Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Premium
Terjemahan Dokumen
Ini Belum Tersedia
Ini Belum Tersedia
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Berlaku
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
|
||||
Menimbang |
||||
bahwa untuk memberdayakan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam upaya peningkatan, perlindungan, dan kepastian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 12 ayat (2), Pasal 16 ayat (3), Pasal 37, Pasal 38 ayat (3), dan Pasal 39 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;
|
||||
Mengingat |
||||
1.
|
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
|||
2.
|
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4866);
|
|||
|
||||
MEMUTUSKAN:
|
||||
Menetapkan |
||||
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2008 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH.
|
||||
|
||||
BAB I
KETENTUAN UMUM Pasal 1 |
||||
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
|
||||
1.
|
Usaha Mikro, Usaha Kecil, Usaha Menengah, dan Usaha Besar adalah Usaha Mikro, Usaha Kecil, Usaha Menengah, dan Usaha Besar sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
|
|||
2.
|
Izin Usaha adalah bukti tertulis yang diberikan oleh Pejabat yang berwenang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai bukti legalitas yang menyatakan sah bahwa Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah telah memenuhi persyaratan dan diperbolehkan untuk menjalankan suatu kegiatan usaha tertentu.
|
|||
3.
|
Jangka Waktu adalah kondisi tingkatan lamanya pengembangan usaha yang diberikan kepada Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah.
|
|||
4.
|
Kemitraan adalah kerja sama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, mempercayai, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan Usaha Besar.
|
|||
5.
|
Iklim Usaha adalah kondisi yang diupayakan pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk memberdayakan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah secara sinergis melalui penetapan berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan di berbagai aspek kehidupan ekonomi, agar Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah memperoleh pemihakan, kepastian, kesempatan, perlindungan, dan dukungan berusaha yang seluas-luasnya.
|
|||
6.
|
Dunia Usaha adalah Usaha Mikro, Usaha Kecil, Usaha Menengah, dan Usaha Besar yang melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia dan berdomisili di Indonesia.
|
|||
7.
|
Pembiayaan adalah penyediaan dana oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan masyarakat melalui bank, koperasi, dan lembaga keuangan bukan bank, untuk mengembangkan dan memperkuat permodalan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
|
|||
8.
|
Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang selanjutnya disingkat KPPU adalah komisi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
|
|||
9.
|
Undang-Undang adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
|
|||
10.
|
Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
|
|||
11.
|
Menteri adalah menteri yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
|
|||
12.
|
Menteri Teknis/Kepala Lembaga Pemerintah Nonkementerian adalah menteri/pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian yang secara teknis bertanggungjawab untuk mengembangkan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam sektor kegiatannya.
|
|||
13.
|
Pejabat adalah pejabat yang berwenang untuk memberikan Izin Usaha sesuai dengan tugas dan fungsinya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
14.
|
Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati/walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
|
|||
|
|
|||
Pasal 2 |
||||
(1)
|
Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya menyelenggarakan pemberdayaan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah.
|
|||
(2)
|
Pemberdayaan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
|
|||
|
a.
|
pengembangan usaha;
|
||
|
b.
|
Kemitraan;
|
||
|
c.
|
perizinan; dan
|
||
|
d.
|
koordinasi dan pengendalian.
|
||
|
|
|
||
BAB II
PENGEMBANGAN USAHA BAGIAN KESATU
UMUM Pasal 3 |
||||
(1)
|
Pengembangan usaha dilakukan terhadap Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah.
|
|||
(2)
|
Pengembangan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
fasilitasi pengembangan usaha; dan
|
||
|
b.
|
pelaksanaan pengembangan usaha.
|
||
|
|
|
||
BAGIAN KEDUA
FASILITASI PENGEMBANGAN Pasal 4 |
||||
(1)
|
Fasilitasi pengembangan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
|
|||
(2)
|
Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, sumber daya manusia, serta desain dan teknologi.
|
|||
|
|
|||
BAGIAN KETIGA
KEGIATAN PENGEMBANGAN Pasal 5 |
||||
(1)
|
Pengembangan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan melalui:
|
|||
|
a.
|
pendataan, identifikasi potensi, dan masalah yang dihadapi;
|
||
|
b.
|
penyusunan program pembinaan dan pengembangan sesuai potensi dan masalah yang dihadapi;
|
||
|
c.
|
pelaksanaan program pembinaan dan pengembangan; dan
|
||
|
d.
|
pemantauan dan pengendalian pelaksanaan program.
|
||
(2)
|
Pengembangan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pendekatan:
|
|||
|
a.
|
koperasi;
|
||
|
b.
|
sentra;
|
||
|
c.
|
klaster; dan
|
||
|
d.
|
kelompok.
|
||
|
||||
BAGIAN KEEMPAT
PRIORITAS, INTENSITAS, DAN JANGKA WAKTU Pasal 6 |
||||
(1)
|
Pemerintah dan Pemerintah Daerah memprioritaskan pengembangan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah melalui:
|
|||
|
a.
|
pemberian kesempatan untuk ikut serta dalam pengadaan barang dan jasa Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
|
||
|
b.
|
pencadangan usaha bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah melalui pembatasan bagi Usaha Besar;
|
||
|
c.
|
kemudahan perizinan;
|
||
|
d.
|
penyediaan Pembiayaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
|
||
|
e.
|
fasilitasi teknologi dan informasi.
|
||
(2)
|
Pemberian kesempatan untuk ikut serta dalam pengadaan barang dan jasa Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Pencadangan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi bidang dan sektor usaha:
|
|||
|
a.
|
yang hanya boleh diusahakan oleh Usaha Mikro dan Usaha Kecil;
|
||
|
b.
|
yang dapat dilakukan oleh Usaha Menengah dan Usaha Besar melalui pola Kemitraan dengan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah;
|
||
|
c.
|
yang dapat dilakukan oleh Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah yang bersifat inovatif, kreatif, dan/atau secara khusus diprioritaskan sebagai program Pemerintah dan Pemerintah Daerah; dan
|
||
|
d.
|
yang dapat dilakukan oleh Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah yang berada pada daerah perbatasan, bencana alam, pasca kerusuhan, dan daerah tertinggal.
|
||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pencadangan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Presiden.
|
|||
|
|
|||
Pasal 7 |
||||
(1)
|
Fasilitasi pengembangan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dilaksanakan berdasarkan intensitas dan Jangka Waktu.
|
|||
(2)
|
Intensitas dan Jangka Waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan klasifikasi dan tingkat perkembangan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah.
|
|||
(3)
|
Menteri membuat pedoman klasifikasi dan tingkat perkembangan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
|||
(4)
|
Pedoman klasifikasi dan tingkat perkembangan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit meliputi:
|
|||
|
a.
|
kriteria klasifikasi berdasarkan masalah dan/atau potensi;
|
||
|
b.
|
penentuan klasifikasi;
|
||
|
c.
|
pendekatan pengembangan;
|
||
|
d.
|
bentuk fasilitasi; dan
|
||
|
e.
|
Jangka Waktu fasilitasi.
