

    (1)
    Pemerintah Pusat bertanggung jawab melaksanakan peningkatan upaya transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh melalui:
     
    a.
    melakukan sosialisasi dan peningkatan peran serta masyarakat sebagai donor organ dan/atau jaringan tubuh demi kepentingan kemanusiaan dan pemulihan Kesehatan;
      b. menyelenggarakan registrasi dan pengelolaan data donor dan resipien organ dan/atau jaringan tubuh;
      c. menyelenggarakan pendidikan dan penelitian yang menunjang kegiatan pelayanan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh;
      d. melakukan koordinasi penyelenggaraan jejaring antar-Rumah Sakit penyelenggara transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh;
      e. menyusun dan menetapkan kebijakan, standar, dan pedoman penyelenggaraan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh bekerja sama dengan organisasi profesi terkait;
      f. melakukan penelusuran latar belakang donor;
      g. mengkaji kelayakan pasangan resipien dan donor berdasarkan hasil pemeriksaan oleh Rumah Sakit penyelenggara transplantasi organ dan hasil verifikasi latar belakang donor;
      h. melakukan pemantauan pelindungan Kesehatan dan hak donor hidup pascatransplantasi; dan
      i. melakukan kerja sama dengan lembaga transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh internasional.
    (2) Pemerintah Daerah bertanggung jawab melaksanakan peningkatan upaya transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh melalui:
      a. melakukan koordinasi penyelenggaraan jejaring an tar Rumah Sakit penyelenggara transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh;
      b. melakukan sosialisasi dan promosi kepada masyarakat untuk mendonorkan organ demi kepentingan tolong menolong dan amal kebaikan; dan
      c. melakukan pemantauan pelindungan Kesehatan dan hak donor hidup pascatransplantasi.
    (3) Tanggung jawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diwujudkan sebagai upaya untuk meningkatkan ketersediaan organ dan/atau jaringan tubuh.
                     
    Paragraf 6
    Peran Serta Masyarakat

     

    Pasal 381

    (1) Dalam penyelenggaraan transplantasi organ dan jaringan tubuh, masyarakat dapat berperan melalui kegiatan:
      a. promosi dan sosialisasi transplantasi organ dan jaringan tubuh;
      b. melakukan komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai transplantasi organ dan jaringan tubuh; dan
      c. mencegah terjadinya jual beli organ dan jaringan tubuh.
    (2) Kegiatan promosi dan sosialisasi transplantasi organ dan jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan bersama dengan tokoh agama, tokoh masyarakat, pendidik, pekerja sosial, penggiat pembela konsumen, dan penggiat promosi kesehatan.
    (3) Mencegah terjadinya jual beli organ dan jaringan tubuh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan melalui edukasi, pemberdayaan masyarakat, pengaduan, dan/atau pelaporan.
                     
    Bagian Kedelapan Belas
    Terapi Berbasis Sel dan/atau Sel Punca

    Paragraf 1
    Umum

     

    Pasal 382

    (1) Terapi berbasis sel dan/atau sel punca dapat dilakukan apabila terbukti keamanan dan kemanfaatannya serta memenuhi standar mutu.
    (2) Terapi berbasis sel punca dan/atau sel hanya dapat dilakukan untuk tujuan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan.
    (3) Terapi berbasis sel dan/atau sel punca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk reproduksi.
    (4) Sel punca sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh berasal dari sel punca embrionik.
                     

    Pasal 383

    (1) Terapi berbasis sel dan/atau sel punca sebagaimana dimaksud dalam Pasal 382 ayat (1) dapat menggunakan:
      a. sel;
      b. sel punca;
      c. sekretom;
      d. vesikel ekstraseluler; dan
      e. sel, sel punca, dan/atau produk turunan lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
    (2) Penggunaan produk terapi berbasis sel dan turunannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan persetujuan Menteri dan kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan kewenangannya.
    (3) Menteri dan kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan memfasilitasi pengembangan produk terapi berbasis sel dan turunannya.
    (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persetujuan dan pengembangan produk sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri dan peraturan kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan kewenangannya.
                     
    Paragraf 2
    Kegiatan Pelayanan

     

    Pasal 384

    (1) Terapi berbasis sel dan/atau sel punca sebagaimana dimaksud dalam Pasal 383 diberikan melalui penyelenggaraan pelayanan sel dan/atau sel punca.
    (2) Penyelenggaraan pelayanan sel dan/atau sel punca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas kegiatan:
      a. pengambilan;
      b. pengolahan;
      c. penyimpanan; dan/atau
      d. pemanfaatan klinis.
                     

    Pasal 385

    Pengambilan sel dan/atau sel punca sebagaimana dimaksud dalam Pasal 384 ayat (2) huruf a harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Pasien dan/atau donor sesuai standar profesi dan standar prosedur operasional dan memperhatikan etika profesi dan keselamatan Pasien dan/atau pendonor.
                     

    Pasal 386

    (1) Pengolahan sel dan/atau sel punca sebagaimana dimaksud dalam Pasal 384 ayat (2) huruf b diselenggarakan oleh sarana pengolahan sel dan/atau sel punca dengan menerapkan standar cara pembuatan Obat yang baik.
    (2) Sarana pengolahan sel dan/atau sel punca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus memenuhi standar dan persyaratan serta harus mendapatkan izin dari Menteri.
    (3) Selain Fasilitas Pelayanan Kesehatan, pengolahan sel dan/ atau sel punca dapat dilakukan oleh industri farmasi yang penyelenggaraannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar cara pembuatan Obat yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan.
                     

    Pasal 387

    (1) Penyimpanan sel dan/atau sel punca sebagaimana dimaksud dalam Pasal 384 ayat (2) huruf c dilakukan di bank sel dan/atau sel punca atau tempat penyimpanan lainnya di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
    (2) Bank sel dan/atau sel punca harus memenuhi standar dan persyaratan serta harus mendapatkan izin dari Menteri.
                     

    Pasal 388

    (1) Pemanfaatan klinis sel dan/atau sel punca sebagaimana dimaksud dalam Pasal 384 ayat (2) huruf d harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Pasien dan dilakukan oleh Tenaga Medis yang memiliki kompetensi dan kewenangan.
    (2) Pemanfaatan klinis sel dan/ atau sel punca dilakukan melalui mekanisme:
      a. sistemik;
      b. regional;
      c. lokal;
      d. topikal; dan/atau
      e. mekanisme lain sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
                     
    Paragraf 3
    Penggunaan
     

    Pasal 389

    Penggunaan sel dan/atau sel punca dilaksanakan pada:
    a. pelayanan terapi; dan
    b. penelitian berbasis pelayanan terapi.
     

    Pasal 390

    (1) Pelayanan terapi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 389 huruf a merupakan pelayanan yang berbasis bukti ilmiah dan telah mempunyai standar pelayanan terapi.
    (2) Standar pelayanan terapi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
    (3) Standar pelayanan terapi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diusulkan oleh Kolegium, Fasilitas Pelayanan Kesehatan, atau pusat penelitian.
    (4) Penggunaan sel dan/atau sel punca pada pelayanan terapi dilakukan di:
      a. Rumah Sakit; dan
     
    b.
    klinik.
         

    Pasal 391

    (1)
    Penelitian berbasis pelayanan terapi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 389 huruf b merupakan penelitian translasional dan pemanfaatan terapeutik sel dan/atau sel punca yang dilakukan terhadap Pasien sebagai subjek penelitian.
    (2)
    Penelitian berbasis pelayanan terapi dapat ditetapkan sebagai pelayanan terapi terstandar setelah dibuktikan keamanan, efektivitas, dan efisiensinya.
    (3)
    Penelitian berbasis pelayanan terapi hanya diselenggarakan di Rumah Sakit yang ditetapkan oleh Menteri.
    (4)
    Dalam rangka memperluas kegiatan penelitian berbasis pelayanan terapi, Rumah Sakit dapat melaksanakan jejaring penelitian berbasis pelayanan.
    (5)
    Penelitian berbasis pelayanan terapi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dilakukan pemantauan dan evaluasi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 392

    (1)
    Pemilik produk dan pemberi layanan terapi berbasis sel, sel punca, dan/atau turunannya harus melakukan pemantauan keamanan penggunaan melalui Farmakovigilans pada setiap Pasien yang menggunakan produk berbasis sel, sel punca, dan/atau turunannya.
    (2)
    Pemantauan keamanan penggunaan produk berbasis sel, sel punca, dan/atau turunannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 393

    Fasilitas Pelayanan Kesehatan penyelenggara dapat menetapkan biaya pelayanan terapi terstandar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 394

    Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan pelayanan dan penggunaan terapi berbasis sel dan/atau sel punca diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesembilan Belas
    Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetika
     

    Pasal 395

    Pengaturan bedah plastik rekonstruksi dan estetika bertujuan untuk:
    a.
    meningkatkan upaya penyembuhan penyakit, memulihkan kesehatan, memperbaiki fungsi atau penampilan, dan meningkatkan kualitas hidup Pasien;
    b.
    menjamin pemeliharaan mutu dan keselamatan Pasien dalam pelayanan bedah plastik rekonstruksi dan estetika; dan
    c.
    mencegah kegiatan penyalahgunaan tindakan bedah plastik rekonstruksi dan estetika oleh pihak yang tidak berwenang dan tidak kompeten, serta untuk tujuan non medis.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 396

    (1)
    Bedah plastik rekonstruksi dan estetika hanya dapat dilakukan oleh Tenaga Medis yang mempunyai keahlian dan kewenangan.
    (2)
    Bedah plastik rekonstruksi dan estetika tidak boleh bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat dan tidak ditujukan untuk mengubah identitas.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 397

    (1)
    Pelayanan bedah plastik rekonstruksi dan estetika dapat diselenggarakan oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan berupa:
     
    a.
    Rumah Sakit; atau
     
    b.
    klinik utama,
     
    setelah memenuhi persyaratan.
    (2)
    Persyaratan yang harus dipenuhi oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa sumber daya manusia, bangunan, prasarana, dan peralatan kesehatan.
    (3)
    Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi Tenaga Medis yang mempunyai keahlian dan kewenangan serta didukung oleh Tenaga Kesehatan dan Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan.
    (4)
    Bangunan dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi aspek keselamatan, kesehatan, kenyamanan, kemudahan, efisien dalam penggunaan sumber daya, serta keserasian dan keselarasan dengan lingkungan.
    (5)
    Peralatan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi standar mutu, keamanan, dan keselamatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang disesuaikan dengan pelayanan yang diberikan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 398

    Pelayanan bedah plastik rekonstruksi dan estetika untuk menyesuaikan alat kelamin dengan jenis kelamin yang sebenarnya hanya dapat dilakukan berdasarkan indikasi medis dan dilakukan pada Rumah Sakit yang telah memenuhi persyaratan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 399

    (1)
    Tata cara pelayanan bedah plastik rekonstruksi dan estetika meliputi:
     
    a.
    pemberian penjelasan mengenai prosedur dan hasil beserta risiko operasi bedah plastik rekonstruksi dan estetika;
     
    b.
    pemeriksaan kelayakan tindakan bedah plastik rekonstruksi dan estetika;
     
    c.
    pelaksanaan operasi bedah plastik rekonstruksi dan estetika; dan
     
    d.
    penatalaksanaan pascaoperasi bedah plastik rekonstruksi dan estetika.
    (2)
    Dalam melaksanakan tata cara pelayanan bedah plastik rekonstruksi dan estetika sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 397 ayat (1) harus menyusun standar prosedur operasional mengenai penyelenggaraan operasi bedah plastik rekonstruksi dan estetika sesuai pelayanan yang diberikan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 400

    Setiap pelayanan bedah plastik rekonstruksi dan estetika yang diselenggarakan oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 397 ayat (1) harus dilakukan pencatatan dan pelaporan melalui Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 401

    Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara teknis penyelenggaraan bedah plastik rekonstruksi dan estetika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 397 dan Pasal 399 diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua Puluh
    Pengamanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan PKRT
     

    Pasal 402

    Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan PKRT harus aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau serta memenuhi ketentuan jaminan produk halal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 403

    Pengamanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan PKRT diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan PKRT yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, dan mutu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 404

    Pengamanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan PKRT diselenggarakan dengan memenuhi standar dan/atau persyaratan untuk menjamin keamanan, khasiat/kemanfaatan, dan mutu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 405

    (1)
    Standar dan/atau persyaratan Sediaan Farmasi terdiri atas:
     
    a.
    farmakope Indonesia dan/atau standar lainnya yang diakui untuk Sediaan Farmasi berupa Obat dan Bahan Obat;
     
    b.
    farmakope herbal Indonesia dan/atau standar lainnya yang diakui untuk Sediaan Farmasi berupa Obat Bahan Alam;
     
    c.
    farmakope Indonesia, farmakope herbal Indonesia, dan/atau standar lainnya yang diakui untuk Sediaan Farmasi berupa Suplemen Kesehatan dan Obat Kuasi; dan
     
    d.
    kodeks Kosmetik Indonesia dan/atau standar lainnya yang diakui untuk Sediaan Farmasi berupa Kosmetik.
    (2)
    Standar lainnya yang diakui sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa farmakope lain yang berlaku secara internasional, metode analisis/monografi, serta standar dan/atau persyaratan lainnya, dalam hal tidak terdapat dalam farmakope Indonesia, farmakope herbal Indonesia, dan kodeks Kosmetik Indonesia.
    (3)
    Standar dan/atau persyaratan Alat Kesehatan berupa standar nasional Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kompendium Alat Kesehatan, dan/atau standar lainnya yang diakui.
    (4)
    Standar dan/atau persyaratan untuk PKRT dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Penyusunan dan penetapan farmakope Indonesia, farmakope herbal Indonesia, dan kodeks Kosmetik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dengan melibatkan kementerian/lembaga terkait.
    (6)
    Penyusunan dan penetapan standar lainnya yang diakui berupa metode analisis/monografi serta standar dan/atau persyaratan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan.
    (7)
    Penyusunan dan penetapan standar dan/atau persyaratan untuk Alat Kesehatan berupa kompendium Alat Kesehatan dilaksanakan oleh Menteri dengan melibatkan kementerian/lembaga terkait.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 406

    (1)
    Bahan baku yang digunakan dalam Sediaan Farmasi berupa Obat Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Obat Kuasi, dan Kosmetik sediaan tertentu berdasarkan kajian risiko harus memenuhi standar dan/atau persyaratan mutu sebagai bahan baku farmasi.
    (2)
    Sediaan tertentu berdasarkan kajian risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan sediaan Obat Bahan Alam, Suplemen Kesehatan, Obat Kuasi, dan Kosmetik yang berdasarkan kajian berpotensi memberikan efek yang berbahaya bagi Kesehatan jika tidak menggunakan bahan baku farmasi.
    (3)
    Kajian risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan.
    (4)
    Sediaan tertentu berdasarkan kajian risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan.
    (5)
    Ketentuan mengenai kajian risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 407

    (1)
    Dalam memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, dan mutu, pelaku usaha di bidang Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan PKRT wajib menyelenggarakan upaya pemastian mutu dan keamanan produk sejak kegiatan pembuatan sampai dengan peredaran.
    (2)
    Selain dilakukan oleh pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), upaya pemastian mutu dan keamanan produk dilakukan oleh Menteri atau kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing.
    (3)
    Upaya pemastian mutu dan keamanan produk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling sedikit melalui kegiatan sampling dan pengujian berdasarkan analisis risiko.
    (4)
    Sampling sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan secara rutin dan insidental.
    (5)
    Sampling yang dilaksanakan di sarana pengelola Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan milik Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dilakukan setelah berkoordinasi dengan Menteri dan/atau Pemerintah Daerah provinsi dan/atau kabupaten/kota.
    (6)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai sampling dan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk Sediaan Farmasi diatur dengan peraturan kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan.
    (7)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai sampling dan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk Alat Kesehatan dan PKRT diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 408

    (1)
    Dalam upaya melindungi masyarakat dari Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan PKRT di peredaran yang tidak memenuhi persyaratan keamanan, dilakukan:
     
    a.
    Farmakovigilans; dan
     
    b.
    Vigilans.
    (2)
    Pemilik izin edar Sediaan Farmasi wajib melakukan Farmakovigilans dan melaporkan kepada kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan.
    (3)
    Pemilik izin edar Alat Kesehatan dan PKRT wajib melakukan Vigilans dan melaporkan kepada Menteri.
    (4)
    Pelaporan Farmakovigilans dan Vigilans dilakukan melalui Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
    (5)
    Dalam melakukan Farmakovigilans dan Vigilans, pemilik izin edar dapat melibatkan Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
    (6)
    Dalam rangka pelaksanaan Farmakovigilans dan Vigilans sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan atau Menteri sesuai dengan kewenangannya dapat melakukan tindakan berupa mengambil sampel atau contoh Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, atau PKRT yang terdapat di industri, fasilitas distribusi, Fasilitas Pelayanan Kesehatan, dan tempat tinggal Pasien atau konsumen.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 409

    (1)
    Dalam rangka mendukung Farmakovigilans dan Vigilans di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Tenaga Medis dan/atau Tenaga Kesehatan dapat melaporkan kejadian tidak diinginkan atau efek samping Sediaan Farmasi dan/atau Alat Kesehatan kepada kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan dan Menteri sesuai dengan kewenangannya.
    (2)
    Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari penyelenggaraan keselamatan Pasien di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
    (3)
    Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem lnformasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 410

    (1)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Farmakovigilans sebagaimana dimaksud dalam Pasal 408 ayat (1) huruf a diatur dengan peraturan kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan.
    (2)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai Vigilans sebagaimana dimaksud dalam Pasal 408 ayat (1) huruf b diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 411

    (1)
    Dalam hal pemilik izin edar dan/atau pelaku usaha yang memproduksi dan/atau mengedarkan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan/atau PKRT menemukan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan/atau PKRT tidak sesuai dengan standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, dan mutu, serta penandaan, pemilik izin edar dan/atau pelaku usaha wajib menarik Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan/atau PKRT dari peredaran.
    (2)
    Ketentuan mengenai penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan/atau PKRT diatur dengan Peraturan Menteri dan peraturan kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan kewenangannya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 412

    (1)
    Pemusnahan dilaksanakan terhadap Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan/atau PKRT yang:
     
    a.
    tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan;
     
    b.
    tidak memiliki izin edar;
     
    c.
    dicabut izin edarnya;
     
    d.
    izin edar berakhir dan tidak dilakukan perpanjangan;
     
    e.
    kedaluwarsa; dan/atau
     
    f.
    berhubungan dengan tindak pidana di bidang Kesehatan.
    (2)
    Fasilitas yang memproduksi, mengimpor, mendistribusikan, dan/atau menyerahkan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan/atau PKRT dan fasilitas pengelolaan kefarmasian yang memiliki dan menyimpan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan/atau PKRT dengan tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan, tidak memiliki izin edar, dicabut izin edarnya, izin edar berakhir dan tidak dilakukan perpanjangan, dan kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf e wajib melakukan pemusnahan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan/atau PKRT sesuai standar.
    (3)
    Pemusnahan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan/atau PKRT yang berhubungan dengan tindak pidana di bidang Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Pemusnahan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan/atau PKRT dilaksanakan dengan memperhatikan dampak terhadap Kesehatan manusia serta upaya pelestarian lingkungan hidup.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pemusnahan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan/atau PKRT diatur dengan Peraturan Menteri dan peraturan kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan kewenangannya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Pasal 413
    (1)
    Produksi Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan/atau PKRT hanya dapat dilakukan oleh fasilitas produksi Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan/atau PKRT yang memiliki perizinan berusaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Perizinan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi usaha jamu gendong, usaha jamu racikan, dan fasilitas produksi Obat penggunaan khusus.
    (3)
    Produksi Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan/atau PKRT wajib memenuhi ketentuan cara pembuatan yang baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 414

    Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan PKRT hanya dapat diedarkan setelah memperoleh perizinan berusaha berupa izin edar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 415

    Peredaran Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan, terdiri atas kegiatan:
    a.
    distribusi; dan
    b.
    penyerahan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 416

    (1)
    Distribusi Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 415 huruf a hanya dapat dilakukan oleh fasilitas pengelolaan kefarmasian, produsen, dan distributor Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan.
    (2)
    Produsen dan distributor Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki perizinan berusaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Distribusi Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan sesuai dengan cara distribusi yang baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitas pengelolaan kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 417

    (1)
    Penyerahan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 415 huruf b hanya dapat dilakukan oleh fasilitas pelayanan kefarmasian dan fasilitas lain yang telah memiliki perizinan berusaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan.
    (2)
    Penyerahan Sediaan Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Obat Bahan Alam dan Suplemen Kesehatan untuk keperluan khusus hanya dapat dilakukan oleh fasilitas pelayanan kefarmasian.
    (3)
    Penyerahan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan di fasilitas pelayanan kefarmasian harus memenuhi standar pelayanan kefarmasian.
    (4)
    Ketentuan mengenai penyerahan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan di fasilitas lain diatur dengan Peraturan Menteri dan peraturan kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan kewenangannya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 418

    Peredaran Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan dapat dilakukan dengan memanfaatkan sistem elektronik yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 419

    (1)
    Ketentuan mengenai upaya pemastian mutu dan keamanan Alat Kesehatan dan PKRT, cara pembuatan yang baik untuk Alat Kesehatan dan PKRT, cara distribusi yang baik untuk Alat Kesehatan, standar pelayanan kefarmasian, dan peredaran Sediaan Farmasi dan/atau Alat Kesehatan dengan memanfaatkan sistem elektronik diatur dengan Peraturan Menteri.
    (2)
    Ketentuan mengenai upaya pemastian mutu dan keamanan Sediaan Farmasi, cara pembuatan yang baik untuk Sediaan Farmasi, cara distribusi yang baik untuk Sediaan Farmasi, dan pengawasan peredaran Sediaan Farmasi dengan memanfaatkan sistem elektronik diatur dengan peraturan kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 420

    (1)
    Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan PKRT yang diimpor dan diekspor harus memenuhi standar dan persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, dan mutu.
    (2)
    Impor dan/atau ekspor Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan PKRT hanya dapat dilakukan oleh pelaku usaha yang telah memiliki perizinan berusaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Selain pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), lembaga penelitian dapat mengimpor psikotropika, prekursor farmasi, dan Alat Kesehatan untuk kepentingan ilmu pengetahuan setelah mendapat persetujuan dari Menteri.
    (4)
    Selain pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), organisasi riset kontrak, lembaga pendidikan, institusi/lembaga penelitian, instansi pemerintah, Rumah Sakit, klinik, organisasi nirlaba, dan perseorangan dapat mengimpor Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan untuk keadaan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Psikotropika, prekursor farmasi, dan Alat Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) serta Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilarang untuk diedarkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 421

    (1)
    Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan PKRT yang diimpor harus memiliki perizinan berusaha berupa izin edar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Dalam keadaan tertentu, Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan dapat diimpor tanpa memiliki perizinan berusaha berupa izin edar melalui mekanisme jalur khusus yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 422

    lmpor dan/atau ekspor Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan PKRT dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 423

    (1)
    Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan PKRT wajib memiliki penandaan yang objektif, lengkap, dan tidak menyesatkan.
    (2)
    Penandaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan informasi mengenai produk dalam bentuk gambar, warna, tulisan, dan/atau bentuk lain.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 424

    (1)
    Promosi dan/atau iklan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan PKRT yang diedarkan wajib memuat keterangan secara objektif, lengkap, dan tidak menyesatkan serta mematuhi etika periklanan.
    (2)
    Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan dapat dipromosikan dan diiklankan di media informasi, kecuali Sediaan Farmasi berupa Obat dengan resep, Obat Bahan Alam dan Suplemen Kesehatan untuk keperluan khusus, dan Alat Kesehatan yang penggunaannya memerlukan bantuan Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan.
    (3)
    Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dipromosikan dan/atau diiklankan pada media ilmiah untuk Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.
    (4)
    Penandaan, publikasi, dan iklan Sediaan Farmasi untuk narkotika, psikotropika, dan prekursor farmasi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 425

    (1)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai penandaan, promosi, dan iklan Alat Kesehatan dan PKRT diatur dengan Peraturan Menteri.
    (2)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai penandaan, promosi, dan iklan Sediaan Farmasi diatur dengan peraturan kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 426

    (1)
    Setiap pemilik izin edar dan/atau pelaku usaha di bidang Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan PKRT yang:
     
    a.
    tidak menyelenggarakan upaya pemastian mutu dan keamanan produk sejak kegiatan pembuatan sampai dengan peredaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 407 ayat (1);
     
    b.
    tidak melakukan Farmakovigilans dan Vigilans sebagaimana dimaksud dalam Pasal 408 ayat (2) dan ayat (3);
     
    c.
    tidak melakukan penarikan dari peredaran terhadap produk yang tidak sesuai dengan standar dan/atau persyaratan, keamanan, khasiat/kemanfaatan, dan mutu, serta penandaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 411 ayat (1);
     
    d.
    tidak melakukan pemusnahan terhadap produk yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan, tidak memiliki izin edar, dicabut izin edarnya, izin edar berakhir dan tidak dilakukan perpanjangan, dan kedaluwarsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 412 ayat (2);
     
    e.
    tidak memenuhi ketentuan cara pembuatan yang baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 413 ayat (3);
     
    f.
    melakukan distribusi Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan tidak sesuai dengan cara distribusi yang baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 416 ayat (3);
     
    g.
    memiliki produk dengan penandaan yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 423 ayat (1); atau
     
    h.
    melakukan promosi dan/atau iklan yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 424 ayat (1),
     
    dikenakan sanksi administratif.
    (2)
    Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
     
    a.
    peringatan;
     
    b.
    penghentian sementara kegiatan usaha melalui pembekuan perizinan berusaha;
     
    c.
    pengenaan denda administratif;
     
    d.
    pengenaan daya paksa polisional; dan/atau
     
    e.
    pencabutan perizinan berusaha.
    (3)
    Pengenaan daya paksa polisional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d terdiri atas:
     
    a.
    penarikan dari peredaran;
     
    b.
    ganti rugi;
     
    c.
    pemusnahan;
     
    d.
    penutupan atau pemblokiran sistem elektronik dan/atau media internet lain; dan/atau
     
    e.
    penutupan akses permohonan perizinan berusaha.
    (4)
    Penarikan dari peredaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab pemilik izin edar dan/atau pelaku usaha yang memproduksi dan/atau mengedarkan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan PKRT.
    (5)
    Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan secara kumulatif atau bertahap berdasarkan tingkat risiko pelanggaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 427

    Masyarakat dapat berperan serta dalam mewujudkan pelindungan dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan PKRT yang tidak tepat dan/atau tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 428

    (1)
    Praktik kefarmasian meliputi produksi, termasuk pengendalian mutu, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, penelitian dan pengembangan Sediaan Farmasi, serta pengelolaan dan pelayanan kefarmasian.
    (2)
    Praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan oleh tenaga kefarmasian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Dalam menjalankan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tenaga kefarmasian dapat dibantu oleh Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan.
    (4)
    Dalam kondisi tertentu, praktik kefarmasian secara terbatas pada fasilitas pelayanan kefarmasian dapat dilakukan oleh Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.
    (5)
    Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi:
     
    a.
    ketiadaan tenaga kefarmasian di suatu wilayah;
     
    b.
    kebutuhan program pemerintah;
     
    c.
    penanganan kegawatdaruratan medis; dan/atau
     
    d.
    KLB, Wabah, dan darurat bencana lainnya.
    (6)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi dokter, dokter gigi, perawat, atau bidan yang memberikan pelayanan kefarmasian dalam batas tertentu.
    (7)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai praktik kefarmasian secara terbatas diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua Puluh Satu
    Pengamanan Zat Adiktif
     

    Pasal 429

    (1)
    Produksi, peredaran, dan penggunaan zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan Kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan.
    (2)
    Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan produk yang mengandung tembakau atau tidak mengandung tembakau, baik yang berupa rokok atau bentuk lain yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat dan dapat berbentuk padat, cairan, dan gas.
    (3)
    Produk tembakau merupakan setiap produk yang seluruhnya atau sebagian terbuat dari daun tembakau sebagai bahan bakunya yang diolah untuk digunakan dengan cara dibakar, dipanaskan, diuapkan, dihisap, dihirup, dikunyah, atau dengan cara konsumsi apa pun.
    (4)
    Produk tembakau sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
     
    a.
    rokok;
     
    b.
    cerutu;
     
    c.
    rokok daun;
     
    d.
    tembakau iris;
     
    e.
    tembakau padat dan cair; dan
     
    f.
    hasil pengolahan tembakau lainnya.
    (5)
    Rokok elektronik merupakan hasil tembakau berbentuk cair, padat, atau bentuk lainnya yang berasal dari pengolahan daun tembakau yang dibuat dengan cara ekstraksi atau cara lain sesuai dengan perkembangan teknologi dan selera konsumen tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu dalam pembuatannya yang disediakan untuk konsumen akhir dalam kemasan penjualan eceran yang dikonsumsi dengan cara dipanaskan menggunakan alat pemanas elektronik kemudian dihisap.
    (6)
    Selain rokok elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (5), rokok elektronik yang mengandung nikotin dan/atau bahan lain berbentuk cair, padat, atau bentuk lainnya, dan/atau hasil olahannya termasuk pembuatan sintetis yang jenis dan sifatnya sama atau serupa yang dikonsumsi dengan cara dipanaskan menggunakan alat pemanas elektronik kemudian dihisap termasuk dalam ketentuan Peraturan Pemerintah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 430

    Penyelenggaraan pengamanan zat adiktif berupa produk tembakau dan rokok elektronik bertujuan untuk:
    a.
    menurunkan prevalensi perokok dan mencegah perokok pemula;
    b.
    menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat dampak merokok;
    c.
    meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan masyarakat terhadap bahaya merokok dan manfaat hidup tanpa merokok;
    d.
    melindungi Kesehatan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungan dari bahaya konsumsi dan/atau paparan zat adiktif berupa produk tembakau dan rokok elektronik yang dapat menyebabkan dampak buruk Kesehatan, ekonomi, dan lingkungan; dan
    e.
    mendorong dan menggerakkan masyarakat untuk aktif terlibat dalam upaya pengendalian produk tembakau dan rokok elektronik.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 431

    (1)
    Setiap Orang yang memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan produk tembakau wajib:
     
    a.
    memiliki perizinan berusaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
     
    b.
    mematuhi batas maksimal kadar nikotin dan tar;
     
    c.
    melakukan pengujian kandungan kadar nikotin dan tar untuk setiap varian yang diproduksi dan/atau diimpor; dan
     
    d.
    melaporkan hasil pengujian kadar nikotin dan tar sebagaimana dimaksud dalam huruf c kepada lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan.
    (2)
    Pengujian kandungan kadar nikotin dan tar untuk setiap varian yang diproduksi dan/atau diimpor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan di laboratorium terakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Pengujian produk tembakau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c tidak berlaku terhadap produk tembakau yang belum memiliki teknologi pengujian.
    (4)
    Produk tembakau yang belum memiliki teknologi pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri.
    (5)
    Setiap Orang yang memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan rokok elektronik wajib:
     
    a.
    memiliki perizinan berusaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
     
    b.
    mematuhi batas maksimal kadar nikotin;
     
    c.
    melakukan pengujian kandungan kadar nikotin untuk setiap varian yang diproduksi dan/atau diimpor; dan
     
    d.
    melaporkan hasil pengujian kadar nikotin sebagaimana dimaksud dalam huruf c, daftar kandungan, dan bahan tambahan kepada lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan.
    (6)
    Penentuan batas maksimal kadar nikotin dan tar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan batas maksimal kadar nikotin sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang pembangunan manusia dan kebudayaan dengan mengikutsertakan kementerian dan lembaga terkait.
    (7)
    Pengujian kandungan kadar nikotin untuk setiap varian yang diproduksi dan/atau diimpor sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c dilakukan di laboratorium terakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (8)
    Laporan kepada lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan ayat (5) huruf d dijadikan sebagai bahan pengawasan.
    (9)
    Ketentuan mengenai koordinasi penentuan batas maksimal kadar nikotin dan tar sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang pembangunan manusia dan kebudayaan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 432

    (1)
    Setiap Orang yang memproduksi produk tembakau dan rokok elektronik dilarang menggunakan bahan tambahan kecuali telah dapat dibuktikan secara ilmiah bahan tambahan tersebut tidak berbahaya bagi Kesehatan.
    (2)
    Bahan tambahan yang dilarang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
    (3)
    Dalam rangka pengawasan terhadap penggunaan bahan tambahan yang dilarang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:
     
    a.
    pengujian pada saat sebelum beredar; dan
     
    b.
    verifikasi selama beredar.
    (4)
    Pengujian dan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dilakukan di laboratorium terakreditasi yang berbeda.
    (5)
    Hasil pengujian dan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaporkan kepada lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan.
    (6)
    Setiap Orang yang memproduksi produk tembakau dan rokok elektronik yang menggunakan bahan tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan berupa penarikan produk atas biaya produsen.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 433

    (1)
    Setiap Orang yang memproduksi dan/atau mengimpor produk tembakau berupa rokok putih mesin dilarang mengemas kurang dari 20 (dua puluh) batang dalam setiap kemasan.
    (2)
    Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi produk tembakau selain rokok putih mesin.
    (3)
    Setiap Orang yang memproduksi dan/atau mengimpor produk tembakau berupa tembakau ins dilarang mengemas lebih dari 50 (lima puluh) gram dalam setiap kemasan.
    (4)
    Setiap Orang yang memproduksi dan/atau mengimpor rokok elektronik dengan sistem tertutup atau cartridge sekali pakai dilarang mengemas cairan nikotin dalam kemasan yang melebihi 2 (dua) mililiter per cartridge dan dilarang mengemas cairan nikotin dengan jumlah cartridge melebihi 2 (dua) cartridge perkemasan.
    (5)
    Setiap Orang yang memproduksi dan/atau mengimpor rokok elektronik dengan sistem terbuka atau dapat diisi ulang dilarang mengemas cairan nikotin selain dengan kemasan 10 (sepuluh) dan 20 (dua puluh) mililiter perkemasan.
    (6)
    Setiap Orang yang memproduksi dan/atau mengimpor rokok elektronik padat wajib mengemas atau mengimpor rokok elektronik padat dalam kemasan 20 (dua puluh) batang dalam setiap kemasan.
    (7)
    Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) sampai dengan ayat (6) dikenakan sanksi administratif berupa:
     
    a.
    peringatan tertulis; dan
     
    b.
    penarikan produk.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 434

    (1)
    Setiap Orang dilarang menjual produk tembakau dan rokok elektronik:
     
    a.
    menggunakan mesin layan diri;
     
    b.
    kepada setiap orang di bawah usia 21 (dua puluh satu) tahun dan perempuan hamil;
     
    c.
    secara eceran satuan perbatang, kecuali bagi produk tembakau berupa cerutu dan rokok elektronik;
     
    d.
    dengan menempatkan produk tembakau dan rokok elektronik pada area sekitar pintu masuk dan keluar atau pada tempat yang sering dilalui;
     
    e.
    dalam radius 200 (dua ratus) meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak; dan
     
    f.
    menggunakan jasa situs web atau aplikasi elektronik komersial dan media sosial.
    (2)
    Ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f bagi jasa situs web atau aplikasi elektronik komersial dikecualikan jika terdapat verifikasi umur.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 435

    Setiap Orang yang memproduksi dan/atau mengimpor produk tembakau dan rokok elektronik harus memenuhi standardisasi kemasan yang terdiri atas desain dan tulisan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 436

    Peringatan Kesehatan merupakan tulisan dan gambar pada kemasan yang memberikan informasi dan edukasi mengenai bahaya merokok.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 437

    (1)
    Setiap Orang yang memproduksi, memasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan/atau mengedarkan zat adiktif berupa produk tembakau dan/atau rokok elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 429 wajib mencantumkan peringatan Kesehatan.
    (2)
    Pencantuman peringatan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan:
     
    a.
    berbentuk tulisan disertai gambar, yang dicantumkan pada permukaan kemasan;
     
    b.
    tercetak menjadi satu dengan kemasan produk tembakau atau kemasan rokok elektronik dan kemasan cairan nikotin isi ulang rokok elektronik; dan
     
    c.
    dicantumkan pada bagian atas kemasan sisi lebar bagian depan dan belakang.
    (3)
    Setiap 1 (satu) varian produk tembakau dan rokok elektronik wajib dicantumkan gambar dan tulisan peringatan Kesehatan yang terdiri atas 5 (lima) jenis yang berbeda, dengan porsi masing-masing 20% (dua puluh persen) dari jumlah setiap varian produk tembakau dan rokok elektronik.
    (4)
    Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak berlaku bagi industri produk tembakau nonpengusaha kena pajak yang total jumlah produksinya tidak lebih dari 24.000.000 (dua puluh empat juta) batang pertahun.
    (5)
    Industri produk tembakau sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib mencantumkan paling sedikit 2 (dua) jenis gambar dan tulisan peringatan Kesehatan yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri.
    (6)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai gambar dan tulisan peringatan Kesehatan sebagaimana dimaksud ayat (2) sampai dengan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 438

    (1)
    Gambar dan tulisan peringatan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 437 dicantumkan pada setiap kemasan terkecil dan kemasan lebih besar produk tembakau dan/atau rokok elektronik.
    (2)
    Setiap kemasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencantumkan 1 (satu) jenis gambar dan tulisan peringatan Kesehatan.
    (3)
    Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi rokok klobot, rokok kelembak menyan, dan cerutu kemasan batangan.
    (4)
    Pencantuman gambar dan tulisan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
     
    a.
    dicantumkan pada bagian atas kemasan sisi lebar bagian depan dan belakang masing-masing seluas 50% (lima puluh persen), diawali dengan kata "Peringatan" dengan menggunakan huruf berwarna kuning dengan dasar hitam, harus dicetak dengan jelas dan mencolok, baik sebagian atau seluruhnya;
     
    b.
    gambar sebagaimana dimaksud dalam huruf a harus dicetak berwarna; dan
     
    c.
    jenis huruf harus menggunakan huruf arial bold dan proporsional dengan kemasan, tulisan warna kuning di atas latar belakang hitam.
    (5)
    Gambar dan tulisan peringatan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak boleh tertutup oleh apa pun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 439

    (1)
    Kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan melakukan pengawasan terhadap pencantuman peringatan Kesehatan pada produk tembakau dan rokok elektronik.
    (2)
    Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berkoordinasi dengan instansi terkait.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 440

    Setiap Orang yang memproduksi, memasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan/atau mengedarkan zat adiktif berupa produk tembakau dan rokok elektronik dengan tidak mencantumkan peringatan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 437 dikenai sanksi administratif berupa:
    a.
    penarikan produk tembakau dan rokok elektronik; dan/atau
    b.
    denda administratif.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 441

    (1)
    Setiap Orang yang memproduksi dan/atau mengimpor produk tembakau wajib mencantumkan informasi pada label setiap kemasan dengan penempatan yang jelas dan mudah dibaca dengan ketentuan:
     
    a.
    pernyataan "mengandung nikotin dan tar";
     
    b.
    pernyataan "dilarang menjual atau memberi kepada orang berusia di bawah 21 tahun dan perempuan hamil";
     
    c.
    kode produksi, tanggal, bulan, dan tahun produksi, serta nama dan alamat produsen; dan
     
    d.
    pernyataan "tidak ada batas aman" dan "mengandung lebih dari 7.000 zat kimia serta lebih dari 83 zat penyebab kanker" untuk produk tembakau.
    (2)
    Setiap Orang yang memproduksi dan/atau mengimpor produk tembakau dilarang mencantumkan:
     
    a.
    keterangan atau tanda apa pun yang menyesatkan atau kata yang bersifat promotif; dan
     
    b.
    kata "light", "ultra light", "mild", "extra mild", "low tar", "slim", "special', "full flavour", "premium", atau kata lain yang mengindikasikan kualitas, superioritas, rasa aman, pencitraan, kepribadian, ataupun kata dengan arti yang sama.
    (3)
    Setiap Orang yang memproduksi dan/atau mengimpor rokok elektronik wajib mencantumkan informasi pada label setiap kemasan dengan penempatan yang jelas dan mudah dibaca dengan ketentuan:
     
    a.
    pernyataan "mengandung nikotin";
     
    b.
    pernyataan "dilarang menjual atau memberi kepada orang berusia di bawah 21 tahun dan perempuan hamil";
     
    c.
    kode produksi, tanggal, bulan, dan tahun produksi, serta nama dan alamat produsen; dan
     
    d.
    dilarang mencantumkan keterangan atau tanda apa pun yang menyesatkan atau kata yang bersifat promotif.
    (4)
    Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan ayat (3) tidak berlaku bagi:
     
    a.
    produk tembakau yang sudah mendapatkan sertifikat merek sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau
     
    b.
    produk tembakau yang dibawa oleh penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, kiriman dalam jumlah yang ditentukan, atau untuk keperluan perwakilan negara asing beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbal balik.
    (5)
    Setiap Orang yang memproduksi dan/atau mengimpor produk tembakau dan rokok elektronik yang tidak memenuhi kewajiban atau melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 442

    (1)
    Kawasan tanpa rokok merupakan ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan menjual, memproduksi, mengiklankan di dalam maupun luar ruang, dan mempromosikan produk tembakau dan rokok elektronik.
    (2)
    Larangan kegiatan menjual produk tembakau dan rokok elektronik tidak berlaku bagi tempat yang digunakan untuk kegiatan penjualan.
    (3)
    Larangan kegiatan memproduksi produk tembakau dan rokok elektronik tidak berlaku bagi tempat yang digunakan untuk kegiatan produksi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 443

    (1)
    Pemerintah Daerah wajib menetapkan dan mengimplementasikan kawasan tanpa rokok di wilayahnya dengan Peraturan Daerah.
    (2)
    Kawasan tanpa rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
     
    a.
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
     
    b.
    tempat proses belajar mengajar;
     
    c.
    tempat anak bermain;
     
    d.
    tempat ibadah;
     
    e.
    angkutan umum;
     
    f.
    tempat kerja; dan
     
    g.
    tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan.
    (3)
    Pengelola, penyelenggara, atau penanggung jawab tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f dan huruf g wajib menyediakan tempat khusus untuk merokok.
    (4)
    Kewajiban menyediakan tempat khusus untuk merokok pada tempat kerja, tempat umum, dan tempat lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikecualikan pada tempat yang berpotensi menimbulkan bahaya Kesehatan dan keselamatan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Tempat khusus untuk merokok sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan ruang terbuka, terpisah dari bangunan utama, jauh dari lalu lalang orang, dan jauh dari pintu keluar masuk.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 444

    Dalam rangka peningkatan kepatuhan Pemerintah Daerah dalam implementasi kawasan tanpa rokok, Pemerintah Pusat melakukan pemantauan dengan menggunakan Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 445

    (1)
    Menteri dapat memberikan penghargaan kepada Pemerintah Daerah yang berhasil mengimplementasikan kawasan tanpa rokok.
    (2)
    Dalam memberikan penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 446

    (1)
    Setiap Orang yang memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan produk tembakau dan rokok elektronik dilarang mengiklankan di media sosial berbasis digital.
    (2)
    Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika melakukan pemutusan akses informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik terhadap penjualan produk tembakau dan rokok elektronik pada media sosial berbasis digital berdasarkan rekomendasi kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 447

    (1)
    Pengendalian iklan produk tembakau dan rokok elektronik pada situs web dan/atau aplikasi elektronik komersial dilakukan sebagai berikut:
     
    a.
    mencantumkan peringatan Kesehatan;
     
    b.
    mencantumkan tulisan "Dilarang menjual dan memberi kepada orang di bawah usia 21 tahun dan perempuan hamil";
     
    c.
    tidak menggambarkan atau menyarankan bahwa mengonsumsi produk tembakau dan rokok elektronik memberikan manfaat bagi kesehatan;
     
    d.
    tidak menggunakan kata atau kalimat yang menyesatkan dan/atau berupa ajakan untuk mengonsumsi produk tembakau dan rokok elektronik;
     
    e.
    tidak memperagakan, menggunakan, dan/atau menampilkan wujud atau bentuk produk tembakau dan rokok elektronik, atau sebutan lain yang dapat diasosiasikan dengan merek produk tembakau dan rokok elektronik;
     
    f.
    tidak menampilkan anak, remaja, dan/atau wanita hamil dalam bentuk gambar dan/atau tulisan;
     
    g.
    tidak ditujukan terhadap anak, remaja, dan/atau wanita hamil;
     
    h.
    tidak menggunakan kartun atau animasi sebagai bentuk tokoh iklan;
     
    i.
    tidak bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat; dan
     
    j.
    menerapkan verifikasi umur untuk membatasi akses hanya kepada orang berusia 21 (dua puluh satu) tahun ke atas.
    (2)
    Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika melakukan pemutusan akses informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik terhadap penjualan produk tembakau dan rokok elektronik pada situs web atau aplikasi elektronik komersial yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan rekomendasi kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 448

    (1)
    Pengendalian iklan produk tembakau dan rokok elektronik pada tempat penjualan dilakukan sebagai berikut:
     
    a.
    tidak diletakkan pada pintu atau area masuk dan keluar, serta pada tempat yang mudah dilihat oleh anak-anak;
     
    b.
    mencantumkan peringatan Kesehatan;
     
    c.
    mencantumkan tulisan "Dilarang menjual dan memberi kepada orang di bawah usia 21 tahun dan perempuan hamil";
     
    d.
    tidak menggambarkan atau menyarankan bahwa mengonsumsi produk tembakau dan rokok elektronik memberikan manfaat bagi kesehatan;
     
    e.
    tidak menggunakan kata atau kalimat yang menyesatkan dan/atau berupa ajakan untuk mengonsumsi produk tembakau dan rokok elektronik;
     
    f.
    tidak memperagakan, menggunakan, dan/atau menampilkan wujud atau bentuk produk tembakau dan rokok elektronik, atau sebutan lain yang dapat diasosiasikan dengan merek produk tembakau dan rokok elektronik;
     
    g.
    tidak menampilkan anak, remaja, dan/atau wanita hamil dalam bentuk gambar dan/atau tulisan;
     
    h.
    tidak ditujukan terhadap anak, remaja, dan/atau wanita hamil;
     
    i.
    tidak menggunakan kartun atau animasi sebagai bentuk tokoh iklan; dan
     
    j.
    tidak bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat.
    (2)
    Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a hanya berlaku bagi pasar swalayan modern.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 449

    (1)
    Pengendalian iklan produk tembakau dan rokok elektronik pada media luar ruang dilakukan sebagai berikut:
     
    a.
    mencantumkan peringatan Kesehatan paling sedikit 15% (lima belas persen) dari total luas iklan;
     
    b.
    tidak diletakkan di kawasan tanpa rokok meliputi Fasilitas Pelayanan Kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, dan angkutan umum;
     
    c.
    tidak diletakkan di jalan utama dan jalan protokol;
     
    d.
    tidak diletakkan dalam radius 500 (lima ratus) meter di luar satuan pendidikan dan tempat bermain anak;
     
    e.
    harus diletakkan sejajar dengan bahu jalan dan tidak boleh memotong jalan atau melintang;
     
    f.
    mencantumkan tulisan "Dilarang menjual dan memberi kepada orang di bawah 21 tahun dan perempuan hamil";
     
    g.
    tidak memperagakan, menggunakan, dan/atau menampilkan wujud atau bentuk produk tembakau dan rokok elektronik, atau sebutan lain yang dapat diasosiasikan dengan merek produk tembakau dan rokok elektronik;
     
    h.
    tidak menggambarkan atau menyarankan bahwa mengonsumsi produk tembakau dan rokok elektronik memberikan manfaat bagi kesehatan;
     
    i.
    tidak menggunakan kata atau kalimat yang menyesatkan dan/atau berupa ajakan untuk mengonsumsi produk tembakau dan rokok elektronik;
     
    j.
    tidak menampilkan anak, remaja, dan/atau wanita hamil dalam bentuk gambar dan/atau tulisan;
     
    k.
    tidak ditujukan terhadap anak, remaja, dan/atau wanita hamil;
     
    1.
    tidak menggunakan kartun atau animasi sebagai bentuk tokoh iklan; dan/atau
     
    m.
    tidak bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat.
    (2)
    Media iklan luar ruang berupa videotron hanya dapat ditayangkan pada pukul 22.00 sampai dengan pukul 05.00 waktu setempat.
    (3)
    Pengaturan lebih lanjut iklan produk tembakau dan rokok elektronik pada media luar ruang diatur oleh Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 450

    (1)
    Pemerintah Pusat melakukan pengawasan terhadap iklan produk tembakau dan rokok elektronik pada media sosial berbasis digital serta situs web dan/atau aplikasi elektronik komersial yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 446 dan Pasal 447.
    (2)
    Pemerintah Daerah melakukan pengawasan dan penurunan iklan terhadap iklan produk tembakau dan rokok elektronik pada media luar ruang dan tempat penjualan yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 448 dan Pasal 449.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 451

    (1)
    Pengendalian iklan produk tembakau dan rokok elektronik pada media cetak dan media penyiaran berupa televisi dilakukan sebagai berikut:
     
    a.
    mencantumkan peringatan Kesehatan untuk iklan bergerak di media penyiaran berupa televisi harus berukuran full screen selama paling singkat 10% (sepuluh persen) dari total durasi iklan dan tidak kurang dari 2 (dua) detik atau untuk iklan tidak bergerak di media penyiaran berupa televisi atau media cetak harus berukuran sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari total luas iklan;
     
    b.
    mencantumkan tulisan "Dilarang menjual dan memberi kepada orang di bawah 21 tahun dan perempuan hamil";
     
    c.
    tidak memperagakan, menggunakan, dan/atau menampilkan wujud atau bentuk produk tembakau dan rokok elektronik, atau sebutan lain yang dapat diasosiasikan dengan merek produk tembakau dan rokok elektronik;
     
    d.
    tidak mencantumkan nama produk merupakan produk tembakau atau rokok elektronik;
     
    e.
    tidak menggambarkan atau menyarankan bahwa mengonsumsi produk tembakau dan rokok elektronik memberikan manfaat bagi Kesehatan;
     
    f.
    tidak menggunakan kata atau kalimat yang menyesatkan dan/atau berupa ajakan untuk mengonsumsi produk tembakau dan rokok elektronik;
     
    g.
    tidak menampilkan anak, remaja, dan/atau wanita hamil dalam bentuk gambar dan/atau tulisan;
     
    h.
    tidak ditujukan terhadap anak, remaja, dan/atau wanita hamil;
     
    i.
    tidak menggunakan kartun atau animasi sebagai bentuk tokoh iklan; dan
     
    j.
    tidak bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat.
    (2)
    Pengendalian iklan produk tembakau dan rokok elektronik pada media penyiaran berupa radio dilakukan sebagai berikut:
     
    a.
    menyampaikan peringatan Kesehatan dengan suara yang jelas;
     
    b.
    tidak menyebutkan kata atau kalimat yang menyesatkan dan/atau berupa ajakan untuk mengonsumsi produk tembakau dan rokok elektronik; dan
     
    c.
    durasi iklan paling lama 1 (satu) menit.
    (3)
    Bentuk peringatan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan oleh Menteri.
    (4)
    Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), iklan produk tembakau dan rokok elektronik di media cetak wajib memenuhi ketentuan:
     
    a.
    tidak diletakkan di sampul atau halaman depan dan belakang media cetak;
     
    b.
    tidak diletakkan satu halaman dengan iklan makanan dan minuman;
     
    c.
    luas kolom iklan tidak memenuhi seluruh halaman; dan
     
    d.
    tidak dimuat di media cetak untuk anak, remaja, dan perempuan.
    (5)
    Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), iklan di media penyiaran berupa televisi dan radio hanya dapat ditayangkan atau disiarkan setelah pukul 22.00 sampai dengan pukul 05.00 waktu setempat.
    (6)
    Pimpinan lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang penyiaran melakukan pengawasan dan penindakan terhadap pelanggaran ketentuan pengendalian iklan produk tembakau dan rokok elektronik pada media penyiaran berupa televisi dan radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (5).
    (7)
    Pimpinan lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang media cetak melakukan pengawasan dan penindakan terhadap pelanggaran ketentuan pengendalian iklan produk tembakau dan rokok elektronik pada media cetak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4).
    (8)
    Penindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) dilakukan melalui pemberian sanksi administratif berupa:
     
    a.
    penarikan dan/atau perbaikan iklan;
     
    b.
    peringatan tertulis; dan/atau
     
    c.
    pelarangan sementara mengiklankan produk tembakau dan rokok elektronik yang bersangkutan pada pelanggaran berulang atau pelanggaran berat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Pasal 452
    Dalam rangka memenuhi akses ketersediaan informasi dan edukasi Kesehatan masyarakat, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menyelenggarakan iklan layanan masyarakat mengenai bahaya menggunakan produk tembakau dan rokok elektronik.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 453

    (1)
    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan pengendalian promosi produk tembakau dan rokok elektronik.
    (2)
    Ketentuan pengendalian promosi produk tembakau dan rokok elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebagai berikut:
     
    a.
    tidak memberikan secara cuma-cuma, potongan harga, hadiah produk tembakau dan rokok elektronik, atau produk lainnya yang dikaitkan dengan produk tembakau dan rokok elektronik;
     
    b.
    tidak menggunakan logo dan/atau merek produk tembakau dan rokok elektronik pada produk atau barang bukan produk tembakau dan rokok elektronik; dan
     
    c.
    tidak menggunakan logo dan/atau merek produk tembakau dan rokok elektronik pada suatu kegiatan lembaga dan/atau perseorangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 454

    (1)
    Setiap Orang yang memproduksi dan/atau mengimpor produk tembakau dan rokok elektronik yang mensponsori suatu kegiatan lembaga dan/atau perseorangan hanya dapat dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
     
    a.
    tidak menggunakan nama merek dagang dan logo produk tembakau dan rokok elektronik termasuk citra merek produk tembakau dan rokok elektronik; dan
     
    b.
    tidak bertujuan untuk mempromosikan produk tembakau dan rokok elektronik.
    (2)
    Sponsor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk kegiatan lembaga dan/atau perseorangan yang diliput media.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 455

    Setiap Orang yang memproduksi dan/atau mengimpor produk tembakau dan rokok elektronik dapat memberikan bantuan dalam bentuk tanggung jawab sosial perusahaan, dengan ketentuan sebagai berikut:
    a.
    tidak menggunakan nama merek dagang dan logo produk tembakau dan rokok elektronik;
    b.
    tidak bertujuan untuk mempromosikan produk tembakau dan rokok elektronik;
    c.
    tidak memberikan secara cuma-cuma, potongan harga, maupun hadiah produk tembakau dan rokok elektronik, atau produk terkait lainnya;
    d.
    tidak diliput dan dipublikasikan oleh media; dan
    e.
    tidak mengikutsertakan setiap orang di bawah usia 21 (dua puluh satu) tahun.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 456

    Setiap orang dilarang menyiarkan dan menggambarkan dalam bentuk gambar atau foto, menayangkan, menampilkan atau menampakkan orang sedang merokok, memperlihatkan batang rokok, asap rokok, bungkus rokok atau yang berhubungan dengan produk tembakau dan rokok elektronik serta segala bentuk informasi produk tembakau dan rokok elektronik di media cetak, media penyiaran, dan media teknologi informasi yang berhubungan dengan kegiatan komersial, iklan, atau membuat orang ingin merokok.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 457

    Setiap Orang yang memproduksi dan/atau mengimpor produk tembakau dan rokok elektronik dilarang memberikan produk tembakau, rokok elektronik, dan/atau barang yang menyerupai produk tembakau dan rokok elektronik secara cuma-cuma kepada anak, remaja, dan perempuan hamil.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 458

    Setiap Orang dilarang menyuruh atau memerintahkan untuk menjual, membeli, atau mengonsumsi produk tembakau dan rokok elektronik kepada setiap orang di bawah usia 21 (dua puluh satu) tahun.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 459

    Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 454 sampai dengan Pasal 458 dikenai sanksi administratif oleh Menteri, menteri/pimpinan lembaga terkait, dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berupa:
    a.
    teguran lisan;
    b.
    teguran tertulis;
    c.
    penghentian sementara kegiatan; dan/atau
    d.
    pemutusan akses informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 460

    (1)
    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyediakan layanan konseling dan intervensi farmakologi berhenti merokok di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
    (2)
    Layanan konseling dan intervensi farmakologi berhenti merokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang memiliki keahlian.
    (3)
    Layanan konseling dan intervensi farmakologi berhenti merokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan layanan Telekesehatan dan Telemedisin.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 461

    (1)
    Pemerintah Pusat bertanggungjawab:
     
    a.
    mengatur dan menyelenggarakan pengamanan produk tembakau dan rokok elektronik, termasuk menetapkan standardisasi perangkat rokok elektronik;
     
    b.
    menyediakan akses terhadap informasi dan edukasi mengenai pengamanan produk tembakau dan rokok elektronik;
     
    c.
    menyediakan layanan konseling dan intervensi farmakologi berhenti merokok;
     
    d.
    melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan, termasuk survei perilaku merokok setiap tahun secara periodik;
     
    e.
    melakukan upaya pengembangan dalam rangka diversifikasi produk tembakau yang penggunaannya akan membawa manfaat bagi kesehatan dan melindungi kelestarian tanaman tembakau; dan
     
    f.
    melakukan advokasi dan kerja sama lintas program/sektor, masyarakat, dan internasional.
    (2)
    Pemerintah Daerah bertanggung jawab:
     
    a.
    mengatur dan menyelenggarakan pengamanan produk tembakau dan rokok elektronik, pada level daerah dengan mengacu pada kebijakan Pemerintah Pusat serta sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing daerah;
     
    b.
    menyediakan akses terhadap informasi dan edukasi mengenai pengamanan produk tembakau dan rokok elektronik di wilayah provinsi dan kabupaten/kota;
     
    c.
    menyediakan layanan konseling dan intervensi farmakologi berhenti merokok di wilayah provinsi dan kabupaten/kota;
     
    d.
    melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan;
     
    e.
    melakukan upaya pengembangan dalam rangka diversifikasi produk tembakau yang penggunaannya akan membawa manfaat bagi kesehatan dan melindungi kelestarian tanaman tembakau;
     
    f.
    melakukan advokasi dan kerja sama lintas program/sektor dan masyarakat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota;
     
    g.
    mendorong partisipasi dan Upaya Kesehatan bersumber daya masyarakat untuk pengendalian konsumsi produk tembakau dan rokok elektronik di wilayah provinsi dan kabupaten/kota; dan
     
    h.
    melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan implementasi kawasan tanpa rokok dan pelarangan iklan, promosi, dan sponsor produk tembakau dan rokok elektronik.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 462

    (1)
    Dalam penyelenggaraan pengamanan produk tembakau dan rokok elektronik masyarakat dapat berperan:
     
    a.
    memberikan edukasi bahaya mengonsumsi produk tembakau dan rokok elektronik bagi Kesehatan;
     
    b.
    melakukan upaya layanan konseling berhenti merokok;
     
    c.
    melakukan gerakan tidak merokok di dalam rumah;
     
    d.
    tidak menjual produk tembakau dalam bentuk satuan perbatang;
     
    e.
    tidak menjual kepada setiap orang di bawah usia 21 (dua puluh satu) tahun dan perempuan hamil;
     
    f.
    melaporkan pelanggaran kawasan tanpa rokok kepada pejabat Pemerintah Daerah setempat yang berwenang dalam pelaksanaan kawasan tanpa rokok; dan
     
    g.
    tidak menyediakan produk tembakau dan rokok elektronik pada kegiatan sosial, pendidikan, olahraga, musik, kepemudaan, dan kebudayaan yang melibatkan masyarakat umum.
    (2)
    Peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh perseorangan, kelompok, badan hukum, badan usaha, dan lembaga/organisasi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Pasal 463
    Pencatatan dan pelaporan terhadap upaya pengamanan produk tembakau dan rokok elektronik, termasuk layanan konseling dan intervensi farmakologi berhenti merokok dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Fasilitas Pelayanan Kesehatan, dan masyarakat dengan menggunakan Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua Puluh Dua
    Pelayanan Kedokteran untuk Kepentingan Hukum

    Paragraf 1
    Umum
     

    Pasal 464

    Setiap Orang berhak mendapatkan pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 465

    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pelayanan kedokteran un tuk kepentingan hukum.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 466

    Penyelenggaraan pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum ditujukan untuk memperoleh fakta dan temuan yang dapat digunakan sebagai dasar dalam memberikan keterangan ahli.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 467

    (1)
    Pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum terdiri atas:
     
    a.
    pelayanan kedokteran terhadap orang hidup; dan
     
    b.
    pelayanan kedokteran terhadap orang mati.
    (2)
    Dalam rangka melakukan pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan bedah mayat forensik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, pemeriksaan laboratorium, dan/atau autopsi virtual pascakematian.
    (3)
    Pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Tenaga Medis sesuai dengan keahlian dan kewenangannya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 468

    (1)
    Penyelenggaraan pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum dilakukan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang memenuhi persyaratan.
    (2)
    Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
     
    a.
    memiliki pelayanan kedokteran forensik dan medikolegal;
     
    b.
    memiliki Pelayanan Kesehatan untuk korban kekerasan pada orang hidup;
     
    c.
    memiliki sarana, prasarana, dan peralatan kesehatan yang menunjang pelayanan; dan
     
    d.
    memiliki standar prosedur operasional pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum.
    (3)
    Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dikecualikan bagi pelayanan kedokteran terhadap orang mati.
    (4)
    Dalam hal terdapat kebutuhan pelayanan, Fasilitas Pelayanan Kesehatan dapat memberikan pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum di tempat lain yang memenuhi persyaratan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 469

    Penyelenggaraan pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum dapat dilakukan dengan melibatkan peran serta masyarakat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Pelayanan Kedokteran Terhadap Orang Hidup
     

    Pasal 470

    Pelayanan kedokteran terhadap orang hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 467 ayat (1) huruf a ditujukan untuk mengetahui:
    a.
    keadaan dan sifat kecederaan;
    b.
    penyebab kecederaan;
    c.
    adanya kekerasan atau hubungan seksual;
    d.
    dampak terhadap Kesehatan baik fisik maupun jiwa;
    e.
    kecakapan hukum seseorang; dan/atau
    f.
    temuan lain yang berhubungan dengan tindak pidana dan pelakunya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 471

    Pelayanan kedokteran terhadap orang hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 470 dilakukan pada:
    a.
    korban kekerasan fisik;
    b.
    korban kekerasan psikis atau psikologis;
    c.
    korban kekerasan seksual;
    d.
    korban penelantaran; dan/atau
    e.
    kasus lain.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Pelayanan Kedokteran Terhadap Orang Mati
     

    Pasal 472

    (1)
    Pelayanan kedokteran terhadap orang mati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 467 ayat (1) huruf b dapat dilakukan melalui:
     
    a.
    audit kematian;
     
    b.
    autopsi verbal;
     
    c.
    bedah mayat klinis;
     
    d.
    bedah mayat forensik; dan/atau
     
    e.
    pemeriksaan laboratorium dan autopsi virtual pascakematian.
    (2)
    Pelaksanaan bedah mayat klinis, bedah mayat forensik, dan/atau pemeriksaan laboratorium dan autopsi virtual pascakematian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c sampai dengan huruf e harus dilakukan dengan persetujuan keluarga.
    (3)
    Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pelayanan kedokteran terhadap orang mati yang terindikasi ada dugaan tindak pidana dapat dilakukan berdasarkan permintaan oleh aparat penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 473

    (1)
    Untuk kepentingan penegakan hukum dan administratif kependudukan, setiap orang yang mati harus diupayakan untuk diketahui sebab kematian dan identitasnya.
    (2)
    Dalam rangka upaya penentuan identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan upaya identifikasi mayat sesuai dengan standar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 474

    Tindakan bedah mayat oleh Tenaga Medis harus dilakukan sesuai dengan norma agama, norma sosial budaya, norma kesusilaan, dan etika profesi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 475

    Pelaksanaan upaya penentuan sebab kematian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 473 ayat (1) dapat dipadukan dengan penelitian, pendidikan dan pelatihan, termasuk bedah mayat anatomis dan/atau bedah mayat klinis.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Bedah Mayat Anatomis
     

    Pasal 476

    (1)
    Bedah mayat anatomis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 475 merupakan pemeriksaan bedah mayat dalam rangka pendidikan anatomi manusia.
    (2)
    Bedah mayat anatomis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan terhadap:
     
    a.
    mayat yang tidak dikenal atau mayat yang tidak diurus oleh keluarganya;
     
    b.
    mayat atas persetujuan tertulis orang tersebut semasa hidupnya; atau
     
    c.
    mayat atas persetujuan tertulis keluarganya, wali, atau pengampu.
    (3)
    Mayat yang tidak dikenal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan upaya identifikasi terlebih dahulu.
    (4)
    Mayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak boleh diperjualbelikan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Bedah Mayat Klinis
     

    Pasal 477

    (1)
    Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 475 merupakan pemeriksaan yang dilakukan dengan cara pembedahan terhadap mayat untuk mengetahui dengan pasti penyakit atau kelainan yang menjadi sebab kematian.
    (2)
    Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan permintaan tertulis Pasien saat masih hidup atau permintaan keluarga, wali, atau pengampu dari Pasien yang meninggal dunia.
    (3)
    Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat dilakukan permintaan oleh dinas kesehatan setempat tanpa harus memperoleh persetujuan Pasien atau keluarga, wali, atau pengampu, jika Pasien diduga menderita penyakit yang berpotensi menimbulkan KLB atau Wabah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 478

    Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum bagi orang hidup dan orang mati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 470 sampai dengan Pasal 477 diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua Puluh Tiga
    Pelayanan Kesehatan Tradisional
     

    Pasal 479

    Pelayanan Kesehatan tradisional merupakan Pelayanan Kesehatan yang dilakukan berdasarkan pada pengetahuan, keahlian, dan/atau nilai yang bersumber dari kearifan lokal.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 480

    (1)
    Pelayanan Kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 479 meliputi pelayanan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif.
    (2)
    Pelayanan promotif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan Kesehatan dengan cara tradisional.
    (3)
    Pelayanan preventif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk pencegahan penyakit dan perawatan kesehatan melalui pemanfaatan Pelayanan Kesehatan tradisional.
    (4)
    Pelayanan kuratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk penyembuhan atau pengurangan rasa sakit melalui pemanfaatan Pelayanan Kesehatan tradisional.
    (5)
    Pelayanan rehabilitatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk membantu mempercepat pemulihan Kesehatan melalui pemanfaatan Pelayanan Kesehatan tradisional.
    (6)
    Pelayanan paliatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup melalui pemanfaatan Pelayanan Kesehatan tradisional.
    (7)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai standar Pelayanan Kesehatan tradisional yang bersifat promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 481

    (1)
    Pelayanan kesehatan tradisional dilakukan dengan menggunakan:
     
    a.
    keterampilan; dan/atau
     
    b.
    ramuan.
    (2)
    Metode dalam Pelayanan Kesehatan tradisional yang menggunakan keterampilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat berupa:
     
    a.
    teknik manual;
     
    b.
    terapi olah pikir; dan
     
    c.
    terapi energi.
    (3)
    Pelayanan Kesehatan tradisional yang menggunakan ramuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berasal dari tumbuhan, hewan, mineral, dan/atau bahan lain dari sumber daya alam dan harus berupa ramuan racikan sendiri atau produk Obat Bahan Alam.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 482

    (1)
    Pelayanan Kesehatan tradisional diselenggarakan secara terintegrasi dengan Pelayanan Kesehatan konvensional.
    (2)
    Integrasi Pelayanan Kesehatan tradisional dengan Pelayanan Kesehatan konvensional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibangun melalui:
     
    a.
    pemetaan penggunaan Pelayanan Kesehatan tradisional termasuk keuntungan dan risikonya;
     
    b.
    promosi peran dan potensi Pelayanan Kesehatan tradisional;
     
    c.
    penetapan kebijakan sumber daya manusia dan pembiayaan Pelayanan Kesehatan tradisional;
     
    d.
    penetapan kebijakan tentang produk, praktik, dan praktisi pemberi Pelayanan Kesehatan tradisional; dan
     
    e.
    penetapan alur kerja sama dan rujukan antara Pelayanan Kesehatan tradisional dengan Pelayanan Kesehatan konvensional dalam sistem Pelayanan Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 483

    (1)
    Dalam rangka penyelenggaraan dan pengembangan Pelayanan Kesehatan tradisional yang terintegrasi dengan Pelayanan Kesehatan konvensional, Menteri:
     
    a.
    menyusun kebijakan praktik Pelayanan Kesehatan tradisional;
     
    b.
    menetapkan persyaratan kelayakan praktik Kesehatan tradisional; dan
     
    c.
    mengembangkan alur kerja sama dan rujukan antara Pelayanan Kesehatan tradisional dengan Pelayanan Kesehatan konvensional di dalam sistem Kesehatan nasional.
    (2)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan dan pengembangan Pelayanan Kesehatan tradisional yang terintegrasi dengan Pelayanan Kesehatan konvensional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 484

    (1)
    Pengembangan Pelayanan Kesehatan tradisional dilakukan melalui pengembangan produk, praktik, dan praktisi pemberi Pelayanan Kesehatan tradisional.
    (2)
    Pengembangan produk Pelayanan Kesehatan tradisional dilakukan melalui pemetaan, penelitian, dan pembuatan kompendium nasional yang dapat berupa daftar jamu, daftar Obat herbal terstandar, serta formularium fitofarmaka.
    (3)
    Pengembangan praktik Pelayanan Kesehatan tradisional dilakukan melalui pemetaan, penelitian, registrasi, standarisasi, serta pembinaan dan pengawasan praktik.
    (4)
    Pengembangan praktisi pemberi Pelayanan Kesehatan tradisional dilakukan melalui pemetaan, penelitian, registrasi, standarisasi, peningkatan kapasitas, serta pembinaan dan pengawasan.
    (5)
    Pengembangan Pelayanan Kesehatan tradisional dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, lembaga penelitian, lembaga pendidikan, dan/atau industri.
    (6)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan Pelayanan Kesehatan tradisional diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 485

    Pelayanan Kesehatan tradisional dapat dilakukan di:
    a.
    tempat praktik mandiri;
    b.
    Puskesmas;
    c.
    Rumah Sakit;
    d.
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan tradisional; dan
    e.
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan lain yang ditetapkan oleh Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 486

    (1)
    Pelayanan Kesehatan tradisional diberikan oleh Tenaga Kesehatan tradisional.
    (2)
    Tenaga Kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan orang yang melakukan Pelayanan Kesehatan tradisional yang pengetahuan dan keterampilannya diperoleh melalui pendidikan formal.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 487

    (1)
    Selain Tenaga Kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 486, Pelayanan Kesehatan tradisional juga dapat diberikan oleh penyehat tradisional dan tenaga lain yang memiliki kompetensi di bidang pelayanan Kesehatan tradisional.
    (2)
    Penyehat tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan orang yang melakukan Pelayanan Kesehatan tradisional yang pengetahuan dan keterampilannya diperoleh melalui pengalaman turun temurun atau pendidikan nonformal.
    (3)
    Penyehat tradisional yang memberikan Pelayanan Kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memiliki bukti pencatatan dari Menteri.
    (4)
    Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diselenggarakan melalui Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai penyehat tradisional dan tenaga lain yang memiliki kompetensi di bidang Pelayanan Kesehatan tradisional diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 488

    Izin praktik Pelayanan Kesehatan tradisional diterbitkan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 489

    (1)
    Tenaga Kesehatan tradisional, penyehat tradisional, dan tenaga lain yang melakukan Pelayanan Kesehatan tradisional wajib:
     
    a.
    menggunakan alat dan teknologi yang aman bagi Kesehatan sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Menteri;
     
    b.
    mengikuti alur kerja sama dan rujukan dengan Pelayanan Kesehatan konvensional di dalam sistem Kesehatan nasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
     
    c.
    memberikan pelayanan sesuai kompetensi dan kewenangannya.
    (2)
    Tenaga Kesehatan tradisional, penyehat tradisional, dan tenaga lain yang memberikan Pelayanan Kesehatan tradisional dilarang melakukan publikasi dan iklan yang tidak sesuai dengan bukti ilmiah.
    (3)
    Setiap penyehat tradisional yang melakukan Pelayanan Kesehatan tradisional dilarang memberikan dan/atau menggunakan Obat dan Bahan Obat serta bahan berbahaya, radiasi, invasif, dan menggunakan Alat Kesehatan/penunjang diagnostik kedokteran, tumbuhan, hewan, dan mineral yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai alur kerja sama dan rujukan, serta kompetensi dan kewenangan Pelayanan Kesehatan tradisional diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 490

    Setiap pelaksanaan kegiatan Pelayanan Kesehatan tradisional harus dilakukan pencatatan dan pelaporan melalui Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 491

    Pelayanan Kesehatan tradisional yang terintegrasi dengan Pelayanan Kesehatan konvensional dapat dibiayai melalui jaminan kesehatan nasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 492

    (1)
    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mengatur dan mengawasi Pelayanan Kesehatan tradisional dengan didasarkan pada keamanan, manfaat, dan kualitas pelayanan dalam rangka pelindungan masyarakat.
    (2)
    Dalam mengawasi Pelayanan Kesehatan tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya mengenakan sanksi administratif kepada Tenaga Kesehatan tradisional, penyehat tradisional, atau tenaga lain yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 489 ayat (1) sampai dengan ayat (3).
    (3)
    Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
     
    a.
    teguran lisan;
     
    b.
    teguran tertulis; dan/atau
     
    c.
    pencabutan izin.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 493

    (1)
    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan koordinasi secara berkala dan berkelanjutan dalam pelaksanaan Pelayanan Kesehatan tradisional.
    (2)
    Pemerintah Pusat bertanggung jawab menjamin ketersediaan Pelayanan Kesehatan tradisional melalui:
     
    a.
    penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria Pelayanan Kesehatan tradisional;
     
    b.
    penyelenggaraan dan fasilitasi pelaksanaan Pelayanan Kesehatan tradisional;
     
    c.
    penyediaan Sumber Daya Kesehatan di bidang Kesehatan tradisional; dan
     
    d.
    penyelenggaraan pemantauan dan penilaian kualitas Pelayanan Kesehatan tradisional.
    (3)
    Pemerintah Daerah bertanggung jawab menjamin ketersediaan Pelayanan Kesehatan tradisional melalui:
     
    a.
    penyusunan kebijakan Pelayanan Kesehatan tradisional di tingkat provinsi dan kabupaten/kota dengan berpedoman pada norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat;
     
    b.
    penyelenggaraan dan fasilitasi pelaksanaan Pelayanan Kesehatan tradisional;
     
    c.
    penyediaan Sumber Daya Kesehatan di bidang Kesehatan tradisional;
     
    d.
    penyelenggaraan pemantauan dan penilaian kualitas Pelayanan Kesehatan tradisional; dan
     
    e.
    perizinan praktik Pelayanan Kesehatan tradisional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 494

    Masyarakat diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan, meningkatkan, dan menggunakan Pelayanan Kesehatan tradisional yang dapat dipertanggungjawabkan manfaat dan keamanannya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua Puluh Empat
    Standar Pelayanan Kesehatan
     

    Pasal 495

    (1)
    Setiap penyelenggaraan Upaya Kesehatan yang dilakukan melalui Pelayanan Kesehatan dilaksanakan sesuai dengan standar Pelayanan Kesehatan.
    (2)
    Standar Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pedoman bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 496

    Standar Pelayanan Kesehatan bertujuan untuk:
    a.
    memberikan acuan bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan;
    b.
    menjamin mutu Pelayanan Kesehatan; dan
    c.
    memberikan pelindungan dan kepastian hukum bagi Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, dan Pasien dalam penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 497

    (1)
    Standar Pelayanan Kesehatan berupa:
     
    a.
    standar Pelayanan Kesehatan nasional; dan
     
    b.
    pedoman nasional pelayanan klinis.
    (2)
    Standar Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 498

    (1)
    Penyusunan standar Pelayanan Kesehatan mengacu kepada prinsip:
     
    a.
    pelayanan berpusat pada Pasien;
     
    b.
    kebutuhan Pasien;
     
    c.
    keselamatan Pasien;
     
    d.
    pelayanan berkelanjutan; dan
     
    e.
    etika profesi.
    (2)
    Pelayanan berpusat pada Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan Pelayanan Kesehatan yang melibatkan hubungan antara Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, Pasien, dan keluarga untuk memastikan Pelayanan Kesehatan yang diberikan menghargai kebutuhan Pasien.
    (3)
    Kebutuhan Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan kebutuhan Pasien untuk mendapatkan Pelayanan Kesehatan sesuai dengan kebutuhan kesehatan Pasien.
    (4)
    Keselamatan Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan sistem yang membuat asuhan Pasien lebih aman.
    (5)
    Pelayanan berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan pelayanan berkesinambungan yang dilakukan secara komprehensif di sepanjang siklus kehidupan serta diberikan dalam tempat yang berkesinambungan mencakup keluarga, komunitas, Pelayanan Kesehatan primer, dan Pelayanan Kesehatan lanjutan.
    (6)
    Etika profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e merupakan seperangkat prinsip dan norma yang mengikat profesi dalam memberikan Pelayanan Kesehatan terbaik kepada Pasien.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 499

    (1)
    Dalam penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan menyusun standar prosedur operasional dengan mengacu pada standar Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 497.
    (2)
    Standar prosedur operasional di Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
     
    a.
    panduan praktik klinis; dan
     
    b.
    prosedur pemeriksaan atau tindakan.
    (3)
    Standar prosedur operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
    (4)
    Panduan praktik klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dibuat berdasarkan bukti terbaru dengan pendekatan penyakit dan pelayanan yang diberikan multiprofesi atau lintas profesi.
    (5)
    Panduan praktik klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilengkapi dengan alur klinis, algoritma, atau prosedur.
    (6)
    Prosedur pemeriksaan atau tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dibuat berdasarkan bukti terbaru dengan pendekatan jenis pemeriksaan atau tindakan yang akan diberikan.
    (7)
    Dalam hal belum tersedianya standar Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyusunan standar prosedur operasional di Fasilitas Pelayanan Kesehatan dapat mengacu kepada standar profesi, bukti terbaru, atau referensi lainnya dengan mempertimbangkan sumber daya yang ada.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 500

