Quick Guide
Hide Quick Guide
Aktifkan Mode Highlight
Premium
Premium
File Lampiran
Peraturan Terkait
IDN
ENG
Fitur Terjemahan
Premium
Premium
Bagikan
Tambahkan ke My Favorites
Download as PDF
Download Document
Premium
Premium
Status : Perubahan atau penyempurnaan
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
|
||||
|
|
|
|
|
Menimbang |
||||
a.
|
bahwa untuk mewujudkan Ibu Kota Nusantara sebagai kota berkelanjutan di dunia, penggerak ekonomi Indonesia di masa depan, dan sebagai simbol identitas nasional sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara, perlu dilakukan percepatan pembangunan dan pengembangan Ibu Kota Nusantara yang merupakan skala prioritas tinggi serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional;
|
|||
b.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu memberikan kebijakan khusus pemberian perizinan berusaha, kemudahan berusaha, dan fasilitas penanaman modal kepada pelaku usaha yang melakukan investasi dan kegiatan ekonomi dan/atau membiayai pembangunan dan pengembangan Ibu Kota Nusantara dan/atau daerah mitra;
|
|||
c.
|
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pemberian Perizinan Berusaha, Kemudahan Berusaha, dan Fasilitas Penanaman Modal bagi Pelaku Usaha di Ibu Kota Nusantara;
|
|||
|
|
|
|
|
Mengingat |
||||
1.
|
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
|
|||
2.
|
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841);
|
|||
3.
|
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841);
|
|||
4.
|
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
|
|||
5.
|
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841);
|
|||
6.
|
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6766);
|
|||
|
|
|
|
|
MEMUTUSKAN:
|
||||
Menetapkan |
||||
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEMBERIAN PERIZINAN BERUSAHA, KEMUDAHAN BERUSAHA, DAN FASILITAS PENANAMAN MODAL BAGI PELAKU USAHA DI IBU KOTA NUSANTARA.
|
||||
|
|
|
|
|
BAB I
KETENTUAN UMUM Pasal 1 |
||||
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
|
||||
1.
|
Penanaman Modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
|
|||
2.
|
Ibu Kota Negara bernama Nusantara dan selanjutnya disebut Ibu Kota Nusantara adalah satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus setingkat provinsi yang wilayahnya menjadi tempat kedudukan Ibu Kota Negara.
|
|||
3.
|
Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara yang selanjutnya disebut Kepala Otorita adalah kepala Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara.
|
|||
4.
|
Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara yang selanjutnya disebut Otorita Ibu Kota Nusantara adalah pelaksana kegiatan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggara Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara.
|
|||
5.
|
Rencana Induk Ibu Kota Nusantara adalah dokumen perencanaan terpadu dalam melaksanakan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara.
|
|||
6.
|
Kawasan Strategis Nasional Ibu Kota Nusantara yang selanjutnya disebut KSN Ibu Kota Nusantara adalah kawasan khusus yang cakupan wilayah dan fungsinya ditetapkan dan diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Ibu Kota Negara.
|
|||
7.
|
Daerah Mitra adalah kawasan tertentu di Pulau Kalimantan yang dibentuk untuk pembangunan dan pengembangan superhub ekonomi Ibu Kota Nusantara, yang bekerja sama dengan Otorita Ibu Kota Nusantara, dan ditetapkan melalui Keputusan Kepala Otorita.
|
|||
8.
|
Aset Dalam Penguasaan Otorita Ibu Kota Nusantara yang selanjutnya disebut ADP adalah tanah di wilayah Ibu Kota Nusantara yang tidak terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan.
|
|||
9.
|
Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu.
|
|||
10.
|
Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya.
|
|||
11.
|
Fasilitas Penanaman Modal adalah segala bentuk insentif fiskal dan non fiskal serta kemudahan pelayanan Penanaman Modal, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
12.
|
Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik (Online Single Submission) yang selanjutnya disebut Sistem OSS adalah sistem elektronik terintegrasi yang dikelola dan diselenggarakan oleh Lembaga OSS untuk penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
|
|||
13.
|
Hak Atas Tanah yang selanjutnya disingkat HAT adalah hak yang diperoleh dari hubungan hukum antara pihak yang berhak dengan tanah, termasuk ruang di atas tanah, dan/atau ruang di bawah tanah untuk menguasai, memiliki, menggunakan, dan memanfaatkan, serta memelihara tanah, ruang di atas tanah, dan/atau ruang di bawah tanah.
|
|||
14.
|
Hak Guna Usaha yang selanjutnya disingkat HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan.
|
|||
15.
|
Hak Guna Bangunan yang selanjutnya disingkat HGB adalah hak untuk mendirikan bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri.
|
|||
16.
|
Hak Pengelolaan yang selanjutnya disebut HPL adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang Hak Pengelolaan.
|
|||
17.
|
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
|
|||
18.
|
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
|
|||
19.
|
Pusat Keuangan yang selanjutnya disebut Financial Center adalah area yang ditetapkan sebagai konsentrasi layanan jasa keuangan serta pusat pengembangan teknologi dan layanan pendukung bidang jasa keuangan.
|
|||
20.
|
Fasilitas Pajak Dalam Rangka Impor yang selanjutnya disebut Fasilitas PDRI adalah kemudahan pajak berupa Pajak Pertambahan Nilai impor tidak dipungut dan pembebasan pemungutan Pajak Penghasilan dalam rangka impor.
|
|||
21.
|
Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah Pajak Penghasilan yang dipotong berdasarkan ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 2 |
||||
(1)
|
Peraturan Pemerintah ini bertujuan untuk memberikan kepastian, kesempatan, dan partisipasi yang lebih besar kepada Pelaku Usaha dalam rangka percepatan pembangunan di Ibu Kota Nusantara.
|
|||
(2)
|
Dalam rangka percepatan pembangunan di Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otorita Ibu Kota Nusantara berdasarkan kriteria dan sesuai dengan rencana detail tata ruang Ibu Kota Nusantara dan Rencana Induk Ibu Kota Nusantara menetapkan Daerah Mitra.
|
|||
(3)
|
Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha di Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau kegiatan usaha di Daerah Mitra sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan Perizinan Berusaha, kemudahan berusaha, dan Fasilitas Penanaman Modal.
|
|||
(4)
|
Kegiatan usaha yang diberikan Perizinan Berusaha, kemudahan berusaha, dan Fasilitas Penanaman Modal, di Daerah Mitra sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Kepala Otorita.
|
|||
(5)
|
Pemberian fasilitas fiskal yang menjadi kewenangan pemerintah daerah di Daerah Mitra dikoordinasikan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara dengan pemerintah daerah di Daerah Mitra.
|
|||
(6)
|
Pemberian fasilitas fiskal yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dikoordinasikan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara dengan pemerintah pusat.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 3 |
||||
Lingkup pengaturan Peraturan Pemerintah meliputi:
|
||||
a.
|
Perizinan Berusaha;
|
|||
b.
|
kemudahan berusaha;
|
|||
c.
|
Fasilitas Penanaman Modal;
|
|||
d.
|
pengawasan; dan
|
|||
e.
|
evaluasi.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB II
PERIZINAN BERUSAHA Bagian Kesatu
Umum
Pasal 4 |
||||
(1)
|
Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a diberikan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara sesuai dengan kewenangannya kepada Pelaku Usaha yang akan memulai dan melakukan kegiatan usaha di Ibu Kota Nusantara dan Daerah Mitra.
|
|||
(2)
|
Pelaku Usaha yang akan memulai dan melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipersyaratkan konfirmasi status Wajib Pajak.
|
|||
(3)
|
Perizinan Berusaha di Ibu Kota Nusantara dan di Daerah Mitra sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terintegrasi melalui Sistem OSS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 5 |
||||
Perizinan Berusaha di Ibu Kota Nusantara dan Daerah Mitra sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, tidak diberlakukan ketentuan mengenai persyaratan pembatasan kepemilikan modal asing pada bidang usaha tertentu.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 6 |
||||
Perizinan Berusaha di Ibu Kota Nusantara dan Daerah Mitra sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diberlakukan persyaratan kemitraan dengan usaha mikro, kecil, menengah, atau koperasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 7 |
||||
Pelaku Usaha yang akan memulai dan melakukan kegiatan usaha di Ibu Kota Nusantara dan Daerah Mitra sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus memenuhi:
|
||||
a.
|
persyaratan dasar Perizinan Berusaha; dan/atau
|
|||
b.
|
Perizinan Berusaha sektor.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Persyaratan Dasar Perizinan Berusaha Pasal 8 |
||||
Persyaratan dasar Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a meliputi:
|
||||
a.
|
kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang;
|
|||
b.
|
persetujuan lingkungan; dan
|
|||
c.
|
persetujuan bangunan gedung dan sertifikat laik fungsi.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 9 |
||||
(1)
|
Kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a merupakan kesesuaian rencana kegiatan usaha dengan rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi.
|
|||
(2)
|
Kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara kepada Pelaku Usaha yang memiliki lokasi usaha sesuai dengan rencana detail tata ruang Ibu Kota Nusantara.
|
|||
(3)
|
Dalam hal rencana detail tata ruang Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum ditetapkan oleh Kepala Otorita, pemberian kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang dilakukan berdasarkan rencana tata ruang KSN Ibu Kota Nusantara, rencana tata ruang Pulau Kalimantan, rencana zonasi kawasan antarwilayah Selat Makassar, atau rencana tata ruang wilayah Nasional.
|
|||
(4)
|
Otorita Ibu Kota Nusantara harus menyusun dan menyediakan rencana detail tata ruang Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam bentuk digital dan sesuai standar.
|
|||
(5)
|
Dalam kondisi tertentu rencana detail tata ruang Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilakukan peninjauan kembali dengan tetap memperhatikan rencana tata ruang KSN Ibu Kota Nusantara dan Rencana Induk Ibu Kota Nusantara.
|
|||
(6)
|
Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 10 |
||||
(1)
|
Persetujuan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b mengacu pada analisis mengenai dampak lingkungan kawasan Ibu Kota Nusantara.
|
|||
(2)
|
Dalam hal Pelaku Usaha melaksanakan kegiatan usaha yang memiliki dampak penting terhadap lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup, Pelaku Usaha wajib menyampaikan rencana pengelolaan lingkungan hidup rinci dan rencana pemantauan lingkungan hidup rinci.
|
|||
(3)
|
Pemberian persetujuan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 11 |
||||
(1)
|
Persetujuan bangunan gedung dan sertifikat laik fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c diberikan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara kepada Pelaku Usaha yang telah mendapatkan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan persetujuan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.
|
|||
(2)
|
Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara paralel dapat melakukan pembangunan konstruksi, sesuai gambar konstruksi yang disampaikan kepada Otorita Ibu Kota Nusantara, dan pengurusan persetujuan bangunan gedung.
|
|||
(3)
|
Pemberian persetujuan bangunan gedung dan sertifikat laik fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan biaya Rp0,00 (nol rupiah) untuk jangka waktu tertentu.
|
|||
(4)
|
Jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Kepala Otorita.
|
|||
(5)
|
Jangka waktu berlakunya sertifikat laik fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan selama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang sesuai dengan kelaikan fungsi bangunan gedung.
|
|||
(6)
|
Perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan berdasarkan evaluasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang bangunan gedung.
|
|||
(7)
|
Pemberian persetujuan bangunan gedung dan sertifikat laik fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Perizinan Berusaha Sektor Pasal 12 |
||||
Perizinan Berusaha sektor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b terdiri atas sektor:
|
||||
a.
|
kelautan dan perikanan;
|
|||
b.
|
pertanian;
|
|||
c.
|
lingkungan hidup dan kehutanan;
|
|||
d.
|
energi dan sumber daya mineral;
|
|||
e.
|
ketenaganukliran;
|
|||
f.
|
perindustrian;
|
|||
g.
|
perdagangan;
|
|||
h.
|
pekerjaan umum dan perumahan rakyat;
|
|||
i.
|
transportasi;
|
|||
j.
|
kesehatan, obat, dan makanan;
|
|||
k.
|
pendidikan dan kebudayaan;
|
|||
l.
|
pariwisata;
|
|||
m.
|
keagamaan;
|
|||
n.
|
pos, telekomunikasi, penyiaran, serta sistem dan transaksi elektronik;
|
|||
o.
|
pertahanan dan keamanan;
|
|||
p.
|
ketenagakerjaan;
|
|||
q.
|
keuangan; dan
|
|||
r.
|
sektor lain yang menjadi prioritas yang ditetapkan oleh Kepala Otorita.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Verifikasi Pasal 13 |
||||
(1)
|
Verifikasi dalam proses pemberian persetujuan persyaratan dasar Perizinan Berusaha dan/atau Perizinan Berusaha sektor untuk tingkatan risiko tertentu di Ibu Kota Nusantara dilakukan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara.
|
|||
(2)
|
Otorita Ibu Kota Nusantara dalam melakukan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menugaskan lembaga atau profesi ahli yang bersertifikat atau terakreditasi.
|
|||
(3)
|
Sumber pendanaan atas penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibebankan pada:
|
|||
|
a.
|
anggaran pendapatan dan belanja negara; dan/atau
|
||
|
b.
|
sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 14 |
||||
(1)
|
Berdasarkan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Otorita Ibu Kota Nusantara memberikan persetujuan Perizinan Berusaha kepada Pelaku Usaha.
|
|||
(2)
|
Pelaku Usaha yang sudah mendapatkan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan laporan dalam bentuk laporan kegiatan Penanaman Modal melalui Sistem OSS.
|
|||
(3)
|
Tata cara penyampaian laporan kegiatan Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Penanaman Modal.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 15 |
||||
Untuk mendukung percepatan pemberian persetujuan persyaratan dasar Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a dan/atau Perizinan Berusaha sektor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b dapat dilakukan penyederhanaan dan modernisasi sistem Perizinan Berusaha.
|
||||
|
|
|
|
|
BAB III
KEMUDAHAN BERUSAHA Bagian Kesatu Pemberian HAT Pasal 16 |
||||
(1)
|
Tanah di Ibu Kota Nusantara ditetapkan sebagai:
|
|||
|
a.
|
barang milik negara; dan
|
||
|
b.
|
ADP.