|
||
(5)
|
Menteri Teknis/Kepala Lembaga Pemerintah Nonkementerian, atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya menetapkan intensitas dan Jangka Waktu fasilitasi pengembangan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah sesuai dengan pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
|
|||
|
|
|||
BAGIAN KELIMA
PELAKSANAAN PENGEMBANGAN Pasal 8 |
||||
(1)
|
Pelaksanaan pengembangan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b dilakukan oleh Dunia Usaha dan masyarakat.
|
|||
(2)
|
Pengembangan usaha oleh Dunia Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:
|
|||
|
a.
|
Usaha Besar; dan
|
||
|
b.
|
Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah yang bersangkutan.
|
||
(3)
|
Usaha Besar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, melakukan pengembangan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah dengan prioritas:
|
|||
|
a.
|
keterkaitan usaha;
|
||
|
b.
|
potensi produksi barang dan jasa pada pasar domestik;
|
||
|
c.
|
produksi dan penyediaan kebutuhan pokok;
|
||
|
d.
|
produk yang memiliki potensi ekspor;
|
||
|
e.
|
produk dengan nilai tambah dan berdaya saing;
|
||
|
f.
|
potensi mendayagunakan pengembangan teknologi; dan/atau
|
||
|
g.
|
potensi dalam penumbuhan wirausaha baru.
|
||
(4)
|
Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, melakukan pengembangan usaha dengan:
|
|||
|
a.
|
mengembangkan jaringan usaha dan Kemitraan;
|
||
|
b.
|
melakukan usaha secara efisien;
|
||
|
c.
|
mengembangkan inovasi dan peluang pasar;
|
||
|
d.
|
memperluas akses pemasaran;
|
||
|
e.
|
memanfaatkan teknologi;
|
||
|
f.
|
meningkatkan kualitas produk; dan
|
||
|
g.
|
mencari sumber pendanaan usaha yang lebih luas.
|
||
(5)
|
Pengembangan usaha oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit dilakukan dengan:
|
|||
|
a.
|
memprioritaskan penggunaan produk yang dihasilkan oleh Usaha Mikro, Usaha Kecil dan Usaha Menengah;
|
||
|
b.
|
menciptakan wirausaha baru;
|
||
|
c.
|
bimbingan teknis dan manajerial; dan/atau
|
||
|
d.
|
melakukan konsultasi dan pendampingan.
|
||
|
|
|
||
Pasal 9 |
||||
Pelaksanaan pengembangan usaha oleh Dunia Usaha dan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dapat dilakukan dengan memperhatikan intensitas dan Jangka Waktu yang ditetapkan oleh Menteri, Menteri Teknis/Kepala Lembaga Pemerintah Nonkementerian, atau Pemerintah Daerah.
|
||||
|
||||
BAB III
KEMITRAAN BAGIAN KESATU
POLA KEMITRAAN PARAGRAF 1
UMUM Pasal 10 |
||||
(1)
|
Kemitraan antara Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah dengan Usaha Besar dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip Kemitraan dan menjunjung etika bisnis yang sehat.
|
|||
(2)
|
Prinsip Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi prinsip:
|
|||
|
a.
|
saling membutuhkan;
|
||
|
b.
|
saling mempercayai;
|
||
|
c.
|
saling memperkuat; dan
|
||
|
d.
|
saling menguntungkan.
|
||
(3)
|
Dalam melaksanakan Kemitraan, para pihak mempunyai kedudukan hukum yang setara dan terhadap mereka berlaku hukum Indonesia.
|
|||
(4)
|
Kemitraan antara Usaha Mikro, Usaha Kecil, atau Usaha Menengah dengan Usaha Besar dilaksanakan dengan disertai bantuan dan perkuatan oleh Usaha Besar.
|
|||
|
|
|||
Pasal 11 |
||||
(1)
|
Kemitraan mencakup proses alih keterampilan bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumber daya manusia, dan teknologi sesuai dengan pola Kemitraan.
|
|||
(2)
|
Pola Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
inti-plasma;
|
||
|
b.
|
subkontrak;
|
||
|
c.
|
waralaba;
|
||
|
d.
|
perdagangan umum;
|
||
|
e.
|
distribusi dan keagenan;
|
||
|
f.
|
bagi hasil;
|
||
|
g.
|
kerja sama operasional;
|
||
|
h.
|
usaha patungan (joint venture);
|
||
|
i.
|
penyumberluaran (outsourcing); dan
|
||
|
j.
|
bentuk kemitraan lainnya.
|
||
(3)
|
Usaha Mikro, Usaha Kecil, Usaha Menengah, atau Usaha Besar dalam melakukan pola Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilarang memutuskan hubungan hukum secara sepihak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|||
Pasal 12 |
||||
Dalam pelaksanaan Kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2):
|
||||
a.
|
Usaha Besar dilarang memiliki dan/atau menguasai Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan/atau Usaha Menengah mitra usahanya; dan
|
|||
b.
|
Usaha Menengah dilarang memiliki dan/atau menguasai Usaha Mikro dan/atau Usaha Kecil mitra usahanya.
|
|||
PARAGRAF 2
INTI-PLASMA Pasal 13 |
||||
Dalam pola Kemitraan inti-plasma:
|
||||
a.
|
Usaha Besar berkedudukan sebagai inti, Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah berkedudukan sebagai plasma; atau
|
|||
b.
|
Usaha Menengah berkedudukan sebagai inti, Usaha Mikro dan Usaha Kecil berkedudukan sebagai plasma.
|
|||
|
|
|||
PARAGRAF 3
SUBKONTRAK Pasal 14 |
||||
Dalam pola Kemitraan subkontrak:
|
||||
a.
|
Usaha Besar berkedudukan sebagai kontraktor, Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah berkedudukan sebagai subkontraktor; atau
|
|||
b.
|
Usaha Menengah berkedudukan sebagai kontraktor, Usaha Mikro dan Usaha Kecil berkedudukan sebagai subkontraktor.
|
|||
|
|
|||
PARAGRAF 4
WARALABA Pasal 15 |
||||
Dalam pola Kemitraan waralaba:
|
||||
a.
|
Usaha Besar berkedudukan sebagai pemberi waralaba, Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah berkedudukan sebagai penerima waralaba; atau
|
|||
b.
|
Usaha Menengah berkedudukan sebagai pemberi waralaba, Usaha Mikro dan Usaha Kecil berkedudukan sebagai penerima waralaba.
|
|||
|
|
|||
Pasal 16 |
||||
Usaha Besar yang memperluas usahanya dengan cara waralaba memberikan kesempatan dan mendahulukan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah yang memiliki kemampuan.
|
||||
|
||||
Pasal 17 |
||||
Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah yang akan mengembangkan usaha dengan menerapkan sistem bisnis melalui pemasaran barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau dipergunakan oleh pihak lain, dapat melakukan Kemitraan dengan pola waralaba sebagai pemberi waralaba.
|
||||
|
||||
Pasal 18 |
||||
Ketentuan mengenai waralaba diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
||||
PARAGRAF 5
PERDAGANGAN UMUM Pasal 19 |
||||
(1)
|
Dalam pola Kemitraan perdagangan umum:
|
|||
|
a.