    (1)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib memberikan Pelayanan Kesehatan kepada masyarakat sesuai dengan standar Pelayanan Kesehatan.
    (2)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam menyelenggarakan praktik wajib memberikan Pelayanan Kesehatan sesuai dengan standar Pelayanan Kesehatan.
    (3)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Tenaga Medis, dan Tenaga Kesehatan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikenai sanksi administratif oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berupa:
     
    a.
    teguran lisan;
     
    b.
    teguran tertulis;
     
    c.
    denda administratif;
     
    d.
    pencabutan SIP; dan/atau
     
    e.
    pencabutan perizinan berusaha.
    (4)
    Tata cara pengenaan sanksi administratif berupa pencabutan perizinan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a sampai dengan huruf d diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua Puluh Lima
    Pelayanan Kesehatan Primer dan Pelayanan Kesehatan Lanjutan

    Paragraf 1
    Umum
     

    Pasal 501

    Upaya Kesehatan dalam bentuk pelayanan diselenggarakan melalui:
    a.
    Pelayanan Kesehatan primer; dan
    b.
    Pelayanan Kesehatan lanjutan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Pelayanan Kesehatan Primer
     

    Pasal 502

    (1)
    Pelayanan Kesehatan primer merupakan Pelayanan Kesehatan yang terdekat dengan masyarakat sebagai kontak pertama Pelayanan Kesehatan.
    (2)
    Pelayanan Kesehatan Primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan secara terintegrasi dengan tujuan:
     
    a.
    pemenuhan kebutuhan Kesehatan dalam setiap fase kehidupan;
     
    b.
    perbaikan determinan Kesehatan atau faktor yang mempengaruhi Kesehatan yang terdiri atas determinan sosial, ekonomi, komersial, dan lingkungan; dan
     
    c.
    penguatan Kesehatan perseorangan, keluarga, dan masyarakat.
    (3)
    Pemenuhan kebutuhan Kesehatan dalam setiap fase kehidupan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi pemenuhan kebutuhan pada ibu, bayi dan anak, remaja, dewasa, dan lanjut usia.
    (4)
    Perbaikan determinan Kesehatan atau faktor yang mempengaruhi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b melibatkan pihak terkait melalui penyusunan kebijakan dan tindakan lintas sektor untuk mengurangi risiko dari faktor yang berpengaruh terhadap Kesehatan.
    (5)
    Perbaikan determinan Kesehatan atau faktor yang mempengaruhi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan dukungan dan komitmen Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
    (6)
    Penguatan Kesehatan perseorangan, keluarga, dan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilaksanakan untuk mengoptimalkan status Kesehatan dengan membangun kemandirian hidup sehat serta menguatkan peran sebagai mitra pembangunan Kesehatan dan pemberi asuhan untuk diri sendiri dan untuk orang lain.
    (7)
    Penguatan Kesehatan perseorangan, keluarga, dan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan untuk memberikan layanan yang berpusat pada perseorangan, berfokus pada keluarga, dan berorientasi pada masyarakat yang sesuai dengan latar belakang sosial budaya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 503

    (1)
    Pelayanan Kesehatan primer menyelenggarakan Upaya Kesehatan perseorangan dan Upaya Kesehatan masyarakat.
    (2)
    Upaya Kesehatan perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan secara komprehensif meliputi promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif yang berdampak hanya kepada individu dengan pendekatan siklus hidup yang berkesinambungan.
    (3)
    Upaya Kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan secara komprehensif meliputi promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif yang berdampak kepada masyarakat dengan pendekatan siklus hidup yang berkesinambungan.
    (4)
    Upaya Kesehatan perseorangan dan Upaya Kesehatan masyarakat pada Pelayanan Kesehatan primer diselenggarakan oleh Puskesmas dan sistem jejaring Pelayanan Kesehatan primer di wilayah kerjanya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 504

    (1)
    Upaya Kesehatan perseorangan yang bersifat promotif merupakan kegiatan untuk memampukan individu dalam mengendalikan dan meningkatkan kesehatannya.
    (2)
    Upaya Kesehatan perseorangan yang bersifat promotif dapat berupa pemberian penjelasan dan/atau edukasi tentang gaya hidup sehat, faktor risiko, serta permasalahan Kesehatan.
    (3)
    Upaya Kesehatan perseorangan yang bersifat preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit atau menghentikan penyakit dan mencegah komplikasi yang diakibatkan setelah timbulnya penyakit.
    (4)
    Upaya Kesehatan perseorangan yang bersifat preventif dapat berupa imunisasi, deteksi dini, dan intervensi dini.
    (5)
    Upaya Kesehatan perseorangan yang bersifat kuratif bertujuan untuk penyembuhan penyakit dan/atau pengurangan penderitaan akibat penyakit.
    (6)
    Upaya Kesehatan perseorangan yang bersifat rehabilitatif bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi dan mengurangi disabilitas pada individu dengan masalah Kesehatan dalam interaksinya dengan lingkungannya.
    (7)
    Upaya Kesehatan perseorangan yang bersifat rehabilitatif dapat berupa terapi wicara atau fisioterapi.
    (8)
    Upaya Kesehatan perseorangan yang bersifat paliatif bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup Pasien dan keluarganya yang menghadapi masalah berkaitan dengan penyakit yang mengancam jiwa.
    (9)
    Upaya Kesehatan perseorangan yang bersifat paliatif dapat berupa identifikasi dini, penilaian yang benar, pengobatan rasa sakit, dan penanganan masalah lain, baik fisik, psikososial, maupun spiritual.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 505

    (1)
    Upaya Kesehatan masyarakat yang bersifat promotif merupakan suatu kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan untuk memampukan masyarakat dalam mengendalikan dan meningkatkan kesehatannya.
    (2)
    Upaya Kesehatan masyarakat yang bersifat promotif dapat berupa komunikasi yang efektif untuk mengedukasi masyarakat tentang Kesehatan dan faktor yang mempengaruhi serta cara untuk meningkatkan status Kesehatan, penguatan gerakan masyarakat, serta penyusunan kebijakan dan regulasi yang mendukung dan melindungi Kesehatan masyarakat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 506

    (1)
    Upaya Kesehatan masyarakat yang bersifat preventif merupakan suatu kegiatan pencegahan terhadap suatu masalah Kesehatan/penyakit untuk menghindari atau mengurangi risiko, masalah, dan dampak buruk akibat penyakit.
    (2)
    Upaya Kesehatan masyarakat yang bersifat preventif dilakukan melalui surveilans, pemantauan status dan permasalahan Kesehatan masyarakat, penanggulangan permasalahan yang ditemukan, serta kegiatan pencegahan penyakit atau permasalahan kesehatan lainnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 507

    Upaya Kesehatan masyarakat yang bersifat kuratif merupakan kegiatan pengobatan yang ditujukan untuk menghentikan atau mengendalikan penularan dan beban penyakit di masyarakat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 508

    Upaya Kesehatan masyarakat yang bersifat rehabilitatif merupakan kegiatan untuk membantu penyintas kembali ke masyarakat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 509

    Upaya Kesehatan masyarakat yang bersifat paliatif merupakan kegiatan untuk memampukan masyarakat atau komunitas dalam memberikan dukungan untuk meningkatkan kualitas hidup Pasien dan keluarganya yang menghadapi masalah berkaitan dengan penyakit yang mengancam jiwa.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 510

    (1)
    Pelayanan Kesehatan primer diselenggarakan melalui suatu sistem jejaring Pelayanan Kesehatan yang saling berkoordinasi dan bekerja sama.
    (2)
    Puskesmas mengoordinasikan sistem jejaring Pelayanan Kesehatan primer di wilayah kerjanya.
    (3)
    Sistem jejaring Pelayanan Kesehatan primer sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dirancang untuk menjangkau seluruh masyarakat melalui:
     
    a.
    struktur jejaring berbasis wilayah administratif;
     
    b.
    struktur jejaring berbasis satuan pendidikan;
     
    c.
    struktur jejaring berbasis tempat kerja;
     
    d.
    struktur jejaring sistem rujukan; dan
     
    e.
    struktur jejaring lintas sektor.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 511

    Struktur jejaring berbasis wilayah administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 510 ayat (3) huruf a memastikan tersedianya Pelayanan Kesehatan untuk seluruh masyarakat dengan menjamin tersedianya Pelayanan Kesehatan hingga tingkat desa/kelurahan yang meliputi:
    a.
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan penunjang, baik milik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, maupun masyarakat;
    b.
    unit Pelayanan Kesehatan di tingkat desa/kelurahan; dan
    c.
    Upaya Kesehatan bersumber daya masyarakat, di dalam wilayah kerja Puskesmas.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 512

    (1)
    Unit Pelayanan Kesehatan di tingkat desa/kelurahan mengoordinasikan urusan Kesehatan di desa/kelurahan termasuk pemberian Pelayanan Kesehatan dan partisipasi masyarakat.
    (2)
    Unit Pelayanan Kesehatan di tingkat desa/kelurahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal dilaksanakan oleh kader Kesehatan yang ditugaskan oleh desa/kelurahan dan Tenaga Kesehatan.
    (3)
    Pemberian Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Tenaga Kesehatan yang paling sedikit terdiri atas satu orang perawat dan satu orang bidan.
    (4)
    Partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh kader Kesehatan paling sedikit 2 (dua) orang yang ditugaskan oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Desa/kelurahan.
    (5)
    Dalam rangka menunjang tugas kader Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau Pemerintah Desa memberikan insentif kepada kader Kesehatan.
    (6)
    Unit Pelayanan Kesehatan di tingkat desa/kelurahan dilaksanakan sesuai standar pelayanan Puskesmas pembantu yang ditetapkan oleh Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 513

    (1)
    Upaya Kesehatan bersumber daya masyarakat merupakan wahana pemberdayaan masyarakat bidang Kesehatan yang dibentuk atas dasar kebutuhan masyarakat, dikelola oleh, dari, untuk, dan bersama masyarakat, serta dapat difasilitasi oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau Pemerintah Desa dengan melibatkan sektor lain yang terkait.
    (2)
    Upaya Kesehatan bersumber daya masyarakat dapat berupa pos pelayanan terpadu.
    (3)
    Pos pelayanan terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk atas prakarsa Pemerintah Desa dan masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Pos pelayanan terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bertugas membantu kepala desa dalam peningkatan Pelayanan Kesehatan masyarakat desa.
    (5)
    Pos pelayanan terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan oleh kader dan/atau masyarakat.
    (6)
    Pelayanan Kesehatan masyarakat desa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) termasuk:
     
    a.
    Pelayanan Kesehatan seluruh siklus hidup sesuai standar yang ditetapkan oleh Menteri;
     
    b.
    pemberian edukasi Kesehatan kepada masyarakat;
     
    c.
    pemberdayaan masyarakat; dan
     
    d.
    partisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan Kesehatan di desa/kelurahan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 514

    Dalam rangka pelayanan sosial dasar bidang Kesehatan di pos pelayanan terpadu, dilakukan pembinaan teknis dan peningkatan kemampuan kader oleh unit Kesehatan di desa/kelurahan dan Puskesmas.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 515

    (1)
    Dalam penyelenggaraan pelayanan sosial dasar bidang Kesehatan di pos pelayanan terpadu, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau Pemerintah Desa memberikan insentif kepada kader.
    (2)
    Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bersumber dari anggaran Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau Pemerintah Desa.
    (3)
    Pemberian insentif kepada kader yang bersumber dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau Pemerintah Desa tidak bersifat duplikatif.
    (4)
    Pemberian insentif yang bersumber dari anggaran Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui transfer ke daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Besaran insentif lingkup kelurahan ditetapkan oleh kepala daerah.
    (6)
    Besaran insentif lingkup desa ditetapkan oleh kepala desa.
    (7)
    Dalam menetapkan besaran insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6), kepala daerah dan kepala desa mempertimbangkan tugas dan beban kerja kader.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 516

    Setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan dalam struktur jejaring berbasis wilayah administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 510 ayat (3) huruf a melakukan:
    a.
    Pelayanan Kesehatan sesuai dengan standar; dan
    b.
    penyampaian laporan pelayanan kepada Puskesmas di wilayah kerjanya melalui Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 517

    Setiap unit Pelayanan Kesehatan dalam struktur jejaring berbasis wilayah administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 510 ayat (3) huruf a melakukan:
    a.
    Pelayanan Kesehatan untuk seluruh siklus hidup sesuai standar; dan
    b.
    penyampaian laporan pelayanan melalui Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 518

    (1)
    Struktur jejaring berbasis satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 510 ayat (3) huruf b mencakup semua satuan pendidikan di dalam wilayah kerja suatu Puskesmas.
    (2)
    Satuan pendidikan dalam jejaring Pelayanan Kesehatan primer melakukan Pelayanan Kesehatan sesuai dengan pedoman penyelenggaraan Kesehatan sekolah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 519

    (1)
    Struktur jejaring berbasis tempat kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 510 ayat (3) huruf c mencakup semua tempat kerja di dalam wilayah kerja suatu Puskesmas.
    (2)
    Tempat kerja dalam jejaring Pelayanan Kesehatan primer melakukan Pelayanan Kesehatan sesuai standar Kesehatan kerja.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 520

    (1)
    Struktur jejaring sistem rujukan sebagaimana dimaksud Pasal 510 ayat (3) huruf d dilakukan melalui rujukan secara vertikal, horizontal, dan rujuk balik.
    (2)
    Rujukan secara vertikal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan rujukan dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan perujuk ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan penerima rujukan yang memiliki tingkat kemampuan lebih tinggi sesuai kebutuhan medis Pasien.
    (3)
    Rujukan secara horizontal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan rujukan dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan perujuk ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan penerima rujukan yang sama tingkatan Pelayanan Kesehatannya, namun memiliki jenis kompetensi tertentu yang tidak dimiliki oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan perujuk.
    (4)
    Rujuk balik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelaksanaan rujukan terhadap Pasien yang telah selesai ditangani pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan penerima rujukan dan masih dibutuhkan perawatan lanjutan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang lebih rendah kompetensinya.
    (5)
    Jejaring sistem rujukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberlakukan bagi penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan perseorangan berdasarkan kebutuhan medis Pasien dan kemampuan pelayanan pada setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan dengan mempertimbangkan aksesibilitas.
    (6)
    Dalam menentukan rujukan, Fasilitas Pelayanan Kesehatan primer dapat menggunakan Telemedisin.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 521

    (1)
    Struktur jejaring lintas sektor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 510 ayat (3) huruf e mencakup jejaring pemerintah di tingkat kecamatan, desa/kelurahan, dusun, rukun warga, rukun tetangga, dan jejaring mitra Kesehatan untuk mengatasi determinan Kesehatan.
    (2)
    Pelibatan jejaring lintas sektor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mendukung Pelayanan Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 522

    Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa, Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Puskesmas, dan sistem jejaring Pelayanan Kesehatan primer dan masyarakat yang menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan primer harus melakukan pencatatan dan pelaporan melalui Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 523

    (1)
    Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah Desa bertanggung jawab atas penyelenggaraan dan pembinaan Pelayanan Kesehatan primer.
    (2)
    Dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah melakukan:
     
    a.
    penyusunan regulasi Pelayanan Kesehatan primer di daerah yang mengacu pada kebijakan nasional;
     
    b.
    perencanaan dan pengalokasian anggaran Pelayanan Kesehatan primer di daerah;
     
    c.
    penyediaan akses Pelayanan Kesehatan primer;
     
    d.
    pemenuhan sumber daya dalam Pelayanan Kesehatan primer; dan
     
    e.
    pelaporan Pelayanan Kesehatan primer skala daerah.
    (3)
    Dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Desa melakukan:
     
    a.
    penggerakan dan fasilitasi partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan Kesehatan;
     
    b.
    pemenuhan sumber daya termasuk kader dan anggaran desa dalam menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan primer; dan
     
    c.
    penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan primer di desa.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 524

    (1)
    Dalam penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan primer, masyarakat berperan:
     
    a.
    menerapkan kemandirian hidup sehat;
     
    b.
    melakukan identifikasi permasalahan Kesehatan di masyarakat;
     
    c.
    diseminasi Informasi Kesehatan; dan
     
    d.
    mendukung kemudahan akses dalam Jenjang Pelayanan Kesehatan.
    (2)
    Dalam hal masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa badan usaha swasta, tanggung jawab atas penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan primer dapat dilakukan melalui:
     
    a.
    kerja sama pemenuhan sarana prasarana dan pemenuhan Perbekalan Kesehatan yang terkait Pelayanan Kesehatan primer;
     
    b.
    kerja sama peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia Kesehatan di Pelayanan Kesehatan primer;
     
    c.
    kerja sama dukungan operasional pemberdayaan masyarakat; dan
     
    d.
    kerja sama dalam diseminasi Informasi Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 525

    Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan primer dalam suatu sistem jejaring Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 510 dan kader sebagaimana dimaksud dalam Pasal 513 ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Laboratorium Kesehatan


    Pasal 526

    (1)
    Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan primer didukung dengan laboratorium Kesehatan.
    (2)
    Laboratorium Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    laboratorium medis;
     
    b.
    laboratorium Kesehatan masyarakat; dan
     
    c.
    laboratorium lainnya yang ditetapkan oleh Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 527

    (1)
    Laboratorium medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 526 ayat (2) huruf a merupakan laboratorium yang melaksanakan fungsi pemeriksaan spesimen klinik untuk mendapatkan informasi tentang Kesehatan Pasien terkait dengan penegakan diagnosis, tata laksana, monitoring penyakit, prognosis, dan pencegahan penyakit yang dapat berpengaruh pada Kesehatan perorangan.
    (2)
    Selain melaksanakan fungsi pemeriksaan spesimen klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), laboratorium medis dapat melaksanakan fungsi jejaring surveilans berbasis laboratorium, fungsi penelitian, dan pendidikan di bidang laboratorium medis.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 528

    Laboratorium medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 526 ayat (2) huruf a dapat diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, maupun masyarakat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 529

    (1)
    Laboratorium Kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 526 ayat (2) huruf b merupakan laboratorium yang melaksanakan pemeriksaan spesimen klinik dan pengujian sampel sebagai upaya pencegahan dan pengendalian penyakit serta peningkatan Kesehatan masyarakat.
    (2)
    Laboratorium Kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan fungsi:
     
    a.
    pemeriksaan spesimen klinik;
     
    b.
    pengujian sampel;
     
    c.
    surveilans penyakit dan faktor risiko Kesehatan berbasis laboratorium serta respon KLB, Wabah, dan bencana;
     
    d.
    pengelolaan dan analisis data laboratorium;
     
    e.
    komunikasi dengan pemangku kepentingan;
     
    f.
    penguatan kapasitas sumber daya manusia;
     
    g.
    pengelolaan logistik khusus laboratorium;
     
    h.
    penjaminan mutu laboratorium;
     
    i.
    pengoordinasian jejaring laboratorium Kesehatan;
     
    j.
    kerja sama dengan lembaga/institusi nasional dan/atau internasional;
     
    k.
    pengelolaan biobank dan/atau biorepositori;
     
    1.
    analisis masalah Kesehatan masyarakat berbasis laboratorium;
     
    m.
    pengembangan teknologi tepat guna; dan
     
    n.
    perumusan rekomendasi kebijakan dan pengembangan program Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 530

    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyediakan dan menyelenggarakan laboratorium Kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 526 ayat (2) huruf b.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 531

    (1)
    Laboratorium Kesehatan masyarakat diselenggarakan secara berjenjang dalam 5 (lima) tingkatan, meliputi:
     
    a.
    laboratorium Kesehatan masyarakat tingkat 1 (satu);
     
    b.
    laboratorium Kesehatan masyarakat tingkat 2 (dua);
     
    c.
    laboratorium Kesehatan masyarakat tingkat 3 (tiga);
     
    d.
    laboratorium Kesehatan masyarakat tingkat 4 (empat); dan
     
    e.
    laboratorium Kesehatan masyarakat tingkat 5 (lima).
    (2)
    Laboratorium Kesehatan masyarakat tingkat 1 (satu) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan laboratorium Kesehatan masyarakat di Puskesmas atau laboratorium lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Laboratorium Kesehatan masyarakat tingkat 2 (dua) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan laboratorium Kesehatan masyarakat pada daerah kabupaten/kota.
    (4)
    Laboratorium Kesehatan masyarakat tingkat 3 (tiga) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan laboratorium Kesehatan masyarakat pada daerah provinsi.
    (5)
    Laboratorium Kesehatan masyarakat tingkat 4 (empat) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan laboratorium Kesehatan masyarakat pada wilayah regional.
    (6)
    Laboratorium Kesehatan masyarakat tingkat 5 (lima) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e merupakan laboratorium Kesehatan masyarakat nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 532

    (1)
    Dalam melaksanakan fungsinya, laboratorium Kesehatan masyarakat dapat berjejaring dengan laboratorium medis, penyelenggara biobank dan/atau biorepositori, laboratorium Kesehatan lainnya, dan/atau laboratorium non-Kesehatan.
    (2)
    Berjejaring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai kebutuhan, meliputi:
     
    a.
    pemeriksaan spesimen klinik dan/atau pengujian sampel;
     
    b.
    pemrosesan data dan informasi;
     
    c.
    peningkatan kapasitas sumber daya manusia;
     
    d.
    penjaminan mutu laboratorium Kesehatan;
     
    e.
    penyelenggaraan biobank dan/atau biorepositori; dan/atau
     
    f.
    bentuk kegiatan jejaring lainnya.
    (3)
    Laboratorium Kesehatan masyarakat menjadi koordinator jejaring laboratorium Kesehatan di wilayahnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 533

    Pemrosesan data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 532 ayat (2) huruf b dilakukan melalui sistem informasi laboratorium Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 534

    Dalam hal laboratorium Kesehatan dan laboratorium non-Kesehatan menemukan hasil pemeriksaan laboratorium yang berkaitan dengan penyakit yang berpotensi KLB atau Wabah, laboratorium Kesehatan dan laboratorium non-Kesehatan wajib melaporkan kepada kepala dinas kesehatan dalam waktu kurang dari 24 (dua puluh empat) jam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 535

    (1)
    Penyelenggaraan laboratorium Kesehatan harus didukung oleh sumber daya manusia, sarana, prasarana, serta peralatan.
    (2)
    Laboratorium Kesehatan harus memenuhi standar keamanan dan keselamatan hayati.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 536

    (1)
    Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 535 ayat (1) terdiri atas tenaga manajerial dan tenaga teknis.
    (2)
    Sarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 535 ayat (1) meliputi lokasi dan bangunan.
    (3)
    Prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 535 ayat (1) paling sedikit terdiri atas:
     
    a.
    sistem tata udara/ventilasi;
     
    b.
    sistem pencahayaan;
     
    c.
    sistem pengelolaan air, sanitasi, dan higiene;
     
    d.
    sistem kelistrikan;
     
    e.
    sistem pengelolaan limbah;
     
    f.
    sistem komunikasi;
     
    g.
    sistem proteksi petir;
     
    h.
    sistem proteksi kebakaran; dan
     
    i.
    sarana evakuasi serta keselamatan dan Kesehatan kerja.
    (4)
    Peralatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 535 ayat (1) harus memenuhi standar persyaratan mutu, keamanan, dan keselamatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 537

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman penyelenggaraan laboratorium Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 526 sampai dengan Pasal 536 diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Pelayanan Kesehatan Lanjutan
     

    Pasal 538

    (1)
    Pelayanan Kesehatan lanjutan merupakan pelayanan spesialis dan/atau subspesialis yang mengedepankan pelayanan kuratif, rehabilitatif, dan paliatif tanpa mengabaikan promotif dan preventif.
    (2)
    Pelayanan Kesehatan lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sesuai dengan kompetensi dan kewenangan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 539

    (1)
    Dalam pengembangan Pelayanan Kesehatan lanjutan, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat dapat mengembangkan pusat pelayanan unggulan nasional yang berstandar internasional.
    (2)
    Pengembangan pusat pelayanan unggulan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memenuhi kebutuhan Pelayanan Kesehatan dan menghadapi persaingan regional dan global.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua Puluh Enam
    Pelayanan Kesehatan di Daerah Tertinggal, Perbatasan, dan Kepulauan serta Daerah Bermasalah Kesehatan atau Daerah Tidak Diminati
     

    Pasal 540

    (1)
    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan akses Pelayanan Kesehatan primer dan Pelayanan Kesehatan lanjutan di seluruh wilayah Indonesia.
    (2)
    Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan dengan mengoptimalkan peran Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 541

    (1)
    Pelayanan Kesehatan di daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan serta daerah bermasalah Kesehatan atau daerah tidak diminati diselenggarakan untuk meningkatkan aksesibilitas dan mutu Pelayanan Kesehatan melalui berbagai pendekatan dengan memperhatikan karakteristik masing-masing daerah, kebutuhan masyarakat setempat, dan permasalahan Kesehatan yang ada.
    (2)
    Daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan serta daerah bermasalah Kesehatan atau daerah tidak diminati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan daerah yang ditentukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Pendekatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
     
    a.
    strategi Pelayanan Kesehatan;
     
    b.
    penyediaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan atau pelimpahan kewenangan dalam Pelayanan Kesehatan; dan
     
    c.
    penyediaan sarana dan prasarana, Sediaan Farmasi, dan Alat Kesehatan sesuai standar.
    (4)
    Selain pada daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan serta daerah bermasalah Kesehatan atau daerah tidak diminati, pendekatan Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) juga dilakukan pada kawasan hutan dan komunitas adat terpencil.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 542

    (1)
    Strategi Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 541 ayat (3) huruf a dilakukan dengan modifikasi Pelayanan Kesehatan.
    (2)
    Modifikasi Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan Pelayanan Kesehatan yang diberikan menyesuaikan dengan kondisi dan permasalahan masing-masing wilayah.
    (3)
    Modifikasi Pelayanan Kesehatan yang dilakukan di kawasan daerah tertinggal, perbatasan, kepulauan, kawasan hutan, dan komunitas adat terpencil berupa:
     
    a.
    Pelayanan Kesehatan bergerak;
     
    b.
    Pelayanan Kesehatan gugus pulau;
     
    c.
    Pelayanan Kesehatan berbasis Telekesehatan dan Telemedisin; dan
     
    d.
    modifikasi Pelayanan Kesehatan lain.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai modifikasi Pelayanan Kesehatan diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 543

    Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan di kawasan daerah tertinggal, perbatasan, kepulauan, kawasan hutan, dan komunitas adat terpencil harus dilakukan oleh Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang memiliki kompetensi dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 544

    Dalam hal Tenaga Medis dan/atau Tenaga Kesehatan tidak tersedia, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi, atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota harus melakukan:
    a.
    pemindahtugasan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan antarkabupaten/kota, atau antarkecamatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    b.
    pelatihan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan untuk kompetensi tambahan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
    c.
    pelimpahan wewenang untuk melakukan Pelayanan Kesehatan kepada Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang tersedia baik secara mandat maupun delegatif.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 545

    (1)
    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin ketersediaan sarana, prasarana, dan Perbekalan Kesehatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan kawasan daerah tertinggal, perbatasan, kepulauan, kawasan hutan, dan komunitas adat terpencil.
    (2)
    Ketersediaan sarana, prasarana, dan Perbekalan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempertimbangkan:
     
    a.
    kebutuhan Pelayanan Kesehatan;
     
    b.
    ketersediaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan; dan
     
    c.
    kesulitan geografis dan keterbatasan jejaring Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
    (3)
    Perbekalan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    Obat, bahan medis habis pakai, dan Alat Kesehatan baik jenis dan jumlah sesuai kebutuhan, termasuk alat kontrasepsi;
     
    b.
    Obat untuk penyelamatan nyawa;
     
    c.
    Perbekalan Kesehatan untuk skrining penyakit minimal sesuai dengan paket layanan pada Pelayanan Kesehatan primer;
     
    d.
    Perbekalan Kesehatan dalam bentuk rapid test; dan
     
    e.
    Perbekalan Kesehatan lain sesuai kebutuhan Pelayanan Kesehatan berdasarkan kondisi dan masalah Kesehatan masing-masing daerah termasuk daerah endemis.
    (4)
    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah secara bertahap melakukan pembangunan infrastruktur jalan, perhubungan, dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan untuk meningkatkan akses Pelayanan Kesehatan yang bermutu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 546

    (1)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan kawasan daerah tertinggal, perbatasan, kepulauan, kawasan hutan, dan komunitas adat terpencil dapat menerima distribusi Perbekalan Kesehatan dari dinas kesehatan kabupaten/kota melebihi kebutuhan Pelayanan Kesehatan dalam 1 (satu) bulan.
    (2)
    Distribusi Perbekalan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempertimbangkan ketersediaan Perbekalan Kesehatan untuk Fasilitas Pelayanan Kesehatan lainnya di lingkup kabupaten/kota lainnya serta kemampuan dalam pengelolaan penyimpanan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 547

    (1)
    Setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan di kawasan daerah tertinggal, perbatasan, kepulauan, kawasan hutan, dan komunitas adat terpencil wajib melakukan pencatatan dan pelaporan.
    (2)
    Pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 548

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pelayanan Kesehatan di kawasan daerah tertinggal, perbatasan, kepulauan, kawasan hutan, dan komunitas adat terpencil diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua Puluh Tujuh
    Pelayanan Kesehatan dengan Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi

    Paragraf 1
    Umum
     

    Pasal 549

    (1)
    Penyelenggaraan Upaya Kesehatan dapat memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dengan tujuan memperluas akses dan meningkatkan mutu Pelayanan Kesehatan.
    (2)
    Teknologi informasi dan komunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 550

    (1)
    Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 549 ayat (1) dapat dilaksanakan melalui Telekesehatan dan Telemedisin.
    (2)
    Telekesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas pemberian pelayanan klinis dan pelayanan nonklinis.
    (3)
    Pemberian pelayanan klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui Telemedisin.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 551

    Setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan melalui teknologi informasi dan komunikasi wajib menjalankan standar keamanan data dan sistem elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 552

    (1)
    Setiap penyelenggara Pelayanan Kesehatan yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi harus menggunakan rekam medis elektronik dan mempunyai standar interoperabilitas sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
    (2)
    Penyusunan standar interoperabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 553

    (1)
    Sumber daya manusia dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan berbasis teknologi informasi dan komunikasi, terdiri atas:
     
    a.
    Tenaga Medis;
     
    b.
    Tenaga Kesehatan; dan
     
    c.
    Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan.
    (2)
    Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki kompetensi di bidang teknologi informasi dan komunikasi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 554

    (1)
    Dalam mendukung penyelenggaraan Telekesehatan dan Telemedisin yang berkualitas, Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus menyediakan sarana, prasarana, dan/atau peralatan.
    (2)
    Ruangan pelayanan untuk penyelenggaraan Telekesehatan dan Telemedisin dapat berdiri sendiri atau terintegrasi dengan ruangan Pelayanan Kesehatan lainnya.
    (3)
    Penyediaan jaringan internet dan jaringan listrik sesuai standar kebutuhan layanan digital.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 555

    (1)
    Penyelenggara Telekesehatan dan Telemedisin dalam memberikan pelayanan dapat menggunakan aplikasi.
    (2)
    Aplikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan aplikasi Telekesehatan dan Telemedisin dengan sistem keamanan dan keselamatan data sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Penyelenggara Telekesehatan dan Telemedisin dapat mengembangkan dan menggunakan aplikasi mandiri ataupun menggunakan aplikasi milik pemerintah atau swasta.
    (4)
    Dalam hal penyelenggaraan Telekesehatan dan Telemedisin menggunakan aplikasi yang dikembangkan secara mandiri, aplikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus teregistrasi di kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
    (5)
    Ketentuan mengenai registrasi aplikasi yang dikembangkan secara mandiri dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 556

    (1)
    Untuk mendukung terselenggaranya Upaya Kesehatan yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab untuk menyediakan infrastruktur.
    (2)
    Infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi listrik, jaringan internet, dan infrastruktur lainnya guna mendukung terselenggaranya Upaya Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Telekesehatan
     

    Pasal 557

    (1)
    Telekesehatan merupakan Upaya Kesehatan dalam bentuk Pelayanan Kesehatan yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi jarak jauh dengan pemberian pelayanan klinis dan nonklinis.
    (2)
    Pemberian pelayanan klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan konsultasi klinis dan konsultasi hasil pemeriksaan penunjang.
    (3)
    Pemberian pelayanan nonklinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif serta sistem informasi dan administrasi Kesehatan.
    (4)
    Persyaratan untuk menyelenggarakan Telekesehatan meliputi:
     
    a.
    sumber daya manusia;
     
    b.
    sarana dan prasarana;
     
    c.
    peralatan; dan
     
    d.
    aplikasi.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan untuk penyelenggaraan Telekesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Telemedisin
     

    Pasal 558

    (1)
    Penyelenggaraan Telemedisin meliputi layanan:
     
    a.
    antar-Fasilitas Pelayanan Kesehatan; dan
     
    b.
    antara Fasilitas Pelayanan Kesehatan dengan masyarakat.
    (2)
    Penyelenggaraan Telemedisin antar-Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan Telemedisin yang dilaksanakan antara Fasilitas Pelayanan Kesehatan satu dengan Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang lain untuk menegakkan diagnosis, penatalaksanaan klinis, dan/atau pencegahan penyakit dan cedera.
    (3)
    Penyelenggaraan Telemedisin antara Fasilitas Pelayanan Kesehatan dengan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan Telemedisin yang dilaksanakan oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan kepada perseorangan untuk kepentingan diagnosis, penatalaksanaan klinis, dan/atau pencegahan penyakit dan cedera.
    (4)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan dapat secara mandiri menyelenggarakan Telemedisin atau bekerja sama dengan penyelenggara sistem elektronik yang terdaftar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang dapat menyelenggarakan Telemedisin terdiri atas:
     
    a.
    Rumah Sakit;
     
    b.
    Puskesmas;
     
    c.
    klinik;
     
    d.
    praktik mandiri Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan;
     
    e.
    laboratorium Kesehatan; dan
     
    f.
    apotek.
    (6)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang menyelenggarakan Telemedisin harus memenuhi persyaratan yang meliputi:
     
    a.
    infrastruktur;
     
    b.
    jenis pelayanan;
     
    c.
    sumber daya manusia; dan
     
    d.
    standar klinis.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 559

    (1)
    Infrastruktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 558 ayat (6) huruf a merupakan fasilitas yang diperlukan untuk mendukung terselenggaranya Telemedisin.
    (2)
    Infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas infrastruktur:
     
    a.
    sarana;
     
    b.
    prasarana; dan
     
    c.
    perangkat.
    (3)
    Sarana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan bangunan atau ruang yang digunakan dalam melakukan penyelenggaraan Telemedisin, yang dapat berdiri sendiri atau terpisah dari area pelayanan.
    (4)
    Prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi listrik, jaringan internet yang memadai, dan prasarana lain yang mendukung penyelenggaraan Telemedisin.
    (5)
    Perangkat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c meliputi perangkat lunak dan perangkat keras dalam mendukung penyelenggaraan Telemedisin.
    (6)
    Sarana, prasarana, dan perangkat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi standar pelayanan, persyaratan mutu, keamanan, keselamatan, dan laik pakai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 560

    (1)
    Perangkat lunak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 559 ayat (5) merupakan aplikasi yang mendukung penyelenggaraan Telemedisin dengan sistem keamanan dan keselamatan data sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang menyelenggarakan Telemedisin dapat mengembangkan dan menggunakan aplikasi mandiri atau menggunakan aplikasi milik pemerintah atau swasta.
    (3)
    Dalam hal penyelenggaraan Telemedisin menggunakan aplikasi mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (2), aplikasi harus teregistrasi di kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
    (4)
    Registrasi aplikasi mandiri dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 561

    (1)
    Jenis pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 558 ayat (6) huruf b, meliputi:
     
    a.
    telekonsultasi;
     
    b.
    telefarmasi; dan
     
    c.
    pelayanan Telemedisin lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
    (2)
    Telekonsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan pelayanan konsultasi klinis jarak jauh untuk membantu menegakkan diagnosis dan/atau memberikan pertimbangan/saran tata laksana.
    (3)
    Telefarmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan pelayanan kefarmasian melalui penggunaan teknologi komunikasi dan sistem informasi kepada Pasien dalam jarak jauh.
    (4)
    Pelayanan Telemedisin lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan semua pelayanan konsultasi dengan Telemedisin sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan Teknologi Kesehatan.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis pelayanan yang dapat diselenggarakan pada penyelenggaraan Telemedisin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 562

    (1)
    Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 558 ayat (6) huruf c terdiri atas:
     
    a.
    Tenaga Medis;
     
    b.
    Tenaga Kesehatan; dan
     
    c.
    Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan.
    (2)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b yang melakukan penyelenggaraan Telemedisin wajib memiliki STR dan SIP.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai STR dan SIP dalam penyelenggaraan Telemedisin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 563

    (1)
    Standar klinis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 558 ayat (6) huruf d terdiri atas:
     
    a.
    standar prosedur operasional dan ruang lingkup pelayanan;
     
    b.
    komunikasi antara pemberi pelayanan dengan Pasien; dan
     
    c.
    kerahasiaan Pasien.
    (2)
    Standar prosedur operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa prosedur pemberian pelayanan Telemedisin.
    (3)
    Ruang lingkup pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan jenis pelayanan atau tindakan yang dapat diberikan melalui Telemedisin yang didasarkan pada standar profesi.
    (4)
    Komunikasi antara pemberi pelayanan dengan Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan kemampuan pemberi pelayanan dalam melakukan komunikasi dengan Pasien.
    (5)
    Kerahasiaan Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan kewajiban penyelenggara Telemedisin untuk memastikan data dan informasi Pasien terlindungi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 564

    Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Telemedisin diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB III
    PENGELOLAAN TENAGA MEDIS DAN TENAGA KESEHATAN

    Bagian Kesatu
    Perencanaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
     

    Pasal 565

    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam menyusun perencanaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan harus memperhatikan:
    a.
    jenis, kualifikasi, jumlah, pengadaan, dan distribusi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan;
    b.
    penyelenggaraan Upaya Kesehatan;
    c.
    ketersediaan Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
    d.
    keuangan negara atau daerah;
    e.
    kondisi demografis, geografis, dan sosial budaya; dan
    f.
    tipologi/jenis penyakit di daerah atau kebutuhan masyarakat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 566

    (1)
    Perencanaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan diselenggarakan sebagai dasar pelaksanaan:
     
    a.
    pengadaan;
     
    b.
    pendayagunaan;
     
    c.
    peningkatan mutu; dan
     
    d.
    pengembangan karier Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan untuk menjamin keberlangsungan pembangunan Kesehatan.
    (2)
    Perencanaan sebagai dasar pengadaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan memperhatikan ketersediaan dan persebaran institusi pendidikan, keseimbangan antara kebutuhan penyelenggaraan Upaya Kesehatan, kemampuan produksi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dan prioritas pembangunan dan Pelayanan Kesehatan.
    (3)
    Perencanaan sebagai dasar pendayagunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan Pelayanan Kesehatan, ketersediaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan, serta kondisi wilayah.
    (4)
    Perencanaan sebagai dasar peningkatan mutu Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan dengan memperhatikan standar profesi, standar kompetensi, standar pelayanan, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
    (5)
    Perencanaan sebagai dasar pengembangan karier Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan dengan memperhatikan ketersediaan jenis dan syarat jabatan serta kompetensi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 567

    (1)
    Menteri menetapkan kebijakan dan menyusun perencanaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam memenuhi kebutuhan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan secara nasional.
    (2)
    Menteri dalam menyusun perencanaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melibatkan Fasilitas Pelayanan Kesehatan, kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Pemerintah Daerah provinsi, dan pihak terkait berdasarkan ketersediaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan serta kebutuhan penyelenggaraan pembangunan dan Upaya Kesehatan.
    (3)
    Perencanaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 568

    (1)
    Pemerintah Daerah wajib menyusun perencanaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan di wilayahnya meliputi Fasilitas Pelayanan Kesehatan atau unit kerja milik Pemerintah Daerah dan masyarakat.
    (2)
    Pemerintah Daerah menetapkan perencanaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dengan mengacu pada perencanaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 567 ayat (1).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 569

    Perencanaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dilakukan terhadap Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang melaksanakan pekerjaan keprofesian sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya yang bekerja pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan atau unit kerja milik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau masyarakat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 570

    Perencanaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 567 ayat (1) dan Pasal 568 ayat (1) mengacu pada rencana induk bidang Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 571

    Perencanaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan disusun melalui pendekatan:
    a.
    institusi; dan/atau
    b.
    wilayah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 572

    (1)
    Penyusunan perencanaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan melalui pendekatan institusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 571 huruf a dilakukan dengan menggunakan metode:
     
    a.
    analisis beban kerja Kesehatan; dan/atau
     
    b.
    standar ketenagaan minimal.
    (2)
    Penyusunan perencanaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan melalui metode analisis beban kerja Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk menghitung kebutuhan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan berdasarkan pada beban kerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan atau unit kerja milik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau masyarakat.
    (3)
    Penyusunan perencanaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan melalui metode standar ketenagaan minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b untuk menghitung kebutuhan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sesuai dengan standar pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang baru atau akan didirikan.
    (4)
    Selain menggunakan metode sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam menyusun perencanaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dapat menggunakan metode lainnya sesuai dengan perkembangan teknis perencanaan dengan pendekatan institusi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 573

    (1)
    Penyusunan perencanaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan melalui pendekatan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 571 huruf b dilakukan untuk mendapatkan kebutuhan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan melalui penghitungan kebutuhan di tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan nasional.
    (2)
    Penyusunan perencanaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan melalui pendekatan wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk menghitung kebutuhan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan berdasarkan pada populasi dan epidemiologi penyakit di kabupaten/kota, provinsi, dan nasional.
    (3)
    Perencanaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan melalui pendekatan wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan peninjauan kembali setiap tahun.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 574

    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan perencanaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Pengadaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan

    Paragraf 1
    Umum
     

    Pasal 575

    (1)
    Pengadaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dilaksanakan sesuai dengan perencanaan dan pendayagunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.
    (2)
    Penyelenggaraan pengadaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dilakukan melalui pendidikan tinggi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.
    (3)
    Pendidikan tinggi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
     
    a.
    pendidikan akademik, yang terdiri atas program sarjana, magister, dan doktor;
     
    b.
    pendidikan vokasi, yang terdiri atas program diploma tiga, diploma empat/sarjana terapan, magister terapan, dan doktor terapan; dan
     
    c.
    pendidikan profesi, yang terdiri atas program profesi, spesialis, dan subspesialis.
    (4)
    Tenaga Medis harus memiliki kualifikasi pendidikan paling rendah pendidikan profesi.
    (5)
    Tenaga Kesehatan memiliki kualifikasi pendidikan paling rendah diploma tiga.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Penyelenggara Pendidikan Tinggi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
     

    Pasal 576

    (1)
    Pendidikan tinggi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan diselenggarakan oleh perguruan tinggi bekerja sama dengan Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
    (2)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang akan bekerja sama dengan perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri.
    (3)
    Selain diselenggarakan oleh perguruan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pendidikan tinggi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan program spesialis dan subspesialis juga dapat diselenggarakan oleh RSPPU bekerja sama dengan perguruan tinggi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 577

    (1)
    Kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 576 bertujuan untuk:
     
    a.
    meningkatkan efektivitas, efisiensi, produktivitas, kreativitas, inovasi, mutu, dan relevansi pelaksanaan tridharma perguruan tinggi untuk meningkatkan daya saing bangsa;
     
    b.
    meningkatkan sinkronisasi dan harmonisasi pelayanan pendidikan dan penelitian bidang Kesehatan; dan
     
    c.
    memberikan kontribusi nyata untuk bidang pendidikan, penelitian, dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pembangunan bidang Kesehatan di wilayahnya.
    (2)
    Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    kerja sama akademik; dan
     
    b.
    kerja sama nonakademik.
    (3)
    Bentuk kerja sama akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a paling sedikit berupa:
     
    a.
    Pelayanan Kesehatan dalam suatu sistem Kesehatan akademik;
     
    b.
    penjaminan mutu pendidikan tinggi bidang Kesehatan; dan
     
    c.
    kerja sama pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
    (4)
    Bentuk kerja sama nonakademik sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf b paling sedikit berupa kerja sama bidang sumber daya manusia, sarana dan prasarana, serta pendanaan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 578

    (1)
    Ruang lingkup kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 577 dituangkan dalam perjanjian kerja sama.
    (2)
    Perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat hak dan kewajiban para pihak serta memperhatikan hak dan kewajiban peserta didik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 579

    (1)
    Penyelenggara pendidikan tinggi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 576 ayat (1) dan ayat (3) wajib memperoleh izin dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan setelah mendapatkan rekomendasi dari Menteri.
    (2)
    Perolehan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah memenuhi persyaratan pembukaan program studi pendidikan tinggi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.
    (3)
    Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit meliputi:
     
    a.
    studi kelayakan dan naskah akademik;
     
    b.
    rencana strategis penyelenggaraan pendidikan tinggi;
     
    c.
    pemenuhan standar nasional pendidikan tinggi;
     
    d.
    kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 576 dengan Fasilitas Pelayanan Kesehatan bagi perguruan tinggi atau dengan perguruan tinggi bagi RSPPU; dan
     
    e.
    sistem penjaminan mutu internal.
    (4)
    Dalam hal penyelenggara pendidikan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan merupakan:
     
    a.
    perguruan tinggi negeri badan hukum; atau
     
    b.
    RSPPU tertentu yang memenuhi persyaratan tambahan,
     
    izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan untuk membuka program studi secara mandiri.
    (5)
    Penyelenggaraan perguruan tinggi negeri badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
    (6)
    Persyaratan tambahan bagi RSPPU tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b meliputi:
     
    a.
    penyelenggaraan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat yang bermutu;
     
    b.
    pemenuhan standar minimum kelayakan finansial; dan
     
    c.
    pengelolaan organisasi berdasarkan prinsip tata kelola yang baik.
    (7)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai izin dan persyaratan penyelenggara pendidikan tinggi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan setelah berkoordinasi dengan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 580

    Penyelenggara pendidikan tinggi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan harus memberikan manfaat dan berperan aktif dalam mendukung program untuk meningkatkan derajat Kesehatan masyarakat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Standar dan Kurikulum Pendidikan Tinggi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
     

    Pasal 581

    (1)
    Pendidikan tinggi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan harus memenuhi standar nasional pendidikan tinggi.
    (2)
    Standar nasional pendidikan tinggi pada pendidikan tinggi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan dengan melibatkan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan dan Kolegium setiap disiplin ilmu.
    (3)
    Standar kompetensi lulusan yang menjadi bagian dari standar nasional pendidikan tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengacu pada standar kompetensi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang disusun oleh Kolegium dan ditetapkan oleh Menteri.
    (4)
    Standar nasional pendidikan tinggi pada pendidikan tinggi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan.
    (5)
    Standar nasional pendidikan tinggi pada pendidikan tinggi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan acuan dalam penyusunan kurikulum.
    (6)
    Kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disusun oleh penyelenggara pendidikan tinggi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan bersama Kolegium.
    (7)
    Ketentuan mengenai keterlibatan Kolegium sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (6) dikecualikan terhadap pendidikan tinggi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang belum memiliki Kolegium.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
     

    Pasal 582

    (1)
    Seleksi penerimaan peserta didik pendidikan tinggi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dilaksanakan dengan prinsip:
     
    a.
    objektif;
     
    b.
    berbasis kompetensi dan prestasi;
     
    c.
    transparan;
     
    d.
    berorientasi pada kebutuhan; dan
     
    e.
    berbasis teknologi yang terintegrasi dengan sistem informasi.
    (2)
    Seleksi penerimaan peserta didik pendidikan tinggi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan mencakup tes tertulis, wawancara, dan/atau portofolio.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 583

    (1)
    Dalam hal seleksi penerimaan peserta didik se bagaimana dimaksud dalam Pasal 582 ayat (2) untuk pendidikan tinggi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan program spesialis/subspesialis, seleksi dilaksanakan oleh panitia seleksi bersama yang ditetapkan dalam keputusan bersama menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan dan Menteri.
    (2)
    Seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mekanisme dan sistem yang seragam secara nasional untuk semua penyelenggara pendidikan tinggi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan program spesialis/subspesialis yang menerima pendanaan dari Pemerintah Pusat.
    (3)
    Penerimaan peserta didik pendidikan tinggi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan program spesialis/subspesialis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh sistem seleksi berdasarkan pemeringkatan nilai hasil seleksi, kebutuhan Pelayanan Kesehatan, dan preferensi peserta seleksi.
    (4)
    Penerimaan peserta didik pendidikan tinggi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan program spesialis/subspesialis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat mempertimbangkan afirmasi untuk pemerataan distribusi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan spesialis/subspesialis.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 584

    (1)
    Peserta didik pendidikan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan program spesialis/subspesialis didayagunakan dan diangkat sebagai pegawai pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan atau RSPPU penyelenggara pendidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Pendayagunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari proses pendidikan.
    (3)
    Peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan imbalan jasa pelayanan oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan atau RSPPU penyelenggara pendidikan.
    (4)
    Dalam hal peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan peserta didik tahap akhir maka pendayagunaan dapat dilakukan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan lain yang membutuhkan.
    (5)
    Selain menerima imbalan jasa pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), peserta didik yang ditempatkan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) juga dapat menerima insentif.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 585

    Pelaksanaan pendayagunaan peserta didik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 584 mengacu pada perencanaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 567 ayat (1).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 586

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pendayagunaan peserta didik pendidikan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan program spesialis/subspesialis diatur dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Pembinaan, Pengawasan, dan Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
     

    Pasal 587

    (1)
    Pembinaan dan pengawasan terhadap pendidikan tinggi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dilaksanakan melalui:
     
    a.
    advokasi, sosialisasi, dan bimbingan teknis; dan
     
    b.
    monitoring dan evaluasi.
    (2)
    Pembinaan dan pengawasan terhadap pendidikan tinggi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan dan Menteri secara bersama.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan terhadap pendidikan tinggi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan dan Peraturan Menteri sesuai dengan kewenangan masing-masing.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 588

    (1)
    Penjaminan mutu pendidikan tinggi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dilaksanakan melalui sistem penjaminan mutu.
    (2)
    Sistem penjaminan mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas sistem penjaminan mutu internal dan sistem penjaminan mutu eksternal.
    (3)
    Sistem penjaminan mutu internal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh unit penjaminan mutu.
    (4)
    Unit penjaminan mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pada perguruan tinggi melibatkan perwakilan mitra Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan pada RSPPU melibatkan dosen perwakilan perguruan tinggi.
    (5)
    Sistem penjaminan mutu eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi akreditasi oleh lembaga akreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait pemenuhan standar nasional pendidikan tinggi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 589

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman penyelenggaraan pendidikan oleh RSPPU diatur dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    ljazah, Gelar, Sertifikat Profesi, Uji Kompetensi, Sertifikat Kompetensi, dan Sumpah Profesi
     

    Pasal 590

    (1)
    Peserta didik yang menyelesaikan pendidikan tinggi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan berhak mendapatkan:
     
    a.
    ijazah dan gelar untuk diploma tiga, sarjana, dan diploma empat/sarjana terapan; atau
     
    b.
    Sertifikat Profesi dan gelar untuk pendidikan profesi.
    (2)
    ljazah, Sertifikat Profesi, dan gelar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh perguruan tinggi.
    (3)
    Dalam hal pendidikan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan pendidikan tinggi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan program spesialis/subspesialis, Sertifikat Profesi dan gelar diberikan oleh perguruan tinggi bersama dengan mitra Fasilitas Pelayanan Kesehatan atau RSPPU bersama dengan mitra perguruan tinggi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 591

    (1)
    Peserta didik pada pendidikan vokasi dan pendidikan profesi harus mengikuti uji kompetensi secara nasional.
    (2)
    Peserta didik pendidikan profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada program spesialis/subspesialis harus mengikuti uji kompetensi berstandar nasional.
    (3)
    Uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh penyelenggara pendidikan tinggi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan bekerja sama dengan Kolegium.
    (4)
    Dalam hal Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan tidak memiliki Kolegium, uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan oleh penyelenggara pendidikan tinggi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.
    (5)
    Uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan berdasarkan standar prosedur operasional yang ditetapkan bersama oleh Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 592

    (1)
    Peserta didik pendidikan vokasi yang lulus uji kompetensi pada akhir masa pendidikan memperoleh Sertifikat Kompetensi.
    (2)
    Peserta didik pendidikan profesi yang lulus uji kompetensi pada akhir masa pendidikan memperoleh Sertifikat Profesi dan Sertifikat Kompetensi.
    (3)
    Sertifikat Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diterbitkan oleh penyelenggara pendidikan bekerja sama dengan Kolegium.
    (4)
    Sertifikat Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk program pendidikan spesialis dan subspesialis diterbitkan oleh Kolegium.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 593

    (1)
    Peserta didik yang telah lulus uji kompetensi wajib mengangkat sumpah profesi sebagai pertanggungjawaban moral kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam melaksanakan tugas keprofesiannya.
    (2)
    Sumpah profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh penyelenggara pendidikan tinggi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai sumpah profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 594

    (1)
    Lulusan pendidikan tinggi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang telah memiliki Sertifikat Kompetensi dan/atau Sertifikat Profesi dapat diberikan STR atau pembaharuan STR oleh Konsil atas nama Menteri yang berlaku seumur hidup.
    (2)
    Lulusan pendidikan tinggi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang sudah memiliki STR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjalankan praktik profesi setelah mendapatkan SIP.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 7
    Internsip Tenaga Medis dan Pendayagunaan Peserta Didik Program Spesialis Tenaga Medis
     

    Pasal 595

    (1)
    Tenaga Medis yang telah mengangkat sumpah profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 593 wajib mengikuti program internsip yang merupakan penempatan wajib sementara pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut.
    (2)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Rumah Sakit dan Puskesmas.
    (3)
    Rumah Sakit dan Puskesmas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 596

    (1)
    Program internsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 595 ayat (1) bertujuan untuk pemantapan, pemahiran, dan pemandirian.
    (2)
    Program intemsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan secara nasional oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan dan pihak terkait.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 597

    (1)
    Setiap dokter atau dokter gigi warga negara Indonesia yang lulus program profesi dokter atau dokter gigi dalam negeri dan luar negeri wajib mengikuti program internsip.
    (2)
    Peserta program internsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib didampingi oleh dokter atau dokter gigi pendamping internsip.
    (3)
    Setiap dokter atau dokter gigi warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyelesaikan intemsip sebelum melaksanakan praktik keprofesiannya.
    (4)
    Program internsip dokter dan dokter gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lama 1 (satu) tahun.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 598

    Tenaga Medis yang telah menyelesaikan program internsip diberikan surat tanda selesai internsip.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 599

    Tenaga Medis yang mengikuti program internsip wajib:
    a.
    bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Indonesia;
    b.
    bekerja sesuai dengan standar kompetensi, standar pelayanan, dan standar profesi;
    c.
    mengintegrasikan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperoleh selama pendidikan dan mengaplikasikannya dalam Pelayanan Kesehatan;
    d.
    mengembangkan keterampilan praktik kedokteran Pelayanan Kesehatan primer yang menekankan pada upaya promotif dan preventif;
    e.
    bekerja dalam batas kewenangan klinis, mematuhi peraturan internal Fasilitas Pelayanan Kesehatan, serta ketentuan hukum dan etika; dan
    f.
    berperan aktif dalam tim Pelayanan Kesehatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 600

    Tenaga Medis yang mengikuti program internsip berhak mendapatkan:
    a.
    bantuan biaya hidup dasar, transportasi, dan/atau tunjangan;
    b.
    pelindungan hukum sepanjang mematuhi standar profesi dan standar pelayanan;
    c.
    pendampingan dari dokter atau dokter gigi; dan
    d.
    fasilitas tempat tinggal.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 601

    (1)
    Biaya penyelenggaraan program internsip dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja negara.
    (2)
    Pemerintah Daerah memberikan fasilitas dalam penyelenggaraan program internsip sesuai dengan kemampuan daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 602

    (1)
    Menteri melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan program internsip dokter atau dokter gigi berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan dan Konsil.
    (2)
    Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk meningkatkan mutu program internsip secara berkelanjutan dalam upaya meningkatkan mutu Pelayanan Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 603

    (1)
    Dalam hal Tenaga Medis yang mengikuti program internsip melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 599, Menteri mengenakan sanksi administratif.
    (2)
    Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
     
    a.
    teguran lisan;
     
    b.
    teguran tertulis; dan/atau
     
    c.
    rekomendasi penundaan penerbitan STR.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 604

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan program internsip diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 8
    Sumber Daya Manusia dalam Pendidikan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
     

    Pasal 605

    (1)
    Sumber daya manusia dalam pendidikan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan terdiri atas:
     
    a.
    pendidik dan tenaga kependidikan yang bukan merupakan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan;
     
    b.
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan;
     
    c.
    peneliti dan/atau perekayasa; dan
     
    d.
    tenaga lain sesuai dengan kebutuhan.
    (2)
    Pendidik dan tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi dosen dan tenaga kependidikan pada perguruan tinggi.
    (3)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan baik sebagai pendidik klinis maupun bukan pendidik klinis.
    (4)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagai pendidik klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memberikan Pelayanan Kesehatan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang bermitra dengan perguruan tinggi atau RSPPU dan menjalankan tugas pendidikan, serta dapat melaksanakan penelitian dan/atau pengabdian kepada masyarakat.
    (5)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan bukan pendidik klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang memberikan Pelayanan Kesehatan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang bermitra dengan perguruan tinggi atau RSPPU dapat menjalankan tugas pendidikan, penelitian, atau pengabdian kepada masyarakat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 606

    (1)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagai pendidik klinis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 605 ayat (3) dapat memiliki jenjang jabatan akademik sampai dengan jabatan profesor setelah memenuhi persyaratan.
    (2)
    Ketentuan mengenai pendidik klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 607

    (1)
    Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 605 ayat (1) mendapatkan kesetaraan pengakuan atas pekerjaannya dalam proses pendidikan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam pengembangan kariernya.
    (2)
    Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditugaskan untuk melaksanakan pekerjaannya secara fleksibel antarpenyelenggara pendidikan tinggi dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
    (3)
    Pelaksanaan pekerjaan secara fleksibel sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dalam perjanjian kerja sama antara perguruan tinggi dengan mitra Fasilitas Pelayanan Kesehatan atau antara RSPPU dengan mitra perguruan tinggi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 608

    Ketentuan mengenai dosen, tenaga kependidikan, peneliti, dan perekayasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 605 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 9
    Bantuan Pendanaan Pendidikan
     

    Pasal 609

    (1)
    Bantuan pendanaan pendidikan dalam penyelenggaraan pendidikan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan diberikan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
    (2)
    Bantuan pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan kebijakan perencanaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.
    (3)
    Bantuan pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan kepada Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dengan mempertimbangkan:
     
    a.
    prioritas pembangunan Kesehatan;
     
    b.
    kebutuhan program;
     
    c.
    ketersediaan alokasi anggaran; dan
     
    d.
    mekanisme perencanaan dan penganggaran.
    (4)
    Pemberian bantuan pendanaan pendidikan dilaksanakan selama masa studi sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan oleh penyelenggara pendidikan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 610

    (1)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang menerima bantuan pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 609 ayat (1) wajib melaksanakan masa pengabdian pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang ditunjuk setelah menyelesaikan pendidikan.
    (2)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diprioritaskan untuk:
     
    a.
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan di daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan;
     
    b.
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan di daerah bermasalah Kesehatan; dan/atau
     
    c.
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang memerlukan Pelayanan Kesehatan termasuk pelayanan spesialistik dan subspesialistik.
    (3)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melaksanakan masa pengabdian pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan milik pemerintah diangkat sebagai aparatur sipil negara oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang menerima bantuan pendanaan pendidikan tidak melaksanakan masa pengabdian dikenai sanksi administratif berupa pencabutan STR.
    (5)
    Jangka waktu masa pengabdian diperhitungkan sebagai masa kerja dan diakui sebagai pendayagunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.
    (6)
    Pemerintah Daerah wajib menyediakan sumber daya dalam pendayagunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
    (7)
    Pemerintah Daerah yang tidak mendayagunakan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dapat mengajukan usulan pemenuhan kebutuhan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan spesialis atau subspesialis sejenis untuk jangka waktu tertentu.
    (8)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai bantuan pendanaan pendidikan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 611

    (1)
    Bantuan pendanaan pendidikan dapat diberikan oleh masyarakat.
    (2)
    Mekanisme bantuan pendanaan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan perjanjian para pihak.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 612

    Menteri, gubernur, dan bupati/wali kota melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan bantuan pendanaan pendidikan sesuai dengan kewenangannya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 10
    Pendanaan Pendidikan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
     

    Pasal 613

    (1)
    Pendanaan Pendidikan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, penyelenggara pendidikan tinggi, Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang melaksanakan pendidikan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan, dan masyarakat.
    (2)
    Pendanaan Pendidikan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang menjadi tanggung jawab penyelenggara pendidikan tinggi dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang melaksanakan pendidikan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperoleh dari kerja sama pendidikan, penelitian, dan pelayanan kepada masyarakat.
    (3)
    Dalam hal peserta didik pendidikan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan menerima bantuan pendanaan pendidikan dari Pemerintah Pusat:
     
    a.
    pendanaan penyelenggaraan pendidikan pada perguruan tinggi berasal dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan; dan
     
    b.
    pendanaan penyelenggaraan pendidikan pada Rumah Sakit pendidikan dan RSPPU berasal dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
    (4)
    Dalam hal peserta didik pendidikan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan menerima bantuan pendanaan pendidikan dari Pemerintah Daerah, pendanaan penyelenggaraan pendidikan baik pada perguruan tinggi, Rumah Sakit pendidikan, maupun RSPPU berasal dari Pemerintah Daerah.
    (5)
    Dalam hal peserta didik pendidikan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan tidak menerima bantuan pendanaan pendidikan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan membayar pendidikan secara mandiri, peserta didik membayar biaya pendidikan kepada:
     
    a.
    perguruan tinggi dan mitra Rumah Sakit Pendidikan; atau
     
    b.
    RSPPU dan mitra perguruan tinggi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 11
    Peningkatan Kompetensi secara Berkelanjutan
     

    Pasal 614

    (1)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan meningkatkan kompetensi secara berkelanjutan untuk mengembangkan keprofesiannya.
    (2)
    Peningkatan kompetensi secara berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit melalui peningkatan kualifikasi pendidikan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 615

    (1)
    Peningkatan kualifikasi pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 614 ayat (2) diselenggarakan pada penyelenggara pendidikan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.
    (2)
    Dalam rangka pelaksanaan peningkatan kualifikasi pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, masyarakat, dan pihak lain dapat memberikan bantuan pendanaan pendidikan bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 616

    Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan kompetensi secara berkelanjutan diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Pendayagunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan

    Paragraf 1
    Umum
     

    Pasal 617

    (1)
    Pendayagunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Pendayagunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas pendayagunaan di dalam negeri dan luar negeri.
    (3)
    Pendayagunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan aspek pemerataan, pemanfaatan, dan/atau pengembangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Insentif atau Disinsentif
     

    Pasal 618

    (1)
    Pemerintah Daerah kabupaten/kota wajib memenuhi kebutuhan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan untuk Pelayanan Kesehatan primer di Puskesmas dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama lainnya milik Pemerintah Daerah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Pemerintah Daerah bertanggung jawab melakukan pemenuhan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan untuk Pelayanan Kesehatan lanjutan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan miliknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 619

    Dalam rangka pemenuhan kebutuhan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 618, Pemerintah Pusat dapat memberikan insentif atau disinsentif kepada Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 620

    Pemberian insentif atau disinsentif kepada Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 619 dilaksanakan sesuai dengan kriteria dan memperhatikan aspek pemerataan, transparansi, akuntabilitas, dan efisien.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 621

    (1)
    Ketentuan mengenai kriteria pemberian insentif atau disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 620 diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara setelah berkoordinasi dengan Menteri.
    (2)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif atau disinsentif kepada Pemerintah Daerah diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Penugasan Khusus
     

    Pasal 622

    (1)
    Penugasan khusus Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan merupakan pendayagunaan secara khusus Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam kurun waktu tertentu guna meningkatkan akses dan mutu Pelayanan Kesehatan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan di daerah tertinggal, perbatasan, kepulauan, serta daerah bermasalah Kesehatan dan Rumah Sakit pemerintah yang memerlukan pelayanan medik spesialis, serta memenuhi kebutuhan Pelayanan Kesehatan lain oleh Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.
    (2)
    Penugasan khusus Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan untuk memenuhi kebutuhan Pelayanan Kesehatan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan pada daerah tidak diminati yang membutuhkan Pelayanan Kesehatan atau dalam rangka penanganan KLB, Wabah, dan bencana.
    (3)
    Penugasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai perencanaan nasional dengan memperhatikan kebutuhan Pelayanan Kesehatan, ketersediaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan, serta memperhatikan daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan.
    (4)
    Menteri menetapkan jenis Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang menjadi prioritas, kriteria, dan penetapan Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang menjadi lokasi penugasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    (5)
    Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menjadi acuan bagi gubernur atau bupati/wali kota dalam melakukan penugasan khusus.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 623

    (1)
    Dalam rangka penugasan khusus Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan, Pemerintah Daerah wajib menyediakan Alat Kesehatan, Sediaan Farmasi, serta sarana dan prasarana sesuai dengan Pelayanan Kesehatan yang diperlukan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan fasilitas lainnya sesuai dengan kemampuan daerah masing-masing.
    (2)
    Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah dapat memberikan tunjangan daerah bagi peserta penugasan khusus yang ditugaskan oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan kemampuan keuangan daerah masing-masing.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 624

    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang didayagunakan melalui penugasan khusus berhak:
    a.
    memperoleh penghasilan;
    b.
    memperoleh jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kematian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    c.
    memperoleh cuti;
    d.
    menjalankan praktik perseorangan sepanjang dilaksanakan di luar jam kerja dan tidak mengganggu pelayanan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan tempat penugasan khusus serta sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    e.
    memperoleh surat keterangan selesai melaksanakan penugasan khusus;
    f.
    memperoleh jaminan keamanan; dan
    g.
    memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 625

    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan penugasan khusus Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Penempatan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
     

    Pasal 626

    (1)
    Dalam rangka pemerataan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sesuai dengan kebutuhan Pelayanan Kesehatan, Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dapat memanfaatkan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan lulusan dari penyelenggara pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat atau masyarakat untuk mengikuti seleksi penempatan.
    (2)
    Penempatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 566.
    (3)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang telah lulus seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempatkan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan milik Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah untuk jangka waktu tertentu.
    (4)
    Penempatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempertimbangkan:
     
    a.
    pemenuhan kebutuhan insentif;
     
    b.
    jaminan keamanan serta keselamatan kerja;
     
    c.
    daerah yang memiliki kekurangan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan;
     
    d.
    kebutuhan Pelayanan Kesehatan; dan
     
    e.
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penempatan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Pemindahtugasan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
     

    Pasal 627

    (1)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang diangkat oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dapat dipindahtugaskan antarprovinsi, antarkabupaten, atau antarkota karena alasan kebutuhan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan/atau promosi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Dalam melaksanakan pemindahtugasan karena alasan kebutuhan Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada perencanaan kebutuhan nasional serta memperhatikan kesesuaian kompetensi, ketersediaan sarana dan prasarana Fasilitas Pelayanan Kesehatan, dan kecukupan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan asal.
    (3)
    Pemindahtugasan karena alasan promosi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kinerja Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.
    (4)
    Pemindahtugasan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang berstatus aparatur sipil negara melalui penugasan atau mutasi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang dipindahtugaskan diberikan kompensasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 628

    (1)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 627 ayat (1) yang bertugas di daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan serta daerah bermasalah Kesehatan atau daerah tidak diminati memperoleh tunjangan atau insentif khusus, jaminan keamanan, dukungan sarana prasarana dan Alat Kesehatan, kenaikan pangkat luar biasa, dan pelindungan dalam pelaksanaan tugas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Tunjangan atau insentif khusus, jaminan keamanan, dukungan sarana prasarana dan Alat Kesehatan, kenaikan pangkat luar biasa, dan pelindungan dalam pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat diberikan kepada Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang bertugas pada kawasan hutan dan komunitas adat terpencil.
    (3)
    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menetapkan jenis dan besaran tunjangan atau insentif bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang ditugaskan pada daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan serta daerah bermasalah Kesehatan atau daerah tidak diminati.
    (4)
    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan tunjangan atau insentif khusus, jaminan keamanan, dukungan sarana prasarana dan Alat Kesehatan dan perlindungan dalam pelaksanaan tugas di daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan serta daerah bermasalah Kesehatan atau daerah tidak diminati.
    (5)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang memenuhi kinerja dan kriteria tertentu saat bertugas di daerah tertinggal, perbatasan, dan kepulauan serta daerah bermasalah Kesehatan atau daerah tidak diminati diberikan kenaikan pangkat luar biasa.
    (6)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pemenuhan kinerja dan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 629

    (1)
    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab pada pemenuhan kebutuhan Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang mengalami kekosongan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.
    (2)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang mengalami kekosongan dikarenakan adanya pemindahtugasan dan/atau sebab lain harus diberikan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan pengganti.
    (3)
    Pemberian Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dengan cara penugasan sementara dan/atau pemberian target kinerja tambahan apabila belum tersedia Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan pengganti.
    (4)
    Pemberian target kinerja tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan pada Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang memiliki level kompetensi yang sama.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Penempatan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Dalam Kondisi Tertentu
     

    Pasal 630

    (1)
    Dalam kondisi tertentu terdapat kekurangan Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan, Menteri berwenang mengatur penempatan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan lulusan penyelenggara pendidikan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.
    (2)
    Penempatan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan perencanaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.
    (3)
    Penempatan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu.
    (4)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditempatkan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan diberikan insentif dengan besaran yang ditetapkan oleh Menteri setelah mendapatkan persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 631

    Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan penempatan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan lulusan penyelenggara pendidikan dalam kondisi tertentu terdapat kekurangan Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 630 diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 7
    Pola lkatan Dinas bagi Calon Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
     

    Pasal 632

    (1)
    Pola ikatan dinas ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah, badan usaha, atau masyarakat bagi calon Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.
    (2)
    Pola ikatan dinas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui penempatan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang telah menyelesaikan pendidikan untuk memenuhi kebutuhan Pelayanan Kesehatan di daerah terpencil, tertinggal, perbatasan, dan kepulauan serta daerah bermasalah Kesehatan atau daerah tidak diminati.
    (3)
    Pola ikatan dinas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberlakukan kepada calon Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang mendapatkan:
     
    a.
    subsidi biaya pendidikan;
     
    b.
    bantuan biaya pendidikan/beasiswa; dan/atau
     
    c.
    pengangkatan sebagai pegawai.
    (4)
    Calon Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib melaksanakan ikatan dinas sesuai dengan perjanjian dengan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, badan usaha, atau masyarakat yang ditandatangani sebelum atau saat melaksanakan pendidikan.
    (5)
    Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, badan usaha, atau masyarakat yang menetapkan pola ikatan dinas wajib mendayagunakan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan dengan memperhatikan gaji/upah, imbalan jasa, dan tunjangan kinerja yang layak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 8
    Pendayagunaan Tenaga Cadangan Kesehatan untuk Penanggulangan KLB, Wabah, dan Darurat Bencana
     

    Pasal 633

    (1)
    Pemerintah Pusat membentuk tenaga cadangan Kesehatan untuk meningkatkan kapasitas Sumber Daya Manusia Kesehatan dan mendukung ketahanan Kesehatan.
    (2)
    Tenaga cadangan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi untuk mempercepat respons mobilisasi bantuan sumber daya manusia yang kompeten dalam rangka memperkuat kapasitas sumber daya manusia di wilayah terdampak KLB, Wabah, dan darurat bencana, serta mendukung upaya pengurangan risiko krisis Kesehatan.
    (3)
    Tenaga cadangan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, dan non-Tenaga Kesehatan yang dipersiapkan untuk dimobilisasi pada penanggulangan KLB, Wabah, dan darurat bencana.
    (4)
    Tenaga cadangan Kesehatan berupa non-Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berasal dari non-Tenaga Kesehatan yang telah mendapatkan pelatihan terkait dengan penanggulangan KLB, Wabah, dan darurat bencana.
    (5)
    Selain dipersiapkan untuk dimobilisasi pada penanggulangan KLB, Wabah, dan darurat bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tenaga cadangan Kesehatan dapat dipersiapkan untuk kondisi kedaruratan Kesehatan lainnya.
    (6)
    Tenaga cadangan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk tim dan/atau perseorangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 634

    (1)
    Pengelolaan tenaga cadangan Kesehatan dilakukan melalui:
     
    a.
    pendaftaran dan kredensial dengan memanfaatkan teknologi informasi yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional;
     
    b.
    pembinaan dan peningkatan kapasitas tenaga cadangan Kesehatan; dan
     
    c.
    pelaksanaan mobilisasi.
    (2)
    Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dilakukan secara sukarela atau penugasan.
    (3)
    Pendaftaran secara penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan melalui penugasan institusi pemerintah atau penugasan institusi nonpemerintah berdasarkan kerja sama yang telah disepakati oleh pemerintah.
    (4)
    Kredensial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan untuk menilai pemenuhan persyaratan calon tenaga cadangan Kesehatan yang telah melakukan pendaftaran.
    (5)
    Pembinaan dan peningkatan kapasitas tenaga cadangan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat sesuai dengan kewenangan masing-masing.
    (6)
    Pembinaan dan peningkatan kapasitas tenaga cadangan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditujukan untuk menghasilkan tenaga cadangan Kesehatan yang kompeten dan siap untuk dimobilisasi pada penanggulangan KLB, Wabah, dan darurat bencana serta kedaruratan Kesehatan lainnya.
    (7)
    Penentuan tingkat kapasitas tenaga cadangan Kesehatan sebagaimana ayat (1) huruf b berdasarkan kemampuan dan/atau pengalaman dalam penanggulangan KLB, Wabah, dan darurat bencana serta kedaruratan Kesehatan lainnya.
    (8)
    Pelaksanaan mobilisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dengan mempertimbangkan:
     
    a.
    kejadian KLB, Wabah, dan darurat bencana serta kedaruratan Kesehatan lainnya di tingkat nasional, provinsi, atau kabupaten/kota;
     
    b.
    rekomendasi kebutuhan penanggulangan KLB, Wabah, dan darurat bencana serta kedaruratan Kesehatan lainnya; dan
     
    c.
    keamanan dan keselamatan dalam menjalankan tugasnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 635

    (1)
    Pengelolaan tenaga cadangan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 634 dilakukan melalui sistem informasi tenaga cadangan Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
    (2)
    Sistem informasi tenaga cadangan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diakses oleh Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 636

    Dalam pelaksanaan mobilisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 634 ayat (1) huruf c, tenaga cadangan Kesehatan mendapatkan jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 637

    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan pengawasan, pemantauan, dan evaluasi perkembangan program tenaga cadangan Kesehatan baik sebelum, pada saat, maupun pasca-KLB, Wabah, dan darurat bencana serta kedaruratan Kesehatan lainnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 638

    Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pendayagunaan tenaga cadangan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 633 sampai dengan Pasal 637 diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 9
    Pendayagunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia ke Luar Negeri
     

    Pasal 639

    Pendayagunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara Indonesia ke luar negeri bertujuan untuk:
    a.
    mendorong adanya alih ilmu pengetahuan, keterampilan, dan teknologi;
    b.
    meningkatkan profesionalisme, daya saing, dan jejaring di tingkat internasional; dan
    c.
    memperluas lapangan kerja sesuai dengan kualifikasi dan kompetensi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 640

    (1)
    Pendayagunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara Indonesia ke luar negeri dapat dilakukan dengan mempertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan di Indonesia serta peluang kerja bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara Indonesia di luar negeri.
    (2)
    Pertimbangan keseimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan kecukupan jumlah dan jenis untuk pemenuhan kebutuhan di dalam negeri.
    (3)
    Pendayagunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara Indonesia ke luar negeri dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 641

    Pendayagunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara Indonesia ke luar negeri dapat dilakukan melalui kegiatan:
    a.
    bakti sosial;
    b.
    peningkatan kompetensi; dan/atau
    c.
    penempatan sebagai pekerja migran Indonesia bidang Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 642

    (1)
    Bakti sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 641 huruf a dilaksanakan berdasarkan:
     
    a.
    rasa kemanusiaan;
     
    b.
    kemitraan;
     
    c.
    kesetaraan gender;
     
    d.
    nondiskriminasi;
     
    e.
    netralitas;
     
    f.
    cerminan kehidupan berbangsa dan bernegara; dan
     
    g.
    menghormati kearifan lokal.
    (2)
    Bakti sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    bakti sosial pada keadaan normal; atau
     
    b.
    bakti sosial pada keadaan bencana.
    (3)
    Bakti sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan oleh pemerintah dan/atau lembaga nonpemerintah berbadan hukum.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 643

    Peningkatan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 641 huruf b dilaksanakan dalam rangka peningkatan daya saing.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 644

    Penempatan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagai pekerja migran Indonesia bidang Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 641 huruf c harus memenuhi:
    a.
    persyaratan ketenagakerjaan;
    b.
    persyaratan teknis bidang Kesehatan; dan
    c.
    persyaratan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan negara tujuan penempatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 645

    Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat memfasilitasi pendayagunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara Indonesia ke luar negeri melalui:
    a.
    penyiapan sebelum didayagunakan;
    b.
    pemberian pendampingan dan pemantauan selama didayagunakan; dan
    c.
    pemanfaatan setelah didayagunakan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 646

    Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat yang melakukan pendayagunaan menjamin dan memberikan pelindungan kepada Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang didayagunakan ke luar negeri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 647

    (1)
    Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat memfasilitasi pendayagunaan kembali Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara Indonesia yang telah selesai didayagunakan di luar negeri.
    (2)
    Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui pemanfaatan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam rangka penguatan sistem Kesehatan nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 648

    Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan kegiatan pendayagunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara Indonesia ke luar negeri diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 10
    Pendayagunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia Lulusan Luar Negeri
     

    Pasal 649

    (1)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia Lulusan Luar Negeri yang akan melaksanakan praktik di Indonesia harus mengikuti evaluasi kompetensi.
    (2)
    Evaluasi kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk menilai kompetensi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia Lulusan Luar Negeri yang akan berpraktik di Indonesia.
    (3)
    Evaluasi kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri dengan melibatkan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan, Konsil, dan Kolegium.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 650

