Quick Guide
Hide Quick Guide
Bandingkan Versi Sebelumnya
Buka PDF
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Premium
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 20 TAHUN 2024
TENTANG
PERWILAYAHAN INDUSTRI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang |
|||||
a. | bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 63 ayat (5) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 142 Tahun 2015 tentang Kawasan Industri; | ||||
b. | bahwa untuk melakukan percepatan penyebaran dan pemerataan pembangunan industri ke seluruh wilayah Republik Indonesia melalui perwilayahan industri dan melaksanakan ketentuan Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang, perlu mengatur kembali mengenai perwilayahan industri dan kawasan industri; | ||||
c. | bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perwilayahan Industri; | ||||
Mengingat |
|||||
1. | Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; | ||||
2. | Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5492) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856); | ||||
MEMUTUSKAN:
|
|||||
Menetapkan |
|||||
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERWILAYAHAN INDUSTRI. | |||||
BAB I
KETENTUAN UMUM Pasal 1 |
|||||
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: | |||||
1. | Industri adalah seluruh bentuk kegiatan ekonomi yang mengolah bahan baku dan/atau memanfaatkan sumber daya industri sehingga menghasilkan barang yang mempunyai nilai tambah atau manfaat lebih tinggi, termasuk jasa industri. | ||||
2. | Perwilayahan Industri adalah tatanan Wilayah dan segala upaya untuk mempercepat penyebaran dan pemerataan pembangunan Industri ke seluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. | ||||
3. | Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. | ||||
4. | Rencana Tata Ruang Wilayah yang selanjutnya disingkat RTRW adalah hasil perencanaan tata ruang pada Wilayah yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif. | ||||
5. | Sumber Daya Industri adalah sumber daya yang dimiliki setiap daerah berupa sumber daya manusia, sumber daya alam, teknologi Industri, kreativitas dan inovasi, sumber pembiayaan, serta bahan baku dan/atau bahan penolong. | ||||
6. | Wilayah Pengembangan Industri yang selanjutnya disingkat WPI adalah pengelompokan Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan keterkaitan ke belakang dan keterkaitan ke depan sumber daya dan fasilitas pendukungnya serta memperhatikan jangkauan pengaruh kegiatan pembangunan Industri. | ||||
7. | Wilayah Pusat Pertumbuhan Industri yang selanjutnya disingkat WPPI adalah Wilayah yang dirancang dengan pola berbasis pengembangan Industri dengan pendayagunaan potensi Sumber Daya Industri melalui penguatan infrastruktur Industri dan konektivitas yang memiliki keterkaitan ekonomi kuat dengan Wilayah di sekitarnya. | ||||
8. | Kawasan Peruntukan Industri yang selanjutnya disingkat KPI adalah bentangan lahan yang diperuntukkan bagi kegiatan Industri berdasarkan RTRW yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||
9. | Kawasan Industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan Industri yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh Perusahaan Kawasan Industri. | ||||
10. | Industri Kecil dan Industri Menengah yang selanjutnya disingkat IKM adalah Perusahaan Industri yang memenuhi kriteria usaha Industri kecil dan Industri menengah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||
11. | Sentra IKM adalah sekelompok IKM dalam satu lokasi/tempat yang terdiri dari paling sedikit 5 (lima) unit usaha yang menghasilkan produk sejenis, menggunakan bahan baku sejenis, dan/atau melakukan proses produksi yang sama. | ||||
12. | Perusahaan Industri adalah orang perseorangan atau korporasi yang melakukan kegiatan di bidang usaha Industri yang berkedudukan di Indonesia. | ||||
13. | Perusahaan Kawasan Industri adalah perusahaan yang mengusahakan pengembangan dan pengelolaan Kawasan Industri. | ||||
14. | Sistem Informasi Industri Nasional yang selanjutnya disebut SIINas adalah tatanan prosedur dan mekanisme kerja yang terintegrasi meliputi unsur institusi, sumber daya manusia, basis data, perangkat keras dan lunak, serta jaringan komunikasi data yang terkait satu sama lain dengan tujuan untuk penyampaian, pengelolaan, penyajian, pelayanan serta penyebarluasan data dan/atau informasi Industri. | ||||
15. | Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada pelaku usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya. | ||||
16. | Tata Tertib Kawasan Industri adalah peraturan yang ditetapkan oleh Perusahaan Kawasan Industri yang mengatur hak dan kewajiban Perusahaan Industri, Perusahaan Kawasan Industri, pengelola Kawasan Industri, dan/atau usaha yang mendukung kegiatan Industri di Kawasan Industri dalam pengelolaan dan pemanfaatan Kawasan Industri. | ||||
17. | Komite Kawasan Industri adalah wadah yang dibentuk oleh Menteri dengan tugas membantu pelaksanaan kebijakan pengembangan dan pengelolaan Kawasan Industri. | ||||
18. | Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. | ||||
19. | Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. | ||||
20. | Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian. | ||||
Pasal 2 |
|||||
Perwilayahan Industri dilakukan dengan paling sedikit memperhatikan: | |||||
a. | RTRW; | ||||
b. | pendayagunaan potensi sumber daya Wilayah secara nasional; | ||||
c. | peningkatan daya saing Industri berlandaskan keunggulan sumber daya yang dimiliki daerah; | ||||
d. | peningkatan nilai tambah sepanjang rantai nilai; dan | ||||
e. | daya dukung, daya tampung, dan dampak pengembangan Perwilayahan Industri terhadap lingkungan. | ||||
Pasal 3 |
|||||
(1) | Perwilayahan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 bertujuan untuk: | ||||
a. | mempercepat penyebaran dan pemerataan Industri ke seluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; | ||||
b. | mendorong peningkatan kontribusi investasi sektor Industri pengolahan di luar Jawa terhadap total investasi sektor Industri pengolahan nasional; | ||||
c. | menumbuhkan pusat pertumbuhan Industri yang baru; | ||||
d. | meningkatkan pemanfaatan Sumber Daya Industri menjadi produk Industri yang memiliki nilai tambah tinggi dan/atau berdaya saing tinggi; | ||||
e. | meningkatkan kapasitas sumber daya manusia Industri yang kompeten sebagai bagian dari ekosistem Sumber Daya Industri yang berkelanjutan; dan | ||||
f. | memudahkan koordinasi dan sinergi dalam pembangunan Industri di daerah. | ||||
(2) | Untuk mewujudkan tujuan Perwilayahan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf f, secara administratif Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi menjadi beberapa WPI. | ||||
Pasal 4 |
|||||
Untuk menggerakkan ekonomi WPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah mengembangkan: | |||||
a. | WPPI; | ||||
b. | KPI; | ||||
c. | Kawasan Industri; dan | ||||
d. | Sentra IKM. | ||||
Pasal 5 |
|||||
(1) | WPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dapat terdiri dari 1 (satu) atau beberapa provinsi. | ||||
(2) | WPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: | ||||
a. | Papua bagian timur; | ||||
b. | Papua bagian barat; | ||||
c. | Sulawesi bagian utara dan Maluku; | ||||
d. | Sulawesi bagian selatan; | ||||
e. | Kalimantan bagian timur; | ||||
f. | Kalimantan bagian barat; | ||||
g. | Bali dan Nusa Tenggara; | ||||
h. | Sumatera bagian utara; | ||||
i. | Sumatera bagian selatan; dan | ||||
j. | Jawa. | ||||
(3) | Dalam hal terjadi pemekaran Wilayah, provinsi baru yang terbentuk mengikuti WPI provinsi induknya. | ||||
Pasal 6 |
|||||
(1) | WPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dikelompokkan menjadi: | ||||
a. | WPI maju; | ||||
b. | WPI berkembang; | ||||
c. | WPI potensial I; dan | ||||
d. | WPI potensial II. | ||||
(2) | Pengelompokan WPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan potensi ekonomi. | ||||
Pasal 7 |
|||||
(1) | WPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) mencakup: | ||||
a. | WPI maju meliputi: | ||||
1. | WPI Jawa; dan | ||||
2. | WPI Sumatera bagian utara khusus Batam, Bintan, dan Karimun. | ||||
b. | WPI berkembang meliputi WPI Sulawesi bagian selatan, WPI Kalimantan bagian timur, WPI Sumatera bagian utara kecuali Batam, Bintan dan Karimun, serta WPI Sumatera bagian selatan. | ||||
c. | WPI potensial I meliputi WPI Sulawesi bagian utara dan Maluku, WPI Kalimantan bagian barat, serta WPI Bali dan Nusa Tenggara. | ||||
d. | WPI potensial II meliputi WPI Papua bagian timur dan WPI Papua bagian barat. | ||||
(2) | Menteri melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap WPI yang telah ditetapkan. | ||||
Pasal 8 |
|||||
(1) | Untuk mewujudkan tujuan Perwilayahan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan menggerakkan ekonomi WPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 disusun peta jalan Perwilayahan Industri. | ||||
(2) | Peta jalan Perwilayahan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada: | ||||
a. | rencana induk pembangunan Industri nasional; | ||||
b. | kebijakan Industri nasional; | ||||
c. | RTRW nasional; dan | ||||
d. | dokumen pada sistem perencanaan pembangunan nasional. | ||||
(3) | Peta jalan Perwilayahan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai: | ||||
a. | pedoman bagi kementerian/lembaga dalam menyusun rencana strategis kementerian/lembaga dalam rangka mendukung Perwilayahan Industri; | ||||
b. | pedoman bagi Pemerintah Daerah provinsi dalam menyusun rencana pembangunan jangka menengah daerah provinsi dalam rangka mendukung Perwilayahan Industri; dan | ||||
c. | pedoman bagi Pemerintah Daerah kabupaten/kota dalam menyusun rencana pembangunan jangka menengah daerah kabupaten/kota dalam rangka mendukung Perwilayahan Industri. | ||||
(4) | Peta jalan Perwilayahan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun untuk jangka waktu 5 (lima) tahun. | ||||
(5) | Dalam hal terdapat perubahan kebijakan nasional, peta jalan Perwilayahan Industri dapat dilakukan peninjauan kembali sewaktu-waktu. | ||||
Pasal 9 |
|||||
(1) | Peta jalan Perwilayahan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 paling sedikit memuat: | ||||
a. | tujuan dan sasaran Perwilayahan Industri; | ||||
b. | target Perwilayahan Industri; | ||||
c. | arah dan kebijakan umum Perwilayahan Industri; | ||||
d. | pengembangan Perwilayahan Industri, yang terdiri atas: | ||||
1. | arah pengembangan WPI; | ||||
2. | strategi dan program pengembangan WPPI; | ||||
3. | strategi dan program pengembangan KPI; | ||||
4. | strategi dan program pembangunan Kawasan Industri; dan | ||||
5. | strategi dan program pengembangan Sentra IKM; dan | ||||
e. | rencana aksi Perwilayahan Industri. | ||||
(2) | Peta jalan Perwilayahan Industri disusun oleh Menteri dengan berkoordinasi dengan menteri/kepala lembaga pemerintah non kementerian terkait, dan/atau Pemerintah Daerah. | ||||
(3) | Peta jalan Perwilayahan Industri ditetapkan dengan Peraturan Presiden. | ||||
(4) | Untuk pertama kali, peta jalan Perwilayahan Industri ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Peraturan Pemerintah ini ditetapkan. | ||||