|
Usaha Besar berkedudukan sebagai penerima barang, Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah berkedudukan sebagai pemasok barang; atau
|
||
|
b.
|
Usaha Menengah berkedudukan sebagai penerima barang, Usaha Mikro dan Usaha Kecil berkedudukan sebagai pemasok barang.
|
||
(2)
|
Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah sebagai pemasok barang memproduksi barang atau jasa bagi mitra dagangnya.
|
|||
|
|
|||
Pasal 20 |
||||
(1)
|
Kemitraan usaha dengan pola perdagangan umum, dapat dilakukan dalam bentuk kerja sama pemasaran, penyediaan lokasi usaha, atau menerima pasokan dari Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah oleh Usaha Besar yang dilakukan secara terbuka.
|
|||
(2)
|
Pemenuhan kebutuhan barang dan jasa yang diperlukan oleh Usaha Besar atau Usaha Menengah dilakukan dengan mengutamakan pengadaan hasil produksi Usaha Kecil atau Usaha Mikro sepanjang memenuhi standar mutu barang dan jasa yang diperlukan.
|
|||
(3)
|
Pengaturan sistem pembayaran dalam bentuk kerja sama Kemitraan perdagangan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tidak merugikan salah satu pihak.
|
|||
|
|
|||
PARAGRAF 6
DISTRIBUSI DAN KEAGENAN Pasal 21 |
||||
Dalam pola Kemitraan distribusi dan keagenan:
|
||||
a.
|
Usaha Besar memberikan hak khusus memasarkan barang dan jasa kepada Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah; atau
|
|||
b.
|
Usaha Menengah memberikan hak khusus memasarkan barang dan jasa kepada Usaha Mikro dan Usaha Kecil.
|
|||
|
|
|||
PARAGRAF 7
BAGI HASIL
Pasal 22 |
||||
Dalam pola Kemitraan bagi hasil:
|
||||
a.
|
Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah berkedudukan sebagai pelaksana yang menjalankan usaha yang dibiayai atau dimiliki oleh Usaha Besar; atau
|
|||
b.
|
Usaha Mikro dan Usaha Kecil berkedudukan sebagai pelaksana yang menjalankan usaha yang dibiayai atau dimiliki oleh Usaha Menengah.
|
|||
|
|
|||
Pasal 23 |
||||
(1)
|
Masing-masing pihak yang bermitra dengan pola bagi hasil memberikan kontribusi sesuai dengan kemampuan dan sumber daya yang dimiliki serta disepakati kedua belah pihak yang bermitra.
|
|||
(2)
|
Besarnya pembagian keuntungan yang diterima atau kerugian yang ditanggung masing-masing pihak yang bermitra dengan pola bagi hasil berdasarkan pada perjanjian yang disepakati.
|
|||
|
|
|||
PARAGRAF 8
KERJA SAMA OPERASIONAL Pasal 24 |
||||
Dalam pola Kemitraan kerja sama operasional:
|
||||
a.
|
antara Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah dengan Usaha Besar menjalankan usaha yang sifatnya sementara sampai dengan pekerjaan selesai; atau
|
|||
b.
|
antara Usaha Mikro dan Usaha Kecil dengan Usaha Menengah menjalankan usaha yang sifatnya sementara sampai dengan pekerjaan selesai.
|
|||
|
|
|||
PARAGRAF 9
USAHA PATUNGAN Pasal 25 |
||||
(1)
|
Usaha Mikro, Usaha Kecil, atau Usaha Menengah lokal dalam melaksanakan kegiatan usahanya dapat melakukan Kemitraan usaha dengan Usaha Besar asing melalui pola usaha patungan (joint venture) dengan cara menjalankan aktivitas ekonomi bersama dengan mendirikan perusahaan baru.
|
|||
(2)
|
Usaha Mikro dan Usaha Kecil lokal dalam melaksanakan kegiatan usahanya dapat melakukan Kemitraan usaha dengan Usaha Menengah asing melalui pola usaha patungan (joint venture) dengan cara menjalankan aktivitas ekonomi bersama dengan mendirikan perusahaan baru.
|
|||
(3)
|
Pendirian perusahaan baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|||
Pasal 26 |
||||
Dalam menjalankan aktivitas ekonomi bersama para pihak berbagi secara proporsional dalam pemilikan saham, keuntungan, risiko, dan manajemen perusahaan.
|
||||
|
||||
PARAGRAF 10
PENYUMBERLUARAN Pasal 27 |
||||
(1)
|
Usaha Mikro, Usaha Kecil, atau Usaha Menengah dapat bermitra dengan Usaha Besar dengan Kemitraan pola penyumberluaran, untuk mengerjakan pekerjaan atau bagian pekerjaan di luar pekerjaan utama Usaha Besar.
|
|||
(2)
|
Usaha Mikro atau Usaha Kecil dapat bermitra dengan Usaha Menengah dengan Kemitraan pola penyumberluaran, untuk mengerjakan pekerjaan atau bagian pekerjaan di luar pekerjaan utama Usaha Menengah.
|
|||
(3)
|
Kemitraan pola penyumberluaran dijalankan pada bidang dan jenis usaha yang bukan merupakan pekerjaan pokok dan/atau bukan komponen pokok.
|
|||
(4)
|
Dalam pola Kemitraan penyumberluaran:
|
|||
|
a.
|
Usaha Besar berkedudukan sebagai pemilik pekerjaan, Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah berkedudukan sebagai penyedia dan pelaksana jasa pekerjaan; atau
|
||
|
b.
|
Usaha Menengah berkedudukan sebagai pemilik pekerjaan, Usaha Mikro dan Usaha Kecil berkedudukan sebagai penyedia dan pelaksana jasa pekerjaan.
|
||
(5)
|
Pelaksanaan pola Kemitraan penyumberluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|||
PARAGRAF 11
KEMITRAAN LAIN Pasal 28 |
||||
(1)
|
Selain Kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 27, antar Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah dapat melakukan Kemitraan lain.
|
|||
(2)
|
Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 11 ayat (3).
|
|||
|
|
|||
PARAGRAF 12
PERJANJIAN Pasal 29 |
||||
(1)
|
Setiap bentuk Kemitraan yang dilakukan oleh Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah dituangkan dalam perjanjian Kemitraan.
|
|||
(2)
|
Perjanjian Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat secara tertulis dalam Bahasa Indonesia.
|
|||
(3)
|
Dalam hal salah satu pihak merupakan orang atau badan hukum asing, perjanjian Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam Bahasa Indonesia dan bahasa asing.
|
|||
(4)
|
Perjanjian Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat paling sedikit:
|
|||
|
a.
|
kegiatan usaha;
|
||
|
b.
|
hak dan kewajiban masing-masing pihak;
|
||
|
c.
|
bentuk pengembangan;
|
||
|
d.
|
jangka waktu; dan
|
||
|
e.
|
penyelesaian perselisihan.