|
||
(2)
|
Tanah yang ditetapkan sebagai barang milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a pelaksanaan pengelolaannya dilakukan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(3)
|
Tanah yang ditetapkan sebagai ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan kepada Otorita Ibu Kota Nusantara dengan HPL.
|
|||
(4)
|
Tanah yang diberikan HPL sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pelaksanaan pengelolaannya dilakukan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara sesuai dengan kewenangannya.
|
|||
(5)
|
Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berwenang untuk melakukan:
|
|||
|
a.
|
pengalokasian;
|
||
|
b.
|
penggunaan;
|
||
|
c.
|
pemanfaatan;
|
||
|
d.
|
pengalihan; dan/atau
|
||
|
e.
|
pelepasan dan penghapusan,
|
||
aset atas bagian tanah HPL. | ||||
|
|
|
|
|
Pasal 17 |
||||
(1)
|
Tanah yang dialokasikan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara kepada Pelaku Usaha dapat diberikan HAT berupa:
|
|||
|
a.
|
HGU;
|
||
|
b.
|
HGB; atau
|
||
|
c.
|
hak pakai,
|
||
|
sesuai dengan peruntukan kegiatan usaha.
|
|||
(2)
|
Pengalokasian bagian tanah HPL kepada Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam bentuk perjanjian antara Otorita Ibu Kota Nusantara dengan Pelaku Usaha.
|
|||
(3)
|
Otorita Ibu Kota Nusantara memberikan jaminan kepastian jangka waktu HGU, HGB, atau hak pakai kepada Pelaku Usaha yang dimuat dalam perjanjian.
|
|||
(4)
|
Dalam hal Otorita Ibu Kota Nusantara mengalokasikan bagian tanah HPL kepada Pelaku Usaha, maka:
|
|||
|
a.
|
status tanahnya tetap menjadi aset dalam pengelolaan Otorita Ibu Kota Nusantara; dan
|
||
|
b.
|
HAT di atas HPL didaftarkan atas nama Pelaku Usaha.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 18 |
||||
(1)
|
Jangka waktu HGU di atas HPL Otorita Ibu Kota Nusantara diberikan paling lama 95 (sembilan puluh lima) tahun melalui 1 (satu) siklus pertama dengan tahapan:
|
|||
|
a.
|
pemberian hak, paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun;
|
||
|
b.
|
perpanjangan hak, paling lama 25 (dua puluh lima) tahun; dan
|
||
|
c.
|
pembaruan hak, paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun.
|
||
(2)
|
HGU yang diberikan untuk 1 (satu) siklus pertama dengan jangka waktu paling lama 95 (sembilan puluh lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam keputusan pemberian hak dan dicatat dalam sertipikat HGU.
|
|||
(3)
|
Perpanjangan dan pembaruan HGU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c diberikan sekaligus setelah 5 (lima) tahun HGU digunakan dan/atau dimanfaatkan secara efektif sesuai dengan tujuan pemberian haknya.
|
|||
(4)
|
Dalam tenggang waktu 10 (sepuluh) tahun sebelum HGU siklus pertama berakhir, Pelaku Usaha dapat mengajukan permohonan pemberian kembali HGU untuk 1 (satu) siklus kedua dengan jangka waktu paling lama 95 (sembilan puluh lima) tahun sesuai dengan perjanjian pemanfaatan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2).
|
|||
(5)
|
Permohonan pemberian kembali HGU sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan jika memenuhi kriteria sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
tanahnya masih diusahakan dan dimanfaatkan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak;
|
||
|
b.
|
pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak;
|
||
|
c.
|
syarat-syarat pemberian hak dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak; dan
|
||
|
d.
|
pemanfaatan tanahnya masih sesuai dengan rencana tata ruang.
|
||
(6)
|
Perpanjangan dan pembaruan HGU sekaligus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan pemberian kembali HGU untuk siklus kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan setelah dilakukan evaluasi bersama antara Otorita Ibu Kota Nusantara dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria dan tata ruang.
|
|||
(7)
|
Atas perpanjangan dan pembaruan HGU sekaligus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) serta pemberian kembali HGU untuk siklus kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dimuat dalam sertipikat HGU.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 19 |
||||
(1)
|
Jangka waktu HGB di atas HPL Otorita Ibu Kota Nusantara diberikan paling lama 80 (delapan puluh) tahun melalui 1 (satu) siklus pertama dengan tahapan:
|
|||
|
a.
|
pemberian hak, paling lama 30 (tiga puluh) tahun;
|
||
|
b.
|
perpanjangan hak, paling lama 20 (dua puluh) tahun; dan
|
||
|
c.
|
pembaruan hak, paling lama 30 (tiga puluh) tahun.
|
||
(2)
|
HGB yang diberikan untuk 1 (satu) siklus pertama dengan jangka waktu paling lama 80 (delapan puluh) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam keputusan pemberian hak dan dicatat dalam sertipikat HGB.
|
|||
(3)
|
Perpanjangan dan pembaruan HGB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c diberikan sekaligus setelah 5 (lima) tahun HGB digunakan dan/atau dimanfaatkan secara efektif sesuai dengan tujuan pemberian haknya.
|
|||
(4)
|
Dalam hal jangka waktu pemberian HGB untuk siklus pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan berakhir, HGB dapat diberikan kembali untuk 1 (satu) siklus kedua apabila diperjanjikan.
|
|||
(5)
|
Perpanjangan dan pembaruan HGB sekaligus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan pemberian kembali HGB untuk siklus kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan setelah dilakukan evaluasi bersama antara Otorita Ibu Kota Nusantara dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria dan tata ruang, dan dimuat dalam perjanjian.
|
|||
(6)
|
Dalam hal HGB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibangun bangunan properti untuk hunian dan dilakukan pengalihan kepada masyarakat, berlaku ketentuan:
|
|||
|
a.
|
untuk rumah tapak, HGB dapat ditingkatkan menjadi hak milik; atau
|
||
|
b.
|
untuk rumah susun, diberikan hak milik atas satuan rumah susun,
|
||
|
setelah mendapat persetujuan dari Otorita Ibu Kota Nusantara.
|
|||
(7)
|
Peningkatan HGB menjadi hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a dilaksanakan setelah Otorita Ibu Kota Nusantara melakukan penghapusan ADP melalui pelepasan HPL sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 20 |
||||
(1)
|
Jangka waktu hak pakai di atas HPL Otorita Ibu Kota Nusantara diberikan paling lama 80 (delapan puluh) tahun melalui 1 (satu) siklus pertama dengan tahapan:
|
|||
|
a.
|
pemberian hak, paling lama 30 (tiga puluh) tahun;
|
||
|
b.
|
perpanjangan hak, paling lama 20 (dua puluh) tahun; dan
|
||
|
c.
|
pembaruan hak, paling lama 30 (tiga puluh) tahun.
|
||
(2)
|
Hak pakai yang diberikan untuk 1 (satu) siklus pertama dengan jangka waktu paling lama 80 (delapan puluh) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam keputusan pemberian hak dan dicatat dalam sertipikat hak pakai.
|
|||
(3)
|
Perpanjangan dan pembaruan hak pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c diberikan sekaligus setelah 5 (lima) tahun hak pakai digunakan dan/atau dimanfaatkan secara efektif sesuai dengan tujuan pemberian haknya.
|
|||
(4)
|
Dalam hal jangka waktu pemberian hak pakai untuk siklus pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan berakhir, hak pakai dapat diberikan kembali untuk 1 (satu) siklus kedua apabila diperjanjikan.
|
|||
(5)
|
Perpanjangan dan pembaruan hak pakai sekaligus sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan pemberian kembali hak pakai untuk siklus kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan setelah dilakukan evaluasi bersama antara Otorita Ibu Kota Nusantara dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria dan tata ruang, dan dimuat dalam perjanjian.
|
|||
(6)
|
Untuk rumah hunian bagi warga negara asing diberikan hak pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 21 |
||||
(1)
|
Pemberian HAT berupa HGU, HGB, atau hak pakai di atas HPL dikenakan BPHTB dengan tarif 0% (nol persen) dari nilai perolehan untuk jangka waktu tertentu.
|
|||
(2)
|
HAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dialihkan, diwariskan, atau dibebani hak tanggungan setelah mendapat persetujuan dari Otorita Ibu Kota Nusantara.
|
|||
(3)
|
Pihak yang mendapatkan pengalihan HAT sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenakan BPHTB dengan tarif 0% (nol persen) untuk jangka waktu tertentu.
|
|||
(4)
|
Ketentuan mengenai pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Kepala Otorita.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Tenaga Kerja Asing Pasal 22 |
||||
(1)
|
Pelaku Usaha yang melaksanakan kegiatan usaha di wilayah Ibu Kota Nusantara dapat mempekerjakan tenaga kerja asing untuk jabatan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(2)
|
Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang.
|
|||
(3)
|
Pelaku Usaha yang mempekerjakan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk Pelaku Usaha yang melakukan pekerjaan proyek strategis milik pemerintah di Ibu Kota Nusantara dibebaskan dari kewajiban pembayaran dana kompensasi penggunaan tenaga kerja asing untuk jangka waktu tertentu.
|
|||
(4)
|
Kewajiban pembayaran dana kompensasi penggunaan tenaga kerja asing bagi instansi pemerintah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, atau jabatan tertentu di lembaga pendidikan dibebaskan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(5)
|
Jangka waktu tertentu untuk pembebasan dari kewajiban pembayaran dana kompensasi penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Kepala Otorita.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 23 |
||||
(1)
|
Tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) dapat diberikan izin tinggal untuk jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(2)
|
Dalam hal jangka waktu pemberian izin tinggal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan berakhir, jangka waktu pemberian izin tinggal dapat dilakukan perpanjangan sesuai dengan jangka waktu perjanjian kerja antara Pelaku Usaha dengan tenaga kerja asing.
|
|||
(3)
|
Bagi pemegang saham yang menjabat pengurus perusahaan diberikan izin tinggal selama sebagai pengurus perusahaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Perumahan dan Kawasan Permukiman Pasal 24 |
||||
(1)
|
Dalam pengaturan rencana detail tata ruang Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) ditetapkan zonasi bagi penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman di wilayah Ibu Kota Nusantara.
|
|||
(2)
|
Penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan zonasi:
|
|||
|
a.
|
perumahan sederhana;
|
||
|
b.
|
perumahan menengah; dan
|
||
|
c.
|
perumahan mewah.
|
||
(3)
|
Warga negara asing dilarang membeli, memiliki, dan/atau menguasai perumahan sederhana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, yang perolehannya mendapat bantuan dan/atau kemudahan pembiayaan perumahan dari pemerintah.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 25 |
||||
(1)
|
Untuk percepatan pembangunan dan penyediaan perumahan dan kawasan permukiman bagi masyarakat di Ibu Kota Nusantara, Pelaku Usaha di bidang perumahan dan kawasan permukiman yang belum dapat memenuhi kewajiban hunian berimbang di wilayah lain, dapat dilaksanakan di wilayah Ibu Kota Nusantara.
|
|||
(2)
|
Pelaksanaan pemenuhan hunian berimbang oleh Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui permohonan kepada Kepala Otorita dengan opsi:
|
|||
|
a.
|
melaksanakan pembangunan hunian berimbang di wilayah Ibu Kota Nusantara; atau
|
||
|
b.
|
membayar dana konversi pemenuhan hunian berimbang.
|
||
(3)
|
Permohonan kepada Kepala Otorita sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dengan melampirkan pernyataan mandiri kewajiban hunian berimbang.
|
|||
(4)
|
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditembuskan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perumahan rakyat dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri.
|
|||
(5)
|
Atas permohonan Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Otorita berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perumahan rakyat dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri.
|
|||
(6)
|
Berdasarkan pertimbangan pemenuhan kewajiban hunian berimbang dari hasil koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Kepala Otorita menetapkan pelaksanaan pemenuhan kewajiban hunian berimbang sesuai prioritas pembangunan perumahan dan kawasan permukiman di wilayah Ibu Kota Nusantara.
|
|||
(7)
|
Kepala Otorita menyampaikan laporan pelaksanaan pemenuhan kewajiban hunian berimbang secara berkala sekurang-kurangnya setiap 1 (satu) tahun sekali kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perumahan rakyat dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB IV
FASILITAS PENANAMAN MODAL Bagian Kesatu
Umum Pasal 26 |
||||
(1)
|
Fasilitas Penanaman Modal meliputi segala bentuk insentif fiskal dan nonfiskal, baik yang menjadi:
|
|||
|
a.
|
kewenangan pemerintah pusat yang meliputi:
|
||
|
|
1.
|
Pajak Penghasilan;
|
|
|
|
2.
|
Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah; dan/atau
|
|
|
|
3.
|
kepabeanan.
|
|
|
b.
|
kewenangan Otorita Ibu Kota Nusantara yang meliputi:
|
||
|
|
1.
|
fasilitas pajak khusus dan penerimaan khusus Ibu Kota Nusantara; dan
|
|
|
|
2.
|
fasilitasi, penyediaan lahan, sarana prasarana bagi pelaksanaan kegiatan Penanaman Modal di Ibu Kota Nusantara.
|
|
(2)
|
Fasilitas Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
|
|||
(3)
|
Pemberian Fasilitas Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan melalui Sistem OSS atau saluran elektronik yang tersedia di Kementerian Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kedua
Fasilitas Pajak Penghasilan Paragraf 1 Umum Pasal 27 |
||||
(1)
|
Fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf a angka 1 yang diberikan di Ibu Kota Nusantara berupa fasilitas:
|
|||
|
a.
|
pengurangan Pajak Penghasilan badan bagi Wajib Pajak badan dalam negeri;
|
||
|
b.
|
Pajak Penghasilan atas kegiatan sektor keuangan di Financial Center;
|
||
|
c.
|
pengurangan Pajak Penghasilan badan atas pendirian dan/atau pemindahan kantor pusat dan/atau kantor regional;
|
||
|
d.
|
pengurangan penghasilan bruto atas penyelenggaraan kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran dalam rangka pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia berbasis kompetensi tertentu;
|
||
|
e.
|
pengurangan penghasilan bruto atas kegiatan penelitian dan pengembangan tertentu;
|
||
|
f.