BAB II
PENGEMBANGAN WPPI Bagian Kesatu
Umum Pasal 10 |
|||||
Pengembangan WPPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a bertujuan untuk: | |||||
a. | mendorong efektivitas pendayagunaan Sumber Daya Industri antar-Wilayah dalam pengembangan Industri; | ||||
b. | mendorong penguatan infrastruktur Industri; dan | ||||
c. | memperkuat konektivitas yang memiliki keterkaitan ekonomi kuat dengan Wilayah di sekitarnya. | ||||
Pasal 11 |
|||||
(1) | WPPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a dapat diusulkan Menteri untuk ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional. | ||||
(2) | Penetapan usulan WPPI sebagai kawasan strategis nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penataan ruang. | ||||
Pasal 12 |
|||||
Ruang lingkup pengembangan WPPI meliputi: | |||||
a. | penetapan WPPI; | ||||
b. | perencanaan pengembangan WPPI; | ||||
c. | pelaksanaan pengembangan WPPI; | ||||
d. | pembinaan pengembangan WPPI; dan | ||||
e. | pemantauan dan evaluasi pengembangan WPPI. | ||||
Bagian Kedua
Penetapan WPPI Paragraf 1 Kriteria Penetapan WPPI Pasal 13 |
|||||
(1) | Penetapan WPPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a dilakukan berdasarkan kriteria paling sedikit: | ||||
a. | ketersediaan dan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan; | ||||
b. | kemudahan untuk mendapatkan bahan baku dan/atau bahan penolong Industri secara berkelanjutan; | ||||
c. | kualitas dan kuantitas sumber daya manusia; | ||||
d. | tingkat pemanfaatan dan pengembangan teknologi Industri; | ||||
e. | ketersediaan infrastruktur Industri; dan | ||||
f. | potensi ekonomi. | ||||
(2) | Selain memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1), daerah yang memiliki pusat pertumbuhan berupa Kawasan Industri atau rencana pengembangan Kawasan Industri yang didukung Industri anchor dapat ditetapkan sebagai WPPI dengan tetap memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan. | ||||
(3) | Kriteria penetapan WPPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk penilaian status pengembangan WPPI. | ||||
(4) | Status pengembangan WPPI sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas: | ||||
a. | WPPI mandiri; | ||||
b. | WPPI berkembang; atau | ||||
c. | WPPI potensial. | ||||
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penentuan status pengembangan WPPI sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri. | ||||
Paragraf 2
Mekanisme Penetapan WPPI Pasal 14 |
|||||
(1) | Pemerintah Pusat menetapkan WPPI. | ||||
(2) | Penetapan WPPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: | ||||
a. | lokasi WPPI; | ||||
b. | status pengembangan WPPI; dan | ||||
c. | jenis pembangunan Industri prioritas dalam WPPI. | ||||
(3) | Penetapan WPPI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam rencana induk pembangunan Industri nasional. | ||||
(4) | Menteri melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap WPPI yang telah ditetapkan. | ||||
Pasal 15 |
|||||
(1) | Menteri/kepala lembaga dan Pemerintah Daerah dapat mengusulkan perubahan WPPI berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13. | ||||
(2) | Usulan perubahan WPPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri. | ||||
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengusulan perubahan WPPI diatur dalam Peraturan Menteri. | ||||
Bagian Ketiga
Perencanaan Pengembangan WPPI Pasal 16 |
|||||
(1) | Untuk mewujudkan tujuan pengembangan WPPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 disusun rencana pengembangan WPPI. | ||||
(2) | Rencana pengembangan WPPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan mempertimbangkan status pengembangan WPPI. | ||||
Pasal 17 |
|||||
(1) | Rencana pengembangan WPPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 paling sedikit memuat: | ||||
a. | tujuan pengembangan; | ||||
b. | rencana pengembangan Industri prioritas; | ||||
c. | rencana pengelolaan sumber daya alam; | ||||
d. | rencana pengembangan sumber daya manusia; | ||||
e. | rencana pengembangan teknologi Industri; | ||||
f. | rencana pengembangan infrastruktur Industri; | ||||
g. | rencana penguatan konektivitas; dan | ||||
h. | rencana aksi pengembangan WPPI. | ||||
(2) | Rencana pengembangan WPPI disusun oleh Menteri dengan berkoordinasi dengan menteri/kepala lembaga pemerintah non kementerian terkait, dan/atau Pemerintah Daerah. | ||||
(3) | Rencana pengembangan WPPI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selaras dengan rencana induk pembangunan Industri nasional dan kebijakan Industri nasional. | ||||
(4) | Rencana pengembangan WPPI ditetapkan oleh Menteri. | ||||
Bagian Keempat
Pelaksanaan Pengembangan WPPI Paragraf 1 Umum Pasal 18 |
|||||
Pelaksanaan pengembangan WPPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf c dilakukan melalui: | |||||
a. | penyediaan dan pemanfaatan sumber daya alam; | ||||
b. | pembangunan sumber daya manusia Industri; | ||||
c. | pengembangan dan pemanfaatan teknologi Industri; | ||||
d. | penyediaan infrastruktur Industri; | ||||
e. | penguatan iklim investasi; dan | ||||
f. | pemberian fasilitas. | ||||
Paragraf 2
Penyediaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam Pasal 19 |
|||||
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melaksanakan penyediaan dan pemanfaatan sumber daya alam terbarukan dan tidak terbarukan sebagai bahan baku Industri dan penyediaan energi dalam WPPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | |||||
Pasal 20 |
|||||
Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri wajib memanfaatkan sumber daya alam secara efisien, ramah lingkungan, dan berkelanjutan. | |||||
Pasal 21 |
|||||
Perusahaan Industri dan Perusahaan Kawasan Industri yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pembangunan Sumber Daya Industri. | |||||
Paragraf 3
Pembangunan Sumber Daya Manusia Industri Pasal 22 |
|||||
Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah melaksanakan pembangunan sumber daya manusia Industri dengan memfasilitasi pembangunan pusat pendidikan dan pelatihan Industri di WPPI. | |||||
Pasal 23 |
|||||
Dalam melaksanakan pembangunan sumber daya manusia Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22: | |||||
a. | Pemerintah Pusat dapat menyediakan sarana prasarana pendidikan tinggi, serta pendidikan dan pelatihan pendukung Industri prioritas di dalam WPPI; | ||||
b. | Pemerintah Daerah provinsi melaksanakan pengelolaan pendidikan menengah kejuruan dan pelatihan tenaga kerja Industri yang mendukung WPPI di Wilayah-nya; dan | ||||
c. | Pemerintah Daerah kabupaten/kota melaksanakan pengelolaan pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja yang mendukung WPPI di Wilayah-nya. | ||||
Pasal 24 |
|||||
Pengaturan pelaksanaan pembangunan sumber daya manusia Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | |||||
Paragraf 4
Pengembangan dan Pemanfaatan Teknologi Industri Pasal 25 |
|||||
(1) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan pengembangan dan pemanfaatan teknologi Industri yang mendukung Industri prioritas di dalam WPPI. | ||||
(2) | Pengembangan dan pemanfaatan teknologi Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui: | ||||
a. | pembangunan fasilitas penelitian dan pengembangan di bidang Industri; | ||||
b. | pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang Industri; | ||||
c. | fasilitasi kerja sama penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi antara Perusahaan Industri atau Perusahaan Kawasan Industri dengan perguruan tinggi atau lembaga penelitian dan pengembangan Industri dalam negeri dan luar negeri; | ||||
d. | fasilitasi promosi alih teknologi Industri; dan/atau | ||||
e. | proyek putar kunci di WPPI. | ||||
(3) | Dalam melaksanakan pembangunan fasilitas penelitian dan pengembangan di bidang Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat melakukan kerja sama dengan: | ||||
a. | perguruan tinggi dalam negeri dan/atau luar negeri; atau | ||||
b. | lembaga penelitian dan pengembangan Industri dalam negeri dan/atau luar negeri. | ||||
Paragraf 5
Penyediaan Infrastruktur Industri Pasal 26 |
|||||
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjamin ketersediaan infrastruktur Industri dalam WPPI sesuai dengan kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. | |||||
Pasal 27 |
|||||
Penyediaan infrastruktur Industri dalam WPPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ditujukan untuk meningkatkan keterkaitan dan konektivitas antar-Wilayah dalam pengembangan Industri. | |||||
Pasal 28 |
|||||
(1) | Infrastruktur Industri dalam WPPI paling sedikit meliputi: | ||||
a. | lahan Industri berupa Kawasan Industri dan/atau KPI; | ||||
b. | fasilitas jaringan energi dan kelistrikan; | ||||
c. | fasilitas jaringan telekomunikasi; | ||||
d. | fasilitas jaringan sumber daya air; | ||||
e. | fasilitas sanitasi; | ||||
f. | fasilitas jaringan transportasi; | ||||
g. | fasilitas pendidikan dan pelatihan Industri; dan | ||||
h. | fasilitas jaringan persampahan. | ||||
(2) | Untuk kelancaran pemberlakuan standar nasional Indonesia, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara secara wajib, Menteri menyediakan, meningkatkan, dan mengembangkan sarana dan prasarana laboratorium pengujian standar Industri di WPPI. | ||||
Paragraf 6
Penguatan Iklim Investasi Pasal 29 |
|||||
(1) | Untuk meningkatkan investasi dalam WPPI, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan penguatan iklim investasi. | ||||
(2) | Penguatan iklim investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh: | ||||
a. | Pemerintah Pusat melalui: | ||||
1. | penyusunan peta potensi investasi Industri dalam WPPI; | ||||
2. | fasilitasi kerja sama internasional dalam penanaman modal; | ||||
3. | fasilitasi promosi penanaman modal di tingkat nasional dan internasional; dan | ||||
4. | fasilitasi penanaman modal bagi Perusahaan Kawasan Industri dan Perusahaan Industri yang berlokasi di dalam WPPI. | ||||
b. | Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota melalui: | ||||
1. | penyusunan peta potensi investasi Industri provinsi dan kabupaten/kota; dan | ||||
2. | fasilitasi penanaman modal bagi Perusahaan Kawasan Industri dan Perusahaan Industri yang berlokasi di dalam Wilayah provinsi dan kabupaten/kota yang termasuk WPPI. | ||||
Paragraf 7
Pemberian Fasilitas Pasal 30 |
|||||
(1) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat melakukan pemberian fasilitas kepada Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang berlokasi di dalam WPPI. | ||||
(2) | Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang dapat menerima fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan: | ||||
a. | Perusahaan Industri yang melakukan penanaman modal untuk memperoleh dan meningkatkan nilai tambah sebesar-besarnya atas pemanfaatan sumber daya nasional dalam rangka pendalaman struktur Industri dan peningkatan daya saing Industri; | ||||
b. | Perusahaan Industri yang melakukan penelitian dan pengembangan teknologi Industri dan produk; | ||||
c. | Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang berada di Wilayah perbatasan atau daerah tertinggal; | ||||
d. | Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang mengoptimalkan penggunaan barang dan/atau jasa dalam negeri; | ||||
e. | Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang mengembangkan sumber daya manusia di bidang Industri; | ||||
f. | Perusahaan Industri yang berorientasi ekspor; | ||||
g. | perusahaan IKM yang menerapkan standar nasional Indonesia, spesifikasi teknis, dan/atau pedoman tata cara yang diberlakukan secara wajib; | ||||
h. | perusahaan IKM yang memanfaatkan sumber daya alam secara efisien, ramah lingkungan, dan berkelanjutan; | ||||
i. | Perusahaan Industri yang melaksanakan upaya untuk mewujudkan Industri hijau; dan/atau | ||||
j. | Perusahaan Industri yang mengutamakan penggunaan produk Industri kecil sebagai komponen dalam proses produksi. | ||||
Pasal 31 |
|||||
(1) | Fasilitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 berupa fasilitas fiskal dan fasilitas nonfiskal. | ||||
(2) | Pemberian fasilitas fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||
(3) | Bentuk fasilitas nonfiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: | ||||
a. | fasilitasi penyediaan lahan atau lokasi; | ||||
b. | pelatihan peningkatan pengetahuan dan keterampilan sumber daya manusia Industri; | ||||
c. | sertifikasi kompetensi profesi bagi sumber daya manusia Industri; | ||||
d. | pelimpahan hak produksi atas suatu teknologi yang lisensi patennya telah dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah; | ||||
e. | sertifikasi produk dan/atau standar teknis bagi perusahaan IKM; | ||||
f. | pembangunan prasarana fisik bagi perusahaan IKM serta Perusahaan Kawasan Industri; | ||||
g. | penyediaan bantuan promosi hasil produksi bagi Perusahaan Industri atau promosi penggunaan lokasi bagi Perusahaan Kawasan Industri; | ||||
h. | fasilitasi penyesuaian tata ruang; dan/atau | ||||
i. | fasilitasi kemudahan Perizinan Berusaha. | ||||
(4) | Dalam hal tertentu, Menteri dapat menetapkan bentuk fasilitas nonfiskal selain sebagaimana dimaksud pada ayat (3). | ||||
(5) | Fasilitas nonfiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan status pengembangan WPPI. | ||||
Pasal 32 |
|||||
(1) | Tata cara pemberian fasilitas nonfiskal berupa penyediaan lahan atau lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) huruf a dan fasilitasi kemudahan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) huruf i kepada Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri dalam WPPI dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||
(2) | Ketentuan mengenai tata cara pemberian fasilitas nonfiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g kepada Perusahaan Industri dan/atau Perusahaan Kawasan Industri dalam WPPI diatur dalam Peraturan Menteri. | ||||
(3) | Fasilitasi penyesuaian tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) huruf h diberikan dalam bentuk penerbitan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penataan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||
Bagian Kelima
Pembinaan Pengembangan WPPI Pasal 33 |
|||||
(1) | Untuk pengembangan WPPI, Pemerintah Pusat melakukan pembinaan kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||
(2) | Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: | ||||
a. | peningkatan kapasitas Pemerintah Daerah dalam menjamin efektivitas sistem hulu hilir Industri dalam WPPI; dan/atau | ||||
b. | penyelarasan rencana pengembangan WPPI dengan rencana pembangunan Industri provinsi dan/atau rencana pembangunan Industri kabupaten/kota. | ||||
Bagian Keenam
Pemantauan dan Evaluasi Pengembangan WPPI Pasal 34 |
|||||
(1) | Menteri melakukan pemantauan dan evaluasi pengembangan WPPI terhadap pencapaian program dan kegiatan pengembangan WPPI. | ||||
(2) | Pemantauan dan evaluasi pengembangan WPPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berkala setiap 1 (satu) tahun sekali. | ||||
(3) | Hasil pemantauan dan evaluasi berupa penilaian status pengembangan WPPI dapat digunakan sebagai dasar untuk: | ||||
a. | pemberian fasilitas dalam pengembangan WPPI; dan | ||||
b. | peninjauan kembali peta jalan Perwilayahan Industri. | ||||
BAB III
PENGEMBANGAN KPI Bagian Kesatu Umum Pasal 35 |
|||||
Pengembangan KPI bertujuan untuk: | |||||
a. | mengarahkan agar kegiatan Industri dapat berlangsung secara efisien dan produktif; | ||||
b. | mendorong pemanfaatan Sumber Daya Industri; dan | ||||
c. | mengendalikan dampak lingkungan yang dihasilkan oleh kegiatan Industri. | ||||
Pasal 36 |
|||||
Ruang lingkup pengembangan KPI meliputi: | |||||
a. | penetapan KPI; | ||||
b. | perencanaan pengembangan KPI; | ||||
c. | pelaksanaan pengembangan KPI; | ||||
d. | pembinaan pengembangan KPI; dan | ||||
e. | pemantauan dan evaluasi pengembangan KPI. | ||||
Bagian Kedua
Penetapan KPI Pasal 37 |
|||||
Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah menetapkan KPI sesuai dengan kewenangan masing-masing dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | |||||
Pasal 38 |
|||||
(1) | Dalam menetapkan KPI, Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah harus memperhatikan: | ||||
a. | kriteria KPI; dan | ||||
b. | kriteria teknis KPI. | ||||
(2) | Kriteria KPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: | ||||
a. | Wilayah dapat dimanfaatkan untuk kegiatan Industri; | ||||
b. | tidak mengganggu kelestarian fungsi lingkungan hidup; dan/atau | ||||
c. | tidak mengubah lahan produktif. | ||||
(3) | Kriteria teknis KPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi: | ||||
a. | memperhatikan kondisi lahan dari aspek daya dukung lahan, potensi terhadap ancaman bencana, dan topografi; | ||||
b. | memperhatikan status dan pola guna lahan dari aspek pertanahan dan penataan ruang; | ||||
c. | memenuhi ketentuan luas lahan; | ||||
d. | mempunyai aksesibilitas yang dapat mempermudah pengangkutan bahan baku dan logistik, pergerakan tenaga kerja, dan distribusi hasil produksi; | ||||
e. | terdapat sumber air baku; dan | ||||
f. | terdapat tempat pembuangan air limbah. | ||||
(4) | Pemenuhan kriteria teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||
Bagian Ketiga
Perencanaan Pengembangan KPI Pasal 39 |
|||||
Perencanaan pengembangan KPI dilakukan melalui RTRW. | |||||
Bagian Keempat
Pelaksanaan Pengembangan KPI Pasal 40 |
|||||
(1) | Pelaksanaan pengembangan KPI dilakukan dengan mewujudkan penyediaan infrastruktur Industri. | ||||
(2) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya menjamin tersedianya infrastruktur Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di dalam dan/atau di luar KPI. | ||||
(3) | Infrastruktur Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi: | ||||
a. | lahan Industri berupa Kawasan Industri dan/atau KPI; | ||||
b. | fasilitas jaringan energi dan kelistrikan; | ||||
c. | fasilitas jaringan telekomunikasi; | ||||
d. | fasilitas jaringan sumber daya air; | ||||
e. | fasilitas sanitasi; | ||||
f. | fasilitas jaringan transportasi; dan | ||||
g. | fasilitas jaringan persampahan. | ||||
(4) | Penyediaan infrastruktur Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan melalui: | ||||
a. | pengadaan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang pembiayaannya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah; | ||||
b. | pola kerja sama antara Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dengan swasta, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dan swasta; atau | ||||
c. | pengadaan yang dibiayai sepenuhnya oleh swasta. | ||||
Bagian Kelima
Pembinaan Pengembangan KPI Pasal 41 |
|||||
(1) | Untuk pengembangan KPI, Pemerintah Pusat melakukan pembinaan kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||
(2) | Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam: | ||||
a. | penetapan KPI; | ||||
b. | perencanaan pengembangan KPI; dan | ||||
c. | pelaksanaan pengembangan KPI. | ||||
Bagian Keenam
Pemantauan dan Evaluasi Pengembangan KPI Pasal 42 |
|||||
(1) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan pemantauan dan evaluasi pengembangan KPI. | ||||
(2) | Pemantauan dan evaluasi pengembangan KPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap: | ||||
a. | perkembangan kegiatan Industri di dalam KPI; dan | ||||
b. | ketersediaan infrastruktur Industri di dalam maupun di luar KPI. | ||||
(3) | Pemerintah Daerah melaporkan hasil pemantauan dan evaluasi pengembangan KPI kepada Menteri melalui SIINas paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. | ||||
BAB IV
KAWASAN INDUSTRI Bagian Kesatu Umum Pasal 43 |
|||||
(1) | Untuk mendukung kegiatan Industri yang efisien dan efektif dibangun Kawasan Industri. | ||||
(2) | Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berada pada KPI sesuai dengan RTRW. | ||||
Pasal 44 |
|||||
Pembangunan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 bertujuan untuk: | |||||
a. | mempercepat penyebaran dan pemerataan pembangunan Industri; | ||||
b. | meningkatkan upaya pembangunan Industri yang berwawasan lingkungan; | ||||
c. | meningkatkan daya saing investasi dan daya saing Industri; | ||||
d. | memberikan kepastian lokasi sesuai RTRW; dan | ||||
e. | menciptakan lapangan kerja. | ||||
Bagian Kedua
Kewenangan Pemerintah dalam Pembangunan Kawasan Industri Pasal 45 |
|||||
Menteri, gubernur, dan bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya bertanggungjawab atas pencapaian tujuan pembangunan Kawasan Industri. | |||||
Pasal 46 |
|||||
(1) | Kewenangan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 meliputi: | ||||
a. | penyusunan kebijakan, pembinaan, dan pengembangan Kawasan Industri; | ||||
b. | perencanaan pembangunan Kawasan Industri; | ||||
c. | penyediaan infrastruktur Kawasan Industri; | ||||
d. | prakarsa pembangunan Kawasan Industri oleh Pemerintah Pusat; | ||||
e. | penetapan standar Kawasan Industri; | ||||
f. | penetapan pedoman teknis pembangunan Kawasan Industri; | ||||
g. | fasilitasi penyelesaian permasalahan terkait pendirian dan pengembangan Kawasan Industri; | ||||
h. | penetapan suatu Kawasan Industri sebagai obyek vital nasional sektor Industri; | ||||
i. | penetapan pedoman referensi harga jual atau sewa lahan kaveling dan/atau bangunan Industri di Kawasan Industri; dan | ||||
j. | pembentukan Komite Kawasan Industri. | ||||
(2) | Fasilitasi penyelesaian permasalahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g dilaksanakan dengan berkoordinasi dengan menteri/kepala lembaga terkait sesuai dengan kewenangannya. | ||||
Pasal 47 |
|||||
Kewenangan gubernur atau bupati/wali kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 meliputi: | |||||
a. | perencanaan pembangunan Kawasan Industri; | ||||
b. | penyediaan infrastruktur Industri; | ||||
c. | pemberian kemudahan dalam perolehan/pembebasan lahan pada Wilayah daerah yang diperuntukkan bagi pembangunan Kawasan Industri; | ||||
d. | pelayanan terpadu satu pintu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; | ||||
e. | pemberian insentif dan kemudahan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan | ||||
f. | penataan Industri untuk berlokasi di Kawasan Industri. | ||||