    (1)
    Evaluasi Kompetensi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia Lulusan Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 649 ayat (1), meliputi:
     
    a.
    penilaian kelengkapan administratif; dan
     
    b.
    penilaian kemampuan praktik melalui uji kompetensi.
    (2)
    Hasil penilaian kelengkapan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa:
     
    a.
    lengkap; atau
     
    b.
    tidak lengkap.
    (3)
    Dalam hal hasil penilaian kelengkapan administratif dinyatakan lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia Lulusan Luar Negeri mengikuti uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
    (4)
    Hasil uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa:
     
    a.
    kompeten; atau
     
    b.
    belum kompeten.
    (5)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia Lulusan Luar Negeri yang dinyatakan kompeten sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a diberikan Sertifikat Kompetensi oleh Kolegium.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 651

    (1)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia Lulusan Luar Negeri yang dinyatakan kompeten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 650 ayat (5) harus mengikuti adaptasi.
    (2)
    Adaptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia Lulusan Luar Negeri yang memiliki STR dan SIP.
    (3)
    Adaptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang ditetapkan oleh Menteri.
    (4)
    Adaptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan paling lama 1 (satu) tahun.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 652

    (1)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia Lulusan Luar Negeri yang dinyatakan belum kompeten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 650 ayat (4) huruf b harus mengikuti penambahan kompetensi.
    (2)
    Penambahan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan penyelenggara pendidikan yang ditetapkan oleh Menteri.
    (3)
    Penambahan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan paling lama 1 (satu) tahun.
    (4)
    Dalam• rangka pelaksanaan penambahan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia Lulusan Luar Negeri diberikan surat tugas penambahan kompetensi yang dikeluarkan oleh Menteri.
    (5)
    Pada akhir masa penambahan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan uji kompetensi bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia Lulusan Luar Negeri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 653

    (1)
    Ketentuan penilaian kemampuan praktik melalui uji kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 650 ayat (1) huruf b dikecualikan bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia Lulusan Luar Negeri yang:
     
    a.
    merupakan lulusan dari penyelenggara pendidikan di luar negeri yang sudah direkognisi dan telah praktik paling sedikit 2 (dua) tahun di luar negeri; atau
     
    b.
    merupakan ahli dalam bidang unggulan tertentu dalam Pelayanan Kesehatan yang dibuktikan dengan Sertifikasi Kompetensi.
    (2)
    Penyelenggara pendidikan di luar negeri yang sudah direkognisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan dan Kolegium.
    (3)
    Penilaian kemampuan praktik bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia Lulusan Luar Negeri sebagaimana di maksud pada ayat (1) berupa penilaian portofolio.
    (4)
    Hasil penilaian portofolio sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa:
     
    a.
    kompeten; atau
     
    b.
    belum kompeten.
    (5)
    Dalam hal hasil penilaian portofolio dinyatakan kompeten sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia Lulusan Luar Negeri diberikan Sertifikat Kompetensi.
    (6)
    Dalam hal hasil penilaian portofolio dinyatakan belum kompeten sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia Lulusan Luar Negeri harus mengikuti uji kompetensi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 654

    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia Lulusan Luar Negeri yang telah menyelesaikan evaluasi kompetensi dan akan melaksanakan praktik di Indonesia harus memiliki STR dan SIP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 655

    (1)
    Masa adaptasi dan penambahan kompetensi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 651 dan Pasal 652 dapat dimanfaatkan sebagai bagian dari pendayagunaan.
    (2)
    Pendayagunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan perencanaan dalam rangka pemenuhan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.
    (3)
    Menteri mengatur penempatan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia Lulusan Luar Negeri selama mengikuti adaptasi dan penambahan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    (4)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia Lulusan Luar Negeri yang didayagunakan selama mengikuti adaptasi dan penambahan kompetensi dapat diberikan insentif dan hak lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan oleh Menteri setelah mendapatkan persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
    (6)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia Lulusan Luar Negeri yang telah menyelesaikan adaptasi dapat didayagunakan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang membutuhkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 656

    Penyelenggaraan evaluasi kompetensi dilaksanakan dengan menggunakan Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 657

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan evaluasi kompetensi dan tata cara pendayagunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia Lulusan Luar Negeri diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 11
    Pendayagunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing
     

    Pasal 658

    (1)
    Pendayagunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara asing terdiri atas:
     
    a.
    lulusan dalam negeri; atau
     
    b.
    lulusan luar negeri.
    (2)
    Pendayagunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempertimbangkan rencana kebutuhan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan secara nasional dan mengutamakan penggunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara Indonesia.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 659

    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing Lulusan Dalam Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 658 ayat (1) huruf a yang melaksanakan praktik di Indonesia harus memiliki SIP dan STR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 660

    (1)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing Lulusan Dalam Negeri hanya dapat melakukan praktik atas permintaan dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan pengguna dengan batasan waktu tertentu.
    (2)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing Lulusan Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat melaksanakan praktik di Indonesia hanya berlaku untuk Tenaga Medis spesialis dan subspesialis serta Tenaga Kesehatan tingkat kompetensi tertentu.
    (3)
    Tenaga Kesehatan tingkat kompetensi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Tenaga Kesehatan yang memiliki kualifikasi setara dengan level 8 (delapan) kerangka kualifikasi nasional Indonesia.
    (4)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing Lulusan Dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang menyelenggarakan praktik secara mandiri dan wajib mematuhi ketentuan tentang praktik keprofesian yang berlaku di Indonesia.
    (5)
    Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3), Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing Lulusan Dalam Negeri yang akan melaksanakan praktik di Indonesia wajib memenuhi persyaratan ketenagakerjaan dan persyaratan teknis bidang Kesehatan serta persyaratan lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 661

    (1)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing Lulusan Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 658 ayat (1) huruf b yang dapat melaksanakan praktik di Indonesia hanya berlaku untuk Tenaga Medis spesialis dan subspesialis serta Tenaga Kesehatan tingkat kompetensi tertentu setelah mengikuti evaluasi kompetensi.
    (2)
    Tenaga Kesehatan tingkat kompetensi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Tenaga Kesehatan yang memiliki kualifikasi setara dengan level 8 (delapan) kerangka kualifikasi nasional Indonesia.
    (3)
    Dalam kondisi tertentu, Menteri dapat menetapkan pendayagunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing Lulusan Luar Negeri dengan kualifikasi selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk melaksanakan praktik keprofesian.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 662

    (1)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing Lulusan Luar Negeri yang melaksanakan praktik di Indonesia merupakan bagian dari pendayagunaan.
    (2)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing Lulusan Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki pengalaman praktik keprofesian paling singkat 3 (tiga) tahun sesuai dengan kompetensi di bidang keprofesiannya.
    (3)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing Lulusan Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan praktik pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan di Indonesia dengan ketentuan:
     
    a.
    terdapat permintaan dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan pengguna Tenaga Medis spesialis dan subspesialis serta Tenaga Kesehatan tingkat kompetensi tertentu warga negara asing lulusan luar negeri sesuai dengan kebutuhan;
     
    b.
    untuk alih teknologi dan ilmu pengetahuan; dan
     
    c.
    untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali hanya untuk 2 (dua) tahun berikutnya.
    (4)
    Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing Lulusan Luar Negeri juga harus memenuhi persyaratan ketenagakerjaan dan persyaratan teknis bidang Kesehatan serta persyaratan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib memfasilitasi pelatihan bahasa Indonesia bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing Lulusan Luar Negeri yang didayagunakan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 663

    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing Lulusan Luar Negeri dilarang menyelenggarakan praktik secara mandiri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 664

    (1)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing Lulusan Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 658 ayat (1) huruf b harus mengikuti evaluasi kompetensi.
    (2)
    Evaluasi kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk menilai kompetensi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing Lulusan Luar Negeri yang akan berpraktik di Indonesia.
    (3)
    Penyelenggaraan evaluasi kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan menggunakan Sistem Informasi Kesehatan.
    (4)
    Evaluasi kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri dengan melibatkan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan, Konsil, dan Kolegium.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 665

    (1)
    Evaluasi kompetensi bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing Lulusan Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 664 meliputi:
     
    a.
    penilaian kelengkapan administratif; dan
     
    b.
    penilaian kemampuan praktik.
    (2)
    Penilaian kemampuan praktik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi penyetaraan kompetensi dan uji kompetensi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 666

    (1)
    Hasil penilaian kelengkapan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 665 ayat (1) huruf a berupa:
     
    a.
    lengkap; atau
     
    b.
    tidak lengkap.
    (2)
    Dalam hal hasil penilaian kelengkapan administratif dinyatakan lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing Lulusan Luar Negeri mengikuti penyetaraan kompetensi.
    (3)
    Dalam hal hasil penilaian kelengkapan administratif dinyatakan tidak lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing Lulusan Luar Negeri dapat:
     
    a.
    melengkapi dokumen yang dipersyaratkan; atau
     
    b.
    ditolak.
    (4)
    Penyetaraan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan.
    (5)
    Hasil penyetaraan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa:
     
    a.
    tidak setara; atau
     
    b.
    setara.
    (6)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing Lulusan Luar Negeri yang telah mengikuti penyetaraan kompetensi dan dinyatakan tidak setara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a, tidak dapat mengikuti uji kompetensi.
    (7)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing Lulusan Luar Negeri yang telah mengikuti penyetaraan kompetensi dan dinyatakan setara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dapat mengikuti uji kompetensi.
    (8)
    Hasil uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) berupa:
     
    a.
    kompeten; atau
     
    b.
    belum kompeten.
    (9)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing Lulusan Luar Negeri yang dinyatakan kompeten sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf a diberikan Sertifikat Kompetensi oleh Kolegium.
    (10)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing Lulusan Luar Negeri yang dinyatakan kompeten sebagaimana dimaksud pada ayat (9) harus mengikuti adaptasi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan tempat pendayagunaan.
    (11)
    Masa adaptasi sebagaimana dimaksud pada ayat (10) merupakan bagian dari pendayagunaan.
    (12)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing Lulusan Luar Negeri yang dinyatakan belum kompeten sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf b harus kembali ke negara asalnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 667

    (1)
    Evaluasi kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 664 ayat (2) dikecualikan bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing Lulusan Luar Negeri yang memiliki kriteria:
     
    a.
    lulusan dari penyelenggara pendidikan di luar negeri yang sudah direkognisi dan telah praktik sebagai Tenaga Medis spesialis dan subspesialis serta Tenaga Kesehatan tingkat kompetensi tertentu paling singkat 5 (lima) tahun di luar negeri yang harus dibuktikan dengan surat keterangan atau dokumen lain yang diterbitkan oleh lembaga yang berwenang di negara yang bersangkutan; atau
     
    b.
    ahli dalam suatu bidang unggulan tertentu dalam Pelayanan Kesehatan yang dibuktikan dengan sertifikasi kompetensi dan telah praktik paling singkat 5 (lima) tahun di luar negeri.
    (2)
    Penyelenggara pendidikan di luar negeri yang sudah direkognisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan dan Kolegium.
    (3)
    Evaluasi kompetensi bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing Lulusan Luar Negeri yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui:
     
    a.
    penilaian kelengkapan administratif; dan
     
    b.
    penilaian kemampuan praktik melalui portofolio.
    (4)
    Hasil penilaian kelengkapan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a berupa:
     
    a.
    lengkap; atau
     
    b.
    tidak lengkap.
    (5)
    Hasil penilaian praktik melalui portofolio sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b berupa:
     
    a.
    kompeten; atau
     
    b.
    belum kompeten.
    (6)
    Dalam hal hasil penilaian praktik melalui portofolio dinyatakan kompeten sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a, Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing Lulusan Luar Negeri diberikan Sertifikat Kompetensi.
    (7)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing Lulusan Luar Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat didayagunakan sesuai dengan kebutuhan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (8)
    Dalam hal hasil penilaian praktik melalui portofolio dinyatakan belum kompeten sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b, Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing Lulusan Luar Negeri harus mengikuti uji kompetensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (9)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan pengguna memberikan pengenalan terkait sistem Pelayanan Kesehatan di Indonesia kepada Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing Lulusan Luar Negeri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Pasal 668
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan evaluasi kompetensi dan tata cara pendayagunaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara asing diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Peningkatan Mutu Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
     

    Pasal 669

    (1)
    Peningkatan mutu Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dilakukan melalui penyelenggaraan pelatihan dan/atau kegiatan peningkatan kompetensi.
    (2)
    Pelatihan dan/atau kegiatan peningkatan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dan/atau lembaga pelatihan yang terakreditasi oleh Pemerintah Pusat.
    (3)
    Akreditasi lembaga pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Pemerintah Pusat berdasarkan permohonan dari institusi penyelenggara pelatihan.
    (4)
    Pengelolaan pelatihan dan/atau kegiatan peningkatan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terintegrasi melalui Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 670

    Penyelenggaraan pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 669 ayat (1) dilakukan berdasarkan:
    a.
    pengkajian kebutuhan; dan
    b.
    kurikulum terstandar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 671

    (1)
    Pengkajian kebutuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 670 huruf a mempertimbangkan kebutuhan:
     
    a.
    organisasi;
     
    b.
    program dan Pelayanan Kesehatan;
     
    c.
    peningkatan kompetensi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan; dan
     
    d.
    untuk daya saing nasional dan internasional.
    (2)
    Pengkajian kebutuhan organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan melalui identifikasi kebutuhan pemenuhan atau pelaksanaan tugas dan fungsi organisasi.
    (3)
    Pengkajian kebutuhan program dan Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan melalui identifikasi kebutuhan pemenuhan program pembangunan dan Pelayanan Kesehatan.
    (4)
    Pengkajian kebutuhan peningkatan kompetensi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan melalui penilaian kompetensi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan berdasarkan:
     
    a.
    standar profesi;
     
    b.
    standar kompetensi jabatan; atau
     
    c.
    standar kompetensi kerja.
    (5)
    Pengkajian kebutuhan untuk daya saing nasional dan internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan melalui identifikasi kebutuhan negara tujuan dan penguatan kompetensi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 672

    (1)
    Penyelenggaraan kegiatan peningkatan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 669 ayat (1) dilakukan berdasarkan:
     
    a.
    perencanaan; dan
     
    b.
    standardisasi mekanisme penyelenggaraan.
    (2)
    Kegiatan peningkatan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui seminar, lokakarya/workshop, bimbingan teknis, coaching, mentoring, dan/atau kegiatan lain untuk peningkatan kompetensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 673

    (1)
    Pelatihan dan/atau kegiatan peningkatan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 669 dapat digunakan untuk pemenuhan kecukupan satuan kredit profesi melalui sertifikasi pelatihan dan/atau kegiatan peningkatan kompetensi.
    (2)
    Sertifikasi pelatihan dan/atau kegiatan peningkatan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola melalui Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 674

    (1)
    Dalam rangka menjamin kualitas dan keberhasilan penyelenggaraan pelatihan dan/atau kegiatan peningkatan kompetensi dilakukan evaluasi.
    (2)
    Evaluasi penyelenggaraan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
     
    a.
    evaluasi pada saat proses pelatihan; dan
     
    b.
    evaluasi pascapelatihan.
    (3)
    Evaluasi penyelenggaraan kegiatan peningkatan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui evaluasi proses penyelenggaraan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 675

    (1)
    Dalam penyelenggaraan kegiatan peningkatan kompetensi dapat dilakukan fellowship dan program pengembangan pendidikan keprofesian berkelanjutan.
    (2)
    Fellowship sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan di Rumah Sakit pendidikan.
    (3)
    Dalam rangka pelaksanaan fellowship sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, masyarakat, dan pihak lain dapat memberikan bantuan pendanaan fellowship bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.
    (4)
    Program pengembangan pendidikan keprofesian berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit dilakukan melalui:
     
    a.
    pelaksanaan praktik/Pelayanan Kesehatan yang langsung berhubungan dengan keahlian atau profesinya kepada Pasien, klien, dan/atau masyarakat;
     
    b.
    pembelajaran dan/atau pengabdian masyarakat;
     
    c.
    pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; dan
     
    d.
    publikasi ilmiah.
    (5)
    Peningkatan kompetensi melalui program pengembangan pendidikan keprofesian berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat digunakan untuk pemenuhan kecukupan satuan kredit profesi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 676

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman pelatihan dan/atau kegiatan peningkatan kompetensi diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Registrasi dan Perizinan

    Paragraf 1
    Registrasi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
     

    Pasal 677

    (1)
    Setiap Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang akan menjalankan praktik wajib memiliki STR.
    (2)
    STR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan kepada:
     
    a.
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara Indonesia; dan
     
    b.
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara asing.
    (3)
    STR bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berlaku seumur hidup.
    (4)
    Dikecualikan dari ketentuan jangka waktu STR seumur hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (3), bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara Indonesia yang melaksanakan pendidikan, internsip, atau dalam proses adaptasi, STR berlaku selama proses pendidikan, internsip, atau adaptasi.
    (5)
    STR bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berlaku paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang sebanyak 1 (satu) kali untuk masa 2 (dua) tahun berikutnya.
    (6)
    Ketentuan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikecualikan bagi STR Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara asing yang didayagunakan di kawasan ekonomi khusus yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang­-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 678

    (1)
    Pengajuan permohonan STR bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dilakukan secara elektronik melalui Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
    (2)
    STR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Konsil atas nama Menteri setelah Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan memenuhi persyaratan.
    (3)
    Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit meliputi:
     
    a.
    memiliki ijazah pendidikan di bidang Kesehatan dan/atau Sertifikat Profesi; dan
     
    b.
    memiliki Sertifikat Kompetensi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 679

    Dalam hal terdapat perubahan kualifikasi kompetensi dan/atau beralih profesi, Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dapat mengajukan perubahan data STR.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 680

    Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara pengajuan, dan penerbitan STR diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Perizinan
     

    Pasal 681

    (1)
    Setiap Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan tertentu yang akan melakukan praktik keprofesiannya wajib memiliki SIP.
    (2)
    Permohonan SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diajukan secara online melalui sistem informasi yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
    (3)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan tertentu dalam mengajukan permohonan SIP harus memiliki:
     
    a.
    STR; dan
     
    b.
    tempat praktik.
    (4)
    SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota tempat Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan menjalankan praktiknya.
    (5)
    Dalam hal penerbitan SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Menteri menetapkan batas waktu maksimal proses penerbitan SIP.
    (6)
    Dalam hal proses penerbitan SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (5) melebihi batas waktu maksimal, SIP secara otomatis terbit melalui sistem informasi yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 682

    (1)
    SIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 681 ayat (1) diberikan bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan tertentu warga negara Indonesia dan warga negara asing.
    (2)
    SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku untuk 1 (satu) tempat praktik.
    (3)
    SIP Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan.
    (4)
    Persyaratan perpanjangan SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
     
    a.
    STR;
     
    b.
    tempat praktik; dan
     
    c.
    pemenuhan kecukupan satuan kredit profesi.
    (5)
    SIP bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara asing berlaku paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali dan hanya untuk 2 (dua) tahun berikutnya.
    (6)
    Ketentuan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikecualikan bagi SIP Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara asing yang didayagunakan di kawasan ekonomi khusus yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     

     

     
     
     
     
     
     

    Pasal 683

    (1)
    Pemenuhan kecukupan satuan kredit profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 682 ayat (4) huruf c digunakan untuk proses perpanjangan SIP.
    (2)
    Pemenuhan kecukupan satuan kredit profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh melalui:
     
    a.
    pelatihan dan/atau kegiatan peningkatan kompetensi;
     
    b.
    pelayanan; dan
     
    c.
    pengabdian.
    (3)
    Standar pemenuhan kecukupan satuan kredit profesi sebagaimana dimaksud ayat (2) ditetapkan oleh Kolegium.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 684

    (1)
    Dalam kondisi tertentu, Menteri dapat menerbitkan SIP.
    (2)
    Penerbitan SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk:
     
    a.
    pelaksanaan program internsip bagi dokter dan dokter gigi;
     
    b.
    pelaksanaan program pendidikan dokter spesialis, dokter subspesialis, dokter gigi spesialis, dokter gigi subspesialis, dan Tenaga Kesehatan spesialis;
     
    c.
    pemenuhan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan pada kawasan ekonomi khusus atau Pintu Masuk atau pelabuhan atau bandar udara yang melayani lalu lintas domestik;
     
    d.
    pemenuhan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan di daerah tertinggal, perbatasan, kepulauan, dan daerah bermasalah Kesehatan; dan/atau
     
    e.
    percepatan pemenuhan Pelayanan Kesehatan lainnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 685

    (1)
    Dalam kondisi tertentu, Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang memberikan Pelayanan Kesehatan tidak memerlukan SIP di tempat tersebut.
    (2)
    Pemberian Pelayanan Kesehatan dalam kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berdasarkan penugasan yang ditetapkan oleh Menteri.
    (3)
    Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memiliki kedudukan hukum yang sama dengan SIP.
    (4)
    Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang memberikan Pelayanan Kesehatan berdasarkan penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang memiliki SIP.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 686

    (1)
    Penerbitan SIP oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota harus mempertimbangkan perencanaan kebutuhan secara nasional dan kuota untuk setiap jenis Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.
    (2)
    Kuota untuk setiap jenis Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memperhatikan kriteria:
     
    a.
    ketersediaan dan persebaran Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan pada daerah tersebut;
     
    b.
    rasio jumlah penduduk dengan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan aktif yang ditetapkan oleh Menteri; dan
     
    c.
    beban kerja Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.
    (3)
    Proses penerbitan SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sistem informasi yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
    (4)
    Kuota untuk setiap jenis Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 687

    Ketentuan lebih lanjut mengenai penerbitan SIP Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 681 sampai dengan Pasal 686 diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Monitoring dan Evaluasi
     

    Pasal 688

    Dalam penyelenggaraan Registrasi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan, Pemerintah Pusat melakukan monitoring dan evaluasi secara terintegrasi melalui Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Surat Tugas
     

    Pasal 689

    (1)
    Untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan pelayanan kedokteran, Menteri dapat memberikan surat tugas kepada dokter spesialis atau dokter gigi spesialis tertentu yang telah memiliki SIP untuk bekerja pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan tertentu tanpa memerlukan SIP di tempat tersebut.
    (2)
    Selain pemberian surat tugas kepada dokter spesialis atau dokter gigi spesialis tertentu, Menteri juga dapat memberikan surat tugas kepada dokter subspesialis atau dokter gigi subspesialis tertentu yang memberikan Pelayanan Kesehatan di kawasan ekonomi khusus.
    (3)
    Pemberian surat tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan:
     
    a.
    terdapat permintaan dari dinas kesehatan kabupaten/kota berdasarkan kebutuhan;
     
    b.
    ketiadaan dokter spesialis atau dokter gigi spesialis dengan keahlian dan kompetensi yang sama pada kabupaten/kota tersebut; dan
     
    c.
    dokter spesialis atau dokter gigi spesialis yang mendapat surat tugas harus telah memiliki SIP.
    (4)
    Dinas kesehatan kabupaten/kota dalam mengajukan permohonan surat tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, melampirkan:
     
    a.
    hasil kajian kebutuhan pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi spesialistik tertentu yang dibutuhkan di daerah pengusul;
     
    b.
    pernyataan ketiadaan dokter spesialis atau dokter gigi spesialis dengan keahlian dan kompetensi yang sama pada kabupaten/kota tersebut; dan
     
    c.
    usulan kandidat dokter spesialis atau dokter gigi spesialis yang akan diusulkan dengan melampirkan bukti SIP maksimal yang dimiliki calon kandidat.
    (5)
    Surat tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Menteri setelah dilakukan kajian pemenuhan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
    (6)
    Pemberian surat tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan kajian kebutuhan Pelayanan Kesehatan sesuai dengan usulan pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang berada pada kawasan ekonomi khusus.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 690

    (1)
    Surat tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 689 diberikan oleh Menteri melalui Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
    (2)
    Surat tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya diberikan 1 (satu) kali dan berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun serta dapat diperpanjang berdasarkan kajian kebutuhan pemenuhan pelayanan spesialistik di daerah tersebut.
    (3)
    Dalam hal selama jangka waktu keberlakuan surat tugas telah ada dokter spesialis atau dokter gigi spesialis lain dengan keahlian dan kompetensi yang sama pada daerah tersebut, surat tugas menjadi tidak berlaku.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 691

    Selain pemberian surat tugas kepada dokter spesialis atau dokter gigi spesialis tertentu, Menteri juga dapat memberikan surat tugas kepada dokter subspesialis atau dokter gigi subspesialis tertentu berdasarkan kajian kebutuhan Pelayanan Kesehatan sesuai dengan usulan dinas kesehatan kabupaten/kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 692

    (1)
    Surat tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 689 memiliki kedudukan hukum yang sama dengan SIP.
    (2)
    Dokter spesialis, dokter gigi spesialis, dokter subspesialis, dan dokter gigi subspesialis yang berpraktik berdasarkan surat tugas memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan dokter spesialis, dokter gigi spesialis, dokter subspesialis, dan dokter gigi subspesialis yang memiliki SIP.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 693

    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian surat tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 689 sampai dengan Pasal 692 diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    Konsil Kesehatan Indonesia

    Paragraf 1
    Umum
     

    Pasal 694

    (1)
    Konsil berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri.
    (2)
    Konsil merupakan lembaga nonstruktural yang dalam menjalankan perannya bersifat independen.
    (3)
    Konsil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disebut Konsil Kesehatan Indonesia.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Tugas, Fungsi, dan Wewenang
     

    Pasal 695

    (1)
    Konsil Kesehatan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 694 memiliki peran:
     
    a.
    merumuskan kebijakan internal dan standardisasi pelaksanaan tugas Konsil Kesehatan Indonesia;
     
    b.
    melakukan Registrasi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan; dan
     
    c.
    melakukan pembinaan teknis keprofesian Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.
    (2)
    Dalam menjalankan peran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Konsil Kesehatan Indonesia mempunyai tugas melaksanakan dukungan peningkatan mutu praktik dan kompetensi teknis keprofesian Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan serta memberikan pelindungan dan kepastian hukum kepada masyarakat.
    (3)
    Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Konsil Kesehatan Indonesia menyelenggarakan fungsi:
     
    a.
    pelaksanaan Registrasi dan pengelolaan data STR;
     
    b.
    penetapan kompetensi yang beririsan;
     
    c.
    penetapan percabangan disiplin ilmu;
     
    d.
    pelaksanaan keputusan pemberian sanksi disiplin;
     
    e.
    perumusan dan penetapan kebijakan internal;
     
    f.
    penetapan standar kurikulum pelatihan yang disusun oleh Kolegium;
     
    g.
    pelaksanaan evaluasi kompetensi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia Lulusan Luar Negeri dan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing Lulusan Luar Negeri bersama Menteri, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang pendidikan dan Kolegium;
     
    h.
    pelaksanaan validasi dan pengusulan standar kompetensi yang disusun oleh Kolegium untuk ditetapkan oleh Menteri;
     
    i.
    pengusulan standar profesi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan bersama dengan Kolegium yang ditetapkan oleh Menteri; dan
     
    j.
    pengusulan jenis dan kelompok Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan baru, bersama dengan Kolegium untuk ditetapkan Menteri.
    (4)
    Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3), Konsil Kesehatan Indonesia memiliki wewenang untuk menerbitkan, menonaktifkan, dan mencabut STR Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 696

    (1)
    Konsil Kesehatan Indonesia dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 695 ayat (2) sampai dengan ayat (4) harus berkoordinasi dengan Menteri dalam rangka menjamin kesesuaian dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri.
    (2)
    Dalam hal pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri, Menteri dapat melakukan penyesuaian pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Susunan Organisasi
     

    Pasal 697

    (1)
    Susunan organisasi Konsil Kesehatan Indonesia terdiri atas:
     
    a.
    pimpinan Konsil Kesehatan Indonesia; dan
     
    b.
    Konsil masing-masing kelompok Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.
    (2)
    Pimpinan Konsil Kesehatan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
     
    a.
    1 (satu) orang ketua;
     
    b.
    1 (satu) orang wakil ketua; dan
     
    c.
    7 (tujuh) orang anggota.
    (3)
    Pimpinan Konsil Kesehatan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur Pemerintah Pusat, profesi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan, Kolegium, dan masyarakat.
    (4)
    Konsil masing-masing kelompok Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sejumlah 1 (satu) orang dari setiap kelompok Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 698

    Dalam rangka melaksanakan tugas, fungsi, dan kewenangan, Konsil Kesehatan Indonesia didukung oleh Kolegium.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Pasal 699
    Dalam rangka penegakan disiplin profesi sebagai bagian dari peningkatan mutu dan kompetensi teknis keprofesian Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan, Konsil Kesehatan Indonesia didukung oleh majelis.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 700

    (1)
    Pimpinan Konsil Kesehatan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 697 ayat (1) huruf a diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usulan Menteri.
    (2)
    Masa bakti pimpinan Konsil Kesehatan Indonesia selama 4 (empat) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya sepanjang memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 701

    Untuk dapat diangkat dalam keanggotaan Konsil Kesehatan Indonesia harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
    a.
    warga negara Indonesia;
    b.
    sehat jasmani dan rohani;
    c.
    bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia;
    d.
    berkelakuan baik;
    e.
    berusia paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat diangkat;
    f.
    bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan, pernah melakukan praktik keprofesian dan memiliki STR;
    g.
    tidak pernah dan tidak sedang menjalani sanksi disiplin, etik, dan hukum; dan
    h.
    tidak merangkap jabatan yang memiliki potensi konflik kepentingan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 702

    (1)
    Menteri melakukan seleksi calon pimpinan Konsil Kesehatan Indonesia.
    (2)
    Hasil seleksi calon pimpinan Konsil Kesehatan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh Menteri kepada Presiden.
    (3)
    Presiden menetapkan pimpinan Konsil Kesehatan Indonesia berdasarkan usulan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 703

    Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme seleksi pimpinan dan tata kerja Konsil Kesehatan Indonesia serta tata cara pengangkatan dan pemberhentian anggota Konsil masing­-masing kelompok Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketujuh
    Kolegium

    Paragraf 1
    Umum
     

    Pasal 704

    (1)
    Untuk mengembangkan cabang disiplin ilmu dan standar pendidikan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan, setiap kelompok ahli tiap disiplin ilmu Kesehatan dapat membentuk Kolegium.
    (2)
    Keanggotaan Kolegium berasal dari para guru besar dan ahli bidang ilmu Kesehatan.
    (3)
    Kolegium sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disahkan oleh Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Tugas, Fungsi, dan Wewenang
     

    Pasal 705

    (1)
    Kolegium memiliki peran:
     
    a.
    menyusun standar kompetensi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan; dan
     
    b.
    menyusun standar kurikulum pelatihan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.
    (2)
    Dalam menjalankan peran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kolegium bersifat independen.
    (3)
    Kolegium sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki tugas mengembangkan cabang disiplin ilmu dan standar pendidikan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.
    (4)
    Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kolegium menjalankan fungsi:
     
    a.
    penyusunan standar kompetensi dan standar kurikulum pelatihan;
     
    b.
    terlibat dalam penyusunan standar nasional pendidikan tinggi pada pendidikan tinggi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang dilaksanakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan;
     
    c.
    penyusunan kurikulum pendidikan tinggi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan bersama penyelenggara pendidikan;
     
    d.
    penyusunan standar profesi bersama dengan Konsil untuk ditetapkan oleh Menteri;
     
    e.
    bekerja sama dengan penyelenggara pendidikan tinggi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan untuk melaksanakan uji kompetensi;
     
    f.
    penyusunan kajian jenis dan kelompok Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan bersama dengan Konsil untuk ditetapkan Menteri;
     
    g.
    penyusunan kompetensi yang beririsan;
     
    h.
    penyusunan kajian penambahan kompetensi;
     
    i.
    pelaksanaan evaluasi kompetensi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Indonesia Lulusan Luar Negeri serta Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing Lulusan Luar Negeri bersama Menteri, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan, dan Konsil; dan
     
    j.
    pemberian dukungan penyusunan persyaratan dan standar Rumah Sakit pendidikan.
    (5)
    Dalam melaksanakan tugas dan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), Kolegium memiliki wewenang untuk menerbitkan sertifikasi kompetensi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 706

    Kolegium dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenangnya berkoordinasi dengan pihak terkait sesuai disiplin ilmunya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 707

    (1)
    Kolegium dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 705 ayat (3) sampai dengan ayat (5) harus berkoordinasi dengan Menteri dalam rangka menjamin kesesuaian dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri.
    (2)
    Dalam hal pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri, Menteri dapat melakukan penyesuaian pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Kolegium Kesehatan Indonesia
     

    Pasal 708

    (1)
    Dalam rangka mengoordinasikan pelaksanaan tugas, fungsi, dan kewenangan Kolegium, dibentuk Kolegium Kesehatan Indonesia.
    (2)
    Susunan keanggotaan Kolegium Kesehatan Indonesia, terdiri atas:
     
    a.
    1 (satu) orang ketua merangkap anggota;
     
    b.
    1 (satu) orang wakil ketua merangkap anggota; dan
     
    c.
    1 (satu) orang perwakilan masing-masing Kolegium sebagai anggota.
    (3)
    Ketua Kolegium Kesehatan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempatkan sebagai perwakilan dalam Konsil Kesehatan Indonesia.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 709

    Untuk dapat diangkat sebagai anggota Kolegium Kesehatan Indonesia harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
    a.
    warga negara Indonesia;
    b.
    sehat jasmani dan rohani;
    c.
    bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia;
    d.
    berkelakuan baik;
    e.
    berusia paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat diangkat;
    f.
    bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan, pernah melakukan praktik keprofesian paling sedikit 10 (sepuluh) tahun dan memiliki STR;
    g.
    tidak pernah dan tidak sedang menjalani sanksi disiplin, etik, dan hukum; dan
    h.
    tidak merangkap jabatan yang memiliki potensi konflik kepentingan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 710

    (1)
    Menteri melakukan seleksi calon anggota Kolegium Kesehatan Indonesia dengan melibatkan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan untuk penetapan Kolegium Kesehatan Indonesia.
    (2)
    Keanggotaan Kolegium Kesehatan Indonesia diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.
    (3)
    Masa bakti keanggotaan Kolegium Kesehatan Indonesia selama 4 (empat) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 709.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 711

    Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, mekanisme seleksi, tata cara pengangkatan dan pemberhentian anggota, serta tata kerja Kolegium Kesehatan Indonesia diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedelapan
    Majelis Disiplin Profesi

    Paragraf 1
    Umum
     

    Pasal 712

    (1)
    Dalam rangka penegakan disiplin profesi, Menteri membentuk majelis.
    (2)
    Majelis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selanjutnya disebut Majelis Disiplin Profesi.
    (3)
    Majelis Disiplin Profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertanggung jawab kepada Menteri.
    (4)
    Majelis Disiplin Profesi dibentuk untuk mendukung tugas dan fungsi Konsil Kesehatan Indonesia dalam peningkatan mutu dan kompetensi teknis keprofesian Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Tugas dan Fungsi
     

    Pasal 713

    (1)
    Majelis Disiplin Profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 712 mempunyai tugas melaksanakan penegakan disiplin profesi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan berdasarkan ketentuan penegakan disiplin yang ditetapkan oleh Menteri.
    (2)
    Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Majelis Disiplin Profesi menyelenggarakan fungsi:
     
    a.
    penerimaan dan verifikasi pengaduan atas tindakan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan;
     
    b.
    pemeriksaan pengaduan dugaan pelanggaran disiplin profesi;
     
    c.
    penentuan ada atau tidaknya pelanggaran disiplin profesi yang dilakukan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan;
     
    d.
    pengambilan putusan atas pengaduan dan menentukan sanksi atas pelanggaran disiplin; dan
     
    e.
    pemberian rekomendasi yang berkaitan dengan Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang diduga melakukan tindakan/perbuatan yang melanggar hukum dalam pelaksanaan Pelayanan Kesehatan atau yang dimintai pertanggungjawaban atas tindakan/perbuatan berkaitan dengan pelaksanaan Pelayanan Kesehatan yang merugikan Pasien.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Keanggotaan
     

    Pasal 714

    (1)
    Anggota Majelis Disiplin Profesi terdiri dari 9 (sembilan) orang yang berasal dari unsur:
     
    a.
    perwakilan dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan;
     
    b.
    profesi;
     
    c.
    perwakilan dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
     
    d.
    ahli hukum; dan
     
    e.
    masyarakat.
    (2)
    Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Menteri sampai dengan berakhirnya masa jabatan.
    (3)
    Masa jabatan anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu 4 (empat) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 715

    Untuk dapat diangkat sebagai anggota Majelis Disiplin Profesi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
    a.
    warga negara Indonesia;
    b.
    sehat jasmani dan rohani;
    c.
    bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia;
    d.
    berkelakuan baik;
    e.
    berusia paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat diangkat;
    f.
    bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan, pernah melakukan praktik keprofesian paling sedikit 10 (sepuluh) tahun dan memiliki STR;
    g.
    bagi ahli hukum, pernah memiliki pengalaman di bidang hukum paling sedikit 10 (sepuluh) tahun;
    h.
    tidak pernah dan tidak sedang menjalani sanksi disiplin, etik, dan hukum; dan
    i.
    tidak merangkap jabatan yang memiliki potensi konflik kepentingan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 716

    (1)
    Menteri melakukan seleksi calon anggota Majelis Disiplin Profesi.
    (2)
    Menteri menetapkan keanggotaan Majelis Disiplin Profesi berdasarkan hasil seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 717

    (1)
    Majelis Disiplin Profesi dalam melaksanakan tugas dan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 713 harus berkoordinasi dengan Menteri dalam rangka menjamin kesesuaian dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri.
    (2)
    Dalam hal pelaksanaan tugas dan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri, Menteri dapat melakukan penyesuaian pelaksanaan tugas dan fungsi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 718

    Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pelaksanaan seleksi, tata cara pengangkatan dan pemberhentian anggota, serta tata kerja penegakan disiplin Majelis Disiplin Profesi diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesembilan
    Sekretariat Konsil Kesehatan Indonesia, Kolegium Kesehatan Indonesia, dan Majelis Disiplin Profesi
     

    Pasal 719

    (1)
    Untuk mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi Konsil Kesehatan Indonesia, Kolegium Kesehatan Indonesia, dan Majelis Disiplin Profesi dibantu oleh 1 (satu) sekretariat.
    (2)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi dan tata kerja sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri setelah mendapat persetujuan tertulis dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang aparatur negara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 720

    (1)
    Dalam melaksanakan tugas, ketua, wakil ketua, anggota Konsil Kesehatan Indonesia, dan anggota Konsil masing­-masing kelompok Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan diberikan hak keuangan dan fasilitas.
    (2)
    Pendanaan untuk pelaksanaan tugas Konsil dan sekretariat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 719 dibebankan kepada anggaran pendapatan dan belanja negara.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai hak keuangan dan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesepuluh
    Hak dan Kewajiban Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, dan Pasien

    Paragraf 1
    Hak Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
     

    Pasal 721

    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik berhak:
    a.
    mendapatkan pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan profesi, standar prosedur operasional, dan etika profesi, serta kebutuhan Kesehatan Pasien;
    b.
    mendapatkan informasi yang lengkap dan benar dari Pasien atau keluarganya;
    c.
    mendapatkan gaji/upah, imbalan jasa, dan tunjangan kinerja yang layak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    d.
    mendapatkan pelindungan atas keselamatan, Kesehatan kerja, dan keamanan;
    e.
    mendapatkan jaminan kesehatan dan jaminan ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    f.
    mendapatkan pelindungan atas perlakuan yang tidak sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan, serta nilai sosial budaya;
    g.
    mendapatkan penghargaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    h.
    mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan diri melalui pengembangan kompetensi, keilmuan, dan karier di bidang keprofesiannya;
    i.
    menolak keinginan Pasien atau pihak lain yang bertentangan dengan standar profesi, standar pelayanan, standar prosedur operasional, kode etik, atau ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
    j.
    mendapatkan hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 722

    Pelindungan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 721 huruf a ditujukan untuk:
    a.
    memberikan kepastian hukum kepada Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam melaksanakan Pelayanan Kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    b.
    menjamin bekerja tanpa paksaan dan ancaman dari pihak lain; dan
    c.
    menjamin bekerja sesuai dengan kewenangan dan kompetensi keprofesiannya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 723

    (1)
    Pelindungan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 721 huruf a diberikan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang meliputi:
     
    a.
    pelindungan hukum dalam rangka mencegah Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan melakukan pelanggaran; dan
     
    b.
    pelindungan hukum bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang menghadapi permasalahan hukum.
    (2)
    Bentuk pelindungan hukum dalam rangka mencegah Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa:
     
    a.
    standar profesi, standar pelayanan, standar prosedur operasional, norma, standar, prosedur, dan kriteria terkait praktik keprofesian Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan;
     
    b.
    memastikan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan memiliki STR dan SIP;
     
    c.
    memastikan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan melakukan praktik keprofesian sesuai dengan kewenangan klinis;
     
    d.
    persetujuan dari Pasien dan/atau keluarga untuk tindakan yang dilakukan oleh Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan, kecuali dalam kondisi kegawatdaruratan; dan
     
    e.
    memfasilitasi Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan memiliki manfaat pelindungan tanggung gugat profesi.
    (3)
    Bentuk pelindungan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan melalui:
     
    a.
    penyelesaian perselisihan;
     
    b.
    penegakan etika profesi;
     
    c.
    penegakan disiplin keilmuan; dan
     
    d.
    penegakan hukum.
    (4)
    Instansi tempat bekerja Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan wajib melindungi dan memberikan bantuan hukum kepada Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang melaksanakan tugas dalam bentuk:
     
    a.
    konsultasi hukum; dan/atau
     
    b.
    pemberian pendampingan dalam penyelesaian sengketa.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pelindungan hukum bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 724

    Hak mendapatkan informasi yang lengkap dan benar dari Pasien atau keluarganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 721 huruf b terdiri atas:
    a.
    data diri Pasien;
    b.
    riwayat penyakit, pemeriksaan, tindakan, dan Obat yang pernah diterima;
    c.
    masalah Kesehatan Pasien yang dirasakan saat diperiksa oleh Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan Pasien atau keluarga;
    d.
    kemampuan dan jaminan pembiayaan Kesehatan yang dimiliki; dan
    e.
    informasi lain yang diperlukan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 725

    (1)
    Gaji/upah, imbalan jasa, dan tunjangan kinerja yang layak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 721 huruf c bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang bekerja pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan milik masyarakat diberikan sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
    (2)
    Bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang bekerja pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan milik Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah, gaji/upah, imbalan jasa, dan tunjangan kinerja diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Gaji/upah, imbalan jasa, dan tunjangan kinerja bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang ditugaskan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah untuk melaksanakan program pemerintah diberikan dalam bentuk insentif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Selain gaji/upah, imbalan jasa, dan tunjangan kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan juga berhak mendapatkan tunjangan hari raya keagamaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 726

    Pemberian gaji/upah, imbalan jasa, dan tunjangan kinerja bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 725 ayat (1) diberikan dengan mempertimbangkan:
    a.
    jenjang pendidikan;
    b.
    kompetensi, keahlian, atau spesialisasi;
    c.
    masa kerja sebagai Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan;
    d.
    beban kerja;
    e.
    produktivitas dan kinerja Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan;
    f.
    risiko pekerjaan;
    g.
    jenjang karier profesional sebagai Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan;
    h.
    tempat bertugas; dan
    i.
    pertimbangan objektif lainnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 727

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman penghitungan pemberian gaji/upah, imbalan jasa, dan tunjangan kinerja Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang bekerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 725 ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 728

    (1)
    Pelindungan atas keselamatan, Kesehatan kerja, dan keamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 721 huruf d dilakukan untuk mendukung Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam memberikan pelayanan yang sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan profesi, dan standar prosedur operasional.
    (2)
    Pelindungan atas keselamatan, Kesehatan kerja, dan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan secara terintegrasi dengan sistem keselamatan dan Kesehatan kerja yang dilakukan dengan cara:
     
    a.
    pengendalian bahaya di tempat kerja;
     
    b.
    pencegahan penyakit, termasuk penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja;
     
    c.
    promosi Kesehatan;
     
    d.
    penanganan penyakit;
     
    e.
    pemulihan Kesehatan; dan
     
    f.
    pengamanan di tempat kerja.
    (3)
    Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan/atau kepala daerah yang membawahi Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib menerapkan sistem keselamatan, Kesehatan kerja, dan keamanan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 729

    (1)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang melaksanakan tugas Pelayanan Kesehatan di daerah tertinggal, perbatasan, kepulauan, termasuk daerah terpencil, daerah sangat terpencil, daerah rawan konflik, dan daerah konflik serta daerah bermasalah Kesehatan harus mendapatkan pelindungan keamanan dan keselamatan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangannya.
    (2)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pelindungan keamanan dan keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 730

    (1)
    Jaminan kesehatan dan jaminan ketenagakerjaan bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 721 huruf e berupa program jaminan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Dalam rangka pemenuhan hak Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan untuk mendapatkan jaminan kesehatan dan jaminan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemberi kerja tempat Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan bekerja wajib mendaftarkan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan untuk mendapatkan jaminan kesehatan dan jaminan ketenagakerjaan, serta membayar iuran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 731

    (1)
    Hak mendapatkan pelindungan atas perlakuan yang tidak sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan, serta nilai sosial budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 721 huruf f termasuk tindakan kekerasan, pelecehan, dan perundungan baik yang berasal dari Pasien atau keluarga Pasien, rekan kerja, manajemen, dan pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
    (2)
    Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan memberikan pelindungan kepada Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang menghentikan Pelayanan Kesehatan apabila memperoleh perlakuan yang tidak sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan, serta nilai sosial budaya termasuk tindakan kekerasan, pelecehan, dan perundungan sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangannya.
    (3)
    Dalam rangka memberikan pelindungan atas perlakuan yang tidak sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan, serta nilai sosial budaya kepada Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan:
     
    a.
    menciptakan lingkungan kerja yang kondusif;
     
    b.
    melakukan komunikasi, informasi, dan edukasi;
     
    c.
    menyediakan pelayanan atau kanal pelaporan/pengaduan; dan
     
    d.
    melakukan tindak lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Dalam hal Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan memperoleh perlakuan yang tidak sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan, serta nilai sosial budaya termasuk tindakan kekerasan, pelecehan, dan perundungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dapat menghentikan Pelayanan Kesehatan sepanjang bukan dalam rangka tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kedisabilitasan seseorang pada keadaan Gawat Darurat dan/atau pada bencana.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 732

    (1)
    Penghargaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 721 huruf g diberikan bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang telah melakukan pengabdian, memiliki prestasi kerja, dan inovasi dalam melaksanakan Pelayanan Kesehatan.
    (2)
    Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, perusahaan/badan usaha, dan perseorangan dalam bentuk:
     
    a.
    tanda kehormatan;
     
    b.
    kenaikan jenjang karier fungsional/profesional;
     
    c.
    piagam;
     
    d.
    pin;
     
    e.
    barang atau natura;
     
    f.
    kesempatan prioritas untuk pengembangan kompetensi;
     
    g.
    kesempatan menghadiri acara resmi dan/atau acara kenegaraan; dan/atau
     
    h.
    bentuk lainnya yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian penghargaan bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan diatur dalam Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 733

    (1)
    Hak Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan berupa mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan diri melalui pengembangan kompetensi, keilmuan, dan karier di bidang keprofesiannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 721 huruf h dilakukan melalui:
     
    a.
    pendidikan formal; dan
     
    b.
    pelatihan dan/atau kegiatan peningkatan kompetensi.
    (2)
    Pengembangan kompetensi, keilmuan, dan karier Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang berstatus sebagai pegawai aparatur sipil negara dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Pengembangan kompetensi, keilmuan, dan karier Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang berstatus sebagai pegawai selain aparatur sipil negara yang bekerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat dilaksanakan sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 734

    (1)
    Hak menolak keinginan Pasien atau pihak lain yang bertentangan dengan standar profesi, standar pelayanan, standar prosedur operasional, kode etik, atau ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 721 huruf i, dilakukan dalam hal Pasien meminta:
     
    a.
    melakukan aborsi yang dilarang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;
     
    b.
    bunuh diri dengan bantuan;
     
    c.
    mencarikan ibu pengganti atau sewa rahim hasil reproduksi dengan bantuan yang dilakukan oleh pasangan suami-istri yang sah;
     
    d.
    memberikan keterangan palsu;
     
    e.
    melakukan perbuatan curang; dan/atau
     
    f.
    tindakan lain yang bertentangan dengan standar profesi, standar pelayanan, standar prosedur operasional, kode etik, atau ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Hak sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan setelah Pasien diberikan penjelasan mengenai alasan penolakan tersebut dan dicatat dalam dokumen tertulis berupa rekam medis atau dokumen tertulis lain.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 735

    (1)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik wajib:
     
    a.
    memberikan Pelayanan Kesehatan sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan profesi, standar prosedur operasional, dan etika profesi serta kebutuhan Kesehatan Pasien;
     
    b.
    memperoleh persetujuan dari Pasien atau keluarganya atas tindakan yang akan diberikan;
     
    c.
    menjaga rahasia Kesehatan Pasien;
     
    d.
    membuat dan menyimpan catatan dan/atau dokumen tentang pemeriksaan, asuhan, dan tindakan yang dilakukan; dan
     
    e.
    merujuk Pasien ke Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan lain yang mempunyai kompetensi dan kewenangan yang sesuai.
    (2)
    Rahasia Kesehatan Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dilakukan pembukaan untuk kepentingan:
     
    a.
    pemenuhan permintaan aparat penegak hukum dalam rangka penegakan hukum;
     
    b.
    penanggulangan KLB, Wabah, atau bencana;
     
    c.
    kepentingan pendidikan dan penelitian secara terbatas;
     
    d.
    upaya pelindungan terhadap bahaya ancaman keselamatan orang lain secara individual atau masyarakat;
     
    e.
    kepentingan pemeliharaan Kesehatan, pengobatan, penyembuhan, dan perawatan Pasien;
     
    f.
    permintaan Pasien sendiri;
     
    g.
    kepentingan administratif, pembayaran asuransi, atau jaminan pembiayaan Kesehatan; dan/atau
     
    h.
    kepentingan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Kewajiban Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan kewenangan dan kompetensi berdasarkan standar profesi, standar pelayanan profesi, standar prosedur operasional, dan etika profesi yang dimiliki dalam menjalankan praktik.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 736

    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 735 dikenai sanksi administratif berupa:
    a.
    teguran lisan;
    b.
    peringatan tertulis;
    c.
    denda administratif; dan/atau
    d.
    pencabutan izin.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Hak dan Kewajiban Pasien
     

    Pasal 737

    (1)
    Pasien mempunyai hak:
     
    a.
    mendapatkan informasi mengenai Kesehatan dirinya;
     
    b.
    mendapatkan penjelasan yang memadai mengenai Pelayanan Kesehatan yang diterimanya;
     
    c.
    mendapatkan Pelayanan Kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis, standar profesi, dan pelayanan yang bermutu;
     
    d.
    menolak atau menyetujui tindakan medis, kecuali untuk tindakan medis yang diperlukan dalam rangka pencegahan penyakit menular dan penanggulangan KLB atau Wabah;
     
    e.
    mendapatkan akses terhadap informasi yang terdapat di dalam rekam medis;
     
    f.
    meminta pendapat Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan lain; dan
     
    g.
    mendapatkan hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.
    (2)
    Informasi mengenai Kesehatan dirinya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
     
    a.
    hasil pemeriksaan fisik dan penunjang;
     
    b.
    diagnosis, pengobatan, tindakan, dan prognosis; dan
     
    c.
    pelayanan lain yang diberikan kepada Pasien.
    (3)
    Penjelasan yang memadai mengenai Pelayanan Kesehatan yang diterimanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan oleh Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dengan penjelasan keterangan yang cukup dan disampaikan secara lengkap dengan bahasa yang mudah dipahami.
    (4)
    Pelayanan Kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis, standar profesi, dan pelayanan yang bermutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diberikan sesuai dengan kemampuan pelayanan dan dilakukan oleh Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang memiliki kompetensi dan kewenangan yang sesuai.
    (5)
    Menolak atau menyetujui tindakan medis, kecuali untuk tindakan medis yang diperlukan dalam rangka pencegahan penyakit menular dan penanggulangan KLB atau Wabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan setelah menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap dan memadai serta dicatat dalam rekam medis.
    (6)
    Mendapatkan akses terhadap informasi yang terdapat di dalam rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (7)
    Permintaan pendapat Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dilakukan dalam rangka meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan lain yang praktik baik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang sama maupun di Fasilitas Pelayanan Kesehatan lainnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 738

    (1)
    Pasien mempunyai kewajiban:
     
    a.
    memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;
     
    b.
    mematuhi nasihat dan petunjuk Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan;
     
    c.
    mematuhi ketentuan yang berlaku pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan; dan
     
    d.
    memberikan imbalan jasa atas Pelayanan Kesehatan yang diterima.
    (2)
    Memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit mengenai:
     
    a.
    data diri Pasien;
     
    b.
    riwayat penyakit, pemeriksaan, tindakan, dan Obat yang pernah diterima; dan
     
    c.
    masalah Kesehatan Pasien yang dirasakan saat diperiksa oleh Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan Pasien atau keluarga.
    (3)
    Mematuhi nasihat dan petunjuk Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap dan memadai.
    (4)
    Mematuhi ketentuan yang berlaku pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c paling sedikit berupa mematuhi tata tertib yang berlaku pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
    (5)
    Memberikan imbalan jasa atas Pelayanan Kesehatan yang diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan pembayaran atas konsultasi, pemeriksaan, tindakan, pengobatan, dan Pelayanan Kesehatan lain sesuai dengan tarif yang berlaku pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesebelas
    Penyelenggaraan Praktik

    Paragraf 1
    Umum
     

    Pasal 739

    (1)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dapat menjalankan praktik mandiri dan/atau berpraktik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan selain praktik mandiri.
    (2)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab secara moral untuk:
     
    a.
    mengabdikan diri sesuai dengan bidang keilmuan yang dimiliki;
     
    b.
    bersikap dan berperilaku sesuai dengan etika profesi;
     
    c.
    mengutamakan kepentingan Pasien dan masyarakat di atas kepentingan pribadi atau kelompok; dan
     
    d.
    menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
    (3)
    Dalam menjalankan praktik, Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang memberikan Pelayanan Kesehatan kepada Pasien harus melaksanakan upaya terbaik sesuai dengan norma, standar pelayanan, dan standar profesi, serta kebutuhan Kesehatan Pasien.
    (4)
    Praktik Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan diselenggarakan berdasarkan kesepakatan antara Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan dan Pasien berdasarkan prinsip kesetaraan dan transparansi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 740

    (1)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik mandiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 739 wajib menginformasikan identitas dirinya.
    (2)
    Informasi identitas Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    nama dan gelar Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang berpraktik;
     
    b.
    bidang keahlian;
     
    c.
    nomor SIP;
     
    d.
    nomor STR; dan
     
    e.
    jadwal praktik.
    (3)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
     
    a.
    teguran lisan;
     
    b.
    peringatan tertulis;
     
    c.
    denda administratif; dan/atau
     
    d.
    pencabutan izin.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 741

    Dalam penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan oleh Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan, Pasien memiliki kewajiban:
    a.
    menghormati hak Pasien lain, pengunjung, hak Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan serta petugas lainnya yang bekerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
    b.
    memberikan informasi mengenai kemampuan dan jaminan kesehatan yang dimilikinya; dan
    c.
    menerima segala konsekuensi atas keputusan pribadinya untuk menolak rencana terapi yang direkomendasikan oleh Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dan/atau tidak mematuhi petunjuk yang diberikan oleh Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan untuk penyembuhan penyakit atau masalah Kesehatannya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Kewenangan Praktik Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan
     

    Pasal 742

    (1)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam menjalankan praktik harus dilakukan sesuai dengan kewenangan yang didasarkan pada kompetensi yang dimilikinya.
    (2)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang memiliki lebih dari satu jenjang pendidikan memiliki kewenangan sesuai dengan lingkup dan tingkat kompetensi dan kualifikasi tertinggi.
    (3)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dapat memiliki kewenangan berdasarkan penambahan kompetensi yang dimiliki melalui pelatihan.
    (4)
    Kewenangan dengan jenjang kompetensi dan kualifikasi tertinggi atau kewenangan berdasarkan penambahan kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dicantumkan dalam STR yang dimiliki Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 743

    (1)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan tertentu dalam memberikan Pelayanan Kesehatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan sesuai dengan kewenangan klinis.
    (2)
    Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan tertentu yang mendapatkan kewenangan klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang melakukan Pelayanan Kesehatan secara langsung kepada Pasien atau yang berdampak pada keselamatan Pasien.
    (3)
    Kewenangan klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan setelah melalui kredensial.
    (4)
    Kewenangan klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
    (5)
    Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kewenangan klinis bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik mandiri sesuai dengan STR dan SIP yang dimiliki.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 744

    (1)
    Dalam keadaan tertentu, Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dapat memberikan pelayanan di luar kewenangannya.
    (2)
    Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
     
    a.
    ketiadaan Tenaga Medis dan/atau Tenaga Kesehatan di suatu wilayah tempat Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan bertugas;
     
    b.
    kebutuhan program pemerintah;
     
    c.
    penanganan kegawatdaruratan medis; dan/atau
     
    d.
    KLB, Wabah, dan/atau darurat bencana.
    (3)
    Ketiadaan Tenaga Medis dan/atau Tenaga Kesehatan di suatu wilayah tempat Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan bertugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a ditetapkan oleh kepala perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan kabupaten/kota setempat.
    (4)
    Pemberian pelayanan di luar kewenangan dalam kondisi ketiadaan Tenaga Medis dan/atau Tenaga Kesehatan di suatu wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan dalam rangka pelaksanaan kebutuhan program pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilaksanakan oleh Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang telah mengikuti pelatihan atau orientasi yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.
    (5)
    Pemberian pelayanan di luar kewenangan dalam penanganan kegawatdaruratan medis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan kepada korban atau Pasien Gawat Darurat dalam waktu segera untuk mendahulukan penyelamatan nyawa dan pencegahan kedisabilitasan pada pra Fasilitas Pelayanan Kesehatan, intra Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan antar-Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
    (6)
    Pelayanan di luar kewenangan dalam kondisi KLB, Wabah, dan/atau darurat bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dilakukan pada kegiatan penanggulangan KLB, Wabah, dan/atau darurat bencana.
    (7)
    Pemberian pelayanan di luar kewenangan oleh Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), setelah mendapatkan surat tugas dari Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah.
    (8)
    Jangka waktu dan tempat pemberian Pelayanan Kesehatan di luar kewenangan dalam keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai kebutuhan.
    (9)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria kegawatdaruratan medis sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 745

    (1)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dapat menerima pelimpahan kewenangan untuk melakukan Pelayanan Kesehatan terdiri atas:
     
    a.
    pelimpahan secara mandat; dan
     
    b.
    pelimpahan secara delegatif.
    (2)
    Pelimpahan wewenang secara mandat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan pelimpahan tugas dengan tanggung jawab berada pada pemberi wewenang.
    (3)
    Pelimpahan wewenang secara delegatif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan pelimpahan tugas dengan tanggung jawab berada pada penerima wewenang.
    (4)
    Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus menetapkan jenis Pelayanan Kesehatan yang dapat dilimpahkan kewenangannya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 746

    Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan praktik Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan diatur dalam Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua Belas
    Pengenaan Sanksi Administratif
     

    Pasal 747

    (1)
    Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 736 dan Pasal 740 ayat (3) diberikan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi, atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya.
    (2)
    Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan:
     
    a.
    hasil monitoring dan evaluasi;
     
    b.
    pengaduan; dan/atau
     
    c.
    pemberitaan media elektronik atau media cetak.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 748

    (1)
    Sanksi administratif berupa teguran lisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 736 huruf a dan Pasal 740 ayat (3) huruf a diberikan paling banyak 1 (satu) kali dan dibuat secara tertulis.
    (2)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang melakukan praktik perseorangan dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib melakukan perbaikan sesuai dengan rekomendasi yang diberikan dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak menerima teguran lisan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 749

    (1)
    Sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 736 huruf b dan Pasal 740 ayat (3) huruf b diberikan apabila rekomendasi dari teguran lisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 748 ayat (2) tidak dilaksanakan.
    (2)
    Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak 1 (satu) kali.
    (3)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang melakukan praktik perseorangan dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib melakukan perbaikan sesuai dengan rekomendasi yang diberikan dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak menerima peringatan tertulis.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 750

    (1)
    Sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 736 huruf c dan Pasal 740 ayat (3) huruf c diberikan apabila rekomendasi dari teguran lisan dan peringatan tertulis tidak dilaksanakan.
    (2)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang melakukan praktik perseorangan dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang tidak melaksanakan teguran lisan dan teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membayar denda administratif ke kas negara atau kas daerah maksimal 30 (tiga puluh) hari kerja dari tanggal pengenaan denda administratif.
    (3)
    Besaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan sesuai dengan besaran yang telah ditetapkan oleh Menteri dan merupakan penerimaan negara bukan pajak atau pendapatan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Bukti pembayaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaporkan kepada Menteri, Pemerintah Daerah provinsi, atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota.
    (5)
    Tata cara pembayaran denda administratif ke kas negara atau kas daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 751

    (1)
    Sanksi administratif berupa pencabutan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 736 huruf d dan Pasal 740 ayat (3) huruf d diberikan apabila sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 750 tidak dibayarkan.
    (2)
    Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 3 (tiga) bulan dan dapat diperpanjang sesuai hasil monitoring dan evaluasi dan dapat berlanjut menjadi pencabutan izin tetap.
    (3)
    Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah penerbit izin.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 752

    (1)
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 677 ayat (1) dan Pasal 681 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa denda administratif.
    (2)
    Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi, atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya.
    (3)
    Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan berdasarkan:
     
    a.
    hasil monitoring dan evaluasi;
     
    b.
    pengaduan; dan/atau
     
    c.
    pemberitaan media elektronik atau media cetak.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 753

    Pengenaan denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 752 ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 750 ayat (3) sampai dengan ayat (5).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 754

    Dalam hal Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tidak melaksanakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 747 sampai dengan Pasal 753, nama Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan masuk dalam daftar pelanggar administratif dan akan diumumkan kepada masyarakat secara berkala melalui media sosial.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga Belas
    Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan
     

    Pasal 755

    Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan, terdiri atas:
    a.
    tenaga pendukung atau penunjang Upaya Kesehatan atau Pelayanan Kesehatan;
    b.
    tenaga pendukung atau penunjang administrasi, manajemen, dan teknologi Informasi Kesehatan; dan
    c.
    tenaga pendukung atau penunjang sarana dan prasarana Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 756

    (1)
    Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan melakukan pencatatan setiap Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan yang bekerja pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan atau institusi lain bidang Kesehatan.
    (2)
    Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 757

    Perencanaan kebutuhan Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan dapat dilakukan sesuai kebutuhan Pelayanan Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 758

    (1)
    Pemerintah Daerah dan pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan atau institusi lain di bidang Kesehatan bertanggung jawab terhadap perencanaan, pemenuhan, pendayagunaan, dan kesejahteraan Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan wilayahnya.
    (2)
    Perencanaan, pemenuhan, pendayagunaan, dan kesejahteraan Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan kemampuan serta kebutuhan Fasilitas Pelayanan Kesehatan, atau institusi lain di bidang Kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 759

    (1)
    Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan, mempunyai hak:
     
    a.
    mendapatkan pelindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar prosedur operasional;
     
    b.
    mendapatkan gaji/upah yang layak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
     
    c.
    mendapatkan pelindungan atas keselamatan, Kesehatan kerja, dan keamanan;
     
    d.
    mendapatkan jaminan kesehatan dan jaminan ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
     
    e.
    mendapatkan pelindungan atas perlakuan yang tidak sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan, serta nilai sosial budaya;
     
    f.
    mendapatkan penghargaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
     
    g.
    mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan diri melalui pengembangan kompetensi, keilmuan, dan karier di bidang keprofesiannya; dan
     
    h.
    mendapatkan hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan mempunyai kewajiban:
     
    a.
    bekerja sesuai dengan standar prosedur operasional dan etika di tempat kerja untuk mendukung produktivitas kinerja Fasilitas Pelayanan Kesehatan atau institusi lain di bidang Kesehatan;
     
    b.
    menjaga data dan informasi rahasia yang dimiliki Fasilitas Pelayanan Kesehatan atau institusi lain di bidang Kesehatan; dan
     
    c.
    mematuhi aturan yang berlaku pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan atau institusi lain di bidang Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 760

    Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan, pemenuhan, pendayagunaan, kesejahteraan, dan pencatatan Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB IV
    FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN

    Bagian Kesatu
    Jenis Fasilitas Pelayanan Kesehatan
     

    Pasal 761

    (1)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan memberikan Pelayanan Kesehatan berupa Pelayanan Kesehatan perseorangan dan/atau Pelayanan Kesehatan masyarakat.
    (2)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan meliputi:
     
    a.
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama;
     
    b.
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut; dan
     
    c.
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan penunjang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 762

    (1)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan primer.
    (2)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
     
    a.
    Puskesmas;
     
    b.
    klinik pratama; dan
     
    c.
    praktik mandiri Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan.
    (3)
    Selain Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dapat menetapkan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kebutuhan Pelayanan Kesehatan.
    (4)
    Dalam menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan integrasi pelayanan antar-Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
    (5)
    Integrasi pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikoordinasikan oleh Puskesmas sebagai penanggung jawab wilayah.
    (6)
    Integrasi pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditujukan untuk mendukung pelaksanaan program pemerintah, terutama Pelayanan Kesehatan dalam bentuk promotif dan preventif.
    (7)
    Integrasi pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan melalui:
     
    a.
    pemanfaatan sumber daya;
     
    b.
    penanganan kasus;
     
    c.
    pelaporan kasus; dan
     
    d.
    bentuk lain menyesuaikan dengan program yang diselenggarakan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 763

    (1)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan lanjutan yang meliputi pelayanan spesialistik dan/atau pelayanan subspesialistik.
    (2)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
     
    a.
    Rumah Sakit;
     
    b.
    klinik utama;
     
    c.
    balai Kesehatan; dan
     
    d.
    praktik mandiri Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan.
    (3)
    Selain Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dapat menetapkan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebutuhan Pelayanan Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 764

    (1)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan penunjang menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang menunjang Pelayanan Kesehatan primer dan Pelayanan Kesehatan lanjutan.
    (2)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berdiri sendiri atau dapat bergabung dengan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat lanjut.
    (3)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
     
    a.
    apotek;
     
    b.
    unit pengelola darah;
     
    c.
    laboratorium Kesehatan;
     
    d.
    laboratorium pengolahan sel punca dan/atau sel;
     
    e.
    bank materi biologi;
     
    f.
    optik;
     
    g.
    institusi pengamanan alat dan fasilitas Kesehatan; dan
     
    h.
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan penunjang lain yang ditetapkan oleh Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 765

    (1)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 761 berdasarkan bentuknya terdiri atas:
     
    a.
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan statis; dan
     
    b.
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan bergerak.
    (2)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan statis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang didirikan di suatu lokasi dan bersifat permanen yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan/atau Gawat Darurat.
    (3)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang memberikan Pelayanan Kesehatan yang dapat dipindahkan dari satu lokasi ke lokasi lain dalam jangka waktu tertentu.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai Fasilitas Pelayanan Kesehatan bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Penentuan Jumlah dan Jenis Fasilitas Pelayanan Kesehatan
     

    Pasal 766

    (1)
    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas ketersediaan dan akses Fasilitas Pelayanan Kesehatan dalam rangka mewujudkan derajat Kesehatan yang setinggi-tingginya.
    (2)
    Pemerintah Daerah menyusun perencanaan kebutuhan Fasilitas Pelayanan Kesehatan di wilayahnya.
    (3)
    Perencanaan kebutuhan Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mengacu pada rencana induk bidang Kesehatan dan mempertimbangkan unsur:
     
    a.
    kebutuhan pelayanan;
     
    b.
    jumlah dan persebaran penduduk; dan/atau
     
    c.
    pola penyakit.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan kebutuhan Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 767

    Pertimbangan kebutuhan Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 766 tidak berlaku bagi Fasilitas Pelayanan Kesehatan di daerah terpencil, sangat terpencil, tertinggal, perbatasan, dan kepulauan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Perizinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
     

    Pasal 768

    (1)
    Setiap penyelenggara Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib memiliki perizinan berusaha yang diberikan setelah memenuhi persyaratan sesuai jenis Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
    (2)
    Perizinan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.
    (3)
    Ketentuan mengenai perizinan berusaha Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 769

    (1)
    Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 768, perizinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan berupa praktik mandiri Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan, berlaku perizinan Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 681.
    (2)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan berupa praktik mandiri Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Penyelenggaraan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
     

    Pasal 770

    Setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib memiliki sistem tata kelola manajemen dan tata kelola Pelayanan Kesehatan atau klinis yang baik.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 771

    Setiap Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib memiliki STR dan SIP.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 772

    (1)
    Setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib menginformasikan daftar nama, nomor STR dan SIP, serta jadwal praktik Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang melakukan praktik.
    (2)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:
     
    a.
    teguran lisan;
     
    b.
    peringatan tertulis;
     
    c.
    denda administratif; dan/atau
     
    d.
    pencabutan perizinan berusaha.
    (3)
    Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi, atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya.
    (4)
    Tata cara pengenaan sanksi administratif bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 747 sampai dengan Pasal 750 berlaku secara mutatis mutandis terhadap pengenaan sanksi administratif bagi Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf c.
    (5)
    Tata cara pengenaan sanksi administratif berupa pencabutan perizinan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 773

    Setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib melaksanakan sistem rujukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 774

    Fasilitas Pelayanan Kesehatan dapat dimanfaatkan sebagai tempat atau wahana pendidikan bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan, serta tempat penelitian dan pengembangan di bidang Kesehatan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 775

    Ketentuan lebih lanjut mengenai teknis penyelenggaraan Fasilitas Pelayanan Kesehatan diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 776

    Penyelenggaraan Fasilitas Pelayanan Kesehatan di kawasan ekonomi khusus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Rekam Medis
     

    Pasal 777

    Setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib menyelenggarakan rekam medis.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 778

    (1)
    Setiap Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang memberikan Pelayanan Kesehatan perseorangan wajib membuat rekam medis.
    (2)
    Dalam hal Pelayanan Kesehatan perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan selain tempat praktik mandiri, penyelenggaraan rekam medis merupakan tanggung jawab Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
    (3)
    Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan dokumen yang berisikan data identitas Pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada Pasien, termasuk persetujuan tindakan Pelayanan Kesehatan.
    (4)
    Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus disimpan dan dijaga kerahasiaannya oleh Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, dan pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 779

    (1)
    Rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 777 dan Pasal 778 ayat (1) wajib diselenggarakan secara elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Dalam hal Fasilitas Pelayanan Kesehatan tidak dapat menyelenggarakan rekam medis secara elektronik karena hambatan teknis, dapat digunakan rekam medis nonelektronik sampai dengan hambatan selesai.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 780

    Fasilitas Pelayanan Kesehatan dalam menyelenggarakan rekam medis wajib:
    a.
    mencatat dan mendokumentasikan seluruh tindakan yang dilakukan secara lengkap dan jelas;
    b.
    menjaga keamanan, keutuhan, kerahasiaan, dan ketersediaan data yang terdapat dalam dokumen rekam medis;
    c.
    menjamin pelindungan data dan informasi rekam medis Pasien;
    d.
    memastikan kesesuaian sistem elektronik yang kompatibel antara satu sistem dengan sistem elektronik lainnya sesuai dengan variabel dan meta data yang ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan; dan
    e.
    memastikan sistem elektronik yang berbeda mampu bekerja secara terpadu melakukan komunikasi menggunakan standar pertukaran data.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 781

    (1)
    Rekam medis elektronik merupakan bagian dari Sistem Informasi Kesehatan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan wajib terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
    (2)
    Kewajiban penyelenggaraan rekam medis elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan Telemedisin.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 782

    Pengisian rekam medis elektronik dimulai dari Pasien masuk sampai Pasien pulang, dirujuk, atau meninggal.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 783

    (1)
    Pembukaan isi rekam medis dapat dilakukan:
     
    a.
    atas persetujuan Pasien; dan/atau
     
    b.
    tidak atas persetujuan Pasien.
    (2)
    Permintaan pembukaan isi rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara tertulis.
    (3)
    Permintaan pembukaan isi rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara elektronik atau nonelektronik.
    (4)
    Pembukaan isi rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terbatas sesuai dengan kebutuhan.
    (5)
    Pembukaan isi rekam medis atas persetujuan Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan untuk kepentingan:
     
    a.
    pemeliharaan Kesehatan, pengobatan, penyembuhan, dan perawatan Pasien;
     
    b.
    permintaan Pasien sendiri; dan/atau
     
    c.
    administratif, pembayaran asuransi, atau jaminan pembiayaan Kesehatan.
    (6)
    Dalam hal Pasien tidak cakap, persetujuan pembukaan isi rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan oleh keluarga terdekat atau pengampunya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (7)
    Keluarga terdekat sebagaimana dimaksud pada ayat (6) meliputi suami atau istri, anak yang sudah dewasa, orang tua kandung, dan/atau saudara kandung Pasien.
    (8)
    Selain keluarga terdekat sebagaimana dimaksud pada ayat (7), persetujuan pembukaan isi rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dilakukan oleh ahli waris.
    (9)
    Dalam hal keluarga terdekat dan ahli waris tidak dapat memberikan persetujuan karena tidak diketahui keberadaannya, tidak cakap secara hukum, meninggal dunia, atau tidak ada, persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) tidak diperlukan.
    (10)
    Pembukaan isi rekam medis untuk keperluan administrasi, pembayaran asuransi, atau jaminan pembiayaan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c harus dilakukan secara tertulis dan/atau elektronik melalui persetujuan umum pada saat registrasi Pasien di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
    (11)
    Pembukaan isi rekam medis tidak atas persetujuan Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan untuk kepentingan:
     
    a.
    pemenuhan permintaan aparat penegak hukum dalam rangka penegakan hukum;
     
    b.
    penanggulangan KLB, Wabah, atau bencana;
     
    c.
    pendidikan dan penelitian secara terbatas;
     
    d.
    upaya pelindungan terhadap bahaya ancaman keselamatan orang lain secara individual atau masyarakat; dan
     
    e.
    kepentingan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
    (12)
    Permintaan pembukaan isi rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (11) dilakukan oleh pihak atau institusi yang berwenang atas kepentingan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 784

    (1)
    Dokumen rekam medis merupakan milik Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
    (2)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib menjaga keamanan, keutuhan, kerahasiaan, dan ketersediaan data yang terdapat dalam dokumen rekam medis.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 785

    Isi rekam medis wajib dijaga kerahasiaannya oleh semua pihak yang terlibat dalam Pelayanan Kesehatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan walaupun Pasien telah meninggal dunia.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 786

    (1)
    Untuk mendukung penyelenggaraan rekam medis elektronik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Pemerintah Pusat bertanggung jawab menyediakan:
     
    a.
    sistem elektronik pada penyelenggaraan rekam medis elektronik; dan
     
    b.
    platform layanan serta standar interoperabilitas dan integrasi Data Kesehatan.
    (2)
    Untuk mendukung penyelenggaraan rekam medis elektronik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyediakan infrastruktur dan konektivitas jaringan internet untuk sistem rekam medis elektronik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 787

    Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan rekam medis elektronik diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    Rahasia Kesehatan Pribadi Pasien
     

    Pasal 788

    (1)
    Setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus menyimpan rahasia Kesehatan pribadi Pasien.
    (2)
    Selain Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam melaksanakan Pelayanan Kesehatan wajib menyimpan rahasia Kesehatan pribadi Pasien.
    (3)
    Rahasia Kesehatan pribadi Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
     
    a.
    identitas Pasien;
     
    b.
    data dan Informasi Kesehatan Pasien yang meliputi hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, penegakan diagnosis, pengobatan dan/atau tindakan Pelayanan Kesehatan; dan
     
    c.
    hal lain yang berkenaan dengan Pasien.
    (4)
    Rahasia Kesehatan pribadi Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b merupakan bagian dari rekam medis.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 789

    Semua pihak pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang harus menyimpan rahasia Kesehatan pribadi Pasien sebagaimana dimaksud dalam Pasal 788 ayat (1) meliputi:
    a.
    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan;
    b.
    pimpinan dan manajemen Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
    c.
    tenaga yang berkaitan dengan pembiayaan Pelayanan Kesehatan;
    d.
    tenaga lainnya yang memiliki data dan Informasi Kesehatan Pasien di Fasilitas Pelayanan Kesehatan; dan
    e.
    pihak lain yang terlibat dalam penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 790

    (1)
    Pembukaan rahasia Kesehatan pribadi Pasien berupa rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 788 ayat (4) sesuai dengan ketentuan pembukaan rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 783.
    (2)
    Pembukaan rahasia Kesehatan pribadi Pasien selain rekam medis, dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan pembukaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 735 ayat (2).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 791

    (1)
    Dalam rangka menjaga rahasia Kesehatan pribadi Pasien, Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus menerapkan sistem manajemen keamanan informasi atas Data Kesehatan pribadi Pasien.
    (2)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem manajemen keamanan informasi atas Data Kesehatan pribadi Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 792

    (1)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan penyedia penyimpanan data harus menanggulangi dan menanggapi insiden keamanan siber dalam bentuk penerimaan, pemantauan, dan penanganan laporan dan aktivitas insiden keamanan siber.
    (2)
    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memfasilitasi Fasilitas Pelayanan Kesehatan dalam menerapkan sistem manajemen keamanan informasi atas Data Kesehatan pribadi Pasien dalam bentuk peningkatan kapasitas sumber daya manusia.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketujuh
    Puskesmas
     

    Pasal 793

    (1)
    Puskesmas mempunyai tugas menyelenggarakan dan mengoordinasikan Pelayanan Kesehatan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif dengan mengutamakan promotif dan preventif di wilayah kerjanya.
    (2)
    Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Puskesmas memiliki fungsi penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan primer di wilayah kerjanya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 794

    (1)
    Selain menyelenggarakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 793 ayat (2), Puskesmas berperan mewujudkan wilayah kerja yang sehat dengan masyarakat yang:
     
    a.
    berperilaku hidup sehat;
     
    b.
    mudah mengakses Pelayanan Kesehatan bermutu;
     
    c.
    hidup dalam lingkungan sehat; dan
     
    d.
    memiliki derajat Kesehatan yang setinggi-tingginya, baik individu, keluarga, kelompok, maupun masyarakat.
    (2)
    Perilaku hidup sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan melalui pembudayaan gerakan masyarakat hidup sehat.
    (3)
    Kemudahan mengakses Pelayanan Kesehatan bermutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan melalui penyediaan jaminan kesehatan, Fasilitas Pelayanan Kesehatan, dan infrastruktur pendukung lainnya hingga tingkat desa/kelurahan, serta kemudahan dalam mendapatkan Pelayanan Kesehatan.
    (4)
    Hidup dalam lingkungan sehat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan hidup dalam kondisi kualitas lingkungan yang sehat baik dari aspek fisik, kimia, biologi, maupun sosial.
    (5)
    Memiliki derajat Kesehatan yang setinggi-tingginya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d mencakup keadaan Kesehatan fisik, jiwa, maupun sosial yang lebih baik dari sebelumnya yang dapat dicapai sesuai dengan kemampuan maksimal dari setiap orang atau masyarakat.
     