|
pengurangan penghasilan bruto atas sumbangan dan/atau biaya pembangunan fasilitas umum, fasilitas sosial, dan/atau fasilitas lainnya yang bersifat nirlaba;
|
||
|
g.
|
Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung pemerintah dan bersifat final;
|
||
|
h.
|
Pajak Penghasilan final 0% (nol persen) atas penghasilan dari peredaran bruto usaha tertentu pada usaha mikro, kecil, dan menengah; dan
|
||
|
i.
|
pengurangan Pajak Penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan.
|
||
(2)
|
Fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf a angka 1 yang diberikan di Daerah Mitra berupa fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan bagi Wajib Pajak badan dalam negeri.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan bagi Wajib Pajak Dalam Negeri Pasal 28 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak badan dalam negeri yang melakukan Penanaman Modal di Ibu Kota Nusantara diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf a.
|
|||
(2)
|
Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk nilai Penanaman Modal paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
|
|||
(3)
|
Penanaman Modal yang mendapatkan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Penanaman Modal di bidang usaha yang memiliki nilai strategis untuk mempercepat pembangunan dan pengembangan Ibu Kota Nusantara yang meliputi:
|
|||
|
a.
|
infrastruktur dan layanan umum;
|
||
|
b.
|
bangkitan ekonomi; dan
|
||
|
c.
|
bidang usaha lainnya.
|
||
(4)
|
Infrastruktur dan layanan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dapat berupa:
|
|||
|
a.
|
pembangkit tenaga listrik termasuk energi baru dan terbarukan;
|
||
|
b.
|
pembangunan dan pengoperasian jalan tol;
|
||
|
c.
|
pembangunan dan pengoperasian pelabuhan laut;
|
||
|
d.
|
pembangunan dan pengoperasian bandar udara;
|
||
|
e.
|
pembangunan dan penyediaan air bersih;
|
||
|
f.
|
pembangunan dan pengoperasian fasilitas kesehatan;
|
||
|
g.
|
pembangunan dan penyelenggaraan satuan pendidikan;
|
||
|
h.
|
pembangunan dan penyediaan infrastruktur telekomunikasi dan informatika;
|
||
|
i.
|
pembangunan dan pengelolaan hutan taman kota;
|
||
|
j.
|
pembangunan perumahan, kawasan pemukiman, dan perkantoran;
|
||
|
k.
|
pembangunan dan pengelolaan air limbah;
|
||
|
l.
|
pembangunan dan pengelolaan sistem Jaringan utilitas bawah tanah;
|
||
|
m.
|
pembangunan dan pengoperasian kawasan industri serta pusat riset dan inovasi (industrial and science park);
|
||
|
n.
|
pembangunan dan pengoperasian pasar rakyat;
|
||
|
o.
|
penyediaan transportasi umum;
|
||
|
p.
|
pembangunan dan pengoperasian terminal kendaraan angkutan penumpang atau barang; dan
|
||
|
q.
|
pembangunan dan pengoperasian stadion/sarana olahraga.
|
||
(5)
|
Bangkitan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat berupa:
|
|||
|
a.
|
pembangunan dan pengoperasian pusat perbelanjaan (mall);
|
||
|
b.
|
penyediaan sarana wisata dan jasa akomodasi/hotel berbintang;
|
||
|
c.
|
penyediaan fasilitas Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition (MICE); dan
|
||
|
d.
|
stasiun pengisian bahan bakar dan/atau pengisian daya untuk kendaraan listrik (battery charging).
|
||
(6)
|
Bidang usaha lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dapat berupa:
|
|||
|
a.
|
budidaya pertanian dan/atau perikanan perkotaan;
|
||
|
b.
|
industri dan/atau rekayasa industri bernilai tambah;
|
||
|
c.
|
industri perangkat keras (hardware) dan/atau perangkat lunak (software);
|
||
|
d.
|
jasa perdagangan;
|
||
|
e.
|
jasa konstruksi;
|
||
|
f.
|
jasa perantara real estat; dan
|
||
|
g.
|
jasa pariwisata dan ekonomi kreatif.
|
||
(7)
|
Bidang usaha lainnya untuk jasa perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf d, jasa konstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf e, dan jasa perantara real estat sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf f merupakan jasa yang berlokasi dan mendapatkan penghasilan dari kegiatan usaha di Ibu Kota Nusantara.
|
|||
(8)
|
Perubahan cakupan bidang usaha infrastruktur dan layanan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (4), bidang usaha bangkitan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dan bidang usaha lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (6), dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara berdasarkan usulan Kepala Otorita.
|
|||
(9)
|
Ketentuan mengenai perubahan cakupan bidang usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
|
|||
(10)
|
Ketentuan mengenai perincian dari masing-masing cakupan bidang usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur dengan Peraturan Kepala Otorita setelah berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 29 |
||||
(1)
|
Pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) diberikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah Pajak Penghasilan badan yang terutang.
|
|||
(2)
|
Pengurangan Pajak Penghasilan badan untuk bidang usaha infrastruktur dan layanan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3) huruf a, diberikan selama:
|
|||
|
a.
|
30 (tiga puluh) tahun pajak, untuk Penanaman Modal yang dilakukan sejak tahun 2023 sampai dengan tahun 2030;
|
||
|
b.
|
25 (dua puluh lima) tahun pajak, untuk Penanaman Modal yang dilakukan sejak tahun 2031 sampai dengan tahun 2035; dan
|
||
|
c.
|
20 (dua puluh) tahun pajak, untuk Penanaman Modal yang dilakukan sejak tahun 2036 sampai dengan tahun 2045.
|
||
(3)
|
Pengurangan Pajak Penghasilan badan untuk bidang usaha bangkitan ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3) huruf b diberikan selama:
|
|||
|
a.
|
20 (dua puluh) tahun pajak, untuk Penanaman Modal yang dilakukan sejak tahun 2023 sampai dengan tahun 2030;
|
||
|
b.
|
15 (lima belas) tahun pajak, untuk Penanaman Modal yang dilakukan sejak tahun 2031 sampai dengan tahun 2035; dan
|
||
|
c.
|
10 (sepuluh) tahun pajak, untuk Penanaman Modal yang dilakukan sejak tahun 2036 sampai dengan tahun 2045.
|
||
(4)
|
Pengurangan Pajak Penghasilan badan untuk bidang usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3) huruf c diberikan selama:
|
|||
|
a.
|
10 (sepuluh) tahun pajak, untuk Penanaman Modal yang dilakukan sejak tahun 2023 sampai dengan tahun 2030; dan
|
||
|
b.
|
10 (sepuluh) tahun pajak, untuk Penanaman Modal yang dilakukan sejak tahun 2031 sampai dengan tahun 2045.
|
||
(5)
|
Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) untuk pengurangan Pajak Penghasilan badan untuk bidang usaha lainnya yang diberikan selama 10 (sepuluh) tahun pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, pengurangan Pajak Penghasilan badan diberikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari persentase pengurangan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
|||
(6)
|
Ketentuan mengenai:
|
|||
|
a.
|
subjek, bentuk fasilitas, dan kriteria untuk memperoleh;
|
||
|
b.
|
prosedur pengajuan permohonan persetujuan;
|
||
|
c.
|
prosedur pemberian keputusan persetujuan;
|
||
|
d.
|
prosedur pengajuan permohonan pemanfaatan;
|
||
|
e.
|
prosedur pemberian keputusan pemanfaatan;
|
||
|
f.
|
kewajiban dan larangan bagi Wajib Pajak yang memperoleh; dan
|
||
|
g.
|
kriteria pencabutan,
|
||
|
fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan di Ibu Kota Nusantara diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 30 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak badan dalam negeri yang melakukan Penanaman Modal di Daerah Mitra diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2).
|
|||
(2)
|
Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk nilai Penanaman Modal paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
|
|||
(3)
|
Penanaman Modal yang mendapatkan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Penanaman Modal di bidang usaha infrastruktur dan layanan umum yang dapat berupa:
|
|||
|
a.
|
pembangkit tenaga listrik termasuk energi baru dan terbarukan;
|
||
|
b.
|
pembangunan dan pengoperasian jalan tol;
|
||
|
c.
|
pembangunan dan pengoperasian pelabuhan laut;
|
||
|
d.
|
pembangunan dan pengoperasian bandar udara; dan
|
||
|
e.
|
pembangunan dan penyediaan air bersih.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 31 |
||||
(1)
|
Pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) diberikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah Pajak Penghasilan badan yang terutang.
|
|||
(2)
|
Pengurangan Pajak Penghasilan badan untuk bidang usaha infrastruktur dan layanan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3), diberikan selama:
|
|||
|
a.
|
25 (dua puluh lima) tahun pajak, untuk Penanaman Modal yang dilakukan sejak tahun 2023 sampai dengan tahun 2030;
|
||
|
b.
|
20 (dua puluh) tahun pajak, untuk Penanaman Modal yang dilakukan sejak tahun 2031 sampai dengan tahun 2035; dan
|
||
|
c.
|
15 (lima belas) tahun pajak, untuk Penanaman Modal yang dilakukan sejak tahun 2036 sampai dengan tahun 2045.
|
||
(3)
|
Ketentuan mengenai:
|
|||
|
a.
|
subjek, bentuk fasilitas, dan kriteria untuk memperoleh;
|
||
|
b.
|
prosedur pengajuan permohonan persetujuan;
|
||
|
c.
|
prosedur pemberian keputusan persetujuan;
|
||
|
d.
|
prosedur pengajuan permohonan pemanfaatan;
|
||
|
e.
|
prosedur pemberian keputusan pemanfaatan;
|
||
|
f.
|
kewajiban dan larangan bagi Wajib Pajak yang memperoleh; dan
|
||
|
g.
|
kriteria pencabutan,
|
||
|
fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan di Daerah Mitra diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Fasilitas Pajak Penghasilan atas Kegiatan Sektor Keuangan di Financial Center Pasal 32 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang melakukan kegiatan usaha sektor keuangan di Financial Center Ibu Kota Nusantara, diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf b dengan persentase dan jangka waktu tertentu.
|
|||
(2)
|
Kegiatan usaha sektor keuangan di Financial Center Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup kegiatan usaha:
|
|||
|
a.
|
perbankan;
|
||
|
b.
|
perasuransian;
|
||
|
c.
|
keuangan syariah;
|
||
|
d.
|
pasar modal, keuangan derivatif dan bursa karbon;
|
||
|
e.
|
dana pensiun;
|
||
|
f.
|
pembiayaan;
|
||
|
g.
|
modal ventura;
|
||
|
h.
|
inovasi teknologi sektor keuangan;
|
||
|
i.
|
penjaminan;
|
||
|
j.
|
perdagangan/bursa komoditas (international commodity trading);
|
||
|
k.
|
bullion;
|
||
|
l.
|
pengelola dana perwalian (trust);
|
||
|
m.
|
pengelolaan instrumen keuangan (special purpose vehicle);
|
||
|
n.
|
perusahaan induk konglomerasi keuangan (financial holding company);
|
||
|
o.
|
infrastruktur pasar keuangan;
|
||
|
p.
|
pasar uang, pasar valuta asing, dan transaksi derivatifnya;
|
||
|
q.
|
penyelenggaraan jasa sistem pembayaran; dan/atau
|
||
|
r.
|
jasa keuangan lainnya.
|
||
(3)
|
Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang melakukan kegiatan usaha sektor keuangan di Financial Center Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah Pajak Penghasilan badan yang terutang atas bagian penghasilan yang digunakan untuk investasi atau membiayai pembangunan, pengembangan, dan kegiatan ekonomi di wilayah Ibu Kota Nusantara dan/atau Daerah Mitra.
|
|||
(4)
|
Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan untuk sektor keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan selama:
|
|||
|
a.
|
25 (dua puluh lima) tahun pajak, untuk Penanaman Modal yang dilakukan sejak tahun 2023 sampai dengan tahun 2035; dan
|
||
|
b.
|
20 (dua puluh) tahun pajak, untuk Penanaman Modal yang dilakukan sejak tahun 2036 sampai dengan tahun 2045.
|
||
(5)
|
Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang melakukan kegiatan usaha sektor keuangan di Financial Center Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d sampai dengan huruf r, diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebesar 85% (delapan puluh lima persen) dari jumlah Pajak Penghasilan badan yang terutang atas:
|
|||
|
a.
|
bagian penghasilan yang berasal dari penanam modal luar negeri, untuk sektor keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dan huruf j; atau
|
||
|
b.
|
bagian penghasilan yang berasal dari Pelaku Usaha dan/atau masyarakat yang berlokasi di wilayah Ibu Kota Nusantara, untuk sektor keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, huruf k, huruf l, huruf m, huruf n, huruf o, huruf p, huruf q, dan huruf r.
|
||
(6)
|
Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan untuk sektor keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diberikan selama:
|
|||
|
a.
|
25 (dua puluh lima) tahun pajak, untuk Penanaman Modal yang dilakukan sejak tahun 2023 sampai dengan tahun 2035; dan
|
||
|
b.
|
20 (dua puluh) tahun pajak, untuk Penanaman Modal yang dilakukan sejak tahun 2036 sampai dengan tahun 2045.
|
||
(7)
|
Ketentuan mengenai kegiatan usaha sektor keuangan di Financial Center sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan otoritas di sektor keuangan.
|
|||
(8)
|
Ketentuan mengenai:
|
|||
|
a.
|
subjek, bentuk fasilitas, dan kriteria untuk memperoleh;
|
||
|
b.
|
prosedur pengajuan permohonan persetujuan;
|
||
|
c.
|
prosedur pemberian keputusan persetujuan;
|
||
|
d.
|
prosedur pengajuan permohonan pemanfaatan;
|
||
|
e.
|
prosedur pemberian keputusan pemanfaatan;
|
||
|
f.
|
kewajiban dan larangan bagi Wajib Pajak yang memperoleh; dan
|
||
|
g.
|
kriteria pencabutan,
|
||
|
fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan bagi Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang melakukan kegiatan usaha sektor keuangan di Financial Center Ibu Kota Nusantara diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 33 |
||||
(1)
|
Penghasilan yang berasal dari investasi pada Financial Center di Ibu Kota Nusantara yang diterima atau diperoleh subjek pajak luar negeri dibebaskan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan selama jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung mulai pertama kali penempatan dana di Financial Center di Ibu Kota Nusantara.