Bagian Ketiga
Pembangunan Kawasan Industri Paragraf 1 Umum Pasal 48 |
|||||
(1) | Pembangunan Kawasan Industri dilakukan oleh badan usaha yang berbentuk badan hukum dan didirikan berdasarkan hukum Indonesia serta berkedudukan di Indonesia. | ||||
(2) | Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk: | ||||
a. | badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah; | ||||
b. | koperasi; atau | ||||
c. | perseroan terbatas. | ||||
Pasal 49 |
|||||
Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dibangun dengan luas lahan paling sedikit 50 (lima puluh) hektar dalam satu hamparan. | |||||
Pasal 50 |
|||||
(1) | Pembangunan Kawasan Industri dilakukan sesuai dengan pedoman teknis pembangunan Kawasan Industri. | ||||
(2) | Pedoman teknis pembangunan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: | ||||
a. | pemilihan lokasi; | ||||
b. | penyusunan rencana induk (masterplan); | ||||
c. | pengadaan tanah; | ||||
d. | pematangan tanah; | ||||
e. | pembangunan infrastruktur; dan | ||||
f. | pengelolaan. | ||||
(3) | Pedoman teknis pembangunan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri. | ||||
Paragraf 2
Infrastruktur Kawasan Industri Pasal 51 |
|||||
(1) | Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya menyediakan: | ||||
a. | infrastruktur Industri; dan | ||||
b. | infrastruktur penunjang. | ||||
(2) | Infrastruktur Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit meliputi: | ||||
a. | fasilitas jaringan energi dan kelistrikan; | ||||
b. | fasilitas jaringan telekomunikasi; | ||||
c. | fasilitas jaringan sumber daya air dan jaminan pasokan air baku; | ||||
d. | fasilitas sanitasi; | ||||
e. | fasilitas jaringan transportasi; dan | ||||
f. | fasilitas jaringan persampahan. | ||||
(3) | Infrastruktur penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit meliputi: | ||||
a. | perumahan; | ||||
b. | pendidikan dan pelatihan; | ||||
c. | penelitian dan pengembangan; | ||||
d. | kesehatan; | ||||
e. | pemadam kebakaran; dan | ||||
f. | tempat pembuangan sampah. | ||||
(4) | Penyediaan infrastruktur Industri dan infrastruktur penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||
Pasal 52 |
|||||
(1) | Perusahaan Kawasan Industri wajib menyediakan infrastruktur dasar di dalam Kawasan Industri, paling sedikit meliputi: | ||||
a. | instalasi pengolahan air baku; | ||||
b. | instalasi pengolahan air limbah; | ||||
c. | saluran drainase; | ||||
d. | instalasi penerangan jalan; dan | ||||
e. | jaringan jalan. | ||||
(2) | Selain penyediaan infrastruktur dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Kawasan Industri dapat menyediakan infrastruktur dasar lainnya sesuai kebutuhan Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri. | ||||
(3) | Penyediaan infrastruktur dasar lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikerjasamakan dengan pihak lain. | ||||
Pasal 53 |
|||||
(1) | Perusahaan Kawasan Industri dapat menyediakan infrastruktur penunjang dan sarana penunjang di dalam Kawasan Industri. | ||||
(2) | Infrastruktur penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: | ||||
a. | perumahan; | ||||
b. | pendidikan dan pelatihan; | ||||
c. | penelitian dan pengembangan; | ||||
d. | kesehatan; dan/atau | ||||
e. | pemadam kebakaran. | ||||
(3) | Sarana penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: | ||||
a. | hotel dan restoran; | ||||
b. | pusat bisnis; | ||||
c. | sarana olahraga; | ||||
d. | sarana ibadah; dan/atau | ||||
e. | sarana perbankan. | ||||
(4) | Penyediaan infrastruktur penunjang dan sarana penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikerjasamakan dengan pihak lain. | ||||
Bagian Keempat
Perizinan Berusaha Kawasan Industri Pasal 54 |
|||||
(1) | Setiap kegiatan usaha Kawasan Industri wajib memiliki Perizinan Berusaha. | ||||
(2) | Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada badan usaha yang berbentuk badan hukum yang berlokasi di dalam KPI sesuai dengan RTRW. | ||||
(3) | Pelaksanaan pemberian Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||
Pasal 55 |
|||||
(1) | Setiap Perusahaan Kawasan Industri yang melakukan perluasan kawasan wajib memiliki Perizinan Berusaha. | ||||
(2) | Perluasan kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di dalam KPI. | ||||
(3) | Pelaksanaan pemberian Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||
Bagian Kelima
Hak Penggunaan atas Tanah Kawasan Industri Pasal 56 |
|||||
(1) | Perusahaan Kawasan Industri yang telah memperoleh Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Kawasan Industri dapat diberikan hak guna bangunan atas tanah yang akan diusahakan dan dikembangkan. | ||||
(2) | Hak guna bangunan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipecah menjadi hak guna bangunan untuk masing-masing kaveling. | ||||
(3) | Pemecahan hak guna bangunan menjadi hak guna bangunan untuk masing-masing kaveling sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh dan menjadi tanggung jawab Perusahaan Kawasan Industri. | ||||
(4) | Tata cara pemberian hak guna bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pemecahan hak guna bangunan untuk masing-masing kaveling sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||
Pasal 57 |
|||||
(1) | Dalam hal Perusahaan Kawasan Industri merupakan badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah, Perusahaan Kawasan Industri tersebut dapat diberikan hak pengelolaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||
(2) | Di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan hak guna bangunan. | ||||
(3) | Hak guna bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan untuk masing-masing kaveling atau gabungan beberapa kaveling. | ||||
Bagian Keenam
Pengelolaan Kawasan Industri Pasal 58 |
|||||
(1) | Pengelolaan Kawasan Industri dilakukan oleh Perusahaan Kawasan Industri. | ||||
(2) | Perusahaan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam pengelolaan Kawasan Industri. | ||||
(3) | Kerja sama dengan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan kepada pemberi Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Kawasan Industri. | ||||
(4) | Kerja sama pengelolaan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab Perusahaan Kawasan Industri sebagai pemegang Perizinan Berusaha Kawasan Industri. | ||||
Bagian Ketujuh
Kewajiban Perusahaan Kawasan Industri dan Perusahaan Industri Paragraf 1 Kewajiban Perusahaan Kawasan Industri Pasal 59 |
|||||
(1) | Perusahaan Kawasan Industri wajib menyediakan lahan bagi kegiatan IKM. | ||||
(2) | Luasan lahan untuk kegiatan IKM ditetapkan dari luas kaveling Industri. | ||||
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan lahan bagi kegiatan IKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri. | ||||
Pasal 60 |
|||||
(1) | Perusahaan Kawasan Industri wajib memiliki rencana induk (masterplan) Kawasan Industri. | ||||
(2) | Penyusunan rencana induk (masterplan) Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||
Pasal 61 |
|||||
(1) | Perusahaan Kawasan Industri wajib memiliki Tata Tertib Kawasan Industri. | ||||
(2) | Tata Tertib Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi mengenai: | ||||
a. | hak dan kewajiban masing-masing pihak; | ||||
b. | ketentuan yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup sesuai hasil studi analisa dampak lingkungan, rencana pengelolaan lingkungan, dan rencana pemantauan lingkungan; | ||||
c. | ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait; dan | ||||
d. | ketentuan lain yang ditetapkan oleh Perusahaan Kawasan Industri. | ||||
(3) | Perusahaan Kawasan Industri atau pengelola Kawasan Industri wajib memfasilitasi pelayanan perizinan satu pintu untuk memenuhi layanan cepat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||
(4) | Perusahaan Kawasan Industri atau pengelola Kawasan Industri wajib memfasilitasi hubungan industrial bagi Perusahaan Industri yang berada di Kawasan Industri. | ||||
(5) | Perusahaan Kawasan Industri yang telah memiliki Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Kawasan Industri wajib menyampaikan data Kawasan Industri yang akurat, lengkap, dan tepat waktu secara berkala kepada Menteri, gubernur, dan/atau bupati/wali kota sesuai dengan Perizinan Berusaha. | ||||
(6) | Tata cara penyampaian data Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||
Paragraf 2
Kewajiban Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri Pasal 62 |
|||||
(1) | Perusahaan Industri yang akan menjalankan Industri wajib berlokasi di Kawasan Industri. | ||||
(2) | Kewajiban berlokasi di Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi Perusahaan Industri yang akan menjalankan Industri dan berlokasi di daerah kabupaten/kota yang: | ||||
a. | belum memiliki Kawasan Industri; | ||||
b. | terdapat kawasan ekonomi khusus yang memiliki zona Industri; atau | ||||
c. | telah memiliki Kawasan Industri tetapi seluruh kaveling Industri dalam Kawasan Industrinya telah habis. | ||||
(3) | Pengecualian terhadap kewajiban berlokasi di Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi perusahaan: | ||||
a. | Industri kecil; | ||||
b. | Industri menengah yang tidak berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan hidup yang berdampak luas; atau | ||||
c. | Industri yang menggunakan bahan baku khusus dan/atau proses produksinya memerlukan lokasi khusus. | ||||
(4) | Perusahaan Industri yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan Perusahaan Industri menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b wajib berlokasi di KPI. | ||||
(5) | Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Menteri. | ||||
Pasal 63 |
|||||
(1) | Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri wajib memiliki rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan rinci yang telah disetujui oleh Perusahaan Kawasan Industri atau pengelola Kawasan Industri. | ||||
(2) | Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri yang kegiatan usahanya mengumpulkan dan/atau memanfaatkan dan/atau mengolah dan/atau menimbun limbah bahan berbahaya dan beracun, wajib memiliki persetujuan teknis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||
(3) | Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri wajib memiliki kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||
(4) | Selain Perusahaan Industri, pelaku usaha lain di dalam Kawasan Industri wajib memiliki rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan rinci yang telah disetujui Perusahaan Kawasan Industri atau pengelola Kawasan Industri dan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||
(5) | Rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan rinci sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) merupakan bentuk persetujuan lingkungan bagi Perusahaan Industri atau pelaku usaha lain di dalam Kawasan Industri yang dinyatakan dalam bentuk pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup yang disahkan oleh Perusahaan Kawasan Industri atau pengelola Kawasan Industri. | ||||
Pasal 64 |
|||||
(1) | Setiap Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri wajib: | ||||
a. | memenuhi ketentuan Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Industri; | ||||