    Pasal 795

    Dalam rangka melaksanakan fungsi penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan primer di wilayah kerjanya, Puskesmas melakukan koordinasi dengan:
    a.
    struktur jejaring berbasis wilayah administratif;
    b.
    struktur jejaring berbasis satuan pendidikan;
    c.
    struktur jejaring berbasis tempat kerja;
    d.
    struktur jejaring sistem rujukan; dan
    e.
    struktur jejaring lintas sektor.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 796

    (1)
    Struktur JeJaring berbasis wilayah administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 795 huruf a terdiri atas:
     
    a.
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan tingkat pertama dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan penunjang, baik milik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, maupun masyarakat;
     
    b.
    unit Pelayanan Kesehatan di tingkat desa/kelurahan; dan
     
    c.
    Upaya Kesehatan bersumber daya masyarakat, di dalam wilayah kerja Puskesmas.
    (2)
    Dalam rangka koordinasi struktur jejaring berbasis wilayah administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Puskesmas dapat memberikan dukungan suplai logistik program pada struktur jejaring berbasis wilayah administratif.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 797

    (1)
    Unit Pelayanan Kesehatan di tingkat desa/kelurahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 796 ayat (1) huruf b dapat berupa Puskesmas pembantu atau bentuk lainnya yang standar pelayanannya menyesuaikan dengan standar pelayanan Puskesmas pembantu.
    (2)
    Standar pelayanan Puskesmas pembantu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi aspek ketenagaan, Perbekalan Kesehatan, pelayanan kefarmasian, sistem informasi, dan Teknologi Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 798

    (1)
    Struktur JeJaring berbasis satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 795 huruf b terdiri atas jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.
    (2)
    Puskesmas sebagai koordinator struktur jejaring berbasis satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan Upaya Kesehatan melalui pendidikan Kesehatan, Pelayanan Kesehatan, dan pembinaan lingkungan sekolah, serta sekolah sehat dan kampus sehat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 799

    (1)
    Struktur jejaring berbasis tempat kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 795 huruf c terdiri atas tempat kerja pada sektor formal, informal, dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan, serta lingkungan matra.
    (2)
    Dalam rangka koordinasi struktur jejaring berbasis tempat kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Puskesmas melakukan Upaya Kesehatan kerja melalui pelaksanaan surveilans penyakit akibat kerja dan kecelakaan akibat kerja serta pembinaan program Kesehatan kerja.
    (3)
    Selain melakukan surveilans sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Puskesmas memberikan Pelayanan Kesehatan dan mengoordinasikan Upaya Kesehatan bersumber daya masyarakat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 800

    (1)
    Struktur jejaring sistem rujukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 795 huruf d terdiri atas Fasilitas Pelayanan Kesehatan untuk rujukan vertikal, horizontal, dan rujuk balik.
    (2)
    Dalam rangka koordinasi struktur jejaring sistem rujukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Puskesmas melakukan:
     
    a.
    pelaporan rujukan Pasien;
     
    b.
    penerimaan pelaporan rujuk balik;
     
    c.
    pencatatan dan pelaporan data secara terintegrasi; dan
     
    d.
    pertemuan koordinasi secara berkala setiap 3 (tiga) bulan sekali atau sesuai dengan kebutuhan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 801

    (1)
    Struktur jejaring lintas sektor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 795 huruf e meliputi jejaring pemerintah di tingkat kecamatan, desa/kelurahan, dusun, rukun warga, rukun tetangga, dan jejaring mitra Kesehatan untuk mengatasi determinan Kesehatan.
    (2)
    Dalam rangka koordinasi struktur jejaring lintas sektor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Puskesmas dan jejaring lintas sektor melakukan sinkronisasi perencanaan kegiatan daerah yang berkaitan dengan Kesehatan dan pembinaan program Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 802

    Seluruh struktur jejaring sebagaimana dimaksud dalam Pasal 795 sampai dengan Pasal 801 harus melaksanakan pencatatan dan pelaporan data secara terintegrasi dan melakukan pertemuan koordinasi rutin.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 803

    (1)
    Pemerintah Daerah kabupaten/kota mendirikan Puskesmas di setiap kecamatan.
    (2)
    Dalam hal akan didirikan lebih dari 1 (satu) Puskesmas dalam 1 (satu) kecamatan, Pemerintah Daerah kabupaten/kota harus mempertimbangkan kebutuhan pelayanan, jumlah dan persebaran penduduk, pola penyakit, dan aksesibilitas.
    (3)
    Aksesibilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi aspek waktu tempuh yang dibutuhkan masyarakat untuk mencapai Puskesmas.
    (4)
    Puskesmas yang akan didirikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus memenuhi persyaratan:
     
    a.
    lokasi;
     
    b.
    bangunan;
     
    c.
    prasarana;
     
    d.
    sumber daya manusia;
     
    e.
    laboratorium; dan
     
    f.
    Perbekalan Kesehatan.
    (5)
    Lokasi, bangunan, dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a sampai dengan huruf c harus memenuhi syarat fungsi, keamanan, kenyamanan, pelindungan keselamatan dan Kesehatan, serta kemudahan dalam memberi pelayanan bagi semua orang, termasuk yang berkebutuhan khusus atau penyandang disabilitas, anak-anak, dan lanjut usia.
    (6)
    Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf d terdiri atas:
     
    a.
    Tenaga Medis;
     
    b.
    Tenaga Kesehatan; dan
     
    c.
    Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan.
    (7)
    Tenaga Medis sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a termasuk Tenaga Medis yang memiliki kompetensi di bidang kedokteran keluarga.
    (8)
    Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b termasuk Tenaga Kesehatan yang memiliki kompetensi di bidang Kesehatan komunitas.
    (9)
    Laboratorium dan Perbekalan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf e dan huruf f harus memenuhi standar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 804

    Penyelenggaraan Puskesmas harus didukung dengan Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 805

    Puskesmas dapat memanfaatkan Telekesehatan dan Telemedisin dalam menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 806

    (1)
    Puskesmas dipimpin oleh tenaga yang memiliki kompetensi dalam mengoordinasikan Sumber Daya Kesehatan dan jejaring Pelayanan Kesehatan primer di wilayah kerja Puskesmas.
    (2)
    Pimpinan Puskesmas diangkat dan diberhentikan oleh bupati/wali kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 807

    Ketentuan lebih lanjut mengenai teknis penyelenggaraan Puskesmas diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedelapan
    Rumah Sakit
     
    Paragraf 1
    Umum
     

    Pasal 808

    Penyelenggaraan Rumah Sakit bertujuan:
    a.
    meningkatkan akses dan mutu Pelayanan Kesehatan spesialistik dan/atau subspesialistik; dan
    b.
    memberikan pelindungan kepada Pasien, sumber daya manusia di Rumah Sakit, masyarakat, dan lingkungan Rumah Sakit.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 809

    (1)
    Rumah Sakit menyelenggarakan fungsi Pelayanan Kesehatan perseorangan dalam bentuk spesialistik dan/atau subspesialistik.
    (2)
    Selain Pelayanan Kesehatan perseorangan dalam bentuk spesialistik dan/atau subspesialistik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Rumah Sakit dapat memberikan Pelayanan Kesehatan dasar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 810

    Selain menyelenggarakan fungsi Pelayanan Kesehatan perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 809 ayat (1), Rumah Sakit dapat menyelenggarakan fungsi pendidikan dan penelitian di bidang Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Tanggung Jawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Dalam Penyelenggaraan Rumah Sakit
     

    Pasal 811

    (1)
    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab untuk:
     
    a.
    menyediakan Rumah Sakit berdasarkan kebutuhan masyarakat dalam rangka meningkatkan akses dan mutu Pelayanan Kesehatan;
     
    b.
    meningkatkan dan mengembangkan kemampuan Pelayanan Kesehatan spesialistik dan/atau subspesialistik;
     
    c.
    menjamin pembiayaan Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit bagi fakir miskin atau orang tidak mampu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
     
    d.
    memberikan pelindungan kepada Rumah Sakit dan masyarakat pengguna jasa pelayanan Rumah Sakit;
     
    e.
    menggerakkan peran serta masyarakat dalam pendirian Rumah Sakit sesuai dengan kemampuan pelayanan yang dibutuhkan masyarakat;
     
    f.
    menyediakan Informasi Kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat;
     
    g.
    menjamin pembiayaan pelayanan kegawatdaruratan di Rumah Sakit akibat KLB, Wabah, atau bencana;
     
    h.
    menyediakan sumber daya manusia yang dibutuhkan; dan
     
    i.
    mengatur pendistribusian dan penyebaran Alat Kesehatan berteknologi tinggi dan bernilai tinggi.
    (2)
    Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Penyelenggaraan Rumah Sakit
     

    Pasal 812

    Rumah Sakit harus memenuhi persyaratan lokasi, sarana dan prasarana, peralatan Kesehatan, serta Sumber Daya Manusia Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 813

    (1)
    Persyaratan lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 812 harus memenuhi ketentuan mengenai Kesehatan dan keselamatan lingkungan serta tata ruang.
    (2)
    Selain harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), persyaratan lokasi harus sesuai dengan hasil kajian kebutuhan dan kelayakan penyelenggaraan Rumah Sakit.
    (3)
    Ketentuan mengenai Kesehatan dan keselamatan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi upaya pemantauan lingkungan, upaya pengelolaan lingkungan, dan/atau dengan analisis mengenai dampak lingkungan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Kajian kebutuhan dan kelayakan penyelenggaraan Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit meliputi kajian terhadap jumlah dan persebaran penduduk, rasio jumlah tempat tidur, pola persebaran penyakit, dan akses Pelayanan Kesehatan masyarakat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 814

    (1)
    Persyaratan sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 812 harus memenuhi aspek keandalan teknis bangunan gedung dan konstruksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Selain memenuhi aspek keandalan teknis bangunan gedung dan konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), persyaratan sarana dan prasarana juga harus memenuhi persyaratan teknis sarana dan prasarana Rumah Sakit.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 815

    (1)
    Persyaratan peralatan Kesehatan pada Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 812 harus memenuhi standar pelayanan, persyaratan mutu, keamanan, keselamatan, dan laik pakai.
    (2)
    Peralatan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diuji dan dikalibrasi secara berkala oleh institusi pengujian fasilitas Kesehatan yang berwenang.
    (3)
    Pengujian dan kalibrasi peralatan Kesehatan serta standar yang berkaitan dengan keamanan, mutu, dan manfaat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 816

    (1)
    Sumber Daya Manusia Kesehatan pada Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 812 meliputi Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, dan Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan.
    (2)
    Sumber Daya Manusia Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan yang diberikan.
    (3)
    Sumber Daya Manusia Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan tenaga tetap dan tenaga tidak tetap yang bekerja secara purnawaktu.
    (4)
    Pemilik Rumah Sakit dan pimpinan Rumah Sakit bertanggung jawab dalam pemenuhan Sumber Daya Manusia Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan jumlah dan kualifikasi disesuaikan dengan hasil analisis beban kerja, kebutuhan, dan kemampuan pelayanan Rumah Sakit.
    (5)
    Sumber Daya Manusia Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan ditetapkan oleh pemilik Rumah Sakit atau kepala/direktur Rumah Sakit.
    (6)
    Rumah Sakit dapat mendayagunakan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan warga negara asing sesuai dengan kebutuhan pelayanan dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 817

    (1)
    Rumah Sakit dapat diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau masyarakat.
    (2)
    Rumah Sakit yang didirikan oleh Pemerintah Pusat berbentuk unit pelaksana teknis atau instansi tertentu dan dapat menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum.
    (3)
    Rumah Sakit yang didirikan oleh Pemerintah Daerah berbentuk unit organisasi bersifat khusus yang memberikan layanan secara profesional dan dapat menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum daerah.
    (4)
    Rumah Sakit yang didirikan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya bergerak di bidang Pelayanan Kesehatan.
    (5)
    Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikecualikan bagi Rumah Sakit yang diselenggarakan oleh badan hukum yang bersifat nirlaba.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 818

    (1)
    Pendapatan Rumah Sakit yang dikelola Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah seluruhnya dapat digunakan secara langsung untuk biaya operasional Rumah Sakit dan tidak dapat dijadikan sebagai pendapatan negara atau pendapatan pemerintah daerah.
    (2)
    Pendapatan Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 819

    (1)
    Rumah Sakit memberikan Pelayanan Kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit.
    (2)
    Selain Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Rumah Sakit dapat memberikan pelayanan unggulan pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 820

    (1)
    Rumah Sakit ditetapkan klasifikasinya berdasarkan kemampuan pelayanan.
    (2)
    Kemampuan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada jenis pelayanan, sarana dan prasarana, peralatan, serta Sumber Daya Manusia Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 821

    Pelayanan Kesehatan yang diberikan Rumah Sakit paling sedikit meliputi:
    a.
    pelayanan medik;
    b.
    pelayanan intensif;
    c.
    pelayanan bedah;
    d.
    pelayanan keperawatan dan/atau kebidanan;
    e.
    pelayanan kefarmasian;
    f.
    pelayanan laboratorium;
    g.
    pelayanan radiologi;
    h.
    pelayanan darah;
    i.
    pelayanan gizi;
    j.
    pemulasaraan jenazah;
    k.
    pelayanan sterilisasi sentral; dan
    1.
    pemeliharaan sarana dan prasarana serta Alat Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 822

    (1)
    Setiap Rumah Sakit harus menyelenggarakan tata kelola Rumah Sakit yang baik dan tata kelola klinis yang baik.
    (2)
    Tata kelola sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan internal Rumah Sakit.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 823

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman penyelenggaraan Rumah Sakit diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Perizinan Rumah Sakit
     

    Pasal 824

    (1)
    Setiap Rumah Sakit wajib memiliki perizinan berusaha.
    (2)
    Pemberian perizinan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Pengorganisasian
     

    Pasal 825

    (1)
    Setiap Rumah Sakit harus memiliki organisasi yang efektif, efisien, dan akuntabel.
    (2)
    Organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk mencapai visi dan misi Rumah Sakit sesuai tata kelola Rumah Sakit yang baik dan tata kelola klinis yang baik.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 826

    Organisasi Rumah Sakit paling sedikit terdiri atas:
    a.
    unsur pimpinan;
    b.
    unsur pelayanan medis;
    c.
    unsur keperawatan;
    d.
    unsur penunjang medis dan nonmedis;
    e.
    unsur pelaksana administratif; dan
    f.
    unsur operasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 827

    (1)
    Unsur pimpinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 826 huruf a dijabat oleh:
     
    a.
    Tenaga Medis;
     
    b.
    Tenaga Kesehatan; atau
     
    c.
    tenaga profesional,
     
    yang memiliki kompetensi manajemen Rumah Sakit.
    (2)
    Pimpinan tertinggi Rumah Sakit harus berkewarganegaraan Indonesia.
    (3)
    Pemilik Rumah Sakit tidak boleh merangkap menjadi pimpinan Rumah Sakit.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 828

    Dalam rangka pelaksanaan unsur pelayanan medis, unsur keperawatan, unsur penunjang medis dan nonmedis, unsur pelaksana administratif, dan unsur operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 826 huruf b sampai dengan huruf f, dapat dibentuk direktorat, departemen, divisi, instalasi, unit kerja, komite, dan/atau satuan sesuai dengan kebutuhan dan beban kerja Rumah Sakit.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 829

    Pimpinan organisasi yang membidangi pelayanan medis, keperawatan, dan sumber daya manusia harus berkewarganegaraan Indonesia.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 830

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman organisasi Rumah Sakit diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Dewan Pengawas
     

    Pasal 831

    (1)
    Pemilik Rumah Sakit dapat membentuk dewan pengawas Rumah Sakit.
    (2)
    Dewan pengawas Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan suatu unit nonstruktural yang bersifat independen dan bertanggung jawab kepada pemilik Rumah Sakit.
    (3)
    Dewan pengawas Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas melaksanakan pengawasan penyelenggaraan Rumah Sakit secara internal.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 832

    Ketentuan lebih lanjut mengenai dewan pengawas Rumah Sakit diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 7
    Kewajiban Rumah Sakit
     

    Pasal 833

    Setiap Rumah Sakit mempunyai kewajiban:
    a.
    memberikan informasi yang benar tentang pelayanan Rumah Sakit kepada masyarakat;
    b.
    memberikan Pelayanan Kesehatan yang aman, bermutu, anti diskriminatif, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan Pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit;
    c.
    memberikan pelayanan Gawat Darurat kepada Pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya;
    d.
    berperan aktif dalam memberikan Pelayanan Kesehatan pada bencana sesuai dengan kemampuan pelayanannya;
    e.
    menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak mampu atau miskin;
    f.
    melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas pelayanan bagi Pasien tidak mampu atau miskin, pelayanan Gawat Darurat tanpa uang muka, ambulans gratis, pelayanan bagi korban bencana dan KLB, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan;
    g.
    membuat, melaksanakan, dan menjaga standar mutu Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit sebagai acuan dalam melayani Pasien;
    h.
    menyelenggarakan rekam medis;
    i.
    menyediakan sarana dan prasarana umum yang layak, antara lain sarana ibadah, tempat parkir, ruang tunggu, sarana untuk penyandang disabilitas, wanita menyusui, anak-anak, dan lanjut usia;
    j.
    melaksanakan sistem rujukan;
    k.
    menolak keinginan Pasien yang bertentangan dengan standar profesi dan etika serta ketentuan peraturan perundang-undangan;
    l.
    memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai hak dan kewajiban Pasien;
    m.
    menghormati dan melindungi hak-hak Pasien;
    n.
    melaksanakan etika Rumah Sakit;
    o.
    memiliki sistem pencegahan kecelakaan dan penanggulangan bencana;
    p.
    melaksanakan program pemerintah di bidang Kesehatan, baik secara regional maupun nasional;
    q.
    membuat daftar Tenaga Medis yang melakukan praktik kedokteran atau kedokteran gigi dan Tenaga Kesehatan lainnya;
    r.
    menyusun dan melaksanakan peraturan internal Rumah Sakit;
    s.
    melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas Rumah Sakit dalam melaksanakan tugas; dan
    t.
    memberlakukan seluruh lingkungan Rumah Sakit sebagai kawasan tanpa rokok.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 834

    (1)
    Kewajiban Rumah Sakit memberikan informasi yang benar tentang pelayanan Rumah Sakit kepada masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 833 huruf a berupa:
     
    a.
    informasi umum Rumah Sakit;
     
    b.
    informasi terkait dengan pelaksanaan Pelayanan Kesehatan kepada Pasien; dan
     
    c.
    informasi terkait dengan kinerja pelayanan.
    (2)
    Pemberian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 835

    (1)
    Kewajiban Rumah Sakit memberikan Pelayanan Kesehatan yang aman, bermutu, anti diskriminatif, dan efektif dengan mengutamakan kepentingan Pasien sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 833 huruf b dilakukan melalui:
     
    a.
    pelaksanaan standar mutu dalam penyelenggaraan Rumah Sakit;
     
    b.
    penerapan standar keamanan dan keselamatan Pasien;
     
    c.
    pengukuran indikator nasional mutu Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit; dan
     
    d.
    pelayanan dengan tidak membedakan ras, agama, suku, gender, kemampuan ekonomi, orang dengan kebutuhan khusus atau penyandang disabilitas, serta latar belakang sosial politik dan antargolongan.
    (2)
    Pelaksanaan standar mutu dalam penyelenggaraan Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan melalui proses registrasi, lisensi, akreditasi, dan penerapan standar pelayanan, standar profesi, dan standar prosedur operasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 836

    (1)
    Kewajiban Rumah Sakit memberikan pelayanan Gawat Darurat kepada Pasien sesuai dengan kemampuan pelayanannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 833 huruf c dilakukan pada instalasi Gawat Darurat berupa:
     
    a.
    triase; dan
     
    b.
    tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kedisabilitasan.
    (2)
    Dalam penyelenggaraan pelayanan Gawat Darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Rumah Sakit dilarang menolak Pasien dan/atau meminta uang muka serta dilarang mendahulukan segala urusan administratif sehingga menyebabkan tertundanya Pelayanan Kesehatan.
    (3)
    Pelayanan Gawat Darurat dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 837

    (1)
    Kewajiban Rumah Sakit untuk berperan aktif dalam memberikan Pelayanan Kesehatan pada bencana sesuai kemampuan pelayanannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 833 huruf d dilakukan melalui:
     
    a.
    peningkatan manajemen penanggulangan bencana;
     
    b.
    memberikan pelayanan langsung kepada korban bencana di lokasi bencana atau di Rumah Sakit; dan
     
    c.
    melakukan mitigasi dampak bencana melalui penyediaan pelayanan rehabilitasi psikososial dan rehabilitasi fisik.
    (2)
    Pelayanan Kesehatan pada bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk Pelayanan Kesehatan dalam rangka upaya penanggulangan krisis Kesehatan lainnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 838

    Kewajiban Rumah Sakit menyediakan sarana dan pelayanan bagi masyarakat tidak mampu atau miskin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 833 huruf e dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 839

    Kewajiban Rumah Sakit membuat, melaksanakan, dan menjaga standar mutu Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit sebagai acuan dalam melayani Pasien sebagaimana dimaksud dalam Pasal 833 huruf g dilaksanakan dengan:
    a.
    menyusun, menetapkan, melaksanakan, mematuhi, dan mengevaluasi standar pelayanan Rumah Sakit;
    b.
    menyelenggarakan penugasan klinis bagi semua Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan; dan
    c.
    melaksanakan peningkatan mutu pelayanan secara internal dan eksternal.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 840

    Kewajiban Rumah Sakit dalam menyelenggarakan rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 833 huruf h dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 841

    (1)
    Kewajiban Rumah Sakit dalam menyediakan sarana dan prasarana umum yang layak paling sedikit meliputi sarana ibadah, tempat parkir, ruang tunggu, sarana untuk penyandang disabilitas, wanita menyusui, anak-anak, dan lanjut usia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 833 huruf i dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan teknis bangunan dan prasarana yang memenuhi prinsip keselamatan, kenyamanan, dan kemudahan akses.
    (2)
    Ketentuan mengenai persyaratan teknis sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 842

    (1)
    Kewajiban Rumah Sakit melaksanakan sistem rujukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 833 huruf j dilaksanakan berdasarkan kemampuan pelayanan Rumah Sakit dan kebutuhan medis Pasien.
    (2)
    Dalam melaksanakan sistem rujukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Rumah Sakit menggunakan Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 843

    Kewajiban Rumah Sakit menolak keinginan Pasien yang bertentangan dengan standar profesi dan etika serta ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 833 huruf k dilakukan dengan cara:
    a.
    melakukan komunikasi, informasi, dan edukasi; dan
    b.
    membuat peraturan internal Rumah Sakit.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 844

    (1)
    Kewajiban Rumah Sakit untuk memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai hak dan kewajiban Pasien sebagaimana dimaksud dalam Pasal 833 huruf 1 dilakukan melalui pemberian informasi kepada Pasien secara lengkap tentang hak dan kewajibannya.
    (2)
    Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara tertulis dan/atau lisan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 845

    (1)
    Kewajiban Rumah Sakit untuk menghormati dan melindungi hak-hak Pasien sebagaimana dimaksud dalam Pasal 833 huruf m dilaksanakan dengan:
     
    a.
    melakukan pelayanan yang berorientasi pada hak dan kepentingan Pasien; dan
     
    b.
    melakukan monitoring dan evaluasi.
    (2)
    Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menerapkan peraturan dan standar Rumah Sakit.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 846

    (1)
    Kewajiban Rumah Sakit untuk melaksanakan etika Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 833 huruf n dilakukan dengan:
     
    a.
    menyusun peraturan dan kebijakan mengenai panduan etik dan perilaku;
     
    b.
    menerapkan panduan etik dan perilaku;
     
    c.
    melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan panduan etik dan perilaku; dan
     
    d.
    mengenakan sanksi bagi pelanggaran panduan etik dan perilaku.
    (2)
    Rumah Sakit dapat membentuk komite yang memiliki tugas dan tanggungjawab di bidang etik dan/atau hukum Rumah Sakit dalam memenuhi kewajiban melaksanakan etika dan perilaku sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 847

    (1)
    Kewajiban Rumah Sakit dalam memiliki sistem pencegahan kecelakaan dan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 833 huruf o ditujukan untuk mencegah dan mengendalikan potensi bahaya terhadap kecelakaan dan bencana.
    (2)
    Sistem pencegahan kecelakaan dan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas pencegahan dan penanggulangan pada:
     
    a.
    kebakaran dan kecelakaan lain yang berhubungan dengan instalasi listrik;
     
    b.
    radiasi atau pencemaran bahan kimia yang berbahaya, termasuk bahan berbahaya dan beracun;
     
    c.
    gangguan psikososial; dan/atau
     
    d.
    masalah ergonomis.
    (3)
    Pengelolaan sistem pencegahan kecelakaan dan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 848

    (1)
    Kewajiban Rumah Sakit untuk melaksanakan program pemerintah di bidang Kesehatan baik secara regional maupun nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 833 huruf p dilaksanakan dalam bentuk pemberian pelayanan dalam rangka pelaksanaan program:
     
    a.
    penurunan angka kematian ibu dan angka kematian bayi;
     
    b.
    penurunan angka gizi kurang pada bayi dan balita;
     
    c.
    perbaikan pengelolaan jaminan kesehatan nasional;
     
    d.
    peningkatan promosi Kesehatan dan penyehatan masyarakat;
     
    e.
    peningkatan pengelolaan pengendalian penyakit serta penanggulangan KLB, Wabah, dan darurat bencana;
     
    f.
    peningkatan akses dan mutu Pelayanan Kesehatan;
     
    g.
    peningkatan akses Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan dengan mengutamakan produk dalam negeri;
     
    h.
    peningkatan pemenuhan Sumber Daya Manusia Kesehatan sesuai standar; dan
     
    i.
    pelaksanaan program pemerintah bidang Kesehatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan.
    (2)
    Pelaksanaan program pemerintah di bidang Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat dan dilaporkan oleh Rumah Sakit melalui Sistem Informasi Kesehatan Rumah Sakit yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 849

    (1)
    Kewajiban Rumah Sakit untuk membuat daftar Tenaga Medis yang melakukan praktik kedokteran atau kedokteran gigi dan Tenaga Kesehatan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 833 huruf q dilaksanakan melalui penyusunan daftar Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang dapat diakses oleh pengguna pelayanan.
    (2)
    Daftar Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat nama, nomor STR dan SIP, serta jadwal praktik Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 850

    (1)
    Kewajiban Rumah Sakit menyusun dan melaksanakan peraturan internal Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 833 huruf r dilakukan melalui penyusunan dan pelaksanaan kebijakan umum pelayanan Rumah Sakit yang mendukung tata kelola Rumah Sakit dan tata kelola klinis.
    (2)
    Peraturan internal Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
     
    a.
    peraturan organisasi Rumah Sakit; dan
     
    b.
    peraturan staf medis dan staf Tenaga Kesehatan Rumah Sakit.
    (3)
    Peraturan organisasi Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan aturan yang mengatur hubungan pemilik atau yang mewakili dengan kepala/direktur Rumah Sakit.
    (4)
    Peraturan staf medis dan staf Tenaga Kesehatan Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan aturan mengenai tata kelola klinis untuk menjaga profesionalisme Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan di Rumah Sakit.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan dan pelaksanaan peraturan internal Rumah Sakit diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 851

    Kewajiban Rumah Sakit melindungi dan memberikan bantuan hukum bagi semua petugas Rumah Sakit dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 833 huruf s dilaksanakan dengan:
    a.
    memberikan konsultasi hukum;
    b.
    memfasilitasi proses mediasi dan proses peradilan;
    c.
    memberikan advokasi hukum;
    d.
    memberikan pendampingan dalam penyelesaian sengketa medik;
    e.
    mengalokasikan anggaran untuk pendanaan proses hukum dan ganti rugi; dan
    f.
    memberikan upaya pelindungan dan bantuan hukum lainnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 852

    Kewajiban Rumah Sakit dalam memberlakukan seluruh lingkungan Rumah Sakit sebagai kawasan tanpa rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 833 huruf t dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 853

    (1)
    Pelanggaran atas kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 833 sampai dengan Pasal 852 dikenai sanksi administratif berupa:
     
    a.
    teguran lisan;
     
    b.
    teguran tertulis;
     
    c.
    denda administratif; dan/atau
     
    d.
    pencabutan perizinan berusaha Rumah Sakit.
    (2)
    Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya.
    (3)
    Tata cara pengenaan sanksi administratif berupa pencabutan perizinan berusaha Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 8
    Pencatatan dan Pelaporan
     

    Pasal 854

    Setiap Rumah Sakit wajib melakukan pencatatan dan pelaporan terhadap semua kegiatan penyelenggaraan Rumah Sakit dalam Sistem Informasi Kesehatan Rumah Sakit yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 855

    (1)
    Rumah Sakit wajib menyelenggarakan penyimpanan terhadap pencatatan dan pelaporan yang dilakukan untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Pemusnahan atau penghapusan terhadap berkas pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 9
    Pembinaan dan Pengawasan
     

    Pasal 856

    (1)
    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Rumah Sakit sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing.
    (2)
    Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk:
     
    a.
    pemenuhan kebutuhan Pelayanan Kesehatan yang terjangkau oleh masyarakat;
     
    b.
    peningkatan mutu Pelayanan Kesehatan;
     
    c.
    keselamatan Pasien;
     
    d.
    pengembangan jangkauan pelayanan; dan
     
    e.
    peningkatan kemampuan kemandirian Rumah Sakit.
    (3)
    Dalam rangka pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Pemerintah Pusat mengenakan sanksi administratif berupa:
     
    a.
    teguran lisan;
     
    b.
    teguran tertulis;
     
    c.
    denda administratif; dan/atau
     
    d.
    pencabutan perizinan berusaha Rumah Sakit.
    (4)
    Tata cara pengenaan sanksi administratif berupa pencabutan perizinan berusaha Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 857

    (1)
    Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 853 ayat (1) dan Pasal 856 ayat (3) dikenakan berdasarkan laporan dugaan pelanggaran yang berasal dari:
     
    a.
    pengaduan;
     
    b.
    pemberitaan media elektronik atau media cetak; dan/atau
     
    c.
    hasil monitoring dan evaluasi.
    (2)
    Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah pemberi perizinan berusaha Rumah Sakit.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 858

    (1)
    Pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 857 ayat (1) huruf a dapat dilakukan oleh perseorangan, kelompok, institusi, lembaga, instansi, dan/atau organisasi.
    (2)
    Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
     
    a.
    dilakukan secara tertulis; dan
     
    b.
    memiliki uraian peristiwa yang dapat ditelusuri faktanya.
    (3)
    Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat:
     
    a.
    identitas pelapor;
     
    b.
    nama dan alamat lengkap pihak yang diadukan;
     
    c.
    jenis dugaan pelanggaran yang dilakukan Rumah Sakit;
     
    d.
    waktu pelanggaran dilakukan;
     
    e.
    kronologis peristiwa yang diadukan; dan
     
    f.
    keterangan yang memuat fakta, data, atau petunjuk terjadinya pelanggaran.
    (4)
    Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang menerbitkan perizinan berusaha Rumah Sakit.
    (5)
    Identitas pelapor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a wajib dirahasiakan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 859

    Pemberitaan media elektronik atau media cetak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 857 ayat (1) huruf b merupakan pemberitaan yang dapat ditelusuri kebenarannya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 860

    (1)
    Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 857 ayat (1) huruf c dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah.
    (2)
    Hasil monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang menerbitkan perizinan berusaha Rumah Sakit.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 861

    (1)
    Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah setelah menerima laporan dugaan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 857 melakukan pemeriksaan tindak lanjut laporan.
    (2)
    Ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan tindak lanjut laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 862

    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 856 ayat (3) huruf a sampai dengan huruf c diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesembilan
    Rumah Sakit Pendidikan
     
    Paragraf 1
    Umum
     

    Pasal 863

    (1)
    Rumah Sakit pendidikan merupakan Rumah Sakit yang mempunyai fungsi sebagai tempat pendidikan, penelitian, dan Pelayanan Kesehatan secara terpadu dalam bidang pendidikan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan serta pendidikan berkelanjutan secara multiprofesi.
    (2)
    Dalam rangka penyelenggaraan fungsi sebagai tempat pendidikan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Rumah Sakit pendidikan terdiri atas:
     
    a.
    Rumah Sakit pendidikan yang bekerja sama dengan perguruan tinggi sebagai mitra penyelenggara pendidikan; dan
     
    b.
    RSPPU bekerja sama dengan perguruan tinggi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 864

    Penyelenggaraan Rumah Sakit pendidikan bertujuan:
    a.
    menyediakan tempat penyelenggaraan pendidikan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan;
    b.
    menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang dapat digunakan untuk pendidikan dan penelitian bidang kedokteran, kedokteran gigi, dan Kesehatan lain dengan mengutamakan kepentingan dan keselamatan Pasien; dan
    c.
    meningkatkan mutu dan kompetensi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 865

    Rumah Sakit pendidikan harus memberikan pelindungan dan kepastian hukum bagi Pasien, pemberi pelayanan, peserta didik, pendidik, subyek penelitian bidang kedokteran/kedokteran gigi/Kesehatan lain, peneliti, penyelenggara Rumah Sakit pendidikan, serta institusi pendidikan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 866

    (1)
    Rumah Sakit dapat ditetapkan menjadi Rumah Sakit pendidikan oleh Menteri setelah memenuhi persyaratan.
    (2)
    Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    telah menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan dan memiliki variasi dan jumlah kasus yang sesuai dengan kebutuhan pendidikan;
     
    b.
    memiliki perizinan berusaha yang masih berlaku;
     
    c.
    terakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
     
    d.
    memiliki dokumen perjanjian kerja sama dengan perguruan tinggi;
     
    e.
    memiliki sumber daya manusia yang memenuhi kualifikasi sebagai pendidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
     
    f.
    memiliki teknologi kedokteran dan/atau Kesehatan yang sesuai dengan standar nasional pendidikan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan;
     
    g.
    memiliki program penelitian secara rutin;
     
    h.
    memiliki visi, misi, dan komitmen Rumah Sakit di bidang pendidikan; dan
     
    i.
    memiliki persetujuan menjadi Rumah Sakit pendidikan dari pemilik Rumah Sakit.
    (3)
    Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Rumah Sakit pendidikan juga harus memenuhi:
     
    a.
    standar manajemen dan administrasi pendidikan;
     
    b.
    standar sumber daya manusia;
     
    c.
    standar sarana penunjang pendidikan; dan
     
    d.
    standar perancangan dan pelaksanaan program pendidikan klinik yang berkualitas.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Fungsi Rumah Sakit Pendidikan
     

    Pasal 867

    (1)
    Dalam menjalankan fungsi sebagai tempat pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 863 ayat (1), Rumah Sakit pendidikan harus:
     
    a.
    menyediakan pendidik;
     
    b.
    menyediakan sarana dan prasarana serta peralatan yang mendukung penyelenggaraan pendidikan;
     
    c.
    memiliki variasi dan jumlah kasus yang sesuai dengan kebutuhan pendidikan; dan
     
    d.
    melakukan koordinasi dengan institusi pendidikan dan jejaringnya.
    (2)
    Dalam menjalankan fungsi tempat penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 863 ayat (1), Rumah Sakit pendidikan harus:
     
    a.
    mengembangkan dan menyelenggarakan penelitian unggulan dan translasional di bidang ilmu dan teknologi kedokteran, kedokteran gigi, dan Tenaga Kesehatan lain;
     
    b.
    menilai, menapis, dan/atau mengadopsi teknologi kedokteran dan/atau kedokteran gigi, serta Teknologi Kesehatan lainnya; dan
     
    c.
    mengembangkan kerja sama dengan pelaku industri bidang Kesehatan dan pihak lain yang terkait.
    (3)
    Dalam menjalankan fungsi sebagai tempat penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Rumah Sakit pendidikan harus menyusun rencana induk penelitian yang disesuaikan dengan kebutuhan.
    (4)
    Hasil penelitian bidang kedokteran, kedokteran gigi, dan Kesehatan lain harus disebarluaskan dan/atau dipublikasikan secara nasional dan/atau internasional kecuali hasil penelitian yang bersifat rahasia, berpotensi mengganggu, dan/atau membahayakan kepentingan umum.
    (5)
    Dalam menjalankan fungsi sebagai tempat Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 863 ayat (1), Rumah Sakit pendidikan harus menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan terintegrasi dengan mengutamakan tata kelola klinis yang baik, perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran, kedokteran gigi, dan Kesehatan lain berbasis bukti sesuai kebutuhan medis Pasien, standar pelayanan, dan mengutamakan keselamatan Pasien.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 868

    Dalam menjalankan fungsi sebagai Rumah Sakit pendidikan, Rumah Sakit dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Jenis Rumah Sakit Pendidikan
     

    Pasal 869

    (1)
    Jenis Rumah Sakit pendidikan terdiri dari:
    a.
    Rumah Sakit pendidikan utama; dan
    b.
    Rumah Sakit pendidikan satelit.
    (2)
    Dalam penyelenggaraan Rumah Sakit pendidikan dapat dibentuk jejaring Rumah Sakit pendidikan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Penyelenggaraan
     

    Pasal 870

    (1)
    Rumah Sakit pendidikan hanya dapat menerima mahasiswa sesuai dengan:
     
    a.
    rasio jumlah dosen dengan mahasiswa; dan
     
    b.
    jumlah dan variasi jenis kasus penyakit.
    (2)
    Rumah Sakit pendidikan utama wajib memiliki perjanjian kerja sama secara tertulis dengan institusi pendidikan.
    (3)
    Rumah Sakit pendidikan satelit wajib memiliki perjanjian kerja sama secara tertulis dengan Rumah Sakit pendidikan utama dan institusi pendidikan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 871

    (1)
    Rumah Sakit pendidikan memiliki kewajiban:
     
    a.
    meningkatkan mutu pelayanan dan keselamatan Pasien;
     
    b.
    meningkatkan kompetensi sumber daya manusia secara terus menerus sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran, kedokteran gigi, serta Kesehatan lain;
     
    c.
    menjalankan tata kelola organisasi dan tata kelola klinis yang efektif, efisien, dan akuntabel;
     
    d.
    meningkatkan fasilitas peralatan pendidikan bidang kedokteran, kedokteran gigi, dan Kesehatan lain sesuai dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan masyarakat berdasarkan fungsi dan klasifikasinya;
     
    e.
    meningkatkan penelitian klinis dan penelitian lain di bidang Kesehatan; dan
     
    f.
    memberikan imbalan jasa pelayanan bagi peserta didik sesuai dengan Pelayanan Kesehatan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Rumah Sakit pendidikan dapat menerima bantuan dari pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa pendanaan, sumber daya manusia, peralatan, bantuan hukum, serta sarana dan prasarana.
    (4)
    Bantuan pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan untuk peningkatan kompetensi peserta didik.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 872

    Pendanaan untuk penyelenggaraan fungsi Rumah Sakit pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemilik Rumah Sakit pendidikan dan sumber pendanaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Rumah Sakit Pendidikan Penyelenggara Utama Program Spesialis/Subspesialis
     

    Pasal 873

    (1)
    RSPPU ditetapkan oleh Menteri setelah memenuhi persyaratan dan standar.
    (2)
    Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    memiliki surat keputusan sebagai Rumah Sakit pendidikan dari Menteri;
     
    b.
    memiliki surat permohonan menjadi RSPPU program spesialis/subspesialis yang ditandatangani oleh pimpinan Rumah Sakit;
     
    c.
    memiliki persetujuan menjadi RSPPU program spesialis/subspesialis dari pemilik Rumah Sakit; dan
     
    d.
    memiliki dokumen perjanjian kerja sama dengan perguruan tinggi.
    (3)
    Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    standar manajemen dan administrasi pendidikan;
     
    b.
    standar sumber daya manusia;
     
    c.
    standar sarana penunjang pendidikan; dan
     
    d.
    standar perancangan dan pelaksanaan program pendidikan klinik yang berkualitas.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 874

    (1)
    RSPPU yang telah ditetapkan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 873 ayat (1) dapat mengajukan izin penyelenggaraan pendidikan program spesialis/subspesialis kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 579.
    (2)
    Dalam penyelenggaraan pendidikan program spesialis/subspesialis, RSPPU dapat membentuk jejaring Rumah Sakit dan/atau wahana pendidikan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Koordinasi Pembelajaran Klinik
     
    Pasal 875
    (1)
    Dalam rangka melaksanakan koordinasi terhadap seluruh proses pembelajaran klinik di Rumah Sakit pendidikan dan/atau penyelenggaraan pendidikan program spesialis/subspesialis di RSPPU, pimpinan Rumah Sakit pendidikan atau pimpinan RSPPU membentuk unit fungsional.
    (2)
    Unit fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai tugas:
     
    a.
    memberikan dukungan administrasi proses pembelajaran klinik di Rumah Sakit pendidikan atau RSPPU;
     
    b.
    menyusun perencanaan kegiatan dan anggaran belanja tahunan pembelajaran klinik sesuai kebutuhan;
     
    c.
    menyusun perencanaan kebutuhan sarana dan prasarana yang diperlukan peserta didik;
     
    d.
    membentuk sistem informasi terpadu untuk menunJang penyelenggaraan fungsi pelayanan, pendidikan, dan penelitian bidang kedokteran, kedokteran gigi, dan Kesehatan lain;
     
    e.
    melakukan koordinasi dalam rangka fasilitasi kepada seluruh peserta didik yang melaksanakan pembelajaran klinik, serta dosen dan penyelia yang melakukan bimbingan dan supervisi proses pembelajaran klinik peserta didik di Rumah Sakit pendidikan atau RSPPU;
     
    f.
    melakukan supervisi dan koordinasi penilaian kinerja terhadap tenaga pendidik atas seluruh proses pelayanan yang dilakukan, termasuk yang dilakukan di jejaring Rumah Sakit pendidikan atau RSPPU dan/atau yang terkait dengan sistem rujukan;
     
    g.
    melakukan pemantauan dan evaluasi penyelenggaraan proses pembelajaran klinik peserta didik; dan
     
    h.
    melaporkan hasil kerja secara berkala kepada pimpinan Rumah Sakit pendidikan atau pimpinan RSPPU dan pimpinan institusi pendidikan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 876

    Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Rumah Sakit pendidikan dan RSPPU diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesepuluh
    Kompetensi Manajemen Kesehatan Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
     

    Pasal 877

    (1)
    Setiap pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus memiliki kompetensi manajemen Kesehatan yang dibutuhkan dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.
    (2)
    Pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kepala, direktur, atau sebutan lain sebagai pimpinan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
    (3)
    Tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pembinaan:
     
    a.
    pengelolaan Pelayanan Kesehatan;
     
    b.
    kepegawaian;
     
    c.
    pengelolaan keuangan;
     
    d.
    pengelolaan sarana dan prasarana serta peralatan; dan
     
    e.
    pengelolaan pelayanan lain, di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
    (4)
    Tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan untuk mendukung organisasi yang efektif, efisien, dan akuntabel, dalam rangka mencapai tata kelola Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan tata kelola klinis yang baik.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 878

    (1)
    Kompetensi manaJemen Kesehatan pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 877 ayat (1) disesuaikan dengan jenis Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
    (2)
    Selain disesuaikan dengan jenis Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kompetensi manajemen Kesehatan pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dapat mempertimbangkan kompleksitas Pelayanan Kesehatan yang dibutuhkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 879

    Kompetensi manajemen Kesehatan pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 878 ayat (1) terdiri atas:
    a.
    kompetensi manajerial; dan
    b.
    kompetensi teknis.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 880

    (1)
    Kompetensi manajerial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 879 huruf a merupakan kemampuan setiap pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan untuk mendorong peningkatan kinerja organisasi dan mutu pelayanan.
    (2)
    Kompetensi manajerial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diukur dari kualifikasi pendidikan, pelatihan yang diikuti, dan/atau pengalaman kepemimpinan.
    (3)
    Kompetensi manajerial pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit terdiri atas kemampuan:
     
    a.
    kerja sama;
     
    b.
    komunikasi;
     
    c.
    pelayanan publik; dan
     
    d.
    pengambilan keputusan.
    (4)
    Selain kompetensi manajerial sebagaimana dimaksud pada ayat (3), bagi pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang berstatus aparatur sipil negara harus memiliki kompetensi manajerial lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 881

    (1)
    Kompetensi teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 879 huruf b merupakan pengetahuan, keterampilan, dan sikap atau perilaku yang dapat diamati, diukur, dan dikembangkan yang spesifik berkaitan dengan Pelayanan Kesehatan yang diberikan dan/atau pelayanan lain yang mendukung.
    (2)
    Kompetensi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diukur dari kualifikasi pendidikan, termasuk spesialisasi pendidikan yang dimiliki, pelatihan teknis yang diikuti, dan pengalaman bekerja dalam pemberian pelayanan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 882

    Ketentuan lebih lanjut mengenai kompetensi manajerial dan kompetensi teknis pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kesebelas
    Peningkatan Mutu Pelayanan Kesehatan
     
    Paragraf 1
    Umum
     

    Pasal 883

    Peningkatan mutu Pelayanan Kesehatan merupakan serangkaian upaya Fasilitas Pelayanan Kesehatan dalam menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan yang sesuai dengan standar dan mengutamakan keselamatan Pasien.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 884

    Peningkatan mutu Pelayanan Kesehatan ditujukan untuk:
    a.
    memenuhi hak Pasien untuk mendapatkan Pelayanan Kesehatan yang bermutu dan memberikan kepuasan kepada Pasien;
    b.
    mendorong Fasilitas Pelayanan Kesehatan mewujudkan budaya mutu melalui tata kelola organisasi dan tata kelola klinis yang baik; dan
    c.
    meningkatkan pelindungan bagi Sumber Daya Manusia Kesehatan, Fasilitas Pelayanan Kesehatan, dan masyarakat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 885

    (1)
    Setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib melakukan peningkatan mutu Pelayanan Kesehatan secara internal dan eksternal secara terus-menerus dan berkesinambungan.
    (2)
    Peningkatan mutu Pelayanan Kesehatan secara internal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
     
    a.
    pengukuran dan pelaporan indikator mutu;
     
    b.
    pelaporan insiden keselamatan Pasien; dan
     
    c.
    manajemen risiko.
    (3)
    Peningkatan mutu Pelayanan Kesehatan secara eksternal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
     
    a.
    registrasi;
     
    b.
    lisensi; dan
     
    c.
    akreditasi.
    (4)
    Dalam melakukan peningkatan mutu Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan menyusun dan melaksanakan tata kelola di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Pengukuran dan Pelaporan Indikator Mutu
     

    Pasal 886

    (1)
    Pengukuran dan pelaporan indikator mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 885 ayat (2) huruf a diselenggarakan untuk menilai keberhasilan Pelayanan Kesehatan secara kuantitas dan kualitas melalui penetapan indikator mutu tertentu untuk mencapai hasil yang diharapkan.
    (2)
    Indikator mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tolak ukur yang digunakan oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan untuk mencapai target mutu tertentu yang telah ditetapkan.
    (3)
    Indikator mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
     
    a.
    indikator mutu nasional; dan
     
    b.
    indikator mutu Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
    (4)
    Indikator mutu nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a ditetapkan oleh Menteri berdasarkan jenis Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
    (5)
    Indikator mutu Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b ditetapkan oleh pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan berdasarkan prioritas di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 887

    (1)
    Pengukuran indikator mutu dilakukan melalui tahapan kegiatan pengumpulan, validasi, analisis data, dan diseminasi hasil pengukuran berdasarkan indikator yang ditetapkan.
    (2)
    Pelaporan indikator mutu nasional disampaikan oleh pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan kepada Menteri menggunakan Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
    (3)
    Pelaporan indikator mutu Fasilitas Pelayanan Kesehatan disampaikan oleh masing-masing penanggung jawab program kepada pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien
     

    Pasal 888

    (1)
    Pelaporan insiden keselamatan Pasien sebagaimana dimaksud dalam Pasal 885 ayat (2) huruf b meliputi kronologis, analisa, dan penanganan insiden.
    (2)
    Insiden keselamatan Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan setiap kejadian yang berhubungan atau tidak berhubungan secara langsung dengan pelayanan, yang dapat mengakibatkan kerugian atau berpotensi terjadinya cedera pada Pasien dan dapat dicegah kejadiannya.
    (3)
    Insiden keselamatan Pasien sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
     
    a.
    kejadian tidak menimbulkan cedera;
     
    b.
    kejadian nyaris cedera;
     
    c.
    kejadian potensial cedera signifikan;
     
    d.
    kejadian tidak diharapkan; dan/atau
     
    e.
    kejadian sentinel.
    (4)
    Kejadian tidak diharapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d merupakan insiden keselamatan Pasien menimbulkan cedera pada Pasien.
    (5)
    Kejadian sentinel sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e merupakan insiden keselamatan Pasien yang tidak berhubungan dengan perjalanan penyakit Pasien atau penyakit yang mendasarinya yang terjadi pada Pasien.
    (6)
    Kejadian sentinel sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat mengakibatkan kematian, disabilitas yang permanen, atau cedera berat yang bersifat sementara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 889

    (1)
    Seluruh insiden keselamatan Pasien yang terjadi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus dilaporkan oleh setiap Sumber Daya Manusia Kesehatan yang mengetahui kepada pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
    (2)
    Dalam hal insiden keselamatan Pasien berupa kejadian tidak diharapkan dan kejadian sentinel sebagaimana dimaksud dalam Pasal 888 ayat (3) huruf d dan huruf e, pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus melaporkan kepada Menteri melalui Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 890

    (1)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus melakukan pengelolaan insiden berdasarkan hasil pelaporan insiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 889 ayat (1).
    (2)
    Pengelolaan insiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan investigasi untuk memperoleh akar masalah dan pemecahan masalah atas insiden.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Manajemen Risiko
     

    Pasal 891

    (1)
    Manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 885 ayat (2) huruf c merupakan peningkatan mutu Pelayanan Kesehatan yang dilakukan melalui pendekatan secara proaktif terhadap kemungkinan peristiwa yang dapat terjadi dan berdampak negatif pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
    (2)
    Manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diselenggarakan oleh seluruh penanggung jawab unit pelayanan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan untuk menghindari atau meminimalisir risiko yang tidak diinginkan dan dilaporkan kepada pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
    (3)
    Manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan terhadap:
     
    a.
    risiko klinis; dan/atau
     
    b.
    risiko nonklinis.
    (4)
    Risiko klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a merupakan peristiwa yang dapat terjadi dan berdampak negatif terkait dengan Pelayanan Kesehatan.
    (5)
    Risiko nonklinis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan peristiwa yang dapat terjadi dan berdampak negatif terkait dengan selain Pelayanan Kesehatan.
    (6)
    Manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan identifikasi, analisis, evaluasi, pengendalian, pemantauan, serta pelaporan risiko dan potensinya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 892

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pengukuran dan pelaporan indikator mutu, pelaporan insiden keselamatan Pasien, dan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 886 sampai dengan Pasal 891 diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Registrasi
     

    Pasal 893

    (1)
    Registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 885 ayat (3) huruf a merupakan kegiatan pendaftaran yang dilakukan oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan melalui Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional untuk mendapatkan nomor identitas Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
    (2)
    Registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah Fasilitas Pelayanan Kesehatan memiliki lisensi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Lisensi
     

    Pasal 894

    (1)
    Lisensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 885 ayat (3) huruf b merupakan perizinan yang diberikan kepada Fasilitas Pelayanan Kesehatan untuk operasionalisasi Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan/atau untuk penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan tertentu.
    (2)
    Lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perizinan berusaha.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 7
    Akreditasi
     

    Pasal 895

    (1)
    Akreditasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 885 ayat (3) huruf c merupakan pengakuan terhadap peningkatan mutu Pelayanan Kesehatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan berdasarkan standar akreditasi yang ditetapkan oleh Menteri.
    (2)
    Akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Menteri atau lembaga penyelenggara akreditasi yang ditetapkan oleh Menteri.
    (3)
    Penyelenggaraan akreditasi melalui tahapan yang terdiri atas kegiatan persiapan, penilaian, dan pascaakreditasi.
    (4)
    Tahapan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan dengan metode luring dan/atau daring.
    (5)
    Penyelenggaraan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dicatat dan dilaporkan melalui Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
    (6)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai akreditasi Fasilitas Pelayanan Kesehatan diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 8
    Tanggung Jawab Pemerintah
     

    Pasal 896

    (1)
    Dalam rangka penyelenggaraan mutu Pelayanan Kesehatan, Menteri bertanggung jawab:
     
    a.
    menetapkan strategi nasional mutu Pelayanan Kesehatan;
     
    b.
    menetapkan strategi nasional keselamatan Pasien; dan
     
    c.
    menetapkan standar mutu dan keselamatan Pasien.
    (2)
    Gubernur dan bupati/wali kota bertanggung jawab memfasilitasi dan menjamin Fasilitas Pelayanan Kesehatan di wilayahnya serta melakukan peningkatan mutu internal dan eksternal.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 9
    Sanksi Administratif
     

    Pasal 897

    (1)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang tidak melakukan peningkatan mutu Pelayanan Kesehatan secara internal dan eksternal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 885 ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:
     
    a.
    teguran lisan;
     
    b.
    teguran tertulis;
     
    c.
    penyesuaian status akreditasi; dan/atau
     
    d.
    pencabutan perizinan berusaha Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
    (2)
    Tata cara pengenaan sanksi administratif berupa pencabutan perizinan berusaha Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf c dikenakan berdasarkan:
     
    a.
    hasil monitoring dan evaluasi pada saat pengawasan;
     
    b.
    pengaduan; dan/atau
     
    c.
    pemberitaan media elektronik atau media cetak.
    (4)
    Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf c diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua Belas
    Pengembangan Pelayanan Kesehatan oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan
     

    Pasal 898

    (1)
    Dalam rangka peningkatan akses dan mutu Pelayanan Kesehatan, Fasilitas Pelayanan Kesehatan dapat mengembangkan:
     
    a.
    jejaring pengampuan Pelayanan Kesehatan;
     
    b.
    kerja sama 2 (dua) atau lebih Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
     
    c.
    pusat unggulan; dan
     
    d.
    Pelayanan Kesehatan terpadu.
    (2)
    Pengembangan yang dilakukan Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengacu pada rencana induk bidang Kesehatan yang ditetapkan Pemerintah Pusat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 899

    (1)
    Jejaring pengampuan Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 898 ayat (1) huruf a merupakan pengampuan yang dilakukan oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan dengan kompetensi lebih tinggi pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan dengan kompetensi lebih rendah yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan menangani permasalahan Kesehatan di wilayah tersebut.
    (2)
    Pengampuan Pelayanan Kesehatan dilakukan paling sedikit melalui pelatihan, pendampingan penyelenggaraan pelayanan, serta pendampingan tindakan.
    (3)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang dilakukan pengampuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memiliki perencanaan dan pemenuhan terhadap Sumber Daya Manusia Kesehatan, sarana dan prasarana, serta Alat Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 900

    (1)
    Dalam rangka meningkatkan akses dan mutu Pelayanan Kesehatan melalui jejaring pengampuan Pelayanan Kesehatan, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat menyediakan sumber daya berupa sarana dan prasarana, Alat Kesehatan, Sumber Daya Manusia Kesehatan, dan pendanaan.
    (2)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman penyelenggaraan JeJaring pengampuan Pelayanan Kesehatan diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 901

    (1)
    Kerja sama 2 (dua) atau lebih Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 898 ayat (1) huruf b merupakan kerja sama antara 2 (dua) Fasilitas Pelayanan Kesehatan, baik antara Fasilitas Pelayanan Kesehatan di Indonesia dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan di luar negeri maupun antar-Fasilitas Pelayanan Kesehatan di Indonesia.
    (2)
    Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa kerja sama di bidang manajemen, pelayanan, dan penelitian.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 902

    (1)
    Penyelenggaraan kerja sama 2 (dua) atau lebih Fasilitas Pelayanan Kesehatan meliputi:
     
    a.
    Kesehatan masyarakat;
     
    b.
    Pelayanan Kesehatan;
     
    c.
    kefarmasian dan Alat Kesehatan;
     
    d.
    pencegahan dan pengendalian penyakit;
     
    e.
    penelitian dan pengembangan Kesehatan;
     
    f.
    pengembangan Sumber Daya Manusia Kesehatan; dan
     
    g.
    bidang lain sesuai dengan kebutuhan.
    (2)
    Kerja sama dapat dilakukan dalam bentuk:
     
    a.
    manajemen pelayanan;
     
    b.
    peningkatan kapasitas sumber daya;
     
    c.
    transfer pengetahuan;
     
    d.
    penelitian dan/atau penelitian bersama; dan/atau
     
    e.
    bentuk kerja sama lain yang disetujui oleh para pihak.
    (3)
    Penyelenggaraan kerja sama 2 (dua) atau lebih Fasilitas Pelayanan Kesehatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 903

    (1)
    Pusat unggulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 898 ayat (1) huruf c merupakan Pelayanan Kesehatan dengan karakteristik utama pada Rumah Sakit yang mempunyai standar pelayanan internasional, berteknologi tinggi, memiliki kompetensi sumber daya manusia yang unggul, serta bekerja sama dengan institusi pendidikan untuk meningkatkan budaya belajar, inovasi, dan pengembangan.
    (2)
    Pusat unggulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang telah memenuhi persyaratan paling sedikit:
     
    a.
    terakreditasi oleh lembaga akreditasi luar negeri;
     
    b.
    memiliki kompetensi Sumber Daya Manusia Kesehatan yang mendukung layanan unggulan;
     
    c.
    menjalankan penelitian translasional; dan
     
    d.
    bekerja sama dengan institusi pendidikan untuk meningkatkan budaya belajar, inovasi, dan pengembangan.
    (3)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang menyelenggarakan pusat unggulan ditetapkan oleh Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 904

    (1)
    Pelayanan Kesehatan terpadu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 898 ayat (1) huruf d merupakan Pelayanan Kesehatan yang terintegrasi yang diselenggarakan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan secara terpadu, multidisiplin, dan berpusat pada kebutuhan Pasien.
    (2)
    Pelayanan Kesehatan terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didukung dengan Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
    (3)
    Pelayanan Kesehatan terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dengan mengutamakan kemudahan akses Pelayanan Kesehatan bagi Pasien.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman Pelayanan Kesehatan terpadu diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB V
    PERBEKALAN KESEHATAN SERTA KETAHANAN KEFARMASIAN DAN ALAT KESEHATAN
     
    Bagian Kesatu
    Ketersediaan, Pemerataan, dan Keterjangkauan Perbekalan Kesehatan
     

    Pasal 905

    Pengelolaan Perbekalan Kesehatan ditujukan untuk memenuhi ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan Perbekalan Kesehatan dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan baik pada kondisi normal maupun kondisi KLB, Wabah, dan Bencana.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 906

    (1)
    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab terhadap pengelolaan Perbekalan Kesehatan yang meliputi perencanaan, penyediaan, dan pendistribusian.
    (2)
    Dalam rangka pengelolaan Perbekalan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat membentuk fasilitas pengelolaan kefarmasian.
    (3)
    Fasilitas pengelolaan kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan sarana pengelola Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Perbekalan Kesehatan lain milik Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 907

    (1)
    Perencanaan Perbekalan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 906 ayat (1) merupakan perencanaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Perbekalan Kesehatan lain.
    (2)
    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menyusun perencanaan Perbekalan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan rencana induk bidang Kesehatan menggunakan Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 908

    (1)
    Dalam perencanaan Perbekalan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 907 dilakukan pemilihan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Perbekalan Kesehatan lain.
    (2)
    Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada formularium, daftar Alat Kesehatan esensial, dan daftar peralatan lain yang disusun dan ditetapkan oleh Menteri sebagai upaya pengendalian mutu dan biaya Pelayanan Kesehatan.
    (3)
    Formularium dan daftar Alat Kesehatan esensial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditinjau dan disempurnakan paling lama setiap 2 (dua) tahun sesuai dengan perkembangan kebutuhan serta ilmu pengetahuan dan teknologi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 909

    (1)
    Penyediaan Perbekalan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 906 ayat (1) dilakukan sesuai dengan kebutuhan Pelayanan Kesehatan.
    (2)
    Penyediaan Perbekalan Kesehatan dapat dilaksanakan melalui pengadaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Selain dilaksanakan melalui pengadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyediaan Perbekalan Kesehatan dapat dilaksanakan melalui hibah atau cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Perbekalan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan penyimpanan sesuai dengan persyaratan dan spesifikasi produk untuk menjamin keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 910

    (1)
    Pendistribusian Perbekalan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 906 ayat (1) dilakukan oleh fasilitas pengelolaan kefarmasian, produsen, atau distributor Perbekalan Kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Pendistribusian Perbekalan Kesehatan oleh fasilitas pengelolaan kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berjenjang dengan tetap menjamin mutu, jenis, jumlah, dan ketepatan waktu.
    (3)
    Dalam kondisi tertentu pendistribusian Perbekalan Kesehatan dapat dilakukan dari Pemerintah Pusat langsung ke Pemerintah Daerah kabupaten/kota atau fasilitas Kesehatan yang membutuhkan.
    (4)
    Untuk pemerataan ketersediaan Perbekalan Kesehatan dapat dilakukan relokasi antarwilayah provinsi atau kabupaten/kota.
    (5)
    Kegiatan pendistribusian Perbekalan Kesehatan oleh fasilitas pengelolaan kefarmasian, produsen, atau distributor Perbekalan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan melalui Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
    (6)
    Pelaporan kegiatan pendistribusian Perbekalan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 911

    Pendistribusian Perbekalan Kesehatan harus memenuhi standar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 912

    (1)
    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat melibatkan lembaga terkait dalam melakukan pengendalian ketersediaan Perbekalan Kesehatan melalui Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional untuk memastikan tidak terjadi kelebihan dan kekurangan atau kekosongan Perbekalan Kesehatan, terutama Obat dan Alat Kesehatan dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan.
    (2)
    Dalam melakukan pengendalian ketersediaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mempersiapkan stok penyangga Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Perbekalan Kesehatan lain.
    (3)
    Pemerintah Pusat melakukan pembinaan terhadap pengelolaan Perbekalan Kesehatan untuk memenuhi ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan Perbekalan Kesehatan dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 913

    (1)
    Pemerintah Pusat berwenang mengatur dan mengendalikan harga Perbekalan Kesehatan, terutama Obat dan Alat Kesehatan.
    (2)
    Pemerintah Pusat dalam mengatur dan mengendalikan harga Perbekalan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan Pemerintah Daerah.
    (3)
    Pengaturan dan pengendalian harga Perbekalan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memperoleh harga yang wajar bagi masyarakat, industri, dan pemerintah.
    (4)
    Pengaturan dan pengendalian harga Perbekalan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 914

    (1)
    Menteri dapat menetapkan Perbekalan Kesehatan tertentu yang menjadi prioritas Kesehatan.
    (2)
    Pemerintah Pusat dapat memberikan insentif fiskal dan nonfiskal terhadap Perbekalan Kesehatan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 915

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Perbekalan Kesehatan diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Penggolongan Obat, Obat dengan Resep, dan Obat Tanpa Resep
     

    Pasal 916

    Penggolongan Obat merupakan pembedaan kategori Obat berdasarkan risiko penggunaan yang bertujuan untuk menjamin keamanan dan ketepatan dalam penggunaan, penyerahan, dan distribusi Obat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 917

    (1)
    Obat terdiri atas:
     
    a.
    Obat dengan resep; dan
     
    b.
    Obat tanpa resep.
    (2)
    Obat dengan resep sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan Obat yang hanya dapat diperoleh berdasarkan resep.
    (3)
    Obat dengan resep sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diserahkan oleh apoteker di fasilitas pelayanan kefarmasian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Resep sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan permintaan dari Tenaga Medis kepada apoteker atau apoteker spesialis baik dalam bentuk tertulis fisik maupun elektronik untuk menyediakan dan menyerahkan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan/atau pangan olahan untuk keperluan medis khusus bagi Pasien.
    (5)
    Obat dengan resep digolongkan menjadi:
     
    a.
    Obat keras;
     
    b.
    narkotika; dan
     
    c.
    psikotropika.
    (6)
    Obat tanpa resep sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diperoleh dari fasilitas pelayanan kefarmasian atau fasilitas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (7)
    Obat tanpa resep digolongkan menjadi:
     
    a.
    Obat bebas; dan
     
    b.
    Obat bebas terbatas.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 918

    (1)
    Obat keras sebagaimana dimaksud dalam Pasal 917 ayat (5) huruf a merupakan Obat yang mempunyai risiko dalam penggunaannya, memiliki potensi penyalahgunaan, dan/atau diberikan dengan cara tertentu.
    (2)
    Narkotika dan psikotropika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 917 ayat (5) huruf b dan huruf c merupakan narkotika atau psikotropika dalam bentuk Obat yang digunakan untuk kepentingan Pelayanan Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 919

    (1)
    Obat bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 917 ayat (7) huruf a merupakan Obat dalam bentuk dan dosis yang aman, dapat diserahkan tanpa resep, dan dapat digunakan oleh masyarakat untuk mencegah, meringankan, atau mengobati gejala penyakit ringan.
    (2)
    Obat bebas terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 917 ayat (7) huruf b merupakan Obat keras yang memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat digunakan untuk pengobatan sendiri, dapat diserahkan tanpa resep dalam jumlah terbatas, dan disertai dengan peringatan penggunaan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 920

    (1)
    Penggolongan Obat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 917 dilakukan berdasarkan kriteria yang meliputi:
     
    a.
    kandungan zat aktif;
     
    b.
    cara penggunaan; dan/atau
     
    c.
    profil keamanan.
    (2)
    Pada kemasan Obat wajib dicantumkan secara jelas tanda khusus Obat sesuai dengan penggolongannya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 921

    (1)
    Dalam hal terdapat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, Menteri dapat menetapkan penggolongan Obat dan/atau melakukan perubahan penggolongan Obat selain penggolongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 917 ayat (5) dan ayat (7).
    (2)
    Dalam menetapkan penggolongan Obat dan/atau melakukan perubahan penggolongan dapat melibatkan kementerian/lembaga terkait, praktisi, dan akademisi.
    (3)
    Dalam hal terdapat pengajuan izin edar Obat yang belum ditetapkan penggolongannya, kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang pengawasan obat dan makanan dapat menetapkan penggolongan Obat bersama dengan pemberian izin edar Obat.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai penggolongan Obat diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 922

    (1)
    Obat keras, narkotika, dan psikotropika hanya dapat diserahkan oleh apoteker dan/atau apoteker spesialis berdasarkan resep di fasilitas pelayanan kefarmasian.
    (2)
    Obat keras tertentu dengan indikasi dan/atau jumlah yang terbatas dapat diserahkan oleh apoteker dan/atau apoteker spesialis tanpa resep.
    (3)
    Obat keras tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi kriteria yang dapat berupa:
     
    a.
    Obat yang digunakan untuk pengobatan swamedikasi;
     
    b.
    Obat untuk penyakit kronis pada resep ulangan; atau
     
    c.
    Obat topikal.
    (4)
    Obat keras tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun dalam daftar yang ditetapkan oleh Menteri.
    (5)
    Daftar Obat keras tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditinjau sesuai dengan perkembangan kebutuhan Pelayanan Kesehatan serta ilmu pengetahuan dan teknologi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 923

    (1)
    Obat bebas dan Obat bebas terbatas dapat digunakan untuk swamedikasi.
    (2)
    Swamedikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penggunaan Obat yang dilakukan secara mandiri untuk mengatasi keluhan atau gejala penyakit.
    (3)
    Penyerahan Obat bebas dan Obat bebas terbatas harus dilakukan dalam satuan kemasan terkecil yang memuat informasi tentang Obat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 924

    (1)
    Pelayanan Obat dengan resep dapat menggunakan resep elektronik.
    (2)
    Pelayanan Obat dengan resep sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melalui Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
    (3)
    Pelayanan Obat dengan menggunakan resep elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan termasuk Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan Telemedisin.
    (4)
    Resep elektronik pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan Telemedisin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikecualikan untuk Obat yang mengandung narkotika dan psikotropika serta sediaan lain yang ditetapkan oleh Menteri.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai resep diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Penggolongan Obat Bahan Alam
     

    Pasal 925

    Penggolongan Obat Bahan Alam merupakan pembedaan kategori Obat Bahan Alam berdasarkan tingkat pembuktian empiris/bersumber dari pengetahuan tradisional dan/atau ilmiah dari keamanan dan khasiat serta standardisasi mutu dengan tujuan pemenuhan standar keamanan, manfaat, mutu, dan ketepatan penggunaan Obat Bahan Alam.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 926

    Obat Bahan Alam digolongkan menjadi:
    a.
    Jamu;
    b.
    Obat herbal terstandar;
    c.
    fitofarmaka; dan
    d.
    Obat Bahan Alam lainnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 927

    (1)
    Jamu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 926 huruf a merupakan Obat Bahan Alam berupa bahan atau ramuan yang bersumber dari pengetahuan tradisional atau warisan budaya Indonesia yang digunakan untuk pemeliharaan Kesehatan, peningkatan Kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan, dan/atau pemulihan Kesehatan.
    (2)
    Obat herbal terstandar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 926 huruf b merupakan Obat Bahan Alam yang telah digunakan secara turun-temurun di Indonesia yang digunakan untuk pemeliharaan Kesehatan, peningkatan Kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan, dan/atau pemulihan Kesehatan yang dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik serta bahan baku telah distandardisasi.
    (3)
    Fitofarmaka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 926 huruf c merupakan Obat Bahan Alam yang digunakan untuk pemeliharaan Kesehatan, peningkatan Kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan, dan/atau pemulihan Kesehatan yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik serta bahan baku dan produk jadinya telah distandardisasi.
    (4)
    Obat Bahan Alam lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 926 huruf d dapat berupa produk Obat Bahan Alam inovasi baru, produk Obat Bahan Alam impor, dan produk Obat Bahan Alam lisensi sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 928

    (1)
    Dalam hal terdapat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, Menteri dapat menetapkan dan/atau melakukan perubahan penggolongan Obat Bahan Alam selain penggolongan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 926.
    (2)
    Dalam hal terdapat pengajuan izin edar Obat Bahan Alam lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 926 huruf d yang belum ditetapkan penggolongannya, kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang pengawasan obat dan makanan dapat menetapkan penggolongan Obat Bahan Alam lainnya bersama dengan pemberian izin edar Obat Bahan Alam lainnya.
    (3)
    Dalam menetapkan penggolongan Obat Bahan Alam dan/atau melakukan perubahan penggolongan dapat melibatkan kementerian/lembaga terkait, praktisi, dan akademisi.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai penggolongan Obat Bahan Alam diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 929

    (1)
    Obat Bahan Alam dapat digunakan secara mandiri oleh masyarakat atau digunakan untuk kepentingan Pelayanan Kesehatan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
    (2)
    Obat Bahan Alam yang digunakan untuk kepentingan Pelayanan Kesehatan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan berdasarkan resep.
    (3)
    Obat Bahan Alam yang digunakan untuk kepentingan Pelayanan Kesehatan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan mengacu pada formularium yang ditetapkan oleh Menteri.
    (4)
    Dalam rangka penggunaan Obat Bahan Alam untuk kepentingan Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ilmu pengetahuan mengenai Obat Bahan Alam dapat dimasukkan ke dalam bahan ajar dalam pendidikan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.
    (5)
    Penyusunan bahan ajar dalam pendidikan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 930

    (1)
    Obat Bahan Alam yang digunakan secara mandiri oleh masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 929 ayat (1) dapat diperoleh dari fasilitas pelayanan kefarmasian atau fasilitas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Penyerahan Obat Bahan Alam harus dilakukan dalam satuan kemasan terkecil yang memuat informasi tentang Obat Bahan Alam.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Percepatan Pengembangan dan Ketahanan Industri Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan
     

    Pasal 931

    (1)
    Percepatan pengembangan dan ketahanan industri Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan ditujukan untuk membangun kemajuan Kesehatan nasional.
    (2)
    Upaya percepatan pengembangan dan ketahanan industri Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan dilakukan melalui peningkatan kemandirian Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan.
    (3)
    Peningkatan kemandirian Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui penelitian dan pengembangan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan serta penguatan tata kelola rantai pasok Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan dari hulu hingga hilir secara terintegrasi.
    (4)
    Peningkatan kemandirian Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan memperhatikan pemenuhan standar keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 932

    (1)
    Penelitian dan pengembangan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan diarahkan pada prioritas ketahanan Kesehatan nasional.
    (2)
    Prioritas ketahanan Kesehatan nasional disusun dengan mempertimbangkan kebutuhan Kesehatan masyarakat, kesenjangan pasar, keberlanjutan, serta rencana induk pembangunan industri nasional dan rencana induk pemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
    (3)
    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mengoordinasikan pelaksanaan penelitian dan pengembangan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan yang dilakukan oleh industri Sediaan Farmasi, industri Alat Kesehatan, lembaga penelitian, dan lembaga pendidikan yang termasuk dalam prioritas ketahanan Kesehatan nasional.
    (4)
    Penelitian dan pengembangan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan mengutamakan penggunaan bahan penelitian produksi dalam negeri.
    (5)
    Pelaksanaan penelitian dan pengembangan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan diutamakan berbentuk kemitraan publik dan swasta dalam rangka hilirisasi penelitian nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 933

    (1)
    Penelitian dan pengembangan Obat Bahan Alam dilakukan dengan mempertimbangkan ketersediaan bahan baku, proses produksi, serta pengujian dan penilaian keamanan, khasiat, dan mutu.
    (2)
    Ketersediaan bahan baku Obat Bahan Alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
     
    a.
    penyediaan bahan Obat Bahan Alam yang berorientasi mutu melalui sistem budidaya;
     
    b.
    peningkatan jumlah bahan Obat Bahan Alam melalui penambahan sentra budidaya dan perluasan sentra produksi bahan Obat Bahan Alam; dan
     
    c.
    penyediaan sumber daya manusia yang berkualitas untuk budidaya tanaman Obat Bahan Alam.
    (3)
    Proses produksi Obat Bahan Alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan:
     
    a.
    biaya yang sebanding dengan hasil produksi yang akan dihasilkan;
     
    b.
    kandungan senyawa aktif simplisia; dan
     
    c.
    kelestarian bahan baku tanaman Obat.
    (4)
    Pengujian dan penilaian keamanan, khasiat, dan mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan karakteristik dan spesifisitas Obat Bahan Alam.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 934

    (1)
    Pemerintah Pusat memfasilitasi pengujian dan penilaian keamanan, khasiat, dan mutu Obat Bahan Alam yang menjadi prioritas riset nasional.
    (2)
    Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
     
    a.
    prioritas pengujian dan penilaian keamanan, khasiat, dan mutu dalam rangka pendaftaran;
     
    b.
    pengurangan biaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau
     
    c.
    bimbingan teknis dalam proses pengujian dan penilaian keamanan, khasiat, dan mutu.
    (3)
    Ketentuan mengenai tata cara pengujian dan penilaian keamanan, khasiat, dan mutu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 935

    (1)
    Pemanfaatan sumber daya alam untuk penelitian dan pengembangan Obat Bahan Alam dan pemeliharaan Obat Bahan Alam dilakukan melalui pengaturan sistem budi daya pertanian berkelanjutan.
    (2)
    Pemanfaatan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penyerapan hasil panen, penyediaan bahan baku sesuai standar, dan penentuan kelayakan/kesesuaian harga.
    (3)
    Pemanfaatan sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui kemitraan yang melibatkan pelaku usaha dan petani.
    (4)
    Sistem budi daya pertanian berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 936

    (1)
    Industri Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan menyusun rencana produksi dengan mempertimbangkan rencana kebutuhan yang disusun oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan rencana induk bidang Kesehatan.
    (2)
    Penyusunan rencana produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 937

    (1)
    Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, masyarakat, dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus mengutamakan penggunaan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan dalam negeri dengan tetap memperhatikan mutu, kualitas, keamanan, dan kemanfaatan.
    (2)
    Penggunaan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sejalan dengan perkembangan kebutuhan Pelayanan Kesehatan dan ketahanan Kesehatan nasional.
    (3)
    Penggunaan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
    (4)
    Penggunaan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memperhatikan tingkat komponen dalam negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 938

    (1)
    Untuk menjaga keberlangsungan rantai pasok Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan dalam Pelayanan Kesehatan, Pemerintah Pusat melakukan pengendalian impor dan ekspor bahan baku dan produk jadi Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Tata kelola rantai pasok Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup perencanaan produksi, peningkatan kapasitas produksi, dukungan terhadap produksi dalam negeri, penerapan sistem informasi, serta pembinaan dan pengawasan.
    (3)
    Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, pelaku usaha, dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus menyampaikan data yang mendukung tata kelola rantai pasok Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan pada Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 939