|
|||
(2)
|
Ketentuan mengenai pemberian pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 34 |
||||
(1)
|
Perizinan Berusaha sektor keuangan di Financial Center sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 yang berada di area Ibu Kota Nusantara, termasuk area Financial Center, diterbitkan oleh otoritas di sektor keuangan.
|
|||
(2)
|
Area Financial Center sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Otorita yang dicantumkan dalam rencana detail tata ruang.
|
|||
(3)
|
Bagi Pelaku Usaha yang menyelenggarakan kegiatan Financial Center:
|
|||
|
a.
|
wajib menjamin kerahasiaan data;
|
||
|
b.
|
dapat melakukan penempatan dan pengelolaan dalam valuta asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
|
||
|
c.
|
dapat melakukan penggunaan dan pembayaran dalam bentuk keuangan digital dengan dukungan teknologi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
(4)
|
Pengawasan perizinan dan kegiatan usaha untuk Pelaku Usaha sektor keuangan yang memperoleh Perizinan Berusaha dari otoritas di sektor keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh otoritas di sektor keuangan sesuai dengan kewenangannya.
|
|||
(5)
|
Pengenaan sanksi dalam rangka pengawasan kepada Pelaku Usaha sektor keuangan yang memperoleh Perizinan Berusaha dari otoritas di sektor keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikenakan oleh otoritas di sektor keuangan sesuai dengan kewenangannya.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 4
Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan untuk Pendirian dan/atau Pemindahan Kantor Pusat dan/atau Kantor Regional Pasal 35 |
||||
(1)
|
Pelaku Usaha yang berstatus subjek pajak luar negeri yang mendirikan dan/atau memindahkan kantor pusat dan/atau kantor regionalnya ke Ibu Kota Nusantara diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf c.
|
|||
(2)
|
Pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
memiliki minimal 2 (dua) unit afiliasi dan/atau entitas usaha yang terkait di luar Indonesia;
|
||
|
b.
|
memiliki substansi ekonomi di Ibu Kota Nusantara; dan
|
||
|
c.
|
membentuk badan hukum dalam bentuk perseroan terbatas di Indonesia.
|
||
(3)
|
Afiliasi dan/atau entitas usaha yang terkait di luar Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan anak usaha, cabang usaha, joint venture, atau entitas sejenis lainnya.
|
|||
(4)
|
Wajib Pajak dalam negeri yang mendirikan kantor pusat dan/atau kantor regionalnya di Ibu Kota Nusantara diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf c atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Pelaku Usaha di Ibu Kota Nusantara atau masyarakat di Ibu Kota Nusantara.
|
|||
(5)
|
Pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan dengan ketentuan:
|
|||
|
a.
|
memiliki substansi ekonomi di Ibu Kota Nusantara; dan
|
||
|
b.
|
membentuk badan hukum dalam bentuk perseroan terbatas di Indonesia.
|
||
(6)
|
Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4) diberikan sampai dengan tahun 2045.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 36 |
||||
(1)
|
Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 diberikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah Pajak Penghasilan badan yang terutang.
|
|||
(2)
|
Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan selama 10 (sepuluh) tahun pajak.
|
|||
(3)
|
Setelah jangka waktu pemberian pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir Wajib Pajak diberikan pengurangan Pajak Penghasilan badan sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah Pajak Penghasilan badan yang terutang selama 10 (sepuluh) tahun pajak berikutnya.
|
|||
(4)
|
Ketentuan mengenai:
|
|||
|
a.
|
subjek, bentuk fasilitas, dan kriteria untuk memperoleh;
|
||
|
b.
|
prosedur pengajuan permohonan persetujuan;
|
||
|
c.
|
prosedur pemberian keputusan persetujuan;
|
||
|
d.
|
prosedur pengajuan permohonan pemanfaatan;
|
||
|
e.
|
prosedur pemberian keputusan pemanfaatan;
|
||
|
f.
|
kewajiban dan larangan bagi Wajib Pajak yang memperoleh; dan
|
||
|
g.
|
kriteria pencabutan,
|
||
|
fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan untuk pendirian dan/atau pemindahan kantor pusat dan/atau kantor regional diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 5
Pemberian Persetujuan, Pemanfaatan, Kewajiban, Larangan, dan Pencabutan Fasilitas Pasal 37 |
||||
(1)
|
Persetujuan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), Pasal 32 ayat (1), Pasal 35 ayat (1), dan Pasal 35 ayat (4) diberikan berdasarkan keputusan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
|
|||
(2)
|
Untuk memperoleh persetujuan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Wajib Pajak harus mengajukan permohonan:
|
|||
|
a.
|
sebelum saat mulai beroperasi komersial, bagi Wajib Pajak yang mengajukan permohonan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), atau Pasal 32 ayat (1); atau
|
||
|
b.
|
paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tahun pajak dilakukannya pendirian dan/atau pemindahan kantor pusat dan/atau kantor regional Wajib Pajak berakhir, bagi Wajib Pajak yang mengajukan permohonan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) atau Pasal 35 ayat (4).
|
||
(3)
|
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui Sistem OSS.
|
|||
(4)
|
Pemberian persetujuan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilimpahkan kewenangannya dalam bentuk mandat oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi/koordinasi penanaman modal.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 38 |
||||
(1)
|
Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), Pasal 32 ayat (1), Pasal 35 ayat (1), atau Pasal 35 ayat (4) mulai dimanfaatkan Wajib Pajak sejak tahun pajak saat mulai beroperasi komersial.
|
|||
(2)
|
Pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara berdasarkan hasil pemeriksaan lapangan yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak.
|
|||
(3)
|
Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setelah menerima permohonan pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan dari Wajib Pajak.
|
|||
(4)
|
Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
|||
(5)
|
Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara melimpahkan kewenangan untuk menetapkan pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam bentuk delegasi kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi Ibu Kota Nusantara.
|
|||
(6)
|
Direktur Jenderal Pajak melimpahkan kewenangan untuk:
|
|||
|
a.
|
menerima permohonan pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan; dan
|
||
|
b.
|
melakukan pemeriksaan lapangan, sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
|
||
|
dalam bentuk delegasi kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi Ibu Kota Nusantara.
|
|||
(7)
|
Permohonan pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan setelah saat mulai beroperasi komersial.
|
|||
(8)
|
Permohonan pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh Wajib Pajak melalui Sistem OSS.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 39 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak yang telah memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), atau Pasal 32 ayat (1) wajib:
|
|||
|
a.
|
merealisasikan rencana Penanaman Modal paling lama 2 (dua) tahun sejak persetujuan pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) diterbitkan;
|
||
|
b.
|
menyampaikan laporan realisasi Penanaman Modal dan laporan realisasi kegiatan usaha;
|
||
|
c.
|
melakukan pembukuan terpisah antara Penanaman Modal yang memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan dan yang tidak memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan; dan
|
||
|
d.
|
melakukan pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan.
|
||
(2)
|
Wajib Pajak yang telah memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) atau Pasal 35 ayat (4) wajib:
|
|||
|
a.
|
memulai realisasi pemindahan kantor pusat dan/atau kantor regional paling lama 1 (satu) tahun sejak persetujuan pemberian fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) diterbitkan;
|
||
|
b.
|
menyampaikan laporan realisasi pendirian dan/atau pemindahan kantor pusat dan/atau kantor regional;
|
||
|
c.
|
melakukan pembukuan terpisah antara Penanaman Modal yang memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan dan yang tidak memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan; dan
|
||
|
d.
|
melakukan pemotongan dan pemungutan Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan.
|
||
|
|
|
|
|
Pasal 40 |
||||
Wajib Pajak yang telah memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) atau Pasal 31 ayat (1) dilarang:
|
||||
a.
|
mengimpor, membeli, atau memperoleh barang modal bukan baru, untuk realisasi Penanaman Modal yang mendapatkan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan, kecuali barang modal bukan baru dimaksud merupakan bagian mesin peralatan yang diperlukan bagi pelaksanaan investasi pada sektor kesehatan, riset dan inovasi, dan konstruksi di Ibu Kota Nusantara dan Daerah Mitra;
|
|||
b.
|
menggunakan barang modal yang mendapatkan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan selain untuk tujuan pemberian fasilitas selama jangka waktu pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan bagi pelaksanaan investasi di Ibu Kota Nusantara dan/atau Daerah Mitra;
|
|||
c.
|
memindahtangankan barang modal yang mendapatkan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan selama jangka waktu pemanfaatan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan, kecuali pemindahtanganan tersebut tidak menyebabkan nilai realisasi Penanaman Modal kurang dari batas nilai Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 30 ayat (2) dan:
|
|||
|
1.
|
dilakukan untuk tujuan peningkatan efisiensi; dan/atau
|
||
|
2.
|
merupakan kewajiban yang harus dipenuhi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
|
||
|
atau
|
|||
d.
|
melakukan relokasi Penanaman Modal ke luar Ibu Kota Nusantara dan/atau Daerah Mitra.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 41 |
||||
(1)
|
Dalam hal Wajib Pajak yang telah memperoleh fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), Pasal 32 ayat (1), Pasal 35 ayat (1), atau Pasal 35 ayat (4):
|
|||
|
a.
|
tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) huruf a atau ayat (2) huruf a;
|
||
|
b.
|
melakukan pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40;
|
||
|
c.
|
telah beroperasi komersial pada saat pengajuan permohonan pengurangan Pajak Penghasilan badan; dan/atau
|
||
|
d.
|
terdapat ketidaksesuaian antara realisasi dan rencana kegiatan usaha utama,
|
||
|
dikenai sanksi administratif berupa pencabutan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan yang telah diberikan.
|
|||
(2)
|
Terhadap Wajib Pajak yang telah dilakukan pencabutan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengurangan Pajak Penghasilan badan yang telah dimanfaatkan wajib dibayar kembali dan dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 6
Fasilitas Pengurangan Penghasilan Bruto atas Penyelenggaraan Kegiatan Praktik Kerja, Pemagangan, dan/atau Pembelajaran untuk Pembinaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Berbasis Kompetensi Tertentu Pasal 42 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak badan dalam negeri yang menyelenggarakan dan/atau mengikutsertakan sumber daya manusia pada kegiatan pendidikan dan/atau pelatihan di Ibu Kota Nusantara untuk kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran dalam rangka pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia berbasis kompetensi tertentu diberikan fasilitas pengurangan penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf d.
|
|||
(2)
|
Fasilitas pengurangan penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling tinggi 250% (dua ratus lima puluh persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran.
|
|||
(3)
|
Kegiatan praktik kerja dan/atau pemagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan yang dapat diikuti oleh:
|
|||
|
a.
|
siswa, pendidik, dan/atau tenaga kependidikan di sekolah menengah kejuruan atau madrasah aliyah kejuruan;
|
||
|
b.
|
mahasiswa, pendidik, dan/atau tenaga kependidikan di perguruan tinggi program diploma pada pendidikan vokasi;
|
||
|
c.
|
peserta latih, instruktur, dan/atau tenaga kepelatihan di balai latihan kerja; dan/atau
|
||
|
d.
|
perseorangan yang tidak memiliki hubungan kerja dengan pihak manapun yang dikoordinasikan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang tenaga kerja, Otorita Ibu Kota Nusantara, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota,
|
||
|
sebagai bagian dari kurikulum pendidikan kejuruan atau vokasi dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian di bidang tertentu.
|
|||
(4)
|
Kegiatan pembelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan pengajaran yang dilakukan oleh pihak yang ditugaskan oleh Wajib Pajak untuk mengajar di sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, perguruan tinggi program diploma pada pendidikan vokasi, dan/atau balai latihan kerja yang berlokasi di wilayah Ibu Kota Nusantara.
|
|||
(5)
|
Kompetensi kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Otorita.
|
|||
(6)
|
Untuk memperoleh fasilitas pengurangan penghasilan bruto sebagaimana. dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak harus menyampaikan permohonan melalui Sistem OSS.
|
|||
(7)
|
Ketentuan mengenai:
|
|||
|
a.
|
subjek, bentuk fasilitas, dan kriteria untuk memperoleh;
|
||
|
b.
|
bentuk kegiatan praktik kerja dan/atau pemagangan serta pembelajaran yang memperoleh;
|
||
|
c.
|
jenis biaya kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran yang memperoleh;
|
||
|
d.
|
mekanisme penghitungan besaran;
|
||
|
e.
|
prosedur pengajuan permohonan;
|
||
|
f.
|
kewajiban bagi Wajib Pajak yang memanfaatkan;
|
||
|
g.
|
kriteria pencabutan; dan
|
||
|
h.
|
jangka waktu pemberian,
|
||
|
fasilitas pengurangan penghasilan bruto atas penyelenggaraan kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran dalam rangka pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia berbasis kompetensi tertentu di Ibu Kota Nusantara diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 43 |
||||
Fasilitas pengurangan penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 diberikan sampai dengan tahun 2035.
|
||||
|
|
|
|
|
Paragraf 7
Fasilitas Pengurangan Penghasilan Bruto atas Kegiatan Penelitian dan Pengembangan Tertentu Pasal 44 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak badan dalam negeri yang mempunyai tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha yang melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan tertentu di Ibu Kota Nusantara, diberikan fasilitas pengurangan penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf e.
|
|||
(2)
|
Fasilitas pengurangan penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling tinggi 350% (tiga ratus lima puluh persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan penelitian dan pengembangan tertentu yang dibebankan dalam jangka waktu tertentu.
|
|||
(3)
|
Kegiatan penelitian dan pengembangan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Ibu Kota Nusantara untuk menghasilkan invensi, mengembangkan inovasi, penguasaan teknologi baru, dan/atau alih teknologi bagi pengembangan industri untuk peningkatan daya saing industri nasional.
|
|||
(4)
|
Untuk memperoleh fasilitas pengurangan penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak harus menyampaikan permohonan melalui Sistem OSS.
|
|||
(5)
|
Fasilitas pengurangan penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sampai dengan tahun 2035.
|
|||
(6)
|
Ketentuan mengenai:
|
|||
|
a.
|
subjek, bentuk fasilitas, dan kriteria untuk memperoleh;
|
||
|
b.
|
bentuk kegiatan penelitian dan pengembangan yang memperoleh;
|
||
|
c.