b. | memenuhi ketentuan Tata Tertib Kawasan Industri yang berlaku; | ||||
c. | memelihara daya dukung lingkungan di sekitar Kawasan Industri termasuk tidak melakukan pengambilan air tanah; dan | ||||
d. | melakukan pembangunan pabrik dan/atau gedung yang menunjang kegiatan usaha dalam batas waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak pembelian dan/atau penyewaan lahan, dan dapat diperpanjang 1 (satu) tahun. | ||||
(2) | Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri yang melakukan perubahan terhadap Perizinan Berusahanya wajib melapor kepada Perusahaan Kawasan Industri atau pengelola Kawasan Industri. | ||||
Pasal 65 |
|||||
(1) | Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri dapat melakukan kegiatan logistik barang. | ||||
(2) | Kegiatan logistik barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga dilakukan oleh perusahaan jasa logistik barang. | ||||
(3) | Kegiatan logistik barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||
Bagian Kedelapan
Fasilitas Kawasan Industri Pasal 66 |
|||||
(1) | Perusahaan Kawasan Industri dan Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri dapat diberikan insentif fiskal dan nonfiskal yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||
(2) | Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa perpajakan dan kepabeanan diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||
(3) | Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan berdasarkan pengelompokan WPI dan/atau status pengembangan WPPI. | ||||
Pasal 67 |
|||||
(1) | Perusahaan Kawasan Industri diberikan fasilitas kemudahan pembangunan dan pengelolaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri dan kepentingan umum di dalam Kawasan Industri. | ||||
(2) | Pemberian fasilitas kemudahan pembangunan dan pengelolaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang energi dan sumber daya mineral. | ||||
Pasal 68 |
|||||
(1) | Perusahaan Kawasan Industri dan Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri dapat diberikan insentif daerah. | ||||
(2) | Insentif daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||
Bagian Kesembilan
Komite Kawasan Industri Pasal 69 |
|||||
(1) | Untuk mendukung pencapaian pembangunan Kawasan Industri, dibentuk Komite Kawasan Industri. | ||||
(2) | Keanggotaan Komite Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari: | ||||
a. | Pemerintah Pusat; | ||||
b. | Pemerintah Daerah; dan | ||||
c. | perwakilan asosiasi Kawasan Industri. | ||||
(3) | Keanggotaan Komite Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diangkat dan ditetapkan oleh Menteri. | ||||
Pasal 70 |
|||||
(1) | Komite Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) bertugas: | ||||
a. | memberikan usulan dan masukan kepada Menteri sebagai bahan penyusunan perumusan kebijakan; | ||||
b. | memberikan rekomendasi upaya percepatan pembangunan Kawasan Industri kepada Menteri; dan | ||||
c. | melakukan tugas akreditasi Kawasan Industri yang diberikan oleh Menteri. | ||||
(2) | Komite Kawasan Industri wajib melaporkan tugasnya kepada Menteri paling sedikit 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun. | ||||
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri. | ||||
Bagian Kesepuluh
Standar Kawasan Industri Pasal 71 |
|||||
(1) | Perusahaan Kawasan Industri wajib memenuhi standar Kawasan Industri. | ||||
(2) | Standar Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi aspek: | ||||
a. | infrastruktur Kawasan Industri; | ||||
b. | pengelolaan lingkungan; dan | ||||
c. | manajemen dan layanan. | ||||
(3) | Perusahaan Kawasan Industri yang memenuhi standar Kawasan Industri diberikan akreditasi. | ||||
(4) | Akreditasi Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh Komite Kawasan Industri. | ||||
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai standar Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan akreditasi Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri. | ||||
Bagian Kesebelas
Prakarsa Pemerintah Pusat dalam Pembangunan Kawasan Industri Pasal 72 |
|||||
(1) | Pemerintah Pusat dapat memprakarsai pembangunan Kawasan Industri: | ||||
a. | dalam hal pihak swasta tidak berminat atau belum mampu untuk membangun Kawasan Industri; dan/atau | ||||
b. | dalam rangka percepatan penyebaran dan pemerataan pembangunan Industri. | ||||
(2) | Pembangunan Kawasan Industri dengan prakarsa Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: | ||||
a. | pembangunan sendiri; atau | ||||
b. | kerja sama dengan badan usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan Kawasan Industri prakarsa Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. | ||||
Pasal 73 |
|||||
(1) | Menteri memprakarsai pembangunan Kawasan Industri prakarsa Pemerintah Pusat. | ||||
(2) | Selain Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri/kepala lembaga dapat mengusulkan pembangunan Kawasan Industri prakarsa Pemerintah Pusat kepada Menteri. | ||||
(3) | Dalam memprakarsai pembangunan Kawasan Industri prakarsa Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri berkoordinasi dengan menteri/kepala lembaga, gubernur, bupati dan/atau wali kota. | ||||
(4) | Dalam mengusulkan pembangunan Kawasan Industri prakarsa Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), menteri/kepala lembaga berkoordinasi dengan Menteri, menteri/kepala lembaga lain, gubernur, bupati, dan/atau wali kota. | ||||
Pasal 74 |
|||||
(1) | Pengelolaan Kawasan Industri prakarsa Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 dapat dilakukan oleh satuan kerja yang menerapkan pola pengelolaan keuangan badan layanan umum. | ||||
(2) | Pengelolaan keuangan badan layanan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||
Pasal 75 |
|||||
(1) | Pemerintah Pusat dapat menyelenggarakan pengadaan tanah dalam pembangunan Kawasan Industri yang diprakarsai dan/atau dikuasai oleh Pemerintah Pusat. | ||||
(2) | Pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mekanisme sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. | ||||
(3) | Hasil pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan hak pengelolaan. | ||||
(4) | Di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diberikan hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||
Pasal 76 |
|||||
(1) | Tanah yang diberikan hak pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (3) dapat dimanfaatkan oleh Perusahaan Industri dengan perjanjian tertulis. | ||||
(2) | Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: | ||||
a. | identitas para pihak; | ||||
b. | letak, batas, dan luas tanah; | ||||
c. | jenis penggunaan, pemanfaatan tanah, dan/atau bangunan yang akan didirikan; | ||||
d. | ketentuan mengenai jenis hak, jangka waktu, perpanjangan, pembaruan, peralihan, pembebanan, perubahan, dan/atau hapus/batalnya hak yang diberikan di atas tanah hak pengelolaan, dan ketentuan pemilikan tanah dan bangunan setelah berakhirnya hak atas tanah; | ||||
e. | besaran tarif dan/atau uang wajib tahunan dan tata cara pembayarannya; | ||||
f. | persyaratan dan ketentuan yang mengikat para pihak, pelaksanaan pembangunan, denda atas wanprestasi termasuk klausul sanksi, dan pembatalan/pemutusan perjanjian; dan | ||||
g. | hak dan kewajiban para pihak. | ||||
Pasal 77 |
|||||
Ketentuan mengenai pembangunan, perizinan, fasilitas, dan standar Kawasan Industri berlaku secara mutatis mutandis terhadap pembangunan Kawasan Industri yang diprakarsai oleh Pemerintah Pusat. | |||||
Bagian Kedua Belas
Kawasan Industri Tertentu Pasal 78 |
|||||
(1) | Dalam kondisi tertentu, Kawasan Industri dapat dibangun dengan luasan kurang dari 50 (lima puluh) hektar. | ||||
(2) | Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: | ||||
a. | kebutuhan pengembangan Kawasan Industri tematik tertentu; | ||||
b. | ketersediaan lahan KPI kurang dari 50 (lima puluh) hektar dalam satu hamparan; dan/atau | ||||
c. | kebijakan Industri nasional untuk mendukung percepatan pembangunan dan penyebaran Industri. | ||||
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, penetapan, dan perlakuan khusus Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. | ||||
Pasal 79 |
|||||
(1) | Perusahaan Kawasan Industri dapat menjadi Kawasan Industri berwawasan lingkungan. | ||||
(2) | Kawasan Industri berwawasan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memenuhi aspek: | ||||
a. | manajemen kawasan; | ||||
b. | pengelolaan lingkungan; | ||||
c. | sosial; dan | ||||
d. | ekonomi. | ||||
(3) | Aspek pengelolaan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi: | ||||
a. | penggunaan energi; | ||||
b. | penggunaan air baku; | ||||
c. | pengelolaan limbah; dan | ||||
d. | perubahan iklim. | ||||
(4) | Aspek sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c mengutamakan sistem manajemen sosial dan infrastruktur sosial. | ||||
(5) | Aspek ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d meliputi: | ||||
a. | penciptaan lapangan pekerjaan; | ||||
b. | penciptaan nilai ekonomi; dan | ||||
c. | akses bagi IKM. | ||||
(6) | Ketentuan lebih lanjut mengenai Kawasan Industri berwawasan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri. | ||||
Bagian Ketiga Belas
Pengawasan dan Pengendalian Kawasan Industri Pasal 80 |
|||||
(1) | Pemerintah Pusat melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap kegiatan usaha Kawasan Industri. | ||||
(2) | Pengawasan dan pengendalian terhadap kegiatan usaha Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mengetahui pemenuhan dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang perindustrian yang dilaksanakan oleh Perusahaan Kawasan Industri. | ||||
(3) | Pemenuhan dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang perindustrian yang dilaksanakan oleh Perusahaan Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit meliputi: | ||||
a. | standar Kawasan Industri; | ||||
b. | data Kawasan Industri; dan | ||||
c. | Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Kawasan Industri. | ||||
(4) | Tata cara pengawasan dan pengendalian terhadap kegiatan usaha Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan bidang perindustrian. | ||||
Bagian Keempat Belas
Sanksi Administratif Pasal 81 |
|||||
(1) | Perusahaan yang melakukan kegiatan usaha Kawasan Industri dan tidak memiliki Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dan/atau Perusahaan Kawasan Industri yang melakukan perluasan dan tidak memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dikenai sanksi administratif berupa: | ||||
a. | peringatan tertulis; | ||||
b. | denda administratif; dan/atau | ||||
c. | penutupan sementara. | ||||
(2) | Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||
Pasal 82 |
|||||
(1) | Perusahaan Kawasan Industri yang tidak memiliki Tata Tertib Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis. | ||||
(2) | Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan paling banyak 3 (tiga) kali dengan jangka waktu masing-masing 30 (tiga puluh) hari. | ||||
Pasal 83 |
|||||
(1) | Perusahaan Kawasan Industri yang tidak menyampaikan data Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (5) dikenai sanksi administratif berupa: | ||||