    (1)
    Dalam rangka dukungan terhadap produksi Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan dalam negeri, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan insentif kepada industri Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan dan pelaku usaha yang berupaya mewujudkan ketahanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan.
    (2)
    Selain dukungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan kemudahan perizinan penelitian dan pendukung penelitian bagi lembaga dan/atau masyarakat yang melakukan penelitian.
    (3)
    Kemudahan perizinan penelitian dan pendukung penelitian bagi lembaga dan/atau masyarakat dapat berupa:
     
    a.
    percepatan perizinan lembaga penelitian dan/atau lembaga pendidikan;
     
    b.
    percepatan perizinan impor bahan dan alat tertentu yang digunakan untuk penelitian yang belum tersedia di dalam negeri; dan
     
    c.
    kemudahan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada industri Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan yang memenuhi kriteria:
     
    a.
    memberikan kontribusi terhadap penurunan impor Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan;
     
    b.
    mempercepat peningkatan ekspor Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan;
     
    c.
    menyerap tenaga kerja dan menggunakan sebagian besar sumber daya nasional;
     
    d.
    mengembangkan dan menjaga kelestarian sumber bahan baku Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan;
     
    e.
    melakukan, memanfaatkan, dan/atau ikut serta dalam transfer teknologi;
     
    f.
    melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan inovasi;
     
    g.
    melakukan kemitraan dengan lembaga penelitian, lembaga pendidikan, petani, usaha mikro, usaha kecil, dan koperasi; dan/atau
     
    h.
    melakukan kegiatan usaha yang mendukung prioritas ketahanan Kesehatan nasional.
    (5)
    Menteri dapat memfasilitasi pemberian kemudahan dan/atau dukungan kepada lembaga penelitian, lembaga pendidikan, institusi, masyarakat, dan/atau industri Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (6)
    Pemberian insentif bagi industri Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 940

    (1)
    Dalam rangka pemberian dukungan bagi penguasaan dan pemanfaatan teknologi dan inovasi serta penelitian dan pengembangan dalam bidang Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memfasilitasi proses alih teknologi yang diperlukan dalam produksi Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan.
    (2)
    Fasilitasi proses alih teknologi diutamakan pada peningkatan kapabilitas manufaktur industri Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan nasional, regional, dan global.
    (3)
    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat memfasilitasi pendanaan kemitraan publik dengan swasta dalam pengembangan industri Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan dalam negeri yang masih dalam tahap awal siklus industri dan sedang berkembang, yang membutuhkan perlindungan dari persaingan internasional sampai industri tersebut menjadi matang serta stabil.
    (4)
    Selain fasilitasi proses alih teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemberian dukungan juga dapat melalui kerja sama luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.
    (5)
    Kerja sama luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditujukan untuk meningkatkan investasi, sumber daya manusia, serta kapasitas produksi industri Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan dalam negeri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 941

    (1)
    Percepatan pengembangan dan ketahanan industri Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 931 sampai dengan Pasal 940 dilaksanakan secara terpadu antarkementerian/lembaga.
    (2)
    Pelaksanaan percepatan pengembangan dan ketahanan industri Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang investasi.
    (3)
    Ketentuan mengenai koordinasi percepatan pengembangan dan ketahanan industri Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang investasi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Standar, Sistem, dan Tata Kelola Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Perbekalan Kesehatan Lainnya pada Kondisi Darurat, Bencana, KLB, atau Wabah
     

    Pasal 942

    (1)
    Standar, sistem, dan tata kelola Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Perbekalan Kesehatan lainnya pada kondisi darurat, bencana, KLB, atau Wabah merupakan serangkaian kebijakan dalam rangka mitigasi risiko terhadap Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan lainnya yang diperlukan sebelum, selama, dan setelah terjadi kondisi darurat, bencana, KLB, atau Wabah.
    (2)
    Standar, sistem, dan tata kelola Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Perbekalan Kesehatan lainnya pada kondisi darurat, bencana, KLB, atau Wabah ditetapkan oleh Menteri untuk menjaga ketersediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Perbekalan Kesehatan lainnya yang aman, berkhasiat/bermanfaat, dan bermutu.
    (3)
    Pemerintah Daerah dalam menetapkan standar, sistem, dan tata kelola Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Perbekalan Kesehatan lainnya berdasarkan pada standar, sistem, dan tata kelola Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Perbekalan Kesehatan lainnya yang ditetapkan oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
    (4)
    Standar, sistem, dan tata kelola Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Perbekalan Kesehatan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan terhadap perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian, penggunaan, pengendalian, serta pencatatan dan pelaporan.
    (5)
    Pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan menggunakan Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 943

    (1)
    Dalam rangka mitigasi risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 942 ayat (1) dilakukan upaya pemetaan sumber dan upaya pemenuhan kebutuhan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Perbekalan Kesehatan lainnya pada kondisi darurat, bencana, KLB, atau Wabah.
    (2)
    Upaya pemetaan sumber Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Perbekalan Kesehatan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengidentifikasi sumber Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Perbekalan Kesehatan lainnya di wilayah regional dan internasional, dengan mempertimbangkan ketersediaan di dalam negeri.
    (3)
    Upaya pemenuhan kebutuhan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Perbekalan Kesehatan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
     
    a.
    penugasan terhadap industri Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan dalam negeri;
     
    b.
    penunjukan langsung badan usaha penyedia;
     
    c.
    kerja sama dengan lembaga/badan internasional atau pemerintah negara lain;
     
    d.
    fasilitasi pelaksanaan impor;
     
    e.
    pendanaan riset khusus;
     
    f.
    penerapan persetujuan penggunaan darurat;
     
    g.
    lisensi sukarela, lisensi wajib, atau pelaksanaan paten oleh pemerintah;
     
    h.
    penerapan pemasukan melalui mekanisme jalur khusus;
     
    i.
    pembatasan ekspor; dan/atau
     
    j.
    upaya lain sesuai dengan kebutuhan.
    (4)
    Upaya pemenuhan kebutuhan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Perbekalan Kesehatan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Ketentuan mengenai koordinasi dalam pelaksanaan standar, sistem, dan tata kelola Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Perbekalan Kesehatan lainnya pada kondisi darurat, bencana, KLB, atau Wabah diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 944

    (1)
    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan mitigasi risiko terhadap Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Perbekalan Kesehatan lainnya yang diperlukan dalam kondisi darurat, bencana, KLB, atau Wabah.
    (2)
    Mitigasi risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan melibatkan masyarakat secara terkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait.
    (3)
    Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan oleh perseorangan, kelompok, atau badan usaha.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VI
    SISTEM INFORMASI KESEHATAN
     
    Bagian Kesatu
    Umum
     

    Pasal 945

    Penyelenggaraan Sistem Informasi Kesehatan ditujukan untuk:
    a.
    menjamin ketersediaan, kualitas, akses, dan keamanan Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan;
    b.
    melaksanakan Upaya Kesehatan yang efektif, efisien, dan berkelanjutan;
    c.
    memberdayakan ekosistem Kesehatan; dan
    d.
    memperkuat koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi dalam mendukung pembangunan Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan
     

    Pasal 946

    (1)
    Sistem Informasi Kesehatan diselenggarakan oleh:
     
    a.
    Pemerintah Pusat;
     
    b.
    Pemerintah Daerah;
     
    c.
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan; dan
     
    d.
    masyarakat, baik perseorangan maupun kelompok.
    (2)
    Penyelenggaraan Sistem Informasi Kesehatan oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan melalui pengelolaan:
     
    a.
    Sistem Informasi Kesehatan Nasional diselenggarakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan; dan/atau
     
    b.
    Sistem Informasi Kesehatan yang diselenggarakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, kementerian/lembaga yang menyelenggarakan kegiatan di bidang Kesehatan, dan badan/lembaga yang menyelenggarakan program jaminan sosial nasional.
    (3)
    Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, mengintegrasikan dan menstandardisasi Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan sesuai dengan kewenangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Penyelenggaraan Sistem Informasi Kesehatan oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan melalui pengelolaan Sistem Informasi Kesehatan yang diselenggarakan oleh perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan dan perangkat daerah lain yang menyelenggarakan kegiatan yang berkaitan dengan bidang Kesehatan.
    (5)
    Penyelenggaraan Sistem Informasi Kesehatan oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilaksanakan melalui pengelolaan Sistem Informasi Kesehatan yang diselenggarakan oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
    (6)
    Penyelenggaraan Sistem Informasi Kesehatan oleh masyarakat, baik perseorangan maupun kelompok, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilaksanakan melalui pengelolaan:
     
    a.
    Sistem Informasi Kesehatan yang dikembangkan oleh komunitas, kader Kesehatan, atau sukarelawan;
     
    b.
    Sistem Informasi Kesehatan yang dikembangkan oleh perseorangan; dan/atau
     
    c.
    Sistem Informasi Kesehatan yang dikembangkan oleh korporasi,
     
    untuk kepentingan pemanfaatan di wilayah Indonesia dan/atau oleh warga negara Indonesia.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 947

    (1)
    Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 946 ayat (1) wajib mengintegrasikan Sistem Informasi Kesehatan dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
    (2)
    Pengintegrasian Sistem Informasi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi standar data dan standar interoperabilitas Sistem Informasi Kesehatan yang ditetapkan oleh Menteri dengan melibatkan kementerian/lembaga terkait.
    (3)
    Dalam menetapkan standar data, Menteri dapat menggunakan:
     
    a.
    standar nasional;
     
    b.
    standar internasional; dan/atau
     
    c.
    standar yang dipublikasikan oleh organisasi pengembang standar lainnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 948

    Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan Nasional berwenang untuk:
    a.
    melakukan pemrosesan Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan;
    b.
    menetapkan standar data dan standar interoperabilitas Sistem Informasi Kesehatan;
    c.
    memberikan akses data induk dan kode referensi kepada penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan untuk tujuan menjamin akurasi dan validitas Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan; dan
    d.
    memberikan hak akses terhadap Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan kepada penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan dan masyarakat sesuai dengan klasifikasi dan kewenangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 949

    (1)
    Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan melakukan pemrosesan Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan sesuai dengan standar data dan standar interoperabilitas Sistem Informasi Kesehatan yang ditetapkan oleh Menteri.
    (2)
    Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melakukan pembinaan dan fasilitasi pengembangan Sistem Informasi Kesehatan sesuai dengan lingkup kewenangannya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 950

    (1)
    Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan melaksanakan tata kelola Sistem Informasi Kesehatan yang mendukung pelayanan di bidang Kesehatan dengan mengacu pada arsitektur Sistem Informasi Kesehatan yang disusun berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri dan arsitektur Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
    (2)
    Arsitektur Sistem Informasi Kesehatan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kerangka dasar yang mendeskripsikan proses bisnis, data dan informasi, infrastruktur, aplikasi, keamanan, dan layanan yang terintegrasi, serta domain lain yang dibutuhkan, yang diterapkan secara nasional dan bertujuan sebagai panduan dan deskripsi operasional dalam pelaksanaan integrasi layanan Kesehatan.
    (3)
    Arsitektur Sistem Informasi Kesehatan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.
    (4)
    Arsitektur Sistem Informasi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun untuk jangka waktu 5 (lima) tahun.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Pengelolaan Data Kesehatan, Informasi Kesehatan, dan Indikator Kesehatan
     

    Pasal 951

    (1)
    Dalam rangka mendukung penyelenggaraan pembangunan Kesehatan, setiap penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan wajib melakukan pengelolaan Data Kesehatan, Informasi Kesehatan, dan indikator Kesehatan.
    (2)
    Data Kesehatan, Informasi Kesehatan, dan indikator Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terinci dan terklasifikasi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 952

    (1)
    Data Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 951 terdiri atas:
     
    a.
    data rutin; dan
     
    b.
    data nonrutin.
    (2)
    Data rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dikumpulkan secara teratur oleh penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan melalui pencatatan dan pelaporan atau cara lain.
    (3)
    Data nonrutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikumpulkan sewaktu-waktu oleh penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan sesuai dengan kebutuhan dan prioritas pembangunan Kesehatan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
    (4)
    Data nonrutin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas:
     
    a.
    data khusus; dan
     
    b.
    data luar biasa.
    (5)
    Data khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a meliputi data faktor risiko, data lingkungan, dan data lainnya yang mendukung program pembangunan Kesehatan.
    (6)
    Data luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b meliputi data yang dikumpulkan dalam KLB, Wabah, dan bencana.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 953

    Data Kesehatan harus terbuka untuk diakses oleh penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan yang mengelola Sistem Informasi Kesehatan sesuai dengan kewenangan masing-masing.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 954

    Data Kesehatan harus memenuhi standar yang meliputi:
    a.
    data sesuai dengan indikator Kesehatan;
    b.
    jenis, sifat, format, basis data, kodifikasi, dan metadata yang dapat dengan mudah diintegrasikan;
    c.
    akurat, jelas, dan dapat dipertanggungjawabkan; dan
    d.
    mampu rekam pada alat/sarana pencatatan, pengolahan, dan penyimpanan data yang andal, aman, dan mudah dioperasikan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 955

    Informasi Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 951 terdiri atas:
    a.
    informasi Upaya Kesehatan;
    b.
    informasi Sumber Daya Kesehatan;
    c.
    informasi penelitian dan pengembangan Kesehatan;
    d.
    informasi manajemen dan regulasi Kesehatan;
    e.
    informasi pemberdayaan masyarakat; dan
    f.
    informasi lainnya di bidang Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 956

    (1)
    Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 951 diklasifikasikan menjadi:
     
    a.
    data dan informasi publik; dan
     
    b.
    data dan informasi rahasia.
    (2)
    Data dan informasi publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan data dan Informasi Kesehatan yang disediakan penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan untuk diketahui masyarakat umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bidang keterbukaan informasi publik.
    (3)
    Data dan informasi rahasia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan data dan informasi yang harus dirahasiakan sesuai dengan etika, kontraktual, dan/atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 957

    (1)
    Indikator Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 951 mencakup:
     
    a.
    indikator Kesehatan nasional;
     
    b.
    indikator Kesehatan provinsi; dan
     
    c.
    indikator Kesehatan kabupaten/kota.
    (2)
    Indikator Kesehatan nasional ditetapkan oleh Menteri dengan mengacu pada indikator Kesehatan global.
    (3)
    Indikator Kesehatan provinsi ditetapkan oleh gubernur dengan mengacu pada indikator Kesehatan nasional.
    (4)
    Indikator Kesehatan kabupaten/kota ditetapkan oleh bupati/wali kota dengan mengacu pada indikator Kesehatan provinsi.
    (5)
    Gubernur dan bupati/wali kota dapat menambahkan indikator Kesehatan tambahan yang bersifat spesifik sesuai dengan keadaan dan kebutuhan daerah.
    (6)
    Perumusan setiap indikator Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk tujuan:
     
    a.
    mendukung prioritas pembangunan nasional dan sesuai dengan rencana pembangunan dan prioritas Presiden dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional dan/atau rencana kerja pemerintah;
     
    b.
    mendukung prioritas pembangunan Kesehatan sesuai dengan rencana strategis dan rencana induk bidang Kesehatan;
     
    c.
    mendukung pencapaian tujuan pembangunan Kesehatan berkelanjutan;
     
    d.
    mendukung pencapaian standar pelayanan minimal bidang Kesehatan; dan
     
    e.
    memenuhi kebutuhan program Kesehatan lainnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 958

    (1)
    Sistem Informasi Kesehatan memuat Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan yang bersumber dari:
     
    a.
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
     
    b.
    instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
     
    c.
    badan/lembaga yang menyelenggarakan program jaminan sosial nasional;
     
    d.
    badan/lembaga lain yang menyelenggarakan kegiatan di bidang Kesehatan;
     
    e.
    kegiatan masyarakat selain Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
     
    f.
    pelaporan mandiri perseorangan; dan
     
    g.
    sumber lainnya.
    (2)
    Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan yang bersumber dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a terdiri atas:
     
    a.
    rekam medis elektronik;
     
    b.
    data Pelayanan Kesehatan; dan
     
    c.
    Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan yang dihasilkan dari kegiatan sensus dan survei, penelitian, pelaporan, dan/atau cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan yang bersumber dari instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, badan/lembaga yang menyelenggarakan program jaminan sosial nasional, badan/lembaga lain yang menyelenggarakan kegiatan di bidang Kesehatan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sampai dengan huruf d berupa data dan informasi yang dihasilkan dari Sistem Informasi Kesehatan yang diselenggarakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan yang bersumber dari kegiatan masyarakat selain Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e berupa data dan informasi yang berasal dari:
     
    a.
    industri pendanaan Kesehatan;
     
    b.
    fasilitas produksi Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan;
     
    c.
    fasilitas distribusi Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan;
     
    d.
    industri makanan;
     
    e.
    pelaku usaha makanan dan minuman;
     
    f.
    lembaga penelitian;
     
    g.
    sekolah dan perguruan tinggi;
     
    h.
    organisasi profesi;
     
    i.
    penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan asing yang dipergunakan di wilayah Indonesia atau oleh warga negara Indonesia; atau
     
    j.
    penyelenggara sistem informasi lain yang menyelenggarakan kegiatan di bidang Kesehatan.
    (5)
    Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan yang bersumber dari pelaporan mandiri perseorangan sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf f berupa Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan yang diisi atau diserahkan secara mandiri oleh perseorangan dengan menggunakan sistem elektronik.
    (6)
    Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan yang bersumber dari sumber lainnya sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf g berupa data dan informasi yang berasal dari:
     
    a.
    setiap sistem elektronik yang memproses Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan;
     
    b.
    setiap perangkat Teknologi Kesehatan yang memproses Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan; dan/atau
     
    c.
    setiap aktivitas selain dari pemanfaatan sistem elektronik atau perangkat Teknologi Kesehatan yang memproses Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan.
    (7)
    Menteri menetapkan sumber data Sistem Informasi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai data rutin dan data nonrutin.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 959

    (1)
    Penyelenggaraan Sistem Informasi Kesehatan mendapatkan dukungan akses dan pemanfaatan data layanan publik untuk kepentingan pembangunan Kesehatan.
    (2)
    Dukungan akses dan pemanfaatan data layanan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari sektor layanan publik.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 960

    Dalam rangka efektivitas penyelenggaraan Sistem Informasi Kesehatan, Menteri mengembangkan data induk dan kode referensi Kesehatan sebagai kesatuan rujukan data dalam penyelenggaraan Sistem Informasi Kesehatan untuk dimanfaatkan bersama.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Pemrosesan Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan
     

    Pasal 961

    (1)
    Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan wajib melaksanakan pemrosesan Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan yang meliputi:
     
    a.
    perencanaan;
     
    b.
    pengumpulan;
     
    c.
    penyimpanan;
     
    d.
    pemeriksaan;
     
    e.
    transfer;
     
    f.
    pemanfaatan; dan
     
    g.
    pemusnahan.
    (2)
    Pemrosesan Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:
     
    a.
    data pribadi;
     
    b.
    data yang tidak dapat ditelusuri identitasnya atau berupa data agregat;
     
    c.
    informasi publik; dan/atau
     
    d.
    informasi rahasia.
    (3)
    Pemrosesan Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan berupa data pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan sesuai dengan prinsip pelindungan data pribadi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Pemrosesan data yang tidak dapat ditelusuri identitasnya atau berupa data agregat, informasi publik, dan/atau informasi rahasia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 962

    Setiap penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan merupakan pengendali data pribadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pelindungan data pribadi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 963

    (1)
    Pemrosesan Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan yang menggunakan Data Kesehatan individu wajib mendapatkan persetujuan dari pemilik data dan/atau memenuhi ketentuan lain yang menjadi dasar pemrosesan data pribadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pelindungan data pribadi.
    (2)
    Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan wajib memberitahukan kepada pemilik data mengenai pemrosesan data pribadinya.
    (3)
    Pemilik data yang tidak menyetujui pemrosesan data pribadinya wajib menyampaikan pernyataan tertulis atau secara elektronik kepada Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 964

    (1)
    Perencanaan Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 961 ayat (1) huruf a ditujukan untuk menentukan daftar Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan yang akan dikumpulkan.
    (2)
    Perencanaan Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan didasarkan pada arsitektur Sistem Informasi Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 950.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 965

    (1)
    Pengumpulan Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 961 ayat (1) huruf b dilaksanakan sesuai dengan hasil perencanaan Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan.
    (2)
    Pengumpulan Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui kegiatan:
     
    a.
    Pelayanan Kesehatan;
     
    b.
    penyelenggaraan rekam medis elektronik;
     
    c.
    surveilans Kesehatan;
     
    d.
    sensus dan survei;
     
    e.
    penelitian dan pengembangan Kesehatan;
     
    f.
    layanan Telekesehatan;
     
    g.
    pemanfaatan teknologi dan sumber lain yang sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dapat dipertanggungjawabkan; dan/atau
     
    h.
    cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 966

    (1)
    Penyimpanan Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 961 ayat (1) huruf c dilaksanakan dalam pangkalan data pada tempat yang aman dan tidak rusak atau mudah hilang dengan menggunakan media penyimpanan elektronik dan/atau nonelektronik.
    (2)
    Pangkalan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pusat data yang berada di dalam wilayah negara Indonesia.
    (3)
    Pusat data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menggunakan media penyimpanan elektronik dan/atau nonelektronik berupa:
     
    a.
    server;
     
    b.
    sistem komputasi awan; dan/atau
     
    c.
    media penyimpanan lain sesuai dengan perkembangan teknologi.
    (4)
    Penyimpanan Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki cadangan data.
    (5)
    Penyimpanan Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan dapat dilakukan dengan menggunakan jasa dan fasilitas selain milik penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan, dengan ketentuan:
     
    a.
    dilaksanakan di dalam wilayah negara Indonesia;
     
    b.
    berdasarkan perjanjian kerja sama yang memuat paling sedikit ketentuan mengenai kerahasiaan, tingkat layanan, dan target tingkat layanan;
     
    c.
    Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan dimiliki dan dikendalikan secara penuh oleh penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan; dan
     
    d.
    memenuhi kewajiban prosesor data sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (6)
    Pusat data sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memiliki keterhubungan dengan pusat data nasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (7)
    Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan wajib mencatat riwayat pengelolaan Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan, termasuk data yang dimusnahkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 967

    (1)
    Pemeriksaan Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 961 ayat (1) huruf d dilaksanakan dalam rangka menjamin kualitas data dan informasi.
    (2)
    Pemeriksaan Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan menilai aspek:
     
    a.
    keakuratan;
     
    b.
    kelengkapan;
     
    c.
    keunikan;
     
    d.
    konsistensi;
     
    e.
    aktualitas; dan/atau
     
    f.
    keabsahan.
    (3)
    Pemeriksaan Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk melakukan pemeriksaan kesesuaian Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan dengan standar Data Kesehatan yang ditetapkan oleh Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 968

    (1)
    Pemeriksaan Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan dilaksanakan oleh unit dan/atau perseorangan yang memiliki kompetensi yang relevan terkait pemeriksaan data yang ditentukan oleh penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan.
    (2)
    Pemeriksaan Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari kegiatan secara rutin atau sewaktu-waktu dan berjenjang sesuai pedoman pemeriksaan.
    (3)
    Pemeriksaan Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan secara sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan permintaan pemilik data.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 969

    Dalam pemeriksaan Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan, penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan melakukan:
    a.
    validasi atas keakuratan Data Kesehatan yang berbasis data kependudukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
    b.
    verifikasi, perbaikan, dan/atau klarifikasi dalam hal terdapat kesalahan dan/atau ketidakakuratan Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 970

    (1)
    Transfer Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 961 ayat (1) huruf e dilaksanakan antarpenyelenggara Sistem Informasi Kesehatan melalui Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
    (2)
    Transfer Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan selain dilaksanakan antarpenyelenggara Sistem Informasi Kesehatan, juga dapat dilakukan dengan pihak lain.
    (3)
    Transfer Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan antara penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan dengan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan:
     
    a.
    berdasarkan perjanjian kerja sama; dan/atau
     
    b.
    melalui portal bagi pakai data bidang Kesehatan.
    (4)
    Perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a merupakan kerja sama antara penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan dengan pihak lain yang paling sedikit memuat kesepakatan:
     
    a.
    hak dan kewajiban;
     
    b.
    tujuan pemanfaatan;
     
    c.
    keamanan dan kerahasiaan;
     
    d.
    mekanisme pemrosesan data dan informasi; dan/atau
     
    e.
    hak kekayaan intelektual.
    (5)
    Transfer Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan yang dilaksanakan melalui portal bagi pakai data bidang Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b tidak memerlukan perjanjian kerja sama dan dilakukan terhadap Data Kesehatan yang bersifat agregat dan Informasi Kesehatan yang terbuka.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 971

    (1)
    Dalam rangka melaksanakan transfer Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 970 dilakukan persiapan yang memuat analisis risiko yang paling sedikit meliputi:
     
    a.
    kebutuhan Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan;
     
    b.
    standar data dan standar interoperabilitas;
     
    c.
    rencana pemrosesan; dan
     
    d.
    keamanan sistem informasi.
    (2)
    Transfer Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan dilaksanakan melalui upaya penyediaan, penerimaan, dan/atau pertukaran Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan dalam bentuk:
     
    a.
    penampilan;
     
    b.
    pengumuman;
     
    c.
    penyebarluasan; dan/atau
     
    d.
    pengungkapan.
    (3)
    Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan melaksanakan pemantauan pelaksanaan transfer Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan melalui evaluasi:
     
    a.
    pemanfaatan Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan;
     
    b.
    keamanan sistem informasi; dan/atau
     
    c.
    penerapan pelindungan data pribadi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 972

    (1)
    Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan dapat melakukan transfer Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan ke luar wilayah hukum negara Republik Indonesia untuk kepentingan pertukaran Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan.
    (2)
    Transfer Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan ke luar wilayah hukum negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk tujuan spesifik dan terbatas, terdiri atas:
     
    a.
    penanggulangan KLB;
     
    b.
    Wabah;
     
    c.
    ibadah haji;
     
    d.
    perjanjian alih material;
     
    e.
    kerja sama internasional di bidang Kesehatan; atau
     
    f.
    tujuan penggunaan Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan lainnya.
    (3)
    Transfer Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus:
     
    a.
    mendapatkan izin dari Menteri; dan
     
    b.
    memenuhi persyaratan transfer data pribadi ke luar wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 973

    (1)
    Pemanfaatan Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 961 ayat (1) huruf f dilaksanakan untuk:
     
    a.
    Kesehatan perseorangan;
     
    b.
    Kesehatan masyarakat;
     
    c.
    pembangunan Kesehatan; dan
     
    d.
    pengambilan kebijakan.
    (2)
    Pemanfaatan Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan dilaksanakan berdasarkan:
     
    a.
    klasifikasi Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan; dan
     
    b.
    hak akses.
    (3)
    Hak akses sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b ditetapkan oleh penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Masyarakat berhak untuk memanfaatkan Data Kesehatan yang bersifat agregat dan Informasi Kesehatan yang terbuka.
    (5)
    Penyelenggara Sistem· Informasi Kesehatan menyediakan dan/atau menampilkan Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan dengan bentuk atau format yang dapat dipahami dan mudah diakses oleh masyarakat dalam rangka memperoleh Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan miliknya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 974

    (1)
    Pemusnahan Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 961 ayat (1) huruf g dilakukan oleh penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan dalam hal telah mencapai masa retensinya dan berketerangan dimusnahkan berdasarkan jadwal retensi arsip.
    (2)
    Pemusnahan Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat dilakukan berdasarkan:
     
    a.
    permintaan dari pemilik data sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
     
    b.
    telah tercapainya tujuan penyelenggaraan Sistem Informasi Kesehatan.
    (3)
    Masa retensi Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
     
    a.
    paling singkat 25 (dua puluh lima) tahun, untuk Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan elektronik; dan
     
    b.
    paling singkat 10 (sepuluh) tahun, untuk Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan nonelektronik.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 975

    (1)
    Pemusnahan Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan berdasarkan permintaan dari pemilik data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 974 ayat (2) huruf a disampaikan kepada penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan melalui Sistem Informasi Kesehatan dan/atau Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
    (2)
    Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan dan/atau Sistem Informasi Kesehatan Nasional melakukan penilaian pemenuhan syarat pemusnahan Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan dalam waktu paling lama 7x24 (tujuh kali dua puluh empat) jam setelah menerima permintaan pemusnahan Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan dari pemilik data.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 976

    (1)
    Pemusnahan Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 975 dikecualikan untuk Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan terkait:
     
    a.
    penanggulangan penyakit;
     
    b.
    kepentingan statistik dan penelitian ilmiah;
     
    c.
    pertahanan dan keamanan; dan/atau
     
    d.
    proses penegakan hukum.
    (2)
    Pemusnahan Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan yang terkait dengan data pribadi dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 977

    (1)
    Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan wajib mencatat riwayat pemrosesan Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan.
    (2)
    Pencatatan riwayat pemrosesan Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui perekaman secara elektronik dan/atau nonelektronik.
    (3)
    Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan memberikan akses kepada pemilik data terhadap catatan riwayat pemrosesan Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    (4)
    Pemberian akses catatan riwayat pemrosesan Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Sumber Daya Sistem Informasi Kesehatan
     

    Pasal 978

    (1)
    Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan harus menyediakan sumber daya Sistem Informasi Kesehatan.
    (2)
    Sumber daya Sistem Informasi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    infrastruktur;
     
    b.
    layanan; dan
     
    c.
    sumber daya manusia.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 979

    (1)
    Infrastruktur Sistem Informasi Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 978 ayat (2) huruf a terdiri atas:
     
    a.
    perangkat keras; dan
     
    b.
    perangkat lunak.
    (2)
    Infrastruktur Sistem Informasi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal harus memiliki kemampuan:
     
    a.
    keamanan, interkonektivitas, kompatibilitas, dan keandalan operasi dengan sistem yang digunakan;
     
    b.
    menyimpan Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
     
    c.
    membuat cadangan data secara otomatis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Penggunaan infrastruktur Sistem Informasi Kesehatan harus:
     
    a.
    menjamin ketersediaan layanan;
     
    b.
    memiliki jaminan keberlanjutan layanan;
     
    c.
    menyesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan teknologi informasi;
     
    d.
    menjamin kepemilikan hak kekayaan intelektual sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan;
     
    e.
    mudah diperbaiki dengan cepat jika mengalami gangguan, kerusakan, atau insiden yang tidak diinginkan dalam masa pengoperasiannya; dan
     
    f.
    adaptif atau mudah terhubung dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 980

    Penyediaan infrastruktur Sistem Informasi Kesehatan dapat dilaksanakan melalui kerja sama dengan pihak ketiga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 981

    (1)
    Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan wajib melakukan uji kelaikan sebelum pemanfaatan infrastruktur Sistem Informasi Kesehatan.
    (2)
    Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan harus membuat pedoman teknis dan operasional pemeliharaan dan pemantauan infrastruktur Sistem Informasi Kesehatan.
    (3)
    Penyediaan infrastruktur Sistem Informasi Kesehatan yang pembiayaannya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 982

    (1)
    Menteri dapat memberikan dukungan pengelolaan Sistem Informasi Kesehatan dalam penyediaan infrastruktur Sistem Informasi Kesehatan kepada penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan.
    (2)
    Dukungan pengelolaan Sistem Informasi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan pertimbangan:
     
    a.
    keterbatasan sumber daya Sistem Informasi Kesehatan; dan/atau
     
    b.
    kepentingan pengembangan Sistem Informasi Kesehatan lainnya.
    (3)
    Dukungan pengelolaan Sistem Informasi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling sedikit dalam bentuk:
     
    a.
    pelatihan atau bimbingan teknis; dan/atau
     
    b.
    fasilitasi perangkat lunak.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 983

    (1)
    Layanan Sistem Informasi Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 978 ayat (2) huruf b dilaksanakan untuk menjamin keberlangsungan dan meningkatkan kualitas penyelenggaraan Sistem Informasi Kesehatan.
    (2)
    Layanan Sistem Informasi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan terhadap:
     
    a.
    kendala atau gangguan;
     
    b.
    permintaan; dan/atau
     
    c.
    perubahan.
    (3)
    Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan menetapkan standar layanan sesuai dengan lingkup dan kewenangan penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan.
    (4)
    Standar layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit memuat:
     
    a.
    skala prioritas;
     
    b.
    indikator layanan;
     
    c.
    waktu layanan;
     
    d.
    saluran layanan; dan
     
    e.
    pelaksana.
    (5)
    Pimpinan penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan melakukan evaluasi berkala terhadap penerapan standar layanan Sistem Informasi Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 984

    (1)
    Sumber daya manusia Sistem Informasi Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 978 ayat (2) huruf c ditujukan untuk menjamin keberlangsungan dan peningkatan mutu layanan Sistem Informasi Kesehatan.
    (2)
    Sumber daya manusia Sistem Informasi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
     
    a.
    tenaga pengelola; dan
     
    b.
    tenaga khusus.
    (3)
    Tenaga pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan sumber daya manusia yang mengelola penyelenggaraan Sistem Informasi Kesehatan.
    (4)
    Tenaga khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan sumber daya manusia yang memiliki keahlian tertentu untuk mendukung penyelenggaraan Sistem Informasi Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    Keandalan Sistem Informasi Kesehatan
     

    Pasal 985

    (1)
    Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan wajib memastikan keandalan Sistem Informasi Kesehatan meliputi:
     
    a.
    ketersediaan;
     
    b.
    keamanan;
     
    c.
    pemeliharaan; dan
     
    d.
    integrasi.
    (2)
    Ketersediaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan upaya untuk memastikan keberlangsungan pemrosesan data dan Informasi dalam Sistem Informasi Kesehatan.
    (3)
    Keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan upaya untuk memastikan data dan Informasi, infrastruktur, dan transaksi elektronik bebas dari gangguan atau kegagalan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan upaya untuk menjaga infrastruktur Sistem Informasi Kesehatan dan transaksi elektronik tetap dapat berfungsi dan beroperasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Integrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan upaya untuk memastikan setiap Sistem Informasi Kesehatan terhubung dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 986

    (1)
    Keandalan Sistem Informasi Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 985 dilaksanakan dengan upaya:
     
    a.
    menguji kelaikan sistem;
     
    b.
    menjaga kerahasiaan data;
     
    c.
    menentukan kebijakan hak akses data;
     
    d.
    memiliki sertifikasi keandalan sistem; dan
     
    e.
    melakukan audit secara berkala.
    (2)
    Upaya menguji kelaikan sistem sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan upaya untuk menilai secara objektif terhadap penyelenggaraan Sistem Informasi Kesehatan.
    (3)
    Pengujian kelaikan Sistem Informasi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan secara mandiri oleh penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan dan/atau oleh institusi yang berwenang dan berkompeten sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (4)
    Upaya menjaga kerahasiaan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan upaya untuk menjamin Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan hanya dapat diakses oleh pihak yang berhak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan melalui penetapan klasifikasi keamanan, pembatasan akses, dan pengendalian keamanan lainnya.
    (5)
    Dalam upaya menjaga kerahasiaan data sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan menerapkan pelindungan dalam:
     
    a.
    aspek teknologi;
     
    b.
    aspek organisasi; dan
     
    c.
    aspek sumber daya manusia.
    (6)
    Pelindungan dalam aspek teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a dilaksanakan dengan memastikan Sistem Informasi Kesehatan telah menerapkan pemeliharaan dan pengamanan berlapis untuk memastikan keamanan dan keandalan sistem serta pelindungan data pribadi.
    (7)
    Pelindungan dalam aspek organisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dilaksanakan melalui:
     
    a.
    analisis penilaian dampak teknologi;
     
    b.
    analisis penilaian dampak pelindungan data pribadi;
     
    c.
    penunjukan pejabat atau petugas yang melaksanakan fungsi pelindungan data pribadi;
     
    d.
    penanganan insiden siber; dan
     
    e.
    penyusunan standar operasional prosedur keamanan Sistem Informasi Kesehatan.
    (8)
    Pelindungan dalam aspek sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c dilaksanakan dalam bentuk peningkatan kompetensi di bidang Sistem Informasi Kesehatan melalui kegiatan pelatihan dan sosialisasi.
    (9)
    Upaya menentukan kebijakan hak akses data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilaksanakan dalam bentuk penetapan kriteria, batasan, dan hak akses pemilik data terhadap Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (10)
    Upaya memiliki sertifikasi keandalan sistem sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d ditujukan untuk menjamin transaksi dalam Sistem Informasi Kesehatan telah lulus audit dan uji kesesuaian dari lembaga sertifikasi keandalan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (11)
    Upaya melakukan audit secara berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e ditujukan paling sedikit terhadap:
     
    a.
    penerapan tata kelola Sistem Informasi Kesehatan;
     
    b.
    fungsionalitas infrastruktur Sistem Informasi Kesehatan; dan/atau
     
    c.
    aspek Sistem Informasi Kesehatan lainnya.
    (12)
    Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (11) dapat dilaksanakan oleh kementerian/lembaga yang berwenang atau lembaga pelaksana audit teknologi informasi yang terakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 987

    (1)
    Penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan wajib melakukan evaluasi berkala terhadap efisiensi dan efektivitas dalam penyediaan dan pemanfaatan infrastruktur Sistem Informasi Kesehatan.
    (2)
    Hasil evaluasi pemanfaatan infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjadi dasar pertimbangan bagi penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan untuk melakukan:
     
    a.
    perbaikan dan peningkatan kapasitas infrastruktur Sistem Informasi Kesehatan;
     
    b.
    penyederhanaan proses bisnis infrastruktur Sistem Informasi Kesehatan;
     
    c.
    melakukan penggabungan atau integrasi berbagai infrastruktur ke dalam satu infrastruktur; atau
     
    d.
    menghapus atau menonaktifkan infrastruktur Sistem Informasi Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketujuh
    Pengendalian
     

    Pasal 988

    Menteri melakukan pengendalian terhadap pemrosesan Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan/atau pemrosesan data pribadi warga negara Indonesia yang dilakukan oleh penyelenggara Sistem Informasi Kesehatan berbadan hukum asing atau beroperasi secara internasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 989

    (1)
    Menteri melakukan pengendalian terhadap penyedia Sistem Informasi Kesehatan.
    (2)
    Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan meliputi:
     
    a.
    pendataan;
     
    b.
    standardisasi data; dan
     
    c.
    integrasi sistem yang dikembangkan oleh penyedia Sistem Informasi Kesehatan.
    (3)
    Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 990

    Ketentuan lebih lanjut mengenai teknis penyelenggaraan Sistem Informasi Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 945 sampai dengan Pasal 989 diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedelapan
    Pembinaan dan Pengawasan
     

    Pasal 991

    (1)
    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Sistem Informasi Kesehatan sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing.
    (2)
    Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk:
     
    a.
    mempercepat pelaksanaan integrasi Sistem Informasi Kesehatan ke Sistem Informasi Kesehatan Nasional;
     
    b.
    meningkatkan mutu dan kualitas penyelenggaraan Sistem Informasi Kesehatan;
     
    c.
    mengembangkan Sistem Informasi Kesehatan yang efisien dan efektif; dan
     
    d.
    mempercepat proses pengelolaan Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VII
    PENYELENGGARAAN TEKNOLOGI KESEHATAN
     
    Bagian Kesatu
    Umum
     

    Pasal 992

    (1)
    Teknologi Kesehatan diselenggarakan, dihasilkan, diedarkan, dikembangkan, dan dievaluasi melalui penelitian, pengembangan, dan pengkajian untuk peningkatan Sumber Daya Kesehatan dan Upaya Kesehatan.
    (2)
    Selain untuk peningkatan Sumber Daya Kesehatan dan Upaya Kesehatan, Teknologi Kesehatan juga ditujukan untuk meningkatkan Pelayanan Kesehatan primer, Pelayanan Kesehatan lanjutan, sistem ketahanan Kesehatan, sistem pendanaan Kesehatan, Sumber Daya Manusia Kesehatan, serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi Pelayanan Kesehatan.
    (3)
    Teknologi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 993

    Teknologi Kesehatan dilakukan dengan cara:
    a.
    penelitian, pengembangan, dan pengkajian;
    b.
    pelaksanaan inovasi Teknologi Kesehatan;
    c.
    penilaian Teknologi Kesehatan; dan
    d.
    pemanfaatan Teknologi Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Penelitian, Pengembangan, dan Pengkajian
     

    Pasal 994

    Penelitian, pengembangan, dan pengkajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 993 huruf a dilaksanakan melalui tahapan:
    a.
    perencanaan;
    b.
    pelaksanaan; dan
    c.
    pemantauan dan evaluasi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 995

    (1)
    Perencanaan penelitian, pengembangan, dan pengkajian Teknologi Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 994 huruf a disusun oleh Menteri berkoordinasi dengan kepala lembaga pemerintah yang menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan serta invensi dan inovasi dalam rangka meningkatkan penyelenggaraan Sumber Daya Kesehatan dan Upaya Kesehatan.
    (2)
    Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan mengacu pada rencana induk bidang Kesehatan dan memperhatikan:
     
    a.
    program prioritas pembangunan Kesehatan;
     
    b.
    determinan sosial Kesehatan;
     
    c.
    gangguan lingkungan dan ancaman global;
     
    d.
    transisi demografi dan transisi epidemiologi; dan/atau
     
    e.
    perkembangan ilmu pengetahuan dan Teknologi Kesehatan dan kedokteran.
    (3)
    Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan dapat dievaluasi setiap tahun.
    (4)
    Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
     
    a.
    tujuan dan arah kebijakan;
     
    b.
    sasaran, strategi, dan program kerja; dan
     
    c.
    rincian kegiatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 996

    (1)
    Pelaksanaan penelitian, pengembangan, dan pengkajian Teknologi Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 994 huruf b dapat melalui kemitraan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.
    (2)
    Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara kerja sama atau bentuk lainnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 997

    Dalam rangka pelaksanaan penelitian, pengembangan, dan pengkajian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 996, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat dapat menetapkan pusat unggulan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 998

    (1)
    Pelaksanaan penelitian, pengembangan, dan pengkajian dapat memanfaatkan hewan coba, tumbuhan, mikroorganisme dan bahan biologi tersimpan, atau mengikutsertakan manusia sebagai subjek.
    (2)
    Pelaksanaan penelitian, pengembangan, dan pengkajian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi:
     
    a.
    kaidah etik;
     
    b.
    kaidah ilmiah;
     
    c.
    metodologi ilmiah; dan
     
    d.
    izin dari pihak yang berwenang.
    (3)
    Selain memenuhi kaidah atau ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pelaksanaan penelitian, pengembangan, dan pengkajian juga memperhatikan aspek pelindungan data.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 999

    (1)
    Setiap penelitian, pengembangan, dan pengkajian yang memanfaatkan hewan coba, tumbuhan, mikroorganisme, dan bahan biologi tersimpan, atau mengikutsertakan manusia sebagai subjek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 998 wajib mendapat persetujuan etik penelitian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan.
    (2)
    Persetujuan etik penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diperoleh sebelum penelitian dilaksanakan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1000

    Persetujuan etik penelitian yang mengikutsertakan manusia sebagai subjek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 999 diberikan berdasarkan prinsip:
    a.
    menghormati harkat martabat manusia;
    b.
    berbuat baik dan tidak merugikan; dan
    c.
    berkeadilan.
     

    Pasal 1001

    (1)
    Penelitian yang mengikutsertakan manusia sebagai subjek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 998 ayat (1) harus mendapat persetujuan dari pihak yang menjadi subjek penelitian.
    (2)
    Dalam hal pihak yang menjadi subjek penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak cakap dalam memberikan persetujuan, persetujuan dapat diberikan oleh orang tua, wali, atau pengampu.
    (3)
    Penelitian yang mengikutsertakan keluarga sebagai subjek penelitian harus mendapat persetujuan yang diberikan oleh kepala keluarga yang bersangkutan.
    (4)
    Penelitian yang mengikutsertakan masyarakat di daerah tertentu sebagai subjek penelitian harus mendapat persetujuan yang diberikan oleh kepala daerah yang bersangkutan.
    (5)
    Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) berupa persetujuan tertulis.
    (6)
    Dalam hal subjek penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak dapat memberikan persetujuan tertulis, persetujuan dapat diberikan melalui rekaman video dan rekaman suara yang didokumentasikan.
    (7)
    Pihak yang memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) berhak mendapat informasi terlebih dahulu dari pelaksana penelitian sebelum memberikan persetujuan.
    (8)
    Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) berupa informasi mengenai:
     
    a.
    tujuan penelitian serta penggunaan hasil penelitian;
     
    b.
    jaminan kerahasiaan tentang identitas dan data pribadi;
     
    c.
    metode yang digunakan;
     
    d.
    risiko yang mungkin timbul; dan
     
    e.
    hal lain yang perlu diketahui dalam rangka penelitian.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1002

    Penyelenggara Penelitian yang mengikutsertakan manusia sebagai subjek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1001 tidak membebankan biaya apapun kepada subjek penelitian.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1003

    (1)
    Penelitian dengan memanfaatkan hewan coba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 999 ayat (1) merupakan kegiatan pemanfaatan hewan sebagai hewan laboratorium dan hewan model penelitian dan/atau pemanfaatan organ hewan untuk kesejahteraan manusia yang diterapkan pada ilmu kedokteran perbandingan.
    (2)
    Penelitian dengan memanfaatkan hewan coba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan kesejahteraan hewan tersebut dan mencegah dampak buruk yang tidak langsung bagi Kesehatan manusia.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1004

    Persetujuan etik penelitian dengan memanfaatkan hewan coba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 999 diberikan berdasarkan prinsip:
    a.
    penggantian hewan dengan alternatif lain;
    b.
    jumlah sesedikit mungkin; dan
    c.
    kesejahteraan hewan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1005

    Persetujuan etik penelitian yang memanfaatkan tumbuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 999 diberikan dengan memperhatikan prinsip:
    a.
    menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup; dan
    b.
    manfaat bagi Kesehatan masyarakat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1006

    Persetujuan etik penelitian yang memanfaatkan mikroorganisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 999 diberikan dengan memperhatikan prinsip:
    a.
    keselamatan dan keamanan hayati;
    b.
    menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup; dan
    c.
    manfaat bagi Kesehatan masyarakat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1007

    Persetujuan etik penelitian yang memanfaatkan bahan biologi tersimpan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 999 diberikan dengan memperhatikan prinsip persetujuan etik penelitian bagi sumber bahan biologi tersimpan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1008

    Pelaksanaan etik penelitian Kesehatan diselenggarakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1009

    (1)
    Penelitian yang mengikutsertakan manusia sebagai subjek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 998 ayat (1) dapat dilaksanakan dalam bentuk uji klinik.
    (2)
    Uji klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh penyelenggara uji klinik.
    (3)
    Penyelenggara uji klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus melaksanakan uji klinik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan atau fasilitas lainnya di bawah pengawasan Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
    (4)
    Penyelenggaraan uji klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi cara uji klinik yang baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1010

    (1)
    Dalam penyelenggaraan uji klinik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1009 dapat menggunakan material, muatan informasi, dan/atau data.
    (2)
    Penggunaan material, muatan informasi, dan/atau data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam perjanjian uji klinik.
    (3)
    Dalam hal terdapat sisa material, muatan informasi, dan/atau data dalam penyelenggaraan uji klinik, sisa tersebut wajib dimusnahkan yang dibuktikan dengan berita acara pemusnahan.
    (4)
    Dikecualikan dari ketentuan ayat (3), sisa material, muatan informasi, dan/atau data dapat digunakan untuk tujuan pembangunan Kesehatan atau tujuan lain yang ditetapkan oleh Menteri.
    (5)
    Penggunaan sisa material, muatan informasi, dan/atau data pembangunan Kesehatan atau tujuan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1011

    (1)
    Penyelenggara uji klinik wajib melakukan registrasi uji klinik.
    (2)
    Registrasi uji klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Menteri.
    (3)
    Registrasi uji klinik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
    (4)
    Ketentuan mengenai registrasi penyelenggara uji klinik diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1012

    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah secara terkoordinasi melaksanakan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan penelitian, pengembangan, dan pengkajian.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1013

    (1)
    Pemantauan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1012 dilaksanakan dalam rangka pengendalian dan menjamin mutu pelaksanaan penelitian, pengembangan dan pengkajian sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 994.
    (2)
    Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit dalam bentuk:
     
    a.
    sistem pencatatan;
     
    b.
    verifikasi lapangan; atau
     
    c.
    bentuk pemantauan lainnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1014

    (1)
    Evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1012 dilaksanakan untuk perbaikan pelaksanaan penelitian, pengembangan, dan pengkajian di masa yang akan datang.
    (2)
    Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan rencana penelitian, pengembangan, dan pengkajian serta persetujuan etik penelitian.
    (3)
    Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Pelaksanaan Inovasi Teknologi Kesehatan
     

    Pasal 1015

    (1)
    Inovasi Teknologi Kesehatan merupakan segala bentuk pembaruan terhadap Teknologi Kesehatan yang mampu menambah ketepatan, kecepatan, keamanan, dan kualitas Sumber Daya Kesehatan dan Upaya Kesehatan.
    (2)
    Penyelenggaraan inovasi Teknologi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1016

    (1)
    Pemerintah Pusat menyelenggarakan kebijakan untuk memastikan keberlanjutan dan kemanfaatan inovasi Teknologi Kesehatan melalui pengujian skala terbatas atas Teknologi Kesehatan, serta kemudahan berinovasi dalam bentuk perizinan, pemanfaatan produk Teknologi Kesehatan dan pengembangan ekosistem inovasi Teknologi Kesehatan.
    (2)
    Pengujian skala terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pendekatan kolaborasi lintas pemangku kebijakan untuk mendorong:
     
    a.
    pengembangan inovasi;
     
    b.
    perluasan pemanfaatan produk/layanan; dan
     
    c.
    pembentukan kebijakan berbasis inovasi.
    (3)
    Lingkup pengujian skala terbatas meliputi:
     
    a.
    mutu tata kelola;
     
    b.
    jaminan manfaat dan keamanan teknologi;
     
    c.
    perizinan dan pelindungan konsumen; dan
     
    d.
    Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, dan masyarakat yang terlibat dalam ekosistem inovasi Teknologi Kesehatan.
    (4)
    Pemerintah Pusat dalam mengembangkan ekosistem inovasi Teknologi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mengutamakan sumber daya lokal serta memanfaatkan kerja sama dalam negeri dan luar negeri.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pengujian skala terbatas dan kemudahan berinovasi diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Penilaian Teknologi Kesehatan
     

    Pasal 1017

    (1)
    Setiap pemanfaatan Teknologi Kesehatan harus mempertimbangkan potensi risiko dan manfaatnya terhadap Kesehatan masyarakat.
    (2)
    Dalam mempertimbangkan potensi risiko dan manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan penilaian Teknologi Kesehatan.
    (3)
    Penilaian Teknologi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan evaluasi sistematik dan multidisiplin terhadap hasil Teknologi Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1018

    (1)
    Penilaian Teknologi Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1017 dilakukan pada Teknologi Kesehatan yang digunakan dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan.
    (2)
    Penilaian Teknologi Kesehatan dilakukan terhadap Teknologi Kesehatan dengan kriteria:
     
    a.
    volume tinggi;
     
    b.
    risiko tinggi;
     
    c.
    biaya tinggi;
     
    d.
    variabilitas tinggi;
     
    e.
    memiliki urgensi dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan;
     
    f.
    memiliki dampak untuk memperbaiki akses, kualitas, dan Kesehatan bagi masyarakat;
     
    g.
    memiliki potensi penghematan biaya atau keterjangkauan biaya; dan/atau
     
    h.
    memiliki penerimaan dari aspek sosial, budaya, etika, politik, dan agama terhadap penerapan Teknologi Kesehatan.
    (3)
    Penilaian Teknologi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan sebelum Teknologi Kesehatan dimanfaatkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1019

    (1)
    Permohonan Penilaian Teknologi Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1018 dilakukan oleh pelaksana penelitian, pengembangan, dan pengkajian.
    (2)
    Penilaian Teknologi Kesehatan dilaksanakan oleh Menteri.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian Teknologi Kesehatan diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1020

    (1)
    Menteri melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala terhadap:
     
    a.
    hasil pengujian skala terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1016; dan
     
    b.
    hasil penilaian Teknologi Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1017.
    (2)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Pemanfaatan Teknologi Kesehatan
     

    Pasal 1021

    (1)
    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mendorong pemanfaatan Teknologi Kesehatan yang dihasilkan dari penelitian, pengembangan, dan pengkajian dalam negeri dalam rangka mendukung Pelayanan Kesehatan.
    (2)
    Pemanfaatan Teknologi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk membantu menegakkan diagnostik, pencegahan, pengobatan, peningkatan kualitas hidup, dan penanganan masalah Kesehatan.
    (3)
    Pemanfaatan Teknologi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    pemanfaatan teknologi Informasi Kesehatan dalam Sistem Informasi Kesehatan Nasional;
     
    b.
    teknologi biomedis; dan
     
    c.
    teknologi lainnya.
    (4)
    Pemanfaatan teknologi Informasi Kesehatan dalam Sistem Informasi Kesehatan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dapat berupa penerapan rekam medis elektronik, Telemedisin, Telekesehatan, robotik, dan kecerdasan buatan.
    (5)
    Pemanfaatan teknologi biomedis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, dapat berupa penggunaan vaksin, Obat, produk biologi, diagnostik, kedokteran presisi, dan terapi berdasarkan identifikasi genetik dan biomarker lainnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1022

    (1)
    Pemanfaatan teknologi biomedis dilaksanakan mulai dari kegiatan pengambilan, penyimpanan jangka panjang, serta pengelolaan dan pemanfaatan material dalam bentuk spesimen klinik dan materi biologi, muatan informasi, dan data terkait, yang ditujukan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan Teknologi Kesehatan dan Pelayanan Kesehatan, termasuk pelayanan kedokteran presisi.
    (2)
    Pelayanan kedokteran presisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan agar Pasien mendapatkan Pelayanan Kesehatan sesuai dengan variabilitas individu secara genetik termasuk mempertimbangkan gen, lingkungan, dan pola hidup setiap orang.
    (3)
    Pelayanan kedokteran presisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui pendekatan genomik, transkriptomik, proteomik, dan metabolomik terkait organisme, jaringan, sel, biomolekul, dan teknologi biomedis lain.
    (4)
    Pelayanan kedokteran presisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan setelah mendapatkan izin Menteri.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1023

    (1)
    Pengambilan, penyimpanan jangka panjang, serta pengelolaan dan pemanfaatan material dalam bentuk spesimen klinik dan materi biologi, muatan informasi, dan data terkait dalam rangka pemanfaatan teknologi biomedis wajib mendapatkan persetujuan dari Pasien dan/atau donor.
    (2)
    Persetujuan dari Pasien dan/atau donor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mematuhi aspek pelindungan data pribadi dan etik.
    (3)
    Pasien dan/atau donor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat memilih untuk tidak melanjutkan partisipasi dalam penyimpanan jangka panjang serta pengelolaan dan pemanfaatan material.
    (4)
    Material yang telah diambil dari Pasien dan/atau donor yang memilih untuk tidak melanjutkan partisipasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan pemusnahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Kewajiban mendapatkan persetujuan dari Pasien dan/atau donor dalam pengelolaan dan pemanfaatan material dalam bentuk spesimen klinik dan materi biologi, muatan informasi, dan data terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan apabila:
     
    a.
    material dalam bentuk spesimen klinik dan materi biologi, muatan informasi, dan data yang tidak dapat ditelusuri identitasnya atau berupa data agregat;
     
    b.
    material dalam bentuk spesimen klinik dan materi biologi, muatan informasi, dan data untuk kepentingan hukum; dan/atau
     
    c.
    material dalam bentuk spesimen klinik dan materi biologi, muatan informasi, dan data untuk kepentingan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1024

    (1)
    Penyimpanan dan pengelolaan material dalam bentuk spesimen klinik dan materi biologi, muatan informasi, dan data untuk jangka panjang harus dilakukan oleh biobank dan/atau biorepositori.
    (2)
    Biobank dan/atau biorepositori sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan, institusi pendidikan, dan/atau lembaga penelitian dan pengembangan Kesehatan, baik milik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, maupun swasta.
    (3)
    Penyelenggaraan biobank dan/atau biorepositori sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapatkan penetapan dari Menteri.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1025

    Material dalam bentuk spesimen klinik dan materi biologi, muatan informasi, dan data dapat dimanfaatkan dalam kegiatan penelitian dan pengembangan baik untuk tujuan komersial maupun nonkomersial.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1026

    (1)
    Material dalam bentuk spesimen klinik dan materi biologi, muatan informasi dan/atau data biomedis dapat digunakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan industri atau untuk kepentingan komersial dengan tetap mematuhi aspek keamanan data, aspek pelindungan data pribadi, dan etik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Penggunaan material dalam bentuk spesimen klinik dan materi biologi, muatan informasi, dan/atau data biomedis oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk kepentingan Kesehatan masyarakat.
    (3)
    Penggunaan material dalam bentuk spesimen klinik dan materi biologi, muatan informasi, dan/atau data biomedis oleh industri atau untuk kepentingan komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapatkan izin Menteri.
    (4)
    Untuk mendapatkan izin Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penggunaan material dalam bentuk spesimen klinik dan materi biologi, muatan informasi, dan/atau data biomedis harus memperoleh persetujuan donor.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perizinan penggunaan oleh industri atau untuk kepentingan komersial diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1027

    (1)
    Penyelenggara biobank dan/atau biorepositori wajib menyimpan spesimen dan data di dalam negeri.
    (2)
    Data dan informasi dalam penyelenggaraan biobank dan/atau biorepositori harus terintegrasi ke dalam Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
    (3)
    Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diakses dan dimanfaatkan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat untuk kepentingan penelitian dan pengembangan.
    (4)
    Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan untuk:
     
    a.
    data identitas subjek, baik individu maupun kelompok;
     
    b.
    data dan informasi yang jika dibuka untuk umum dapat meresahkan masyarakat dan/atau mengancam keamanan negara;
     
    c.
    data dan informasi yang secara etika atau hasil kesepakatan dengan subjek bersifat rahasia atau dirahasiakan;
     
    d.
    data dan informasi yang masih dalam proses penelitian dan pengembangan, pengolahan dan/atau penyelesaian;
     
    e.
    data dan informasi yang masih dalam proses pengajuan hak kekayaan intelektual; dan
     
    f.
    data dan informasi lainnya yang dikecualikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dijaga keamanannya untuk mencegah terjadi penyalahgunaan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1028

    (1)
    Dalam rangka mendukung pelaksanaan penelitian, pengembangan, dan pengkajian, dapat dilakukan pengalihan dan penggunaan material dalam bentuk spesimen klinik dan materi biologi, muatan informasi, dan/atau data ke luar dan ke dalam wilayah Indonesia serta antarwilayah di Indonesia.
    (2)
    Pengalihan dan penggunaan material dalam bentuk spesimen klinik dan materi biologi, muatan informasi, dan/atau data ke luar wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan apabila:
     
    a.
    cara mencapai maksud dan tujuan pemeriksaan tidak dapat dilakukan di Indonesia;
     
    b.
    pemeriksaan dapat dilakukan di Indonesia tetapi untuk mencapai tujuan utama penelitian, perlu dilakukan pemeriksaan di luar wilayah Indonesia; dan/atau
     
    c.
    untuk kepentingan kendali mutu dalam rangka pemutakhiran akurasi kemampuan standar diagnostik dan terapi.
    (3)
    Pengalihan dan penggunaan material dalam bentuk spesimen klinik dan materi biologi, muatan informasi, dan/atau data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan proses pemindahan baik fisik dan/atau digital.
    (4)
    Pengalihan dan penggunaan material dalam bentuk spesimen klinik dan materi biologi, muatan informasi, dan/atau data ke luar wilayah Indonesia harus dilengkapi dengan perjanjian alih material yang disusun berdasarkan prinsip pemeliharaan kekayaan sumber daya hayati dan genetika Indonesia dan pembagian manfaat yang memenuhi keadilan, keselamatan, dan kemanfaatan, serta keamanan negara.
    (5)
    Dalam hal pengalihan dan penggunaan material dalam bentuk spesimen klinik dan materi biologi, muatan informasi, dan/atau data tertentu dilakukan ke dalam wilayah Indonesia serta antarwilayah di Indonesia harus dilengkapi dengan perjanjian alih material yang disusun berdasarkan prinsip keselamatan dan kemanfaatan serta keamanan negara.
    (6)
    Pengalihan dan penggunaan material dalam bentuk spesimen klinik dan materi biologi, muatan informasi, dan/atau data ke luar wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan persetujuan Menteri.
    (7)
    Pengalihan dan penggunaan material dalam bentuk spesimen klinik dan materi biologi, muatan informasi, dan/atau data tertentu ke dalam wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan persetujuan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1029

    Selain digunakan untuk kepentingan penelitian, pengembangan, dan pengkajian, pengalihan dan penggunaan material dalam bentuk spesimen klinik dan materi biologi, muatan informasi, dan/atau data ke luar dan ke dalam wilayah Indonesia serta antarwilayah di Indonesia juga dapat digunakan untuk kepentingan Pelayanan Kesehatan dengan tetap memenuhi tata cara pengalihan dan penggunaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1028.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1030

    Pengawasan terhadap kegiatan pengalihan material dalam rangka penelitian, pengembangan, dan pengkajian dilakukan oleh Menteri berkoordinasi dengan kepala lembaga pemerintah yang menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan serta invensi dan inovasi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1031

    Ketentuan lebih lanjut mengenai persetujuan pengalihan dan penggunaan material dalam bentuk spesimen klinik dan materi biologi, muatan informasi, dan/atau data diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1032

    (1)
    Pengambilan dan pengiriman material dalam bentuk spesimen klinik dan materi biologi hanya dapat dilakukan oleh Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, dan Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan.
    (2)
    Pengambilan dan pengiriman material dalam bentuk spesimen klinik dan materi biologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan keamanan dan keselamatan bagi Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, dan Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan.
    (3)
    Syarat dan tata cara pengambilan dan pengiriman material dalam bentuk spesimen klinik dan materi biologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1033

    (1)
    Pemanfaatan Teknologi Kesehatan dapat dipergunakan untuk melakukan pemeriksaan dan analisis genetika seseorang dalam rangka diagnostik atau tujuan lainnya yang berkaitan dengan pemeriksaan atau pengobatan.
    (2)
    Hasil pemeriksaan dan analisis genetika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat rahasia dan hanya dapat dipergunakan secara terbatas.
    (3)
    Pemeriksaan dan analisis genetika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan oleh laboratorium Kesehatan yang memiliki kapasitas dan kompetensi dalam pemeriksaan dan analisis genetika.
    (4)
    Pengelolaan hasil pemeriksaan dan analisis genetika terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
    (5)
    Pemeriksaan dan analisis genetika sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan izin dari Menteri.
    (6)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1034

    (1)
    Setiap Orang dilarang melakukan diskriminasi atas hasil pemeriksaan dan analisis genetik seseorang.
    (2)
    Tindakan diskriminasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
     
    a.
    diskriminasi dalam kesempatan mendapatkan manfaat asuransi;
     
    b.
    diskriminasi dalam kesempatan mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak;
     
    c.
    diskriminasi dalam kesempatan mendapatkan pendidikan dan pelatihan; atau
     
    d.
    diskriminasi dalam kesempatan mendapatkan hak lainnya.
    (3)
    Setiap Orang yang melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berupa pengenaan denda administratif sampai dengan pencabutan izin.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1035

    (1)
    Dalam hal terjadi dugaan diskriminasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1034, Setiap Orang dapat menyampaikan pengaduan kepada lembaga mandiri yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia.
    (2)
    Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan penilaian atas laporan dugaan diskriminasi dan mengeluarkan rekomendasi kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (3)
    Berdasarkan rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah memberikan sanksi administratif kepada pelaku diskriminasi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1036

    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan:
    a.
    kemudahan perizinan;
    b.
    dukungan sumber daya; dan
    c.
    hilirisasi,
    terhadap penelitian, pengembangan, dan pengkajian Teknologi Kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1037

    Pencatatan dan pelaporan terhadap pemanfaatan Teknologi Kesehatan dilakukan oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat, dan masyarakat melalui Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB VIII
    KEJADIAN LUAR BIASA DAN WABAH
     
    Bagian Kesatu
    Umum
     

    Pasal 1038

    (1)
    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab melaksanakan kegiatan kewaspadaan KLB dan Wabah, penanggulangan KLB dan Wabah, dan pasca-KLB dan pasca-Wabah.
    (2)
    Kegiatan kewaspadaan KLB dan Wabah, penanggulangan KLB dan Wabah, dan pasca-KLB dan pasca-Wabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara terkoordinasi, komprehensif, dan berkesinambungan di wilayah, Pintu Masuk, dan pelabuhan atau bandar udara yang melayani lalu lintas domestik.
    (3)
    Dalam pelaksanaan kegiatan kewaspadaan KLB, penanggulangan KLB, dan pasca-KLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melibatkan unsur Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, akademisi atau pakar, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, lintas sektor, dan/atau tokoh masyarakat/agama.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kedua
    Kejadian Luar Biasa
     
    Paragraf 1
    Kewaspadaan Kejadian Luar Biasa
     

    Pasal 1039

    (1)
    Dalam rangka mengantisipasi kemungkinan terjadinya KLB di wilayah, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat melakukan kegiatan kewaspadaan KLB terhadap penyakit dan/atau masalah Kesehatan yang berpotensi menimbulkan KLB sesuai dengan urusan dan kewenangannya.
    (2)
    Kegiatan kewaspadaan KLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    pelaksanaan surveilans;
     
    b.
    pengendalian faktor risiko;
     
    c.
    imunisasi terhadap orang dan binatang pembawa penyakit;
     
    d.
    penguatan Sumber Daya Kesehatan; dan/atau
     
    e.
    pengembangan rencana tanggap darurat untuk kesiapan menghadapi KLB dan sebagai upaya meminimalisasi terjadinya KLB berulang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1040

    (1)
    Pemerintah Pusat melaksanakan kewaspadaan KLB di Pintu Masuk dan pelabuhan atau bandar udara yang melayani lalu lintas domestik.
    (2)
    Kewaspadaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui kegiatan:
     
    a.
    pengamatan penyakit, faktor risiko penyakit, dan/atau masalah Kesehatan;
     
    b.
    tindakan penanggulangan dalam rangka kewaspadaan KLB; dan
     
    c.
    pemeriksaan dan/atau penerbitan Dokumen Karantina Kesehatan.
    (3)
    Pengamatan penyakit, faktor risiko penyakit, dan/atau masalah Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan terhadap alat angkut, orang, barang, dan/atau lingkungan.
    (4)
    Tindakan penanggulangan dalam rangka kewaspadaan KLB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan apabila ditemukan penyakit, faktor risiko penyakit, dan/atau masalah Kesehatan pada alat angkut, orang, barang, dan/atau lingkungan berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait.
    (5)
    Tindakan penanggulangan dalam rangka kewaspadaan KLB sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa:
     
    a.
    karantina, isolasi, pelaksanaan imunisasi atau pemberian profilaksis, rujukan, disinfeksi, dan/atau dekontaminasi terhadap orang sesuai indikasi;
     
    b.
    disinfeksi, dekontaminasi, disinseksi, dan/atau deratisasi terhadap alat angkut dan barang;
     
    c.
    penyehatan, pengamanan, dan pengendalian terhadap media lingkungan; dan
     
    d.
    tindakan lainnya yang dibutuhkan atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (6)
    Pemeriksaan dan/atau penerbitan Dokumen Karantina Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c bertujuan untuk mengawasi dan mencegah masuk dan/atau keluarnya penyakit, faktor risiko penyakit, dan/atau masalah Kesehatan yang berpotensi dibawa oleh alat angkut, orang, dan/atau barang.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1041

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman pelaksanaan kegiatan kewaspadaan KLB di wilayah, Pintu Masuk, dan pelabuhan atau bandar udara yang melayani lalu lintas domestik diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Penanggulangan Kejadian Luar Biasa
     

    Pasal 1042

    (1)
    Bupati/wali kota, gubernur, atau Menteri harus menetapkan KLB jika pada suatu daerah tertentu terdapat penyakit atau masalah Kesehatan yang memenuhi kriteria KLB.
    (2)
    Dalam penetapan status KLB oleh bupati/wali gubernur, atau Menteri sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan pada suatu daerah tertentu terdapat penyakit atau masalah Kesehatan memenuhi minimal 1 (satu) kriteria KLB.
    (3)
    Kriteria KLB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
     
    a.
    timbulnya suatu penyakit atau masalah Kesehatan yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal;
     
    b.
    peningkatan kejadian secara terus menerus selama 3 (tiga) kurun waktu dalam jam, hari, atau minggu berturut-turut;
     
    c.
    peningkatan kejadian kesakitan 2 (dua) kali atau lebih jika dibandingkan dengan periode sebelumnya;
     
    d.
    rata-rata jumlah kejadian kesakitan perbulan selama 1 (satu) tahun menunjukkan kenaikan 2 (dua) kali atau lebih;
     
    e.
    angka kematian akibat penyakit atau masalah Kesehatan dalam 1 (satu) kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima puluh persen) atau lebih;
     
    f.
    angka proporsi penyakit penderita baru pada satu periode menunjukkan kenaikan 2 (dua) kali atau lebih jika dibandingkan dengan satu periode sebelumnya dalam kurun waktu yang sama; dan/atau
     
    g.
    kriteria lain yang ditetapkan oleh Menteri.
    (4)
    Penyakit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang berpotensi menimbulkan KLB meliputi penyakit menular yang:
     
    a.
    dapat menular dari manusia ke manusia dan/atau dari hewan ke manusia;
     
    b.
    berpotensi menimbulkan sakit yang parah, kedisabilitasan, dan/atau kematian; dan
     
    c.
    berpotensi meningkat dan menyebar secara cepat.
    (5)
    Masalah Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang berpotensi menimbulkan KLB meliputi:
     
    a.
    paparan radiasi, lepasan, dan/atau kontaminasi zat radioaktif dari instalasi nuklir dan/atau kegiatan yang memanfaatkan zat radioaktif, kejadian khusus, atau kejadian keamanan nuklir;
     
    b.
    pencemaran biologi pada media lingkungan air, udara, dan tanah;
     
    c.
    pencemaran kimia dari bahan atau limbah bahan berbahaya dan beracun, serta bahan berbahaya lainnya;
     
    d.
    kejadian yang diakibatkan oleh penyalahgunaan senjata kimia, senjata biologi, radiologi, mikroorganisme, nuklir, radioaktif, atau komponennya, dengan maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme;
     
    e.
    pangan yang mengandung cemaran biologis, kimia, radioaktif, dan benda lain; dan/atau
     
    f.
    kejadian lain yang menimbulkan bahaya Kesehatan dan/atau berpotensi terjadi peningkatan kasus yang ditetapkan oleh Menteri.
    (6)
    Paparan radiasi, lepasan, dan/atau kontaminasi zat radioaktif dari instalasi nuklir dan/atau kegiatan yang memanfaatkan zat radioaktif, kejadian khusus, atau kejadian keamanan nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a harus memenuhi kriteria, volume, dan konsentrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1043

    Menteri dalam menetapkan kriteria KLB lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1042 ayat (3) huruf g harus memperhatikan dan mempertimbangkan aspek epidemiologi, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang Kesehatan, dan/atau berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah dan kementerian/lembaga terkait.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1044

    (1)
    Penetapan status KLB oleh bupati/wali kota dilakukan dalam hal luas wilayah terdampak KLB terjadi di sebagian atau seluruh wilayah kabupaten/kota setempat.
    (2)
    Penetapan KLB oleh gubernur dilakukan dalam hal:
     
    a.
    jika terdapat penyakit atau masalah Kesehatan yang memenuhi kriteria KLB di wilayah kabupaten/kota dan bupati/wali kota belum menetapkan status KLB dalam jangka waktu 1 (satu) kali masa inkubasi untuk penyakit menular atau 14 (empat belas) hari untuk masalah Kesehatan; dan/atau
     
    b.
    luas wilayah terdampak KLB sedikitnya meliputi 2 (dua) wilayah kabupaten/kota dalam suatu wilayah kerja administratif.
    (3)
    Penetapan KLB oleh Menteri dapat dilakukan dalam hal:
     
    a.
    jika terdapat penyakit atau masalah Kesehatan yang memenuhi kriteria KLB di suatu wilayah terjadi peningkatan kasus secara signifikan, dan Pemerintah Daerah belum menetapkan status KLB dalam jangka waktu 1 (satu) kali masa inkubasi untuk penyakit menular atau 14 (empat belas) hari untuk masalah Kesehatan; dan/atau
     
    b.
    luas wilayah terdampak KLB meliputi lintas provinsi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1045

    (1)
    Bupati/wali kota, gubernur, atau Menteri yang menetapkan KLB wajib segera melaksanakan kegiatan penanggulangan KLB.
    (2)
    Penanggulangan KLB dilaksanakan sesuai dengan jenis penyakit dan masalah Kesehatan yang menyebabkan KLB.
    (3)
    Penanggulangan KLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan kegiatan:
     
    a.
    penyelidikan epidemiologis;
     
    b.
    pelaksanaan surveilans;
     
    c.
    pengendalian faktor risiko;
     
    d.
    pemusnahan penyebab KLB;
     
    e.
    pencegahan dan pengebalan;
     
    f.
    promosi Kesehatan;
     
    g.
    komunikasi risiko;
     
    h.
    penatalaksanaan kasus;
     
    i.
    penanganan jenazah akibat KLB; dan
     
    j.
    upaya penanggulangan lainnya yang diperlukan sesuai dengan penyebab KLB.
    (4)
    Penyelidikan epidemiologis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilakukan untuk mengetahui atau menentukan sebab dan faktor risiko KLB, mengetahui kelompok masyarakat yang berisiko terdampak KLB, serta menentukan cara penanggulangan.
    (5)
    Penyelidikan epidemiologis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan melalui:
     
    a.
    pengumpulan data kesakitan dan kematian penduduk;
     
    b.
    pemeriksaan klinis, fisik, laboratorium dan penegakan diagnosis; dan
     
    c.
    pengamatan terhadap penduduk serta pemeriksaan terhadap makhluk hidup lain dan benda yang ada di suatu wilayah yang diduga mengandung penyebab KLB.
    (6)
    Pelaksanaan surveilans sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dilakukan melalui surveilans kasus dan surveilans faktor risiko secara intensif untuk mengetahui perkembangan penyakit menurut waktu dan tempat.
    (7)
    Pengendalian faktor risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dilakukan melalui penyehatan, pengamanan, dan pengendalian media lingkungan, serta pengendalian perilaku dan faktor risiko lainnya.
    (8)
    Pemusnahan penyebab KLB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dilakukan melalui pemusnahan penyebab KLB terhadap bibit penyakit, hewan, tumbuhan, dan/atau barang yang mengandung penyebab KLB.
    (9)
    Pemusnahan penyebab KLB sebagaimana dimaksud pada ayat (8) harus dilakukan dengan cara tanpa merusak lingkungan hidup atau tidak menyebabkan tersebarnya penyebab KLB.
    (10)
    Pencegahan dan pengebalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dilakukan melalui deteksi dini, pengobatan dini, peningkatan daya tahan tubuh melalui perbaikan gizi dan imunisasi, perlindungan diri dari penularan penyakit, pengendalian sarana, lingkungan, dan binatang pembawa penyakit.
    (11)
    Promosi Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf f dilakukan melalui advokasi, sosialisasi, dan kemitraan.
    (12)
    Komunikasi risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf g dilakukan melalui pemberian informasi dan/atau edukasi kepada masyarakat dan/atau mobilisasi sosial.
    (13)
    Penatalaksanaan kasus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf h dilakukan melalui tindakan pemeriksaan, pengobatan, perawatan, isolasi penderita, dan tindakan karantina di Fasilitas Pelayanan Kesehatan atau di tempat lain yang ditentukan.
    (14)
    Penanganan jenazah akibat KLB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf i dilakukan melalui penanganan secara khusus menurut jenis penyakit dan masalah Kesehatan dengan memperhatikan norma agama atau kepercayaan dan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1046

    Penanggulangan KLB yang merupakan respon terhadap masalah Kesehatan berupa kejadian paparan radiasi, lepasan, dan/atau kontaminasi zat radioaktif dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1047

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman pelaksanaan kegiatan penanggulangan KLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1045 diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Kegiatan Pasca-Kejadian Luar Biasa
     

    Pasal 1048

    (1)
    Kegiatan pasca-KLB dilakukan setelah bupati/wali kota, gubernur, atau Menteri mencabut penetapan status KLB.
    (2)
    Pencabutan penetapan status KLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan jika daerah tidak lagi memenuhi kriteria KLB yang digunakan pada saat penetapan KLB.
    (3)
    Pencabutan penetapan status KLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempertimbangkan:
     
    a.
    hasil penyelidikan epidemiologis sudah tidak ditemukan kasus baru dalam 2 (dua) kali masa inkubasi terpanjang untuk penyakit menular; atau
     
    b.
    pelaksanaan upaya penanggulangan dan pengendalian untuk masalah Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1049

    (1)
    Kegiatan pasca-KLB dilakukan untuk pemulihan Kesehatan masyarakat di wilayah terjangkit KLB dan mencegah KLB berulang.
    (2)
    Kegiatan pasca-KLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
     
    a.
    komunikasi risiko;
     
    b.
    pelaksanaan surveilans Kesehatan; dan
     
    c.
    pemberdayaan masyarakat.
    (3)
    Komunikasi risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan melalui pemberian informasi dan/atau edukasi kepada masyarakat.
    (4)
    Pelaksanaan surveilans Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan melalui pengamatan, verifikasi, serta analisis data laporan kasus dan faktor risiko secara periodik.
    (5)
    Pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c ditujukan untuk menciptakan kesadaran, kemauan, serta kemampuan individu, keluarga, dan kelompok masyarakat.
    (6)
    Pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan melalui fasilitasi proses pemecahan masalah dalam bentuk pendekatan edukatif dan partisipatif.
    (7)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman pelaksanaan kegiatan pasca-KLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Ketiga
    Wabah
     
    Paragraf 1
    Rencana Kontingensi Penanggulangan Wabah
     

    Pasal 1050

    (1)
    Dalam rangka Kewaspadaan Wabah:
     
    a.
    Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota menyusun dan menetapkan rencana kontingensi penanggulangan Wabah di wilayah sesuai dengan kewenangannya; dan
     
    b.
    kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan menyusun dan menetapkan rencana kontingensi penanggulangan Wabah pada Pintu Masuk dan pelabuhan atau bandar udara yang melayani lalu lintas domestik.
    (2)
    Penyusunan rencana kontingensi penanggulangan Wabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melibatkan lintas sektor, lintas program, dan pemangku kepentingan terkait.
    (3)
    Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota dalam menyusun rencana kontingensi penanggulangan Wabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1051

    Rencana kontingensi penanggulangan Wabah pada Pintu Masuk dan pelabuhan atau bandar udara yang melayani lalu lintas domestik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1050 ayat (1) huruf b merupakan bagian tidak terpisahkan dari rencana kontingensi pada Pintu Masuk dan pelabuhan atau bandar udara yang melayani lalu lintas domestik yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang pada Pintu Masuk dan pelabuhan atau bandar udara yang melayani lalu lintas domestik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 2
    Kewaspadaan Wabah di Pintu Masuk
     