|
jenis biaya penelitian dan pengembangan yang memperoleh;
|
||
|
d.
|
mekanisme penghitungan besaran;
|
||
|
e.
|
prosedur pengajuan permohonan persetujuan;
|
||
|
f.
|
prosedur pengajuan permohonan pemanfaatan;
|
||
|
g.
|
kewajiban bagi Wajib Pajak yang memanfaatkan;
|
||
|
h.
|
kriteria pencabutan; dan
|
||
|
i.
|
jangka waktu pemberian,
|
||
|
fasilitas pengurangan penghasilan bruto atas kegiatan penelitian dan pengembangan tertentu di Ibu Kota Nusantara diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 8
Fasilitas Pengurangan Penghasilan Bruto Usaha atas Sumbangan dan/atau biaya Pembangunan Fasilitas Umum, Fasilitas Sosial, dan/atau Fasilitas Lainnya yang Bersifat Nirlaba Pasal 45 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak dalam negeri yang memberikan sumbangan dan/atau biaya pembangunan fasilitas umum, fasilitas sosial, dan/atau fasilitas lainnya yang bersifat nirlaba di wilayah Ibu Kota Nusantara diberikan fasilitas pengurangan penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf f.
|
|||
(2)
|
Fasilitas pengurangan penghasilan bruto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk pengurangan penghasilan bruto untuk penghitungan penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak sampai jumlah tertentu paling tinggi 200% (dua ratus persen) dari jumlah sumbangan dan/atau biaya yang dikeluarkan untuk pembangunan fasilitas umum, fasilitas sosial, dan/atau fasilitas lainnya yang bersifat nirlaba.
|
|||
(3)
|
Sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk uang, barang, dan/atau biaya pembangunan fasilitas umum, fasilitas sosial, dan/atau fasilitas lainnya yang bersifat nirlaba.
|
|||
(4)
|
Sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikurangkan dari penghasilan bruto dengan syarat:
|
|||
|
a.
|
Wajib Pajak mempunyai penghasilan neto fiskal berdasarkan surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak sebelumnya;
|
||
|
b.
|
pemberian sumbangan dan/atau biaya tidak menyebabkan rugi pada tahun pajak sumbangan dan/atau biaya diberikan;
|
||
|
c.
|
didukung oleh bukti yang sah; dan
|
||
|
d.
|
mendapat persetujuan teknis dan spesifikasi dari Otorita Ibu Kota Nusantara, dalam hal sumbangan diberikan dalam bentuk barang dan/atau biaya pembangunan fasilitas umum, fasilitas sosial, dan/atau fasilitas lainnya yang bersifat nirlaba.
|
||
(5)
|
Fasilitas pengurangan penghasilan bruto atas sumbangan dan/atau biaya pembangunan fasilitas umum, fasilitas sosial, dan/atau fasilitas lainnya yang bersifat nirlaba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sampai dengan tahun 2035.
|
|||
(6)
|
Pemanfaatan sumbangan dan/atau biaya diberikan untuk pembangunan fasilitas umum, fasilitas sosial, dan/atau fasilitas lainnya yang bersifat nirlaba sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Otorita.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 46 |
||||
Sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto bagi pihak pemberi dalam hal sumbangan dan/atau biaya digunakan untuk membangun fasilitas umum, fasilitas sosial, dan/atau fasilitas lainnya yang bersifat nirlaba merupakan kewajiban dari kegiatan usaha pemberi sumbangan dan/atau biaya di wilayah Ibu Kota Nusantara.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 47 |
||||
(1)
|
Nilai sumbangan dan/atau biaya dalam bentuk uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) ditentukan berdasarkan jumlah nominal uang yang diberikan.
|
|||
(2)
|
Nilai sumbangan dan/atau biaya dalam bentuk barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) ditentukan berdasarkan:
|
|||
|
a.
|
nilai perolehan, untuk barang yang disumbangkan belum disusutkan;
|
||
|
b.
|
nilai buku fiskal, untuk barang yang disumbangkan sudah disusutkan; atau
|
||
|
c.
|
harga pokok penjualan, untuk barang yang disumbangkan merupakan barang produksi sendiri.
|
||
(3)
|
Nilai sumbangan dan/atau biaya dalam bentuk biaya pembangunan fasilitas umum, fasilitas sosial, dan/atau fasilitas lainnya yang bersifat nirlaba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) ditentukan berdasarkan jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan untuk membangun fasilitas umum, fasilitas sosial, dan/atau fasilitas lainnya yang bersifat nirlaba.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 48 |
||||
(1)
|
Sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) harus dicatat sesuai dengan peruntukannya oleh pemberi sumbangan dan/atau biaya.
|
|||
(2)
|
Kepala Otorita harus menyampaikan laporan penerimaan sumbangan dan/atau biaya kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah akhir tahun pajak diterimanya sumbangan dan/atau biaya.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 49 |
||||
(1)
|
Untuk memperoleh fasilitas atas sumbangan dan/atau biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1), Wajib Pajak harus menyampaikan permohonan melalui Sistem OSS atau saluran elektronik yang tersedia di Kementerian Keuangan.
|
|||
(2)
|
Dalam hal Sistem OSS atau saluran elektronik di Kementerian Keuangan belum tersedia, permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan secara luring kepada Kepala Otorita dengan ditembuskan kepada Direktur Jenderal Pajak.
|
|||
(3)
|
Ketentuan mengenai:
|
|||
|
a.
|
subjek, bentuk fasilitas, dan kriteria untuk memperoleh;
|
||
|
b.
|
bentuk sumbangan dan/atau biaya pembangunan fasilitas umum, fasilitas sosial, dan/atau fasilitas lainnya yang bersifat nirlaba yang memperoleh;
|
||
|
c.
|
mekanisme penghitungan besaran;
|
||
|
d.
|
prosedur pengajuan permohonan persetujuan;
|
||
|
e.
|
prosedur pengajuan permohonan pemanfaatan;
|
||
|
f.
|
kewajiban bagi Wajib Pajak yang memanfaatkan;
|
||
|
g.
|
kewajiban pelaporan Otorita Ibu Kota Nusantara;
|
||
|
h.
|
kriteria pencabutan; dan
|
||
|
i.
|
jangka waktu pemberian,
|
||
|
fasilitas pengurangan penghasilan bruto atas sumbangan dan/atau biaya pembangunan fasilitas umum, fasilitas sosial, dan/atau fasilitas lainnya yang bersifat nirlaba di Ibu Kota Nusantara diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 9
Fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 Ditanggung Pemerintah Bersifat Final Pasal 50 |
||||
(1)
|
Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai sehubungan dengan pekerjaan wajib dipotong Pajak Penghasilan oleh pemberi kerja sesuai ketentuan dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan beserta perubahannya.
|
|||
(2)
|
Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas penghasilan yang diterima pegawai tertentu diberikan fasilitas berupa Pajak Penghasilan ditanggung pemerintah dan bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf g.
|
|||
(3)
|
Pegawai tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan pegawai yang:
|
|||
|
a.
|
menerima atau memperoleh penghasilan dari pemberi kerja tertentu;
|
||
|
b.
|
bertempat tinggal di wilayah Ibu Kota Nusantara; dan
|
||
|
c.
|
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak yang terdaftar di kantor pelayanan pajak yang wilayah kerjanya meliputi wilayah Ibu Kota Nusantara.
|
||
(4)
|
Ketentuan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atas penghasilan pegawai tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
|||
(5)
|
Pajak Penghasilan Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibayarkan secara tunai oleh pemberi kerja pada saat pembayaran penghasilan kepada pegawai.
|
|||
(6)
|
Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung pemerintah dan bersifat final yang diterima oleh pegawai dari pemberi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak diperhitungkan sebagai penghasilan yang dikenakan pajak.
|
|||
(7)
|
Dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung pemerintah dan bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam hal:
|
|||
|
a.
|
penerima penghasilan merupakan pejabat negara, pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia;
|
||
|
b.
|
penghasilan berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan
|
||
|
c.
|
Pajak Penghasilan Pasal 21 telah ditanggung pemerintah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
||
(8)
|
Penghasilan yang diterima pejabat negara, pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dikenai Pajak Penghasilan Pasal 21 bersifat final sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 51 |
||||
(1)
|
Pegawai tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) wajib menyampaikan surat pemberitahuan tahunan Pajak Penghasilan orang pribadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
|||
(2)
|
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tertentu selain penghasilan yang diterima sehubungan dengan pekerjaan, tetap dikenakan Pajak Penghasilan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan, termasuk penghasilan yang berasal dari luar wilayah Ibu Kota Nusantara.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 52 |
||||
(1)
|
Pemberi kerja tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a merupakan pemberi kerja yang memenuhi ketentuan sebagai berikut:
|
|||
|
a.
|
bertempat tinggal, bertempat kedudukan, atau bertempat kegiatan usaha di wilayah Ibu Kota Nusantara;
|
||
|
b.
|
memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak yang terdaftar di kantor pelayanan pajak yang wilayah kerjanya meliputi wilayah Ibu Kota Nusantara atau memiliki identitas perpajakan di tempat kegiatan usaha yang berada di wilayah Ibu Kota Nusantara;
|
||
|
c.
|
telah menyampaikan surat pemberitahuan pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung pemerintah dan bersifat final kepada Direktur Jenderal Pajak dan telah mendapatkan validasi oleh Direktur Jenderal Pajak; dan
|
||
|
d.
|
telah menyampaikan laporan realisasi pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung pemerintah dan bersifat final kepada Direktur Jenderal Pajak.
|
||
(2)
|
Pemberi kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib:
|
|||
|
a.
|
membuat bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung pemerintah dan bersifat final; dan
|
||
|
b.
|
melaporkan bukti pemotongan pada surat pemberitahuan masa Pajak Penghasilan Pasal 21.
|
||
(3)
|
Penyampaian surat pemberitahuan pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung pemerintah dan bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan laporan realisasi pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung pemerintah dan bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan melalui saluran elektronik yang tersedia di Kementerian Keuangan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 53 |
||||
Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung pemerintah dan bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) berlaku sampai dengan tahun 2035.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 54 |
||||
Pelaksanaan dan pertanggungjawaban Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai mekanisme pelaksanaan dan pertanggungjawaban atas pajak ditanggung pemerintah.
|
||||
|
|
|
|
|
Pasal 55 |
||||
Ketentuan mengenai:
|
||||
a.
|
penerapan; dan
|
|||
b.
|
tata cara pengajuan permohonan, penerbitan, pembatalan atau pencabutan persetujuan, dan pelaporan,
|
|||
pemanfaatan fasilitas Pajak Penghasilan Pasal 21 ditanggung pemerintah dan bersifat final diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
|
||||
|
|
|
|
|
Paragraf 10
Fasilitas Pajak Penghasilan Final 0% (Nol Persen) atas Penghasilan dari Peredaran Bruto Usaha Tertentu pada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Pasal 56 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak dalam negeri tidak termasuk bentuk usaha tetap yang melakukan Penanaman Modal di Ibu Kota Nusantara dengan nilai kurang dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan memenuhi persyaratan tertentu dapat dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif sebesar 0% (nol persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf h dalam jangka waktu tertentu.
|
|||
(2)
|
Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai atas penghasilan dari peredaran bruto usaha sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dalam 1 (satu) tahun pajak yang diterima atau diperoleh pada lokasi usaha yang berada di wilayah Ibu Kota Nusantara, tidak termasuk penghasilan:
|
|||
|
a.
|
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas;
|
||
|
b.
|
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan berbentuk persekutuan komanditer atau firma yang dibentuk oleh beberapa Wajib Pajak orang pribadi yang memiliki keahlian khusus menyerahkan jasa sejenis dengan jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas;
|
||
|
c.
|
dari jasa yang dilakukan selain di wilayah Ibu Kota Nusantara dan/atau dimanfaatkan oleh pengguna jasa yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan selain di wilayah Ibu Kota Nusantara;
|
||
|
d.
|
telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri, kecuali penghasilan dari usaha yang dikenai Pajak Penghasilan final sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu; dan
|
||
|
e.
|
yang dikecualikan sebagai objek Pajak Penghasilan.
|
||
(3)
|
Persyaratan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||
|
a.
|
bertempat tinggal atau bertempat kedudukan, dan/atau memiliki cabang di wilayah Ibu Kota Nusantara;
|
||
|
b.
|
melakukan kegiatan usaha di wilayah Ibu Kota Nusantara;
|
||
|
c.
|
terdaftar sebagai Wajib Pajak di kantor pelayanan pajak yang wilayah kerjanya meliputi wilayah Ibu Kota Nusantara atau memiliki identitas perpajakan di tempat kegiatan usaha yang berada di wilayah Ibu Kota Nusantara;
|
||
|
d.
|
telah melakukan Penanaman Modal di wilayah Ibu Kota Nusantara, serta memiliki kualifikasi usaha mikro, kecil, dan menengah yang diterbitkan oleh instansi berwenang; dan
|
||
|
e.
|
telah mengajukan permohonan untuk memanfaatkan fasilitas Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 (tiga) bulan sejak Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada huruf d dan mendapatkan persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
|
||
(4)
|
Dalam hal Wajib Pajak memiliki lebih dari 1 (satu) tempat usaha atau cabang yang berada di wilayah Ibu Kota Nusantara, penentuan batasan nilai Penanaman Modal di Ibu Kota Nusantara kurang dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan batasan peredaran bruto usaha sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan berdasarkan gunggungan dari seluruh lokasi tempat usaha atau cabang Wajib Pajak yang berada di wilayah Ibu Kota Nusantara.
|
|||
(5)
|
Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan terhitung sejak persetujuan pemberian fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e sampai dengan tahun 2035.
|
|||
(6)
|
Atas penghasilan dari usaha yang:
|
|||
|
a.
|
dikecualikan dari pengenaan Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf e;
|
||
|
b.
|
diterima atau diperoleh pada lokasi usaha selain yang berada di wilayah Ibu Kota Nusantara; dan/atau
|
||
|
c.
|
diterima atau diperoleh pada lokasi usaha yang berada di wilayah Ibu Kota Nusantara yang berasal dari peredaran bruto yang melebihi batasan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah),
|
||
|
dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
|||
(7)
|
Wajib Pajak yang memanfaatkan fasilitas Pajak Penghasilan bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib:
|
|||
|
a.