a. | peringatan tertulis; dan | ||||
b. | denda administratif. | ||||
(2) | Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikenakan paling banyak 3 (tiga) kali dengan jangka waktu masing-masing 30 (tiga puluh) hari. | ||||
(3) | Perusahaan Kawasan Industri yang telah dikenakan sanksi administratif berupa peringatan tertulis dan tidak melakukan perbaikan terhadap penyampaian data Kawasan Industri dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenai sanksi administratif berupa denda administratif. | ||||
(4) | Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengacu pada besaran tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian. | ||||
(5) | Pembayaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak surat pengenaan denda administratif diterima. | ||||
Pasal 84 |
|||||
(1) | Perusahaan Kawasan Industri yang tidak memenuhi standar Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa: | ||||
a. | peringatan tertulis; dan | ||||
b. | denda administratif. | ||||
(2) | Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikenakan paling banyak 3 (tiga) kali dengan jangka waktu masing-masing 30 (tiga puluh) hari. | ||||
(3) | Perusahaan Kawasan Industri yang telah dikenakan sanksi administratif berupa peringatan tertulis dan tidak melakukan perbaikan terhadap pemenuhan standar Kawasan Industri dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenai sanksi administratif berupa denda administratif. | ||||
(4) | Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling banyak 1% (satu persen) dari nilai investasi Kawasan Industri. | ||||
(5) | Nilai investasi Kawasan Industri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berdasarkan hasil audit lembaga independen. | ||||
(6) | Pembayaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak surat pengenaan denda administratif diterima. | ||||
Pasal 85 |
|||||
(1) | Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82, Pasal 83, dan Pasal 84 kepada Perusahaan Kawasan Industri. | ||||
(2) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan hasil pemeriksaan atas laporan yang berasal dari: | ||||
a. | pengaduan; dan/atau | ||||
b. | tindak lanjut hasil pengawasan. | ||||
(3) | Gubernur dan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam memberikan sanksi administratif wajib mengacu pada norma, standar, prosedur, dan kriteria pemberian sanksi administratif yang ditetapkan oleh Menteri. | ||||
(4) | Gubernur dan bupati/wali kota menyampaikan laporan pelaksanaan pemberian sanksi administratif kepada Menteri. | ||||
(5) | Denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (4) dan Pasal 84 ayat (4) merupakan penerimaan negara bukan pajak. | ||||
BAB V
PENGEMBANGAN SENTRA IKM Bagian Kesatu Umum Pasal 86 |
|||||
Pengembangan Sentra IKM oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 bertujuan untuk: | |||||
a. | mendukung Industri prioritas nasional dan Industri unggulan daerah; | ||||
b. | menghasilkan nilai tambah potensi daerah; | ||||
c. | meningkatkan daya saing produk Industri unggulan daerah; dan | ||||
d. | meningkatkan penyerapan tenaga kerja. | ||||
Pasal 87 |
|||||
Pengembangan Sentra IKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 dilakukan pada setiap Wilayah kabupaten/kota. | |||||
Pasal 88 |
|||||
(1) | Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah provinsi dapat memfasilitasi percepatan pengembangan Sentra IKM. | ||||
(2) | Bentuk fasilitasi percepatan pengembangan Sentra IKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: | ||||
a. | pengusulan lokasi Sentra IKM; | ||||
b. | pengusulan jenis produk unggulan atau proses produksi utama IKM; | ||||
c. | penyediaan lahan untuk pembangunan Sentra IKM; | ||||
d. | penyediaan infrastruktur Industri; dan/atau | ||||
e. | fasilitas akses permodalan, pemasaran, kemitraan, standardisasi dan mutu, teknologi, dan desain. | ||||
Pasal 89 |
|||||
Fasilitasi percepatan pengembangan Sentra IKM oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 dapat dilakukan melalui kerja sama Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah provinsi dengan badan usaha. | |||||
Pasal 90 |
|||||
Ruang lingkup pengembangan Sentra IKM meliputi: | |||||
a. | penetapan Sentra IKM; | ||||
b. | pelaksanaan pengembangan Sentra IKM; | ||||
c. | pengelolaan Sentra IKM; | ||||
d. | pembinaan pengembangan Sentra IKM; dan | ||||
e. | pemantauan dan evaluasi pengembangan Sentra IKM. | ||||
Bagian Kedua
Penetapan Sentra IKM Pasal 91 |
|||||
(1) | Sentra IKM ditetapkan oleh bupati/wali kota. | ||||
(2) | Penetapan Sentra IKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan prakarsa Pemerintah Daerah kabupaten/kota. | ||||
(3) | Penetapan Sentra IKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: | ||||
a. | lokasi Sentra IKM; dan | ||||
b. | jenis produk unggulan atau proses produksi utama IKM. | ||||
Pasal 92 |
|||||
Sentra IKM diprioritaskan bagi IKM yang: | |||||
a. | merupakan Industri prioritas yang ditetapkan dalam dokumen perencanaan pembangunan daerah; | ||||
b. | mendukung Industri prioritas nasional; | ||||
c. | mendukung Industri besar; dan/atau | ||||
d. | merupakan Industri unggulan daerah. | ||||
Bagian Ketiga
Pelaksanaan Pengembangan Sentra IKM Paragraf 1 Umum Pasal 93 |
|||||
(1) | Pemerintah Daerah kabupaten/kota melaksanakan pengembangan Sentra IKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86. | ||||
(2) | Pelaksanaan pengembangan Sentra IKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: | ||||
a. | revitalisasi Sentra IKM; dan/atau | ||||
b. | pembangunan Sentra IKM. | ||||
Paragraf 2
Revitalisasi Sentra IKM Pasal 94 |
|||||
(1) | Revitalisasi Sentra IKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2) huruf a paling sedikit dilakukan dengan: | ||||
a. | meningkatkan sarana dan prasarana Sentra IKM; | ||||
b. | memfasilitasi pembentukan kepengurusan; dan | ||||
c. | meningkatkan kemampuan kegiatan usaha. | ||||
(2) | Revitalisasi Sentra IKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||
Paragraf 3
Pembangunan Sentra IKM Pasal 95 |
|||||
(1) | Pembangunan Sentra IKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2) huruf b dilaksanakan sesuai dengan prinsip: | ||||
a. | efektif dan efisien; | ||||
b. | pemanfaatan potensi sumber daya lokal; | ||||
c. | ramah lingkungan; | ||||
d. | profesional; dan | ||||
e. | berkelanjutan. | ||||
(2) | Pembangunan Sentra IKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan paling sedikit: | ||||
a. | Industri yang tercantum dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah, rencana pembangunan Industri provinsi, rencana pembangunan Industri kabupaten/kota, atau Industri yang: | ||||
1. | mendukung Industri prioritas nasional; | ||||
2. | mendukung Industri besar atau Industri yang berada di dalam Kawasan Industri; | ||||
3. | berpotensi mencemari lingkungan hidup yang berdampak luas; atau | ||||
4. | IKM unggulan daerah atau menjadi prioritas pembangunan industri di daerah; | ||||
b. | terdapat paling sedikit 20 (dua puluh) IKM yang sudah membuat pernyataan bersedia masuk ke dalam Sentra IKM yang dibangun; | ||||
c. | tersedia lahan paling sedikit dengan seluas 5.000 (lima ribu) meter persegi yang berada di KPI atau lokasi yang direncanakan menjadi KPI serta dilengkapi dengan dokumen legalitas kepemilikan atau penguasaan lahan oleh Pemerintah Daerah; dan | ||||
d. | lokasi yang direncanakan harus memenuhi kriteria tersedianya akses jalan, air bersih, energi listrik, serta infrastruktur lainnya. | ||||
Pasal 96 |
|||||
(1) | Pembangunan Sentra IKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (2) huruf b paling sedikit dilakukan melalui: | ||||
a. | penyediaan sarana dan prasarana produksi; dan | ||||
b. | penyediaan infrastruktur di dalam Sentra IKM. | ||||
(2) | Penyediaan sarana dan prasarana produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit berupa: | ||||
a. | pembangunan gedung produksi; | ||||
b. | penyediaan mesin dan/atau peralatan produksi; | ||||
c. | pembangunan gedung promosi; dan | ||||
d. | pembangunan gedung logistik. | ||||
(3) | Penyediaan infrastruktur di dalam Sentra IKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit berupa fasilitas: | ||||
a. | jaringan jalan; | ||||
b. | jaringan penerangan umum; | ||||
c. | jaringan drainase; | ||||
d. | jaringan energi dan kelistrikan; dan | ||||
e. | pembuangan sampah. | ||||
(4) | Dalam hal terdapat komoditas yang menghasilkan limbah yang berbahaya bagi lingkungan hidup, Pemerintah Daerah kabupaten/kota wajib membangun fasilitas instalasi pengolahan air limbah. | ||||
(5) | Dalam hal terdapat komoditas yang membutuhkan air baku dalam jumlah yang besar, Pemerintah Daerah kabupaten/kota dapat mengusahakan jaringan air baku. | ||||
Pasal 97 |
|||||
Untuk melaksanakan pembangunan Sentra IKM, bupati/wali kota menyusun: | |||||
a. | pola pengembangan Sentra IKM; | ||||
b. | detail engineering design; dan | ||||
c. | dokumen lingkungan. | ||||
Pasal 98 |
|||||
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan Sentra IKM diatur dalam Peraturan Menteri. | |||||
Bagian Keempat
Pengelolaan Sentra IKM Pasal 99 |
|||||
(1) | Pengelolaan Sentra IKM dilakukan oleh lembaga pengelola Sentra IKM. | ||||
(2) | Lembaga pengelola Sentra IKM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki tugas: | ||||
a. | pengelolaan dan pengembangan sarana dan prasarana; | ||||
b. | pengelolaan keuangan; dan | ||||
c. | pengelolaan keamanan dan kenyamanan lingkungan. | ||||
(3) | Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), lembaga pengelola Sentra IKM berfungsi: | ||||
a. | mengelola sarana dan prasarana di dalam Sentra IKM; | ||||
b. | mengelola penggunaan fasilitas bersama di dalam Sentra IKM; | ||||
c. | membantu IKM dalam pengadaan bahan baku, pemasaran produk, pelatihan IKM, serta fasilitasi pembiayaan dengan lembaga keuangan; | ||||
d. | mengelola dan bertanggung jawab terhadap keuangan Sentra IKM; | ||||
e. | mengelola keamanan, kebersihan, dan kenyamanan lingkungan Sentra IKM; | ||||
f. | menyusun pedoman tata tertib dan ketentuan lain terkait dengan pengelolaan Sentra IKM; | ||||
g. | pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan kegiatan dan keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan | ||||
h. | melaksanakan kegiatan lain dalam rangka menunjang fungsi Sentra IKM. | ||||
Pasal 100 |
|||||
Bentuk lembaga pengelola Sentra IKM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 dapat berupa: | |||||
a. | koperasi; | ||||
b. | unit pelaksana teknis daerah; atau | ||||
c. | badan usaha milik daerah. | ||||
Pasal 101 |
|||||
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Sentra IKM diatur dalam Peraturan Menteri. | |||||
Bagian Kelima
Pembinaan Pengembangan Sentra IKM Pasal 102 |
|||||
(1) | Untuk pengembangan Sentra IKM, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota melakukan pembinaan. | ||||
(2) | Pembinaan oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: | ||||
a. | pemberian fasilitas fiskal dan nonfiskal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau | ||||