    Pasal 1052

    (1)
    Pemerintah Pusat melaksanakan kegiatan Kewaspadaan Wabah di Pintu Masuk dan pelabuhan atau bandar udara yang melayani lalu lintas domestik melalui pengamatan penyakit dan/atau faktor risiko penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah.
    (2)
    Selain Kewaspadaan Wabah di Pintu Masuk dan pelabuhan atau bandar udara yang melayani lalu lintas domestik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah kabupaten/kota dan Pemerintah Daerah provinsi melaksanakan kegiatan Kewaspadaan Wabah di wilayah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1053

    (1)
    Dalam rangka pengamatan penyakit dan/atau faktor risiko penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1052, dilakukan pengawasan terhadap alat angkut, orang, barang, dan/atau lingkungan oleh Petugas Karantina Kesehatan.
    (2)
    Pengawasan terhadap alat angkut, orang, dan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada saat kedatangan dan keberangkatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1054

    (1)
    Pengawasan terhadap alat angkut pada saat kedatangan dilakukan pada kapal, pesawat udara, dan kendaraan darat yang:
     
    a.
    datang dari luar negeri; atau
     
    b.
    datang dari Daerah Terjangkit.
    (2)
    Selain yang datang dari luar negeri atau Daerah Terjangkit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengawasan dapat dilakukan secara acak terhadap semua kapal, pesawat udara, dan kendaraan darat.
    (3)
    Pengawasan pada kapal, pesawat udara, dan kendaraan darat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan pemeriksaan Dokumen Karantina Kesehatan dan dokumen Kesehatan lainnya, serta pemeriksaan faktor risiko penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah, termasuk muatan, awak, dan penumpang.
    (4)
    Kegiatan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di zona karantina atau lokasi lain yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang di Pintu Masuk dan pelabuhan atau bandar udara yang melayani lalu lintas domestik setelah mendapat rekomendasi dari Petugas Karantina Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1055

    (1)
    Setiap nakhoda, kapten penerbang, atau pengemudi pada saat kedatangan atau melewati pos lintas batas negara wajib menginformasikan apabila terdapat orang sakit dan/atau meninggal yang diduga kuat diakibatkan oleh penyakit dan/atau faktor risiko penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah kepada Petugas Karantina Kesehatan.
    (2)
    Penyampaian informasi oleh nakhoda, kapten penerbang, atau pengemudi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menyerahkan dokumen deklarasi Kesehatan untuk kapal, pesawat udara, dan kendaraan darat pada saat kedatangan kepada Petugas Karantina Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1056

    Khusus pada kapal, nakhoda wajib menyampaikan permohonan untuk memperoleh persetujuan karantina Kesehatan atau memberitahukan suatu keadaan di Kapal dengan memakai isyarat sebagai berikut:
    a.
    pada siang hari berupa:
     
    1.
    bendera Q, yang berarti kapal saya sehat atau saya minta persetujuan karantina Kesehatan;
     
    2.
    bendera Q di atas panji pengganti kesatu, yang berarti kapal saya tersangka; dan
     
    3.
    bendera Q di atas bendera L, yang berarti kapal saya terjangkit; dan
    b.
    pada malam hari berupa lampu merah di atas lampu putih dengan jarak maksimum 1,80 (satu koma delapan nol) meter, yang berarti belum mendapat persetujuan karantina Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1057

    (1)
    Berdasarkan hasil pengawasan terhadap kedatangan kapal, pesawat udara, dan kendaraan darat, Petugas Karantina Kesehatan menerbitkan surat persetujuan berupa dokumen persetujuan karantina Kesehatan.
    (2)
    Nakhoda, kapten penerbang, atau pengemudi dilarang menurunkan atau menaikkan orang dan/atau barang sebelum mendapat dokumen persetujuan karantina Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    (3)
    Dokumen persetujuan karantina Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
     
    a.
    persetujuan bebas karantina, dalam hal tidak ditemukan faktor risiko Kesehatan yang berpotensi menimbulkan KLB atau Wabah, dan Dokumen Karantina Kesehatan dinyatakan lengkap dan berlaku; atau
     
    b.
    persetujuan karantina terbatas, dalam hal ditemukan faktor risiko Kesehatan yang berpotensi menimbulkan KLB atau Wabah, dan/atau Dokumen Karantina Kesehatan dinyatakan tidak lengkap dan/atau tidak berlaku.
    (4)
    Terhadap kapal, pesawat udara, dan kendaraan darat yang mendapat persetujuan karantina terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, Petugas Karantina Kesehatan berwenang melakukan tindakan penanggulangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1058

    (1)
    Pengawasan terhadap alat angkut pada saat keberangkatan dilakukan pada kapal, pesawat udara, dan kendaraan darat yang akan berangkat dari Pintu Masuk dan pelabuhan atau bandar udara yang melayani lalu lintas domestik.
    (2)
    Pengawasan terhadap alat angkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pemeriksaan Dokumen Karantina Kesehatan, dokumen lainnya, serta faktor risiko penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah, termasuk barang, awak, dan penumpang.
    (3)
    Khusus pengawasan pada kendaraan darat, pemeriksaan Dokumen Karantina Kesehatan, dokumen lainnya, serta faktor risiko penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di pos lintas batas negara dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan dalam perjanjian antara kedua negara.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1059

    Sebelum keberangkatan kapal, pesawat udara, atau kendaraan darat, nakhoda, kapten penerbang, dan pengemudi wajib melengkapi Dokumen Karantina Kesehatan yang masih berlaku.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1060

    (1)
    Berdasarkan hasil pengawasan saat keberangkatan kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1058, Petugas Karantina Kesehatan:
     
    a.
    memerintahkan nakhoda untuk melengkapi Dokumen Karantina Kesehatan jika hasil pemeriksaan Dokumen Karantina Kesehatan ditemukan dokumen tidak lengkap atau tidak valid;
     
    b.
    menerbitkan surat persetujuan berlayar karantina Kesehatan jika Dokumen Karantina Kesehatan lengkap dan valid serta tidak ditemukan faktor risiko penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah;
     
    c.
    melakukan tindakan penanggulangan yang diperlukan sesuai dengan penyakit, masalah Kesehatan, dan/atau faktor risiko penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah yang ditemukan; atau
     
    d.
    mengeluarkan rekomendasi untuk dilakukan tindakan penanggulangan yang diperlukan sesuai dengan penyakit, masalah Kesehatan, dan/atau faktor risiko penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah yang ditemukan.
    (2)
    Dalam hal kapal yang akan berangkat tidak dilengkapi dengan surat persetujuan berlayar karantina Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, syahbandar dilarang menerbitkan surat persetujuan berlayar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1061

    (1)
    Berdasarkan hasil pengawasan saat keberangkatan pesawat udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1058, Petugas Karantina Kesehatan:
     
    a.
    memerintahkan kapten penerbang untuk melengkapi Dokumen Karantina Kesehatan jika hasil pemeriksaan Dokumen Karantina Kesehatan ditemukan dokumen tidak lengkap atau tidak valid; dan
     
    b.
    memerintahkan kapten penerbang untuk melakukan tindakan penanggulangan yang diperlukan sesuai dengan penyakit, masalah Kesehatan, dan/atau faktor risiko penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah yang ditemukan.
    (2)
    Dalam rangka pengawasan pesawat udara, Petugas Karantina Kesehatan dapat melakukan pemeriksaan faktor risiko Kesehatan terhadap pesawat udara yang akan berangkat secara acak.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1062

    (1)
    Pengawasan terhadap orang dilakukan pada awak, personel, dan penumpang yang datang atau berangkat.
    (2)
    Pengawasan terhadap orang pada saat kedatangan dilakukan pada alat angkut yang datang dari Daerah Terjangkit atau berdasarkan informasi awal mengenai deklarasi Kesehatan terdapat orang yang diduga terjangkit dan/atau terpapar.
    (3)
    Pengawasan terhadap orang pada saat keberangkatan dilakukan pada alat angkut berdasarkan informasi yang disampaikan terdapat orang yang diduga terjangkit dan/atau terpapar.
    (4)
    Pengawasan terhadap orang dilakukan melalui pemeriksaan Kesehatan oleh Petugas Karantina Kesehatan yang berwenang di atas alat angkut atau tempat yang ditetapkan.
    (5)
    Terhadap orang yang terjangkit dan/atau terpapar berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan tindakan penanggulangan sesuai indikasi dan prosedur penanggulangan.
    (6)
    Terhadap orang yang tidak terjangkit dan/atau tidak terpapar berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat melanjutkan perjalanannya dan diberikan kartu kewaspadaan Kesehatan.
    (7)
    Petugas Karantina Kesehatan harus memberikan notifikasi kartu kewaspadaan Kesehatan kepada satuan kerja perangkat daerah bidang Kesehatan kabupaten/kota setempat.
    (8)
    Jika hasil pemeriksaan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditemukan penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah, dan/atau tidak dipenuhi persyaratan Kesehatan penerbangan atau pelayaran pada awak, personel, dan/atau penumpang, Petugas Karantina Kesehatan merekomendasikan kepada maskapai penerbangan atau agen pelayaran untuk menunda keberangkatan awak, personel, dan/atau penumpang tersebut dan harus segera melakukan tindakan penanggulangan.
    (9)
    Maskapai penerbangan atau agen pelayaran harus melaksanakan rekomendasi Petugas Karantina Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (8).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1063

    (1)
    Dalam hal pada saat kedatangan terdapat orang yang tidak bersedia dilakukan tindakan penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1062 ayat (5), Petugas Karantina Kesehatan berwenang merekomendasikan kepada pejabat imigrasi untuk dilakukan penangkalan.
    (2)
    Dalam hal pada saat keberangkatan terdapat orang yang tidak bersedia dilakukan tindakan penanggulangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1062 ayat (5), Petugas Karantina Kesehatan berwenang merekomendasikan kepada maskapai penerbangan, agen pelayaran, atau agen kendaraan darat untuk menunda keberangkatan atau mengeluarkan rekomendasi kepada pejabat imigrasi untuk dilakukan penolakan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1064

    (1)
    Setiap orang:
     
    a.
    yang datang dari negara endemis, negara terjangkit, dan/atau negara yang mewajibkan adanya pemberian kekebalan atau profilaksis; atau
     
    b.
    yang akan berangkat ke negara endemis, negara terjangkit, dan/atau negara yang mewajibkan adanya pemberian kekebalan atau profilaksis,
     
    wajib memiliki sertifikat vaksinasi internasional yang masih berlaku.
    (2)
    Setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang tidak memiliki sertifikat vaksinasi internasional, dilakukan karantina dan pemberian kekebalan atau profilaksis oleh Petugas Karantina Kesehatan.
    (3)
    Setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang tidak memiliki sertifikat vaksinasi internasional, dilakukan penundaan keberangkatannya oleh Petugas Karantina Kesehatan dan diberikan kekebalan atau profilaksis sesuai persyaratan dan standar yang berlaku.
    (4)
    Jika setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) menolak pemberian kekebalan atau profilaksis, Petugas Karantina Kesehatan berwenang memberikan rekomendasi kepada pejabat imigrasi untuk melakukan penangkalan, deportasi, atau penolakan keberangkatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1065

    (1)
    Pengawasan terhadap barang dilakukan pada barang yang diduga memiliki faktor risiko penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah dalam alat angkut baik saat kedatangan atau keberangkatan.
    (2)
    Pengawasan terhadap barang dilakukan melalui pemeriksaan dokumen dan pemeriksaan fisik oleh Petugas Karantina Kesehatan.
    (3)
    Jika ditemukan faktor risiko penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah pada barang dilakukan tindakan penanggulangan.
    (4)
    Tindakan penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan pihak yang terkait.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1066

    (1)
    Pengawasan barang berupa jenazah dan/atau abu jenazah dalam alat angkut dilakukan melalui pemeriksaan dokumen penyebab kematian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Jika pada pemeriksaan dokumen penyebab kematian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditemukan:
     
    a.
    dokumen tidak lengkap, penanggung jawab alat angkut harus melengkapi dokumen sesuai dengan persyaratan yang berlaku;
     
    b.
    jenazah dan/atau abu jenazah tidak sesuai dengan dokumen, Petugas Karantina Kesehatan dapat berkoordinasi dengan pihak yang terkait; dan/atau
     
    c.
    faktor risiko penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah, Petugas Karantina Kesehatan melakukan tindakan penanggulangan.
    (3)
    Jika hasil pemeriksaan tidak ditemukan faktor risiko penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah atau setelah dilakukan tindakan penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, Petugas Karantina Kesehatan memberikan surat persetujuan keluar atau masuk jenazah dan/atau abu jenazah dari Pintu Masuk dan pelabuhan atau bandar udara yang melayani lalu lintas domestik.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1067

    (1)
    Jika terdapat orang yang meninggal dalam alat angkut pada saat kedatangan, Petugas Karantina Kesehatan melakukan pemeriksaan jenazah, investigasi penyakit, atau merujuk ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan untuk mengetahui penyebab kematian.
    (2)
    Dalam hal penyebab kematian berdasarkan hasil pemeriksaan jenazah atau investigasi penyakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penyakit yang memiliki risiko KLB atau Wabah, Petugas Karantina Kesehatan melakukan tindakan penanggulangan.
    (3)
    Terhadap jenazah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikirim ke Rumah Sakit untuk dilakukan pemulasaraan jenazah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1068

    (1)
    Pengawasan terhadap lingkungan dilakukan terhadap lingkungan pada Pintu Masuk dan pelabuhan atau bandar udara yang melayani lalu lintas domestik yang berpotensi atau diduga memiliki faktor risiko penyakit atau masalah Kesehatan.
    (2)
    Pengawasan terhadap lingkungan dilakukan melalui pemeriksaan fisik faktor risiko penyakit atau masalah Kesehatan pada media lingkungan oleh Petugas Karantina Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1069

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman pengawasan alat angkut, orang, barang, dan lingkungan diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1070

    (1)
    Berdasarkan hasil pengawasan terhadap alat angkut, orang, barang, dan/atau lingkungan di Pintu Masuk dan pelabuhan atau bandar udara yang melayani lalu lintas domestik, Petugas Karantina Kesehatan menetapkan dan melaksanakan tindakan penanggulangan.
    (2)
    Dalam pelaksanaan tindakan penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Petugas Karantina Kesehatan berkoordinasi dengan pihak yang terkait.
    (3)
    Tindakan penanggulangan tertentu dapat dilakukan oleh:
     
    a.
    badan usaha yang mempunyai izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
     
    b.
    instansi terkait yang berwenang.
    (4)
    Pelaksanaan tindakan penanggulangan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berada dalam pengawasan Petugas Karantina Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1071

    (1)
    Tindakan penanggulangan terhadap alat angkut di Pintu Masuk dan pelabuhan atau bandar udara yang melayani lalu lintas domestik dapat berupa:
     
    a.
    disinfeksi;
     
    b.
    dekontaminasi;
     
    c.
    disinseksi; dan/atau
     
    d.
    deratisasi.
    (2)
    Tindakan penanggulangan terhadap alat angkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di zona karantina atau area lain yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang di Pintu Masuk dan pelabuhan atau bandar udara yang melayani lalu lintas domestik setelah mendapat rekomendasi dari Petugas Karantina Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1072

    (1)
    Tindakan penanggulangan terhadap orang di Pintu Masuk dan pelabuhan atau bandar udara yang melayani lalu lintas domestik dapat berupa:
     
    a.
    skrining;
     
    b.
    rujukan
     
    c.
    isolasi;
     
    d.
    karantina;
     
    e.
    pemberian kekebalan;
     
    f.
    pemberian profilaksis;
     
    g.
    disinfeksi; dan/atau
     
    h.
    dekontaminasi.
    (2)
    Skrining sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan terhadap pelaku perjalanan dari luar negeri atau Daerah Terjangkit.
    (3)
    Rujukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan terhadap pelaku perjalanan yang diduga menderita atau menderita penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah dengan menggunakan peralatan khusus dan/atau kendaraan khusus evakuasi penyakit menular ke Rumah Sakit atau Fasilitas Pelayanan Kesehatan lain yang ditetapkan untuk mendapatkan pemeriksaan Kesehatan lanjutan, perawatan, dan/atau pengobatan.
    (4)
    Sebelum dilakukan rujukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pelaku perjalanan yang diduga menderita penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah dilakukan observasi dan tata laksana kasus di ruang isolasi sementara di Pintu Masuk dan pelabuhan atau bandar udara yang melayani lalu lintas domestik.
    (5)
    Isolasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan terhadap pelaku perjalanan yang diduga menderita atau menderita penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah di Rumah Sakit.
    (6)
    Karantina sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan terhadap pelaku perjalanan yang kontak dan/atau diduga terpapar penyakit atau faktor risiko yang berpotensi menimbulkan Wabah selama 1 (satu) kali masa inkubasi terpanjang atau berdasarkan waktu yang ditetapkan oleh Menteri.
    (7)
    Dalam hal karantina sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan terhadap warga negara asing, Petugas Karantina Kesehatan mengeluarkan surat pemberitahuan kepada pejabat imigrasi.
    (8)
    Karantina sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dilaksanakan di tempat karantina yang disediakan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah setelah mendapat rekomendasi dari Petugas Karantina Kesehatan.
    (9)
    Pemberian kekebalan atau pemberian profilaksis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan huruf f wajib dilakukan pada setiap orang yang akan melakukan perjalanan internasional dari dan ke negara terjangkit dan/atau endemis penyakit menular tertentu dan/atau atas permintaan negara tertentu.
    (10)
    Pemberian kekebalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dilakukan dengan memberikan imunisasi yang ditetapkan oleh Menteri.
    (11)
    Pemberian profilaksis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dilakukan pada setiap orang yang ditemukan adanya kontra indikasi terhadap vaksin yang akan diberikan atau untuk melindungi masyarakat terhadap penyakit menular yang belum ada vaksinnya.
    (12)
    Disinfeksi dan/atau dekontaminasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g dan huruf h dilaksanakan pada saat kedatangan dan/atau keberangkatan pada orang yang terpapar faktor risiko penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1073

    (1)
    Tindakan penanggulangan terhadap barang di Pintu Masuk dan pelabuhan atau bandar udara yang melayani lalu lintas domestik dapat berupa:
     
    a.
    disinfeksi;
     
    b.
    dekontaminasi;
     
    c.
    disinseksi; dan/atau
     
    d.
    deratisasi.
    (2)
    Tindakan penanggulangan pada barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan di dalam zona karantina atau area lain yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang di Pintu Masuk dan pelabuhan atau bandar udara yang melayani lalu lintas domestik setelah mendapat rekomendasi dari Petugas Karantina Kesehatan.
    (3)
    Tindakan penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berkoordinasi dengan pihak terkait yang berwenang dan/atau berada di bawah pengawasan Petugas Karantina Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1074

    (1)
    Tindakan penanggulangan terhadap lingkungan di Pintu Masuk dan pelabuhan atau bandar udara yang melayani lalu lintas domestik dilakukan melalui upaya penyehatan, pengamanan, dan pengendalian.
    (2)
    Tindakan penanggulangan terhadap lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Petugas Karantina Kesehatan dan dapat berkoordinasi dengan instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1075

    Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan tindakan penanggulangan terhadap alat angkut, orang, barang, dan lingkungan diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1076

    (1)
    Setiap alat angkut, orang, dan/atau barang yang:
     
    a.
    datang dari atau berangkat ke luar negeri; atau
     
    b.
    datang dari atau berangkat ke daerah/negara endemis atau terjangkit,
     
    harus dilengkapi dengan Dokumen Karantina Kesehatan.
    (2)
    Dokumen Karantina Kesehatan untuk alat angkut terdiri atas:
     
    a.
    deklarasi Kesehatan;
     
    b.
    sertifikat persetujuan karantina Kesehatan;
     
    c.
    sertifikat persetujuan keberangkatan;
     
    d.
    sertifikat sanitasi;
     
    e.
    sertifikat Obat dan Alat Kesehatan; dan
     
    f.
    buku Kesehatan kapal.
    (3)
    Dokumen Karantina Kesehatan pada orang terdiri atas:
     
    a.
    sertifikat vaksinasi internasional;
     
    b.
    sertifikat izin angkut orang sakit pada kapal, pesawat, dan kendaraan darat;
     
    c.
    sertifikat laik terbang pada pesawat; dan
     
    d.
    sertifikat laik layar pada kapal.
    (4)
    Dokumen Karantina Kesehatan pada barang terdiri atas:
     
    a.
    surat izin pengangkutan jenazah/abu jenazah;
     
    b.
    sertifikat Kesehatan untuk bahan berbahaya; dan
     
    c.
    sertifikat Kesehatan untuk Obat, makanan, Kosmetik, Alat Kesehatan, bahan adiktif, dan barang lainnya yang akan diekspor sesuai dengan permintaan negara tujuan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1077

    (1)
    Deklarasi Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1076 ayat (2) huruf a berupa:
     
    a.
    deklarasi Kesehatan maritim untuk kapal;
     
    b.
    deklarasi Kesehatan penerbangan untuk pesawat udara; dan
     
    c.
    deklarasi Kesehatan pelintasan darat untuk kendaraan darat.
    (2)
    Sertifikat persetujuan keberangkatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1076 ayat (2) huruf c berupa:
     
    a.
    surat persetujuan berlayar karantina Kesehatan untuk kapal;
     
    b.
    surat persetujuan keberangkatan pesawat udara untuk pesawat udara; dan
     
    c.
    surat persetujuan keberangkatan kendaraan darat untuk kendaraan darat.
    (3)
    Sertifikat sanitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1076 ayat (2) huruf d berupa:
     
    a.
    sertifikat bebas tindakan sanitasi kapal dan sertifikat tindakan sanitasi kapal;
     
    b.
    sertifikat bebas tindakan sanitasi pesawat udara dan sertifikat tindakan sanitasi pesawat udara; dan
     
    c.
    sertifikat bebas tindakan sanitasi kendaraan darat dan sertifikat tindakan sanitasi kendaraan darat.
    (4)
    Buku Kesehatan kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1076 ayat (2) huruf f diperuntukkan bagi kapal yang berlayar antarpelabuhan di wilayah Indonesia.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1078

    (1)
    Menteri dapat menetapkan perubahan Dokumen Karantina Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1076 dan/atau menetapkan Dokumen Karantina Kesehatan lain.
    (2)
    Penetapan Dokumen Karantina Kesehatan dan Dokumen Karantina Kesehatan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal terdapat perkembangan regulasi internasional dan/atau mempertimbangkan hasil evaluasi serta masukan dari berbagai pemangku kepentingan terkait.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1079

    Dokumen Karantina Kesehatan dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan di Pintu Masuk dan pelabuhan atau bandar udara yang melayani lalu lintas domestik.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1080

    (1)
    Pengajuan penerbitan Dokumen Karantina Kesehatan dilakukan kepada Petugas Karantina Kesehatan secara elektronik atau manual.
    (2)
    Pengajuan penerbitan Dokumen Karantina Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi dengan pemenuhan persyaratan yang ditetapkan untuk setiap Dokumen Karantina Kesehatan.
    (3)
    Penerbitan Dokumen Karantina Kesehatan dilakukan setelah dilaksanakan pengawasan dan/atau tindakan penanggulangan.
    (4)
    Penerbitan Dokumen Karantina Kesehatan dapat dilakukan secara elektronik atau manual.
    (5)
    Penerbitan Dokumen Karantina Kesehatan menggunakan bentuk atau format yang ditetapkan oleh Menteri.
    (6)
    Penerbitan Dokumen Karantina Kesehatan dapat dikenakan biaya yang menjadi pendapatan negara bukan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1081

    (1)
    Dokumen Karantina Kesehatan dinyatakan batal atau tidak berlaku apabila:
     
    a.
    masa berlaku sudah berakhir;
     
    b.
    nomor registrasi alat angkut berubah;
     
    c.
    tidak terpenuhinya persyaratan yang ditetapkan;
     
    d.
    keterangan dalam dokumen tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya; dan/atau
     
    e.
    diperoleh secara tidak sah.
    (2)
    Pembatalan Dokumen Karantina Kesehatan dilakukan oleh pejabat yang berwenang pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
    (3)
    Terhadap alat angkut, orang, dan barang dengan Dokumen Karantina Kesehatan yang dinyatakan batal atau tidak berlaku, harus dilakukan pengawasan dan/atau tindakan penanggulangan oleh Petugas Karantina Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1082

    (1)
    Setiap penerbitan dan pembatalan Dokumen Karantina Kesehatan wajib dilakukan pencatatan dan pelaporan.
    (2)
    Pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1083

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman teknis pengajuan, penerbitan, dan pembatalan, serta bentuk Dokumen Karantina Kesehatan diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 3
    Penanggulangan Wabah
     

    Pasal 1084

    (1)
    Penanggulangan Wabah dilaksanakan segera setelah penetapan Daerah Terjangkit Wabah dengan memperhatikan asas kemanusiaan, sosial, budaya, ekonomi, dan lingkungan.
    (2)
    Menteri menetapkan Daerah Terjangkit Wabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
    (3)
    Dalam penetapan Daerah Terjangkit Wabah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri mempertimbangkan aspek:
     
    a.
    etiologi penyakit;
     
    b.
    situasi kasus dan kematian;
     
    c.
    kapasitas Pelayanan Kesehatan; dan/atau
     
    d.
    kondisi masyarakat.
    (4)
    Selain pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri dalam menetapkan Daerah Terjangkit Wabah mempertimbangkan aspek kedaulatan negara, keamanan, ekonomi, sosial, dan budaya dalam penetapan Daerah Terjangkit Wabah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1085

    (1)
    Penetapan Daerah Terjangkit Wabah dapat dilakukan pada:
     
    a.
    wilayah administratif;
     
    b.
    wilayah Pintu Masuk dan bandar udara atau pelabuhan yang melayani lalu lintas domestik;
     
    c.
    wilayah kepulauan; dan/atau
     
    d.
    wilayah tertentu.
    (2)
    Penetapan Daerah Terjangkit Wabah pada wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan analisis epidemiologi dan/atau usulan dari Pemerintah Daerah untuk wilayah administratif dan rekomendasi kementerian/lembaga terkait untuk selain wilayah administratif.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1086

    (1)
    Dalam hal Wabah berdampak mengancam dan berpotensi mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang menyebabkan jumlah korban, kerugian ekonomi, cakupan luas wilayah yang terkena Wabah, dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan, dan kerusakan lingkungan, Menteri mengusulkan penetapan Wabah sebagai bencana nasional nonalam kepada Presiden.
    (2)
    Dalam hal terjadi situasi Wabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden menetapkan Wabah sebagai bencana nasional nonalam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1087

    Dalam hal Wabah berpotensi menyebar lintas negara, Pemerintah Pusat memberitahukan kepada negara lain dan/atau organisasi internasional sesuai dengan ketentuan hukum internasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1088

    (1)
    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab melaksanakan kegiatan penanggulangan Wabah.
    (2)
    Kegiatan penanggulangan Wabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara terintegrasi, komprehensif, dan tepat sasaran berdasarkan besarnya ancaman, efektivitas, dukungan sumber daya, dan teknik operasional dengan mempertimbangkan kedaulatan negara, keamanan dan pertahanan negara, ekonomi, sosial, dan budaya.
    (3)
    Pelaksanaan kegiatan penanggulangan Wabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh Menteri dengan melibatkan kementerian/lembaga terkait, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.
    (4)
    Dalam penanggulangan Wabah, Pemerintah Pusat dapat bekerja sama dengan negara lain atau badan internasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1089

    Dalam pelaksanaan penanggulangan Wabah, setiap Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, serta pejabat yang berwenang pada Pintu Masuk dan pelabuhan atau bandar udara yang melayani lalu lintas domestik sesuai kewenangannya dalam wilayah, Pintu Masuk dan pelabuhan atau bandar udara yang melayani lalu lintas domestik yang terjangkit Wabah harus mengaktivasi rencana kontingensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1050.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1090

    Dalam pelaksanaan penanggulangan Wabah, setiap Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, serta pejabat yang berwenang pada Pintu Masuk dan pelabuhan atau bandar udara yang melayani lalu lintas domestik sesuai kewenangannya dalam wilayah, Pintu Masuk, dan pelabuhan atau bandar udara yang melayani lalu lintas domestik yang terjangkit Wabah mengoordinasikan seluruh pemangku kepentingan untuk melakukan tugas, fungsi, dan tanggungjawab sesuai dengan rencana operasional penanggulangan Wabah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1091

    (1)
    Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota, serta pejabat yang berwenang pada Pintu Masuk dan pelabuhan atau bandar udara yang melayani lalu lintas domestik dapat melakukan komunikasi, koordinasi, dan kerja sama dengan lintas sektor, badan usaha, masyarakat, dan pemangku kepentingan terkait lainnya dalam rangka penanggulangan Wabah.
    (2)
    Komunikasi, koordinasi, dan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mengidentifikasi penyebab, gejala dan tanda, faktor yang mempengaruhi, dan dampak yang ditimbulkan, serta tindakan yang harus dilakukan.
    (3)
    Pemerintah Daerah provinsi atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota dapat melakukan kerja sama dalam penanggulangan Wabah dengan negara lain dan/atau organisasi internasional melalui Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1092

    (1)
    Penanggulangan Wabah dilakukan melalui kegiatan:
     
    a.
    investigasi penyakit;
     
    b.
    penguatan surveilans;
     
    c.
    penanganan penderita;
     
    d.
    pengendalian faktor risiko;
     
    e.
    penanganan terhadap populasi berisiko;
     
    f.
    komunikasi risiko; dan/atau
     
    g.
    tindakan penanggulangan lainnya.
    (2)
    Kegiatan penanggulangan Wabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai jenis penyakit yang menimbulkan Wabah.
    (3)
    Investigasi penyakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang etiologi penyakit, sumber penyakit, dan cara penularan atau penyebaran penyakit Wabah.
    (4)
    Penguatan surveilans sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan untuk penemuan kasus dan identifikasi mendalam tentang karakteristik dari etiologi/agen penyakit dan faktor risikonya dengan berbasis laboratorium dan/atau penelitian ilmiah.
    (5)
    Penanganan penderita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan upaya tata laksana penderita sesuai dengan kebutuhan medis melalui isolasi, karantina, dan/atau pengobatan dan perawatan.
    (6)
    Pengendalian faktor risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan untuk memutus rantai penularan penyakit dari faktor risiko yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dan perkembangan teknologi serta karakteristik dari faktor risiko tersebut, termasuk kemungkinan pemusnahan faktor risiko dimaksud.
    (7)
    Penanganan terhadap populasi berisiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dilakukan untuk mencegah dan mengurangi risiko penyebaran penyakit melalui pemberian kekebalan, pemberian profilaksis, dan/atau pembatasan kegiatan sosial kemasyarakatan.
    (8)
    Komunikasi risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dilakukan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat dan meningkatkan peran masyarakat dalam upaya penanggulangan Wabah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1093

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman pelaksanaan kegiatan penanggulangan Wabah diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 4
    Karantina
     

    Pasal 1094

    (1)
    Karantina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1092 ayat (5) dapat dilaksanakan di rumah, Rumah Sakit, tempat kerja, alat angkut, hotel, wisma, asrama, dan tempat atau wilayah lainnya dengan mempertimbangkan aspek epidemiologi.
    (2)
    Selain mempertimbangkan aspek epidemiologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaksanaan karantina harus didasarkan pada pertimbangan:
     
    a.
    besarnya ancaman;
     
    b.
    efektifitas;
     
    c.
    dukungan sumber daya;
     
    d.
    teknis operasional;
     
    e.
    politik;
     
    f.
    ekonomi, sosial, dan budaya; dan/atau
     
    g.
    pertahanan dan keamanan.
    (3)
    Pelaksanaan karantina sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan selama 1 (satu) kali masa inkubasi terpanjang atau berdasarkan waktu yang ditetapkan oleh Menteri.
    (4)
    Apabila selama masa karantina ditemukan kasus dengan gejala dan tanda yang sama, karantina dapat diperpanjang selama 1 (satu) kali masa inkubasi terpanjang atau berdasarkan waktu yang ditetapkan oleh Menteri.
    (5)
    Karantina yang dilaksanakan di rumah, Rumah Sakit, tempat kerja, alat angkut, hotel, wisma, asrama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan kriteria:
     
    a.
    teridentifikasinya individu atau kelompok yang kontak dengan orang yang terjangkit;
     
    b.
    teridentifikasinya individu atau kelompok, barang, atau alat angkut yang kontak dengan barang, alat angkut, dan/atau area yang terpapar; dan/atau
     
    c.
    teridentifikasinya sinyal epidemiologi dari dalam dan luar tempat karantina.
    (6)
    Karantina yang dilaksanakan di tempat atau wilayah lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan kriteria:
     
    a.
    telah terjadi peningkatan penyebaran kejadian penyakit menular antaranggota masyarakat dalam suatu wilayah berdasarkan pertimbangan epidemiologis; dan
     
    b.
    telah terdapat konfirmasi hasil laboratorium dan/atau pemeriksaan/pengukuran lainnya yang menunjukkan penyebab timbulnya Wabah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1095

    (1)
    Penetapan dan pencabutan status karantina dilaksanakan oleh:
     
    a.
    bupati/wali kota atau pejabat Pemerintah Daerah kabupaten/kota yang ditunjuk, untuk tempat karantina paling sedikit 1 (satu) kecamatan, 1 (satu) kelurahan/desa, atau 1 (satu) rukun warga/rukun tetangga;
     
    b.
    gubernur atau pejabat Pemerintah Daerah provinsi yang ditunjuk, untuk tempat karantina paling sedikit 1 (satu) kabupaten/kota; dan
     
    c.
    Menteri, untuk wilayah Pintu Masuk dan pelabuhan atau bandar udara yang melayani lalu lintas domestik serta daerah yang tidak ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.
    (2)
    Penetapan dan pencabutan status karantina di wilayah Pintu Masuk dan pelabuhan atau bandar udara yang melayani lalu lintas domestik oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilaksanakan berdasarkan laporan dari Petugas Karantina Kesehatan sesuai dengan perkembangan penyebaran kejadian penyakit yang menimbulkan Wabah.
    (3)
    Menteri melakukan verifikasi dan validasi atas laporan dari Petugas Karantina Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berkoordinasi dengan menteri/pimpinan lembaga terkait.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1096

    (1)
    Dalam pelaksanaan karantina, ditetapkan akses masuk dan keluar bagi Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, dan Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan untuk keperluan logistik, Pelayanan Kesehatan, dan surveilans.
    (2)
    Penetapan akses masuk dan keluar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Petugas Karantina Kesehatan dengan memperhatikan penyebaran kejadian penyakit dan faktor risiko penyakit yang menimbulkan Wabah.
    (3)
    Akses masuk dan keluar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dijaga oleh petugas keamanan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1097

    (1)
    Dalam hal karantina dilaksanakan di wilayah yang hanya terdapat 1 (satu) akses masuk dan akses keluar, kendaraan yang diperbolehkan untuk melintas meliputi:
     
    a.
    kendaraan yang membawa logistik;
     
    b.
    ambulans;
     
    c.
    kendaraan operasional Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, dan Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan yang melakukan penanggulangan Wabah; dan
     
    d.
    kendaraan yang ditetapkan oleh Petugas Karantina Kesehatan sesuai kebutuhan penanganan.
    (2)
    Kendaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pemeriksaan oleh petugas keamanan untuk diberi izin melintas.
    (3)
    Kendaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menjalani tindakan berupa disinfeksi, dekontaminasi, disinseksi, dan/atau deratisasi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1098

    (1)
    Dalam pelaksanaan karantina di wilayah Pintu Masuk dan pelabuhan atau bandar udara yang melayani lalu lintas domestik, seluruh kegiatan lalu lintas alat angkut, orang, dan barang dihentikan, kecuali kegiatan penanggulangan Wabah.
    (2)
    Setiap orang yang berada di dalam wilayah Pintu Masuk dan pelabuhan atau bandar udara yang melayani lalu lintas domestik dimobilisasi dan ditempatkan di asrama karantina Kesehatan atau fasilitas karantina lainnya yang ditentukan oleh pejabat yang berwenang di Pintu Masuk atau pelabuhan atau bandar udara yang melayani lalu lintas domestik.
    (3)
    Dalam pelaksanaan karantina di wilayah Pintu Masuk dan pelabuhan atau bandar udara yang melayani lalu lintas domestik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan akses masuk dan keluar bagi Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, dan Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan, serta kendaraan untuk keperluan logistik, Pelayanan Kesehatan, dan surveilans.
    (4)
    Penetapan akses masuk dan keluar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memperhatikan penyebaran kejadian penyakit dan faktor risiko penyakit yang menimbulkan Wabah.
    (5)
    Akses masuk dan keluar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dijaga oleh petugas keamanan.
    (6)
    Setiap alat angkut, orang, dan barang yang keluar dari wilayah karantina dilakukan tindakan berupa disinfeksi, dekontaminasi, disinseksi, dan/atau deratisasi.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1099

    (1)
    Orang yang meninggal selama pelaksanaan karantina dilakukan pemulasaraan jenazah sesuai dengan penyebab kematian.
    (2)
    Orang yang meninggal dalam kondisi terjangkit atau terpapar penyakit yang menimbulkan Wabah selama pelaksanaan karantina, pemakaman dilakukan di tempat/lokasi yang ditetapkan oleh gubernur atau bupati/wali kota.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1100

    Dalam pelaksanaan karantina, masyarakat dapat berperan serta untuk:
    a.
    membantu penyediaan sumber daya dan kebutuhan hidup dasar yang dibutuhkan;
    b.
    membantu pengamanan;
    c.
    membantu pendistribusian logistik;
    d.
    memberikan dukungan fasilitasi dalam Pelayanan Kesehatan; dan/atau
    e.
    dukungan lain yang diperlukan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1101

    (1)
    Dalam melaksanakan karantina, Petugas Karantina Kesehatan melibatkan Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan, dan tenaga cadangan Kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, dan pihak terkait lainnya yang berwenang.
    (2)
    Dalam pelaksanaan karantina sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Petugas Karantina Kesehatan wajib memberikan penjelasan mengenai:
     
    a.
    informasi penyakit menular yang menimbulkan Wabah beserta faktor risiko penyakit dan dampaknya;
     
    b.
    informasi tindakan yang akan diberikan;
     
    c.
    informasi upaya pencegahan penularan penyakit yang menimbulkan Wabah dan faktor risikonya;
     
    d.
    informasi hak dan kewajiban orang yang dikarantina; dan
     
    e.
    informasi lain yang diperlukan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1102

    (1)
    Dalam pelaksanaan karantina, Petugas Karantina Kesehatan, Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, dan Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan harus memperhatikan keselamatan dan Kesehatan.
    (2)
    Petugas Karantina Kesehatan, Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, dan Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan yang bertugas melaksanakan karantina harus dilengkapi dengan alat pelindung diri atau alat proteksi lainnya.
    (3)
    Selain dilengkapi dengan alat pelindung diri atau alat proteksi lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Petugas Karantina Kesehatan, Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, dan Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan juga melaksanakan tindakan pencegahan sesuai dengan jenis penyakit menular yang menimbulkan Wabah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 5
    Pembatasan Kegiatan Sosial Kemasyarakatan
     

    Pasal 1103

    (1)
    Pembatasan kegiatan sosial kemasyarakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1092 ayat (7) merupakan tindakan mitigasi faktor risiko di wilayah pada situasi Wabah yang dilakukan dengan membatasi kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi atau terpapar penyakit yang menimbulkan Wabah sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit.
    (2)
    Pembatasan kegiatan sosial kemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan jika telah memenuhi kriteria:
     
    a.
    jumlah kasus dan/atau jumlah kematian akibat penyakit yang menimbulkan Wabah meningkat dan menyebar secara signifikan dan cepat ke beberapa wilayah; dan
     
    b.
    telah terdapat kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa di wilayah atau negara lain.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1104

    (1)
    Pembatasan kegiatan sosial kemasyarakatan meliputi:
     
    a.
    peliburan sekolah dan tempat kerja;
     
    b.
    pembatasan kegiatan keagamaan;
     
    c.
    pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum; dan/atau
     
    d.
    pembatasan kegiatan lainnya.
    (2)
    Pembatasan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b harus tetap mempertimbangkan kebutuhan pendidikan, produktivitas kerja, dan ibadah masyarakat.
    (3)
    Pembatasan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan dengan memperhatikan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat.
    (4)
    Pembatasan kegiatan sosial kemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berkoordinasi dan bekerja sama dengan berbagai pihak terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1105

    (1)
    Pembatasan kegiatan sosial kemasyarakatan ditetapkan dan dicabut oleh Menteri dengan mempertimbangkan rekomendasi dari Petugas Karantina Kesehatan.
    (2)
    Dalam menetapkan atau mencabut pembatasan kegiatan sosial kemasyarakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri berkoordinasi dengan menteri dan/atau pimpinan lembaga terkait.
    (3)
    Gubernur atau bupati/wali kota dapat menetapkan dan mencabut pembatasan kegiatan sosial kemasyarakatan untuk 1 (satu) provinsi atau kabupaten/kota di wilayahnya setelah mendapatkan persetujuan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 6
    Petugas Karantina Kesehatan
     

    Pasal 1106

    Petugas Karantina Kesehatan merupakan aparatur sipil negara yang berkedudukan di Pintu Masuk dan pelabuhan atau bandar udara yang melayani lalu lintas domestik serta di wilayah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1107

    Petugas Karantina Kesehatan di Pintu Masuk dan pelabuhan atau bandar udara yang melayani lalu lintas domestik diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1108

    (1)
    Petugas Karantina Kesehatan di wilayah diangkat dan diberhentikan oleh gubernur atau bupati/wali kota.
    (2)
    Pengangkatan Petugas Karantina Kesehatan di wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah adanya penetapan Wabah.
    (3)
    Petugas Karantina Kesehatan di wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertugas selama status Wabah masih ditetapkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1109

    Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan yang diangkat sebagai Petugas Karantina Kesehatan harus telah mengikuti pelatihan karantina Kesehatan dan penanggulangan penyakit dan/atau faktor risiko penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1110

    (1)
    Petugas Karantina Kesehatan di Pintu Masuk dan pelabuhan atau bandar udara yang melayani lalu lintas domestik berwenang:
     
    a.
    melakukan dan menetapkan tindakan penanggulangan Wabah;
     
    b.
    menerbitkan surat rekomendasi penolakan kedatangan atau penundaan keberangkatan kepada instansi yang berwenang; dan
     
    c.
    menerbitkan surat rekomendasi kepada pejabat yang berwenang untuk menetapkan karantina di wilayah Pintu Masuk dan pelabuhan atau bandar udara yang melayani lalu lintas domestik.
    (2)
    Petugas Karantina Kesehatan di wilayah berwenang:
     
    a.
    melakukan dan menetapkan tindakan penanggulangan Wabah;
     
    b.
    menerbitkan surat rekomendasi deportasi kepada instansi yang berwenang; dan
     
    c.
    menerbitkan surat rekomendasi kepada pejabat yang berwenang untuk menetapkan karantina yang dilaksanakan di rumah, Rumah Sakit, tempat kerja, alat angkut, hotel, wisma, asrama, dan tempat atau wilayah lain di wilayah kerjanya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Paragraf 7
    Pelaksanaan Kegiatan Pasca-Wabah
     

    Pasal 1111

    (1)
    Kegiatan pasca-Wabah dilaksanakan setelah Menteri mencabut penetapan Daerah Terjangkit Wabah.
    (2)
    Pencabutan penetapan Daerah Terjangkit Wabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan jika pada Daerah Terjangkit Wabah memenuhi kriteria epidemiologis meliputi:
     
    a.
    penularan penyakit telah berhenti;
     
    b.
    perkembangan penyakit dapat dikendalikan; dan/atau
     
    c.
    kondisi Kesehatan telah kembali seperti keadaan sebelum terjadi Wabah.
    (3)
    Selain kriteria epidomologis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dalam mencabut penetapan Daerah Terjangkit Wabah dapat mempertimbangkan situasi Pelayanan Kesehatan masyarakat sudah berfungsi kembali seperti situasi sebelum terjadinya Wabah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1112

    (1)
    Kegiatan pasca-Wabah dilakukan untuk pemulihan Kesehatan masyarakat di Daerah Terjangkit Wabah, mencegah Wabah berulang, dan meningkatkan pemberdayaan masyarakat.
    (2)
    Untuk pemulihan pasca-Wabah dilakukan kegiatan normalisasi:
     
    a.
    Pelayanan Kesehatan; dan
     
    b.
    kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat.
    (3)
    Selain pemulihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap dilakukan upaya pencegahan terulangnya Wabah melalui kegiatan:
     
    a.
    penguatan surveilans Kesehatan; dan
     
    b.
    pengendalian faktor risiko.
    (4)
    Pemulihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) juga dapat dilakukan melalui penguatan pemberian kekebalan atau pemberian profilaksis.
    (5)
    Kegiatan normalisasi Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat berupa pemberian Pelayanan Kesehatan yang dilaksanakan seperti pada kondisi sebelum terjadinya Wabah.
    (6)
    Kegiatan pasca-Wabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Pusat secara terintegrasi, komprehensif, tepat sasaran, dan berkesinambungan sesuai dengan kewenangannya.
    (7)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman pelaksanaan kegiatan pasca-Wabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keempat
    Standar Pengelolaan Bahan dan Agen Biologi Penyebab Penyakit dan/atau Masalah Kesehatan yang Berpotensi Menimbulkan KLB dan/atau Wabah
     

    Pasal 1113

    (1)
    Setiap Orang yang mengelola bahan yang mengandung penyebab dan/atau agen biologi penyebab penyakit dan masalah Kesehatan yang berpotensi menimbulkan KLB dan Wabah wajib memenuhi standar pengelolaan.
    (2)
    Standar pengelolaan bahan yang mengandung penyebab dan/atau agen biologi penyebab penyakit dan masalah Kesehatan yang berpotensi menimbulkan KLB dan Wabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
     
    a.
    batas aman penggunaan unsur bahan kimia;
     
    b.
    batas aman penggunaan unsur fisika berupa zat radioaktif dari instalasi nuklir dan/atau kegiatan yang memanfaatkan zat radioaktif; dan
     
    c.
    batas aman penggunaan agen biologi pada media lingkungan air, udara, dan tanah.
    (3)
    Bahan yang mengandung penyebab dan/atau agen biologi penyebab penyakit dan masalah Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari manusia, hewan, tumbuhan, dan/atau benda/zat yang diduga tercemar atau mengandung penyebab penyakit.
    (4)
    Bahan yang mengandung penyebab dan/atau agen biologi penyebab penyakit dan masalah Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dikelola sesuai dengan jenis dan sifatnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1114

    (1)
    Pengelolaan bahan yang mengandung penyebab dan/atau agen biologi penyebab penyakit dan masalah Kesehatan yang berpotensi menimbulkan KLB dan Wabah meliputi kegiatan pemasukan, penyimpanan, pengangkutan, penggunaan, penelitian, dan pemusnahan.
    (2)
    Pengelolaan bahan yang mengandung penyebab dan/atau agen biologi penyebab penyakit dan masalah Kesehatan yang berpotensi menimbulkan KLB dan Wabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, atau tenaga lainnya sesuai dengan keahlian, kompetensi, dan kewenangannya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1115

    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengelolaan dan batas aman bahan yang mengandung penyebab dan/atau agen biologi penyebab penyakit dan masalah Kesehatan yang berpotensi menimbulkan KLB dan Wabah diatur dengan Peraturan Menteri dan peraturan menteri/peraturan kepala lembaga terkait sesuai dengan tugas dan kewenangannya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Kelima
    Pencatatan dan Pelaporan
     

    Pasal 1116

    (1)
    Setiap kegiatan pelaksanaan kewaspadaan KLB dan Wabah, kegiatan penanggulangan KLB dan Wabah dan/atau kegiatan pasca-KLB dan pasca-Wabah harus dilakukan pencatatan dan pelaporan melalui Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
    (2)
    Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara cepat, tepat, akurat, dan bertanggung jawab.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Bagian Keenam
    Sanksi Administratif
     

    Pasal 1117

    (1)
    Setiap Orang yang mengetahui adanya orang sakit atau diduga sakit akibat penyakit atau masalah Kesehatan yang berpotensi menimbulkan KLB atau akibat penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah harus segera melaporkan kepada aparatur pemerintahan desa/kelurahan dan/atau Fasilitas Pelayanan Kesehatan terdekat.
    (2)
    Aparatur pemerintahan desa/kelurahan dan/atau Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang menerima laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau yang mengetahui adanya orang sakit atau diduga sakit akibat penyakit atau masalah Kesehatan yang berpotensi menimbulkan KLB atau akibat penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah wajib melaporkan kepada perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan setempat.
    (3)
    Aparatur pemerintahan desa/kelurahan dan/atau Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai sanksi administratif oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Pusat sesuai dengan kewenangannya berupa:
     
    a.
    teguran lisan;
     
    b.
    teguran tertulis; dan/atau
     
    c.
    usulan pemberhentian dari jabatannya.
    (4)
    Sanksi administratif berupa teguran lisan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a disampaikan secara langsung dan dituangkan dalam berita acara.
    (5)
    Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b diberikan dalam bentuk keputusan, dengan ketentuan:
     
    a.
    telah mendapatkan sanksi administratif berupa teguran lisan dan masih melakukan pelanggaran yang sama; atau
     
    b.
    dampak yang ditimbulkan dari pelanggaran menyebabkan meningkatnya jumlah kesakitan.
    (6)
    Pengenaan sanksi administratif berupa usulan pemberhentian dari jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c diberikan dalam bentuk keputusan, dengan ketentuan:
     
    a.
    telah mendapatkan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan masih melakukan pelanggaran yang sama; atau
     
    b.
    dampak yang ditimbulkan dari pelanggaran menyebabkan meningkatnya jumlah kedisabilitasan dan/atau kematian.
    (7)
    Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan berdasarkan hasil verifikasi, klarifikasi, dan kajian terhadap pelanggaran yang ditemukan dan/atau dilaporkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1118

    (1)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib memberikan Pelayanan Kesehatan terhadap orang sakit atau diduga sakit akibat penyakit atau masalah Kesehatan yang berpotensi menimbulkan KLB atau akibat penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah.
    (2)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Setiap Orang yang mengelola bahan yang mengandung penyebab dan/atau agen biologi penyebab penyakit dan masalah Kesehatan yang berpotensi menimbulkan KLB dan Wabah yang tidak memenuhi standar pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1113 ayat (1) dikenai sanksi administratif oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berupa:
     
    a.
    teguran lisan;
     
    b.
    teguran tertulis; dan/atau
     
    c.
    denda administratif.
    (3)
    Sanksi administratif berupa teguran lisan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a disampaikan secara langsung dan dituangkan dalam berita acara.
    (4)
    Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diberikan dalam bentuk keputusan, dengan ketentuan:
     
    a.
    telah mendapatkan sanksi administratif berupa teguran lisan dan masih melakukan pelanggaran yang sama; atau
     
    b.
    dampak yang ditimbulkan dari pelanggaran menyebabkan meningkatnya jumlah kesakitan.
    (5)
    Sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c diberikan dalam bentuk keputusan, dengan ketentuan:
     
    a.
    telah mendapatkan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan masih melakukan pelanggaran yang sama; atau
     
    b.
    dampak yang ditimbulkan dari pelanggaran menyebabkan meningkatnya jumlah kedisabilitasan dan/atau kematian.
    (6)
    Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikenakan sesuai dengan besaran yang telah ditetapkan sebagai penerimaan negara bukan pajak atau pendapatan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan.
    (7)
    Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan hasil verifikasi, klarifikasi, dan kajian terhadap pelanggaran yang ditemukan dan/atau dilaporkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1119

    (1)
    Setiap nakhoda, kapten penerbang, dan pengemudi kendaraan darat yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1055 ayat (1) dan nakhoda yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1056 dikenai sanksi administratif oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan kewenangannya berupa:
     
    a.
    teguran tertulis; dan/atau
     
    b.
    denda administratif.
    (2)
    Setiap nakhoda, kapten penerbang, dan pengemudi kendaraan darat yang tidak melengkapi Dokumen Karantina Kesehatan sehingga dikeluarkan persetujuan karantina terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1057 ayat (3) huruf b dikenai sanksi administratif oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan kewenangannya berupa denda administratif.
    (3)
    Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan dalam bentuk keputusan.
    (4)
    Pengenaan sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan dengan ketentuan telah mendapatkan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan masih melakukan pelanggaran yang sama.
    (5)
    Pengenaan sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2) diberikan dalam bentuk keputusan.
    (6)
    Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat pada ayat (1) huruf b dan ayat (2) dikenakan sesuai dengan besaran yang telah ditetapkan sebagai penerimaan negara bukan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (7)
    Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan berdasarkan hasil verifikasi, klarifikasi, dan kajian terhadap pelanggaran yang ditemukan dan/atau dilaporkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1120

    Setiap Orang, aparatur pemerintahan desa/kelurahan, Fasilitas Pelayanan Kesehatan, nakhoda, kapten penerbang, dan/atau pengemudi kendaraan darat yang mendapat sanksi administratif berhak mengajukan keberatan kepada pejabat yang memberikan sanksi administratif atau pengadilan tata usaha negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1121

    Ketentuan lebih lanjut mengenai teknis pengenaan sanksi administratif dan pengajuan keberatan atas sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB IX
    PENDANAAN KESEHATAN
     

    Pasal 1122

    Pendanaan Kesehatan bertujuan untuk mendanai pembangunan Kesehatan secara berkesinambungan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil, dan termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna untuk meningkatkan derajat Kesehatan masyarakat setinggi-tingginya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1123

    Pendanaan Kesehatan diselenggarakan berdasarkan prinsip:
    a.
    kecukupan;
    b.
    kemanfaatan;
    c.
    keadilan;
    d.
    efektif dan efisien;
    e.
    berkesinambungan; dan
    f.
    transparan dan akuntabel.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1124

    (1)
    Sumber pendanaan Kesehatan berasal dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Sumber pendanaan Kesehatan yang berasal dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara.
    (3)
    Sumber pendanaan Kesehatan yang berasal dari Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1125

    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab menyediakan dana yang dimanfaatkan untuk seluruh kegiatan:
    a.
    Upaya Kesehatan;
    b.
    penanggulangan bencana, KLB, dan/atau Wabah;
    c.
    penguatan Sumber Daya Kesehatan dan pemberdayaan masyarakat;
    d.
    penguatan pengelolaan Kesehatan;
    e.
    penelitian, pengembangan, dan inovasi bidang Kesehatan; dan
    f.
    program Kesehatan strategis lainnya sesuai dengan prioritas pembangunan nasional di sektor Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1126

    (1)
    Pemanfaatan pendanaan untuk Upaya Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1125 huruf a mencakup upaya promotif, preventif termasuk skrining, kuratif, rehabilitatif, dan/atau paliatif dalam rangka meningkatkan derajat Kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
    (2)
    Pemanfaatan pendanaan untuk Upaya Kesehatan sebagaimana dimaksud ayat (1) terdiri atas:
     
    a.
    kegiatan Upaya Kesehatan masyarakat; dan
     
    b.
    kegiatan Upaya Kesehatan perseorangan.
    (3)
    Pemanfaatan pendanaan untuk Upaya Kesehatan Perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b melalui pembayaran penuh atau sebagian iuran jaminan kesehatan nasional dan jaminan kesehatan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1127

    (1)
    Pemanfaatan pendanaan untuk penanggulangan bencana, KLB, dan/atau Wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1125 huruf b mencakup kegiatan Pelayanan Kesehatan pada bencana termasuk penanggulangan krisis Kesehatan akibat bencana, kewaspadaan KLB dan Wabah, penanggulangan KLB dan Wabah, serta kegiatan pasca­ KLB dan pasca-Wabah.
    (2)
    Selain untuk kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemanfaatan pendanaan untuk bencana, KLB, dan/atau Wabah termasuk kegiatan:
     
    a.
    penanganan kejadian ikutan pascapemberian Obat pencegahan massal dan imunisasi; dan
     
    b.
    penyediaan kebutuhan hidup dasar bagi orang dan pakan hewan ternak selama dalam pelaksanaan karantina.
    (3)
    Pendanaan penyediaan kebutuhan hidup dasar bagi orang dan pakan hewan temak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara dan/atau keuangan daerah.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1128

    Pemanfaatan pendanaan untuk penguatan Sumber Daya Kesehatan dan pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1125 huruf c mencakup:
    a.
    perencanaan, penyediaan, pendayagunaan atau pemanfaatan, serta pembinaan dan pengawasan Sumber Daya Kesehatan; dan
    b.
    advokasi, peningkatan, serta pembinaan dan pengawasan pelaksanaan peran serta masyarakat termasuk swasta dalam kegiatan dan program Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1129

    Pemanfaatan pendanaan untuk penguatan pengelolaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1125 huruf d mencakup penguatan sistem Kesehatan untuk:
    a.
    Upaya Kesehatan;
    b.
    penelitian dan pengembangan Kesehatan;
    c.
    pendanaan Kesehatan;
    d.
    Sumber Daya Manusia Kesehatan;
    e.
    Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, serta pengamanan makanan dan minuman;
    f.
    manajemen, informasi, dan regulasi Kesehatan; dan
    g.
    pemberdayaan masyarakat.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1130

    (1)
    Pemanfaatan pendanaan untuk penelitian, pengembangan, dan inovasi bidang Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1125 huruf e mencakup seluruh kegiatan penelitian, pengembangan, dan inovasi yang ditujukan untuk peningkatan Upaya Kesehatan, peningkatan Pelayanan Kesehatan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, dan peningkatan daya saing.
    (2)
    Penelitian, pengembangan, dan inovasi bidang Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk penelitian dan pengembangan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan yang menjadi prioritas ketahanan Kesehatan nasional.
    (3)
    Industri Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan harus mengalokasikan anggaran pendanaan penelitian dan pengembangan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan sesuai kebutuhan dan kemampuan industri Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1131

    Pemanfaatan pendanaan untuk program Kesehatan strategis lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1125 huruf f mencakup program dan kegiatan Kesehatan yang menjadi prioritas pembangunan nasional di sektor Kesehatan yang ditetapkan oleh Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1132

    (1)
    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas pendanaan pemeriksaan dan Pelayanan Kesehatan terhadap korban tindak pidana dan/atau pemeriksaan mayat untuk kepentingan hukum.
    (2)
    Pendanaan pemeriksaan dan Pelayanan Kesehatan terhadap korban tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup pemeriksaan dan Pelayanan Kesehatan terhadap korban tindak pidana penganiayaan, perkosaan, kekerasan seksual lain, perdagangan orang, dan tindak pidana lain yang belum dijamin pendanaannya, dan/atau visum untuk kepentingan hukum.
    (3)
    Pendanaan pemeriksaan mayat untuk kepentingan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup tindakan pemeriksaan dalam rangka visum untuk kepentingan hukum.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1133

    (1)
    Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota memprioritaskan anggaran Kesehatan untuk program dan kegiatan dalam penyusunan anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah.
    (2)
    Anggaran Kesehatan untuk program dan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan anggaran selain untuk gaji dalam lingkup peningkatan Pelayanan Kesehatan bagi masyarakat dengan tetap memperhatikan kesejahteraan bagi Sumber Daya Manusia Kesehatan.
    (3)
    Pemerintah Pusat mengalokasikan anggaran Kesehatan dari anggaran pendapatan dan belanja negara sesuai dengan kebutuhan program nasional yang dituangkan dalam rencana induk bidang Kesehatan dengan memperhatikan penganggaran berbasis kinerja.
    (4)
    Pemerintah Daerah mengalokasikan anggaran Kesehatan dari anggaran pendapatan dan belanja daerah sesuai dengan kebutuhan Kesehatan daerah yang mengacu pada program Kesehatan nasional yang dituangkan dalam rencana induk bidang Kesehatan dengan memperhatikan penganggaran berbasis kinerja.
    (5)
    Pengalokasian anggaran Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), termasuk memperhatikan penyelesaian permasalahan Kesehatan berdasarkan beban penyakit atau epidemiologi.
    (6)
    Rencana induk bidang Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) merupakan dokumen perencanaan dan penganggaran bidang Kesehatan secara nasional yang disusun berdasarkan prioritas pembangunan Kesehatan sesuai dengan rencana pembangunan jangka panjang nasional dan rencana pembangunan jangka menengah nasional.
    (7)
    Rencana induk bidang Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat dilakukan evaluasi setiap tahun.
    (8)
    Rencana induk bidang Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) menjadi acuan bagi kementerian/lembaga dan Pemerintah Daerah serta masyarakat untuk menyusun rencana lima tahunan di bidang Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1134

    (1)
    Alokasi anggaran Kesehatan oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1133 pada ayat (1) harus memperhatikan kecukupan dana untuk pemenuhan standar pelayanan minimal dan program Kesehatan lainnya yang menjadi prioritas nasional.
    (2)
    Dalam penyusunan anggaran Kesehatan Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat berwenang untuk menyinkronkan kebutuhan alokasi anggaran untuk kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1135

    (1)
    Rencana induk bidang Kesehatan ditetapkan oleh Presiden.
    (2)
    Penyusunan rencana induk bidang Kesehatan dikoordinasikan oleh Menteri dengan melibatkan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan kementerian/lembaga yang mendukung program Kesehatan.
    (3)
    Sebelum ditetapkan oleh Presiden, rencana induk bidang Kesehatan harus dikonsultasikan dengan alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang membidangi Kesehatan.
    (4)
    Penyusunan rencana induk bidang Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memperhatikan prinsip:
     
    a.
    penguatan tata kelola perencanaan dan penganggaran;
     
    b.
    penganggaran berbasis kinerja;
     
    c.
    penerapan penganggaran jangka pendek dan menengah;
     
    d.
    sinkronisasi perencanaan dan penganggaran antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah; dan
     
    e.
    mobilisasi sumber pendanaan lain.
    (5)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana induk bidang Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1136

    (1)
    Dalam melaksanakan penganggaran berbasis kinerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1133, Menteri menetapkan:
     
    a.
    indikator kinerja program dan kegiatan peningkatan Pelayanan Kesehatan; dan
     
    b.
    capaian kinerja pendanaan Kesehatan.
    (2)
    Indikator kinerja program dan kegiatan peningkatan Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengacu pada rencana pembangunan jangka panjang nasional dan rencana pembangunan jangka menengah nasional.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1137

    (1)
    Menteri melakukan pemantauan dan evaluasi pendanaan Kesehatan secara nasional dan regional untuk memastikan tercapainya tujuan pendanaan Kesehatan.
    (2)
    Menteri dalam melakukan pemantauan dan evaluasi pendanaan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan menteri terkait lainnya.
    (3)
    Untuk mendukung pemantauan dan evaluasi pendanaan Kesehatan, Menteri mengembangkan Sistem Informasi Kesehatan mengenai pendanaan Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.
    (4)
    Pengembangan Sistem Informasi Kesehatan mengenai pendanaan Kesehatan dilakukan secara bertahap sesuai dengan arsitektur sistem informasi yang ditetapkan.
    (5)
    Sistem Informasi Kesehatan mengenai pendanaan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan seperangkat tatanan yang terintegrasi meliputi data, informasi, indikator, dan capaian kinerja pendanaan Kesehatan yang dikelola secara terpadu.
    (6)
    Dalam melaksanakan pemantauan dan evaluasi pendanaan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat melibatkan kementerian/lembaga dan/atau pihak lain.
    (7)
    Pemantauan dan evaluasi pendanaan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap:
     
    a.
    pelaksanaan penganggaran berbasis kinerja; dan
     
    b.
    peningkatan akses, pemerataan, dan kualitas Pelayanan Kesehatan.
    (8)
    Pemantauan dan evaluasi pendanaan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit 1 (satu) dalam 1 (satu) tahun.
    (9)
    Hasil pemantauan dan evaluasi pendanaan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipublikasikan melalui Sistem Informasi Kesehatan mengenai pendanaan Kesehatan dalam bentuk:
     
    a.
    akun belanja Kesehatan nasional;
     
    b.
    akun belanja Kesehatan provinsi; dan
     
    c.
    akun belanja Kesehatan kabupaten/kota.
    (10)
    Hasil pemantauan dan evaluasi pendanaan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk perencanaan serta penyusunan kebijakan pendanaan Kesehatan secara umum.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1138

    (1)
    Dalam rangka upaya peningkatan kinerja pendanaan Kesehatan, Pemerintah Pusat dapat memberikan insentif atau disinsentif kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan capaian kinerja program dan Pelayanan Kesehatan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
    (2)
    Pemberian insentif atau disinsentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada hasil penilaian dan/atau hasil pemantauan dan evaluasi pendanaan Kesehatan melalui akun belanja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1137 ayat (9).
    (3)
    Pemberian insentif dan disinsentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan dalam bentuk fiskal dan nonfiskal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1139

    Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pemantauan dan evaluasi pendanaan Kesehatan diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1140

    (1)
    Setiap Fasilitas Pelayanan Kesehatan, instansi pusat dan instansi daerah, badan yang menyelenggarakan program jaminan sosial di bidang kesehatan, badan yang menyelenggarakan program jaminan sosial di bidang ketenagakerjaan, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, lembaga swasta, organisasi kemasyarakatan, dan mitra pembangunan yang menjalankan program Kesehatan wajib melaporkan realisasi belanja Kesehatan dan hasil capaian setiap tahun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan melalui Sistem Informasi Kesehatan mengenai pendanaan Kesehatan.
    (2)
    Laporan realisasi belanja Kesehatan dan hasil yang disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan dalam rangka pemantauan dan evaluasi pendanaan Kesehatan sebagai bahan penyusunan kebijakan arah pemanfaatan pendanaan Kesehatan.
    (3)
    Penyampaian laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan cara interoperabilitas sistem informasi.
    (4)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1141

    (1)
    Untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pendanaan Kesehatan, kementerian/lembaga terkait dapat melakukan kajian pendanaan Kesehatan.
    (2)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai kajian pendanaan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB X
    PARTISIPASI MASYARAKAT
     

    Pasal 1142

    (1)
    Masyarakat berpartisipasi, baik secara perseorangan maupun terorganisasi dalam segala bentuk dan tahapan pembangunan Kesehatan dalam rangka membantu mempercepat pencapaian derajat Kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
    (2)
    Partisipasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup keikutsertaan masyarakat secara aktif dan kreatif dalam:
     
    a.
    penyelenggaraan Upaya Kesehatan;
     
    b.
    fasilitasi Sumber Daya Kesehatan; dan
     
    c.
    pengelolaan Kesehatan.
    (3)
    Partisipasi masyarakat diutamakan pada terselenggaranya transformasi Kesehatan yang meliputi transformasi:
     
    a.
    Pelayanan Kesehatan primer;
     
    b.
    Pelayanan Kesehatan lanjutan;
     
    c.
    ketahanan Kesehatan;
     
    d.
    pendanaan Kesehatan;
     
    e.
    Sumber Daya Manusia Kesehatan; dan
     
    f.
    Teknologi Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1143

    (1)
    Partisipasi masyarakat diselenggarakan dalam mekanisme keikutsertaan pada setiap tahapan pembangunan Kesehatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pembinaan, dan pengawasan.
    (2)
    Keikutsertaan masyarakat dalam perencanaan pembangunan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan melalui komunikasi atau konsultasi kebijakan publik, penyampaian aspirasi, advokasi, rapat dengar pendapat, musyawarah perencanaan pembangunan di setiap level administrasi pemerintahan, serta mekanisme lainnya.
    (3)
    Keikutsertaan masyarakat dalam perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diarahkan untuk terwujudnya kebijakan pembangunan yang berwawasan Kesehatan.
    (4)
    Keikutsertaan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan melalui:
     
    a.
    penyediaan pendanaan;
     
    b.
    pengadaan dan peningkatan Sumber Daya Manusia Kesehatan;
     
    c.
    penyediaan Perbekalan Kesehatan, pengelolaan dan penyelenggaraan Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
     
    d.
    pelaksanaan program Kesehatan;
     
    e.
    pemberdayaan masyarakat;
     
    f.
    gerakan masyarakat;
     
    g.
    penyediaan informasi, implementasi tanggung jawab sosial, dan lingkungan oleh swasta, dunia usaha, serta organisasi kemasyarakatan; dan/atau
     
    h.
    mekanisme lain.
    (5)
    Keikutsertaan masyarakat dalam pembinaan pembangunan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan melalui kolaborasi dalam kampanye dan edukasi Kesehatan, peningkatan kapasitas, pendampingan, pemberian penghargaan, serta mekanisme lainnya.
    (6)
    Keikutsertaan masyarakat dalam pengawasan pembangunan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan melalui pelaporan, pemantauan dan evaluasi, koordinasi, konsultasi, supervisi terhadap penyelenggaraan Kesehatan, serta mekanisme lainnya.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1144

    (1)
    Partisipasi masyarakat dapat dilakukan oleh akademisi, swasta atau badan usaha, organisasi masyarakat, individu atau komunitas, dan media.
    (2)
    Partisipasi masyarakat oleh akademisi dapat berupa:
     
    a.
    penelitian, pengembangan dan pengkajian Kesehatan;
     
    b.
    pengembangan kampus sehat;
     
    c.
    peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia Kesehatan;
     
    d.
    kegiatan pengabdian masyarakat;
     
    e.
    publikasi ilmiah bidang Kesehatan;
     
    f.
    kajian evaluasi pemberdayaan masyarakat;
     
    g.
    inovasi model gerakan masyarakat; dan/atau
     
    h.
    penanggulangan KLB, Wabah, dan bencana.
    (3)
    Partisipasi masyarakat oleh swasta atau badan usaha dapat berupa:
     
    a.
    penyediaan Pelayanan Kesehatan;
     
    b.
    penyediaan Sumber Daya Kesehatan;
     
    c.
    pelaksanaan tanggung jawab sosial korporasi;
     
    d.
    filantropi;
     
    e.
    penggalangan dana;
     
    f.
    gerakan masyarakat;
     
    g.
    inovasi model gerakan masyarakat;
     
    h.
    penanggulangan KLB, Wabah, dan bencana; dan/atau
     
    i.
    penguatan kapasitas kader, pos pelayanan terpadu, dan/atau Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan.
    (4)
    Partisipasi masyarakat oleh organisasi kemasyarakatan dapat berupa:
     
    a.
    pelibatan peran tokoh masyarakat dan/atau tokoh agama;
     
    b.
    peningkatan kapasitas kelompok masyarakat dalam menggerakkan masyarakat untuk berperilaku hidup sehat;
     
    c.
    pengembangan tatanan atau lingkungan sehat;
     
    d.
    pengembangan pesantren sehat;
     
    e.
    penerapan perilaku hidup bersih dan sehat di tempat ibadah;
     
    f.
    penerapan perilaku hidup bersih dan sehat di tempat-tempat umum;
     
    g.
    menggalang gerakan masyarakat;
     
    h.
    inovasi model gerakan masyarakat; dan/atau
     
    i.
    penanggulangan KLB, Wabah, dan bencana.
    (5)
    Partisipasi masyarakat oleh individu atau komunitas dapat berupa:
     
    a.
    kesediaan menjadi pelopor atau agen perubahan bidang Kesehatan di masyarakat;
     
    b.
    gerakan masyarakat;
     
    c.
    pembudayaan gaya hidup sehat;
     
    d.
    pendampingan Pasien dan keluarga yang mengalami permasalahan Kesehatan;
     
    e.
    inovasi model gerakan masyarakat; dan/atau
     
    f.
    penanggulangan KLB, Wabah, dan bencana.
    (6)
    Partisipasi masyarakat oleh media dapat berupa:
     
    a.
    pengembangan strategi komunikasi;
     
    b.
    penyebarluasan Informasi Kesehatan melalui media cetak, media elektronik, dan/atau media sosial;
     
    c.
    temu wicara dan/atau konferensi pers mengenai isu Kesehatan; dan/atau
     
    d.
    penanggulangan KLB, Wabah, dan bencana.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1145

    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab mengoordinasikan dan memfasilitasi terlaksananya partisipasi masyarakat dalam pembangunan Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1146

    (1)
    Pemerintah Daerah provinsi bertanggungjawab:
     
    a.
    membuat kebijakan partisipasi masyarakat berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria partisipasi masyarakat di bidang Kesehatan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat; dan
     
    b.
    menyosialisasikan dan melaksanakan kebijakan dan norma, standar, prosedur, dan kriteria partisipasi masyarakat di bidang Kesehatan.
    (2)
    Pemerintah Daerah kabupaten/kota bertanggungjawab:
     
    a.
    membuat kebijakan partisipasi masyarakat berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah provinsi dan norma, standar, prosedur, dan kriteria partisipasi masyarakat di bidang Kesehatan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat; dan
     
    b.
    menyosialisasikan dan melaksanakan kebijakan dan norma, standar, prosedur, dan kriteria partisipasi masyarakat di bidang Kesehatan.
    (3)
    Pemerintah Desa bertanggung jawab menyosialisasikan dan melaksanakan kebijakan partisipasi masyarakat sesuai kebijakan dan norma, standar, prosedur, dan kriteria partisipasi masyarakat di bidang Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XI
    PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
     

    Pasal 1147

    (1)
    Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Kesehatan.
    (2)
    Penyelenggaraan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
     
    a.
    Upaya Kesehatan;
     
    b.
    Sumber Daya Kesehatan; dan
     
    c.
    pengelolaan Kesehatan.
    (3)
    Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara terkoordinasi dan berkesinambungan.
    (4)
    Pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan Kesehatan dapat dilakukan secara berkala atau sewaktu-waktu dibutuhkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1148

    (1)
    Pembinaan terhadap penyelenggaraan Kesehatan bertujuan untuk:
     
    a.
    meningkatkan akses dan memenuhi kebutuhan Setiap Orang terhadap Sumber Daya Kesehatan dan Upaya Kesehatan;
     
    b.
    menggerakkan dan melaksanakan penyelenggaraan Upaya Kesehatan;
     
    c.
    meningkatkan mutu Pelayanan Kesehatan serta kemampuan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan; dan
     
    d.
    melindungi masyarakat terhadap segala kemungkinan yang dapat menimbulkan bahaya bagi Kesehatan.
    (2)
    Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:
     
    a.
    komunikasi, informasi, edukasi, dan pemberdayaan masyarakat;
     
    b.
    sosialisasi dan advokasi;
     
    c.
    penguatan kapasitas dan bimbingan teknis;
     
    d.
    konsultasi; dan/atau
     
    e.
    pendidikan dan pelatihan.
    (3)
    Selain dilaksanakan melalui kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pembinaan juga dapat dilakukan melalui kegiatan:
     
    a.
    fasilitasi;
     
    b.
    pendampingan; dan/atau
     
    c.
    pemberian penghargaan.
    (4)
    Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan Konsil, Kolegium, Majelis Disiplin Profesi, organisasi profesi, organisasi kemasyarakatan terkait, akademisi, dan/atau pakar.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1149

    (1)
    Pengawasan terhadap penyelenggaraan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1147 bertujuan untuk:
     
    a.
    mengendalikan penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan agar berjalan efektif dan efisien; dan
     
    b.
    memastikan penyelenggaraan Kesehatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Kesehatan oleh setiap penyelenggara kegiatan dan masyarakat terkait penyelenggaraan Kesehatan.
    (2)
    Lingkup pengawasan bidang Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengawasan terhadap:
     
    a.
    ketaatan terhadap ketentuan peraturan perundang­-undangan, termasuk ketaatan pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat;
     
    b.
    ketaatan terhadap standar profesi, standar pelayanan, standar prosedur operasional, serta etika dan disiplin profesi;
     
    c.
    dampak Pelayanan Kesehatan oleh Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan;
     
    d.
    evaluasi penilaian kepuasan masyarakat;
     
    e.
    akuntabilitas dan kelayakan penyelenggaraan Upaya Kesehatan dan Sumber Daya Kesehatan; dan
     
    f.
    objek pengawasan lain sesuai dengan kebutuhan.
    (3)
    Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui:
     
    a.
    pemantauan dan evaluasi;
     
    b.
    pemeriksaan;
     
    c.
    reviu atau audit; dan
     
    d.
    bentuk pengawasan lainnya.
    (4)
    Dalam rangka pengawasan penyelenggaraan Kesehatan, Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota dapat dibantu tenaga pengawas bidang Kesehatan.
    (5)
    Tenaga pengawas bidang Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diangkat oleh Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota.
    (6)
    Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan Konsil, Kolegium, majelis disiplin profesi, organisasi profesi, organisasi kemasyarakatan terkait, akademisi, dan/atau pakar.
    (7)
    Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengikutsertakan masyarakat.
    (8)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan dan tenaga pengawas bidang Kesehatan diatur dengan Peraturan Menteri.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1150

    (1)
    Selain tenaga pengawas bidang Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1149 ayat (5), kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan dapat mengangkat tenaga pengawas tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Lingkup tugas tenaga pengawas tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengawasan terhadap Sediaan Farmasi dan pangan olahan sebelum dan selama beredar.
    (3)
    Ketentuan lebih lanjut mengenai tenaga pengawas tertentu diatur dengan peraturan kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1151

    (1)
    Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1149 ayat (5) dan Pasal 1150 ayat (2), tenaga pengawas bidang Kesehatan dan tenaga pengawas tertentu berwenang:
     
    a.
    memeriksa setiap dokumen;
     
    b.
    memeriksa setiap lokasi, fasilitas, atau tempat;
     
    c.
    memeriksa perizinan;
     
    d.
    mengambil data, informasi, dan/atau dokumen termasuk dan tidak terbatas pada gambar, foto, dan/atau video;
     
    e.
    melakukan verifikasi atau klarifikasi dan kajian;
     
    f.
    melakukan tindakan pengamanan setempat;
     
    g.
    memberikan rekomendasi berdasarkan hasil pengawasan; dan
     
    h.
    melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (2)
    Tindakan pengamanan setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f meliputi:
     
    a.
    tindakan inventarisasi;
     
    b.
    tindakan pengamanan terhadap sarana dan prasarana;
     
    c.
    larangan melakukan kegiatan sementara waktu; dan/atau
     
    d.
    tindakan pengamanan lainnya yang diperlukan.
    (3)
    Tindakan pengamanan setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dituangkan dalam berita acara pengamanan setempat.
    (4)
    Paling lama dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah ditandatanganinya berita acara pengamanan setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tenaga pengawas Kesehatan wajib menetapkan status pelanggaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    (5)
    Dalam hal berdasarkan hasil pengawasan menunjukkan adanya tindak pidana di bidang Kesehatan, tenaga pengawas Kesehatan dan tenaga pengawas tertentu harus segera berkoordinasi dengan tenaga penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1152

    Selain kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1151 tenaga pengawas tertentu berwenang:
    a.
    melakukan pengawasan terhadap peredaran Sediaan Farmasi dan pangan olahan melalui mekanisme dalam jaringan;
    b.
    melakukan sampling di fasilitas produksi, distribusi, pengangkutan, pelayanan, dan/atau penyerahan untuk dilakukan pengujian;
    c.
    melaksanakan pengawasan terhadap penandaan, promosi dan iklan Sediaan Farmasi dan pangan olahan;
    d.
    melaksanakan pengawasan penerapan Farmakovigilans;
    e.
    melaksanakan pengujian laboratorium di bidang Sediaan Farmasi dan pangan olahan; dan
    f.
    melaksanakan pemantauan, komunikasi, informasi, dan edukasi di bidang Sediaan Farmasi dan pangan olahan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1153

    Dalam rangka pengawasan, masyarakat dapat berperan serta melalui pemberian informasi dan/atau pelaporan dugaan pelanggaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XII
    KETENTUAN PERALIHAN
     

    Pasal 1154

    Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, pengaturan mengenai pelaksanaan tindakan aborsi yang diperbolehkan termasuk usia kehamilan untuk melakukan tindakan aborsi dilaksanakan berdasarkan Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi sampai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mulai berlaku.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1155

    Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, setiap unit transfusi darah yang telah ada harus menyesuaikan dengan ketentuan pelayanan darah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1156

    Ketentuan pengendalian konsumsi gula, garam, dan lemak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 194 dan Pasal 195 dilaksanakan setelah 2 (dua) tahun terhitung sejak penetapan batas maksimal kandungan gula, garam, dan lemak.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1157

    (1)
    Setiap Orang yang memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan produk tembakau dan rokok elektronik harus menyesuaikan dengan ketentuan Pasal 431, Pasal 432, Pasal 433, Pasal 437, Pasal 438, dan Pasal 441 setelah 2 (dua) tahun terhitung sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.
    (2)
    Setiap Orang yang memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan produk tembakau dan rokok elektronik harus menyesuaikan dengan ketentuan Pasal 446 ayat (1) dan Pasal 448 setelah 2 (dua) tahun terhitung sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1158

    Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang telah menyelenggarakan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh sebelum Peraturan Pemerintah ini berlaku harus menyesuaikan penyelenggaraan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1159

    Jenis Pelayanan Kesehatan tradisional empiris, komplementer, dan integrasi yang telah dilaksanakan sebelum Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku harus disesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1160

    Penyelenggaraan Sistem Informasi Kesehatan yang telah beroperasi sebelum Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku harus disesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1161

    (1)
    Untuk pertama kali paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan:
     
    a.
    Menteri menetapkan 6 (enam) Rumah Sakit menjadi RSPPU; dan
     
    b.
    menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan menugaskan 6 (enam) RSPPU sebagaimana dimaksud dalam huruf a untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi Tenaga Medis Spesialis dan/atau Subspesialis.
    (2)
    Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berlaku sebagai izin penyelenggaraan pendidikan termasuk untuk membuka program studi secara mandiri.
    (3)
    6 (enam) RSPPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus memenuhi persyaratan pembukaan program studi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 579 ayat (3) dan persyaratan tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 579 ayat (6) dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun.
    (4)
    Sebelum jangka waktu 2 (dua) tahun berakhir, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan melaksanakan evaluasi terhadap pemenuhan persyaratan oleh RSPPU sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan menindaklanjuti hasil evaluasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1162

    Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang memiliki STR yang masih berlaku dapat mengajukan pembaharuan menjadi STR yang berlaku seumur hidup sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1163

    (1)
    Tenaga Kesehatan lulusan pendidikan vokasi atau pendidikan profesi yang penyelenggara pendidikannya belum menyelenggarakan uji kompetensi baik sebelum atau setelah Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, tetap dapat mengajukan STR yang berlaku seumur hidup dengan melampirkan ijazah sebagai pengganti Sertifikat Kompetensi pada pengurusan STR.
    (2)
    Penyelenggara pendidikan vokasi atau pendidikan profesi yang belum menyelenggarakan UJI kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyelenggarakan uji kompetensi paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1164

    Tenaga Kesehatan lulusan pendidikan akademik dan telah memberikan Pelayanan Kesehatan serta memiliki STR sebelum Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, tetap dapat memberikan Pelayanan Kesehatan dan harus menyesuaikan dengan kualifikasi pendidikan profesi paling lama dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1165

    Satuan kredit profesi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang diperoleh sebelum Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, tetap berlaku dan dapat dihitung untuk kebutuhan perpanjangan SIP.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1166

    Dokter spesialis yang sedang melaksanakan tugas berdasarkan ketentuan Peraturan Presiden Nomor 31 Tahun 2019 tentang Pendayagunaan Dokter Spesialis, tetap melaksanakan tugas sampai dengan selesai masa penempatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1167

    Konsil Kedokteran Indonesia, Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia, Sekretariat Konsil Kedokteran Indonesia, Sekretariat Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia tetap melaksanakan tugas, fungsi, dan kewenangannya sampai dengan terbentuknya Konsil Kesehatan Indonesia, Kolegium Kesehatan Indonesia, dan Majelis Disiplin Profesi, serta sekretariat Konsil Kesehatan Indonesia, Kolegium Kesehatan Indonesia, dan Majelis Disiplin Profesi berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1168

    Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
    a.
    penyelenggaraan Rumah Sakit harus disesuaikan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan;
    b.
    jenis dan klasifikasi Rumah Sakit yang ditetapkan untuk perizinan berusaha Rumah Sakit dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perumahsakitan sampai dengan ditetapkannya peraturan pelaksanaan mengenai penyelenggaraan Rumah Sakit sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini; dan
    c.
    Rumah Sakit yang telah ditetapkan sebagai Rumah Sakit pendidikan afiliasi tetap dapat menyelenggarakan fungsinya sampai dengan ditetapkannya peraturan pelaksanaan mengenai penyelenggaraan Rumah Sakit sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    BAB XIII
    KETENTUAN PENUTUP
     

    Pasal 1169

    Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari:
    a.
    Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1960 tentang Lafal Sumpah Dokter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 69);
    b.
    Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1961 tentang Penyakit Karantina (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 29);
    c.
    Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1962 tentang Lafal Sumpah Janji Apoteker (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1962 Nomor 69);
    d.
    Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1963 tentang Lafal Sumpah/Janji Dokter Gigi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1963 Nomor 54);
    e.
    Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1966 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2803);
    f.
    Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1988 tentang Masa Bakti dan Praktek Dokter dan Dokter Gigi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1988 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3366);
    g.
    Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3447);
    h.
    Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1995 tentang Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3609);
    i.
    Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3781);
    j.
    Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5044);
    k.
    Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pelayanan Darah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 18, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5197);
    l.
    Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5291);
    m.
    Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 278, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5380);
    n.
    Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2013 tentang Badan Pengawas Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5428);
    o.
    Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2014 tentang Sistem Informasi Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5542);
    p.
    Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5559);
    q.
    Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2014 tentang Kesehatan Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5570);
    r.
    Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 369, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5643);
    s.
    Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2015 tentang Rumah Sakit Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 295, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5777);
    t.
    Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2016 tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 229, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5942);
    u.
    Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2017 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 303, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6171);
    v.
    Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 173, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6391);
    w.
    Peraturan Pemerintah Nomor 88 Tahun 2019 tentang Kesehatan Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6444);
    x.
    Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun ·2020 Nomor 91, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6487);
    y.
    Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perumahsakitan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6659);
    z.
    Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2021 tentang Transplantasi Organ dan Jaringan Tubuh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6665);
    aa.
    Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia;
    bb.
    Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2015 tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 159);
    cc.
    Peraturan Presiden Nomor 90 Tahun 2017 tentang Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 208);
    dd.
    Peraturan Presiden Nomor 31 Tahun 2019 tentang Pendayagunaan Dokter Spesialis (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 98); dan
    ee.
    Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 90 Tahun 2017 tentang Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 254),
    dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1170

    Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
    a.
    Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1960 tentang Lafal Sumpah Dokter (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 69);
    b.
    Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1961 tentang Penyakit Karantina (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 29);
    c.
    Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1962 tentang Lafal Sumpah Janji Apoteker (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1962 Nomor 69);
    d.
    Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1963 tentang Lafal Sumpah/Janji Dokter Gigi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1963 Nomor 54);
    e.
    Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1966 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2803);
    f.
    Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1988 tentang Masa Bakti Dan Praktek Dokter Dan Dokter Gigi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1988 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3366);
    g.
    Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3447);
    h.
    Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1995 tentang Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3609);
    i.
    Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3781);
    j.
    Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5044);
    k.
    Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pelayanan Darah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 18, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5197);
    l.
    Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5291);
    m.
    Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 278, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5380);
    n.
    Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2013 tentang Badan Pengawas Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5428);
    o.
    Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2014 tentang Sistem Informasi Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5542);
    p.
    Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5559) kecuali Pasal 31;
    q.
    Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2014 tentang Kesehatan Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 184, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5570);
    r.
    Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 369, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5643);
    s.
    Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2015 tentang Rumah Sakit Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 295, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5777);
    t.
    Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2016 tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 229, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5942);
    u.
    Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2017 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 303, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6171);
    v.
    Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 173, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6391);
    w.
    Peraturan Pemerintah Nomor 88 Tahun 2019 tentang Kesehatan Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6444);
    x.
    Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 91, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6487);
    y.
    Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perumahsakitan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6659);
    z.
    Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2021 tentang Transplantasi Organ dan Jaringan Tubuh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6665);
    aa.
    Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Keanggotaan Konsil Kedokteran Indonesia;
    bb.
    Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2015 tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 159);
    cc.
    Peraturan Presiden Nomor 90 Tahun 2017 tentang Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 208);
    dd.
    Peraturan Presiden Nomor 31 Tahun 2019 tentang Pendayagunaan Dokter Spesialis (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 98); dan
    ee.
    Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 90 Tahun 2017 tentang Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 254),
    dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1171

    Ketentuan Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5559) berlaku sampai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6842)
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    Pasal 1172

    Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    Ditetapkan di Jakarta
    pada tanggal 26 Juli 2024
    PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
    ttd.
    JOKO WIDODO
     
    Diundangkan di Jakarta
    pada tanggal 26 Juli 2024
    MENTERI SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
    ttd.
    PRATIKNO
     
    LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2024 NOMOR 135
     

    PENJELASAN

    ATAS
     
    PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
    NOMOR 28 TAHUN 2024
     
    TENTANG
     
    PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2023 TENTANG KESEHATAN
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    I.
    UMUM
     
    Dalam rangka meningkatkan kapasitas dan ketahanan Kesehatan dalam kerangka transformasi Kesehatan untuk tercapainya peningkatan derajat Kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, diselenggarakan Upaya Kesehatan, Sumber Daya Kesehatan, dan pengelolaan Kesehatan yang didukung dengan penguatan regulasi dengan telah diundangkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
     
    Pengaturan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan meliputi hak dan kewajiban, tanggung jawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, penyelenggaraan Kesehatan, Upaya Kesehatan, Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Sumber Daya Manusia Kesehatan, Perbekalan Kesehatan, ketahanan kefarmasian dan Alat Kesehatan, Teknologi Kesehatan, Sistem Informasi Kesehatan, KLB dan Wabah, pendanaan Kesehatan, koordinasi dan sinkronisasi penguatan sistem Kesehatan, partisipasi masyarakat, pembinaan dan pengawasan, penyidikan, ketentuan pidana, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup.
     
    Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, terdapat kebutuhan hukum untuk mengatur penyelenggaraan Upaya Kesehatan dan Sumber Daya Kesehatan secara komprehensif. Oleh karena itu, dalam rangka memberikan kepastian hukum, mengimplementasikan transformasi Kesehatan, dan melakukan simplifikasi regulasi, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.
     
    Peraturan Pemerintah ini memberikan pengaturan, penegasan, dan penjelasan lebih lanjut atas pengaturan mengenai:
     
    a.
    penyelenggaraan Upaya Kesehatan, meliputi Kesehatan ibu, bayi dan anak, remaja, dewasa, dan lanjut usia, Kesehatan penyandang disabilitas, Kesehatan reproduksi, keluarga berencana, gizi, Kesehatan gigi dan mulut, Kesehatan jiwa, penanggulangan penyakit menular dan penanggulangan penyakit tidak menular, Kesehatan penglihatan dan pendengaran, Kesehatan keluarga, Kesehatan sekolah, Kesehatan kerja, Kesehatan olahraga, Kesehatan lingkungan, Kesehatan matra, Kesehatan bencana, pelayanan darah, transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, terapi berbasis sel dan/atau sel punca, serta bedah plastik rekonstruksi dan estetika, pengamanan dan penggunaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan PKRT, pengamanan makanan dan minuman, pengamanan zat adiktif, pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum, Pelayanan Kesehatan tradisional, dan Upaya Kesehatan lainnya;
     
    b.
    pengelolaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan, meliputi perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, peningkatan mutu, dan pengembangan karier Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan untuk menjamin keberlangsungan pembangunan Kesehatan;
     
    c.
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan, meliputi jenis, penentuan jumlah dan jenis, perizinan, penyelenggaraan, rekam medis, rahasia Kesehatan Pasien, Puskesmas, Rumah Sakit, pembinaan dan pengawasan, Rumah Sakit pendidikan, kompetensi manajemen Kesehatan pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan, peningkatan mutu Pelayanan Kesehatan, dan pengembangan Pelayanan Kesehatan oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
     
    d.
    kefarmasian, Alat Kesehatan, dan Perbekalan Kesehatan, meliputi ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan Perbekalan Kesehatan, penggolongan Obat, Obat dengan resep, dan Obat tanpa resep, penggolongan Obat Bahan Alam, percepatan pengembangan dan ketahanan industri Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan, serta standar, sistem, dan tata kelola Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Perbekalan Kesehatan lainnya pada kondisi darurat, bencana, KLB, atau Wabah;
     
    e.
    Sistem Informasi Kesehatan, meliputi penyelenggara, pengelolaan data, informasi, dan indikator Kesehatan, pemrosesan data dan Informasi Kesehatan, sumber daya, keandalan, tanggung jawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dan pengendalian;
     
    f.
    penyelenggaraan Teknologi Kesehatan, meliputi penelitian, pengembangan, dan pengkajian, pelaksanaan inovasi, penilaian, dan pemanfaatan;
     
    g.
    penanggulangan KLB dan Wabah, meliputi kewaspadaan, penanggulangan, dan kegiatan pasca-KLB, rencana kontingensi penanggulangan Wabah, Kewaspadaan Wabah di Pintu Masuk, penanggulangan Wabah, karantina, pembatasan kegiatan sosial masyarakat, Petugas Karantina Kesehatan, dan pelaksanaan kegiatan pasca-Wabah, standar pengelolaan bahan dan agen biologi penyebab penyakit dan/atau masalah Kesehatan yang berpotensi menimbulkan KLB dan/atau Wabah, pencatatan dan pelaporan, dan sanksi administratif;
     
    h.
    pendanaan Kesehatan, meliputi tujuan, prinsip, sumber, tanggung jawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam penyediaan dana yang dimanfaatkan untuk Upaya Kesehatan, penanggulangan bencana, KLB, dan/atau Wabah, penguatan Sumber Daya Kesehatan dan pemberdayaan masyarakat, penguatan pengelolaan Kesehatan, penelitian, pengembangan, dan inovasi bidang Kesehatan, dan program Kesehatan strategis lainnya sesuai dengan prioritas pembangunan nasional di sektor Kesehatan;
     
    i.
    partisipasi masyarakat, meliputi cakupan keikutsertaan masyarakat secara kreatif dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan, fasilitasi Sumber Daya Kesehatan, dan pengelolaan Kesehatan, mekanisme keikutsertaan pada setiap tahapan pembangunan Kesehatan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pembinaan, dan pengawasan, serta tanggung jawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan partisipasi masyarakat; dan
     
    j.
    pembinaan dan pengawasan, meliputi tanggung jawab Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan Kesehatan, tujuan dan pelaksanaan pembinaan, tujuan dan pelaksanaan pengawasan, serta tenaga pengawas bidang Kesehatan.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
    II.
    PASAL DEMI PASAL
     
    Pasal 1
    Cukup jelas.
    Pasal 2
    Cukup jelas.
    Pasal 3
    Cukup jelas.
    Pasal 4
    Cukup jelas.
    Pasal 5
    Cukup jelas.
    Pasal 6
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Upaya Kesehatan yang dilaksanakan di satuan pendidikan antara lain Upaya Kesehatan anak, Upaya Kesehatan remaja, dan Upaya Kesehatan dewasa sesuai dengan jenjang pendidikan.
     
    Yang dimaksud dengan "sasaran" meliputi ibu, bayi dan anak, remaja, dewasa, dan lanjut usia.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 7
    Cukup jelas.
    Pasal 8
    Cukup jelas.
    Pasal 9
    Cukup jelas.
    Pasal 10
    Cukup jelas.
    Pasal 11
    Ayat (1)
    Huruf a
    Pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi dalam ketentuan ini dilakukan dengan memperhatikan budaya setempat.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan "pelayanan antenatal" adalah Pelayanan Kesehatan oleh Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan untuk ibu selama masa kehamilannya.
    Ayat (3)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Pelayanan konseling dalam ketentuan ini antara lain konseling terkait Kesehatan jiwa ibu.
    Huruf c
    Pelayanan skrining faktor risiko dalam ketentuan ini antara lain pemeriksaan kadar hemoglobin (Hb), tekanan darah, status gizi, penyakit infeksi, dan penyakit lainnya.
     
    Yang dimaksud dengan "komplikasi kehamilan" adalah kesakitan (morbiditas) pada ibu hamil yang dapat mengancam nyawa ibu dan/atau janin.
    Huruf d
    Pendampingan ibu hamil dengan risiko tinggi dalam ketentuan ini dilakukan dengan melihat tanda bahaya pada ibu hamil.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Pelayanan konseling dalam ketentuan ini antara lain pelayanan konseling terkait Kesehatan jiwa ibu dan pelayanan konseling pemberian air susu ibu.
    Huruf c
    Yang dimaksud dengan "pelayanan skrining komplikasi" adalah pelayanan pascapersalinan yang dilakukan melalui pelayanan nifas termasuk terkait Kesehatan jiwa ibu.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Pasal 12
    Cukup jelas.
    Pasal 13
    Cukup jelas.
    Pasal 14
    Ayat (1)
    Peran keluarga dalam ketentuan ini merupakan keluarga sebagai suatu kesatuan sistem yang mendukung penyelenggaraan Upaya Kesehatan ibu, terutama suami.
    Huruf a
    Mendukung ibu dalam merencanakan kehamilan dalam ketentuan ini antara lain dengan memastikan Kesehatan ibu sebelum hamil.
    Huruf b
    Memperhatikan Kesehatan ibu dalam ketentuan ini antara lain dengan memastikan ibu sehat secara fisik dan jiwa.
    Huruf c
    Memastikan ibu mendapatkan Pelayanan Kesehatan dalam ketentuan ini antara lain dengan memastikan ibu diberikan pelayanan yang sesuai dengan standar.
    Huruf d
    Mendukung ibu selama masa sebelum hamil, masa kehamilan, persalinan, dan pascapersalinan dalam ketentuan ini antara lain dengan memberikan pemenuhan kebutuhan ibu dan menciptakan lingkungan yang nyaman dan aman.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 15
    Cukup jelas.
    Pasal 16
    Cukup jelas.
    Pasal 17
    Cukup jelas.
    Pasal 18
    Cukup jelas.
    Pasal 19
    Cukup jelas.
    Pasal 20
    Ayat (1)
    Pelindungan bayi dan anak dilakukan dalam ketentuan ini antara lain:
    a.
    bayi dan anak dalam situasi darurat;
    b.
    bayi dan anak dari kelompok minoritas dan terisolasi;
    c.
    bayi dan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
    d.
    bayi dan anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;
    e.
    bayi dan anak yang menjadi korban pornografi;
    f.
    bayi dan anak dengan Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS);
    g.
    bayi dan anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan;
    h.
    bayi dan anak korban kekerasan verbal, fisik, dan/atau psikis;
    i.
    bayi dan anak korban kejahatan seksual;
    j.
    bayi dan anak korban jaringan terorisme;
    k.
    bayi dan anak penyandang disabilitas;
    l.
    bayi dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran;
    m.
    bayi dan anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi orang tuanya;
    n.
    anak dengan perilaku sosial menyimpang; dan
    o.
    anak yang berhadapan dengan hukum. 
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 21
    Cukup jelas.
    Pasal 22
    Cukup jelas.
    Pasal 23
    Cukup jelas.
    Pasal 24
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan "air susu ibu eksklusif' adalah air susu ibu yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan tan pa menambahkan dan/atau mengganti dengan makanan atau minuman lain.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 25
    Cukup jelas.
    Pasal 26
    Ayat (1)
    Dukungan untuk memberikan air susu ibu eksklusif kepada bayi yang dilahirkannya dalam ketentuan ini antara lain pendampingan suami untuk membantu ibu dalam memberikan air susu ibu eksklusif kepada bayi yang dilahirkannya.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 27
    Cukup jelas.
    Pasal 28
    Cukup jelas.
    Pasal 29
    Cukup jelas.
    Pasal 30
    Cukup jelas.
    Pasal 31
    Ayat (1)
    Produk pengganti air susu ibu lainnya dalam ketentuan ini termasuk susu formula lanjutan, susu formula pertumbuhan, dan produk susu lainnya yang menggantikan air susu ibu seperti susu kedelai berfortifikasi, baik dalam bentuk cair maupun bubuk yang dipasarkan untuk bayi hingga usia 36 (tiga puluh enam) bulan, serta botol susu, dot, dan empeng.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Distributor dalam ketentuan ini termasuk tenaga pemasaran.
    Pasal 32
    Cukup jelas.
    Pasal 33
    Cukup jelas.
    Pasal 34
    Cukup jelas.
    Pasal 35
    Cukup jelas.
    Pasal 36
    Cukup jelas.
    Pasal 37
    Cukup jelas.
    Pasal 38
    Cukup jelas.
    Pasal 39
    Cukup jelas.
    Pasal 40
    Cukup jelas.
    Pasal 41
    Cukup jelas.
    Pasal 42
    Cukup jelas.
    Pasal 43
    Ayat (1)
    Tempat kerja dalam ketentuan ini antara lain perusahaan dan perkantoran milik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan swasta.
     
    Tempat fasilitas umum dalam ketentuan ini antara lain Fasilitas Pelayanan Kesehatan, satuan pendidikan, hotel atau penginapan, tempat rekreasi, terminal angkutan darat, stasiun kereta api, bandar udara, pelabuhan, pusat perbelanjaan, gedung olahraga, lokasi penampungan pengungsi, dan tempat fasilitas umum lainnya.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Pasal 44
    Cukup jelas.
    Pasal 45
    Cukup jelas.
    Pasal 46
    Cukup jelas.
    Pasal 47
    Cukup jelas.
    Pasal 48
    Cukup jelas.
    Pasal 49
    Yang dimaksud dengan "remaja" adalah orang dengan kelompok usia 10 (sepuluh) tahun sampai sebelum berusia 18 (delapan belas) tahun.
    Pasal 50
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Skrining Kesehatan untuk deteksi dini penyakit termasuk untuk penyakit menular, penyakit tidak menular, dan Kesehatan jiwa.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Pencegahan lainnya antara lain pencegahan kecelakaan, kekerasan, masalah gizi, masalah Kesehatan jiwa, pencegahan penyakit, dan masalah Kesehatan lainnya.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Yang dimaksud dengan "orang tua atau pengasuh" adalah orang tua atau pengasuh bagi remaja.
    Pasal 51
    Cukup jelas.
    Pasal 52
    Cukup jelas.
    Pasal 53
    Cukup jelas.
    Pasal 54
    Cukup jelas.
    Pasal 55
    Cukup jelas.
    Pasal 56
    Cukup jelas.
    Pasal 57
    Cukup jelas.
    Pasal 58
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Yang dimaksud dengan "kehidupan sosial yang sehat" adalah kehidupan sosial yang bebas dari perundungan dan intoleransi.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Skrining Kesehatan untuk deteksi dini penyakit dalam ketentuan ini termasuk untuk penyakit menular, penyakit tidak menular, dan Kesehatan jiwa.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Pencegahan lainnya dalam ketentuan ini antara lain pencegahan kecelakaan, kekerasan, masalah gizi, masalah Kesehatan jiwa, pencegahan penyakit, dan masalah Kesehatan lainnya.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Pasal 59
    Cukup jelas.
    Pasal 60
    Cukup jelas.
    Pasal 61
    Cukup jelas.
    Pasal 62
    Cukup jelas.
    Pasal 63
    Cukup jelas.
    Pasal 64
    Cukup jelas.
    Pasal 65
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Kebutuhan lainnya dalam ketentuan ini antara lain kebutuhan sandang, pangan, dan papan.
    Ayat (4)
    Aktivitas fisik secara rutin dalam ketentuan ini antara lain dengan pelaksanaan senam lanjut usia.
    Ayat (5)
    Kegiatan secara berkala dalam ketentuan ini antara lain stimulasi kemampuan kognitif dan mental, pengembangan minat dan bakat, kesenian, serta permainan interaktif menggunakan alat bantu dan instrumen.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Pasal 66
    Ayat (1)
    Huruf a
    Pencegahan penyakit dalam ketentuan ini antara lain imunisasi.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 67
    Cukup jelas.
    Pasal 68
    Upaya Kesehatan lanjut usia yang bersifat rehabilitatif dalam ketentuan ini antara lain pelayanan fisioterapi, psikoterapi, dan pemberian Obat.
    Pasal 69
    Yang dimaksud dengan "penyakit terminal" adalah penyakit yang tidak lagi respon terhadap terapi kuratif dengan harapan hidup terbatas dan perburukan yang tidak dapat dikembalikan seperti adanya metastasis, penurunan fungsi organ, dan kualitas hidup.
    Pasal 70
    Cukup jelas.
    Pasal 71
    Cukup jelas.
    Pasal 72
    Ayat (1)
    huruf a
    Cukup jelas.
    huruf b
    Cukup jelas.
    huruf c
    Yang dimaksud dengan "pelayanan secara terpadu" adalah pelayanan yang diberikan oleh Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dari berbagai disiplin ilmu untuk mempermudah pemberian Pelayanan Kesehatan bagi lanjut usia.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 73
    Cukup jelas.
    Pasal 74
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan "kunjungan rumah" adalah kegiatan yang dilakukan oleh Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, dan Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan terlatih sesuai dengan kompetensi dan kewenangan untuk memantau Kesehatan lanjut usia di rumah yang memiliki keterbatasan mengakses Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
     
    Yang dimaksud dengan "pelayanan perawatan di rumah" adalah Pelayanan Kesehatan yang dilakukan oleh Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan terlatih di rumah yang mencakup layanan keperawatan seperti fisioterapi atau kebutuhan Kesehatan lainnya.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 75
    Cukup jelas.
    Pasal 76
    Cukup jelas.
    Pasal 77
    Cukup jelas.
    Pasal 78
    Cukup jelas.
    Pasal 79
    Cukup jelas.
    Pasal 80
    Cukup jelas.
    Pasal 81
    Cukup jelas.
    Pasal 82
    Cukup jelas.
    Pasal 83
    Cukup jelas.
    Pasal 84
    Huruf a
    Akses dalam ketentuan ini termasuk tersedianya Pelayanan Kesehatan yang dapat digunakan oleh penyandang disabilitas secara mandiri tanpa bantuan orang lain dan Pelayanan Kesehatan yang diberikan secara proaktif kepada penyandang disabilitas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum bahwa setiap penyandang disabilitas tidak boleh digunakan untuk percobaan medis selain menjadi subjek penelitian dan pengembangan Kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Huruf i
    Cukup jelas.
    Pasal 85
    Cukup jelas.
    Pasal 86
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    faktor risiko dalam ketentuan ini termasuk faktor bahaya radiasi dan substansi yang membahayakan sel telur dan/atau janin dalam kandungan.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Huruf i
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 87
    Ayat (1)
    Penyediaan akses atas Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Pelayanan Kesehatan yang inklusif dalam ketentuan ini antara lain penyediaan sumber daya manusia, sarana dan prasarana, serta standar prosedur operasional sesuai dengan pendekatan ragam disabilitas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 88
    Cukup jelas.
    Pasal 89
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Yang dimaksud dengan "Pelayanan Kesehatan diberikan secara terpadu" adalah Pelayanan Kesehatan yang melibatkan multi profesi secara terpadu sesuai dengan kebutuhan Kesehatan penyandang disabilitas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Huruf i
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Pasal 90
    Cukup jelas.
    Pasal 91
    Cukup jelas.
    Pasal 92
    Cukup jelas.
    Pasal 93
    Cukup jelas.
    Pasal 94
    Cukup jelas.
    Pasal 95
    Cukup jelas.
    Pasal 96
    Cukup jelas.
    Pasal 97
    Cukup jelas.
    Pasal 98
    Cukup jelas.
    Pasal 99
    Cukup jelas.
    Pasal 100
    Cukup jelas.
    Pasal 101
    Cukup jelas.
    Pasal 102
    Cukup jelas.
    Pasal 103
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Perilaku seksual berisiko dan akibatnya dalam ketentuan ini termasuk risiko pada perkawinan anak atau dampak pada perkawinan dini.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 104
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Perilaku seksual yang bertanggungjawab dalam ketentuan ini termasuk bertanggung jawab terhadap kehamilan yang ditimbulkan akibat hubungan seksual.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 105
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Pengenalan faktor risiko yang mempengaruhi kehamilan, bayi yang dilahirkan, dan keselamatan ibu dalam ketentuan ini termasuk pada edukasi menunda kehamilan bagi calon pengantin yang belum siap karena masalah Kesehatan.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Yang dimaksud dengan "kesetaraan peran suami atau istri" adalah edukasi mengenai peran suami atau istri dalam mengambil keputusan mengenai Kesehatan reproduksi mereka antara lain alat kontrasepsi serta jumlah dan jarak kelahiran anak.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 106
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan "menopause" adalah berakhirnya siklus menstruasi secara alami pada perempuan.
     
    Menopause disebut juga klimaterik atau perubahan hidup yang merupakan pertanda berakhirnya bagian kehidupan reproduksi pada diri seorang perempuan.
     
    Yang dimaksud dengan "andropause" adalah penurunan fungsi hormon androgen pada laki-laki.
    Pasal 107
    Cukup jelas.
    Pasal 108
    Cukup jelas.
    Pasal 109
    Cukup jelas.
    Pasal 110
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Pelayanan kontrasepsi di fasilitas pelayanan kefarmasian berupa penyerahan Obat dan/atau alat kontrasepsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Yang dimaksud dengan "unit pelayanan kontrasepsi" merupakan unit yang dibentuk untuk menjangkau daerah yang sulit diakses guna mendapatkan pelayanan kontrasepsi.
    Pasal 111
    Cukup jelas.
    Pasal 112
    Cukup jelas.
    Pasal 113
    Cukup jelas.
    Pasal 114
    Cukup jelas.
    Pasal 115
    Cukup jelas.
    Pasal 116
    Cukup jelas.
    Pasal 117
    Cukup jelas.
    Pasal 118
    Cukup jelas.
    Pasal 119
    Cukup jelas.
    Pasal 120
    Cukup jelas.
    Pasal 121
    Cukup jelas.
    Pasal 122
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Orang yang dianggap tidak cakap dalam mengambil keputusan dalam ketentuan ini antara lain anak dan penyandang disabilitas mental dan intelektual.
     
    Yang dimaksud dengan "keluarga lainnya" adalah keluarga yang sedarah maupun keluarga yang tidak sedarah selain suami.
    Pasal 123
    Cukup jelas.
    Pasal 124
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan "masa pascapersalinan" adalah masa nifas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 125
    Cukup jelas.
    Pasal 126
    Cukup jelas.
    Pasal 127
    Cukup jelas.
    Pasal 128
    Cukup jelas.
    Pasal 129
    Cukup jelas.
    Pasal 130
    Cukup jelas.
    Pasal 131
    Cukup jelas.
    Pasal 132
    Cukup jelas.
    Pasal 133
    Cukup jelas.
    Pasal 134
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud "kelompok rawan gizi" adalah sasaran yang rentan mengalami masalah gizi, antara lain remaja perempuan, ibu hamil, ibu menyusui, dan balita.
    Ayat (3)
    Pelayanan gizi di institusi atau fasilitas lainnya dalam ketentuan ini meliputi pelayanan gizi dengan sasaran anak sekolah, pekerja, jemaah haji, atlet, warga binaan lembaga pemasyarakatan, dan orang yang memerlukan pelayanan kesejahteraan sosial atau penghuni panti sosial.
     
    Yang dimaksud dengan "pelayanan gizi di masyarakat" adalah pelayanan yang dilakukan di tempat penyelenggaraan Upaya Kesehatan berbasis masyarakat.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 135
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan "sistem peringatan dini kerawanan pangan dan gizi" adalah sistem yang mencakup kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis, penyimpanan, penyajian, penyebaran, dan penggunaan data dan informasi pangan dan gizi untuk pencegahan terjadinya masalah kerawanan pangan dan gizi pada suatu wilayah.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Informasi tentang pemanfaatan pangan terkait dengan konsumsi merupakan informasi mengenai kandungan zat gizi dari makanan yang dikonsumsi.
    Pasal 136
    Cukup jelas.
    Pasal 137
    Cukup jelas.
    Pasal 138
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Kelompok masyarakat yang terlatih dalam ketentuan ini antara lain meliputi guru, tokoh masyarakat, atau komponen masyarakat lainnya yang mendapatkan peningkatan kapasitas terkait gizi.
    Pasal 139
    Cukup jelas.
    Pasal 140
    Cukup jelas.
    Pasal 141
    Cukup jelas.
    Pasal 142
    Cukup jelas.
    Pasal 143
    Cukup jelas.
    Pasal 144
    Cukup jelas.
    Pasal 145
    Ayat (1)
    Komunitas dalam ketentuan ini termasuk masyarakat umum.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Yang dimaksud dengan "potensi psikologis lainnya" antara lain bakat, kecakapan dalam pekerjaan, kompetensi kepribadian, minat di bidang pendidikan, dan minat di bidang pekerjaan.
    Pasal 146
    Cukup jelas.
    Pasal 147
    Cukup jelas.
    Pasal 148
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Yang dimaksud dengan "Obat psikofarmaka" adalah Obat yang termasuk golongan narkotika, psikotropika, atau Obat keras yang bekerja secara selektif pada sistem syaraf pusat dan mempunyai efek utama terhadap aktivitas mental dan perilaku, digunakan untuk terapi gangguan psikiatrik yang berpengaruh pada taraf kualitas hidup Pasien.
     
    Obat psikofarmaka dalam ketentuan ini antara lain berupa antipsikosis, antidepresi, antiansietas, antipanik, antiinsomnia, dan antiobsesi kompulsi.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Mendapatkan aktivitas yang bermakna dalam ketentuan ini antara lain mendapatkan akses terhadap pekerjaan, pendidikan, atau kegiatan yang bermanfaat.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Pasal 149
    Hak yang sama sebagai warga negara dalam ketentuan ini antara lain berupa hak bekerja, berkeluarga, memilih dan dipilih, hak memperoleh pendidikan, dan hak lainnya yang sama sebagai warga negara.
    Pasal 150
    Cukup jelas.
    Pasal 151
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    lembaga/institusi dalam ketentuan ini antara lain lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, dan lembaga pemasyarakatan.
    Huruf f
    Media komunikasi dalam ketentuan ini antara lain, media cetak, media elektronik, dan media sosial, termasuk penyiaran yang memuat program pemberitaan, artikel, dan/atau materi.
    Pasal 152
    Cukup jelas.
    Pasal 153
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Situasi darurat atau khusus dalam ketentuan ini antara lain berupa bencana, konflik sosial, maupun kondisi dimana seseorang mengalami penderitaan dan hendaya (distress), memerlukan penanganan segera, tidak dapat merawat diri, dapat melukai diri sendiri maupun orang lain.
    Ayat (6)
    Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan dalam ketentuan ini antara lain, berupa kader atau tenaga lain yang terlatih di bidang Kesehatan jiwa.
     
    Tenaga profesional lain dalam ketentuan ini antara lain berupa guru bimbingan konseling, psikolog, konselor, dan pekerja sosial yang memiliki kompetensi di bidang Kesehatan jiwa.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Ayat (8)
    Cukup jelas.
    Pasal 154
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Pengembangan keterampilan hidup sosial emosional dalam ketentuan ini dimulai pada usia anak dan remaja.
    Ayat (4)
    Huruf a
    Membatasi akses terhadap alat, bahan, dan fasilitas yang dapat digunakan untuk melakukan bunuh diri dalam ketentuan ini antara lain pada rumah, sekolah, gedung bertingkat, rel kereta api, dan jembatan.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 155
    Cukup jelas.
    Pasal 156
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Lembaga/institusi dalam ketentuan ini antara lain lembaga pendidikan, lembaga sosial, lembaga keagamaan, lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan, lingkungan tempat kerja, dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Pasal 157
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Yang dimaksud dengan "tata laksana farmakologis" adalah pemberian Obat psikofarmaka sesuai dengan diagnosis.
     
    Dalam tata laksana farmakologis, penggunaan Sediaan Farmasi untuk upaya kuratif Kesehatan jiwa harus sesuai standar dan persyaratan keamanan, khasiat, dan mutu dari Sediaan Farmasi.
     
    Dalam tata laksana farmakologis juga memperhatikan potensi penyalahgunaan Obat dalam penatalaksanaan ODGJ.
     
    Tata laksana nonfarmakologis dalam ketentuan ini meliputi pemberian informasi, psikoedukasi, intervensi krisis, konseling, psikoterapi, asuhan keperawatan, dan kegiatan lain.
     
    Yang dimaksud dengan "rujukan dan rujuk balik" adalah pelimpahan tugas dan tanggung jawab Pelayanan Kesehatan secara timbal balik baik vertikal maupun horizontal.
    Pasal 158
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan "cakap" adalah kemampuan seseorang dalam membuat keputusan secara mandiri dengan menyadari segala risikonya.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 159
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Yang dimaksud dengan "sistem dukungan sosial" adalah dukungan keluarga, lingkungan, dan masyarakat terhadap ODGJ, pecandu, penyalahguna, dan korban penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya setelah menyelesaikan perawatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
    Pasal 160
    Ayat (1)
    Huruf a
    Kemudahan akses ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan dalam ketentuan ini antara lain berupa kunjungan rumah oleh Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan dan kemudahan dalam mengunjungi keluarganya yang sedang dalam perawatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 161
    Cukup jelas.
    Pasal 162
    Cukup jelas.
    Pasal 163
    Cukup jelas.
    Pasal 164
    Cukup jelas.
    Pasal 165
    Cukup jelas.
    Pasal 166
    Cukup jelas.
    Pasal 167
    Cukup jelas.
    Pasal 168
    Cukup jelas.
    Pasal 169
    Cukup jelas.
    Pasal 170
    Cukup jelas.
    Pasal 171
    Cukup jelas.
    Pasal 172
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Pekerjaan atau jabatan lain dalam ketentuan ini antara lain pejabat publik yang membuat keputusan yang penting, pekerjaan yang dapat membahayakan diri sendiri atau orang lain, atau pekerjaan yang berhubungan dengan kelompok rentan seperti bidang pendidikan dan Kesehatan.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Pasal 173
    Ayat (1)
    Koordinasi lintas sektor dalam ketentuan ini mencakup kementerian/lembaga, organisasi perangkat daerah, organisasi profesi, dan organisasi kemasyarakatan.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 174
    Cukup jelas.
    Pasal 175
    Cukup jelas.
    Pasal 176
    Cukup jelas.
    Pasal 177
    Cukup jelas.
    Pasal 178
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Mikroorganisme yang menyebabkan penyakit menular dalam ketentuan ini antara lain, virus, bakteri, jamur, dan parasit.
    Ayat (3)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Yang dimaksud dengan "vektor" adalah artropoda yang dapat menularkan, memindahkan, dan/atau menjadi sumber penular penyakit.
     
    Yang dimaksud dengan "binatang pembawa penyakit" adalah binatang selain artropoda yang dapat menularkan, memindahkan, dan/atau menjadi sumber penular penyakit.
    Pasal 179
    Melindungi masyarakat dari tertularnya penyakit dalam ketentuan ini termasuk dilakukan dengan mencegah penyebaran penyakit agar tidak meluas antar wilayah maupun antar negara.
    Pasal 180
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Surveilans penyakit menular dalam ketentuan ini antara lain berupa surveilans berbasis indikator, surveilans berbasis kejadian, surveilans berbasis masyarakat, dan surveilans berbasis laboratorium.
    Ayat (6)
    Huruf a
    Rekayasa lingkungan dalam ketentuan ini antara lain dilakukan melalui kegiatan rehabilitasi pada media lingkungan secara fisik, biologi, atau kimia.
    Huruf b
    Pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit dalam ketentuan ini antara lain dilakukan melalui kegiatan pengamatan dan penyelidikan, intervensi dengan metode fisik, biologi, dan/atau kimia, serta pemantauan kepadatan vektor dan binatang pembawa penyakit.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Ayat (8)
    Cukup jelas.
    Ayat (9)
    Cukup jelas.
    Ayat (10)
    Cukup jelas.
    Ayat (11)
    Cukup jelas.
    Ayat (12)
    Yang dimaksud dengan "kelompok masyarakat tertentu" adalah masyarakat yang berisiko tinggi untuk tertular penyakit.
    Ayat (13)
    Cukup jelas.
    Pasal 181
    Cukup jelas.
    Pasal 182
    Cukup jelas.
    Pasal 183
    Cukup jelas.
    Pasal 184
    Cukup jelas.
    Pasal 185
    Cukup jelas.
    Pasal 186
    Cukup jelas.
    Pasal 187
    Huruf a
    Pengetahuan terhadap penyakit menular dalam ketentuan ini antara lain pengetahuan dalam deteksi dini, ·pencegahan, dan penanggulangan penyakit menular termasuk surveilans berbasis masyarakat.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Pasal 188
    Cukup jelas.
    Pasal 189
    Cukup jelas.
    Pasal 190
    Cukup jelas.
    Pasal 191
    Cukup jelas.
    Pasal 192
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Yang dimaksud dengan "lingkungan obesogenik" adalah kondisi lingkungan yang menyebabkan terjadinya peningkatan berat badan, seperti pola hidup sedenter, makanan dan minuman berkalori tinggi, dan faktor pendorong lain seperti iklan yang mempromosikan makanan berkalori tinggi, atau kemudahan akses terhadap makanan dan minuman berkalori tinggi.
    Huruf i
    Yang dimaksud dengan "karsinogenik" adalah zat yang berpotensi menyebabkan kanker.
     
    Zat ini tidak hanya ditemukan pada makanan pemicu kanker, tetapi juga terdapat dalam bahan kimia, Obat, virus, hingga sinar radiasi.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Ayat (8)
    Faktor risiko yang dapat menyebabkan penyakit tidak menular dalam ketentuan ini antara lain kolesterol tinggi, tekanan darah tinggi, dan kadar gula darah tinggi.
    Ayat (9)
    Cukup jelas.
    Pasal 193
    Cukup jelas.
    Pasal 194
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan "pangan olahan" adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan.
     
    Yang dimaksud dengan "pangan olahan siap saji" adalah makanan dan/atau minuman yang sudah diolah dan siap untuk langsung disajikan di tempat usaha atau di luar tempat usaha seperti pangan yang disajikan di jasa boga, hotel, restoran, rumah makan, kafetaria, kantin, kaki lima, gerai makanan keliling, dan penjaja makanan keliling atau usaha sejenis.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Huruf a
    Yang dimaksud dengan "kajian risiko" adalah kegiatan analisis untuk memberikan gambaran mengenai besaran dan tingkat risiko munculnya penyakit tidak menular akibat mengkonsumsi pangan yang mengandung gula, garam, dan lemak.
    Huruf b
    Yang dimaksud dengan "standar internasional" adalah standar teknis yang dikembangkan oleh satu atau lebih negara dan/atau organisasi internasional bidang Kesehatan dan/atau pangan.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 195
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Media informasi dalam ketentuan ini antara lain daftar menu dan kemasan eceran.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Kawasan tertentu dalam ketentuan ini antara lain sarana pendidikan, Fasilitas Pelayanan Kesehatan, dan tempat bermain anak.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 196
    Cukup jelas.
    Pasal 197
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Faktor risiko perilaku dalam ketentuan ini antara lain aktivitas fisik, diet tidak sehat, merokok, dan konsumsi alkohol.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Ayat (8)
    Cukup jelas.
    Pasal 198
    Cukup jelas.
    Pasal 199
    Cukup jelas.
    Pasal 200
    Cukup jelas.
    Pasal 201
    Cukup jelas.
    Pasal 202
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Sarana mobilitas untuk transportasi aktif dalam ketentuan ini antara lain sarana untuk sepeda dan jalan kaki.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Huruf i
    Cukup jelas.
    Pasal 203
    Huruf a
    Pengendalian faktor risiko dalam ketentuan ini antara lain melalui penggunaan alat makan yang aman.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Pasal 204
    Cukup jelas.
    Pasal 205
    Cukup jelas.
    Pasal 206
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Ayat (8)
    Cukup jelas.
    Ayat (9)
    Yang dimaksud dengan "habilitasi" adalah upaya memberikan kemampuan yang baru atau belum pernah dipelajari sebelumnya kepada penyandang disabilitas akibat gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran melalui bantuan medik, sosial, psikologi, dan keterampilan yang diselenggarakan secara terpadu agar dapat mencapai kemampuan fungsionalnya.
     
    Yang dimaksud dengan "rehabilitasi" adalah upaya untuk menanggulangi dampak kondisi disabilitas akibat gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran untuk mencapai integrasi sosial yang optimal.
     
    Rehabilitasi dalam ketentuan ini antara lain operasi dan penggunaan alat bantu.
    Ayat (10)
    Cukup jelas.
    Pasal 207
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Informasi penyakit mata atau telinga dalam ketentuan ini dapat berupa data prevalensi, insidensi, dan proporsi penyakit.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Pasal 208
    Cukup jelas.
    Pasal 209
    Cukup jelas.
    Pasal 210
    Cukup jelas.
    Pasal 211
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan "keluarga lain yang sedarah" adalah seseorang yang memiliki hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga seperti kakek, nenek, paman, atau bibi.
     
    Yang dimaksud dengan "keluarga yang tidak sedarah" adalah seseorang yang tidak memiliki hubungan darah yang menggantikan peran sebagai ayah atau ibu dan keluarga pengganti melalui proses pengangkatan anak, perkawinan, atau pengasuhan seperti ayah atau ibu angkat, ayah atau ibu tiri, atau ayah atau ibu asuh.
    Pasal 212
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Yang dimaksud dengan "materi" adalah sumber daya yang menyangkut dana untuk jaminan kesehatan atau meningkatkan Kesehatan, rumah, dan fasilitas lain.
     
    Yang dimaksud dengan "nonmateri" adalah sumber daya yang menyangkut waktu dan tenaga, kemampuan, pendidikan, dan keterampilan.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 213
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Yang dimaksud "pengasuhan positif' adalah pengasuhan dengan tujuan untuk memenuhi hak anak dan mengoptimalkan tumbuh kembang anak yang sehat secara fisik, emosional, dan sosial.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 214
    Cukup jelas.
    Pasal 215
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Perilaku lainnya dalam ketentuan ini antara lain perilaku sesuai norma agama dan sosial.
    Pasal 216
    Cukup jelas.
    Pasal 217
    Cukup jelas.
    Pasal 218
    Cukup jelas.
    Pasal 219
    Cukup jelas.
    Pasal 220
    Cukup jelas.
    Pasal 221
    Cukup jelas.
    Pasal 222
    Cukup jelas.
    Pasal 223
    Cukup jelas.
    Pasal 224
    Ayat (1)
    Satuan pendidikan dalam melaksanakan pelayanan promotif direpresentasikan oleh pendidik, tenaga kependidikan, dan/atau peserta didik.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Yang dimaksud dengan "kader Kesehatan sekolah" adalah setiap orang yang dilatih untuk menggerakkan orang lain agar aktif dan berpartisipasi dalam melaksanakan kegiatan bidang Kesehatan di sekolah.
    Pasal 225
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Pihak lain dalam ketentuan ini antara lain swasta, mitra pembangunan, dan tenaga profesional yang berkompeten.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Pasal 226
    Cukup jelas.
    Pasal 227
    Cukup jelas.
    Pasal 228
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan "penyelenggaraan sekolah sehat dan kampus sehat" adalah upaya yang sistematis dan menyeluruh dalam mewujudkan sekolah dan perguruan tinggi sebagai suatu lembaga yang mengintegrasikan Kesehatan sebagai bagian dari budaya sekolah dan perguruan tinggi yang tercermin melalui kegiatan operasional sehari-hari, administrasi pengelolaan, dan program pembelajaran atau mandat akademis.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 229
    Cukup jelas.
    Pasal 230
    Cukup jelas.
    Pasal 231
    Cukup jelas.
    Pasal 232
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan "pekerja" adalah pekerja/buruh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
    Yang dimaksud dengan "orang lain yang ada di tempat kerja" adalah orang selain pekerja yang memasuki area di tempat kerja dengan maksud dan tujuan tertentu.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 233
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Faktor risiko Kesehatan di tempat kerja dalam ketentuan ini antara lain lingkungan, fisik, kimia, psikososial, dan ergonomi.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Ayat (8)
    Cukup jelas.
    Ayat (9)
    Cukup jelas.
    Ayat (10)
    Cukup jelas.
    Pasal 234
    Cukup jelas.
    Pasal 235
    Cukup jelas.
    Pasal 236
    Cukup jelas.
    Pasal 237
    Cukup jelas.
    Pasal 238
    Cukup jelas.
    Pasal 239
    Cukup jelas.
    Pasal 240
    Cukup jelas.
    Pasal 241
    Cukup jelas.
    Pasal 242
    Cukup jelas.
    Pasal 243
    Cukup jelas.
    Pasal 244
    Cukup jelas.
    Pasal 245
    Cukup jelas.
    Pasal 246
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Media air dalam ketentuan ini tidak termasuk badan air sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    Huruf a
    Yang dimaksud dengan "air minum" adalah air yang melalui pengolahan atau tanpa pengolahan yang memenuhi syarat Kesehatan dan dapat langsung diminum.
    Huruf b
    Yang dimaksud dengan "kolam renang" adalah tempat umum berupa kolam berisi air yang telah diolah, baik yang terletak di dalam maupun di luar bangunan yang digunakan untuk berenang, rekreasi, atau olahraga air lainnya, termasuk kolam bermain dan kolam whirlpool.
     
    Yang dimaksud dengan "solus per aqua" adalah perawatan secara tradisional yang menggunakan air sebagai medianya.
     
    Yang dimaksud dengan "pemandian umum" adalah tempat umum dengan menggunakan air alam tanpa pengolahan terlebih dahulu yang digunakan untuk kegiatan mandi, relaksasi, rekreasi, atau olahraga, yang dilengkapi fasilitas lainnya.
    Ayat (4)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Yang dimaksud dengan "udara ambien" adalah udara bebas di permukaan bumi pada lapisan troposfir yang berada di dalam wilayah yurisdiksi Republik Indonesia yang dibutuhkan dan berpengaruh terhadap Kesehatan manusia, makhluk hidup, dan unsur lingkungan hidup lainnya.
     
    Yang dimaksud dengan "udara ambien yang memajan langsung pada manusia dan memiliki risiko Kesehatan" adalah udara luar ruangan yang terhirup oleh atau terpapar pada manusia yang berpotensi menimbulkan dampak pada Kesehatan manusia.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Ayat (8)
    Cukup jelas.
    Pasal 247
    Cukup jelas.
    Pasal 248
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Upaya pengamanan untuk mencegah terjadinya kontaminasi dalam ketentuan ini dilakukan melalui pengelolaan limbah dan radiasi sesuai dengan ketentuan, seperti tidak membuang limbah langsung ke lingkungan tanpa pengolahan terlebih dahulu atau menggunakan alat pelindung diri dari paparan radiasi.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Pasal 249
    Ayat (1)
    Huruf a
    Kebijakan dan strategi nasional penyelenggaraan Kesehatan lingkungan dalam ketentuan ini termasuk berkaitan dengan kabupaten/kota sehat, sanitasi total berbasis masyarakat, kesetaraan gender, disabilitas, dan inklusi sosial, serta kegiatan lain yang mendukung penyelenggaraan Kesehatan lingkungan.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 250
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Yang dimaksud dengan "kondisi matra" adalah keadaan dari seluruh aspek pada lingkungan, wahana, atau media yang serba berubah dan berpengaruh terhadap kelangsungan hidup dan pelaksanaan kegiatan manusia yang hidup dalam lingkungan tersebut, antara lain keadaan darurat, bencana, perpindahan penduduk secara besar-besaran atau pengungsian, serta peristiwa yang bersifat massal.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Yang dimaksud dengan "sistem Kesehatan yang berketahanan iklim" adalah sistem Kesehatan yang mampu untuk mengantisipasi, merespon, menanggulangi, pulih dari, dan beradaptasi terhadap tekanan dan gangguan iklim, sehingga tetap mampu memberikan pelayanan dalam meningkatkan derajat Kesehatan masyarakat.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Pasal 251
    Cukup jelas.
    Pasal 252
    Cukup jelas.
    Pasal 253
    Cukup jelas.
    Pasal 254
    Cukup jelas.
    Pasal 255
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan "limbah medis" adalah limbah hasil buangan dari aktivitas medis Pelayanan Kesehatan.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Yang dimaksud dengan "persyaratan teknis" adalah persyaratan pengelolaan limbah medis yang dilaksanakan di internal lingkungan Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
    Ayat (6)
    Kerja sama dengan pihak lain dalam ketentuan ini diutamakan pada tahapan pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir.
    Pasal 256
    Cukup jelas.
    Pasal 257
    Cukup jelas.
    Pasal 258
    Cukup jelas.
    Pasal 259
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Pekerjaan atau kegiatan di darat yang bersifat temporer dalam ketentuan ini antara lain:
    a.
    perpindahan penduduk termasuk transmigrasi dan pekerja migran;
    b.
    penyelenggaraan haji dan umrah;
    c.
    arus mudik dan arus balik;
    d.
    kegiatan bawah tanah;
    e.
    kejadian bencana atau kejadian gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat;
    f.
    penugasan operasi dan latihan Tentara Nasional Indonesia di darat;
    g.
    kegiatan, operasi, dan latihan kepolisian;
    h.
    kegiatan di area tertentu seperti jambore, kegiatan olahraga; dan
    i.
    Kesehatan matra darat lainnya.
    Ayat (3)
    Pekerjaan atau kegiatan di laut dalam ketentuan ini termasuk di bawah air yang bersifat temporer antara lain:
    a.
    kegiatan penyelaman;
    b.
    pelayaran;
    c.
    kegiatan lepas pantai;
    d.
    tugas operasi dan latihan Tentara Nasional Indonesia di laut;
    e.
    kegiatan, operasi, dan latihan kepolisian; dan
    f.
    Kesehatan matra laut lainnya.
    Ayat (4)
    Lingkungan yang bertekanan rendah (hipobarik) dalam ketentuan ini antara lain pada kondisi, pekerjaan, atau kegiatan:
    a.
    penerbangan;
    b.
    tugas operasi dan latihan Tentara Nasional Indonesia di udara;
    c.
    kegiatan, operasi, dan latihan kepolisian; dan
    d.
    Kesehatan matra udara lainnya.
    Pasal 260
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Penanganan kasus dalam ketentuan ini antara lain berupa penegakan diagnosis, tata laksana dini, pengobatan, dan perawatan, termasuk perawatan rehabilitatif dan/atau paliatif, serta rujukan.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Pasal 261
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Menteri atau menteri/pimpinan lembaga terkait sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing, antara lain:
    a.
    Menteri untuk standar dan persyaratan penyelenggaraan Kesehatan matra kejadian bencana, haji dan umrah, pekerja migran, arus mudik dan arus balik, penyelaman, penerbangan, dan situasi khusus lainnya;
    b.
    menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang transportasi untuk standar dan persyaratan penyelenggaraan penerbangan dan pelayaran;
    c.
    menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan untuk standar dan persyaratan penyelenggaraan tugas operasi dan latihan Tentara Nasional Indonesia; dan
    d.
    Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk standar dan persyaratan penyelenggaraan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat, dan kegiatan, operasi, dan latihan kepolisian.
    Pasal 262
    Cukup jelas.
    Pasal 263
    Cukup jelas.
    Pasal 264
    Cukup jelas.
    Pasal 265
    Cukup jelas.
    Pasal 266
    Cukup jelas.
    Pasal 267
    Cukup jelas.
    Pasal 268
    Yang dimaksud dengan "sistem Kesehatan yang tangguh" adalah sistem Kesehatan yang mampu mempersiapkan diri menghadapi segala ancaman bahaya serta meminimalisir dampak Kesehatan yang terjadi, dapat pulih secepatnya, dan terus memperkuat upaya kesiapsiagaan berdasarkan pembelajaran dari pengalaman yang terjadi serta mampu mempersiapkan diri beradaptasi dengan perubahan lingkungan (resilient).
    Pasal 269
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan "Pelayanan Kesehatan esensial" adalah Pelayanan Kesehatan dasar yang harus diberikan pada situasi apa pun untuk mencegah kesakitan, kedisabilitasan, keparahan, kematian, dan keberlangsungan hidup.
     
    Pelayanan Kesehatan esensial dalam ketentuan ini antara lain Pelayanan Kesehatan primer, Pelayanan Kesehatan lanjutan, surveilans dan pengendalian penyakit, Kesehatan lingkungan, Kesehatan reproduksi, pelayanan gizi, Pelayanan Kesehatan jiwa, dan pelayanan korban meninggal seperti identifikasi korban dan pemulasaran jenazah.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Pasal 270
    Cukup jelas.
    Pasal 271
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan "Fasilitas Pelayanan Kesehatan aman bencana" adalah fasilitas yang pelayanannya tetap dapat diakses dan berfungsi pada kapasitas maksimum, sebelum, selama, dan segera setelah situasi darurat dan bencana.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 272
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan "klaster Kesehatan" adalah kelompok pelaku penanggulangan Kesehatan bencana atau darurat Kesehatan lainnya, yang berkoordinasi, berkolaborasi, dan integrasi untuk memenuhi kebutuhan Pelayanan Kesehatan, yang berasal dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah, termasuk Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, masyarakat, dan pemangku kepentingan yang lain.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 273
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Yang dimaksud dengan "kajian risiko" adalah sebuah pendekatan untuk memperlihatkan potensi dampak negatif terhadap Kesehatan masyarakat yang mungkin timbul akibat suatu potensi bencana atau bahaya yang melanda.
     
    Perencanaan dalam ketentuan ini meliputi perencanaan penanggulangan Kesehatan bencana untuk semua ancaman bahaya dan rencana kontingensi atau perencanaan berdasarkan skenario tertentu, termasuk perencanaan klaster Kesehatan.
     
    Perencanaan klaster Kesehatan terintegrasi dengan perencanaan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dalam menghadapi kedaruratan bencana serta merupakan bagian dari perencanaan klaster bencana yang dikoordinasikan oleh lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penanggulangan bencana nasional dan penanggulangan bencana daerah.
     
    Yang dimaksud dengan "mitigasi" adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko Kesehatan akibat bencana, baik melalui pemetaan risiko, penyadaran, dan peningkatan kemampuan Sumber Daya Kesehatan maupun pembangunan fisik dalam menghadapi ancaman krisis Kesehatan yang dilakukan antara lain melalui kegiatan pendidikan berkelanjutan, pelatihan berkala seperti penyusunan peta risiko dan peta respons, rencana pelatihan kontingensi, dan manajemen bencana, sertifikasi kompetensi, serta meningkatkan koordinasi institusi Kesehatan dan non-Kesehatan.
     
    Yang dimaksud dengan "kesiapsiagaan" adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi permasalahan Kesehatan bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna yang dilakukan antara lain melalui kegiatan table top exercise, gladi, pemberdayaan masyarakat, penyiapan logistik Kesehatan, dan peningkatan kapasitas.
     
    Yang dimaksud dengan "sistem peringatan dini" adalah sistem yang dipergunakan untuk mewujudkan serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana atau darurat Kesehatan lainnya pada suatu tempat oleh kementerian/lembaga yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan.
     
    Sistem penanggulangan Gawat Darurat terpadu dalam ketentuan ini antara lain menyiapkan sistem rujukan bila terjadi Kesehatan bencana atau darurat Kesehatan lainnya serta menyiapkan sistem koordinasi lintas program maupun lintas sektor bila terjadi situasi bencana atau darurat Kesehatan lainnya.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Pasal 274
    Cukup jelas.
    Pasal 275
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Pemantauan dan pengawasan dalam ketentuan ini antara lain terhadap upaya rehabilitasi dan rekonstruksi bidang Kesehatan.
    Huruf d
    Pembelajaran dan evaluasi dalam ketentuan ini diselenggarakan berdasarkan respons Kesehatan yang telah dilakukan saat dan pascabencana.
    Pasal 276
    Cukup jelas.
    Pasal 277
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan "krisis Kesehatan" adalah peristiwa akibat faktor alam, nonalam, sosial, yang serius dan mendesak yang menimbulkan permasalahan Kesehatan pada masyarakat dan membutuhkan respons cepat di luar kebiasaan normal, sementara kapasitas Kesehatan setempat tidak memadai.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 278
    Cukup jelas.
    Pasal 279
    Cukup jelas.
    Pasal 280
    Cukup jelas.
    Pasal 281
    Cukup jelas.
    Pasal 282
    Ayat (1)
    Pengelolaan darah dalam ketentuan ini dapat dilakukan secara berjejaring sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 283
    Cukup jelas.
    Pasal 284
    Cukup jelas.
    Pasal 285
    Cukup jelas.
    Pasal 286
    Cukup jelas.
    Pasal 287
    Cukup jelas.
    Pasal 288
    Cukup jelas.
    Pasal 289
    Cukup jelas.
    Pasal 290
    Cukup jelas.
    Pasal 291
    Cukup jelas.
    Pasal 292
    Cukup jelas.
    Pasal 293
    Cukup jelas.
    Pasal 294
    Cukup jelas.
    Pasal 295
    Cukup jelas.
    Pasal 296
    Cukup jelas.
    Pasal 297
    Cukup jelas.
    Pasal 298
    Cukup jelas.
    Pasal 299
    Cukup jelas.
    Pasal 300
    Cukup jelas.
    Pasal 301
    Cukup jelas.
    Pasal 302
    Cukup jelas.
    Pasal 303
    Cukup jelas.
    Pasal 304
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Plasma yang dikumpulkan dari donor untuk kepentingan memproduksi produk Obat derivat plasma didapatkan secara langsung dari donor plasma dengan metode apheresis.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 305
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Yang dimaksud dengan "kompensasi" antara lain penggantian biaya transportasi dan/atau biaya pemeliharaan Kesehatan.
    Pasal 306
    Cukup jelas.
    Pasal 307
    Cukup jelas.
    Pasal 308
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan "sukarela" adalah tanpa adanya paksaan.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 309
    Cukup jelas.
    Pasal 310
    Cukup jelas.
    Pasal 311
    Cukup jelas.
    Pasal 312
    Cukup jelas.
    Pasal 313
    Cukup jelas.
    Pasal 314
    Cukup jelas.
    Pasal 315
    Cukup jelas.
    Pasal 316
    Cukup jelas.
    Pasal 317
    Cukup jelas.
    Pasal 318
    Cukup jelas.
    Pasal 319
    Cukup jelas.
    Pasal 320
    Cukup jelas.
    Pasal 321
    Cukup jelas.
    Pasal 322
    Cukup jelas.
    Pasal 323
    Cukup jelas.
    Pasal 324
    Cukup jelas.
    Pasal 325
    Cukup jelas.
    Pasal 326
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan "transplantasi" adalah pemindahan organ dan/atau jaringan tubuh dari donor ke resipien guna penyembuhan penyakit dan pemulihan Kesehatan resipien.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan "dikomersialkan" adalah komersialisasi dalam pelaksanaan transplantasi organ tubuh manusia atau jaringan tubuh manusia, tidak termasuk proses Pelayanan Kesehatan dalam penyelenggaraan transplantasi pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
     
    Yang dimaksud dengan "diperjualbelikan" adalah tindakan menjual atau memperdagangkan organ dan/atau jaringan tubuh untuk mendapatkan keuntungan finansial atau nilai tukar lainnya.
    Pasal 327
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Yang dimaksud dengan "menyatakan dirinya bersedia sebagai donor" adalah pernyataan Pasien bersedia menjadi donor yang didokumentasikan dalam bentuk tertulis atau rekaman audio visual.
    Pasal 328
    Cukup jelas.
    Pasal 329
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan "wasiat medik" adalah formulir isian khusus yang diberikan oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan khususnya Rumah Sakit kepada Pasien rawat inap yang berisi pernyataan tentang tindakan yang boleh dilakukan terhadap dirinya apabila mengalami kegawatdaruratan, termasuk kesediaan untuk mendonasikan organ dan/atau jaringan tubuh.
     
    Pembuatan wasiat medik difasilitasi oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan bagi calon donor yang pada saat dilakukan pengerahan masih hidup namun yang bersangkutan bersedia menjadi donor saat dinyatakan mati batang otak/mati otak.
    Pasal 330
    Cukup jelas.
    Pasal 331
    Cukup jelas.
    Pasal 332
    Ayat (1)
    Huruf a
    Yang dimaksud dengan "suami atau istri" adalah pasangan yang masih berada dalam status pernikahan sebelum ada indikasi untuk dilakukan transplantasi organ.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Pasal 333
    Cukup jelas.
    Pasal 334
    Cukup jelas.
    Pasal 335
    Cukup jelas.
    Pasal 336
    Cukup jelas.
    Pasal 337
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Sukarela dalam ketentuan ini dimaksudkan bahwa seseorang yang dengan kesadaran penuh dan tanpa paksaan dari orang lain memberikan persetujuan menyumbangkan organ tubuhnya untuk ditransplantasikan kepada orang lain yang membutuhkan.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 338
    Yang dimaksud dengan "keterangan hubungan darah atau suami atau istri dengan resipien" antara lain kutipan akta pencatatan sipil.
    Pasal 339
    Cukup jelas.
    Pasal 340
    Cukup jelas.
    Pasal 341
    Cukup jelas.
    Pasal 342
    Cukup jelas.
    Pasal 343
    Cukup jelas.
    Pasal 344
    Cukup jelas.
    Pasal 345
    Cukup jelas.
    Pasal 346
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan "dalam keadaan tertentu" antara lain orang yang dinyatakan mati dan belum terdaftar sebagai donor semasa hidupnya atau tidak diketahui identitasnya.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 347
    Cukup jelas.
    Pasal 348
    Cukup jelas.
    Pasal 349
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Ayat (8)
    Yang dimaksud dengan "terapi bantuan hidup" antara lain ventilator.
    Ayat (9)
    Cukup jelas.
    Pasal 350
    Cukup jelas.
    Pasal 351
    Cukup jelas.
    Pasal 352
    Cukup jelas.
    Pasal 353
    Cukup jelas.
    Pasal 354
    Cukup jelas.
    Pasal 355
    Cukup jelas.
    Pasal 356
    Cukup jelas.
    Pasal 357
    Cukup jelas.
    Pasal 358
    Cukup jelas.
    Pasal 359
    Cukup jelas.
    Pasal 360
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan "sisa jaringan hasil operasi, dan jaringan lain yang sudah tidak dibutuhkan lagi oleh donor" antara lain jaringan tulang, jaringan kulit, dan jaringan plasenta.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 361
    Cukup jelas.
    Pasal 362
    Cukup jelas.
    Pasal 363
    Cukup jelas.
    Pasal 364
    Cukup jelas.
    Pasal 365
    Cukup jelas.
    Pasal 366
    Cukup jelas.
    Pasal 367
    Cukup jelas.
    Pasal 368
    Cukup jelas.
    Pasal 369
    Cukup jelas.
    Pasal 370
    Cukup jelas.
    Pasal 371
    Cukup jelas.
    Pasal 372
    Cukup jelas.
    Pasal 373
    Cukup jelas.
    Pasal 374
    Cukup jelas.
    Pasal 375
    Cukup jelas.
    Pasal 376
    Cukup jelas.
    Pasal 377
    Cukup jelas.
    Pasal 378
    Cukup jelas.
    Pasal 379
    Cukup jelas.
    Pasal 380
    Cukup jelas.
    Pasal 381
    Cukup jelas.
    Pasal 382
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan "reproduksi" adalah untuk pembuatan individu baru atau kloning.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 383
    Cukup jelas.
    Pasal 384
    Cukup jelas.
    Pasal 385
    Cukup jelas.
    Pasal 386
    Cukup jelas.
    Pasal 387
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan "tempat penyimpanan lainnya di Fasilitas Pelayanan Kesehatan" adalah tempat penyimpanan sementara yang diperuntukkan bagi sel dan/atau sel punca sebelum dimanfaatkan untuk terapi kepada Pasien.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 388
    Cukup jelas.
    Pasal 389
    Cukup jelas.
    Pasal 390
    Cukup jelas.
    Pasal 391
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan "penelitian berbasis pelayanan terapi dapat ditetapkan sebagai pelayanan terapi terstandar" termasuk penelitian yang dilakukan di luar negeri.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 392
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan "pemilik produk" antara lain laboratorium, peneliti, Rumah Sakit, atau industri farmasi.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 393
    Cukup jelas.
    Pasal 394
    Cukup jelas.
    Pasal 395
    Cukup jelas.
    Pasal 396
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan "mengubah identitas" antara lain mengubah wajah, jenis kelamin, dan/atau sidik jari, sehingga mengakibatkan perubahan identitas dan menghilangkan jejak jati diri, serta digunakan untuk melawan hukum atau melakukan kejahatan.
    Pasal 397
    Cukup jelas.
    Pasal 398
    Cukup jelas.
    Pasal 399
    Cukup jelas.
    Pasal 400
    Cukup jelas.
    Pasal 401
    Cukup jelas.
    Pasal 402
    Cukup jelas.
    Pasal 403
    Cukup jelas.
    Pasal 404
    Cukup jelas.
    Pasal 405
    Cukup jelas.
    Pasal 406
    Cukup jelas.
    Pasal 407
    Ayat (1)
    Pemastian mutu dan keamanan dalam ketentuan ini dilakukan untuk menjamin produk yang dibuat dan diedarkan memenuhi persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan, dan mutu.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Pasal 408
    Cukup jelas.
    Pasal 409
    Cukup jelas.
    Pasal 410
    Cukup jelas.
    Pasal 411
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan "tidak sesuai dengan penandaan" adalah penandaan yang tidak sesuai dengan ketentuan, tidak objektif, tidak lengkap, menyesatkan, dan/atau merugikan masyarakat.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 412
    Cukup jelas.
    Pasal 413
    Ayat (1)
    Fasilitas produksi Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan/atau PKRT dalam ketentuan ini antara lain industri farmasi Bahan Obat, industri farmasi, industri dan usaha Obat Bahan Alam, industri ekstrak bahan alam, industri pangan yang memproduksi Suplemen Kesehatan, industri Kosmetik, industri Alat Kesehatan, dan industri PKRT.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 414
    Cukup jelas.
    Pasal 415
    Cukup jelas.
    Pasal 416
    Ayat (1)
    Produsen Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan antara lain industri farmasi Bahan Obat, industri farmasi, industri dan usaha Obat Bahan Alam, industri ekstrak bahan alam, industri pangan yang memproduksi Suplemen Kesehatan, industri Kosmetik, dan industri Alat Kesehatan.
     
    Distributor Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan antara lain pedagang besar farmasi, pedagang besar Obat Bahan Alam, pedagang besar Kosmetik, dan distributor Alat Kesehatan sesuai dengan jenis Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan yang akan didistribusikan.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 417
    Ayat (1)
    Fasilitas pelayanan kefarmasian berupa instalasi farmasi Rumah Sakit, instalasi farmasi Puskesmas, instalasi farmasi klinik, dan apotek.
     
    Yang dimaksud dengan "fasilitas lain yang telah memiliki perizinan berusaha" adalah fasilitas di luar fasilitas pelayanan kefarmasian, antara lain toko Obat, pedagang eceran Kosmetik, pedagang eceran Obat Bahan Alam, hypermarket, supermarket, minimarket, dan toko Alat Kesehatan, sesuai dengan jenis Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan yang akan diserahkan.
    Ayat (2)
    Obat Bahan Alam untuk keperluan khusus antara lain fitofarmaka dengan uji klinis yang langsung (head to head) dengan Obat konvensional.
     
    Suplemen Kesehatan untuk keperluan khusus antara lain vitamin D dosis tinggi.
    Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan "standar pelayanan kefarmasian" adalah standar yang meliputi pengelolaan dan pelayanan farmasi klinis.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 418
    Cukup jelas.
    Pasal 419
    Cukup jelas.
    Pasal 420
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Yang dimaksud dengan "organisasi riset kontrak" adalah suatu organisasi yang bergerak di bidang Kesehatan dan dikontrak oleh institusi pemerintah atau institusi swasta yang memiliki tugas dan fungsi penelitian dan pengembangan, atau perusahaan Sediaan Farmasi atau Alat Kesehatan untuk melaksanakan satu atau lebih tugas dan fungsi pemohon dalam uji klinik.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 421
    Cukup jelas.
    Pasal 422
    Cukup jelas.
    Pasal 423
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Bentuk lain antara lain logo penggolongan Obat atau Obat Bahan Alam.
    Pasal 424
    Cukup jelas.
    Pasal 425
    Cukup jelas.
    Pasal 426
    Cukup jelas.
    Pasal 427
    Peran serta masyarakat diarahkan untuk meningkatkan dan memberdayakan kemampuan yang ada pada masyarakat dalam rangka pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan. Peran serta masyarakat antara lain dalam bentuk:
    a.
    pemberian informasi dan laporan dugaan penyalahgunaan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan kepada Menteri atau kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan;
    b.
    pemberian informasi dan laporan dugaan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan dan mutu kepada Menteri atau kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan;
    c.
    pelaporan terhadap efek samping/kejadian yang tidak diinginkan karena penggunaan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan kepada Menteri atau kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang pengawasan obat dan makanan; dan
    d.
    keikutsertaan dalam penyebaran informasi pada masyarakat terkait penggunaan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan yang tepat serta memenuhi standar dan/atau persyaratan.
    Pasal 428
    Cukup jelas.
    Pasal 429
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan "bentuk lain yang bersifat adiktif' antara lain rokok elektronik dan/atau nikotin dalam berbagai bentuk dan kemasan, termasuk permen nikotin dan kantung nikotin.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Pasal 430
    Cukup jelas.
    Pasal 431
    Cukup jelas.
    Pasal 432
    Ayat (1)
    Bahan tambahan antara lain pensa (flavour), aroma, dan pewarna.
     
    Cengkeh, kelembak, atau kemenyan tidak termasuk bahan tambahan, melainkan sebagai bahan baku.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Pasal 433
    Ayat (1)
    Dalam ketentuan ini, pelarangan membuat kemasan rokok kurang dari 20 (dua puluh) batang bertujuan agar harga rokok tidak mudah terjangkau oleh konsumen.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan "produk tembakau selain rokok putih mesin" antara lain rokok kretek tangan, rokok kretek mesin, rokok klobot, rokok kelembak menyan, cerutu, dan tembakau iris dikemas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Pasal 434
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Yang dimasud dengan "tempat yang sering dilalui" adalah tempat berlalu-lalangnya orang, antara lain area pembayaran, area penjualan makanan dan minuman anak, serta tempat penjualan mainan anak.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 435
    Cukup jelas.
    Pasal 436
    Cukup jelas.
    Pasal 437
    Cukup jelas.
    Pasal 438
    Cukup jelas.
    Pasal 439
    Cukup jelas.
    Pasal 440
    Cukup jelas.
    Pasal 441
    Cukup jelas.
    Pasal 442
    Cukup jelas.
    Pasal 443
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Tempat kerja dalam ketentuan ini antara lain tiap ruangan atau lapangan tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap dimana tenaga kerja bekerja atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber bahaya, seperti pabrik, perkantoran, ruang rapat, dan ruang sidang atau seminar.
     
    Tempat umum antara lain semua tempat tertutup yang dapat diakses oleh masyarakat umum dan/atau tempat yang dapat dimanfaatkan bersama-sama untuk kegiatan masyarakat yang dikelola oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah, swasta, dan masyarakat, seperti hotel, restoran, bioskop, bandar udara, stasiun, pusat perbelanjaan, dan pasar swalayan.
     
    Tempat lainnya antara lain tempat terbuka tertentu yang dimanfaatkan bersama-sama untuk kegiatan masyarakat.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 444
    Cukup jelas.
    Pasal 445
    Cukup jelas.
    Pasal 446
    Cukup jelas.
    Pasal 447
    Cukup jelas.
    Pasal 448
    Cukup jelas.
    Pasal 449
    Cukup jelas.
    Pasal 450
    Cukup jelas.
    Pasal 451
    Cukup jelas.
    Pasal 452
    Cukup jelas.
    Pasal 453
    Cukup jelas.
    Pasal 454
    Ayat (1)
    Huruf a
    Citra merek antara lain semboyan yang digunakan oleh produk tembakau dan rokok elektronik serta warna yang dapat diasosiasikan sebagai ciri khas produk tembakau dan rokok elektronik yang bersangkutan.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan "kegiatan lembaga dan/atau perseorangan", antara lain kegiatan sosial, pendidikan, olahraga, musik, kepemudaan, dan kebudayaan.
    Pasal 455
    Cukup jelas.
    Pasal 456
    Media teknologi informasi antara lain seluruh media online yang menggunakan fasilitas internet.
    Pasal 457
    Cukup jelas.
    Pasal 458
    Cukup jelas.
    Pasal 459
    Cukup jelas.
    Pasal 460
    Cukup jelas.
    Pasal 461
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Diversifikasi dimaksudkan agar penggunaan produk tembakau tidak membahayakan bagi Kesehatan.
     