|
menyelenggarakan pembukuan secara terpisah, bagi Wajib Pajak yang diwajibkan menyelenggarakan pembukuan; atau
|
||
|
b.
|
melakukan pencatatan secara terpisah, bagi Wajib Pajak yang tidak diwajibkan menyelenggarakan pembukuan,
|
||
|
antara penghasilan yang mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penghasilan yang tidak mendapatkan fasilitas dimaksud.
|
|||
(8)
|
Dalam hal terdapat biaya bersama yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka penghitungan besarnya penghasilan kena pajak bagi Wajib Pajak yang memiliki penghasilan yang mendapat fasilitas Pajak Penghasilan bersifat final sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penghasilan yang tidak mendapat fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (6), pembebanannya dialokasikan secara proporsional.
|
|||
(9)
|
Ketentuan mengenai:
|
|||
|
a.
|
penerapan; dan
|
||
|
b.
|
tata cara pengajuan permohonan, penerbitan, pembatalan atau pencabutan surat persetujuan, dan pelaporan,
|
||
|
Pajak Penghasilan final 0% (nol persen) atas penghasilan dari peredaran bruto usaha tertentu pada usaha mikro, kecil, dan menengah diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 11
Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan atas Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan Pasal 57 |
||||
(1)
|
Wajib Pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan di Ibu Kota Nusantara diberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf i.
|
|||
(2)
|
Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah Pajak Penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang terutang.
|
|||
(3)
|
Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam hal terdapat pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pembeli yang merupakan perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan di Ibu Kota Nusantara yang kesatu.
|
|||
(4)
|
Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sampai dengan tahun 2035.
|
|||
(5)
|
Permohonan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan melalui saluran elektronik yang tersedia di Kementerian Keuangan.
|
|||
(6)
|
Fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan melalui penerbitan surat keterangan bebas.
|
|||
(7)
|
Ketentuan mengenai:
|
|||
|
a.
|
subjek, bentuk fasilitas, dan kriteria untuk memperoleh;
|
||
|
b.
|
prosedur pengajuan permohonan persetujuan;
|
||
|
c.
|
prosedur pemberian keputusan persetujuan;
|
||
|
d.
|
prosedur pengajuan permohonan pemanfaatan dan/atau penerbitan surat keterangan bebas;
|
||
|
e.
|
prosedur pemberian keputusan pemanfaatan dan/atau penerbitan surat keterangan bebas;
|
||
|
f.
|
kewajiban dan larangan bagi Wajib Pajak yang memperoleh; dan
|
||
|
g.
|
kriteria pencabutan,
|
||
|
fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Ketiga
Fasilitas Tidak Dipungut Pajak Pertambahan Nilai dan Pengecualian Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Pasal 58 |
||||
(1)
|
Kemudahan perpajakan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf a angka 2 yang diberikan di Ibu Kota Nusantara berupa:
|
|||
|
a.
|
Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut; dan
|
||
|
b.
|
pengecualian Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas penyerahan barang kena pajak.
|
||
(2)
|
Kemudahan perpajakan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf a angka 2 yang diberikan di Daerah Mitra berupa Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 59 |
||||
(1)
|
Kemudahan perpajakan berupa Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf a di Ibu Kota Nusantara, diberikan atas:
|
|||
|
a.
|
penyerahan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak tertentu yang bersifat strategis; dan/atau
|
||
|
b.
|
impor barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis.
|
||
(2)
|
Barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
|
|||
|
a.
|
bangunan baru berupa rumah tapak, satuan rumah susun, kantor, toko/pusat perbelanjaan, dan/atau gudang bagi orang pribadi tertentu, badan tertentu, dan/atau kementerian/lembaga tertentu;
|
||
|
b.
|
kendaraan bermotor yang bernomor polisi terdaftar di Ibu Kota Nusantara, yang menggunakan teknologi battery electric vehicles yang diproduksi di dalam negeri bagi orang pribadi, badan, dan/atau kementerian/lembaga; dan
|
||
|
c.
|
barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis lainnya yang dibutuhkan dalam rangka persiapan, pembangunan, pemindahan, dan pengembangan di Ibu Kota Nusantara. | ||
(3)
|
Jasa kena pajak tertentu yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
|
|||
|
a.
|
jasa sewa rumah tapak, satuan rumah susun, kantor, toko/pusat perbelanjaan, dan/atau gudang yang diserahkan kepada orang pribadi, badan, dan/atau kementerian/lembaga, yang berkegiatan usaha, bertugas, atau berkedudukan di Ibu Kota Nusantara;
|
||
|
b.
|
jasa konstruksi untuk pembangunan jalan, jembatan, bendungan, instalasi pengolahan air bersih, pembangkit listrik tenaga energi baru dan terbarukan, sistem penyediaan air minum, jaringan telekomunikasi, jaringan energi, jaringan air/irigasi, instalasi pengolahan sampah dan/atau limbah, rumah sakit/klinik, laboratorium kesehatan, sekolah atau perguruan tinggi, gedung pemerintahan, rumah tapak, rumah susun, kantor, toko, dan/atau gudang, bandar udara, pelabuhan, terminal, jaringan kereta api, atau infrastruktur sejenis lainnya yang dibangun di Ibu Kota Nusantara;
|
||
|
c.
|
jasa pengolahan sampah dan/atau limbah atas sampah dan/atau limbah yang dihasilkan di Ibu Kota Nusantara; dan
|
||
|
d.
|
jasa kena pajak tertentu yang bersifat strategis lainnya yang dibutuhkan dalam rangka persiapan, pembangunan, pemindahan, dan pengembangan di Ibu Kota Nusantara.
|
||
(4)
|
Kemudahan perpajakan berupa Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b juga diberikan atas:
|
|||
|
a.
|
impor oleh; dan/atau
|
||
|
b.
|
penyerahan kepada,
|
||
|
pengusaha kena pajak yang menghasilkan listrik tenaga energi baru dan terbarukan di Ibu Kota Nusantara berupa mesin dan peralatan pabrik, baik mesin/peralatan utama maupun mesin/peralatan pendukung untuk menghasilkan listrik tenaga energi baru dan terbarukan di Ibu Kota Nusantara.
|
|||
(5)
|
Kemudahan perpajakan berupa Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2) diberikan atas penyerahan jasa kena pajak tertentu yang bersifat strategis berupa jasa konstruksi sehubungan dengan pembangunan di Daerah Mitra kepada Wajib Pajak yang mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), untuk bidang usaha:
|
|||
|
a.
|
pembangkit tenaga listrik termasuk energi baru dan terbarukan;
|
||
|
b.
|
pembangunan dan pengoperasian jalan tol;
|
||
|
c.
|
pembangunan dan pengoperasian pelabuhan laut;
|
||
|
d.
|
pembangunan dan pengoperasian bandar udara; dan
|
||
|
e.
|
pembangunan dan penyediaan air bersih.
|
||
(6)
|
Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (5) dapat diberikan sampai dengan tahun 2035.
|
|||
(7)
|
Pajak Pertambahan Nilai terutang atas impor dan/atau perolehan barang kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) wajib dibayar dalam hal:
|
|||
|
a.
|
terhadap barang kena pajak yang telah mendapat kemudahan perpajakan berupa Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) dalam jangka waktu 4 (empat) tahun:
|
||
|
|
1.
|
digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula;
|
|
|
|
2.
|
dipindahtangankan kepada pihak lain baik sebagian atau seluruhnya; dan/atau
|
|
|
|
3.
|
diregistrasikan dengan nomor polisi di luar Ibu Kota Nusantara dalam hal barang kena pajak berupa kendaraan.
|
|
|
b.
|
terhadap jasa kena pajak yang telah mendapat kemudahan perpajakan berupa Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5):
|
||
|
|
1.
|
digunakan tidak sesuai dengan tujuan semula dalam jangka waktu 4 (empat) tahun; dan/atau
|
|
|
|
2.
|
disewakan kembali kepada pihak lain selama periode sewa dalam hal jasa kena pajak berupa sewa.
|
|
(8)
|
Ketentuan mengenai:
|
|||
|
a.
|
batasan, subjek, dan kriteria barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak yang mendapatkan kemudahan perpajakan berupa Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5);
|
||
|
b.
|
tata cara pemberian kemudahan perpajakan berupa Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut atas impor dan/atau penyerahan barang kena pajak tertentu dan/atau jasa kena pajak tertentu yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5);
|
||
|
c.
|
tata cara pembayaran Pajak Pertambahan Nilai barang kena pajak tertentu dan/atau jasa kena pajak tertentu yang bersifat strategis yang diberikan kemudahan perpajakan berupa Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (7);
|
||
|
d.
|
barang kena pajak tertentu dan/atau jasa kena pajak tertentu yang bersifat strategis lainnya yang diberikan kemudahan perpajakan berupa Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan ayat (3) huruf d; dan
|
||
|
e.
|
barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis lainnya yang dibutuhkan dalam rangka persiapan, pembangunan, pemindahan, dan pengembangan di Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang atas impornya diberikan kemudahan perpajakan berupa Pajak Pertambahan Nilai tidak dipungut,
|
||
|
diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 60 |
||||
(1)
|
Kemudahan perpajakan berupa pengecualian pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf b diberikan atas penyerahan kelompok hunian mewah kepada orang pribadi, badan, dan/atau kementerian/lembaga, yang berkegiatan usaha, bertugas, atau berkedudukan di Ibu Kota Nusantara.
|
|||
(2)
|
Pengecualian pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan sampai dengan tahun 2035.
|
|||
(3)
|
Ketentuan mengenai tata cara pengecualian pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Keempat
Kepabeanan Paragraf 1 Umum
|
||||
(1)
|
Pengaturan kepabeanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf a angka 3 meliputi:
|
|||
|
a.
|
pembebasan bea masuk dan Fasilitas PDRI atas impor barang oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang ditujukan untuk kepentingan umum di wilayah Ibu Kota Nusantara dan Daerah Mitra;
|
||
|
b.
|
pembebasan bea masuk dan Fasilitas PDRI atas impor barang modal untuk pembangunan dan pengembangan industri di wilayah Ibu Kota Nusantara dan Daerah Mitra; dan
|
||
|
c.
|
pembebasan bea masuk atas impor barang dan bahan untuk pembangunan dan pengembangan industri di wilayah Ibu Kota Nusantara dan/atau Daerah Mitra.
|
||
(2)
|
Pembebasan bea masuk dan/atau Fasilitas PDRI untuk Daerah Mitra sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c diberikan kepada Wajib Pajak yang mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) untuk bidang usaha yang mendukung pembangunan dan pengembangan Ibu Kota Nusantara meliputi:
|
|||
|
a.
|
pembangunan pembangkit tenaga listrik termasuk energi baru dan terbarukan;
|
||
|
b.
|
pembangunan dan pengoperasian jalan tol;
|
||
|
c.
|
pembangunan dan pengoperasian pelabuhan laut;
|
||
|
d.
|
pembangunan dan pengoperasian bandar udara; dan
|
||
|
e.
|
pembangunan dan penyediaan air bersih.
|
||
(3)
|
Pembebasan bea masuk dan/atau Fasilitas PDRI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat diberikan sampai dengan tahun 2045.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Pembebasan Bea Masuk dan Fasilitas PDRI atas Impor Barang oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang ditujukan untuk Kepentingan Umum di Wilayah Ibu Kota Nusantara dan Daerah Mitra Pasal 62 |
||||
(1)
|
Atas impor barang oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang ditujukan untuk kepentingan umum di wilayah Ibu Kota Nusantara dan Daerah Mitra sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf a diberikan pembebasan bea masuk dan Fasilitas PDRI.
|
|||
(2)
|
Impor barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh:
|
|||
|
a.
|
pemerintah pusat atau pemerintah daerah;
|
||
|
b.
|
pihak ketiga berdasarkan kontrak atau perjanjian kerja; dan/atau
|
||
|
c.
|
pihak lain.
|
||
(3)
|
Impor barang oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bersumber dari:
|
|||
|
a.
|
anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah;
|
||
|
b.
|
hibah atau pinjaman luar negeri; dan/atau
|
||
|
c.
|
sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||
(4)
|
Ketentuan mengenai pelaksanaan dan tata cara pemberian fasilitas bea masuk dan Fasilitas PDRI atas impor barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 3
Pembebasan Bea Masuk dan/atau Fasilitas PDRI atas Impor Barang untuk Pembangunan dan Pengembangan Industri di Ibu Kota Nusantara dan Daerah Mitra Pasal 63 |
||||
(1)
|
Atas impor barang modal untuk industri yang menghasilkan barang dan/atau industri yang menghasilkan jasa yang dimasukkan ke Ibu Kota Nusantara dan Daerah Mitra untuk pembangunan dan pengembangan di Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf b diberikan pembebasan bea masuk dan Fasilitas PDRI.
|
|||
(2)
|
Atas impor barang dan bahan untuk industri yang menghasilkan barang yang dimasukkan ke wilayah Ibu Kota Nusantara dan Daerah Mitra untuk pembangunan dan pengembangan di Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf c diberikan pembebasan bea masuk.
|
|||
(3)
|
Barang modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi mesin, permesinan, alat perlengkapan instalasi pabrik, peralatan, atau perkakas yang digunakan untuk pembangunan dan pengembangan sektor industri termasuk industri yang menghasilkan jasa.
|
|||
(4)
|
Barang dan bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi semua barang atau bahan, tidak melihat jenis dan komposisinya, yang digunakan sebagai bahan atau komponen untuk menghasilkan barang jadi.
|
|||
(5)
|
Pembebasan bea masuk dan/atau Fasilitas PDRI diberikan sepanjang barang modal serta barang dan bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2):
|
|||
|
a.
|
belum diproduksi di dalam negeri;
|
||
|
b.
|
sudah diproduksi di dalam negeri namun belum memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan; atau
|
||
|
c.
|
sudah diproduksi di dalam negeri namun jumlahnya belum mencukupi kebutuhan industri,
|
||
|
berdasarkan daftar barang yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian.