b. | pendampingan dalam penetapan Sentra IKM. | ||||
(3) | Pembinaan oleh Pemerintah Daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pemberian fasilitas nonfiskal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||
(4) | Pembinaan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pengelolaan Sentra IKM. | ||||
(5) | Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikerjasamakan dengan pihak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||
Bagian Keenam
Pemantauan dan Evaluasi Pengembangan Sentra IKM Pasal 103 |
|||||
(1) | Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pemantauan dan evaluasi pengembangan Sentra IKM. | ||||
(2) | Pemantauan dan evaluasi pengembangan Sentra IKM oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah provinsi dilakukan terhadap: | ||||
a. | penetapan Sentra IKM; | ||||
b. | pelaksanaan pengembangan Sentra IKM; dan | ||||
c. | pengelolaan Sentra IKM. | ||||
(3) | Pemantauan dan evaluasi pengembangan Sentra IKM oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota dilakukan terhadap: | ||||
a. | pelaksanaan pengembangan Sentra IKM; dan | ||||
b. | pengelolaan Sentra IKM. | ||||
(4) | Hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) disampaikan kepada Menteri melalui SIINas secara berkala setiap tahun. | ||||
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pemantauan dan evaluasi pengembangan Sentra IKM diatur dalam Peraturan Menteri. | ||||
BAB VI
KOORDINASI PELAKSANAAN PERWILAYAHAN INDUSTRI Pasal 104 |
|||||
(1) | Pelaksanaan Perwilayahan Industri dilakukan secara terkoordinasi antarpemangku kepentingan dalam rangka percepatan pembangunan dan pengembangan Perwilayahan Industri. | ||||
(2) | Pelaksanaan Perwilayahan Industri secara terkoordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 105 |
|||||
Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri yang telah mendapat Perizinan Berusaha dan memperoleh insentif perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebelum Peraturan Pemerintah ini berlaku, tetap dapat melaksanakan kegiatan dan memperoleh insentif perpajakan yang telah ditetapkan. | |||||
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP Pasal 106 |
|||||
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 142 Tahun 2015 tentang Kawasan Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 365, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5806), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini. | |||||
Pasal 107 |
|||||
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 142 Tahun 2015 tentang Kawasan Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 365, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5806), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. | |||||
Pasal 108 |
|||||
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. | |||||
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. | |||||
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 7 Mei 2024 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 7 Mei 2024 MENTERI SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd. PRATIKNO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2024 NOMOR 81 |
|||||
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 20 TAHUN 2024
TENTANG
PERWILAYAHAN INDUSTRI
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
I.
|
UMUM
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang mengamanatkan Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah untuk melakukan percepatan penyebaran dan pemerataan pembangunan Industri ke seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Perwilayahan Industri Pengembangan Perwilayahan Industri dapat dilaksanakan melalui pengembangan WPPI, pengembangan KPI, pembangunan Kawasan Industri, dan pengembangan Sentra IKM.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Untuk mendukung kegiatan Industri yang efisien dan efektif serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 63 ayat (5) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 142 Tahun 2015 tentang Kawasan Industri. Namun demikian, pembangunan dan pengembangan Kawasan Industri perlu didukung dengan kebijakan pengembangan kewilayahan yang bersifat spasial, terutama pemenuhan infrastruktur Industri di sekitar Kawasan Industri, sehingga untuk mempercepat penyebaran dan pemerataan pembangunan Industri perlu dilakukan pengaturan kembali yang mengintegrasikan pembangunan Kawasan Industri dengan pengembangan WPPI, pengembangan KPI, dan pengembangan Sentra IKM.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Pengembangan kebijakan Perwilayahan Industri didasarkan pada beberapa kondisi yang melatarbelakanginya, yaitu:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
a.
|
ketimpangan pembangunan Industri antar-Wilayah di Indonesia yang masih didominasi oleh pembangunan Industri di Pulau Jawa, khususnya untuk Industri pengolahan nonmigas;
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
b.
|
belum optimalnya infrastruktur dasar dan pendukung sektor Industri, terutama di luar Pulau Jawa, sehingga pertumbuhan dan perkembangan Industri di luar Pulau Jawa terbatas;
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
c.
|
pengembangan Industri di Indonesia masih parsial antar sektor dan antar-Wilayah, sehingga nilai tambah yang dihasilkan belum optimal dan belum mampu mendukung satu sama lain; dan
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
d.
|
belum adanya koordinasi yang terbentuk secara jelas dan sinergis antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dalam mengoptimalkan upaya Perwilayahan Industri.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Peraturan Pemerintah ini disusun untuk memberikan payung hukum bagi masing-masing instansi terkait baik di Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah provinsi dan kabupaten/kota dalam menyusun program kegiatan yang mendukung pelaksanaan kebijakan Perwilayahan Industri, sehingga program percepatan penyebaran dan pemerataan Industri bisa dilaksanakan secara terstruktur. Adapun pokok-pokok pengaturan dalam Peraturan Pemerintah ini meliputi pengembangan WPPI, pengembangan KPI, pembangunan Kawasan Industri, dan pengembangan Sentra IKM. | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
II.
|
PASAL DEMI PASAL
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Huruf a
Pengembangan Perwilayahan Industri mengacu pada RTRW sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penataan ruang.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Perwilayahan Industri dilakukan untuk mendorong peningkatan kontribusi sektor Industri pengolahan di seluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memprioritaskan pada pembangunan di luar Jawa tanpa mengesampingkan pembangunan Industri pengolahan di Pulau Jawa.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Yang dimaksud dengan "Pemerintah Pusat" termasuk badan pengusahaan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas di Wilayah Batam, Bintan, dan Karimun.
Yang dimaksud dengan "Pemerintah Daerah" termasuk badan pengusahaan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Sabang.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Dalam menyusun peta jalan Perwilayahan Industri mengacu pada RTRW nasional sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penataan ruang.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "dokumen pada sistem perencanaan pembangunan nasional" adalah rencana pembangunan jangka panjang nasional, rencana pembangunan jangka menengah nasional, dan/atau rencana kerja pemerintah.
Ayat (3)
Huruf a
Pedoman bagi kementerian/lembaga untuk mendukung Perwilayahan Industri antara lain terkait dengan sumber daya air, sumber daya energi, infrastruktur Wilayah, transportasi, tata ruang, dan keberlanjutan lingkungan hidup.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "kawasan strategis nasional" adalah Wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk Wilayah yang ditetapkan sebagai warisan dunia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "sumber daya alam" meliputi bahan baku yang berasal dari alam, sumber daya air, dan energi.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "Industri anchor" adalah Industri penggerak yang akan menjadi pengungkit bagi Industri lain untuk berinvestasi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "WPPI mandiri" adalah WPPI yang memiliki daya saing yang kuat dan memiliki kemampuan sebagai penggerak utama WPI dengan sumber daya alam, ketersediaan bahan baku dan/atau bahan penolong Industri, potensi ekonomi, infrastruktur Industri, dan tingkat pemanfaatan serta pengembangan teknologi Industri yang baik.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "WPPI berkembang" adalah WPPI yang memiliki sumber daya alam, ketersediaan bahan baku dan/atau bahan penolong Industri, potensi ekonomi, infrastruktur Industri, dan tingkat pemanfaatan serta pengembangan teknologi Industri yang terbatas namun masih memiliki potensi menjadi WPPI mandiri dan menjadi penggerak utama WPI.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "WPPI potensial" adalah WPPI yang memiliki potensi sumber daya alam dan ketersediaan bahan baku dan/atau bahan penolong Industri, namun potensi ekonomi, infrastruktur Industri, dan tingkat pemanfaatan serta pengembangan teknologi Industri masih terbatas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "jenis pembangunan Industri prioritas" adalah sektor Industri yang diutamakan untuk dikembangkan di dalam WPPI.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "perubahan WPPI" antara lain pengurangan/penambahan kabupaten/kota dalam satu WPPI, dan/atau pengurangan/penambahan WPPI.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang-undangan" antara lain ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pembangunan Sumber Daya Industri dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pemanfaatan sumber daya alam.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Khusus untuk provinsi di wilayah Provinsi Papua, Papua Barat, Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Barat Daya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang otonomi khusus Provinsi Papua, Papua Barat, Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Barat Daya.
Huruf c
Khusus untuk kabupaten/kota di wilayah Provinsi Papua, Papua Barat, Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Barat Daya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang otonomi khusus Provinsi Papua, Papua Barat, Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Barat Daya.
Pasal 24
Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang-undangan" antara lain ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pembangunan Sumber Daya Industri dan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemberdayaan Industri.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "kelistrikan" adalah ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai ketenagalistrikan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "fasilitas sanitasi" termasuk pengolahan air limbah dan jaringan pembuangannya (IPAL & Sewerage).