|
||
|
|
|
||
BAGIAN KEDUA
PERAN PEMERINTAH DAN PEMERINTAH DAERAH DALAM KEMITRAAN Pasal 30 |
||||
(1)
|
Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengatur:
|
|||
|
a.
|
Usaha Besar untuk membangun Kemitraan dengan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah; atau
|
||
|
b.
|
Usaha Menengah untuk membangun Kemitraan dengan Usaha Mikro dan Usaha Kecil.
|
||
(2)
|
Untuk melaksanakan peran Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib:
|
|||
|
a.
|
menyediakan data dan informasi pelaku Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah yang Siap bermitra;
|
||
|
b.
|
mengembangkan proyek percontohan Kemitraan;
|
||
|
c.
|
memfasilitasi dukungan kebijakan; dan
|
||
|
d.
|
melakukan koordinasi penyusunan kebijakan dan program pelaksanaan, pemantauan, evaluasi serta pengendalian umum terhadap pelaksanaan Kemitraan.
|
||
|
|
|
||
BAGIAN KETIGA
PENGAWASAN KEMITRAAN Pasal 31 |
||||
(1)
|
KPPU melakukan pengawasan pelaksanaan Kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(2)
|
Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), KPPU berkoordinasi dengan instansi terkait.
|
|||
(3)
|
Ketentuan mengenai tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan KPPU.
|
|||
|
|
|||
BAGIAN KEEMPAT
TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 32 |
||||
(1)
|
Pengenaan sanksi administratif dilakukan terhadap Usaha Besar atau Usaha Menengah yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 berdasarkan inisiatif dari KPPU dan/atau laporan yang masuk ke KPPU oleh:
|
|||
|
a.
|
Usaha Mikro, Usaha Kecil, atau Usaha Menengah yang dirugikan atas pemilikan dan/atau penguasaan usahanya dalam hubungan Kemitraan dengan Usaha Besar;
|
||
|
b.
|
Usaha Mikro atau Usaha Kecil yang dirugikan atas pemilikan dan/atau penguasaan usahanya dalam hubungan Kemitraan dengan Usaha Menengah; atau
|
||
|
c.
|
orang yang mengetahui tentang dugaan pelanggaran pelaksanaan Kemitraan.
|
||
(2)
|
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis disertai bukti dan keterangan yang lengkap dan jelas.
|
|||
|
|
|||
Pasal 33 |
||||
(1)
|
Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 KPPU melakukan pemeriksaan pendahuluan.
|
|||
(2)
|
Dalam hal hasil pemeriksaan pendahuluan menyatakan adanya dugaan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, KPPU memberikan peringatan tertulis kepada pelaku usaha untuk melakukan perbaikan atas dugaan pelanggaran yang dilakukan.
|
|||
(3)
|
Pelaku usaha yang tidak mematuhi peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dalam tenggang waktu yang ditetapkan KPPU dan tetap tidak melakukan perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), proses dilanjutkan kepada acara pemeriksaan lanjutan.
|
|||
|
|
|||
Pasal 34 |
||||
(1)
|
Berdasarkan pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) KPPU dapat mengeluarkan putusan berupa pengenaan sanksi administratif kepada Usaha Besar atau Usaha Menengah yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.
|
|||
(2)
|
Dalam hal putusan KPPU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memerintahkan pencabutan Izin Usaha, Pejabat pemberi izin wajib mencabut Izin Usaha pelaku usaha yang bersangkutan dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.
|
|||
Pasal 35 |
||||
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanganan perkara atas dugaan pelanggaran berdasarkan inisiatif KPPU maupun laporan diatur dengan Peraturan KPPU.
|
||||
|
||||
BAB IV
PERIZINAN BAGIAN KESATU
BENTUK PERIZINAN
Pasal 36 |
||||
(1)
|
Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah dalam melakukan usahanya harus memiliki bukti legalitas usaha.
|
|||
(2)
|
Bukti legalitas usaha untuk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah diberikan dalam bentuk:
|
|||
|
a.
|
surat izin usaha;
|
||
|
b.
|
tanda bukti pendaftaran; atau
|
||
|
c.
|
tanda bukti pendataan.
|
||
(3)
|
Surat izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diberlakukan pada Usaha Kecil nonperseorangan dan Usaha Menengah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(4)
|
Tanda bukti pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diberlakukan pada Usaha Kecil perseorangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(5)
|
Tanda bukti pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c diberlakukan pada Usaha Mikro sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(6)
|
Bukti legalitas berupa surat izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat diberlakukan pada Usaha Mikro dan Usaha Kecil perseorangan apabila berhubungan dengan kriteria kesehatan, moral, kebudayaan, lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan nasional, serta kepentingan nasional lainnya yang diatur dengan Undang-Undang.
|
|||
|
|
|||
Pasal 37 |
||||
(1)
|
Pemberian Izin Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dilakukan terhadap Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah yang memenuhi persyaratan dan tata cara perizinan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(2)
|
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan kemudahan perizinan dengan cara memberikan keringanan persyaratan yang mudah dipenuhi oleh Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah yang dimiliki oleh orang perseorangan warga negara Indonesia dan badan hukum Indonesia.
|
|||
|
|
|||
BAGIAN KEDUA
PENYEDERHANAAN TATA CARA PERIZINAN Pasal 38 |
||||
(1)
|
Perizinan untuk Usaha Mikro, Usaha Kecil dan Usaha Menengah dilaksanakan dengan penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
|
|||
(2)
|
Penyelenggaraan pelayanan perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menerapkan prinsip penyederhanaan tata cara pelayanan dan jenis perizinan.
|
|||
|
|
|||
Pasal 39 |
||||
Penyederhanaan tata cara pelayanan dan jenis perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) meliputi:
|
||||
a.
|
percepatan waktu proses penyelesaian pelayanan tidak melebihi standar waktu yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;
|
|||
b.
|
kepastian biaya pelayanan;
|
|||
c.
|
kejelasan prosedur pelayanan yang dapat ditelusuri pada setiap tahapan proses perizinan;
|
|||
d.
|
mengurangi berkas kelengkapan permohonan perizinan yang sama untuk 2 (dua) atau lebih permohonan izin;
|
|||
e.
|
menghapus jenis perizinan tertentu; dan/atau
|
|||
f.
|
pemberian hak kepada masyarakat atas informasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan pelayanan.
|
|||
|
|
|||
BAGIAN KETIGA
TATA CARA PERMOHONAN IZIN USAHA Pasal 40 |
||||
(1)
|
Usaha Mikro, Usaha Kecil dan Usaha Menengah mengajukan permohonan Izin Usaha secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada Pejabat.
|
|||
(2)
|
Pejabat wajib memberi surat tanda terima kepada pemohon atau kuasanya apabila persyaratan dokumen permohonan Izin Usaha telah diterima secara lengkap sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Pejabat wajib memberikan Izin Usaha dalam jangka waktu sesuai standar waktu yang telah ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(4)
|
Dalam hal Pejabat menolak permohonan Izin Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penolakan wajib disampaikan secara tertulis kepada pemohon disertai alasan.