|
|||
(6)
|
Dalam hal atas impor barang dan bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan fasilitas perpajakan, fasilitas perpajakan diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 64 |
||||
(1)
|
Pembebasan bea masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dan Pasal 63 ayat (1) dan ayat (2) dapat diberikan terhadap barang modal serta barang dan bahan yang berasal dari Kawasan Pelabuhan Bebas dan Perdagangan Bebas, Kawasan Ekonomi Khusus, dan/atau Tempat Penimbunan Berikat.
|
|||
(2)
|
Fasilitas PDRI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dan Pasal 63 ayat (1) dapat diberikan terhadap impor barang dari Pusat Logistik Berikat.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 65 |
||||
(1)
|
Pembebasan bea masuk dan Fasilitas PDRI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) dapat diberikan untuk jangka waktu pengimporan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal berlakunya keputusan pembebasan bea masuk dan Fasilitas PDRI.
|
|||
(2)
|
Jangka waktu pengimporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang sesuai dengan jangka waktu penyelesaian pembangunan dan pengembangan.
|
|||
(3)
|
Perusahaan yang telah menyelesaikan pembangunan industri serta siap berproduksi, diberikan pembebasan bea masuk atas impor barang dan bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) dengan jangka waktu pengimporan paling lama 4 (empat) tahun, sesuai kapasitas terpasang, terhitung sejak tanggal berlakunya keputusan pembebasan bea masuk.
|
|||
(4)
|
Perusahaan yang telah menyelesaikan pengembangan sektor usaha sepanjang menambah kapasitas paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari kapasitas terpasang, dapat diberikan pembebasan bea masuk atas impor barang dan bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) paling lama 4 (empat) tahun, sesuai kapasitas terpasang, terhitung sejak tanggal berlakunya keputusan pembebasan bea masuk.
|
|||
(5)
|
Jangka waktu pengimporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dapat diperpanjang selama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal berakhirnya fasilitas pembebasan bea masuk.
|
|||
(6)
|
Perusahaan yang telah menyelesaikan pembangunan dan/atau pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), sepanjang menggunakan mesin produksi dalam negeri paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari total nilai mesin, dapat diberikan pembebasan bea masuk atas impor barang dan bahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) selama 6 (enam) tahun sesuai dengan kapasitas terpasang terhitung sejak tanggal berlakunya keputusan pembebasan bea masuk.
|
|||
(7)
|
Bagi industri yang menghasilkan jasa dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (6).
|
|||
(8)
|
Perusahaan yang memenuhi persyaratan menggunakan mesin produksi dalam negeri paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari total nilai mesin sebagaimana dimaksud pada ayat (6), ditetapkan berdasarkan rekomendasi dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian.
|
|||
(9)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis industri yang menghasilkan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 66 |
||||
(1)
|
Untuk mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk dan/atau Fasilitas PDRI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1) atau pembebasan bea masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2), Wajib Pajak mengajukan permohonan melalui Sistem OSS.
|
|||
(2)
|
Pemberian persetujuan/penolakan fasilitas pembebasan bea masuk dan/atau Fasilitas PDRI atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilimpahkan kewenangannya dalam bentuk mandat oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi/koordinasi penanaman modal.
|
|||
(3)
|
Dalam hal permohonan disetujui, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi/koordinasi penanaman modal menerbitkan keputusan pembebasan bea masuk dan/atau Fasilitas PDRI.
|
|||
(4)
|
Dalam, hal permohonan ditolak, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi/koordinasi penanaman modal membuat surat penolakan permohonan dengan menyebutkan alasan penolakan.
|
|||
(5)
|
Ketentuan mengenai pelaksanaan dan tata cara pemberian fasilitas bea masuk dan/atau Fasilitas PDRI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
|
|||
|
|
|
|
|
Bagian Kelima
Fasilitas Penanaman Modal Kewenangan Otorita Ibu Kota Nusantara Paragraf 1 Fasilitas Pajak Khusus dan Penerimaan Khusus Ibu Kota Nusantara Pasal 67 |
||||
(1)
|
Fasilitas Pajak Khusus dan penerimaan khusus Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf b angka 1 terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
insentif berbentuk pengurangan, keringanan, atau pembebasan pajak khusus Ibu Kota Nusantara; dan
|
||
|
b.
|
insentif berbentuk pengurangan, keringanan, atau pembebasan penerimaan khusus Ibu Kota Nusantara.
|
||
(2)
|
Insentif berbentuk pengurangan, keringanan, atau pembebasan pajak khusus Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan sebagaimana tercantum dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3).
|
|||
(3)
|
Insentif berbentuk pengurangan, keringanan, atau pembebasan penerimaan khusus Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan sebagaimana tercantum dalam Pasal 11 ayat (3).
|
|||
(4)
|
Pemberian Fasilitas Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan prioritas yang ditetapkan oleh Kepala Otorita.
|
|||
|
|
|
|
|
Paragraf 2
Fasilitasi, Penyediaan Lahan, dan Sarana Prasarana bagi Pelaksanaan Kegiatan Penanaman Modal di Ibu Kota Nusantara Pasal 68 |
||||
(1)
|
Fasilitasi, penyediaan lahan, sarana prasarana bagi pelaksanaan kegiatan Penanaman Modal di Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf b angka 2 terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
penyediaan lahan atau lokasi bagi Pelaku Usaha;
|
||
|
b.
|
penyediaan sarana dan prasarana/infrastruktur;
|
||
|
c.
|
pemberian kenyamanan dan keamanan berinvestasi; dan/atau
|
||
|
d.
|
kemudahan akses tenaga kerja siap pakai dan terampil.
|
||
(2)
|
Fasilitasi, penyediaan lahan, sarana prasarana bagi pelaksanaan kegiatan Penanaman Modal di Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara sesuai kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5).
|
|||
(3)
|
Pemberian fasilitas, penyediaan lahan, sarana prasarana bagi pelaksanaan kegiatan Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan prioritas yang ditetapkan oleh Kepala Otorita.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB V
PENGAWASAN Pasal 69 |
||||
Otorita Ibu Kota Nusantara melakukan pengawasan terhadap:
|
||||
a.
|
kesesuaian pelaksanaan kegiatan usaha dengan Perizinan Berusaha dan laporan kegiatan usaha;
|
|||
b.
|
kesesuaian tata ruang dan standar bangunan gedung;
|
|||
c.
|
pemenuhan standar kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan hidup.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 70 |
||||
(1)
|
Dalam hal hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 menunjukkan adanya ketidaksesuaian/ketidakpatuhan Pelaku Usaha atas ketentuan peraturan perundang-undangan, Kepala Otorita memberikan pembinaan kepada Pelaku Usaha.
|
|||
(2)
|
Dalam hal setelah dilakukan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pelaku Usaha tetap tidak menunjukkan kesesuaian/kepatuhan, Kepala Otorita mengenakan sanksi administratif kepada Pelaku Usaha.
|
|||
(3)
|
Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
|
|||
|
a.
|
teguran tertulis;
|
||
|
b.
|
denda administratif;
|
||
|
c.
|
pembekuan Perizinan Berusaha;
|
||
|
d.
|
pencabutan Perizinan Berusaha; dan/atau
|
||
|
e.
|
pengembalian fasilitas.
|
||
(4)
|
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Kepala Otorita.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VI
EVALUASI Pasal 71 |
||||
(1)
|
Pelaksanaan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dievaluasi secara berkala setiap 5 (lima) tahun atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.
|
|||
(2)
|
Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara.
|
|||
(3)
|
Dalam melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Otorita Ibu Kota Nusantara berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait.
|
|||
|
|
|
|
|
BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 72 |
||||
(1)
|
Sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Peraturan Pemerintah ini, semua fasilitas perpajakan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan berlaku secara mutatis mutandis di Ibu Kota Nusantara.
|
|||
(2)
|
Dalam hal terdapat pengaturan fasilitas perpajakan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini yang mempunyai lingkup pemberian fasilitas yang sama yang berlaku di luar Ibu Kota Nusantara dan Daerah Mitra namun memiliki kemanfaatan yang berbeda, berlaku ketentuan fasilitas perpajakan yang lebih menguntungkan.
|
|||
|
|
|
|
|
Pasal 73 |
||||
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
|
||||
|
|
|
|
|
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
|
||||
|
|
|
|
|
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 6 Maret 2023 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. JOKO WIDODO Diundangkan di Jakarta pada tanggal 6 Maret 2023 MENTERI SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, ttd. PRATIKNO LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2023 NOMOR 37 |
||||
|
PENJELASANATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 12 TAHUN 2023
TENTANG
PEMBERIAN PERIZINAN BERUSAHA, KEMUDAHAN BERUSAHA, DAN FASILITAS PENANAMAN MODAL BAGI PELAKU USAHA DI IBU KOTA NUSANTARA
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
I.
|
UMUM
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara telah dibentuk Ibu Kota Nusantara sebagai kota berkelanjutan di dunia, penggerak ekonomi Indonesia di masa depan, dan sebagai simbol identitas nasional. Guna percepatan pembangunan dan pengembangan Ibu Kota Nusantara yang merupakan skala prioritas tinggi serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional tersebut, perlu adanya kebijakan khusus yang dapat mendorong Pelaku Usaha dalam persiapan, pembangunan, pemindahan, serta pengembangan Ibu Kota Nusantara dan Daerah Mitra.
Pelibatan Pelaku Usaha dimaksud diharapkan menjadikan Ibu Kota Nusantara di samping sebagai pusat pemerintahan juga sebagai pusat kegiatan ekonomi yang Indonesia-sentris khususnya dalam penyediaan infrastruktur dan kegiatan yang menimbulkan bangkitan ekonomi yang bertujuan menjadikan Ibu Kota Nusantara sebagai pusat dan lokomotif pertumbuhan perekonomian di masa depan. Untuk memberikan kepastian, kesempatan, dan partisipasi yang lebih besar kepada Pelaku Usaha dalam rangka percepatan pembangunan di Ibu Kota Nusantara tersebut, pemerintah perlu membuat pengaturan mengenai pemberian Perizinan Berusaha, kemudahan berusaha dan fasilitas Penanaman Modal di Ibu Kota Nusantara.
Pemberian perizinan berusaha, kemudahan berusaha dan fasilitas Penanaman Modal di Ibu Kota Nusantara dalam Peraturan Pemerintah ini ditujukan untuk mendorong percepatan pembangunan Ibu Kota Nusantara sebagai superhub ekonomi dengan kegiatan investasi yang berasal dari swasta baik dari dalam maupun luar negeri.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
II.
|
PASAL DEMI PASAL
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Kewenangan Otorita Ibu Kota Nusantara merupakan kewenangan khusus Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Ibu Kota Negara.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Pelaksanaan Perizinan Berusaha untuk sektor keagamaan berkaitan dengan kegiatan Pelaku Usaha yang menyelenggarakan haji khusus dan umroh serta Perizinan Berusaha untuk menunjang kegiatan usaha di antaranya sertifikasi jaminan produk halal.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Cukup jelas.
Huruf q
Cukup jelas.
Huruf r
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Contoh 1: Jasa Perdagangan.
PT ABC merupakan Wajib Pajak badan dalam negeri yang memiliki kegiatan usaha perdagangan suku cadang otomotif. PT ABC didirikan dan bertempat kedudukan di Jakarta sejak tahun 2015. Melalui tempat kegiatan usaha di Jakarta, PT ABC melayani konsumen di seluruh wilayah Indonesia. Pada tahun 2023, PT ABC melakukan penanaman modal baru sebesar Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah) dengan mendirikan cabang baru di wilayah Ibu Kota Nusantara dalam bentuk gudang dan toko suku cadang. Melalui gudang dan toko yang berada di wilayah Ibu Kota Nusantara tersebut, PT ABC melayani konsumen di wilayah Ibu Kota Nusantara.
Atas penanaman modal di wilayah Ibu Kota Nusantara tersebut, PT ABC berhak memperoleh fasilitas berupa pengurangan Pajak Penghasilan badan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. Namun demikian, fasilitas tersebut hanya diberikan untuk penghasilan yang berasal dari penjualan suku cadang yang:
Sedangkan atas penjualan yang dilakukan melalui tempat kegiatan usaha di Jakarta tidak mendapatkan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Contoh 2: Jasa Konstruksi berupa pekerjaan konstruksi.
PT XYZ merupakan Wajib Pajak badan dalam negeri yang melakukan kegiatan usaha konstruksi. PT XYZ bertempat kedudukan di Jakarta. Selama tahun 2023, PT XYZ menjalankan proyek konstruksi pembangunan gedung di Jakarta, Surabaya, dan Samarinda. Pada tahun 2023 tersebut, PT XYZ juga melakukan penanaman modal baru sebesar Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah) dengan membuka kantor di wilayah Ibu Kota Nusantara dalam rangka mengerjakan proyek pembangunan perumahan di wilayah Ibu Kota Nusantara. Selain membuka kantor di wilayah Ibu Kota Nusantara, PT XYZ juga melakukan penanaman modal baru dengan membeli peralatan konstruksi berteknologi tinggi sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) yang dapat meningkatkan efisiensi waktu penyelesaian proyek.
Atas penanaman modal di wilayah Ibu Kota Nusantara tersebut, PT XYZ berhak memperoleh fasilitas berupa pengurangan Pajak Penghasilan badan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. Namun demikian, fasilitas tersebut hanya diberikan untuk proyek konstruksi yang dikerjakan oleh PT XYZ untuk membangun perumahan di wilayah Ibu Kota Nusantara, sedangkan atas proyek konstruksi pembangunan gedung di Jakarta, Surabaya, dan Samarinda yang dilakukan PT XYZ tidak mendapat fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Contoh 3: Jasa Konstruksi berupa konsultansi konstruksi.
PT DEF merupakan Wajib Pajak badan dalam negeri yang melakukan kegiatan usaha konsultansi konstruksi. PT DEF bertempat kedudukan di Surabaya. Selama tahun 2023, PT DEF memberikan jasa konsultansi konstruksi pembangunan gedung yang berada di Bandung dan Yogyakarta. Pada tahun 2023 tersebut, PT DEF juga melakukan penanaman modal baru sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) dengan membuka kantor di wilayah Ibu Kota Nusantara dalam rangka memberikan jasa konsultansi konstruksi atas proyek pembangunan perumahan di wilayah tersebut.