Huruf f
Yang dimaksud dengan "fasilitas jaringan transportasi" antara lain berupa jalan, pelabuhan laut, bandar udara, dan/atau jalur kereta api.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan "fasilitas jaringan persampahan" adalah tempat penampungan sementara (TPS), tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah termasuk fasilitas pengolahannya, dan sistem pengangkutannya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "dalam hal tertentu" adalah jika terdapat kebutuhan atau usulan dari menteri teknis, gubernur, bupati/wali kota, dan/atau asosiasi Industri.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Pemerintah Pusat melakukan pembinaan kepada Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota.
Pembinaan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota dilakukan oleh Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "sistem hulu hilir Industri" adalah kesatuan pengembangan dari Industri yang mengolah bahan mentah hingga Industri yang menghasilkan barang setengah jadi dan/atau Industri yang menghasilkan barang jadi secara terpadu.
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Yang dimaksud dengan "perencanaan pengembangan KPI" antara lain kegiatan terkait perencanaan KPI pada daerah yang telah maupun belum menetapkan KPI pada RTRW yang meliputi:
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "fasilitas jaringan energi dan kelistrikan" antara lain berupa sumber pembangkitan energi, jaringan transmisi dan distribusi energi dan kelistrikan, dan/atau pengembangan potensi energi alternatif.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "fasilitas sanitasi" termasuk pengolahan air limbah dan jaringan pembuangannya (IPAL & Sewerage).
Huruf f
Yang dimaksud dengan "fasilitas jaringan transportasi" antara lain berupa jalan, pelabuhan laut, bandar udara, dan/atau jalur kereta api.
Huruf g
Yang dimaksud dengan "fasilitas jaringan persampahan" adalah tempat penampungan sementara (TPS), tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah termasuk fasilitas pengolahannya, dan sistem pengangkutannya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 41
Ayat (1)
Pemerintah Pusat melakukan pembinaan kepada Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota.
Pembinaan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota dilakukan oleh Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "Kawasan Industri" adalah Kawasan Industri prakarsa Pemerintah Pusat.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Fasilitasi penyelesaian permasalahan terkait pendirian dan pengembangan Kawasan Industri dapat berupa permasalahan pertanahan, infrastruktur, air baku, energi, ketenagakerjaan, dan Perizinan Berusaha.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Harga sewa lahan ditetapkan dengan memperhatikan nilai pemanfaatan lahan.
Huruf j
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "pemilihan lokasi" adalah kegiatan awal untuk mengumpulkan berbagai data dan informasi atas lokasi yang akan dikembangkan, untuk melihat kebutuhan lahan, alternatif lokasi, dan kesesuaian pemanfaatan lokasi dengan RTRW setempat.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Pematangan tanah dalam ketentuan ini tidak termasuk dalam kegiatan usaha di bidang pertambangan.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "fasilitas jaringan energi dan kelistrikan" antara lain berupa sumber pembangkitan energi, jaringan transmisi dan distribusi energi dan kelistrikan, dan/atau pengembangan potensi energi alternatif.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "fasilitas jaringan sumber daya air dan jaminan pasokan air baku" meliputi ketersediaan air permukaan dan air tanah.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "fasilitas jaringan transportasi" antara lain berupa jalan, pelabuhan laut, bandar udara, dan/atau jalur kereta api.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "fasilitas jaringan persampahan" adalah tempat penampungan sementara (TPS), tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah termasuk fasilitas pengolahannya, dan sistem pengangkutannya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "infrastruktur dasar lainnya" antara lain:
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "pihak lain" antara lain badan usaha berbentuk perseroan terbatas, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik desa, atau koperasi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "ketentuan yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup sesuai hasil studi analisa dampak lingkungan, rencana pengelolaan lingkungan, dan rencana pemantauan lingkungan" antara lain mengenai kewajiban tenant untuk menyusun rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan rinci, melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan, menyusun laporan pengelolaan dan pemantauan lingkungan secara berkala sesuai ketentuan, dan menyusun perubahan rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan rinci jika ada perubahan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait" antara lain mengenai koefisien dasar bangun, koefisien lantai bangunan, ketentuan terkait sempadan bangunan, ketentuan terkait keamanan bangunan dan lingkungan, dan lain-lain yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan terkait baik di tingkat pusat maupun daerah.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "ketentuan lain yang ditetapkan oleh Perusahaan Kawasan Industri" antara lain mengenai biaya layanan Kawasan Industri, ketentuan mengenai pengalihan tanah Kawasan Industri yang telah dibeli/disewa tenant kepada pihak ketiga, ketentuan mengenai penggunaan tanah Kawasan Industri yang telah dibeli tenant sebagai jaminan bank atau institusi finansial lainnya, ketentuan mengenai sanksi terhadap tanah Kawasan Industri yang tidak dibangun dalam jangka waktu tertentu, dan ketentuan lain yang tidak diatur oleh peraturan perundang-undangan namun dianggap perlu oleh Perusahaan Kawasan Industri.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang yang digunakan adalah kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang Kawasan Industri, bukan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang baru.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "pelaku usaha lain" antara lain pergudangan, hotel, dan rumah sakit sesuai dengan rencana induk (masterplan) Kawasan Industri.
Pelaku usaha mikro di gedung Perusahaan Kawasan Industri dan/atau pengelola Kawasan Industri seperti kantin tidak diwajibkan memiliki rencana pengelolaan lingkungan dan rencana pemantauan lingkungan rinci dan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 64
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "perubahan terhadap Perizinan Berusaha" termasuk perluasan dan penambahan bidang usaha baru.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "insentif fiskal" antara lain perpajakan, kepabeanan, pendapatan negara bukan pajak, dan pajak daerah dan retribusi daerah.
Yang dimaksud dengan "insentif nonfiskal" antara lain imigrasi, pertanahan, dan tenaga kerja.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 67
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "kepentingan umum" adalah kepentingan bagi seluruh pihak yang berada di dalam Kawasan Industri yang bersangkutan, antara lain tenant (Perusahaan Industri), sekolah, rumah sakit, bangunan dan/atau fasilitas umum lainnya di dalam Kawasan Industri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 68
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "insentif daerah" meliputi pengurangan, keringanan, atau pembebasan pajak daerah dan/atau retribusi daerah, misalnya:
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "badan layanan umum" adalah instansi di lingkungan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Ketersediaan lahan KPI berdasarkan pada RTRW nasional dan/atau RTRW provinsi/kabupaten/kota.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 79
Ayat (1)
Kawasan Industri berwawasan lingkungan/Eco-Industrial Park merupakan kawasan tempat pemusatan kegiatan Industri yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh Perusahaan Kawasan Industri yang menjamin keberlanjutan melalui integrasi aspek kualitas sosial, ekonomi, dan lingkungan ke dalam penentuan lokasi, perencanaan, pembangunan, dan pengelolaannya.
Untuk menjadi Kawasan Industri berwawasan lingkungan, Perusahaan Kawasan Industri diwajibkan memenuhi persyaratan sebagai Kawasan Industri berwawasan lingkungan.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "manajemen kawasan" adalah layanan yang diberikan oleh Perusahaan Kawasan Industri atau pengelola Kawasan Industri untuk menangani perencanaan, fasilitasi pelayanan perizinan, hubungan industrial bagi perusahaan yang berlokasi di dalamnya, fasilitasi hubungan Perusahaan Industri di dalamnya dengan para pemangku kepentingan terkait, dan pemantauan serta penyediaan infrastruktur dasar dan/atau penunjang.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "sistem manajemen sosial" antara lain sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja, manajemen pengaduan, pencegahan dan penanggulangan diskriminasi dan pelecehan, dan lingkungan pekerjaan yang layak.
Yang dimaksud dengan "infrastruktur sosial" berupa fasilitas umum dan fasilitas sosial yang bertujuan untuk meningkatkan kehidupan dan kondisi kerja karyawan dan masyarakat sekitar antara lain penyediaan layanan kesehatan yang memadai, serta pemberian pendidikan dan pelatihan bagi karyawan dan masyarakat sekitar.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Huruf a
Yang dimaksud dengan "Industri unggulan daerah" antara lain berupa Industri yang belum ditetapkan dalam dokumen perencanaan daerah yang memiliki potensi untuk menghasilkan produk unggulan daerah.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Huruf a
Yang dimaksud dengan "dokumen perencanaan pembangunan daerah" termasuk rencana pembangunan Industri kabupaten/kota.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 93
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Ayat (1)
Huruf a
Pembangunan Sentra IKM harus memperhatikan aspek efektif dan efisien baik dalam perencanaan, pembangunan, pengelolaan, pembinaan maupun pengawasan, sehingga mampu mendorong terciptanya Sentra IKM yang berdaya saing dan berkelanjutan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "pemanfaatan potensi sumber daya lokal" meliputi pemberdayaan sumber daya alam, sumber daya manusia, serta kearifan lokal dalam rangka meningkatkan perekonomian daerah.
Huruf c
Pembangunan Sentra IKM perlu memperhatikan pengendalian dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait lingkungan hidup.
Huruf d
sentra IKM harus dikelola secara profesional dengan ciri pengelola yang bertanggung jawab, mementingkan kepentingan publik, mempunyai integritas, obyektif dan independen, serta mengikuti standard operational procedure.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "berkelanjutan" merupakan terciptanya kesinambungan ekosistem unsur pembangunan Sentra IKM sehingga tercapai tujuan pembangunan dan pengembangan Sentra IKM antara lain untuk mendukung rantai pasok di Kawasan Industri.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pernyataan bersedia masuk ke dalam Sentra IKM dibuktikan dengan perjanjian tertulis.
Huruf c
Dokumen legalitas kepemilikan atau penguasaan lahan berupa sertifikat hak pengelolaan lahan, sertifikat hak pakai, surat perjanjian sewa menyewa, dan dokumen lainnya yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait penguasaan atas tanah.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 96
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pembangunan sarana produksi pada Sentra IKM yang memproduksi produk pangan olahan dilakukan sesuai dengan persyaratan keamanan pangan dan pedoman cara produksi pangan olahan yang baik.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Gedung logistik merupakan tempat penyimpanan bahan baku, bahan penolong, dan/atau produk jadi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 97
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "detail engineering design" adalah dokumen detail gambar kerja untuk keperluan pembangunan di dalam Sentra IKM, yang meliputi:
Huruf c
Yang dimaksud dengan "dokumen lingkungan" adalah kajian dampak lingkungan yang dilakukan oleh pemrakarsa yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan Sentra IKM. Dokumen lingkungan terdiri dari:
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Huruf a
Yang dimaksud dengan "koperasi" adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi yang melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan yang berdasar pada asas kekeluargaan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "pihak lain" antara lain Perusahaan Industri, Perusahaan Kawasan Industri, lembaga pendidikan, lembaga penelitian dan pengembangan, serta asosiasi Industri dan asosiasi profesi terkait.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6916
|