|
|||
(5)
|
Terhadap penolakan pemberian Izin Usaha, pemohon dapat mengajukan ulang permohonan Izin Usaha dengan melengkapi persyaratan yang menjadi alasan penolakan pemberian Izin Usaha.
|
|||
|
|
|||
Pasal 41 |
||||
Tata cara permohonan Izin Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
||||
Pasal 42 |
||||
Dalam hal hasil pemeriksaan dan/atau verifikasi menunjukkan bahwa pemohon sudah memenuhi persyaratan, Pejabat harus menerbitkan Izin Usaha.
|
||||
|
||||
Pasal 43 |
||||
Guna melindungi kepentingan pelaku Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah, dalam hal permohonan Izin Usaha ditolak, keputusan penolakan beserta alasan berikut berkas permohonannya harus disampaikan kembali kepada pemohon secara tertulis dalam jangka waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja, terhitung sejak permohonan Izin Usaha dinyatakan ditolak.
|
||||
|
||||
BAGIAN KEEMPAT
BIAYA PERIZINAN Pasal 44 |
||||
(1)
|
Pemerintah dan Pemerintah Daerah membebaskan biaya perizinan kepada Usaha Mikro dan memberikan keringanan biaya perizinan kepada Usaha Kecil.
|
|||
(2)
|
Besaran biaya perizinan untuk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah dan/atau Peraturan Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional dan daerah.
|
|||
(3)
|
Biaya yang berkaitan dengan dokumen persyaratan perizinan harus dalam satu paket biaya perizinan.
|
|||
|
|
|||
BAGIAN KELIMA
INFORMASI IZIN USAHA Pasal 45 |
||||
Pejabat pemberi Izin Usaha wajib menyampaikan informasi kepada Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah sebagai pemohon Izin Usaha mengenai:
|
||||
a.
|
persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemohon;
|
|||
b.
|
tata cara mengajukan permohonan Izin Usaha; dan
|
|||
c.
|
besarnya pungutan biaya dan/atau biaya administrasi.
|
|||
|
|
|||
Pasal 46 |
||||
(1)
|
Pejabat pemberi Izin Usaha wajib memiliki basis data dengan menggunakan sistem informasi manajemen yang disajikan secara manual dan/atau elektronik.
|
|||
(2)
|
Data dari setiap perizinan yang disediakan oleh Pejabat wajib disampaikan kepada satuan kerja pada setiap tingkatan pemerintahan yang terkait setiap bulan.
|
|||
|
|
|||
Pasal 47 |
||||
Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) wajib menyediakan dan menyebarkan informasi yang berkaitan dengan jenis pelayanan dan persyaratan teknis, mekanisme, penelusuran posisi dokumen pada setiap tahapan proses, biaya dan waktu perizinan, serta tata cara pengaduan, yang dilakukan secara jelas melalui berbagai media yang mudah diakses dan diketahui oleh Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah.
|
||||
|
||||
BAGIAN KEENAM
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 48 |
||||
Pembinaan dan pengawasan terhadap Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah yang telah memperoleh Izin Usaha dilakukan oleh Pejabat secara teratur dan berkesinambungan sesuai dengan kewenangannya.
|
||||
|
||||
Pasal 49 |
||||
Dalam rangka pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, pemegang Izin Usaha wajib:
|
||||
a.
|
menjalankan usahanya sesuai dengan Izin Usaha;
|
|||
b.
|
mematuhi ketentuan yang tercantum dalam Izin Usaha;
|
|||
c.
|
menyusun pembukuan kegiatan usaha; dan
|
|||
d.
|
melakukan kegiatan usaha dalam jangka waktu tertentu setelah Izin Usaha diterbitkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|||
Pasal 50 |
||||
Dalam rangka pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48, pemegang Izin Usaha berhak:
|
||||
a.
|
memperoleh kepastian dalam menjalankan usahanya; dan
|
|||
b.
|
mendapatkan pelayanan/pemberdayaan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
|
|||
|
|
|||
Pasal 51 |
||||
(1)
|
Izin Usaha yang telah diberikan dapat dicabut oleh Pejabat, apabila pemegang Izin Usaha tidak mentaati kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
|
|||
(2)
|
Pelaksanaan pencabutan Izin Usaha harus dilakukan dengan tahapan:
|
|||
|
a.
|
peringatan/teguran tertulis;
|
||
|
b.
|
dalam hal peringatan/teguran tertulis tidak diindahkan, dilanjutkan dengan pembekuan Izin Usaha sementara; dan
|
||
|
c.
|
apabila pembekuan sementara tidak diindahkan, dilanjutkan dengan pencabutan Izin Usaha.
|
||
|
|
|
||
BAB V
KOORDINASI DAN PENGENDALIAN PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH BAGIAN KESATU
LINGKUNGAN KOORDINASI Pasal 52 |
||||
Koordinasi dan pengendalian pemberdayaan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah dilaksanakan secara sistematis, sinkron, terpadu, berkelanjutan, dan dapat dipertanggungjawabkan untuk mewujudkan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah yang tangguh dan mandiri.
|
||||
|
||||
Pasal 53 |
||||
Koordinasi dan pengendalian pemberdayaan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah meliputi penyusunan dan pengintegrasian, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi terhadap:
|
||||
a.
|
peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam rangka menumbuhkan Iklim Usaha yang dapat memberikan kepastian dan keadilan berusaha dalam aspek pendanaan, sarana dan prasarana, informasi usaha, Kemitraan, perizinan usaha, kesempatan berusaha, promosi dagang, dan dukungan kelembagaan;
|
|||
b.
|
program pengembangan usaha yang diselenggarakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan masyarakat dalam bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, sumber daya manusia, desain dan teknologi;
|
|||
c.
|
program pengembangan di bidang Pembiayaan dan penjaminan; dan
|
|||
d.
|
penyelenggaraan Kemitraan usaha.
|
|||
|
|
|||
Bagian Kedua
Penyelenggaraan Koordinasi dan Pengendalian Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Pasal 54 |
||||
(1)
|
Menteri mengkoordinasikan dan mengendalikan pemberdayaan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah.
|
|||
(2)
|
Koordinasi dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan secara terpadu dengan Menteri Teknis/Kepala Lembaga Pemerintah Nonkementerian, gubernur, bupati/walikota, Dunia Usaha, dan masyarakat.
|
|||
|
|
|||
Pasal 55 |
||||
(1)
|
Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 mempunyai tugas:
|
|||
|
a.
|
menyiapkan, menyusun, menetapkan, dan/atau melaksanakan kebijakan umum secara nasional tentang penumbuhan Iklim Usaha, pengembangan usaha, Pembiayaan dan penjaminan, dan Kemitraan;
|
||
|
b.
|
memaduserasikan perencanaan nasional, sebagai dasar penyusunan kebijakan dan strategi pemberdayaan yang dijabarkan dalam program pembangunan daerah dan pembangunan sektoral;
|
||
|
c.
|
merumuskan kebijakan penanganan dan penyelesaian masalah yang timbul dalam penyelenggaraan pemberdayaan di tingkat nasional dan di daerah;
|
||
|
d.