    Diversifikasi produk tembakau dapat dilakukan antara lain dengan mengolah daun tembakau sehingga diperoleh bahan kimia dasar yang dapat digunakan sebagai pestisida, Obat bius, produk Kosmetik (pengencang kulit), industri farmasi, dan lain-lain. Dengan demikian daun tembakau tidak hanya dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan rokok tetapi dapat pula digunakan sebagai bahan baku berbagai macam produk hasil diversifikasi.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Yang dimaksud dengan "sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing daerah" adalah penguatan pengamanan untuk mengendalikan dampak konsumsi produk tembakau dan rokok elektronik bagi Kesehatan.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Lihat penjelasan pada ayat (1) huruf e.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Pasal 462
    Cukup jelas.
    Pasal 463
    Cukup jelas.
    Pasal 464
    Cukup jelas.
    Pasal 465
    Cukup jelas.
    Pasal 466
    Cukup jelas.
    Pasal 467
    Cukup jelas.
    Pasal 468
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Tempat lain yang memenuhi persyaratan antara lain di tempat kejadian peristiwa atau tempat pemakaman yang lingkungannya menunJang proses pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum. ·
    Pasal 469
    Cukup jelas.
    Pasal 470
    Cukup jelas.
    Pasal 471
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Kasus lain antara lain korban bencana yang disebabkan oleh perbuatan manusia, pemeriksaan asam deoksiribonukleat untuk penentuan paternitas, penentuan kecakapan untuk ditahan atau kecakapan untuk diwawancara, atau kasus yang memiliki dimensi hukum yang membutuhkan pelayanan kedokteran.
    Pasal 472
    Cukup jelas.
    Pasal 473
    Cukup jelas.
    Pasal 474
    Cukup jelas.
    Pasal 475
    Cukup jelas.
    Pasal 476
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Yang dimaksud dengan "mayat yang tidak dikenal" adalah jasad atau tubuh manusia yang ditemukan tanpa identitas yang jelas atau tanpa ada informasi mengenai identitasnya.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 477
    Cukup jelas.
    Pasal 478
    Cukup jelas.
    Pasal 479
    Yang dimaksud dengan "pengetahuan" adalah segala sesuatu yang diketahui berkenaan dengan Kesehatan tradisional yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun temurun secara empiris yang dapat dipertanggungjawabkan.
     
    Yang dimaksud dengan "keahlian" adalah kemampuan seseorang dalam ilmu Kesehatan tradisional.
     
    Yang dimaksud dengan "nilai" adalah sifat atau hal yang diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.
     
    Yang dimaksud dengan "kearifan lokal" adalah kearifan baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, serta Pelayanan Kesehatan nonkonvensional.
    Pasal 480
    Cukup jelas.
    Pasal 481
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Yang dimaksud dengan "teknik manual" adalah teknik pengobatan yang berdasarkan manipulasi dan gerakan dari satu atau beberapa. bagian tubuh dan/atau dengan menggunakan alat termasuk akupunktur.
    Huruf b
    Yang dimaksud dengan "terapi olah pikir" adalah teknik pengobatan yang bertujuan untuk memanfaatkan kemampuan pikiran guna memperbaiki fungsi tubuh.
    Huruf c
    Yang dimaksud dengan "terapi energi" adalah teknik pengobatan dengan menggunakan lapangan energi baik dari luar maupun dari dalam tubuh itu sendiri.
    Ayat (3)
    Produk Obat Bahan Alam berupa produk Obat Bahan Alam yang telah mendapatkan izin edar dari lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan.
    Pasal 482
    Cukup jelas.
    Pasal 483
    Cukup jelas.
    Pasal 484
    Cukup jelas.
    Pasal 485 
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Yang dimaksud "Fasilitas Pelayanan Kesehatan tradisional" antara lain berupa Griya Sehat.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Pasal 486
    Cukup jelas.
    Pasal 487
    Cukup jelas.
    Pasal 488
    Cukup jelas.
    Pasal 489
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Yang dimaksud dengan "kompetensi" adalah kemampuan yang dimiliki seseorang berdasarkan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan sikap untuk dapat menjalankan praktik.
     
    Yang dimaksud dengan "kewenangan" adalah hak menggunakan wewenang yang dimiliki seseorang berdasarkan kompetensinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 490
    Cukup jelas.
    Pasal 491
    Cukup jelas.
    Pasal 492
    Cukup jelas.
    Pasal 493
    Cukup jelas.
    Pasal 494
    Cukup jelas.
    Pasal 495
    Cukup jelas.
    Pasal 496
    Cukup jelas.
    Pasal 497
    Ayat (1)
    Huruf a
    Yang dimaksud dengan "standar Pelayanan Kesehatan nasional" adalah tata kelola Pelayanan Kesehatan yang ditetapkan secara nasional, seperti standar pelayanan kefarmasian dan standar Pelayanan Kesehatan pada setiap siklus hidup.
    Huruf b
    Yang dimaksud dengan "pedoman nasional pelayanan klinis" adalah standar pelayanan yang memuat tata laksana penyakit atau kondisi klinis yang spesifik yang dibuat secara sistematis yang didasarkan pada bukti ilmiah (scientific evidence) untuk membantu Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam pemberian Pelayanan Kesehatan.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 498
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Sistem yang membuat asuhan Pasien lebih aman antara lain dilakukan melalui kegiatan asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan risiko Pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya, serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Pasal 499
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Yang dimaksud dengan "alur klinis" adalah konsep perencanaan pelayanan terpadu yang merangkum setiap langkah yang diberikan kepada Pasien berdasarkan standar pelayanan yang berbasis bukti dengan hasil yang dapat diukur dan dalam jangka waktu tertentu.
     
    Yang dimaksud dengan "algoritma" adalah format tertulis berupa flowchart yang bersifat sistematis yang memuat pilihan alur terkait tata laksana Pasien yang dapat dilihat secara cepat.
     
    Yang dimaksud dengan "prosedur" adalah uraian langkah dari tindakan yang dilakukan sebagai bagian dari tata laksana Pasien.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Pasal 500
    Cukup jelas.
    Pasal 501
    Cukup jelas.
    Pasal 502
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Yang dimaksud dengan "kemandirian hidup sehat" adalah kemampuan setiap individu, keluarga, dan masyarakat secara sadar dan tanpa bantuan orang lain untuk hidup sehat secara fisik dan jiwa tanpa ada permasalahan Kesehatan.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Pasal 503
    Cukup jelas.
    Pasal 504
    Cukup jelas.
    Pasal 505
    Cukup jelas.
    Pasal 506
    Ayat (1)
    Upaya Kesehatan masyarakat yang bersifat preventif dapat berupa pembatasan konsumsi rokok, konsumsi garam, konsumsi makanan dan minuman kadar gula berlebih, serta berupa vaksinasi massal, skrining penyakit, serta pengendalian Kesehatan lingkungan, termasuk pencegahan pencemaran lingkungan dan pengendalian vektor.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 507
    Upaya Kesehatan masyarakat yang bersifat kuratif dapat berupa pemberian Obat massal, pemberian Obat presumtif, dan pemberian Obat penyakit menular serta kepastian adanya sistem yang efektif untuk ketersediaan akses yang berkeadilan terhadap Upaya Kesehatan perseorangan yang bersifat kuratif.
    Pasal 508
    Upaya Kesehatan masyarakat yang bersifat rehabilitatif dapat berupa pelatihan sosial untuk penderita spektrum autisme, disabilitas intelektual, atau skizofrenia.
    Pasal 509
    Upaya Kesehatan masyarakat yang bersifat paliatif dapat berupa pembentukan komunitas yang saling mendukung.
    Pasal 510
    Cukup jelas.
    Pasal 511
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Upaya Kesehatan bersumber daya masyarakat termasuk pos pelayanan terpadu sebagai lembaga kemasyarakatan desa atau lembaga kemasyarakatan kelurahan.
    Pasal 512
    Cukup jelas.
    Pasal 513
    Cukup jelas.
    Pasal 514
    Cukup jelas.
    Pasal 515
    Cukup jelas.
    Pasal 516
    Cukup jelas.
    Pasal 517
    Cukup jelas.
    Pasal 518
    Ayat (1)
    Satuan pendidikan antara lain pendidikan anak usia dini, sekolah/madrasah, pesantren, perguruan tinggi, atau nama lain yang sejenis dengan pendidikan formal.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 519
    Ayat (1)
    Tempat kerja dalam ketentuan ini antara lain industri besar-menengah, industri kecil, perkantoran, sektor informal, Fasilitas Pelayanan Kesehatan, dan pekerjaan di lingkungan matra.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 520
    Cukup jelas.
    Pasal 521
    Ayat (1)
    Jejaring mitra Kesehatan antara lain lembaga swadaya masyarakat, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh perempuan, komunitas peduli Kesehatan, dan badan usaha.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 522
    Cukup jelas.
    Pasal 523
    Cukup jelas.
    Pasal 524
    Cukup jelas.
    Pasal 525
    Cukup jelas.
    Pasal 526
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
     
     
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Yang dimaksud dengan "laboratorium lainnya yang ditetapkan oleh Menteri" adalah laboratorium Kesehatan yang disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan Kesehatan dan Teknologi Kesehatan.
    Pasal 527
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan "prognosis" adalah gambaran kemungkinan kesembuhan, perbaikan, atau perburukan kondisi Pasien dalam jangka waktu tertentu yang didasarkan pada kondisi Pasien, hasil tes, dan respon terhadap pengobatan.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 528
    Cukup jelas.
    Pasal 529
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan "spesimen klinik" adalah bahan yang berasal dan/atau diambil dari tubuh manusia untuk tujuan diagnostik, penelitian, pengembangan, pendidikan, dan/atau analisis lainnya, termasuk new emerging dan re-emerging, dan penyakit infeksi berpotensi pandemik.
     
    Yang dimaksud dengan "sampel" adalah bahan yang berasal dari lingkungan, vektor, dan binatang pembawa penyakit untuk tujuan pengujian dalam rangka penetapan penyakit dan faktor risiko Kesehatan lain berbasis laboratorium.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 530
    Cukup jelas.
    Pasal 531
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Yang dimaksud dengan "laboratorium Kesehatan masyarakat pada wilayah regional" adalah unit pelaksana teknis pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, yang membina, mendampingi, dan mengoordinasikan laboratorium Kesehatan pada beberapa daerah provinsi di wilayah regional.
    Ayat (6)
    Yang dimaksud dengan "laboratorium Kesehatan masyarakat nasional" adalah unit pelaksana teknis pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, yang mempunyai ruang lingkup tugas yang bersifat strategis dan berskala nasional serta internasional.
    Pasal 532
    Cukup jelas.
    Pasal 533
    Cukup jelas.
    Pasal 534
    Cukup jelas.
    Pasal 535
    Cukup jelas.
    Pasal 536
    Ayat (1)
    Tenaga teknis antara lain Sumber Daya Manusia Kesehatan dan sumber daya manusia non-Kesehatan.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 537
    Cukup jelas.
    Pasal 538
    Cukup jelas.
    Pasal 539
    Cukup jelas.
    Pasal 540
    Cukup jelas.
    Pasal 541
    Cukup jelas.
    Pasal 542
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Huruf a
    Yang dimaksud dengan "Pelayanan Kesehatan bergerak" adalah Pelayanan Kesehatan yang diberikan pada lokasi dan waktu tertentu oleh Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan, atau Fasilitas Pelayanan Kesehatan bergerak dalam rangka meningkatkan akses dan ketersediaan Pelayanan Kesehatan di daerah terpencil dan sangat terpencil.
    Huruf b
    Yang dimaksud dengan "Pelayanan Kesehatan gugus pulau" adalah Pelayanan Kesehatan di beberapa pulau yang membentuk suatu kelompok untuk memberikan satu kesatuan pelayanan tanpa memperhatikan batasan wilayah administrasi dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Yang dimaksud dengan "modifikasi Pelayanan Kesehatan lain" adalah modifikasi Pelayanan Kesehatan yang menyesuaikan dengan perkembangan teknis Pelayanan Kesehatan, serta ilmu pengetahuan dan teknologi, transportasi, dan komunikasi.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 543
    Cukup jelas.
    Pasal 544
    Cukup jelas.
    Pasal 545
    Cukup jelas.
    Pasal 546
    Cukup jelas.
    Pasal 547
    Cukup jelas.
    Pasal 548
    Cukup jelas.
    Pasal 549
    Cukup jelas.
    Pasal 550
    Cukup jelas.
    Pasal 551
    Cukup jelas.
    Pasal 552
    Cukup jelas.
    Pasal 553
    Cukup jelas.
    Pasal 554
    Cukup jelas.
    Pasal 555
    Cukup jelas.
    Pasal 556
    Cukup jelas.
    Pasal 557
    Cukup jelas.
    Pasal 558
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Yang dimaksud dengan "klinik" adalah Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang menyelenggarakan Pelayanan Kesehatan perseorangan yang menyediakan pelayanan medis dasar dan/atau spesialistik.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Pasal 559
    Cukup jelas.
    Pasal 560
    Cukup jelas.
    Pasal 561
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Pelayanan kefarmasian melalui telefarmasi antara lain pengkajian resep, dispensing, pelayanan informasi Obat konseling, pemantauan terapi Obat dan monitoring efek samping Obat.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 562
    Cukup jelas.
    Pasal 563
    Cukup jelas.
    Pasal 564
    Cukup jelas.
    Pasal 565
    Cukup jelas.
    Pasal 566
    Cukup jelas.
    Pasal 567
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Pihak terkait antara lain asosiasi Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan asosiasi institusi pendidikan Kesehatan serta pihak lainnya sesuai dengan kebutuhan.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 568
    Cukup jelas.
    Pasal 569
    Cukup jelas.
    Pasal 570
    Cukup jelas.
    Pasal 571
    Cukup jelas.
    Pasal 572
    Cukup jelas.
    Pasal 573
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan "peninjauan kembali" adalah upaya penyesuaian perencanaan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang disesuaikan dengan perubahan demografi dan epidemiologi serta politik, ekonomi, sosial, dan budaya di wilayah masing-masing.
    Pasal 574
    Cukup jelas.
    Pasal 575
    Cukup jelas.
    Pasal 576
    Ayat (1)
    Fasilitas Pelayanan Kesehatan dalam ketentuan ini antara lain Rumah Sakit, Puskesmas, klinik, apotek, unit pengelola darah, laboratorium Kesehatan, dan/atau optik.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 577
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Huruf a
    Yang dimaksud dengan "sistem Kesehatan akademik" adalah kesatuan kerja sama antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, perguruan tinggi, dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dalam peningkatan Pelayanan Kesehatan dan pemenuhan kebutuhan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Kerja sama bidang sumber daya manusia contohnya pembagian waktu dan peran sumber daya manusia antar instansi.
     
    Kerja sama bidang sarana dan prasarana contohnya penggunaan sarana dan prasarana secara bersama dan/atau bergantian.
     
    Kerja sama bidang pendanaan contohnya pendanaan pada kegiatan penelitian untuk menunjang pembangunan bidang Kesehatan.
    Pasal 578
    Cukup jelas.
    Pasal 579
    Cukup jelas.
    Pasal 580
    Cukup jelas.
    Pasal 581
    Cukup jelas.
    Pasal 582
    Cukup jelas.
    Pasal 583
    Cukup jelas.
    Pasal 584
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan "pegawai pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan" adalah peserta didik yang mendapatkan penetapan sebagai pegawai oleh pejabat yang berwenang serta memiliki hak dan kewajiban sebagai pegawai sesuai penetapan yang diberikan.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Yang dimaksud dengan "Fasilitas Pelayanan Kesehatan lain yang membutuhkan" adalah Fasilitas Pelayanan Kesehatan di luar Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan RSPPU tempat peserta didik menyelenggarakan pendidikan yang telah memiliki izin dan terakreditasi sebagai penyelenggara Pelayanan Kesehatan.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 585
    Cukup jelas.
    Pasal 586
    Cukup jelas.
    Pasal 587
    Cukup jelas.
    Pasal 588
    Cukup jelas.
    Pasal 589
    Cukup jelas.
    Pasal 590
    Cukup jelas.
    Pasal 591
    Ayat (1)
    Uji kompetensi secara nasional dilaksanakan untuk melihat pencapaian standar kompetensi lulusan sebagai hasil belajar peserta didik.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan "uji kompetensi berstandar nasional" adalah pengukuran pengetahuan, keterampilan, dan perilaku peserta didik pada penyelenggara pendidikan tinggi bidang Kesehatan yang menyelenggarakan ujian sesuai dengan standar nasional dan berlaku secara nasional.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 592
    Cukup jelas.
    Pasal 593
    Cukup jelas.
    Pasal 594
    Cukup jelas.
    Pasal 595
    Cukup jelas.
    Pasal 596
    Cukup jelas.
    Pasal 597
    Cukup jelas.
    Pasal 598
    Cukup jelas.
    Pasal 599
    Cukup jelas.
    Pasal 600
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Fasilitas tempat tinggal dapat berupa tempat tinggal atau bantuan biaya tempat tinggal.
    Pasal 601
    Cukup jelas.
    Pasal 602
    Cukup jelas.
    Pasal 603
    Cukup jelas.
    Pasal 604
    Cukup jelas.
    Pasal 605
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Yang dimaksud dengan "tenaga lain sesuai dengan kebutuhan" adalah tenaga yang dilibatkan dalam proses pendidikan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan antara lain tenaga di bidang administrasi, kearsipan, komputer, dan kehumasan.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 606
    Cukup jelas.
    Pasal 607
    Cukup jelas.
    Pasal 608
    Cukup jelas.
    Pasal 609
    Cukup jelas.
    Pasal 610
    Cukup jelas.
    Pasal 611
    Cukup jelas.
    Pasal 612
    Cukup jelas.
    Pasal 613
    Cukup jelas.
    Pasal 614
    Cukup jelas.
    Pasal 615
    Cukup jelas.
    Pasal 616
    Cukup jelas.
    Pasal 617
    Cukup jelas.
    Pasal 618
    Cukup jelas.
    Pasal 619
    Cukup jelas.
    Pasal 620
    Cukup jelas.
    Pasal 621
    Cukup jelas.
    Pasal 622
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan "daerah tidak diminati" adalah daerah yang mengalami kesulitan pemenuhan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dalam waktu tertentu.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 623
    Ayat (1)
    Fasilitas lainnya antara lain tempat tinggal dan alat transportasi.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 624
    Cukup jelas.
    Pasal 625
    Cukup jelas.
    Pasal 626
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Jangka waktu tertentu antara lain penempatan pada penugasan khusus untuk waktu yang ditentukan sesuai dengan kebutuhan Pelayanan Kesehatan.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 627
    Cukup jelas
    Pasal 628
    Cukup jelas.
    Pasal 629
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Sebab lain antara lain pensiun, meninggalkan tugas, tidak mampu melaksanakan tugas karena berhalangan tetap, dan meninggal dunia.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 630
    Cukup jelas.
    Pasal 631
    Cukup jelas.
    Pasal 632
    Cukup jelas.
    Pasal 633
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Tenaga cadangan Kesehatan berupa non-Tenaga Kesehatan yang telah mendapatkan pelatihan terkait dengan penanggulangan KLB, Wabah, dan darurat bencana antara lain peserta didik, dosen, dan tenaga yang sudah tidak berpraktik sebagai Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.
    Ayat (5)
    Yang dimaksud dengan "kedaruratan Kesehatan lainnya" adalah kondisi di luar bencana yang memenuhi kriteria krisis Kesehatan.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Pasal 634
    Cukup jelas.
    Pasal 635
    Cukup jelas.
    Pasal 636
    Cukup jelas.
    Pasal 637
    Cukup jelas.
    Pasal 638
    Cukup jelas.
    Pasal 639
    Cukup jelas.
    Pasal 640
    Cukup jelas.
    Pasal 641
    Cukup jelas.
    Pasal 642
    Cukup jelas.
    Pasal 643
    Cukup jelas.
    Pasal 644
    Cukup jelas.
    Pasal 645
    Huruf a
    Penyiapan sebelum didayagunakan antara lain kemampuan bahasa dan pemahaman budaya negara tujuan penempatan serta penyiapan lisensi internasional.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Pasal 646
    Yang dimaksud dengan "pelindungan kepada Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang didayagunakan ke luar negeri" adalah pelindungan terhadap keselamatan, keamanan, dan bentuk pelindungan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    Pasal 647
    Cukup jelas.
    Pasal 648
    Cukup jelas.
    Pasal 649
    Cukup jelas.
    Pasal 650
    Cukup jelas.
    Pasal 651
    Cukup jelas.
    Pasal 652
    Cukup jelas.
    Pasal 653
    Cukup jelas.
    Pasal 654
    Cukup jelas.
    Pasal 655
    Cukup jelas.
    Pasal 656
    Cukup jelas.
    Pasal 657
    Cukup jelas.
    Pasal 658
    Cukup jelas.
    Pasal 659
    Cukup jelas.
    Pasal 660
    Cukup jelas.
    Pasal 661
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Kondisi tertentu antara lain pendayagunaan pada kawasan ekonomi khusus, pendayagunaan untuk kegiatan bakti sosial, dan pendayagunaan dalam kondisi bencana.
    Pasal 662
    Cukup jelas.
    Pasal 663
    Cukup jelas.
    Pasal 664
    Cukup jelas.
    Pasal 665
    Cukup jelas.
    Pasal 666
    Cukup jelas.
    Pasal 667
    Cukup jelas.
    Pasal 668
    Cukup jelas.
    Pasal 669
    Cukup jelas.
    Pasal 670
    Cukup jelas.
    Pasal 671
    Cukup jelas.
    Pasal 672
    Cukup jelas.
    Pasal 673
    Cukup jelas.
    Pasal 674
    Cukup jelas.
    Pasal 675
    Cukup jelas.
    Pasal 676
    Cukup jelas.
    Pasal 677
    Cukup jelas.
    Pasal 678
    Cukup jelas.
    Pasal 679
    Cukup jelas.
    Pasal 680
    Cukup jelas.
    Pasal 681
    Cukup jelas
    Pasal 682
    Cukup jelas.
    Pasal 683
    Cukup jelas.
    Pasal 684
    Ayat (1)
    Kondisi tertentu antara lain berupa keadaan yang membutuhkan percepatan pemenuhan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan pada Pelayanan Kesehatan.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 685
    Ayat (1)
    Kondisi tertentu antara lain bakti sosial/kemanusiaan, tugas kenegaraan, penanggulangan KLB, Wabah, atau bencana lainnya, pemberian pertolongan darurat lainnya, dan/atau pemberian Pelayanan Kesehatan lainnya yang bersifat insidentil dan bersifat sementara.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 686
    Cukup jelas.
    Pasal 687
    Cukup jelas.
    Pasal 688
    Cukup jelas.
    Pasal 689
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan "surat tugas" adalah izin yang diberikan oleh Menteri kepada dokter/dokter gigi spesialis yang telah memiliki SIP dengan jumlah maksimal, untuk memberikan pelayanan spesialistik di daerah yang membutuhkan.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Pasal 690
    Cukup jelas.
    Pasal 691
    Cukup jelas.
    Pasal 692
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Memiliki hak dan kewajiban yang sama termasuk hak atas jasa Pelayanan Kesehatan dan hak atas pelindungan hukum.
    Pasal 693
    Cukup jelas.
    Pasal 694
    Cukup jelas.
    Pasal 695
    Cukup jelas.
    Pasal 696
    Cukup jelas.
    Pasal 697
    Cukup jelas.
    Pasal 698
    Cukup jelas.
    Pasal 699
    Cukup jelas.
    Pasal 700
    Cukup jelas.
    Pasal 701
    Cukup jelas.
    Pasal 702
    Cukup jelas.
    Pasal 703
    Cukup jelas.
    Pasal 704
    Cukup jelas.
    Pasal 705
    Cukup jelas.
    Pasal 706
    Cukup jelas.
    Pasal 707
    Cukup jelas.
    Pasal 708
    Cukup jelas.
    Pasal 709
    Cukup jelas.
    Pasal 710
    Cukup jelas.
    Pasal 711
    Cukup jelas.
    Pasal 712
    Cukup jelas.
    Pasal 713
    Cukup jelas.
    Pasal 714
    Cukup jelas.
    Pasal 715
    Cukup jelas.
    Pasal 716
    Cukup jelas.
    Pasal 717
    Cukup jelas.
    Pasal 718
    Cukup jelas.
    Pasal 719
    Cukup jelas.
    Pasal 720
    Cukup jelas.
    Pasal 721
    Cukup jelas.
    Pasal 722
    Cukup jelas.
    Pasal 723
    Ayat (1)
    Huruf a
    Yang dimaksud dengan "dalam rangka mencegah" adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum bagi Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan serta memiliki kebebasan dalam menjalankan praktik keprofesiannya, menjamin pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan dalam memberikan hak pelindungan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    Huruf b
    Yang dimaksud dengan "yang menghadapi permasalahan hukum" adalah untuk menjamin Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan yang telah bekerja sesuai dengan standar mendapatkan proses penyelesaian permasalahan hukum yang adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 724
    Cukup jelas.
    Pasal 725
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan "gaji/upah, imbalan jasa, dan tunjangan kinerja yang layak" adalah jumlah penghasilan atau pendapatan dari gaji/upah, imbalan jasa, dan tunjangan kinerja yang diterima Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dari hasil pekerjaannya mampu memenuhi kebutuhan hidup Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan serta keluarganya secara wajar untuk mencapai derajat penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 726
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Huruf i
    Pertimbangan objektif dilaksanakan sesuai dengan kewenangan Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota serta pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
    Pasal 727
    Cukup jelas.
    Pasal 728
    Cukup jelas.
    Pasal 729
    Cukup jelas
    Pasal 730
    Cukup jelas.
    Pasal 731
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Pelindungan dalam ketentuan ini antara lain pelindungan hukum serta pelindungan keamanan dan keselamatan.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 732
    Cukup jelas
    Pasal 733
    Cukup jelas.
    Pasal 734
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Bunuh diri dengan bantuan antara lain euthanasia dan physician-assisted suicide.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Yang dimaksud dengan "melakukan perbuatan curang" adalah melakukan tindakan yang disengaja oleh 1 (satu) individu atau lebih dalam manajemen atau pihak yang bertanggung jawab atas tata kelola, karyawan, dan pihak ketiga yang melibatkan penggunaan tipu muslihat untuk memperoleh suatu keuntungan secara tidak adil atau melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan (fraud).
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 735
    Cukup jelas.
    Pasal 736
    Cukup jelas
    Pasal 737
    Cukup jelas.
    Pasal 738
    Cukup jelas
    Pasal 739
    Cukup jelas.
    Pasal 740
    Cukup jelas
    Pasal 741
    Cukup jelas.
    Pasal 742
    Cukup jelas.
    Pasal 743
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan "kewenangan klinis" adalah hak khusus Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan tertentu untuk melakukan pelayanan medik dan/atau Pelayanan Kesehatan tertentu dalam lingkungan Fasilitas Pelayanan Kesehatan untuk suatu periode tertentu yang dilaksanakan berdasarkan penugasan klinis.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan "kredensial" adalah proses evaluasi terhadap Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan tertentu untuk menentukan kelayakan diberikan kewenangan klinis (clinical privilege).
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 744
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan "wilayah tempat Tenaga Medis atau Tenaga Kesehatan bertugas" adalah Fasilitas pelayanan Kesehatan dalam suatu wilayah.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Ayat (8)
    Cukup jelas.
    Ayat (9)
    Cukup jelas.
    Pasal 745
    Cukup jelas.
    Pasal 746
    Cukup jelas.
    Pasal 747
    Cukup jelas.
    Pasal 748
    Cukup jelas.
    Pasal 749
    Cukup jelas.
    Pasal 750
    Cukup jelas.
    Pasal 751
    Cukup jelas.
    Pasal 752
    Cukup jelas.
    Pasal 753
    Cukup jelas.
    Pasal 754
    Cukup jelas.
    Pasal 755
    Huruf a
    Yang dimaksud dengan "tenaga pendukung atau penunjang Upaya Kesehatan atau Pelayanan Kesehatan" antara lain tenaga biologi, asisten Tenaga Kesehatan, kader, penyehat tradisional, pramusaji, petugas pemulasaran jenazah, dan petugas ambulans.
    Huruf b
    Yang dimaksud dengan "tenaga pendukung atau penunjang administrasi, manajemen, dan teknologi Informasi Kesehatan" antara lain tenaga pendaftaran Pasien, tenaga hubungan masyarakat, tenaga administratif, dan tenaga keuangan.
    Huruf c
    Yang dimaksud dengan "tenaga pendukung atau penunjang sarana dan prasarana Fasilitas Pelayanan Kesehatan" antara lain petugas instalasi listrik, pemeliharaan bangunan, dan petugas kebersihan.
    Pasal 756
    Cukup jelas.
    Pasal 757
    Cukup jelas.
    Pasal 758
    Cukup jelas.
    Pasal 759
    Cukup jelas.
    Pasal 760
    Cukup jelas.
    Pasal 761
    Cukup jelas.
    Pasat 762
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Yang dimaksud dengan "praktik mandiri Tenaga Medis" adalah praktik mandiri dokter atau dokter gigi.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Pasal 763
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Yang dimaksud dengan "praktik mandiri Tenaga Medis" berupa praktik mandiri dokter spesialis/subspesialis atau dokter gigi spesialis/subspesialis.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 764
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Yang dimaksud dengan "bank materi biologi" adalah fasilitas pelayanan penunjang untuk menyimpan materi biologi tertentu antara lain bank sel, bank jaringan, bank plasma, dan bank gen.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Pasal 765
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan "Fasilitas Pelayanan Kesehatan bergerak" antara lain berbentuk bus, pesawat, kapal, karavan, gerbong kereta api, tenda, atau kontainer.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 766
    Cukup jelas.
    Pasal 767
    Cukup jelas.
    Pasal 768
    Cukup jelas.
    Pasal 769
    Cukup jelas.
    Pasal 770
    Cukup jelas.
    Pasal 771
    Cukup jelas.
    Pasal 772
    Cukup jelas.
    Pasal 773
    Cukup jelas.
    Pasal 774
    Cukup jelas.
    Pasal 775
    Cukup jelas.
    Pasal 776
    Penyelenggaraan Fasilitas Pelayanan Kesehatan di kawasan ekonomi khusus termasuk mengatur pendayagunaan Sumber Daya Manusia Kesehatan serta pemasukan dan penggunaan Perbekalan Kesehatan.
    Pasal 777
    Cukup jelas.
    Pasal 778
    Cukup jelas.
    Pasal 779
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan "sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan" adalah ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan sistem elektronik.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 780
    Cukup jelas.
    Pasal 781
    Cukup jelas.
    Pasal 782
    Cukup jelas.
    Pasal 783
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Ayat (8)
    Cukup jelas.
    Ayat (9)
    Cukup jelas.
    Ayat (10)
    Cukup jelas.
    Ayat (11)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Yang dimaksud dengan "untuk kepentingan pendidikan secara terbatas" adalah tanpa membuka identitas Pasien atau data yang dapat ditelusuri identitasnya, kecuali dalam penanganan klinis Pasien.
     
    Yang dimaksud dengan "untuk kepentingan penelitian secara terbatas" adalah tanpa membuka identitas Pasien atau data yang dapat ditelusuri identitasnya.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Ayat (12)
    Cukup jelas.
    Pasal 784
    Cukup jelas.
    Pasal 785
    Cukup jelas.
    Pasal 786
    Cukup jelas.
    Pasal 787
    Cukup jelas.
    Pasal 788
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan "rahasia Kesehatan pribadi Pasien" adalah riwayat, kondisi dan perawatan, pengobatan Kesehatan fisik, serta psikis seseorang, termasuk data pribadi Pasien.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Yang dimaksud dengan "hal lain yang berkenaan dengan Pasien" antara lain meliputi data sistem pembayaran dan informasi dan data sosial Pasien.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 789
    Cukup jelas.
    Pasal 790
    Cukup jelas.
    Pasal 791
    Cukup jelas.
    Pasal 792
    Cukup jelas.
    Pasal 793
    Cukup jelas.
    Pasal 794
    Cukup jelas.
    Pasal 795
    Cukup jelas.
    Pasal 796
    Cukup jelas.
    Pasal 797
    Cukup jelas.
    Pasal 798
    Cukup jelas.
    Pasal 799
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan "Upaya Kesehatan bersumber daya masyarakat" antara lain pos Upaya Kesehatan kerja.
    Pasal 800
    Cukup jelas.
    Pasal 801
    Cukup jelas.
    Pasal 802
    Cukup jelas.
    Pasal 803
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Ayat (8)
    Yang dimaksud dengan "Tenaga Kesehatan yang memiliki kompetensi di bidang Kesehatan komunitas" adalah Tenaga Kesehatan yang memiliki kompetensi yang didapatkan dari pendidikan pelatihan dan/atau rekognisi pembelajaran lampau di bidang Kesehatan komunitas.
    Ayat (9)
    Cukup jelas.
    Pasal 804
    Cukup jelas.
    Pasal 805
    Cukup jelas.
    Pasal 806
    Cukup jelas.
    Pasal 807
    Cukup jelas.
    Pasal 808
    Cukup jelas.
    Pasal 809
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Pelayanan Kesehatan dasar antara lain dilakukan dalam kondisi kegawatdaruratan atau dukungan terhadap program pemerintah selain program jaminan kesehatan.
    Pasal 810
    Cukup jelas.
    Pasal 811
    Cukup jelas.
    Pasal 812
    Cukup jelas.
    Pasal 813
    Cukup jelas.
    Pasal 814
    Cukup jelas
    Pasal 815
    Cukup jelas.
    Pasal 816
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan "purnawaktu" adalah waktu kerja yang dilakukan secara penuh sesuai total jumlah jam kerja Pelayanan Kesehatan yang ditetapkan oleh pimpinan Rumah Sakit atau sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Pasal 817
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Yang dimaksud dengan "bidang Pelayanan Kesehatan" adalah bidang yang memberikan Pelayanan Kesehatan langsung kepada masyarakat, antara lain berupa klinik, apotek, dan laboratorium.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 818
    Cukup jelas.
    Pasal 819
    Cukup jelas.
    Pasal 820
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan "jenis pelayanan" adalah pelayanan medik spesialistik/subspesialistik yang diberikan.
    Pasal 821
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    pelayanan kefarmasian dilaksanakan melalui sistem satu pintu.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Huruf i
    Cukup jelas.
    Huruf j
    Cukup jelas.
    Huruf k
    Cukup jelas.
    Huruf I
    Cukup jelas.
    Pasal 822
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan "tata kelola Rumah Sakit yang baik" adalah penerapan fungsi manajemen Rumah Sakit yang berdasarkan prinsip transparansi, akuntabilitas, independensi, responsibilitas, kesetaraan, dan kewajaran.
     
    Yang dimaksud dengan "tata kelola klinis yang baik" adalah penerapan fungsi manajemen klinis yang meliputi kepemimpinan klinis, audit klinis, data klinis, risiko klinis berbasis bukti, peningkatan kinerja, pengelolaan keluhan, mekanisme monitor hasil pelayanan, pengembangan profesional, dan akreditasi Rumah Sakit.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 823
    Cukup jelas.
    Pasal 824
    Cukup jelas.
    Pasal 825
    Cukup jelas.
    Pasal 826
    Cukup jelas.
    Pasal 827
    Ayat (1)
    Kompetensi manajemen Rumah Sakit dapat diperoleh melalui pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Pemilik Rumah Sakit antara lain pemegang saham mayoritas, komisaris perusahaan, pendiri yayasan, atau Pemerintah Daerah.
    Pasal 828
    Cukup jelas.
    Pasal 829
    Cukup jelas.
    Pasal 830
    Cukup jelas.
    Pasal 831
    Cukup jelas.
    Pasal 832
    Cukup jelas.
    Pasal 833
    Cukup jelas.
    Pasal 834
    Ayat (1)
    Huruf a
    Informasi umum Rumah Sakit antara lain identitas Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan dan jadwal praktik.
    Huruf b
    Informasi terkait dengan pelaksanaan Pelayanan Kesehatan kepada Pasien antara lain berupa pemberian pelayanan, diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, prognosis terhadap tindakan yang dilakukan, dan perkiraan pembiayaan.
    Huruf c
    informasi terkait dengan kinerja pelayanan antara lain berupa hasil pencapaian indikator nasional mutu Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 835
    Cukup jelas.
    Pasal 836
    Cukup jelas.
    Pasal 837
    Cukup jelas.
    Pasal 838
    Cukup jelas.
    Pasal 839
    Cukup jelas.
    Pasal 840
    Cukup jelas
    Pasal 841
    Cukup jelas.
    Pasal 842
    Cukup jelas.
    Pasal 843
    Cukup jelas.
    Pasal 844
    Cukup jelas.
    Pasal 845
    Cukup jelas.
    Pasal 846
    Cukup jelas.
    Pasal 847
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Yang dimaksud dengan "masalah ergonomis" adalah permasalahan mengenai keselamatan dan Kesehatan kerja di Rumah Sakit seperti postur kerja, durasi kerja, dan lingkungan kerja yang tidak sesuai dengan standar keselamatan dan Kesehatan kerja.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 848
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Gizi kurang antara lain berupa underweight, wasting, dan stunting.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Huruf i
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 849
    Cukup jelas.
    Pasal 850
    Cukup jelas.
    Pasal 851
    Cukup jelas.
    Pasal 852
    Cukup jelas.
    Pasal 853
    Cukup jelas.
    Pasal 854
    Cukup jelas.
    Pasal 855
    Cukup jelas.
    Pasal 856
    Cukup jelas.
    Pasal 857
    Cukup jelas.
    Pasal 858
    Cukup jelas.
    Pasal 859
    Cukup jelas.
    Pasal 860
    Cukup jelas.
    Pasal 861
    Cukup jelas.
    Pasal 862
    Cukup jelas.
    Pasal 863
    Cukup jelas.
    Pasal 864
    Cukup jelas.
    Pasal 865
    Cukup jelas.
    Pasal 866
    Cukup jelas.
    Pasal 867
    Cukup jelas.
    Pasal 868
    Cukup jelas.
    Pasal 869
    Cukup jelas.
    Pasal 870
    Cukup jelas.
    Pasal 871
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Pihak lain dalam ketentuan ini antara lain pemerintah dan masyarakat.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 872
    Cukup jelas.
    Pasal 873
    Cukup jelas.
    Pasal 874
    Cukup jelas.
    Pasal 875
    Cukup jelas.
    Pasal 876
    Cukup jelas.
    Pasal 877
    Cukup jelas.
    Pasal 878
    Cukup jelas.
    Pasal 879
    Cukup jelas.
    Pasal 880
    Cukup jelas.
    Pasal 881
    Cukup jelas.
    Pasal 882
    Cukup jelas.
    Pasal 883
    Cukup jelas.
    Pasal 884
    Cukup jelas.
    Pasal 885
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Tata kelola di Fasilitas Pelayanan Kesehatan antara lain audit, pencegahan dan pengendalian infeksi, serta program pengendalian resistensi antimikroba.
    Pasal 886
    Cukup jelas.
    Pasal 887
    Cukup jelas.
    Pasal 888
    Cukup jelas.
    Pasal 889
    Cukup jelas.
    Pasal 890
    Cukup jelas.
    Pasal 891
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Risiko nonklinis antara lain risiko keuangan, risiko tuntutan hukum, risiko perbuatan curang (fraud), dan risiko pelayanan nonklinis lain.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Pasal 892
    Cukup jelas.
    Pasal 893
    Cukup jelas.
    Pasal 894
    Cukup jelas.
    Pasal 895
    Cukup jelas.
    Pasal 896
    Cukup jelas.
    Pasal 897
    Cukup jelas.
    Pasal 898
    Cukup jelas.
    Pasal 899
    Ayat (1)
    Kompetensi Fasilitas Pelayanan Kesehatan antara lain kompetensi manajerial dan/atau kompetensi klinis.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 900
    Cukup jelas.
    Pasal 901
    Cukup jelas.
    Pasal 902
    Cukup jelas.
    Pasal 903
    Cukup jelas.
    Pasal 904
    Cukup jelas.
    Pasal 905
    Cukup jelas.
    Pasal 906
    Cukup jelas.
    Pasal 907
    Cukup jelas.
    Pasal 908
    Ayat (1)
    Perbekalan Kesehatan lain dalam ketentuan ini antara lain pangan olahan untuk keperluan medis khusus dan alat ukur tinggi badan.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Perkembangan kebutuhan dalam ketentuan ini dilakukan antara lain adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, memberikan ruang perbaikan terhadap formularium, dan meningkatkan kecepatan akses dalam penggunaan dan penyerahan Obat kepada Pasien yang disesuaikan dengan kompetensi Tenaga Kesehatan dan tingkat fasilitas Kesehatan yang ada.
    Pasal 909
    Cukup jelas.
    Pasal 910
    Cukup jelas.
    Pasal 911
    Cukup jelas.
    Pasal 912
    Cukup jelas.
    Pasal 913
    Cukup jelas.
    Pasal 914
    Ayat (1)
    Perbekalan Kesehatan tertentu antara lain Obat program, Obat untuk penyakit langka, dan alat bantu pendengaran.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 915
    Cukup jelas.
    Pasal 916
    Cukup jelas.
    Pasal 917
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Apoteker dalam ketentuan ini termasuk juga apoteker spesialis
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Pasal 918
    Cukup jelas
    Pasal 919
    Cukup jelas.
    Pasal 920
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Profil keamanan antara lain kontra indikasi, efek samping, dan peringatan/perhatian.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 921
    Cukup jelas
    Pasal 922
    Cukup jelas.
    Pasal 923
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Keluhan atau gejala penyakit antara lain demam, batuk pilek, nyeri, maag, diare, kecatingan, luka iris, kurap, panu/kadas, kudis, dan biang keringat, dengan gejala ringan.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 924
    Cukup jelas.
    Pasal 925
    Cukup jelas.
    Pasal 926
    Cukup jelas.
    Pasal 927
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Produk Obat Bahan Alam inovasi baru antara lain Obat Bahan Alam yang keamanan dan khasiatnya telah dibuktikan minimal melalui uji praklinik namun tidak memiliki data empiris.
    Pasal 928
    Cukup jelas.
    Pasal 929
    Cukup jelas.
    Pasal 930
    Cukup jelas.
    Pasal 931
    Cukup jelas.
    Pasal 932
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan "kebutuhan Kesehatan masyarakat" adalah kondisi yang menunjukkan komoditi tersebut diperlukan untuk menangani beban penyakit berdasarkan pola penyakit, prevalensi penyakit, dan pemenuhan standar Pelayanan Kesehatan masyarakat.
     
    Yang dimaksud dengan "kesenjangan pasar" adalah kondisi yang menunjukkan ketimpangan dalam permintaan dan penawaran suatu produk yang disebabkan karena kebijakan yang memberikan harga yang berbeda untuk sebuah komoditi (diferensiasi harga), pemenuhan regulasi, preferensi konsumen, dan/atau perubahan dalam kondisi ekonomi secara keseluruhan.
     
    Yang dimaksud dengan "keberlanjutan" adalah kondisi yang menjelaskan kelayakan sebuah usaha berdasarkan ukuran pasar saat ini, epidemiologi masa depan, dan prediksi ukuran pasar di masa depan.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 933
    Cukup jelas.
    Pasal 934
    Cukup jelas.
    Pasal 935
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan "penentuan kelayakan/kesesuaian harga" adalah penentuan kewajaran harga yang mempertimbangkan biaya pokok produksi bahan Obat Bahan Alam dari petani.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 936
    Cukup jelas.
    Pasal 937
    Cukup jelas.
    Pasal 938
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Data yang mendukung tata kelola rantai pasok Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan antara lain:
    a.
    data identitas Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan dalam standar metadata kamus farmasi dan Alat Kesehatan;
    b.
    data rencana produksi dari sarana produksi Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan;
    c.
    data transaksi pengadaan dari kementerian/lembaga yang memiliki tugas dan fungsi kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah dan badan yang menyelenggarakan program jaminan sosial di bidang kesehatan;
    d.
    data laporan distribusi dari sarana distribusi Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan;
    e.
    data ketersediaan dan penggunaan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
    f.
    data hasil pengawasan dari kementerian/lembaga yang memiliki tugas dan fungsi pengawasan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan;
    g.
    data riset Alat Kesehatan dari perguruan tinggi/lembaga riset; dan
    h.
    data uji klinik Alat Kesehatan dari data persetujuan permohonan uji klinik.
    Pasal 939
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Huruf a
    Kontribusi dalam ketentuan ini antara lain produksi dan pemanfaatan bahan baku dalam negeri.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Pasal 940
    Cukup jelas.
    Pasal 941
    Cukup jelas.
    Pasal 942
    Cukup jelas.
    Pasal 943
    Cukup jelas.
    Pasal 944
    Cukup jelas.
    Pasal 945
    Cukup jelas.
    Pasal 946
    Cukup jelas.
    Pasal 947
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Huruf a
    Yang dimaksud dengan "standar nasional" adalah standar data yang dikembangkan oleh Pemerintah Pusat.
    Huruf b
    Standar internasional antara lain standar data yang ditetapkan oleh World Health Organization atau organisasi internasional lainnya.
    Huruf c
    Standar yang dipublikasikan oleh organisasi pengembang standar lainnya antara lain standar data yang dikembangkan organisasi pengembang yang diakui dan digunakan secara luas di berbagai negara.
    Pasal 948
    Cukup jelas.
    Pasal 949
    Cukup jelas.
    Pasal 950
    Cukup jelas.
    Pasal 951
    Cukup jelas.
    Pasal 952
    Cukup jelas.
    Pasal 953
    Cukup jelas.
    Pasal 954
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Yang dimaksud dengan "akurat" adalah ukuran sejauh mana suatu data merepresentasikan objek sebenarnya.
     
    Yang dimaksud dengan "jelas" adalah kualitas suatu data untuk dibaca dan dipahami.
     
    Yang dimaksud dengan "dapat dipertanggungjawabkan" adalah adanya kejelasan prosedur dan sumber data serta kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.
    Huruf d
    Yang dimaksud dengan "mampu rekam" adalah kompatibilitas data untuk dapat direkam atau disimpan pada suatu media penyimpanan tertentu.
    Pasal 955
    Cukup jelas.
    Pasal 956
    Cukup jelas.
    Pasal 957
    Cukup jelas.
    Pasal 958
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Badan/lembaga lain antara lain World Health Organization dan organisasi masyarakat.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan yang bersumber dari instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, badan/lembaga yang menyelenggarakan program jaminan sosial, badan/lembaga lain yang menyelenggarakan kegiatan di bidang Kesehatan termasuk setiap Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan yang dihasilkan dari kegiatan sensus dan survei, penelitian, pelaporan, dan/atau cara lain dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    Ayat (4)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Huruf i
    Cukup jelas.
    Huruf j
    Penyelenggara sistem informasi lain yang menyelenggarakan kegiatan bidang Kesehatan antara lain supermarket dan minimarket yang menjual Obat.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Pasal 959
    Ayat (1)
    Data layanan publik antara lain data keuangan negara, data administrasi kependudukan, data lalu lintas penduduk, atau data terpadu kesejahteraan sosial.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 960
    Cukup jelas.
    Pasal 961
    Cukup jelas.
    Pasal 962
    Cukup jelas.
    Pasal 963
    Cukup jelas.
    Pasal 964
    Cukup jelas
    Pasal 965
    Cukup jelas.
    Pasal 966
    Cukup jelas.
    Pasal 967
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Yang dimaksud dengan "menilai aspek keakuratan" adalah upaya pemeriksaan dengan melakukan pencocokan atau klarifikasi kesesuaian Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan dengan kondisi sebenarnya.
    Huruf b
    Yang dimaksud dengan "menilai aspek kelengkapan" adalah upaya pemeriksaan untuk memastikan Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan telah memenuhi persyaratan kuantitas minimum dari kebutuhan data.
    Huruf c
    Yang dimaksud dengan "menilai aspek keunikan" adalah upaya pemeriksaan untuk memastikan tidak terdapat duplikasi Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan yang telah dikumpulkan.
    Huruf d
    Yang dimaksud dengan "menilai aspek konsistensi" adalah upaya pemeriksaan untuk memastikan tidak terjadinya perbedaan pencatatan terhadap jenis data yang sama.
    Huruf e
    Yang dimaksud dengan "menilai aspek aktualitas" adalah upaya pemeriksaan memastikan terpenuhinya ketersediaan Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan sesuai dengan jadwal atau kebutuhan pemanfaatan.
    Huruf f
    Yang dimaksud dengan "menilai aspek keabsahan" adalah upaya pemeriksaan untuk memastikan Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan telah sesuai dengan format Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan yang ditentukan.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 968
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan "perseorangan yang memiliki kompetensi yang relevan terkait pemeriksaan data" adalah setiap orang yang memiliki latar belakang pendidikan dan/atau pengalaman terkait data dan informasi.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 969
    Cukup jelas.
    Pasal 970
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Yang dimaksud dengan "portal bagi pakai data bidang Kesehatan" adalah portal satu data bidang Kesehatan yang dikelola oleh Menteri yang terintegrasi dengan portal satu data Indonesia.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 971
    Cukup jelas.
    Pasal 972
    Cukup jelas.
    Pasal 973
    Cukup jelas.
    Pasal 974
    Cukup jelas.
    Pasal 975
    Cukup jelas.
    Pasal 976
    Cukup jelas.
    Pasal 977
    Ayat (1)
    Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan dalam ketentuan ini termasuk Data Kesehatan dan Informasi Kesehatan yang dimusnahkan.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 978
    Cukup jelas.
    Pasal 979
    Cukup jelas.
    Pasal 980
    Cukup jelas.
    Pasal 981
    Cukup jelas.
    Pasal 982
    Cukup jelas.
    Pasal 983
    Cukup jelas.
    Pasal 984
    Cukup jelas.
    Pasal 985
    Cukup jelas.
    Pasal 986
    Cukup jelas.
    Pasal 987
    Cukup jelas.
    Pasal 988
    Cukup jelas.
    Pasal 989
    Cukup jelas.
    Pasal 990
    Cukup jelas.
    Pasal 991
    Cukup jelas.
    Pasal 992
    Cukup jelas.
    Pasal 993
    Cukup jelas.
    Pasal 994
    Cukup jelas.
    Pasal 995
    Cukup jelas.
    Pasal 996
    Cukup jelas.
    Pasal 997
    Cukup jelas.
    Pasal 998
    Cukup jelas.
    Pasal 999
    Ayat (1)
    Bahan biologi tersimpan antara lain material biologis beserta data dan muatan informasi terkait yang disimpan untuk dimanfaatkan lebih lanjut di masa depan.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 1000
    Huruf a
    Yang dimaksud dengan "menghormati harkat martabat manusia" adalah bentuk penghormatan terhadap harkat martabat manusia sebagai pribadi (personal) yang memiliki kebebasan berkehendak atau memilih dan sekaligus bertanggung jawab secara pribadi terhadap keputusannya sendiri.
    Huruf b
    Yang dimaksud dengan "berbuat baik" adalah menyangkut kewajiban membantu orang lain dilakukan dengan mengupayakan manfaat maksimal dengan kerugian minimal.
     
    Yang dimaksud dengan "tidak merugikan" adalah jika tidak dapat melakukan hal yang bermanfaat, sebaiknya jangan merugikan orang lain. Prinsip tidak merugikan bertujuan agar subjek penelitian tidak diperlakukan sebagai sarana dan memberikan pelindungan terhadap tindakan penyalahgunaan.
    Huruf c
    Yang dimaksud dengan "berkeadilan" adalah mengacu pada kewajiban etik untuk memperlakukan setiap orang sebagai pribadi otonom sama dengan moral yang benar dan layak dalam memperoleh haknya.
     
    Prinsip berkeadilan terutama menyangkut keadilan yang merata (distributive justice) yang mensyaratkan pembagian seimbang (equitable) dalam hal beban dan manfaat yang diperoleh subjek dari keikutsertaan dalam penelitian.
    Pasal 1001
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Penelitian yang mengikutsertakan keluarga sebagai subjek penelitian antara lain penelitian yang tidak menggunakan data individu.
    Ayat (4)
    Yang dimaksud dengan "kepala daerah" adalah gubernur dan bupati/wali kota.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Ayat (8)
    Cukup jelas.
    Pasal 1002
    Cukup jelas.
    Pasal 1003
    Cukup jelas.
    Pasal 1004
    Cukup jelas.
    Pasal 1005
    Cukup jelas.
    Pasal 1006
    Cukup jelas.
    Pasal 1007
    Yang dimaksud dengan "prinsip persetujuan etik penelitian bagi sumber bahan biologi tersimpan" adalah pemberian persetujuan etik untuk bahan biologi tersimpan yang menjadi subjek penelitian misalnya mikroorganisme yang ada dalam bahan biologi tersimpan yang berasal dari manusia akan mengacu pada prinsip persetujuan etik penelitian bagi mikroorganisme.
    Pasal 1008
    Cukup jelas.
    Pasal 1009
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan "fasilitas lainnya" adalah fasilitas selain Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang digunakan untuk melaksanakan salah satu atau lebih proses pelaksanaan uji klinik yang memadai sesuai cara uji klinik yang baik antara lain posyandu, sekolah, atau balai pertemuan masyarakat.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 1010
    Cukup jelas.
    Pasal 1011
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan "registrasi uji klinik" adalah pencatatan secara resmi terhadap suatu uji klinik yang akan dilaksanakan.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 1012
    Cukup jelas.
    Pasal 1013
    Cukup jelas.
    Pasal 1014
    Cukup jelas.
    Pasal 1015
    Cukup jelas.
    Pasal 1016
    Cukup jelas.
    Pasal 1017
    Cukup jelas.
    Pasal 1018
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Yang dimaksud dengan "volume tinggi" adalah Teknologi Kesehatan dengan tingkat penggunaannya sangat tinggi.
    Huruf b
    Yang dimaksud dengan "risiko tinggi" adalah Teknologi Kesehatan yang penggunaannya berisiko tinggi.
    Huruf c
    Yang dimaksud dengan "biaya tinggi" adalah Teknologi Kesehatan yang penggunaannya berbiaya tinggi.
    Huruf d
    Yang dimaksud dengan "variabilitas tinggi" adalah Teknologi Kesehatan yang penggunaannya memiliki variasi yang besar.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 1019
    Cukup jelas.
    Pasal 1020
    Cukup jelas.
    Pasal 1021
    Cukup jelas.
    Pasal 1022
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan "pelayanan kedokteran presisi" adalah pendekatan baru untuk pencegahan dan pengobatan penyakit dengan mempertimbangkan gen, lingkungan, dan pola hidup seorang Pasien.
     
    Pelayanan kedokteran presisi antara lain precision diagnostic, customize treatment, digital therapeutic, dan precision intervention.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan "gen" adalah bagian dari genetik termasuk kromosom, Ribonucleic Acid, dan Deoxyribonucleic acid.
     
    Pelayanan Kesehatan dalam ketentuan ini dapat berupa diagnosis yang lebih tepat serta tindakan medis dan pengobatan yang lebih efektif.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 1023
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Material yang telah diambil dalam ketentuan ini antara lain material dalam bentuk spesimen klinik dan materi biologi, muatan informasi, dan data yang merupakan bagian dan milik Pasien dan/atau donor yang masih tersimpan.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 1024
    Cukup jelas.
    Pasal 1025
    Cukup jelas.
    Pasal 1026
    Cukup jelas.
    Pasal 1027
    Cukup jelas.
    Pasal 1028
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Yang dimaksud dengan "prinsip pemeliharaan kekayaan sumber daya hayati dan genetika Indonesia" adalah melindungi kelestarian keanekaragaman pengetahuan tradisional, kearifan lokal, sumber daya alam hayati, dan nirhayati serta budaya sebagai bagian dari identitas bangsa.
     
    Yang dimaksud dengan "prinsip pembagian manfaat yang memenuhi keadilan, keselamatan, dan kemanfaatan" adalah suatu kesepakatan untuk memberikan manfaat atau keuntungan bagi setiap pihak yang terlibat dalam proses penerimaan dan pengolahan material, muatan informasi, dan/atau data.
     
    Yang dimaksud dengan "keamanan negara" adalah memberikan perlindungan kepada masyarakat serta pelaksana penelitian dan pengembangan dari bahaya penyalahgunaan perpindahan tangan material, muatan informasi, dan/atau data yang berkaitan dengan penyakit dan Kesehatan, termasuk penyalahgunaan sebagai senjata, bahan senjata biologi, dan/atau yang dapat menimbulkan kerugian lainnya, serta memberikan kemanfaatan sebesar-besarnya bagi potensi ditemukan dan digunakannya ilmu pengetahuan dan teknologi penanggulangan penyakit dan peningkatan derajat Kesehatan dan alih teknologi dalam menunjang ketahanan nasional.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Pasal 1029
    Cukup jelas.
    Pasal 1030
    Cukup jelas.
    Pasal 1031
    Cukup jelas.
    Pasal 1032
    Cukup jelas.
    Pasal 1033
    Cukup jelas.
    Pasal 1034
    Cukup jelas.
    Pasal 1035
    Cukup jelas.
    Pasal 1036
    Cukup jelas.
    Pasal 1037
    Cukup jelas.
    Pasal 1038
    Cukup jelas.
    Pasal 1039
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Yang dimaksud dengan "surveilans" adalah kegiatan pengamatan yang sistematis dan terus menerus terhadap data dan informasi tentang kejadian penyakit atau masalah Kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah Kesehatan untuk memperoleh dan memberikan informasi guna mengarahkan tindakan pengendalian dan penanggulangan secara efektif dan efisien.
     
    Pelaksanaan surveilans dapat dilakukan melalui surveilans berbasis indikator, surveilans berbasis kejadian, surveilans berbasis laboratorium, dan surveilans berbasis masyarakat.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Pasal 1040
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Huruf a
    Yang dimaksud dengan "karantina" adalah pembatasan kegiatan dan/atau pemisahan orang terjangkit meskipun belum menunjukkan gejala apa pun atau sedang berada dalam masa inkubasi dan pemisahan peti kemas, alat angkut, atau barang apa pun yang diduga terkontaminasi dari orang dan/ atau barang yang mengandung penyebab penyakit atau kontaminan lain untuk mencegah kemungkinan penyebaran ke orang dan/atau barang di sekitarnya.
     
    Yang dimaksud dengan "isolasi" adalah pemisahan antara orang sakit dan orang sehat untuk mendapatkan pengobatan dan perawatan.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Pasal 1041
    Cukup jelas.
    Pasal 1042
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Yang dimaksud dengan "pangan yang mengandung cemaran biologis, kimia, radioaktif, dan benda lain" adalah pangan mengandung cemaran yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan Kesehatan.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Pasal 1043
    Cukup jelas.
    Pasal 1044
    Cukup jelas.
    Pasal 1045
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Ayat (8)
    Bibit penyakit antara lain pathogen, bakteri, basil, kuman, mikroba, mikroorganisme, dan virus yang dapat menyebabkan penyakit.
    Ayat (9)
    Cukup jelas.
    Ayat (10)
    Cukup jelas.
    Ayat (11)
    Cukup jelas.
    Ayat (12)
    Cukup jelas.
    Ayat (13)
    Yang dimaksud dengan "tempat lain yang ditentukan" adalah fasilitas khusus yang memenuhi syarat minimal untuk dilakukan Pelayanan Kesehatan dan ditetapkan oleh pejabat yang berwenang.
    Ayat (14)
    Cukup jelas.
    Pasal 1046
    Cukup jelas.
    Pasal 1047
    Cukup jelas.
    Pasal 1048
    Cukup jelas.
    Pasal 1049
    Cukup jelas.
    Pasal 1050
    Cukup jelas.
    Pasal 1051
    Cukup jelas.
    Pasal 1052
    Cukup jelas.
    Pasal 1053
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan "alat angkut" adalah kapal, pesawat udara, dan kendaraan darat yang digunakan dalam melakukan perjalanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
    Orang dalam ketentuan ini antara lain awak atau personel alat angkut, penumpang, pelaku perjalanan, dan masyarakat lainnya di sekitar pelabuhan, bandar udara, pos lintas batas negara.
     
    Yang dimaksud dengan "barang! adalah produk nyata, hewan, tumbuhan, dan jenazah atau abu jenazah yang dibawa dan/atau dikirim melalui perjalanan, termasuk benda lalat yang digunakan dalam alat angkut.
     
    Yang dimaksud dengan "lingkungan" adalah daerah atau kawasan di sekitar wilayah kerja pelabuhan, bandar udara, dan pos lintas batas negara.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 1054
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Pemeriksaan faktor risiko penyakit yang berpotensi menimbulkan Wabah antara lain pemeriksaan higiene sanitasi, air minum, makanan, udara, limbah, vektor, dan binatang pembawa penyakit pada kapal, pesawat udara, dan kendaraan darat.
    Ayat (4)
    Yang dimaksud dengan "zona karantina" adalah area atau tempat tertentu untuk dapat menyelenggarakan pengawasan dan/atau tindakan penanggulangan.
     
    Yang dimaksud dengan "lokasi lain yang ditetapkan" adalah area lain di luar zona karantina yang berada di sekitar pelabuhan, bandar udara, dan pos lintas batas negara yang secara epidemiologi memungkinkan untuk dilakukan pengawasan dan/atau tindakan penanggulangan.
    Pasal 1055
    Cukup jelas.
    Pasal 1056
    Cukup jelas.
    Pasal 1057
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Huruf a
    Dokumen persetujuan bebas karantina dalam hukum internasional dikenal dengan sebutan free pratique.
    Huruf b
    Dokumen persetujuan karantina terbatas dalam hukum internasional dikenal dengan sebutan restricted pratique.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 1058
    Cukup jelas.
    Pasal 1059
    Cukup jelas.
    Pasal 1060
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Surat persetujuan berlayar karantina Kesehatan dalam hukum internasional dikenal dengan sebutan port health quarantine clearance.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 1061
    Cukup jelas.
    Pasal 1062
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan "terjangkit" adalah kondisi seseorang yang menderita penyakit yang dapat menjadi sumber penular penyakit yang berpotensi menyebabkan KLB atau Wabah.
     
    Yang dimaksud dengan "terpapar" adalah kondisi orang, barang, atau alat angkut yang terpajan, terkontaminasi, dalam masa inkubasi, insektasi, pestasi, ratisasi, termasuk kimia dan radiasi.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Yang dimaksud dengan "kartu kewaspadaan Kesehatan" adalah kartu dalam bentuk nonelektronik atau elektronik yang memuat keterangan yang diberikan kepada pelaku perjalanan dengan tujuan untuk mempermudah pelacakan kasus penyakit.
     
    Kartu kewaspadaan Kesehatan dalam hukum internasional dikenal dengan sebutan health alert card.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Ayat (8)
    Cukup jelas.
    Ayat (9)
    Cukup jelas.
    Pasal 1063
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan "penolakan" adalah tidak diikutsertakannya orang tersebut sebagai penumpang dalam alat angkut yang akan diberangkatkan.
    Pasal 1064
    Ayat (1)
    Sertifikat vaksinasi internasional dalam hukum internasional dikenal dengan sebutan international certificate of vaccination or prophylaxis.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 1065
    Cukup jelas.
    Pasal 1066
    Cukup jelas.
    Pasal 1067
    Cukup jelas.
    Pasal 1068
    Cukup jelas.
    Pasal 1069
    Cukup jelas.
    Pasal 1070
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Tindakan penanggulangan tertentu antara lain fumigasi, dekontaminasi, disinseksi, disinfeksi, dan deratisasi pada alat angkut.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 1071
    Cukup jelas.
    Pasal 1072
    Cukup jelas.
    Pasal 1073
    Cukup jelas.
    Pasal 1074
    Cukup jelas.
    Pasal 1075
    Cukup jelas.
    Pasal 1076
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Yang dimaksud dengan "sertifikat Obat dan Alat Kesehatan" adalah Dokumen Karantina Kesehatan yang diberikan sebagai bukti telah dilakukannya pengawasan terhadap ketersediaan serta kelayakan Obat dan Alat Kesehatan di alat angkut.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 1077
    Ayat (1)
    Huruf a
    Deklarasi Kesehatan maritim dalam hukum internasional dikenal dengan sebutan maritim declaration of health.
    Huruf b
    Deklarasi Kesehatan penerbangan dalam hukum internasional dikenal dengan sebutan health part of the aircraft general declaration.
    Huruf c
    Deklarasi Kesehatan pelintasan darat dalam hukum internasional dikenal dengan sebutan ground crossing declaration of health.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Surat persetujuan berlayar karantina Kesehatan dalam hukum internasional dikenal dengan sebutan port health quarantine clearance.
    Huruf b
    Surat persetujuan keberangkatan pesawat udara dalam hukum internasional dikenal dengan sebutan airport health quarantine clearance.
    Huruf c
    Surat persetujuan keberangkatan kendaraan darat dalam hukum internasional dikenal dengan sebutan ground crossing health quarantine clearance.
    Ayat (3)
    Huruf a
    Sertifikat bebas tindakan sanitasi kapal dalam hukum internasional dikenal dengan sebutan ship sanitation control exemption certificate.
     
    Sertifikat tindakan sanitasi kapal dalam hukum internasional dikenal dengan sebutan ship sanitation control certificate.
    Huruf b
    Sertifikat bebas tindakan sanitasi pesawat udara dalam hukum internasional dikenal dengan sebutan aircraft sanitation control exemption certificate.
     
    Sertifikat tindakan sanitasi pesawat udara dalam hukum internasional dikenal dengan sebutan aircraft sanitation control certificate.
    Huruf c
    Sertifikat bebas tindakan sanitasi kendaraan darat dalam hukum internasional dikenal dengan sebutan vehicle sanitation control exemption certificate.
     
    Sertifikat tindakan sanitasi kendaraan darat dalam hukum internasional dikenal dengan sebutan vehicle sanitation control certificate.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Pasal 1078
    Cukup jelas.
    Pasal 1079
    Cukup jelas.
    Pasal 1080
    Cukup jelas.
    Pasal 1081
    Cukup jelas.
    Pasal 1082
    Cukup jelas.
    Pasal 1083
    Cukup jelas.
    Pasal 1084
    Cukup jelas.
    Pasal 1085
    Ayat (1)
    Huruf a
    Wilayah administratif antara lain provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan kelurahan/ desa atau yang disebut dengan nama lainnya.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Wilayah tertentu antara lain kawasan industri dan kawasan ekonomi eksklusif.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 1086
    Cukup jelas.
    Pasal 1087
    Cukup jelas.
    Pasal 1088
    Cukup jelas.
    Pasal 1089
    Cukup jelas.
    Pasal 1090
    Cukup jelas.
    Pasal 1091
    Cukup jelas.
    Pasal 1092
    Cukup jelas.
    Pasal 1093
    Cukup jelas.
    Pasal 1094
    Cukup jelas
    Pasal 1095
    Ayat (1)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Daerah yang tidak ditetapkan oleh Pemerintah Daerah antara lain wilayah karantina yang lintas provinsi.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 1096
    Cukup jelas.
    Pasal 1097
    Ayat (1)
    Huruf a
    Kendaraan yang membawa logistik antara lain kendaraan operasional distributor dan industri Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan yang menyediakan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Perbekalan Kesehatan lainnya untuk keperluan penanggulangan Wabah.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Kendaraan yang ditetapkan oleh Petugas Karantina Kesehatan antara lain mobil deteksi radiasi dan mobil khusus yang didesain untuk tindakan penanggulangan.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 1098
    Cukup jelas.
    Pasal 1099
    Cukup jelas.
    Pasal 1100
    Cukup jelas.
    Pasal 1101
    Cukup jelas.
    Pasal 1102
    Cukup jelas.
    Pasal 1103
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan "pembatasan kegiatan sosial kemasyarakatan" adalah membatasi atau mengawasi secara ketat setiap ada kegiatan berkumpulnya manusia yang diduga dapat menjadi sumber penyebaran penyakit, seperti kegiatan keagamaan, pesta rakyat, upacara adat, dan hajatan.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Pasal 1104
    Cukup jelas.
    Pasal 1105
    Cukup jelas.
    Pasal 1106
    Cukup jelas.
    Pasal 1107
    Cukup jelas.
    Pasal 1108
    Cukup jelas.
    Pasal 1109
    Cukup jelas.
    Pasal 1110
    Cukup jelas.
    Pasal 1111
    Cukup jelas.
    Pasal 1112
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Kegiatan normalisasi kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat dapat berupa pelaksanaan aktivitas dan interaksi masyarakat seperti pada kondisi sebelum terjadinya Wabah.
    Ayat (3)
    Huruf a
    Penguatan surveilans Kesehatan dilakukan untuk penemuan kasus dan identifikasi kemungkinan terjadinya penularan penyakit, serta mencegah terulangnya Wabah yang disebabkan oleh penyakit yang sama.
    Huruf b
    Pengendalian faktor risiko dilakukan untuk mencegah atau memutus rantai penularan penyakit dari faktor risiko, termasuk kemungkinan pemusnahan faktor risiko.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Pemberian Pelayanan Kesehatan yang dilaksanakan seperti pada kondisi sebelum terjadinya Wabah, antara lain melalui pemberlakuan jam kerja dan pengelolaan sumber daya.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Pasal 1113
    Cukup jelas.
    Pasal 1114
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Yang dimaksud dengan "tenaga lainnya" adalah tenaga non­ Kesehatan yang memiliki kompetensi untuk pengelolaan bahan penyebab penyakit selain agen biologi, seperti tenaga pengawas radiasi.
    Pasal 1115
    Peraturan menteri/peraturan kepala lembaga terkait antara lain peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup untuk batas aman penggunaan bahan kimia yang dapat menyebabkan masalah Kesehatan yang berpotensi menimbulkan KLB dan Wabah dan peraturan kepala lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran untuk batas aman penggunaan bahan yang mengandung unsur fisika berupa zat radioaktif dari instalasi nuklir dan/atau kegiatan yang memanfaatkan zat radioaktif yang dapat menyebabkan masalah Kesehatan yang berpotensi menimbulkan KLB dan Wabah.
    Pasal 1116
    Cukup jelas.
    Pasal 1117
    Cukup jelas.
    Pasal 1118
    Cukup jelas.
    Pasal 1119
    Cukup jelas.
    Pasal 1120
    Cukup jelas.
    Pasal 1121
    Cukup jelas.
    Pasal 1122
    Cukup jelas.
    Pasal 1123
    Huruf a
    Yang dimaksud dengan "prinsip kecukupan" adalah pendanaan Kesehatan yang memenuhi kebutuhan pendanaan untuk terselenggaranya pembangunan Kesehatan terutama yang menjadi prioritas nasional.
    Huruf b
    Yang dimaksud dengan "prinsip kemanfaatan" adalah pendanaan Kesehatan harus mampu memberikan manfaat bagi pembangunan Kesehatan.
    Huruf c
    Yang dimaksud dengan "prinsip keadilan" adalah pendanaan Kesehatan diselenggarakan secara merata sesuai kebutuhan Kesehatan dan tidak diskriminatif.
    Huruf d
    Yang dimaksud dengan "prinsip efektif dan efisien" adalah pendanaan Kesehatan harus mampu memberikan perubahan pada kinerja pembangunan Kesehatan dan dipergunakan sesuai dengan standar kebutuhan.
    Huruf e
    Yang dimaksud dengan "prinsip berkesinambungan" adalah pendanaan Kesehatan diselenggarakan secara terus menerus untuk mendukung pembangunan Kesehatan dalam rangka meningkatkan derajat Kesehatan masyarakat yang setinggi­ tingginya.
    Huruf f
    Yang dimaksud dengan "prinsip transparan dan akuntabel" adalah pendanaan Kesehatan diselenggarakan secara terbuka sesuai dengan ketentuan keterbukaan informasi publik dan dapat dipertanggungjawabkan.
    Pasal 1124
    Cukup jelas.
    Pasal 1125
    Cukup jelas.
    Pasal 1126
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Jaminan kesehatan lainnya antara lain jaminan kesehatan yang diperuntukkan untuk pejabat negara baik di dalam maupun di luar negeri.
    Pasal 1127
    Cukup jelas.
    Pasal 1128
    Cukup jelas.
    Pasal 1129
    Cukup jelas.
    Pasal 1130
    Cukup jelas.
    Pasal 1131
    Cukup jelas.
    Pasal 1132
    Cukup jelas.
    Pasal 1133
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Ayat (8)
    Masyarakat antara lain badan usaha, filantropi, organisasi kemasyarakatan, penyelenggara pendidikan, dan individu masyarakat.
    Pasal 1134
    Cukup jelas.
    Pasal 1135
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Huruf a
    Yang dimaksud dengan "penguatan tata kelola perencanaan dan penganggaran" adalah perencanaan dan penganggaran berdasarkan program kegiatan secara holistik dan integratif berbasis kinerja untuk menjaga penggunaan anggaran yang efektif dan efisien.
    Huruf b
    Yang dimaksud dengan "penganggaran berbasis kinerja" adalah prinsip dan kaidah penganggaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara.
    Huruf c
    Yang dimaksud dengan "penerapan penganggaran jangka pendek dan menengah" adalah penerapan anggaran jangka pendek untuk 1 (satu) tahun dan penerapan anggaran jangka menengah untuk 5 (lima) tahun.
    Huruf d
    Yang dimaksud dengan "sinkronisasi perencanaan dan penganggaran antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah" adalah keselarasan antara perencanaan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk tujuan pembangunan Kesehatan.
    Huruf e
    Yang dimaksud dengan "mobilisasi sumber pendanaan lain" adalah penggalian potensi pendanaan lain di luar pendanaan Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Pasal 1136
    Cukup jelas.
    Pasal 1137
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Kementerian/lembaga dalam ketentuan ini antara lain kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional.
     
    Pihak lain dalam ketentuan ini antara lain Pemerintah Daerah dan akademisi.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Ayat (8)
    Cukup jelas.
    Ayat (9)
    Huruf a
    Yang dimaksud dengan "akun belanja Kesehatan nasional" adalah pencatatan belanja Kesehatan secara sistematis dan komprehensif dalam sistem Kesehatan pada tingkat nasional dalam satu tahun tertentu yang dikenal dengan istilah national health account.
    Huruf b
    Yang dimaksud dengan "akun belanja Kesehatan provinsi" adalah pencatatan belanja Kesehatan secara sistematis dan komprehensif dalam sistem Kesehatan pada tingkat provinsi dalam satu tahun tertentu yang dikenal dengan istilah provincial health account.
    Huruf c
    Yang dimaksud dengan "akun belanja Kesehatan kabupaten/kota" adalah pencatatan belanja Kesehatan secara sistematis dan komprehensif dalam sistem Kesehatan pada tingkat kabupaten/kota dalam satu tahun tertentu yang dikenal dengan istilah district health account.
    Ayat (10)
    Cukup jelas.
    Pasal 1138
    Cukup jelas.
    Pasal 1139
    Cukup jelas.
    Pasal 1140
    Cukup jelas.
    Pasal 1141
    Cukup jelas.
    Pasal 1142
    Ayat (1)
    Yang dimaksud dengan "masyarakat" adalah pihak selain pemerintah secara perorangan ataupun institusi/organisasi/lembaga, baik dari dunia usaha, akademik, organisasi kemasyarakatan, komunitas, dan media.
    Ayat (2)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Yang dimaksud dengan "fasilitasi" adalah segala sesuatu yang diberikan oleh masyarakat baik berupa ketenagaan, sarana dan prasarana, serta bentuk fasilitas lainnya.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Pasal 1143
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Yang dimaksud dengan "kebijakan pembangunan yang berwawasan Kesehatan" adalah perencanaan kebijakan pembangunan yang sejak awal telah mempertimbangkan risiko Kesehatan masyarakat dan dampak peningkatan derajat Kesehatan masyarakat yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Pasal 1144
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Huruf a
    Cukup jelas.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Huruf g
    Cukup jelas.
    Huruf h
    Cukup jelas.
    Huruf i
    Penanggulangan KLB, wabah, dan bencana antara lain dilakukan melalui kegiatan promosi Kesehatan, penemuan kasus, dan keikutsertaan sebagai kader.
    Ayat (5)
    Huruf a
    Pelopor atau agen perubahan antara lain individu, kelompok, atau masyarakat yang menggerakkan, menyebarluaskan, dan menjadi contoh untuk melakukan perubahan hidup sehat di keluarga, kelompok, atau masyarakat di lingkungannya.
    Huruf b
    Cukup jelas.
    Huruf c
    Cukup jelas.
    Huruf d
    Cukup jelas.
    Huruf e
    Cukup jelas.
    Huruf f
    Cukup jelas.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Pasal 1145
    Cukup jelas.
    Pasal 1146
    Cukup jelas.
    Pasal 1147
    Cukup jelas.
    Pasal 1148
    Cukup jelas.
    Pasal 1149
    Ayat (1)
    Cukup jelas.
    Ayat (2)
    Cukup jelas.
    Ayat (3)
    Cukup jelas.
    Ayat (4)
    Cukup jelas.
    Ayat (5)
    Yang dimaksud dengan "tenaga pengawas" adalah aparatur sipil negara dan memiliki kompetensi pengawasan di bidang Kesehatan yang diperoleh melalui pelatihan serta diangkat dan ditugaskan untuk melakukan pengawasan di bidang Kesehatan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    Ayat (6)
    Cukup jelas.
    Ayat (7)
    Cukup jelas.
    Ayat (8)
    Cukup jelas.
    Pasal 1150
    Cukup jelas.
    Pasal 1151
    Cukup jelas.
    Pasal 1152
    Cukup jelas.
    Pasal 1153
    Cukup jelas.
    Pasal 1154
    Cukup jelas.
    Pasal 1155
    Cukup jelas.
    Pasal 1156
    Cukup jelas.
    Pasal 1157
    Cukup jelas.
    Pasal 1158
    Cukup jelas.
    Pasal 1159
    Cukup jelas.
    Pasal 1160
    Cukup jelas.
    Pasal 1161
    Cukup jelas.
    Pasal 1162
    Cukup jelas.
    Pasal 1163
    Cukup jelas.
    Pasal 1164
    Cukup jelas.
    Pasal 1165
    Cukup jelas.
    Pasal 1166
    Cukup jelas.
    Pasal 1167
    Cukup jelas.
    Pasal 1168
    Cukup jelas.
    Pasal 1169
    Cukup jelas.
    Pasal 1170
    Cukup jelas.
    Pasal 1171
    Cukup jelas.
    Pasal 1172
    Cukup jelas.
     
     
    TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6952

    Peraturan Pemerintah 28 TAHUN 2024 - Perpajakan DDTC