Atas penanaman modal di wilayah Ibu Kota Nusantara tersebut, PT DEF berhak memperoleh fasilitas berupa pengurangan Pajak Penghasilan badan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. Namun demikian, fasilitas tersebut hanya diberikan untuk pemberian jasa konsultansi konstruksi yang:
Sedangkan atas jasa konsultansi konstruksi pembangunan gedung yang berada di Bandung dan Yogyakarta tidak mendapat fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan badan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Contoh 4: Jasa Perantara Real Estat.
PT PQR merupakan Wajib Pajak badan dalam negeri yang melakukan kegiatan usaha jasa perantara real estat. PT PQR didirikan dan bertempat kedudukan di Jakarta sejak tahun 2017. Melalui kantornya di Jakarta, PT PQR menghubungkan antara penyedia real estat/pengembang properti dan calon konsumen di seluruh Indonesia.
Pada tahun 2023, PT PQR melakukan penanaman modal baru sebesar Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah) dengan mendirikan kantor cabang di wilayah Ibu Kota Nusantara. Melalui kantor cabang tersebut, PT PQR juga menghubungkan pengembang properti di wilayah Ibu Kota Nusantara dan calon konsumen di seluruh Indonesia.
Atas penanaman modal di wilayah Ibu Kota Nusantara tersebut, PT PQR berhak memperoleh fasilitas berupa pengurangan Pajak Penghasilan badan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. Namun demikian, fasilitas tersebut hanya diberikan untuk penghasilan yang berasal dari jasa perantara real estat atas:
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "keuangan syariah" adalah seluruh kegiatan keuangan penghimpun dana yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah yang meliputi perbankan dan perasuransian.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Yang dimaksud dengan "bullion" adalah kegiatan usaha yang berkaitan dengan emas dalam bentuk simpanan, pembiayaan, perdagangan, penitipan emas, dan/atau kegiatan lain yang dilakukan oleh lembaga jasa keuangan yang berkaitan dengan emas.
Huruf l
Yang dimaksud dengan "pengelola dana perwalian (trust)" adalah penitipan dan pengelolaan atas harta milik penitip harta trust berdasarkan perjanjian tertulis.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Yang dimaksud dengan "perusahaan induk konglomerasi keuangan (financial holding company)" adalah badan hukum yang dimiliki oleh pemegang saham pengendali atau pemegang saham pengendali terakhir untuk mengendalikan, mengonsolidasikan, dan bertanggung jawab terhadap seluruh aktivitas konglomerasi keuangan.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Cukup jelas.
Huruf q
Cukup jelas.
Huruf r
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan "peraturan otoritas di sektor keuangan" adalah peraturan yang mengatur sektor keuangan dengan materi muatan antara lain model bisnis, skema, perizinan berusaha, kemudahan berusaha, dan pengawasan termasuk pengenaan sanksi.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 33
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "subjek pajak luar negeri" adalah subjek pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia dan merupakan pihak yang sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan (beneficial owner).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "otoritas di sektor keuangan" antara lain Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia sesuai dengan kewenangannya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "keuangan digital" adalah transaksi yang dilakukan secara digital yang tercatat dan diperdagangkan secara global dengan tingkat keamanan tinggi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "mendirikan dan/atau memindahkan kantor pusat dan/atau kantor regionalnya ke Ibu Kota Nusantara" adalah pendirian kantor pusat dan/atau kantor regional yang bersifat baru, sementara kegiatan anak perusahaan atau afiliasi yang berlokasi di luar Ibu Kota Nusantara tetap membayar kewajiban Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "memiliki substansi ekonomi" adalah:
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "mendirikan kantor pusat dan/atau kantor regionalnya ke Ibu Kota Nusantara" adalah pendirian kantor pusat dan/atau kantor regional yang bersifat baru, sementara kegiatan anak perusahaan atau afiliasi yang berlokasi di luar Ibu Kota Nusantara tetap membayar kewajiban Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Ayat (5)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "memiliki substansi ekonomi" adalah:
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Contoh 1:
Penelitian dan Pengembangan Melalui Kantor Pusat yang Memperoleh Fasilitas.
PT ABC merupakan perusahaan manufaktur di bidang perangkat keras komputer yang bertempat kedudukan di Ibu Kota Nusantara. Pada tahun 2023 PT ABC melaksanakan kegiatan penelitian dan pengembangan di Ibu Kota Nusantara. Atas pelaksanaan kegiatan penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh PT ABC di wilayah Ibu Kota Nusantara tersebut, PT ABC berhak memanfaatkan fasilitas pengurangan penghasilan bruto atas kegiatan penelitian dan pengembangan tertentu berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Contoh 2:
Penelitian dan Pengembangan Melalui Kantor Cabang yang Memperoleh Fasilitas.
PT XYZ merupakan perusahaan manufaktur di bidang farmasi yang bertempat kedudukan di Jakarta. Pada tahun 2023, PT XYZ membuka kantor cabang di wilayah Ibu Kota Nusantara dan melaksanakan kegiatan penelitian dan pengembangan bagi perusahaan. Atas pelaksanaan kegiatan penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh kantor cabang di wilayah Ibu Kota Nusantara tersebut, PT XYZ berhak memanfaatkan fasilitas pengurangan penghasilan bruto atas kegiatan penelitian dan pengembangan tertentu berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Contoh 3:
Penelitian dan Pengembangan Melalui Kantor Cabang yang Tidak Memperoleh Fasilitas.
PT PQR merupakan perusahaan manufaktur di bidang farmasi yang bertempat kedudukan di Ibu Kota Nusantara. Pada tahun 2024 PT PQR membuka kantor cabang di Jakarta dalam rangka melaksanakan kegiatan penelitian dan pengembangan bagi perusahaan. Atas pelaksanaan kegiatan penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh kantor cabang di Jakarta tersebut, PT PQR tidak berhak memanfaatkan fasilitas pengurangan penghasilan bruto atas kegiatan penelitian dan pengembangan tertentu berdasarkan Peraturan Pemerintah ini karena kegiatan penelitian dan pengembangan tidak dilakukan di wilayah Ibu Kota Nusantara.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "fasilitas lainnya yang bersifat nirlaba" antara lain fasilitas untuk kelestarian lingkungan dan menjaga ekosistem.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "bertempat tinggal di wilayah Ibu Kota Nusantara" adalah memiliki tempat yang ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya, meliputi:
Contoh:
Wildan mempunyai tempat tinggal sekaligus tempat melakukan kegiatan usaha perdagangan di Ibu Kota Nusantara. Selain itu, Wildan juga memiliki tempat tinggal di Jakarta. Dengan demikian, Wildan dianggap bertempat tinggal di Ibu Kota Nusantara karena memiliki tempat pusat kepentingan pribadi dan ekonomi yang berada di Ibu Kota Nusantara.
Yang dimaksud dengan "bertempat kedudukan di wilayah Ibu Kota Nusantara" adalah memiliki tempat yang ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya, meliputi:
Contoh:
PT A didirikan di Ibu Kota Nusantara dan alamat tersebut telah ditetapkan di akta atau dokumen pendirian, serta alamat tersebut merupakan tempat kedudukan pimpinan dan pusat administrasi dan keuangan. Dengan demikian, PT A bertempat kedudukan di Ibu Kota Nusantara.
Yang dimaksud dengan "bertempat kegiatan usaha di wilayah Ibu Kota Nusantara" adalah memiliki tempat yang digunakan untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, atau manajemen yang dapat berupa lokasi usaha, kantor cabang perusahaan, kantor perwakilan, gudang, unit pemasaran, atau tempat kegiatan usaha sejenis.
Contoh:
PT Y bertempat kedudukan di Bandung dan memiliki unit usaha distribusi di Ibu Kota Nusantara. Dengan demikian, PT Y dianggap mempunyai tempat kegiatan usaha di Ibu Kota Nusantara.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "Nomor Pokok Wajib Pajak" adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya, dapat berupa Nomor Pokok Wajib Pajak Pusat atau Nomor Pokok Wajib Pajak Cabang.
Yang dimaksud dengan "identitas perpajakan di tempat kegiatan usaha" adalah nomor identitas yang diberikan untuk tempat kegiatan usaha Wajib Pajak yang terpisah dari tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak, dapat berupa Nomor Pokok Wajib Pajak Cabang atau Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang menjadi objek Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif 0% (nol persen) dalam jangka waktu tertentu adalah penghasilan dari bagian peredaran bruto usaha sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dalam 1 (satu) tahun pajak yang diterima atau diperoleh pada lokasi usaha yang berada di wilayah Ibu Kota Nusantara.
Contoh:
PT A mendirikan usaha di wilayah Ibu Kota Nusantara yang sudah memenuhi persyaratan untuk mendapat fasilitas Pajak Penghasilan bersifat final dengan tarif 0% (nol persen) sejak tahun pajak 2024 dan pada tahun pajak 2025 PT A memiliki peredaran bruto dari usaha yang diterima atau diperoleh pada lokasi usaha yang berada di wilayah Ibu Kota Nusantara sebesar Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). Atas penghasilan dari usaha dimaksud dikenai Pajak Penghasilan bersifat final dengan tarif 0% (nol persen).
Yang dimaksud dengan "penghasilan dari peredaran bruto usaha sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dalam 1 (satu) tahun pajak yang diterima atau diperoleh pada lokasi usaha yang berada di wilayah Ibu Kota Nusantara" yaitu penghasilan dari kegiatan industri dan/atau penyerahan barang dan/atau jasa yang dilakukan di wilayah Ibu Kota Nusantara.
Huruf a
Yang dimaksud dengan "jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas" adalah:
Huruf b
Contoh:
Tuan A seorang konsultan pajak dan bersama Tuan B sesama konsultan pajak membentuk Firma AB dan Rekan. Firma tersebut menjalankan usaha memberikan jasa konsultan pajak. Mengingat jasa yang diberikan oleh firma tersebut sama dengan jasa yang diberikan Tuan A dan Tuan B sehubungan dengan pekerjaan bebas berupa jasa konsultan pajak, maka penghasilan dari firma tersebut tidak termasuk penghasilan yang dapat dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif 0% (nol persen).
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Penghasilan Wajib Pajak yang telah dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan tersendiri tidak dapat dikenai Pajak Penghasilan bersifat final dengan tarif 0% (nol persen) berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Pajak Penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, Wajib Pajak usaha mikro, kecil, dan menengah yang memenuhi kriteria dan memiliki peredaran bruto tertentu dikenai Pajak Penghasilan bersifat final.
Untuk memberikan kemudahan dan fasilitas bagi Wajib Pajak usaha mikro, kecil, dan menengah dimaksud yang melakukan kegiatan usaha di wilayah Ibu Kota Nusantara, dapat memanfaatkan fasilitas Pajak Penghasilan bersifat final dengan tarif 0% (nol persen) berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Contoh:
PT AB mendirikan usaha di wilayah Ibu Kota Nusantara pada tahun 2025 yang kemudian pada tahun pajak 2025 PT AB memiliki peredaran bruto dari usaha sebagai berikut:
Atas penghasilan dimaksud, pengenaan Pajak Penghasilannya sebagai berikut:
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh:
PT B bergerak di bidang industri, mendirikan usahanya dan bertempat kedudukan serta menjalankan usahanya di wilayah Ibu Kota Nusantara. PT B mendaftarkan usahanya dengan penanaman modal sebesar Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah) pada tanggal 1 Juli 2025. PT B telah terdaftar sebagai Wajib Pajak pada kantor pelayanan pajak yang wilayah kerjanya meliputi wilayah Ibu Kota Nusantara.
PT B mengajukan permohonan untuk mendapatkan fasilitas pengenaan Pajak Penghasilan bersifat final dengan tarif 0% (nol persen) pada tanggal 1 Agustus 2025 dan mendapatkan persetujuan pemberian fasilitas pada tanggal 5 Agustus 2025.
Karena PT B telah memenuhi kriteria penanaman modal kurang dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan persyaratan tertentu, maka PT B berhak untuk mendapat fasilitas pengenaan Pajak Penghasilan bersifat final dengan tarif 0% (nol persen) atas penghasilan dari peredaran bruto dari usaha sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dalam 1 (satu) tahun pajak yang diterima atau diperoleh pada lokasi usaha yang berada di wilayah Ibu Kota Nusantara sampai dengan jangka waktu tertentu.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Sesuai contoh sebagaimana dimaksud pada ayat (3), PT B berhak untuk mendapat fasilitas pengenaan Pajak Penghasilan bersifat final dengan tarif 0% (nol persen) terhitung sejak tanggal persetujuan pemberian fasilitas Pajak Penghasilan bersifat final sampai dengan akhir tahun 2035.
Ayat (6)
Contoh:
Sesuai contoh sebagaimana dimaksud pada ayat (3), PT B pada tahun 2027 membuka cabang usaha di luar wilayah Ibu Kota Nusantara. Peredaran bruto dari usaha PT B pada Tahun Pajak 2027 sebagai berikut:
Penghasilan PT B yang berasal dari peredaran bruto usaha sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) pada lokasi usaha di wilayah Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada huruf a dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final dengan tarif 0% (nol persen).
Untuk penghasilan yang berasal dari peredaran bruto usaha pada lokasi usaha selain yang berada di wilayah Ibu Kota Nusantara sebesar Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah), dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Biaya bersama yaitu pengeluaran atau biaya yang berhubungan langsung dengan kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara suatu penghasilan dan sekaligus berhubungan langsung dengan kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan lainnya.
Biaya-biaya bersama yang menjadi dasar alokasi pembebanan dalam rangka menghitung besarnya penghasilan kena pajak yaitu biaya bersama setelah dilakukan penyesuaian/koreksi fiskal sesuai dengan Undang-Undang yang mengatur mengenai Pajak Penghasilan.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Ayat (1)
Yang dimaksud "hunian mewah" antara lain rumah mewah, apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "pihak lain" adalah yang melakukan importasi antara lain atas penerimaan hibah kepada pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang tidak melalui pencatatan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 63
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "peralatan atau perkakas yang digunakan untuk industri yang menghasilkan jasa" adalah komponen peralatan atau perkakas yang digunakan untuk mendukung berjalannya kegiatan industri jasa seperti komponen radiologi pada layanan kesehatan, komponen yang diperlukan untuk keperluan riset dan inovasi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "evaluasi sewaktu-waktu apabila diperlukan" antara lain karena adanya:
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6854
|