|
menyusun pedoman penyelenggaraan pemberdayaan di daerah dengan memaduserasikan perencanaan pemberdayaan di tingkat nasional dengan di tingkat daerah;
|
||
|
e.
|
mengkoordinasikan dan memaduserasikan penyusunan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan lain dengan Undang-Undang;
|
||
|
f.
|
mengkoordinasikan pengembangan kelembagaan dan sumber daya manusia Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah;
|
||
|
g.
|
melakukan pemantauan pelaksanaan program:
|
||
|
|
1.
|
pengembangan usaha bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah yang diselenggarakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah, Dunia Usaha, dan masyarakat dalam bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, sumber daya manusia, desain dan teknologi;
|
|
|
|
2.
|
pengembangan di bidang Pembiayaan dan penjaminan bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah;
|
|
|
|
3.
|
pengembangan Kemitraan usaha.
|
|
|
h.
|
melakukan evaluasi pelaksanaan program:
|
||
|
|
1.
|
pengembangan usaha bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah yang diselenggarakan Pemerintah, Dunia Usaha, dan masyarakat dalam bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, sumber daya manusia, desain dan teknologi;
|
|
|
|
2.
|
pengembangan di bidang Pembiayaan dan penjaminan bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah;
|
|
|
|
3.
|
pengembangan Kemitraan usaha.
|
|
(2)
|
Menteri Teknis/Kepala Lembaga Nonkementerian mempunyai tugas:
|
|||
|
a.
|
menyusun kebijakan teknis pemberdayaan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah, berpedoman pada kebijakan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a;
|
||
|
b.
|
melaksanakan program pemberdayaan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah dengan berpedoman pada kebijakan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan kebijakan sektoral; dan
|
||
|
c.
|
menginformasikan hasil pemberdayaan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah kepada Menteri.
|
||
(3)
|
Gubernur dalam pemberdayaan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah mempunyai tugas:
|
|||
|
a.
|
menyusun, menyiapkan, menetapkan, dan/atau melaksanakan kebijakan umum di daerah provinsi tentang penumbuhan Iklim Usaha, pengembangan usaha, Pembiayaan dan penjaminan, dan Kemitraan;
|
||
|
b.
|
memaduserasikan perencanaan daerah, sebagai dasar penyusunan kebijakan dan strategi pemberdayaan yang dijabarkan dalam program daerah provinsi;
|
||
|
c.
|
menyelesaikan masalah yang timbul dalam penyelenggaraan pemberdayaan di daerah provinsi;
|
||
|
d.
|
memaduserasikan penyusunan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di daerah provinsi dengan Undang-Undang;
|
||
|
e.
|
menyelenggarakan kebijakan dan program pengembangan usaha, Pembiayaan dan penjaminan, dan Kemitraan pada daerah provinsi;
|
||
|
f.
|
mengkoordinasikan pengembangan kelembagaan dan sumber daya manusia Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah di daerah provinsi;
|
||
|
g.
|
melakukan pemantauan pelaksanaan program:
|
||
|
|
1.
|
pengembangan usaha bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah yang diselenggarakan pemerintah provinsi, Dunia Usaha, dan masyarakat dalam bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, sumber daya manusia, desain dan teknologi;
|
|
|
|
2.
|
pengembangan di bidang Pembiayaan dan penjaminan bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah;
|
|
|
|
3.
|
pengembangan Kemitraan usaha.
|
|
|
h.
|
melakukan evaluasi pelaksanaan program:
|
||
|
|
1.
|
pengembangan usaha bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah yang diselenggarakan pemerintah provinsi, Dunia Usaha, dan masyarakat dalam bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, sumber daya manusia, desain dan teknologi;
|
|
|
|
2.
|
pengembangan di bidang Pembiayaan dan penjaminan bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah.
|
|
|
|
3.
|
pengembangan Kemitraan usaha.
|
|
|
i.
|
menginformasikan dan menyampaikan hasil pemberdayaan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah kepada Menteri.
|
||
(4)
|
Bupati/Walikota dalam pemberdayaan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah mempunyai tugas meliputi:
|
|||
|
a.
|
menyusun, menyiapkan, menetapkan, dan/atau melaksanakan kebijakan umum di daerah kabupaten/kota tentang penumbuhan Iklim Usaha, pengembangan usaha, Pembiayaan dan penjaminan, dan Kemitraan;
|
||
|
b.
|
memaduserasikan perencanaan daerah, sebagai dasar penyusunan kebijakan dan strategi pemberdayaan yang dijabarkan dalam program daerah kabupaten/kota;
|
||
|
c.
|
merumuskan kebijakan penanganan dan penyelesaian masalah yang timbul dalam penyelenggaraan pemberdayaan di daerah kabupaten/kota;
|
||
|
d.
|
memaduserasikan penyusunan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di daerah kabupaten/kota dengan Undang-Undang;
|
||
|
e.
|
menyelenggarakan kebijakan dan program pengembangan usaha, Pembiayaan dan penjaminan, dan Kemitraan pada daerah kabupaten/kota;
|
||
|
f.
|
mengkoordinasikan pengembangan kelembagaan dan sumber daya manusia Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah di daerah kabupaten/kota;
|
||
|
g.
|
melakukan pemantauan pelaksanaan program:
|
||
|
|
1.
|
pengembangan usaha bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah yang diselenggarakan pemerintah kabupaten/kota, Dunia Usaha dan masyarakat dalam bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, sumberdaya manusia, desain dan teknologi;
|
|
|
|
2.
|
pengembangan di bidang Pembiayaan dan penjaminan bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah;
|
|
|
|
3.
|
pengembangan Kemitraan usaha.
|
|
|
h.
|
melakukan evaluasi pelaksanaan program:
|
||
|
|
1.
|
pengembangan usaha bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah yang diselenggarakan pemerintah kabupaten/kota, Dunia Usaha dan masyarakat dalam bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, sumberdaya manusia, desain dan teknologi;
|
|
|
|
2.
|
pengembangan di bidang Pembiayaan dan penjaminan bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah;
|
|
|
|
3.
|
pengembangan Kemitraan usaha.
|
|
|
i.
|
menginformasikan dan menyampaikan secara berkala hasil pemberdayaan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah kepada Menteri dan gubernur.
|
||
|
|
|
||
Pasal 56 |
||||
Menteri melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya kepada Presiden secara berkala sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun dengan tembusan kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.
|
||||
|
||||
Pasal 57 |
||||
(1)
|
Dunia Usaha dan masyarakat berperan serta secara aktif dalam perumusan kebijakan, penyelenggaraan, pemantauan dan evaluasi pemberdayaan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
|
|||
(2)
|
Dunia Usaha dan masyarakat yang melakukan program pengembangan usaha, Pembiayaan dan penjaminan serta Kemitraan, menginformasikan dan menyampaikan rencana, pelaksanaan, dan hasil penyelenggaraan programnya kepada Menteri.
|
|||
(3)
|
Ketentuan mengenai peran serta Dunia Usaha dan masyarakat dalam koordinasi pemberdayaan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah diatur dengan Peraturan Menteri.
|
|||
|
|
|||
BAGIAN KETIGA
MEKANISME KOORDINASI DAN PENGENDALIAN Pasal 58 |
||||
Koordinasi dan pengendalian pemberdayaan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah dilakukan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
|
||||
|
||||
Pasal 59 |
||||
(1)
|
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1), Menteri melakukan:
|
|||
|
a.
|
rapat koordinasi dan pengendalian perencanaan dan pelaksanaan kebijakan dan program pemberdayaan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota yang dilaksanakan sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun yang dihadiri oleh Menteri, Menteri Teknis/Kepala Lembaga Pemerintah Nonkementerian, gubernur, bupati/walikota, Dunia Usaha, dan masyarakat;
|
||
|
b.
|
pertukaran data dan informasi perencanaan dan pelaksanaan program di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota;
|
||
|
c.
|
pelaporan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program pemberdayaan oleh pelaksana program di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; dan
|
||
|
d.
|
konsultasi antar instansi Pemerintah di tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, dan antara unsur pemerintahan dengan Dunia Usaha dan masyarakat.
|
||
(2)
|
Hasil koordinasi dan pengendalian kebijakan umum dan program/kegiatan, pelaksanaan program/kegiatan, pemantauan dan evaluasi pemberdayaan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah tingkat nasional menjadi masukan untuk pelaksanaan program di tingkat nasional, tingkat provinsi, dan tingkat kabupaten/kota.
|
|||
|
|
|||
Pasal 60 |
||||
Biaya pelaksanaan koordinasi dan pengendalian dibebankan pada anggaran Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, kementerian teknis/lembaga pemerintah nonkementerian dan/atau sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
||||
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN Pasal 61 |
||||
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah yang telah melakukan aktivitas usaha dan belum memiliki perizinan usaha, dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun harus melakukan pengurusan perizinan usaha.
|
||||
|
||||
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP Pasal 62 |
||||
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
|
||||
a.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1998 Tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3743); dan
|
|||
b.
|
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 91, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3718);
|
|||
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
|
||||
|
||||
Pasal 63 |
||||
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, peraturan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1998 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil dan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.
|
||||
|
||||
Pasal 64 |
||||
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
|
||||
|
||||
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
|
||||
|
||||
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Maret 2013 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 Maret 2013 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, ttd.
AMIR SYAMSUDIN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 40
|
||||
PENJELASANATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 2013
TENTANG
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2008
TENTANG USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
I. | UMUM | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah mengamanatkan kepada Pemerintah untuk menerbitkan peraturan pelaksanaan atas ketentuan Pasal 12 ayat (2), Pasal 16 ayat (3), Pasal 37, Pasal 38 ayat (3), dan Pasal 39 ayat (3) dalam Peraturan Pemerintah. Materi muatan Undang-Undang tersebut pada hakekatnya sudah cukup jelas, lengkap dan dapat diterapkan, namun mengingat perlunya kejelasan atas beberapa aspek guna lebih menjamin efektivitas pelaksanaan Undang-Undang tersebut agar berjalan sesuai dengan harapan masyarakat, maka diperlukan pengaturan dengan ruang lingkup pengembangan usaha, Kemitraan, perizinan, dan koordinasi dan pengendalian.
Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah merupakan kegiatan usaha yang mampu memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan ekonomi secara luas kepada masyarakat, dan dapat berperan dalam proses pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan berperan dalam mewujudkan stabilitas nasional. Selain itu, Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah adalah salah satu pilar utama ekonomi nasional yang harus memperoleh kesempatan utama, dukungan, perlindungan, dan pengembangan seluas-luasnya sebagai wujud keberpihakan yang tegas kepada usaha ekonomi rakyat, seperti halnya pada aktivitas industri rumahan dan kelompok usaha bersama dengan tidak mengabaikan peranan Usaha Besar dan Badan Usaha Milik Negara.
Dengan mempertimbangkan hal tersebut di atas, dan untuk memberdayakan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah dalam upaya meningkatkan kemampuan dan kualitas usahanya, keberpihakan untuk lebih memberikan perlindungan dan kepastian usaha serta untuk menjadi panduan bagi Pemerintah, Pemerintah Daerah, Dunia Usaha dan masyarakat, maka perlu disusun Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
II. | PASAL DEMI PASAL | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Ayat (1)
Pengembangan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah dimaksudkan untuk mewujudkan Usaha Mikro menjadi Usaha Kecil, Usaha Kecil menjadi Usaha Menengah, dan Usaha Menengah menjadi Usaha Besar yang tangguh dan mandiri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud “sentra” adalah suatu kawasan atau lokasi tertentu dimana terdapat sejumlah Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah yang menggunakan bahan baku atau sarana yang sama, menghasilkan produk yang sama atau sejenis, serta memiliki prospek sebagai pusat pengembangan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah.
Contoh: sentra anyaman bambu, sentra mebel, sentra industri sepatu, sentra perikanan, sentra sutera alam, sentra batik tenun, sentra songket, dan sentra ulos.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "klaster" adalah kelompok atau gugus usaha yang saling berkaitan dan potensial terjadi sinergi diantara mereka dalam proses saling belajar, pemanfaatan fasilitas, akses pengembangan dan pemanfaatan sumber daya (informasi, teknologi, bahan baku, modal, dan pasar).
Huruf d
Yang dimaksud dengan "kelompok" adalah kumpulan yang dibentuk oleh Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah atas dasar kebutuhan bersama dan berada dalam satu hamparan atau domisili yang mempunyai struktur organisasi.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "tingkat perkembangan usaha" adalah tingkat perubahan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah berdasarkan kriteria kekayaan bersih dan/atau hasil penjualan atau berdasarkan siklus/daur hidup usaha.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "pendekatan pengembangan" adalah pilihan satu atau beberapa pendekatan pengembangan yaitu pendekatan koperasi, sentra, klaster, dan kelompok.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ketentuan ini dimaksudkan agar terdapat sinergi pengembangan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah antara Dunia Usaha dan masyarakat dengan Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dasar dari prinsip Kemitraan antar Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah dan Kemitraan antara Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah dengan Usaha Besar adalah kerjasama ekonomi dan/atau usaha (bisnis). Kerjasama ekonomi dan/atau usaha (bisnis) tersebut merupakan suatu bentuk keterkaitan usaha baik langsung maupun tidak langsung yang secara alami saling membutuhkan, saling mempercayai, saling memperkuat, dan saling memetik keuntungan
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "setara" adalah para pihak yang mengikat perjanjian Kemitraan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan hak dan kewajiban yang patut dilaksanakan sebagaimana diatur dalam perjanjian.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "inti-plasma" adalah Kemitraan yang dilakukan dengan cara Usaha Besar sebagai inti berperan menyediakan input, membeli hasil produksi plasma, dan melakukan proses produksi untuk menghasilkan komoditas tertentu, dan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah sebagai plasma memasok/menyediakan/menghasilkan/menjual barang atau jasa yang dibutuhkan oleh inti.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "subkontrak" adalah Kemitraan yang dilakukan antara pihak penerima subkontrak untuk memproduksi barang dan/atau jasa yang dibutuhkan Usaha Besar sebagai kontraktor utama disertai dukungan kelancaran dalam mengerjakan sebagian produksi dan/atau komponen, kelancaran memperoleh bahan baku, pengetahuan teknis produksi, teknologi, Pembiayaan, dan sistem pembayaran.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "waralaba" adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "perdagangan umum" adalah Kemitraan yang dilakukan dalam bentuk kerjasama pemasaran, penyediaan lokasi usaha, atau penerimaan pasokan/penyediaan barang atau jasa dari Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah oleh Usaha Besar, yang dilakukan secara terbuka.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "distribusi dan keagenan" adalah Kemitraan yang dilakukan dengan cara Usaha Besar atau Usaha Menengah memberikan hak khusus untuk memasarkan barang dan/jasa kepada Usaha Mikro dan Usaha Kecil.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "bagi hasil" adalah Kemitraan yang dilakukan oleh Usaha Besar atau Usaha Menengah dengan Usaha Mikro dan Usaha Kecil, yang pembagian hasilnya dihitung dari hasil bersih usaha dan apabila mengalami kerugian ditanggung bersama berdasarkan perjanjian tertulis.
Huruf g
Yang dimaksud dengan "kerja sama operasional" adalah Kemitraan yang dilakukan Usaha Besar atau Usaha Menengah dengan cara bekerjasama dengan Usaha Kecil dan/atau Usaha Mikro untuk melakukan suatu usaha bersama dengan menggunakan aset dan/atau hak usaha yang dimiliki dan secara bersama menanggung risiko usaha.
Huruf h
Yang dimaksud dengan "usaha patungan (joint venture)" adalah Kemitraan yang dilakukan dengan cara Usaha Mikro dan Usaha Kecil Indonesia bekerjasama dengan Usaha Menengah dan Usaha Besar asing untuk menjalankan aktivitas ekonomi bersama yang masing-masing pihak memberikan kontribusi modal saham dengan mendirikan badan hukum perseroan terbatas dan berbagi secara adil terhadap keuntungan dan/atau risiko perusahaan.
Huruf i
Yang dimaksud dengan "penyumberluaran (outsourcing)" adalah Kemitraan yang dilaksanakan dalam pengadaan/penyediaan jasa pekerjaan/bagian pekerjaan tertentu yang bukan merupakan pekerjaan pokok dan/atau bukan komponen pokok pada suatu bidang usaha dari Usaha Besar dan Usaha Menengah oleh Usaha Mikro dan Usaha Kecil.
Huruf j
Yang dimaksud dengan "bentuk Kemitraan lainnya" adalah Kemitraan yang berkembang di masyarakat dan Dunia Usaha seiring dengan kemajuan dan kebutuhan, atau yang telah terjadi di masyarakat.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 12
Huruf a
Yang dimaksud dengan "memiliki dan/atau menguasai Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan/atau Usaha Menengah" adalah kondisi dimana Usaha Besar mempunyai sebagian besar atau seluruh saham, modal, aset Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah atau menguasai pengambilan keputusan terhadap Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah yang menjadi mitranya.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "memiliki dan/atau menguasai Usaha Mikro dan/atau Usaha Kecil" adalah kondisi dimana Usaha Menengah mempunyai sebagian besar atau seluruh saham, modal, aset Usaha Mikro dan Usaha Kecil atau menguasai pengambilan keputusan terhadap Usaha Mikro dan Usaha Kecil yang menjadi mitranya.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Unsur penting dari pola Kemitraan subkontrak yaitu yang memiliki nilai strategis, memproduksi satu atau lebih komponen yang diperlukan dalam kegiatan produksi, adanya spesifikasi teknis, standar mutu, volume, harga dan waktu penyerahan, dan sistem pembayaran.
Tujuan Kemitraan subkontrak antara lain:
Pasal 15
Dalam pola Kemitraan waralaba bidang dan jenis usaha yang merupakan prioritas pengembangan usaha mencakup bidang:
Pola Kemitraan waralaba pelaku utamanya adalah Usaha Besar atau Usaha Menengah sebagai pemberi waralaba (pewaralaba) dan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah sebagai penerima waralaba (terwaralaba).
Pemberi waralaba dan penerima waralaba mengutamakan penggunaan barang dan/atau bahan hasil produksi dalam negeri sepanjang memenuhi standar mutu barang dan jasa yang disediakan dan/atau dijual berdasarkan perjanjian waralaba.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Unsur penting dari pola Kemitraan kerja sama operasional adalah adanya para pihak yang melakukan perjanjian untuk membangun, menyediakan, mengoperasionalkan aset/fasilitas selama masa produktif aset/fasilitas, memberikan pembinaan teknis produksi dan manajerial kepada Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah, dan melakukan serah terima aset/fasilitas pada akhir masa kerja sama operasional.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "perjanjian Kemitraan" adalah perjanjian yang dituangkan dalam akta otentik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan "hak dan kewajiban masing-masing pihak" adalah termasuk sistem pembayaran.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "surat izin usaha" adalah surat izin usaha yang diterbitkan oleh Pejabat yang berwenang kepada Usaha Kecil nonperseorangan dan/atau Usaha Menengah.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "tanda bukti pendaftaran" adalah tanda bukti mendaftar kepada instansi yang berwenang oleh Usaha Kecil perseorangan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "tanda bukti pendataan" adalah tanda bukti identifikasi dan pendataan oleh instansi yang berwenang kepada Usaha Mikro.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pelayanan terpadu satu pintu" adalah proses pengelolaan perizinan usaha yang dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen, dilakukan dalam satu tempat berdasarkan prinsip pelayanan sebagai berikut:
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Persyaratan dokumen permohonan Izin Usaha sekurang-kurangnya meliputi:
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "Peraturan Pemerintah" adalah Peraturan Pemerintah tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, sedangkan yang dimaksud dengan Peraturan Daerah adalah Peraturan Daerah tentang Pajak dan Retribusi Daerah.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "satu paket biaya perizinan" adalah satuan biaya resmi yang dipungut dalam pengurusan persyaratan pengajuan perizinan dengan biaya perizinan itu sendiri. Sehingga biaya yang menjadi beban pengurusan perizinan menjadi lebih mudah, murah, cepat, dan pasti.
Pasal 45
Informasi yang disampaikan oleh Pejabat pemberi Izin Usaha dapat pula berupa informasi tentang tingkat kejenuhan dari usaha yang akan dilakukan oleh Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "pembukuan kegiatan usaha" adalah termasuk laporan keuangan yang memisahkan antara harta usaha dan harta bukan usaha.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "penjaminan" adalah termasuk penjaminan kredit.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Koordinasi dan pengendalian pemberdayaan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah dilakukan secara vertikal antara Pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota, dan secara horizontal antara kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian dan/atau Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di tingkat provinsi dan/atau Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di tingkat kabupaten/kota.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Bahwa untuk terwujudnya proses pengurusan perizinan usaha, Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengambil inisiatif percepatan pemenuhan perizinan usaha bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah.
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 540 |